kemampuan conditioned medium dari kultur primer pankreas … · 4 tinjauan pustaka pankreas...
TRANSCRIPT
4
TINJAUAN PUSTAKA
Pankreas
Pankreas adalah organ yang memiliki 2 fungsi yang berbeda, yaitu
menghasilkan hormon dan mensekresikan enzim. Organ tersebut terdiri dari 3
komponen utama, yaitu jaringan eksokrin yang terdiri dari sel-sel acinar dan
saluran pankreas (pancreatic duct) serta endokrin berupa pulau-pulau Langerhans
(islet of Langerhans) (Gambar 1). Sel-sel eksokrin (sel-sel acinar) bertanggung
jawab terhadap produksi enzim. Enzim yang dihasilkan kemudian akan
disalurkan ke dalam duodenum melalui saluran pankreas (pancreatic duct).
Berbeda dengan keduanya, sel-sel endokrin dari pulau-pulau Langerhans memiliki
fungsi untuk mensekresikan hormon yang kemudian akan dialirkan melalui aliran
darah ke seluruh tubuh. Sel-sel endokrin yang letaknya tersebar diantara sel-sel
eksokrin memiliki jumlah yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan eksokrin.
Pada pankreas perbandingan antara jumlah sel-sel endokrin dan eksokrin
mencapai 1 : 10. (Ramiya et al. 2000, Murtaugh et al. 2007).
Gambar 1. Pankreas manusia, (a) pankreas, (b) sel acinar, (c) saluran pankreas, (d) sel alfa, (e) sel beta, (f) sel beta pankreas mensekresikan insulin ke dalam pembuluh darah, (g) insulin membantu penyerapan glukosa pada sel otot (NIH 2001).
a b
c
d
e
f
g
5
Pada awal pembentukannya, sel-sel endokrin pada pankreas dihasilkan
dari tunas (buds) yang muncul pada sel-sel epitel pada saluran pakreas atau
disebut juga dengan epithelium duct cells. Tunas tersebut kemudian tumbuh
hingga membentuk struktur spheroid. Setelah berbentuk spheroid, kumpulan sel
tersebut kemudian bermigrasi ke dalam jaringan acinar, mengalami angiogenesis
(pembentukan pembuluh darah) dan menjadi matang (mature). Kematangan sel-
sel endokrin tersebut ditandai dengan kemampuan sel-sel tersebut untuk
menghasilkan hormon dan mensekresikannya ke dalam pembuluh darah (Ramiya
et al. 2000, Peck et al. 2002, Oliver-Krasinski & Stoffers 2008).
Sel-sel endokrin/pulau-pulau Langerhans merupakan suatu kumpulan sel
yang terdiri dari 5 tipe sel yang berbeda, yaitu sel alfa (α) yang mensekresikan
hormon glukagon, sel beta (β) mensekresikan insulin, sel delta (δ) mensekresikan
somatostatin, sel PP mensekresikan pancreatic polypeptide, serta sel epsilon (ε)
yang mensekresikan ghrelin (Murtaugh et al. 2007). Namun, sel epsilon hanya
dapat ditemukan pada saat pembentukan dan perkembangan pankreas. Setelah
kelahiran jumlah sel tersebut akan menurun hingga akhirnya menghilang. Hal
tersebut menyebabkan sel-sel epsilon tidak banyak diketahui (Brissova & Powers
2008).
Pada rodentia (mencit dan tikus), morfologi pulau-pulau Langerhans
berupa kumpulan sel yang berbentuk bola (spheroid) dengan sel-sel beta terletak
di tengah-tengah dan dikelilingi atau dibungkus oleh sel-sel alfa. Sedangkan sel-
sel delta terletak tersebar diantara sel beta dan alfa (Ramiya et al. 2000, Bouwens
2004). Pada manusia, non-human primate, babi, dan anjing, letak sel beta
pankreas tidak berada di tengah-tengah atau menjadi inti dari pulau-pulau
Langerhans tapi tersebar di antara sel-sel lainnya (alfa, delta dan PP) (Brissova &
Powers 2008). Berdasarkan populasi ke empat sel endokrin yang ada, sel beta
pankreas memiliki jumlah yang paling banyak, yaitu sekitar 80% dari seluruh sel-
sel endokrin, diikuti dengan sel alfa, sel delta dan sel PP (Murtaugh et al. 2007,
Brissova & Powers 2008).
6
Proses Pembentukan Insulin
Insulin merupakan protein yang dihasilkan oleh sel beta dari pulau-pulau
Langerhans pankreas. Gen yang bertanggung jawab terhadap produksi insulin
pada mencit dan tikus (rodentia) adalah insulin 1 dan insulin 2. Kedua gen
tersebut bukan merupakan pasangan gen atau alel (non-allelic insulin genes)
(Artner & Stein 2008). Insulin 1 berasal dari insulin 2 karena insulin 1
merupakan hasil duplikasi dari insulin 2. Perbedaan antara kedua gen tersebut
terletak pada pengurangan sekitar 500 basepairs (bp) di bagian awal (upstream)
pada situs trankripsi pada insulin 1. Selain itu pada bagian yang mengkode
(coding region) pada insulin 1 juga hanya diselingi oleh 1 intron. Intron tersebut
jika disesuaikan letaknya pada insulin 2 berada pada intron pertama, sedangkan
intron kedua dan selanjutnya tidak dimiliki oleh insulin 1 (Devaskar et al. 1993,
Giddings et al. 1994, Artner & Stein 2008).
Ekspresi dari insulin 2 sebagai gen asal (ancestral gene) diekspresikan
tidak hanya pada organ pankreas namun juga dapat ditemukan ekspresinya pada
bagian otak. Sedangkan ekspresi dari insulin 1 hanya dapat ditemukan pada
pankreas. Pada pankreas ekspresi kedua gen tersebut (insulin 1 dan insulin 2)
menunjukkan ekspresi yang sama besar/setara yang menandakan bahwa kedua
gen tersebut memiliki peranan yang sebanding di dalam sintesa insulin pada
pankreas (Devaskar et al. 1993, Giddings et al. 1994).
Pada proses sintesis insulin, gen insulin akan ditranskripsikan menjadi
mRNA yang kemudian akan ditranslasi menjadi prekursor protein yang disebut
preproinsulin. Preproinsulin tersusun dari 4 bagian dengan urutan sebagai berikut,
rantai A, C-peptide, rantai B dan signal peptide (berupa hydrophobic N-terminal).
Signal peptide adalah suatu peptida yang terdapat pada prekursor protein dan
merupakan karakteristik dari protein yang akan disekresikan oleh hewan,
tumbuhan maupun bakteri. Signal peptide pada prekursor protein tersebut
menyandi tujuan atau tempat dimana prekursor protein akan dibawa dan
mengalami proses selanjutnya (post-translation process). Ketika disekresikan ke
dalam sitosol signal peptide akan berinteraksi dengan signal recognition particle
(SRP), yaitu partikel ribonucleoprotein di dalam sitosol yang akan memfasilitasi
pemisahan rantai polipeptida sehingga dihasilkan proinsulin (rantai A, C-peptide,
7
dan rantai B). Proinsulin kemudian akan ditranslokasikan ke dalam lumen
retikulum endoplasmik (RE) melalui peptide-conducting channel dan mengalami
perubahan bentuk sehingga menghasilkan bentuk dasar dari insulin akibat ikatan
sulfida yang terbentuk antara sulfid pada rantai A dan B. Setelah itu, proinsulin
kemudian dibawa menuju golgi aparatus (badan golgi) untuk dikemas dan
kemudian dilepas ke dalam sitoplasma berupa kantung-kantung yang nantinya
akan disekresikan (secretory vesicles). Di dalam secretory vesicles tersebut
proinsulin mengalami proses pematangan yaitu pemisahan rantai insulin dengan
peptida penghubungnya (connecting peptide atau C-peptide) sehingga dihasilkan
insulin dan C-peptide (Gambar 2). Keduanya kemudian akan disekresikan secara
bersamaan ke dalam darah pada saat terjadi peningkatan glukosa dalam darah
(Bosher 2001 & Steiner 2008).
Gambar 2. Proses sintesis insulin. (a) proinsulin dalam retikulum endoplasma membentuk bentuk dasar insulin, terjadi ikatan sulfida antar sulfid pada rantai A dan B, (b) proinsulin kemudian dikemas oleh badan golgi berupa kantung (vesicles), (c) dalam vesicles proinsulin mengalami pematangan membentuk insulin dan C-peptide dan siap disekresikan oleh secretory granules (Bosher 2001).
a
b
c
8
Diabetes dan Penanganannya
Sel beta pankreas dan sel alfa merupakan komponen terpenting dalam sel
endokrin pada pankreas. Setelah mengkonsumsi makanan (karbohidrat), kadar
gula (glukosa) dalam darah akan meningkat. Insulin yang dihasilkan oleh sel beta
pankreas akan menstimulasi penyerapan glukosa oleh sel-sel tubuh serta
menstimulasi hati untuk mengubah glukosa menjadi glikogen dan menyimpannya
dalam hati dan otot. Sedangkan pada saat terjadi penurunan glukosa, sel alfa akan
mensekresikan hormon glukagon yang menstimulasi hati untuk mengubah
glikogen menjadi glukosa (Bouwens & Rooman 2005).
Ketidakmampuan tubuh untuk menjaga keseimbangan kadar gula dalam
darah merupakan karakterisik dari penyakit diabetes. Berdasarkan data WHO,
diabetes diperkirakan akan diderita oleh lebih dari 150 juta orang di dunia dan
prevalensinya akan meningkat menjadi 2 kali lipat pada tahun 2025 (WHO 2002).
Berdasarkan tipenya, diabetes dapat dikelompokkan menjadi 2 tipe utama,
yaitu diabetes tipe 1 dan tipe 2. Diabetes tipe 1 juga dikenal sebagai Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Penyakit tipe ini disebabkan karena
adanya kegagalan sistem imun dalam tubuh sehingga sistem imun tubuh
mengenali sel beta pankreas sebagai suatu benda asing yang harus dimusnahkan.
Berkurangnya hingga hilangnya sel beta pankreas menyebabkan jumlah insulin
yang dihasilkan tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh dan terus menurun
hingga akhirnya tidak lagi dihasilkan. Diabetes tipe ini ditangani dengan
penambahan insulin (exogenous insulin) secara berkala untuk memenuhi
kebutuhan tubuh akan insulin ataupun dengan melakukan transplantasi sel beta
pankreas maupun pankreas secara utuh sehingga tubuh kembali menghasilkan
insulin (Dugi 2006, Noguchi 2007, Oliver-Krasinski & Stoffers 2008).
Sedangkan pada diabetes tipe 2 atau disebut juga dengan Non Independent
Diabetes Mellitus (NIDDM), umumnya terjadi karena berkurangnya sensitivitas
reseptor insulin pada sel-sel tubuh. Hal ini menyebabkan insulin yang diperlukan
untuk menurunkan kadar gula dalam darah meningkat jumlahnya dari jumlah
yang seharusnya. Pengobatan yang dilakukan pada diabetes tipe 2 ini adalah
menstimulasi sel beta pankreas sehingga menghasilkan lebih banyak insulin.
9
Namun, pengobatan tersebut dapat menyebabkan terjadinya kelelahan pada sel
beta sehingga dalam proses yang berkelanjutan diabetes tipe 2 akan berubah
menjadi diabetes tipe 1 (Dugi 2006, Noguchi 2007, Oliver-Krasinski & Stoffers
2008).
Secara alami peningkatan jumlah sel beta pankreas terjadi pada saat masa
tubuh meningkat atau saat adanya pertambahan berat badan serta pada masa
kehamilan. Hal tersebut disebabkan karena di dalam pankreas terdapat sel-sel
progenitor yang terstimulasi untuk membentuk sel beta pankreas guna memenuhi
peningkatan kebutuhan tubuh akan insulin (Bouwens 2004). Namun, kecepatan
pembentukan sel beta pankreas yang tidak dapat mengimbangi kerusakan dan
kematian sel, serta adanya autoimmune attack pada diabetes tipe 1 menyebabkan
pasien harus mendapatkan transplantasai sel beta pankreas.
Kesulitan dalam pengadaan sel beta pankreas disebabkan karena sel-sel
tersebut tidak dapat diperbanyak melalui metode kultur. Selain itu jumlah sel
yang diperlukan dalam satu kali proses transplantasi juga cukup banyak (Colman
et al. 2004). Hal tersebut menunjukkan kendala yang harus dihadapi dalam
penggunaan cell replacement therapy untuk menanggulangi penyakit diabetes
yang timbul akibat kerusakan sel beta pankreas.
Embryonic Stem Cells
Stem cells adalah sel yang memiliki kemampuan untuk memperbaharui
diri (self-renewal) dan berdiferensiasi menjadi sel lain dengan fungsi yang lebih
spesifik. Kemampuan tersebut ditentukan oleh daya plastisitas yang dimilikinya
atau disebut juga dengan sifat pluripoten. Sifat pluripoten menyebabkan stem
cells mampu berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel dalam tubuh yang
dihasilkan dari tiga lapis kecambah, yaitu ektoderm, mesoderm, dan endoderm.
Namun demikian, sifat pluripoten tersebut akan berkurang seiring dengan
terjadinya diferensiasi atau pembentukan sel yang lebih spesifik (Burdon et al.
2002, NIH 2001, Mayhal et al. 2004).
Secara umum stem cells memiliki karakteristik morfologi berupa inti sel
(nukleus) yang besar bila dilihat dari perbandingan antara nukleus dengan
sitoplasmanya. Selain itu stem cells juga memiliki kecenderungan untuk tumbuh
10
membentuk koloni berlapis yang kompak (compact multilayered colonies).
Karakteristik lain yang dimiliki oleh stem cells adalah fase G1 yang pendek pada
siklus selnya, serta memiliki aktivitas telomerase yang tinggi, dan ukuran
telomere yang lebih panjang bila dibandingkan dengan sel-sel pada umumnya
(Bhat et al. 2004).
Berdasarkan sumbernya stem cells dapat dikelompokan menjadi 2
kelompok utama, yaitu embrionik (embryonic stem cells, ESC) dan non-
embrionik (adult stem cells, ASC). Embryonic stem cells adalah stem cells yang
diperoleh atau diisolasi dari embrio. Sedangkan ASC atau yang juga dikenal
sebagai mesenchymal stem cells (MSC) ataupun multipotent adult progenitor cells
(MAPC), adalah sel yang ditemukan di berbagai jaringan tubuh yang memiliki
fungsi untuk menjaga keseimbangan dan memperbaiki jaringan tubuh. Adult
stem cells dapat diisolasi dari sumsum tulang, otak, hati, kulit, lemak, otot, dan
darah (Davila et al. 2004). Namun dari kedua sumber utama stem cells tersebut,
ESC merupakan stem cells yang paling baik karena kemampuan proliferasinya
dalam waktu yang lebih panjang (long-term self-renewal) dan
kemampuan diferensiasinya menjadi berbagai tipe sel dari 3 lapis kecambah,
serta imunitas yang lebih rendah bila dibandingkan dengan stem cells dari sumber
lainnya (NIH 2001, Lie & Xie 2005).
Embryonic stem cells mulai diisolasi pada tahun 1980an. Diawali dengan
keberhasilan Evans dan Kaufman dalam mengisolasi inner cell mass dari
blastosis mencit pada tahun 1981. Selain itu, Evans dan Kaufman juga berhasil
menemukan kondisi kultur in vitro yang baik sehingga dapat menumbuhkan ESC
mencit hingga menghasilkan cell lines (sel yang telah diisolasi dan dikultur
secara in vitro dengan tetap mempertahankan sifat-sifat yang dimilikinya). Pada
penelitian-penelitian selanjutnya selain berhasil membiakkan stem cells para
peneliti juga melakukan pengarahan stem cells secara in vitro sehingga stem cells
berdiferensiasi menjadi sel-sel dengan tipe tertentu. Hal tersebut kemudian
menjadikan stem cells sebagai sumber sel yang sangat potensial bagi terapi untuk
menggantikan sel-sel atau jaringan yang rusak (NIH 2001).
11
Berbagai penelitian pada hewan coba telah dilakukan dengan
menggunakan stem cells sebagai terapi terhadap suatu penyakit dengan hasil yang
lebih baik bila dibandingkan dengan terapi konvensional. Penyakit-penyakit
yang dapat disembuhkan dengan menggunakan stem cells antara lain luka bakar,
penyakit jantung, stroke, diabetes tipe 1, osteoarthritis dan rheumatoid arthritis,
Parkinson dan Alzheimer, serta penyakit-penyakit lain yang diakibatkan
kerusakan sistem saraf (NIH 2001, Bhat et al. 2005). Namun penggunaan stem
cells tidak hanya terbatas dalam terapi pada penyakit tapi juga digunakan pada
penelitian-penelitian dasar (basic research) seperti dalam memahami kejadian
kompleks yang terjadi dalam proses perkembangan (development). Selain itu
stem cells juga digunakan dalam mempelajari fungsi-fungsi gen yang terkait
dalam mekanisme “on” dan “off” nya suatu gen, ataupun pada proses
pengembangan suatu obat (drug development) (NIH 2001, Davila et al. 2004,
Bhat et al. 2005, Trounson 2006).
Isolasi Inner Cell Mass
Embryonic stem cells diperoleh dengan mengisolasi inner cell mass (ICM)
dari embrio pada fase blastosis. Blastosis adalah suatu tahapan pada
perkembangan embrionik pada saat embrio mencapai pertumbuhan pada hari ke 4
setelah terjadinya pembuahan. Pada saat tersebut embrio mengalami kompaksi
dan sel-sel pada bagian paling luar akan mensekresikan suatu cairan. Dominasi
cairan tersebut akan mendesak sel-sel yang berada pada bagian dalam sehingga
terkumpul pada satu sisi dan menghasilkan suatu rongga yang berisi cairan yang
disebut dengan blastosol. Sel-sel yang mengeliling pada bagian paling luar
dinamakan trophectoderm. Sedangkan sel-sel yang terkumpul pada bagian tengah
disebut dengan inner cell mass (ICM) (Nagy et al. 2003, O’Shea et al. 2004,
Zwaka & Thomson 2005) (Gambar 3). Inner cell mass tersebut yang kemudian
akan diisolasi dan menjadi sumber dari ESC.
Inner cell mass digambarkan sebagai suatu koloni dengan ukuran sel yang
kecil, mempunyai nukleus berukuran besar dan sitoplasma yang sedikit. Selain
itu jumlah dan kualitas ICM juga sangat dipengaruhi oleh kualitas pertumbuhan
blastosis (Stojkovic et al. 2004, Kim et al. 2005).
12
Namun sebelum dilakukan isolasi ICM, zona pelucida yang membungkus
blastosis harus dihilangkan terlebih dahulu. Zona pellucida adalah lapisan
glikoprotein yang membungkus embrio, yang berfungsi untuk menjaga kesatuan
embrio saat embrio belum mengalami kompaksi (pre-compacted). Pada in vivo,
zona pellucia akan lisis akibat enzim tripsin yang dihasilkan oleh sel-sel
tropechtoderm, yang disebut dengan stripsin (Budhiarko et al. 2008). Pada in
vitro, proses penghilangan zona pellucida dilakukan dengan menggunakan enzim
pronase berkonsentrasi 0,25-0,50% (Oh et al. 2005) ataupun menggunakan asam
tyrode (Cowan et al. 2004, Skottman & Hovatta 2006).
Gambar 3. Embrio fase blastosis: (a) zona pellucida; (b) trofoblas; (c) blastosol; (d) inner cell mas, ICM. Bar = 40 μm
Pengisolasian ICM dari blastosis dapat dilakukan dengan metode
immunosurgery, microsurgery atapun enzimatik (Nagy et al. 2003, Bryja et al.
2006). Umumnya metode yang banyak digunakan adalah metode
immunosurgery. Prinsip dasar dalam metode immunosurgery adalah
pengisolasian ICM dengan cara melisiskan sel-sel trophectoderm yang ada di
sekeliling ICM. Pelisisan sel-sel trophectoderm dilakukan dengan bantuan
antibodi dan komplemen. Antibodi akan berikatan dengan sel-sel trophectoderm
(antigen) sehingga terbentuk kompleks antigen-antibodi. Kemudian dengan
penambahan komplemen akan terjadi lisis pada sel-sel trophectoderm akibat
d
c
b
a
13
adanya aktivasi cascade complement yang menyebabkan terjadinya membrane
attack complex (Nagy et al. 2003) sehingga diperoleh ICM sebagai hasil akhir
(Gambar 4).
Pada microsurgery, ICM diperoleh dengan melakukan pembedahan mikro
terhadap blastosis. Sedangkan pada metode enzimatik digunakan enzim trypsin
dengan konsentrasi 2.5% (Bryja et al. 2006). Namun selain kedua metode
tersebut, isolasi juga dapat dilakukan dengan cara alami yaitu dengan
membiarkan blastosis untuk melekat (attach) dan kemudian mengisolasi ICM
yang berupa agregat (Cowan et al. 2004, Bryja et al. 2006, Hoffman & Carpenter
2005). Ataupun menggunakan teknik single cell embryo biopsy yaitu teknik yang
umum digunakan pada saat melaluikan pre-implantation genetic diagnosis (PGD)
(Chung et al. 2005, Skottman & Hovatta 2006).
Gambar 4. Isolasi ICM dengan metode immunosurgery: (a) blastosis diinkubasi dengan rabbit anti-mouse serum; (b) dilanjutkan dengan menginkubasi blastosis dengan guinea pig complement; (c) sel-sel trofoblas mengalami lisis sehingga diperoleh ICM (Nagy et al. 2003)
Dibandingkan dengan teknik immunosurgery, penggunaan microsurgery
dianggap lebih menguntungkan dalam proses isolasi ESC pada manusia. Hal ini
disebabkan karena tidak terjadinya kontak antara blastosis dengan antibodi yang
berasal dari hewan yang umumnya digunakan pada proses immunosurgery.
Kelemahan pada metode immunosurgery adalah risiko terbawanya sisa sel
trophectoderm pada proses isolasi yang dapat mempengaruhi dan menghambat
pertumbuhan ESC (Stojkovic et al. 2005, Skottman & Hovatta 2006).
c b a
14
Kultur Embryonic Stem Cell
Inner cell mass yang diperoleh kemudian dikultur dengan tetap
mempertahankan sifat undifferentiated yang dimilikinya (Pour et al. 2004). Pada
umumnya ESC dikultur dalam dulbecco’s modified eagle’s medium (DMEM)
(Sigma, USA) yang mengandung fetal bovine serum (FBS) 10-20% (Sigma,
USA), β-mercaptoethanol 0,1 mM (Sigma, USA), nonessential amino acids 1%
(Sigma, USA), penicillin-streptomycin 5 μl/ml (Sigma, USA), dan Leukimia
inhibitory factor (LIF) 20 ng/ml. Penambahan LIF dalam medium kultur
berfungsi untuk mempertahankan sifat undifferentiated ESC. Leukimia inhibitory
factor akan berikatan dengan komplek reseptor heterodimer (heterodimeric
receptor complex) yang terdiri dari LIF receptor (LIFR) dan reseptor gp 130.
Ikatan tersebut akan mengaktifkan faktor transkripsi Janus-associated tyrosine
kinases (JAK) yang melekat pada reseptor LIF dan gp 130 sehingga mengalami
fosforilasi. JAK yang terfosforilasi akan mengikat signal transducer and
activator of transcription 3 (STAT3). Ikatan yang terbentuk antara STAT3 dan
JAK menyebabkan STAT3 terfosforilasi dan memiliki kecenderungan untuk
membentuk dimer. STAT3 dalam bentuk dimer tersebut kemudian akan
bertranslokasi ke dalam nukleus dan mengaktifkan gen-gen yang terkait dalam
kemampuan self-renewal ESC (Burdon et al. 2002, Yu & Thomson 2008).
Selain penggunaan LIF, pada kultur ESC juga digunakan feeder layer
berupa mouse embryonic fibroblast (MEF). Penggunaan MEF dalam kultur ESC
dapat mengurangi konsentrasi LIF yang digunakan yaitu dari 20 ng/ml menjadi 10
ng/ml. Hal tersebut disebabkan karena MEF juga mensekresikan basic fibroblast
growth factor (bFGF) dan LIF yang berperan dalam mempertahankan sifat
undifferentiated ESC (Hoffman & Carpenter 2005, Xu et al. 2005). Mouse
embryonic fibroblast sebagai feeder cells selain menghasilkan mediator
pertumbuhan (growth promoting) juga berfungsi sebagai tempat melekat (cell
attachment factors) bagi ESC (Wobus & Boheler 2005).
15
Karakteristik Embryonic Stem Cells
Embryonic stem cells memiliki karakteristik sebagai berikut berasal dari
embrio yang belum melekat pada dinding rahim (preimplantation); dapat
berproliferasi tanpa berdiferensiasi dalam waktu yang panjang; dapat berkembang
menjadi berbagai sel yang berasal dari 3 lapis kecambah (endoderm, mesoderm,
dan ektoderm) (Kitiyanant et al. 2000).
Molekul penanda yang dapat digunakan dalam mendeteksi keadaan
undifferentiated pada ESC antara lain adanya Stage Specific Embryonic Antigen
(SSEA), Octamer-4 (Oct4), dan Nanog. Stage specific embryonic antigen adalah
glikoprotein spesifik yang diekspresikan pada awal perkembangan embrionik dan
stem cells yang belum berdiferensiasi (undifferentiated stem cells). Terdapat 3
tipe SSEA yang berperan dalam ESC, yaitu SSEA-1, -3 dan -4. SSEA-1
diekspresikan pada permukaan preimplantaion embryo dan teratocarcinoma stem
cells. SSEA-3 dan -4 disintesis selama oogenesis dan ditemukan pada permukaan
oosit, zigot, dan awal pembelahan embrio. Embryonic stem cells pada primata,
embryonic carcinoma (EC) dan ESC manusia mengekspresikan SSEA-3 dan
SSEA-4, sedangkan SSEA-1 diekspresikan oleh ESC mencit. Sedangkan Oct4
dan Nanog adalah faktor transkripsi yang berperan dalam menjaga ESC pada fase
undifferentiated (NIH 2001, Hoffman & Carpenter 2005, Wobus & Boheler
2005).
Selain itu keadaan belum berdiferensiasi (undifferentiated) dapat pula
diketahui dengan melihat aktivitas dari enzim alkaline phosphatase (AP).
Menurut O’Connor et al. 2008 pewarnaan AP merupakan indikator yang sensitif,
spesifik dan kuantitatif untuk mengetahui tingkat pluripotensi pada ESC.
Diferensiasi Embryonic Stem Cells Menjadi Sel Beta Pankreas
Stem cells yang bersifat pluripoten telah menjadi alternatif sumber sel
dalam cell replacement therapy. Pada penggunaannya, stem cells terlebih dahulu
diarahkan/diferensiasikan sehingga membentuk sel beta pankreas. Beberapa
metode yang telah dilakukan dalam diferensiasi stem cells menjadi sel beta
pankreas antara lain, melalui modifikasi genetik sehingga stem cells akan
mengekspresikan pancreas specific promotor atau melalui diferensiasi spontan
16
yang diikuti seleksi, penggunaan growth factors (seperti activin, fibroblast growth
factor, retinoic acid, dan transforming growth factor) (Shi et al. 2005; Ku et al.
2004; Skoudy et al. 2004), penggunaan extracellular matrix (seperti laminin,
firbronectin dan collagen) (Blyszczuk et al. 2004; Schroeder et al. 2006) serta
penggunaan conditioned medium (CM) (Vaca et al. 2006).
Sel beta pankreas yang terbentuk dari hasil pengarahan ESC dapat
diidentifikasi dari adanya warna merah yang dihasilkan pada pewarnaan
dithizone, ataupun dari pewarnaan imunohistokimia serta analisa menggunakan
ELISA untuk melihat adanya insulin yang dihasilkan (Shiroi et al. 2002, Lin et al.
2006, Vaca et al. 2006). Selain itu dapat juga dilakukan analisa terhadap
Connecting-peptide (C-peptide), yaitu suatu peptida yang dihasilkan dari proses
sintesis insulin (Rajagopal et al. 2003, Marques et al. 2004, Vaca et al. 2006). Sel
beta pankreas juga dapat diidentifikasi melalui ekspresi dari mRNA yang
dihasilkan pada proses sintesa insulin (proinsulin 1 dan 2) (Shiroi et al. 2005, Ku
et al. 2004, Lin et al. 2006).
Conditioned Medium
Conditioned medium adalah suatu medium yang diperoleh dari supernatan
suatu kultur sel. Penggunaan CM dalam pengarahan stem cells dilakukan karena
CM dianggap mengandung protein-protein yang disekresikan dalam kultur sel
sebelumnya. Conditioned medium dapat digunakan dalam mempertahankan
undifferentiated pada stem cells ataupun mendukung diferensiasi stem cells
menjadi suatu tipe sel tertentu. Beberapa penelitian yang telah dilakukan pada
stem cells menggunakan CM antara lain, penggunaan CM yang dihasilkan dari
kultur sel fibroblas dalam mempertahankan sifat undifferentiated ESC (Xu et al.
2004, Ouyang et al. 2007), CM dari kultur sel glial untuk mengarahkan
diferensiasi ESC menjadi sel neuron (Tian et al. 2005), CM dari kultur sel testis
yang mengarahkan diferensiasi ESC sehingga membentuk struktur ovari yang
mengandung oosit (Lacham-Kaplan et al. 2005), dan CM dari kultur pankreas
untuk mengarahkan diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas (Vaca et al.
2006).
17
Penggunan CM yang dihasilkan dari kultur primer pankreas fetus usia 16.5
hari yang disertai dengan modifikasi genetik (penyisipan gen tertentu untuk
kemudian dilakukan screening) telah mengarahkan diferensiasi ESC menjadi sel
beta pankreas melalui ekspresi insulin dan C-peptide yang dihasilkan (Vaca et al.
2006). Penelitian mengenai regenerasi pankreas pada hewan model
memperlihatkan bahwa ductal cells mengandung kumpulan progenitor yang akan
membentuk sel-sel endokrin melalui ekspresi pdx1. Sel-sel endokrin yang
dihasilkan muncul sebagai tunas/buds yang letaknya dekat dengan saluran
pankreas/ducts (Colman et al. 2004). Selain itu kultur primer pankreas ataupun
sel-sel pancreatic ducts yang dikultur selama 3-4 minggu menunjukkan adanya
sel beta pankreas melalui pewarnaan dithizone pada akhir masa kultur (Katdare et
al. 2004, Leng 2005, Lin 2006). Kedua hal tersebut membuktikan bahwa
pankreas memiliki sel-sel progenitor yang terletak pada saluran pankreas/ducts
yang berperan sebagai sumber sel bagi pembentukan sel beta pankreas. Oleh
sebab itu, CM yang dihasilkan selama masa kultur tersebut dapat digunakan
dalam pengarahan ESC menjadi sel beta pankreas karena mengandung faktor-
faktor yang mendukung diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas.