kepingan masa sebuah ringkasan by adi hardianto nugroho
DESCRIPTION
Sebuah narasi sederhana namun satir bagi mereka yang mau berpikir. Celoteh-celoteh tentang manusia dan partikel-partikel yang ada di sekelilingnya. Media sederhana dalam kerangka perjuangan "menolak Lupa". "Sapere Aude (Berani Berpikir)"[]TRANSCRIPT
2
"... seperti biasa tapi tak biasa. Sungguh luar biasa. Cuma ada
tiga di dunia. Dimanakah wajah kotaku yang dulu indah?.
Tergantikan tuntutan zaman..."
Sepenggal lirik lagu dari Tamasya menjadi theme song
untuk menggambarkan kondisi gumuk di Kabupaten Jember.
Salah satu ciri khas kota yang mulai dipertanyakan
keberadaannya di era moderen seperti sekarang. Hal ini
disebabkan eksploitasi besar-besaran dan tak terkendali
semakin marak akhir-akhir ini.
Menurut sejarahnya, formasi gumuk di Jember
diyakini sebagai bekas aliran lava dan lahar dari kawah
gunung Raung. Aliran ini lalu tertutup oleh bahan vulkanik
yang lebih muda. Sampai ketebalan puluhan meter yang
berasal dari gunung Raung sekarang. Kemudian terjadi erosi
pada bagian-bagian yang lunak, yang terdiri atas sedimen
vulkanik lepas selama kurang lebih 2000 tahun. Lalu,
menghasilkan bentukan topografi gumuk hingga terlihat
seperti saat ini (Verbeek dan Vennema, 1936).
Apa sebenarnya fungsi keberadaan gumuk?
Bukankah lebih baik kandungannya dikeruk kemudian dijual,
jadi masyarakat bisa diuntungkan dari segi ekonomi.
3
Pendapat tadi tak salah memang, tapi apakah gumuk bisa
muncul dan lahir kembali? Tentu tidak. Lalu, ketika gumuk
benar-benar habis, apa yang akan terjadi sampai-sampai
muncul gerakan untuk menyelamatkan gumuk?
Menurut beberapa sumber, gumuk ternyata punya
fungsi dalam siklus ekologi. Fungsi gumuk-gumuk itu tak
hanya sebatas sebagai pemanis kontur Jember saja, tapi lebih
dari itu. Sebagai tandon hujan sekaligus filter air bersih saat
kemarau tiba. Sebagai paru-paru kota, juga berfungsi sebagai
lahan konservasi bagi sekawanan satwa kecil macam burung,
kera dan mamalia kecil lainnya.
Jember, bisa dikatakan sebagai daerah lembah,
karena terletak diantara dua perbukitan besar yaitu Argopuro
dan Gumitir. Kondisi geografis inilah yang membuat Jember
berpotensi mengalami cuaca ekstrem berupa angin puting
beliung, yang beritanya beberapa waktu lalu bisa kita lihat di
layar kaca. Disinilah fungsi dari gumuk-gumuk kecil itu,
sebagai pemecah konsrentrasi laju angin agar bisa sedikit
terkurangi.
Seperti yang dikatakan Priyo, pegawai Kantor
Lingkungan Hidup Jember. "Mengkhawatirkan, kehilangan
gumuk di daerah Jember dapat menyebabkan siklus banjir
4
lima tahunan terjadi lagi, hal ini disebabkan serapan utama air
yang ada di daerah Jember hilang." (Studi gumuk Jember -
Palapa MIPA UNEJ).
Selain itu, salah satu situs berita online -
beritajatim.com menyebutkan salah satu wilayah perumahan
di kabupaten Jember airnya sudah tidak layak lagi untuk
dikonsumsi. Hal ini karena sumur-sumur warga sudah
tercemari oleh bakteri e-coli. Semakin jelas saja peran dan
fungsi keberadaan gumuk bagi masyarakat sekitarnya.
Dilatarbelakangi keprihatinan akan kondisi gumuk di
Jember itulah sekelompok pemuda-pemudi kemudian
membuat kegiatan berorientasi penyelamatan gumuk.
Beranggotakan sejumlah komunitas yang ada di Jember
seperti Pers Mahasiswa Jember, YGV (Young Gun Veins), Cak
Oyong (Pemilik Sekolah Bermain), dan RZ Hakim (Mas Bro -
aktivis lingkungan) sepakat menggelar acara bertema SAVE
GUMUK.
SAVE GUMUK, nama yang mewakili harapan mereka
agar gumuk-gumuk yang ada saat ini khususnya di Jember
dipertahankan keberadaannya alias 'disimpan'. Acara diskusi
mengenai pentingnya keberadaan gumukpun dilakukan.
Acara ini diharapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk
5
mempertahankan dan menyelamatkan keberadaan gumuk
yang mulai habis tergerus moderenisasi.
Respon masyarakat terkait acara ini cukup positif. Hal
ini terbukti setelah acara SAVE GUMUK pertama (28/9/2013)
di gumuk gunung batu, muncul tanggapan positif dari
komunitas lainnya. Menurut Teguh (sekjend PPMI Jember
2012-2014) sekaligus koordinator acara, tanggapan positif
tersebut berupa keikutsertaan komunitas lainnya dalam
menggulirkan isu SAVE GUMUK dengan mengadakan acara
penggalangan dana untuk membeli gumuk.
Menurut Teguh, kegiatan pembelian gumuk ini atas
nama komunitas penyelamatan gumuk yang tergabung dalam
SGC (Save Gumuk Community). Setelah pembelian gumuk,
komunitas ini akan mengelola gumuk, memaksimalkan fungsi
dan mempertahankan keberadaan gumuk. Memaksimalkan
seperti apa? Gumuk akan dikelola sesuai dengan keinginan
pelestarian alam. Membuat gumuk menjadi lebih produktif
dengan dipelajari ekosistem yang ada, bahkan muncul
wacana bahwa gumuk akan dijadikan lahan eco tourism.
"Yang masih menjadi dilema disini masalah batuan
yang ada di gumuk Jember yang masih memiliki nilai ekonomi
tinggi dan menjadi sumber ekonomi masyarakat. Hal itu
6
kemudian tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat
mengenai pelestarian gumuk.", sambung Teguh.
Terkait SAVE GUMUK, gerakan ini memiliki beberapa
macam konsep, diantaranya 'Koin Untuk Gumuk' yang
nantinya digunakan untuk membeli gumuk. ''Nantinya gumuk
dijadikan lebih produktif seperti penjelasan di atas. Selain itu,
mungkin mempertahankan kondisi gumuk yang sudah dibeli.
Ketika gumuk tersebut dibiarkan seperti apa adanya,
masyarakat masih bisa memanfaatkannya. Seperti
menjadikan gumuk sebagai lahan pertanian dan penyimpanan
cadangan air di wilayah tersebut'', sambung Teguh. Selain itu
gerakan ini juga membantu donasi gumuk lewat penjualan
kaos SAVE GUMUK yang nanti dana tersebut akan dialirkan
untuk membantu program konservasi penyelamatan gumuk.
Selamatkan aset kota kita! Selamatkan Gumuk!
Salam SAVE GUMUK! []
*Tulisan ini pernah dimuat pada rubrik 'Budaya' Buletin Demokrasi Ecpose
(Buldokc) No.56 Februari 2014
8
“Dia akan dianggap manusia ketika dia bisa me-manusia-kan
manusia-manusia lainnya”
Era teknologi semakin maju pesat. Hampir di semua
sendi kehidupan kini tak ada yang luput dari cumbuan mahluk
satu ini. Mulai dari yang namanya komputer sampai yang lagi
'booming' di gerombolan kanca-kancaku sekarang,
smartphone kalo ndak salah.
Terus, kenapa dengan smartphone, teknologi, dan
segala tetek bengeknya? Kalau masalah tiga hal diatas tadi
aku ndak ada masalah. Tapi, efeknya itu lho, njancuk'i. Asu-
lah pokok'e.
Kemajuan pesat teknologi tadi akhirnya mewabah ke
hampir semua kanca-kancaku. Lha yang nggarai aku misuh-
misuh kui begini, ketika mereka asik dengan smartphone dan
sekutunya tadi mereka jadi lupa diri. Kanca-kancaku yang
tadinya sering ketemu, kumpul bareng (tapi ndak kumpul
kebo), ngopi sekarang berubah. Bukan tiba-tiba jadi ndak
pernah ngopi. Ngopinya tetep, tapi forum ngopinya tadi jadi
beku. Kaku. Mati. Terus, ndak salah juga kan aku ngomong
ASU!! kalau sudah begini keadaannya.
9
Yang namanya teknologi, gadget, dan kroni-kroninya
ini selayaknya membantu kerja manusia toh? Akhirnya terkait
situasi semacam ini muncul begini 'teknologi itu bisa
mendekatkan yang jauh'. Ungkapan itu sama sekali ndak
meleset memang. Tapi, akhirnya ada ungkapan yang lebih
mathuk. Begini, 'teknologi itu mendekatkan yang jauh,
sekaligus menjauhkan yang dekat. Ya, aku rasa itu hal yang
paling tepat terkait relita yang aku alami sendiri. Lha, kalau
sudah di tempat ngopi terus manungso-manungsonya podho
meneng (diam), terus gae opo ngopi bareng?
Aku kembalikan ke kalimat di awal tadi. Kalau
manungso (manusia) mau dianggap manungso, yo mbok ya'o
(ya seharusnya) memanusiakan manusia lainnya.
Ini hanya realita sempit yang coba saja ejawantahkan
dan saya bingkai. Apa kalian merasakan hal yang sama? Atau
kalian malah bagian dari golongan yang saat kumpul bareng
kanca-kancamu lebih asik ber-bbm, ber-line, ber-sms atau
ber-ber yang lain daripada ngobrol dengan kawan kalian?
Saat kalian melakukan hal-hal yang asosial macam contoh
diatas, apakah kalian pantas menyebut diri kalian manungso
alias manusia?
12
Pada akhirnya, sedikit banyak saya mulai menemukan
tujuan dalam mengisi ruang virtual ini. Bukan soal
menghegemoni orang lain atau sebagai ajang eksistensi diri.
Ini hanya soal merawat ingatan. Secuil cara saya untuk
menolak lupa dan dikangkangi zaman, memunguti kembali
ingatan-ingatan yang berserak tak karuan.
Mungkin, tujuan mulia lainnya hanya sedikit berbagi
kisah serta secuil pengalaman pribadi. Sebuah keinginan yang
sederhana. Hal lain mengenai konsistensi. Ruang yang mulai
terlupakan dengan dalih 'kesibukan', 'tugas yang
memberatkan' serta musuh paling bebal dan masih saja sulit
untuk ditundukkan 'kemalasan' dan 'kebanyakan alasan'.
Saya rasa akhirnya ini hanya soal 'mau' lalu
direalisasikan segera. Sekali lagi ini hanya soal 'mau' lalu
'laku'. Karena tak pernah ada hal yang dianggap 'nyata' bila
tak ada rupa (materiil) - kalau tak salah begitu dhawuh
simbah Marx.
Mari Me-Nyata lewat 'Mau' lalu 'Laku'.[]
14
'Ngopi oleh pahala yo ngene iki'. Celetukan salah
seorang pemuda disampingku. Hahahaha.... Kalian mungkin
bertanya. Celetukan tadi keluar dari cocot salah satu
pengunjung warung kopi. Terus, apa yang jadi dasar
celetukannya? Jadi, disini merupakan salah satu
tempat ngopi di kota ini. Bukan kafe elit, bahkan jauh dari
kata mewah. Ini cuma halaman parkir stasiun radio di kotaku.
Aneh, mungkin buat kalian yang belum pernah kesini. Kalau
main ke Jember coba mampir kesini. Prosalina. Ya, seperti
yang kubilang tadi halaman parkir radio ini setiap malam
disulap jadi tongkrongannya pemuda-pemudi.
Nah, kembali ke ngopi yang berpahala. Kok, bisa
ngopi berpahala? Sepintas kemudian aku baru ngeh. Di
stasiun radio ini tiap malam di bulan ramadhan ini
dijadikan medan laga buat umat-umat yang getol baca ayat-
ayat suci milik-Nya. Lomba Tilawatil Qur'an. Ya...ya... bener
juga soal 'ngopi berpahala' tadi. Kalau ndak salah (berarti
bener cuk), mendengar orang baca Qur'an saja sudah
berpahala, apalagi baca. He.. he.. he.. he.. aku ndak nyuruh
kalian baca Qur'an lho, masalah itu sih kembali ke pribadi
masing-masing wae. Kalo sedikit dibahas, enak juga kalo
tiap nyangkruk ngopi terus didendangkan ayat Tuhan macam
15
begini. Mungkin, bisa jadi pahala kita sedikit-sedikit bakal
bertambah. Hwa.. hwa.. ha.. ha..
Menggok sedikit. Dua kanca di depanku lagi
asik ngrasani capres-cawapres. Asyuu!!! media begitu gila
sepertinya menyihir penikmatnya. Korbannya ya sohib-
sohib di depan hidung saya ini. Gak salah sih pemuda-pemudi
pada sering ngompol (Ngobrol Politik) akhir-akhir ini. Malah,
baguslah berarti mereka ya ndak sekedar mbulet masalah
kuliah-tugas-seminar, dan tugas akhir. Se-enggak-nya mereka
masih sedikit aware-lah sama tempat dimana mereka cari
makan dan berbuat macem-macem selama ini.
Terus, sakjane tulisan iki cerito opo? Tak perlulah kalian pikir
terlalu dalam. Aku pikir ini merupakan awal, salah satu
usahaku supaya tak hilang dipecundangi zaman. Toh, jangan
lupa simbah pram juga pernah dhawuh begini: '... dan bila
umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah
dengan tulisan'. Ya begitulah, tak perlu dipikir dalam-dalam
toh ini cuma diary kecil. Selamat buat pak Joko yang
akhirnya kepilih jadi orang nomer satu di negara ini.
Kalau kanca-kanca apes kesasar disini, aku cuma bisa
bilang selamat menikmati, meski ini bukan berkatan tahlilan.
18
Jember Tiga Belas Februari 2015 3:06 dini hari.
Mataku masih saja tak mau dikatupkan, efek kopi yang ku
tenggak hari ini mungkin. Seingatku hari ini dua gelas kopi
sudah masuk di lambungku. Pertama, pagi tadi sebelum diriku
‘berurusan’ dengan birokrasi kampus untuk mengurusi
penundaan pembayaran biaya kuliah. Lalu, yang kedua
kalinya baru saja tandas sekitar sejam lalu sebelum tandasnya
si-hudi menuju alam baka eh, salah maksudnya alam
mimpinya. Ah, semoga dia memimpikan hal diharapkannya.
Bermimpi tentang kegalauan dan segala tetek bengek jalan
yang harus dia tempuh dengan ‘si-dia’ yang menurutnya bakal
menemui ‘persimpangan’ yang takkan bisa dihindari, begitu
kalau ndak salah. Tak tau berapa jam tadi kita bicara panjang
lebar berbagai masalah mulai bahasan mengenai saya yang
masih saja setia dengan yang namanya ‘lupa’. Ya, saya ndak
paham kenapa saya mengidap ‘eSeMeS (Short Memory
Syndrome)’. Yang saya ingat hanya dari saya SD dulu saya
sering sekali lupa membawa perlengkapan sekolah, lupa kalau
hari itu ada ulangan harian sampai hampir selalu lupa
mengerjakan tugas. Akibatnya ya bisa ditebak, setiap ada
siswa yang dihukum maju kedepan kelas karena tidak
mengerjakan tugas, sosok saya hampir selalu muncul disana.
19
Hal yang memalukan sebenarnya, tapi saya memilih
untuk menceritakannya kini agar saya ingat suatu hari nanti.
Seperti tagline blog yang beberapa hari lalu saya baca ‘saya
pelupa maka saya menulis’ begitu katanya. Lalu, obrolan
berpindah ke hmmm apa tadi yah? Ah, sial saya lupa lagi.
Yang saya ingat kita membicarakan masalah karya, seperti
apa sih sebenarnya karya itu?. Beberapa yang saya ingat lagi
karya itu ya hasil alias buah dari pemikiran. Lalu, pemikiran
yang seperti apa? Yah, tergantung karya seperti apa yang
dihasilkan. Ibarat seorang seniman rupa, mereka dikatakan
berkarya bila dia menghasilkan seni rupa, seperti desain,
lukisan, gambar, sketsa dan lain sebagainya. Terus,
bagaimana dengan petani dan nelayan? Apakah mereka juga
tidak berkarya? Kalau dalam konteks ini ‘karya’
mereka ya apa yang mereka lakukan. Kalau nelayan ya melaut
dengan keahliannya melihat arah angin kek, merajut jala,
ataupun membuat perahu. Kalau mereka petani ya mereka
mulai dari memilih benih yang bagus, menanam benih,
mengairi lahan sawahnya, hingga bagaimana mereka
memanen padi mereka.
Setelahnya, mmmm ah sial saya mulai lupa lagi. Oh
iya, dalam pembicaraan ini saya di cap layaknya Mario Teguh
20
oleh si-Hudi. Ya, benar Mario eh, Bapak Mario Teguh yang itu.
Pria setengah baya yang muncul setiap minggu di salah satu
stasiun televisi swasta negeri ini. Alasannya simple sih, ini
karena sebelumnya saya mencoba memberikan motivasi buat
dia segera merampungkan tugas akhirnya (baca:
skripsweet).Hwahahahahahaha… sok bijak sekali ya, padahal
saya juga masih sedang tenggelam tak berdaya dalam
kemalasan. Kemudian pembicaraan melebar kearah
organisasi yang sempat kita diami bersama tempo hari. Dia
bercerita kalau beberapa waktu lalu dia di-curhati oleh adik
tingkatnya di organisasi kalau kawan-kawannya disana mulai
sulit diajak bekerja sama. Masing-masing person sibuk dengan
dirinya masing-masing, yang bisa diajak sharing pemikiran
hanya satu-dua orang. Belum lagi soal mengayomi adik-adik
maba yang menimba ilmu disana. Lalu, saya tanya apa yang
dia katakan. Dia hanya jawab, yaseperti itulah hal yang
dirasakan di kepengurusan yang lalu, dimana pengurus yang
lama juga cukup dibuat pusing untuk meng-upgrade skill adik-
adik mereka. Ah, sudahlah saya rasa kita tak perlu terlalu jauh
megarahkan mereka, toh waktu bakal mengajarkan pada
mereka banyak hal.
21
Meski sudah ngobrol banyak hal ngalor-ngidul saya
masih ndak paham obrolan ini mau dibawa kemana. Tapi,
seperti tagline salah satu acara televisi swasta yang lain
‘asikin aja’ hwahahahahaha… Setelahnya, dia mulai bermain-
main dengan keahliannya. Menggunakan analogi-analogi yang
sering kali sulit saya tangkap maksudnya. Tapi, lama kelamaan
saya mulai paham dia mulai mengarahkan pembicaraan untuk
mengorek informasi pribadi saya. Ah, kawan sudah lama kita
berkawan, sedikit banyak saya paham bagaimana gelagatmu
dan apa yang ingin kamu cari dari obrolan-obrolan yang kau
utarakan. Lalu, dengan bahasa bersayap pula saya ibaratkan
perbincangan ini adalah sebuah pertandingan dua klub sepak
bola, dirimu mulai menusuk masuk wilayah pertahananku.
Tapi, kusampaikan sekali lagi kalau saya sebagai pelatih saya
sudah paham betul bagaimana taktik timmu. Kamu akan
melakukan umpan lambung langsung menuju penyerang yang
kamu plot di area pertahananku. Tapi, kukatakan sekali lagi
saya sudah kenal tipe permainan timmu kawan. Maka, untuk
pertandingan ini saya lebih memilih strategi bertahan,
menempatkan pemain-pemain belakang yang tangguh di area
depan gawang untuk mengantisipasi umpan yang langsung
diarahkan ke jantung pertahananku. Ahahahahaha…
22
Dengan sok bijak juga dia akhirnya menyarankan saya
untuk menulis. Menulis apa? Dia menyarankan coba sekarang
kau bayangkan dirimu jalan dari kampus keluar menyusuri
jalan Jawa lalu berbelok ke jalan Kalimantan, Danau Toba, lalu
melewati Jalan Riau berbelok ke kanan kembali melintasi
Jalan Jawa hingga akhirnya kembali ke kampus. Ah, untuk
apa?,keluhku kemudian. Saya akhirnya hanya menceritakan
saja saya berjalan menyusuri Jalan Jawa disana ada SMPN 3
Jember lalu jejeran toko di kanan kirinya, belok ke kanan
kearah jalan Kalimantan ada sebuah masjid bernama Sunan
Kalijaga persis di depan ruko dimana Macapat Café berdiri.
Perjalanan dilanjutkan berjalan kearah jalan Mastrip, disana
berdiri Politeknik Negeri Jember (Polije) kemudian beberapa
meter setelahnya dulu ada sebuah rental pengetikan yang
sering saya datangi bersama ayah saya untuk sekedar belajar
mengoperasikan komputer. Perjalanan dilajutkan kemudian
beberapa puluh meter dari sana terdapat sebuah
perempatan. Dari sana perjalanan berbelok ke kanan kearah
jalan riau, di jalan ini ada salah satu café yang dulu sering jadi
tempat nongkrongku bersama kawan-kawan yang lain,
Arongan café namanya. Lalu, beberapa meter dari sana di
kanan jalan ada warung kopi juga yang cukup familiar
23
Kampoeng Mbah Giman namanya, ada memori yang menarik
segaligus menjijikan disini, oleh sebab itu saya tak berniat
untuk menceritakannya secara detail disini. Oh bukan, saya
tak akan menceritakannya sama sekali. Cukup.
Perjalanan mencari kitab suci berlanjut. Eh, ndak cari
kitab ding maklumlah saat ini jam netbook si-hudi
menunjukkan jam 4.28 pagi, jadi mohon dimaklumi lah saya
juga manusia biasa yang juga butuh istirahat (baca:tidur).
Perjalanan berlanjut dan berbelok kearah jalan jawa untuk
kemudian kembali ke tempat yang ‘katanya Kampus Hijau’.
Ya, itu yang dikatakan di halaman awal website kampus
terbesar di kota kecil ini. Whooooaaaammmmssss…… ah,
kelopak mata saya sudah mulai minta saling dijodohkan.
Sudahlah, tak perlu diteruskan. Ingat kata bang Rhoma,
begadang jangan begadang kalau tidak ada kopinya
hwahahahahaha…. Ya benar, sahabat setia ini sudah tandas
sejak beberapa jam yang lalu. Okelah sekedar menyalin
kalimat si- ‘bayu skak’ di setiap akhir video-video ‘ge-je’nya:
“Daaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa………….”[]
25
“Orang boleh setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis
ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”
– Pramoedya Ananta Toer –
Menulis. Yah, salah satu hal yang bisa dibilang
kegiatan yang menyulitkan mungkin. Banyak alasan terlontar
saat orang akan mulai menulis. Mulai dari tidak paham tata
bahasa lah, yang bilang ndak tau apa yang mau ditulis dan
banyak alasan-alasan lainnya. Termasuk saya, yang sering
dibingungkan hal-hal remeh macam begini. Tapi, saya
akhirnya sedikit teringat kata salah seorang kawan, begini
kalau tidak salah: “nulis yo nulis ae” (menulis ya menulislah
saja). Dengan dasar asumsi itu akhirnya saya mulai menulis
lagi.
Apa sih enaknya nulis? Orang-orang yang memilih
bergelut dengan tulisan kadang dipandang
melankolis, menye-menye, dan anggapan minor lainnya. Tapi,
coba kalian lihat, napoleon bonaparte sempat berujar: “lebih
baik menghadapi seribu tentara daripada berhadapan
dengan sebuah pena”. Lihat, betapa kerennya sebenarnya
memilih jalan untuk bercumbu dengan tulisan. Dari kutipan
bonaparte tadi, asumsi menulis dekat dengan hal menye-
menye jadi rontok kan?
Muncul lagi pernyatan begini, aku ndak bisa nulis. Ah,
pernyataan konyol apalagi ini. Hal ini wajar terlontar dari
mulut seoang lulusan SD atau malah orang yang belum
pernah sekalipun mengecap dunia pendidikan. Tapi anehnya,
ini terlontar dari mulut seorang mahasiswa. Aneh bukan? Tak
peduli ia punya latar belakang semacam apa, tapi setidaknya
sudah lebih dari sembilan tahun dia melakoni ritus yang
dinamakan me-nu-lis.Saat hal ini dilemparkan pada yang
26
bersangkutan, dia malah bingung, lalu melempar pertanyaan
balik apa yang harus aku tulis?. Bagi saya – masih terdoktrin
kata si Tohan, sekali lagi nulis yo nulis ae (menulis ya, tulis
saja). Pun, banyak hal yang bisa ditulis kan? Pengalaman
sehari-hari macam diary atau bagi yang hobby mendengar
musik review saja musik-musik yang sering kalian dengar.
Masalah nanti ada yang baca atau tidak, ah itu urusan
belakang, yang penting nulis. Coba baca lagi kutipan di awal
tulisan ini.
Kalau masih meragukan ‘kekuatan’ tulisan, coba saja
bayangkan kerajaan-kerajaan di Indonesia jaman bahela.
Bayangkan jika mereka tidak susah-susah mengukir batu yang
beratnya ndak ketulungan. Ya, kita ndak akan belajar
sejarah. Hahahahaha Bukan semacam itu menjawabya.
Jikalau hal itu tidak terjadi pasti kita tidak tahu siapa kita
sebenarnya, bahasa kerennya kehilangan jati diri.
Menulis juga bentuk melawan pada lupa dan alpa.
Kenapa? Ini pendapat saya pribadi yang sering lupa, tulis saja
segala hal, apa saja, kalau di kemudian hari kita melewatkan
sesuatu, tinggal kita cari lagi saja tulisan-tulisan kita
terdahulu. Kalau bingung media penyimpanan, ayolah ini
sudah jamannya internet, banyak ruang di dunia maya yang
bisa dijadikan sarana penyimpanan. Termasuk halaman
macam begini.
Ah, sudahlah saya tak mau bicara, eh menulis panjang
lebar. Mulai saja menulis. Tak akan ada yang menyalahkan,
kita bakal menulis apa saja,pokok’e nulis. Salam.[]
28
Bernafaslah nak, selagi bisa. Bernafaslah selagi
pohon-pohon disini belum tumbang karena perkasanya mesin
dari Negara-negara maju itu. Hirup nak, hirup yang puas
udara yang masih perawan ini sebelum karbon dari cerobong
dan pantat-pantat kendaraan mencekik kerongkonganmu.
Berpetualang dan jejakkan kaki mungilmu diatas tanah
lembab dan guguran daun ini nak, selagi ia belum menjelma
aspal yang panas dan beton keras. Sebab nanti kaki kecilmu
akan terluka. Basuhlah wajahmu sekaligus ceburkan dirimu di
sungai yang jernih itu nak. Berenang dan menarilahlah
bersama ikan-ikan disitu nak, sebab tak lama lagi air sungai
itu akan keruh digantikan limbah, sampah, dan segala kotoran
dari tangan-tangan yang tak bertanggungjawab. Mari sini nak.
Pandanglah segera langit biru diatas sana. Lihat betapa
gembiranya awan berarak menggoda didepan gagahnya si-
langit biru. Sebab itu tak akan lama karna asap-asap pabrik
para konglomerat itu akan menggantinya dengan abu-abu
dan hitam.
Ah, kenapa kau menangis nak? Janganlah bersedih.
Busungkan dadamu kuatkan hatimu karena inilah dunia, nak.
Segala busuk dan rusak ini karena mahluk yang bernama
‘manusia’. Iya, nak ma-nu-sia. Mahluk yang bangga akan
derajat dan pikirannya.
Tapi, katanya ada yang berjuang mempertahankan
kelangsungan bumi ini? Bukankah mereka juga ma-nu-sia?
Bukan nak, itu hanya dongeng belaka. Mereka yang katanya
berjuang demi alam ini hanya bualan, sebab mereka lebih
butuh uang daripada pepohonan. Mereka lebih sayang emas
ketimbang air bersih yang jelas-jelas mereka butuhkan.
29
Lalu, secara tiba-tiba mereka mati. Mati di tanah
mereka sendiri. Mati karena terinjak sepatu seorang
petualang yang katanya mencintai alam.