kel a2-1 diskusi 1
TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
DISKUSI I
Obat Sistem Saraf Otonom
KELOMPOK A2-1
AKHYAR NUR U (010710108)
PRASIDA MUSTIKA I (010710112)
CINDY SHEEREN A (010710113)
KANDITA ARJANI (010710114)
PRIMIARY RIZKY (010710115)
M HELMI A (010710117)
SAFINAZ (010710119)
ALEXANDER A (010710124)
KEVIN C B (010710125)
YULIANTO W (010710126)
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Ny.Tarminem (40 tahun) akhir-akhir ini merasa gelisah, berat badannya turun terus,
sering berkeringat, denyut jantung meningkat dan sering merasakan palpitasi. Oleh dokter ahli
penyakit dalam, dia didiagnosis mengidap penyakit hipertiroid. Pada waktu berkunjung ke rumah
saudaranya, tiba-tiba Ny.Tarminem mengalami sesak napas akut dan napasnya berbunyi.
Serangan ini merupakan yang pertama kaliny bagi Ny Tarminem.
Asma seringkali didefinisikan sebagai penyempitan jalur nafas. Penyempitan jalur nafas
ini seringkali disebabkan oleh berbagai macam hal, baik berasal dari endogen maupun eksogen.
Gambaran patologik asma berupa kontraksi otot polos saluran nafas dan penebalan mukosa
akibat edema dan infiltrasi selular yang akhirnya berujung pada penyempitan lumen saluran
nafas. Pengendalian melalui obat-obat yang mengontrol otot polos saluran nafas telah menjadi
acuan utama dalam dasar terapi asma.
Terdapat berbagai macam obat dengan cara kerja yang berbeda pula yang sering
digunakan pada terapi asma akut, seperti β2 agonis, anti muskarinik dan golongan methyl
xantine. Hingga saat ini, penggunaan kortikosteroid untuk terapi asma akut masih diteliti
manfaatnya, namun penggunaannya sebagai terapi jangka panjang asma kronis baik sebagai
pencegah (profilaksis) asma telah banyak digunakan. Kromolin dan Nedokromil tidak bermanfaat
untuk terapi asma akut, hanya bekerja sebagai profilaksis dari asma.
Dari berbagai macam golongan obat yang telah disebutkan di atas, P-drug yang sesuai
untuk kasus Ny Tarminem adalah obat-obatan yang tidak memperparah kondisi hipertiroid Ny.
Tarminem. Golongan obat asma yang dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung
(tachicardia) maupun status metabolisme tidak boleh digunakan. Pemilihan obat tersebut perlu
diperkirakan efeknya selain terhadap asma namun juga terhadap gejala-gejala lain yang diderita
oleh NyTarminem.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah P-drug yang tepat untuk pasien asma dengan hipertiroid?
1.3 Tujuan Diskusi
1.3.1 Tujuan Utama
Menentukan P-drug yang sesuai untuk pasien asma dengan hipertiroid.
1.3.2 Tujuan Khusus
Memberikan obat asma yang sesuai untuk mengatasi sesak napas akut tanpa memperparah
rasa gelisah, produksi keringat berlebih, peningkatan denyut jantung dan palpitasi yang
merupakan gejala umum dari hipertiroid.
1.4 Manfaat Diskusi
1.4.1 Manfaat Teoritis
Untuk memberikan informasi mengenai pemberian obat asma pada pasien dengan
hipertiroid.
1.4.2 Manfaat Praktis
Untuk memberikan dasar penanganan pemberian obat asma pada pasien dengan
hipertiroid.
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Patofisiologi Asma
Definisi
Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible dimana
trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma bronchial adalah suatu
penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan
dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah
baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan ( The American Thoracic Society ).
Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe,
yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik,
seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur.
Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.
Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka
akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi
saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan
berlalunya waktu dan dapat berkembangmenjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa
pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik
dan non-alergik.
Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma
bronkhial.
a. Faktor predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga
dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas
saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan obat-obatan
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
ex: perhiasan, logam dan jam tangan
Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir
yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang
serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal
ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera
diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya
belum bisa diobati.
Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan
dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil,
pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani
atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma
karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan
sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-
benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara
sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah
antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila
reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast
yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil.
Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi
dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan
berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan
leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-
faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi
mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga
menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama
inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar
bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah
akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada
penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali
melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume
residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan
udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.
2.2 Obat-obat yang Digunakan untuk Asma
2.2.1 Obat-obat Beta Agonis
a. Epinephrine / Adrenalin
Suatu bronkodilator yang efektif dan mempunyai mula kerja cepat pada pemberian
subkutan (0,4 ml dari solusi 1:1000) atau sebagai mikroaerosol perinhalasi dari
pressurized canister (320 mg per puff). Bronkhodilatasi maksimal dapat tercapai 15 menit
setelah inhalasi dan berakhir 60-90 menit. Epinephrine digunakan untuk status asmatikus,
epinephrine merupakan agen aktif pada banyak obat yang tidak diresepkan (seperti
Prematene Mist), tetapi sekarang sudah jarang diresepkan (Katzung, 2001).
- Farmakodinamik :
Vaskuler
- merangsang rec. α dan β1
- kontraksi jantung meningkat
- tacycardia, arrhytmia, angina pectoris
- tek.darah meningkat
Otot Polos Saluran Cerna
- melalui res. α dan β
- tonus & motilitas usus maupun lambung turun.
- sphingter pilorus & ileocecal kontraksi (rec.α1)
Otot Polos Uterus
- melalui res.α1 dan β2
- respon berbeda tergantung usia kehamilan
- menghambat tonus & kontr.uterus melalui res. β2
- efektif untuk menunda kelahiran prematur
Otot Polos Vesica Urinaria
- menimbulkan kesulitan miksi karena res.β2 relaksasi ;
res.α1kontr.sphincter
Otot Polos Bronkus
- Rec. β2 relaksasi; efek ini dapat terjadi bila sudah ada
kontraksi bronkus
Mata
- me tek.intra oculer aman utk px. Glaukoma
Efek Metabolisme
- glukosa res. 2 ( sel hati & otot.rangka ) menstimulasi
sekr.Insulin
- res. > dominant menghbt sekr.insulin
- res. 3 me activitas lipase trigliserida dlm jar.lemak.
- Farmakokinetik :
- Oral mudah dipecah oleh enzim COMT & MAO
- I.V./ SC/ IM
- Kontra Indikasi :
- asma + hipertensi
- asma + emphysema anoksia
- asma + angina pectoris
- Efek Samping :
• gelisah, sakit kepala berdenyut, tremor
• Aritmia ventrikel, palpitasi,takhikardia
• Tek.darah meningkat
•Perdarahan otak karena pecahnya pemb.drh (pemberian i.v terlalu cepat)
b. Isoproterenol
- Poten untuk bronchodilator
- Efek Samping: arrhytmia me angka kematian pd px asma
- Mek.kerja :
- pd res. otot polos bronkus
- menghbt pelepasan mediator akibat rx. Ag-Ab
- Pemberian secara inhalasi
c. Ephedrine
- Preparat : Ephedrine Sulfate injeksi
- Pemberian : sc, i.m,i.v
- efek : menstimulasi res.1, 2,1,2
- Efek klinik : • relaksasi otot polos
• merangsang jantung;
• syst & diast ;mergs SSP insomnia;
• glikogenolisis hyperglikemia
- O.O.A lebih lambat & lebih panjang, D O A lebih panjang
- Farmakokinetik :
• pemberian i.m, s.c. 100 % diabsorbsi
• sebagian kecil mengalami metabolisme dihepar, metabolitnya
adalah p-hydroxyephedrine, p-hydroxynorephedrine;
norephedrine
• ekskresi diginjal
- Kontra Indikasi :
• Kelainan Jantung
• Hipertiroidism
• Diabetes Mellitus
• hipertensi
- Efek Samping :
• meningkatkan tekanan darah perdarahan otak
• tremor, palpitasi, kelelahan
d. β2 Agonis selektif
Agonis-β2 merupakan simpatomimetik yang paling banyak digunakan untuk
pengobatan asma pada saat ini. Agonis-β2 efektif per inhalasi atau per oral serta memiliki
masa kerja yang panjang dan selektivitas β2 yang bermakna. Dalam golongan ini
termasuk: Albuterol (Salbutamol), Metaproterenol, , Terbutaline,Pirbuterol, Fenoterol,
formoterol, prokaterol, Salmeterol, Bitolterol, Isoetarin, Ritodrin.
- Mekanisme Kerja :
menstimulasi enzim adenylil cyclase dan meterbtknya CAMP pd otot polos
Efek thdp β2 lebih kuat daripada β1
Pemberian inhalasi langsung bronkudilatasi
- Indikasi
Obat pilihan untuk terapi gejala-gejala asma akut dan untuk mencegah asma
yang diinduksi oleh latihan. Keampuhan bronkodilator banyak berkurang pada pasien
hipoksia dan asidosis.
- Interaksi obat:
Penghambat MAO, antidepresan trisiklik dan simpatomimetik lain menguatkan
efek simpatomimetik, dapat menginduksi toksisitas, bloker beta menghanbat aktivitas.
- Efek Samping : Sedikit menyebabkan tremor dan sakit kepala, vasodilatasi, takikardi,
stimulasi SSP, perubahan metabolik.
Albuterol, terbutaline, metaproterenol, pirbuterol, dan bitolterol tersedia dalan
inhaler berkalibrasi, menyebabkan bronkodilatasi setara dengan isoprotenol.
Bronkodilatasi maksimal tercapai dalam 30 menit dan bertahan selama 3-4 jam (Katzung,
2001; FKUI, 2007).
Albuterol, terbutaline dan metaproterenol juga tersedia dalam bentuk tablet. Satu
tablet 2-3 kali sehari merupakan regimen yang lazim. Efek samping utama tremor pada
otot rangka, gelisah dan kadang kelelahan. Hanya terbutaline yang mempunyai bentuk
injeksi subkutan (0,25 mg). Indikasi permberian sama dengan indikasi pemberian
epinephrine subcutan. Tetapi harus diingat bahwa masa kerja terbutaline yang lebih
panjang bermakna bahwa efek kumulatif dapat terjadi pada pemberian injeksi yang
berulang.
Salmetrol dan formoterol merupakan agonis kuat β2-selektif yang memiliki masa
kerja panjang (12 jam atau lebih). Fungsi pelarutan obat tersebut sebagai tempat rilis yang
lambat. Obat-obat tersebut tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat tunggal dalam
mengatasi asma.
Walaupun agonis adrenoseptor dapat diberikan per inhalasi, per oral atau
parenteral, penggunaan per inhalasi menghasilkan efek lokal terbesar pada otot polos
jalan napas dengan toksisitas sistemik paling kecil (Katzung, 2001).
2.2.2 Obat-obat Anti Muskarinik
Obat otonom yang bersifat antimuskarinik bekerja menghambat reseptor muskarinik
dengan afinitas berbeda untuk berbagai subtipe reseptor muskarinik. Lebih jelasnya obat
antimuskarinik akan mengikat reseptor muskarinik (inhibitor kompetitif dengan Asetilkolin),
setelah berikatan dengan reseptor muskarinik maka obat antimuskarinik ini akan menghambat
adenilil siklase dan mencegah release dari inositol trifosfat (IP3) Adapun penghambatan yang
terjadi bersifat reversibel.
Obat antimuskarinik dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
1. Alkaloid antimuskarinik, contohnya atropin, dan skopolamin
2. Derivat semisintesis
3. Derivat sintesis
Obat antimuskarinik bekerja dengan afinitas berbeda untuk berbagai reseptor muskarinik, oleh
karena itu obat antimuskarinik sekarang ini digunakan untuk :
1. Memperoleh efek perifer tanpa adanya efek sentral, misalnya antispasmodik
2. Penggunaan lokal pada mata sebagai midriatikum
3. Memperoleh efek sentral, misalnya untuk mengobati penyakit Parkinson
4. Bronkodilatasi
5. Memperoleh efek hambatan pada sekresi lambung dan gerakan saluran cerna
Pada penderita asma pemberian obat antimuskarinik akan menghambat efek dari
Asetilkolin apabila berikatan dengan reseptor muskarinik. Obat antimuskarinik menghambat
kontraksi dari otot polos saluran pernafasan dan juga menghambat sekresi mukus yang
merupakan efek dari persarafan nervus vagus sehingga diharapkan bisa menghambat terjadinya
bronkospasme.
Terdapat 2 pilihan obat antimuskarinik pada asma yaitu ipratropium bromid dan
tiotropium. Ipratropium berguna untuk menghambat bronkokonstriksi, penggunaan Ipratropium
dirasa cocok bagi penderita asma dengan intoleransi terhadap inhalasi beta agonis. Sedangkan
tiotropium dapat meningkatkan kapasitas fungsi paru pasien dan bisa mengurangi frekuensi
kekambuhan pada penderita PPOK. Ipratropium bekerja dengan efek samping yang minimal
daripada tiotropium. Efek samping dari Tiotropium antara lain adalah takikardi, reaksi
hipersensitivitas, retensi urin dan batuk, selain itu Tiotropium tidak digunakan pada serangan
asma akut.
Indikasi obat antimuskarinik ini pada penderita asma adalah dapat menyebabkan dilatasi
otot polos bronkus dan menghambat produksi sekresi mucus yang timbul oleh adanya “allergen”
sehingga tidak terjadi bronkospasme dan cairan mucus yang berlebihan tidak menyebabkan
obstruksi pada bronkus.
Kontraindikasi antimuskarinik, penggunaan obat antimuskarinik ini biasanya digunakan
untuk pengobatan terhadap satu sistem organ dan biasanya selalu disertai dengan efek yang tidak
diingini pada sistem organ lain. Pada dosis tinggi obat antimuskarinik ini dapat memblok semua
fungsi parasimpatis, kejadian ini dapat menyebabkan keracunan yang berupa mulut kering,
midriasis, takikardia, kulit merah, dan panas. Pada anak-anak sangat sensitif terhadap
peningkatan dosis obat anti muskarinik, terutama terhadap efek hipertremik. Jadi patut
dipertimbangkan untuk pemberian terhadap bayi dan anak-anak.
2.2.3 Methyl Xantine
Tiga methylxanthine yang penting adalah theophylline, theobromine, dan caffeine.
Sumber utamanya berturut-turut adalah teh, coklat, dan kopi. Manfaat theophylline dalam
pengobatan asma berkurang karena efektivitas obat-obat adrenoreseptor per inhalasi untuk asma
akut dan obat-obat antiinflamasi per inhalasi untuk asma kronis telah ditemukan, tetapi harga
murah theophylline memiliki keuntungan untuk pasien dengan ekonomi lemah.
Mekanisme Kerja
Beberapa mekanisme kerja methylxanthine telah diajukan, tetapi tidak ada yang ditetapkan
sebagai penanggung jawab terhadap terjadinya efek bronkodilatasi. Beberapa mekanisme kerja
methylxanthine :
1. Methylxanthine pada konsentrasi tinggi, dapat menghambat enzim fosfodiesterase in vitro
namun belum jelas pada penelitian in vivo. Penghambatan enzim fosfodiesterase oleh
methylxanthine menyebabkan meningkatnya kadar cAMP intraseluler. Peningkatan
cAMP memberikan efek stimulasi kardiak dan relaksasi otot polos.
2. Methylxanthine memberikan hambatan terhadap reseptor-reseptor permukaan sel untuk
adenosine, dimana reseptor-reseptor tersebut berfungsi untuk memodulasi aktivitas
adenylyl cyclase dan adenosine. Aktivitas adenylyl cyclase dan adenosine telah terbukti
dapat menyebabkan kontraksi otot polos jalan napas dan menyebabkan rilis histamine dari
sel-sel mast jalan napas. Methylxanthine (khususnya theophylline) melawan efek-efek
tersebut dengan cara menyakat reseptor adenosine permukaan sel.
+
+
+
+
-
- -
Ket : Bronkodilatasi dipromosikan oleh cAMP. Kadar cAMP intraseluler dapat ditingkatkan oleh
agonis adrenoseptor-β, yang meningkatkan laju sintesis oleh adenylyl cyclase (AC); atau oleh
penyakat fosfodiesterase (PDE) seperti theophylline yang memperlambat laju degradasinya.
Bronkokonstriksi dapat dihambat oleh antagonis muskarinik dan kemungkinan oleh antagonis
adenosine.
Farmakodinamika Methylxanthine
A. Efek pada Sistem Saraf Pusat
Pada dosis rendah dan sedang, methylxanthine (khususnya caffeine) menyebabkan sedikit
cortical arousal dengan peningkatan kewaspadaan dan pengurangan rasa lelah. Pada dosis
yang sangat tinggi, dapat terjadi stimulasi medular dan kejang. Kegelisahan dan tremor
Bronchodilatation
Bronchial Tone
Bronchoconstriction
ATP
AD
cAMP
PDE
AMP
Beta agonist
Theophylline
Acetylcholine Adenosine
Muscarinic antagonists
Theophylline
merupakan efek samping utama pada pasien yang menggunakan aminophylline dosis
tinggi untuk asma.
B. Efek Kardiovaskular
Methylxanthine memiliki efek kronotropik dan inotropik positif langsung pada jantung.
Pada konsentrasi rendah, efek tersebut terjadi karena peningkatan rilis catecholamine
yang disebabkan oleh hambatan reseptor adenosine prasinaps.
C. Efek pada Saluran Cerna
Methylxanthine menstimulasi sekresi baik asam lambung maupun enzim pencernaan.
D. Efek pada Ginjal
Methylxanthine (khususnya theophylline) merupakan diuretika lemah. Efek tersebut
terjadi dengan melibatkan peningkatan filtrasi glomerular dan penurunan reabsorbsi
natrium di tubular.
E. Efek pada Otot Polos
Bronkodilatasi merupakan efek utama methylxanthine dalam pengobatan. Tidak terjadi
toleransi, tetapi efek yang tidak diinginkan khususnya pada sistem saraf pusat, membatasi
dosis pada penggunaannya. Sebagai tambahan pada efek langsungnya di otot polos jalan
napas, pada konsentrasi yang cukup, dapat juga menghambat rilisnya histamine dari
jaringan paru pada induksi antigen.
F. Efek pada Otot Rangka
Methylxanthine mampu memperkuat kontraksi otot rangka, dan mempunyai efek kuat
baik dalam memperbaiki kontraktilitas maupun dalam memperbaiki kepenatan
diagfragma pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis. Theophylline mempunyai
kemampuan untuk meningkatkan respons ventilasi pada keadaan hipoksia dan
mengurangi sesak, bahkan pada pasien dengan obstruksi aliran udara yang ireversibel.
Penggunaan Klinis
Dari berbagai xanthine, theophylline merupakan bronkodilator yang paling efektif dan
telah terbukti berulang kali dapat meringankan obstruksi aliran udara pada asma akut. Sebagian
besar preparat dapat diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna, tetapi absorpsi pada supositoria
rektal tidak menentu.
Efek terapi dan toksisitasnya berhubungan dengan konsentrasinya di dalam plasma.
Perbaikan fungsi paru berkorelasi dengan konsentrasi plasma pada 5-20 mg/L. Anoreksia, mual,
muntah, rasa tidak enak di perut, sakit kepala, dan kecemasan terjadi pada konsentrasi 15 mg/L
pada beberapa pasien dan lazim pada konsentrasi yang lebih besar dari 20 mg/L. Pada konsentrasi
yang lebih tinggi (40 mg/L), dapat terjadi kejang atau aritmia; efek tersebut dapat terjadi tanpa
didahuluyi gejala peringatan dari saluran cerna atau saraf.
Theophylline memperbaiki kontrol jangka panjang asma jika diberikan sebagai terapi
pemeliharaan tunggal atau apabila ditambahkan pada corticosteroid per inhalasi. Theophylline
tidak mahal, dan dapat digunakan per oral. Untuk pemberian oral, dosis yang diguakan adalah 3-4
mg/kg theophylline setiap 6 jam. Perubahan dosis menyebabkan steady-state concentration yang
baru selama 1-2 hari samapai konsentrasi plasma didapatkan (10-20 mg/L) atau sampai terjadi
efek samping.
2.2.4 Corticosteroid
Seperti epinefrin, kortisol (kortikosteroid atau glukokortikosteroid) adalah hormon
endogen yang diproduksi oleh kelenjar adrenal (Asthma Center Manual,). Setiap pagi hari,
banyak kortisol yang dilepaskan ke aliran darah. Kortikosteroid telah digunakan untuk
pengobatan asma sejak tahun 1950, namun mekanisme kerjanya yang tepat masih belum
diketahui. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kortikosteroid dapat mengurangi obstruksi
saluran napas dengan mempotensiasi efek agonis reseptor beta, tetapi kebanyakan penelitian
menunjukkan bahwa obat-obat ini juga bekerja dengan menghambat atau dengan kata lain
memodifikasi respon peradangan dalam saluran napas.
Kortikosteroid mempunyai kapasitas mengurangi peradangan secara dramatis. Ini
disebabkan oleh efeknya yang hebat terhadap konsentrasi, distribusi, dan fungsileukosit perifer
serta penghambatan aktifitas fosfolipase A2, yang mengakibatkan turunnya sintesa prostaglandin
dan leukotrien (Katzung, 1997). Prostaglandin dan Leukotrien merupakan bahan-bahan yang
dapat memicu timbulnya bronkhospasme yang berakhir dengan gejala asma. Semua mekanisme
ini dapat menyimpulkan fungsi kortikosteroid sebagai pencegah timbulnya asma atau sebagai
terapi asma kronis, bukan untuk terapi dari asma yang terjadi secara akut. Meskipun beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemeberian kortikosteroid secara intra vena atau peroral bersama
obat beta adrenergik dapat sebagai terapi asma akut, namun karena mekanisme yang belum jelas,
maka perlakuan kepada pasien sering diragukan keamanannya.
Kortikosteroid untuk penyakit asma dapat digunakan secara peroral ataupun secara
inhalasi. Prednison dengan dosisi per oral 30-60 mg / hari sering digunakan pada pasien-pasien
yang dengan terapi adekuat bronkhodilator tidak menimbulkan efek yang adekuat atau tidak
membaik dengan pemberian bronkhodilator. Supresi adrenal seringkali terjadi pada pasien yang
menggunakan kortikosteroid oral dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengurangi efek
samping kortikosteroid atau memperkecil efek samping kortikosteroid sering digunakan
kortikosteroid yang dalam bentuk aerosol atau penggunaan secara inhalasi. Beklometason,
triamsinolon, budensoid, dan flunisolid adalah kortikosteroid yang larut dalam lipid dengan
langsung bekerja pada saluran napas dan dengan efek sistemik yang minimal. Dengan
penggunaan kortikosteroid secara inhalasi menunjukkan menurunnya reaktivitas bronkhial pada
beberapa pasien asma, yang biasanya efek ini tampak setelah 2-4 minggu, tergantung pada dosis
dan waktu pemberian.
Penggunaan dosis-dosis yang tinggi dari corticosteroids untuk periode waktu yang
panjang dapat mempunyai efek-efek sampingan yang serius, termasuk osteoporosis, patah/retak
tulang, diabetes mellitus, hipertensi, penipisan kulit dan memar-memar, insomnia (sulit tidur),
perubahan-perubahan emosi, dan penambahan berat badan (TKA, 2008)
2.3 Patofisiologi Hiperthyroid
Kelenjar tiroid, yang terletak di bawah pangkal tenggorokan di sebelah anterior trakea
merupakan salah satu kelenjar endokrin terbesar, dengan berat 15-20 gram pada orang dewasa.
Tiroid mengeluarkan dua hormon utama, tiroksin dan triiodothyronine, biasanya disebut T4 dan
T3 masing-masing. Kedua hormon ini berfungsi meningkatkan laju metabolisme tubuh.
Kurangnya sekresi tiroid biasanya menyebabkan laju metabolisme turun 40-50 persen di bawah
normal dan sekresi berlebih dari tiroid dapat meningkatkan tingkat metabolisme dasar ke 60-100
persen di atas normal. Sekresi tiroid dikendalikan terutama oleh Thyroid Stimulating Hormone
(TSH) yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior. Kelenjar tiroid juga mengeluarkan
kalsitonin, suatu hormon penting untuk metabolisme kalsium.
Fungsi
Fungsi umum hormon tiroid ialah untuk mengaktifkan transkripsi sejumlah besar gen. Oleh
karena itu, dalam hampir semua sel-sel tubuh, sejumlah besar protein enzim, protein struktural,
transportasi protein, dan zat lain selalu disintesis. Hasil akhirnya adalah peningkatan merata
dalam semua kegiatan fungsional metabolisme tubuh.
Hormon tiroid meningkatkan aktivitas metabolik pada hampir semua jaringan tubuh. Laju
metabolik basal dapat meningkat hingga 60-100 persen di atas normal ketika sejumlah besar
hormon disekresikan. Tingkat pemanfaatan energi makanan sangat dipercepat. Meskipun laju
sintesis protein meningkat, pada saat yang sama laju katabolisme protein juga meningkat. Tingkat
pertumbuhan anak-anak menjadi sangat dipercepat. Proses mental juga dirangsang, dan kegiatan
dari sebagian besar kelenjar endokrin lainnya ditingkatkan.
Hormon tiroid mempunyai efek umum dan efek khusus pada pertumbuhan. Misalnya, telah
lama diketahui bahwa hormon tiroid sangat penting untuk perubahan kecebong menjadi katak.
Pada manusia, efek hormon tiroid pada pertumbuhan terlihat nyata terutama dalam pertumbuhan
anak-anak. Pada orang-orang yang hipotiroid, laju pertumbuhan kurang begitu baik. Pada orang-
orang yang hipertiroid, pertumbuhan tulang yang berlebihan sering terjadi, menyebabkan anak
menjadi jauh lebih tinggi pada usia dini. Namun, tulang-tulang menjadi lebih cepat matang dan
epiphyses menutup pada usia dini, sehingga durasi pertumbuhan tinggi orang dewasa sebenarnya
menjadi lebih pendek. Efek penting lainnya dari hormon tiroid adalah meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan otak janin selama hidup dan untuk beberapa tahun pertama
setelah kelahiran. Jika janin tidak cukup mengeluarkan hormon tiroid, pertumbuhan dan
pematangan otak baik sebelum kelahiran dan setelah itu buruk, dan otak tetap lebih kecil dari
biasanya. Tanpa terapi tiroid spesifik dalam beberapa hari atau minggu setelah kelahiran, anak
tanpa kelenjar tiroid akan tetap mengalami kekurangan (mental) sepanjang hidup.
Hormon tiroid disintesis dan disimpan sebagai residu asam amino tiroglobulin, protein yang
menyusun sebagian besar koloid dalam folikel kelenjar tiroid. Proses utama dalam hal sintesis,
penyimpanan, pelepasan, dan interkonversi hormon tiroid terjadi melalui proses berikut:
1. Uptake Iodida
Iodine yang diperoleh melalui diet mencapai sirkulasi dalam bentuk ion iodida (I -). Dalam
kondisi normal, konsentrasinya dalam darah sangat rendah, namun kelenjar tiroid mampu
mentranspor ion tersebut secara efektif dan efisien melalui suatu protein-terikat-membran
spesifik yang dikenal sebagai sodium-iodide symporter (NIS). Sistem transporter ini dapat
dihambat oleh berbagai jenis ion seperti tiosianat dan perklorat. Tirotropin (thyroid stimulating
hormone / TSH) bekerja menstimulasi NIS dengan dikendalikan oleh suatu mekanisme
otoregulatoris, sehingga penurunan kadar iodine dalam kelenjar tiroid akan menyebabkan
peningkatan uptake iodida dan sebaliknya, administrasi iodida akan menurunkan ekpresi
protein NIS.
2. Oksidasi dan Iodinasi
Seperti halnya proses halogenasi cincin aromatik, proses iodinasi residu tirosin memerlukan
suatu kondisi dimana ion iodida lebih banyak terdapat dalam kondisi teroksidasi (asam
hipoiodat) daripada dalam bentuk anion. Oksidasi iodida menjadi bentuk aktifnya diperantarai
oleh enzim peroksidase tiroid, suatu enzim yang mengandung heme, yang menggunakan H2O2
sebagai senyawa oksidannya. Enzim peroksida ini merupakan suatu enzim yang terikat
membran dan terkonsentrasi pada atau dekat permukaan apikal sel tiroid. Hasil reaksinya
adalah pembentukan residu monoiodotirosil dan diiodotirosil pada tiroglobulin, yang
selanjutnya akan disimpan pada lumen ekstraselular folikel tiroid.
Pembentukan H2O2 yang merupakan substrat untuk enzim peroksidase dirangsang oleh
peningkatan kadar Ca2+ sitosol. Reseptor TSH terutama menonjol dalam fungsinya
menstimulasi keempat famili G protein, termasuk Gq, yang menjalankan jalur transduksi sinyal
PLC-IP3-Ca2+. Dengan demikian, sifat produksi H2O2 yang tergantung Ca2+ merupakan cara
TSH meregulasi organifikasi iodida dalam sel tiroid.
3. Pembentukan Tiroksin dan Triiodotironin dari Iodotirosin
Tahap selanjutnya merupakan proses kopling 2 residu diiodotirosil untuk membentuk tiroksin,
atau residu monoiodotirosil dan diiodotirosil untuk membentuk triiodotironin. Reaksi oksidatif
ini dikatalisis oleh enzim peroksida yang sama seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Mekanismenya mencakup proses transfer gugus fungsi (dalam bentuk radikal bebas iodotirosil
atau ion positif) di dalam tiroglobulin. Konformasi protein tiroglobulin diperkirakan dapat
memfasilitasi proses kopling tersebut. Laju relatif dari proses ini tergantung pada konsentrasi
TSH dan ketersediaan iodida. Hal ini memberi dampak pada hubungan antara perbandingan
tiroksin dan triiodotironin yang dibentuk dalam sel tiroid, dengan ketersediaan iodida atau
dengan jumlah relatif kedua jenis iodotirosin. Penurunan jumlah iodida dan peningkatan
jumlah monoiodotirosin akan lebih mengarah pada pembentukan triiodotironin daripada
tiroksin, namun defisiensi diiodotirosin akan dapat mengganggu pembentukan kedua jenis
hormon tersebut.
4. Resorpsi, Proteolisis Koloid, Sekresi Hormon Tiroid
Karena T4 dan T3 disintesis dan disimpan di dalam tiroglobulin, maka proteolisis merupakan
tahapan penting dalam proses sekresi kedua hormon ini. Proteolisis diawali dengan endositosis
koloid dari lumen folikel pada permukaan apikal dari sel ke dalam sel tiroid, dengan bantuan
reseptor tiroglobulin, megalin. Tiroglobulin yang masuk akan tampak sebagai droplet koloid
intrasel yang akan mengalami fusi dengan lisosom yang mengandung enzim proteolitik.
Tiroglobulin harus mengalami pemecahan lengkap menjadi asam amino penyusunnya agar
hormon tersebut dapat dilepaskan. TSH membantu mempercepat degradasi tiroglobulin
dengan cara meningkatkan aktivitas beberapa endopeptidase thiol lisosom. Endopeptidase ini
memecah tiroglobulin secara selektif, menghasilkan senyawa antara yang mengandung
hormon, yang kemudian akan diproses oleh eksopeptidase.
Hormon yang telah dilepaskan kemudian akan keluar melalui membran basalis sel tiroid.
Ketika tiroglobulin dihidrolisa, monoiodotirosin dan diiodotirosin juga akan dilepaskan,
namun umumnya tidak akan keluar dari kelenjar tiroid. Keduanya akan dimetabolisme secara
selektif. Iodine yang dilepaskan dalam bentuk iodida, akan dikembalikan ke dalam protein
koloid dan umumnya akan digunakan kembali.
5. Konversi Tiroksin menjadi Triiodotironin pada Jaringan Perifer
Jumlah produksi normal tiroksin adalah antara 70-90 μg/hari, sedangkan triiodotironin antara
15-30 μg/hari. Meskipun triiodotironin disekresi oleh kelenjar tiroid, namun metabolisme
tiroksin melalui proses monodeiodinasi menyumbang sekitar 80% triiodotironin dalam
sirkulasi. Area utama untuk proses konversi nontiroidal T4 menjadi T3 adalah hepar.
Kebanyakan organ target perifer mengutilisasi T3 yang beredar dalam sirkulasi. Konsentrasi
normal T4 dalam plasma adalah antara 4.5-11 g/dL, sedangkan T3 jauh lebih rendah, yaitu
antara 60-180 ng/dL.
Enzim yang mengubah tiroksin menjadi triiodotironin adalah iodotironin deiodinase, yang
terdapat dalam 2 bentuk isoenzim: tipe I (D1) ditemukan dalam hepar, ginjal, dan kelenjar
tiroid, menghasilkan T3 yang akan diutilisasi oleh kebanyakan organ target perifer. D1 dapat
dihambat oleh berbagai faktor, termasuk obat antitiroid propylthiouracyl. Pada
hipertiroidisme, D1 mengalami up-regulation dan mengalami down-regulation pada
hipotiroidisme. Tipe II (D2) terdistribusi pada otak, pituitari, otot skeletal dan jantung.
Perannya terutama untuk memberikan suplai triiodotironin intrasel pada jaringan tersebut. D2
memiliki nilai Km yang lebih rendah untuk tiroksin daripada D1 dan aktivitasnya tidak
dipengaruhi oleh propylthiouracyl.
Hormon tiroid ditranspor dalam darah melalui ikatan nonkovalen kuat dengan protein
plasma tertentu. Thyroxine-binding globulin (TBG) merupakan protein pembawa utama untuk
hormon tiroid. Tiroksin, tapi tidak triiodotironin, juga terikat pada transthyretin (thyroxine-
binding prealbumin), suatu protein pengikat retinol. Ikatan hormon tiroid dengan plasma protein
melindungi hormon tersebut dari metabolisme dan ekskresi, menghasilkan waktu paruh yang
panjang dalam sirkulasi.
Hormon bebas hanya terdapat dalam persentasi kecil (sekitar 0.03% tiroksin dan 0.3%
triiodotironin), namun demikian hanya hormon bebas yang memiliki aktivitas metabolik. Dengan
demikian, karena hormon tiroid terikat pada protein plasma dalam derajat tinggi, maka perubahan
pada konsentrasi protein plasma atau pada afinitas hormon tersebut akan memberikan efek besar
pada konsentrasi total hormon dalam serum. Beberapa obat jenis tertentu dan berbagai kondisi
baik fisiologis maupun patologis dapat mempengaruhi ikatan hormon tiroid dengan protein
plasma dan jumlah protein plasma tersebut. Namun demikian, karena pituitari merespon dan
meregulasi kadar hormon bebas dalam sirkulasi, maka hanya akan tampak sedikit perubahan pada
konsentrasi hormon bebas dalam sirkulasi.
Tiroksin mengalami eliminasi lambat, dengan waktu paruhnya berkisar antara 6-8 hari.
Pada hipertiroidisme, waktu paruhnya akan mengalami pemendekan menjadi 3 atau 4 hari,
sedangkan pada hipotiroidisme menjadi 9-10 hari. Perubahan ini dapat menunjukkan perubahan
laju metabolisme hormon. Pada kondisi yang terkait dengan peningkatan ikatan pada TBG
(seperti pada masa kehamilan), proses clearance hormon akan berkurang (sebagai akibat
penurunan clearance TBG). T3, yang mengalami ikatan lemah dengan protein plasma, memiliki
waktu paruh sekitar 1 hari.
Hepar merupakan organ utama yang mendegradasi hormon tiroid melalui jalur non-
deiodinatif: T4 dan T3 dikonjugasikan dengan asam glukuronat dan asam sulfat lalu diekskresi
melalui empedu. Sejumlah hormon tiroid dibebaskan dari konjugatnya melalui hidrolisa di usus
halus dan mengalami reabsorbsi.
Hormon tiroid menyebabkan perubahan selular pada pituitari, area otak yang
mengendalikan sekresi TSH melalui mekanisme negative-feedback oleh hormon tiroid. TSH
disekresi dalam suatu pola circadian dan kadarnya dalam sirkulasi mencapai puncaknya pada saat
tidur di malam hari. Sekresi TSH dikendalikan secara tepat oleh peptida yang disekresi
hipotalamus, thyrotropin-releasing hormone (TRH), dan oleh konsentrasi hormon tiroid bebas
dalam sirkulasi. Kadar hormon tiroid berlebih akan menghambat baik gen TRH maupun gen yang
mengkode TSH, yang akan menekan sekresi TSH dan menyebabkan kelenjar tiroid menjadi
inaktif. Mekanisme lain efek hormon tiroid terhadap sekresi TSH adalah melalui reduksi sekresi
TRH oleh hipotalamus akibat penurunan jumlah reseptor TRH pada sel pituitari.
TRH disintesis oleh hipotalamus dan dilepaskan ke dalam sirkulasi hipofiseal-portal,
dimana selanjutnya akan berinteraksi dengan reseptor TRH pada thyrotropes. Ikatan TRH pada
reseptornya, suatu G protein coupled receptor (GPCR), akan merangsang jalur Gq-PLC-IP3-Ca2+
dan mengaktivasi protein kinase C, yang akan menstimulasi sintesis dan pelepasan TSH oleh
thyrotropes. Somatostatin, dopamin, dan glukokortikoid dalam dosis farmakologis menghambat
sekresi TSH akibat stimulasi TRH.
Efek TSH terhadap metabolisme hormon tiroid adalah peningkatan sekresi yang segera
dapat diamati dalam hitungan menit.Terjadi peningkatan pada seluruh fase sintesis hormon:
uptake iodida dan organifikasi, sitesis hormon, endositosis, serta proteolisis koloid. Efek tersebut
dihasilkan melalui pengikatan TSH pada reseptornya pada membran plasma tiroid, dimana ikatan
TSH dengan reseptornya akan merangsang jalur Gs-adenilil siklase-siklik AMP (cAMP). TSH
dalam konsentrasi yang lebih tinggi akan mengaktivasi jalur Gq-PLC.
Hormon tiroid bekerja memberikan efek perkembangan dan efek spesifik jaringan dengan
diperantarai oleh reseptor inti. Triiodotironin berikatan dengan reseptor inti yang memiliki
afinitas tinggi, yang kemudian akan berikatan dengan sekuens DNA (thyroid response elements /
TREs) pada area regulator atau promoter pada gen target. Melalui cara inilah triiodotironin
memodulasi transkripsi gen dan sintesis protein. Secara umum, reseptor T3 yang tidak terikat
ligan berada dalam kondisi terikat pada TREs pada kondisi basal. Umumnya, keadaan ini
menyebabkan penekanan transkripsi gen, meskipun terjadi pula beberapa aktivasi gen. Ikatan T3
akan menyebabkan aktivasi gen dengan cara melepaskan sifat represi dari TREs.
T4 juga berikatan dengan reseptor yang sama, namun dengan afinitas yang lebih rendah
daripada T3. Meskipun memiliki kemampuan untuk terikat pada reseptor inti, tiroksin tidak
menunjukkan kempuan untuk mengubah transkripsi gen. Dengan demikian, T4 lebih banyak
berperan sebagai prohormon, dimana seluruh aktivitas transkripsi dari hormon tiroid dipegang
oleh T3.
Terdapat homologi antara reseptor hormon tiroid dengan reseptor hormon tiroid, yang
membangun superfamili gen yang termasuk reseptor asam retinoat dan vitamin D. Sebagai
tambahan terhadap aktivitas kerja yang diperantarai oleh reseptor inti, terdapat pula beberapa
aktivitas nongenomik hormon tiroid, termasuk yang bekerja di tingkat membran plasma, sito-
arsitektur selular, atau pada mitokondria, dimana pada beberapa dari proses tersebut, tiroksin
menjadi hormon yang menghasilkan respon:
1. Pertumbuhan dan Perkembangan
Hormon tiroid memberikan efeknya yang paling besar terutama melalui kontrol transkripsi
DNA dan sintesis protein, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan normal
secara bermakna. Hormon tiroid juga memegang peranan penting dalam perkembangan otak.
Hilangnya hormon troid selama periode neurogenesis aktif (sampai usia 6 bulan postpartum)
akan mengarah pada retardasi mental yang bersifat ireversibel (kretinisme) dengan diikuti oleh
berbagai perubahan morfologis pada otak sebagai akibat terganggunya migrasi neuronal,
proyeksi aksonal, dan penurunan sinaptogenesis. Aktivitas kerja hormon tiroid pada sintesis
protein dan aktivitas enzimatisnya tidak hanya terbatas pada otak. Banyak jaringan juga
mengalami perubahan setelah mendapat administrasi hormon tiroid, atau akibat defisiensinya.
Defek ekstensif pada pertumbuhan dan perkembangan pasien dengan kretinisme
mengilustrasikan secara jelas efek hormon tiroid pada individu normal.
2. Efek Kalorigenik
Respon khas dari hewan homeotermis terhadap pemberian hormon tiroid adalah peningkatan
konsumsi O2. Kebanyakan jaringan perifer ikut berperan dalam memberikan respon ini:
jantung, otot skeletal, hepar, dan ginjal mengalami stimulasi secara signifikan oleh hormon
tiroid, dimana 30-40% peningkatan konsumsi O2 disebabkan oleh peningkatan kontraktilitas
otot jantung. Beberapa organ lain seperti otak, gonad, dan limpa tidak menunjukkan efek
kalorigenik terhadap rangsangan hormon tiroid. Meskipun gambaran umumnya masih belum
jelas, namun hormon tiroid dapat meregulasi set-point keluaran energi dan mempertahankan
proses metabolik yang dibutuhkan untuk mencapainya.
3. Efek Kardiovaskular
Hormon tiroid mempengaruhi kerja jantung baik secara langsung maupun tak langsung. Pada
penderita hipertiroid terjadi tachycardia, peningkatan stroke volume, peningkatan indeks
jantung, hipertrofi jantung, penurunan resistansi vaskular perifer, dan peningkatan tekanan
nadi (pulse pressure).
Hormon tiroid meregulasi ekpresi gen myocardial secara langsung. T3 menyebabkan
upregulation pada gen yang mengkode isoform rantai berat myosin sarkoplasma dan
sarcoplasmic reticulum Ca2+-ATPase. Keduanya memegang peranan penting dalam kontraksi
otot jantung. Gangguan kontrakstilitas otot jantung sebagai akibat gangguan pada regulasi
kedua gen tersebut dapat diamati pada keadaan hipo dan hipertiroid.
Perubahan sensitivitas otot jantung terhadap katekolamin (meningkat pada hipertiroid)
dianggap sebagai efek tak langsung dari hormon tiroid, disebabkan oleh perubahan ekspresi
reseptor β-adrenergik jantung. Hal ini menjadi dasar penggunaan senyawa antagonis β-
adrenoceptor dalam meringankan manifestasi jantung pada hipertiroidisme.
Pada akhirnya, T3 menyebabkan efek hemodinamik perifer yang mengubah kondisi
kronotropik dan inotropik myocardium. T3 tampak menunjukkan efek nongenomik langsung
terhadap vasodilatasi otot polos vaskular.
4. Efek Metabolik
Hormon tiroid menstimulasi metabolisme kolesterol menjadi asam empedu, meningkatkan
ikatan hepatosit dengan low density lipoprotein (LDL). Jumlah reseptor LDL pada permukaan
hepatosit merupakan determinan penting konsentrasi kolesterol plasma. Hormon tiroid juga
meningkatkan respon lipolisis sel lemak terhadap hormon lain (seperti katekolamin), sehingga
peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dapat ditemukan pada hipertiroidisme. Berlawanan
dengan hormon lipolitik lainnya, hormon tiroid tidak meningkatkan akumulasi cAMP secara
langsung, namun meregulasi kapasitas hormon lain untuk meningkatkan akumulasi cAMP
dengan cara menurunkan aktivitas fosfodiesterase mikrosomal yang menghidrolisa cAMP.
Tirotoksikosis merupakan suatu kondisi resistansi insulin. Defek postreseptor pada hepar dan
jaringan perifer, dimenifestasikan oleh penurunan simpanan glikogen dan peningkatan
glukoneogenesis, akan mengarah pada insensitivitas terhadap insulin. Sebagai tambahan,
terjadi peningkatan absorbsi glukosa dari usus. Kondisi-kondisi tersebut dapat merangsang
terjadinya diabetes klinis.
Hipertiroidisme adalah keadaan di mana fungsi sekresi tiroid terlalu aktif, yang
menyebabkan produksi berlebihan hormon tiroid triiodothyronine (T3) dan / atau tiroksin (T4).
Ketika hormon tiroid mengendalikan beberapa fungsi tubuh, termasuk metabolisme, kelebihan ini
menyebabkan stimulasi ekstra yang kecepatan beberapa sistem tubuh. Tirotoksikosis digunakan
untuk menggambarkan hipertiroidisme yang menyajikan gejala-gejala klinis.
Hipertiroidisme terjadi akibat peningkatan sintesis dan sekresi hormon-hormon tiroid
(tiroksin [T4] dan triiodothyronine [T3]) dari kelenjar tiroid, yang disebabkan oleh stimulator
tiroid dalam darah atau oleh hyperfunction tiroid otonom. Selain itu hipertiroidisme dapat dihasil
dari pelepasan berlebihan dari hormon tiroid tanpa peningkatan sintesis. Rilis seperti biasanya
disebabkan oleh perubahan destruktif dari berbagai jenis tiroiditis. Berbagai sindrom klinis juga
memproduksi hipertiroidisme:
Graves' disease (toxic diffuse goiter)
Penyakit ini disebabkan oleh tiroid autoantibody terhadap reseptor untuk thyroid-stimulating
hormone (TSH). Tidak seperti kebanyakan autoantibodies, yang merupakan penghambatan,
autoantibody ini justru merupakan stimulasi, sehingga terus-menerus menghasilkan sintesis dan
sekresi kelebihan T4 dan T3. Graves 'disease (seperti Hashimoto tiroiditis) kadang-kadang terjadi
dengan kelainan autoimun lainnya, termasuk diabetes mellitus tipe 1, vitiligo, rambut beruban
pada usia dini, anemia pernisiosa, penyakit jaringan ikat, dan sindrom defisiensi polyglandular.
Patogenesis dari infiltrative ophthalmopathy (bertanggung jawab atas exophthalmos pada
penyakit Graves) kurang dipahami, tetapi dapat diakibatkan dari imunoglobulin yang diarahkan
dengan reseptor spesifik di orbit fibroblas dan lemak yang mengakibatkan pelepasan sitokin
properadangan, peradangan, dan akumulasi glycosaminoglycans. Ophthalmopathy mungkin juga
terjadi sebelum timbulnya hipertiroidisme atau saat mencapai 20 tahun sesudahnya, dan sering
memperburuk atau memperbaiki independen dari perjalanan klinis hipertiroidisme.
Sekresi TSH yang Abnormal
Pasien dengan hipertiroidisme umumnya mempunyai TSH yang tidak terdeteksi kecuali bagi
mereka dengan adenoma hipofisis anterior atau orang-orang dengan penolakan terhadap hormon
tiroid. Tingkat TSH tinggi, dan TSH yang dihasilkan dalam kedua gangguan secara biologis lebih
aktif daripada TSH normal. Kenaikan α-subunit TSH dalam darah (membantu dalam diagnosis
diferensial) terjadi pada pasien dengan adenoma hipofisis.
Molar pregnancy, choriocarcinoma, and hyperemesis gravidarum
Kondisi ini menyebabkan tingginya produksi serum human chorionic gonadotropin (hCG),
stimulator tiroid yang lemah. Tingkat hCG yang tertinggi selama trimester pertama kehamilan
dan mengakibatkan penurunan dalam serum TSH dan peningkatan ringan serum T4 bebas
kadang-kadang diamati pada saat itu. Stimulasi tiroid yang meningkat dapat disebabkan oleh
meningkatnya kadar hCG desialated sebagian, sebuah varian hCG yang dapat menjadi stimulator
tiroid yang lebih kuat daripada sialated hCG. Hipertiroid dalam kehamilan molar,
koriokarsinoma, dan hiperemesis gravidarum adalah sementara; fungsi tiroid normal dilanjutkan
bila kehamilan molar dievakuasi, yang koriokarsinoma diperlakukan dengan tepat, atau
hiperemesis gravidarum abates.
Drug-induced hyperthyroidism
Hipertiroid ini dapat disebabkan oleh Amiodarone dan interferon-α, yang dapat menyebabkan
tiroiditis dengan hipertiroid dan gangguan tiroid lainnya. Meskipun lebih sering menyebabkan
hipotiroidisme, litium juga dapat menyebabkan hipertiroidisme. Pasien yang menerima obat ini
harus diawasi secara ketat.
Struma ovarii
Hipertiroid terjadi ketika teratoma ovarium mengandung jaringan tiroid yang cukup untuk
menyebabkan hipertiroidisme.
Pada hipertiroidisme, T3 serum biasanya meningkat lebih tinggi daripada T4 karena
peningkatan sekresi T3 serta konversi dari T4 ke T3 di jaringan tepi. Pada beberapa pasien, hanya
T3 yane meningkat (T3 toksikosis). T3 toksikosis dapat terjadi di salah satu gangguan yang biasa
menghasilkan hipertiroidisme, termasuk penyakit Graves, gondok multinodular, dan berfungsi
otonom nodul tiroid soliter. Jika T3 toksikosis tidak diobati, pasien biasanya juga
mengembangkan kelainan laboratorium khas hipertiroidisme (yaitu, peningkatan T4 dan
pengambilan 123I). Berbagai bentuk tiroiditis umumnya memiliki fase hipertiroid diikuti oleh fase
hipotiroid.
2.4 Obat-obat Anti Hiperthyroid
Sejumlah besar senyawa dapat digunakan untuk menghambat, baik secara langsung maupun tak
langsung, sintesis, pelepasan, maupun aktivitas hormon tiroid. Beberapa memiliki nilai klinis
yang besar untuk pengobatan baik jangka pendek maupun jangka panjang hipertiroid. Inhibitor
utama hormon tiroid dapat diklasifikasikan ke dalam 4 kategori:
1. Obat antitiroid, yang langsung bekerja menghambat sintesis hormon tiroid.
2. Inhibitor ionik, yang memblok mekanisme transpor iodida.
3. Iodine konsntrasi tinggi, yang menghambat pelepasan hormon tiroid dari kelenjarnya dan
menurunkan sintesis hormon.
4. Iodine radioaktif, yang merusak kelenjar dengan radiasi ionisasi.
Tiga kategori besar obat antitiroid adalah: (1) thioureylene, yang mencakup seluruh
senyawa yang digunakan di klinik hingga saat ini; (2) derivat anilin, yang mana sulfonamid
menjadi golongan besarnya, memiliki peran menghambat sintesis hormon tiroid; dan (3)
polihidrat fenol, seperti resorsinol.
Thiourea dan derivat alifatik sederhananya, serta senyawa heterosiklik yang mengandung
gugus thioureylene merupakan agen antitiroid yang paling dikenal dan paling banyak digunakan
secara efektif pada manusia. Dari seluruh senyawa heterosiklik, bahan aktif yang mewakili
kerjanya adalah derivat sulfur dari imidazole, oxazole, hydantoin, thiazole, uracil, dan asam
barbiturat.
Obat antitiroid bekerja menghambat pembentukan hormon tiroid pada tahapan
penggabungan iodine ke dalam residu tirosil tiroglobulin. Obat ini juga menghambat proses
kopling residu iodotirosil dalam membentuk iodotironin. Hal ini menunjukkan bahwa obat
antitiroid bekerja menghambat proses oksidasi ion iodida dan gugus iodotirosil. Diperkirakan
bahwa obat tersebut menghambat enzim peroksidase dan dengan demikian menghambat oksidasi
iodida atau gugus iodotirosil menjadi kondisi aktif yang diperlukan. Selama beberapa waktu,
proses inhibisi sintesis hormon tersebut mengarah pada penurunan kadar cadangan tiroglobulin
teriodinasi akibat hidrolisa protein untuk melepas hormon bebas ke dalam sirkulasi. Namun
demikian, efek klinik baru akan tampak hanya pada saat telah terjadi penurunan kadar preformed
hormone dan konsentrasi hormon tiroid dalam sirkulasi.
Ketika Grave’s disease diterapi dengan obat antitiroid, konsentrasi thyroid-stimulating
immunoglobulin dalam sirkulasi juga seringkali menurun, menunjukkan bahwa beberapa agen
antitiroid juga berperan sebagai imunosupresan. Sebagai tambahan dari efek blokade sintesis
hormon, propylthiouracyl juga menghambat deiodinasi perifer T4 menjadi T3. Methimazole tidak
memiliki efek ini.
Preparat antitiroid yang saat ini banyak digunakan adalah propylthiouracil dan
methimazole. Beberapa sifat farmakologis dari kedua obat tersebut adalah:
Propylthiouracyl Methimazole
Ikatan protein plasma 75% nil
Waktu paruh 75 menit 4-6 jam
Volume distribusi 20 liter 40 liter
Frekuensi pemberian dosis 1-4 kali/hari 1-2 kali/hari
Transmisi transplacental Rendah Rendah
Kadar pada ASI Rendah Rendah
Pengukuran yang dilakukan pada laju organifikasi iodine radioaktif oleh tiroid
menunjukkan bahwa absorbsi jumlah efektif propylthiouracil terjadi dalam waktu 20-30 menit
setelah administrasi oral dengan durasi kerja umumnya rendah. Efek pemberian dosis 100 mg
propylthiouracil akan menghilang dalam waktu 2-3 jam. Methimazole sejumlah 0.5 mg juga
menurunkan organifikasi iodine radioaktif pada kelenjar tiroid, namun dosis tunggal sebesar 10-
25 mg dibutuhkan untuk memperpanjang efek inhibisinya sampai 24 jam.
Angka kejadian munculnya efek samping pada penggunaan propylthiouracil dan
methimazole umumnya relatif rendah. Reaksi paling serius yang dapat muncul pada penggunaan
methimazole adalah agranulositosis. Munculnya reaksi agranulositosis pada penggunaan
methimazole mungkin bersifat tergantung dosis, namun kondisi tersebut tidak tampak pada
penggunaan propylthiouracil. Reaksi agranulositosis biasanya ditandai dengan munculnya sakit
tenggorokan atau demam, dan bersifat reversibel melalui penghentian konsumsi obat. Perhatian
dan penghitungan leukosit dengan demikian juga harus sering dilakukan.
Efek samping yang paling sering muncul adalah munculnya bercak kemerahan gatal yang
akan hilang dengan sendirinya melalui penghentian terapi, atau bisa juga diintervensi dengan
administrasi antihistamine, kortikosteroid, atau dengan mengganti obat terapi dengan obat lain.
Komplikasi lain yang cukup jarang terjadi adalah kaku dan nyeri sendi, parestesi, nyeri kepala,
mual, pigmentasi kulit, serta kerontokan rambut.
Dosis awal yang biasanya diberikan untuk propylthiouracil adalah 100 mg setiap 8 jam,
atau 150 mg setiap 12 jam. Jika dibutuhkan dosis lebih dari 300 mg/hari, maka dibutuhkan
pembagian waktu administrasi menjadi setiap 4-6 jam. Methimazole efektif jika diberikan sebagai
dosis tunggal harian karena waktu paruhnya yang panjang, baik di dalam plasma maupun dalam
tiroid, dan durasi kerjanya yang panjang. Penggunaan obat antitiroid dapat dikurangi, namun
tidak dihentikan, ketika kondisi eutiroid tercapai, yaitu umumnya setelah 12 minggu.
Iodida merupakan obat tertua yang banyak digunakan untuk pengobatan kelainan pada
kelenjar tiroid. Sebelum obat antitiroid digunakan, iodida merupakan satu-satunya senyawa yang
tersedia untuk mengendalikan tanda dan gejala hipertiroidisme.
Iodida konsentrasi tinggi menunjukkan pengaruh hampir pada seluruh aspek metabolisme
iodine oleh kelenjar tiroid. Inhibisi akut terhadap sintesis iodotirosin dan iodotironin oleh iodida
juga telah diketahui dengan baik (efek Wolff-Chaikoff). Mekanisme efek Wolff-Chaikoff akut
memang masih belum jelas, namun dipostulatkan sebagai hasil pembentukan senyawa iodo
organik di dalam kelenjar tiroid.
Pada individu dengan kondisi eutiroid, adminidtrasi dosis iodida mulai dari 1.5-150 mg/hari
menghasilkan sedikit penurunan pada konsentrasi tiroksin plasma dan triiodotironin, serta sedikit
peningkatan kompensatoris pada TSH serum, dengan seluruhnya berada dalam batas rentang nilai
normal. Obat yang mengandung iodine yang paling sering diresepkan adalah ekspektoran,
antiseptik topikal, dan agen kontras radiologis.(Goodman & Gilman, 2008)
BAB III
Pembahasan
3.1 Keluhan Utama
Sesak napas akut
3.2 Kata Kunci
Wanita
40 tahun
Gelisah
Berat badannya terus menurun
Sering berkeringat
Denyut jantung meningkat
Sesak napas akut
Napas berbunyi
3.3 Diagnosis
Asma akut disertai hipertiroidisme
3.4 Tujuan Pengobatan Spesifik
Mangobati gejala asma akut tanpa memperberat gejala hipertiroid.
3.5 Inventarisir Kelompok Obat yang Efektif
Simpatomimetis: β2-agonis, antimuskarinik
Metilxanthine
Cara kerja obat-obat Asma
Kelompok Mekanisme kerja Efek Samping
β2-agonis Menstimulasi enzim adenilil siklase sehingga meningkatkan terbentuknya cAMP pada otot polos, efek pada β2>β1
Menyebabkan sedikit tremor, sakit kepala, vasodilatasi, takikardi, menstimulasi SSP, meningkatkan metabolisme
Antimuskarinik Menghambat reseptor Ach sehingga merupakan inhibitor kompetitif (vagus), menghambat sekresi mukus
Menghambat bradikardi
Metilxanthine Bronkodilator, menghambat kerja histamin di jaringan paru
Takikardi, menyebabkan gelisah, ada efek tremor, kronotropik dan ionotropik positif langsung pada jantung, butuh dosis yang tepat(dosis kecil tidak berpengaruh tetapi pada dosis besar bisa menyebabkan halusinasi)
3.6 P-drug (pilihan obat yang rasional)
P-drug(pilihan obat yang rasional):
Pilihan kelompok obat berdasarkan kriteria
Kelompok Efficacy Safety Suitability Cost Score
70% 20% 5% 5% 100%
β2-agonis 8
(560)
3 7 9 700
antimuskarinik 7,5 6 8 5 710
metilxanthine 6 4 7 7 585
Pilihan P-drug berdasarkan kriteria
Kelompok Efficacy Safety Suitability Cost Score
70% 20% 5% 5%
Ipratropium 8 7 8 5
Tiotropium 6 5 8 6
3.7 Alasan Farmakologis Pilihan P-drug
Ipratropium Bromide (Atrovent) merupakan salah satu pilihan obat anti muskarinik yang
dirasa cukup efektif untuk menyembuhakan gejala asma akut Ny Tarminem. Hal tersebut
dikarenakan efek Ipratropium sangat minimal atau hampir tidak ada pada kardiovaskular. Seperti
telah diketahui bahwa keadaan hipertiroid dari Ny Tarminem menyebabkan palpitasi dan
peningkatan sensitivitas reseptor beta adrenergik. Oleh karena itu, obat asma dari golongan beta
adrenergik tidak dapat dipakai untuk kasus asma Ny Tarminem.
Efek samping : Efek samping minimal seperti yang umumnya muncul dari
obat golongan atropin, seperti mulut kering dan sedasi
Kontraindikasi : Triwulan pertama kehamilan
Cara pemberian : inhalasi
Dosis : 0.02 mg tiap semprot, dewasa 3-4 x sehari 1-2 semprotan
Harga rata-rata : 10 ml MDI Rp 93.830,- dan botol 20 ml aerosol Rp
120.560,-
Tiotropium (Spiriva) juga merupakan golongan anti muskarinik yang sering digunakan
pada terapi asma, tetapi penggunaannya untuk menangani asma akut masih diragukan serta dapat
menyebabkan reaksi hipersensitivitas mendadak. Penggunaan Tiotropium juga menyebabkan
takikardi, yang akan semakin memperparah kondisi Ny Tarminem.
Berdasarkan hal tersebut di atas, kami menyimpulkan bahwa P-drug yang tepat untuk
mengatasi asma akut yang diderita Ny Tarminem adalah dengan menggunakan preparat aerosol
dari Ipratropium Bromide (Atrovent), yaitu dengan rute pemberian per inhalasi. Efek samping
yang dapat terjadi adalah sedasi dan mulut kering, dengan kontraindikasi tidak dapat digunakan
pada ibu hamil trimester awal, kecuali efek menguntungkan lebih banyak.
BAB IV
Kesimpulan
4.1 Kesimpulan
Untuk mengatasi kondisi asma akut kita menggunakan obat anti asma yang termasuk
golongan anti muskarinik, dengan preparat Ipratropium Bromide (Atrovent) yang meminimalkan
efek dari kardiovaskular.
4.2 Saran
P-treatment :
1. Lebih banyak istirahat
2. Mengurangi hal-hal yang dapat memicu stress
3. Mengurangi paparan dengan alergen seperti debu, pollen, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Farmakologi dan Terapik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru
Goodman & Gilman. 2008. Manual of Pharmacology and Therapeutics. United States of
America: Appleton and Lange.
ISFI. 2009. Informasi Spesialite Obat Indonesia. Volume 44. Yogyakarta-Indonesia. Berlico
Mulia Farma
Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi ke VI. Jakarta. EGC.
TKA. 2008. Obat-obatan untuk Merawat Asma. Retrieved October 5, 2009, from :
http://www.totalkesehatananda.com/asma6.html
The Asthma Center Manual. Understanding Asthma. Retereived October 5, 2009, from :
http://www.theasthmacenter.org/manual/part2-12.html