kebijakan sustanability berbasis komunitas

Upload: mutia-fatin

Post on 08-Jul-2018

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    1/56

     

    kata hatiinstitute

    Kebijakan Sustanability Livelihoodberbasis Komunitas

    ( Studi Kasus kebijakan intervensi Livelihood Oleh Oxfamdi Banda Aceh dan Aceh Besar )

    Sebuah analisis kebijakan; Katahati Institue

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    2/56

     

    Kata Hati Insti tute

    Kata Hati Institute berdiri pada tanggal 22 Juni 2001 dengan fokus aktivitas padapersoalan gender, hak asasi manusia dan perwujudan Tata Pemerintah yangbersih (clean governance). Kata Hati bersifat nirlaba, non partisan serta memilikikomitmen untuk ikut serta sebagai kelompok masyarakat yang ingin mewujudkantatanan kehidupan masyarakat madani. Secara khusus Kata Hati bekerja dalamisu-isu Demokratisasi dan Tata Pemerintahan

    kata hati

    institute

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    3/56

     

     Analisis Kebijakan

    Kebijakan SustanabilityLivelihood berbasis

    Komunitas( Studi Kasus kebijakan intervensi Livelihood Oleh

    Oxfam di Banda Aceh dan Aceh Besar )

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    4/56

     

    Copyright © September 2005, Katahati Institute

    Kebijakan Sustanability Livelihood berbasis Komunitas

    ( Studi Kasus kebijakan intervensi Livelihood Oleh Oxfam di Banda Aceh dan Aceh Besar )

    Untuk edisi cetak hubungi :Emalita ZainKatahati InstitueJl. Leguna II, Lr. Abdurrahman No. 8Desa CeurihKecamatan Ulee KarengBanda AcehIndonesia 23117

    Telefax. 0651-7410466

    Email [email protected], [email protected] Website: http://www.katahati.or.id 

    Publikasi ini adalah produk Katahati InstituteProgram Clearing House Advokasi Kebijakan (Politik Bantuan dan ProsesRehabilitasi serta Rekonstruksi paska Gempa – Tsunami) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    5/56

     

    Kebijakan Susitainability Livelihood berbasis Komunitas

    ( Studi Kasus Livelihood Oleh Oxfam Di Banda Aceh Dan Aceh Besar )

    Ringkasan

    Bab I Pendahuluan A. Abstraksi Umum Situasi.B. Permasalahan.C. Kerangka Acuan Analisis

    Bab II Kebijakan Livelihood oleh Oxfam. A. Komitmen Oxfam terhadap Aceh Pasca Tsunami.B. Visi dan Misi Oxfam tentang Program Bantuan Kemanusiaan .C. Teknik Pelaksanaan Program Livelihood Oxfam untuk

    Merehabilitasi AcehD. Jaringan Kemitraan Livelihood Oxfam.E. Lokasi/Populasi Program di Kawasan Banda Aceh dan Aceh

    BesarF. Output ProgramG. Hambatan Program

    Bab III Analisis Kasuistik A. Pekerjaan Masyarakat Pasca Tsunami.B. Komentar tentang program livelihood yang dijalankan Oxfam

    Bab IV Konklusi dan Rekomendasi

    Lampiran

    DDaaf f ttaarr IIssii 

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    6/56

     

    Kebijakan Sustanability Livelihood berbasis Komunitas

    ( Studi Kasus kebijakan intervensi Livelihood Oleh Oxfam di Banda Aceh dan Aceh Besar )

    LIVELIHOOD merupakan salah satu program penanganan bencana alam

    yang penting artinya bagi masyarakat korban di Aceh. Bencana gempa

    dan tsunami telah mengakibatkan masyarakat kehilangan akses ke

    sumber mata pencaharian guna menutupi kebutuhan hidupnya. Pasca

    masa tanggap darurat berbagai pihak, teutama donor yang mempunyai

    kemampuan dan program pemulihan mata pencaharian masyarakat mulai

    merancang strategi, dengan harapan ideal bantuan dalam ragam bentuk

    bagi pemulihan perekonomian masyarakat korban di Aceh tersebut dapat

    menjamin kemandirian ekonomi di komunitas terkecil masyarakat

    korban/keluarga.

    Untuk melihat sejauh mana pemulihan kondisi tersebut telah dilakukan,

    Katahati Institute melakukan rangkaian proses analisis faktual kondisipemulihan perekonomian masyarakat melalui program livelihood yang

    dilaksanakan berbagai lembaga donor di Aceh, khususnya terhadap

    beberapa program livelihood yang dilakukan di komunitas masyarakat

    korban di Banda Aceh dan Aceh Besar..

    Untuk keperluan analisis1  ini, Katahati Institute mencoba mengumpulkan

    berbagai data dan informasi, baik dari masyarakat langsung atau kepada

    pihak yang bertanggungjawab di lembaga-lembaga donor maupun

    pengelola bantuan dimaksud (primari data), serta melakukan penggalian

    sebanyak mungkin data tertulis yang dimiliki oleh lembaga donor dan

    1  Analisis dimaksud adalah kualitatif, yang selalu berangkat dari berbagai fenomena kasuistik

    dengan panduan data-data sekunder yang bersumber dari berbagai dokumen dan data-data tertulislainnya. Analisis ini pada dasarnya dianggap relevan sebagai alat untuk melakukan suatu penilaianmenyeluruh terhadap suatu issue yang berkembang, khususnya terhadap berbagai issue tentangkebijakan penyaluran bantuan di Aceh.

    R R iinn kkaassaann 

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    7/56

     

    masyarakat sendiri, ataupun dari pihak dan media lain yang dianggap

    dapat mendukung kebenaran dan keterukuran analisis ini (secondari

    data).

    Sebagai fokus pada analisis kebijakan livelihood ini, Katahati institute

    mengambil sample  tentang kebijakan pihak Oxfam dalam melaksanakan

    Sustainable Livelihood Programme (SLP), sehingga dengan berbagai

    kerangka kerja umum yang ada,2  dan dipadukan dengan panduan

    kerangka kerja yang dipakai oleh Oxfam sendiri, akan melahirkan analisis

    tentang berbagai kebijakan pelaksanaan livelihood yang sekarang sedang

    berjalan.

    Pengumpulan data-data lapangan (field data) difokuskan di kawasan

    Banda Aceh dan Aceh Besar sebagai daerah terdekat dan terparah

    menjadi korban tsunami. Di kedua daerah ini juga sedang giat-giatnya

    dilaksanakan program livelihood disamping berbagai daerah lain di Aceh,

    sehingga diyakini pemilihan di kedua kawasan tersebut cukup

    representatif untuk ditampilkan sebagai lokasi dan populasi penelitian.

    Teknik utama yang dipergunakan dalam rangka pengumpulan data

    tersebut, adalah dengan melakukan wawancara terpandu denganberbagai informan dan responden yang mengalami langsung/terlibat

    dalam pelaksanaan livelihood. Selain itu juga diadakan kegiatan diskusi

    dengan kelompok terfokus atau Focus Group Discussion  (FGD) dengan

    beberapa pihak terkait dalam pengembangan perekonomian masyarakat

    untuk mengambil beberapa ide pokok dalam merancang pembangunan

    perekonomian masyarakat pasca tsunami.

    2 Panduan umum yang dimaksud adalah beberapa kerangka fikir dan kerangka kerja yang pernah

    disusun oleh pihak NGO lain, sebagai bahan bandingan untuk memberikan gambaran tentangprogram livelihood itu sendiri. Dan dipihak lain, ingin mengukur sejauh mana keteraturan dari padapola intervensi Oxfam sebagai NGO Internasional dalam menguatkan perekonomian masyarakatmelalui program livelihood yang diijalankan oleh seluruh officer -nya. Panduan umum tersebutdigunakan juga untuk mengukur sejauhmna masyarakat mengakui bahwa perekonomian merekatelah sangat terbantu dengan adanya program yang datang dari Oxfam sendiri. Kata Hati Institute juga mengguanakan panduan livelihood yang diketengahkan oleh ILO dan UNDP sebagai bahanbandingan dan sekaligus memberikan gambaran lengkap tentang apa yang dimaksud denganSustainabilities Livelihood Programme.

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    8/56

     

    Data yang terkumpul tersebut dianalisis sesuai dengan berbagai literatur

    yang telah ada tentang livelihood, baik yang didapatkan dari pihak Oxfam

    sendiri ataupun Badan Dunia, NGO international yang ada di Banda Aceh,

    seperti UNDP dan ILO yang juga berkonsentrasi terhadap program

    livelihood. Data-data dan informasi yang diperoleh dipadukan dengan

    berbagai data sekunder yang didapatkan melalui media massa elektronik

    dan cetak, dengan harapan bahwa melalui berbagai sumber tersebut

    cukup memadai untuk melihat permasalahan livelihood di Aceh secara

     jelas, sehingga didapatkan variable seharusnya (das sein) dan

    perandingannya dengan kondisi yang ada di lapangan yang sedang terjadi

    (das solen).

    Setelah dilakukan pengkajian data-data dan hasil-hasil wawancara

    dengan berbagai pihak yang terlibat dalam program livelihood yang

    diselenggarakan oleh Oxfam, maka disimpulkan bahwa, pelaksanaan

    program livelihood saat ini masih berada di tatanan awal, dimana pihak

    donor baru mencoba untuk mendanai kegiatan-kegiatan darurat yang

    sangat dibutuhkan untuk menghidupkan mata pencaharian penduduk

    yang terkena bencana, agar mereka dapat bertahan hidup dengan

    mencoba bangkit melalui kegiatan usaha yang dapat dijalankan

    sementara waktu,3  tanpa terus berharap dengan datangnya bantuan.

     Analisis ini menggunakan panduan progam livelihood yang

    berkesinambungan, maka disimpulkan bahwa target kesinambungan

    dalam mata pencaharian belum nampak indikator capaian idealnya.

    Terjadi berbagai kelemahan dan kekurangan, seperti ditemukannya

    penyalahgunaan bantuan dari ketentuan awal untuk menggerakkan salah

    satu sektor usaha. Sebagai contoh adanya ketidakseimbangan distribusi

     jumlah bantuan dengan kebutuhan yang diinginkan masyarakat.

    Ditemukan juga telah terjadi praktek yang salah dalam penyusunan kriteria

    3 Dari beberapa kasus penyaluran bantuan modal usaha ekonomi dari Oxfam dan juga berbagai

    lembaga donor lainnya, seringkali kuantitasnya hanya cukup untuk menggerakkan operasionalbidang usaha masyarakat korban saja.

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    9/56

     

    masyarakat yang berhak menerima bantuan oleh Lembaga Keuangan

    Swadaya Masyarakat (LKSM) sebagai mitra lokal Oxfam, sehingga

    memicu kericuhan dan kekecewaan masyarakat. Demikian juga dengan

    lemahnya kapasitas sumber daya manusia yang dimiliki Oxfam dan

    mitranya untuk mengawasi serta mengarahkan penggunaan bantuan

    livelihood secara tepat sasaran dan bertanggunggugat.

    Dengan demikian, diharapkan kepada pihak Oxfam agar terus

    memperbaiki kinerjanya di berbagai sisi, baik dalam tahapan

    perencanaan, pelaksanaan, kinerja pelaksana, mitra pelaksana maupun

    pengawasan atau evaluasi dari pada program livelihood yang

    dilaksanakan. Hal ini juga bermanfaat sebagai kontribusi yang baik bagi

    seluruh lembaga donor yang sedang menangani pemulihan kondisi

    perekonomian masyarakat Aceh melalui program livelihood.

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    10/56

     

     A. Abstraksi Umum Situasi

    BENCANA  alam gempa dan tsunami 26 Desember 2004 lalu

    berdampak terhadap kerentaan mata rantai ekonomi masyarakat

    korban, salah satunya hilangnya kesempatan untuk bekerja pada

    pusat-pusat pekerjaan semula sebelum tsunami. Hal ini dapat dilihat

    dari 250.000 jiwa pengangguran yang telah ada di Provinsi Nanggroe

     Aceh Darussalam sebelum tsunami, saat setelah tsunami meningkat

    secara drastis menjadi 600.000 orang, yaitu dalam bentuk kehilangan

    pencaharian tetap pasca tsunami. Laporan harian ILO misalnya,

    yang dpublikasikan oleh OCHA, berdasarkan hasil survei sementara

    di awal maret 2005 yang lalu, tidak kurang dari 1,9 juta masyarakat

     Aceh terkena dampak kehilangan pekerjaan, sementara tingkat

    pengangguran diramalkan akan melejit dari 6,8% menjadi 30% atau

    lebih, hingga diperkirakan 39% masyarakat Aceh akan jatuh miskin.

    Masyarakat korban yang kehilangan mata pencaharian tersebut,

    pada umumnya adalah mereka yang bermatapencaharian

    wiraswasta, seperti petani, pedagang atau nelayan, dan bermukim di

    area pantai (coastal area). Tsunami berefek pada kehancuran yang

    parah areal/lahan pencaharian masyarakat, dalam bentuk tambak

    dan ladang, dan sarana usaha lainnya. Akumulasi dari rusaknya

    infrastruktur basis sumber pendapatan ekonomi masyarakat korban

    menyisakan kekhawatiran akan masa depan mereka. Kekhawatiran

    tersebut diasumsikan lebih mendasar dari belum adanya komitmen

    dan indikator kemampuan semua pihak untuk mendorong

    keberlanjutan dan kemandirian mata pencaharian masyarakat

    korban. Ditambah lagi tingkat kebutuhan masyarakat korban sangat

    dinamis setiap waktu, mulai dari pemenuhan kebutuhan sandang,

    pangan, serta kebutuhan sekunder. Sampai bulan Semptember

    BBaabb II  PPeennddaahhuulluuaann 

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    11/56

     

    2005, Katahati Institute meresume adanya berbagai langkah yang

    telah dilakukan dalam pemulihan perekonomian tersebut, baik oleh

    pemerintah maupun oleh berbagai lembaga donor yang turun tangan

    membantu pemberdayaan ekonomi masyarakat korban.

    Salah satu program tumpuan dari berbagai lembaga donor yang

    memiliki komitmen agar segera terpulilhkannya perekonomian

    masyarakat korban adalah sasaran terhadap permodalan usaha

    keuangan mikro (micro finance).

    Bantuan pengadaan berbagai sarana dan prasarana untuk

    menggerakkan kembali roda perekonomian masyarakat oleh donor,adalah program pokok yang harus tersedia. Namun demikian,

    penyandang dana juga memiliki hak untuk menentukan aturan main

    tersendiri demi menjamin keberlangsungan dan kemanfaatan jangka

    panjang suatu bantuan (sustainabilities). Selain melibatkan

    masyarakat sebagai objek pemberdayaan, program tersebut juga

    harus melibatkan kelompok utama (center community) lainnya untuk

    menjamin efektivitas dan pengawasan pelaksanaan program.

    Pemulihan mata pencaharian masyarakat korban adalah

    tanggungjawab semua kelompok yang mampu secara finansial dan

    sumberdaya lainnya. Pihak utama dan pertama tentu menjadi

    kewajiban pemerintah. Pemerintah dalam melakukan rehabilitasi dan

    rekonstruksi Aceh, melalui Departemen Kelautan dan Perikanan,

    misalnya, akan menyalurkan bantuan pemberdayaan ekonomi

    bantuan alat tangkap ikan (pancing dan jaring) di 21 Kab Kota

    sebesar + 45 Milyar, dan bantuan pengolahan ikan skala kecil Rp.

    7.000.000.000. Departemen Pertanian juga dipercaya untuk

    menyalurkan dana sebesar Rp. 300.000.000,- untuk merehabilitasi

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    12/56

     

    lahan, pemulihan hak, bantuan modal usaha tani, penguatan

    organisasi pertanian masyarakat, dan pendampingan.4 

    Mengingat banyaknya lembaga donor yang bergerak pada pemulihan

    mata pencaharian korban di samping peran Pemerintah Pusat dan

    Daerah, maka menjadi penting proses pelaksanaan berbagai

    program rehabilitasi perekonomian masyarakat Aceh, haruslah

    dilaksanakan dengan adanya satu panduan yang baik, koordinatif

    dan kooperatif antar sesama lembaga. Koordinasi yang efektif dan

    pendampingan ke basis penerima manfaat/masyarakat korban

    menjadi penting untuk dilakukan agar tidak terjadinya tumpang tindih

    program, yang berakibat pada in-efisiensi, terhambatnya bantuan

    kepada penerima manfaat. Maka sesegera mungkin adanya

    pengaturan strategi (strategy) dan hubungan kerja (partnership),

    batas kewenangan (kompetentie stage), pengarahan (instruction),

    dan pengontrolan (controlling)

    4 www.rencanaindukacehnias.org

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    13/56

     

    B.  Permasalahan

    LIVELIHOOD  adalah program bantuan kemanusiaan yang memiliki

    sasaran jangka panjang, dimana yang menjadi target adalah

    masyarakat yang memiliki potensi dan kegiatan usaha untuk

    dikembangkan secara terpadu, apakah dengan memberikan modal

    untuk menggerakkan rantai usaha, baik berupa uang, peralatan

    usaha, ataupun bimbingan pengembangan usaha (basic of

    entrepreneurship), atau membangun ketahanan individu untuk

    mapan dalam menghadapi berbagai perkembangan usaha dan

    profesi yang mereka miliki (building capacity).

    Pada tahap awal pasca bencana gempa tsunami di Aceh, bentuk

    bantuan livelihood lebih ditekankan pada pemberian upah kerja

    harian (cash for work), atau pekerjaan dengan imbalan kebutuhan

    makanan (cash for food) yang langsung dapat dinikmati oleh

    masyarakat di saat itu juga, seperti dalam kegiatan pembersihan

    kampung, bertukang dan lainnya. Akan tetapi program tersebut

    hanya dapat diandalkan dalam kondisi darurat, atau hingga yang 

    dibersihkan itupun selesai,  sehingga mata pencaharian seperti initidak dapat diupayakan menjadi suatu mata pencaharian

    tetap/profesi bagi masyarakat, apalagi kalau dicermati

    pelaksanaannya cenderung digilirkan di antara masyarakat, agar

    terjadi pemerataan.

    Keluhan ini dirasakan oleh masyarakat pada umumnya, apalagi

    mereka yang tidak berkesempatan untuk terlibat dalam program

    tersebut untuk bekerja. Keterbatasan donor dalam mengupayakan

    pemenuhan kebutuhan hidup misalnya juga dirasakan oleh 80

    (delapan puluh) keluarga korban tsunami yang tinggal di tenda

    pegungsian Desa Krueng Cut, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar.

    Di Desa Krueng Cut, korban mengaku sangat membutuhkan

    lapangan pekerjaan yang dapat menunjang kehidupan mereka.

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    14/56

     

    Selama ini, warga mengaku memang diikutsertakan dalam kegiatan

    gotong-royong yang disponsori LSM lokal maupun asing yang

    bekerja di Aceh. Namun penghasilan dari pekerjaan tersebut,

    menurut mereka, tidak cukup untuk menutupi pengeluaran mereka

    sehari-hari. Kini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Warga Desa

    Krueng Cut, yang merupakan daerah yang parah terkena efek

    tsunami, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari, mereka

    hanya mengandalkan hasil mencari tiram yang dalam satu harinya

    hanya mampu mengumpulkan sebesar Rp. 15.000.

    Pada umumnya selain sehari-hari mencari tiram, mereka juga

    berharap diikutsertakan dalam program lain, seperti penanaman

    bakau yang ada di tepi pantai, sebagaimana dilaksanakan di desa-

    desa lain.5 

    Realitas dan harapan korban setidaknya memberi indikator bantuan

    pemberdayaan mata pencaharian yang selama ini telah disalurkan

    oleh berbagai NGO belum mampu memberi pekerjaan dengan

    penghasilan berikutnya hingga mencakupi seluruh komunitas

    masyarakat korban. Masih dibutuhkan program yang lebih meratadan berpotensi untuk meningkatkan perekonomian mereka. Tentunya

    dengan berbagai teknik dan strategi diharapkan terjadinya

    pemerataan penyaluran bantuan dan penyediaan lapangan kerja,

    tidak diskriminatif dalam penentuan kriteria.

    Di Aceh Besar misalnya, Internasional NGO menyalurkan modal

    bergulir untuk jenis usaha pembangunan pabrik batu bata oleh

    Yayasan Sosial Kreasi di Desa Klieng Cot Aron, yang nantinya

    diharapkan akan terus bertambah berdasarkan hasil produksi pabrik

    awal untuk mempekerjakan masyarakat korban lainnya.6 

    5 www.acehkita.com. 05-08-2005

    6 Sesuai dengan hasil assessment yang dilaksanakan oleh IOM terhdap 2.111 orang responden

    pada tanggal 6 Mei 2005 di Aceh tentang pemberian bantuan program livelihood, dimana merekaberkesimpulan bahwa saat itu saja baru 4 % masyarakat yang telah mendapat bantuan mata

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    15/56

     

     Analisa ini mencoba merumuskan suatu hipotesis ringan melalui

    suatu permasalahan yang kodrati, dimana dengan banyaknya

    masyarakat yang tidak memiliki mata pencarian pasca tsunami,

    perekonomian masyarakat semakin merosot, tidak adanya pekerjaan

    tetap, kondisi kejiwaan yang masih terganggu (trauma) dikhawatirkan

    akan turut memperparah berbagai kondisi lainnya, seperti agama,

    pendidikan, dan moralitas mereka, dikhawatirkan menciptakakn

    masa depan yang suram bagi generasi Aceh mendatang. Untuk itu

    postulat yang dapat disusun adalah dengan program pemberdayaan

    perekonomian masyarakat, yang berupa pelaksanaan program

    pencaharian hidup yang berkelanjutan (sustainable livelihood), akan

    mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

    pencaharian, sedangkan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari korban masihmengharapkan bantuan makanan dari pihak asing. Untuk itu harapan besar mereka adalah padabantuan modal usaha atau juga pelatihan untuk memulai mata pencaharian baru.

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    16/56

     

    C. Kerangka Acuan Analisis

    KERANGKA  acuan analisis yang dibutuhkan, adalah pemahaman

    integritas dari pada program livelihood (mata pencaharian) yang

    dilaksanakan oleh berbagai lembaga untuk menggerakkan kembali

    perekonomian masyarakat Aceh, terutama di wilayah Aceh Besar

    dan Banda Aceh yang telah hancur pasca tsunami.

    Berbagai lembaga memiliki stressing  tersendiri dalam melaksanakan

    program livelihood ini, sebahagian bergerak dalam bidang

    pembekalan keahlian (support for skill) dalam bentuk pemberian

    pelatihan kerja dan pengasahan kemampuan (keahlian dan bahasa),baik kepada usia muda, tua, laki-laki, perempuan, maupun orang

    cacat. ILO misalnya, memulai dengan paket Women’s

    Entrepreneurship Training di Desa Lambada Lhok, Aceh Besar, yang

    diiringi dengan program pemberian modal usaha dan pendampingan

    bagi keberhasilan usaha tersebut.7 

    Program pemulihan perekomian rakyat ini diharapkan sebagai suatu

    program yang memiliki nilai tahan, dimana mata penghidupan yang

    diberikan bukan hanya sekedar suatu pekerjaan atau nafkah

    berjangka pendek, yang berkemungkinan akan habis pada saat itu

     juga, akan tetapi mencakup segala kebutuhan untuk memenuhi

    kebutuhan hidup dengan masa yang panjang, seperti dalam

    memperkuat sumber-sumber penghidupan (livelihood assets)

    sebagaimana yang dikembangkan oleh Amartya Sen dalam

    memahami masalah pangan dan kemiskinan secara menyeluruh

    7 ILO Jakarta, Edisi Khusus tentang Aceh dan Nias, Mendukung Pemulihan Mata Pencaharian, Juli

    2005, hlm., 11. Hal ini juga diakui oleh salah seorang peserta FGD Humantarian Aid Agency,tanggal 20 Juli 2005, Zulhaimi Agam, bahwa keterpurukan perekonomian masyarakat disebabkanrendahnya keahlian yang dimiliki masyarakat dalam mengembangkan profesi yang mereka tekuni,sehingga dengan sendirinya lapangan pekerjaan semakin sempit terasa, padahal sangat luas,karena semuanya tergantung dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi perkembangan ini,sehingga untuk saat inipun masyarakat Aceh harus mendapat bantuan pengembangan skill yangpenuh, apalagi di tengah keporak-porandaan masyarakat setelah bencana tsunami terjadi.

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    17/56

     

    melalui kerangka kerja penghidupan yang berkelanjutan (sustainable

    livelihood).

    Chambers dan Conway mendefinisikan bahwa penghidupan yang

    berkelanjutan tersebut dengan “suatu penghidupan yang meliputi

    kemampuan atau kecakapan aset-aset (simpanan, sumberdaya,

    claims dan akses) dan kegiatan yang dibutuhkan untuk sarana untuk

    hidup; suatu penghidupan dikatakan berkelanjutan jika dapat

    mengatasi dan memperbaiki diri dari tekanan dan bencana, menjaga

    atau meningkatkan kecakapan dan aset-aset, dan menyediakan

    penghidupan berkelanjutan untuk generasi berikutnya; dan yang

    memberi sumbangan terhadap penghidupan-penghidupan lain pada

    tingkat lokal dan global dalam jangka pendek maupun jangka

    panjang”.

    Kerangka sustainablities dari pelaksanaan program kerja livelihood,

    harus memberi pemahaman bagaimana kaum miskin di negeri ini

    menjalani kehidupannya, yaitu dengan terlebih dahulu melakukan

    analisis terhadap mata pencaharian hidup masyarakat. Hal ini

    disebut dengan langkah adaptif terhadap jangkauan program,sehingga keberhasilan pelaksanaan kerangka kerja ditentukan dan

    diawali oleh langkah pendekatan bersama masyarakat dan

    pencahariannya menuju mata pencaharian yang produktif, dan

    berkelanjutan.

    Berbagai aktivitas peningkatan mata pencaharian yang dilaksanakan

    pasca tsunami, adalah salah satu dari berbagai target pencapaian

    pemulihan perekonomian masyarakat, sehingga untuk langkah yang

    lebih jauh, keberlanjutan livelihood haruslah didukung dengan

    membangun ketahanan masyarakat dari berbagai kerentanan

    (vulnerabilities) dan perubahan (trend), serta perubahan musiman

    (seasonabilities).

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    18/56

     

    Membangun kapasitas masyarakat yang tangguh, haruslah disertai

    dengan membangun keahlian (skill) mereka dalam menggeluti mata

    pencarian mereka sendiri, dengan harapan terbangunnya

    masyarakat yang berkapasitas dan berpengetahuan tentang profesi

    yang mereka jalankan.

    Untuk melihat lebih jelas berbagai unsur yang melingkupi livelihood

    tersebut maka terdapat 5 (lima) sumberdaya dasar yang harus selalu

    diperhitungkan keberadaannya.

    Kelima sumberdaya pokok/dasar inilah yang dijadikan sebagai

    pertimbangan dan diperhitungkan keberadaannya dalam

    pelaksanaan suatu program livelihood untuk pencapaian target

    sebaik mungkin.

    Sumberdaya yang harus dimiliki oleh manusia, dapat saja berupa

    kesehatan, makanan, pendidikan, pengetahuan dan keahlian,

    kemampuan untuk bekerja dan beradaptasi.

    Modal Fisik(PhysicalCAPital)

    Modal Uang(FinancialCapital)

    Modal Alam(Natural Capital)

    Modal Sosial(Social Capital)

    Modal Manusia(Human Capital)

    LIVELIHOOD 

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    19/56

     

    Disusul sumberdaya alam, yaitu tanah dan produktivitasnya, sumber

    daya air, pepohonan dan produk hasil hutan, kehidupan binatang-

    binatang liar, makanan dan serat dari alam liar, keanekaragaman

    hayati, dan hasil alam non kayu.

    Sumberdaya Sosial, yang dalam hal ini agak luas cakupannya,

    seperti; jaringan dan koneksi, Hubungan kepercayaan, Kelompok

    formal dan informal, Aturan umum dan sanksi-sanksi, Keterwakilan

    kelompok, Mekanisme partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan

    dan Kepemimpinan yang ada.

    Sumberdaya fisik  yang dibutuhkan dalam melaksanakanpencaharian adalah;

    -  Infrastruktur;

    a. Jalan dan Transportasi (angkutan)

    b. Bangunan dan tempat tinggal yang aman

    c. Tersedianya air bersih dan sanitasi yang baik

    -  Suprarstruktur

    a. Peralatan produksi

    b. Bibit, pupuk dan pestisida

    c. Teknologi tradisional

    Sumberdaya keuangan (finansial) yang biasa disebut dengan uang,

    dalam livelihood juga memiliki bentuk beragam, yang dapat

    diperhatikan dari kepemilikan masyarakat terhadap uang;

    - Tabungan ( investasi )

    -  Hutang ( credit )

    -  Kiriman keluarga ( transfer )

    - Dana pensiun

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    20/56

     

    - Gaji

    Selanjutnya disusunlah beberapa strategi yang dapat dilaksanakan

    dalam program mata pencaharian hidup ini untuk mendukung

    keberlanjutannya. Pertama, dengan mengkombinasikan semua aset

    yang biasa dapat diakses, baik yang datang dari manusia itu sendiri,

    alam, kondisi sosial, fisik (infrastruktur ) dan keuangan sebagaimana

    tentang permodalan, jenis usaha, dan lainnya.

    Kedua, penting juga dipertimbangkan berbagai konteks tentang

    kerentanan yang setiap saat tanpa diduga dapat mempengaruhi

    pencapaian hasil usaha. Kerentanan ini dapat saja datang dariaktivitas alam/bencana alam, seperti banjir, kekeringan, badai,

    kamatian dalam keluarga, kekerasan atau adanya pemberontakan

    sipil, dan lainnya yang bersifat tiba-tiba (shock). Kemudian

    kerentanan ini juga disebabkan oleh suatu perubahan yang dapat

    diamati akan tetapi tidak dapat dikembalikan kondisinya (trend),

    seperti pertambahan penduduk, perkembangan teknologi,

    pertumbuhan ekonomi, atau perkembangan politik yang terkadang

    berpengaruh pada nilai tukar uang. Kerentanan ini juga dapatdisebabkan oleh suatu hal yang bersifat musiman (seasonability),

    seperti perubahan musim yang dapat diperkirakan, juga seperti

    fluktuasi harga di masa-masa tertentu, produksi, iklim dan

    sebagainya, yang ketiga-tiganya berkemungkinan dialami secara

    bersamaan.

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    21/56

     

    Ketiga, adalah dukungan atau tidak adanya dukungan dari

    kebijakan, institusi dan proses. Kebijakan ini adalah suatu

    kewenangan yang secara subjektif dapat dikeluarkan oleh

    Pemerintah, LSM dan badan-badan atau NGO internasional.

    Selanjutnya institusi seperti Politik (DPR dan DPRD), Lembaga

    Eksekutif, Badan Peradilan, Organisasi Masyarakat Sipil, LSM,

    Hukum, Partai Politik, serta badan-badan usaha swasta. Sedangkan

    yang termasuk pada dukungan proses adalah adanya aturan main,

    proses pembuatan kebijakan, norma sosial dan adat, gender, kasta,

    kelas dan bahasa.

    Selanjutnya keberhasilan suatu program livelihood juga digantungkan

    kepada program yang mampu untuk masuk lebih dalam kepada

    sistem mata pencaharian itu sendiri. Memperhatikan dengan cermat

    berbagai potensi dan asset yang dimiliki masyarakat bukan hanya

    dengan pertimbangan dasar terhadap profesi apa yang pernah

    dijalankan masyarakat selama ini, akan tetapi juga harus diimbangi

    dengan berbagai hal yang menjadi mata rantai suatu penghidupan.

    Salah satunya mungkin saja mengawali livelihood dengan melakukan

    SHOCK

    TREND

    SEASONALITY

    ENTITLEMENT

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    22/56

     

    pencerahan tentang teknik berwirausaha yang hendak untuk lebih

    meningkatkan produktivitas, atau juga lebih jauh dapat membantu

    masyarakat dalam mengakses pasar sebagai perwujudan

    profesionalisme intervensi dan kepedulian program terhadap

    keberlanjutan livelihood itu sendiri.

    Model-model intervensi yang dilaksanakan, dimana suatu lembaga

    donor dengan livelihood-nya akan selalu mengambil peran-peran

    yang dirasakan penting untuk mendukung kesinambungan usaha,

    apakah itu lembaga donor dari pemerintah atau non-pemerintah.

    Suatu livelihood di bidang budidaya tambak misalnya, harus

    menyajikan tinjauan lebih jauh kepada masyarakat tentang berbagai

    kondisi seperti bibit yang unggul, tanah yang baik, air dan teknik

    pengairan yang cocok.

    Begitu juga dengan berbagai kondisi pasar, persaingan produk, dan

    peluang pasar yang baik untuk usaha jenis ini, sehingga dengan

    arahan tersebut dapat diprediksikan sejauh mana usaha tersebut

    dapat dipacu produktivitasnya.

    Keikutsertaan donor dalam mengendalikan program tersebut sangat

    dibutuhkan, seperti dengan merencanakan model intervensi pasar

    sehingga sistem pemasaran produk livelihood diterima dan tidak

    kalah saing di pasaran, dan diharapkan bahwa hasilnya dapat

    dijadikan modal yang berlanjut.

    Pola intervensi yang dapat dijalankan, dapat juga lebih terbuka

    dengan adanya koordinasi dan pengikutsertaan pihak lain untuk

    breintervensi dan koordinasi menyukseskan program tersebut,

    seperti peran pemerintah dan pengusaha besar untuk menjembatani

    kegiatan livelihood. Persaingan harga pasar terkadang selalu

    menghambat produktivitas suatu usaha, misalnya di Aceh, kasus

    yang terjadi pada supply  telur ayam, dimana pasokan yang berasal

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    23/56

     

    dari Medan memiliki harga lebih murah dibandingkan dengan harga

    telur yang dapat diusahakan masyarakat di Banda Aceh.

    Kondisi seperti ini juga dapat dipedomani oleh pemerintah dalam

    melakukan invervensinya, agar produk-produk pencaharian

    masyarakat melalui program livelohood dapat menguasai pasar di

    daerah sendiri. Demikian juga dengan para pengusaha menengah

    (eksportir) daerah agar sedapat mungkin mau berkerjasama untuk

    menampung hasil produksi program livelihood, sehingga masyarakat

    tidak terlalu sulit untuk memasarkannya sendiri.

    Strategi intervensi yang dilakukan sedemikian rupa, bertujuankepada terciptanya suatu sistem jaminan terhadap keberhasilan

    kemajuan suatu usaha dalam program livelihood. Selain jaminan

    yang diberikan tersebut, masyarakat sendiri harus diarahkan untuk

    menjalankan usaha yang berbasis ketahanan melalui penerapan

    konsep entitlement, dimana masyarakat dikehendaki untuk memiliki

    ketahanan perekonomian yang diwujudkan dari berbagai sisi

    intervensi, yang sedapat mungkin menjamin akan adanya ketahanan

    tersebut.

    Untuk menjamin terciptanya keadaan yang entitle tersebut, ada tiga

    basis perekonomian yang perlu dijamin, seperti terhadap berbagai

    basis produksi, yang menghendaki adanya jaminan hal-hal berupa

    kualitas tanah, air, bibit, iklim, dan tenaga kerja. Selanjutnya juga

    harus ada jaminan terhadap basis perdagangan, seperti dalam hal

    pemasaran dan harga, dan juga jaminan pada basis tenaga kerja,

    yaitu pekerjaan dan upah itu sendiri. Sementara nilai-nilai dalam

    relasi sosial perlu juga dijamin agar orang dapat bertahan terhadap

    basis transfer.

    Setelah adanya panduan dari konsep intervensi dan entitlement

    tersebut maka prinsip lainnya sebagai faktor akhir untuk diperhatikan

    dalam mewujudkan sustainablities livelihood ini adalah;

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    24/56

     

    -  Efisiensi secara ekonomi

    -  Keadilan dan kewajaran sosial

    -  Pertimbangan ekologi

    -  Keuletan dalam berusaha

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    25/56

     

    Komitmen Oxfam terhadap Masyarakat Aceh paska Tsunami

    OXFAM  salah satu organisasi Internasional yang bergerak di bidang

    kemanusiaan, efektif berada ada di Aceh tahun 2000. Pada awal

    keberadaannya di Aceh, Oxfam lebih banyak bekerjasama dengan

    pemerintah bagian Timur Aceh dalam menjalankan misi kemanusiaan

    membantu korban konflik bersenjata. Untuk menjalankan misi

    kemanusiaan dalam membantu korban konflik, Oxfam menggalang

    kerjasama dengan mitra-mitra lokal dan internasional, seperti

    Muhammadiyah, PCC, PMI, JRS, IOM dalam mengumpulkan informasi,

    ketika diterapkan operasi militer.

    Secara cepat tanggal 26 Desember 2004 Oxfam memulai respon luar

    biasa dengan target membantu korban tsunami. Untuk penanggulangan

    bencara tsunami tersebut, tidak hanya Oxfam Inggris (GB-Great Britain)

    yang hadir di Aceh, akan tetapi turut juga direspon oleh Oxfam

    Internasional yang terdiri dari 12 (dua belas) afiliasi Oxfam dari 12 (dua

    belas) negara, yang bekerjasama melakukan tanggap darurat di Aceh.

    Oxfam GB kemudian diberi mandat untuk memimpin operasi kemanusiaan

    ini. Sebelumnya Oxfam GB telah mempunyai kantor di Aceh, selain itu

    Oxfam GB sebagai satu-satunya yang telah memiliki perjanjian kerjasama

    dengan pemerintah Indonesia, melalui kesepakatan kemitraan bersama

    Departemen Sosial.

    Oxfam sebagai lembaga yang bergerak memberi bantuan untuk

    memenuhi hak dan kebutuhan masyarakat tidak terlibat dan melibatkan

    diri dalam masalah sosial, politik, etnis, atau keagamaan, sehingga Oxfam

    benar-benar independen dan bebas dari intervensi kepentingan politik.

    Oxfam memiliki reputasi yang baik dibanyak negara untuk pekerjaan

    perbaikan dalam keadaan darurat, misalnya; menyediakan tempat

    BBaabb IIII  K K eebbii aakkaann LLiivveelliihhoooodd oolleehh OOxxf f aamm 

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    26/56

     

    penampungan air bersih, sanitasi dan pelayanan kesehatan masyarakat,

    untuk orang-orang yang hidupnya telah berubah, yang disebabkan oleh

    perang atau bencana alam. Setelah masa darurat berlalu, Oxfam

    melakukan program jangka pendek dan jangka panjang untuk membantu

    masyarakat membangun kembali kehidupannya dan mempersiapkan dan

    mengurangi dampak krisis pada masa yang akan datang.

    Program Oxfam yang diangkat melalui analisis ini mencakup beberapa

    kebijakan yang diambil oleh Oxfam dalam membantu memulihkan kondisi

    perekonomian masyarakat Aceh pasca gempa dan tsunami. Dengan pola

    penghidupan kembali mata pencaharian masyarakat melalui program

    livelihood (livelihood programme), dimana dari sebagian bantuan yang

    diberikan dalam bentuk modal usaha, peralatan usaha, keahlian dalam

    berusaha, dan kemapanan dalam berwirausaha yang terhimpun dalam

    suatu program pemberdayaan pencaharian masyarakat yang

    berkesinambungan (sustainable livelihood) .

    H. Visi dan Misi Oxfam tentang Program Bantuan Kemanusiaan

    OXFAM  GB dan afiliasinya, telah menempatkan dana yang

    terkumpul di dalam port  yang mereka namai “dana global”. Untuk

    respon pasca bencana di Indonesia dalam mata pencaharian di Aceh

    dan Nias dan beberapa negara yang terkena bencana lainnya seperti

    Thailand, Srilangka, India dan Maladewa.

    Indonesia mendapat kucuran dana yang paling besar dari dana

    global Oxfam, dengan rancangan kerja hingga 5 (lima) tahun ke

    depan. Adapun jumlah dana yang dapat diakses hampir mencapai  ₤ 90 juta, dan akan dikucurkan sesuai dengan program yang disetujui

    untuk dilaksanakan, seperti:

    -  Program kehidupan yang berkelanjutan

    -  Program gender dan keragaman

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    27/56

     

    -  Perdagangan yang berkeadilan

    -  Program pendidikan

    -  Program kemanusiaan

    -  Program advokasi

    Untuk saat ini dana yang dialokasikan untuk kemitraan memang

    masih kecil, untuk satu tahun dana yang diproyeksikan oleh Oxfam

    untuk Aceh sekitar £ 20 juta, di enam konsentrasi kantor yang ada di

    Banda Aceh, Sigli, Meulaboh, Calang, Aceh Besar, Lamno, dan Nias.

     Aceh Besar adalah kantor yang paling besar dan memiliki staff yaitu

    sebanyak 700 pekerja.

    Oxfam dengan limit waktu fleksible di Aceh setidaknya sudah

    menetukan fase intervensi. Saat ini oxfam baru memproyeksikan

    waktu untuk tahap pertama, selama 3 (tahun) kedepan. 3 (tiga) bulan

    pertama (Januari s/d Maret 2005) adalah tahun pertama Oxfam

    fokusnya pada masa tanggap darurat, yaitu selama 3 bulan.

    Pasca tanggap darurat, Oxfam menetapkan masa transisi untuk

    rekontruksi dan rehabilitasi pembangunan kembali perumahan dan

    shelter secara luas, asumsi selama 2 (dua) tahun. Namun begitu,

    pada proses berjalan program tahun 2005, Oxfam telah menjejaki

    program penanganan pengembangan ekonomi, yaitu dengan

    membangun jaringan kerjasama kemitraan dengan NGO lokal.

    Tahun berikutnya yaitu tahun ketiga, Oxfam akan lebih fokus

    melakukan intervensi pengembangan livelihood jangka panjang

    dengan penekanan adanya proses kemitraan lokal. Dari awal Oxfam

    sudah punya kerangka kerjasama dengan mitra-mitra lokal dengan.

    Sekalipun oxfam memandang perlu untuk melakukan respon secara

    cepat, Oxfam juga berfikir untuk membangun kapasitas mitra-mitra

    lokal dalam peningkatan proses kemampuan NGO lokal, terutama

    dalam masalah tanggap darurat. Oxfam membangun asumsi bahwa

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    28/56

     

    NGO lokal mempunyai kemampuan dalam memulihkan mata

    pencaharian masyarakat korban mengingat keberadaan NGO lokal

    sebelum dan pasca tsunami.

    Pasca tanggap darurat, Oxfam juga melakukan pemulihan dibidang

    infrastruktur dengan membangun kembali dan merehabilitasi

    infrastruktur vital, seperti jembatan, fasilitas untuk mandi, sumur dan

    WC. Pada intervensi ini, Oxfam mengakui memberi penekananan

    kesinambungan, pengembangan jangka panjang, mendorong usaha-

    usaha kecil dan industri tradisional di bawah program livelihood-nya

    dan menawarkan kesempatan konsultatif untuk rekonstruksi.

    Penerima manfaat dari program Oxfam menjelang akhir Juni 2005,

    lebih dari 300.000 orang telah dibantu secara langsung melalui

    program-program pada enam kantor lapangan di Aceh Besar,

    Lamno, Calang, Meulaboh, Lhokseumawe dan Nias.

    Saat ini Oxfam telah mendukung kemitraan dengan 49 NGO lokal

    dan nasional yang sejalan dengan misi kemanusiaan dan prinsip-

    prinsip Oxfam sendiri yang lebih luas dalam memberdayakan

    masyarakat setempat. Program-program Oxfam di lapanganmenawarkan suatu pendekatan holistik pada pengembangan dengan

    mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan penduduk yang terkena

    dampak dengan pola dialog masyarakat, partispatif komunitas di

    tingkat korban dengan mekanisme untuk umpan balik seperti CDO

    CDO (Community Development Organizer ) dan Program Pendidikan

    Kesehatan Publik secara luas.

    Untuk itu Oxfam berkomitmen bahwa standar-standar yang dibentuk

    oleh proyek SPHERE atau piagam kemanusiaan dan standar

    minimum dalam respon bencana bisa dipatuhi dalam setiap

    pelaksanaan program, dan ini sejalan dengan tujuan Oxfam untuk

    membantu memulihkan kembali aspek perekonomian, kemampuan

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    29/56

     

    sipil dan sosial dari masyarakat Aceh, untuk lebih maju dari yang

    sudah ada sebelum tsunami dengan memenuhi standar yang layak.

    I. Tehnik Pelaksanaan Program Livelihood Oxfam untuk

    merehabilitasi Aceh

    B.1 Pokok Pikiran

    SECARA  umum, Sejak tahun 2000 Oxfam-GB yang ada di

    Indonesia tidak saja bergerak di bidang/program Pengelolaan

    Bencana (Disaster Management) dan Hak Asasi Manusia

    (Human Right), akan tetapi telah dikembangkan kepada dua

    program baru, seperti Program Pendidikan pada saat konflik di

    Madura, dan program penghidupan yang berkelanjutan

    (Sustainable Livelihood) di Buton.

    Untuk memandu pelaksanaan program penghidupan tersebut,

    Oxfam menetapkan target-target penerima manfaat dari

    kegiatan, yaitu:

    -  Petani miskin

    -  Nelayan miskin

    -  Masyarakat adat

    -  Masyarakat miskin perkotaan

    -  Kelompok penyandang cacat

    -  Perempuan dan anak-anak

    -  Pengungsi dan IDPs (pengungsi internal)

    Untuk itu Oxfam mengusulkan bahwa program mata

    pencaharian yang berkesinambungan hanya dapat dicapai bila

    ketidaksetaraan hidup dapat dikurangi, dan pertumbuhan

    ekonomi yang berkelanjutan dapat memenuhi kebutuhan

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    30/56

     

    ekonomi dan sosial sebagian besar penduduk Indonesia tak

    terkecuali di Aceh. Untuk itu perlu diupayakan adanya usaha-

    usaha yang meluas untuk mengubah kebijakan-kebijakan,

    praktik-praktik, ide-ide dan kepercayaan dari lembaga-lembaga,

    pemerintah dan masyarakat yang dituju untuk:

    -  Mengamankan dan menjaga aset-aset masyarakat miskin

    dan memperluas pilihan mata pencaharian mereka.

    -  Mendorong pengembangan pasar dan aturan-aturan yang

    sesuai bagi pasar lokal, regional dan internasional.

    -  Memberdayakan masyarakat miskin untuk melanjutkan

    upaya pembangunan mereka sendiri.

    -  Mendorong kerangka hukum dan kebijakan dan praktik-

    praktik merakyat dan memperbaiki kemampuan kaum miskin

    untuk menghadapi kejutan-kejutan (kerentanan-shock).

    Pelaksanaan ide-ide tersebut haruslah didukung oleh berbagai

    aspek, seperti lingkungan pelaksanaan livelihood yang

    diharapkan memungkinkan untuk melaksanakan programpencarian hidup yang terus berkesinambungan, sehingga

    livelihood bukan saja sebagai program pengadaan mata

    pencaharian untuk masyarakat, akan tetapi sebagai suatu

    program yang terus memikirkan bagaimana caranya agar

    masyarakat terus memiliki pencaharian untuk hidupnya.

    Melalui program livelihood ini, Oxfam juga bertekad untuk dapat

    melindungi produsen kecil dan produsen miskin untuk

    menghadapi dominasi rezim pasar global.8  Sehingga dengan

    menganut prinsip keuangan mikro tersebut Oxfam harus

    memberdayakan masyarakat melalui pembentukan unit-unit

    pengelola usaha yang dibentuk dari komponen masyarakat itu

    8 Oxfam GB Indonesian Office, Sustainable Livelihood Programme.

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    31/56

     

    sendiri. Dan dengan ini pula Oxfam memberikan pengawasan

    dan pengarahan untuk menguatkan kapasitas lembaga

    keuangan mikro di tingkat desa untuk dapat mengelola

    keuangan bantuan dengan baik dan produktif dan

    bertanggunggugat.

    B.2 Jaringan Kemitraan Livelihood oleh Oxfam dan NGO Lokal

    JARINGAN  kemitraan yang dibangun oleh Oxfam pada

    dasarnya dilandasi atas komitmen mereka untuk melaksanakan

    program jangka panjang dalam merekonstruksi dan

    merehabilitasi Aceh, sesuai dengan prediksi waktu yang

    diberikan selama 3 (tiga) tahun, dimana setelah tahun pertama

    proses rekonstruksi selesai, kemudian proses pembangunan

    perumahan rakyatpun selesai, maka pada tahun ketiga semua

    program akan lebih fokus pada pengembangan livelihood

     jangka panjang. Maka untuk itu dari sekarang sangat

    ditekankan proses kemitraan dari awal, dimana Oxfam sudah

    punya kerangka kerjasama dengan mitra-mitra lokal. Hal ini pula

    yang mendasari Oxfam untuk berfikir membangun kapasitas

    mitra-mitra lokal dalam peningkatan proses kemampuan NGO

    lokal di Aceh.9 

    Oxfam tidak memiliki kemitraan untuk melaksanakan livelihood

    dengan NGO international, maupun Pemerintah Daerah. Oxfam

    hanya menjalin kemitraan bersama NGO lokal, dengan tujuan

    agar Oxfam dapat sekaligus membantu untuk memberdayakan

    dan memberikan tambahan kapasitas/kemampuan kepada NGO

    lokal dalam hal penanganan masyarakat, sehingga di saat

    Oxfam meninggalkan Aceh, maka sekaligus Oxfam telah

    9 Wawancara dengan Yanti Lacsana, Oxfam, 20 Agustus 2005. 

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    32/56

     

    meninggalkan NGO-NGO yang handal dalam membina

    masyarakat.10 

    Jalinan kersajama yang dibangun oleh Oxfam bersama dengan

    NGO lokal juga bertujuan agar Oxfam lebih mudah untuk

    mengakses kepentingan yang sebenarnya diperlukan oleh

    masyarakat korban. Bagaimana kondisi mereka, potensi yang

    dimiliki masyarakat, dan bagaimana cara melibatkan mereka

    dalam semua proses pemberdayaan ekonomi.11 

    Strategi jaringan kemitraan yang dimanfaatkan Oxfam,

    selanjutnya juga berguna untuk mendukung percepatanpemulihan perekonomian masyarakat.

    10 Wawancara dengan Mr. Johan, Oxfam Livelihood Coordinator, Wilayah NAD, 21 September

    200511 Wawancara Yanti Lacsana, Oxfam, 20 Agustus 2005

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    33/56

     

    Tabel : Daftar Mitra Kelompok Kerja Livelihoods

    No. Nama Mitra Akronim Lokasi Mitra

    1.Perkumpulan Centre Aid in Resolving Aceh

    CARE Aceh Banda Aceh

    2.Yayasan Sinar DesaIndonesia

    Yasindo Banda Aceh

    3.LSM Bina AneukNanggroe

    BANNA Banda Aceh

    4.Yayasan Forum StudiKependudukan danLingkungan Hidup

    FORSIKAL Banda Aceh

    5.

    Wahana Amal

    Sesama Makhluk Allah

    WALSAMA Banda Aceh

    6.Himpunan KerukunanMasyarakatSeuneuddon

    HIKMAS Bada Aceh

    7.YayasanPengembanganKawasan

    YPK Meulaboh

    8.

    Pusat Studi Kelautandan PerikananUniversitas SyiahKuala

    PSKP Unsyiah Banda Aceh

    9.Yayasan Insan CitaMadani

    YICM Banda Aceh

    10.Yayasan PeduliSabang

    YPS Sabang

    11. CARe Aceh CARe Aceh Banda Aceh

    12. Suara Hati Rakyat Sahara Banda Aceh

    13. Meurah Mutia - Banda Aceh

    14. Potjut Meutia - Banda Aceh

    Yayasan Insan Cita Madani (YICM) adalah sebagai salah satu

    NGO lokal yang menjadi mitra Oxfam dalam pelaksanaan

    program livelihood yang bergerak di bidang penyaluran dan

    pengawasan bantuan modal usaha/mata pencarian di bidang

    usaha nelayan, petani bawang dan cabe, pedagang kecil,

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    34/56

     

    pedagang kue, penjahit dan peternak ayam buras yang

    dilaksanakan di Desa Neuheun, Aceh Besar.

    Dalam hal ini Oxfam sebagai donor, menetapkan YICM sebagai

    pelaksana lapangan sesuai dengan kesepakatan yang disetujui

    bersama. Program tersebut telah dilaksanakan selama 3 bulan,

    dimana dalam waktu yang singkat ini, kelompok usaha tersebut

    telah mengembalikan pinjaman mereka sebanyak 70%, dan

    dana tersebut akan digulirkan kembali. Sedangkan dalam

    bidang pertanian belum ada, karena mereka masih sedang

    mengolah tanah. Begitu juga dengan peternakan ayam buras

    yang sedang terkena penyakit.12 

    PSKP Unsyiah, juga sebagai salah satu mitra Oxfam dalam

    melaksanakan program livelihood di bidang pemberdayaan

    perekonomian komunitas masyarakat nelayan di Kabupaten

    Pidie (Simpang Tiga, Batee, dan Kembang Tanjung) dan di

    Kabupaten Aceh Jaya (Panga, Krueng Sabee, Setia Bakti dan

    Kecamatan Jaya).

    Dalam melaksanakan program livelihood tersebut, PSKP

    mengakui bahwa mereka mendapat keringanan dari Oxfam

    dengan adanya kesempatan adendum program dan anggaran

    yang diberikan oleh Oxfam ketika mereka dan masyarakat

    korban nelayan selaku penerima manfaat program menemui

    keadaan yang tidak wajar yaitu adanya perubahan kondisi

    geografis dan lainnya, sehingga berbagai rencana awal

    terhadap bantuan ataupun teknik pelaksanaan livelihood akan

    berubah sesuai kebutuhan dan kemanfaatan bagi korban.

    PSKP Unsyiah dalam melakukan pendampingan pemberian

    bantuan alat tangkapan ikan bagi nelayan juga membekali

    masyarakat dengan manajemen usaha, mendorong dan

    12 Wawancara dengan Muhibuddin, SP., YICM, 18 Agustus 2005

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    35/56

     

    menginisiasi masyarakat untuk menabung. Pada kondisi lain

    PSK Unsyiah juga memfasilitasi keinginan masyarakat dalam

    beralih profesi dari nelayan menjadi petani.13

     

    B.3 Kemitraan Program Livelihood dan Tujuan Pola Partisipatif

    Komunitas Masyarakat Korban

    SELAIN  menjalin kemitraan bersama NGO lokal dalam

    melakukan kegiatan livelihood, Oxfam juga menjalin kemitraan

    bersama komunitas sosial (adat) dimana program livelihood

    dilaksanakan.14 

    Dalam menjalin kemitraan bersama komunitas masyarakat

    desa, Oxfam menerima terlebih dahulu permohonan bantuan

    usaha. Sebelum menjalin kerjasama dengan masyarakat

    tersebut Oxfam akan melakukan beberapa mekanisme umum,

    sebagaimana yang digambarkan oleh Mr. Johan sebagai salah

    seorang koordinator tentang livelihood Oxfam di Provinsi

    Nanggroe Aceh Darussalam.15 

    Pertama, setelah menerima proposal dari masyarakat tentang

    adanya program usaha yang diajukan untuk mendapat bantuan

    pemberdayaan. Sebagai langkah kedua  Oxfam melakukan

    diskusi internal tentang proposal yang diajukan tersebut.

    Setelah ditetapkan urgensi dan berbagai pertimbangan

    terhadap permohonan tersebut, maka selanjutnya, langkah

    ketiga akan menunjuk seorang Community Development

    Organizer (CDO) untuk melaksanakan assessment terhadap

    13 Wawancara dengan Muhammadar, PSKP Unsyiah, 25 Agustus 2005

    14 Wawancara dengan Wardah Hasyim, Recovery Coordinator Oxfam Wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar, 24 Agustus 2005

    15 Johan juga menegaskan bahwa hingga saat ini Oxfam belum memiliki suatu guideline yang bakuuntuk pelaksanaan jaringan kemitraan program livelihood, akan tetapi hal ini selalu dilaksanakansesuai dengan kebiasaan yang pernah dilaksanakan di komunitas masyarakat korban, denganpola partisipatif. 

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    36/56

     

    berbagai potensi dan aspek yang dapat ditangani pihak Oxfam

    melalui program livelihood.

    Tahap ke-keempat, Oxfam meminta pimpinan masyarakat

    untuk mempersiapkan suatu pertemuan dengan masyarakat

    desa, guna membicarakan berbagai keluhan dan harapan

    tentang mata pencaharian masyarakat korban yang akan

    ditangani. Sesudah adanya kesepakatan, langkah kelima

    Oxfam meminta masyarakat untuk mengajukan wakil mereka

    sebagai penganggungjawab dan memimpin  mereka  dalam

    mengelola dana bantuan yang diberikan Oxfam. Perwakilan

    sebagai penanggungjawab ditempatkan dalam struktur

    organisasi pengelola dana bantuan yang dibentuk Oxfam, atau

    disebut dengan Lembaga Keuangan Swadaya Masyarakat

    (LKSM), (Lihat lampiran susunan keorganisasian LKSM masyarakat Desa

     Alue Naga dan Desa Ruyeung yang menerima bantuan livelihood dari

    Oxfam). 

    Setelah LKSM terbentuk, maka Oxfam menerima nama-nama

    masyarakat korban dan sekaligus berjumpa langsung dengan

    mereka dalam suatu forum khusus untuk membicarakan teknik

    penggunaan bantuan, serta posisi Oxfam dan LKSM sebagai

    lembaga masyarakat yang ditugaskan untuk mengelola

    pemanfaatan dana bantuan tersebut.

    Setiap perubahan kebijakan dari kesepakatan bersama tidak

    diputuskan secara sepihak, baik oleh LKSM maupun sepihak

    dipihak donor yaitu Oxfam. Sedapat mungkin perubahan yang

    terjadi ditingkat LKSM harus diberitahukan kepada pihak Oxfam,

    dan akan diputuskan melalui suatu rapat formal antara Oxfam

    dan LKSM.

    Setelah bantuan diserahkan dan digunakan oleh masyarakat

    korban, maka Oxfam akan melakukan peran

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    37/56

     

    kontrol/pengawasan mereka terhadap perkembangan

    pelaksanaan program tersebut. Oxfam akan memutuskan

    kerjasama dengan mitra yang tidak menjalankan program

    sejalan dengan kesepakatan atau melakukan penyimpangan

    fatal.

    Program pemulihan mata pencaharian livelihood yang dibantu

    Oxfam baru sebatas membantu usaha-usaha kecil yang

    dilaksanakan masyarakat korban. Misalnya, pemberian bantuan

    dana sebesar Rp. 185.000,-/orang bagi masyarakat korban

    Desa Alue Naga yang berkeinginan untuk melanjutkan profesi

    mereka sebagai pencari tiram. (Lihat lampiran tentang jenis-jenis usaha

    yang dibantu Oxfam di Desa Alue Naga, serta para penerimanya). 

    Keterangan lebih lanjut, dimana Oxfam telah menjalin kemitraan

    dengan sejumlah lembaga keuangan swadaya masyarakat di

    berbagai desa yang dilaksanakan program livelihood,

    (sebagaimana dapat dilihat pada lampiran).

    Secara umum juga disimpulkan, bahwa metode pelaksanaan

    program livelihood oleh Oxfam lebih mengutamakan aspirasidari bawah (sesuai dengan kebutuhan masyarakat korban yang

    akan dibantu). Oxfam sendiri hanya memiliki standar umum

    dalam melaksanakan program livelihood, dimana Oxfam untuk

    tahap awal ini mengandalkan tenaga assessment lapangan

    (CDO) mereka, sehingga dengan langkah seperti ini masyarakat

    lebih cepat mendapatkan bantuan modal penggerak usaha.

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    38/56

     

     A. Mekanisme Planning dan Organizing Livelihood  

    PADA  tatanan perencanaan, secara teoritis Oxfam belum

    menyediakan panduan kerja/progam yang khusus untuk mendukung

    pelaksanaan program pemberdayaan perekonomian masyarakat

     Aceh pasca tsunami melalui program livelihood. Dan ini dirasakan

    sebagai suatu kekurangan utama. Seharusnya untuk menjalankan

    suatu program dalam periode tertentu dan jangka panjang, Oxfam

    harus memiliki suatu guideline yang baku untuk mengontrol

    pelaksanaan livelihood, yang bertujuan nantinya untuk mendukung

    secara mekanisme terhadap keberlanjutan suatu program di fase

    panjang selanjutnya.16 

    Berbagai kelemahan lain yang muncul adalah kealpaan17  sumber

    daya manusia yang dimiliki Oxfam. Sepatutnya tidak perlu terjadi bila

    dibandingkan kuantitas Oxfam dengan 642 staff dan pekerja

    lapangan (583 orang staff nasional + 59 orang staff internasional)

    yang tersebar di enam lokasi di Aceh, memiliki sumber daya dan

    komitmen untuk melaksanakan kegiatannya di tengah-tengah

    keterjepitan masyarakat Aceh yang butuh akan bantuan

    pemberdayaan perekonomian di saat ini.

    16  Hal ini diakui sendiri oleh informan yang ditemui staff Katahati Institute ketika mengadakan

    wawancara bersama pihak Oxfam yang berkompeten dalam menangani masalah livelihood yaituWardah Hasyim, Mr. Johan, serta para CDO lapangan; Ratna Dewi, Siti Zubaidah, yang sedianyadengan senang hati memberikan keterangan tentang kerangka kerja tertulis livelihood yang biasamereka laksanakan demi kepentingan analisis. Namun karena keterbatasan waktu dan

    ketersediaan bahan, Katahati Institute mengasumsi bahwa Oxfam belum memiliki guideline resmitentang pelaksanaan program livelihood yang berkelanjutan. Oxfam mengandalkan dukungan dariorganizing kerja lapangan dengan metode potensi komunitas masyarakat sebagai mitra kerjamereka yang turut bertanggungjawab terhadap pelaksanaan program dengan berbagaikesepakatan yang dijalin bersama Oxfam, LKSM dan masyarakat calon penerima manfaat itusendiri.17

      Kealpaan dimaksud adalah keteledoran dalam perencanaan dan pengawasan pihak pegawailapangan dalam menangani penyaluran bantuan kepada masyarakat mengakibatkan bantuanpenggerak modal usaha yang diberikan terkesan seperti suatu program charity, tanpamempertimbangkan aspek yang lebih panjang yang dapat dihasilkan oleh bantuan tersebut. Hal initergambar jelas pada kasus pemberian bantuan kepada masyarakat Desa Alue Naga.

    BBaabb IIIIII  AAnnaalliissaa K K aassuuiissttiikk 

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    39/56

     

    Sesuai dengan standar teoritis tentang sustainable livelihood yang

    telah disajikan sebelumnya, maka dari sejumlah observasi yang

    dilakukan oleh team analisis data Katahati Institute, ada beberapa

    kasus yang menarik untuk disimak, yang pada intinya juga

    merupakan suatu permasalahan yang harus diperhatikan oleh pihak

    Oxfam sendiri, dan juga seluruh NGO, baik lokal maupun

    internasional dalam menyusun suatu perencanaan program

    memulihkan kondisi perekonomian masyarakat Aceh.

    Dengan adanya perencanaan dan panduan kerja yang matang, maka

    berbagai permasalahan yang dikhawatirkan akan memutus mata

    rantai keberlanjutan suatu program livelihood, baik yang diakibatkan

    oleh faktor lemahnya sumber daya manusia, dan bencana alam

    susulan dapat ditetapkan strategi menyelesaikan masalah dengan

    indikator-indikator terukur.

    Berdasarkan kasus yang terjadi di Desa Alue Naga, dapat

    diidentifikasi bahwa suatu kekeliruan yang dilakukan baik sengaja

    ataupun tidak dari organizing Oxfam, mitra kerja, hal itu telah terjadi

    dan menimbulkan gap ditengah masyarakat (Lihat analisa kasuspada tahapan implementasi bantuan)

    Mr. Johan, mengakui, bahwa untuk tahap ini Oxfam tidak memiliki

    panduan khusus dalam melaksanakan livelihood. Oxfam lebih

    menghandalkan penggalian aspirasi dan keinginan di komunitas

    masyarakat korban. Hal ini menjadi titik penting bagi Oxfam,

    mengingat berbagai prinsip pengembangan perekonomian

    masyarakat Aceh terkadang berbeda dengan masyarakat di daerah

    lain. Untuk itu dalam rangka menggerakkan program micro finance

    ini, langkah pertama yang dilakukan adalah membentuk lembaga

    keuangan mikro itu sendiri, yaitu dalam bentuk Lembaga Keuangan

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    40/56

     

    Swadaya Masyarakat (LKSM), yang diambil dari masyarakat

    komunitas korban.18 

    Dengan prinsip tersebut Oxfam menjustifikasi sebagai langkah awal

    untuk merancang suatu konsep yang dapat dipergunakan sebagai

    panduan memasuki tahapan/fase program livelihood yang lebih

    barjangka panjang. Akan tetapi sejauh ini Oxfam mendapat banyak

    permasalahan dengan masyarakat sehubungan dengan aplikasi

    program livelihood. Ditingkatan CDO dan mitra kerjanya juga

    terdapat kelemahan implementing dan monitoring.

    B. Mekanisme Implementing dan Monitoring Livelihood  

    CONTOH  kasus yang terjadi di desa Alue Naga, Banda Aceh,

    dimana Oxfam melalui Community Development Organizer- nya

    (CDO) dianggap telah mengabaikan sustainabilities suatu program

    livelihood yang diharapkan. Hal ini diakui sendiri oleh masyarakat

    saat dilakukan Indepth Interview, walaupun pada intinya masyarakat

    desa tersebut sudah sangat terbantu oleh kehadiran bantuan

    program livelihood dari Oxfam. Akan tetapi melalui suatu analisis

    kebijakan tentang sustainable livelihood, hal ini dinilai suatu

    kelemahan yang bersumber dari lemahnya sumberdaya manusia

    yang dimiliki oleh Oxfam dalam melakukan kontrol dan pengawasan

    program bersama mitra kerjanya di komunitas masyarakat korban.

    Masyarakat Desa Alue Naga, dengan berbagai keterjepitannya telah

    merekomendasikan Desa mereka sebagai salah satu desa yang

    sangat membutuhkan penanganan dalam hal mata pencaharian.

    18 Berdasarkan wawancara tersebut, Mr. Johan juga mengungkapkan bahwa ketiadaan konsep ini

     juga suatu kekurangan, akan tetapi beliau berencana untuk menggali prinsip-prinsip keuanganyang ada dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh, sehingga dapat dihasilkan nantinya suatupanduan yang baik dan aspiratif untuk mengembangkan perekonomian masyarakat itu sendiri,tanpa bertentangan dengan prinsip-prinsip perekonomian lainnnya yang terkadang cenderungmelemahkan perekonoomian lemah. Dalam hal ini beliau sangat setuju dengan sistem pinjamanbagi hasil, yang dikembalikan kepada LKSM untuk kembali digulirkan kepada masyarakat lain yangmembutuhkan.

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    41/56

     

    Masyarakat Alue Naga berprofesi hampir 80% nelayan, serta 18%

    berprofesi sebagai petani tambak, pedagang dan bertukang, dan

    hanya 2% yang berprofesi sebagai pegawai19

    .

     Alue Naga telah disetujui oleh Oxfam untuk dijadikan sebagai salah

    satu desa yang diberdayakan melalui program livelihood, yaitu

    dengan menggerakkan kembali dunia profesi bidang kelautan,

    seperti di bidang sarana penangkapan ikan (boat), penjualan dan

    pengolahan ikan.

    Bantuan livelihood yang direalisasi pihak Oxfam di desa Alue Naga

    adalah dengan menggunakan mekanisme kemitraan, yaitu denganmembentuk Lembaga Keuangan Swadaya Masyarakat (LKSM), yang

    dipimpin oleh pimpinan Desa/masyarakat Alue Naga sendiri. LKSM

    ini diserahi wewenang dan tanggungjawab untuk mengelola dana

    bantuan dari Oxfam untuk dapat digunakan secara bergulir.

    Beberapa ketentuan disyaratkan, seperti :

    a. Debitur (IDPs) harus menyetujui bahwa pinjaman yang diberikan

    ini atas dasar pinjam-meminjam, yang akan digunakan oleh

    debitur untuk keperluan membuka usaha atau mengembangkan

    usaha.

    b. Pinjaman yang diperoleh berdasarkan perjanjian ini akan

    dibayar sampai lunas, paling lambat sampai tanggal 30 setiap

    bulannya hingga batas waktu pembayaran yang telah disepakati

    bersama.20 

    Untuk memanfaatkan dana tersebut, pihak Oxfam berdasarkan

    kesepakatan bersama dengan LKSM dan masyarakat Desa Alue

    19  Rekomendasi Masyarakat Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, yang

    ditandatangani oleh 20 orang masyarakat, dan diketahui oleh Kepala Desa (Geuchik) merekasendiri, pada tanggal 23 Agustus 2005.20

     Dikutip dari berbagai ketentuan realisasi livelihood yang disepakati antara masyarakat Desa AlueNaga dan Oxfam, selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    42/56

     

    Naga, bantuan dana diprioritaskan untuk memodali 6 (enam) usaha

    masyarakat, di bidang;

    1. Nelayan (pengadaan boat)

    2. Penjual ikan keliling

    3. Penjual ikan

    4. Pembuat ikan asin

    5. Pembuat Boat

    6. Pencari Tiram.

    Jumlah bantuan dana yang diberikan tidaklah sama antara masing-

    masing kelompok/unit usaha, dengan pertimbangan dan kepentingan

    besarnya modal yang diperlukan untuk satu unit usaha. Artinya,

    sehingga dengan dana itu dapat memberikan manfaat berarti bagi

    132 orang anggota masyarakat yang berkeinginan untuk memulai

    mata pencahariannya kembali.

    Dari proses implementasi kesepakatan bersama sampai realisasi

    dana bantuan usaha, beberapa masalah muncul. Misalnya, adanya

    kerancuan sistem pengelolaan bantuan, dimana penggunaan dana

    bantuan tidak sesuai dengan shedule awal kesepakatan antara pihak

    Oxfam sebagai donor dan LKSM sebagai pihak yang dipercayakan

    untuk mengelola bantuan.

    Hal ini terbukti dari keluhan salah seorang penerima bantuan

    Nelayan di Alue Naga, tentang pembelian boat penangkapan ikan.

    “Rencananya untuk nelayan diberikan 16 boat, dalam satu boat

    itu dimiliki oleh 4 orang, harga boat sekitar Rp. 16 juta lebih, tetapi

    kata pihak pengelola bantuan bahwa tidak mungkin boat tersebut

    dikelola oleh 4 orang untuk satu unit, maka harga boat itu

    diuangkan (dibagi-bagikan) kepada masing-masing orang, yang

    rata-rata menerima sejumlah Rp. 4 juta lebih, dan dipersilahkan

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    43/56

     

    untuk menggunakan uang tersebut terhadap usaha yang

    dikehendaki.

    Menurut saya, bantuan ini sia-sia saja, karena bantuan itu tidak

    diberikan boat atau peralatan untuk melaut, sedangkan kerja

    masyarakat di sini adalah menangkap ikan, kalau tidak

    bagaimana mereka dapat mencari nafkah di laut. Oleh sebab itu

    yang diberikan Oxfam itu adalah modal kerja bukan modal usaha

    seperti ini, sehingga yang membeli boat dapat merasakan

    manfaatnya langsung.

    Menurut saya, Oxfam tidak bersalah, yang salah adalah parapihak yang berhak mengambil keputusan yang tidak menjelaskan

    kepada masyarakat bahwa bantuan ini untuk apa, dan dalam hal

    ini pihak pengelola bantuan dan masyarakat penerima sendiri

     juga bersalah, karena diberikan bantuan untuk modal usaha,

    malah dicairkan dan dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak

    direncanakan sebelumnya.

    Jika program sepeti ini ditilik dengan menggunakan kerangka

    koordinasi suatu program livelihood, maka dari kasus ini dapat

    disimpulkan, bahwa mata rantai yang menghubungkan keberlanjutan

    usaha tersebut dapat terhenti, ketika jalur koordinasi antara pihak

    donor dengan pihak komunitas pengelola bantuan tidak berjalan

    dengan baik.

    Oxfam sepatutnya meletakkan kerangka kerja yang ideal, sehingga

    dengan berbagai situasi yang ada di lapangan, mitra serta penerima

    manfaat telah memiliki panduan langkah-langkah koordinasi yang

    efektif. Oxfam sebagai penyandang dana sepatutnya harus

    mengetahui sepenuhnya tentang pengalihan penggunaan bentuk

    bantuan yang direncanakan berupa pengadaan 16 unit boat di desa

     Aue Naga, dengan cara membagi sama kepada 60 mayarakat yang

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    44/56

     

    dibantu di desa tersebut. Hal ini telah mengindentifikasikan bantuan

    tersebut tidak efektif dan tidak tepat sasaran.

    Penunjukan dan penyerahan wewenang oleh Oxfam kepada seorang

    CDO, adalah persoalan job description yang baik. Dimana dengan

    adanya officer yang ditugaskan di lapangan untuk mengobservasi

    daerah (desa) yang akan dibantu, maka upaya memetakan potensi

    sumberdaya seharusnya sudah final.

    Fungsi CDO tidak hanya merekomendasikan siapa saja yang berhak

    menerima bantuan. CDO juga harus mampu merancang mekanisme

    koordinasi berdasarkan masalah dan input dibasis komuitasmasyarakat korban, pengelola bantuan, dan pengambil kebijakan di

    organisasi Oxfam sendiri. Koordinasi yang efektif dan sederhana

    dapat membantu menyelesaikan potensi negatif dalam proses

    penyaluran bantuan.

    Persoalan keberlanjutan atau tidaknya suatu usaha yang dimodali

    oleh Oxfam tersebut, adalah persoalan penting dan mendasar yang

    harus diperhitungkan oleh setiap donor lainnya, walaupun pada

    tatanan ini masih dianggap sebagai tatanan awal bagi mereka untuk

    melanjutkan program livelihood ke masa yang berjangka panjang.

    Namun demikian persoalan keterdesakan masyarakat yang dibantu,

    haruslah menjadi topik utama, agar peluang untuk mengalihgunakan

    bantuan tersebut tidak terjadi. Tanpa kajian efek positif dan negatif

    akan keberlanjutan program pemulihan ekonomi dan mata

    pencaharian maka kemungkinan tanggunggugat tidak terjadi.

    Beberapa kelemahan pada program livelihood yang dilaksanakanOxfam di desa Alue Naga. Pertama, rendahnya pengawasan Oxfam

    terhadap koordinasi kerja yang dijalin antara CDO dengan LKSM

    selaku pengelola bantuan, sehingga dapat dilihat dari terjadinya

    perubahan jenis bantuan yang diberikan kepada masyarakat,

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    45/56

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    46/56

     

    Bantuan yang diberikan ini, seolah-olah ada permainan antara

    CDO dengan Geuchik yang diangkat sebagai pimpinan

    penyaluran bantuan. Hal ini terindikasi dari beberapa kebijakan

    sepihak mereka yang memperuntukkan bantuan modal usaha

    tersebut kepada keluarga dekat, kemudian juga kepada orang-

    orang yang kalau tidak salah saya, tidak pernah memiliki

    pekerjaan sebelumnya yang berhubungan dengan modal usaha

    yang akan dibantu tersebut.

    Saya sendiri, dalam hal ini ingin berusaha memulai perdagangan

    kembali, tapi tidak dapat dibantu, kata mereka saya sudah

    memiliki keahlian dalam perdagangan, jadi tidak perlu dibantu

    lagi. Dan banyak masyarakat di sini yang juga diperlakukan

    seperti saya. Tapi hal ini saya pikir apakah ini efektif, ketika orang

    yang belum punya kemampuan apa-apa malah diprioritaskan

    mendapat bantuan, sedangkan saya yang berkeinginan sekali

    memulai usaha katanya dalam daftar tunggu”.21 

    Terlepas dari berbagai kelemahan di atas, jika dibandingkan dengan

    keberadaan beberapa NGO yang juga bergerak dalam memberikanbantuan melalui program livelihood di Banda Aceh dan Aceh Besar,

    maka keberadaan Oxfam dinilai sangat besar artinya bagi komunitas

    masyarakat korban. Oxfam bukan saja bergerak dalam mensuplai air

    bersih, Oxfam juga aktif memberikan bantuan modal usaha bagi

    masyarakat yang ingin memulai kembali usahanya.

    Kejelian Oxfam dalam melihat kebutuhan masyarakat akan modal

    usaha yang terfokus pada program livelihood telah membantu sekitar

    62.901 orang masyarakat di seluruh daerah, baik dalam bentuk mata

    pencaharian maupun program padat karya seperti cash for work22 .

    21 Dikutip dari wawancara masyarakat desa Deah Baro yang disiarkan Radio Prima FM, tanggal 19

    September 2005, sehubungan dengan berbagai permasalahan yang terjadi pada penyaluranbantuan modal usaha.22

     Oxfam, Pelaporan Kegiatan ( Lokasi Aceh; Indonesia ), Nomor 13, 11 Agustus 2005.

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    47/56

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    48/56

     

    membentuk/menggunakan mekanisme kemitraan bersama

    lembaga yang bertugas mengurusi persatuan beca tersebut,

    sekaligus diberi tanggungjawab untuk mengelola bantuan dari

    Oxfam, sehingga bantuan yang diberikan tersebut diserahkan

    sepenuhnya untuk dikelola oleh lembaga tersebut.23 

    Walaupun dana yang telah dikucurkan oleh Oxfam untuk program

    livelihood ini mencapai 14 Milyar lebih, akan tetapi Oxfam juga

    mengakui adanya kendala-kendala yang mereka hadapi, seperti

    adanya beberapa hal yang membuat masyarakat tidak produktif.

    Terkadang masyarakat dibuat manja dengan bantuan yang

    ditawarkan oleh beberapa lembaga, seperti dalam bidang cash for

    work yang kemanfaatannya berjangka pendek. Oxfam

    mengkhawatirkan dapat mengikis semangat gotong royong di antara

    mereka, karena selalu bekerja dengan imbalan uang dan barang

    lainnya.

    Untuk mengatasi hal tersebut, melalui program sustainable livelihood

    ini diharapkan program-program tanggap darurat seperti cash for

    work atau cash for food, dengan cepat tergantikan, agar masyarakatdapat merasakan manfaat berjangka panjang.

    Harapan lain diungkapkan oleh salah seorang responden, warga

    desa yang tinggal di Barak Lamnga :

    “Sebelum tsunami saya berprofesi sebagai petani tambak

    kepiting, dan sekarag pun ingin berusaha kembali seperti dulu,

    karena tambak mulai kami rehab. Dan ada juga LSM indonesia

    yang menawarkan program untuk merehabilitasi lahan tambak

    kami secara keseluruhan, yang dilanjutkan dengan bantuan

    tabur benih, dan setelah itu mereka menawarkan pengembalian

    biaya rehab saja sebesar 30%. Akan tetapi hingga saat ini

    23 Wawancara dengan Wardah, Recovery Coordinator Oxfam Wilayah Banda Aceh dan AcehBesar, 24 Agustus 2005

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    49/56

     

    belum terlaksana, dan kami menganggap bantuan itumungkin

     juga sebagai bisnis bagi mereka.

    Untuk modal usaha, kemaren itu saya mendapat bantuan dana

    pinjaman dari Dompet Dhuafa sebesar Rp. 1.000.000,-, yang

    pengembaliannya selama 1 tahun, akan tetapi itu tidak

    mencukupi, karena dalam beberapa hal saya juga harus

    membeli peralatan usaha, seperti timbangan, faktur, kalkulator,

    keranjang, dan sebagainya untuk menjamin kelancaran usaha

    saya, dan ketertarikan konsumen agar usaha saya ini lebih

    maju.

    Rencana saya akan mengajukan bantuan kepada Oxfam,

    karena di desa ini Oxfam juga memberikan bantuan, tapi

    mereka mengatakan tidak dapat membantu saya, karena saya

    telah mendapat modal usaha dari Dompet Dhuafa, sehingga

    untuk mencukupi modal usaha saya ke depan, saya harus

    berusaha meyakinkan Oxfam akan kondisi saya, agar saya

    dapat hidup mapan dari usaha tambak yang sedang saya rintis

    kembali”.

    Berdasarkan minimal kasus-kasus di atas, dapat dirangkumkan

    bahwasanya dari sebagian bantuan yang diturunkan donor ada yang

    tepat sasaran, dan ada juga yang tidak tepat, sehingga dalam ukuran

    sustainabilities suatu program livelihood belum dapat diharapkan. Hal

    ini berkemungkinan juga disebabkan adanya asumsi masyarakat,

    bahwa untuk saat ini bantuan livelihood masih terkesan bersifat

    sementara sebagai awal untuk memulai jangka panjang, sehingga

    belum dapat menggerakkan usaha yang berkesinambungan.

     Adanya kecenderungan penggunaan bantuan berupa modal usaha

    diluar ketentuan dan rencana awal penerima manfaat dengan Oxfam,

    seperti untuk menutupi berbagai kebutuhan mendesak lainnya,

    seperti makanan, perumahan, dan hiburan. Penerima manfaat belum

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    50/56

     

    sepenuhnya didampingi dan dibekali dengan sistem pengelolaan

    bantuan usaha yang berkelanjutan dan mampu meningkatkan

    kesejahteraan keluarga.

    Pada prinsipnya Oxfam harus mempunyai kemauan dan kemampuan

    untuk melakukan interevensi, menjelaskan kembali dengan

    meyakinkan penerima manfaat bahwa bantuan livelihood bukanlah

    sekedar menghidupkan pencaharian masyarakat kembali yang

    hancur dihantam tsunami, akan tetapi merupakan upaya bersama

    agar dengan adanya pencaharian yang berkelanjutan (sustainable),

    dapat diukur peningkatan hasil dan memiliki ketahanan terhadap

    berbagai kerentanan yang datang dari berbagai faktor, baik yang

    bersifat shock, trend maupun seasonabilities.

    Pada kondisi lain dari observasi yang dilakukan kata hati institute,

    kegiatan livelihood cenderung lebih banyak diinisiasi secara cepat

    oleh NGO interasional maupun lokal. Dengan ketersediaan dana

    sendiri, NGO bertindak sebagai donatur, pelaksana. Sementara

    Pemerintah Pusat dan Daerah hanya mengawasi atau sebagai

    fasilitator saja. Misalnya tingkat Desa, perangkat Desa ( Geusyikberperan sebagai pendamping pelaksanaan livelihood oleh NGO.24 

    Pihak Dinas Tenaga Kerja Provinsi NAD menjelaskan fungsi institusi

    Pemerintah Daerah, seperti Disnaker lebih ditekankan pada

    pengawasan. Ketika NGO yang melaksanakan program livelihood

    (cash for work/food), maka fungsi Disnaker adalah mengawasi

    standar upah minimum yang mereka berikan kepada masyarakat.

    Disnaker akan menilai apakah upah pekerja sesuai dengan Upah

    Minimum Regional (UMR) atau tidak, Akan tetapi dalam memerankan

    24 Wawancara dengan Kadisnaker Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, tanggal 25

     Agustus 2005, sebagai lembaga pemerintahan yang terjun langsung mengurusi tentangketenagakerjaan, dengan menyatakan. bahwa fungsi pendamping dalam hal ini adalahmemberikan arahan, bantuan ketererangan, saran, petunjuk hukum dan teknis lainnya di manaNGO tersebut melaksanakan kegiatan livelihood, serta merespond berbagai kendala yang dihadapioleh NGO di lapangan bersama masyarakat.

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    51/56

     

    intervensi langsung pada program livelihood yang lebih mengarah

    kepada pemberdayaan ekonomi jangka panjang. Namun begitu,

    Disnaker mengakui pihaknya juga telah membantu penyaluran

    bantuan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (PER), dana bergulir, dan

    pelatihan kematangan usaha terpadu yang dilaksanakan di Badan

    Latihan Kerja (BLK) Provinsi, yang juga didanai oleh NGO

    Internasional.

    Perspektif keseteraan hak antara laki-laki dan perempuan adalah

    masalah lain yang disorot Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan

    Setda Prov NAD. Menurutnya perempuan berada pada posisi tidak

    setara dalam ketenagakerjaan. Dalam hal ini Biro Pemberdayaan

    Perempuan mengakui bahwa ketidaksetaraan itu masih terjadi, dan

    belum dapat diatasi secara lebih baik. Upaya yang dilakukan Biro

    Pemberdayaan Perempuan untuk proses ini misalnya melakukan

    kerjasama dengan berbagai NGO yang peduli terhadap

    permasalahan keperempuanan, seperti UNFPA dan Oxfam dengan

    memberikan rangkaian pelatihan keterampilan kewirausahaan

    perempuan, sekaligus dibekali dengan penguatan kapasitas

    kelompok perempuan, seperti penguatan kapasitas ketrampilan,

    keilmuan bagi kaum perempuan, yang juga merupakan bagian atau

    awal dari suatu program livelihood.25 

    25 Wawancara dengan Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Setda NAD, tanggal 26 Agustus

    2005. Biro PP berpendapat untuk mengimplementasikan program pelatihan dan pendidikankepada kaum perempuan tersebut, selain bekerjasama dengan NGO internasional, Pemerintah juga memiliki perpanjangan tangan khusus kepada Pusat Pelatihan Terpadu dan PemberdayaanPerempuan (P2TP2), yang dibina oleh Pemerintah Daerah sendiri.

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    52/56

     

    Dari hasil analisis dapat disimpulkan beberapa hal sehubungan dengan

    penanganan program livelihood di Aceh saat ini, dan juga yang sedang

    dilaksanakan oleh pihak Oxfam di Aceh Besar dan Banda Aceh.

    1. Kondisi masyarakat delapan bulan pasca bencana mulai bangkit dari

    keterpurukan, namun pemenuhan hak dan kebutuhan yang standar

    belum terpenuhi. Kondisi ini terlihat dari masih banyaknya

    masyarakat korban yang belum memiliki pekerjaan tetap. Keadaan

    ini juga turut diperparah dengan ketidakjelasan tempat tinggal

    (shelter ). Masyarakat korban masih bertahan di tenda (camp)

    pengungsian, barak (barrack) ataupun rumah tumpangan saudara

    (host family). Disisi lain, walaupun masyarakat korban masih tersebar

    di barak dan tenda pengungsiaan, mereka berharap dan

    membutuhkan akses informasi, modal usaha, lapangan pekerjaandari semua pihak. Mereka berharap bantuan dalam bentuk dana

    bergulir tidak memberatkan mereka dalam mengembalian modal.

    2. Bantuan dalam berbegai bentuk oleh berbagai NGO, negara donor,

    dan pemerintah sendiri sudah cukup banyak pasca bencana

    (emergency). Namun belum ada jaminan dan indikator keberlanjutan

     jangka panjang unuk memenuhi kebutuhan keluarga korban.

    3. Kerangka keberlanjutan (sustainabilities) yang diharapkan dari

    program livelihood tahap sekarang belum terealisasi sebagaimana

    yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti

    kondisi keterjepitan masyarakat yang membuat mereka masih hidup

    darurat serta sangat banyaknya sektor usaha yang harus digerakkan,

    mulai dari yang sifatnya kolektif maupun profesi perorangan.

    BBaabb IIVV  K K oonnkklluussii ddaann R R eekkoommeennddaassii

    K K oonnkklluussii 

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    53/56

     

    4. Adanya fakta penyalahgunaan bantuan mata pencaharian produktif

    yang diberikan oleh donor kepada Lembaga Keuangan Masyarakat.

    Hal ini terjadi karena terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat

    penerima bantuan modal usaha, sehingga bantuan dalam bentuk

    uang dialihkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tidak adanya

    pendampingan dan pengawasan yang ketat memunculkan banyak

    masalah. Salah satu kasus seperti yang terjadi di Desa Alue Naga

    dan Desa Deah Baro.

    5. Semua lembaga penyandang dana merancang strategi pemasaran

    ketika program sedang berjalan. Hal ini untuk memunculkan

    kerentaan situasi labil, kerugian dari keberlanjutan usaha ekonomi

    yang dibantu.

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    54/56

     

    1. Untuk memperkuat langkah penanganan pemulihan mata rantai

    perekonomian masyarakat melalui livelihood dalam jangka waktu

    tertentu, setiap NGO, terutama Oxfam sesegera mungkin merancang

    dan memiliki standar baku pelaksanaan program livelihood yang

    sesuai dengan pola dan prinsip kegiatan perekonomian masyarakat

     Aceh. Panduan dimaksud untuk merasionalkan perencanaan,

    pengorganisasian, implementasi, evaluasi dan pengawasan yang

    mengakomodir aspirasi partisipatif komunitas korban/penerima

    manfaat. Sehingga realisasi program dilakukan dengan tepat

    sasaran dan bertanggunggugat.

    2. Program micro finance dan pengelolaan modal usaha bergulir

    dengan memberdayakan pola lembaga keuangan mikro di tingkat

    komunitas sedapat mungkin tidak memberatkan penerima manfaat.

    3. Perencanaan livelihood oleh NGO Lokal, Internasional, Pemerintah

    Daerah haruslah memperhatikan potensial yang ada di basiskomunitas desa. Adanya pemetaan potensi, kajian sosio kultural

    masyarakat setempat. Kajian ini menjadi penting dan utama untuk

    melihat peluang dan tantangan serta mendorong tumbuhnya

    perekonomian yang berbasis kearifan masyarakat lokal. kondisi

    potensial masyarakat, kearifan lokal. Sumberdaya yang perlu

    diperhitungkan di komunitas masyarakat korban adalah :

    Sumberdaya Manusia (Human Capital), Sumberdaya

    Fisik/Insfrastruktur (Physical Capital), Sumberdaya Sosial (Social

    Capital), Sumberdaya Keuangan (Financial Capital), Sumberdaya

     Alam (Natural Capital)

    4. Pihak-pihak yang terlibat dalam penyandang modal usaha yang

    diperuntukkan untuk membantu masyarakat korban harus

    R R eekkoommeennddaassii 

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    55/56

     

    mempunyai kemauan dan kemampuan upaya mengkampanyekan,

    membangun jaringan hasil produk organik dan non timber forest

    produk (hasil non hutan), guna menyelamatkan lingkungan sekaligus

    membangun ekonomi yang berkelanjutan.

    5. Skema pemberian kredit usaha, penentuan bunga pinjaman, untuk

    penerima manfaat harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip partisipasi

    aktif penerima manfaat. Penyandang dana tidak memutuskan

    sepihak tentang proses tersebut.

    6. Semua lembaga penyandang dana mampu merancang strategi

    pemasaran hasil dari produksi penerima manfaat. Adanya strategipemasaran merupakan salah satu indikator dari livelihood.

    7. Seharusnya semua penyandang dana dan pelaksana lembaga

    mendorong usaha produktif dengan meminimalisir sedapat mungkin

    usaha konsumtif.

    8. Semua lembaga penyandang dana dan pelaksana harus mendorong

    kemandirian komunitas masyarakat korban dengan membangun

    usaha bersama dan lahan usaha kolektif.

    9. Semua lembaga penyandang dana dan pelaksana harus mempunyai

    kemauan dan kemampuan untuk mengasuransikan modal usaha

    yang disalurkan kepada personal, kelompok masyarakat korban.

    Sehingga menjamin modal usaha tidak hilang dalam kondisi dan

    waktu tertentu.

    10. Semua lembaga penyandang dana dan pelaksana mampu

    merancang strategi evaluasi, strategi menyelesaikan potensi konflik

    antar penerima modal usaha yang berpeluang timbul dalam

    kelompok usaha ekonomi bersama. Misalnya; kelompok penerima

    manfaat bukan saja sebagai pengelola modal usaha, bisa saja

    bertindak sebagai pengawas bagi kelompok lainnya.

  • 8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas

    56/56

    11. Adanya penyusunan standar akuntabilitas dari realisasi modal usaha

    secara bersama, antara penyandang dana dan penerima manfaat.

    Indikator Akuntablitas tidak hanya persoalan keuangan akan tetapi

     juga kinerja.