in;lahkoran - universitas...

2
in;lahkoran o Senln 0 Se/asa 0 Rabu e Kamls 0 Jumat o Sabtu 2 3 4 5 6 7 @ 9 10 11 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 12 13 27 28 29 30 31 OJan OPeb eMar OApr OMei OJun OJul OAgs OSep OOkt ONov ODes ini di Par eme ----------~------~-------- Rok DALAM beberapa hari terakhir, perbincangan bertemakan rok mini di media massa kian masif, Beberapa orang anggota dewan, pemuka agama, artis, hingga Ketua DPR, angkat bicara. Semua berawaldarirencana pemberlakuan aturan larangan mengenakan rok mini dan pakaian ketat di lingkungan DPR. > S ejatinya, reaksi terhadap pemberlakuan aturan baru merupakan hal biasa. Tak ada hal istimewa dalam rencana pem- berlakuan larangan pakaian sen- sual tersebut. Ituhanya tata tertib internal biasa mengenai ketentuan berpakaian rapi dan sopan. Jika ke- mudian muncul pro dan kontra, itu lantaran proses pembuatan aturan tersebut -bisa jadi- terlalu detail, sehingga memunculkan istilah 'rok mini'. Di Indonesia, istilah tersebut memang belum terbiasa terpampang pada sebuah ketentuan resmi, ter- lebih yang ditujukan bagi lembaga setingkat parlemen. Memberlakukan sebuah larangan memang bukan pekerjaan sederhana. Pasalnya, selain butuh kesiapan menghadapi berbagai reaksi, juga dalam penegakannya perlujaminan kepastian, termasuk adanya pasal- pasal tertulis yang bisa digunakan sebagai pijakan. Dalam optik sosiolo- gis,sebuah peraturan, sekalipun itu bersifat internal, tidak dipandang se- bagai satu set peraturan yang bersifat mapan, melainkan hukum sebagai perilaku (law as behaviour). Sebagai perilaku, hukum tidak- lah konstan, melainkan tumbuh dan berkembang sejalan dengan tingkat kebutuhan masyarakatnya. Hukum yang mem- biarkan dirinya pada posisi stagnan akan sulit mencapai kemanfaatannya. EIsya Tri Ahaddini Alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bahkan ia akan terasing dari ma- syarakatnya. Dengan demikian, penambahan aturan baru di ling- kungan DPR sangatlah logis dan relevan, sepanjang sesuai dengan kebutuhan. Di beberapa negara, larangan mengenakan rok mini sudah lama berlaku. Kode etik Parlemen Rusia misalnya, sebagaimana diberitakan Harian Moskovsky Komsornolets, sejak beberapa tahun lalu melarang tamu-tamu dan anggota parlemen di sekitar gedung dewan berpakaian sensual. Sementara di Srilanka, larangan ini berlaku secara umum. Seluruh warga perempuan dila- rang mengenakan bus ana tipis, mini, atau terbuka di bagian atas. Bahkan, di negara liberal macam Amerika sekalipun, 'ketentuan anti- seksi' tetap ada. Di Virginia, pengguna celana di bawah pinggang yang me- nyebabkan terlihatnya bagian celana dalam bisa kena denda sebesar US$SO. Aturan yang sama berlaku pula di ne- gara bagian Texas. Sementara di Utah, warga dilarangjoging mengenakan ·celana pendek. Jadi, secara umum, In- donesia bukan negara yang menderita 'kelainan' lantaran menerbitkan ~~~~~~~"- ketentuan sejenis di lingkung- ~ an parlemen. Politikus Golkar, Nurul Arifin, me- ILUSTRASIINILAH/KENYO JABAR . Kllping Humas Unpad 2012

Upload: others

Post on 31-May-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

in;lahkorano Senln 0 Se/asa 0 Rabu e Kamls 0 Jumat o Sabtu

2 3 4 5 6 7 @ 9 10 1117 18 19 20 21 22 23 24 25 26

12 1327 28 29 30 31

OJan OPeb eMar OApr OMei OJun OJul OAgs OSep OOkt ONov ODes

ini di Par eme----------~------~--------RokDALAM beberapa

hari terakhir,perbincangan

bertemakan rok minidi media massa kian

masif, Beberapaorang anggota dewan,pemuka agama, artis,hingga Ketua DPR,

angkat bicara. Semuaberawaldarirencana

pemberlakuanaturan larangan

mengenakan rok minidan pakaian ketat di

lingkungan DPR.

>

Sejatinya, reaksi terhadappemberlakuan aturan barumerupakan hal biasa. Tak ada

hal istimewa dalam rencana pem-berlakuan larangan pakaian sen-sual tersebut. Ituhanya tata tertibinternal biasa mengenai ketentuanberpakaian rapi dan sopan. Jika ke-mudian muncul pro dan kontra, itulantaran proses pembuatan aturantersebut -bisa jadi- terlalu detail,sehingga memunculkan istilah 'rokmini'. Di Indonesia, istilah tersebutmemang belum terbiasa terpampangpada sebuah ketentuan resmi, ter-lebih yang ditujukan bagi lembagasetingkat parlemen.

Memberlakukan sebuah laranganmemang bukan pekerjaan sederhana.Pasalnya, selain butuh kesiapanmenghadapi berbagai reaksi, jugadalam penegakannya perlujaminankepastian, termasuk adanya pasal-pasal tertulis yang bisa digunakansebagai pijakan. Dalam optik sosiolo-gis, sebuah peraturan, sekalipun itubersifat internal, tidak dipandang se-bagai satu set peraturan yang bersifatmapan, melainkan hukum sebagaiperilaku (law as behaviour).

Sebagai perilaku, hukum tidak-lah konstan, melainkan tumbuhdan berkembang sejalan dengantingkat kebutuhan masyarakatnya.Hukum yang mem-biarkan dirinya padaposisi stagnan akansulit mencapaikemanfaatannya.

EIsya Tri AhaddiniAlumnus Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran

Bahkan ia akan terasing dari ma-syarakatnya. Dengan demikian,penambahan aturan baru di ling-kungan DPR sangatlah logis danrelevan, sepanjang sesuai dengankebutuhan.

Di beberapa negara, laranganmengenakan rok mini sudah lamaberlaku. Kode etik Parlemen Rusiamisalnya, sebagaimana diberitakanHarian Moskovsky Komsornolets,sejak beberapa tahun lalu melarangtamu-tamu dan anggota parlemendi sekitar gedung dewan berpakaiansensual. Sementara di Srilanka,larangan ini berlaku secara umum.Seluruh warga perempuan dila-rang mengenakan bus ana tipis,mini, atau terbuka di bagian atas.

Bahkan, di negara liberal macamAmerika sekalipun, 'ketentuan anti-seksi' tetap ada. Di Virginia, penggunacelana di bawah pinggang yang me-nyebabkan terlihatnya bagian celanadalam bisa kena denda sebesar US$SO.Aturan yang sama berlaku pula di ne-gara bagian Texas. Sementara di Utah,warga dilarangjoging mengenakan·celana pendek. Jadi, secara umum, In-donesia bukan negara yang menderita

'kelainan' lantaran menerbitkan

~~~~~~~"- ketentuan sejenis di lingkung-~ an parlemen.

Politikus Golkar,Nurul Arifin, me-

ILUSTRASIINILAH/KENYO JABAR .

Kllping Humas Unpad 2012

nyatakan kekesalannya mengenai 'ke-ributan' rok mini ini. "Anggota Dewantak perlu mengurus rok minilah, urusyang lebih substantif saja," katanya(Harian INILAHKORAN, 6/3)., Tentu banyak sekali hal yang wajib

diurus badan legislatif, namun takberartijadi abai terhadap urusan tatatertib. Semua perlu mendapatkanperhatiansesuai porsinya. Pro-kontrapersoalan ini pun tak harus menyebab- .kan fenomena pengalihan perhatian .dari kenaikan harga BBMke urusanrok mini. Media, jelas, memiliki pakarrubrikasi, sehingga amat naifjika beritatentang rok mini sampai menggeserberita yang berpengaruh besar terhadapkepentingan masyarakat.

Hal yang paling penting bukanproses ketentuan ini berjalan, melain-kan menegakkannya. Teori hukumkonvensional mengenal tiga karak-teristik hukum yakni filosofis, sosi-ologis, dan yuridis. Jikaketiga aspekitu telah terpenuhi, maka ketentuanapapun, dapat berlaku efektif. Namun,perlukah aturan setingkat tata tertibdisertai sanksi?

Dewasa ini, masyarakat cukupmenghayati moralitas kebersamaan(spirit of cooperation) dan kelern-bagaan (organik) yang didukung pro-fesionalisme. Dalam hal ini sanksitidak lagi merupakan primum reme-dium, melainkan upaya yang terakhiratau ultimum remedium. Sanksi baruditerapkan jika benar-benar perlu.• Pernikiran semacam ini, idealnya,dihayati mendalam agar perancang tatatertib tidak terlalu latah mencantumkansanksi dalam aturan internal, terutamajika mendekati etika atau sopan santun.Jika terjadi pelanggaran tata tertib,cukup mengadakan pendekatan.. Rarnainya persoalan ini, disebab-

kan gejala 'mabuk media' atau disebutjuga seleb-sindrorn yang melandaorang-orang penting di TanahAir,Mereka sangat gemar menanggapi se-suatu atau mengumbar pernyataan dimedia, meskipun -kadang- yang ber-sangkutan tidak berkapasitas untukmengomentari hal tersebut.

Maka, selain memasukkan keten-tuan berpakaian sopan dan rapi, ba-rangkali ada baiknya tata tertib DPRmemasukkan aturan 'code of con-

. duct' ala House of Representatives-nya AS, yang memberikan petunjukrinci tentang tata cara menyatakansesuatu pada media, sekaligus caramengarsipkan semua pernyataanyang disampaikan, agar hal-hal yang-rnungkin- dianggap rerneh-temehtidak meledak secara berlebihan. (*)