keganasan sinus maksilaris

59
Referat KEGANASAN SINUS MAKSILA Disusun oleh: Tirtawati Wijaya (406127027) Pembimbing: dr. H.R. Krisnabudhi, Sp. THT-KL KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT THT-KL (TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, KEPALA & LEHER) RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIBINONG PERIODE 4 NOVEMBER – 7 DESEMBER 2013

Upload: jefry-fernando-sianturi

Post on 20-Oct-2015

30 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Keganasan Sinus Maksilaris Tirta. Wijaya (406127027)

Referat

KEGANASAN SINUS MAKSILA

Disusun oleh:

Tirtawati Wijaya (406127027)

Pembimbing:

dr. H.R. Krisnabudhi, Sp. THT-KLKEPANITERAAN ILMU PENYAKIT THT-KL(TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, KEPALA & LEHER)RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIBINONG

PERIODE 4 NOVEMBER 7 DESEMBER 2013

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

JAKARTAHALAMAN PENGESAHANNama

: Tirtawati Wijaya S.E., S.Ked.NIM

: 406127027

Universitas

: Tarumanagara

Fakultas

: Kedokteran Umum

Diajukan

: 25 November 2013

Periode Kepaniteraan: 4 November 7 Desember 2013

Bagian

: Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher

Pembimbing

: dr. H.R. Krisnabudhi, Sp. THT-KL

Telah diperiksa dan disetujui tanggal Mengetahui,Ketua SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher

Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong

.

(dr. H.R. Krisnabudhi, Sp. THT-KL)

DAFTAR ISI

iDAFTAR ISI

iiiDAFTAR GAMBAR & TABEL

ivDAFTAR SINGKATAN

vPENGANTAR

1BAB I: PENDAHULUAN

2BAB II: SINUS PARANASAL

2II.1. Anatomi

4II.1.1. Sinus Frontal

5II.1.2. Sinus Etmoid

7II.1.3. Sinus Sfenoid

8II.1.4. Sinus Maksila

10II.2. Histologi

12II.3. Fisiologi

13BAB III: KEGANASAN SINUS MAKSILA

13III.1. Definisi

14III.2. Epidemiologi

14III.3. Etiologi dan Faktor Risiko

15III.4. Histopatologi dan Patofisiologi

17III.5. Stadium Tumor Ganas Hidung dan Sinus Paranasal

18III.6. Diagnosa

18III.6.1. Anamnesa

20III.6.2. Pemeriksaan Fisik

22III.6.3. Pemeriksaan Tambahan

23III.7. Terapi

23III.7.1. Pembedahan

26III.7.2. Radioterapi

27III.7.3. Kemoterapi

27III.8. Prognosis

28BAB IV: RESUME

29DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR & TABEL

Gambar 2.1. Sinus paranasal

Gambar 2.2. Muara sinus paranasal dan hiatus semilunaris

Gambar 2.3. Sinus etmoid dan sfenoid

Gambar 2.4. Sinus maksila

Gambar 2.5. Epitel respiratorikTabel 3.1. Keganasan pada hidung dan sinus paranasal

Tabel 3.2. Klasifikasi klinis TNM

Tabel 3.3. Stadium tumor ganas leher dan kepala

DAFTAR SINGKATAN

PENGANTARPuji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunia-Nya, yang memungkinkan referat ini dapat diselesaikan tepat waktu.

Referat mengenai Keganasan Sinus Maksila ini disusun pada saat melaksanakan kepaniteraan Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher di Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong pada periode 4 November 7 Desember 2013, dengan berbekalkan pengetahuan, bimbingan, serta pengarahan yang diperoleh baik selama kepaniteraan berlangsung maupun pada saat kuliah pra-klinis.

Banyak pihak yang turut membantu dan berperan dalam penyusunan referat ini, dan untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

dr. H.R. Krisnabudhi Sp.THT-KL sebagai dosen pembimbing

dr. Dadang Chandra Sp.THT-KL dr. Martinus

Pimpinan dan staf SMF THT-KL RSUD Cibinong

Pimpinan dan staf Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Rekan-rekan ko-asisten selama kepaniteraan ilmu penyakit THT-KL di RSUD CibinongWalau telah berusaha menyelesaikan referat ini dengan sebaik-baiknya, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya segala saran dan kritik yang membangun akan diterima dengan senang hati, untuk perbaikan di masa mendatang, sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 25 November 2013

Tirta. Wijaya

BAB I: PENDAHULUAN

Secara garis besar keganasan pada sinus paranasal jarang ditemukan. Di Indonesia kekerapan keganasan hidung dan sinus paranasal (atau juga disebut sinonasal) adalah sebesar 1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher. Di Departemen THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan sinonasal ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak dengan rasio laki-laki dibanding wanita sebesar 2:1.

Sinus paranasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Hal lain yang juga menyebabkan diagnosa terlambat adalah karena gejala dininya mirip dengan rinitis atau sinusitis kronis, sehingga sering diabaikan pasien maupun dokter. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus, karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologik. Jika tumor tampak di rongga hidung atau mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Bila biopsy tidak dapat dilakukan (misalnya pada tumor vaskuler dengan risiko tinggi perdarahan), diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan angiografi.Penatalaksanaan keganasan sinus maksila sama seperti pada keganasan pada umumnya. Prognosis sangat dipengaruhi derajat keparahan penyakit; semakin lanjut stadium pada saat didiagnosis, semakin buruk prognosisnya. Deteksi dini penyakit dikaitkan dengan prognosis yang lebih baik. Oleh karenanya penting bagi pemberi layanan kesehatan primer untuk mengenal penyakit ini lebih dalam.BAB II: SINUS PARANASALII.1. AnatomiSinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri2. Sinus-sinus tersebut dinamai berdasarkan nama tulang yang ditempatinya. Sinus paranasal merupakan kelanjutan dari perkembangan kavitas nasalis dan mengerosi tulang-tulang disekitarnya (pneumatisasi). Semua sinus tersebut (1) dilapisi oleh mukosa respiratorik, yang bersilia dan menyekresikan mukus; (2) bermuara di kavum nasi; dan (3) dipersarafi oleh cabang-cabang nervus trigeminus (N.V)3.Mukosa sinus paranasal merupakan kelanjutan dari mukosa kavitas nasal suatu ciri yang sayangnya mendukung penyebaran infeksi dan secara histologis mirip, meski lebih tipis, kurang vaskular, dan kurang menempel ke tulang. Mukus disekresikan oleh kelenjar yang terdapat dalam mukosa dan disapu melalui aperturanya menuju hidung oleh silia. Silia tidak terdistribusi secara merata, namun selalu ada di sekitar apertura sinus. Ekskalator mukosiliar adalah mekanisme normal untuk membersihkan sinus dan mempertahankan aerasi, serta merupakan dasar teori dari bedah sinus endoskopi fungsional (functional endoscopic sinus surgery / FESS).Sebagian besar sinus rudimenter atau bahkan absen saat kelahiran, namun membesar dengan cepat selama erupsi gigi permanen dan setelah pubertas, yang mengubah ukuran dan bentuk wajah secara bermakna pada waktu tersebut4.

Gambar 2.1. Sinus paranasal. (A) tampak anterior (B) radiografi posteroanterior (C) tampak paramedia dextra (D) radiografi lateral. 3II.1.1. Sinus FrontalSinus frontal terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8 10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya, dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. +15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan +5% sinus frontalnya tak berkembang2.

Kedua sinus frontal ukurannya bervariasi dan merupakan sinus yang letaknya paling superior. Setiap sinus ini berbentuk segitiga, dan merupakan bagian dari os frontal yang terletak di bawah dahi. Dasar dari tiap sinus berbentuk segitiga ini arahnya vertikal pada garis tengah tulang tepat di atas jembatan hidung, sedang puncaknya terletak lateral kira-kira sepertiga dari batas atas orbita4. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepinya berlekuk-lekuk. Tiadanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini2.Setiap sinus frontal memiliki saluran keluar ke dinding lateral dari meatus media melalui duktus nasal anterior, yang menembus labirin etmoid dan berlanjut ke infundibulum etmoid di bagian depan dari hiatus semilunaris (Gambar 2.2). Sinus frontal dipersarafi oleh cabang oftamikal supra-orbital nervus trigeminus (V1). Pasokan darah diperoleh dari cabang-cabang arteri etmoid anterior4. Gambar 2.2. Muara sinus paranasal dan hiatus semilunaris3II.1.2. Sinus EtmoidDari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya2. Sinus etmoid adalah rongga-rongga kecil berdinding tipis dalam labirin etmoid, yang dikelilingi oleh tulang-tulang frontal, maksila, lakrimalis, sfenoidalis, dan palatina. Sinus ini bervariasi dari 3 sinus besar sampai 18 sinus kecil pada tiap sisi, dan saluran keluarnya ke rongga hidung juga sangat bervariasi posisinya. Sinus etmoid terletak di antara bagian atas rongga hidung dan orbita4.

Sel-sel etmoid dibentuk oleh ruang-ruang udara terpisah dengan jumlah bervariasi, yang berdasarkan letak aperturanya pada dinding lateral kavum nasi dikelompokkan menjadi sinus etmoid anterior, media, dan posterior. Sinus etmoid anterior memiliki saluran keluar ke infundibulum etmoid atau duktus nasal anterior; sinus etmoid media memiliki saluran keluar ke bulla etmoid atau ke dinding lateral yang terletak tepat di atas struktur ini; sinus etmoid posterior memiliki saluran keluar ke dinding lateral dari meatus nasi superior3. Dewasa ini para klinisi biasanya menganggap sinus etmoid terdiri dari kelompok anterior dan posterior saja di setiap sisi, dimana ronga-ronga udara etmoid medial dimasukkan ke dalam kelompok anterior. Kedua kelompok dipisahkan oleh lamina basalis konka media yang mungkin berlekuk karena terdesak oleh sel-sel kelompok anterior maupun posterior, sehingga menjadi pembatas yang bentuknya tidak beraturan diantara kedua kelompok. Yang membedakan kedua kelompok sinus adalah tempat hubungannya dengan rongga hidung4.

Gambar 2.3. Sinus etmoid dan sfenoid (potongan horizontal kepala) 4Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal, dan pembengkakan di infundibulum dapan menyebabkan sinusitis maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita2. Lamina papirasea yang setipis kertas ini adalah barrier yang tidak memadai terhadap infeksi, sehingga memungkinkannya menyebar ke orbita4.. Sel-sel etmoid dipersyarafi oleh cabang etmoidalis anterior dan posterior syaraf nasosiliaris dari nervus oftalmikus (V1); serta nervus maksila (V2) melalui cabang-cabang orbital dari ganglion pterigopalatina. Sel-sel etmoid menerima pasokan darahnya melalui percabangan arteri etmoid anterior dan posterior3.

II.1.3. Sinus Sfenoid

Sinus - sinus sfenoid, satu di setiap sisi dalam badan sfenoid, memiliki saluran keluar ke atap kavum nasi melalui apetura di dinding posterior resesus sfeno-etmoid. Apertura ini terletak tinggi di dinding anterior sinus sfenoid4. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah setinggi 2 cm, dalam 2.3 cm, dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7.5 ml2.

Bagian atas sinus sfenoid berbataskan kavitas kranial, terutama ke arah kelenjar hipofisis dan kiasma optik; ke lateral berbataskan kavitas kranial, terutama sinus-sinus kavernosa; di bagian bawah dan depan berbataskan kavitas nasi. Karena sinus-sinus sfenoid dipisahkan dari kavitas nasi dibawahnya dan fosa hipofisis diatasnya hanya oleh selapis tipis tulang, pembedahan kelenjar hipofisis dapat dicapai melalui atap kavitas nasi, pertama-tama melewati aspek antero-inferior dari tulang sfenoid menuju sinus - sinus sfenoid dan kemudian melalui bagian atas tulang sfenoid mengarah ke fosa hipofisis. Inervasi sinus-sinus sfenoid disediakan oleh percabangan etmoid dari nervus oftalmikus (V1) dan nervus maksila (V2) melalui percabangan orbital dari ganglian pterigopalatina. Sinus-sinus sfenoid diperdarahi oleh percabangan arteri faringeal yang berasal dari arteri maksilaris3.

II.1.4. Sinus MaksilaSinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6 8 ml, kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina; dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila; dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung; dinding superiornya adalah dasar orbita; dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum.

Secara klinis yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: (1) dasar sinus maksila sangat dekat dengan akar gigi rahang atas, yaitu molar (M1 dan M2), premolar (P1 dan P2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis; (2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita; (3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior; pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis2.

Gambar 2.4. Sinus maksila. Potongan koronal melalui rongga hidung, dilihat dari posterior, bidang di sebelah kanan lebih ke anterior. Ostium normal dari sinus maksila disajikan di sisi kanan, sedangkan ostium aksesoris yang sering terjadi disajikan di kiri. 4Karena begitu tipisnya dinding sinus, tumor bisa saja mendorong naik lantai orbita dan mempengaruhi letak bola mata; menonjol ke rongga hidung, menyebabkan obstruksi nasal dan perdarahan; menonjol ke pipi, menyebabkan pembengkakan dan kebas bila syaraf infraorbita rusak; menyebar ke fosa infratemporal di belakangnya, menyebabkan kesulitan untuk membuka mulut karena nyeri dan kerusakan muskulus pterigoidium; atau menyebar ke mulut yang terletak di bawahnya, menyebabkan gigi goyah dan rontok serta maloklusi. Ekstraksi gigi molar dapat merusak dasar, dan benturan (impact) dapat menyebabkan fraktur pada dinding-dindingnya4.Sinus-sinus maksila dipersyarafi oleh percabangan alveolar dan infra-orbital dari nervus maksila (V2); serta menerima pasokan darah melalui percabangan arteri maksila infra-orbital dan alveolar superior3.Osteomeatal complex atau unit osteomeatal adalah suatu kesatuan yang terdiri dari sinus maksila, ostium, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, dan resesus frontal. Unit ini merupakan jalur umum akhir untuk drainase sekresi dari sinus etmoid anterior dan media, frontal, dan maksila menuju meatus media; dan obstruksi memainkan peran utama dalam perkembangan dan persistensi sinusitis. Tomografi komputer beresolusi tinggi (high resolution computer tomography / HRCT) koronal menampilkan struktur-struktur ini secara sangat mendetil, dan merupakan modalitas pencitraan pilihan4.Sistem mukosiliar. Seperti pada mukosa hidung, dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Dalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfeno-etmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret paska-nasal (post nasal drip), tapi belum tentu ada sekret di rongga hidung2.

II.2. Histologi5Rongga-rongga sinus paranasal dilapisi epitel respiratorik yang lebih tipis dibandingkan rongga hidung, yang mengandung beberapa sel goblet. Lamina propria hanya megandung sedikit kelenjar kecil, dan berhubungan dengan periosteum di bawahnya. Epitel respiratorik adalah lapisan epitel torak berlapis semu (pseudostratified columnar epithelium) yang mengandung sel-sel goblet. Epitel respiratorik pada umumnya terdiri dari lima jenis sel (sebagaimana terlihat melalui mikroskop elektron, gambar 2.5).

Gambar 2.5. Epitel respiratorik. Atas: mikrograf elektron pembesaran 9200x. Bawah: Fotomikrograf dengan pararosanilin toluidin biru.5(1) Sel torak bersilia merupakan jenis sel yang paling banyak jumlahnya pada epitel respiratorik. Setiap sel memiliki + 300 silia pada permukaan apikal-nya; di bawah silia, selain badan basalis, terdapat banyak mitokondria kecil yang memasok adenosine triphosphate (ATP) untuk menggerakkan silia. (2) Sel goblet mucus adalah jenis sel terbanyak urutan kedua. Bagian apikal sel ini mengandung butiran mukus yang dibentuk dari glikoprotein. (3) Sel sikat (brush cells) adalah sel torak dengan banyak sekali mikrovili pada permukaan apikal-nya. Brush cells memiliki ujung syaraf aferen pada permukaan basal dan dianggap sebagai reseptor sensorik. (4) Sel basalis adalah sel-sel bulat berukuran kecil yang terletak di lamina basalis. Sel-sel ini dipercaya sebagai sel punca generatif yang mengalami mitosis dan kemudian berdiferensiasi menjadi sel-sel jenis lain. (5) Sel granula mirip dengan sel basalis, bedanya sel granula memilik banyak sekali granul berdiameter 100 300 nm dengan inti padat. Kesemua sel epitel torak berlapis semu bersilia bersentuhan dengan membran basalis.II.3. Fisiologi

Hingga saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tak memiliki fungsi apapun, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka2. Ada yang beranggapan bahwa fungsi sinus paranasal adalah untuk meringankan tulang kepala, karena rongga berisi udara lebih ringan dibandingkan tulang padat; dan merupakan sarana resonansi (meningkatkan getaran udara) saat berbicara6. Sinus juga diperkirakan untuk meredam perubahan tekanan udara yang drastis dan mendadak, misalnya pada waktu bersin dan membuang ingus. Fungsi lain sinus adalah untuk membantu produksi mukosa mukus; meski jumlah mukus yang dihasilkannya sedikit namun cukup efektif untuk membersihkan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis2.BAB III: KEGANASAN SINUS MAKSILAIII.1. Definisi

Keganasan, atau yang juga sering disebut kanker, adalah sebuah penyakit neoplastik yang secara alamiah bersifat fatal. Sel-sel kanker, berbeda dengan sel tumor jinak, menunjukkan kemampuan untuk menginvasi dan bermetastasis, dan sangat anaplastik. Kanker terdiri dari dua kelompok besar, yaitu karsinoma dan sarkoma, namun pada penggunaan normal istilah kanker sering bersinonim dengan karsinoma7. Dalam referat ini istilah keganasan, kanker, dan karsinoma akan dipergunakan untuk pengertian yang sama, kecuali bila disebut secara khusus.Meski neoplasma hidung dan sinus paranasal termasuk jarang, terdapat beragam jenis keganasan yang dibahas di berbagai literatur (tabel 3.1)8. Tabel 3.1. Keganasan pada hidung dan sinus paranasal

Tumor epitelTumor non-epitel

Karsinoma sel skuamosaRabdomiosarkoma

AdenokarsinomaSarkoma neurogenik

Karsinoma sistik adenoidLeiomiosarkoma

Karsinoma mukoepidermoidFibrosarkoma

MelanomaAngiosarkoma

EstestoneuroblastomaHemangioperisitoma

TeratomaSarkoma osteogenik

TeratokarsinomaChondrosarkoma

Limfoma

Plasmasitoma ekstra-medula

Giant cell tumors

Mengingat berbagai keterbatasan yang ada, pembahasan mengenai keganasan sinus maksila dalam referat ini hanya akan berfokus pada keganasan sinus maksila yang umum terjadi.

III.2. Epidemiologi

Karsinoma sinus maksila sangat jarang terjadi, yaitu sebesar 0.2 0.8% dari seluruh neoplasma, 3% dari karsinoma kepala dan leher, dan 80% dari semua kasus tumor sinus paranasal. Sebagian besar tumor yang terjadi di antrum maksila berasal dari epitel, dan karsinoma epidermoid terkait dengan lebih dari 80% kasus neoplasma maligna, dengan karsinoma adenosistik merupakan jenis yang paling sering terjadi pada urutan kedua9. Keganasan sinonasal terjadi dua kali lipat lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan, dan seringkali didiagnosa pada pasien berusia 50 70 tahun10.

Tumor ganas tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul oleh karsinoma tanpa diferensiasi dan tumor asal kelenjar. Sinus maksila adalah yang tersering terkena (65 80%), disusul sinus etmoid (15 25%), dan hidung (24%); sedangkan sinus sfenoid dan frontal jarang terkena. Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (< 5%) karena rongga sinus sangat miskin dengan sistim limfa, kecuali bila tumor sudah menginfiltrasi jaringan lunak hidung dan pipi yang kaya akan sistim limfatik. Metastasis jauh juga jarang ditemukan (< 10%) dan organ yang sering terkena metastasis jauh adalah hati dan paru1.

III.3. Etiologi dan Faktor RisikoFaktor lingkungan memainkan peranan penting dalam perkembangan keganasan sinus paranasal. Pengaruh paparan okupasi terhadap tumor ini mencapai 44%. Yang paling dikenal adalah hubungan antara debu kayu dengan adenokarsinoma. Paparan terhadap debu kayu meningkatkan risiko relatif terkena adenokarsinoma sampai 540 kali lipat. Namun, juga perlu diperhatikan bahwa karsinoma sel skuamosa juga memiliki hubungan yang sama dengan debu kayu, dimana paparan jangka panjang mengakibatkan peningkatan risiko relatif sebesar 21 kali lipat. Merokok juga diduga memainkan peranan dalam kanker hidung dan sinus paranasal. Selain itu, masih banyak zat kimia atau bahan industri lainnya yang juga terbukti berkaitan dengan perkembangan keganasan sinus paranasal, antara lain nikel, debu kayu, nikel, minyak isopropil, serat organik, kromium, volatile hydrocarbon, dan lainnya8.Ada juga bukti-bukti yang menunjukkan bahwa polusi lingkungan juga mungkin terkait dengan meningkatnya insidensi keganasan sinus paranasal. Dalam suatu penelitian retrospektif ditemukan peningkatan terjadinya keganasan sinus paranasal yang substansial saat dibandingkan antara tahun 1976 1986 dengan 1987 1998. Dipostulasikan bahwa hal ini mungkin terkait dengan meningkatnya paparan terhadap polutan kimiawi kompleks dalam populasi pasien yang diteliti selama selang waktu tersebut8.

Pola makan dan gaya hidup juga dapat menjadi faktor risiko. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadinya keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan1. Hal-hal lain yang diduga juga dapat menyebabkan keganasan sinus paranasal antara lain: terinfeksi Human Papillioma Virus (HPV), meski jarang, dan penderita retinoblastoma keturunan, yang biasanya memiliki risiko terkena kanker rongga hidung bila retinoblastoma-nya diterapi dengan radiasi11.III.4. Histopatologi dan PatofisiologiHampir seluruh jenis histopatologik tumor jinak dan ganas dapat tumbuh di daerah hidung dan sinus paranasal. Tumor ganas epithelial adalah karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur, adenokarsinoma, karsinoma tanpa diferensiasi, dan lainnya. Jenis non-epitelial ganas adalah hemangioperiositoma, bermacam-macam sarkoma termasuk rabdomiosarkoma dan osteogenik sarkoma ataupun keganasan limfoproliferatif seperti limfoma malignum, plasmasitoma ataupun polimorfik retikulosis sering juga ditemukan di daerah ini (Tabel 3.1) 1.

Neoplasma epitel maligna adalah tumor sinonasal yang paling sering terjadi, sebesar 45 80% dari seluruh neoplasia sinus; tipe yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa. 60% neoplasma ini terjadi di sinus maksila, 20 30% di rongga hidung, 10 15% di sinus etmoid, dan 1% di sinus frontal dan sfenoid. Diferensiasi dari tumor ini sangat bervariasi8.

Karsinoma glandular adalah tumor yang paling sering terjadi pada urutan kedua, sebanyak 4 15% dari semua neoplasma sinus. Pada kelompok ini, adenokarsinoma merupakan jenis yang paling umum terjadi. Secara garis besar tumor dikelompokkan menjadi derajat rendah bila aksitektur glandularnya dan karakter sitologisnya seragam, dan derajat tinggi bila memiliki pola pertumbuhan yang solid dan pleomorfisme inti tingkat menengah sampai menonjol. Kemaknaan prognosik kedua kelompok ini masih diperdebatkan, namun dirasakan bahwa andenokarsinoma derajat rendah cenderung jarang bermetastasis dan rekurensinya lokal, sedangkan adenokarsinoma derajat tinggi lebih sering bermetastasis regional dan jauh8.Karsinoma sistik adenoid lebih jarang terjadi dibandingkan adenokarsinoma. Tumor ini terdiri dari sekelompok sel-sel kecil yang tersusun dalam pola tubular, kribiformis, atau padat. Karsinoma sistik derajat rendah terdiri dari komponen padat < 30%, sebaliknya yang derajat tinggi teridri dari >30% komponen padat. Karsinoma derajat tinggi memiliki survival period lebih pendek dan insidensi metastase jauh yang lebih tinggi8.Karsinoma mukodermoid adalah bentuk karsinoma glandular yang amat jarang terjadi; yang dibentuk oleh kombinasi sel-sel skuamosa dan sel-sel basal yang glandular dan memproduksi mukus. Karsinoma ini cenderung bermetastasis jauh8.

Melanoma sinus (< 7% dari seluruh keganasan sinonasal) tak memiliki perbedaan bermakna dibandingkan dengan melanoma bagian tubuh lainnya. Aksitekturnya beragam, dapat seperti sarkoma, epiteloid, atau pleomorfik. Neuroblastoma olfaktorius memiliki dua pola sel yang berbeda, yaitu: (1) nesting pattern dimana sel-sel kecil dikelilingi stroma, atau (2) diffuse sheets sel-sel tumor dengan sedikit / tanpa stroma. Limfoma (+18% keganasan non-skuamosa sinus paranasal) umumnya berupa limfoma sel B besar dan tersebar, ataupun limfoma sel T / natural killer8.III.5. Stadium Tumor Ganas Hidung dan Sinus Paranasal1Klasifikasi untuk menentukan stadium yang digunakan di Indonesia adalah klasifikasi Union International Centre le Cancer (UICC) dan the American Joint Committee on Cancer (AJCC) yang hanya berlaku untuk karsinoma di sinus maksila, etmoid, dan rongga hidung; sedangkan untuk sinus sfenoid dan frontal tidak termasuk dalam klasifikasi ini, karena sangat jarang ditemukan. Perlu diingat bahwa keganasan yang tumbuh seperti basalioma dan melanoma malignum di kulit sekitar hidung dan sinus paranasal tidak termasuk dalam klasifikasi tumor hidung dan sinus paranasal.Tabel 3.2. Klasifikasi klinis TNM

T (tumor primer)

TXTumor primer tidak dapat ditemukan

T0Tidak ada tumor primer

TisKarsinoma in situ

T1, T2, T3, T4Besarnya tumor primer

N (kelenjar limfa regional)

NXTidak dapat ditemukan kelenjar limfa regional

N0Tidak ada metastasis kelenjar limfa regional

N1, N2, N3Besarnya kelenjar limfa regional

M (metastasis jauh)

MXTidak ditemukan metastasis jauh

M0Tidak ada metastasis jauh

M1Terdapat metastasis jauh

Perluasan tumor primer dikategorikan dalam T1, T2, T3, dan T4. Paling ringan T1, tumor terbatas di mukosa sinus, paling berat T4, tumor sudah meluas ke orbita, sinus sfenoid dan frontal, dan / atau rongga intrakranial. Metastasis ke kelenjar limfa leher regional dikategorikan dengan N1 (metastasis ke kelenjar limfa leher dengan ukuran diameter terbesar < 3 sentimeter (sm)), N2 (diameter terbesar > 3 sm dan < 6 sm), dan N3 (diameter terbesar < 6 sm). Metastasis jauh dikatagorikan sebagai M0 (tidak ada metastasis) dan M1 (ada metastasis).Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadium, yaitu stadium dini (stadium I dan II), dan stadium lanjut (stadium III dan IV). Lebih dari 90% pasien datang dalam stadium lanjut, sehingga sulit menentukan asal tumor primernya karena hampir seluruh hidung dan sinus paranasal sudah terkena tumor.

Tabel 3.3. Stadium tumor ganas leher dan kepala (IUCC & AJCC) kecuali tumor kelenjar liur dan tiroidStadium IT1 N0 M0

Stadium IIT2 N0 M0

Stadium IIIT3 N0 M0

T1 atau T2 atau T3 N1 M0

Stadium IVT4 N0 atau N1 M0

Tiap T N2 atau N3 M0

Tiap T tiap N M1

III.6. DiagnosaIII.6.1. AnamnesaBerbeda dengan bagian-bagian lain dari kepala dan leher, tumor sinus paranasal tidak dapat dikenali pada presentasi awal. Diagnosa biasanya terlambat sekitar 8 bulan atau lebih. Hal ini terjadi karena pada nyatanya gejala awal tumor paranasal biasanya tergolong gejala yang paling umum dan sering ditemui oleh pemberi layanan kesehatan primer. Keluhan seperti obstruksi hidung, rinorea (ingusan), dan epitaksis (mimisan) jarang mendapat evaluasi menyeluruh di luar klinik THT-KL, hingga keluhan menjadi sangat berlarut-larut atau diperburuk oleh gejala-gejala lain. Gejala-gejala tahap lanjut meliputi epitaksis, disfungsi okular yang disebabkan invasi otot ekstraokular atau terlibatnya syaraf kranial, proptosis, nyeri fasial, pembengkakan wajah, facial numbness (baal), gigi goyah, epiforia (epifora), hilang penglihatan, anosmia, trismus, bahkan kelemahan otot wajah8.Adanya gejala awal manapun yang berlangsung selama lebih dari 4 minggu atau gejala tahap lanjut manapun harus segera ditindak-lanjuti dengan pemeriksaan diagnostik lebih mendalam. Begitu pasien dicurigai menderita neoplasma sinus paranasal, penting untuk segera dilakukan evaluasi yang lengkap dan terorganisir. Hal ini meliputi pemeriksaan kepala dan leher yang menyeluruh, evaluasi radiologi, biopsi, dan rencana tindakan8.Gejala tergantung dari asal primer tumor dan arah perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, mendorong atau menembus dinding tulang, meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, atau orbita. Dengan demikian gejala dapat dikategorikan sebagai berikut1: (a) Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epitaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik; (b) Gejala orbital. Perluasan tumor ke arah orbital menimbukan gejala diplopia, proptosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus, dan epifora; (c) Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolar. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut; (d) Gejala fasial. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi disertai nyeri, anesthesia, atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus; (e) Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial nyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia, dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf-saraf kranial lainnya juga terkena. Jika tumor meluas ke belakangm terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoid disertai anestesia dan parestesi daerah yang dipersyarafi nervus maksila dan mandibula.III.6.2. Pemeriksaan FisikMeski setiap pasien harus diperiksa secara lengkap dan menyeluruh, ada area-area penting yang harus difokuskan dalam memeriksa pasien yang diduga menderita tumor sinus paranasal, yaitu meliputi pemeriksaan neurologik, oral, dan orbita8.Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah ada asimetri atau distorsi. Proptosis (eksoftalmus), kemosis (edema konjungtiva) atau bukti terjadinya gangguan otot ekstraokular menunjukkan terjadinya invasi orbita dan merupakan sarana yang sangat memadai bagi pemeriksa untuk menentukan derajat keparahan tumor. Jika ada proptosis, perhatikan arah pendorongan bola mata. Jika mata terdorong ke atas berarti tumor berasal dari sinus maksila, jika ke bawah dan lateral berarti tumor berasal dari sinus frontal atau etmoid1.Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Deskripsikan massa sebaik mungkin, apakah permukaannya licin, merupakan pertanda tumor jinak, atau permukaan berbenjol-benjol, rapuh, dan mudah berdarah, merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila. Untuk memeriksa rongga oral, disamping inspeksi dilakukan palpasi dengan memakai sarung tangan. Palpasi gusi rahang atas dan palatum untuk melihat apakah ada nyeri tekan, penonjolan, atau gigi goyah1.

Pemeriksaan mulut dapat membantu dalam menentukan batas penyebaran tumor. Temuan pentingnya antara lain berupa massa di sulkus gingivobukal dan palatum. Trismus mengindikasikan invasi muskulus pterigoid. Fokus utama pemeriksaan adalah menentukan derajat keparahan tumor, namun pertimbangan praktis lain bagi dokter bedah adalah perencanaan intubasi operatif bagi pasien yang tak dapat lagi membuka mulutnya. Dokter harus melakukan palpasi kelenjar parotis dan leher secara menyeluruh untuk mencari nodul limfatik yang positif secara klinis. Temuan semacam ini secara prognostik sangat bermakna, dan dapat mengubah tatalaksana pasien secara drastis8.Pemeriksaan neurologis yang menyeluruh juga harus dilakukan. Disfungsi nervus kranial I mungkin terkait dengan obstruksi hidung atau keterlibatan syaraf. Pemeriksaan visus dan fungsi okulomotor harus dilakukan. Bila ditemukan adanya kelainan, perlu dilakukan pemeriksaan menyeluruh oleh spesialis mata untuk merencanakan tindakan. Selain itu anesthesia fasial / palatal harus diketahui untuk menilai keterlibatan syaraf-syaraf trigeminal8.Pemeriksaan naso-endoskopik dan sinuskopik dapat membantu menemukan tumor dini1. Pemeriksaan rongga hidung dengan serat optik dapat dilakukan menggunakan endoskop lentur ataupun yang kaku. Pemeriksaan ini menyajikan informasi mengenai asal tumor, arah pembesarannya, dan ukurannya. Kadangkala, karena kelambatan presentasi dan penyakit yang telah mencapai tahap lanjut, pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan secara terbatas karena sulitnya memasukkan endoskop ke bagian posterior tumor. Hal ini terutama terjadi pada tumor rongga hidung dan sinus etmoid yang cenderung mengobstruksi rongga hidung. Dalam keadaan ini penggunaan dekongestan dan anestesia topikal bermanfaat8.III.6.3. Pemeriksaan Tambahan8Banyak pilihan pencitraan yang dapat dipilih untuk mengevaluasi pasien keganasan sinus paranasal. Namun, dua jenis yang paling sering digunakan dewasa ini adalah computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI). Keduanya memberikan informasi yang bermanfaat dalam perencanaan tatalaksana.Pada CT, tumor ganas sinus paranasal dan rongga hidung tampak sebagai massa destruktif yang padat dan homogen. Keunggulan utama pemindaian CT adalah kemampuannya menampilkan struktur tulang secara mendetil. Pindaian koronal irisan tipis memberikan informasi mengenai integritas dinding orbital dan dasar tulang kepala, serta perkembangan tumor ke arah posterior menuju fossa pterigopalatina, fisura pterigomaksila, dan fossa infratemporal. Meski tidak bersifat diagnostik, pindaian CT juga dapat memberi bukti invasi perineural tahap lanjut dengan menampilkan pembesaran foramen syaraf. Kekurangan utama CT adalah ketidak-mampuannya membedakan antara jaringan lunak dengan sekresi yang terperangkap. Kekurangan lainnya adalah, meski CT dapat menggambarkan integritas dinding orbita dan dasar tulang kepala, seringkali hal ini tak berhubungan dengan invasi orbita atau dura.MRI lebih sensitif dalam menentukan sampai sejauh mana tumor berkembang. Pada pencitraan T1-weighted, sebagian besar tumor menunjukkan intensitas sinyal rendah yang meningkat setelah pemberian gadolinium. Pada pencitraan T2-weighted, tumor ini menunjukkan intensitas sinyal yang lebih tinggi dibandingkan otot, namun tak secerah sekresi. Keunggulan utama MRI adalah kemampuannya membedakan sekresi nasal dari massa tumor; selain itu MRI juga memprediksi secara akurat keterlibatan dura dan invasi sinus venosa. Kekurangan MRI adalah ketidak-mampuannya memberi informasi mengenai invasi tulang padat; seperti CT, MRI juga tidak dapat memprediksikan secara akurat keterlibatan perineural atau orbita.Angiografi sebaiknya hanya dikhususkan untuk pasien yang dicurigai arteri karotis internal-nya terlibat. Dalam keadaan ini MRI dapat digunakan baik untuk meng-konfirmasi atau menyangkalnya. Indikasi angiografi konvensional adalah: (1) persiapan untuk embolisasi lesi vaskular prabedah, (2) untuk mendefinisikan anatomi arteri intrakranial pada pasien yang akan menjalani bypass arteri, dan (3) percobaan oklusi balon pada pasien yang arteri karotis-nya harus dibuang.III.7. TerapiDewasa ini ada berbagai penanganan tumor sinus paranasal yang dapat dipilih. Sebagaimana pada tumor lain pada bagian kepala dan leher lainnya, pilihan terapi meliputi pembedahan, radiasi, dan kemoterapi. Selain itu, dalam tiap modalitas terdapat banyak kombinasi dan teknik yang dapat digunakan. Apapun jenis penanganan yang dipilih, terapi multimodalitas sangat dianjurkan8.III.7.1. Pembedahan

Pembedahan atau lebih sering bersama dengan modalitas terapi lainnya seperti radiasi dan kemoterapi sebagai ajuvan sampai saat ini masih merupakan pengobatan utama untuk keganasan di hidung dan sinus paranasal. Pembedahan masih diindikasikan walau menyebabkan morbiditas tinggi, bila terbukti dapat mengangkat tumor secara lengkap1. Pembedahan dikontraindikasikan pada lesi berikut: (1) ekstensi transdura, (2) invasi fasia prevertebra, (3) melibatkan nervus optikus bilateral, dan (4) invasi besar sinus kavernosa8.

Ada beberapa pendekatan yang tersedia, tergantung pada ukuran dan lokasi lesi serta jenis eksisi yang akan dilakukan, antara lain pendekatan endoskopi, midfacial degloving (pengelupasan midfasial), rinotomi lateral, pendekatan fasial lateral (Fisch-Mattox), kraniotomi, dan kombinasi beberapa pendekatan kraniofasial7.Bedah sinus endoskopik. Pendekatan ini untuk menangani tumor jinak atau derajat rendah yang melibatkan dinding lateral hidung, sinus etmoid, atau sinus sfenoid. Keuntungan pendekatan ini adalah tidak dibutuhkannya insisi fasial dan pembesaran (magnification). Waitz dan Wigand melaporkan tingkat rekurensi sebesar 17% pada reseksi inverted papilloma menggunakan maksilektomi medial endoskopik. Menurut mereka banyak mutilasi oleh berbagai prosedur transfasial dapat dihindari dengan penggunaan endoskopik nasal yang memadai. Pendekatan endoskopik juga dapat digunakan untuk menangani jenis-jenis tumor lainnya dengan hasil yang memadai, antara lain untuk hemangioma, karsinoma sistik adenoid, adenokarsinoma, dan bahkan karsinoma sel skuamosa.

Faktor yang menentukan penggunaan endoskopik bukanlah jenis tumornya, melainkan tingkat keganasannya. Tumor yang masih dapat dilihat dengan baik melalui endoskop, yang biasanya berupa tumor tahap awal, merupakan kandidat yang baik untuk reseksi endoskopik. Kontraindikasi endoskopik adalah tumor dengan invasi ke daerah yang tidak dapat dicapai oleh endoskop.Midfacial degloving. Merupakan salah satu pendekatan untuk menangani tumor endonasal. Pendekatan ini terdiri dari (1) insisi interkartilaginosa bilateral, (2) insisi transfiksi menyeluruh septocolumellar, (3) insisi sublabia bilateral, dan (4) insisi apertura piriformis bilateral. Dengan pendekatan yang canggih ini dapat dicapai area yang luas, termasuk rongga hidung, nasofaring, antrum maksila, dasar orbita, dan zygoma. Pendekatan ini dapat dikombinasikan dengan kraniotomi pada tumor yang melibatkan dasar tengkorak bagian anterior.Keunggulan utama pendekatan ini adalah tidak diperlukannya insisi fasial ekstensif dan dapat memberi akses yang memadai untuk tumor-tumor inferior, serta rendahnya tingkat komplikasi yang terkait dengan prosedur tersebut, seperti rasa baal pada bibir (lip numbness), stenosis vestibula, dan fistula oroantral. Kekurangan pendekatan ini adalah sulit untuk mengakses tumor-tumor superior.Rinotomi lateral. Pendekatan ini merupakan dasar dari sebagian besar prosedur transfasial, yang menyediakan akses cukup luas untuk tumor-tumor di area etmoid supraorbita, duktus frontal, fossa lakrimal, orbita, atau palatum kribiformis.Pendekatan dasar tengkorak anterolateral. Prosedur yang paling dikenal adalah lateral facial split atau prosedur fossa infratemporal tipe C dari Fisch dan Mattox. Pendekatan ini terdiri dari insisi Blair termodifikasi atau preaurikula, dimana muskulus temporal diangkat dan diayun ke atas zygoma. Selanjutnya, zygoma dapat dipindahkan, pes anserinus dari nervus fasial dipisahkan, diretraksi, atau ditulangi (skeletonized), dan mandibula di-disartikulasikan dan didekati secara anterior. Keuntungan pendekatan ini adalah akses ke bagian tengah dari dasar tulang kepala, sehingga selain dapat mencapai tumor di daerah tersebut, juga memungkinkan dilakukannya bypass.Kraniotomi/kraniofasial. Pendekatan ini merupakan alternatif dari reseksi transkranial untuk tumor sinus paranasal. Pendekatan transfasial sulit dilakukan dan biasanya tidak sesuai diterapkan pada tumor yang melekat ke bagian anterior dasar tengkorak; selain itu ada risiko kebocoran cairan serebrospinal bila dilakukan eksisi ekstrakranial di daerah ini.

Dengan pendekatan ini akses ke bagian inferior dan medial dari orbita, dan sinus maksila agak terbatas. Oleh karenanya, bila dasar dari maksila terlibat, pendekatan ini harus dikombinasikan dengan pendekatan transfasial. Kekurangan pendekatan ini adalah morbiditas inheren dari kraniotomi, kebocoran cairan serebrospinal, meningitis, dan pneumosefalus.Untuk tumor ganas, tindakan operasi harus seradikal mungkin. Biasanya dilakukan maksilektomi medial, total, atau radikal. Maksilektomi radikal dilakukan misalnya pada tumor yang sudah mengenai seluruh dinding sinus maksila dan sering juga masuk ke rongga orbita, sehingga pengangkatan maksila dilakukan secara en bloc disertai eksenterasi orbita. Jika tumor sudah masuk ke rongga intrakranial, dilakukan reseksi kraniofasial atau kraniotomi jika perlu. Tindakan dilakukan dalam tim bersama dokter bedah syaraf. Sesudah maksilektomi total, harus dipasang prostesis maksila sebagai upaya rekonstruksi dan rehabilitasi, agar pasien dapat menelan dan berbicara dengan baik, Selain itu diperlukan operasi bedah plastik untuk perbaikan kosmetis agar pasien dapat bersosialisasi kembali dalam keluarga dan masyarakat1.III.7.2. RadioterapiRadioterapi berperan penting dalam penanganan pasien dengan tumor sinus paranasal. Karena pada umumnya pasien datang pada tahap lanjut, hampir semuanya ditangani dengan terapi multimodalitas. Pada pasien yang datang dengan kanker stadium dini, radioterapi saja dapat memberikan hasil yang sama efektifnya dengan pembedahan8. Pada kasus yang dilaporkan oleh Vulpe dan Giuliani, misalnya, pemberian radioterapi dosis rendah bukan hanya menghasilkan perbaikan gejala penyakit, namun juga pengendalian jangka panjang pada karsinoma mukoepidermoid sinus maksila12.Pengendalian loco-regional tetap merupakan hal yang paling penting pada kasus-kasus kanker kepala dan leher yang tak tersembuhkan. Ekstensi tumor ke berbagai struktur vital seperti rongga mulut, jalan nafas, dan orbita dapat sangat menyakitkan dan mengganggu fungsi hidup dasar serta kerusakan bentuk (wajah) yang bermakna. Radioterapi paliatif bertujuan memperbaiki gejala-gejala terkait dengan penyebaran tumor lokoregional sambil secara potensial menghambat atau bahkan menghentikan progresivitas tumor. Karena baik radioterapi maupun malignansi pasien keduanya dapat menyebabkan efek samping yang parah, seringkali sulit untuk menemukan kesetimbangan antara memperbaiki kualitas hidup dengan menyebabkan gejala lebih jauh seperti nyeri, mukositosis, dan disfagia. Karena itu pemberian radiasi paliatif untuk kanker kepala dan leher disesuaikan dengan masing-masing pasien, berdasarkan status kinerjanya, harapan hidup, dan faktor lainnya12.III.7.3. Kemoterapi

Kemoterapi bermanfaat pada tumor ganas dengan metastasis, residif, atau untuk jenis tumor yang merespon kemoterapi dengan baik, misalnya limfoma maligna1. Meski hasil dari beberapa percobaan mengenai efek kemoterapi pada pasien tumor sinus paranasal cukup menjanjikan, sejauh ini belum ada bukti definitif bahwa kemoterapi meningkatkan survival. Namun, beberapa penelitian membuktikan bahwa dengan ditambahkan kemoterapi terjadi regresi tumor; tumor yang responsif terhadap kemoterapi ternyata dapat diprediksikan memiliki prognosis yang lebih baik. Morbiditas terapi ini sifatnya minimal dan tidak meningkat bila ditambah dengan radioterapi paska operasi8.III.8. Prognosis

Banyak sekali faktor yang mempengaruhi prognosis keganasan hidung dan sunus paranasal secara tepat dan akurat, antara lain perbedaan diagnosis histologik, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi ajuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up, dan banyak faktor lainnya1.

Meski demikian, jelas bahwa semakin lanjut tahap penyakitnya terkait dengan prognosis yang makin buruk pula. Faktor yang dianggap paling akurat untuk meramalkan prognosis buruk adalah kategori T. Misalnya, meski survival 5 tahun secara keseluruhan untuk pasien dengan sinus paranasal maligna berkisar 40 50%, pasien kategori T1 dan T2 dapat memiliki survival 5 tahun mencapai 70%, sebaliknya pasien dengan kategori tumor T3 atau T4 umumnya hanya memiliki survival 5 tahun sebesar 30%. Oleh karenanya, semakin cepat diagnosis dibuat akan menghasilkan kategori T lebih rendah dan perbaikan survival secara keseluruhan. Tumor yang melibatkan dasar tengkorak anterior memiliki prognosis terburuk8.BAB IV: RESUMEKeganasan sinus maksila sangat jarang terjadi. Tanda dan gejala awal penyakit ini tidak khas, sehingga diagnosa yang tepat biasanya baru didapat 8 bulan dari timbulnya gejala. Presentasi yang terlambat mengakibatkan kanker sudah berada pada tahap lanjut pada kebanyakan kasus, yang terkait dengan prognosis yang buruk.Pemberi layanan kesehatan primer perlu mengetahui lebih jauh mengenai keganasa sinus paranasal, terutama tanda, gejala, dan pemeriksaan yang perlu dilakukan, agar dapat mendeteksi penyakit ini secara dini, yang pada akhirnya diharapkan dapat memperbaiki prognosisnya. Gejala awal meliputi obstruksi hidung, rinorea, dan epitaksis; gejala tahap lanjut meliputi epitaksis, disfungsi okular yang disebabkan invasi otot ekstraokular atau terlibatnya syaraf kranial, proptosis, nyeri fasial, pembengkakan wajah, facial numbness, gigi goyah, epiforia, hilang penglihatan, anosmia, trismus, bahkan kelemahan otot wajah. Adanya gejala awal manapun yang berlangsung selama lebih dari 4 minggu atau gejala tahap lanjut manapun harus segera ditindak-lanjuti dengan pemeriksaan diagnostik lebih mendalam. Begitu pasien dicurigai menderita neoplasma sinus paranasal, penting untuk segera dilakukan evaluasi lengkap dan terorganisir, meliputi pemeriksaan kepala dan leher yang menyeluruh, evaluasi radiologik, biopsi, dan rencana tindakan. Pemeriksaan tambahan yang biasa digunakan adalah pemindaian CT dan MRI.Begitu terdiagnosis, rencana tindakan harus segera dibuat dan dilaksanakan. Ada berbagai pilihan terapi yang tersedia, meliputi pembedahan, radiasi, dan kemoterapi. Dalam tiap modalitas terdapat banyak teknik dan kombinasi yang dapat digunakan. Apapun jenis penanganan yang dipilih, sangat dianjurkan mengunakan terapi multimodal.

DAFTAR PUSTAKACilia

Basal bodies

Junctional complex

Mitochondria

Averdi Roezin, Armiyanto. Tumor hidung dan sinonasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, et al. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala & leher, edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007: 178 181.

Damayanti Soetjipto, Endang Mangunkusumo. Sinus Paranasal Dalam: Tumor hidung dan sinonasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, et al. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala & leher, edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007: 145 - 149.

Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Grays anatomy for students. Pennsylvania: Elsevier Saunders, 2004: 970 972.

Standring S. Grays anatomy, the anatomical basis of clinical practice, 39th ed. Philadelphia: Elsevier Churchil Livingstone, 2008: 574 578.

Junqueira LC, Carneiro J. Basic histology, text & atlas, 11th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc., 2006 : Bab 17.

Scanlon VC, Sanders T. Essentials of Anatomy and Physiology. 5th ed. Philadelphia: E.A. Davis Company, 2007: 119.

Dorlands Illustrated Medical Dictionary, 29th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 2000.

Chalian AA, Litman D. Neoplasm of the nose and paranasal sinuses. In: Snow JB, Ballenger JJ. Ballengers ortholaryngology head and neck surgery, 16th ed. Ontario: BC Decker Inc., 2003: 807 827.

De Souza RP, Cordeiro FB, et al. Maxillary sinus carcinoma: an analysis of ten cases. Radiol Bras 2006; 39(6): 397 400.

Popovi D, Milisavljevi D. Malignant tumors of the maxillary sinus. A ten-year experience. Facta Universitatis, series: Medicine and Biology Vol.11, No.1, 2004: 31 34.

American Cancer Society. Nasal cavity and paranasal sinus cancers. American Cancer Society, 2013. Diunduh dari

www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003123-pdf.pdf

Vulpe H, Giuliani M, et al. Long term control of a maxillary sinus mucoepi-dermoid carcinoma with low dose radiation therapy: a case report. Radiation Oncology 2013, 8:251. Doi: 10.1186/1748-717X-8-251.

Sheet1

AJCCthe American Joint Committee on Cancer

ATPAdenosine triphosphate

CTcomputed tomography

FESSFunctional endoscopic sinus surgery

HPVHuman Papillioma Virus

HRCTHigh resolution computer tomography

MRImagnetic resonance imaging

smsentimeter

UICCUnion International Centre le Cancer