kelompok hipertensi (1)
TRANSCRIPT
HIPERTENSI
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Nilai Mata Kuliah Farmakoterapi Terapanpada Program Studi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran
Di Susun Oleh :
Fadli Nugraha 260112120507Saska Prasti 260112120521Nurul Rafiqua 260112120527Tresna Nursyamsiyah 260112120533Eka Puspita Sari 260112120545Ari Pramudiya 260112120585Dhita Analepta Purba 260112120589Syafrison 260112120605Tiara Prisca Marina Malewa 260112120609Aris Permana 260112120623
PROGRAM STUDI APOTEKERFAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARANJATINANGOR
2013
HIPERTENSI
1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada
populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg
dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps, 2005).
Hipertensi diartikan sebagai peningkatan tekanan darah secara terus
menerus sehingga melebihi batas normal. Tekanan darah normal adalah 110/90
mmHg. Hipertensi merupakan produk dari resistensi pembuluh darah perifer dan
kardiak output (Wexler, 2002).
1.1 Klasifikasi Hipertensi
a. Berdasarkan penyebabnya dikenal dua jenis hipertensi, yaitu :
1) Hipertensi Primer
Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu peningkatan persisten tekanan
arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol
homeostatik normal. Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan
mencakup + 90% dari kasus hipertensi (Wibowo, 1999).
2) Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder Adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar
kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui
dan ini menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi (Sheps, 2005).
b. Berdasarkan bentuknya hipertensi terbagi menjadi hipertensi diastolik,
campuran, dan sistolik.
1) Hipertensi Diastolik
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan
diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan
pada anak-anak dan dewasa muda.
2) Hipertensi Campuran
Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi) yaitu
peningkatan tekanan darah pada sistol dan diastol.
3) Hipertensi Sistolik
Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) yaitu peningkatan
tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik. Umumnya
ditemukan pada usia lanjut (Gunawan, 2001).
1.2 Klasifikasi Tekanan Darah
Menurut Rahmawati, pada tahun 2006 JNC VIII mengklasifikasi hipertensi
untuk usia ≥ 18 tahun, klasifikasi hipertensi tersebut dapat kita lihat pada tabel 1.
berikut:
Klasifikasi Hipertensi untuk usia≥ 18 Tahun Klasifikasi
Tekanan Sistolik(mmHg)
Tekanan Diastolik(mmHg)
Normal <120 <80
Pre Hipertensi 120-139 80-89
Stadium I 140-159 90-99
Stadium II ≥160 ≥100
2. Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar
dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke
bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan
ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang
vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin,
meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Corwin,
2001)
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi
epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol
dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh
darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal,
menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I
yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang
pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus
keadaan hipertensi (Dekker, 1996)
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer
bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia.
Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya
menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.
Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup),
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer
(Corwin, 2001).
2.1 Tekanan darah arteri
Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri dalam
millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur, tekanan darah
sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh selama
kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik jantung
diisi. Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial
dalam terbentuknya hipertensi. Faktor-faktor tersebut adalah (lihat gambar 2) :
a. Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau variasi
diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap stress
psikososial dll
b. Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor
c. Asupan natrium (garam) berlebihan
d. Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium
e. Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi
angiotensin II dan aldosteron
f. Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan peptide
natriuretik
g. Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi tonus
vaskular dan penanganan garam oleh ginjal
h. Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh
darah kecil di ginjal
i. Diabetes mellitus
j. Resistensi insulin
k. Obesitas
l. Meningkatnya aktivitas vascular growth factors
m. Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung,
karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vaskular
n. Berubahnya transpor ion dalam sel (Depkes RI, 2006).
Gambar 2: Mekanisme patofisiologi dari hipertensi (Vasan RS, 2001).
3. Manisfestasi Klinik Hipertensi
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan
darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti
perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada
kasus berat, edema pupil (edema pada diskus optikus). Individu yang menderita
hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala bila
ada akan menunjukkan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas
sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan.
Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia
(peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma (peningkatan nitrogen urea
darah (BUN) dan kreatinin). Keterlibatan pembuluh darah otak dapat
menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai
paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan
(Wijayakusuma, 2000).
Crowin (2000) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul
setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa nyeri kepala saat terjaga,
kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah
intrakranial, penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi,
pergerakan langkah kaki yang tidak tepat karena kerusakan susunan saraf pusat,
nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema
dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing,
wajah menjadi merah, sakit kepala, keluarnya darah dari hidung secara tiba-tiba,
tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Wiryowidagdo, 2002). Secara umum pasien
dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah mempunyai faktor resiko
tambahan (lihat tabel 2), tetapi kebanyakan asimptomatik.
Faktor resiko mayorHipertensiMerokokObesitas (BMI ≥ 30)ImmobilitasDislipidemiaDiabetes Melitus
Mikroalbuminuria atau perkiraan GFR < 60 ml/minUmur (> 55 tahun untuk laki-laki, > 65 tahun untuk perempuan)Riwayat keluarga untuk penyakit kardiovaskular prematur (laki-laki < 55 tahun atau perempuan < 65 tahun)
Kerusakan organ targetJantung : Left ventricular hypertrophy
Angina atau sudah pernah infark miokardSudah pernah revaskularisasi koronerGagal jantung
Otak : Stroke atau TIAPenyakit ginjal kronisPenyakit arteri periferRetinopathy
BMI = Body Mass Index; GFR = glomerular Filtration Rate; TIA = transient ischemic attack
Tabel 2. Faktor-faktor resiko kardiovaskular
4. Diagnosis
Diagnosis yang akurat merupakan langkah awal dalam penatalaksanaan
hipertensi. Akurasi cara pengukuran tekanan darah dan alat ukur yang digunakan,
serta ketepatan waktu pengukuran. Pengukuran tekanan darah dianjurkan
dilakukan pada posisi duduk setelah beristirahat 5 menit dan 30 menit bebas rokok
dan kafein. Pengukuran tekanan darah posisi berdiri atau berbaring dapat
dilakukan pada keadaan tertentu. Sebaiknya alat ukur yang dipilih adalah
sfigmamonometer air raksa dengan ukuran cuff yang sesuai. Balon di pompa
sampai 20-30 mmHg diatas tekanan sistolik yaitu saat pulsasi nadi tidak teraba
lagi, kemudian dibuka secara perlahan-lahan. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari auscultatory gap yaitu hilangnya bunyi setelah bunyi pertama
terdengar yang disebabkan oleh kekakuan arteri (Prodjosudjadi, 2000).
Pengukuran ulang hampir selalu diperlukan untuk menilai apakah
peninggian tekanan darah menetap, sehingga memerlukan intervensi segera atau
kembali ke normal sehingga hanya memerlukan kontrol yang periodik. Selain itu
diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menilai faktor resiko kardiovaskuler lain
seperti hiperglikemi atau hiperlipidemi yang dapat dimodifikasi dan menemukan
kerusakan organ target akibat tingginya tekanan darah seperti hipertrofi ventrikel
kiri atau retinopati hipertensi pada funduskopi. Tentu saja sebelum melakukan
pemeriksaan fisik diperlukan anamnesis yang baik untuk menilai riwayat
hipertensi dalam keluarga, riwayat penggunaan obat antihipertensi atau obat lain,
gejala yang berhubungan dengan gangguan organ target, kebiasaan dan gaya
hidup serta faktor psikososial (Prodjosudjadi, 2000).
Hipertensi seringkali disebut sebagai “silent killer” karena pasien dengan
hipertensi esensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan fisik yang
utama adalah meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali atau
lebih dalam waktu dua kali kontrol ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi.
Tekanan darah ini digunakan untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan sesuai
dengan tingkatnya (lihat tabel 1) (Depkes RI, 2006).
5. Hasil Terapi yang Diinginkan
5.1 Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah :
Penurunan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi
(JNC7). Mortalitas dan morbiditas ini berhubungan dengan kerusakan organ target
(misal: kejadian kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, dan penyakit
ginjal). Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan pilihan
terapi obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang menunjukkan
pengurangan resiko.
5.2 Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII adalah :
a. Kebanyakan pasien < 140/90 mm Hg
b. Pasien dengan diabetes < 130/80 mm Hg
c. Pasien dengan penyakit ginjal kronis < 130/80 mm Hg
6. Penatalaksanaan Hipertensi
6.1 Terapi Non Farmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam
penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus
melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang sudah terlihat menurunkan
tekanan darah dapat terlihat pada (tabel 4) sesuai dengan rekomendasi dari JNC
VII. Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi,
modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke
hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi (He J, 2000).
Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan
darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk,
mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang
kaya akan kalium dan kalsium, diet rendah natrium, aktifitas fisik, dan
mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah pasien dengan pengkontrolan
tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi, mengurangi
garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari menggunakan obat
(Hyman DJ, 2001)
Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk menurunkan
berat badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan obesitas disertai
pembatasan pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan ke
pasien, dan dorongan moril. Fakta-fakta berikut dapat diberitahukan kepada
pasien supaya pasien mengerti rasionalitas intervensi diet (Dosh SA, 2001) :
a. Hipertensi 2 – 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding orang dengan
berat badan ideal
b. Lebih dari 60 % pasien dengan hipertensi adalah gemuk (Overweight)
c. Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4.5 kg) dapat menurunkan
tekanan darah secara bermakna pada orang gemuk
d. Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang juga prekursor
dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat berlanjut ke Diabetes
Melitus tipe 2, dislipidemia, dan selanjutnya ke penyakit kardiovaskular (Sacks
FM, 2001).
e. Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh dapat menurunkan
tekanan darah pada individu dengan hipertensi (Vollmer WM, 2001).
f. Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam,
kebanyakan pasien mengalami penurunaan tekanan darah sistolik dengan
pembatasan natrium (Whelton Sp, 2002)
VII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya dengan buah,
sayur, dan produk susu redah lemak dengan kadar total lemak dan lemak jenuh
berkurang. Natrium yang direkomendasikan < 2.4 g (100 mEq)/hari. Aktifitas
fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik secara teratur paling
tidak 30 menit/hari beberapa hari perminggu ideal untuk kebanyakan pasien. Studi
menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan
menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini dapat
terjadi walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Pasien harus konsultasi
dengan dokter untuk mengetahui jenis olahraga mana yang terbaik terutama untuk
pasien dengan kerusakan organ target.
Merokok merupakan faktor resiko utama independen untuk penyakit
kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok harus dikonseling berhubungan
dengan resiko lain yang dapat diakibatkan oleh merokok.
Tabel Modifikasi Gaya Hidup Untuk Mengontrol Hipertensi (Muchid A, 2006;
Doqi, 2004; Vollmer WM, 2001; Parker M, 2001) :
Modifikasi Rekomendasi Kira-kira penurunan tekanan darah, range
Penurunan berat badan (BB)
Pelihara berat badan normal (BMI 18.5-24.9)
5-20 mmHg/ 10 kg penurunan
Adopsi pola makan DASH
Diet kaya dengan buah, sayur, dan produk susu rendah lemak
8-14 mmHg
Diet rendah sodium Mengurangi diet sodium, tidak lebih dari 100 meq/L (2,4 g sodium atau 6 gram sodium klorida)
2-8 mmHg
Aktifitas fisik Regular aktifitas fisik aerobik seperti jalan kaki 30 menit/hari, beberapa hari/minggu
4-9 mmHg
Minum alkohol sedikit saja
Limit minum alkohol tidak lebih dari 2/hari (30 ml etanol (misal.720 ml beer, 300ml wine) untuk
2-4 mmHg
laki-laki dan 1/hari untukperempuan
Singkatan: BMI, body mass index, BB, berat badan, DASH, Dietary Approach to Stop Hypertension* Berhenti merokok, untuk mengurangi resiko kardiovaskular secara keseluruhan
6.2 Terapi Farmakologi
Ada 9 kelas obat antihipertensi. Diuretik, penyekat beta, penghambat enzim
konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan
antagonis kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Sedangkan
penyekat alfa, agonis alfa-2 sentral, penghambat adrenergik, dan vasodilator
digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat
utama. Evidence-based medicine adalah pengobatan yang didasarkan atas bukti
terbaik yang ada dalam mengambil keputusan saat memilih obat secara sadar,
jelas, dan bijak terhadap masing-masing pasien dan/atau penyakit. Praktek
evidence-based untuk hipertensi termasuk memilih obat tertentu berdasarkan data
yang menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular atau
kerusakan target organ akibat hipertensi. Bukti ilmiah menunjukkan kalau sekedar
menurunkan tekanan darah, tolerabilitas, dan biaya saja tidak dapat dipakai dalam
seleksi obat hipertensi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, obat-obat
yang paling berguna adalah diuretik, penghambat enzim konversi angiotensin
(ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), penyekat beta, dan antagonis
kalsium (CCB) (Depkes RI, 2006). Kebanyakan pasien dengan hipertensi
memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan
darah yang diinginkan. Penambahan obat kedua dari kelas yang berbeda dimulai
apabila pemakaian obat tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan
darah. Apabila tekanan darah melebihi 20/10 mmHg diatas target, dapat
dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat, yang harus diperhatikan
adalah resiko untuk hipotens ortostatik, terutama pada pasien-pasien dengan
diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia. (Chobaniam AV, 2003).
Tabel 6.1 Golongan Obat-Obat Hipertensi Pilihan Utama (Depkes RI, 2006) :
Golongan / Obat Mekanisme kerja Dosis Efeks Samping Kontraindikasi KeteranganDiuretik Tiazid
1. Hidroklorotiazid2. Indapamide3. Klortalidon
Loop1. Bumetanide2. Furosemide
diuretik bekerja pada ginjal, mengeluarkan kelebihan garam dari darah. Hal ini menaikkan aliran urin dan keinginan untuk urinasi, sehingga menurunkan jumlah air dalam tubuh-membantu menurunkan tekanan darah.
12.5-50 (1x) 1.25-2.5 (1x) 6.25-25 (1x)
0.5-4 (2x)20-80 (2x)
Menyebabkan hipokalemia dalam dosis tinggi, hiponatremia dan hipomagnemia.
Menyebabkan hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium darah.
Pemberian pagi hari untuk menghindari diuresis malam hari, monitoring tambahan untuk pasien dengan sejarah pirai
Pemberian pagi dan sore mencegah diuresis malam hari; dosis lebih tinggi diperlukan untuk pasien dengan GFR sangat rendah atau gagal jantung.
ACE inhibitor1. Benazepril2. Captopril3. Tanapres
mencegah tubuh membuat hormon angiotensin II – yang menyebabkan pembuluh darah menyempit, yang dapat menaikkan tekanan darah. ACE inhibitor membiarkan pembuluh darah melebar dan membiarkan lebih banyak darah mengalir ke jantung.
10-40 (1-2x)12.5-150 (2-3x)1-4 (1-2x)
Batuk kering, hipotensi, hiperkalemia, gagal injal akut, rash gangguan pengecapan, proteinuria, efek teratogenik
Wanita hamil dan ibu menyusui
Dosis awal harus dikurangi 50% pada pasien yang sudah dapat diuretik, yang kekurangan cairan, atau sudah tua sekali karena resiko hipotensi, jangan digunakan pada perempuan hamil atau pada pasien dengan sejarah angioedema.
Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
1. Kandesartan2. Telmisartan 3. Valsartan
ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II
8-32 (1-2x)20-80 (1x)80-320 (1x)
Hipotensi, dapat terjadi pada pasien dengan kadar renin tinggi sperti gagal jantung, sirosis
Pada kehamilan trimester 2 dan 3, dan wanita menyusui. Stenosis arteri renalis
Dosis awal harus dikurangi 50% pada pasien yang sudah dapat diuretik, yang kekurangan cairan, atau
yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen dari glomerulus.
hepatis. Fetotoksik. bilateral. sudah tua sekali. Dapat menyebabkan gagal ginjal pada pasien dengan renal arteri stenosis, jangan digunakan pada ibu hamil
Beta Blocker1. Atenolol 2. Metoprolol
3. Propranolol
Bekerja dengan memblok efek adrenalin pada berbagai bagian tubuh. Bekerja pada jantung untuk meringankan stress sehingga jantung memerlukan lebih sedikit darah dan oksigen meringankan kerja jantung sehingga menurunkan tekanan darah.
25-100 (1x)50-200b (1x)
160-480 (2x)
Menyebabkan bradikardi, blokade AV, hambatan modus SA, dan menurunkan kontraksi miokard
KI pada keadaan bradikardi dan blokade AV derajad 2 dan 3,sick sinus syndrome, gagal jantung belum stabil
Pemberhentian tiba-tiba dapat menyebabkan hipertensi rebound; dosis rendah s/d sedang menghambat reseptor β1, dosis tinggi menstimulasi reseptor β2.
menghambat reseptor β1 dan β2 pada semua dosis, dapat memperparah asma.
Antagonis Kalsium1. Dihidropiridin 2. Amlodipin
3. Verapamil
Memperlambat pergerakan kalsium ke dalam sel jantung dan dinding arteri (pembuluh darah yang ,membawa darah dari jantung ke jaringan) – sehingga arteri menjadi relax dan menurunkan tekanan dan aliran darah di jantung.
2.5-10 (1x)2.5-10 (1x)
180-360 (1x)
Hipotensi dan iskemia miokard. Sakit kepala, muka merah terjadi karena vasodilatasi arteri di daerah muka. Konstipasi,dan retensi urin.
Dihidropiridin yang bekerja cepat (long-acting) harus dihindari, dapat menyebabkan pelepasan simpatetik refleks (takhikardia), pusing, sakit kepala, flushing, dan edema perifer;
Tabel 6.1.1 Golongan Obat Antihipertensi Pilihan Alternatif (Dipiro, 2008):
ANTIHIPERTENSI ALTERNATIF
Kelas Mekanisme Kerja Nama Obat Dosis Lazim(mg/hari)
Efek Samping KI Keterangan
α1- Bloker(Penyekat
Reseptor α1 )
Bekerja selektif pada pembuluh darah perifer dan menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot halus, menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah
Doxazosin(Cardura)
Prazosin(Minipress)
Terazosin (Hytrin)
1-8 (1xsehari)
2-20 (2-3xsehari)
1-20 (1-2xsehari)
Hipotensi ortostatik, pusing, palpasi, sakit kepala, jantung berdebar, terjadi retensi garam dan air.
Dosis pertama harus diberikanmalam sebelum tidur;beritahu pasien untuk berdiriperlahan-lahan dari posisiduduk atau berbaring untukmeminimalkan resikohipotensi ortostatik;Keuntungan tambahan untuklaki-laki dengan BPH(benign prostatichyperplasia) memblok postsinaptik alfa adrenergic ditempat kapsul prostat menyebabkan relaksasi. Kombinasi baik dengan diuretik
Direct Renin Inhibitor
Menghambat system rennin-angiotensin-aldosteron pada titik pengaktifannya, sehingga mengakibatkan
Aliskiren(Tekturna)
150-300 (1xsehari)
Wanita hamil Hanya digunakan untuk terapi alternative karena tidak ada study yang berkelanjutan tentang evaluasi obat ini.
berkurangnya aktivitas renin di dalam plasma
Central α2-Agonis
Menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang reseptor α2
adrenergik di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatik di pusat vasomotor diotak dan meningkatkan tonus vagal, penurunan aktivitas simpatik, meningkatnya aktivitas parasimpatik sehingga terjadi penurunan tekanan darah, resistensi vascular perifer berkurang, reduksi laju jantung dan cardiac output, aktivitas plasma renin.
Klonidin(Catapres)
Klonidin patch(catapres-TTS)
Metildopa(Alldomet)
0,1-0,8 (2xsehari)
0,1-0,3 (1weekly)
250-1000(2xsehari)
Hipotensi ortostatik, mulut kering, sedasi, pusing, depresi, retensi air dan garam, kabur penglihatan.
Metildopa dapatmenyebabkan hepatitis atau anemia hemolitik, walaupun jarang terjadi
Hati-hati bila digunakan pada lansia
Pemberhentian tiba-tiba klonidin dapatmenyebabkan reboundhypertension; paling efektifbila diberikan bersamadiuretik untuk mengurangiretensi cairan; Klonidin sering digunakan untuk hipertensi yang resisten; Metildopa adalah obat lini pertama untuk hipertensi pada kehamilan. Metildopa harus diberhentikan segera apabila kenaikan serumtransaminase atau alkalin fosfatase liver menetap karena ini menunjukkan onsetdari hepatitis fulminan, bisa mengancam nyawa
Antagonis Adrenergik
Perifer
Menurunkan tekanan darah dengan mengosongkan NE dari
Reserpin(Hanya generik)
0,05-0,25 (1xsehari)
Retensi garam dan air, hidung tersumbat, sedasi, depresi, diare,
Tidak boleh diberikan kepada pasien
Harus di kombinasikan dengan diuretic (tiazid lebih disukai) untuk
ujung saraf simpatik dan memblok perjalanan NE ke granul penyimpanan. Mengosongkan katekolamin dari otak ke miokardium dan terjadi berkurangnya curah jantung.
peningkatan sekresi asam lambung, bradikardia, hilang nafsu makan, disfungsi ereksi.
dengan riwayat depresi dan juga pasien dengan riwayat peptic ulcer.
mengurangi retensi cairan.Reserpin digunakan sebagai terapi lini ke tiga pengobatan hipertensi
Vasodilator arteri
langsung (Direct Arterial
Vasodilators)
Relaksasi langsung otot polos anteriolar dengan menurunkan resistensi vascular sistemik tetapi tidak menyebabkan vasodilatasi ke pembuluh darah vena, menyebabkan penurunan tekanan perfusi yang kuat dan mengaktifkan baroreseptor menyebabkan peningkatan aliran simpatik, terjadi peningkatan denyut jantung dan pelepasan rennin.
Minoxidil(Loniten)
Hidralazin(Apresolin)
10-40 (1-2xsehari)
20-100(2-4xsehari)
Lupus-like syndrome, inveksi kulit, demam, radang hati, sakit kepala, perifer neuropati, hepatitis.
Karena banyaknya efek samping yang ditimbulkan , obat ini memiliki keterbatasan untuk terapi hipertensi, akan tetapi dapat memberikan manfaat untuk pasien gangguan ginjal atau gagal ginjal.Minoksidil lebih kuat disbanding hidralazin karena dapat menbantu pelepasan renin , garam dan air. Minoksidil digunakan untuk hipertensi yang sulit dikontrol.
6.2.1 Terapi Kombinasi
Dimulainya terapi kombinasi dari dua macam obat
direkomendasikan kepada pasien yang tekanan darahnya jauh dari target
tekanan darahnya, pasien yang sulit mencapai suatu nilai target tekanan
darah (contoh; mereka yang tekanan darah targetnya lebih rendah dari
130/80 mmHg, Afrika dan Amerika), dan pasien dengan beberapa indikasi
penyerta untuk obat hipertensi yang berbeda. Kebanyakan dibutuhkan dua
macam atau lebih obat terapi kombinasi untuk mengkontrol tekanan darah
pada beberapa pasien (Dipiro, 2008)
Rasional kombinasi obat antihipertensi:
a. Ada 6 alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi dianjurkan:
1) Mempunyai efek aditif
2) Mempunyai efek sinergisme
3) Mempunyai sifat saling mengisi
4) Penurunan efek samping masing-masing obat
5) Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu
6) Adanya “fixed dose combination” akan meningkatkan kepatuhan pasien
(adherence) (Neutel JM, 1999).
b. Fixed-dose combination yang paling efektif adalah sebagai berikut:
1) Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan diuretik
2) Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretik
3) Penyekat beta dengan diuretik
4) Diuretik dengan agen penahan kalium
5) Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan antagonis kalsium
6) Agonis α-2 dengan diuretik
7) Penyekat α-1 dengan diuretic (Chrisant SG, 1998).
Tabel.6.2.1 Kombinasi Obat untuk Hipertensi (JNC7)
Tipe
Kombinasi
Fix Dose Combination (Kombinasi Dosis Tetap) Nama Dagang
ACEIs dan Amlodipine-benazepril hydrochloride (2.5/10, 5/10, 5/20, Lotrel
CCBs 10/20)
Enalapril-felodipine (5/5)
Trandolapril-verapamil (2/180, 1/240, 2/240, 4/240)
Lexxel
Tarka
ACEIs dan
Diuretik
Benazepril-hydrochlorothiazide (5/6.25, 10/12.5, 20/12.5,
20/25)
Captopril-hydrochlorothiazide (25/15, 25/25, 50/15, 50/25)
Enalapril-hydrochlorothiazide (5/12.5, 10/25)
Fosinopril-hydrochlorothiazide (10/12.5, 20/12.5)
Lisinopril-hydrochlorothiazide (10/12.5, 20/12.5, 20/25)
Moexipril-hydrochlorothiazide (7.5/12.5, 15/25)
Quinapril-hydrochlorothiazide (10/12.5, 20/12.5, 20/25)
Lotensin HCT
Capozide
Vaseretic
Monopril/HCT
Prinzide,
Zestoretic
Uniretic
Accuretic
ARBs dan
Diuretik
Candesartan-hydrochlorothiazide (16/12.5, 32/12.5)
Eprosartan-hydrochlorothiazide (600/12.5, 600/25)
Irbesartan-hydrochlorothiazide (150/12.5, 300/12.5)
Losartan-hydrochlorothiazide (50/12.5, 100/25)
Olmesartan medoxomil-hydrochlorothiazide
(20/12.5,40/12.5,40/25)
Telmisartan-hydrochlorothiazide (40/12.5, 80/12.5)
Valsartan-hydrochlorothiazide (80/12.5, 160/12.5, 160/25)
Atacand HCT
Teventen-HCT
Avalide
Hyzaar
BenicarHCT
Micardis-HCT
Diovan-HCT
BBs dan
Diuretik
Atenolol-chlorthalidone (50/25, 100/25)
Bisoprolol-hydrochlorothiazide (2.5/6.25, 5/6.25, 10/6.25)
Metoprolol-hydrochlorothiazide (50/25, 100/25)
Nadolol-bendroflumethiazide (40/5, 80/5)
Propranolol LA-hydrochlorothiazide (40/25, 80/25)
Timolol-hydrochlorothiazide (10/25)
Tenoretic
Ziac
Lopressor HCT
Corzide
Inderide LA
Timolide
Centraly
acting drug
Methyldopa-hydrochlorothiazide (250/15, 250/25, 500/30,
500/50)
Aldoril
Demi-Regroton,
dengan
diuretic
Reserpine-chlothalidone (0.125/25, 0.25/50)
Reserpine-chlorothiazide (0.125/250, 0.25/500)
Reserpine-hydrochlorothiazide (0.125/25, 0.125/50)
Regroton
Diupres
Hydropres
Diuretik dan
Diuretik
Amiloride-hydrochlorothiazide (5/50)
Spironolactone-hydrochlorothiazide (25/25, 50/50)
Triamterene-hydrochlorothiazide (37.5/25, 75/50)
Moduretic
Aldactazide
Dyazide, Maxzide
6.2.3 Hipertensi Pada Populasi/ Situasi Khusus
1. Hipertensi Pada Ibu Hamil
Harus dibedakan antara preeklampsia dari hipertensi kronis, sementara, dan
gestasional. Preeklamsia dapat berubah menjadi komplikasi yang dapat merenggut
nyawa baik ibu dan fetusnya. Diagnosa preeklampsia berdasarkan munculnya
hipertensi (> 140/90 mmHg) setelah minggu ke 20 gestasi dengan proteinuria.
Hipertensi kronis sudah ada sebelum minggu ke 20 gestasi. Masih kontroversi
apakah menguntungkan mengobati meningkatnya tekanan darah pada pasien
dengan hipertensi kronik kehamilan. Perempuan dengan hipertensi kronik
sebelum kehamilan dapat menderita preeklamsia.
Pengobatan yang jelas untuk preeklampsia adalah melahirkan. Terminasi
kehamilan jelas diindikasikan apabila eklampsia terjadi (preeklampsia + kejang).
Bila tidak, penatalaksanaannya terdiri dari restriksi aktifitas, istirahat (bed rest),
dan monitoring. Pembatasan garam atau tindakan lain yang menurunkan volume
darah tidak boleh dilakukan. Obat antihipertensi digunakan sebelum induksi
melahirkan bila tekanan darah diastolic > 105 atau 110 mmHg, dengan target 95-
105 mmHg. Hidralazine intravena umumnya digunakan, dan intravena labetalol
juga efektif. Nifedipine short acting juga digunakan tetapi tidak disetujui oleh
FDA untuk hipertensi, karena efek samping terhadap fetus dan ibu (hipotensi
dengan fetal distress) telah dilaporkan.
Banyak obat dapat digunakan untuk mengobati hipertensi kronis pada
perempuan hamil (tabel). Metildopa adalah obat pilihan ke-2, dimana data
menunjukkan kalau aliran darah uteroplacenta dan hemodinamik fetus stabil
dengan metildopa. Dan dianggap sangat aman berdasarkan data follow-up jangka
panjang (7,5 tahun). Penyekat beta, labetalol, dan antagonis kalsium dapat
digunakan sebagai alternative. ACE inhibitor dan ARB adalah absolute
kontraindikasi (Muchid A, 2006).
Tabel 6.2.2 Pengobatan Hipertensi Kronis Pada Kehamilan (Muchid A, 2006)
2. Hipertensi Pada Anak-anak dan Remaja
Pada anak-anak dan remaja, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah
yang pada pengukuran berulang berada pada 95% bila disesuaikan dengan umur,
tinggi dan kelamin. Bunyi ke 5 Korotkoff digunakan untuk menyatakan tekanan
darah diastolic. Dokter harus waspada terhadap kemungkinan penyebab hipertensi
pada anak-anak (misalnya penyakit ginjal, koarktasio aorta). Intervensi gaya hidup
sangat direkomendasikan, dengan terapi farmakologi digunakan untuk tekanan
darah yang lebih tinggi, atau bila response terhadap modifikasi gaya hidup tidak
mencukupi. Pemilihan obat antihipertensi sama untuk anak dan dewasa, tetapi
dosis yang efektif untuk anak-anak sering lebih kecil dan harus disesuaikan secara
hati-hati. ACEI dan ARB tidak boleh digunakan pada anak perempuan yang aktif
secara seksual dan yang hamil. Untuk anak-anak dengan hipertensi tanpa
komplikasi, tidak ada hambatan untuk melakukan aktifitas fisik, terutama karena
olahraga jangka panjang dapat menurunkan tekanan darah (Muchid A, 2006).
3. Hipertensi Pada Lansia
Hipertensi terjadi pada lebih dari 2/3 individu > 65 tahun. Populasi ini juga sering
menunjukkan pengkontrolan tekanan darahnya kurang. Terapi hipertensi pada
lansia, termasuk pada lansia dengan isolated systolic hypertension sama dengan
terapi hipertensi secara umum. Pada kebanyakan individu, dosis awal yang lebih
rendah disarankan untuk menghindari simptom, bagaimanapun, dosis standar dan
beberapa obat diperlukan pada kebanyakan individu untuk mencapai target
tekanan darah (Muchid A, 2006).
7. Evaluasi Hasil Kerja
Untuk mengukur efektivitas terapi, hal-hal berikut harus di monitor :
a. Tekanan darah
b. Kerusakan target organ seperti jantung, ginjal, mata, otak
c. Interaksi obat dan efek samping
d. Kepatuhan (adherence)
a. Monitoring tekanan darah
Memonitor tekanan darah di klinik tetap merupakan standar untuk
pengobatan hipertensi. Respon terhadap tekanan darah harus di evaluasi 2
sampai 4 minggu setelah terapi dimulai atau setelah adanya perubahan
terapi Pada kebanyakan pasien target tekanan darah < 140/90 mmHg, dan
pada pasien diabetes dan pasien dengan gagal ginjal kronik < 130/80
mmHg.
b. Monitoring kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak
Pasien hipertensi harus di monitor secara berkala untuk melihat
tanda-tanda dan gejala adanya penyakit target organ yang berlanjut.
Sejarah sakit dada (atau tightness), palpitasi, pusing, dyspnea, orthopnea,
sakit kepala, penglihatan tiba-tiba berubah, lemah sebelah, bicara terbata-
bata, dan hilang keseimbangan harus diamati dengan seksama untuk
menilai kemungkinan komplikasi kardiovaskular dan serebrovaskular.
Parameter klinis lainnya yang harus di monitor untuk menilai penyakit
target organ termasuk perubahan funduskopik, regresi LVH pada
elektrokardiogram atau ekokardiogram, proteinuria, dan perubahan fungsi
ginjal. Parameter laboratorium untuk masing-masing obat dan asuhan
kefarmasian dapat dilihat pada tabel 7.1. Tes laboratorium harus diulangi
setiap 6 sampai 12 bulan pada pasien yang stabil.
Tabel 7.1 Monitor Obat Antihipertensi Sesuai Kelasnya (Muchid A, 2006)
c. Monitoring interaksi obat dan efek samping obat
Untuk melihat toksisitas dari terapi, efek samping dan interaksi obat
harus di nilai secara teratur. Efek samping bisanya muncul 2 sampai 4
minggu setelah memulai obat baru atau setelah menaikkan dosis (tabel
7.2). Kejadian efek samping mungkin memerlukan penurunan dosis atau
substitusi dengan obat antihipertensi yang lain Adapun interaksi obat
antihipertensi dengan obat lain dapat dilihat pada tabel 7.3. Monitoring
yang intensif diperlukan bila terlihat ada interaksi obat; misalnya apabila
pasien mendapat diuretik tiazid atau loop dan pasien juga mendapat
digoksin; yakinkan pasien juga dapat supplemen kalium atau ada obat-obat
lain menahan kalium dan yakinkan kadar kalium diperiksa secara berkala.
Tabel 7.2 Efek samping dan kontra indikasi obat-obat antihipertensi (Muchid A,
2006)
Tabel 7.3 Interaksi antara obat antihipertensi dengan obat lain (Muchid A, 2006)
d. Monitoring kepatuhan/Medication Adherence dan konseling ke
pasien
Diperlukan usaha yang cukup besar untuk meningkatkan kepatuhan
pasien terhadap terapi obat demi mencapai target tekanan darah yang
dinginkan (Benson J, 2002). Paling sedikit 50 % pasien yang diresepkan
obat antihipertensi tidak meminumnya sesuai dengan yang di
rekomendasikan (Thrift AG, 1998). Satu studi menyatakan kalau pasien
yang menghentikan terapi antihipertensinya lima kali lebih besar
kemungkinan terkena stroke (Haynes RB, 2002). Kurangnya adherence
mungkin disengaja atau tidak disengaja. Beberapa cara untuk membantu
pasien dengan masalah adherence dapat di lihat di tabel 7.3. Strategi yang
paling efektif adalah dengan kombinasi beberapa strategi seperti edukasi,
modifikasi sikap, dan sistem yang mendukung (Deedwania PC, 1997).
Strategi konseling untuk meningkatkan adherence terapi obat
antihipertensi adalah sebagai berikut :
1) Nilai adherence pada setiap kunjungan
2) Diskusikan dengan pasien motivasi dan pendapatnya
3) Libatkan pasien dalam penanganan masalah kesehatannya
4) Gunakan keahlian mendengarkan secara aktif sewaktu pasien menjelaskan
masalahnya
5) Bicarakan keluhan pasien tentang terapi
6) Bantu pasien dengan cara tertentu untuk tidak lupa meminum obatnya
7) Sederhanakan regimen obat (seperti mengurangi frekuensi minum,
produkmkombinasi)
8) Minum obat disesuaikan dengan kebiasaan pasien sehari-hari
9) Berikan informasi tentang keuntungan pengontrolan tekanan darah
10) Beritahukan perkiraan efek samping obat yang mungkin terjadi
11) Beritahukan informasi tertulis mengenai hipertensi dan obatnya bila
memungkinkan
12) Petimbangkan penggunaan alat pengukur tekanan darah di rumah supaya
pasien dapat terlibat dalam penanganan hipertensinya
13) Berikan pendidikan kepada keluarga pasien tentang penyakit dan regimen
obatnya
14) Libatkan keluarga dan kerabatnya tentang adherence minum obat dan
terhadap gaya hidup sehat
15) Yakinkan regimen obat dapat dijangkau biayanya oleh pasien
16) Bila memungkinkan telepon pasien untuk meyakinkan pasien mengikuti
rencana pengobatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Benson J. 2002. Patient’s Decision About Whether or Not To Take Antihypertensive Drugs: qualitative study. BMJ. pp 325: 873-878.
Chobaniam AV. 2003. Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA. pp 289: 2560-2572.
Chrysant SG. 1988. Fixed Low-Dose Drug Combination for the Treatment of Hypertension. Arch Fam. 7: 370-376.
Crowin, EJ. 2000. Buku Saku Patofisiologi, Terjemahan Pendit, B.U. Jakarta. Penerbit EGC.
Deedwania PC. 1997. The Progression from Hypertension to Heart Failure. AJH. pp 10: 280S-288S.
Dekker, E. 1996. Hidup dengan Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. Jakarta.
Dipiro JT. 2008. Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach Seventh Edition. New York: MGH Medical. 139-168.
Dosh SA. 2001. The diagnosis of essential and secondary hypertension in adults. J.Fam Pract. pp 50: 707-712.
Haynes RB. 2002. Interventions To Enhance Patients’ Adherence To Medication Prescription. JAMA. pp 288: 2868-2879.
He J. 2000. Long-Term Effects Of Weight Loss And Dietary Sodium Reduction On Incidence Of Hypertension. Hypertension. pp 35: 544-549.
Hyman DJ. 2001. Characteristic Of Patients With Uncontrolled Hypertension In The United States. NEJM. pp 345: 479-486.
K/DOQI. 2004. Clinical Practice Guidelines On Hypertension And Antihypertensive Agents In Chronic Kidney Disease. Am J Kidney Dis.
Muchid, Abdul, dkk. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Departemen Kesehatan.
Neutel JM. 1999. Low-dose Antihypertensive Combination Therapy: Its Rational and Role in Cardiovascular Risk Management. Am J of Hypertension. 12: 73S-79S46.
Packer M. 2001. Effect Of Carvedilol On Survival In Severe Chronic Heart Failure. N Eng J Med. pp 344: 1651-1658.
Prodjosudjadi, W. 2000. Hipertensi: Mekanisme Dan Penatalaksanaannya. Majalah Berkala Neurosains Volume 1 No.3.
Sacks FM. 2001. Effects On Blood Pressure Of Reduced Dietary Sodium And The Dietary Approaches To Stop Hypertension (Dash) Diet. DASH Collaborative Research Group. NEJM. pp 344: 3-10.
Sheps. 2005. Mengatasi Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: Intisari Mediatama.Thrift AG.1998. Three Important Subgroups Of Hypertensive Persons AtGreater
Risk Of Intracerebral Hemorrhage. Hypertension. pp 31: 1223-1229.Vasan R. 2001. Impact of High-Normal Bloos Pressure on The Risk of
Cardiovascular Disease. New England Journal of Medicine. pp 345(18): 1291-1297.
Vollmer WM. 2001. Effects Of Diet And Sodium Intake On Blood Pressure: Subgroup Analysis Of The Dash-Sodium Trial . Ann Intern Med. pp 135: 1019-1028.
Wexler. 2002. Hipertensi: Encylopedia of Nursing and Alied Health. Available at: http://findarticles.com/p/article/mi. [Diakses tgl 01 Maret 2013].
Wibowo, I. 1999. Catatan Pendahuluan Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Hipertensi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wijayakusuma, H.M. 2000. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Darah Tinggi. Swadaya: Surabaya.
Wiryowidagdo, S. 2002. Tanaman Obat Untuk Penyakit Jantung, Darah Tinggi, dan Kolesterol. Cetakan Ketiga. Jakarta. Penerbit PT. Agromedia Pustaka. Hal 35-38.
Whelton SP. 2002. Effect Of Aerobic Exercise On Blood Pressure. Ann Intern Med. pp 136: 493-503.