bab ii 3198249 - uin walisongo semarang | perpustakaan...
TRANSCRIPT
13
BAB II
KONSEP GANJARAN DAN HUKUMAN
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Ganjaran dan Hukuman
Dalam kamus bahasa Inggris discipline itu berasal dari kata disciple, yang
artinya “ketertiban”.1 Elizabeth mengartikan disiplin ialah seseorang yang belajar
atau dengan sukarela mengikuti seseorang pemimpin (orang tua dan guru),
sedangkan anak adalah murid yang belajar untuk mencapai hidup yang berguna
dan bahagia. Dengan demikian discipline adalah cara masyarakat mendidik anak
sebagai tingkah laku moral yang disetujui oleh suatu kelompok.2
Sebaliknya, hukuman dalam istilah psikologi adalah cara yang digunakan
pada waktu keadaan yang merugikan atau pengalaman yang tidak menyenangkan
yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja menjatuhkan orang lain. Secara
umum disepakati bahwa hukuman adalah ketidaknyamanan (suasana tidak
menyenangkan) dan perlakuan yang buruk atau yang jelek.3
Pada dasarnya metode mengandung implikasi bahwa proses
penggunaannya bersifat konsisten dan sistematis, mengingat sasaran metode itu
adalah manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Jadi
penggunaan metode dalam proses kependidikan pada hakikatnya adalah
pelaksanaan sikap hati-hati dalam pekerjaan mendidik atau mengajar.4
1 Jhon M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (An English-Indonesian
Dictionary), (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 185 2 Elizabeth Bergner Hurlock, Child Develoment, (Tokyo-Japan: Grawhill, kogakhusa, 1978),
hlm. 392 3 Abdurrahman Mas’ud, Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam, Media, Edisi 28,
Th. IV, Nopember, 1999, hlm. 23 4 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 98
14
Berkaitan dengan konsep ganjaran dan hukuman sebagaimana firman Allah
SWT:
�������������� ���������������������������������� ����������� ��������������������������� ���!"#"#"��$�%�&�“Barang siapa yang melakukan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya, dan barang siapa yang melakukan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya”. (Q.S. Al-Zalzalah: 7-8).5
Dengan menyimak ayat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
balasan yang pertama adalah apa yang dikenal dengan istilah ganjaran (reward),
sedangkan balasan yang ke dua adalah hukuman (punishment), di mana ayat ini
juga menjelaskan bahwa ganjaran dan hukuman merupakan pedoman dari Allah
SWT, dan Islam mengakui hal tersebut sebagai salah satu hukum yang berlaku
dalam kehidupan manusia atau masyarakat.
Ganjaran di dalam al-Qur’an biasanya disebutkan dalam berbagai bentuk
uslub, di antaranya ada yang mempergunakan lafadz ajr ( ) dan tsawab ( ),
seperti dalam surat al-Baqarah: 62, al-Ankabut: 58 dan al-Bayyinah: 8.6
Dafid. L Sills mendefinisikan ganjaran ialah: “reward is one of educations
tools with given to the pupil as apprecation toward accomplis ment was he
reached”. 7 Ganjaran ialah salah satu alat pendidikan yang diberikan pada murid
sebagai imbalan terhadap prestasi yang dicapainya.
Sedangkan al-Ghazali mengartikan ganjaran ialah
�
5 Soenarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1971), hlm. 1087 6 Muhammad Fuad Abdi al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Qur’an, (Beirut:
Daar al-Fikr, 1992), hlm. 17-18, 205-206 7 Dafid. L Sills, International Ensyclopedia of the Social Seiences, (London: Collier
Macmillan, 1972), hlm. 320
15
��'(�)��������*�+,��-.-/"��� ��01���0 �2�3�4�,5�6�7��89�:;<=���
��>�-="���019�?@�ABC��4@�A�D���E�4�,5�FG�H��I�
“Sewaktu-waktu anak telah nyata budi pekerti yang baik dan perbuatan yang terpuji, maka seyogyanya ia dihargai dan dibalas dengan sesuatu yang menggembirakan dan dipuji di depan orang banyak (diberi hadiah)”.
Yang perlu diingat dan digaris bawahi ganjaran identik dengan tujuan
baik, sedang suap lebih identik dengan tujuan jelek. Meskipun beberapa studi
menunjukkan, bahwa untuk meningkatkan motivasi, pemberian ganjaran lebih
efektif dibanding dengan cara lainnya; memberi sanksi, mengomeli, memarahi
dan lain sebagainya, tetapi sebagian orang tua kurang setuju dengan hal itu.
Dikhawatirkan anak terlalu mengharapkan ganjaran yang akan diberikan,
sehingga hanya bekerja bila ada hadiah. Memang inilah yang menjadi tantangan
bagi para pendidik atau orang tua, oleh karena itu diusahakan bagaimana caranya
supaya dapat menghilangkan pemberian hadiah tidak sesering mungkin terutama
dalam bentuk materi, berikan hadiah sewajarnya dan jangan terlalu berlebihan. 9
Dari penjelasan tersebut penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa yang
dimaksud ganjaran ialah suatu pemberian yang diberikan anak didik karena anak
telah melakukan kebaikan dan juga merupakan pembinaan yang dipandang
sebagai proses sosial dapat melahirkan anak yang berwatak sosial, yang dapat
meraih watak kemanusiaannya yang memiliki bekal nilai-nilai dan yang
mematuhi perintah serta larangan moral dan sosial yang merupakan syarat bagi
tercapainya kehidupan anak yang baik dan stabil.
Berkaitan dengan hukuman (punishment) ada beberapa pandangan bahkan
ada yang berpendapat dan percaya tentang hukuman itu sendiri dan juga
8�Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, I’hya’ Ulumuddin, Juz III, (Beirut-Libanon: Daar al-
Kutub al-Ilmiyyah, t. th), hlm. 78 9 Charles Schaefer, Bagaimana Mempengaruhi Anak, (Jakarta: Dahara Prize, 1989), hlm.
21-22
16
sebaliknya. Untuk itu perlu ditegaskan pula apa yang dimaksud dengan hukuman
dalam pembahasan ini, sebagaimana ganjaran yang sudah disinggung di atas.
Dalam al-Qur’an hukuman juga biasanya disebutkan dalam berbagai
bentuk uslub, di antaranya ada yang mempergunakan lafadz i’qab ( ), adzab
( ), rijz ( ), ataupun berbentuk pernyataan (statement). Kata adzab seperti
dalam surat at-Taubah: 74, al-Imron: 21, kata rijz seperti dalam surat al-A’raf:
134 dan 165, dan kata i’qab seperti dalam surat al-Baqarah: 61 dan 65, al-Imron:
11.10
Elizabeth B. Hurlock mendefinisikan hukuman ialah:“punishment means
to inpose a penalty on a person for a fault offense or violation or retaliation”.11
Hukuman ialah menjatuhkan suatu siksa pada seseorang karena suatu pelanggaran
atau kesalahan sebagai ganjaran atau balasannya.
Abdullah Nashih Ulwan berpendapat hukuman ialah “hukuman yang tidak
ditentukan oleh Allah untuk setiap perbuatan maksiat yang di dalamnya tidak ada
had atau kafarat”.12 Sehingga bisa dibedakan antara hukuman yang khusus
dikeluarkan negara dengan hukuman yang diterapkan oleh kedua orang tua dalam
keluarga dan para pendidik di sekolah. Karena baik hudud atau hukuman ta’zir
keduanya sama bertujuan untuk memberi pelajaran baik bagi si pelaku ataupun
orang lain, semua itu adalah sebagai cara yang tegas dan tepat untuk
memperbaikinya.13
Berdasarkan pengertian di atas, adanya hukuman disebabkan oleh adanya
pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang. Jadi, yang dimaksud menghukum
yaitu memberikan suatu hukuman yang tidak menyenangkan atau pembalasan
dengan sengaja pada anak didik dengan maksud supaya anak tersebut jera. Perlu
10 Muhammad Fuad Abdi al-Baqi, op. cit., hlm. 572-578 11 Elizabeth Begner Hurlock., op. cit., hlm. 396 12 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan anak dalam Islam, Jilid II, (Jakarta: Pustaka Amani,
1999), hlm. 308 13 Ibid., hlm. 311
17
dijelaskan disini bahwa pembalasan bukan berarti balas dendam, sehingga anak
benar-benar insyaf dan sadar kemudian berusaha untuk memperbaiki atas
perbuatan yang tidak terpuji.
Sedangkan Athiyah al-Abrasyi berpendapat bahwa :
���!-� J�KL��!�@�-M"��N��0= �O �;"��P8�…���6��MQR����S-#"��L�AJTL����'���L�UV�
‘Maksud hukuman dalam pendidikan Islam ialah…sebagai tuntutan dan perbaikan, bukan sebagai hardikan atau balas dendam.’
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukuman
memiliki tujuan perbaikan, bukan menjatuhkan hukuman pada anak didik dengan
alasan balas dendam. Maka dari itu seorang pendidik dan orang tua dalam
menjatuhkan hukuman haruslah secara seksama dan bijaksana.
Kalau dilihat secara ringkas mengenai kedudukan hukuman dalam
masyarakat Islam yang bersumber dari al-Qur’an, menurut Abdurrahman Shaleh
Abdullah Islam mengenal tiga kategori hukuman yaitu hudud, qishasdan ta’zir.15
Adapun dalam pembahasan ini, hukuman yang dimaksud bersifat edukatif atau
mendidik dan dalam masyarakat Islam dikenal dengan sebutan hukuman ta’zir.
Kata “ta’zir” menurut kamus istilah fiqih adalah bentuk masdar dari kata kerja
“azzara” yang artinya menolak, sedang menurut istilah hukum syara’ berarti
pencegahan dan pengajaran terhadap tindak pidana yang tidak mempunyai hukum
had, kafarat dan qishas.16 Maka dari itu hukuman haruslah mengandung unsur-
unsur pendidikan baik diputuskan oleh hakim ataupun yang dilakukan orang tua
14�Athiyah al-Abrasyi, Tarbiyah al-Islamiyah wa falsafaiuha, (Mesir: As-Syirkham, 1975),
hlm. 155 15 Abdurrahman Shaleh Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut al-Qur’an
serta Implementasinya, (Bandung: Diponegoro, 1991), hlm. 236 16 Muhammad Abdul Mujib, dkk., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994),
hlm. 384
18
dan para pendidik terhadap anaknya, ini kepentingan si pelaku maupun
masyarakat umum.
Dari beberapa uraian tentang pengertian hukuman tersebut, dapatlah
penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan hukuman dalam pendidikan,
khususnya pendidikan Islam sebagai tindakan edukatif berupa perbuatan orang
dewasa atau pendidik yang dilakukan dengan sadar pada anak didiknya dengan
memberi peringatan dan pelajaran kepadanya atas pelanggaran yang telah
diperbuatnya sesuai dengan prinsi-prinsip dan nilai-nilai keislaman. Sehingga
anak didik menjadi sadar dan menghindari segala macam pelanggaran dan
kesalahan yang tidak diinginkan atau dengan berhati-hati dalam setiap melakukan
sesuatu.
B. Dasar dan Tujuan Ganjaran dan Hukuman
Istilah ganjaran dan hukuman sudah lama dikenal manusia, lantaran hal itu
pada awalnya bukanlah ciptaan manusia, dan memang sudah ada sejak manusia
pertama Adam as lahir ke dunia yang fana ini. Hanya dengan adanya pergantian
zaman dan peralihan dari satu generasi kegenerasi lain, ditambah dengan kegiatan
dan kebutuhan manusia yang beraneka ragam, maka bentuk dari ganjaran dan
hukuman berbeda. Istilah yang digunakan sama hanya penerapannya yang
berbeda, namun demikian Islam telah memberikan dan menunjukan batasan dan
pengertian yang jelas dan umum antara ganjaran dan hukuman tersebut, melalui
berbagai dalil dan bukti.17
Hukuman pada dasarnya merupakan akibat dari suatu perbuatan manusia
sendiri, sebagaimana firman Allah SWT berfirman :
17 Abdurrazak Husain, Hak dan Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Fikahati, 1992),
hlm. 102-103
19
�������L���W:�"������ ��O ��XY���N��Z�0�"�� ���[�����XY��������Q\B"���N�������"�����@��]�5�̂_���Z�0�@̀]�����(a"�(�M���8����������/�Q �!@�(M"��$���&�
“Dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan menghazab mereka, dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.” (Q.S. At-Taubah: 74) 18
Sedangkan dalam hadits diterangkan sebagai berikut :
b ����@�����5��5�34�@���5�3�-BS��5�3���c�$��ZP,K��4�,5�_��dP,T�_���(K����ce� ?=K�f<K�g�=@��Zh���J-/"�@�Zi'L�9����3�j5�g�=@��Zh���0�,5�Zh(@�k���3
�fS�lm��n�Z0=�@��(c-���o�e�
������������������
“Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Suruhlah anak-anak kalian mengerjakan shalat sejak mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika melalaikannya ketika mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka.” (H R. Abu Daud)
Berdasarkan ayat dan hadits di atas, dijelaskan bahwa barang siapa
mengerjakan perbuatan dosa atau melakukan kesalahan, maka akan mendapatkan
hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuatnya.
Secara rasional, ibadah (seperti shalat, shaum dan ibadah lainnya)
berperan mendidik pribadi manusia yang kesadaran dan pikirannya terus-menerus
berfungsi dalam semua pekerjannya.20 Dari hadits di atas dapat diambil
pengertian bahwa anak harus diperintahkan mengerjakan shalat ketika berusia
tujuh tahun, dan diberi hukuman pukul apabila anak menolak mengerjakan shalat
18 Soenarjo, dkk., op.cit., hlm. 291 19�Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Sunan Abu Daud, Juz I, (Indonesia: Maktabah
Dahlan, t. th), hlm. 133 20 Muhammad Ali Quthb, Auladuna Fi Dlau-it Tarbiyah al-Islamiyah; Sang Anak dalam
Naungan Pendidikan Islam, (Kairo: Maktabah Qur’an, 1993), hlm. 89
20
jika sudah berusia 10 tahun, tujuan diberikannya hukuman pukul ini supaya anak
menyadari kesalahannya.
Makna dari kata ( ) dalam hadits tersebut adalah memberikan pukulan
secara fisik, karena anak meninggalkan shalat. Di samping itu, pukulan yang
diberikan harus mengenai badannya dan tidak boleh mengenai wajahnya.Oleh
karena itu, pukulan tersebut harus diberikan kepada anak ketika sudah berumur 10
tahun, karena pada usia 10 tahun ke atas ini seorang anak sudah dianggap
mempunyai tanggung jawab (baligh).21
Hukuman dengan memukul adalah hal yang diterapkan oleh Islam
sebagaimana hadis Nabi di atas. Dan ini dilakukan pada tahap terakhir, setelah
nasehat dan cara lain tidak bisa. Tata cara yang tertib ini menunjukkan bahwa
pendidik tidak boleh menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah
bermanfaat, sebab pukulan adalah hukuman yang paling berat dan tidak boleh
menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain tidak bisa dan perlu diketahui
pula bahwa Rasulullah SAW sama sekali belum pernah memukul seorangpun dari
istri-istrinya.
Adapun tujuan hukuman dalam pendidikan ialah :
a. Untuk memperbaiki individu yang yang bersangkutan agar menyadari
kekeliruannya, dan tidak akan mengulanginya lagi.
b. Melindungi pelakunya agar dia tidak melanjutkan pola tingkah laku yang
menyimpang, buruk dan tercela.
c. Sekaligus juga melindungi masyarakat luar dari perbuatan dan salah (nakal,
jahat, asusila, kriminial, abnormal dan lain-lain) yang dilakukan oleh anak
atau orang dewasa.22
21 Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq, A’unul Ma’bud; Syarah Sunan Abi Daud, Juz II,
(Beirut : Daar al-Fikr, t. th), hlm. 161 22 Kartini Kartono, Pengantar Mendidik Ilmu Teoritis (Apakah Pendidikan masih
Diperlukan), (Bandung: Mandar Maju, 1992), hlm. 261
21
d. Menurut Emile Durkeim dalam dunia pendidikan ada teori pencegahan.
Dalam teori ini hukuman merupakan suatu cara untuk mencegah berbagai
pelanggaran terhadap peraturan. Pendidikan menghukum si anak selain agar
anak tidak mengulangi kesalahannya juga untuk mencegah agar anak lain
tidak menirunya.23
Sedangkan Asma Hasan Fahmi mengungkapkan tujuan hukuman dalam
Pendidikan Islam sebagi berikut :
“tujuan hukuman mengandung arti positif, karena ia ditujukan untuk memperoleh perbaikan dan pengarahan, bukan semata-mata untuk membalas dendam, oleh karena itu orang Islam sangat ingin mengetahui tabi’at dan perangai anak-anak sebelum menghukum mereka, sebagaimana mereka ingin sekali mendorong anak-anak ikut aktif dalam memperbaiki kesalahan mereka sendiri, dan untuk ini mereka melupakan kesalahan anak-anak dan tidak membeberkan rahasia mereka”.24
Berdasarkan penjelasan tujuan hukuman di atas maka dapat diambil
pengertian bahwa tujuan hukuman dalam pendidikan Islam untuk perbaikan
kesalahan yang dilakukan anak-anak yang sama serta membutuhkan motivasi
dalam berfikir dan bertindak sehingga akan tercapai tujuan yang diinginkan.
Sedangkan tujuan pokok hukuman dalam syariat Islam ialah pencegahan,
pengajaran dan pendidikan, arti pencegahan ialah menahan si pembuat kejahatan
supaya tidak ikut-ikutan berbuat kesalahan.
Kata ganjaran biasanya dikenal dengan istilah ‘ajr atau tsawab,
sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an, yang menunjukkan bahwa apa yang
diperbuat oleh seseorang dalam kehidupan ini atau di akhirat kelak karena amal
perbuatan yang baik.25 Allah SAW berfirman :
23 Emile Durkeim, Pendidikan Moral (Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi
Pendidikan), (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 116 24 Asma Hasan Fahmi, Sejarah Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
hlm. 140 25 Abdurrahman Shaleh, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1994), hlm. 221
22
����p�q�������Q\B"���r ��(�s�̂_���Z[t�����������L���r ��(�sd,c�������=�p�u��"��\b �u���̂_����
�8���5����$������&�”Karena itu Allah memberikan mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. Al-Imron: 148)26
Kelebihan ganjaran di akhirat berasal dari sumbernya yang unggul. Hal
ini diilustrasikan mengapa Nabi Muhammad SAW hanya mengharap balasan dari
Allah semata. Maka dengan adanya kenyataan seperti ini pelajar menurut sistem
pendidikan Islam harus diberi motivasi sedemikian rupa dengan ganjaran.27
Dan dalam surat yang sama pula al-Imron : 159 bertemulah pujian yang
tinggi dari Tuhan terhadap Rasulnya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak
lekas marah pada umatnya yang tengah dituntun dan didiknya iman mereka agar
sempurna. Sudah demikian kesalahan beberapa orang yang meninggalkan
tugasnya karena tamak akan harta, tetapi Rasulullah tidak langsung marah-marah,
melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin. Dalam ayat ini Tuhan
menegaskan sebagai pujian kepada Rasulnya bahwasnya sikap lemah lembut itu
dikarenakan dalam dirinya telah dimasukkan Tuhan berupa rahmat, rasa belas
kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Tuhan ke dalam diri beliau, sehingga
rahmat itulah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin. Tentunya
masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan tentang pujian baik secara khusus
ditujukan kepada beliau atau untuk seluruh umat manusia.28
Ganjaran bila diterapkan dalam pendidikan tentunya akan memiliki kesan
positif, yaitu sebagai motivasi bagi anak didik, untuk itu perlu dibedakan antara
ganjaran dan suap. Dengan adanya ganjaran anak didik akan terus melakukan
pekerjaannya dengan baik dan tentunya ingin melakukan yang terbaik lagi.
26 Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 100 27 Abdurrahman Shaleh, op. cit., hlm. 233 28 Hamka, Tafsir al–Azhar, Juz IV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), hlm. 129
23
Karena dengan memberikan dorongan dan menyayangi anak adalah sangat
penting. Dalam hal ini, harus diperhatikan keseimbangan antara dorongan yang
berbentuk materi dengan dorongan yang spirituil, sebab tidaklah benar jika
pemberian dorongan tersebut hanya terbatas pada hadiah-hadian yang sifatnya
materi saja. Hal ini dimaksudkan agar si anak tidak menjadi orang yang selalu
meminta balasan atas perbuatannya.
Sehingga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan
pertimbangan dalam memberikan ganjaran berupa benda yaitu :
1. Hadiah tersebut harus benar-benar berhubungan dengan prestasi yang dicapai.
2. Hadiah tersebut disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang menerima.
3. Hadiah tersebut sebaiknya tidak perlu terlalu mahal.29
Adapun tujuan diberikannya ganjaran telah dijelaskan dalam al-Qur’an,
yaitu tentang ganjaran yang diberikan untuk membalas orang beriman dan
beramal shaleh agar mereka mempertinggi keimanan dan ketaqwaannya.
Sebagaimana firman Allah SWT :
��!�����<"����������Z�h��v w"��[���x u�,-/"�([,���5����(�=� 9�������]a"��a8���o��8�B�5��x -=�S��Z�0y@����B�=�5��Z�h�z��#�S��B�@�9���0{����������B�,�����0�QXY����0�M�u�|���� ��F���}�|�3������:�j��������"��v �"���4�=�5��(�k������Z�0�=�5̂�_���:�k��
�4�@��� �o�!=-�<"��$�%���&�“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka disisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terhadapNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.30
29 Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, (Jakarta: Rineka Cipta,
1993), hlm. 165 30 Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 1085
24
Dalam pemberian ganjaran belum tentu selalu diberikan pada anak
terpandai terutama di sekolah, karena memang anak yang pandai selalu
menunjukkan hasil yang baik dan hal tersebut tidak perlu selalu diberi ganjaran,
sebab jika begitu ganjaran akan berubah fungsi menjadi upah. Di satu sisi ada
anak yang biasa-biasa saja tapi mau berusaha meningkatkan prestasinya itulah
yang perlu diberikan ganjaran, karena dengan begitu ia akan semakin giat untuk
selalu meningkatkan prestasi dan selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik.
Menurut para ahli psikologi, seperti penganut teori kondisional
mengatakan bahwa “ganjaran merupakan pendorong utama dalam proses belajar”.
Teori empiristik juga memandang bahwa “ganjaran membantu anak dalam
belajar, sebab tatkala kita memberi ganjaran kepada anak sesungguhnya kita
membantu anak untuk berperilaku baik, lalu kita menarik anak pada pengalaman
yang ingin kita ajarkan”. Teori-teori belajar menekankan bahwa berbagai
ganjaran dapat menimbulkan respon positif pada anak dan dapat menciptakan
kebiasaan relatif kokoh dalam dirinya. 31
Dengan kata lain, anak didik menjadi lebih keras kemauannya untuk
berbuat yang lebih baik lagi, jadi yang terpenting disini bukanlah karena hasil
yang dicapai seseorang melainkan dengan hasil tersebut bertujuan membentuk
kata hati dan kemauan yang lebih baik dan lebih keras pada anak.32
Untuk itu perlu dibedakan antara ganjaran, suap dan upah. Suap yang
berarti pemberian dengan terpaksa sedangkan upah bersifat sebagai ‘ganti rugi’.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pemberian ganjaran dalam
pendidikan sebagai dorongan atau motivasi bagi anak didik untuk melakukan
sesuatu, karena dengan pemberian ganjaran akan terkesan positif yang membekas
31 Ahmad Ali Budaiwi, Imbalan dan Hukuman Pengaruhnya bagi Pendidikan Anak,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 40 32 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Praktis dan Teoritis, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1995), hlm. 182
25
dalam dirinya dan timbul suatu keinginan kuat untuk selalu melakukan sesuatu
yang terbaik dan lebih baik tentunya. Karena ganjaran mempunyai peran sebagai
dorongan dalam menguatkan perilaku yang positif dalam diri anak didik.
C. Macam dan Fungsi Ganjaran dan Hukuman
Untuk menentukan ganjaran apakah yang layak dan baik diberikan kepada
anak merupakan suatu hal yang sangat sulit. Karena ganjaran sebagai alat
pendidikan banyak sekali macamnya, ganjaran pada dasarnya dapat berupa materi
dan non materi, yang berupa materi seperti barang atau benda dan yang non
materi tentunya lebih banyak lagi seperti pujian, perhatian, penghargaan dan lain
sebagainya.
1. Macam ganjaran
a. Pujian yang baik (memberi kata-kata yang menggembirakan)
b. Berdo’a
c. Menepuk pundak
d. Memberi pesan
e. Menjadi pendengar yang baik
f. Mencium buah hati dengan penuh cinta dan kasih sayang33
g. Ganjaran dapat juga berupa benda yang menyenangkan dan berguna
bagi anak-anak seperti :�pensil, buku tulis, makanan ringan, permainan
dan lain sebagainya.34
Ganjaran yang berbentuk materi dalam prakteknya telah banyak
dilakukan oleh pendidik atau guru yakni pemberian hadiah berupa barang-
barang yang diperkirakan mengandung nilai bagi siswa. Perlu diingat bahwa
dalam memberikan ganjaran yang berupa benda ini dari para pendidik atau
33 Muhammad Bin Jamil Zainu, Solusi Pendidikan Anak Masa Kini, (Jakarta: Mustaqim,
2002), hlm. 142-144 34 Ngalim Purwanto, op. cit., hlm. 183
26
guru dituntut pertimbangan yang lebih cermat dibandingkan dengan
pemberian ganjaran dalam bentuk lain. Untuk itu seorang guru harus sangat
berhati-hati dan bijaksana sebab dengan benda-benda itu mudah benar
berubah fungsi menjadi upah bagi siswa.
Pada dasarnya anak dalam semua usia suka pada pujian yang
ditujukan pada dirinya, pujian tidak hanya memberikan kepada perasaan puas
akan tetapi yang lebih penting adalah menimbulkan perasaan aman,
menolongnya untuk menerima kenyataan suatu kelompok. Oleh karena itu
patokan yang paling penting ialah pujian, pujian hanya menyangkut usaha
anak untuk melakukan sesuatu dan pujian hanya menyangkut hasil yang
dicapai anak, bukan menyangkut watak dan kepribadiannya. Misalnya bila
anak membersihkan lantai, komentar yang wajar ialah “betapa ia bekerja
keras dan betapa lantai kini tampak menjadi bersih”. Sama sekali tidak pada
tempatnya untuk mengatakan kepadanya “kau anak yang baik“. Kata-kata
pujian harus merupakan suatu cermin yang menampakkan pada anak berupa
gambaran yang realistis tentang apa yang dibuatnya dan juga prestasinya,
sebaliknya bukan menyajikan gambaran muluk-muluk tentang
kepribadiannya. Untuk semua alasan ini pujian adalah hadiah yang paling
baik yang bisa diberikan karena perbuatan baik.
Durkheim mengatakan, pada umumnya ganjaran secara eksklusif
berupa ucapan penghargaan dan pujian secara terbuka, sebagai ungkapan rasa
hormat dan kepercayaan tinggi seorang yang telah berbuat sesuatu yang baik
secara istimewa sekali. 35
Selanjutnya perhatian, yang dimaksud ganjaran berupa perhatian di
sini ialah si pendidik senantiasa mencurahkan perhatian penuh dan mengikuti
perkembangan aspek aqidah dan moral anak, mengawasi dan memperhatikan.
35 Emile Durkheim, op. Cit., hlm. 148
27
Kesiapan mental dan sosial, di samping selalu bertanya tentang situasi
pendidikan jasmani dan kemampuan ilmiahnya, hendaknya para pendidik
selalu memperhatikan dan senantiasa mengikuti serta mengamati anak-
anaknya dalam segala segi kehidupan dan pendidikan yang universal.36
Menurut Elizabeth, fungsi ganjaran dalam pendidikan ialah :
1) Hendaknya ganjaran mempunyai nilai mendidik. Dan anak merasa bahwa
hal itu baik, ganjaran mengisyaratkan bahwa perilaku mereka itu baik.
2) Ganjaran berfungsi sebagai motivasi untuk mengulangi perilaku yang
disetujui secara sosial. Karena anak akan bereaksi dengan positif terhadap
persetujuan yang dinyatakan dengan ganjaran, di masa mendatang mereka
berusaha untuk berperilaku dengan cara yang akan lebih banyak
memberikan hadiah.
3) Ganjaran berfungsi untuk memperkuat perilaku yang disetujui secara
sosial, dan tiadanya ganjaran melemahkan keinginan untuk mengulangi
perilaku itu. Ganjaran harus digunakan untuk membentuk asosiasi yang
menyenangkan dengan perilaku yang diinginkan.37
Dengan demikian hendaklah para pendidik atau orang tua dalam
memberikan ganjaran harus benar-benar punya arti tersendiri atas apa yang
sudah diperbuat oleh anak didik dan harus memiliki fungsi untuk
memperkuat pendapat/ keyakinan individu bahwa perbuatan tersebut benar.
Yang dalam psikologi dikenal dengan istilah “reinforcement” (penguatan).
Sehingga dengan pemberian ganjaran yang dilakukan secara terus-menerus
lama-kelamaan tidak akan berfungsi efektif lagi, untuk itu berilah ganjaran
dengan sewajarnya dan sebijaksana mungkin, supaya mempunyai nilai positif
bagi anak didik maupun pendidik.
36 Abdullah Nashih Ulwan, op. cit., hlm. 275 37 Elizabeth Begner Hurlock, op. cit., hlm. 396
28
2. Macam hukuman
Hukuman yang dapat diterapkan pada anak dapat dibedakan menjadi
beberapa pokok bagian yaitu :
a. Hukuman bersifat fisik seperti : menjewer telinga, mencubit dan
memukul. Hukuman ini diberikan apabila anak melakukan kesalahan,
terlebih mengenai hal-hal yang harus dikerjakan anak.
b. Hukuman verbal seperti : memarahi, maksudnya mengingatkan anak
dengan bijaksana dan bila para penddidik atau orang tua memarahinya
maka pelankanlah suaranya.
c. Isyarat non verbal seperti : menunjukkan mimik atau raut muka tidak
suka. Hukuman ini diberikan untuk memperbaiki kesalahan anak dengan
memperingatkan lewat isyarat.
Seperti sabda Nabi :
.=�"���=s�-Bq�3�v "�� ��5�3r �0���@��5�3��p���@�8���,K��53��_��B<5��5>�<5��@�3��c�$���~ �_���(K��� �'��>�-<5��@��lD"��8�i��o6��$������9� ��4|�}�
���4�"����=|���0�"����=���lD"���}��4�MDMp|�ZM��$���~ �_���(K����}�o���6������Y���-+-j"������lD"��4S��� �/� �o�'��'�(@�������&�I
�
“Kami diberitahu oleh al-Qa’naby, dari Malik dia berkata, Fadhl bin Abbas pernah dibonceng Rasulullah, lalu ada seorang wanita dari Khutsum meminta fatwa kepada beliau, pada waktu itu Fadhl memandangnya, begitu juga sebaliknya wanita itu memandang Fadhl, dan Nabi memalingkan muka ke lain pihak”.(H.R. Abu Daud)
d. Hukuman sosial seperti : mengisolasi dari lingkungan pergaulan agar
kesalahan tidak terulang lagi dengan tidak banyak bicara dan
meninggalkannya agar terhindar dari ucapan buruk.
38�Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asy’ats as-Sijistani, Sunan Abu Daud, jilid I, (Beirut: Daar al-
Fikr, t. th), hlm. 552
29
!<�������@��7@�(@���=s�-Bq�3�r (-����5�!�,5��@�������=s�-Bq�3���@�B�K��5�<S�3������� ]���D; ��@�_��B<"��<��c�P89�3���c����0=��$���~ �_���(K��P8�o���:��6
� ]����5��3��c��$�-�B5��7=|�L��B�T�B�/|�L��0-Q��o����-�-p"���p7|��0-=7"����?"����D|���o������$���_���(K��P89�v s�-Bq9�~ ��o�4=5�d��6���3�� ]��2�����L�B@9�v �,i9 ��o��Z,p �������&�� �
“Kami diberitahu oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, kami diberitahu oleh Ismail bin Ulaiyah dari Ayyub, dari Sa’id bin Jubair, bahwasannya tetangga Abdullah bin Mughaffal melempar dengan kerikil, lalu dilarang oleh Abdullah katanya:”bahwa rasul melarang orang yang membidik dengan kerikil (melempar dengan kerikil)”. Lalu ia tetap mengulanginya lagi, dan dikatakan kepadanya:”telah kukatakan padamu, bahwa Rasulullah melarang melempar dengan kerikil, tapi kamu masih tetap ngotot!, maka aku tidak akan mengajakmu berbicara (tidak menegur lagi)”. �(H.R. Muslim)
Menghukum merupakan sesuatu yang “tidak disukai” namun perlu
diakui bersama bahwa hukuman itu memang diperlukan dalam pendidikan
karena berfungsi menekan, menghambat atau mengurangi bahkan
menghilangkan perbuatan yang menyimpang.40
Dari uraian di atas tentang macam hukuman kiranya dapat
disimpulkan bahwasanya hukuman itu dapat diterapkan dalam pendidikan,
terutama hukuman yang bersifat pedagogis. Menghukum bilamana perlu dan
jangan terus-menerus serta hindarilah hukuman jasmani atau badan jikalau
benar-benar tidak terpaksa.
Hukuman pukulan berupa psikis antara lain ; terlalu banyak perintah,
larangan, teguran dan tidak mengindahkan keinginan anak, sehingga banyak
menyebabkan gangguan terhadap ketegangan anak. Menjadikan anak kurang
39� Abu al-Husain Muslim, Shahih Muslim, Bab Karoha al-Khadhaf, juz III, (Beirut-
Libanon: Daar al-Kitab al-Ilmiyyah, t. th), hlm. 154
30
mempunyai inisiatif dan spontanitas, tidak percaya diri sendiri dan dipilihnya
selalu tanggung jawab.41 Sedangkan dalam proses belajar itu perlu adanya
motivasi untuk berbuat sesuatu, sedang bila kita menghindari untuk berbuat
dengan cara tertentu, timbul kecenderungan yang kuat untuk memastikan
tentang kebenaran dari keinginan kita tersebut.
Ingat bahwa perbuatan salah mencerminkan kekurangtrampilan dan
kelemahan. Untuk itu, ini masih bisa disembuhkan selama anak masih
mempunyai percaya diri terhadap kemampuannya, jangan langsung
menghukum akibat kesalahan yang diperbuatnya. Justru anda sebagai
pendidik dituntut untuk memusatkan perhatian terhadap minat anak terhadap
sesuatu yang telah dikerjakan dengan baik.
Fungsi hukuman dalam pendidikan hendaknya meliputi tiga peran
penting dalam perkembangan moral anak.
1. Menghalangi, hukuman menghalangi pengulangan tindakan yang tidak
diinginkan oleh masyarakat.
2. Mendidik, sebelum anak mengerti peraturan, maka dapat belajar bahwa
tindakan tertentu benar dan yang lain salah, dengan mendapatkan
hukuman karena melakukan tindakan yang salah, dan tidak menerima
hukuman bila melakukan tindakan yang diperbolehkan. Dan dengan
meningkatnya usia, mereka belajar peraturan terutama lewat pengajaran
verbal. Tetapi mereka juga belajar dari pengalaman bahwa jika mereka
gagal mematuhi peraturan sudah barang tentu mereka akan mendapatkan
hukuman. Aspek edukatif lain dari hukuman yang sering kurang
dipehatikan adalah membedakan besar kecilnya kesalahan yang diperbuat
mereka.
40 Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 168 41 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 84
31
3. Memberi motivasi untuk menghindari dari perilaku yang tidak diterima
masyarakat.
Dengan demikian selagi anak masih bisa dididik dengan lembut dan
penuh kasih sayang, maka jangan sekali-kali orang tua melayangkan
tangannya. Kita tahu bahwa hukuman dalam pendidikan anak merupakan
metode terburuk yang sedapat mungkin kita hindari, akan tetapi dalam kondisi
itu harus dipergunakan. Oleh karena itu, hukuman harus dianggap sebagai
metode kuratif yang bertujuan untuk memperbaiki anak yang melakukan
kesalahan.
D. Syarat Penerapan Ganjaran dan Hukuman
Masalah ganjaran dan hukuman berhubugan erat dengan topik
menimbulkan minat anak didik terhadap proses belajar. Banyak para pendidik
atau guru yang menggunakan ganjaran dan hukuman sebagai cara untuk
mendorong anak didik untuk belajar. Alasan mereka dalam hal ini adalah bahwa
anak memerlukan rasa harga diri dan keberhasilan untuk melanjutkan
kemajuannya, dan untuk menjadikannya mengetahui bahwa kelengahan dan
keburukan hasil perbuatan ada akibatnya.42 Di antara cara untuk membuat anak
didik merasakan keberhasilannya adalah kita puji dia, atas perbuatan yang patut
dipuji, dan di antara cara untuk mengingatkannya adalah dengan menggunakan
hukuman, dan hukuman itupun harus dimulai dari yang paling ringan dulu,
hukuman fisik baru boleh dilakukan sebagai alternatif terakhir. Dianjurkan bagi
para pendidik, guru maupun orang tua yang percaya akan cara ini harus
mengetahui tentang hakekat yang berhubungan dengan ganjaran dan hukuman.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai acuan dasar dalam
memberikan ganjaran, sehingga mampu memotivasi perilaku baik anak didik
sebagai berikut :
42 Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), cet. 2, hlm. 30
32
1) Untuk memberi ganjaran yang pedagogis perlu sekali guru mengenal betul-
betul muridnya.
2) Ganjaran yang diberikan anak jangan sampai menimbulkan cemburu atau
iri hati anak yang lain.
3) Memberikan ganjaran hendaklah hemat
4) Jangan memberikan ganjaran dengan menjanjikan terlebih dahulu sebelum
anak melakukan sesuatu .
5) Pendidik harus berhati-hati memberikan ganjaran, jangan sampai ganjaran
yang diberikan anak berubah fungsi menjadi upah.43
Ganjaran tidak harus berupa barang, maka dari itu pujian, perhatian,
penghargaan dan lainnya itu akan lebih berkesan. Dengan keberhasilan anak didik
dalam proses belajar mengajar itupun sudah merupakan hadiah, sehingga anak
didik merasa puas dan lega terhadap dirinya. Hal itu akan membawa kemajuan
yang berkelanjutan. Dan dalam memberikan hadiah hendaknya disesuaikan
dengan keadaan dan sifat dari aspek yang menunjukkan keistimewaan prestasi.44
Sehingga dapat dikatakan, pemberian ganjaran yang berbentuk materi
haruslah sesuatu yang menarik dan digemari anak, hadiah haruslah secukupnya,
bersifat wajar dalam batas-batas tertentu serta tidak berlebih-lebihan, tidak terus
menerus, karena dengan seringnya memberi ganjaran akan berakibat tidak baik
yang menjadikan anak manja dan hanya bekerja untuk suatu ganjaran. Hendaknya
ganjaran langsung diberikan setelah melakukan perbuatan itu, sehingga terjadi
hubungan jelas antara perbuatan dan ganjaran yang diperoleh karenanya.
Demikian pula hukuman yang diterapkan para pendidik baik di rumah
atau sekolah berbeda-beda. Dari segi jumlah dan tata caranya, tidak sama dengan
hukuman yang diberikan pada orang umum.
43 Ngalim Purwanto, op. cit., hlm. 184
44 Zakiah Daradjat, op. cit., hlm. 30-31
33
Hukuman yang bersifat pendidikan (pedagogis), harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta, kasih dan sayang.
b. Harus didasarkan pada alasan “keharusan”.
c. Harus menimbulkan kesan di hati anak.
d. Harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan kepada anak didik.
e. Diikuti dengan pemberiam maaf dan harapan serta kepercayaan.45
Adapun Hukuman Berupa Fisik, Athiyah al-Abrasyi Memberikan Kriteria
Yaitu :
a. Pemukulan tidak boleh dilakukan pada anak didik dibawah umur 10 tahun
b. Alat pemukulnya bukan benda-benda yang membahayakan, misalnya lidi,
tongkat kecil dan lain sebagainya.
c. Pukulan tidak boleh lebih dari tiga kali, dan
d. Hendaknya diberi kesempatan untuk tobat dari apa yang ia lakukan dan
memperbaiki kesalahan yang pernah mereka kerjakan.46
Sedangkan Rasulullah menetapkan hukuman sebagai metode memberikan
batas-batas dan persyaratan sehingga tidak keluar dari maksud dan tujuan
pendidikan Islam yaitu:
1. Pendidik tidak menggunakan hukuman kecuali setelah menggunakan semua
metode.
2. Menunjukkan kesalahan dengan pengarahan
3. Menunjukkan kesalahan dengan kerahmatan
4. Menunjukkan kesalahan dengan isyarat dan kecaman
5. Menunjukkan kesalahan dengan memutuskan hubungan47
45 Arma’i Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat pers,
2002), hlm. 131 46 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Loc. cit. 47 Abdullah Nashih Ulwan, op. cit., hlm.316-324
34
Begitu juga yang dikatakan oleh Muhaimin dan Abdul Majid yang dikutip
oleh Arma’i Arief dalam bukunya “Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Islam”. bahwa hukuman yang diberikan anak haruslah mengandung makna
edukasi, merupakan jalan atau solusi terakhir dari beberapa pendekatan dan
metode yang ada, dan diberikan setelah anak didik mencapai usia 10 tahun
sebagaimana hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud tentang
perintah sholat.48
Sedangkan Abdullah Nashih Ulwan berpendapat bahwa metode yang
dipakai Islam dalam upaya memeberikan hukuman pada anak ialah :
a. Lemah lembut dan kasih sayang adalah dasar pembenahan anak.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Bukhari
6'9��=s-Bq�3!<���=s-Bq�3A�-�|��9��5�3��c�$�����4=5�_��:k��v "� ��@�� Q9�x ���c�$~ �.-="����c�o��6�$����-p|L������-p���3����PD=|��L�����-j@� ����<"�������&V�
�
“Kami diberitahu Adam, kami diberitahu Syu’bah, dari Abi Tayyakh, ia berkata: saya mendengar Anas bin Malik ra berkata, Nabi Saw bersabda: Permudahkanlah dan jangan kalian persulit, dan berilah kabar gembira dan janganlah kalian beraku tidak simpati”. (H.R. Bukhari)
b. Menjaga Tabi’at anak yang salah dalam menggunakan hukuman.
c. Dalam upaya pembenahan, hendaknya dilakukan secara bertahap, dari yang
paling ringan hingga yang paling keras.50
Pedoman dan petunjuk praktis bagi para orang tua, guru dan para pendidik
dalam memberikan pengajaran dan pendidikan yang benar dan lurus bagi anak-
anaknya, sesungguhnya dapat mencontoh pada akhlak Rasulullah dan sikap serta
48 Arma’i Arief, op. cit., hlm. 132 49�Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I, (Beirut-Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992),
hlm. 31�� 50 Abdurrazak Husain, op. cit., hlm. 102
35
tindakan para sahabat terhadap kaum muslimin pada masa itu, yang seharusnya
memberi inspirasi kepada kita semua dalam mendidik dan mengajar anak-anak.51
Demikianlah kiranya tahapan yang harus diperhatikan bagi para pendidik.
Sesungguhnya para pendidik tidak boleh melalaikan metode yang efektif dalam
membuat anak menjadi jera. Sehingga para pendidik harus berlaku bijaksana dan
sewajar mungkin dalam memberikan/menerapkan ganjaran dan hukuman pada
anak didik. Islam mengakui bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci,
kedua orang tualah yang menjadikan ia sebagai nasrani dan majusi, demikian
tergantungnya anak oleh para pendidik (orang tua). Perlu diingat, karena ganjaran
dan hukuman dalam pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari konsep tujuan
pendidikan Islam itu sendiri.