kajian teori a. deskripsi teori goal free problems ...eprints.uny.ac.id/43783/2/bab ii.pdf ·...

32
8 BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori Penelitian ini mempelajari efektivitas pembelajaran kesebangunan dalam goal free problems secara kolaboratif ditinjau dari kemampuan transfer. Beberapa teori yang relevan antara lain belajar dan pembelajaran matematika, pemecahan masalah dalam matematika, pembelajaran kolaboratif, desain pembelajaran berdasarkan Cognitive Load Theory, goal free problems, geometri (kesebangunan) dan kemampuan transfer. Deskripsi teori-teori tersebut dijelaskan sebagai berikut. 1. Belajar dan Pembelajaran Matematika Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas seperti kecakapan, pengetahuan, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, dan kemampuan lainnya (Hakim, 2005). Menurut pandangan teori konstruktivisme, belajar adalah proses aktif yang dilakukan siswa untuk mengonstruk pengetahuan yang telah didapat dan mengonstruksi pengetahuan baru meliputi teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik dan lain-lain. Pembelajaran didefinisikan oleh Sudjana (2004) sebagai upaya yang sistematis dan sengaja untuk menciptakan kegiatan interaksi antara siswa dan guru. Menurut Sugihartono, Fathiyah, Setiawati, Harahap, & Nurhayati (2012: 126) pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar siswa belajar. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran bermakna yang mampu memberikan pemahaman lebih dalam. Pembelajaran bermakna adalah

Upload: leduong

Post on 01-Feb-2018

225 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

8

BAB II KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teori

Penelitian ini mempelajari efektivitas pembelajaran kesebangunan dalam

goal free problems secara kolaboratif ditinjau dari kemampuan transfer. Beberapa

teori yang relevan antara lain belajar dan pembelajaran matematika, pemecahan

masalah dalam matematika, pembelajaran kolaboratif, desain pembelajaran

berdasarkan Cognitive Load Theory, goal free problems, geometri (kesebangunan)

dan kemampuan transfer. Deskripsi teori-teori tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1. Belajar dan Pembelajaran Matematika

Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan

perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas

seperti kecakapan, pengetahuan, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, dan

kemampuan lainnya (Hakim, 2005). Menurut pandangan teori konstruktivisme,

belajar adalah proses aktif yang dilakukan siswa untuk mengonstruk pengetahuan

yang telah didapat dan mengonstruksi pengetahuan baru meliputi teks, kegiatan

dialog, pengalaman fisik dan lain-lain.

Pembelajaran didefinisikan oleh Sudjana (2004) sebagai upaya yang

sistematis dan sengaja untuk menciptakan kegiatan interaksi antara siswa dan guru.

Menurut Sugihartono, Fathiyah, Setiawati, Harahap, & Nurhayati (2012: 126)

pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau

memberikan pelayanan agar siswa belajar.

Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran bermakna yang mampu

memberikan pemahaman lebih dalam. Pembelajaran bermakna adalah

9

pembelajaran yang memfasilitasi untuk dapat mentransfer kembali apa yang telah

dipelajari (Mayer, 2002: 227). Dengan kata lain, pembelajaran bermakna dapat

memfasilitasi kemampuan transfer. Mayer berpendapat bahwa pembelajaran

hendaknya sesuai dengan tingkat kognitif yang dimiliki siswa. Sugihartono, et al.

(2012: 111-112) menyatakan bahwa tanpa penyesuaian proses pembelajaran

dengan tingkat kognitif, guru maupun siswa akan mendapatkan kesulitan dalam

mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan.

Pembelajaran dalam pandangan konstruktivisme didesain lebih berpusat pada

siswa, bersifat analitis, dan lebih berorientasi pada proses pembentukan

pengetahuan dan penalaran. Sugihartono, et al. (2012: 127) berpendapat bahwa

proses pembelajaran atau pemerolehan pengetahuan adalah melalui perstrukturan

kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian dengan pengetahuan

yang akan diperoleh, sehingga pengetahuan baru itu dapat diadaptasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka pembelajaran dapat diartikan sebagai proses

interaksi antara guru dan siswa yang dilakukan secara berulang-ulang untuk

pemerolehan pengetahuan. Dalam proses pembelajaran konstruktivis, pengetahuan

tidak ditransfer dari guru kepada siswa, melainkan guru memfasilitasi siswa untuk

mengonstruksi/ membangun pengetahuan dan mentransfer pengetahuan yang

didapat pada pembelajaran berikutnya.

2. Pemecahan Masalah dalam Matematika

Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan yang penting untuk

dikuasai siswa dalam pembelajaran. Schmidt, Loyens, Van Gog, & Paas (2007)

10

menyimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah proses penting pada

pembelajaran karena dapat memfasilitasi siswa dalam memberikan alasan dan

kemampuan untuk menjelaskan fakta dari hasil pengamatan.

Pembelajaran matematika berisi kegiatan kegiatan pemecahan masalah

(BSNP: 2006). Retnowati (2016: 47) memiliki pendapat yang serupa yaitu

pemecahan masalah dalam matematika merupakan aktivitas rutin untuk mengetahui

bagaimana cara kerja dari objek-objek matematika.

Pemecahan masalah minimal harus memiliki 2 komponen: proses dan hasil.

Proses dalam pemecahan masalah adalah aktivitas kegiatan sedangkan hasil adalah

solusi dari masalah tersebut (Bruning, Scraw, & Norby, 2011). Pemecahan masalah

berdasarkan proses dan hasil dapat dibedakan menjadi well-defined problem dan

ill-defined problem.

Well-defined problem adalah masalah dengan tujuan yang jelas, semua

informasi yang dibutuhkan tersedia, dan hanya terdapat satu jawaban yang benar.

Berikut adalah contoh dari well-defined problem: Andi menghabiskan 20000 rupiah

untuk membeli 20 pensil. Berapakah harga dari satu pensil?

Ill-defined problem adalah masalah yang pernyataan asal, tujuan, dan aturan-

aturannya tidak jelas sehingga memiliki cara sistematik untuk menemukan solusi

(Bruning, et al., 2011). Berikut adalah contoh dari ill-defined problem: Hasil suatu

bilangan genap dan suatu bilangan ganjil adalah 840. Tentukan bilangan ganjil

terbesar yang memenuhi syarat tersebut!

11

Pemecahan masalah membutuhkan strategi. Brunning, et al., (2011)

mengasumsikan terdapat lima langkah dalam menyelesaikan masalah secara umum,

yaitu:

(a) identifikasi masalah,

(b) menggambarkan masalah,

(c) menyeleksi strategi,

(d) implementasi strategi,

(e) evaluasi hasil.

Sebagai contoh: harga tiga pensil dan dua penghapus adalah 8000 rupiah,

harga 2 pensil dan empat penghapus adalah 6000 rupiah. Berapakah harga dari tiga

pensil dan tiga penghapus?

Untuk menyelesaikan masalah tersebut secara general atau heuristics,

langkah pertama adalah identifikasi masalah. Identifikasi masalah dari soal tersebut

yaitu soal harus dipahami dengan hati-hati agar tidak salah mengambil informasi

yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah.

Langkah selanjutnya adalah menggambarkan masalah. Hal ini dapat berupa

mengonversi masalah menjadi simbol. Misal merepresentasikan banyaknya

pensil dan y merepresentasikan banyaknya penghapus. Masalah tersebut dapat

dikonversi dalam bentuk simbol menjadi ; ;

Langkah ketiga adalah menyeleksi strategi. Soal di atas dapat diselesaikan

menggunakan strategi eliminasi atau substitusi. Kedua strategi tersebut juga dapat

dikombinasikan untuk menyelesaikan masalah di atas.

12

Langkah selanjutnya adalah implementasi strategi, setelah dilakukan

eliminasi dan atau substitusi, didapat nilai = 2500, dan = 1500. Jadi dapat

disimpulkan bahwa nilai 3 + 3 = 7500 + 4500 = 12000. Langkah terakhir adalah

evaluasi dari hasil yang telah diperoleh.

Masalah dalam matematika tidak selalu sederhana seperti soal di atas. Strategi

khusus dibutuhkan guna menyelesaikan masalah yang kompleks dalam

matematika. Strategi-strategi tersebut dapat dikembangkan menggunakan

pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya. Retnowati (2016: 66-68)

memberikan lima strategi yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah

matematika:

a. Memetakan pemecahan masalah yang diberikan menggunakan solusi dari

masalah yang telah diberikan sebelumnya. Proses ini juga disebut sebagai

analogi, yaitu mengintegrasikan dua masalah dengan konteks yang berbeda

namun memiliki struktur yang sama.

b. Menyusun atau membangun pohon penyelesaian. Strategi ini sangat berguna

untuk menyelesaikan masalah yang memiliki banyak langkah untuk

menemukan solusi.

c. Mengubah data/ masalah menjadi diagram atau grafik atau model. Strategi ini

berfungsi untuk menyederhanakan masalah yang kompleks agar dapat terlihat

sederhana namun tidak mengurangi informasi yang diberikan dalam soal.

d. Menggunakan pendekatan linguistik. Pendekatan linguistik adalah pendekatan

yang mengganti kata-kata dalam masalah sesuai dengan kategori problem

solver. Sebagai contoh, perkalian dapat juga disebut sebagai penjumlahan yang

13

berulang. Dengan menggunakan kalimat penjumlahan berulang, siswa yang

baru mempelajari perkalian akan dimudahkan dalam membangun pengetahuan

tentang perkalian.

e. Menggunakan kontrapositif atau kontradiksi. Kontrapositif adalah metode

pembuktian pernyataan implikasi. Contohnya dalam premis jika A bernilai

maka dengan menggunakan kontrapositif kita

dapat membuktikan pernyataan tersebut sama dengan ika B salah

maka nilai A pasti salah . Kontradiksi adalah metode pembuktian dengan cara

pembuktian terbalik. Sebagai contoh, apabila kita ingin membuktikan bahwa

pernyataan A adalah benar, maka kita harus membuktikan pernyataan negasi

A itu adalah salah.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan

masalah adalah kemampuan yang harus dikuasai siswa. Masalah dalam matematika

adalah masalah yang kompleks dan berisi banyak kegiatan pemecahan masalah

(Retnowati, 2016: 47). Strategi umum tidak selalu dapat digunakan, oleh karena itu

dibutuhkan strategi khusus untuk menyelesaikan masalah yang kompleks dalam

matematika.

3. Pembelajaran Kolaboratif

Pembelajaran kolaboratif berbeda dengan pembelajaran kooperatif.

pembelajaran kolaboratif lebih menekankan proses dalam kerja sama, sedangkan

pembelajaran kooperatif lebih mementingkan hasil. Rachmawati (2012)

menjabarkan perbedaan dari kedua konsep pembelajaran ini dalam Tabel 1 berikut.

14

Tabel 1. Perbedaan Strategi Pembelajaran Kooperatif dengan Kolaboratif Aspek Pembelajaran

Kooperatif Pembelajaran Kolaboratif

Tujuan Mengutamakan hasil dalam pembelajaran

Mengutamakan proses dalam pembelajaran

Keterampilan sosial Siswa menerima latihan keterampilan sosial.

Keterampilan sosial diyakini telah dimiliki oleh para siswa.

Aktivitas Pembelajaran

Siswa memiliki peran khusus dalam pembelajaran.

Siswa mengatur dan menegosiasikan usahanya sendiri.

Peran Guru Guru mengamati serta mendengarkan dan melakukan interferensi atau campur tangan dalam kelompok.

Guru membimbing untuk menemukan informasi yang diperlukannya.

Pembelajaran kolaboratif menurut Gokhale (1995: 6) adalah pembelajaran

yang mampu mendorong dan meningkatkan pengembangan kemampuan berpikir

kritis melalui diskusi berkelompok, klarifikasi ide, serta evaluasi ide dari orang lain.

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dimana siswa membentuk kelompok

kelompok kecil yang bekerja untuk menyelesaikan masalah bersama (Slavin, 2011).

Pembelajaran kooperatif dan pembelajaran kolaboratif selain memiliki

perbedaan juga memiliki persamaan. Rachmawati (2012) menjabarkan persamaan

kedua pembelajaran itu sebagai berikut. (1) Pembelajaran aktif sangat ditekankan

dalam proses pembelajaran. (2) Guru berperan sebagai fasilitator bagi siswa bukan

hanya sekedar transfer pengetahuan. Peran sebagai fasilitator akan memberikan

siswa kesempatan untuk membangun pengetahuannya sendiri. (3) Keterampilan

kognitif tingkat tinggi akan ditingkatkan pada kedua pembelajaran ini. (4)

Pembelajaran kooperatif dan kolaboratif menganggap bahwa pembelajaran adalah

pengalaman bersama antara siswa dan guru. (5) Tanggung jawab lebih banyak

ditekankan dalam proses belajar. (6) Siswa mengonfirmasi idenya dalam kelompok

kecil.

15

Pembelajaran kolaboratif memungkinkan siswa-siswa saling memberikan

bantuan untuk dapat mengerjakan tugas-tugas yang lebih kompleks dan sulit

tercapai apabila dilakukan secara individual (Mahmudi, 2006). Mahmudi (2006:

62) menjabarkan karakteristik dari pembelajaran kolaboratif yaitu: (1)

ketergantungan positif, (2) adanya interaksi (tatap muka), (3) pertanggungjawaban

individu dan kelompok, (4) pengembangan keterampilan interpersonal, (5)

pembentukan kelompok yang heterogen, (6) berbagi pengetahuan antar guru dan

siswa, (7) berbagi otoritas atau peran antara guru dan siswa, dan (8) guru berperan

sebagai mediator.

Inti yang terkandung dalam pembelajaran kolaboratif adalah pentingnya

interaksi di antara para siswa dalam kelompok untuk meningkatkan pemahaman

masing-masing siswa. Dari inti tersebut dapat diketahui bahwa pada prinsipnya

pembelajaran kolaboratif didasarkan pada filsafat konstruktivisme, khususnya

konstruktivisme sosial dari Vygotsky, yaitu bahwa interaksi sosial memegang

peranan penting dalam perkembangan kognitif anak (Izzaty, et al., 2008: 36).

Salah satu konsep yang penting dari teori Vygotsky adalah zone of proximal

development (ZPD), yaitu daerah dari pengetahuan baru yang sulit dikuasai siswa

tanpa bantuan/ interaksi pendidik atau siswa yang lebih terampil. Interaksi dapat

memberikan manfaat tersendiri bagi siswa dalam memahami sebuah konsep

(Santrock, 1995).

Dari uraian di atas, pembelajaran kolaboratif menekankan adanya interaksi

dari kelompok yang heterogen untuk menyelesaikan masalah yang kompleks.

Selain itu, jelas bahwa dasar atau landasan teoritik dari model pembelajaran

16

kolaboratif adalah teori konstruktivisme, khususnya pada konsep tentang ZPD yang

menekankan pentingnya interaksi sosial guna membantu siswa memperoleh tingkat

pemahaman yang lebih tinggi.

4. Desain Pembelajaran Berdasarkan Cognitive Load Theory

Cognitive load theory (CLT) adalah teori desain pembelajaran yang

dikembangkan berdasarkan sistem kognitif manusia. Cognitive load theory dirintis

awal tahun 80-an oleh seorang ahli psikologi pembelajaran, John Sweller, dari

Australia. Cognitive load theory mengasumsikan bahwa (1) working memory pada

manusia mempunyai kapasitas dan durasi yang terbatas dalam mengolah informasi

baru/ kompleks; (2) memori jangka panjang memiliki kapasitas yang tidak terbatas,

dan; (3) belajar adalah membangun pengetahuan melalui skema acquisition (proses

konstruksi pengetahuan) dan automation (proses memperoleh skema baru yang

dapat diproses dengan sedikit kesadaran atau otomatis) (Sweller, et al., 2011).

Siswa yang telah mempelajari penjumlahan dan sedang mempelajari materi

perkalian akan mengorganisasikan dan mengonstruksi perkalian menjadi

penjumlahan yang berulang untuk menemukan solusi dari soal yang diberikan.

Untuk menghitung , siswa akan mengubahnya menjadi .

Sehingga akan ditemukan solusi Proses konstruksi pengetahuan tahap

awal ini disebut skema acquisition. Dengan berlatih maka siswa dapat menghitung

nilai tanpa menggunakan penjumlahan dan hanya menggunakan sedikit

kesadaran. Proses ini adalah upaya untuk melatih skema yang disebut sebagai

skema automation.

17

Struktur model proses kognitif manusia yang terdiri dari sensory memory,

working memory, dan long term memory tergambar dalam Gambar 1 (diadaptasi

dari Retnowati, 20015: 15).

Gambar 1. Struktur Model Proses Kognitif

Informasi yang masuk melalui alat indra akan di proses dan diberi makna oleh

working memory dengan menghadirkan pengetahuan yang relevan yang tersimpan

dalam long term memory (memori jangka panjang) sehingga membuat informasi

yang baru dan yang lama saling berintegrasi. Informasi yang telah diolah dalam

working memory akan disimpan kembali menuju memori jangka panjang. Working

memory merupakan bagian dari sistem kognitif manusia yang digunakan sebagai

tempat untuk memroses informasi yang diterima manusia sebelum diteruskan

menuju memori jangka panjang. Memori jangka panjang adalah memori dalam

sistem kognitif manusia yang memiliki kapasitas tidak terbatas (Sweller, et al.,

2011).

Working memory memiliki kapasitas dan durasi yang terbatas. Miller (1956)

menyimpulkan bahwa elemen yang dapat diproses dalam working memory pada

waktu yang bersamaan hanya sekitar lima hingga sembilan. Selain itu, informasi

18

baru hanya dapat bertahan dalam working memory sekitar 20 detik (Peterson &

Peterson, 1959). Untuk memaksimalkan kapasitas working memory, maka

informasi yang diterima harus memiliki muatan kognitif yang rendah. Muatan

kognitif (cognitive load) menggambarkan proses kognitif yang terjadi di working

memory. Sweller, et al., (2011: 67) menjelaskan bahwa jika muatan kognitif

berbanding terbalik dengan kemampuan transfer. Muatan kognitif yang rendah

pada instruksi mengakibatkan kemampuan siswa dalam menerima pembelajaran

akan semakin meningkat. Cognitive load theory membagi dua hal dari muatan

kognitif yang harus dikelola dalam working memory, yaitu intrinsic cognitive load

dan extraneous cognitive load (Sweller, 2011: 57).

Intrinsic cognitive load dalam pembelajaran adalah tingkat kompleksitas pada

bahan ajar yang diberikan. Intrinsic cognitive load pada dasarnya adalah unik untuk

setiap materi pembelajaran. Intrinsic cognitive load pada pembelajaran disusun

sesuai dengan prior knowledge yang diberikan dan sudah tercantum dalam

kurikulum pendidikan. Besar kecilnya muatan kognitif intrinsic cognitive load juga

bergantung pada prior knowledge (tingkat kognitif siswa). Sebagai contoh,

membuktikan teorema pythagoras akan menjadi materi yang sangat sulit dan

memiliki intrinsic cognitive load tinggi jika diberikan kepada siswa SMP yang baru

mempelajarinya, namun akan memiliki intrinsic cognitive load yang rendah jika

diberikan untuk mahasiswa jurusan matematika, karena mahasiswa ini telah

berulang-ulang mempelajari materi teorema pythagoras.

19

Extraneous cognitive load berkaitan dengan penyampaian serta penyajian

dari sebuah materi. Extraneous cognitive load dapat diubah agar muatan kognitif

yang terjadi dalam proses pembelajaran tidak terlalu besar. Materi yang disajikan

dengan rumit akan mengakibatkan tingginya extraneous cognitive load sekalipun

materi tersebut mudah. Sebaliknya, penyajian yang baik dan mudah dapat

menjadikan extraneous cognitive load pada materi yang kompleks memiliki muatan

kognitif yang kecil.

Kapasitas working memory untuk membangun pengetahuan baru dapat

ditentukan oleh germane cognitive load, yang diakibatkan oleh kemampuan siswa

untuk meminimalkan efek dari intrinsic dan extraneous cognitive load.

Keberhasilan working memory untuk membangun pengetahuan baru dapat

dikatakan bersumber pada germane cognitive load (Sweller, et al., 2011: 57).

Germane cognitive load lebih dikenal sebagai germane resources . Germane

resource memberikan ruang proses kognitif yang relevan dengan pemahaman

materi yang sedang dipelajari dan proses konstruksi (akuisisi skema) pengetahuan

(Retnowati, 2015: 18). Dengan kata lain, germane cognitive load sangat

berpengaruh pada kapasitas working memory dalam mengolah informasi. Jika

pengetahuan yang relevan tidak terkait dengan materi baru, maka working memory

tidak dapat mengintegrasikan materi atau informasi yang sedang dipelajari.

Informasi yang tersimpan tanpa diorganisasikan dengan baik akan sulit dipanggil

kembali dan akan mengakibatkan lambatnya proses pembelajaran yang terkait pada

masa mendatang (Retnowati, 2008: 7).

20

Retnowati (2015: 19) menjelaskan bahwa cognitive load theory memiliki

implikasi dalam mendesain pembelajaran seperti dijelaskan sebagai berikut.

a. Guru perlu memahami tingkat kompleksitas materi dan banyaknya informasi

yang akan dipelajari.

b. Guru perlu mengetahui tingkat pengetahuan awal siswa yang akan mempelajari

materi yang diberikan.

c. Desain pembelajaran meminimalkan intrinsic cognitive load dan extraneous

cognitive load.

d. Guru memfasilitasi proses yang mendorong siswa mengelola intrinsic

cognitive load sehingga memungkinkan germane cognitive load yaitu proses

kognitif untuk konstruksi skema pengetahuan.

e. Membangun susunan skema yang baik dan memfasilitasi otomatisasi skema

melalui rehearsal (proses pengulangan informasi).

CLT menekankan bahwa pembelajaran akan mudah dipahami lebih dalam

apabila desain pembelajaran memiliki muatan kognitif yang tidak melebihi

kapasitas working memory. Prinsip pembelajaran berdasarkan CLT menurut

Sweller, et al. (2011: 217) dibagi menjadi dua, yaitu: (1) mengurangi extraneous

cognitive load, dan (2) menyesuaikan intrinsic cognitive load.

Prinsip pembelajaran yang pertama adalah mengurangi extraneous cognitive

load. Strategi yang mungkin untuk mengurangi extraneous cognitive load adalah

dengan mendesain pembelajaran menggunakan goal free problems, worked

example dan problem completion.

21

Goal free problems adalah strategi yang tidak menentukan tujuan akhir dalam

masalah yang diberikan sehingga siswa dapat menggunakan kapasitas working

memory yang memiliki kapasitas dan durasi terbatas untuk membangun

pengetahuan lebih maksimal. Goal free problems akan dijelaskan lebih lanjut dalam

sub bab berikutnya.

Worked example, strategi ini menyajikan soal yang memiliki struktur mirip

dengan contoh soal dan pembahasan yang diberikan kepada siswa dalam

pembelajaran. Mempelajari pemecahan masalah dengan worked example lebih

menguntungkan daripada memecahkan masalah secara konvensional, karena siswa

dapat lebih fokus pada masalah yang ada dan dapat menentukan langkah-langkah

solusi yang efisien. Atkinson & Renkl (2007: 376) berpendapat bahwa siswa

mampu memahami lebih mendalam pada materi baru yang diberikan jika siswa

diberikan worked example pada saat proses pembelajaran. Dalam menyusun

strategi worked example, perlu diperhatikan strategi yang lain yaitu split attention,

modality effect, dan redundancy.

a. Split-attention menunjukkan bahwa berbagai sumber informasi visual harus

disajikan secara terpadu jika sumber informasi tersebut merupakan prasyarat

untuk pemahaman. Apabila sumber yang ada disajikan secara terpisah, itu akan

menjadikan working memory memiliki muatan yang berlebih.

b. Modality effect, efek ini terjadi ketika memberikan pemahaman kepada siswa

diperlukan lebih dari satu sumber informasi. Muatan extraneous yang mengacu

pada penyampaian informasi secara visual dapat dikurangi dengan

menyampaikan informasi menggunakan kata-kata (verbal) daripada

menyampaikan dalam bentuk tulisan. Hal tersebut akan menggunakan

22

pengolah audio dalam memori bekerja siswa sehingga working memory dapat

bekerja lebih maksimal dalam membangun pengetahuan.

c. Redundancy, adalah pengulangan informasi yang sama dalam bentuk yang

berbeda. Pemberian informasi seharusnya menghindari penyajian berbagai

sumber informasi yang mengulangi informasi yang sama dalam bentuk yang

berbeda.

Contoh penerapan strategi worked example dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2. Contoh Strategi Worked Example

Strategi untuk mengurangi extraneous cognitive load yang ketiga adalah

problem completion, yaitu strategi yang menuntun siswa untuk membangun

pengetahuan dengan cara memberikan soal yang rumpang untuk dilengkapi.

Strategi ini lebih ditujukan untuk siswa yang sudah memiliki pengetahuan awal

namun belum mampu untuk membangun pengetahuan menggunakan sedikit

kesadaran. Dengan kata lain, strategi problem completion bertujuan untuk

menggapai skema automation.

23

Prinsip pembelajaran berdasarkan CLT yang kedua adalah menyesuaikan

intrinsic cognitive load. Intrinsic cognitive load adalah muatan kognitif yang terjadi

karena materi sulit untuk dipelajari atau beberapa masalah yang sulit untuk

dipecahkan. Masalah tersebut mengharuskan melibatkan beberapa elemen yang

secara bersamaan berinteraksi satu sama lainnya. Informasi atau materi yang asing

dapat diproses secara bertahap dan berurutan pada langkah pertama. Pada langkah

kedua, semua elemen informasi akan ditampilkan dalam satu waktu, termasuk

penghubung antar elemen. Pendekatan ini akan lebih menguntungkan untuk hasil

pembelajaran dibandingkan dengan menyajikan kedua step dalam satu waktu.

Muatan kognitif pada proses pembelajaran dapat diukur menggunakan rating

question (Sweller, et al., 2011). Rating question berisi pertanyaan untuk mengetahui

muatan kognitif yang terjadi pada siswa. Misalnya memberikan pertanyaan

seberapa sulit .

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran yang dikembangkan

berdasarkan CLT harus mengelola extraneous cognitive load dan intrinsic cognitive

load untuk mengurangi muatan kognitif yang terjadi dalam proses pembelajaran.

Intrinsic cogntive load pada dasarnya tidak dapat diubah sedangkan extraneous

cognitive load dapat dikurangi dengan menggunakan beberapa strategi seperti goal

free problems, worked example, dan problem completion. Muatan kognitif dapat

diukur melalui rating question tentang tingkat kesulitan soal yang diberikan.

5. Goal Free Problems

Goal free problems adalah desain pembelajaran problem solving yang

menghilangkan tujuan akhir dari masalah tersebut. Tujuan akhir yang tidak

24

dimunculkan memungkinkan siswa untuk membangun serta mengembangkan

penyelesaian dalam problem solving menggunakan informasi yang diketahui

(Sweller, et al., 2011: 89). Goal free problems adalah salah satu metode yang dapat

meminimalkan extraneous cognitive load sehingga working memory lebih

maksimal dalam membangun pengetahuan dan meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah. Dalam penelitiannya, Ayres (1993) menjelaskan bahwa goal

free problems efektif dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan

masalah.

Penelitian tentang goal free problems berawal dari eksperimen Sweller &

Levine (1982) menggunakan masalah teka-teki dan labirin. Penelitian itu

menunjukkan bahwa siswa akan belajar lebih maksimal apabila tujuan (goal) dari

masalah dihilangkan daripada tujuan masalah diberikan. Dalam eksperimen

tersebut, labirin sejatinya dapat diselesaikan dengan langkah yang sederhana,

namun siswa yang sadar akan tujuan atau diberikan tujuan dari masalah akan

mendapati lebih banyak langkah yang keliru dibandingkan siswa yang tidak

mengetahui tujuan.

Siswa pemula (novice learner) lebih memilih menggunakan strategi means-

ends analysis atau menyelesaikan problem solving dari belakang. Sweller, et al.

(2011: 90) berpendapat bahwa strategi means-ends analysis efektif untuk diberikan

kepada novice learner namun strategi ini menghasilkan muatan kognitif yang

tinggi. Melalui means-ends analysis siswa dipengaruhi oleh tujuan akhir dari

problem solving, sehingga siswa akan berusaha membuat beberapa sub-goal (sub -

tujuan) menuju informasi yang diketahui dalam masalah yang diberikan. selain itu,

25

siswa harus mengintegrasikan masalah yang diberikan, operator, dan tujuan secara

bersamaan.

Metode goal free problems berkebalikan dengan means-ends analysis. Means

ends analysis menjadikan muatan kognitif siswa menjadi besar sehingga working

memory tidak bekerja maksimal dalam membangun pengetahuan melainkan

kapasitas working memory juga digunakan untuk menganalisis. Sedangkan masalah

yang diselesaikan menggunakan goal free memiliki muatan kognitif yang lebih

kecil sehingga kapasitas working memory dapat bekerja lebih maksimal. Gambar 3

dan 4 merupakan diagram dari goal free problems dan diagram dari means-ends

analysis (diadaptasi dari Sweller, (1988: 269-271)).

Gambar 3. Diagram Proses Goal Free Problems

Mulai

Pertanyaan (soal) dan persamaan

dalam working memory

Persamaan dengan yang

belum

diketahui

hanya satu informasi?

Selesaikan persamaan dan ubah

informasi yang belum diketahui menjadi informasi yang diketahui

Berhenti mencari

Ya

Tidak

26

Gambar 4. Diagram Proses Means-Ends Analysis Production

Gambar diagram diatas memperlihatkan bahwasanya proses goal free

problems memiliki langkah yang lebih sedikit dibandingkan dengan proses means-

ends analysis. Dengan kata lain, kapasitas working memory yang melalui proses

Mulai

Ya

Ya

Ya

Tidak

Persamaan dengan yang

belum diketahui

adalah goal dan

beberapa

informasi?

Menambahkan sub-goal(s)

dalam working memory

Persamaan dengan

yang belum

diketahui adalah sub-goal(s) dan beberapa

informasi?

Persamaan dengan

yang belum diketahui

hanya sub-

goal?

Selesaikan persamaan

dan menambahkan

informasi yang telah

diketahui ke dalam

working memory

Solusi ditemukan

Persamaan dengan yang

belum diketahui

hanya tujuan akhir

(goal)?

Pertanyaan (soal) dan persamaan dalam working

memory

Ya

Tidak

Tidak

Tidak

Selesai

27

goal free problems lebih dapat bekerja secara maksimal untuk membangun

pengetahuan yang diberikan.

Means-ends analysis biasa digunakan sebagai penyelesaian goal given

problems, yaitu masalah yang memiliki tujuan akhir (goal). Gambar 5 merupakan

contoh dari goal given problems yang menuntut siswa untuk menentukan nilai

pada soal yang diberikan.

Gambar 5. Contoh Goal Given Problems

Working memory bekerja kurang maksimal dalam membangun pengetahuan

pada goal given problems. Untuk menentukan nilai , siswa harus menyelesaikan

dengan cara jalan mundur (means-ends analysis) atau mencari beberapa sub-goal

yang dapat membantu siswa menyelesaikan masalah. Hal tersebut akan

memberatkan working memory siswa.

28

Gambar 5 memiliki langkah penyelesaian sebagai berikut. Berikan nama

setiap titik sudut pada gambar jika belum ada, hal itu akan membantu dalam

mengidentifikasi langkah selanjutnya. Langkah kedua adalah menentukan sub-goal

dan sub-sub goal. Nilai garis dibutuhkan sebagai sub-goal pertama. Ketika

menentukan panjang garis juga dibutuhkan sub-goal garis , dengan kata lain

garis adalah sub-sub-goal.

Berdasarkan teorema kesebangunan, dapat dikatakan bahwa

saling sebangun sehingga perbandingan sisi yang

bersesuaian dapat ditentukan. Langkah ketiga dan selanjutnya adalah substitusi

informasi ke dalam persamaan dan eksekusi. Secara ringkas, langkah-langkah

menyelesaikan goal given problems dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Contoh Langkah Penyelesaian Goal Given Problems 1) Beri nama setiap titik sudut jika belum ada

2) Tentukan sub-goal dari soal yang diberikan. Sub goalnya adalah

3) Tentukan sub-sub goal dari soal yang diberikan. Sub-sub goalnya adalah

4) 6)

5) 7)

8)

Berbeda dengan goal given problems, goal free problems tidak memberikan

informasi mengenai tujuan akhir dari masalah. Gambar 6 merupakan contoh soal

tanpa tujuan (goal free problems).

29

Gambar 6. Contoh Goal Free Problems

Goal free problems adalah pemecahan masalah yang memberikan

kesempatan siswa untuk bebas mencari nilai yang siswa suka menggunakan

informasi yang ada. Tanpa perlu menentukan sub-goal, siswa dapat mengerjakan

soal langsung menuju langkah ketiga pada penyelesaian goal given problems.

Contoh langkah penyelesaian goal free problems dijabarkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Contoh Langkah Penyelesaian Goal Free Problems

1) Beri nama setiap titik sudut jika belum untuk memudahkan dalam menentukan

solusi.

2) 4)

3) 5)

6)

30

6. Geometri (Kesebangunan)

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Geometri dengan sub-

materi kesebangunan. Geometri berasal dari bahasa Yunani yaitu geo yang artinya

bumi dan metro yang artinya mengukur. Geometri adalah cabang ilmu matematika

yang pertama kali diperkenalkan oleh Thales (624-547 SM) yang berkenaan dengan

relasi ruang. Geometri (kesebangunan) merupakan salah satu materi pembelajaran

di jenjang Sekolah Menengah Pertama yang memiliki tingkat kompleksitas cukup

tinggi. Kesebangunan adalah kesamaan perbandingan panjang sisi dan besar sudut

antara dua bangun datar atau lebih. Pemahaman konsep yang mendalam serta

kemampuan pemecahan masalah sangat dibutuhkan dalam mempelajari materi

kesebangunan.

Penelitian ini memilih Standar Kompetensi memahami kesebangunan bangun

datar dan penggunaannya dalam pemecahan masalah yang tercantum dalam

Permendiknas No 23 Tahun 2006 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum

SMP/MTS. KD 1.3 dipilih dari Standar Kompetensi pada pembelajaran matematika

materi Geometri yaitu menggunakan konsep kesebangunan dalam pemecahan

masalah. Ringkasan materi kesebangunan terlampir pada lampiran 1.2.

Indikator pencapaian kompetensi siswa diturunkan dari kompetensi dasar

yang selanjutnya dijabarkan dengan konsep-konsep yang terkait. Konsep-konsep

tersebut dijabarkan pada Tabel 4 sebagai berikut.

31

Tabel 4. Indikator Pembelajaran dan Contoh Soalnya Indikator Kompetensi Dasar Contoh Soal 1.3.1. Menghitung sisi yang

belum diketahui dari segitiga-segitiga yang sebangun

Tentukan nilai pada gambar berikut!

1.3.2. Mengaplikasikan

konsep kesebangunan untuk menghitung luas segitiga

Tentukan nilai pada gambar berikut!

1.3.3. Menghitung panjang sisi trapesium menggunakan konsep kesebangunan.

Tentukan nilai pada gambar berikut!

32

7. Kemampuan Transfer

Transfer adalah akibat yang dihasilkan setelah mempelajari materi

pemecahan masalah yang baru. Menurut Mayer (2002: 226), kemampuan transfer

merupakan kemampuan untuk menggunakan atau memanggil kembali materi yang

telah dipelajari untuk menyelesaikan masalah baru.

Kemampuan transfer dapat dipahami dengan menghubungkan tingkat

kognitif dengan Taksonomi Bloom (Mayer, 2002: 228). Taksonomi Bloom adalah

struktur hierarki yang berbentuk segitiga dari kemampuan berpikir dari tingkat yang

rendah hingga tingkat yang tinggi. Taksonomi Bloom menurut Krathwohl (2002:

213) terdiri dari enam level yang tergambar pada Gambar 7.

Gambar 7. Tingkatan Taksonomi Bloom

Mayer (2002: 227) menjelaskan bahwa tujuan utama dari pembelajaran

bermakna adalah untuk meningkatkan kemampuan transfer. Kemampuan transfer

dibagi menjadi dua yaitu near transfer dan far transfer.

Near transfer (kemampuan pemecahan masalah tingkat rendah) merupakan

kemampuan transfer untuk mengingat materi yang telah dipelajari dalam proses

pembelajaran. Proses kognitif dalam near transfer test adalah mengenali

(recognizing) serta mengingat/ memanggil kembali (recalling). Sebagai contoh,

33

siswa

Far transfer (kemampuan pemecahan masalah tingkat tinggi) merupakan

kemampuan transfer yang menggunakan pengetahuan sebelumnya untuk

menyelesaikan masalah yang baru. Berbeda dengan near transfer yang hanya

melibatkan tingkat terbawah dari Taksonomi Bloom, far transfer melibatkan

seluruh komponen dari Taksonomi Bloom. Sebagai contoh, siswa mampu

menggunakan teorema penjumlahan untuk mengerjakan soal perkalian, karena

perkalian adalah penjumlahan yang berulang.

Segitiga mengindikasikan bahwa level paling bawah yaitu mengingat

dianggap paling mudah dan level paling atas yaitu mencipta dianggap paling susah

untuk dikuasai oleh siswa. Selain itu, untuk menguasai kemampuan tertinggi

(puncak dari segitiga), siswa harus mulai dari bawah dan menguasainya.

Proses kognitif kemampuan berpikir memiliki beberapa dimensi. Krathwohl

(2002: 215) menjabarkan dimensi dari proses kognitif sebagai berikut. Pada tingkat

mengingat proses kognitif yang terjadi adalah mengenali (recognizing) dan

mengingat (recalling). Tingkat memahami (understanding) memiliki enam dimensi

proses kognitif yaitu menafsirkan (interpreting), memberi contoh (exampliying),

meringkas (summarizing), menarik inferensi (infering), membandingkan

(compairing), dan menjelaskan (explaining).

Tingkat mengaplikasikan (apply) memiliki dua proses kognitif yaitu

menjalankan (executing) dan mengimplementasikan (implementing). Terdapat tiga

proses kognitif dalam tingkat menganalisis (analyze) yaitu menguraikan

34

(differentiating), mengorganisir (organizing), dan menemukan makna tersirat

(attributing).

Proses kognitif yang terjadi pada tingkat evaluasi (evaluate) adalah

memeriksa (checking) dan mengkritik (critiquing). Tingkat paling tinggi pada

Taksonomi Bloom yaitu menciptakan (create) memiliki proses kognitif

merumuskan (generating), merencanakan (planing), dan memproduksi

(producing).

Kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan berpikir tingkat

tinggi yang dapat diukur menggunakan tipe soal yang dikembangkan dalam bentuk

tes uraian. Fraenkel & Wallen (1993: 124) menyatakan bahwa tes berbentuk uraian

sangat cocok untuk mengukur higher level learning outcomes. Tes berbentuk uraian

mampu memberikan kebebasan siswa untuk lebih mengekspresikan daya nalarnya,

sehingga hasil tes akan menunjukkan kemampuan berpikir siswa secara kompleks

Susongko (2010).

Tes uraian yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah

harus kompleks. Menurut Reeff, Zabal, & Blech (2006: 12) tes yang dibuat untuk

mengukur kemampuan pemecahan masalah harus memfasilitasi siswa dalam:

a. mencari informasi dan mengintegrasikan masalah yang diberikan,

b. memberikan alasan yang sesuai dengan masalah,

c. merencanakan langkah untuk menemukan solusi,

d. mengeksekusi rencana yang telah dibuat, dan

e. mengoreksi/ mengecek kembali solusi.

Tes uraian memiliki keunggulan dan kekurangan dibandingkan tes objektif

(Sudjana, 2009). Keunggulan tes uraian adalah sebagai berikut. (1) Lebih

memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyatakan gagasan. (2)

Penyusunan soal lebih cepat. (3) Hasil tes dapat menunjukkan kemampuan berpikir

35

siswa secara kompleks. Kekurangan dari tes uraian adalah sebagai berikut. (1)

Jawaban yang heterogen. (2) Penilaian subjektif. (3) Koreksi memerlukan waktu

dan ketelitian.

Dari uraian di atas, maka kemampuan transfer dapat dibagi menjadi dua yaitu

near transfer (kemampuan pemecahan masalah tingkat rendah) dan far transfer

(kemampuan pemecahan masalah tingkat tinggi). Kemampuan transfer dapat

diukur menggunakan tes uraian. Tes uraian dalam near transfer berupa pertanyaan

yang memiliki struktur sama dengan fase pembelajaran karena proses kognitif pada

near transfer adalah mengingat. Tes uraian dalam far transfer berupa pertanyaan

yang strukturnya berbeda dalam fase pembelajaran dan menggunakan tingkatan

yang lebih tinggi dari sekedar mengingat dalam Taksonomi Bloom.

B. Penelitian yang Relevan

Hasil dari penelitian yang relevan seluruhnya telah dijabarkan dan menjadi

rujukan dalam kajian teori. Penelitian yang relevan dalam penelitian ini dapat

diringkas menjadi tiga, yaitu tentang goal free, pembelajaran kolaboratif, dan

kemampuan transfer.

Penelitian yang relevan dalam penelitian ini dilakukan oleh Endah Retnowati

pada tahun 2015 yang berjudul Goal Free Problems Dalam

Pembelajaran Matematika Kolaboratif Ditinjau dari Muatan Kognitif dan

Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan

bahwa siswa yang belajar dengan pendekatan goal free problems pada materi sudut

memiliki skor kemampuan transfer tingkat tinggi yang lebih baik secara signifikan.

36

Penelitian yang dilakukan oleh Anurada A. Gokhale pada tahun 1995 yang

Collaborative Learning Enhances Critical Thinking dijadikan sebagai

salah satu penelitian yang relevan. Gokhale menyimpulkan bahwa pembelajaran

kolaboratif dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan

pemecahan masalah.

Jurnal yang dibuat oleh Richard E. Mayer pada tahun 2002 dengan judul

Rote Versus Meaningful Learning juga menjadi salah satu penelitian yang

relevan. Dalam jurnal tersebut, dikatakan bahwa pembelajaran yang bermakna

dapat memberikan siswa pemahaman yang lebih mendalam. Pembelajaran yang

bermakna adalah pembelajaran yang memfasilitasi untuk dapat mentransfer

kembali apa yang telah dipelajari. Dengan kata lain pembelajaran yang bermakna

dapat memfasilitasi kemampuan transfer.

C. Kerangka Berpikir

Kemampuan pemecahan masalah siswa menjadi hal yang sangat penting

dalam dunia pendidikan terutama di bidang pendidikan matematika. Hal tersebut

sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum di dalam Standar Isi kurikulum

pendidikan di Indonesia. Kemampuan pemecahan masalah siswa dapat

ditingkatkan melalui strategi goal free problems yaitu strategi yang dapat

meminimalkan muatan kognitif pada proses pembelajaran. Minimalnya muatan

kognitif dalam proses pembelajaran menjadikan kapasitas berpikir siswa dapat

37

lebih difokuskan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Dengan

kata lain, goal free problems diduga sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika. Hal tersebut juga merupakan

kesimpulan dari jurnal yang di hasilkan oleh Ayres & Sweller pada awal tahun

1990-an.

Strategi pembelajaran berkelompok atau kolaboratif dapat digunakan untuk

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa. Pembelajaran kolaboratif

mampu merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan

masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan.

Goal free problems diduga efektif dalam meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah jika dipelajari secara kolaboratif. Oleh karena itu, goal free

problems yang dipelajari secara kolaboratif masih perlu diuji efektivitasnya

terutama dalam materi kesebangunan. Kesebangunan adalah materi yang memiliki

tingkat kompleksitas cukup tinggi. Efektivitas dari goal free problems yang

dipelajari secara kolaboratif dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah

dapat ditinjau menggunakan instrumen tes uraian tertulis. Instrumen tersebut dibagi

menjadi dua fase yakni fase tes kemampuan pemecahan masalah tingkat rendah

atau near transfer dan fase tes kemampuan pemecahan masalah tingkat tinggi atau

far transfer. Kemampuan transfer dipilih karena transfer mampu

menginterpretasikan materi-materi yang telah dipelajari menggunakan kemampuan

berpikir tingkat tinggi.

38

Fase near transfer test digunakan untuk menguji siswa dalam mengingat

materi yang telah dipelajari. Oleh sebab itu, soal pada near transfer test akan dibuat

memiliki kesamaan struktur dengan soal-soal yang telah dipelajari pada fase

belajar.

Berbeda dengan near transfer test, far transfer test menuntun siswa untuk

berupaya menganalisis soal yang ada dan mengaplikasikan materi yang telah

dipelajari. Soal pada far transfer test tidak memiliki kesamaan struktur dengan soal-

soal yang telah dipelajari. Untuk menemukan jawaban pada far transfer test siswa

harus melalui seluruh tingkatan Taksonomi Bloom yaitu remember, understand,

apply, analyze, evaluate, dan create sehingga siswa dapat menentukan langkah atau

strategi yang tepat.

Selain menguji menggunakan tes tertulis, penelitian ini juga mengukur

muatan kognitif siswa menggunakan skala likert . Muatan kognitif diuji dengan

skala 1-9 dengan satu merepresentasikan sangat-sangat mudah dan sembilan

merepresentasikan sangat-sangat sulit.

Berdasarkan uraian di atas, kemampuan pemecahan masalah dapat

ditingkatkan dengan menyajikan pembelajaran menggunakan goal free problems

dan menggunakan strategi pembelajaran kolaboratif. Oleh karena itu muncul ide

penelitian guna menguji efektivitas goal free problems dalam strategi pembelajaran

berkelompok yang tergambar pada Gambar 8.

39

Gambar 8. Diagram Kerangka Berpikir

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Goal free problems efektif untuk materi kesebangunan ditinjau dari

kemampuan transfer dan muatan kognitif.

2. Strategi kolaboratif efektif untuk materi kesebangunan ditinjau dari

kemampuan transfer dan muatan kognitif.

3. Goal free problems yang dipelajari secara kolaboratif efektif untuk materi

kesebangunan ditinjau dari kemampuan transfer dan muatan kognitif.