kajian dan pembahasan
TRANSCRIPT
KAJIAN DAN PEMBAHASAN
MENGENAI
DANA ASPIRASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
Direktorat Anggaran I
Direktorat Jenderal Anggaran
Kementerian Keuangan
Jakarta
Oktober 2015
1
BAB IPendahuluan
I.1. Latar Belakang
Dalam rangka penyusunan petunjuk/norma/sistem/kaedah dalam perbaikan proses
penganggaran, kira DJA perlu membuat tim untuk mengkaji lebih dalam terhadap usulan-
usulan kegiatan oleh Kementerian/Lembaga. Hal ini untuk mendasari keputusan pimpinan
dalam mengambil keputusan yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan ekonomi
Indonesia. APBN sebagai sumber utama penggerak ekonomi bangsa dan sebagai amanat
dari rakyat, kiranya perlu di asah agar sesuai amanat Pasal 3 ayat (1) UU No. 17 tahun
2003 tentang Keuangan Negara bahwa Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada
peraturan peundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung
jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Usulan mengenai Dana aspirasi Anggora DPR RI sudah mulai muncul sejak tahun
2011. Ketika itu diusulkan oleh Fraksi Golkar di DPR. Gagasannya adalah setiap anggota
DPR akan diberikan jatah alokasi dana sebesar 15 miliar rupiah per tahun untuk daerah
pemilihannya (Dapil). Dana ini akan diambil dari APBN setiap tahunnya. Dengan jumlah
anggota DPR 560 orang, besar anggaran untuk Dana Aspirasi DPR (DAD) ini mencapai
nilai 8,4 triliun per tahun. Namun saat itu ditentang oleh masyarakat luas dan pengamat
politik di dalam negeri dan usulan tersebut tidak dilanjutkan.
Pada masa keanggotaan DPR periode 2014-2019 dana aspirasi tersebut kembali
muncul diusulkan dengan angka lebih besar, yakni Rp 20 miliar sehingga secara
keseluruhan menghabiskan dana APBN Rp 11,2 triliun per tahun.
Tujuan dari usulan pemberian dana aspirasi oleh anggota legislatif ini adalah untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pembangunan dan percepatan
turunnya dana pembangunan ke daerah yang selama ini dirasakan masih kurang
memuaskan.
2
Menanggapi usulan dana aspirasi ini, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya
Novanto menilai permintaan kenaikan dana aspirasi menjadi Rp 20 miliar per tahun adalah
hal yang wajar, "Usulan ini disesuaikan dengan perkembangan yang ada, sehingga aspirasi
masyarakat bisa terakomodir oleh para Anggota DPR dari tiap dapil. Masalah dana dapil
ini memang menjadi suatu kewajiban anggota dewan dalam menjalankan program-
programnya," ujarnya di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (9/6).
Nantinya, dana aspirasi itu bakal dipergunakan untuk menyelesaikan kesulitan di
daerah, sehingga Anggota DPR hanya mengusulkan program-program untuk kepentingan
masyarakat.
"Program-program yang ada di dapil tidak dimiliki oleh anggota dewan, tetapi
semua diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Jadi, ini hanya usulan-usulan dari pada
anggota yang mewakili daerahnya," papar Novanto.
Ketua DPR RI Setya Novanto mengatakan dana aspirasi dapil untuk para anggota
dewan masih bersifat usulan. Menurut dia, wacana tersebut masih dalam tahap pembahasan
dalam fraksi-fraksi di DPR RI.
"Dana aspirasi sedang dibahas dalam semua fraksi. Ini menjadi kewajiban bagi
anggota di dalam program-programnya. Ini (dana aspirasi) tidak dimiliki (anggota), tapi
semua diserahkan pada pemerintah (Pemda)," ujar Novanto saat ditemui di Gedung
Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (9/6).
Selain itu politisi Golkar tersebut mengaku penyebab meningkatnya nominal dana
aspirasi adalah demi menyesuaikan perkembangan yang ada. Misalnya, untuk perbaikan
jalan dan pembangunan jembatan, tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. "Kita
semua sesuaikan dengan situasi yang ada. Hari ini kita lihat perkembangannya. Intinya
anggota mengusulkan berkaitan dengan masyarakat,".
Pemerintah menolak usul Dewan Perwakilan Rakyat untuk memasukkan dana
aspirasi ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. Usulan dana
yang dikemas dalam Program Pembangunan Daerah Pemilihan (PPDP) ini dianggap
3
bertentangan dengan Nawa Cita atau sembilan program prioritas yang menjadi visi dan
misi pemerintah Presiden Joko Widodo.
Penolakan itu diungkapkan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof
A. Chaniago setelah Presiden di Istana Negara, Rabu 24 Juni 2015. “Program
pembangunan DPR itu diambil dari visi dan misi Presiden. Jadi, kalau pakai dana aspirasi,
bisa bertabrakan,” kata Andrinof, menirukan pernyataan Jokowi.
Tak hanya itu, kata Andrinof, Presiden menolak usulan dana ini karena tidak sesuai
dengan kewenangan Dewan dalam penentuan anggaran. Dewan, kata dia, hanya berwenang
melakukan pengawasan, sementara penentuan anggaran menjadi kewenangan eksekutif.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mendukung penolakan. Selain
menyalahi Undang-Undang Keuangan Negara yang mengatur kewenangan penentuan
anggaran di tangan pemerintah, menurut Sekretaris Jenderal Fitra Yenny Sucipto, ”Dana ini
bisa jadi bancakan elite.”
Dana aspirasi ini juga akan menimbulkan ketimpangan wilayah karena disalurkan
berdasarkan anggota DPR. Sistem perwakilan akan menguntungkan wilayah padat
penduduk karena akan mendapat dana aspirasi lebih besar dibanding daerah yang sedikit
pemilihnya.
I.2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan pembentukan tim penyusunan kajian dibidang penganggaran Kementerian
lembaga mitra kerja Direktorat Anggaran I ini adalah memberikan rekomendasi/referensi
kepada Direktur Jenderal Anggaran dalam rangka penyusunan petunjuk/norma/system/
kaidah dalam perbaikan proses penganggaran.
Sasaran dari kegiatan ini adalah agar Direktorat Jenderal Anggaran mempunyai
dasar kajian yang komprehensif atas usulan Dana Aspirasi yang diusulkan oleh anggota
DPR.
4
I.3. Hasil yang diharapkan
Hasil yang diharapkan dari kajian terhadap usulan Dana Aspirasi Angggota DPR
adalah rekomendasi/referensi terhadap usulan tersebut. Apakah layak untuk diberikan
berdasarkan aspek teoritis dan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.
I.4. Ruang Lingkup kegiatan
Ruang Lingkup kegiatan pembentukan tim penyusunan kajian dan pembahasan Dana
Aspirasi Anggota DPR RI ini dibatasi oleh tinjauan teoritis, dasar hukum dan aspek
legalitas/dasar hukum dalam hal pengelolaan, penganggaran, penetapan serta
pengawasannya dalam APBN.
1.5. Metodologi
Metodologi penulisan ini adalah dengan metodologi pustaka, yaitu mencari data dan
informasi dari literatur dan sumber sekunder dalam rangka memperluas pandangan dan
memperkaya sumber informasi.
5
BAB II
Tinjauan Teoritis dan Dasar Hukum
II.1 Tinjauan Teoritis
Dana Aspirasi Anggota DPR pertama kali dimunculkan tahun 2011 pada masa era
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY mengklaim, pada era pemerintahannya,
ia menolak usul pengadaan dana aspirasi semacam itu karena dianggap menyamakan
kewenangan eksekutif dan legislatif. "Ada lima hal yang harus dikritisi diuji atas ide dana
aspirasi itu. Terutama terkait dengan sistem, governance dan aturan main," ujar SBY
melalui akun Twitter resminya, Senin (15/6).
Secara teori, Dana Aspirasi Anggota DPR ini bila dianalisa sangat mirip
dengan “pork barrel budget” di Amerika Serikat (AS). Apa itu pork barrel. Pork barrel
memang adalah istilah dengan konotasi negatif yang dipakai untuk mengkritik praktek
budgeting pemerintah pusat (Federal) AS untuk proyek-proyek di distrik anggota Congress
(setara DPR) yang terpilih. Dana pork barrel digunakan politisi Congress untuk “membayar
balik” konstituennya dalam bentuk bantuan dana untuk proyek-proyek di daerah
pemilihannya. Membayar balik dalam pengertian membalas dukungan politik yang
didapatkannya sebelum ia terpilih, baik dukungan dalam bentuk suara pemilih (vote)
ataupun kontribusi dalam kampanye politiknya.
Politik “gentong babi” kali pertama diperkenalkan dalam apa yang disebut Bill
Bonus. Pada 1817 Wakil Presiden Amerika Serikat John C. Calhoun mengusulkan Bill
Bonus yang isinya penggelontoran dana untuk pembangunan jalan raya yang
menghubungkan Timur dan Selatan ke Barat Amerika. Dananya akan diambil dari laba
bonus Second Bank of the United States (Bank Kedua Amerika Serikat). RUU tersebut
diveto oleh Presiden James Madison.
Bill Bonus kedua terjadi pada awal 1931. Saat itu para veteran yang tergabung dalam
American Legion dan Veterans of Foreign Wars mendesak pemerintah untuk membayar
kompensasi kepada mereka yang berjuang pada Perang Dunia I. Desakan para veteran itu
6
mendapat dukungan anggota Kongres dari Texas, John Wright Patman. Pada 1932, Patman
memperkenalkan Veteran’s Bonus Bill. Presiden Herbert Hoover menentangnya. Usaha
Patman gagal.
Patman berusaha lagi saat Franklin Delano Roosevelt berkuasa. Kali ini dia
mendapat dukungan dari anggota Partai Demokrat, Huey Long, dan Pastor Charles
Couglin. Roosevelt bergeming, bahkan memvetonya. Pada 1936, Kongres akhirnya
menyetujui pengucuran dana kompensasi untuk para veteran setelah masa veto Roosevelt
berakhir. Departemen Keuangan mencairkan dana sebesar US$ 1,5 milyar dalam bentuk
cek Treasury untuk 4 juta veteran berdasarkan Adjusted Compensation Payment Act (UU
Pembayaran Kompensasi).
Istilah “gentong babi” sudah digunakan Edward Everett Hale dalam kisah populer,
The Children of the Public (1910), sebagai metafora sederhana untuk setiap bentuk
pengeluaran publik untuk warga. Tapi istilah itu menjadi konsumsi publik setelah
dipopulerkan oleh Chester Collins Maxey dalam artikel “A Little History of Pork” dalam
National Municipal Review pada 1919.
Sejarah istilah “pork barrel” ini mengacu pada praktek tertentu di era sebelum Civil
War (perang saudara) AS. Saat itu ada praktek memberikan budak kulit hitam se-barrel
(gentong) “salt pork” (sejenis makanan dari daging babi mirip bacon) sebagai hadiah dan
membiarkan mereka memperebutkan hadiah tersebut. Istilah ini dipakai karena budgeting
pemerintah oleh anggota Congress untuk Dapil-nya mirip praktek tersebut. Konstituen di
daerah seakan “budak yang dibeli” dan berebut dana anggaran tersebut. Dana pork barrel
digunakan politisi Congress untuk “membayar balik” konstituennya dalam bentuk bantuan
dana untuk proyek-proyek di daerah pemilihannya. Membayar balik dalam pengertian
membalas dukungan politik yang didapatkannya sebelum ia terpilih, baik dukungan dalam
bentuk suara pemilih (vote) ataupun kontribusi dalam kampanye politiknya.
Pork barrel adalah praktek yang lazim dalam politik AS namun dikecam publik.
Anggaran Federal (pemerintahan pusat) berasal dari uang pembayar pajak yang taat pajak
namun juga memiliki tuntutan tinggi terhadap penggunaan uang pajak. Mereka tidak terima
apabila uang pembayar pajak diboroskan untuk proyek-proyek yang tidak bermanfaat.
7
Contoh penggunaan pork barrel yang kontroversial antara lain pembangunan jembatan di
Negara Bagian Alaska. Jembatan yang menghubungkan hanya 50 penduduk di sebuah desa
di satu pulau ke lapangan terbang tersebut dijuluki Bridge to Nowhere (saking tidak
bermanfaatnya) menghabiskan anggaran Federal sebesar 398 juta US$.
Pork barrel spending telah demikian mengakar di dunia perpolitikan AS sehingga
walaupun dikecam tetap jalan. Saking mengakarnya praktek ini, anggota Congress AS
akhirnya dinilai berdasarkan kemampuan mencairkan dana pork barrel untuk
konstituennya. Yang berhasil mendapatkan dana besar dari Federal akan mendapatkan
kemungkinan tertinggi untuk dipilih kembali pada pemilu berikutnya. Jadi pork barrel
digunakan untuk melanggengkan status quo anggota Congress, sarana politik untuk
mengamankan posisinya untuk pemilu berikutnya.
Di negeri asalnya, Amerika Serikat, praktik ini menyebabkan penggunaan anggaran
yang tak wajar. Misalnya, ada usulan proyek pembuatan toilet di Gunung McKinley yang
menghabiskan anggaran US$ 800.000, pembuatan perahu kuno purba sebesar US$ 2 juta,
dan studi mengapa orang tak bersepeda ke kantor dengan anggaran US$ 1 juta. Karena itu,
“gentong babi” menjadi isu kampanye calon presiden Amerika Serikat pada 2008. Bahkan
tim kampanye McCain membuat game online “gentong babi”: “Pork Invaders” untuk
menyerang Obama. Lewat game ini, McCain ingin menyampaikan pesan bahwa dirinya
menentang pemborosan anggaran negara melalui “gentong babi”.
Seperti halnya presiden James Madison, Herbert Hoover, dan Franklin Delano
Roosevelt, Obama juga berjanji akan mengawasi dengan ketat para anggota parlemen yang
mengajukan proyek “gentong babi”. Bagi Obama, “gentong babi” akan membebani
anggaran negara dan menguntungkan politisi yang bersangkutan.
Menurut Bull dan Newell, Praktek korupsi juga akan berkembang pada budaya
yang partikularistik dimana hukum dan penegakkan hukum dapat dinegosiasikan serta pada
negara dimana politik “pork barrel” merupakan hal yang biasa, biasanya ditandai dengan
sangat kurangnya tekanan publik terhadap politisi untuk berperilaku yang
bertanggungjawab. Selain itu, korupsi juga akan tumbuh pada masyarakat yang memiliki
8
pola hubungan patron-klien dan pada negara yang tidak memiliki kriteria jelas atau
transparan dalam penentuan pejabat publik.
Praktik “gentong babi” kemudian diadopsi oleh beberapa negara. Filipina, menurut
Benny Subianto dalam Skandal “Gentong Babi” Filipina, sudah menerapkannya sejak
1930. Bahkan, dananya dikelola oleh lembaga Priority Development Asistance Fund
(PDAF). Setiap tahun, pemerintah Filipina menganggarkan 70 juta peso atau sekitar US$
1,5 juta per anggota Kongres (DPR). Sedangkan Senator mendapat jatah 200 juta peso atau
sekitar US$ 5 juta per orang untuk dana pembangunan di daerah masing-masing. Para
anggota Kongres dan Senator kemudian membuat rencana proyek pembangunan, yang
akan didanai dengan skema “gentong babi” ini. Tujuannya tak lain hanya untuk
menyenangkan konstituen agar terpilih kembali pada pemilihan mendatang.
Di negara-negara lain, praktik “gentong babi” juga disebut patronage (patronase).
Di Denmark, Swedia, dan Norwegia disebut “election pork” atau “babi pemilihan”, di
mana para politisi mengumbar janji-janji sebelum pemilihan berlangsung. Di Finlandia
disebut “politik gorong-gorong”, yang mengacu pada politisi nasional berkonsentrasi pada
masalah-masalah lokal. Rumania menyebutnya “sedekah pemilihan”. Sedangkan di
Polandia disebut “sosis pemilu”.
Menurut Teddy Lesmana dalam Politik Pork Barrel dan Kemiskinan, praktik
“gentong babi” menjadi sesuatu yang mengandung konotasi negatif terkait dengan perilaku
politisi yang menggunakan uang negara untuk kepentingan politiknya dan tidak semata-
mata untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya.
II.2 Tinjauan Dasar Hukum/Legalitas
Pemberian dana aspirasi anggota DPR ini secara legalitas belum mempunyai dasar
hukum yang pasti, karena masih berupa usulan program/kegiatan baru dari DPR RI.
Berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 69 ayat (1) UU No. 17 tahun 2014
9
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) disebutkan bahwa DPR memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
Pasal 70 ayat (2) UU No. 17 tahun 2014 tentang MD3, menyebutkan bahwa fungsi
anggaran sebagaimana dimaksud pasal 69 ayat (1) dilaksanakan untuk membahas dan
memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan
oleh Presiden, Pasal 70 ayat (3) menyebutkan bahwa pengawasan sebagaimana dimaksud
Pasal 69 ayat (1) dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
APBN.
Tugas DPR berdasarkan Pasal 72 UU No. 17 tahun 2014 tentang MD3 bahwa DPR
bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN dan
kebijakan pemerintah (butir d), membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang di sampaikan oleh BPK (butir e);
menyerap, menghimpun menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat (butir g).
Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 71 dan
Pasal 72, DPR memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam
program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama dengan
ketentuan perundang-undangan. (Pasal 75 UU. No. 17 tahun 2014 tentang MD3).
Kewajiban Anggota DPR RI berdasarkan Pasal 81 UU. No. 17 tahun 2014 tentang
MD3, yaitu bahwa : (i) menyerap dan menghimpun aspirasi konstitusi melalui kunjungan
kerja secara berkala (butir i); (ii) menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
masyarakat (butir j).
Dalam hal pengelolaan Keuangan Negara, Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan
bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-
undang dasar. Pasal 6 ayat (1) UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan
bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan
Negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan
10
Pasasl 6 ayat (2) UU. No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan
bahwa kekuasaan tersebut : (a) dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola
fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan Negara yang di pisahkan; (b)
dikuasakan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang dimpinnya; dan (c) diserahkan
kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola
keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah
yang dipisahkan.
Dari penjabaran peraturan perundangan diatas, jelas bahwa fungsi anggaran
(budgeting) DPR terhadap APBN adalah sebagai membahas dan memberi persetujuan
terhadap rancangan UU APBN, serta fungsi pengawasan terhadap APBN dilaksanakan
dengan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang APBN. Tugas DPR dalam
menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dilakukan
dengan cara melakukan kunjungan kerja secara berkala.
Dalam pengaturan pengelolaan keuangan Negara, DPR tidak diberikan kewenangan
untuk mengelola keuangan Negara, hanya diberikan kewenangan untuk membahas,
memberi persetujuan dan melakukan pengawasan serta tindak lanjutnya jika ada
penyelewengan oleh pelaksanaan APBN.
Pengamat politik dari Fisipol UGM, A.A.G.N. Ari Dwipayana, M.Si., menilai dana
aspirasi nantinya justru akan merusak fungsi/peran DPR menjadi layaknya eksekutif
sebagai penyalur anggaran/dana kepada masyarakat. Dana aspirasi seperti yang diusulkan
itu bertentangan dengan fungsi dan peran yang dimiliki DPR, yaitu legislasi, penganggaran,
serta pengawasan,"
Penyaluran dana aspirasi juga akan menimbulkan ketimpangan antar daerah,
khususnya antara Jawa dengan luar Jawa. Dana aspirasi diprediksi akan lebih banyak
tersalur di Pulau Jawa karena banyak anggota DPR yang berasal dari pulau ini, sedangkan
untuk luar Jawa akan lebih sedikit. Dana aspirasi nantinya akan timpang dan banyak
terserap di Pulau Jawa dibanding luar Jawa dengan melihat perwakilan DPR yang berbasis
jumlah penduduk.
11
Pengamat politik dari Indonesia Institute for Development (Inded) Arif Susanto
menilai pengusulan dana pembangunan daerah pemilihan sebesar Rp 20 miliar untuk setiap
anggota dewan adalah bentuk salah persepsi para legislator terhadap UU Nomor 17 Tahun
20014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Menurut Arif, dana Aspirasi yang diajukan oleh DPR didasarkan pada kesalahan
penafsiran UU MD3 itu yaitu pasal 78 dan pasal 80 huruf (J). Pasal 78 tersebut berbunyi
bahwa para anggota dewan akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili untuk
mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Sementara Pasal 80 huruf (J) UU MD3 yang berbunyi, Anggota DPR berhak
mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. “Ini tidak
sesuai dengan fungsi dan tugas pokok anggota DPR untuk legislasi, pengawasan, anggaran
dan aspirasi karena yang tertulis adalah mengusulkan bukan memasukan apalagi
menganggarkan,” ujarnya.
12
BAB III
Kajian terhadap Dana Aspirasi Anggota DPR
III.1. Kajian
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa anggaran Dewan Perwakilan
Rakyat terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Dalam kurun waktu 2010 hingga 2015,
anggaran DPR naik hampir tiga kali lipat.
"Anggaran DPR selama kurun waktu lima tahun naik hampir tiga kali lipat, tetapi
hasilnya hanya polemik. Inilah potret kinerja DPR yang tanpa kerja," kata Koordinator
Divisi Korupsi Politik Donal Fariz di Jakarta, Rabu (7/10/2015).
Dalam APBNP 2010, anggaran DPR yang dialokasikan lebih kurang Rp 2,377
triliun. Anggaran ini naik terus hingga menjadi Rp 5,191 triliun pada APBN 2015.
Kenaikan anggaran DPR tidak sampai di situ.
Menurut Donal, terdapat penambahan anggaran lebih kurang Rp 1,635 triliun dalam
APBN-P 2015 yang tercatat sebagai tambahan belanja hasil pembahasan. Dengan
demikian, anggaran DPR dalam APBN-Perubahan 2015 menjadi Rp 5,191 triliun.
Tabel 1. Pagu APBN-P DPR RI Tahun 2010-2015
UnitTAHUN 2010
TAHUN 2011
TAHUN 2012
TAHUN 2013
TAHUN 2014
TAHUN 2015
SETJEN 1.115.648.507 696.385.549 722.039.991 730.211.213 819.388.509 1.425.563.516
DEWAN 1.261.608.821 1.749.098.585 1.984.510.939 2.168.358.213 2.068.761.675 3.766.105.172
JUMLAH 2.377.257.328 2.445.484.134 2.706.550.930 2.898.569.426 2.888.150.184 5.191.668.688
Sumber : Data Busines intelijen DJA
13
Kendati demikian, menurut dia, kenaikan anggaran DPR ini tidak diikuti dengan
peningkatan kinerja. Hal ini tergambar dari minimnya produk undang-undang yang
dihasilkan. Dari 38 rancangan undang-undang prioritas pada 2015, DPR baru
menyelesaikan dan mengesahkan dua undang-undang, yakni Undang-Undang Pilkada dan
UU Pemda. Ditambah satu undang-undang yang disahkan, yakni UU MD3.
"Padahal, anggaran DPR untuk melaksanakan fungsi legislasi pada rincian APBN
2015 mencapai Rp 246 miliar. Pencapaian legislasi ini tentu tidak sebanding dengan
besarnya anggaran pada pos tersebut," ujar Donal (http://nasional.kompas.com/read/
2015/10/07/20392431/Dalam.Lima.Tahun.Anggaran.DPR.Meningkat.Hampir.Tiga.Kali.Li
pat).
Secara yuridis hak budget Parlemen Indonesia terdapat dalam Pasal 23 Ayat (1)
UUD 1945 Sebelum Perubahan yang menyatakan: “Anggaran pendapatan dan belanja
ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak
menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran
tahun yang lalu.”
Dalam penjelasan pasal tersebut, tegas disebutkan bahwa DPR memiliki hak
budget, sebagaimana penjelasan pasal tersebut yang memuat hak begrooting Dewan
Perwakilan Rakyat. Hak begrooting atau hak budget ini menempatkan DPR RI pada posisi
yang kuat, seolah-olah menjelaskan betapa berkedaulatannya rakyat sungguh-sungguh
benar dengan perantara DPR sebagai utusannya.
Hal ini berbeda dengan model negara fasisme yang otoritarianisme sangat kuat, di
mana anggaran itu ditetapkan semata-mata hanya dari pemerintah. Tetapi dalam negara
demokrasi yang berkedaulatan rakyat, anggaran negara ditetapkan dengan undang-undang.
Artinya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Betapa caranya rakyat sebagai
bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh
rakyat sendiri, dengan perantaraan dewan perwakilannya. Rakyat menentukan nasibnya
sendiri, karena itu juga cara hidupnya. Pasal 23 menyatakan bahwa dalam hal menetapkan
pendapatan dan belanja, kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat lebih kuat daripada
kedudukan pemerintah. Ini tanda kedaulatan rakyat.”
14
Paska Perubahan UUD 1945, disebutkan dalam Aturan Tambahan II bahwa dengan
ditetapkannya Perubahan UUD 1945 ini, UUD Negara RI Tahun 1945 terdiri atas
pembukaan dan pasal-pasal. Dengan demikian maka penjelasan UUD 1945 sudah tidak
memiliki kekuatan hukum lagi.
Hak budget Parlemen Indonesia Paska Perubahan UUD 1945 dapat dilihat sebagai
turunan dari fungsi anggaran sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20A Ayat (1) dan Pasal
22D Ayat (2). Pasal 20A Ayat (1) menyatakan: “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki
fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.”
Kemudian Pasal 22 D Ayat (2): “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan
daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-
undang anggararan pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.”
Mekanisme hak budget Parlemen Indonesia Paska Perubahan UUD 1945 muncul
dalam Pasal 23 Ayat (2) yang menyatakan: “Rancangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.”
Selanjutnya disebutkan pula dalam Pasal 23 Ayat (3) UUD 1945: “Apabila Dewan
Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara
yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara tahun yang lalu.”
Ketentuan Pasal 20A Ayat (1) menegaskan salah satu fungsi DPR adalah fungsi
anggaran, yang menurut Pasal 23 Ayat (2) peran DPR adalah membahas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara yang diajukan Presiden.
Sementara itu DPD hanya berperan sebagai pemberi pertimbangan. Dari rumusan pasal-
pasal tersebut juga diperoleh tiga hal pokok, yaitu: (1) Presiden merupakan satu-satunya
15
pihak yang berwenang mengajukan rancangan APBN; (2) DPR merupakan lembaga
parlemen yang membahas rancangan APBN tersebut dengan pertimbangan DPD; (3)
rancangan APBN tidak boleh tanpa persetujuan DPR. Apabila DPR tidak menyetujui, maka
Pemerintah menjalankan APBN tahun lalu.
Mekanisme tersebut menempatkan DPR pada posisi yang kuat dalam pembahasan
rencangan anggaran pendapatan dan belanja negara. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 70
Ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang menyatakan
“fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan
oleh Presiden”.
Pendapatan (revenue) dan pengeluaran (expenditure) negara itu sendiri sangat
esensial kedudukannya bagi bekerjanya suatu pemerintahan. Bahkan, menurut A.W.
Bradley dan K.D. Ewing “No government can exist without raising and spending money.”
Namun, karena keuangan negara itu pada pokoknya berasal dari rakyat, maka pengeluaran
negara dalam membelanjakanya juga dianggap menyangkut kepentingan seluruh rakyat.
Karena itu, di Inggris, sejak abad ke-17, pengeluaran selalu mensyarakatkan persetujuan
parlemen. Dalam Bill of Rights 1689 Artikel 4, ditentukan: “The levying of money for the
use of the Crown without grant of Parliament was declared illegal.”. Hal tersebut
menegaskan bahwa anggaran baik penerimaan ataupun pengeluaran harus dengan
persetujuan parlemen, tanpanya maka akan dianggap illegal.
Dari uraian diatas jelas, bahwa Hak Budget dari DPR berdasarkan Amandemen
UUD 1945 sudah tidak ada, tapi berubah menjadi fungsi anggaran.
Pasal 79 ayat (1) UU No. 17 tahun 2014 tentang MD3 menyebutkan bahwa DPR
mempunyai hak : (i) interpelasi; (ii) angket; dan (iii) menyatakan pendapat. Pasal 69 ayat
(1) menyebutkan bahwa DPR mempunyai fungsi : (i) legislasi; (ii) anggaran; dan (iii)
pengawasan; Pasal 69 ayat (2) bahwa ketiga fungsi tersebut dijalankan dalam kerangka
representasi rakyat dan juga mendukung upaya Pemerintah dalam melaksanakan politik
luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan..
16
Berdasarkan Pasal 70 UU No. 17 tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD dan
DPRD), menyebutkan nahwa fungsi legislasi tersebut dilaksanakan untuk membahas dan
memberikan persetujuan terhadap undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh
Presiden. Selanjutnya dalamPasal 72 diebutkan bahwa tugas DPR adalah melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN dan kebijakan pemerintah.
Dari uraian diatas, tidak ada tugas dan kewenangan anggota DPR untuk menerima
dana untuk melakukan program dan kegiatan tertentu, melakukan program dan kegiatan
adalah kewenangan eksekutif, yaitu Presiden dengan dibantu oleh para pembantunya.
Pasal 72 huruf (g) menyebutkan bahwa salah satu tugas anggota DPR adalah
menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyararakat. Inilah
yang menjadi dasar bagi anggota DPR untuk menerima dana aspirasi untuk menyalurkan
aspirasi rakyat
Penjelasan Pasal 69 ayat (2) bahwa pelaksanaan fungsi DPR terhadap kerangka
representasi rakyat dilakukan antara lain melalui pembukaan ruang partisipasi publik,
transparansi pelaksanaan fungsi dan pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat.
Secara umum, peran parlemen dalam penganggaran negara (legislative role in
budgeting) dapat dipilah ke dalam tiga peran besar, yaitu: (i) pembuat kebijakan anggaran
(budget making); (ii) lembaga yang mempengaruhi anggaran (budget influencing); dan (iii)
lembaga yang sekedar menyetujui dan mengesahkan anggaran (budget approval /
assenting).
Dalam konteks teori, pandangan klasik mengenai hak budget parlemen
dikemukakan Montesquieu dalam bukunya L’ Esprit des Lois menyatakan tugas parlemen
adalah menyetujui undang-undang dan anggaran negara yang dikumpulkan melalui pajak
sebagai biaya negara. Hal demikian menunjukkan anggaran negara juga identik dengan
pajak yang dimasukkan dalam anggaran negara (APBN). Tugas pemberian persetujuan
parlemen atas anggaran negara merupakan pembagian kekuasaan (fungsi). Diserahkannya
parlemen untuk memberikan persetujuan atas pajak dan anggaran menurut Montesquieu
bertujuan agar kekuasaan pemerintah tidak mutlak, bahkan dengan memaksa pengenaan
17
pajak kepada masyarakat, sehingga pajak membutuhkan persetujuan parlemen. Esensinya
berarti persetujuan parlemen dalam anggaran negara bertujuan agar keuangan negara
(termasuk pengenaan pajak) tidak menjadi suatu alat kekuatan (machtsapparaat), tetapi
menjadi suatu alat hukum (rechtsapparaat)
Dari segi peraturan pengelolaan keuangan Negara, jelas pemberian dana aspirasi ke
masing2 anggota DPR tidak sesuai dengan tugas dan fungsi DPR. Fungsi anggaran
(budgeting) DPR terhadap APBN adalah sebagai membahas dan memberi persetujuan
terhadap rancangan UU APBN yang disampaikan Presiden. Fungsi pengawasan terhadap
APBN dilaksanakan dengan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang APBN.
Tugas DPR dalam menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat dilakukan dengan cara melakukan kunjungan kerja secara berkala.
UU 17/2003 menyebutkan kekuasaan pengelolaan keuangan negara ada pada
Presiden dan dikuasakan pada Menteri, diserahkan kepada Gubernur/ Bupati / Walikota,
bukan pada DPR. UU tersebut juga telah mengubah paradigma budgeting dari sistem lama
yang berdasarkan input menjadi sistem baru yang berdasarkan kinerja (performance based
budgeting). Dana Aspirasi Anggota DPR malah akan mengembalikan paradigma lama.
UU 1/2004 menyebutkan pengguna Anggaran bertanggung jawab kepada Presiden/
Gubernur/ Bupati/ Walikota. Pengguna di sini adalah Kementerian dan Lembaga eksekutif.
DPR sebagai lembaga legislatif tidak diatur dalam UU untuk menggunakan Anggaran.
UU 33/2004 mengenai asas dana perimbangan yang mencakup desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dana Aspirasi Anggota DPR menafikan prinsip
desentralisasi karena alokasi anggaran dibuat oleh DPR yang ada di pusat. Hal ini
melanggar prinsip otonomi daerah di mana Pemda dan DPRD-lah yang menyusun
anggaran untuk daerahnya (APBD).
Dana Aspirasi Anggota DPR juga disinyalir tidak dapat mencapai motif awalnya
yaitu pemerataan pembangunan dan pertumbuhan daerah. Mengapa? Karena Dana Aspirasi
Anggota DPR diberikan berdasarkan jumlah wakil rakyat per Dapil. Dapil di Jawa lebih
banyak daripada Dapil di pulau lainnya sehingga jumlah wakil rakyatnya paling banyak.
18
Sementara itu daerah yang miskin di Indonesia umumnya adalah daerah-daerah terpencil
dengan jumlah wakil rakyat yang relatif lebih sedikit.
Dengan demikian daerah yang miskin akan mendapatkan Dana Aspirasi Anggota
DPR dengan jumlah yang jauh lebih rendah dibanding daerah yang relatif lebih makmur.
Sebagai contoh, DKI Jakarta yang memiliki angka kemiskinan terendah yakni 3,62 persen
akan memperoleh dana aspirasi Rp 315 miliar, sementara Maluku yang angka
Kemiskinannya 28,3 persen hanya mendapat dana aspirasi Rp 90 miliar. Jelas usulan ini
bertentangan dengan logika pemerataan yang diungkapkan DPR.
Dalam salah satu kajiannya oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu
(http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/edef-konten-view.asp?id=201006140806537365405
56) menyatakan bahwa alokasi dana aspirasi akan berpotensi menimbulkan risiko fiskal.
Usul dana aspirasi didasarkan pada estimasi penerimaan pajak yang akan meningkat.
Permasalahannya adalah bagaimana kalau ternyata estimasi peningkatan penerimaan pajak
tidak tercapai, sementara alokasi dana aspirasi sudah dianggarkan. Kalau dipaksakan, jelas
hal ini akan menambah defisit anggaran, yang ujung-ujungnya rakyat juga yang harus
menanggung risikonya.
Masih terkait dengan estimasi penerimaan perpajakan, alangkah bijaknya apabila
ternyata penerimaan pajak dapat tercapai, tambahan penerimaan ini digunakan untuk
mempercepat pelunasan pembayaran atas utang-utang pemerintah, baik utang dalam negeri
maupun utang luar negeri, untuk mengumpulkan cadangan fiskal yang bisa digunakan pada
masa krisis dan untuk membiayai program sistem jaminan sosial sebagai peredam apabila
terjadi fluktuasi ekonomi.
Berpijak dari kondisi di atas, diusulkan agar dana aspirasi bagi anggota DPR
sebaiknya diakomodasi melalui anggaran pemerintah daerah atau kementerian/lembaga
saja tanpa menambah anggaran baru. Mungkin mekanisme pengusulan kegiatannya
yang harus dibenahi. Selama ini memang terkesan kegiatan-kegiatan yang dilakukan
pemerintah daerah maupun kementerian/lembaga kurang menyentuh ke masyarakat.
Akibatnya, dampak APBN terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat kurang
signifikan.
19
DPR dapat mengusulkan kegiatan atau program sesuai dengan janji-janjinya waktu
kampanye. Sepanjang janji-janji tersebut tidak berseberangan dengan program pemerintah
daerah atau kementerian/lembaga, usul tersebut mungkin dapat diakomodasi.
Program atau kegiatan yang diusulkan DPR dibawa ke dalam rapat koordinasi
pembangunan (rakorbang) di daerah dan diusulkan untuk didanai. Selanjutnya, anggaran
ini nanti dimasukkan ke dalam pos belanja kementerian/lembaga yang kemudian
diperbantukan ke satuan kerja pemerintah daerah atau tidak tertutup kemungkinan
dianggarkan juga melalui anggaran pemerintah daerah.
Dalam pelaksanaannya, sebaiknya DPR hanya berfungsi mengawasi jalannya
kegiatan agar tidak menyimpang. Dengan demikian, ada semacam jaminan bahwa aspirasi
yang dibawanya terlaksana. Pada akhir tahun DPR dapat mengevaluasi pelaksanaan
program yang diusulkan. Sementara itu, seluruh tahap pelaksanaan program harus diaudit
BPK.
Dengan mekanisme di atas akan tercipta win-win solution. Pemerintah tidak akan
kehilangan peran karena program-program yang diajukan DPR dilakukan melalui
mekanisme rakorbang. Program ini pun tidak perlu menambah beban anggaran baru,
karena program dari DPR ini nanti menyatu dengan program dari pemerintah.
Idealnya, pengusul program atau kegiatan dalam suatu anggaran memang harus
datang dari masyarakat, yang dapat dijaring melalui DPR dan pemerintah. Dengan
demikian, program-program yang dijalankan pemerintah tidak akan salah sasaran
20
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
IV.1. Kesimpulan
Dari penjabaran secara teoritis diatas, jelas bahwa pemberian Dana Aspirasi
Anggota DPR adalah layaknya “Pork Barrel” (gentong babi), yakni penggalangan
dukungan melalui politik melalui penyaluran dana atau proyek ke konstituen. Tujuan
pemberian dana aspirasi ini, bagi anggota DPR yang menyetujui program/kegiatan ini
adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pembangunan dan
percepatan turunnya dana pembangunan ke daerah yang selama ini dirasakan masih kurang
memuaskan.
Pasca amandemen UUD 1945, hak budget dari DPR berdasarkan Amandemen
UUD 1945 sudah tidak ada, tapi berubah menjadi fungsi anggaran.
Ketentuan Pasal 20A UUD 1945 ayat (1) menegaskan salah satu fungsi DPR adalah
fungsi anggaran, yang menurut Pasal 23 ayat (2) peran DPR adalah membahas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara yang diajukan Presiden.
Sementara itu DPD hanya berperan sebagai pemberi pertimbangan.
Dari rumusan pasal-pasal tersebut juga diperoleh tiga hal pokok, yaitu: (1) Presiden
merupakan satu-satunya pihak yang berwenang mengajukan rancangan APBN; (2) DPR
merupakan lembaga parlemen yang membahas rancangan APBN tersebut dengan
pertimbangan DPD; (3) rancangan APBN tidak boleh tanpa persetujuan DPR. Apabila
DPR tidak menyetujui, maka Pemerintah menjalankan APBN tahun lalu.
Mekanisme tersebut menempatkan DPR pada posisi yang kuat dalam pembahasan
rencangan anggaran pendapatan dan belanja negara. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 70
Ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang menyatakan
“fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan
oleh Presiden”.
21
UU 17/2003 menyebutkan kekuasaan pengelolaan keuangan negara ada pada
Presiden dan dikuasakan pada Menteri, diserahkan kepada Gubernur/ Bupati / Walikota,
bukan pada DPR. UU tersebut juga telah mengubah paradigma budgeting dari sistem lama
yang berdasarkan input menjadi sistem baru yang berdasarkan kinerja (performance based
budgeting). Dana Aspirasi Anggota DPR malah akan mengembalikan paradigma lama.
UU 1/2004 menyebutkan pengguna Anggaran bertanggung jawab kepada Presiden/
Gubernur/ Bupati/ Walikota. Pengguna di sini adalah Kementerian dan Lembaga eksekutif.
DPR sebagai lembaga legislatif tidak diatur dalam UU untuk menggunakan Anggaran.
UU 33/2004 mengenai asas dana perimbangan yang mencakup desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dana Aspirasi Anggota DPR menafikan prinsip
desentralisasi karena alokasi anggaran dibuat oleh DPR yang ada di pusat. Hal ini
melanggar prinsip otonomi daerah di mana Pemda dan DPRD-lah yang menyusun
anggaran untuk daerahnya (APBD).
Dari segi peraturan pengelolaan keuangan Negara, jelas pemberian dana aspirasi ke
masing2 anggota DPR tidak sesuai dengan tugas dan fungsi DPR. Fungsi anggaran
(budgeting) DPR terhadap APBN adalah sebagai membahas dan memberi persetujuan
terhadap rancangan UU APBN yang disampaikan Presiden. Fungsi pengawasan terhadap
APBN dilaksanakan dengan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang APBN.
Tugas DPR dalam menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat dilakukan dengan cara melakukan kunjungan kerja secara berkala.
IV.2. Saran.
Tujuan Anggota DPR RI dalam mengusulkan adanya DanaAspirasi DPR, karena
selama ini pemerintah dalam mengalokasikan APBN dirasa kurang signifikan terhadap
kesejahteraan masayarakat. Banyak keinginan masyarakat yang belum tertampung dalam
APBN. Tujuan yang mulia ini seharusnya juga dijalankan dengan cara yang benar dengan
mengikuti peraturan yanng berlaku. DPR dapat mengusulkan kegiatan atau program sesuai
22
dengan janji-janjinya waktu kampanye. Sepanjang janji-janji tersebut tidak berseberangan
dengan program pemerintah daerah atau kementerian/lembaga, usul tersebut mungkin
dapat diakomodasi.
Hasil kajian dari Badan Kebijakan Fiskal, bisa menjadi alternatif penyelesaian,
yaitu bahwa alokasi dana aspirasi 560 anggota DPR berpotensi menimbulkan risiko fiskal,
karena bersifat on top, dan akan mempengaruhi defisit anggaran. Berpijak dari kondisi di
atas, sebaiknya dana aspirasi bagi anggota DPR diakomodasi melalui anggaran pemerintah
daerah atau kementerian/lembaga tanpa menambah anggaran baru.
Dalam pelaksanaannya, sebaiknya DPR hanya berfungsi mengawasi jalannya
kegiatan agar tidak menyimpang. Dengan demikian, ada semacam jaminan bahwa aspirasi
yang dibawanya terlaksana. Pada akhir tahun DPR dapat mengevaluasi pelaksanaan
program yang diusulkan. Sementara itu, seluruh tahap pelaksanaan program harus diaudit
BPK.
Dengan mekanisme di atas akan tercipta win-win solution. Pemerintah tidak akan
kehilangan peran karena program-program yang diajukan DPR dilakukan melalui
mekanisme rakorbang. Program ini pun tidak perlu menambah beban anggaran baru,
karena program dari DPR ini nanti menyatu dengan program dari pemerintah.
23
Daftar Pustaka
http://suluhbali.co/artikel-dana-aspirasi-melupakan-itu-uang-rakyat/, Artikel | Dana Aspirasi
Melupakan Itu Uang Rakyat, 8 Juli 2015;
http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2015/06/seputar-pengertian-dana-aspirasi.html, Seputar
Pengertian Dana Aspirasi, 2015;
http://www.cnnindonesia.com/politik/20150625110645-32-62261/dpr-tanpa-persetujuan-jokowi-
dana-aspirasi-tak-terealisasi/, DPR: Tanpa Persetujuan Jokowi, Dana Aspirasi Tak
Terealisasi, 25 Juni 2015;
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150624_indonesia_jokowi_danaaspiras
i?bcsi-ac-
1cf9d112556499eb=258C50BC00000002p9kPvhSsy4hakr5jt+Ahqxa64D3ICAAAAgAAA
LkBIQCEAwAAAAAAAFVyDwA=, Presiden Jokowi 'tidak setuju' dana aspirasi
DPR, 24 Juni 2015;
http://www.voaindonesia.com/content/dana-aspirasi-dpr-munculkan-polemik-di-berbagai-
kalangan/2842716.html, Dana Aspirasi DPR Munculkan Polemik di Berbagai
Kalangan, 30 Juni 2015;
https://benhan8.wordpress.com/2010/06/04/dana-aspirasi-dpr-pork-barrel-versi-indonesia/,
Dana Aspirasi DPR, Pork Barrel versi Indonesia, 4 Juni 2010;
http://babel.antaranews.com/berita/24213/dana-aspirasi-pork-barrel-budget-ala-indonesia, Dana
Aspirasi "Pork Barrel Budget" Ala Indonesia, 27 Juni 2015
http://www.perspektif.net/article/article.php?article_id=1306, Dana Aspirasi DPR, Pork Barrel
versi Indonesia, 7 Juni 2010;
http://samuelsmart96.blogspot.co.id/2015/06/beberapa-hari-ini-kita-sering.html, Dana Aspirasi
untuk "Wakil" Rakyat, atau Pork Barrelnya Indonesia, 2015;
https://en.wikipedia.org/wiki/Pork_barrel, Pork barrel, 2015;
24
http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/4162-jebakan-dana-aspirasi.html, Jebakan Dana
Aspirasi, 15 Juni 2015;
http://www.dpr.go.id/tentang/tugas-wewenang, Tugas dan Wewenang, 2015;
http://www.artikelsiana.com/2015/03/pengertian-dpr-fungsi-tugas-hak-hak-dpr.html,
Pengertian, Fungsi, Tugas dan Hak-Hak DPR, 2015;
http://www.slideshare.net/septianraha/tugas-dan-wewenang-dpr-mpr-ma-mk-ky-dpd-dan-
presiden, Tugas dan wewenang dpr , mpr , ma , mk , ky , dpd dan presiden, 2015;
http://www.fiskal.kemenkeu.go.id/dw-konten-view.asp?id=20100804093821109351991,
Dampak Negatif Dana Aspirasi Masyarakat, 2015
http://nasional.kompas.com/read/2015/10/07/20392431/Dalam.Lima.Tahun.Anggaran.DPR.Men
ingkat.Hampir.Tiga.Kali.Lipat, Dalam Lima Tahun, Anggaran DPR Meningkat
Hampir Tiga Kali Lipat, 7 Oktober 2015.
Data Business Inteldijen Direktorat Jenderal Anggaran;
Nota Keuangan dan Rancangan APBN Perubahan Tahun 2015;
Dasar Hukum
UUD 1945, amandemen ke 4;
Undang-undang No. 17 tahun 2003, tentang Keuangan Negara;
Undang-undang No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD;
Undang-undang No. 3 tahun 2015, tentang Perubahan atas UU. No. 27 tahun 2014 tentang APBN 2015
26
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
ABSTRAK
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2. Tujuan dan Sasaran ................................................................ 3
1.3. Hasil yang Diharapkan ........................................................... 4
1.4. Ruang Lingkup Kegiatan ........................................................ 4
1.5. Metodologi ............................................................................... 4
BAB II TINJAUAN TEORITIS DAN TINJAUAN DASAR HUKUM
2.1 Tinjauan Teoritis ...................................................................... 5
2.2 Tinjauan Dasar Hukum/Legalitas ............................................... 8
BAB III KAJIAN TERHADAP DANA ASPIRASI ANGGOTA DPR
3.1. Kajian .......................................................................................... 12
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1. Kesimpulan ................................................................................. 20
4.2. Rekomendasi .............................................................................. 21
Daftar Pustaka ............................................................................................................... 23
Daftar Tabel
Tabel I Pagu APBN-P DPR RI Tahun 2010-2015 ......................................... 12
i