kelainan pada esofagus
TRANSCRIPT
1. Kelainan pada esofagus, gejala yang akan timbul, dan jenis-jenis
penyakit yang akantimbul
I. Kelainan pada Esofagus
A. Paralisis Mekanisme Menelan
Kerusakan saraf otak V, IX, dan X dapat menyebabkan
paralisis bagian yang bermakna dari mekanisme menelan.
Beberapa penyakit seperti poliomielitis dan ensefalitis, dapat
menghalangi proses menelan yang normal dengan merusak pusat
menelan pada batang otak. Dan kelumpuhan otot-otot menelan,
seperti distrofi otot atau kegagalan transmisi neuromuskular pada
miastenia gravis atau botulisme, dapat menghalangi proses
menelan normal (Guyton dan Hall, 2012).
Jika mekanisme menelan mengalami paralisis total atau
sebagian, gangguan yang terjadi dapat berupa (1) hilangnya semua
tindakan menelan sehingga proses menelan tidak terjadi sama
sekali, (2) kegagalan glotis untuk menutup, sehingga makanan
tidak masuk ke esofagus, melainkan masuk ke paru (saluran
pernapasan), dan (3) kegagalan palatum mole dan uvula untuk
menutup nares posterior sehingga makanan masuk ke hidung
selama proses menelan (Guyton dan Hall, 2012).
B. Alkasia dan Megaesofagus
Alkasia adalah keadaan dimana sfingter esofagus inferior
yang gagal berelaksasi selama proses menelan. Sebagai akibatnya,
makanan yang ditelan ke dalam esofagus gagal melewati esofagus
untuk masuk ke lambung. Alkasia dapat diakibatkan karena
rusaknya jaringan kerja saraf pleksus mienterikus pada dua pertiga
bagian bawah esofagus. Hasilnya, otot esofagus bagian bawah
tetap kontraksi secara spastis, dan pleksus mienterikus kehilangan
kemampuannya untuk mentransmisikan sinyal yang menimbulkan
“relaksasi reseptif” dari sfingter gastroesofageal ketika makanan
mencapai sfingter ini selama menelan (Guyton dan Hall, 2012).
Jika alkasia menjadi berat, esofagus sering tidak bisa
mengosongkan makanan yang ditelan ke dalam lambung untuk
beberapa jam, padahal waktu yang normal adalah beberapa detik.
Setelah berbulan-bulan dan bertahun-tahun, esofagus menjadi
sangat membesar sampai seringkali dapat menampung sebanyak
satu liter makanan, yang sering menjadi terinfeksi dan membusuk
selama periode statis esofagus yang lama. Infeksi juga dapat
mengakibatkan ulserasi mukosa esofagus, kadang-kadang
menimbulkan nyeri substernal hebat atau bahkan ruptur dan
kematian (Guyton dan Hall, 2012).
Alkasia esofagus disebut juga kardiospasme. Penderita
alkasia merasakan perlu mendorong atau memaksa turunnya
makanan dengan air atau minuman lain guna menyempurnakan
proses menelan. Terdapat rasa penuh substernal dan biasanya dapat
terjadi regurgitasi. Pada pemeriksaan radiografi ditemukan retensi
barium yang cukup bermakna pada esofagus dengan kesulitan
nyata dalam pengosongan makanan dari esofagus ke lambung.
Esofagoskopi dapat digunakan sebagai penegakan diagnosis kasus
alkasia (Adams, Boies, dan Higler, 2014).
C. Spasme Esofagus Difus
Spasme esofagus difus merupakan gangguan hipermotilitas.
Gejala utama berupa nyeri, kondisi disertai dengan spasme difus
dari bagian bawah esofagus dan ditimbulkan setelah menelan.
Serangan bersifat intermiten, dan pasien dapat menelan tanpa
kesulitan di antara serangan. Tapi ini juga dapat terjadi tanpa
rangsangan proses menelan, bahkan dapat membangunkan pasien
dari tidur lelap. Kelainan ini tidak dapat dilihat secara radiografik,
tetapi dengan pengukuran tekanan esofagus intraluminal (Adams,
Boies, dan Higler, 2014).
D. Hiatus Hernia
Hiatus hernia adalah keadaan dimana sebagian lambung
berherniasi ke dalam rongga thoraks yang dapat menimbulkan rasa
tertekan atau nyeri di belakang sternum bagian bawah, batuk,
disfagia, palpitasi, dan takikardi. Nyeri dapat mereda bila pasien
dalam posisi tegak dan memberat saat pasien berbaring.
Pemeriksaan penunjang yang membantu penegakan diagnostik
adalah radiografik dan esofagoskopi (Adams, Boies, dan Higler,
2014).
E. Cincin Kontraksi Schatski
Cincin kontraksi schatski adalah suatu penyempitan
konsentrik berbentuk cincin setinggi sfingter esofagus inferior.
Kelainan ini menimbulkan disfagia dan perasaan tidak nyaman
dengan regurgitasi jika penderita menelan makanan dalam jumlah
banyak sekaligus (Adams, Boies, dan Higler, 2014).
F. Divertikuli
Divertikuli biasanya terjadi pada esofagus bagian leher dan
dapat menimbulkan regurgitasi makanan yang belum dicerna serta
disfagia progresif bila makan lebih banyak. Penegakan diagnosis
dapat dibantu secara radiografik (Adams, Boies, dan Higler, 2014).
G. Penyakit Peradangan Esofagus
Penyakit peradangan esofagus seperti esofagitis akut dan
esofagitis refluks. Gangguan metabolik, degeneratif, dan
neurogenik dapat terjadi, ada juga kemungkinan kecil dari
tuberkulosis dan peradangan moniliasis. Dapat juga karena adanya
neoplasma jinak dan ganas yang berasal dari dinding dan mukosa
esofagus, atau berasal dari lambung atau laringofaring dan
kemudian meluas ke esofagus. Keluhan yang dialami pasien
sebagai awal penyakit keganasan dapat berupa disfagia, nyeri, dan
kehilangan berat badan, dapat diobati dengan pembedahan dan/atau
penyinaran pada neoplasma sesuai ukuran dan lokasi neoplasma
(Adams, Boies, dan Higler, 2014).
H. Kelainan Kongenital Esofagus
Kelainan esofagus kongenital dapat berupa stenosis atau
fibrosis akibat gagalnya epitelisasi suatu bagian pada esofagus.
Stenosis esofagus kongenital terjadi pada perbatasan sepertiga
proksimal dan tengah, diketahui pertama kali saat bayi mulai
mendapat makanan padat (Adams, Boies, dan Higler, 2014).
Bisa juga terdapat fistula trakeosofagus. Fistula
trakeosofagus dapat diobati dengan terapi bedah. Pada atresia tanpa
fistula trakeosofagus memerlukan aspirasi bronkoskopi berulang
sebelum pembedahan (Adams, Boies, dan Higler, 2014).
Cincin pembuluh darah dan kelainan kardiovaskular lainnya
dapat mempengaruhi tekanan ekstrinsik lumen esofagus, karena
terjadinya sumbatan (Adams, Boies, dan Higler, 2014).
II. Gejala Gangguan Esofagus
1. Disfagia
Disfagia atau kesulitan menelan makanan terjadi pada
gangguan non-esofagus yangdisebabkan oleh penyakit otot atau
neurologis. Penyakit-penyakit tersebut adalah gangguan peredaran
darah ke otak (stroke, penyakit serebrovaskular), miastenia gravis,
distrofi otot, dan poliomielitis bulbaris. Keadaan ini memicu
peningkatan resiko tersedak minuman atau makanan yang
tersangkut dalam trakea atau bronkus (Price dan Wilson, 2014).
Disfagia esofageal bersifat obstruktif atau disebabkan oleh
motorik. Penyebab obstruksi adalah striktura esofagus dan tumor-
tumor ekstrinsik atau intrinsik esofagus, yang mengakibatkan
penyempitan lumen. Penyebab mototrik disfagia dapat disebabkan
oleh berkurangnya, tidak adanya, atau tergangguanya peristaltik
atau disfungsi sfinter bagian atas atau bawah. Gangguan motorik
yang sering menimbulkan disfagia adalah akalasia, skleroderma,
dan spasme esofagus difus (Price dan Wilson, 2014).
2. Pirosis (nyeri ulu hati)
Pirosis atau nyeri ulu hati ditandai oleh sensasi panas,
terbakar yang sangat terasa diesofagus atas atau di belakang
prosesus xifoideus dan menyebar ke atas. Nyeri ulu hati dapat
disebabkan oleh refluks asam lambung atau sekret empedu ke
dalam esofagus bagian bawah, keduanya dapat mengiritasi mukosa.
Refluks yang menetap disebabkan oleh inkompetensi sfingter
esofagus bagian bawah dan dapat terjadi dengan atau tanpa hernia
hiatus atau esofagitis. Nyeri ulu hati jika keluhan yang biasanya
ada pada kehamilan (Price dan Wilson, 2014).
3. Odinofagi (rasa tidak nyaman dalam menelan atau nyeri telan)
Odinofagi dapat terjadi bersamaan dengan disfagi.
Odinofagi dirasakan sebagai sensasi ketat atau nyeri membakar,
tidak dapat dibedakan dari nyeri ulu hati dibagian tengah dada.
Odinofagi dapat disebabkan oleh spasme esofagus
akibatperegangan akut, atau dapat terjadi sekunder akibat
peradangan mukosa esofagus (Price dan Wilson, 2014).
4. Regurgitasi
Regurgitasi adalah aliran balik isi lambung ke dalam
rongga mulut. Bedanya dengan muntah adalah karena regurgitasi
tidak menggunakan tenaga dan tidak didahului oleh mual.
Gangguan ini dirasakan dalam tenggorokan sebagai rasa asam atau
cairan panas yang pahit. Regurgitasi tanpa tenaga dapat terjadi
pada bayi, karena perkembangan sfingter esofagus bawah yang
tidak sempurna. Pada orang dewasa, regurgitasi terjadi akibat
adanya inkompetensi sfingter esofagus bagian bawah dan
kegagalan sfingter esofagus bagian atas yang berfungsi sebagai
sawar regurgitasi (Price dan Wilson, 2014).
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G. L., Boies. L. R., dan Higler, P. A. 2014. Boies Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi keenanm. EGC, Jakarta.
Guyton, A. C., dan Hall, J. E. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi kesebelas. EGC, Jakarta.
Price, S. A., dan Wilson, L. M. 2014. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Jilid satu. Edisi keenam. EGC, Jakarta.