karsiogenesis

Download karsiogenesis

If you can't read please download the document

Upload: nenianggraeni

Post on 22-Jan-2016

8 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

proses karsinogenesis

TRANSCRIPT

306-310

Gambaran Umum Hepatokarsinogenesis pada Manusia

Karsinoma hepatoseluler adalah salah satu kanker yang paling umum berkembang pada manusia di seluruh dunia, dengan insidensi tertinggi di Afrika Sub-Sahara dan wilayah tertentu, dan lebih jarang dalam Dunia Barat. Periode laten untuk karsinoma hepatoseluler mungkin bervariasi dari beberapa tahun hingga hitungan dekade dan prognosisnya relatif buruk.

Studi epidemiologis telah mengimplikasikan virus, bahan kimia, hormon, penyakit hepar metabolik, dan sirosis sebagai faktor resiko untuk karsinoma hepatoseluler pada manusia. Asosiasi yang kuat telah tergambarkan antara infeksi virus hepatitis B kronis (HBV) dan perkembangan hepatokarsinoma, terutama region geografis dengan jumlah karier HBV yang tinggi. Sejumlah studi baru telah mengimplikasikan infeksi hepatitis C kronis dalam pathogenesis karsinoma hepatoseluler, terutama dalam individu HBV-negatif dengan penyakit heparkronis. Selain memiliki etiologi vital, perkembangan karsinoma hepatoseluler pada manusia telah terbukti terkait dengan tingginya asupan makanan terkontaminasi aflatoksin. Aflatoksin B1 adalah hepatotoksin kimiawipoten yang diproduksi oleh strain aspergillus flavusdan fungi terkait dan telah terimplikasi sebagai faktor etiologis hepatokarsinogenesis pada manusia di wilayah tertentu Afrika/sahara dan beberapa beberapa bagian Cina dan asiatenggara.

Bukti molekuler yang mensugestikan kerjasama dan alfatoksin b1 dalam pathogenesis sejumlah besar kasus karinoma hepatoseluler pada wilayah ini. Faktor environmental lain yang telah terkait terhadap peningkatan resiko perkembangan karsinoma hepatoseluler pada manusia termasuk konsumsi alcohol dalam jumlah besar, paparan terahadap thorotrast, material radioaktif yang sebelumnya digunakan pada medium kontrasradiologi, paparin kimia tertentu dilingkungan kerja, dan mungkin aktivitas rokok dan tembakau. Kontrasepsi oral berdosis tinggi secara kronis, juga steroid anabolik eksogendosis t5 tinggi juga disinyalir memainkan peranan kausatif dalam perkembangan sejumlah karsinoma hepatoseluler. Asosiasi antara perkembangan adenoma hepatic pada perempuan dengan penggunaan kontrasepsi oral telah terdokumentasi baik, dan merupakan contoh penting dari neoplasma liver jinak yang jarang , yang mana peningkatan insidensinya telah jelas terhubung dengan paparan dosis terhadap hormone sex steroid. Meskipun adenoma hepatik sangat jarang berprogresi menjadi karsinoma hepatoseluler.

Sejumlah gangguan hepar, metabolic genetic juga menjadi predisposisi perkembangan karsinoma hepato seluler pada manusia, contohya hemokromatosis, defisiensialfa 1 antitripsin dan tirosinemia.

Selain faktor-faktor tersebut, karsinoma hepatoseluler berkembang dari cedera heparkronis dan sirosis, yaitu kehancuran arsitektur hepar normal sebagai hasil fibrosis dan respon regenerative yang terganggu oleh hepatosit sehingga gambaran hepar yang terhasilkan adalah berupa sejumlah nodul hepatoseluler regenerative diselimuti oleh septa jaringani katfibrosa 80-90 % individu karsinoma hepatoseluler memilikisirosis sebagai dasar penyakit meskisirosis bukan sebagai faktor yang harus ada dalam pathogenesis kanker tersebut, mengingat karsinoma hepato seluler juga telah diobservasi dan telah dilihat pada hepar manusia tanpa sirosis. Sifat perkembanagn karsinoma hepatoseluler didukung oleh identifikasilesi precursor yang specific, terutama pada hepar yang mengalami sirosis sebagai presdiposisi. Salah satu lesi prekursor karsinoma hepatoseluler pada manusia adalah nodul hepatoseluler yang regenerative yang dapat berkembang dalam hepar dengan cidera hepar kronis dan regenerasi terganggu atau nekrosis hepatik.

Istilah hyperplasia adenomatous dan nodul makro regeneratif adalah sinonim dari hepatoseluler tersebut, yang mungkin mewakili pertumbuhan noduler hiperplastik eksesif yang dapat timbul terutama pada hepar dengan sirosis sebagai preisposisi. Nodul tersebut, adalah lesi prekanker, terlihat dari temuan focus-fokus perkembangan karsinoma hepatoseluler yang teridentifikasi secara histologis. Adanya focus karsinoma hepatoseluler dalam nodul makro regeneratif juga dirujuk sebagai nodul didalam nodul terlebih, telah ada laporan terlihatnya nodul makro regenerative mengandung fokus multiple V dalam hepar manusia tanpa sirosis.

Displasia sel hepar adalah lesi lainnya yang diusulkan sebagai precursor karsinoma hepatoseluler pada manusia dysplasia sel hepar dengan bentuk besar dan kecil telah ditemukan sebagai gambaran.

Bagaimanapun, belum ada data secara jelas membuktikan displasia dalam hepar yang mengalami sirosis sebagai lesi preneoplastik atau prekanker, dan kehadirannya mungkin hanya merefleksikan proses reaktif. Pada sisi lain, telah ada bukti yang mensugestikan bahwa displasia hepar sel kecil sebagai kandidat lesi prekursor terutama pada nodul hepatoseluler.

Masih ada kontroversi terkait klonalitas karsinoma hepatoseluler pada hepar manusia. Sebagian studi mendukung asal monoklonal untuk tumor unifokal atau multifokal, termasuk sejumlah kasus karsinoma hepatoseluler setelah prosedur bedah untuk mengangkat tumor inisial pada pasien.

Analisis pola integrasi unik DNA HBV kedalam genom seluler karsinoma hepatoseluler unifokal dan multifokal menunjukkan data yang konsisten pada tiap kasus dengan ekspansi monoklonal populasi hepatosit neoplastik. Sebagai contoh, pola-pola integrasi DNA HBV yang identik dalam nodul-nodul karsinoma hepatoseluler dalam hepar yang sama telah dditafsirkan sebagai penyebaran intrahepatik dari tumor hepar primer soliter. Disisi lain, sejumlah kasus karsinoma hepatoseluler menunjukkan beberapa pola integrasi DNA yang mengindikasikan asal tumor yang foliklonal, juga klonalitas multipel yang berbeda-beda pada hepar manusia yang sama. Telah dilaporkan bahwa status DNA HBV pada karsinoma hepatoseluler dapat berubah selama progresi dan metastasis.

Telah banyak bukti bahwa karsinoma hepatoseluler berkembang lebih sering pada pasien sirosis laki-laki daripada perempuan, faktor-faktor yang terkait dengan hal ini mungkin adalah kerentanan genetik, perbedaan hormonal dan paparan terhadap agen karsinogenik environmental. Laki-laki juga memiliki Aktivitas sintesis DNA yang lebih tinggi ketika dilakukan pengukuran pada jaringan hepar sirosis.

MODEL HEPATOKARSINOGENESIS BERTAHAP PADA TIKUS

Hepatokarsinogenesis bertahap telah diteliti pada tikus secara ekstensif, dengan variasi protokol eksperimental untuk menginvestigasi tahapan perkembangan kanker hepar.

Gambar 6 menunjukkan sejumlah protokol untuk mendemonstrasikan tahapan perkembangan hepatokarsinoma pada tikus, juga untuk menganalisis perubahan molekuler, seluler dan biokimiawi spesifik pada setiap tahapan.

Peraino dkk adalah orang pertama mendemonstrasikan tahapan operasional inisiasi dan promosi perkembangan tumor hepatik pada tumor dewasa dan menemukan bahwa pemberian fenobarbital dalam diet secara kronis pada tikus dewasa muda yang sebelumnya terpapar dosis rendah hepatotoksik dari agen hepatokarsinogen 2-asetil aminofluorene, meningkatkan insidensi tumor hepatoseluler secara bermakna dibandingkan tikus yang hanya menerima salah satu dari dua substansi tersebut.

Scherer dan Emmelot mendemonstrasikan bahwa administrasi oral dosis tunggal dari hepatokarsinogen dietilnitrosamin (DEN) dengan dosis dari 0,3-30 mg/kg kepada tikus dewasa dalam 24 jam setelah hepatektomi parsial (PH) menginduksi peningkatan linier fokus hiperplastik dari hepatosit yang berubah secara fenotip tapi tanpa karsinoma hepatoseluler.

Sejumlah peneliti tersebut menemukan bahwa saat DEN diberikan pada dosis 50 mg/kg atau lebih, linearitas pada kurva dosis-respon menghilang dan karsinoma hepatoseluler terjadi.

Hasil ini mengindikasikan bahwa : (1) pemberian DEN dibawah 30 mg/kg dosis tunggal kepada tikus terhepatektomi parsial cukup untuk menginduksi inisiasi pada hepar namun tidak cukup untuk menginduksi hepatokarsinogenesis lengkap; (2) puncak sintesis DNA pada hepatosit menyediakan kondisi ideal untuk inisisasi dan mengfiksasi pelengkapan syarat siklus pembelahan sel; (3) fokus hepatoseluler proliferatif dengan perubahan fenotip yang diproduksi oleh perlakuan tersebut mungkin merepresentasikan lesi hepatoseluler preneoplastik yang menjadi inisiasi yang dipicu oleh faktor endogen; (4) pemberian DEN dosis tunggal sebanyak 50 mg/kg atau lebih dapat memicu hepatokarsinogenesis yang lengkap.

Kedua studi tersebut adalah ondasi model karsinogenesis pada tikus yang dikembangkan oleh Hendri Pitot dkk, menggunakan pemberian DEN secara oral dosis tunggal 24 jam setelah PH sebagai inisiasi, diikuti dengan pemberian fenobarbital krosis sebagai promosi. Hasil dari studi model ini menunjukkan gambaran peningkatan lesi hepatoseluler preneoplastik yang bermakna, juga memiliki gambaran karsinoma hepatoseluler pada tikus, dibandingkan pemberian salah satu perlakuan tanpa dikombinasikan.

Penggunaan tikus neonatal juga dapat dilakukan secara efektif untuk memfasilitasi inisiasi pada hepatokarsinogenesis yang terinduksi secara kimiawi, karena hepar neonatal memiliki fraksi sel proliferatif yang jauh lebih besar.

Agen promosi tumor lainnya termasuk steroid estrogenik, asam empedu tertentu (asam deoksikolik), diklorodifeniltrikloroetan (DDT), bifenil terpoliklorinasi (PCB), alfa saklorosikloheksan, hidroksitoluen terbutilasi (BHT), sejumlah proliferator peroksisom (WY-14, 643; klofibrat), asam orotik, diet rendah kolin, klordekon (kepone), atau 2,3,7,8-tetraklorodibenzo-p-dioksin (TCDD).

Laboratorium Pitot telah melaporkan perkembangan eksperimental model inisiasi-promosi-progesi hepatokarsinogenesis pada tikus dimana inisiatornya adalah DEN dengan dosis subkarsinogenik, promoternya adalah fenobarbital secara kronis, dan progesornya adalah hidroksiurea atau ENU dosis tunggal. Pola karakteristik inisisasi, promosi dan progresi pada tabel 3 telah divalidasi dalam model hepatokarsinogenesis bertahap pada tikus yang dikembangkan oleh protokol eksperimental pada gambar 6. Observasi Pitot dkk pada model ini menunjukkan kemungkinan bahwa agen progresor dalam hepar tikus meningkatkan instabilitas kariotipik pada hepatosit preneoplastik, menghasilkan jumlah fokus hepatoseluler proliferatif dengan perubahan fenotip yang lebih besar dan bersifat independen dari promoter, meningkatkan karsinoma hepatoseluler secara signifikan saat diikuti oleh administrasi kronis agen promoter dibandingkan tikus yang hanya menerima salah satu dari perlakuan inisiasi atau promosi.

Terdapat gambaran perkembangan lesi proliferatip fokal dan noduler dari hepatosit dengan perubahan fenotip, yang bersifat sekuensial, dimana gambaran ini terlihat mendahului gambaran karsinoma hepatoseluler dengan hitungan bulan. Lesi fokal yang muncul pada tahap awal proses hepatokarsinogenik telah diklasifikasikan kedalam beberapa tipe berdasarkan karakteristik pewarnaan sitoplasmik unik dalam segmen histologis yang diwarnai oleh hematoksilin dan eosin. Gambar 7a menunjukkan fokul sel jernih yang terdiri dari hepatosit hiperplastik dengan sitoplasma jernih karena pencucian likogen yang berjumlah besar selama pemrosesan histologis. Sejumlah tipe fokus hepatoseluler preneoplastik yang terlihat adalah termasuk fokus hepatosit dengan perubahan fenotip serta kandungan glikogen yang banyak, dengan sitoplasma terwarnai oleh eosin secara intensif dan memiliki ground-glass-appearance yang jernih karena adanya retikuloendoplasma halus (fokus asidofilik/eosinofilik),

314-318

Perkembangan sejumlah besar lesi proliferatif fokal dan nodular kecil proliferasi dari hepatosit dengan perubahan fenotip, yang sebagian besarnya mengalami perubahan bentuk atau regresi setelah penghentian perlakuan 2-AAF. Namun sejumlah kecil nodul hepatoseluler berkembang dan secara histologis tak dapat dibedakan dari yang diproduksi pada model hepatokarsinogenesis kimiawi lainnya. Beberapa karsinoma hepatoseluler dapat terlihat sekian bulan setelah lengkapnya regimen DEN/2-AAF/PH.

Analisis langkah-langkah komponen model hepatosit resisten tersebut memiliki kesimpulan: (1) DEN diberikan dengan dosis karsinogenik yang cukup efektif dalam induksi inisiasi: (2) 2-AAF mencukupi untuk mensupresi setidaknya 95% hepatosit normal saat menjalani PH sebagai stimulus mitogen.(3) Hepatosit yang berubah akibat DEN memiliki resistensi terhadap efek antimitogeik perlakuan 2-AAF, dan berproliferasi secara selektif sebagai respon terhadap PH. (4) Minoritas sel teralterasi DEN sanggup berevolusi secara klonn menjadi nodul hepatoseluler persisten yang terkadang berprogresi menjadi karsinoma hepatoseluler yang jelas. Terdapat pula ketertarikan pada agen promoter tumor seperti fenobarbital dan asam orotik yang menunjukkan efek mikroinhibisi pada hepatosit normal, mensugestikanbahwa agen-agen tersebut mungkin beraksi dalam proliferasi selektif juga resistensi terhadal lingkungan.

Data telah menunjukkan sejumlah mekanisme resistensi yang ditunjukkan oleh progeni hepatosit terinisiasi oleh efek sitotoksik dan antimitogenik dari berbagai hepatotoksin dan hepatokarsinogen. Hepatosit dengan fokus dan nodul preneoplastik nyatanya memiliki defisiensi sitokrom P450 dan aktivitas oksidase lainnya. (Fase I fungsi metabolisasi), namun menunjukkan kadar bentuk isozimik glutation-S-transferase. Sejumlah besar hepatokarsinogen membutuhkan fase I, sehingga penurunan kadar aktivitas fase I pada hepatosit preneoplastik sesuai dengan fenotip resisten. Aktivitas tinggi GGT yang terlihat pada fokus dan nodul hepatoseluler terinduksi oleh berbagai hepatokarsinogen, diasumsikan mampu melindungi sel-sel tersebut dari elektrofil reaktif dengan cara meningkatkan kadar glutation intraseluler yang telah diukur dalam lesi-lesi neoplastik. Hipotesis mekanisme lain untuk fenotip hepatosit teralterasi terkait fenotip serta hepatokarsinogenesis terkait dengan perubahan permeabilitas membran plasma yang menginhibisi pengambilan hepatokarsinogen kimiawi oleh hepatosit seperti 2-AAF oleh hepatosit preneoplastik. Overekspresi P-glikoprotein (P-gp) yang terkode oleh famili gen resisten multiobat, telah ditunjukkan dalam nodul hepatoseluler terinduksi karsinogen pada karsinoma hepatoseluler hewan pengerat dan manusia. P-gp berfungsi sebagai transporter membran plasma untuk mengeluarkan agen antineoplastik dari sitoplasma sel kanker sehingga membuat sel-sel tersebut resisten terhadap kemoterapi kimiawi, terdapat kemungkinan bahwa overekspresi P-gp pada nodul hepatoseluler an TGF-overekspresi P-gp lebih relevan terhadap karsinoma hepatoseluler dibandingkan lesi prekursor awal.

Faktor Pertumbuhan

Faktor Pertumbuhan Transformasi- ditunjukkan memiliki faktor pertumbuhan autokrin positif untuk hepatosit berproliferasi. Keterlibatan TGF- dalam perkembangan karsinoma hepatoseluler didukung oleh beberapa observasi: (1) overekspresi TGF- pada hewan coba maupun urin pasien dengan karsinoma hepatoseluler: (2) tingginya insidensi perkembangan karsinoma hepatoseluler pada mencit transgenik dengan overekspresi TGF-, (3) Perkembangan cepat neoplasma hepatoseluler pada mencit transgenik ganda yang meng-overekspresikan c-myc dan TGF-: dan (5) kolaborasi hepatokarsinogen genotoksik seperti DEN dan agen promoter tumor hepatik non-genotoksik seperti PB dengan TGF- dalam mempercepat perkembangan tumor liver dan meningkatkan insidensi karsinoma hepatoseluler dalam mencit jantan transgenik TGF-

IGF-II adalah polipeptida mitogenik yang dikembangkan secara reguler dan diekspresikan pada hepar fetus dan nyaris tak terdeteksi dalam hepar pasien dewasa. Namun ekspresi IGF-II yang sering tereaktivasi selama hepatokargenesis tikus, mencit transgenik, pembawa virus hepatitis WoodChuck. Dalam model hepatokarsinogenesis Woodchuck, IGF-II berkolaborasi untuk teroverekspresi secara bersamaan dengan gen N-myc-2 dalam genom Woodchuck pada segmen histologis hepar dengan prekanker hewan coba tersebut.

TGF-1 adalah inhibitor polipeptida poten dari proliferasi hepatosit dan pada hepar yang beregenerasi mungkin berfungsi dominan sebagai faktor pertumbuhan hepar parakrin negatif. Transkrip mRNA TGF-1 dan kadar polipeptidanya telah dilaporkan mengalami kenaikan pada sejumlah karsinoma hepatoseluler manusia, dan TGF-1 dapat terdeteksi dengan pewarnaan imunohistokimiawi. Pasien dengan karsinoma hepatoseluler ditemukan mengalami kenaikan kadar TGF-1 plasma. Batas sel epitelial hepar tikus yang tertransformasikan secara neoplastik telah menunjukkan overekspresi TGF-1. Bagaimanapun juga, telah ada sejumlah bukti yang meningkat tentang hipotesis bahwa akuisisi properti tumorigenik oleh hepatosit, juga batasan sel epitelial hepar tikus tertransformasi, umumnya disertai resistensi terhadap efek antiproliferatif TGF-1.

Faktor Pertumbuhan Hepatosit/Faktor Sebar adalah stimulator polipeptida poten dari proliferasi hepatosit dan telah dicanangkan bersamaan dengan TGF- untuk menjadi efektor parakrin positif mitogenesis hepatosit in vivo menunjukkan pH atau selama sejumlah variasi cidera hepatik dengan kehilangan sel parenkim. Secara berlawanan, HGF/SF menginhibisi pertumbuhan batasan sel karsinoma. Overekspresi C-met (Reeptor HGF/SF) telah dideteksi dalam sejumlah karsinoma hepatoseluler pada manusia, meski fungsi biologisnya belum diketahui secara pasti.

Faktor pertumbuhan berperan penting dalam kemampuan mempengaruhi proliferasi hepatosit prekankerl maupun malignansi, dan juga berperan dalam tahapan-tahapan yang berbeda dalam proses hepatokarsinogenesis dengan aksi untuk mengubah diferensiasi hepatoseluler, stimulasi dan modulasi vaskularisasi tumor primer, dan mungkin meregulasi sifat invasif dan metastasis.

Protoonkogen

Terdapat variasi spesies dengan pola spesifik protoonkogen seluler yang bermutasi atau teroverekspresi selama hepatokarsinogenesis dalam studi eksperimen. Contoh : aktivasi mutasional gen famili ras, terutama c-H-ras, telah terdeteksi secara dominan dalam lesi hepatoseluler prekanker dan kanker. Mutasi titik pada awal hepatokarsinogenesis umumnya tak adekuat untuk menginduksi fenotip malignan, menunjukkan pola yang berbeda antara mencit terinduksi kronis dengan tikus yang mengalami tumor hepar secara spontan, namun tak selalu bahkan jarang terdeteksi pada setiap kasus karsinoma hepatoseluler.

Peningkatan ekspresi gen famili myc menunjukkan frekuensi bervariasi dalam hepatokarsinogenesis tahap awal maupun lanjut pada hewan coba eksperimental. Amplifikasi c-myc ditemukan pada sejumlah kecil karsinoma hepatoseluler pada manusia. Ko-ekspresi c-myc dan TGF- meningkatkan perkembangan karsinoma hepatoseluler dalam model mencit transgenik ganda dan overekspresi c-myc dan TGF- pada sel epitelial hepar tikus yang ditransformasi secara kimiawi telah terbukti berkorelasi dengan tingginya kadar tumorigenisitas. Salah satu temuan menarik dalam studi tersebut adalah aktivasi gen N-myc-2 pada lesi hepatoseluler preneoplastik dan neoplastik dari woodchuck yang diinfeksi secara eksperimental dengan virus hepatitis woodchuck. Namun aktivitas N-myc belum diobservasi dalam karsinoma hepatoseluler pada manusia terkait dengan HBV kronis.

Variabilitas spesies dalam frekuensi inaktivasi mutasional gen supresor tumor spesifik selama hepatokarsinogenesis bertahap juga telah ditemukan antara hewan coba eksperimental dan manusia. LOH pada lokus di kromosom 1p, 4q, 5q, 8p, 8q, 10q, 11p, 13q (Situs gen Rb), 16q, 17p (Situs gen p53), dan 22q telah dilaporkan untuk karsinoma hepatoseluler pada manusia, mensugestikan bahwa kehilangan beberapa gen dalam regio-regio kromosom tersebut adalah terkait dengan transformasi malignan hepatosit pada manusia. Salah satu temuan yang perlu dicatat adalah alterasi p53 (mutasi dan atau kehilangan alel) pada karsinoma hepatoseluler manusia. Sebagai contoh, sekitar 50% karsinoma hepatoseluler manusia berkembang pada pasien dari propinsi Cina dan Afrika Selatan, di mana HBV adalah endemik dan paparan diet terhafap Aflatoksin B1 sangat tinggi, ditemukan memiliki mutasi titik selektif G ke T pada kodon 259 dari gen p53. Deteksi mutasi G ke T tersebut telah telah terbukti konsisten dengan tipe kerusakan DNA yang diproduksi oleh paparan aflatoksin dosis tinggi. Namun, karsinoma hepatoseluler dari regio dengan kadar B1 yang rendah, menunjukkan frekuensi mutasi p53 G ke T kodon 249 yang lebih rendah. Sejumlah besar pasien karsinoma hepatiseluler yang menampilkan mutasi p53 G ke T pada kodon 249 secara selektif, memiliki riwayat infeksi HBV. Mutasi kodon p53 dalam karsinoma hepatoseluler dalam area terpapar aflatoksin dosis rendah telah dilaporkan memiliki prevalensi lebih tinggi pada tumor yang berdiferensiasi rendah, mensugestikan bahwa progresi tumor dalam karsinoma hepatoseluler mungkin terkait dengan inaktivasi p53.

Meski ada data yang tak bersesuaian, secara umum mutasi titik p53 tak terdeteksi dalam karsinoma hepatoseluler mencit terinduksi sejumlah agen hepatokarsinogen kimiawi, baik pada tikus, tupai, atau marmut tanah. Sejumlah penelitian lain menemukan bahwa mutasi p53 atau RB bukan merupakan karakteristik hepatokarsinogenesis.

Peran Cidera Hepar Kronis

Pada manusia, karsinoma hepatoseluler sering berkembang terkait penyakit hepar kronis dikarakterisasikan oleh cidera hepar kronis dan kehilangan sel parenkim, hepatitis jangka panjang, dan respons proliferatif berkala, berlanjut pada nodul hepatoseluler makroregeneratif pada kondisi sirosis. Francis Chisari dkk menyatakan bahwa terlepas dari etiologi, resultan berupa cidera hepar kronis, inflamasi, dan regenerasi yan terdistorsi dengam pembentukan agen mutagenik dalam hepar yang mungkin berkontribusi penting dalam transformasi neoplastik hepatosit.

Sel inflamatori memicu pembentukan ROS yang mampu merusak DNA dan membentukcDNA teroksidasi uang bersifat mutagenik. Sel inflamatori juga memediasi formasi dimetilnitrosamin (DMN) endogen, zat hepatokarsinogen poten.

Sejumlah hewan pengerat model hepatokarsinogenesis telah dikembangkan untuk investigasi peran cidera hepar, inflamasi, kematian jangka panjang serta proliferasi hepatosit terkait patogenesis karsinoma hepatoseluler, semisal model mencit transgenik alfa-antitripsin mutan Z dan HBV Bg/II-A, juga tikus LEC (Long Evans) yang memiliki kadar tembaga tinggi, dan akumulasi tembaga memiliki keterkaitan genetik yang tinggi dengan perkembangan hepatitis. Hipometilasi DNA telah diamati pada hepar tikus LEC yang mengalami perkembangan tumor, dan hipometiladi terjadi pada awal hepatokarsinogenesis terinduksi kimiawi pada tikus dengan kemampuan normal untuk memetabolisme tembaga. Hipometilasi DNA mungkin memegang peranan pada hepatokarsinogenesis, salah satunya terlihat dari perkembangan hepatokarsinoma pada tikus dengan diet tinggi zat tembaga.

Ringkasan dan Perspektif

Konsep karsinogenesis sebagai proses bertahap telah diterima dan didukung oleh studi hewan eksperimental. Studi epidemiologis serta molekuler telah menyediakan dukungan kuat untuk perkembangan kanker bertahap pada manusia.

Menggunakan model hewan coba, terdapat akses untuk mengklasifikasikan agen-agen kimia menurut perannya sebagai inisiator, promoter atau karsinogen langkap. Potensi reversibilitas promosi bahkan progresi tumor, gambaran ambang batas, hubungan epidemiologis hingga molekuler antar para prekursor prekanker merupakan target relevan untuk pendekatan prevensi kanker yang efektif.

Mendefinisikan alterasi genetik dan epigenetik terkait tahap karsinogenesis pada hewan coba dan juga manusia, sangat penting bukan hanya dari determinasi mekanisme potensial transformasi neoplastik bertahap, namun juga sasaran untuk pengembangan strategi terapeutik dan prognostik yang rasional seperti blokade kaskade faktor pertumbuhan, inhibisi angiogenesis, restorasi fungsi gen supresor tumor, mempengaruhi diferensiasi terminal pada tahap spesifik perkembangan malignansi.

Lebih jauh lagi, identifikasi titik-titik kunci mutasi spesifik dalam protoonkogen atau gen supresor tumor tertentu terkait cidera karsinogenik semisal transversi G ke T p53 pada kodon 249 individu yang terinfeksi HBV pada wilayah dengan paparan aflatoksin B1 dosis tinggi, mendukung nilai praktis epidemiologi molekuler dalam memprediksi resiko kanker.