karakteristik kokon ulat sutera liar (attacus atlas … · ringkasan nuniek setiorini. d14050864....
TRANSCRIPT
KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas)
HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG
FAKULTAS PETERNAKAN IPB
SKRIPSI
NUNIEK SETIORINI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
RINGKASAN
NUNIEK SETIORINI. D14050864. 2009. Karakteristik Kokon Ulat Sutera Liar
(Attacus atlas) Hasil Pengokonan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan
IPB. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, MS.
Pembimbing Anggota : Yuni Cahya Endrawati, SPt.
Attacus atlas merupakan salah satu spesies ulat sutera liar penghasil kokon
yang dapat diproses menjadi benang sutera. Kokon yang dihasilkan memiliki prospek
yang baik untuk dikembangkan karena nilai ekonominya yang tinggi dibandingkan
dengan kokon sutera murbei. Semakin besar kokon maka semakin banyak produksi
benangnya. Hal ini sangat ditentukan oleh kualitas kokon yang ditentukan oleh faktor
pakan, suhu, dan kelembaban. Serangga A. atlas mampu menghasilkan serat sutera
yang memiliki karakteristik yang unik dan spesifik, yaitu warna yang eksotik, benang
yang panjang, lembut, tidak mudah kusut, tahan panas, tidak menimbulkan rasa
gatal, dan anti bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan memperoleh
informasi mengenai karakteristik kokon dari ulat sutera liar (A. atlas) hasil
pengokonan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan IPB.
Materi yang digunakan adalah ulat sutera liar (Attacus atlas) instar enam
sebanyak 72 ekor. Peubah yang diamati meliputi bobot kokon utuh per empat hari
(BKU), bobot kulit kokon (BKK), persentase bobot kulit kokon (PBKK), bobot floss
(BF), persentase bobot floss (PBF), bobot pupa (BP), persentase bobot pupa (PBP),
panjang kokon (PK), diameter kokon (DK) [diameter ¼ bagian posterior (D1),
medial (D2), ¼ bagian anterior (D3)], lingkar kokon (LK) [lingkar ¼ bagian
posterior (L1), medial (L2), ¼ bagian anterior (L3)], dan jenis kelamin ngengat. Data
yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bobot kokon utuh (BKU) H4 = 4,25-8,02
g, H8 = 3,46-12,38 g, H12 = 2,19-12,12 g, H16 = 1,45-11,94 g, H20 = 1,12-11,76 g,
H24 = 1,03-11,47 g, H28 = 1,00-11,19 g, H32 = 0,82-10,86 g, H36 = 0,82-10,39 g,
H40 = 0,81-8,57 g, bobot kulit kokon (BKK) 0,10-1,54 g, bobot floss (BF) 0,08-0,58
g, bobot pupa (BP) 0,49-8,20 g, persentase bobot kulit kokon (PBKK) 4,42-23,27 %,
persentase bobot floss (PBF) 1,94-21,71 %, persentase bobot pupa (PBP) 30,44-
89,31 %, panjang kokon (PK) 41,04-68,28 mm, diameter kokon (DK) [¼ bagian
posterior (D1) 16,16-28,05 mm, medial (D2) 21,35-31,20 mm, ¼ bagian anterior
(D3) 17,34-29,10 mm], lingkar kokon (LK) [¼ bagian posterior (L1) 57,00-85,00
mm, medial (L2) 80,00-97,00 mm, ¼ bagian anterior (L3) 70,00-88,00 mm]. Dari 72
kokon yang diamati, jumlah kokon yang berhasil menjadi ngengat 40 ekor, dari 40
ekor ngengat terdapat 15 ekor (37,5%) jantan dan terdapat 25 ekor (62,5%) betina.
Kegagalan menjadi ngengat kemungkinan disebabkan oleh proses pengokonan yang
mengalami gangguan akibat perlakuan saat penimbangan bobot kokon utuh sehingga
menyebabkan kegagalan pembentukan organ bahkan dapat menyebabkan kematian.
Karakteristik kokon juga sangat dipengaruhi oleh faktor suhu dan kelembaban
lingkungan.
Kata-kata Kunci : Attacus atlas, karakteristik kokon, ngengat
ABSTRACT
Characteristics of Wild Silkworm Cocoon (Attacus atlas) Yielded at The
Field Laboratory Faculty of Animal Science, of IPB
Setiorini N., A. M. Fuah and Y. C. Endrawati
Attacus atlas is known as wild silkworm that produces cocoon, which will produces
silk. The aim of this study was to obtain information on the characteristics of wild
silkworm cocoon (Attacus atlas) yielded at the field laboratory of Animal Science
Faculty, of IPB. Parameters measured were whole cocoon weight, measured of every
four days, cocoon shell weight, percentage of cocoon shell weight, floss weight,
percentage of floss weight, pupae weight, percentage of pupae weight, cocoon
length, diameter of cocoon, circumference of cocoon, and identification of moth sex.
The results showed that cocoon characteristics varied due to harsh surrounding
environment (temperature and moisture). Whole cocoon weight every four days (H4
= 4,25-8,02 g, H8 = 3,46-12,38 g, H12 = 2,19-12,12 g, H16 = 1,45-11,94 g, H20 =
1,12-11,76 g, H24 = 1,03-11,47 g, H28 = 1,00-11,19 g, H32 = 0,82-10,86 g, H36 =
0,82-10,39 g, H40 = 0,81-8,57 g), cocoon husk weight (0,10-1,54 g), percentage of
cocoon husk weight (4,42-23,27 %), floss weight (0,08-0,58 g), percentage of floss
weight (1,94-21,71 %), pupae weight (0,49-8,20 g), percentage of pupae weight
(30,44-89,31 %), cocoon length (41,04-68,28 mm), diameter (posterior, medial and
anterior) of cocoon (16,16-28,05 mm; 21,35-31,20 mm; 17,34-29,10 mm),
circumference (posterior, medial and anterior) of cocoon (57,00-85,00 mm; 80,00-
97,00 mm; 70,00-88,00 mm). From 72 cocoons evaluated, 40 cocoons were
succeeded to become moths. Of 40 moths, there were remained 15 males and 25
females, with the sex ratio of (1: 1, 67). The failure of cocoon to be moth might be
due to environmental hazard and disturbance.
Keywords : Attacus atlas, characteristics cocoon, moth
KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas)
HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG
FAKULTAS PETERNAKAN IPB
NUNIEK SETIORINI
D14050864
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Judul Skripsi : Karakteristik Kokon Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Hasil
Pengokonan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan IPB
Nama : Nuniek Setiorini
Nrp : D14050864
Menyetujui
Pembimbing I, Pembimbing II,
(Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS.) (Yuni C. Endrawati, SPt.)
NIP. 19541018 197903 2 001 NIP. 19821109 200501 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen,
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc.)
NIP. 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian : 26 November 2009 Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Mei 1987. Penulis merupakan
anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Kusnanto dan Ibu
Suhartini.
Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Periska
Perkebunan Jakarta pada tahun 1993 dan pendidikan dasar pada tahun 1999 di SDN
Pejaten Timur 17 Pagi Jakarta. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan
pada tahun 2002 di SLTPN 163 Jakarta dan pendidikan menengah atas diselesaikan
pada tahun 2005 di SMAN 109 Jakarta.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005
melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), tahun 2006 Penulis
diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, Penulis
aktif dalam beberapa organisasi mahasiswa diantaranya Unit Kegiatan Mahasiswa
Agria Swara IPB, Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (Himaproter), Badan
Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM-D), dan terlibat dalam kegiatan-
kegiatan profesional serta kepanitian. Penulis merupakan salah satu penerima
beasiswa Gudang Garam pada tahun 2008 sampai 2009 dan berhasil mendapat
bantuan biaya penelitian serta biaya hidup selama enam bulan dari PT Wide and Pin
untuk melaksanakan tugas akhir skripsi ini.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil’aalamiin. Puji syukur kehadirat Allah swt atas segala
rahmat, karunia, hidayah serta kasih sayang-Nya sehingga Penulis diberi kemampuan
untuk menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Shalawat
dan salam disampaikan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW yang
memberikan petunjuk pada zaman yang penuh keberkahan ini. Judul penelitian ini
adalah ”Karakteristik Kokon Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Hasil Pengokonan
di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan IPB”.
Skripsi ini membahas tentang karakteristik kokon ulat sutera liar (Attacus
atlas) yang merupakan salah satu jenis ulat sutera yang menghasilkan benang sutera
yang sangat spesifik. Budidaya bertujuan untuk melestarikan A. atlas agar tidak
semakin berkurang atau punah karena selama ini benang sutera yang dihasilkan
masih tergantung dari alam. Program budidaya A. atlas memiliki prospek yang
sangat cerah karena harga benang sutera cukup tinggi. Kokon yang dihasilkan
memiliki nilai ekonomis yang tinggi dibandingkan dengan kokon sutera murbei,
disamping menghasilkan serat sutera yang memiliki banyak keistimewaan, yaitu
warna yang eksotik, benang yang panjang, lembut, tidak mudah kusut, tahan panas,
tidak menimbulkan rasa gatal, dan antibakteri. Hasil pengokonan A. atlas yang
dilakukan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan IPB diharapkan dapat
menghasilkan karakteristik kokon yang berkualitas baik.
Masukan yang konstruktif terhadap perbaikan skripsi ini diharapkan dapat
memperkaya tulisan ini sehingga dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
memerlukan ilmu dan informasi mengenai karakteristik kokon ulat sutera liar
(Attacus atlas).
Bogor, Desember 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .......................................................................................... i
ABSTRACT ............................................................................................. ii
RIWAYAT HIDUP .................................................................................. iii
KATA PENGANTAR .............................................................................. iv
DAFTAR ISI ............................................................................................ v
DAFTAR TABEL .................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ ix
PENDAHULUAN .................................................................................... 1
Latar Belakang.............................................................................. 1
Perumusan Masalah ...................................................................... 3
Tujuan .......................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4
Taksonomi dan Siklus Hidup Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) ....... 4
Morfologi ..................................................................................... 6
Telur ................................................................................. 6
Larva ................................................................................. 7
Kokon ............................................................................... 9
Pupa .................................................................................. 14
Imago ................................................................................ 16
Tanaman Teh ................................................................................ 17
METODE ................................................................................................. 19
Lokasi dan Waktu ......................................................................... 19
Materi ........................................................................................... 19
Prosedur Penelitian ....................................................................... 19
Tahap Persiapan ................................................................ 19
Tahap Pengamatan dan Pengukuran .................................. 20
Gambar Prosedur Penelitian .............................................. 21
Analisis Data ................................................................................ 22
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 27
Suhu dan Kelembaban Ruangan .................................................... 27
Bobot Kokon Utuh ........................................................................ 27
Bobot Floss .................................................................................. 31
Bobot Kulit kokon ........................................................................ 32
Bobot Pupa ................................................................................... 35
Ngengat yang Berhasil Keluar dari Kokon .................................... 36
Analisis Korelasi dan Regresi ....................................................... 37
Morfometri ................................................................................... 41
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 43
Kesimpulan................................................................................... 43
.....................................................................................................
Saran ............................................................................................ 43
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 45
LAMPIRAN ............................................................................................. 47
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Karakteristik Kulit Kokon yang Berasal dari Perkebunan Teh di
Daerah Purwakarta .................................................................. 13
Bobot Kokon Utuh (BKU) A. atlas Per Empat Hari Hasil
Pengokonan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan IPB 28
Sebaran Bobot Floss Berdasarkan Kelas dan Frekuensi (Jumlah
Kokon) .................................................................................... 32
Karakteristik Kokon A. atlas Hasil Pengokonan di Laboratorium
Lapang Fakultas Peternakan IPB ............................................. 33
Sebaran Bobot Kulit Kokon Berdasarkan Kelas dan Frekuensi
(Jumlah Kokon) ....................................................................... 34
Sebaran Bobot Pupa Berdasarkan Kelas dan Frekuensi (Jumlah
Kokon) .................................................................................... 35
Korelasi Peubah yang Diamati Terhadap Kulit Kokon Ulat Sutera
Liar (Attacus atlas) Hasil Pengokonan di Laboratorium Lapang
Fakultas Peternakan IPB .......................................................... 38
Morfometri Kokon A. atlas Hasil Pengokonan di Laboratorium
Lapang Fakultas Peternakan IPB dan yang Berasal dari
Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta .................................... 41
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Siklus Hidup Attacus atlas dari Telur sampai Imago ................ 5
Telur Attacus atlas .................................................................. 6
Ulat Sutera Liar saat Molting ................................................... 8
Larva Attacus atlas Instar I- Instar VI ...................................... 9
Proses Pengokonan Ulat Sutera Liar (A. atlas) ......................... 10
Kokon Attacus atlas ................................................................ 11
Pupa Attacus atlas ................................................................... 15
Imago Attacus atlas ................................................................. 16
Ulat Sutera Liar (A. atlas) Instar Enam .................................... 20
Prosedur Penelitian .................................................................. 21
Kokon Utuh saat Ditimbang .................................................... 23
Kulit Kokon saat Ditimbang .................................................... 23
Floss saat Ditimbang ............................................................... 24
Pengukuran Panjang Kokon..................................................... 25
Pengukuran Diameter Kokon ................................................... 25
Pengukuran Lingkar Kokon ..................................................... 26
Kandang Pemeliharaan A. atlas ............................................... 27
Kokon Utuh............................................................................. 29
Larva yang Tidak Berubah Menjadi Pupa ................................ 30
Floss A. atlas ........................................................................... 31
Kulit Kokon A. atlas ................................................................ 34
Larva yang Berubah Menjadi Pupa .......................................... 35
Ngengat A. atlas: (a) Jantan dan (b) Betina .............................. 36
Grafik Sebaran Data BKK terhadap BKU ................................ 39
Grafik Sebaran Data BKK terhadap PK ................................... 40
Grafik Sebaran Data BKK terhadap D2 ................................... 40
Grafik Sebaran Data BKK terhadap L2.................................... 41
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
Tabel Nilai Korelasi dan Nilai P (P value) Peubah yang Diamati
Terhadap Kulit Kokon Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Hasil
Pengokonan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan IPB . 48
Analisis Ragam Persamaan Regresi dari Sebaran Data BKU
terhadap BKK ........................................................................... 49
Grafik Sebaran Normal Bobot Floss (BF) ................................. 49
Grafik Sebaran Normal Bobot Kulit Kokon (BKK) ................... 50
Grafik Sebaran Normal Bobot Pupa (BP) .................................. 50
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Persuteraan alam merupakan salah satu usaha peternakan yang
mengembangkan komoditas berupa benang sutera sebagai produk utamanya. Dalam
dunia persuteraan dikenal dua macam serangga penghasil sutera, yaitu sutera murbei
dan sutera non murbei. Sutera murbei lebih dikenal dengan nama sutera Bombyx
mori, sedangkan sutera non murbei biasa disebut dengan sutera liar. Beberapa jenis
ulat sutera liar antara lain Attacus atlas dan Cricula trifenestra. Ulat sutera adalah
serangga holometabola yang mengalami metamorfosis sempurna, yang berarti bahwa
setiap generasi melewati empat stadia, yaitu telur, larva (ulat), pupa, dan ngengat.
Kokon serangga ini menghasilkan benang sutera yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Attacus atlas merupakan salah satu spesies ulat sutera liar asli Indonesia
penghasil benang sutera yang belum didomestikasi. Habitat aslinya masih di alam
terbuka dan belum ada yang membudidayakannya secara intensif. Awalnya, serangga
ini dianggap sebagai hama di perkebunan seperti perkebunan teh Walini di
Purwakarta, namun saat ini kokon A. atlas memiliki prospek yang baik untuk
dikembangkan karena nilai ekonominya tinggi dibandingkan dengan kokon ulat
sutera murbei. Budidaya hewan ini memiliki prospek yang sangat cerah mengingat
harga benang suteranya tinggi. Kokon serangga ini umumnya berwarna cokelat
terang sampai cokelat tua berdasarkan jenis pakan yang diberikan, kondisi
lingkungan, dan genetik. Salah satu keunggulan serangga ini yakni larvanya mampu
hidup dengan mengkonsumsi lebih dari 90 jenis daun tumbuhan sumber pakan yang
berasal dari 48 famili tumbuhan, diantaranya pohon kina, mahoni, jati, jambu biji,
rambutan, sirsak, alpukat, nangka (Peigler, 1989) dan berbagai pohon berkayu keras
lainnya (Kompas, 2004).
Benang dari kokon A. atlas sudah diekspor ke Jepang sebagai bahan baku
kimono, dasi, selendang, pakaian jadi, dan bahan kualitas tinggi lainnya. Harga
setiap kilogram benang yang dihasilkan mencapai Rp 1,5 juta. Harga benang sutera
saat ini di Jepang mencapai 20 kali lipat dari harga benang ulat sutera murbei. Jepang
menyukai benang dari serangga jenis ini karena lebih lembut dari benang ulat sutera
murbei (Sari, 2007). Serangga ini mampu menghasilkan serat sutera yang memiliki
banyak keistimewaan, yaitu warna yang eksotik, benang yang panjang, lembut, tidak
mudah kusut, tahan panas, tidak menimbulkan rasa gatal, dan antibakteri (Sutera
Indonesia, 2004).
Salah satu penentu kualitas sutera adalah karakteristik kokon. Bobot kokon
merupakan salah satu karakteristik yang paling penting secara komersial karena
penjualan kokon di pasaran berdasarkan dari bobotnya setelah dilakukan penentuan
grade atau kelas kokon. Semakin berat kulit kokon yang dihasilkan maka semakin
bagus kokon karena serat sutera yang dihasilkan akan semakin banyak (Indrawan,
2007). Selain itu, kualitas kokon juga didasarkan pada persentase kulit kokon dan
persentase kokon cacat (Sutera Indonesia, 2004). Kokon A. atlas yang dihasilkan dari
perkebunan teh di Purwakarta menurut Baskoro (2008) menunjukkan rataan bobot
floss 0,18±0,05 (g/kokon), bobot kulit kokon tanpa floss 0,50±0,2 (g/kokon), panjang
kokon 5,33±0,52 (cm), diameter bagian medial kokon 2,61±0,23 (cm), lingkar bagian
medial kokon 8,18±0,71 (cm). Awan (2007) melaporkan hasil penelitiannya tentang
kualitas kokon A. atlas yang dipelihara dalam ruangan dengan suhu 24-290C dan
kelembaban 68-70% serta diberi pakan daun teh yaitu bobot kokon isi pupa 7,00±1,5
(g/kokon) dan bobot kulit kokon 1,29±0,3 (g/kokon).
Pemeliharaan ulat sutera liar (A. atlas) saat ini masih dilakukan di alam
terbuka dengan tingkat kematian ulat tersebut masih 80% (Nugroho, 2007).
Lingkungan yang tidak terkontrol dapat menjadi salah satu penyebab kematian ulat
seperti hujan, angin, panas bahkan serangan predator antara lain semut dan burung.
Oleh sebab itu, daya hidup serangga ini perlu ditingkatkan agar produktivitasnya
tinggi. Produktivitas A. atlas dapat ditingkatkan melalui budidaya yang benar. Selain
itu, proses budidaya juga bertujuan untuk melestarikan A. atlas agar tidak semakin
berkurang atau punah karena selama ini untuk menghasilkan benang sutera masih
tergantung dari alam. Budidaya di dalam ruangan diharapkan dapat meningkatkan
keberhasilan menjadi kokon karena faktor-faktor lingkungan dapat dikendalikan.
Kokon yang dihasilkan melalui proses budidaya dalam ruangan terkontrol belum
banyak dilakukan. Oleh karena itu, informasi mengenai karakteristik kokon yang
mengalami pengokonan melalui proses yang dilakukan di dalam ruangan masih
terbatas. Kokon yang diamati dalam penelitian ini berasal dari ulat sutera liar A. atlas
instar enam yang diambil dari perkebunan teh di daerah Purwakarta.
Perumusan Masalah
Masyarakat luas belum mengenal serangga A. atlas. Selama ini, serangga
yang menghasilkan kokon berwarna cokelat terang masih dianggap sebagai hama di
beberapa perkebunan, tetapi di sisi lain kokonnya memiliki potensi ekonomi yang
cukup besar untuk dikembangkan. Teknik budidaya yang tepat untuk
pemeliharaannya di dalam ruangan hingga saat ini belum banyak informasinya.
Pengekspor masih mengumpulkannya dari alam atau memelihara di alam atau di luar
ruangan (Nazar, 1990). Pemeliharaan ulat sutera liar (A. atlas) yang dilakukan di
alam terbuka, memiliki tingkat keberhasilan yang masih rendah, dan tingkat
kematian ulat cukup tinggi yakni 80%. Oleh karena itu, perlu diupayakan
pemeliharaan di dalam ruangan untuk memperoleh informasi mengenai hasil
pengokonan yang terkontrol. Budidaya serangga ini dapat dilakukan mulai dari telur,
larva (ulat), dan kokon. Namun, untuk awal budidaya lebih mudah jika dilakukan
mulai dari kokon karena penanganannya yang mudah. Materi penelitan ini
menggunakan kokon ulat sutera liar (A. atlas) karena penanganan saat
pemeliharannya mudah dilakukan dan kokon serangga ini dapat menghasilkan serat
sutera yang berdaya jual tinggi.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan memperoleh
informasi mengenai karakteristik kokon dari ulat sutera liar (Attacus atlas) hasil
pengokonan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan IPB.
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Siklus Hidup Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)
Taksonomi merupakan cabang biologi yang berkaitan dengan penamaan dan
pengelompokan bentuk kehidupan yang beragam (Cambell et al., 2000). Klasifikasi
A. atlas menurut Peigler (1989), sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Saturniidae
Genus : Attacus
Spesies : Attacus atlas
Ulat sutera liar (Attacus atlas) adalah salah satu serangga nokturnal yang
berukuran besar, memiliki sayap hingga berukuran 30 cm, dan banyak ditemukan di
wilayah Asia seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia (Butterfly Arc, 2003). Daerah
penyebaran A. atlas hampir meliputi seluruh Indonesia diantaranya pulau Sumatera,
Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Awan, 2007) karena daya
adaptasi terhadap lingkungan tropis, hewan ini dapat melakukan perkawinan pada
lingkungan yang tidak terlalu dingin (suhu minimal 150C) dan tidak terlalu kering
(kelembaban minimal 50%) (Butterfly Arc, 2003). Hasil penelitian Mulyani (2008),
suhu dan kelembaban dalam ruangan selama pemeliharaan larva A. atlas adalah 24-
280C dan 46-78%. Kondisi ini sesuai untuk pemeliharaan maupun pengokonan.
Menurut Pustekkom (2005), A. atlas merupakan serangga holometabola,
yaitu serangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Tahapan dari daur serangga
yang mengalami metamorfosis sempurna adalah telur – larva – pupa – imago. Peigler
(1989) menerangkan tentang siklus hidup hewan ini sebagaimana disajikan pada
Gambar 1.
Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas dari Telur sampai Imago
(Sumber : Awan, 2007)
Awan (2007) menyatakan bahwa siklus hidup A. atlas yang diberi pakan
daun sirsak dan daun teh memiliki kesamaan dengan yang dilaporkan Peigler (1989),
kecuali pada lama setiap siklus. Siklus larva ulat sutera liar yang diberi pakan daun
teh terdiri dari enam tahapan atau stadium yang disebut dengan instar. Instar satu
berlangsung selama 4-6 hari ditandai dengan kepala berwarna hitam, instar dua
selama 4-6 hari mulai ditutupi serbuk putih, instar tiga sampai instar empat 4-6 hari
dengan perubahan yang terjadi yaitu terdapat warna merah di bagian lateral segmen
tubuhnya, instar lima selama 7-8 hari tubuhnya mulai gemuk dan instar enam
mencapai 10-12 hari terdapat bintik-bintik berwarna hitam di bagian dorsal toraks.
Larva instar enam membutuhkan waktu paling lama dibandingkan dengan
instar lain. Hal ini disebabkan pada instar enam, larva akan memasuki stadium pupa
dan akan mengokon yang secara morfologis dan fisiologis berbeda dengan stadium
yang lain (Awan, 2007). Masa inkubasi telur A. atlas yaitu 10-12 hari, lama periode
pupa adalah 20-26 hari, kemunculan imago betina dan jantan masing-masing adalah
23-26 hari dan 20-25 hari (Awan, 2007). Menurut Kalshoven (1981) dalam Awan
4-6 hari
10-12 hari
4-6 hari
4-6 hari
4-6 hari
7-8 hari
10-12 hari
20-26 hari
(2007), stadium telur berlangsung selama 1-4 minggu, larva 40-75 hari, sedangkan
pupa 4-10 minggu. Total waktu yang diperlukan A. atlas yang diberikan pakan daun
sirsak untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, mulai dari telur sampai imago
bertelur lagi memerlukan waktu 63-82 hari (Awan, 2007).
Morfologi
Telur
Telur dihasilkan oleh imago betina baik yang telah kawin maupun yang tidak
dan telur yang dapat menetas menjadi larva adalah telur yang dibuahi oleh imago
jantan. Imago betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur
yang steril yang tidak dapat menetas menjadi larva. Telur memiliki kerabang yang
halus dan biasanya diselimuti cairan berwarna kemerahan hingga cokelat yang
berfungsi untuk melekatkan telur pada daun atau ranting (Awan, 2007).
Bentuk telur A. atlas adalah oval dan agak datar atau gepeng, bentuk khas
yang dimiliki oleh semua famili Saturniidae (Peigler, 1989). Awan (2007)
menyebutkan bahwa ciri-ciri telur A. atlas secara umum berwarna putih kehijauan
dan dilindungi oleh suatu cairan berwarna kemerahan hingga cokelat. Ngengat betina
menghasilkan telur dengan jumlah ratusan yang diletakkan secara individu atau
berkelompok yang terdiri atas 3-10 butir dengan masa inkubasi telur antara 7-13 hari
(Adria dan Idris, 1996).
Gambar 2. Telur Attacus atlas (Sumber : Wikipedia, 2008)
Telur yang belum menetas dapat disimpan pada suhu ruang, tetapi suhu untuk
penyimpanan telur tidak boleh kurang dari 150C. Telur dapat menetas setelah 7 hari
telur diletakkan oleh induknya (Butterfly Arc, 2003). Telur pada umumnya
diletakkan secara individu ataupun kelompok seperti dapat dilihat pada Gambar 2.
Larva
Ulat sutera liar (A. atlas) termasuk hewan polivoltin (memiliki lebih dari tiga
generasi per tahun), artinya hewan ini dapat hidup sepanjang tahun dan termasuk
serangga polifagus yang artinya dapat memakan banyak jenis tanaman serta dapat
berada pada berbagai tanaman inang. Serangga ini dapat mengkonsumsi 90 golongan
tumbuhan dari 48 famili yang bisa dimakan (Peigler, 1989). Attacus atlas
(Lepidoptera: Saturniidae) memakan daun sirsak, jeruk, dadap, alpukat, teh, cengkeh,
mangga dan berbagai pohon berkayu keras lainnya (Kompas, 2004).
Hewan ini mengalami stadium larva dimulai dari instar satu hingga instar
enam. Pergantian kulit (molting) adalah tanda pergantian masa instar. Pergantian
kulit dilakukan pada saat pertumbuhan larva telah mencapai maksimal yang ditandai
dengan larva tidak aktif makan dan lebih banyak diam. Pergantian kulit terjadi pada
seluruh lapisan kutikula dinding tubuh, kepala, lapisan-lapisan kutikula trakea, usus
depan dan usus belakang yang dilakukan dalam bentuk potongan-potongan melalui
anusnya (Borror et al., 1992).
Larva akan berganti kulit beberapa kali pada saat-saat tertentu karena ukuran
larva yang bertambah besar. Kulit larva yang lama mengeras dan tidak mungkin lagi
untuk pertumbuhan dan perkembangan larva selanjutnya sehingga perlu berganti
kulit seperti terlihat pada Gambar 3 (Butterfly Arc, 2003). Menurut Awan (2007),
kulit yang baru terbentuk tidak tertutup oleh tepung putih tetapi tepung putih ini akan
semakin menebal dengan bertambahnya umur tipe instar. Pada setiap instar memiliki
ciri-ciri, ukuran dan perilaku larva berbeda sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan larva.
Gambar 3. Ulat Sutera Liar saat Molting (Sumber : Setiorini, 2009)
Instar satu dimulai saat penetasan telur hingga larva mengganti kulit pertama,
dengan ciri-ciri kepala berwarna hitam, bagian dorsal scolus berwarna kuning pucat
tanpa serbuk putih dan bagian ventral larva hitam kehijauan. Instar dua dicirikan oleh
scolus ditutupi serbuk putih, kepala berwarna kecoklatan, dan bagian ventral larva
masih berwarna hijau gelap. Instar tiga memiliki ciri-ciri hampir sama dengan instar
dua hanya saja ukuran tubuh lebih besar dan panjang, bubuk putih dan bercak merah
di bagian lateral segmen mendominasi warna larva, kepala berwarna merah
kecoklatan (Awan, 2007).
Pada awal instar empat terlihat ciri-ciri sebagai berikut: warna bagian dorsal
dan ventral larva hijau kebiruan, kepala berwarna kehijauan bercak merah di bagian
lateral segmen ketiga, segmen keempat dan segmen kedelapan sampai dengan
segmen kesepuluh, warnanya memudar menjadi kekuningan, di akhir instar bagian
dorsal ditutupi serbuk putih. Instar lima memiliki ciri yang hampir sama dengan
instar keempat, hal yang membedakan hanya pada ukuran tubuh yang semakin besar,
gemuk dan kokoh. Instar enam merupakan tahapan terakhir stadium larva. Larva
pada instar enam memiliki ciri-ciri pada awal instar tubuh berwarna hijau cerah
dengan bintik-bintik berwarna hitam di bagian dorsal toraks dan di sekitar anal,
gerakan lebih lamban, tubuh gemuk dan kokoh, aktivitas makan tinggi karena pada
tahapan ini larva mengumpulkan cadangan makanan sebanyak-banyaknya sebelum
membentuk kokon dan menjadi pupa. Menjelang instar enam berakhir, bagian tubuh
dominan berwarna putih di bagian dorsal, hijau kekuningan di bagian ventral dan
lateral. Larva kurang aktif makan, cenderung bergerak ke sudut-sudut untuk siap
mengokon (Awan, 2007). Perubahan stadium larva dapat dilihat pada Gambar 4.
Instar I Instar II Instar III
Instar IV Instar V Instar VI
Gambar 4. Larva Attacus atlas Instar I-Instar VI (Sumber : Wikipedia, 2008)
Pada instar enam diakhiri saat larva mulai merajut kokon untuk selanjutnya
memasuki periode pupa. Larva instar enam membutuhkan waktu paling lama
dibandingkan dengan instar yang lain yaitu berlangsung selama 10-12 hari. Hal ini
disebabkan pada instar enam akan memasuki stadium pupa yang secara morfologis
dan fisiologis berbeda dengan stadium yang lain (Awan, 2007).
Perubahan stadium larva menjadi pupa dalam metamorfosis serangga
membutuhkan waktu yang cukup lama karena terjadi pertumbuhan dan perubahan
dari organ tertentu, terjadi proses pengumpulan dan penimbunan cadangan makanan
sebagai sumber energi guna mendukung perubahan dari pupa menjadi imago, karena
dalam stadium pupa tidak terjadi aktivitas morfologi berikutnya (istirahat), sekresi
protein sutera. Hampir seluruh rongga tubuh larva instar terakhir dipenuhi oleh
kelenjar sutera. Ulat sutera menggunakan sebagian besar protein yang
dikonsumsinya selama stadium larva untuk mensintesis sutera cair (Awan, 2007).
Kokon
Pembentukan kokon dimulai ketika larva instar enam mulai mengeluarkan
cairan sutera yang dilekatkan pada wadah pemeliharaan atau pada daun yang akan
digunakan untuk melekatkan kokon (Gambar 5). Serat-serat yang terbentuk ini
berfungsi untuk menguatkan daun agar tidak jatuh ketika daun sudah tua dan
mengering, bagian ini biasanya disebut dengan floss. Setelah menguatkan daun agar
tidak jatuh saat daun sudah mengering, larva akan meneruskan pembuatan kokon
pada daun tersebut, bagian ini yang dipintal menjadi benang disebut sebagai kulit
kokon tanpa floss. Pembentukan kokon dilakukan larva hingga terbentuk kokon
sempurna (kokon utuh) yaitu floss dengan kulit kokon (Gambar 6). Posisi larva
sebelum berubah menjadi pupa biasanya dengan kepala di bagian atas, posisi ini akan
menguntungkan ketika imago keluar dari kokon karena bagian kokon yang
menghadap ke atas biasanya terdapat lubang (Awan, 2007).
Gambar 5. Proses Pengokonan Ulat Sutera Liar (A. atlas) (Sumber : Setiorini, 2009)
Tempat yang nyaman bagi ulat sutera untuk membuat kokon dapat
memudahkan ulat dan memerlukan sedikit serat-serat sutera untuk menempelkan
floss pada daun. Oleh karena itu, sisa serat sutera yang akan digunakan untuk
Ulat sutera liar
(A. atlas) instar
enam (10-12
hari)
Tingkah laku ulat
sutera liar (A.
atlas) instar enam
yang akan
mengokon
Ulat sutera liar
(A. atlas) yang
mulai merajut
serat sutera
Ulat sutera liar (A.
atlas) yang telah
tertutup oleh serat
sutera (kurang dari 6
jam)
Kokon dan pupa
ulat sutera liar (A.
atlas) (20-26 hari)
Ngengat ulat sutera
liar (A. atlas) (jantan)
yang sudah keluar dari
kokon (20-25 hari)
membuat kokon masih cukup banyak sehingga bobot kulit kokon yang dihasilkan
tinggi (Mulyani, 2008). Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), persyaratan utama
untuk tempat pengokonan adalah sebagai berikut: kuat, struktur cocok untuk
mengokon, mampu mengontrol kelembaban, memberi kemudahan untuk
memperlakukan larva pada waktu mengokon. Hasil penelitian Sakinah (2008)
menunjukkan bahwa alat pengokonan berupa kotak berdaun, kotak tanpa daun,
silinder berdaun dan silinder tanpa daun yang dicobakan terhadap ulat sutera liar
(Attacus atlas) tidak berpengaruh terhadap bobot kokon segar, bobot pupa, bobot
kulit kokon utuh, bobot floss, bobot kulit kokon tanpa floss, panjang kokon dan
diameter kokon. Jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap sebagian besar peubah,
kecuali pada bobot floss dan diameter. Pada bobot kulit kokon utuh, bobot kokon
segar, bobot pupa, bobot kulit kokon tanpa floss dan panjang kokon, jantan lebih
rendah daripada betina.
Pembentukan kokon biasanya dimulai pada sore hari. Larva akan menutup
seluruhnya kurang dari 6 jam. Larva yang telah tertutup ini masih terus merajut
kokon hingga kokon tersebut terbentuk sempurna. Hal ini terlihat pada kokon yang
masih tipis. Setelah kokon terbentuk sempurna, larva akan berdiam diri beberapa saat
kemudian mempersiapkan metamorfosa dari larva menjadi pupa. Tahap pupa
merupakan tahap yang paling penting dalam perkembangan metamorfosis dari larva
menjadi imago (Awan, 2007).
Gambar 6. Kokon Attacus atlas (Sumber : Indrawan, 2007)
Pupa mengalami organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago antara
lain pembentukan sayap, kaki, kepala, dan struktur reproduksi. Selama tahapan pupa
tidak boleh terganggu agar proses organogenesis berlangsung sempurna. Apabila
dalam proses ini mengalami gangguan maka akan menyebabkan kegagalan
pembentukan organ dan kemungkinan dapat menyebabkan kematian (Awan, 2007).
Keberadaan kokon sangat diperlukan untuk menjaga pupa dari gangguan luar. Selain
itu, kokon berfungsi untuk menjaga agar kondisi luar pupa tetap sesuai dan menjaga
dari pengaruh lingkungan yang buruk yang akan mengganggu perkembangan pupa.
Kokon yang terbentuk sempurna berbentuk elips silindris, ujungnya
membulat dan pada ujung anteriornya terdapat celah. Kokon berwarna cokelat
keemasan, kokon yang baru terbentuk masih agak lemah dan basah, dengan bantuan
pengaruh sinar matahari, gerakan angin, lama kelamaan kokon akan menjadi lebih
kuat dan lebih kering (Awan, 2007). Warna kokon bervariasi dari orange hingga
cokelat tua, tetapi biasanya berwarna cokelat muda, tekstur permukaan kesat dan
terkadang mengkerut, panjang kokonnya 5-9 cm (Peigler, 1989). Jepang menyukai
benang dari serangga jenis ini karena lebih lembut dari benang ulat sutera murbei
(Sari, 2007). Serangga ini mampu menghasilkan serat sutera yang memiliki banyak
keistimewaan, yaitu warna yang eksotik, benang yang panjang, lembut, tidak mudah
kusut, tahan panas, tidak menimbulkan rasa gatal, dan antibakteri (Sutera Indonesia,
2004).
Penilaian kualitas kokon dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Penilaian
kualitatif dapat dilakukan menurut hasil pengamatan secara langsung seperti
persentase kokon cacat, warna kokon, dan penampilan kokon. Penilaian kuantitatif
dapat dilakukan melalui hasil pengamatan terhadap uji visual dan uji laboratorium.
Uji visual (kualitas kokon) yaitu: penurunan bobot tubuh saat mengokon, bobot
kokon, bobot kulit kokon dan persentase kulit kokon. Uji laboratorium (kualitas
filamen) meliputi bobot filamen, panjang filamen dan daya urai kokon (Mulyani,
2008).
Kokon merupakan materi yang dibuat oleh ulat sutera pada fase metamorfosa
(proses pembentukan pupa) yang terdiri dari kulit kokon dan pupa. Bobot kokon
segar adalah bobot kokon yang tidak lagi mengandung floss. Bobot kokon terdiri dari
bobot kulit kokon dan bobot pupa. Hal ini merupakan faktor yang sangat penting
dipandang dari segi reeling kokon (kemampuan filamen diurai dari kokon). Kokon
berisi pupa betina biasanya lebih berat daripada kokon berisi pupa jantan. Hal ini
terkait dengan ukuran imago betina yang lebih besar dibandingkan dengan ngengat
jantan (Atmosoedarjo et al., 2000).
Karakteristik kulit kokon yang berasal dari perkebunan teh di daerah
Purwakarta disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Kulit Kokon yang Berasal dari Perkebunan Teh di
Daerah Purwakarta
Keterangan : SB : Simpangan Baku
Min-Max : Nilai minimum-maksimum
(Sumber : Baskoro, 2008)
Kulit kokon merupakan materi lapisan serat sutera yang terdiri dari serisin
dan fibroin yang berfungsi sebagai pembungkus pupa. Selebihnya mengandung
sedikit malam (wax), lemak, karbohidrat, abu, dan zat warna. Bobot kulit kokon
yaitu bobot kokon tanpa pupa dan floss. Jika bobot kulit kokon lebih besar, berarti
banyak mengandung benang sehingga baik untuk bahan pemintalan karena benang
yang dihasilkan lebih panjang dan lebih berat. Menurut Indrawan (2007), semakin
berat kulit kokon yang dihasilkan maka semakin bagus kokon karena serat sutera
yang dihasilkan akan semakin banyak. Bobot kulit kokon ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya adalah temperatur dan kelembaban selama
pemeliharaan.
No Parameter Nilai
Rataan ± SB Min-Max
1 Bobot Kulit Kokon Utuh (BKKU) (g/kokon) 0,68 ± 0,24 0,2-1,86
2 Bobot Floss (BF) (g/kokon) 0,18 ± 0,05 0,04-0,38
3 Persentase Bobot Floss (PBF) (%) 27,61 ± 6,12 8,91-57,41
4
Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss
(BKKTF) (g/kokon) 0,50 ± 0,2 0,14-1,65
5
Persentase Bobot Kulit Kokon
Tanpa Floss (PBKTF) (%) 72,39 ± 6,12 8,91-57,41
6 Panjang Kokon (PK) (cm) 5,33 ± 0,52 3,37-6,81
7 Diameter :
• 1/4 bagian anterior (D1) (cm) 2,30 ± 0,25 1,6-2,98
• Medial (D2) (cm) 2,61 ± 0,23 1,94-3,4
• 1/4 bagian posterior (D3) (cm) 2,17 ± 0,22 1,5-2,91
8
Lingkar :
• 1/4 bagian anterior (L1) (cm) 6,87 ± 0,73 2,94-8,82
• Medial (L2) (cm) 8,18 ± 0,71 4,91-10,02
• 1/4 bagian posterior (L3) (cm) 6,42 ± 0,62 4,92-8,33
Persentase kulit kokon merupakan perbandingan antara bobot kulit kokon dan
bobot kokon. Kualitas atau nilai mutu kokon akan semakin baik jika persentase bobot
kulit kokon terhadap bobot kokon utuh semakin besar. Begitu pula dengan bobot
floss kualitas atau nilai mutu kokon akan semakin baik jika persentase bobot floss
terhadap bobot kokon utuh semakin kecil (Atmosoedarjo et al., 2000). Awan (2007)
melaporkan hasil penelitiannya tentang kualitas kokon A. atlas yang diberi pakan
daun sirsak adalah sebagai berikut bobot kokon isi pupa 6,47±0,8 (g/kokon) dan
bobot kulit kokon 1,15±0,3 (g/kokon) sedangkan kualitas kokon A. atlas yang diberi
pakan daun teh yaitu bobot kokon isi pupa 7,00±1,5 (g/kokon) dan bobot kulit kokon
1,29±0,3 (g/kokon). Nilai ini berhubungan erat dengan persentase filamen kokon.
Pada B. mori, persentase kulit kokon berkisar antara 18% sampai 22%
(Atmosoedarjo et al., 2000). Menurut Indrawan (2007), kisaran bobot kokon utuh
yang dihasilkan oleh larva yang dipelihara pada tanaman pakan senggugu adalah
5,849±0,378 g dan persentase kulit kokonnya sebesar 9,828±1,475%.
Faktor yang dapat mempengaruhi bobot kulit kokon antara lain kualitas
pakan, kondisi lingkungan, jenis tanaman inang dan adanya parasit yang menginfeksi
larva sehingga dapat mempengaruhi kondisi ulat sutera dan hasil suteranya.
Persentase kulit kokon yang dihasilkan oleh larva yang diberi pakan daun teh sebesar
18,22% (Awan 2007). Hasil penelitian Baskoro (2008) yang mengamati kulit kokon
yang berasal dari perkebunan teh di Purwakarta memperlihatkan bahwa bobot kulit
kokon A. atlas paling banyak berada pada kisaran antara 0,32-0,49 g (30,8%)
sedangkan bobot floss A. atlas paling banyak berada pada kisaran antara 0,17-0,20 g
(30%) dan bobot floss yang dihasilkan sebesar 0,18±0,05 g/kokon.
Pupa
Stadium pupa merupakan stadium yang penting dalam metamorfosis dari
larva menjadi imago, dapat dilihat pada Gambar 7 (Lee, 2007). Pupa telah sempurna
apabila isi kokon bergeser jika digoyangkan dan terdapat rongga antar isi kokon
dengan kokon, sedangkan apabila kokon tidak dapat bergeser berarti isi di dalam
kokon masih berbentuk larva. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi
perkembangan pupa. Larva yang siap berpupasi memiliki tingkat kepekaan terhadap
gangguan yang meningkat, jadi apabila larva mendapat gangguan akan menyebabkan
kegagalan dalam penyelesaian pembuatan kokon bahkan kemungkinan besar akan
menyebabkan kematian. Oleh sebab itu, stadium pupa tidak boleh terganggu agar
proses organogenesis berlangsung sempurna (Awan, 2007).
Masa pupasi adalah masa pembentukan pupa atau kepompong. Suhu dan
kelembaban lingkungan yang optimal saat pembentukan kokon, masa pupasi dan
perkawinan imago yaitu berkisar antara 26-290C. Jika suhu lebih dari 30
0C atau
kurang dari 260C, maka dapat menyebabkan imago yang keluar akan menjadi cacat,
tubuhnya kerdil, sayapnya patah dan tidak bisa mengembang. Secara fisiologis
imago tersebut tidak bisa melakukan aktivitas lain, seperti terbang, berkopulasi, dan
sulit bertelur (Awan, 2007).
Gambar 7. Pupa Attacus atlas (Sumber : Lee, 2007)
Pembentukan kokon pada Bombyx mori terjadi selama kurang lebih dua hari
setelah larva memulai mengokon dan sekitar 24 jam kemudian larva telah berubah
menjadi pupa (Tazima, 1978). Organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago
antara lain sayap, kaki, kepala dan struktur reproduksi. Menurut Chapman (1998)
dalam Mulyani (2008), morfogenesis mengalami penghentian selama diapause pada
telur dan pupa, yang tercermin pada konsumsi oksigen yang berkurang. Awan (2007)
menjelaskan tentang calon-calon organ yang lain sudah dapat terlihat antara lain
calon sayap, kepala dan abdomen. Pada saat ini calon organ tersebut masih dalam
proses pembentukan organ. Pupa akan berkembang menjadi imago dan imago betina
akan segera bertelur untuk meneruskan generasinya. Mulyani (2008), sebagian besar
bobot kokon utuh A. atlas adalah bobot pupa (78,89%-82,19%), sedangkan floss
hanya sebagian kecilnya saja (1,61%-1,66%) dari total keseluruhan bobot kokon A.
atlas. Larva yang diberi pakan daun sirsak memiliki rata-rata bobot larva instar enam
12,04±1,26 g dan rata-rata bobot pupanya sebesar 7,589 g.
Imago
Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), tubuh imago terbagi menjadi tiga bagian
yaitu kepala, toraks dan abdomen, yang semuanya ditutupi oleh sisik bertumpuk.
Abdomen terdiri dari delapan segmen untuk jantan dan tujuh segmen untuk betina.
Awan (2007) menjelaskan bahwa imago keluar melalui lubang di ujung anterior
kokon yang telah terbentuk saat pembuatan kokon. Imago yang baru keluar dari
kokon biasanya masih basah oleh suatu cairan yang berwarna putih keruh, sayap
belum terbentuk sempurna. Menurut Peigler (1989) imago A. atlas memiliki
rentangan sayap terbesar diantara anggota Lepidoptera yang lain. Ukuran sayap bisa
mencapai 25-30 cm dan sayap muka dan belakang berwarna cokelat kemerahan
dengan segitiga yang transparan.
Imago merupakan ngengat dewasa yang sudah keluar dari kokon dan siap
untuk bereproduksi (Gambar 8), pada saat keluar dari kokon akan segera mencari
ranting, atau dahan dan akan mengambil posisi menggantung dengan abdomen
berada di bawah, sehingga mudah mengembangkan sayapnya. Setelah beberapa saat
sayapnya akan mulai mengembang. Sayap yang baru mengembang masih lemah dan
belum dapat digunakan untuk terbang. Beberapa jam kemudian, sayap mengembang
sempurna, akan segera mengeras dan cukup kuat digunakan untuk terbang. Pada
stadium ini imago tidak makan dan hanya hidup dalam waktu yang singkat (Awan,
2007 dan Williams et al., 2000).
Gambar 8. Imago Attacus atlas (Sumber : Moth3002, 2009)
Imago betina biasanya lebih pasif dan mengeluarkan zat pemikat atau
feromon yang dapat dideteksi beberapa kilometer oleh kemoreseptor yang berada di
antena imago jantan. Jantan dan betina kawin, setelah kawin betina akan bertelur
yang jumlahnya dapat mencapai ratusan. Setelah kawin baik jantan maupun betina
akan mati (Williams et al., 2000). Jika tidak ada udara yang bergerak normal, maka
jantan dapat mendeteksi betina (feromon) dari jarak 5 cm dan pada jarak 7 cm jantan
sudah tidak dapat mendeteksi betina. Namun, jika terdapat udara bergerak maka
jantan dapat mendeteksi betina (feromon) dari jarak 25-150 cm (Jacobson, 1972).
Imago jantan memiliki sayap dengan ujung yang lebih meruncing, memiliki
antena yang panjangnya 23-30 mm, lebar 10-13 mm (seperti sisir) dan umur imago
jantan 2-4 hari (Awan, 2007). Imago betina memiliki panjang antena 17-21 mm,
lebar 3 mm (seperti benang tebal) (Peigler, 1989) dan umur imago betina 2-10 hari
(Awan, 2007). Imago betina memiliki abdomen yang besar yang berisi telur-telur dan
ukuran tubuhnya lebih besar daripada imago jantan. Imago betina mampu
menghasilkan telur yang jumlahnya berkisar antara 100 sampai 362 butir. Imago
betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur yang steril yang
tidak dapat menetas menjadi larva (Awan, 2007).
Imago A. atlas dapat ditemui sepanjang tahun, tidak hanya pada musim-
musim tertentu saja (Peigler, 1989). Berdasarkan hasil penelitian Awan (2007) yang
larva ulat sutera liar diberi pakan daun teh, dari 100% (320 ekor) periode larva,
imago atau ngengat yang keluar berjenis kelamin jantan terdapat 5% sedangkan yang
berjenis kelamin betina terdapat 10%.
Tanaman Teh
Tanaman teh berasal dari spesies Camellia sinensis L. dan famili Theaceae,
banyak ditanam di perkebunan, dipanen secara manual, dan dapat tumbuh pada
ketinggian 200-2300 m dpl. Teh berasal dari kawasan India bagian Utara dan Cina
Selatan. Ada dua kelompok varietas teh yang terkenal, yaitu var. assamica yang
berasal dari Assam dan var. sinensis yang berasal dari Cina. Varietas assamica
memiliki daun agak besar dengan ujung yang runcing sedangkan varietas sinensis
berdaun lebih kecil dengan ujung yang agak tumpul (Dalimartha, 1999).
Bentuk pohon teh termasuk kecil/pendek karena seringnya pemangkasan
sehingga tampak seperti perdu. Bila tidak dipangkas, akan tumbuh kecil ramping
setinggi 5-10 m, dengan bentuk tajuk seperti kerucut. Batang tegak, berkayu,
bercabang-cabang, ujung ranting dan daun muda berambut halus. Daun tunggal,
bertangkai pendek, letak berseling, helai daun kaku seperti kulit tipis, bentuknya
elips memanjang, ujung dan pangkal runcing, tepi bergerigi halus, pertulangan
menyirip, panjang 6-18 cm, lebar 2-6 cm, warnanya hijau, permukaan mengilap.
Bunga di ketiak daun, tunggal atau beberapa bunga bergabung menjadi satu,
berkelamin dua, garis tengah 3-4 cm, berwarna putih cerah dengan kepala sari
berwarna kuning, harum, berbuah buah kotak, berdinding tebal, pecah menurut
ruang, masih muda hijau, setelah tua cokelat kehitaman. Pucuk dan daun muda yang
digunakan untuk pembuatan minuman teh. Perbanyakan dengan biji, stek,
sambungan atau cangkokan. Daun berbau aromatik dan sedikit pahit (Dalimartha,
1999).
Hasil penelitian Awan (2007) menunjukkan bahwa kecukupan kadar air
pakan pada daun teh (69,64%) dan kandungan nutriennya menyebabkan A. atlas
sangat menyukai tanaman ini. Pemberian daun teh pada ulat sutera A. atlas
menunjukkan keberhasilan hidup yang tinggi (100%). Untuk menyelesaikan sekali
daur hidupnya, ulat sutera ini memerlukan waktu 56-72 hari.
Daun mengandung kafein (2%-3%), theobromin, theofilin, tannin, xanthine,
adenine, minyak atsiri, kuersetin, naringenin, dan natural fluoride. Tannin
mengandung zat epigallocatechin galat yang mampu mencegah kanker lambung dan
kerongkongan. Kafein mempercepat pernapasan, perangsang kuat pada susunan
syaraf pusat dan aktivitas jantung. Theofilin mempunyai efek diuretik kuat,
menstimulasi kerja jantung dan melebarkan pembuluh darah koroner. Theobromin
terutama mempengaruhi otot (Dalimartha, 1999).
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan selama 10 bulan (Maret sampai Desember 2009)
dengan tahapan sebagai berikut: Maret sampai April 2009 persiapan penelitian, Mei
2009 pengambilan materi penelitian, Mei sampai Juli 2009 pelaksanaan penelitian,
Juli sampai November 2009 pengolahan data, penulisan skripsi, dan ujian, Desember
2009 perbaikan skripsi. Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapang Non
Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) Blok C, Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Materi
Materi penelitian yang digunakan adalah 72 ekor ulat sutera liar (Attacus
atlas) instar enam, dipilih dari 131 ekor ulat sutera liar yang diambil secara acak dari
perkebunan teh Walini di Purwakarta.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 72 buah kotak plastik
berukuran 26 x 20,5 x 9 cm3, timbangan digital (kapasitas 200 g dengan ketelitian
0,01), penggaris, termohigrometer (pengukur suhu dan kelembaban ruangan), jangka
sorong digital (pengukur panjang dan diameter kokon), benang jahit (pengukur
lingkar kokon), kain kasa, kertas pencatatan, alat tulis, kamera digital, kantong
plastik, gunting, dan label.
Prosedur Penelitian
Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan, ulat sutera liar (A. atlas) instar enam (Gambar 9) yang
berasal dari perkebunan teh Walini di Purwakarta. Ulat yang diambil tidak semuanya
instar enam sehingga hanya 72 ekor yang terpilih untuk diamati dan diukur. Serangga
ini diambil langsung dari pohon teh dengan menggunakan gunting. Tempat yang
digunakan untuk pengokonan adalah kotak plastik berukuran 26 x 20,5 x 9 cm3
sebanyak 72 buah. Kotak plastik tersebut telah dicuci bersih dan dikeringkan.
Langkah selanjutnya, ranting dan sedikit daun dimasukkan ke dalam kotak sebagai
tempat ulat mengokon. Bagian atas dari kotak yang terbuka tersebut ditutup dengan
kain kasa supaya pada saat ngengat keluar dari kokon, ngengat tidak terbang
sehingga jenis kelamin ngengat dapat teridentifikasi. Ulat sutera liar instar enam
yang telah siap mengokon dimasukkan ke dalam kotak pengokonan.
Gambar 9. Ulat Sutera Liar (A. atlas) Instar Enam
Tahap Pengamatan dan Pengukuran
Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada seluruh kokon A. atlas yang
kemudian dianalisis untuk diambil data primernya. Ulat sutera liar (A. atlas) instar
enam setiap hari diamati untuk mengidentifikasi ulat mengokon (membuat kokon).
Ulat yang telah selesai mengokon akan menghasilkan kokon matang. Kokon tersebut
kemudian dibersihkan dari daun atau ranting yang menempel. Selanjutnya, dilakukan
penimbangan bobot kokon utuh per empat hari sampai ngengat keluar dari kokon.
Data yang diambil adalah bobot kokon utuh per empat hari, bobot kulit kokon,
persentase bobot kulit kokon, bobot floss, persentase bobot floss, bobot pupa,
persentase bobot pupa, panjang kokon, diameter kokon, lingkar kokon dan jenis
kelamin ngengat.
Pengukuran terhadap kokon A. atlas yang telah kosong (ngengat yang sudah
keluar dari kokon) antara lain penimbangan bobot kulit kokon dan bobot floss. Bobot
pupa diperoleh dari selisih antara bobot kokon utuh dengan bobot kulit kokon dan
bobot floss. Kokon ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian
sampai 0,01. Pengukuran panjang, diameter dan lingkar kokon juga dilakukan setelah
ngengat keluar dari kokon dan kokon telah dipisahkan dari floss. Pengukuran
panjang dan diameter kokon dilakukan menggunakan jangka sorong digital. Lingkar
kokon diukur menggunakan bantuan benang yang kemudian diukur dengan
menggunakan penggaris. Identifikasi ngengat jantan/betina dilakukan dengan cara
melihat antena, yaitu antena yang lebar menandakan ngengat berjenis kelamin jantan,
antena yang kecil dan menyirip menandakan ngengat berjenis kelamin betina.
Gambar 10. Prosedur Penelitian
Identifikasi jenis kelamin ngengat
Penimbangan kokon (floss dan
kulit kokon)
Pengukuran panjang, diameter
dan lingkar kokon
Karakteristik
Kokon
Ngengat belum keluar dari kokon
Penimbangan bobot kokon utuh
per empat hari hingga ngengat
keluar dari kokon (40 hari)
Ngengat keluar dari kokon
Pengambilan ulat sutera liar
A.atlas
Persiapan tempat pengokonan
Penempatan ulat dalam kotak
plastik
Penimbangan bobot kokon utuh per empat hari hingga ngengat keluar dari
kokon
Ulat mengokon pada daun atau ranting
dalam kotak Kokon
dibersihkan dari
daun atau ranting
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk
mengetahui karakteristik fisik kokon meliputi bobot kokon utuh yang diukur setiap
empat hari, bobot kulit kokon, bobot floss, bobot pupa, panjang kokon, diameter
kokon, dan lingkar kokon dengan menggunakan Statistix 8. Hasil analisis data
disajikan dalam bentuk tabel yang berisi rataan masing-masing peubah yang diamati
dan nilai minimum-maksimum. Bobot kulit kokon, bobot floss, bobot pupa
dikelompokkan menjadi tujuh kelompok untuk mengetahui pola penyebaran data,
pengelompokkan dilakukan dengan rumus [Kelompok = 1 + 3,33 Log n…(n =
jumlah sample)] (Walpole, 1992).
Selanjutnya, untuk mengetahui hubungan antar peubah dilakukan uji korelasi
dan uji regresi antara peubah yang diamati terhadap bobot kokon utuh dengan
menggunakan Minitab 14. Rumus korelasinya adalah sebagai berikut (Mattjik dan
Sumertajaya, 2006):
Keterangan :
r = koefisien korelasi
X = peubah x
Y = peubah y
N = pengamatan ke- / jumlah sample
Uji regresi berguna untuk menelaah hubungan antara sepasang peubah atau
lebih terutama untuk menelusuri pola hubungan yang modelnya belum diketahui
dengan sempurna sehingga dalam penerapannya lebih bersifat eksploratif dan
pengukurannya lebih pada pendekatan empiris. Bobot kulit kokon A. atlas yang
berasal dari kandang modifikasi (kandang C) memiliki korelasi dengan peubah-
peubah yang lain yang bersifat positif atau pun negatif. Rumus regresinya sebagai
berikut (Gaspersz, 1994):
Y = a + b X
a = – b
Keterangan:
Y = peubah tak bebas
X = peubah bebas
a = intersep (perpotongan dengan sumbu x)
b = gradien (kemiringan garis)
= rataan nilai y
= rataan nilai x
n = pengamatan ke-/jumlah sampel
Jumlah ngengat yang keluar dihitung menggunakan persentase untuk
mengetahui ratio jenis kelamin betina/jantan.
Peubah yang diamati pada morfometri kokon adalah sebagai berikut:
1. Bobot Kokon Utuh (BKU) (g)
Kokon utuh adalah kokon yang masih terdapat floss, kulit kokon, dan pupa.
Bobot kokon utuh ditimbang dengan menggunakan timbangan digital setiap
empat hari sekali sampai ngengat keluar dari kokon.
Gambar 11. Kokon Utuh Saat Ditimbang
2. Bobot Kulit Kokon (BKK) (g)
Kulit kokon adalah kokon yang sudah tidak terdapat floss dan pupa. Bobot
kulit kokon ditimbang dengan menggunakan timbangan digital.
Gambar 12. Kulit Kokon Saat Ditimbang
3. Persentase Bobot Kulit Kokon (PBKK) (%)
Persentase bobot kulit kokon dihitung berdasarkan bobot kulit kokon dibagi
dengan bobot kokon utuh dan dikalikan 100%.
PBKK = x 100%
Keterangan : BKK = bobot kulit kokon (g)
BKU = bobot kokon utuh (g)
4. Bobot Floss (BF) (g)
Floss adalah serabut serat yang terdapat di bagian terluar dari kokon. Floss
dipisahkan dari kulit kokon. Bobot floss ditimbang dengan menggunakan
timbangan digital.
Gambar 13. Floss Saat Ditimbang
5. Persentase Bobot Floss (PBF) (%)
Persentase bobot floss dihitung berdasarkan bobot floss dibagi dengan bobot
kokon utuh dan dikalikan 100%.
PBF = x 100%
Keterangan : BF = bobot floss (g)
BKU = bobot kokon utuh (g)
6. Bobot Pupa (BP) (g)
Pupa adalah calon ngengat yang berada di dalam kokon. Bobot pupa
diperoleh dari selisih antara bobot kokon utuh dengan bobot kulit kokon dan
bobot floss.
7. Persentase Bobot Pupa (PBP) (%)
Persentase bobot pupa dihitung berdasarkan bobot pupa dibagi dengan bobot
kokon utuh dan dikalikan 100%.
PBP = x 100%
Keterangan : BP = bobot pupa (g)
BKU = bobot kokon utuh (g)
8. Panjang Kokon (PK) (mm)
Panjang kokon diukur mulai dari bagian ujung posterior hingga bagian ujung
anterior dari kokon. Panjang kokon diukur dengan menggunakan jangka
sorong digital.
Gambar 14. Pengukuran Panjang Kokon
9. Diameter Kokon (mm)
Diameter diamati pada:
¼ bagian posterior (D1)
bagian medial (D2)
¼ bagian anterior (D3)
Diameter kokon diukur menggunakan jangka sorong digital.
D1
D3
D2
Gambar 15. Pengukuran Diameter Kokon
10. Lingkar Kokon (mm)
Lingkar kokon diamati pada :
¼ bagian posterior (L1)
bagian medial (L2)
¼ bagian anterior (L3)
Lingkar kokon diukur menggunakan benang jahit kemudian benang tersebut
direntangkan pada penggaris untuk melihat ukuran dari lingkar kokon
tersebut.
Gambar 16. Pengukuran Lingkar Kokon
11. Identifikasi Ngengat Jantan/Betina
Identifikasi ngengat jantan/betina dilakukan setelah ngengat keluar dari
kokon. Antena yang lebar menandakan jenis kelamin jantan sedangkan
antena yang kecil dan menyirip menandakan jenis kelamin betina.
L3
L2
L1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu dan Kelembaban Ruangan
Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari
22,40C dan 78,6%, siang hari 27,4
0C dan 55%, sore hari 25
0C dan 75%. Hasil ini
sejalan dengan laporan Awan (2007), bahwa suhu dan kelembaban dalam ruangan
yang cocok selama pemeliharaan larva A. atlas maupun pengokonan adalah 24-290C
dan 68-70%. Namun data kelembaban bervariasi. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa suhu pada pagi hari lebih rendah, pada siang dan sore hari masih termasuk ke
dalam kisaran suhu hasil penelitian Awan (2007).
Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas
Pemeliharaan ulat sutera sangat dipengaruhi oleh iklim di lokasi
pemeliharaan antara lain suhu, kelembaban, aliran udara, dan cahaya. Faktor tersebut
berkaitan dengan kokon yang dihasilkan. Keadaan ruangan atau kandang yang
digunakan dalam pemeliharaan yaitu kandang beratapkan genting, terdapat plafon
pada bagian atap di dalam kandang, sebagian besar dinding terbuat dari kawat kasa
dan hanya sedikit pada bagian bawah yang terbuat dari tembok. Hal ini dapat
membuat sirkulasi udara di dalam kandang lancar (Gambar 17). Bila ventilasi baik
maka kisaran suhu dan kelembaban yang stabil menjadi lebih luas.
Bobot Kokon Utuh
Kokon utuh merupakan kokon yang terdiri dari floss, kulit kokon dan pupa.
Penimbangan terhadap bobot kokon utuh dilakukan untuk mengetahui penurunan
bobot tubuh larva selama proses mengokon hingga terbentuk kokon sempurna.
Berdasarkan data pada Tabel 2, rata-rata bobot kokon utuh (H4 hingga H8)
mengalami kenaikan sebesar 0,70 g/kokon. Rataan bobot kokon utuh mulai
mengalami penurunan pada H8 hingga H40, terutama setelah H24. Hal ini
disebabkan larva sudah mulai mengalami proses organogenesis yaitu sudah mulai
terjadi pembentukan organ-organ imago antara lain pembentukan sayap, kaki, kepala
dan struktur reproduksi. Perubahan ini dilakukan secara bertahap dimulai dari ekor
yang berubah menjadi abdomen imago (ngengat) dan selanjutnya berubah hingga
membentuk pupa sempurna. Penurunan bobot kokon utuh yang tinggi terjadi pada
H24 hingga H28 yaitu dari 5,74 ± 2,75 g/kokon menjadi 4,53 ± 3,23 g/kokon. Hal ini
disebabkan sebagian besar pupa sudah keluar menjadi ngengat pada H24 sehingga
dapat mempengaruhi rata-rata bobot kokon utuh. Selanjutnya, bobot kokon utuh
terus mengalami penurunan hingga H40 (3,27 ± 2,33 g/kokon).
Tabel 2. Bobot Kokon Utuh (BKU) A. atlas Per Empat Hari Hasil
Pengokonan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan IPB
No. Parameter (g/kokon) Nilai
Rataan±SB Min-Max KK
-------------- g ------------ ----%---
1. Bobot Kokon Utuh (BKU) H4 6,37±1,07 4,25- 8,02 16,80
2. Bobot Kokon Utuh (BKU) H8 7,07±2,17 3,46-12,38 30,69
3. Bobot Kokon Utuh (BKU) H12 6,59±2,30 2,19-12,12 34,90
4. Bobot Kokon Utuh (BKU) H16 6,31±2,48 1,45-11,94 39,30
5. Bobot Kokon Utuh (BKU) H20 6,01±2,62 1,12-11,76 43,59
6. Bobot Kokon Utuh (BKU) H24 5,74±2,75 1,03-11,47 47,00
7. Bobot Kokon Utuh (BKU) H28 4,53±3,23 1,00-11,19 71,00
8. Bobot Kokon Utuh (BKU) H32 4,01±3,12 0,82-10,86 77,00
9. Bobot Kokon Utuh (BKU) H36 3,63±2,77 0,82-10,39 76,00
10. Bobot Kokon Utuh (BKU) H40 3,27±2,33 0,81- 8,57 71,25
Keterangan : SB = Simpangan baku, Min-Max = Nilai minimum-maksimum , KK = Koefisien
keragaman
H4 = Hari ke-4 H24 = Hari ke-24
H8 = Hari ke-8 H28 = Hari ke-28
H12 = Hari ke-12 H32 = Hari ke-32
H16 = Hari ke-16 H36 = Hari ke-36 H20 = Hari ke-20 H40 = Hari ke-40
Selang atau jarak antara nilai minimum dan maksimum bobot kokon utuh
pada H4 antara 4,25-8,02 g/kokon, H8 antara 3,46-12,38 g/kokon, H12 antara 2,19-
12,12 g/kokon, H16 antara 1,45-11,94 g/kokon, H20 antara 1,12-11,76 g/kokon,
H24 antara 1,03-11,47 g/kokon, H28 antara 1,00-11,19 g/kokon, H32 antara 0,82-
10,86 g/kokon, H36 antara 0,82-10,39 g/kokon, H40 antara 0,81-8,57 g/kokon.
Selang atau jarak minimum terdapat pada H40 sebesar 0,81 g/kokon sedangkan
selang atau jarak maksimum terdapat pada H8 sebesar 12,38 g/kokon. Hal ini
diasumsikan pada H40 pupa banyak mati (belatungan) ataupun yang masih dalam
bentuk larva, sedangkan pada H8 terlihat masih banyak larva yang belum berubah
menjadi pupa walaupun sudah membentuk kokon sehingga dapat mempengaruhi
bobot kokon utuhnya. Tabel 2 juga menunjukkan nilai keragaman bobot kokon utuh
yang tinggi. Hal ini tidak bisa dihindari karena materi yang digunakan berasal dari
alam dan belum terdomestikasi sehingga tingkat keragamannya tinggi. Hasil
penelitian ini mengacu pada pemeliharaan ulat sutera liar (A. atlas) yang masih
dilakukan di alam.
Salah satu karakter sutera yang penting untuk penilaian kualitas adalah
karakteristik kokon. Bobot kokon merupakan karakteristik yang paling penting bila
ditinjau dari aspek komersial karena penjualan kokon di pasaran berdasarkan dari
bobot. Semakin berat kulit kokon yang dihasilkan maka semakin bagus kokon karena
serat sutera yang dihasilkan akan semakin banyak (Indrawan, 2007). Perilaku larva
saat mengokon dapat mengakibatkan penurunan terhadap bobot tubuh larva. Gambar
18 merupakan gambar dari kokon utuh.
Gambar 18. Kokon Utuh
Hasil pemeriksaan kokon menunjukkan bahwa sebagian besar dari kokon
tersebut masih dalam bentuk larva dengan ukuran tubuhnya mengecil, berbentuk
pipih, berwarna hitam, dan belum sempat memasuki masa pupa untuk melakukan
perubahan bentuk tubuh (Gambar 19). Kemungkinan larva kekurangan oksigen yang
diperlukan untuk bernafas sehingga menghambat perubahan menjadi pupa. Energi
yang ada telah digunakan untuk proses mengokon dan membuat floss serta kulit
kokon, sehingga saat larva ini seharusnya sudah mulai mengalami organogenesis,
larva hanya semakin mengecil tetapi tidak merubah bentuk tubuh. Selain itu, ada
pengaruh suhu dan kelembaban lingkungan serta stress akibat sering mendapat
perlakuan saat penimbangan. Awan (2007) menjelaskan bahwa bobot kokon berisi
pupa pada generasi pertama larva A. atlas yang diberi pakan daun teh dengan
pemeliharaan dilakukan di dalam ruangan (kisaran suhu 24-290C dan kelembaban
68-70%) sebesar 7,00±1,5 g/kokon dimana masa pupasi 20-26 hari sedangkan rata-
rata bobot kokon utuh hasil penelitian ini dengan kisaran rata-rata suhu pemeliharan
22,4-27,40C dan rata-rata kelembaban 55-78,6% serta masa pupasi 28 hari diperoleh
sebesar 4,53±3,23 g/kokon. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh larva yang
digunakan pada penelitian ini berasal dari alam sehingga kualitasnya masih beragam
dan larva yang digunakan ini belum dipelihara di dalam ruangan sehingga kondisinya
tidak terkontrol, berbeda halnya dengan Awan (2007) yang sudah melakukan
pemeliharaan di dalam ruangan mulai dari telur.
Gambar 19. Larva yang Tidak Berubah Menjadi Pupa
Penurunan bobot terjadi karena pada saat akan mengokon, larva berputar-
putar terlebih dahulu untuk mencari tempat mengokon yang baik kemudian menetap
di tempat yang dipilih dan membuat lapisan kokon tipis atau biasa disebut dengan
floss. Tempat untuk mengokon sangat mempengaruhi kenyamanan pengokonan,
bentuk dan kekakuan daun, serta kesesuaian tempat mengokon.
Pembentukan kokon biasanya dimulai pada sore hari. Larva akan menutup
seluruhnya kurang dari 6 jam (Awan, 2007). Larva yang telah tertutup ini masih terus
merajut kokon hingga kokon tersebut terbentuk sempurna. Hal ini terlihat pada
kokon yang masih tipis. Setelah kokon terbentuk sempurna, larva akan berdiam diri
beberapa saat kemudian mempersiapkan metamorfosa dari larva menjadi pupa.
Tahap pupa merupakan tahap yang paling penting dalam perkembangan
metamorfosis dari larva menjadi imago. Menurut Tazima (1978), pembentukan
kokon pada Bombyx mori terjadi selama kurang lebih dua hari setelah larva memulai
mengokon dan sekitar 24 jam kemudian larva telah berubah menjadi pupa.
Bobot Floss
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bobot floss yang dihasilkan lebih
besar dibandingkan dengan hasil penelitian Baskoro (2008) yaitu sebesar 0,23±0,09
g/kokon sedangkan hasil penelitian Baskoro (2008) adalah 0,18±0,05 g/kokon. Hal
ini kemungkinan disebabkan larva mengalami stress yang tinggi akibat perpindahan
tempat dari habibat aslinya, adanya perlakuan penimbangan yang dilakukan setiap
empat hari sekali, perbedaan kondisi lingkungan yaitu suhu dan kelembaban.
Gambar floss dapat dilihat pada Gambar 20. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000),
persyaratan utama untuk tempat pengokonan adalah sebagai berikut: kuat, struktur
cocok untuk mengokon, mampu mengontrol kelembaban, memberi kemudahan
untuk memperlakukan larva pada waktu mengokon.
Gambar 20. Floss A. atlas
Persentase bobot floss (PBF) terhadap bobot kokon utuh dihitung karena
menurut Atmosoedarjo et al. (2000), kualitas atau nilai mutu kokon semakin baik
jika persentase bobot floss terhadap bobot kokon utuh semakin kecil. Semakin kecil
persentase bobot floss semakin baik kualitas kulit kokonnya karena serat yang
terbuang untuk membentuk floss digunakan untuk membentuk kulit kokon yang akan
dipintal menjadi benang. Kokon yang baik adalah kokon yang menghasilkan banyak
serat sutera.
Tabel 3. Sebaran Bobot Floss Berdasarkan Kelas dan Frekuensi (Jumlah
Kokon)
No Selang Kelas (g) Frekuensi Persentase (%)
1 0,08-0,15 13 18,1
2 0,16-0,23 33 45,8
3 0,24-0,31 14 19,4
4 0,32-0,39 10 13,8
5 0,40-0,47 1 1,4
6 0,48-0,55 0 0
7 0,56-0,63 1 1,4
Bobot floss A. atlas berdasarkan Tabel 3 paling banyak (45,8%) berada pada
kisaran antara 0,16-0,23 g sedangkan hasil penelitian Baskoro (2008) mem-
perlihatkan frekuensi bobot floss Attacus atlas, paling tinggi berada pada kisaran
antara 0,17-0,20 g adalah 30%. Kisaran bobot floss pada selang kelas yang rendah
(no.1) sangat diharapkan karena semakin kecil ukuran floss semakin tinggi kualitas
kokon dengan semakin banyak serat sutera yang dihasilkan.
Bobot Kulit Kokon
Karakteristik kokon hasil pengokonan di laboratorium lapang Fakultas
Peternakan IPB dapat dilihat pada Tabel 4 yang menunjukkan bahwa bobot kulit
kokon memiliki rataan sebesar 0,62±0,35 g/kokon. Baskoro (2008) yang
menggunakan kulit kokon dari perkebunan teh di Purwakarta menyatakan bahwa
bobot kulit kokon memiliki rataan sebesar 0,5±0,2 g/kokon. Bobot kulit kokon A.
atlas rata-rata yang dipelihara di dalam ruangan dengan pemberian pakan daun teh
adalah 1,29±0,3 g/kokon (Awan, 2007). Hal ini menjelaskan bahwa A. atlas yang
dipelihara di dalam ruangan memiliki bobot kulit kokon yang lebih besar
dibandingkan di alam. Faktor yang dapat mempengaruhi antara lain kualitas pakan,
kondisi lingkungan, jenis tanaman inang dan adanya parasit yang menginfeksi larva
sehingga dapat mempengaruhi kondisi ulat sutera dan hasil suteranya (Awan, 2007).
Tabel 4. Karakteristik Kokon A. atlas Hasil Pengokonan di Laboratorium
Lapang Fakultas Peternakan IPB
No. Parameter Nilai
Rataan±SB Min-Max
1. Bobot Kulit Kokon (BKK) (g/kokon) 0,62±0,35 0,10- 1,54
2. Persentase Bobot Kulit Kokon
(PBKK) (%)
11,95±3,38 4,42-23,27
3. Bobot Floss (BF) (g/kokon) 0,23±0,09 0,08- 0,58
4. Persentase Bobot Floss (PBF) (%) 5,82±3,86 1,94-21,71
5. Bobot Pupa (BP) (g/kokon) 3,77±1,99 0,49- 8,20
6. Persentase Bobot Pupa (PBP) (%) 71,74±9,42 30,43-89,31
7. Panjang Kokon (PK) (mm) 54,30±5,74 41,04-68,28
8. Diameter
¼ bagian posterior (D1) (mm)
Medial (D2) (mm)
¼ bagian anterior (D3) (mm)
22,26±2,60
25,65±2,38
22,92±2,45
16,16-28,05
21,35-31,20
17,34-29,10
9. Lingkar
¼ bagian posterior (L1) (mm)
Medial (L2) (mm)
¼ bagian anterior (L3) (mm)
70,42± 7,48
80,70±10,69
72,19±12,81
57,00-85,00
80,00-97,00
70,00-88,00
Keterangan : SB :Simpangan baku
Min-Max : Nilai minimum-maksimum
Bobot kulit kokon yang diperoleh dari penelitian ini diasumsikan dipengaruhi
oleh temperatur dan kelembaban selama pemeliharaan, adanya perlakuan
penimbangan yang dilakukan setiap empat hari sekali sehingga dapat menyebabkan
larva stress saat mengokon. Hal ini berpengaruh terhadap kinerja hormon sehingga
proses pengokonan tidak berlangsung sempurna dan serat sutera yang dihasilkan
kurang maksimal. Kulit kokon adalah bagian dalam setelah lapisan terluar (floss)
seperti terlihat pada Gambar 21. Kulit kokon merupakan bagian yang biasanya
diserat menjadi benang. Semakin berat kulit kokon yang dihasilkan maka akan
semakin bagus.
Selang atau jarak nilai minimum dan maksimum bobot kulit kokon cukup
besar berkisar antara 0,10-1,54 g/kokon. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi awal
atau asal larva ulat sutera liar yang beragam karena pengambilan di alam dilakukan
secara acak dan hanya menentukan faktor instar yaitu larva yang sudah instar enam.
Kondisi larva yang sudah mati sebelum larva tersebut menyelesaikan pembuatan
kokon dengan sempurna juga dapat mempengaruhi nilai selang tersebut.
Gambar 21. Kulit Kokon A. atlas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase bobot kulit kokon 11,95%,
hasil ini lebih rendah dari hasil penelitian Awan (2007) yakni 18,22%. Menurut
Atmosoedarjo et al. (2000), beberapa faktor yang berpengaruh antara lain temperatur
dan kelembaban selama pemeliharaan. Faktor yang mempengaruhi hasil persentase
bobot kulit kokon pada penelitian ini selain faktor lingkungan (suhu dan
kelembaban) adalah faktor penanganan saat dilakukan penimbangan setiap empat
hari sekali yang dapat menyebabkan larva mengalami stress sehingga bobot kulit
kokon yang dihasilkan kurang maksimal. Gangguan yang terjadi pada saat larva
mengokon dapat menyebabkan kegagalan mengokon bahkan dapat menyebabkan
kematian pada larva.
Pengkelasan bobot kulit kokon (BKK) mengacu pada Walpole (1992), dibagi
menjadi tujuh kelas sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Sebaran Bobot Kulit Kokon Berdasarkan Kelas dan Frekuensi
(Jumlah Kokon)
No Selang Kelas (g) Frekuensi Persentase (%)
1 0,1-0,31 18 25
2 0,32-0,53 11 15,3
3 0,54-0,75 20 27,7
4 0,76-0,97 8 11,1
5 0,98-1,19 12 16,6
6 1,20-1,41 2 2,7
7 1,42-1,63 1 1,4
Sebaran bobot kulit kokon bervariasi antar kelas dengan frekuensi tertinggi
pada selang kelas 0,54-0,75 g (27,7%). Hasil yang diharapkan yaitu bobot kulit
kokon berada pada kisaran selang kelas yang besar (no. 7). Hal ini disebabkan
permintaan terhadap kulit kokon di pasaran dilihat dari bobotnya karena semakin
berat bobot kulit kokon akan menghasilkan serat sutera yang semakin banyak.
Bobot Pupa
Bobot pupa yang dihasilkan pada penelitian ini sebesar 3,76±1,99 g/kokon
dengan persentase 71,74±9,42%. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian
Mulyani (2008) dalam hal persentase bobot pupa. Hal ini berhubungan dengan jenis
pakan yang diberikan, kondisi lingkungan, dan manejemen pemeliharaan yang
dilakukan. Bobot kokon utuh A. atlas terdiri dari bobot pupa (78,89-82,19%) dan
floss (1,61-1,66%) dari total keseluruhan bobot kokon A. atlas (Mulyani, 2008).
Berikut adalah gambar larva yang telah berhasil berubah menjadi pupa, namun pupa
ini tidak keluar menjadi ngengat karena pupa telah mati (Gambar 22).
Gambar 22. Larva yang Berubah Menjadi Pupa
Tabel 6. Sebaran Bobot Pupa Berdasarkan Kelas dan Frekuensi (Jumlah
Kokon)
No Selang Kelas (g) Frekuensi Persentase (%)
1 0,49-1,59 17 23,6
2 1,60-2,70 7 9,7
3 2,80-3,90 13 18,1
4 4,00-5,10 10 13,8
5 5,20-6,30 18 25
6 6,40-7,50 5 6,9
7 7,60-8,70 2 2,7
Pengkelasan bobot pupa (BP) dilakukan untuk mengetahui sebaran dari bobot
pupa (BP) A. atlas hasil pengokonan di laboratorium lapang Fakultas Peternakan
IPB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot pupa A. atlas paling banyak berada
pada kisaran 0,49-1,59 g (23,6%) dan 5,20-6,30 g (25%).
Ngengat yang Berhasil Keluar dari Kokon
Ketika masa pupasi telah berakhir, ngengat A. atlas akan muncul dari kokon,
umumnya pada malam hari. Ngengat keluar dari pangkal/anterior kokon, berwarna
coklat kekuning-kuningan dengan gambaran berwarna cokelat muda atau putih pada
kedua pasang sayap. Menurut Peigler (1989) ngengat A. atlas memiliki rentangan
sayap terbesar diantara anggota Lepidoptera lainnya. Secara keseluruhan ukuran
betina lebih besar dari jantan. Ngengat yang muncul dari kokon umurnya pendek dan
tidak makan.
Pada Gambar 23 terlihat pupa yang berhasil keluar menjadi ngengat berjenis
kelamin jantan dan betina. Hal ini diindikasikan oleh bentuk antena pada ngengat
jantan lebar seperti sisir dan bentuk sayap ujungnya meruncing sedangkan bentuk
antena pada ngengat betina menyirip seperti benang tebal dan memiliki abdomen
yang besar berisi telur-telur serta ukuran tubuhnya lebih besar daripada ngengat
jantan. Pada saat keluar dari kokon, ngengat hinggap pada kokon sehingga mudah
untuk mengembangkan sayapnya. Setelah beberapa saat sayapnya akan mulai
mengembang dan mengeras.
(a) (b)
Gambar 23. Ngengat A. atlas: (a) Jantan dan (b) Betina
Jumlah ngengat yang keluar 40 ekor (56%) dari kokon utuh yang diteliti
sebanyak 72 buah, sementara sisanya adalah jumlah ngengat yang tidak berhasil
keluar dari kokon (44%). Persentase ngengat yang keluar relatif rendah akibat
perubahan lingkungan dan tingkah laku dari alam ke dalam ruangan/kandang,
pengaruh suhu lingkungan di dalam ruangan/kandang, dan keragaman yang tinggi.
Dari jumlah ngengat yang keluar (40 ekor), ngengat berjenis kelamin jantan
15 ekor (37,5%) dan betina 25 ekor (62,5%). Ngengat dengan jenis kelamin jantan
memiliki rata-rata bobot kokon 6,15±1,16 g/kokon sedangkan ngengat dengan jenis
kelamin betina memiliki rata-rata bobot kokon 7,06±1,66 g/kokon. Observasi
terhadap ngengat yang tidak keluar, jumlah mati dalam bentuk ulat 20 ekor (62,5%)
dan dalam bentuk pupa 12 ekor (37,5%). Respon terhadap lingkungan selama
tahapan pupa perlu dijaga agar tidak terganggu sehingga proses organogenesis
berlangsung sempurna. Apabila dalam proses mengokon mengalami gangguan maka
akan menyebabkan kegagalan pembentukan organ dan kemungkinan dapat
menyebabkan kematian (Awan, 2007). Pupa yang mati dari 12 ekor yang berjenis
kelamin jantan sebanyak 1 ekor (8,33%) dan berjenis kelamin betina sebanyak 11
ekor (91,67%).
Produksi ngengat berjenis kelamin betina sangat diharapkan untuk proses
reproduksi selanjutnya karena rataan jumlah telur yang dihasilkan berkisar antara
100 sampai 362 butir (Awan, 2007). Selain itu, ngengat jantan akan berfungsi
membuahi ngengat betina untuk menghasilkan telur yang fertil. Telur yang menetas
dan menjadi larva adalah telur yang dibuahi oleh ngengat jantan. Menurut Awan
(2007) ngengat betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur
yang steril yang tidak dapat menetas menjadi larva. Jika telur tidak dapat menetas
menjadi larva, maka siklus hidup ulat sutera liar akan terhenti. Oleh sebab itu,
kemunculan ngengat baik jantan maupun betina sangat diharapkan agar siklus hidup
ulat sutera ini tetap berlangsung dengan baik.
Analisis Korelasi dan Regresi
Kulit kokon A. atlas yang merupakan hasil pengokonan di laboratorium
lapang Fakultas Peternakan IPB memiliki nilai korelasi yang dapat dilihat pada Tabel
7. Korelasi digunakan untuk mengukur hubungan antar peubah (Gaspersz, 1994).
Bobot kulit kokon (BKK) memiliki tingkat korelasi dengan bobot floss (BF) dengan
nilai sebesar 0,468 yang berarti antara bobot kulit kokon (BKK) dengan bobot floss
(BF) memiliki korelasi yang positif sehingga peningkatan bobot kulit kokon (BKK)
akan diikuti oleh peningkatan bobot floss (BF). Hal ini dapat disebabkan ulat
mengalami gangguan, misalnya stress pada saat proses mengokon. Korelasi antara
bobot kulit kokon (BKK) dengan bobot floss (BF) yang baik adalah berkorelasi
negatif. Jika bobot kulit kokon (BKK) tinggi maka bobot floss (BF) rendah karena
pada kulit kokon yang berat terdapat serat sutera yang banyak sehingga benang yang
dihasilkan cukup banyak.
Tabel 7. Korelasi Peubah yang Diamati Terhadap Kulit Kokon Ulat Sutera
Liar (Attacus atlas) Hasil Pengokonan di Laboratorium Lapang
Fakultas Peternakan IPB
BKU
(g)
BKK
(g)
BF
(g)
BP
(g)
PBKK
(%)
PBF
(%)
PBP
(%)
BKK (g) 0,884
BF (g) 0,568 0,468
BP (g) 0,972 0,828 0,535
PBKK (%) -0,105 0,305 -0,053 -0,153
PBF (%) -0,768 -0,657 -0,081 -0,738 0,217
PBP (%) 0,076 -0,042 -0,019 0,288 -0,263 -0,069
PK (mm) 0,658 0,598 0,624 0,621 0,031 -0,350 -0,001
Diameter
D1 (mm)
D2 (mm)
D3 (mm)
0,569
0,613
0,626
0,509
0,574
0,622
0,462
0,475
0,408
0,586
0,632
0,635
-0,005
0,069
0,103
-0,322
-0,351
-0,378
0,198
0,225
0,183
Lingkar
L1 (mm)
L2 (mm)
L3 (mm)
0,553
0,395
0,210
0,505
0,354
0,223
0,388
0,323
0,205
0,539
0,385
0,205
-0,038
0,034
0,106
-0,367
-0,174
-0,006
0,060
0,016
0,010
Peubah yang memiliki korelasi positif yaitu antara bobot kokon utuh (BKU)
dengan bobot kulit kokon (BKK), bobot floss (BF), bobot pupa (BP), persentase
bobot pupa (PBP), panjang kokon (PK), diameter (D1, D2, D3), dan lingkar (L1, L2,
L3); bobot kulit kokon (BKK) dengan bobot floss (BF), bobot pupa (BP), persentase
bobot kulit kokon (PBKK), panjang kokon (PK), diameter (D1, D2, D3), dan lingkar
(L1, L2, L3); bobot floss (BF) dengan bobot pupa (BP), panjang kokon (PK),
diameter (D1, D2, D3), dan lingkar (L1, L2, L3); bobot pupa (BP) dengan persentase
bobot pupa (PBP), panjang kokon (PK), diameter (D1, D2, D3), dan lingkar (L1, L2,
L3); persentase bobot kulit kokon (PBKK) dengan persentase bobot floss (PBF),
panjang kokon (PK), diameter (D2, D3), dan lingkar (L2, L3); persentase bobot pupa
(PBP) dengan diameter (D1, D2, D3) dan lingkar (L1, L2, L3).
Peubah-peubah yang memiliki korelasi negatif yaitu antara bobot kokon utuh
(BKU) dengan persentase bobot kulit kokon (PBKK) dan persentase bobot floss
(PBF); bobot kulit kokon (BKK) dengan persentase bobot floss (PBF) dan persentase
bobot pupa (PBP); bobot floss (BF) dengan persentase bobot kulit kokon (PBKK),
persentase bobot floss (PBF), dan persentase bobot pupa (PBP); bobot pupa (BP)
dengan persentase bobot kulit kokon (PBKK) dan persentase bobot floss (PBF);
persentase bobot kulit kokon (PBKK) dengan persentase bobot pupa (PBP), diameter
(D1) dan lingkar (L1); persentase bobot floss (PBF) dengan persentase bobot pupa
(PBP), panjang kokon (PK), diameter (D1, D2, D3), dan lingkar (L1, L2, L3);
persentase bobot pupa (PBP) dengan panjang kokon (PK).
Bobot kulit kokon (BKK) memiliki korelasi yang rendah terhadap lingkar
tengah (medial) kokon (0,354) dibandingkan dengan diameter tengah (medial) kokon
(0,574) ataupun panjang kokon (0,598). Bobot kulit kokon (BKK) memiliki tingkat
korelasi yang cukup tinggi dengan bobot kokon utuh (BKU) dengan nilai sebesar
0,884. Model persamaan regresinya yaitu BKK (g) = -0,0027 + 0,118 BKU (g) yang
berarti bahwa setiap kenaikan satu gram BKU akan meningkatkan BKK (g) sebesar
0,118 g. Grafik sebaran data antara BKK terhadap BKU dapat dilihat pada Gambar
24.
BKU (g/kokon)
BK
K (
g/
ko
ko
n)
121086420
1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
Gambar 24. Grafik Sebaran Data BKK terhadap BKU
Bobot kulit kokon (BKK) memiliki tingkat korelasi dengan panjang kokon
(PK) sebesar 0,598. Model Persamaan regresinya yaitu BKK (g) = -1,37 + 0,0366 PK
(mm), yang berarti bahwa setiap kenaikan satu mm PK akan meningkatkan BKK (g)
sebesar 0,0366 g. Grafik sebaran data antara BKK terhadap PK dapat dilihat pada
Gambar 25.
PK (mm)
BK
K (
g/
ko
ko
n)
70656055504540
1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
Gambar 25. Grafik Sebaran Data BKK terhadap PK
Bobot kulit kokon (BKK) memiliki tingkat korelasi dengan diameter medial
(tengah) (D2) sebesar 0,574. Model persamaan regresinya yaitu BKK (g) =
-1,55 + 0,0845 D2 (mm), yang berarti bahwa setiap kenaikan satu mm D2 akan
meningkatkan BKK (g) sebesar 0,0845 (g). Grafik sebaran data antara BKK terhadap
D2 dapat dilihat pada Gambar 26.
D2 (mm)
BK
K (
g/
ko
ko
n)
32302826242220
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
Gambar 26. Grafik Sebaran Data BKK terhadap D2
Bobot kulit kokon (BKK) memiliki tingkat korelasi dengan lingkar medial
(tengah) (L2) sebesar 0,354. Model persamaan regresinya yaitu BKK (g) =
-0,321 + 0,0116 L2 (mm), yang berarti bahwa setiap kenaikan satu mm L2 akan
meningkatkan BKK (g) sebesar 0,0116 (g). Grafik sebaran data antara BKK terhadap
L2 dapat dilihat pada Gambar 27.
L2 (mm)
BK
K (
g/
ko
ko
n)
100806040200
1.6
1.2
0.8
0.4
0.0
Gambar 27. Grafik Sebaran Data BKK terhadap L2
Morfometri
Berdasarkan data pada Tabel 8, bentuk kulit kokon yang normal dari A. atlas
adalah hampir menyerupai elips. Bila kulit kokon utuh A. atlas dibandingkan dengan
kulit kokon B. mori, kulit kokon A. atlas memiliki ukuran yang lebih besar. Ukuran
kokon A. atlas berpengaruh kecil terhadap budidaya karena untuk melihat jumlah
serat yang dihasilkan dilihat dari bobot kokon.
Tabel 8. Morfometri Kokon A. atlas Hasil Pengokonan di Laboratorium
Lapang Fakultas Peternakan IPB dan yang Berasal dari Perkebunan
Teh di Daerah Purwakarta
No Parameter Nilai
Setiorini (2009) Baskoro (2008)
Rataan±SD Min-Max Rataan±SD Min-Max
1. Panjang Kokon
(PK) (mm)
54,30±5,74 41,04-68,28 53,3±5,2 33,7-68,1
2. Diameter
D1 (mm)
D2 (mm)
D3 (mm)
22,26±2,60
25,65±2,38
22,92±2,45
16,16-28,05
21,35-31,20
17,34-29,10
21,7±2,2
26,1±2,3
23,0±2,5
15-29,1
19,4-34
16-29,8
3. Lingkar
L1 (mm)
L2 (mm)
L3 (mm)
70,42±7,48
80,70±10,69
72,19±12,82
57,00-85,00
80,00-97,00
70,00-88,00
64,2±6,2
81,8±7,1
68,7±7,3
49,2-83,3
49,1-100
29,4-88,2
Panjang, diameter medial dan lingkar medial kokon yang diperoleh dari hasil
penelitian ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan hasil penelitian Baskoro
(2008) yang menunjukkan bahwa manajemen budidaya memiliki pengaruh yang
kecil terhadap ukuran morfometri kokon. Rata-rata panjang kokon hasil penelitian ini
masih termasuk ke dalam kisaran Peigler (1989) yang melaporkan panjang kokon
ulat sutera liar (A. atlas) berkisar antara 5-9 cm. Karakteristik kokon yang dihasilkan
pada penelitian ini menunjukkan tingkat keragamannya tinggi. Hal ini disebabkan
ulat sutera liar (A. atlas) yang digunakan berasal dari alam dan belum terdomestikasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian berpengaruh
terhadap karakteristik kokon.
2. Hasil bobot kokon utuh per empat hari berkisar antara 0,81-12,38 g/kokon,
bobot kulit kokon berkisar antara 0,10-1,54 g/kokon, bobot floss berkisar
antara 0,08-0,58 g/kokon, bobot pupa berkisar antara 0,49-8,20 g/kokon,
panjang kokon berkisar antara 41,04-68,28 mm, diameter medial berkisar
antara 21,35-31,20 mm, lingkar medial berkisar antara 80,00-97,00 mm.
3. Karakteristik kokon yang dihasilkan pada penelitian ini menunjukkan tingkat
keragamannya tinggi.
Saran
Diperlukan materi penelitian ulat sutera liar (Attacus atlas) yang telah
dipelihara di dalam ruangan dan telah terdomestikasi serta kondisi lingkungan yang
sesuai dengan habitat aslinya untuk penelitian-penelitian lanjutan terutama dalam
aspek budidaya agar karakteristik kokon Attacus atlas yang dihasilkan lebih seragam.
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahi Robbil’aalamin. Segala puji dan syukur Penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan nikmat-Nya yang tak terhingga
sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dan studi ini. Shalawat dan salam
semoga selalu kita curahkan untuk suri tauladan kita Nabi Muhammad saw.
Penulis menyampaikan banyak terima kasih untuk Ayahanda dan Ibunda
tercinta yang tak pernah lelah berdoa, memberikan kasih sayang, nasihat, dan
semangat kepada Penulis untuk kesuksesan dan keberhasilan Penulis. Terima kasih
kepada kakak tersayang (Mas Eko, Mas Hari, Mas Bayu dan Mba Anggun) atas doa,
motivasi, kasih sayang dan keceriaan selama ini. Penulis juga menyampaikan banyak
terima kasih kepada Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, MS. selaku Pembimbing Utama dan
Yuni Cahya Endrawati, SPt. selaku Pembimbing Anggota atas semua bimbingan,
masukan dan arahannya selama Penulis menyusun usulan proposal hingga tahap
akhir penyusunan skripsi. Terima kasih kepada Ir. Sri Darwati, MSi. dan Dr. Ir. M.
Ridla, MAgr. selaku penguji sidang atas saran dan arahannya. Terima kasih kepada
Ir. Hotnida C. H. Siregar, MSi. selaku penguji seminar atas saran dan bimbingannya.
Terima kasih kepada Ir. Zulfikar Moesa, MS. selaku pembimbing akademik atas
bimbingannya selama penulis belajar di IPTP.
Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Nursam yang telah
bersedia mengantarkan Penulis untuk mengambil materi penelitian di Purwakarta,
seluruh staf dan pegawai kandang Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa
Harapan atas bantuannya selama penelitian serta teman sepenelitian ’Tim Ulat
Sutera’ (Fitri, Anggis, Erly dan Ferry) atas kebersamaan dan telah banyak membantu
dalam melakukan penelitian ini. Penulis ingin sampaikan terima kasih kepada
Gunantiar Tomiandri yang selama ini telah setia mendampingi, memberikan
motivasi, kasih sayang dan banyak membantu. Penulis juga menyampaikan terima
kasih kepada Ayu, Lia, Kokom, Pipit, Mala, Uni, dan Hida atas persahabatannya
serta kepada Wisma Maharlika (Oby, Almira, Vina, Veza, Yuni, Ayu, Zil, Wati,
Dewi, Mya, Isna, Icha) atas persaudaraannya selama ini. Semua kebaikan yang telah
diberikan hanya Allah yang pantas membalasnya. Akhir kata, penulis sampaikan
terima kasih banyak kepada civitas akademika Fakultas Peternakan, khususnya IPTP
42 ’together we can’, serta kepada semua pihak yang telah membantu. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi kemajuan dunia pendidikan dan peternakan. Amin.
Bogor, Desember 2009
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Adria dan H. Idris. 1996. Jenis dan aspek biologis serangga hama daun pada tanaman
ylang-ylang (Canangium odoratum forma guinea). Jurnal Penelitian
Tanaman Industri (Industrial Crop Research Journal). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. Vol. III (3): 37-42.
Atmosoedarjo, H., J. Kartasubrata, M. Kaomini, W. Saleh dan W. Moerdoko. 2000.
Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta.
Awan, A. 2007. Domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera :
Saturniidae) dalam usaha meningkatkan persuteraan nasional. Disertasi.
Program Studi Sains Veteriner SPS. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Baskoro, A. 2008. Karakteristik kulit kokon segar ulat sutera liar (Attacus atlas) dari
perkebunan teh di daerah Purwakarta. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Borror, D. J., C. A. Tripelhorn and N. F. Jhonson. 1992. Pengenalan Pelajaran
Serangga (Terjemahan). Edisi keenam. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Butterfly Arc. 2003. Breeding of cobra butterfly (Attacus atlas – Philiphines).
http://www.butterflyarc.it/portal/eng/pg.php. [31 Januari 2009].
Campbell, N. A., J. B. Reece, and L. G. Mitchell. 2000. Biologi. Ed. Ke-5. Jilid 3.
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Chapman, R. F. 1998. The Insects Structure and Function. 4th
edition. Cambridge
Universities Press, United Kingdom.
Dalimartha, S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid I. Trubus Agriwidya,
Jakarta.
Gaspersz, V. 1994. Metode Perancangan Percobaan. Cetakan ke-2. Penerbit CV.
Armico, Bandung.
Indrawan, M. 2007. Karakter sutera dari ulat jedung (Attacus atlas L.) yang
dipelihara pada tanaman pakan senggugu (Clerodendron serratum Spreng).
Jurnal. Biodiversitas Vol. 8. No. 3. Hal: 215-217. FMIPA Universitas Sebelas
Maret, Surakarta.
Jacobson, M. 1972. Insect Sex Pheromones. Academic Press, New York and
London.
Kalshoven, L. G. E. 1981. The Pest Crop in Indonesia. Reviced and Translated by P.
A. Van Der Laan. P. T. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Kompas. 2004. Permintaan sutera liar tak terbatas. http://kompas.com/kompas-
cetak/0411/04/Jabar/1366508.htm.[ 31 Januari 2009].
Lee, J. 2007. Atlas-moth. www.blogspot.com/2008/01/atlasmoth.ver1.2 [31 Maret
2009].
Mattjik, A. A. dan I. M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan. IPB Press,
Bogor.
Moth3002. 2009. Attacus atlas. www.insect-sale.com/Attacus-atlas.jpg.Moth3002.
[24 September 2009].
Mulyani, N. 2008. Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae) dengan pakan
daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di
laboratorium. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nazar, A. 1990. Beberapa aspek biologi ulat perusak daun (Attacus atlas Linn) pada
tanaman cengkeh. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. Vol. XVI (1). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.
Nugroho, S. 2007. Sutera Indonesia diarahkan tembus pasar kimono Jepang.
http://www.kapanlagi.com/h/0000203056.html [26 April 2009].
Peigler, R. 1989. A Revision of the Indo-Australian Genus Attacus. The Lepidoptera
Research Foundation, Inc. Beverly Hills, California.
Pustekkom. 2005. Arthropoda. http://www.iptek.net.id/ind/pd_invertebrata/index.
php?id=158&ch=pd_nd_invertebrata2. [31 Januari 2009].
Sakinah. 2009. Kualitas kokon ulat sutera liar (Attacus atlas. L) menggunakan alat
pengokonan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Sari. 2007. Industri Rakyat. Benang ulat sutra liar diekspor ke Jepang, Yogyakarta.
http://www2.kompas.com/kompas cetak/0711/09/ jogja/1 044437 .htm [31
Januari 2009].
Sutera Indonesia. 2004. Mencermati Sutera Liar. Tabloid Sutera Indonesia. Hal. 5.
Tazima, Y. 1978. A viewpoint on the improvement of Mysore breeds. Paper
presented at International Congress for Tropical Sericulture. Banga Lore,
India.
Walpole, R. E. 1992. Pengantar Statistika. Edisi ketiga. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Wikipedia. 2008. Attacus atlas. http://en.wikipedia.org/wiki/Atlas_moth. [31 Januari
2009].
Williams, M., J. Taylor, J. Bray and M. West. 2000. Atlas moth.
http://entweb.clemson.edu/museum/moths/exotic/moth1.htm. [31 Januari
2009].
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel Nilai Korelasi dan Nilai P (P value) Peubah yang Diamati
Terhadap Kulit Kokon Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Hasil
Pengokonan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan IPB
BKU
(g)
BKK
(g)
BF (g) BP (g) PBKK
(%)
PBF
(%)
PBP (%)
BKK (g) 0,884
0,000
BF (g) 0,568 0,468
0,000 0,000
BP (g) 0,972 0,828 0,535
0,000 0,000 0,000
PBKK (%) -0,105 0,305 -0,053 -0,153
0,379 0,009 0,667 0,200
PBF (%) -0,768 -0,657 -0,081 -0,738 0,217
0,000 0,000 0,498 0,000 0,068
PBP (%) 0,076 -0,042 -0,019 0,288 -0,263 -0,069
0,528 0,723 0,872 0,014 0,026 0,566
PK (mm) 0,658 0,598 0,624 0,621 0,031 -0,350 -0,001
0,000 0,000 0,000 0,000 0,793 0,003 0,996
Diameter
D1
(mm)
D2
(mm)
D3
(mm)
0,569
0,000
0,613
0,000
0,626
0,000
0,509
0,000
0,574
0,000
0,622
0,000
0,462
0,000
0,475
0,000
0,408
0,000
0,586
0,000
0,632
0,000
0,635
0,000
-0,005
0,965
0,069
0,567
0,103
0,390
-0,322
0,006
-0,351
0,003
-0,378
0,001
0,198
0,096
0,225
0,057
0,183
0,124
Lingkar
L1
(mm)
L2
(mm)
L3
(mm)
0,553
0,000
0,395
0,001
0,210
0,077
0,505
0,000
0,354
0,002
0,223
0,059
0,388
0,001
0,323
0,006
0,205
0,085
0,539
0,000
0,385
0,001
0,205
0,084
-0,038
0,753
0,034
0,779
0,106
0,377
-0,367
0,002
-0,174
0,143
-0,006
0,962
0,060
0,614
0,016
0,894
0,010
0,934
Keterangan : Nilai dalam kolom adalah nilai korelasi dan nilai P
Lampiran 2. Analisis Ragam Persamaan Regresi dari Sebaran Data BKU
Terhadap BKK
Sumber
Keragaman
DB JK KT F P
Regresi 1 6.8199 6.8199 249.54 0.000
Error 70 1.9131 0.0273
Total 71 8.7330
S = 0.165317 R-Sq = 78.1% R-Sq(adj) = 77.8%
Lampiran 3. Grafik Sebaran Normal Bobot Floss (BF)
BF (g)
Fre
ku
en
si
0.680.640.600.560.520.480.440.400.360.320.280.240.200.160.120.080.040.00
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Mean 0.2272
StDev 0.08578
N 72
Lampiran 4. Grafik Sebaran Normal Bobot Kulit Kokon (BKK)
BKK (g)
Fre
ku
en
si
1.71.61.51.41.31.21.11.00.90.80.70.60.50.40.30.20.10.0
14
12
10
8
6
4
2
0
Mean 0.615
StDev 0.3507
N 72
Lampiran 5. Grafik Sebaran Normal Bobot Pupa (BP)
BP (g)
Frek
uen
si
9.08.58.07.57.06.56.05.55.04.54.03.53.02.52.01.51.00.50.0
10
8
6
4
2
0
Mean 3.765
StDev 2.000
N 72