kepemimpinan & kinerja
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian kepemimpinan dan kepala sekolah
Pengertian kepemimpinan dan manajemen sering dipandang sebagai hal
yang sama, meskipun sebenarnya terdapat perbedaan diantara keduanya. Pada
dasarnya, pengertian manajemen lebih luas daripada kepemimpinan.
Kepemimpinan merupakan salah satu aspek dari manajemen dimana dalam hal
manajemen pencapaian tujuan organisasi merupakan hal yang utama, sedangkan
pengertin kepemimpinan berlaku untuk setiap orang atau individu. Jadi,
kepemimpinan berlaku bagi orang per orang Sedangkan manajemen selalu
dihubungkan dengan kelompok atau organisasi. Meskipun demikian dalam
pengertian sehari- hari kedua konsep tersebut sering disamakan.
Kepemimpinan merupakan upaya untuk mempengaruhi tingkah laku orang
lain agar melakukan kegiatan seperti apa yang diinginkan oleh pemimpin itu.
Kepemimpinan merupakan hal yang tidak pernah terlewatkan oleh setiap orang.
Kapan saja, dimanapun dan siapapun juga akan selalu berhubungan dengan
konsep tersebut.
Kata kepemimpinan merupakan bentuk kata dari imbuhan ke-an dari kata
dasar pemimpin. Pemimpin dan kepemimpinan memiliki kaitan yang erat namun
ada perbedaan yang tegas antara keduanya. Kepemimpinan merupakan inti dan
motor penggerak daripada administrasi dan manajemen atau merujuk kepada
proses kegiatan, sedangkan pemimpin merupakan unsur yang sangat menentukan
6
7
lancar tidaknya suatu organisasi dalam mewujudkan tujuannya atau merujuk
kepada pribadi seseorang,
Terry dalam Nawawi (2003: 23) mengemukakan bahwa:
Kepemimpinan adalah hubungan dimana seseorang yakni pemimpin
mempengaruhi pihak lain untuk bekerjasama secara suka rela dalam
mengusahakan (mengerjakan) tugas-tugas yang berhubungan, untuk
mencapai hal-hal yang diinginkan pemimpin tersebut”.
Nawawi (2003: 26) mengemukakan bahwa: “kepemimpinan adalah
kegiatan mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku orang lain, agar
melakukan kegiatan/ pekerjaan untuk mencapai tujuan yang akan dicapai seorang
pemimpin”.
Thoha (2010: 9) mengemukakan bahwa: “kepemimpinan adalah kegiatan
untuk mempengaruhi perilaku orang lain, atau seni mempengaruhi perilaku
manusia baik perorangan maupun kelompok”.
Pendapat di atas menekankan bahwa kepemimpinan mencakup kegiatan
mempengaruhi orang lain agar tujuan yang di inginkan dapat tercapai. Hal senada
dikemukakan oleh Sutisna dalam Mulyasa (2007: 107) bahwa: “kepemimpinan
adalah proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha ke
arah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu”.
Dharma dan Usman (2008: 2) menegemukakan bahwa:
Salah satu defenisi kepemimpinan yang agak memuaskan semua pihak
adalah defenisi kepemimpinan menurut Hughes, et al. (2002) yang
menyatakan kepemimpinan ialah proses mempengaruhi orang atau
kelompok untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien.
Defenisi kepemimpinan menurut Hughes et al. relatif memuaskan karena:
(1) defenisi tersebut relatif komprehensif yang ditandai oleh ada orang
yang memimpin (leader) untuk berproses, ada orang yang dipimpin
(follower) untuk berproses, dan ada tujuan yang efektif dan efisien yang
ingin dicapai (situasional); (2) variabelnya relatif unik yaitu menyangkut
8
manusia dan lingkungannya; (3) variabel terpadu yaitu memadukan ketiga
interaksi leader, follower, dan situasional; (4) variabelnya kompleks yaitu
tidak hanya searah (linear) tetapi juga multiarah; dan (5) defenisinya
relatif baru yaitu tahun 2002 atau masih di bawah delapan tahun. Menurut
jurnal pendidikan, teori relatif lama jika sudah delapan tahun ke atas.
Dari beberapa uraian pendapat ahli di atas, dapat diindentifikasi bahwa
unsur- unsur utama dari kepemimpinan adalah
1) Pemimpin sebagai orang yang mempengaruhi.
2) Bawahan atau anggota sebagai orang yang dipengaruhi.
3) Perilaku atau kegiatan sebagai proses mempengaruhi bawahan.
4) Tujuan yang ingin dicapai yakni efektif dan efisien.
Berdasarkan beberapa pengertian dan unsur kepemimpinan di atas, dapat
dipahami bahwa kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki oleh seorang
pemimpin dalam mempengaruhi bawahannya untuk mencapai tujuan.
Kepala sekolah berasal dari dua kata yaitu kata “kepala” dan “sekolah”.
Kata kepala dapat diartikan sebagai ketua atau pemimpin dalam suatu organisasi
atau sebuah lembaga. Sedangkan sekolah merupakan sebuah lembaga yang
digunakan sebagai tempat menerima dan memberi pelajaran. Apabila kedua istilah
tersebut digabungkan akan lahir istilah baru yakni kepala sekolah yang
mempunyai arti tersendiri.
Wahjosumidjo (2003: 83) menyatakan bahwa:
Kepala sekolah dapat didefenisikan sebagai: “seorang tenaga fungsional
guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana
diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat di mana terjadi
interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima
pelajaran”.
9
Sagala (2010: 88) menyatakan bahwa: “kepala sekolah adalah orang yang
diberi tugas dan tanggung jawab mengelolah sekolah, menghimpun,
memanfaatkan, dan menggerakkan seluruh potensi sekolah secara optimal untuk
mencapai tujuan”.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepala sekolah
adalah jabatan formal yang diberikan tugas dan tanggung jawab untuk memimpin
sebuah sekolah dengan memanfaatkan segala potensi yang ada di sekolah maupun
di luar sekolah dan bertanggung jawab penuh terhadap kelancaran proses belajar
mengajar di sekolah.
Akib (2008: 65)mengemukakan bahwa:
Sebagai seorang pejabat formal, kepala sekolah mempunyai tugas
dan tanggung jawab terhadap atasan, terhadap sesama rekan kepala
sekolah atau lingkungan terkait dan kepada bawahan. .... Mengingat
kedudukannya yang terkait kepada atasan/bawahan, maka seorang kepala
sekolah: (1)wajib loyal dan melaksanakan apa yang digariskan oleh atasan,
(2) wajib berkonsultasi atau memberikan laporan mengenai pelaksanaan
tugas yang menjadi tanggung jawabnya, dan (3) wajib selalu memelihara
hubungan yang bersifat hirarki antara kepala sekolah dan atasan.
Kepada sesama rekan kepala sekolah atau instansi terkait kepala
sekolah: (1) wajib memberikan hubungan kerja sama yang baik dengan
para kepala sekolah yang lain, dan (2) wajib memelihara hubungan kerja
sama dengan sebaik-baiknya dengan lingkungan baik dengan instansi
terkait maupun tokoh-tokoh masyarakat dan BP3. Kepada bawahan, kepala
sekolah berkewajiban menciptakan hubungan yang sebaik-baiknya dengan
para guru, staf dan siswa. Sebab esensi kepemimpinan adalah
kepengikutan orang lain.
Jadi, kepemimpinan kepala sekolah adalah kemampuan seorang kepala
sekolah menggunakan pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang
dimilikinya untuk mempengaruhi bawahannya atau tenaga pendidik untuk
mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
10
2. Gaya kepemimpinan situasional
Setiap pemimpin pada dasarnya memiliki perilaku yang berbeda dalam
memimpin para pengikutnya atau mempengaruhi bawahannya. Perilaku para
pemimpin secara singkat disebut sebagai gaya kepemimpinan.
Mulyasa (2007: 108) mengemukakan bahwa:
Gaya kepemimpinan merupakan pola perilaku seorang pemimpin yang
khas pada saat mempengaruhi anak buahnya, apa yang dipilih oleh
pemimpin untuk dikerjakan, cara pemimpin bertindak dalam
mempengaruhi anggota kelompok membentuk gaya kepemimpinannya.
Menurut Usman (2009: 305), “gaya kepemimpinan ialah norma perilaku
yang oleh seseorang pada saat itu memengaruhi perilaku orang lain”.
Menurut Thoha (2010: 49), “gaya kepemimpinan adalah norma perilaku
yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba memengaruhi
perilaku orang lain seperti yang ia lihat”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa gaya kepemimpinan
adalah perilaku, tindakan dan strategi yang dilakukan oleh seorang pemimpin
dalam mempengaruhi pegawai atau bawahannya.
Adanya perbedaan pengetahuan dan tingkat kematangan yang dimiliki
oleh para bawahan membutuhkan perlakuan dan tindakan yang berbeda dari
pemimpinnya. selain itu, pemimpin harus mampu menyesuaikan diri dengan
situasi yang terus berubah. Dharma dan Usman (2008: 7) mengemukakan bahwa:
Bagaimana pun hebatnya kualitas seorang pemimpin, jika tidak mendapat
dukungan pengikut dan situasinya; maka kepemimpinannya akan jatuh.
Sejarah menunjukkan bahwa banyak pemimpin yang kuat kemudian jatuh
karena pengikutnya dan situasinya sudah tidak mendukung.
11
Hughes, et al. Dalam Dharma (2008: 5) mengemukakan bahwa: “tidak
ada satupun gaya kepemimpinan yang tepat diterapkan dalam setiap situasi
melainkan tergantung kematangan pengikut dan situasinya”. Hal senada
dikemukakan oleh Fiedler dalam Mulyasa (2007: 112) bahwa “tak ada gaya
kepemimpinan yang cocok untuk semua situasi”.
Teori- teori di atas menjelaskan bahwa didalam sebuah organisasi, tidak
ada satupun gaya atau perilaku kepemimpinan tunggal yang cocok diaplikasikan
untuk segala situasi terutama apabila organisasi tersebut berkembang menjadi
semakin besar sehingga jumlah anggotanya semakin bertambah. Kematangan
anggota organisasi yang tidak sama karena perbedaan latar belakang, pendidikan,
tingkat kecerdasan dan tujuan tidak mungkin dikelolah atau diperlakukan dengan
gaya kepemimpinan tunggal. Untuk mencapai sebuah kepemimpinan yang efektif,
seorang pemimpin harus mempertimbangkan faktor situasi dan bawahan dalam
mengaplikasikan suatu gaya kepemimpinan. Dengan kata lain, pemimpin harus
mampu menerapkan gaya kepemimpinan situasional yaitu gaya kepemimpinan
yang sesuai dengan situasi dan tingkat kematangan anggota atau pegawainya.
Kepemimpinan situasional merupakan pendekatan kepemimpinan yang
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan tergantung pada pemimpin, situasi dan
kematangan bawahan. Situasi merupakan arena yang penting bagi pemimpin
untuk bergerak atau bertindak. Situasi ikut menentukan keberhasilan sebahagian
besar pemimpin tapi menjadikan situasi sebagai alasan gagalnya seorang
pemimpin dalam mengelolah organisasi juga tidak dibenarkan.
12
Wahjosumidjo (2003: 32) mengemukakan bahwa:
Pengertian situasi mencakup: waktu, tuntutan pekerjaan, kemampuan
bawahan, para pimpinan, teman sekerja, kemampuan dan harapan
bawahan, tujuan organisasi maupun harapan bawahan.
Sejauh mana seorang pemimpin harus memperhatikan situasi sangat
tergantung apa yang disebut “tingkat kematangan” bawahan.
Kematangan bawahan tidak lain ialah:
1) Bawahan yang mempunyai tujuan termasuk pula kemampuan untuk
menentukan tugas;
2) Bawahan yang mempunyai rasa tanggungjawab, dalam arti bawahan
memiliki kemauan (motivasi) dan kemampuan (kompetensi) untuk
menentukann tujuan, dan sebagainya;
3) Mempunyai pendidikan dan pengalaman; dan
4) Tingkat kematangan yang dimaksud, meliputi:
Kemampuan dan pengetahuan teknis untuk melaksanakan tugas,
dan
Rasa percaya diri sendiri dan harga diri terhadap dirinya.
Dalam kepemimpinan situasional seorang pemimpin harus didasarkan
pada hasil analisis terhadap situasi yang sedang dihadapinya dan mengidentifikasi
keadaan anggota yang dipimpinnya. Keadaan anggota atau bawahan merupakan
faktor penting dalam kepemimpinan situasional. Selain sebagai individu, bawahan
juga bagian dari kelompok yang merupakan kekuatan yang dimiliki pemimpin.
Menurut Usman (2009: 313), kepemimpinan situasional atau dikenal juga
dengan sebutan kepemimpinan kontingensi terdiri dari beberapa model yaitu:
1) model kontingensi Fiedler,
2) model rangkaian kesatuan kepemimpinan dari Tannenbaum &
Schmidt,
3) model kontingensi lima faktor Farris
4) model kepemimpinan dinamika kelompok Carteight & Zender,
5) model kepemimpinan path goal Evans dan House,
6) model kepemimpinan vertical dyad linkage Graen,
7) model kepemimpinan Bass,
8) model kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard.
13
Sedangkan Nawawi (2003: 93) membagi model kepemimpinan situasional
menjadi empat yaitu:
1. Model Kepemimpinan Situasional dari Fiedler.
2. Model Kepemimpinan Situasional Tiga Dimensi dari Reddin.
3. Model Kepemimpinan Situasional dari Tannenbaum dan Schmidt.
4. Model Kepemimpinan Situasional dari Hersey dan Blanchard.
Adapun penjelasan mengenai beberapa model kepemimpinan situasional
di atas sebagai berikut:
1) Model kontingensi Fiedler
Menurut Fiedler dalam Usman (2009: 314), mengemukakan bahwa:
hubungan perilaku atau gaya kepemimpinan mempengaruhi
kepemimpinan untuk mengefektifkan organisasi. Pemimpin akan
berhasil menjalankan kepemimpinannya jika menerapkan gaya
kepemimpinan yang berbeda di suatu situasi yang berbeda.
Dengan kata lain, gaya kepemimpinan yang digunakan tergantung
situasi. Selanjutnya Fiedler berpendapat bahwa:
Ada tiga sifat situasi yang dapat mempengaruhi keefektifan
kepemimpinan, yaitu 1) hubungan pimpinan-bawahan yang
menguntungkan situasi, 2) derajat susunan tugas yang menguntungkan
situasi, dan 3) kekuasaan formal yang menguntungkan situasi (Usman,
2009: 314).
Thoha (2010:38) mengemukakan bahwa:
Suatu situasi akan dapat menyenangkan pemimpin jika ketiga dimensi
di atas mempunyai derajat yang tinggi. Dengan kata lain, suatu situasi
akan menyenangkan jika:
- Pemimpin diterima oleh para pengikutnya (derajat dimensi
pertama tinggi);
- Tugas-tugas dan semua yang berhubungan dengannya ditentukan
secara jelas (derajat dimensi kedua tinggi); dan
- Penggunaan otoritas dan kekuasaan secara formal diterapkan pada
posisi pemimpin (derajat dimensi ketiga juga tinggi).
14
Hubungan kepala sekolah dengan guru yang menguntungkan situasi
ditandai dengan hubungan yang harmonis antara kepala sekolah dengan guru,
pemimpin diterima oleh bawahannya. Derajat susunan tugas yang
menguntungkan situasi ditandai dengan pembagian tugas yang didasarkan
profesionalisme, kepala sekolah yang mampu memimpin, dan kekuasaan
formal yang menguntungkan situasi, ditandai oleh kekuasaan yang sah dan
semua tugas pegawai serta kepemimpinannya dapat dipertanggungjawabkan.
2) Model rangkaian kesatuan kepemimpinan Tennenbaum & Schmidt
Menurut Tannenbaum dan Schmidt dalam Usman (2009: 315),
Tiga faktor yang dipertimbangkan pemimpin dalam memilih gaya
kepemimpinannya untuk mengefektifkan organisasi, yaitu kekuatan
dirinya sendiri sebagai pemimpin, kekuatan bawahannya, dan
kekuatan situasinya.
Nawawi (2003:98) menjelaskan ketiga faktor tersebut sebagai berikut:
a. Kekuatan pemimpin, yang dimaksud adalah kondisi diri seorang
pemimpin yang mendukung dalam melaksanakan
kepemimpinannya, seperti latar belakang pendidikan, pribadi,
pengalaman dan nilai-nilai dalam pandangan hidup yang dihayati
dan diamalkannya (dipedomani dalam berpikir, merasakan,
bersikap dan berperilaku).
b. Kekuatan anggota organisasi sebagai bawahan, yang dimaksud
adalah kondisi diri pada umumnya yang mendukung pelaksanaan
kepemimpinan seseorang pemimpin sebagai atasan, seperti
pendidikan/pengetahuan, pengalaman, motivasi kerja/berprestasi,
dan tanggung jawab dalam bekerja.
c. Kekuatan situasi, yang dimaksud adalah situasi dalam interaksi
antara pemimpin dengan anggota organisasi sebagai bawahan,
seperti suasana atau iklim kerja, suasana organisasi secara
keseluruhan termasuk budaya organisasi dan tekanan waktu
dalam bekerja.
15
Berdasarkan ketiga faktor di atas, Tannenbaum dan Schmidt
mengembangkan model kontinum perilaku atau gaya kepemimpinan berupa
garis yang diawali dengan titik yang menunjukkan perilaku terpusat pada
pemimpin dan diakhiri dengan titik yang menunjukkan perilaku yang terpusat
pada bawahan. Perilaku atau gaya tersebut berpengaruh pada pengambilan
keputusan dalam kepemimpinan seseorang yang dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 1. Model Kepemimpinan Tannenbaum & Schmidt dalam Usman (2009:
316)
16
3) Model kontingensi lima faktor Farris
Menurut Farris dalam Usman (2009: 319),
Perilaku seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya
tergantung pada lima faktor, yaitu: Wewenang anggota kelompok terhadap
masalah, Pentingnya penerimaan, Pemberian keputusan pada pimpinan,
Pentingnya penerimaan keputusan pada anggota kelompok, dan Tekanan
waktu. Farris menambahkan bahwa perilaku yang merupakan petunjuk
banyaknya pengaruh yang digunakan pemimpin dan bawahan dalam
menghadapi masalah terdiri dari empat dimensi, yaitu kerja sama,
penguasaan, pelimpahan, dan pelepasan.
Berdasarkan lima faktor dan empat dimensi di atas, ada lima
kemungkinan perilaku kepemimpinan situasional yang muncul, yaitu sebagai
berikut:
a) Jika pengawas dan bawahan mempunyai wewenang menggunakan
pengaruh terhadap masalah maka kerja sama, penguasaan, atau
pelimpahan merupakan perilaku kepemimpinan yang tepat.
b) Jika pengawas mempunyai wewenang, bawahan tidak memiliki
wewenang maka perilaku kepemimpinan berupa penguasaan yang paling
tepat.
c) Jika bawahan memiliki wewenang, atasan tidak maka pelimpahan
merupakan perilaku kepemimpinan yang tepat.
d) Jika penerimaan pimpinan dan bawahan penting maka kerja sama
merupakan perilaku kepemimpinan yang tepat.
e) Bila tekanan waktu tinggi maka penguasaan atau pelimpahan merupakan
perilaku kepemimpinan yang tepat.
4) Model kepemimpinan dinamika kelompok Cartwight & Zander
Cartwight dan Zander dalam Usman (2009: 319) menggunakan
pendekatan tujuan dan hubungan baik untuk mendinamiskan kelompok
bawahannya. Dalam pendekatan tujuan, pemimpin cenderung lebih
memerhatikan penyelesaian tugas pekerjaan bawahannya daripada hubungan
baik dengan bawahannya. Sedangkan dalam pendekatan baik dengan
bawahannya, perhatian pemimpin terpusat pada hubungan antar pribadi yang
menyenangkan, memutuskan perselisihan, memberikan semangat, dan saling
meningkatkan kebersamaan.
17
5) Model kepemimpinan Path Goal Theory
Model Kepemimpinan Path Goal Theory dikembangkan oleh Evan
dan House dalam Usman (2009: 319). Berdasarkan model ini, peranan
pemimpin adalah menjelaskan kepada bawahan cara mendapatkann imbalan
(mencapai tujuan individu). Keefektifan kepemimpinan tergantung dari
kemampuan pemimpin memuasakan kebutuhan bawahan dan kemampuan
pemimpin memberi petunjuk kepada bawahan.
6) Model kepemimpinan Vertical Dyad Linkage Graen
Model ini dikembangkan oleh Gannon (1982) dalam Usman (2009:
320) yaitu menitip beratkan pada hubungan antara pemimpin dengan tiap-tiap
bawahan secara bebas. Setiap pemimpin harus memerhatikan perbedaan
setiap bawahannya. Pendekatan ini berusaha memanfaatkan kelebihan dan
kelemahan yang ada pada bawahannya. Bagaimana mengubah kelemahan
menjadi kekuatan, ancaman menjadi peluang. Keadaan bawahan dapat
diketahui dengan baik oleh atasan jika hubungan baik dan mendalam dengan
bawahan secara individual.
7) Model kepemimpinan Bass
Bass mengembangkan pendekatan kepemimpinan sistem yang terdiri
atas input, proses (hubungan, perilaku pemimpin), dan output. Input yang
meliputi: organisasi, meliputi batasan, kejelasan, kehangatan, entropi, dan
lingkungan luar; kelompok kerja, meliputi perselisihan, saling
ketergantungan, dan tanggung jawab pada kelompok; tugas, meliputi umpan
18
balik, rutin, memilih kesempatan, kekomplesan, dan ciri-ciri manajerial;
kepribadian bawahan meliputi kerjasama, kekuasaan, otoriter, dan egoisme.
Hubungan meliputi pembagian kekuasaan, penyebaran informasi,
struktur ketat atau longgar, tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang.
Perilaku pemimpin adalah direktif, manipulatif, konsultatif, partisipatif, dan
delegatif. Output meliputi kinerja bawahan dan kepuasan semua pihak.
8) Model kepemimpinan situasional Hersey & Blanchard
Menurut Hersey dan Blanchard kepemimpinan didasarkan pada saling
pengaruh antara perilaku kepemimpinan yang ia terapkan, sejumlah
pendukung emosional yang ia berikan, dan tingkat kematangan bawahannya.`
Empat gaya kepemimpinan yang diterapkan menurut Nawawi (2003:
101) adalah “telling, selling, participating, dan delegating”. Perilaku
kepemimpinan kepala sekolah sebagai pemimpin yang tepat sesuai dengan
tingkat kematangan para tenaga pendidik dengan empat gaya di atas
dijelaskan oleh Akib (2008: 61) sebagai berikut:
Gaya mendikte digunakan ketika para tenaga kependidikan berada
dalam tingkat kematangan rendah, sehingga perlu petunjuk serta pengawasan
yang jelas. Gaya ini disebut mendikte karena pemimpin dituntut untuk
mengatakan apa, bagaimana, kapan dan dimana tugas dilakukan. Gaya ini
ditekankan pada tugas sedangkan hubungan hanya sekedarnya saja.
Gaya menjual dapat digunakan ketika kondisi tenaga kependidikan
berada dalam taraf rendah sampai moderat sehingga mereka telah memiliki
kemauan untuk meningkatkan profesionalismenya tetapi belum disukung oleh
kemampuan yang memadai. Gaya ini disebut menjual karena pemimpin
banyak memberikan petunjuk. Dalam tingkat kematangan tenaga
kependidikan seperti ini diperlukan tugas dan hubungan yang tinggi agar dapa
memelihara dan meningkatkan kemauan dan kamampuan yang dimiliki.
Gaya melibatkan digunakan ketika tingkat kematangan tenaga
kependidikan di sekolah berada pada taraf kematangan moderat sampai
tinggi, yaitu ketikan mereka mempunyai kemampuan tetapi kurang memiliki
kemajuan kerja dan kepercayaan diri dalam meningkatkan
19
profesionalismenya. Gaya ini disebut melibatkan, karena kepala sekolah
dengan tenaga kependidikan lain bersama-sama berperan di dalam proses
pengambilan keputusan. Dalam kematangan seperti ini upaya tugas tidak
digunakan, namun upaya hubungan senantiasa ditingkatkan dengan membuka
komunikasi dua arah.
Gaya mendelegasikan digunakan oleh kepala sekolah jika tenaga
kependidikan telah memiliki kemapuan yang tinggi dalam menghadapi suatu
persoalan, demikian pula ada kemauan untuk meningkatkan
profesionalismenya. Gaya ini disebut mendelegasikan sehingga pata tenaga
kependidikan dibiarkan melaksanakan kegiatan sendiri melalui pengawasan
umum. Para pendidik tersebut berada pada tingkat kedewasaan yang tinggi.
Dalam tingkat kematangan yang tinggi, upaya tugas hanya diperlukan
sekedarnya saja, demikian pula upaya hubungan.
9) Model kepemimpinan situasional tiga dimensi dari Reddin
Menurut Reddin, tiga pola dasar yang dipergunakan dalam
menetapkan pola perilaku kepemimpinan dikemukakan oleh Wahjosumidjo
dalam Nawawi (2003: 97) terdiri dari:
a. Beriorentasi pada tugas (task oriented).
b. Beriorentasi pada hubungan (relationship oriented)
c. Beriorentasi pada efektivitas (effectiveness oriented)
Pola perilaku kepemimpinan kepala sekolah yang beriorentasi pada
tugas merupakan gaya kepemimpinan yang pada penerapannya selaras
dengan gaya kepemimpinan otoriter yaitu kepala sekolah menuntut ketepatan
dalam melaksanakan tugas dan menutup peluang bagi tenaga pendidik untuk
menyampaikan inisiatif, kreativitas, pendapat, saran, inovasi dan sebagainya.
Pada gaya kepemimpinan yang beriorentasi pada tugas, Nawawi (2003: 153)
mengemukakan bahwa:
Pemimpin berasumsi bahwa tugas-tugas dan cara melaksanakannya
sudah diatur dan ditetapkan, tidak memerlukan partisipasi anggota
organisasi untuk memperbaiki atau mengubahnya meskipun dengan
20
maksud untuk meningkatkna efisiensi dan efektivitasnya dalam
mencapai tujuan organisas.
Thoha (2010: 77) mengemukakan bahwa:
Perilaku tugas ialah suatu perilaku seorang pemimpin untuk mengatur
dan merumuskan peranan-peranan dari anggota organisasi-anggota
kelompok atau para pengikut; menerangkan kegiatan yang harus
dikerjakan oleh masing-masing anggota, kapan dilakukan, dimana
melaksanakan, dan bagaimana tugas-tugas harus dicapai.
Dari pemaparan yang dikemukakan oleh Nawawi dan Thoha di atas,
dapat dipahami bahwa gaya kepemimpinan yang beriorentasi pada tugas
dilakukan oleh kepala sekolah dengan lebih memperhatikan struktur tugas
dan pelaksanaannya dibanding dengan menjaga hubungan baik dengan para
tenaga pendidik. Akib (2008: 61) mengemukakan bahwa gaya ini tepat
diterapkan “ketika para tenaga kependidikan berada dalam tingkat
kematangan rendah, sehingga perlu petunjuk serta pengawasan yang jelas”.
Pola perilaku kepemimpinan kepala sekolah yang beriorentasi pada
hubungan melaksanakan pekerjaan dengan mengutamakan interaksi timbal
balik antara kepala sekolah dengan tenaga pendidik dengan berdasarkan pada
rasa hormat menghormati sehingga terjalin hubungan harmonis antara kepala
sekolah dengan guru. Nawawi (2003: 154) mengemukakan bahwa:
Pemimpin dengan orientasi ini sangat terbuka pada partisipasi anggota
organisasi, yang selaras dengan tipe kepemimpinan demokratis.
Partisipasi anggota dilakukan dengan memberikan kesempatan yang
luas pada anggota organisasi dalam menyampaikan kreativitas,
inisiatif, pendapat, saran dan kritik. Di samping itu pemimpin dalam
menjalankan kepemimpinannya mementingkan hubungan kerja sama
antar sesama anggota organisasi dan antar anggota dengan pimpinan.
21
Thoha (2010: 77) mengemukakan bahwa:
Perilaku hubungan ialah suatu perilaku seorang pemimpin yang ingin
memelihara hubunga-hubungan antarpribadi di antara dirinya dengan
anggota-anggota kelompok atau para pengikut dengan cara membuka
lebar-lebar jalur komunikasi, mendelegasikan tanggung jawab, dan
memberikan kesempatan pada para bawahan untuk menggunakan
potensinya.
Berdasarkan pemaparan dan pendapat Nawawi dan Thoha di atas,
dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan yang beriorentasi pada
hubungan merupakan gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh kepala
sekolah dengan menjaga hubungan yang harmonis antar dirinya dengan
tenaga pendidik, mendelegasikan tugas dan menjalin komunikasi yang baik.
Pola perilaku kepemimpinan yang beriorentasi pada efektivitas
merupakan interaksi antara kepala sekolah, tenaga pendidik dan situasi.
Hughes dalam Usman (2008: 6) mengemukakan bahwa:
Kepemimpinan kepala sekolah/madrasah akan efektif jika ia
menggunakan gaya kepemimpinan yang tepat dengan atasannya,
membina komunikasi yang efektif dengan sesama kepala
sekolah/madrasah, dan membina komunikasi yang efektif dengan
pengikutnya, memberdayakan pengikutnya, mendayagunakan
pengikutnya, meningkatkan kinerja dirinya, meningkatkan kinerja
pengikutnya, memberikan kepuasan kepada semua pihak, dan
memberikan penghargaan dan sanksi yang seimbang kepada
pengikutnya.
Reddin mengembangkan ketiga orientasi kepemimpinan di atas
menjadi delapan perilaku atau gaya kepemimpinan berdasarkan tolak ukur
kepemimpinan yang efektif dan tidak efektif. Hal ini dijelaskan Nawawi,
2003: 98) sebagai berikut:
Gaya atau perilaku kepemimpinan yang tidak efektif terdiri dari
deserter, missionary, autocrat, dan compromiser. Sedangkan perilaku
atau gaya kepemimpinan yang efektif terdiri dari: a) bureaucrat
22
(birokrat) yaitu perilaku kepemimpinan patuh dan taat pada peraturan,
memiliki kemampuan berorganisasi (manusia organisasi), cenderung
lugu; b) developer adalah pembangunan dalam memajukan dan
mengembangkan organisasi, yang menunjukkan perilaku
kepemimpinan kreatif, melimpahkan wewenang, dan menaruh
kepercayaan yang tinggi pada anggota organisasi/karyawan sebagai
bawahan; c) benevolet autocrat (otokrasi yang lunak/disempurnakan)
yang menunjukkan perilaku kepemimpinan dalam bekerja lancar dan
tertib, ahli dalam pengorganisasian, dan memiliki rasa keterlibatan diri
dalam menggunakan kewenangan atau kekuasaan pemimpin; d)
executif (eksekutif) biasanya dalam peran sebagai manager yang
menunjukkan perilaku kepemimpinan bermutu tinggi memiliki
kemampuan memberikan motivasi pada anggota organisasi sebagai
bawahan dan berpandangan luas.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa pemimpin yang
menerapkan gaya kepemimpinan situasional adalah pemimpin yang
memperlakukan pegawainya sesuai dengan kematangannya/situasi, yaitu
pemimpin yang memberikan arahan dan penjelasan mengenai tugas dan tanggung
jawab kepada pegawai yang tingkat kematangannya rendah, memotivasi pegawai
yang malas dan memberikan kesempatan kepada pegawai yang sudah terampil
dan berpengalaman. Dengan demikian akan tercipta hubungan yang harmonis
antara pemimpin dengan pegawainya dan produktivitas kerja yang meningkat
serta tujuan organisasi yang tercapai.
3. Kinerja guru
Ramayulis dalam Rochman (2011: 24) mengemukakan bahwa
Guru sering diartikan sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap
perkembangan siswa dengan mengupayakan perkembangan seluruh
potensi (fitrah) siswa, baik potensi kognitif, potensi afektif, maupun
potensi psikomotorik.
23
Rochman (2011: 25) mengemukakan bahwa:
Secara normatif, guru adalah mereka yang bekerja di sekolah atau
madrasa, mengajar, membimbing, melatih para siswa agar memiliki
kemampuan dan keterampilan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, juga dapat menjalani kehidupannya dengan baik.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, Bab 1 Pasal 1 ayat, menjelaskan bahwa:
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah.
Uno (2010: 15) berpendapat bahwa “guru merupakan suatu profesi, yang
berarti jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat
dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa guru adalah
orang yang memiliki keahlian khusus dalam mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih dan menilai peserta didik, baik di lembaga pendidikan
formal maupun lembaga pendidikan non formal.
Pada dasarnya terdapat seperangkat tugas yang harus dilaksanakan oleh
guru berhubungan dengan profesinya sebagai pengajar. Uzer dalam Uno (2010:
20) mengemukakan bahwa “terdapat tiga jenis tugas guru, yakni tugas dalam
bidang profesi, tugas kemanusian, dan tugas dalam bidang kemasyarakatan”.
Adapun yang dimaksud dengan tugas guru dalam bidang profesi meliputi
mendidik dalam arti meneruskan dan mengembangkan nilai hidup, mengajar yang
berarti meneruskan dan mengembangkan iptek, sedangkan melatih berarti
mengembangkan keterampilan pada peserta didik. Tugas guru dalam bidang
24
kemanusian meliputi peran guru di sekolah sebagai orang tua kedua yang dapat
memahami peserta didik dan perkembangannya mulai dari sebagai makhluk
bermain, berkarya, dan sebagai makhluk yang berpikir atau dewasa. Selain itu
guru membantu siswa mentransformasikan dirinya sebagai upaya pembentukan
sikap dan membantu peserta dalam mengidentifikasi diri peserta itu sendiri. Tugas
guru dalam kemasyarakatan adalah sebagai panutan.
Darmawang dkk (2008: 12) mengemukakan bahwa Tugas atau peran guru
dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu : “(1) peran guru sebagai perencanan, (2)
peran guru sebagai pengelolah, (3) peran guru sebagai fasilitator, (4) peran guru
sebagai evaluator”.
Adapun penjelasan mengenai keempat aspek yang ada di atas yaitu:
1) Peran guru sebagai perencana pembelajaran
Sebagai perencana pembelajaran seorang guru dituntut agar
memahami kebutuhan, karakteristik peserta didik dan kondisi daerah
setempat dimana peserta didik berada. Dengan pemahaman itu guru akan
mendesain pembelajaran sesuai dengan kondisi lapangan dan kebutuhan.
Adapun berbagai komponen dalam sistem pembelajaran sebagaimana yang
dikemukakan oleh Uno (2010: 22) meliputi:
a. Membuat dan merumuskan TIK
b. Menyiapkan materi yang relevan dengan tujuan, waktu, fasiltas,
perkembangan ilmu, kebutuhan dan kemampuan siswa, komprehensif,
sistematis, dan fungsional efektif.
c. Merancang metode yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa
d. Menyediakan sumber belajar, dalam hal ini guru berperan sebagai
fasilitator dalam pengajaran.
e. Media, dalam hal ini guru berperan sebagai mediator dengan
memperhatikan relevansi (seperti juga materi), efektif dan efisien,
kesesuaian dengan metode, serta pertimbangan praktis.
25
2) Guru sebagai pengelola pembelajaran
Tujuan dari pengeloaan pembelajaran adalah terciptanya kondisi
lingkungan belajar yang menyenangkan bagi peserta didik, sehingga proses
pembelajaran berjalan dengan lancar dan menyenangkan bagi guru dan
peserta didik. Guru diharapkan mampu menggunakan berbagai macam
fasilitas pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar. Selain itu, guru
diharapkan mampu berperan dalam mengembangkan kemampuan peserta
didik dalam menggunakan alat- alat belajar, menyediakan kondisi- kondisi
yang memungkinkan peserta didik bekerja dan belajar serta membantu
peserta didik untuk memperoleh hasil yang diharapkan.
Hal senada dikemukakan oleh Darmawang dkk (2008: 12) bahwa
peran dan tanggung jawab guru sebagai pengelolah pembelajaran
(manager of learning) menciptakan iklim pembelajaran yang
kondusif, baik iklim sosial maupun iklim psikologis. Iklim sosial yang
baik ditunjukkan dengan terciptanya hubungan yang harmonis antara
guru dan peserta didik, antara peserta didik dan peserta didik, serta
antara guru dan pengelola sekolah. Sedangkan iklim psikologis
ditunjukkan dengan adanya saling kepercayaan dan menghormati
antara sesama unsur sekolah. Melalui iklim yang demikian,
memungkinkan peserta didik untuk berkembang secara optimal,
terbuka, dan demokratis.
3) Guru sebagai fasilitator
Sebagai fasilitator, guru berperan dalam membantu untuk
mempermudah peserta didik belajar. Karena itu, guru perlu memahami
karakteristik peserta didik, termasuk gaya belajar, kebutuhan kemampuan
dasar yang dimiliki peserta didik. Dengan pemahaman tersebut, guru dapat
memfasilitasi setiap peserta didik. Darmawang dkk (2008: 13)
mengemukakan bahwa “sebagai fasilitator, guru harus menempatkan diri
26
sebagai orang yang memberi pengarahan dan petunjuk agar peserta didik
dapat belajar secara optimal”.
4) Peran guru sebagai evaluator
Tujuan utama penilaian adalah untuk melihat tingkat keberhasilan
seseorang, efektivitas, dan efisiensi dalam proses pembelajaran. Sebagai
penilai hasil belajar peserta didik, guru hendaknya secara terus- menerus
mengikuti hasil belajar peserta didik yang dicapai dari waktu ke waktu karena
informasi ini akan memberikan umpan balik dalam proses pembelajaran.
Umpan balik ini akan dijadikan tolak ukur untuk memperbaiki dan
meningkatkan pembelajaran selanjutnya.
Darmawan dkk (2008: 13) mengemukakan bahwa
dilihat dari fungsinya, evaluasi bisa berfungsi sebagai formatif dan
sumatif. Evaluasi formatif berfungsi untuk melihat berbagai
kelemahan guru dalam mengajar. Artinya, hasil dari evaluasi itu
digunakan sebagai bahan masukan untuk memperbaiki kinerja guru.
Evaluasi sumatif digunakan sebagai bahan untuk menentukan
keberhasilan peserta didik dalam melakukan pembelajaran.
Mangkunegara (2007: 67) mengemukakan bahwa:
Istilah kinerja berasal dari kata Job Performance atau Actual Performance
(prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang).
Pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Payaman (2011: 108) mengemukakan bahwa “kinerja individu adalah
tingkat pencapaian atau hasil kerja seseorang dari sasaran yang harus dicapai atau
tugas yang harus dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu”. Sedangkan Robbins
dalam Usman (2009: 488) mengemukakan bahwa “kinerja adalah produk dari
fungsi dari kemampuan dan motivasi”.
27
Lan dalam Mulyasa (2005: 137) mengemukakan bahwa “kinerja atau
performance dapat diartikan sebagai prestasi kerja, pencapaian kerja, hasil kerja
atau unjuk kerja”.
Hal senada dikemukakan oleh Moeheriono (2010: 61) bahwa:
kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu organisasi baik secara kuantitatif maupun
kualitatif, sesuai dengan kewenangan dan tugas tanggung jawab masing-
masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara
legal, tidak melanggar hukum sesuai dengan moral dan etika.
Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk
menyelesaikan tugas atau pekerjaan seseorang sepatutnya memiliki derajat
kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu.
Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk
mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan
dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kinerja merupakan perilaku nyata
yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh
karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa kinerja atau
performance dapat berupa hasil kerja, prestasi kerja, dan tingkat keberhasilan
seseorang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan
kepadanya.
Peraturan bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Badan
Kepegawaian Negara tahun 2010 pasal 1 ayat 14, dikatakan bahwa “Penilaian
kinerja guru adalah penilaian dari tiap butir kegiatan utama guru dalam rangka
pembinaan karier kepangkatan dan jabatannya”.
28
Usman (2009: 489) mengemukakan bahwa:
Lima faktor dalam penilaian kinerja yang populer, yaitu 1) kualitas
pekerjaan, meliputi: akurasi, ketelitian, penampilan dan penerimaan
keluaran; 2) kuantitas pekerjaan, meliputi: volume keluaran dan
kontribusi; 3) supervisi yang diperlukan, meliputi: saran, arahan, dan
perbaikan; 4) kehadiran meliputi, regulasi, dapat dipercaya/ diandalkan
dan ketepatan waktu; 5) konservasi, meliputi: pencegahan pemborosan,
kerusakan dan pemeliharaan peralatan.
Payaman (2011: 119) mengemukakan bahwa dimensi tolak ukur kinerja
yaitu:
1. Kuantitas
2. Kualitas
3. Waktu dan kecepatan
4. Nilai dan biaya
5. Dinyatakan dalam persentasi atau indeks
Hal senada juga dikemukakan oleh Mitchell dalam Mulyasa (2005: 139)
bahwa kinerja meliputi beberapa aspek, yaitu: “quality of work, Promptness,
initiative, capability, and communication”.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja guru
adalah hasil dan prestasi kerja atau tingkat keberhasilan yang diperoleh seorang
guru dalam bentuk kualitas dan kuantitas dalam menjalankan tugasnya.
4. Penilaian kinerja dan tujuannya
Perkembangan sebuah organisasi tidak bisa lepas dari peran kinerja
karyawannya. Cara untuk melihat perkembangan organisasi adalah dengan cara
melihat hasil penilaian kinerja. Sasaran yang menjadi objek penilaian kinerja guru
adalah kecakapan dan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan
pekerjaannya dengan menggunakan tolak ukur secara obyektif dan dilakukan
secara berkala. Hasil dari penilaian kinerja merupakan gambaran seorang guru
29
dalam melakukan pekerjaannya atau dengan kata lain kinerja merupakan hasil
kerja yang dapat diukur dan diamati.
Mangkunegara (2007: 69) mengemukakan bahwa “penilaian kinerja
pegawai dikenal dengan istilah “performance rating, performance appraisal,
personnel assessment, employee evaluation, merit rating, efficiency rating, service
rating.”
Menurut Leon C. Megginson dalam Mangkunegara (2007: 69),
“performance appraisal adalah suatu proses yang digunakan majikan untuk
menentukan apakah seorang pegawai melakukan pekerjaannya sesuai dengan
yang dimaksudkan”.
Andrew E. Sikula dalam Mangkunegara, 2007: 69) mengemukakan
bahwa:
Penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan
pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian adalah proses
penaksiran atau penentuan nilai, kualitas, atau status dari beberapa objek,
orang ataupun sesuatu”.
Menurut Hasibuan (2006: 87), “penilaian prestasi kerja adalah menilai
rasio hasil kerja nyata dengan standar kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan
setiap karyawan”.
Menurut Usman (2009: 489), “penilaian kinerja merupakan alat yang
berfaedah tidak hanya untuk mengevalusi kerja karyawan, tetapi juga untuk
mengembangkan dan memotivasi kerja karyawan”.
Berdasarkan pemaparan di atas, penilaian kinerja sangat penting bagi
kepemimpinan kepala sekolah untuk mengefektifkan sekolah dalam mencapai
tujuan. Dengan mengetahui potensi/keunggulan dan kelemahan/kekurangan yang
30
dimiliki pegawai/guru, pemimpin dapat lebih mudah memperbaiki dan
mengoptimalkan kegiatan pegawai/guru. Oleh karena itu, penilaian kinerja harus
dilakukan secara jujur dan objektif, dengan menggunakan teknik penilaian yang
paling tepat untuk setiap jenis pekerjaan, agar hasilnya tidak mengalami bias atau
kekeliruan yang merugikan pekerja atau anggota organisasi, unit kerja atau
organisasi secara keseluruhan.
Dharma (2008: 13) mengemukakan bahwa manfaat diadakan penilaian
kinerja sebagai berikut:
Manfaat penilaian kinerja adalah untuk (1) meningkatkan objektivitas
penilaian kinerja pegawai, (2) meningkatkan keefektifan penilaian kinerja
pegawai, (3) menigkatkan kinerja pegawai, dan (4) mendapatkan bahan-
bahan pertimbangan yang objektif dalam pembinaan pegawai tersebut baik
berdasarkan sistem karir maupun prestasi.
Selanjutnya Usman (2009: 490) mengemukakan bahwa:
Tujuan penilaian kinerja adalah untuk: 1) lebih menjamin obyektivitas
dalam pembinaan calon pegawai dan pegawai berdasarkan sistem karier
dan sistem prestasi kerja; 2) memperoleh bahan-bahan pertimbangan
objektif (masukan) dalam pembinaan capeg dan PNS dalam membuat
kebijakan seperti promosi, demosi, transfer (mutasi), hukuman,
pemecatan, bonus, job design seperti job enlargment, job encrichment, and
job rotation; 3) memberi masukan untuk mengatasi masalah yang ada,
misalnya kurang terampil atau perlu keterampilan baru (untuk menentukan
jenis pelatihan dan pengembangan karier calon pegawai dan pegawai); 4)
mengukur validitasi metode penilaian kinerja yang digunakan. Apakah
skor penilaian berkorelasi dengan kinerja?; 5) mendiagnosis masalah-
masalah organisasi; 6) umpan balik bagi calon pegawai dan pegawai, serta
pimpinan.
31
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
Pada dasarnya banyak hal yang mempengaruhi kinerja seperti yang
dikemukakan oleh Payaman (2011: 11) bahwa:
Kinerja setiap orang dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat
digolongkan pada 3 kelompok, yaitu kompetensi individu orang yang
bersangkutan, dukungan organisasi dan dukungan manajemen. Ketiga
faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2. Bagan Kinerja Individu
Karena keterbatasan waktu, dari sekian banyak faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja seperti yang dipaparkan di atas, penulis hanya membahas
tentang gaya kepemimpinan dalam mempengaruhi kinerja guru.
Kepemimpinan merupakan inti dari kegiatan manajemen dalam sebuah
organisasi. Setiap pemimpin dituntut untuk mampu mengarahkan dan
mengoordinasikan pekerjaan serta menciptakan iklim yang kondusif, pemimpin
juga harus mampu berkomunikasi secara efektif terhadap bawahannya untuk
menumbuhkan motivasi mereka, serta berkomunikasi dengan semua unsur terkait
untuk memperoleh dukungan mereka.
KINERJA INDIVIDU
KOMPETENSI INDIVIDU
Kemampuan dan keterampilan
Motivasi, sikap, dan etos kerja
DUKUNGAN MANAJEMEN
Hubungan industrial
Kepemimpinan
DUKUNGAN ORGANISASI
Struktur organisasi
Teknologi dan peralatan
Kondisi kerja
32
Perbedaan kepribadian, latar belakang, tingkat kecerdasan pegawai dan
situasi yang berubah-ubah dalam sebuah organisasi tidak mungkin dikelolah
dengan perilaku atau gaya kepemimpinan tunggal. Oleh karena itu, seorang
pemimpin harus mampu menerapkan perilaku atau gaya kepemimpinan yang
berbeda dalam setiap situasi yang berbeda. Perilaku atau gaya kepemimpinan
yang disesuaikan dengan situasi dan tingkat kematangan bawahan disebut dengan
gaya kepemimpinan situasional.
Gaya kepemimpinan Situasional adalah perilaku atau gaya yang diterapkan
seorang pemimpin dengan mempertimbangkan situasi dan kematangan bawahan
untuk mencapai tujuan, sehingga perilaku atau tindakan pemimpin tersebut
berbeda setiap saat tergantung situasi dan keadaan bawahannya. Dengan kata lain,
pemimpin tidak menggunakan perilaku atau gaya yang itu-itu saja (tunggal) di
dalam setiap kesempatan.
Mulyasa (2005:144) mengemukakan bahwa:
Setiap tenaga kependidikan memiliki karakteristik khusus, yang satu sama
lainnya berbeda. hal tersebut memerlukan perhatian dan pelayanan khusus
pula dari pemimpinnya, agar mereka dapat memanfaatkan waktu untuk
meningkatkan kinerjanya.
Kenyataan menunjukkan bahwa banyak pemimpin/kepala sekolah
terkadang memperlakukan semua bawahannya sama, baik dalam pemberian tugas
maupun dalam memberikan perhatian dan pelayanan. Dengan kata lain,
pemimpin tersebut tidak menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan
keadaan bawahannya.
33
Menurut Dharma dan Usman (2008:19),
Kepala sekolah/madrasah yang efektif menggunakan gaya
kepemimpinannya sesuai dengan tingkat kematangan followernya. Kepala
sekolah/madrasah yang efektif juga memperhatikan situasi yang dihadapi
sekolah/madrasahnya agar selalu tercipta iklim dan budaya
sekolah/madrasah yang kondusif.
Penerapan gaya kepemimpinan yang tepat sesuai dengan situasi akan
menigkatkan kinerja pegawai sehingga menguntungkan organisasi dan
mempermudah pencapaian tujuan. Sebagai contoh pemimpin yang mampu
mengenali kelemahan dan potensi yang dimiliki oleh bawahan, dapat lebih mudah
memberikan intruksi, mendelegasikan tugas, dan bimbingan kepada bawahannya
tersebut. Pemimpin dapat memberikan tugas sesuai dengan bidang atau
kompetensi yang dimiliki bawahan secara profesional. Pegawai yang memiliki
kemampuan dan pengetahuan yang rendah, diberikan pengarahan atau bimbingan
dalam mengerjakan tugas dan diberikan tugas yang sesuai dengan
kemampuannya. Apabila kejelasan tugas sudah jelas dan sesuai dengan
kemampuan dan pengetahuan, tidak ada alasan bagi bawahan lalai atau tidak
mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya sehingga hasil kerja atau
kinerja bawahan tersebut dapat lebih optimal. Hal ini didukung oleh pendapat
Larnsen dan Mitchel (Mulyasa, 2005:141) yang mengemukakan bahwa “kinerja
akan bergantung pada perpaduan yang tepat antara individu dan pekerjaannya”.
Selanjutnya Mulyasa (2007:118) mengemukakan bahwa “gaya kepemimpinan
berpengaruh terhadap kinerja pegawai untuk meningkatkan produktivitas kerja
demi mencapai tujuan”.
34
B. Kerangka pikir
Pendidikan merupakan suatu jalan untuk meningkatkan dan
mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, sekolah
yang merupakan wadah atau tempat dilaksanakannya proses pendidikan
diharapkan mampu menghasilkan lulusan/output yang bermutu dan berkualitas.
Untuk mewujudkan hal tersebut, sekolah akan menghadapi berbagai
permasalahan bukan hanya terdapat pada alat-alat pendukung sekolah, finansial
dan lingkungan kerja saja, tetapi juga menyangkut gaya kepemimpinan seorang
kepala sekolah serta tenaga pendidik/guru yang mengelolah sekolah.
Sekolah sebagai wadah seperti dengan organisasi lainnya membutuhkan
seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan situasionalnya, karena di dalam
sekolah terdapat pembagian tugas dan pembidangan pekerjaan dengan
menghimpun tugas ke dalam satu kelompok atau unit kerja. Pengelompokan itu
menghasilkan struktur organisasi yang terdiri dari berbagai unit kerja yang
masing-masing membutuhkan kegiatan bersama dan kerjasama secara terencana
sesuai dengan tujuan sekolah.
Adanya perbedaan tingkat kematangan diantara tenaga pendidik dan
situasi serta lingkungan yang terus berubah membutuhkan perlakuan atau
tindakan yang berbeda dari kepala sekolah untuk mencapai tujuan organisasi.
Kepala sekolah dituntut untuk mengaplikasikan gaya yang berbeda sesuai dengan
situasi dan keadaan yang terjadi pada saat itu. Oleh karena itu, kepala sekolah
harus mampu membaca dan menganalisa situasi dan bawahannya agar
menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai. Dengan demikian, kepala sekolah
35
akan mengetahui kapan harus menerapkan gaya atau perilaku yang beriorentasi
pada tugas dan kapan harus beriorentasi pada bawahan sehingga tujuan organisasi
tercapai dan kepemimpinan kepala sekolah berjalan dengan efektif.
Gaya kepemimpimpinan situasional kepala sekolah merupakan salah satu
faktor penting dalam meningkatkan kinerja tenaga pendidik. Semakin tinggi
pengetahuan dan keterampilan kepala sekolah menganalisa situasi dan keadaan
tenaga pendidik, pengaplikasian gaya kepemimpinan akan semakin tepat sehingga
berpengaruh terhadap kinerja tenaga pendidik.
Berdasarkan hukum sebab akibat yang menyatakan bahwa setiap sebab
pasti memiliki akibat. Karena hal tersebut, kepala sekolah yang menerapkan gaya
kepemimpinan situasional menjadi sebab atau variabel pengaruh (independen)
terhadap kinerja tenaga pendidik sebagai akibat atau disebut dengan variabel yang
dipengaruhi (dependen). Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan mampunya
seorang kepala sekolah memilih perilaku atau gaya yang tepat dalam menjalankan
kepemimpinannya akan meningkatkan kinerja tenaga pendidik di SMK N 2
Bungoro Kab. Pangkep.
Kepala sekolah yang efektif harus memiliki perilaku atau gaya
kepemimpinan yang fleksibel, sesuai dengan situasi dan keadaan bawahan yakni
dengan menggunakan gaya kepemimpinan situasional. Kombinasi antara situasi
dan kematangan bawahan yang dihadapi oleh pemimpin dengan gaya
kepemimpinan yang tepat akan mengefektifkan kepemimpinan kepala sekolah.
36
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema kerangka pikir dibawah ini:
Gambar 3. Skema Kerangka Pikir
C. Hipotesis
Berdasarkan pembahasan yang di uraikan di atas, maka dikemukakan
hipotesis sebagai berikut: ada pengaruh gaya kepemimpinan situasional kepala
sekolah terhadap kinerja guru di SMK Negeri 2 Bungoro Kabupaten Pangkep.
Gaya Kepemimpinan
Situasional Kepala
Sekolah
1. Orientasi pada tugas
2. Orientasi pada
bawahan
3. Wewenang dan
tanggung jawab.
Kinerja Guru
1. Kualitas kerja
2. Kuantitas kerja
3. Motivasi kerja
4. Displin kerja
5. Kerja sama
SMK NEGERI 2 BUNGORO