isi makalah anemia gizi
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Sampai saat ini tingginya angka kematian ibu di Indonesia masih merupakan
masalah yang menjadi prioritas di bidang kesehatan. Di samping menunjukkan
derajat kesehatan masyarakat, juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan
masyarakat dan kualitas pelayanan kesehatan. Penyebab langsung kematian ibu
adalah trias perdarahan, infeksi, dan keracunan kehamilan. Penyebab kematian
langsung tersebut tidak dapat sepenuhnya dimengerti tanpa memperhatikan latar
belakang (underlying factor), yang mana bersifat medik maupun non medik. Di
antara faktor non medik dapat disebut keadaan kesejahteraan ekonomi keluarga,
pendidikan ibu, lingkungan hidup,perilaku,danlain-lain.
Kerangka konsep model analisis kematian ibu oleh Mc Carthy dan Maine
menunjukkan bahwa angka kematian ibu dapat diturunkan secara tidak langsung
dengan memperbaiki status sosial ekonomi yang mempunyai efek terhadap salah
satu dari seluruh faktor langsung yaitu perilaku kesehatan dan perilaku reproduksi,
status kesehatan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan. Ketiga hal tersebut
akan berpengaruh pada tiga hasil akhir dalam model yaitu kehamilan, timbulnya
komplikasi kehamilan/persalinan dan kematian ibu. Dari model Mc Carthy dan Maine
tersebut dapat dilihat bahwa setiap upaya intervensi pada faktor tidak langsung
harus selalu melalui faktor penyeÂbab yang langsung.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2005, bahwa
setiap tahunnya wanita yang bersalin meninggal dunia mencapai lebih dari 500.000
orang. (Winkjosastro, 2005). Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) pada tahun 2005 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yaitu 262/100.000
Kelahiran Hidup, sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) yaitu 32/1000 Kelahiran
Hidup. (DinKes Jabar, 2006). Kematian ibu adalah kematian seorang wanita yang
terjadi selama kehamilan sampai dengan 42 hari setelah berakhirnya kehamilan,
tanpa melihat lama dan tempat terjadinya kehamilan, yang disebabkan oleh
kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan karena kecelakaan. Penyakit atau gizi
yang buruk merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan ibu. Rao
(1975) melaporkan bahwa salah satu sebab kematian obstetrik tidak langsung pada
kasus kemaÂtian ibu adalah anemia.3,4 Grant menyatakan bahwa anemia
1
merupakan salah satu sebab kematian ibu, demikian juga WHO menyatakan bahwa
anemia merupakan sebab penting dari kematian ibu. Penelitian Chi, dkk
menunjukkan bahwa angka kematian ibu adalah 70% untuk ibu-ibu yang anemia
dan 19,7% untuk mereka yang non anemia. Kematian ibu 15-20% secara langsung
atau tidak langsung berhubungan dengan anemia. Anemia pada kehamilan juga
berhubungan dengan meningkatnya kesakitan ibu. Pada wanita hamil, anemia
meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian
maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian
perinatal meningkat. Di samping itu,perdarahan antepartum dan postpartum lebih
sering dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab
wanita yang anemis tidak dapat mentolerir kehilangan darah.Soeprono.
menyebutkan bahwa dampak anemia pada kehamilan bervariasi dari keluhan yang
sangat ringan hingga terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan abortus, partus
imatur/prematur), gangguan proses persalinan (inertia, atonia, partus lama,
perdarahan atonis), gangguan pada masa nifas (subinvolusi rahim, daya tahan
terhadap infeksi dan stres kurang, produksi ASI rendah), dan gangguan pada janin
(abortus,dismaturitas,mikrosomi,BBLR,kematian perinatal,dan lain-lain).
Prevalensi anemia pada wanita hamil di Indonesia berkisar 20-80%, tetapi
pada umumnya banyak penelitian yang menunjukkan prevalensi anemia pada
wanita hamil yang lebih besar dari 50%. Juga banyak dilaporkan bahwa prevalensi
anemia pada trimester III berkisar 50-79%. Affandi menyebutkan bahwa anemia
kehamilan di Indonesia berdasarkan data Departemen Kesehatan tahun 1990
adalah 60%. Penelitian selama tahun 1978-1980 di rumah sakit pendidikan/rujukan
di Indonesia menunjukkan prevalensi wanita hamil dengan anemia yang melahirkan
di RS pendidikan /rujukan adalah 30,86%.
Prevalensi tersebut meningkat dengan bertambahnya paritas. Hal yang sama
diperoleh dari hasil SKRT 1986 dimana prevalensi anemia ringan dan berat akan
makin tinggi dengan bertambahnya paritas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
melaporkan bahwa prevalensi anemia pada kehamilan secara global 55% dimana
secara bermakna tinggi pada trimester ketiga dibandingkan dengan trimester
pertama dan kedua kehamilan.
Anemia karena defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia pada
ibu hamil dibandingkan dengan defisiensi zat gizi lain. Oleh karena itu anemia gizi
2
pada masa kehamilan sering diidentikkan dengan anemia gizi besi Hal ini juga
diungkapkan oleh Simanjuntak tahun 1992 bahwa sekitar 70 % ibu hamil di
Indonesia menderita anemia gizi.Indonesia, prevalensi anemia tahun l970“an
adalah 46,5-70%. Pada SKRT tahun 1992 dengan angka anemia ibu hamil sebesar
63,5% sedangkan data SKRT tahun 1995 turun menjadi 50,9%. Pada tahun 1999
didapatkan anemia gizi pada ibu hamil sebesar 39,5%. Propinsi Sulawesi Selatan
berdasarkan SKRT pada tahun 1992 prevalensi anemia gizi khususnya pada ibu
hamil berkisar 45,5 71,2% dan pada tahun 1994 meningkat menjadi 76,17% 14,3 %
di Kabupaten Pinrang dan 28,7% di Kabupaten Soppeng dan tertinggi adalah di
Kabupaten Bone 68,6% (1996) dan Kabupaten Bulukumba sebesar 67,3%
(1997). Sedangkan Kabupaten Maros khususnya anemia ibu hamil pada tahun 1999
sebesar 31,73%, pada tahun 2000 meningkat menjadi 76,74% dan pada tahun 2001
sebesar 68,65%.
1.2.Rumusan Masalah
1. Faktor-Faktor apa yang mempengaruhi anemia gizi?
2. Bagaimanakah gambaran epidemiologi kejadian anemia defisiensi zat besi
diIndonesia khususnya di kota Makassar?
3. Program apakah yang diterapkan dalam menanggulangi masalah anemia
defisiensi zat besi di Indonesia khususnya kota Makassar?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran epidemiologi, program penanggulangan,
dan isu terbaru tentang anemia defisiensi zat besi di Indonesia khususnya kota
Makassar
1.3.2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi kejadian anemia defisiensi
zat besi di Indonesia, khususnya kota Makassar
b. Untuk mengetahui program yang diterapkan dalam menanggulangi
masalah anemia defisiensi zat besi di Indonesia khususnya kota
Makasssar.
c. Untuk mengetahui isu terbaru tentang anemia defisiensi zat besi.
3
. 1.4 Manfaat penulisan
1. Manfaat praktis
Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi lembaga
terkait dalam merumuskan program penanggulangan masalah anemia
defisiensi zat besi di Indonesia.
2. Manfaat keilmuan
Makalah ini diharapkan mampu menambah khasanah ilmu
pengetahuan serta menjadi salah satu bacaan yang bermanfaat.
3. Manfaat bagi penulis
Memperluas wawasan dan pengetahuan tentang kesehatan masyarakat
khususnya masalah anemia defisiensi zat besi.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Tinjauan umum tentang Anemia GIzi dan Anemia defisiensi besi
Anemia gizi sangat umum dijumpai di Indonesia. Prevalensinya masih
tinggi terutama pada wanita hamil, anak balita, anak sekolah, dan pekerja
berpenghasilan rendah. Prevalensi anemia gizi pada balita di Propinsi Kalimantan
Barat pada tahun 1995 adalah 40,5 % dan meningkat menjadi 48,1 % pada tahun
2001 (Depkes RI, 2003). Prevalensi anemia gizi yang tinggi ini dapat membawa
akibat negative seperti :
1) Rendahnya kemampuan kerja jasmani dan produktivitas kerja,
2) Rendahnya kemampuan intelektual, dan
3) Rendahnya kekebalan tubuh, sehingga menyebabkan tingginya angka
kesakitan.
Dengan demikian konsekwensi fungsional dari anemia gizi menyebabkan
turunnya kualitas sumber daya manusia (Husaini, 1989).Anemia didefinisikan
sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) didalam darah lehih rendah daripada
nilai normal untuk kelompok orang yang bersangkutan. Kelompok ditentukan
menurut umur dan jenis kelamin, seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Batas Normal Kadar Hemoglobin
Kelompok Umur
Hemoglobin
(g/100 ml)
Anak 6 bulan s/d 6 tahun
6 tahun s/d 14 tahun
11
12
Dewasa Laki-laki
Wanita
Wanita hamil
13
12
11
Sumber : WHO, 1972.
5
Kebanyakan orang-orang mempunyai Hb sedikit lebih rendah daripada batas
tersebut diatas, belum menunjukkan gejala-gejala anemia dan masih kelihatan
berada dalam keadaan kesehatan yang baik. Untuk menggolongkan anemia lebih
lanjut menjadi anemia ringan, anemia sedang dan anemia berat, belum ada
keseragaman mengenai batasan-batasannya. Hal ini disebabkan oleh antara lain
perbedaan kelompok umur, kondisi penderita, komplikasi dengan penyakit lain,
keadaan umum gizi penderita, lamanya menderita anemia, dan lain-lain yang sulit
dikelompokkan. Tetapi yang adalah bahwa semakin rendah kadar Hb, makin berat
anemia yang diderita (Husaini, 1989).
B. Anemia defisiensi besi pada ibu kehamilan
Anemia defisiensi besi pada wanita hamil merupakan problema kesehatan
yang dialami oleh wanita diseluruh dunia terutama dinegara berkembang. Badan
kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan bahwa prevalensi
ibu-ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75% serta semakin
meningkat seiring dengan pertambah usia kehamilan. Menurut WHO 40% kematian
ibu dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan
kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan
perdarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi.
1. Patofisiologi anemia pada kehamilan.
Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena
perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dari pertumbuhan
payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada trimester ke II
kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan meningkatnya sekitar 1000
ml, menurun sedikit menjelang aterem serta kembali normal 3 bulan setelah partus.
Stimulasi yang meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasenta, yang
menyebabkan peningkatan sekresi aldesteron.
2. Etiologi
Etiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan, yaitu :
a. Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah.
b. Pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma.
6
c. Kurangnya zat besi dalam makanan.
d. Kebutuhan zat besi meningkat.
e. Gangguan pencernaan dan absorbsi.
3. Gejala klinis
Wintrobe mengemukakan bahwa manifestasi klinis dari anemia defisiensi besi
sangat bervariasi, bisa hampir tanpa gejala, bisa juga gejala-gejala penyakit
dasarnya yang menonjol, ataupun bisa ditemukan gejala anemia bersama-sama
dengan gejala penyakit dasarnya. Gejala-gejala dapat berupa kepala pusing,
palpitasi, berkunang-kunang, perubahan jaringan epitel kuku, gangguan sistem
neurumuskular, lesu, lemah, lelah, disphagia dan pembesaran kelenjar limpa. Pada
umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka gejala-
gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.4Nilai ambang batas yang digunakan
untuk menentukan status anemia ibu hamil, didasarkan pada criteria WHO tahun
1972 yang ditetapkan dalam 3 kategori, yaitu normal (≥11 gr/dl), anemia ringan (8-
11 g/dl), dan anemia berat (kurang dari 8 g/dl). Berdasarkan hasil pemeriksaan
darah ternyata rata-rata kadar hemoglobin ibu hamil adalah sebesar 11.28 mg/dl,
kadar hemoglobin terendah 7.63 mg/dl dan tertinggi 14.00 mg/dl.
4. Dampak anemia defisiensi zat besi pada ibu hamil
Anemia pada ibu hamil bukan tanpa risiko. Menurut penelitian, tingginya
angka kematian ibu berkaitan erat dengan anemia. Anemia juga menyebabkan
rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel tubuh tidak cukup mendapat
pasokan oksigen. Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi
pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka prematuritas,
berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat. Di samping
itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita yang
anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat
mentolerir kehilangan darah. Soeprono menyebutkan bahwa dampak anemia pada
kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga terjadinya gangguan
kelangsungan kehamilan abortus, partus imatur/prematur), gangguan proses
7
persalinan (inertia, atonia, partus lama, perdarahan atonis), gangguan pada masa
nifas (subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infeksi dan stress kurang, produksi
ASI rendah), dan gangguan pada janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR,
kematian perinatal, dan lain-lain).
8
BAB III
PEMBAHASAN
A. Anemia Gizi Beserta Faktor-Faktor yang berpengaruh dengan Anemia
Gizi Besi
Anemia adalah suatu keadaan adanya penurunan kadar hemoglobin,
hematokrit dan jumlah eritrosit dibawah nilai normal. Pada penderita anemia, lebih
sering disebut kurang darah, kadar sel darah merah (hemoglobin atau Hb) di
bawah nilai normal. Penyebabnya bisa karena kurangnya zat gizi untuk
pembentukan darah, misalnya zat besi, asam folat, dan vitamin B12. Tetapi yang
sering terjadi adalah anemia karena kekurangan zat besi.Anemia defisiensi besi
adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga
kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup, yang ditandai dengan
gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer, kadar besi serum (Serum Iron =
SI) dan jenuh transferin menurun, kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding
Capacity/TIBC) meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang serta ditempat
yang lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali.4Banyak faktor yang dapat
menyebabkan timbulnya anemia defisiensi besi, antara lain, kurangnya asupan zat
besi dan protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi diusus, perdarahan
akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat besi seperti pada wanita
hamil, masa pertumbuhan, dan masa penyembuhan dari penyakit.
Ada tiga faktor terpenting yang menyebabkan orang menjadi anemia, yaitu :
1. Kehilangan darah karena pendarahan.
2. Pengrusakan sel darah merah.
3. Produksi sel darah merah tidak cukup banyak.
Diantara ketiga macam faktor penyebab anemia tersebut, maka anemia yang
merupakan masalah kesehatan masyarakat adalah anemia yang disebabkan oleh
faktor terakhir yaitu anemia gizi. (Husaini, 1989)
Anemia gizi yang paling umum ditemukan di masyarakat adalah anemia
karena kekurangan zat besi yang disebut anemia kurang besi. Pada wanita hamil
dan bayi premature, kekurangan asam folat merupakan salah satu faktor kontribusi
terhadap terjadinya anemia gizi. Pada orang yang sering mengalami malabsorpsi,
kekurangan vitamin B12 merupakan salah satu penyebab anemia gizi. Dipandang
dari segi kesehatan praktis, anemia gizi selalu diasosiasikan sebagai anemia
9
kurang besi, karena kekurangan asam folat dan vitamin B12 yang jarang
ditemukan pada masyarakat biasa.
.
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Anemia Gizi Besi
1. Asupan zat besi dalam makanan
Macam bahan makanan yang banyak mengandung zat besi dapat
dilihat pada Tabel 2. Hati adalah bahan makanan yang paling banyak
mengandung zat besi. Daging juga banyak mengandung zat besi. Dari
bahan makanan yang berasak dari tumbuh-tumbuhan, maka kacang-
kacangan seperti kedelai, kacang tanah, kacang panjang koro, buncis
serta sayuran hijau daun mengandung banyak zat besi.
Selain dari pada banyaknya zat besi yang tersedia didalam makanan,
juga perlu diperhatikan Faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorpsi zat
besi, antara lain macam-macam bahan makanan itu sendiri. Zat besi yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan, jumlah yang dapat diabsorpsi hanya
sekitar 1-6 %, sedangkan zat besi yang berasal dari hewani 7-22 %.
Didalam campuran susunan makanan, adanya bahan makanan hewani
dapat meninggikan absorpsi zat besi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Faktor ini mempunyai arti penting dalam menghitung jumlah zat besi yang
dikonsumsi oleh masyarakat yang tak mampu, yang jarang mengkonsumsi
bahan makanan hewani. (Husaini, 1989)
Tabel 2. Zat Besi Dalam Bahan Makanan
No. Bahan Makanan Zat Besi (mg/100 g)
1.
2.
3.
4.
Hati
Dafing Sapi
Ikan
Telur Ayam
6,0 sampai 14,0
2,0 sampai 4,3
0,5 sampai 1,0
2,0 sampai 3,0
10
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Kacang-kacangan
Tepung Gandung
Sayuran Hijau Daun
Umbi-umbian
Buah-buahan
Beras
Susu Sapi
1,9 sampai 14,0
1,5 sampai 7,0
0,4 sampai 18,0
0,3 sampai 2,0
0,2 Sampai 4,0
0,5 sampai 0,8
0,1 sampai 0,4
Sumber : Davidson, dkk, 1973 dalam Husaini, 1989
Zat besi didalam bahan makanan dapat berbentuk hem yaitu berikatan
dengan protein atau dalam bentuk nonhem yaitu senyawa besi organic yang
kompleks. Ketersediaan zat besi untuk tubuh kita dapat dibedakan antara
hem dan nonhem ini. Zat besi hem berasal dari hemoglobin dan mioglobin
yang hanya terdapat dalam bahan makanan hewani, yang dapat diabsorpsi
secara langsung dalam bentuk kompleks zar besi phorphyrin (“iron
phorphyrin kompleks”). Jumlah zat besi hem yang diabsorpsi lebih tinggi
daripada nonhem. Untuk seseorang yang cadangan zat besi dalam tubuhnya
rendah, zat besi hem ini dapat diabsorpsi lebih dari 35 %, sedangkan buat
orang yang simpanan zat besinya cukup banyak (lebih dari 500 gram) maka
absorpsi zat besi hem ini hanya kurang lebih 25 %. Dari hasil analisa bahan
makanan didapatkan bahwa sebanyak 30 – 40 % zat besi didalam hati dan
ikan, serta 50-60 % zat besi dalam daging sapi, kambing, dan ayam adalah
dalam bentuk hem. (Cook, dkk dalam Husaini, 1989).
Zat besi nonhem pada umumnya terdapat didalam bahan makanan
yang umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti sayur-sayuran, biji-
bijian, kacang-kacangan, buah-buahan dan serealia, dan dalam jumlah yang
sedikit daging, ikan dan telur. Zat besi nonhem didalam bentuk kompleks
inorganic Fe3+ dipecah pada waktu percernaan berlangsung dan sebagian
11
dirubah dari Fe3+ menjadi Fe2+ yang lebih siap diabsorpsi. Konversi Fe3+
menjadi Fe2+ dipermudah oleh adanya faktor endogenus seperti HCl dalam
cairan sekresi gastric, komponen zat gizi yang berasal dari makanan seperti
vitamin C, atau daging, atau ikan.
Zat gizi yang telah dikenal luas dan sangat berperanan dalam
meningkatkan absorpsi zat besi adalah vitamin C. Vitamin C dapat
meningkatkan absorpsi zat besi nonhem sampai empat kali lipat.Vitamin C
dengan zat besi mempunyai senyawa ascorbat besi kompleks yang larut dan
mudah diabsorpsi, karena itu sayur-sayuran segar dan buah-buahan yang
mengandung banyak vitamin C baik dimakan untuk mencegah anemia .
Selain faktor yang meningkatkan absorpsi zat besi seperti yang telah
disebutkan, ada pula faktor yang menghambat absorpsi zat besi. Faktor-faktor
yang menghambat itu adalah tannin dalam the, phosvitin dalam kuning telur,
protein kedelai, phytat, fosfat, kalsium, dan serat dalam bahan makanan
(Monsen and Cook dalam Husaini, 1989). Zat-zat gizi ini dengan zat besi
membentuk senyawa yang tak larut dalam air, sehingga lebih sulit diabsorpsi.
Seseorang yang banyak makan nasi, tetapi kurang makan sayur-sayuran
serta buah-buahan dan lauk-pauk, akan dapat menjadi anemia walaupun zat
besi yang dikonsumsi dari makanan sehari-hari cukup banyak. Kecukupan
konsumsi zat besi Nasional yang dianjurkan untuk anak balita berumur 1-3
tahun adalah 8 mg, sedangkan untuk anak balita berumur 4-6 tahun adalah 9
mg (Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi,
2. Pengetahuan
Tan (1979) mengatakan bahwa pola konsumsi pangan sangat
dipengaruhi oleh adat istiadat setempat, termasuk didalamnya pengetahuan
mengenai pangan, sikap terhadap pangan dan kebiasaan makan. Semakin
sering suatu bahan pangan dikonsumsi dan semakin berat pangan tersebut
dimakan, maka semakin besar peluang pangan tersebut tergolong dalam pola
konsumsi pangan individu atau masyarakat.
Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap perilaku
dalam memilih makanan yang akan berdampak pada asupan gizinya. Hal ini
menunjukkan bahwa pengetahuan sangat penting peranannya dalam
12
menentukan asupan makanan. Dengan adanya pengetahuan tentang gizi,
masyarakat akan tahun bagaimana menyimpan dan menggunakan pangan.
Memperbaiki konsumsi pangan merupakan salah satu bantuan terpenting
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu penghidupan (Suhardjo,
1986).
3. Pendidikan
Menurut Hidayat (1980), tingkat pendidikan akan mempengaruhi
konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan makanan. Orang yang
berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam
kuantitas dan kualitas dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan lebih
rendah. Makin tinggi pendidikan orang tua, makin baik status gizi anaknya
(Soekirman, 1985). Anak-anak dari ibu yang mempunyai latar belakang
pendidikan yang lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup serta tumbuh
lebih baik. Hal ini disebabkan karena keterbukaan mereka untuk menerima
perubahan atau hal-hal yang baru untuk pemeriksaan kesehatan anaknya
(Emelia, 1985 dalam Ginting, M, 1997 ).
Faktor pendidikan mengakibatkan perubahan perilaku dan mempunyai
pengaruh terhadap penerimaan inovasi baru, dalam hal ini perilaku makan
yang sesuai dengan anjuran gizi (Pranadji, 1988)
3. Pendapatan
Peningkatan pendapatan rumah tangga terutama bagi kelompok
rumah tangga miskin dapat meningkatkan status gizi, karena peningkatan
pendapatan tersebut memungkinkan mereka mampu membeli pangan
berkualitas dan berkuantitas yang lebih baik. Keadaan ekonomi merupakan
factor yang penting dalam menentukan jumlah dan macam barang atau
pangan yang tersedia dalam rumah tangga. Bagi Negara berkembang
pendapatan adalah factor penentu yang penting terhadap status gizi.
Menurut Mosley dan Lincoln (1985), pendapatan rumah tangga akan
mempengaruhi sikap keluarga dalam memilih barang-barang konsumsi.
Pendapatan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain.
Semakin tinggi pendapatan maka cendrung pengeluaran total dan
pengeluaran pangan semakin tinggi (Hardinsyah & Suhardjo, 1987).
13
Rendahnya pendapatan (keadaan miskin) merupakan salah satu sebab
rendahnya konsumsi pangan dan gizi serta buruknya status gizi. Kurang gizi
akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit, menurunkan produktivitas
kerja dan pendapatan. Akhirnya masalah pendapatan rendah, kurang konsumsi,
kurang gizi dan rendahnya mutu hidup membentuk siklus yang berbahaya
(Hardinsyah & Suhardjo, 1987)
5. Frekuensi Makan
Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat,
namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan
pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor,
oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan berbagai
sector yang terkait.
Pola asuh merupakan suatu sistem atau tata cara seorang ibu dalam
memenuhi kebutuhan terutama memberi makan dan merawat anak dengan baik.
Menurut Nasedul dalam Sudarmiati (2006) semua orang tua harus memberikan
hak untuk bertumbuh. Semua anak harus memperoleh yang terbaik agar dapat
tumbuh secara penuh, tumbuh sesuai dengan apa yang mungkin dicapainya,
bertumbuh sesuai dengan kemampuan tubuhnya.
Salah satu factor yang paling penting untuk meningkatkan status gizi adalah
konsumsi makanan. Semakin baik konsumsi atau asupan zat gizi maka semakin
besar kemungkinan terhindar dari status gizi yang kurang atau buruk, baik dari
segi jumlah maupun dari segi frekuensi makanan yang dikonsumsi.
Frekuensi makan pada keluarga di Indonesia umumnya adalah tiga kali
dalam sehari. Hal ini terkait dengan masalah fisiologis, artinya hampir semua zat
gizi itu di metabolisme dalam tubuh selama kurang lebih dari 4 jam. Untuk itu
maka dianjurkan frekuensi makan yang baik adalah berpatokan dengan limit
waktu metabolisme itu.
14
6. Jenis Bahan Makanan
Menurut Daftar Komposisi Bahan Makanan yang dikeluarkan oleh Direktorat
Gizi Departemen Kesehatan RI, ada 11 golongan bahan makanan. Berdasarkan
penggolongan ini kemudian dapat dianalisa konsumsi zat gizi yang diasup oleh
seseorang.
Setiap bahan makanan mempunyai susunan kimia yang berbeda-beda dan
mengandung zat gizi yang bervariasi pula baik jenis maupun jumlahnya. Baik
secara sadar maupun tidak sadar manusia mengkonsumsi makanan untuk
kelangsungan hidupnya. Dengan demikian jelas bahwa tubuh manusia
memerlukan zat gizi atau zat makanan, untuk memperoleh energi guna
melakukan kegiatan fisik sehari-hari, untuk memelihara proses tubuh dan untuk
tumbuh dan berkembang khususnya bagi yang masih dalam pertumbuhan
(Suhardjo, 1992).
Berbagai zat gizi yang diperlukan tubuh dapat digolongkan kedalam enam
macam yaitu (1) karbohidrat, (2) protein, (3) lemak, (4) vitamin, (5) mineral dan
(6) air. Sementara itu energi yang diperlukan tubuh dapat diperoleh dari hasil
pembakaran karbohidrat, protein dan lemak di dalam tubuh. Di alam ini terdapat
berbagai jenis bahan makanan baik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang
disebut pangan nabati maupun yang berasal dari hewan yang dikenal sebagai
pangan hewani (Suhardjo, 1992).
Apabila konsumsi makanan sehari-hari kurang beraneka ragam, maka
timbul ketidakseimbangan antara masukan zat-zat gizi yang diperlukan untuk
hidup sehat dan produktif. Dengan mengkonsumsi makanan sehari-hari yang
beraneka ragam, kekurangan zat gizi jenis makanan lain diperoleh sehungga
masukan zat-zat gizi menjadi seimbang. Jadi, untuk mencapai masukan zat-zat
gizi yang seimbang tidak mungkin dipenuhi hanya oleh satu jenis bahan
makanan, melainkan harus terdiri dari aneka ragam bahan makanan (Khumaidi,
1994).
7. Umur
umur juga merupakan factor yang sangat berpengaruh, karena umur
reproduksi yang sehat dan aman adlah umur 20-35 tahun. Kehamilan di usia 20
tahun dan diatas 35 tahun dapat menyebabkan anemia Karen pada kehamilan
15
diusia>20 tahun secara biologis belum optimal emosinya cenderung labil,
mentalnya belum matng sehingga mudah mengalami keguncangan yang
mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan zat- zat gizi selama
kehamilan.sedangkan pada usia < 35 tahun terkait dengan daya tahan tubuh
serta berbgai penyakit yang sering menimpa di usia ini.
B. Epidemiologi anemia defisiensi zat besi pada ibu hamil di Indonesia
dan di Makssar
1. Frekuensi
survei nasional (Survei Kesehatan Rumah Tangga/SKRT) tahun 1995
dan 2001 hanya dapat menunjukkan kecenderungan prevalensi anemia pada
balita, perempuan usia 15-44 tahun dan ibu hamil (Figure 13). Prevalensi
anemi pada ibu hamil menurun dari 50,9% (1995) menjadi 40% (2001); pada
wanita usia subur 15-44 tahun dari 39.5% (1995) menjadi 27.9% (2001).
SKRT 2001 juga mengkaji prevalensi anemia pada balita dengan kelompok
umur: < 6 bulan, 6-11 bulan, 12-23 bulan, 24-35 bulan, 36-47 bulan, dan 48-
59 bulan. Figure 14 menunjukkan bahwa pada bayi <6 bulan (61.3%), bayi 6-
11 bulan (64.8%), dan anak usia 12-23 bulan (58%). Selanjutnya prevalensi
menurun untuk anak usia 2 sampai 5 tahun.
Prevalensi Anemia menurut SKRT 1995 dan 2001
0-4 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun
15-44 tahun
45-44 tahun
55-64 tahun
65+ tahun Ibu hamil Ibu menyusui
L-1995
35.7 46.4 45.8 58.3 53.7 62.5 70 NaN NaN
P-1995
45.2 48 57.1 39.5 39.5 40.5 45.8 50.9 45.1
L+P 2001
48.1 NaN NaN NaN NaN NaN NaN NaN NaN
P-2001
NaN NaN NaN 27.9 NaN NaN NaN 40.1 NaN
10
30
50
70
90
Pe
rse
n
16
Prevalensi anemia pada anak balita, SKRT 2001
< 6 bln 6-11 bln 12-23 bln 24-35 bln 36-47 bln 48-59 bln
% Anemia 61.3 64.8 58 45.1 38.6 32.1
10.0
30.0
50.0
70.0
90.0P
ers
en
Informasi lain adalah dari hasil survei NSS- HKI tahun 1999 dan 2000 pada
beberapa provinsi di Indonesia yang melakukan analisis prevalensi anemia pada
WUS dan balita (tabel 6). Pada balita prevalensi anemia masih cukup tinggi dan
berkisar antara 40-70%, dan pada WUS berkisar antara 20-40%.
Tabel . Prevalensi anemia pada WUS dan balita (NSS-HKI)
Tahun 1999 dan 2000
Lokasi WanitaUsia
Subur
Anak balita
1999 2000 1999 2000
Sumbar 29.2 34.0 46.9 53.9
Lombok 32.3 25.3 65.8 66.1
Lampung 24.1 56.8
Makassar 27.9 37.1 58.6 63.5
Sulsel 27.8 53.6
Surabaya 34.0 27.1 65.5 58.8
Jatim 28.7 26.5 62.6 68.1
Jabar 28.9 26.5 64.6 57.9
Semarang 21.9 27.5 44.7 51.0
Jateng 23.4 25.8 54.7 51.8
Jakarta 42.5 33.3 71.9 63.5
17
Indonesia masih belum secara komprehensif menanggulangi masalah anemia
gizi ini. Pemetaan secara nasional untuk masalah anemia menurut provinsi
maupun kabupaten masih belum dilaksanakan. Hasil pemetaan yang dilakukan
provinsi Jawa Barat tahun 1997, menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil
62,2%, dan pemetaan yang dilakukan di Jawa Tengah tahun 1999 menunjukkan
prevalensi anemia pada ibu hamil 58,1%. Intervensi anemia secara nasional
masih memprioritaskan ibu hamil dengan distribusi tablet besi yang cakupannya
masih sulit dipantau.
2.Distribusi
a. Distribusi Menurut Orang
Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun,
mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil. Karena akan membahayakan
kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun janinnya, berisiko mengalami
pendarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami anemia. Wintrobe (1987)
menyatakan bahwa usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu
semakin rendah usia ibu hamil maka semakin rendah kadar hemoglobinnya.
Muhilal et al (1991) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat
kecendrungan semakin tua umur ibu hamil maka presentasi anemia semakin
besar.
Tabel 1
Distribusi Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Berdasarkan Umur Ibu
2010
Umur
ibu
(thn)
Anemia Total OR
(Lower/Upper
Limit)
Ya Tidak
< 20,
>35
20 (74,1%) 7 (25,9%) 27 2,801
20-35 51 (50,5%) 50 (49,5%) 101 (1,089/7,207)
Total 71 (55,5%) 57(44,5%) 128
18
Sumber : Berdasarkan Tabel 1, ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun dan
lebih dari 35 tahun lebih berisiko menderita anemia dari pada ibu hamil usia 20-35
tahun.
Tabel 2
Distribusi kejadian Anemia Pada ibu hamil data di Kota Makassar
Tahun 2010
Bulan Anemia gizi (bumil)
Januari 137
Februari 173
Maret 144
april 171
Mei 171
Juni 162
Juli 177
Agustus
September
211
213
Oktober 205
November 205
Desember 174
Jumlah 2143
Tahun 2011
Bulan Jumlah Penderita Anemia
Januari 117 orang
Februari 101 orang
Maret 264 orang
April 126 0rang
sumber: Dinas Kesehatan Kota Makassar Tahun 2011. Berdasarkan table
1,menunjukan bahwa terjadi peningkatan penderita Anemia Gizi pada ibu hamil dari
bulan januari sampai Maret 2011 sebanyak 264 orang ,kemudian menurun pada
Bulan April sebanyak 126 orang.
19
b. Distribusi Menurut Tempat
Tabel 2
Prevalensi Anemia Gizi Besi Pada Ibu Hamil (Bumil) di 27 Propinsi
di Indonesia Tahun 1992
No. Propinsi Prevalensi (%)
1 DI Aceh 56,5
2 Sumatera Utara 77,9
3 Sumatera Barat 82,6
4 Riau 65,6
5 Jambi 74,2
6 Sumatera Selatan 58,3
7 Bengkulu 46,8
8 Lampung 60,7
9 DKI Jakarta 67,6
10 Jawa Barat 71,5
11 Jawa Tengah 62,3
12 DI Yogyakarta 73,9
13 Jawa Timur 57,8
14 Bali 71,1
15 N T B 71,3
16 N T T 59,7
17 Kalimantan Barat 55,2
18 Kalimantan Tengah 73,9
19 Kalimantan Selatan 64,9
20 Kalimantan Timur 70
21 Sulawesi Utara 48,7
22 Sulawesi Tengah 45,5
23 Sulawesi Selatan 50,5
24 Sulawesi Tenggara 71,2
25 M a l u k u 69,8
26 Irian Jaya 71,4
27 Timor Timur 48
20
Sumber : SKRT Tahun 1992
Indonesia
63,5
sumber: SKRT 1992. Berdasarkan Tabel 2, provinsi dengan
prevalensi anemia terbesar adalah Sumatera Barat (82,6%), dan yang
terendah adalah Sulawesi Tengah.
C. Kebijakan pemerintah kota Makassar
Upaya yang mingkin dapat dilakukan
1. Pemerintah mewjudkan hak paling utama dari rakyat tentang kesehatan
yakni, memberi akses informasi dan pengetahuan agar rakyat dapat
hidup sehat dan anemia gizi dapat dituntaskan
2. Pemerintah memaksimalkan sumber daya dan sumber dana yang dimilikii
untuk menuntaskan anemia gizi di Indonesia
3. Pemerintah kembali merajut kearifan local sebagai nilai luhur bangsa
berupa “kesetiakawanan social, kesehatan, dan gizi” yang
mengedepankan prinsip tolong menolong.
4. Pemerintah menggerakkan peran serta masyarakat seperti posyandu, dsa
wisma, NGO, pers, dan lelompok potensial lain dengan pemberian yablet
besi (fe )/ Tablet Tambah darah (TTD), untuk bersama bergerak dalam
upaya penanggulngan anemia gizi di Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anemia adalah suatu keadaan adanya penurunan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah eritrosit dibawah nilai normal. Pada penderita anemia, lebih sering disebut kurang darah, kadar sel darah merah (hemoglobin atau Hb) di bawah nilai normal. Penyebabnya bisa karena kurangnya zat gizi untuk pembentukan darah, misalnya zat besi, asam folat, dan vitamin B12. Tetapi yang sering terjadi adalah anemia karena kekurangan zat besi.Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup,
Prevalensi anemia yang tinggi dapat membawa akibat negative berupa
gangguan dan hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel
21
otak dan kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen
yang dibawa/ditransfer ke sel tubuh maupun ke otak. Pada ibu hamil dapat
mengakibatkan efek buruk pada ibu itu sendiri maupun pada bayi yang
dilahirkan. Studi di Kualalumpur memperlihatkan terjadinya 20 % kelahiran
prematur bagi ibu yang tingkat kadar hemoglobinnya di bawah 6,5gr/dl.
Studi lain menunjukkan bahwa risiko kejadian BBLR, kelahiran prematur
dan kematian perinatal meningkat pada wanita hamil dengan kadar
hemoglobin kurang dari 10,4 gr/dl. Pada usia kehamilan sebelum 24
minggu dibandingkan kontrol mengemukakan bahwa anemia merupakan
salah satu faktor kehamilan dengan risiko tinggi.
Penanggulangan anemia sampai dengan 2002 masih difokuskan pada
ibu hamil. Seperti yang diungkapkan pada uraian sebelumnya prevalensi
anemia pada ibu hamil menurun dari 50,9% (1995) menjadi 40% (2001).
Penanggulangan anemia untuk yang akan datang diharapkan tidak saja
untuk ibu hamil, akan tetapi juga untuk wanita usia subur dalam rangka
menekan angka kematian ibu dan meningkatkan produktivitas kerja.
Angka prevalensi anemia pada WUS menurut SKRT 2001 adalah 27,1%.
Diproyeksikan angka ini menjadi 20% pada tahun 2015. Asumsi
penurunan hanya sekitar 30% sampai dengan 2015, karena sampai
dengan tahun 2002, intervensi penanggulangan anemia pada WUS masih
belum intensif. secara umum kesimpulan khususnya yaitu :
1. Secara umum di Indonesia, anemia merupakan penyakit ke-4 yang
prevalensinya terbanyak dengan prevalensi sebesar 20% (Studi
morbiditas Susenas 2001, Badan Litbangkes; publikasi hasil
Surkesnas 2001). Sebanyak 40,1% diantaranya adalah ibu hamil
dengan jenis anemia yang dominan adalah anemia karena
kekurangan zat besi (SKRT 1995 dan 2001).
2. Ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35
tahun lebih berisiko menderita anemia dari pada ibu hamil usia 20-
35 tahun (Ridwan Amiruddin, 2004).
3. Provinsi dengan prevalensi anemia terbesar adalah Sumatera Barat
(82,6%), dan yang terendah adalah Sulawesi Tengah (SKRT 1992).
22
4. Di Kota Makassar pada tahun 2010 jumlah penderita anemia gizi
yang lebih terkhusus pada ibu hamil sebanyak 2143 orang, dan
Pada tahun 2011, prevalensi tertinggi terdapat pada bulan Maret 2011 sebanyak 264 orang.(Dinkes Kota Makassar,2011). Keterkaitan jumlah banyak penderita anemia gizi di kota Makassar karena beberapa faktor yaitu ; Asupan zat besi dalam makanan, pengetahuan, pendidikan, pendapatan, frekuensi makanan,dan jenis bahan makanan, umur, serta demografi kota Makssar yang mempengaruhi frekuensi bertambah dan berkurangnya penderita anemia gizi dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun di kota Makassar.
B. Saran1. Diperlukan upaya yang lebih baik lagi oleh pemerintah dalam hal
menekan angka penderita anemia defisiensi zat besi di Indonesia.
2. Perlu adanya penyuluhan yang lebih responsible tentang
pentingnya suplemen zat besi dan bahaya anemia bagi ibu hamil.
3. Perlu adanya pendistribusian tablet besi yang lebih merata di
seluruh pelosok tanah air.
23