implikasi penerapan teori perkembangan moral jean …

15
240 Jurnal Teknodik Vol. XVI Nomor 2, Juni2012 IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEAN PIAGET DALAM PENDIDIKAN MORAL ANAK (Suatu Telaah Kritis dalam Perspektif Islam) Farihen Fakultas Ilmu Pendidikan-UMJ ([email protected]) Abstrak: Perkembangan moral Jean Piaget merupakan model teori pendekatan kognitif yang secara intrinsik lebih sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk yang berpikir. Di Indonesia secara umum teori pendekatan kognitif ini banyak menjadi model dan praktik dalam pembelajaran, walaupun diterapkan kurang utuh; sehingga orientasi pembelajaran difokuskan pada pengembangan kognitif secara sempit. Dari perspektif hakikat manusia di atas model pendekatan kognitif Piaget, pada satu sisi, memiliki titik-titik similarisasinya yang hakiki dalam nilai-nilai Islam. Tetapi pada sisi lain, teori Piaget memiliki titik-titik kelemahan, karena perilaku moral tidak selalu merupakan refleksi pengetahuan moral. Maka Islam menyediakan nilai- nilai komplementasi yang memberi ruang penerapan moral bagi anak secara konsisten, walaupun memasuki tahap perkembangan moral autonomous yang bercorak subjektif dan relatif. Kata Kunci: Perkembangan moral Piaget, perspektif Islam IMPLICATION OF THE APPLICATION OF JEAN PIAGET’S MORAL DEVELOPMENT THEORY IN MORAL EDUCATION FOR CHILDREN Abstract: Piaget’s moral development is a theoretical model of the cognitive approach that is - intrinsically - more in line with human nature as thinking being. Generally, in Indonesia this cognitive approach theory is widely used as a model and in learning practices, although it is less fully implemented; Hence, the learning orientation is focused on cognitive development in narrow sense. From the perspective of human nature, the Piaget’s cognitive approach model, on one hand, has some essential points of similarity to Islamic values. But on the hand, it also has some points of weakness since moral behavior is not necessarily a reflection of moral knowledge. Thus, Islam provides complementary values that give a moral application space for children consistently, even if they enter a subjective and relative autonomous moral development phase. Keywords: Piaget’s moral development, Islamic’s perspective

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEAN …

240

Jurnal Teknodik Vol. XVI Nomor 2, Juni2012

123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEANPIAGET DALAM PENDIDIKAN MORAL ANAK

(Suatu Telaah Kritis dalam Perspektif Islam)

FarihenFakultas Ilmu Pendidikan-UMJ

([email protected])

Abstrak:Perkembangan moral Jean Piaget merupakan model teori pendekatan kognitif yang secaraintrinsik lebih sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk yang berpikir. Di Indonesiasecara umum teori pendekatan kognitif ini banyak menjadi model dan praktik dalampembelajaran, walaupun diterapkan kurang utuh; sehingga orientasi pembelajaran difokuskanpada pengembangan kognitif secara sempit. Dari perspektif hakikat manusia di atas modelpendekatan kognitif Piaget, pada satu sisi, memiliki titik-titik similarisasinya yang hakiki dalamnilai-nilai Islam. Tetapi pada sisi lain, teori Piaget memiliki titik-titik kelemahan, karena perilakumoral tidak selalu merupakan refleksi pengetahuan moral. Maka Islam menyediakan nilai-nilai komplementasi yang memberi ruang penerapan moral bagi anak secara konsisten,walaupun memasuki tahap perkembangan moral autonomous yang bercorak subjektif danrelatif.

Kata Kunci: Perkembangan moral Piaget, perspektif Islam

IMPLICATION OF THE APPLICATION OF JEAN PIAGET’SMORAL DEVELOPMENT THEORY IN MORAL

EDUCATION FOR CHILDREN

Abstract:Piaget’s moral development is a theoretical model of the cognitive approach that is - intrinsically- more in line with human nature as thinking being. Generally, in Indonesia this cognitiveapproach theory is widely used as a model and in learning practices, although it is less fullyimplemented; Hence, the learning orientation is focused on cognitive development in narrowsense. From the perspective of human nature, the Piaget’s cognitive approach model, on onehand, has some essential points of similarity to Islamic values. But on the hand, it also hassome points of weakness since moral behavior is not necessarily a reflection of moralknowledge. Thus, Islam provides complementary values that give a moral application spacefor children consistently, even if they enter a subjective and relative autonomous moraldevelopment phase.

Keywords: Piaget’s moral development, Islamic’s perspective

Page 2: IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEAN …

24112341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

A. PENDAHULUAN1. Latar Belakang

Para pakar pendidikan padaumumnya sependapat tentangpentingnya upaya peningkatanpendidikan moral pada jalur pendidikanformal. Tetapi mereka tidak bersepakattentang pendekatan apa yang tepatuntuk diterapkan dalam upaya merekamelakukan peningkatan moral dimaksud.Sebagian pakar menyarankanpenggunaan pendekatan-pendekatanpendidikan moral yang berkembang diBarat, seperti: pendekatanperkembangan moral kognitif,pendekatan segitiga Freud, pendekatanbehavioristik, pendekatan analisis nilai,dan seterusnya. Sebagian yang lainmenyarankan penggunaan pendekatantradisional yang berkembang di Timur,yakni melalui internalisasi nilai-nilai sosialatau keagamaan tertentu dalam dirisiswa. Namun demikian, dapat dipastikanbahwa tidak ada suatu pendekatanpunyang sempurna. Setiap pendekatanmemiliki kelebihan dan kekurangannyasendiri.

Tulisan ini secara khusus mengkajiteori perkembangan moral Jean Piaget,yang merupakan bagian dari modelpendekatan kognitif, terutama kaitannyadengan tahapan perkembangan moraldan implikasinya dari perspektif Islam.Hal ini karena disadari bahwa dalamperspektif ini ada titik-titik similarisasi,komplementasi atau kontekstualisasinyadengan nilai-nilai Islam yang hidup dalammasyarakat. Pendekatan kognitif inisangat menarik karena secara praksis,cenderung menjadi praktik dalam duniapendidikan kita; dan disadari atau tidak,pendekatan kognitif cenderung menjadiorientasi kebijakan Pemerintah, sepertitampak dalam penyelenggaraan tahunanUjian Nasional (UN) yang lebihmenekankan pada standar minimal nilaisemata.

Konperensi ilmu jiwa di Genewa tahun1909 memutuskan bahwa penelitianpsikologis terhadap fakta-fakta agamadiperkenankan, karena penelitiantersebut tidak akan menyinggung

kehormatan agama (Daradjat, 1987, h.21 & 23). Di Amerika, sejak tahun 1950dibentuk the Society for the ScientificStudy of Religion yang mempelajariagama secara ilmiah dan seterusnya(Abdullah,1997, h. 15). Karena itu, dalamkonteks ini relevan bila kajian ini dilihatdari perspektif Islam.

Suatu hal yang patut menjadipertimbangan dalam kaitan ini yaitu,bahwa masyarakat Indonesia mayoritasberagama Islam, sehingga kajian dariperspektif Islam menjadi kebutuhan idealdan memperkaya khazanah pemikiranyang dapat menjadi komplementasi,komparasi dan similarisasinya dalampenerapan teori dimaksud maupunkontekstualisasinya dengan nilai-nilaiIslam yang hidup dalam masyarakat.

Dari persoalan tersebut dapatdirumuskan beberapa masalah pokoksebagai berikut: a) Bagaimanakahtahapan perkembangan moral Piaget? b)Bagaimana teori perkembangan moralPiaget dan implikasinya, terutama biladilihat dari perspektif Islam? dan c)Adakah titik-titik similarisasi, komparasi,komplementasi atau kontekstualisasinyadengan nilai-nilai Islam yang dapatmenjadi alternatif solusi dalampengembangan moral di lapangan?

Sejak republik ini dibangun, tujuanpendidikan di Indonesia secara substantiftelah diletakkan di atas orientasipembangunan manusia seutuhnya,seperti juga tercermin dalam tujuanpendidikan nasional; tetapi cenderungmasih parsial dalam kenyataannya, baikdari sisi kebijakan maupun praktik dilapangan. Hal itu terjadi karena satu diantara sekian banyak kebijakanpendidikan dan pembelajaran di lapanganberorientasi pada pendekatan kognitifyang tidak proporsional, termasuk didalamnya pengembangan moral ataukarakter. Maka tidak heran bila kitamelihat banyak keluaran dari institusi-institusi pendidikan di Indonesia yangterjebak dalam dekadensi moral yangmemprihatinkan, sebagai bangsa,walaupun mereka mengenyampendidikan tinggi.

Page 3: IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEAN …

242

Jurnal Teknodik Vol. XVI Nomor 2, Juni2012

123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

Tulisan ini bertujuan untuk mengkajidan menganalisis teori perkembanganmoral Piaget, sebagai salah satu modelpendekatan kognitif dalam implementasipengembangan moral yang tidakproporsional dan implikasinya dalamkehidupan sosial. Tulisan ini memberikantelaah kritis dari perspektif Islam, sebagaibagian kecil dari upaya memberikansolusi dan alternatif pemikiran untukmemberikan kontribusi bagipengembangan moral masyarakatIndonesia, dalam membangun manusiaseutuhnya.

B. KAJIAN LITERATUR DANPEMBAHASAN1. Pendidikan Moral

Menurut Tirtarahardja, pendidikandiartikan sebagai suatu kegiatan yangsistematis dan sistemik terarah kepadaterbentuknya kepribadian peserta didik(Tirtarahardja dan Sulo: 2005, h. 34).Undang-undang No. 20 tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasionalmenyebutkan bahwa, Pendidikan adalahusaha sadar dan terencana untukmewujudkan suasana belajar dan prosespembelajaran agar peserta didik secaraaktif mengembangkan potensi dirinyauntuk memiliki kekuatan spiritualkeagamaan, pengendalian diri,kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,serta keterampilan yang diperlukandirinya, masyarakat, bangsa dan negara(UU No.20/2003, h. 4).

Kata moral berasal dari bahasa Latinmos (jamak: mores) yang mengandungarti antara lain: a) adat istiadat, b) sopansantun, c) perilaku (Zuriah, 2007, h. 17).Oswalt mengemukakan moralitas adalahkemampuan kita untuk mempelajariperbedaan antara benar atau salah danmemahami bagaimana membuat pilihanyang tepat. Seperti halnya pembangunansegi-segi lainnya, moralitas tidakterbentuk secara independen daripermasalahan (pada lingkungan)(Oswalt, 2007). Moralitas adalahseperangkat prinsip dan ideal-ideal yangmembantu individu untuk membedakan

yang benar dari yang salah, untukberperilaku sesuai perbedaan itu, danmerasa bangga dengan perilaku budiluhur tersebut serta merasa bersalah(atau emosi-emosi yang tidakmenyenangkan lainnya) dengan perilakuyang melanggar standar (Shaffer danKipp, 2007, h. 567). Jadi Pendidikan moraladalah suatu kegiatan yang sistematisuntuk membentuk pribadi yang memilikiseperangkat pengetahuan tentang ideal-ideal yang dengannya ia dapatmembedakan yang baik dan buruk,merasa bangga dan berperilaku sesuaiideal-ideal tersebut.

Dalam konteks doktrin Islam,pengetahuan seseorang tentang yangbaik dan yang buruk mengharuskannyauntuk berperilaku sesuai denganpengetahuannya itu, tetapi realitasnyamemang tidak otomatis orang yangmemiliki pengetahuan itu berbuat sesuaidengan pengetahuannya. Karena itu,moral Islam berorientasi pada perilakumoral (amaliyah), seperti akandisinggung dalam pembahasan nanti.

2. Perkembangan Moral AnakIsti lah perkembangan berarti

serangkaian perubahan progresif yangterjadi sebagai akibat dari proseskematangan dan pengalaman. Van denDaele mengatakan: “Perkembanganberarti perubahan secara kualitatif. Iniberarti bahwa perkembangan bukansekedar penambahan beberapasentimeter pada tinggi badan seseorangatau peningkatan kemampuanseseorang, melainkan suatu prosesintegrasi dari banyak struktur dan fungsiyang kompleks (Hurlock, 2008, h. 2).Santrock mengemukakan, bahwaPerkembangan adalah pola pergerakanatau perubahan yang terjadi sepanjangrentang kehidupan (Santrock: 1997, h.27). Menurut Santrock, perkembanganadalah pola perubahan yang dimulaisejak pembuahan, yang berlanjutsepanjang rentang kehidupan (Santrock:2007, h. 7). Jadi perkembangan meliputisemua aspek pencapaian dan

Page 4: IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEAN …

24312341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

kemampuan progresif sebagai prosesintegrasi dari banyak struktur dan fungsiyang kompleks yang diakibatkan olehfaktor kematangan dan pengalaman yangterjadi sejak konsepsi dan berlangsungsepanjang hayat.

Perkembangan moral adalahperubahan penalaran, perasaan danperilaku tentang standar mengenai benardan salah. Perkembangan moral memilikidimensi intrapersonal, yang mengaturaktivitas seseorang ketika dia tidakterlibat dalam interaksi sosial dan dimensiinterpersonal yang mengatur interaksisosial dan penyelesaian konflik (Santrock:2007, h. 117). Perkembangan moral anakmerupakan suatu proses panjang daripembelajaran dan internalisasi peraturan-peraturan dan standar benar dan salah,untuk mengembangkan kata hati (Essa:2003, h. 370) (QS.83:15). Jadiperkembangan moral anak adalahperubahan pikiran, sikap dan tingkah lakuanak sebagai hasil pembelajaran daninternalisasi atau transformasi mengenaistandar-standar benar dan salah dalamhubungan dengan diri, manusia, Allahdan alam.

Dalam konteks Islam, Istilah“intrapersonal” dekat dengan “ihtisab,tahannuth dan tahannuf”, merupakankegiatan mental, dimana seseorangsecara spiritual melakukan perenungandiri terhadap alam, manusia, dan Tuhanuntuk memperoleh kebenaran (al-shiratal-mustaqim). Istilah interpersonal dekatdengan “silah al-rahim” mungkin lebihmanusiawi karena menunjuk pada asalrahim (Siti Hawa, ibu umat manusia) ataumenyambung tali kasih sayang yangterputus (karena konflik). Istilah yangdapat digunakan silih berganti bagiintrapersonal dan interpersonal adalah“Tadbier al-Mutawahhid” Ibnu Bajjah.Tadbier berarti merenung (aktifitasmental) tentang kebenaran, sedangMutawahhid berarti seorang diri. Secarabahasa pengertian ini sepadan dengankata ihtisab (intrapersonal). Tetapi maknahakiki “tadbier al-mutawahhid “ adalahberpikir tentang kebenaran dan

mengambil jarak psikologis dalaminteraksi sehingga terhindar dari moraltercela. Makna kedua ini bisadidigunakan untuk istilah interpersonal.Sedang kata/suara hati merupakanpotensi inheren, karena Allahmengilhamkan kepada jiwa manusiatentang keburukan dan kebaikan”MakaAllah mengilhamkan kepada jiwa itu(jalan) kefasikan dan ketaqwaannya”(QS. Al-Syams/91:8), karena itu dalamkaitan ini, Nabi bersabda: “Mintalah fatwapada hatimu”. Pengabaian terhadap suarahati menyebabkan hati menjadi ternodadan tumpul, jiwanya dikuasai olehsyahwat (jiwa hayawaniahnya), sehinggamoralnya menjadi buruk. Tetapi kalausuara hati terus didengar dengan baik,maka hatinya menjadi cemerlang,jiwanya akan dikuasai oleh jiwakemanusiaannya, sehingga ia memilikimoral terpuji. Menurut ibn Mahran,“apabila seorang berdosa karena perilakuimmoralnya, maka hatinya ternoda; danakan cemerlang kembali apabila iabertaubat. Namun apabila ia terusmengulangi perilaku immoralnya makahatinya akan bertambah hitam ternoda,sehingga menutupi kecemerlanganhatinya” (Al-Ghazali, tt., h. 13,14).Dengan demikian, pada tataran praksissuara hati yang tidak didengarkan terusmenerus oleh seseorang, maka akanmengotori dan membutakan matahatinya sehingga memberikan pengaruhpada perubahan sikap dan tingkahlakunya ke arah standar yang negatif(dominasi syahwatnya).

3. Tahapan Perkembangan MoralPiaget

Ketertarikan pada bagaimana anakberpikir mengenai isu moral dipicu olehJean Piaget (1932) yang secara ekstensifmengamati dan mewawancarai anak-anak dari usia 4 sampai 12. Piagetmengamati anak-anak yang bermainkelereng untuk mengetahui bagaimanamereka menggunakan dan memikirkanaturan permainan. Dia juga bertanyapada anak-anak tentang isu etis —

Page 5: IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEAN …

244

Jurnal Teknodik Vol. XVI Nomor 2, Juni2012

123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

contohnya mencuri, berbohong,hukuman, dan keadilan. Piagetmenyimpulkan bahwa anak melewati duatahap yang berbeda dalam cara merekaberpikir tentang moralitas (Santrock:2007, h. 117). Piaget meyakini dualandasan utama yang berhubungandengan pendidikan moral, yaitu bahwaperkembangan ide moral anak berjalansecara bertahap dan itu artinya anakmenciptakan konsep dunianya sendiri(Wikipedia, Piaget). Pandangan Piaget diatas menunjukkan, bahwaperkembangan ide moral anak berjalansecara bertahap dan itu artinya anakmenciptakan konsep dunianya sendiriadalah sejalan dengan teori sosiologis,dimana dalam konsep ini dunia (moral)manusia adalah suatu dunia yang mestidibentuk oleh aktivitas manusia sendiri,manusia harus membentuk dunianyasendiri (Berger, 1991, h. 7).

Piaget menggambarkan anak sebagaiseorang ilmuwan satu-satunya,menciptakan sendiri pengertiandunianya. Individu akan menafsirkan danbertindak sesuai dengan kategori atauskema konseptual yang dikembangkandalam interaksi dengan lingkungan.Pengetahuan tentang hubungan antaraide-ide, benda, dan peristiwa dibangunoleh proses-proses aktif internal asimilasi,akomodasi, dan perimbangan. Sehinggaanak-anak pasti dapat membangun suatutahap yang logis dari dalam, karenamereka hanya mendasarkanpendapatnya pada apa yang mereka lihat(Hughes, 2001). Karena itu, dalamkonteks pendidikan moral Islami,misalnya Islam mendorong manusia agarbermoral baik dan bila melihat contohmoral yang salah harus diisolasi, sehinggatidak menjadi transmiter negatif bagipengembangan moral anak.

Tahap yang mula-mula dikenalsebagai premoral,‘ di mana penilaianberlangsung dari lahir sampai kira-kiralima tahun. Pada tahap ini, anak-anakhanya tidak memahami konsep aturandan tidak tahu moralitas, internal ataueksternal. Tahap ini kira-kira bertepatan

dengan sensorimotor dan pra-operasionaltahap kognitif teori Piaget danberhubungan dengan mereka dalam artibahwa sejak anak memiliki konsep yangburuk terhadap orang lain, kesadaran(jika sama sekali), dan tidak mampumelaksanakan mental yang rumit operasi,tidak mungkin bagi mereka untukmemiliki rasa moralitas (Piaget, 2006).

Menurut Piaget anak berpikir tentangmoralitas dalam 2 cara/tahap, yaitu caraheteronomous (usia 4-7 tahun ), di manaanak menganggap keadilan dan aturansebagai sifat-sifat dunia (lingkungan)yang tidak berubah dan lepas dari kendalimanusia dan cara autonomous (usia 10tahun ke atas) di mana anak sudahmenyadari bahwa aturan-aturan danhukum itu diciptakan manusia (Piaget,2006).

Awal masa kanak-kanak ditandaidengan apa yang oleh Piaget disebut“moralitas melalui paksaan”. Dalamtahap perkembangan moral ini anak-anak secara otomatis mengikutiperaturan-peraturan tanpa berpikir ataumenilai, dan ia menganggap orang-orang dewasa yang berkuasa sebagaimaha kuasa. Ia juga menilai semuaperbuatan sebagai benar atau salahberdasarkan akibat-akibatnya dan bukanberdasarkan pada motivasi yangmendasarinya. Menurut sudut pandanganak, perbuatan yang “salah” adalahyang mengakibatkan hukuman, baikoleh orang lain maupun oleh faktor-faktor alam atau ghaib (Hurlock, 1980,h. 123). Konsepsi Piaget tentang“moralitas melalui paksaan”,menunjukkan bahwa perbuatan “salah”memiliki konsekwensi hukuman yangbersifat eksternal. Karena itu anakmengikuti saja peraturan tanpa pikir.Dari perspektif sosiologis, terdapathubungan yang erat antara sikap “taat”seseorang terhadap norma kelompokdengan fungsi sanksi (Susanto, 1985,h. 115). Dari perspektif ini, makamenjadi penting adanya penguataninstitusi secara terstruktur terhadapperbuatan “benar” anak dan fungsisosial kontrol.

Page 6: IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEAN …

24512341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

Menurut Piaget anak-anak usia antara5 dan 10 melihat dunia melaluiHeteronomous Moralitas. Dengan katalain, anak-anak berpikir bahwa figurotoritas seperti orang tua dan gurumemiliki peraturan bahwa anak-anakmuda benar-benar harus mengikutisecara absolut. Aturan dianggap sebagainyata, panduan yang tidak berubahdaripada berkembang, dinegosiasikan,atau situasional. Ketika merekabertambah tua umurnya, merekamengembangkan pemikiran abstrak, danmenjadi kurang berfokus pada dirisendiri, anak menjadi mampumembentuk aturan yang lebih fleksibeldan selektif menerapkannya demi tujuanbersama dan keinginan untukbekerjasama (Oswalt, 2007).

Tahap kedua disebut realisme moraldan berlangsung dari perkiraan usia limasampai sembilan. Anak-anak di tahap inisekarang memahami konsep aturan,tetapi mereka pandang sebagai aturaneksternal dan tidak berubah. Anak-anakmematuhi aturan terutama karenamereka di sana. Karena sebuah aturanmemberi tahu Anda apa yang tidak dapatAnda lakukan (Piaget, 2006). Pada faseini, anak lebih memperhatikankonsekwensi peraturan ketimbangniatnya. Dalam perspektif Islam,walaupun anak sulit berpikir abstrak, niattetap harus disemaikan mendasari semuaamal (al-Bukhari, 1999, h. 1) denganmodifikasi ke dalam bentuk kata-katayang lebih kongkrit.

Menurut Piaget realisme moralmenyebabkan tanggung jawab objektif,yang dengannya satu perbuatandievaluasi pada kadar sesuai atautidaknya tindakan tersebut denganhukum daripada dengan merujuk padaapakah ada niat jahat melanggar hukumatau niatnya baik tetapi tanpa sengajatidak sesuai dengan hukum. Pada tahapini anak berada dalam transisi yangmenunjukkan sebagian ciri-ciri dari tahappertama perkembangan moral dansebagian ciri dari moralitas otonom(Piaget, Inhelder, 2010, h. 140, 114).

Yang ketiga dan tahap terakhirdisebut relativitas moral. Tahap ini dimulaipada sekitar tujuh tahun, sehingga padaawalnya tumpang tindih dengan realismemoral. Anak-anak yang telah mencapaitahap ini mengakui bahwa peraturantidak tetap, tetapi dapat diubah olehpersetujuan bersama, dan mereka mulaimengembangkan moralitas internalmereka sendiri yang tidak lagi samadengan aturan-aturan eksternal.Pembangunan besar adalah bahwatindakan sekarang dievaluasi lebih dalamhal niat, yang kebanyakan orang akanmelihat sebagai pandangan yang lebihcanggih dari moralitas. Piaget juga pikiritu selama tahap ini bahwa anak-anakmengembangkan konsep perusahaanperlunya secara khusus bahwa hukumansesuai dengan kejahatan. Hal inimenunjukkan bahwa pada fase ini anaktelah mulai lebih realistik dalam melihatkenyataan dan proporsional.

Tahap ini berhubungan denganlandasan dan tahap operasional formaldalam teori kognitif Piaget, di mana anak-anak menjadi mampu melaksanakanoperasi mental yang kompleks, pertamapada contoh-contoh konkret, kemudianditambah pada konsep-konsep abstrak.Menurut Piaget mulai 10 tahun ke atas,dimana anak menunjukkan moralitasotonom, mulai sadar bahwa peraturandan hukum dibuat oleh manusia, danketika menilai sebuah perbuatan, merekamempertimbangkan niat dan jugakonsekwensinya (Santrock, 2007, h.117-118). Sebagai perbandingan, bahwaperaturan (moral) Islam bersifat eksternaldan mutlak karena berasal dari Allah sertadiciptakan sesuai fitrah manusia. Karenaitu, konsistensi penerapannya menjadikeniscayaan dan mengorientasikansegala niat hanya kepadaNya semata.

Ringkasnya, tahapan moral adalahberhubungan dengan perkembangankognitif dan perilaku moral, tetapiidentifikasi kami terhadap tahapan moralharuslah berdasar pada pertimbangan(pemikiran) moral. Walaupun demikian“Piaget percaya bahwa hubungan timbal

Page 7: IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEAN …

246

Jurnal Teknodik Vol. XVI Nomor 2, Juni2012

123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

balik dalam relasi teman sebaya akan memajukan perkembangan moral (Santrock, 2007, h.129). Menurut Piaget, “Metakognisi dalam pengertian ini berada dalam struktur-struktur itudan mengontrol tindakan, sekalipun knower tidak sadar atas pengaturan tindakan ini (Palmer2006, h. 75).

C. METODE ANALISIS1. Tujuan dan Pendekatan

Tulisan ini bertujuan untuk: a)mendeskripsikan teori perkembanganmoral Piaget dan b) implementasinyayang lebih bercorak sosio-religius dariperspektif doktrin keyakinan Islam.Dengan demikian, teori tersebut dapatdiketahui dan diterapkan secara lebihproporsional dan kontekstual bagaimanaimplementasinya dalam praktikpendidikan.

2. Teknik AnalisisTeknik analisis dilakukan dengan

deskriptif analitis kualitatif, yaitu denganmemaparkan/ menguraikan dengangamblang dan jelas tentang suatukeadaan atau fenomena-fenomena apaadanya (Sukmadinata, 2005, h. 18).Kajian akan mengkaji implementasi teoritahapan perkembangan moral Piaget danperbandingannya dari perspektif Islamuntuk melihat adanya titik-titik kesamaan(similarisasi), penguatan(komplementasi) dan atau perbedaanantara keduanya.

Page 8: IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEAN …

24712341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

D. HASIL ANALISISBila Piaget mengemukakan, bahwa

pandangan dunia seseorang dibangun darisuatu tahap yang logis dari dalam, di manapendapat tersebut didasarkan pada apa yangmereka lihat. Maka dapat dipertanyakanjuga, bagaimana kalau orang buta. Karenaitu, pendapat atau pengertian anak tentangdunianya tidak dibangun hanya berdasarkanpada penglihatan saja, seperti yangdikemukakan Piaget, tetapi kemungkinanyang lain dapat terjadi, dimana anakmendasarkan pendapatnya tersebut padasegenap alat indera lainnya, yang dipersepsidari lingkungannya, sesuai kapasitasperkembangan akalnya, atau potensi-potensikemanusiaan lainnya.

Dalam khazanah pendidikan Islam, sejakanak lahir, dan bahkan sejak masa konsepsi,orientasi theosentris harus diletakkanorangtua dengan menciptakan iklim sosialdan spiritual yang paralel dengan kesucianfitrah anak, seiring dengan tumbuh-kembangnya. Meskipun anak berada padafase premoral, di mana kesadaran danpemikirannya belum berkembang sempurna,perlu sedini mungkin bagi orang tua sebagailingkungan terdekat pertama bagi anak untukmenyediakan kondisi sosio-religius yangmungkin bagi perkembangan moral anak.Ketidakpahaman anak terhadap konsepaturan dan ketidaktahuan terhadapmoralitas, apakah bersifat internal ataueksternal, seperti dikemukakan Piaget, justrumenjadi momentum yang baik untukmemasukkan nilai-nilai moral sampai ke alambawah sadarnya, lewat contoh-contoh dankebiasaan yang tumbuh di lingkungannyadan dirasakannya, walaupun mula-mula anaktidak begitu menyadarinya.

Penelitian mutakhir menyimpulkan,bahwa perkembangan otak manusia tumbuhpaling cepat; lahir dengan 25%, mencapai70% pada usia 1 tahun, 90 % pada usia 3tahun dan mencapai kematangan pada usia10 tahun (Papalia, Olds, 1990, h.175-176).Maka dapat dipersoalkan, mestikah fungsiotak (penalaran) bekerja setelah satu tahun?Fungsi otak (penalaran) mestilah bekerjaparalel dengan perkembangan kapasitasnyayang berkembang sejak dalam kandungan.

Penelitian modern menunjukkan, musikklasik yang dinikmati ibu hamil akanberpengaruh terhadap kecerdasan musikanak, nantinya. Karena itu, dapatlahdiakomodir pandangan yang menyatakan,bahwa perkembangan sebagai bentukperubahan sepanjang waktu dimulai sejakkonsepsi dan berlanjut sepanjang rentangkehidupan (Keenan dan Evans, 2009, h. 4).Dengan demikian termasuk fungsi otakdalam hal ini yang tumbuh paling cepat.

Karena itu tahap pertama, sensorimotor(0 a/d 2 tahun), dari teori kognitif Piagetyang menyatakan bahwa anak memiliki polaperilaku reflek, tentulah tidak berarti bahwaperilaku anak pada tahap ini sama sekalitidak dipengaruhi oleh fungsi otak/akalnya.Hal tersebut dapat diamati dari respon anakyang beragam terhadap berbagai stimulusyang baik atau buruk, menyenangkan atautidak menyenangkan, dan pengaruhnyaterhadap watak anak. Itulah sebabnyakenapa Piaget menyatakan, bahwa “anakyang memiliki konsep yang buruk terhadaporang lain, kesadaran (jika sama sekali), dantidak mampu melaksanakan mental yangrumit operasi, tidak mungkin bagi merekauntuk memiliki rasa moralitas” (Piaget,2006).

Tahap perkembangan moral Piaget dariumur 0 sampai 4 anak-anak berada padatahap premoral, karena itu anak belummemahami konsep aturan dan tidak tahumoralitas, internal atau eksternal. Pada masaini perilaku anak bersifat refleks. Penggunaansimbol-simbol; memori dan imajinasidikembangkan sebagai penggunaan bahasadewasa; pemikiran nonlogical, nonreversible(tidak dapat dibalik), dan egosentris(Wikipedia, 2008). Karena itu, dalam konteksIslam, menjadi penting dan tepatmomentumnya bagi orangtua agarmemanfaatkan sifat perilaku refleks anak —sejak dini— untuk menciptakan lingkungandan intervensi yang diperlukan, selarasdengan perkembangannya. Pastikan juga,bahwa orangtua menjadi model bagianaknya, karena hal itu akan menciptakaniklim sosial dan spiritual yang kondusif bagilingkungan anak.

Page 9: IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEAN …

248

Jurnal Teknodik Vol. XVI Nomor 2, Juni2012

123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

Perkembangan moral pada awal masakanak-kanak masih dalam tingkat yangrendah. Hal ini disebabkan karenaperkembangan intelektual anak-anak belummencapai titik di mana ia dapat mempelajariatau menerapkan prinsip-prinsip abstraktentang benar dan salah. Ia juga tidakmempunyai dorongan untuk mengikutiperaturan-peraturan karena belum begitumengerti manfaatnya sebagai anggotakelompok sosial, dan anak sibuk dengandunianya sendiri.

Menurut Piaget, karena tidak mengertimasalah standar moral, anak-anak harusbelajar berperilaku moral dalam berbagaisituasi yang khusus. Ia hanya belajarbagaimana bertindak tanpa mengetahuimengapa. Karena ingatan anak-anakcenderung kurang baik, sekalipun anak-anakyang sangat cerdas, maka belajar bagaimanaberperilaku sosial yang baik merupakanproses yang panjang dan sulit. Anak-anakdilarang melakukan sesuatu pada suatu hari,tetapi keesokan hari atau dua harisesudahnya mungkin ia lupa. Jadi, anggapanorang dewasa terhadap tindakan tidak patuhanak seringkali hanya merupakan masalahlupa (Hurlock, 2008, h.123). Jika lupamerupakan masalah internal individu anak,maka dalam konteks Islam, lingkunganmenjadi kata kunci yang harus diciptaterutama oleh orangtua sedini mungkin,sebagai lingkungan terdekat dominan dalamproses pengembangan moral anak.

Bila dalam fase heteronomous moral,anak berpikir bahwa figur otoritas sepertiorang tua dan guru memiliki peraturan, makaanak-anak muda benar-benar harusmengikuti secara absolut. Dalam konteksIslam, figur otoritas tersebut hendaknyasecara sadar disandarkan pada Tuhan,sebagai otoritas tertinggi. Karena itu, dalamkaitan pengembangan moral anak sejak dini,orangtua dan guru harus menyandarkansemua perintah dan otoritas mereka tersebutkepada Allah, sebagai pemilik kebenaranyang absolut; dengan penjelasan yangsederhana, sesuai perkembangan anak dankemampuan penerimaannya. Cara di atas,yakni penyandaran semua perilaku moralkepada Allah, akan sangat baik dalam upaya

keseluruhan penguatan ideologis yangmenjadi basis perkembangan mora anak.

Khazanah pendidikan Islammenunjukkan, bahwa apa yang dilihat,didengar, dirasa dan di alami anak dalamlingkungan terdekat pertama dari orangtuaakan diserap dan ditorehkan sebagai gambardalam pikiran dan jiwanya, sebandingdengan intensitas lingkungannya. Al-Ghazalimengemukakan, bahwa hati (jiwa) anakdapat menerima setiap sesuatu yangdiukirkan dan diorientasikan pada bentukyang diinginkan (Al-Ghazali, tt., h. 78). Padatahap awal inilah lingkungan akan memberibekas pembelajaran secara lebih kuatsebagai landasan bagi perilaku moralnya dikelak kemudian hari. Tetapi berbeda denganpandangan di atas, Piaget lebihmenggunakan istilah transformasi dari padainternalisasi.

Pesan moral sebagaimana dikemukakanhadits Nabi tentang fitrah menunjukkan,bahwa fitrah, termasuk di dalamnya karakterdibentuk dan ditentukan oleh faktor exogenterdekatnya di rumah (secara informal),dibandingkan dengan lingkungan sekolah(formal sejak TK) maupun lingkunganmasyarakat. Hal ini terjadi karena anak belummemiliki pengalaman dan pendirian yangkuat, sehingga ia akan menyerap informasiawal di rumah dengan sangat melekat, tanpafilter, dan mempribadi sebagai watak/karakter.

Pada tahap yang disebut Piaget sebagairealisme moral, anak memandang peraturanbersifat eksternal dan tidak berubah. Dalamkonteks Islam, adalah penting pada faserealisme ini untuk menyandarkan otoritasorangtua kepada Allah sebagai pemegangotoritas tertinggi; karena itu segala niat harusdiorientasikan kepadaNya juga.

Menurut Piaget, sebagaimana disebut diatas, pada tahapan realisme ini,menyebabkan anak memiliki tanggung jawabobjektif. Di dalam Islam niat adalah pentingdan mernjadi ruh dari perilaku. Kedudukanniat ini menjadi penting, karena dapatmenata suara hati, dan sebaliknya. Karenaniat lebih masuk ke dalam zona abstrak,maka tidak mudah bagi anak yang beradapada tahap realisme. Sekalipun demikian,

Page 10: IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEAN …

24912341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

dalam konteks Islam, niat untuk anakdiformat secara kongkrit, misalnyabagaimana anak berniat ketika mau shalat,puasa, belajar dan lain sebagainya dalamhubungan dengan Allah yang immaterial.

Dalam konteks pendidikan Islam, justrudalam masa transisi ini nilai-nilai perlu benar-benar ditransformasikan sesuai lingkunganIslami yang direncanakan. Anak benar-benarmemasuki sosialisasi dalam lingkungan yangsesuai dengan moral Islami. Realisasi nilai-nilai moral dalam pengalaman hidup anakperlu diperkuat dengan menciptakanlingkungan yang mungkin, secara konsisten.Hal ini akan membantu anak secara signifikanketika ia memasuki tahap autonomous.

Menurut Piaget, anak-anak yang telahmencapai tahap autonomos ini mengakuibahwa peraturan tidak tetap, tetapi dapatdiubah oleh persetujuan bersama, danmereka mulai mengembangkan moralitasinternal mereka sendiri yang tidak lagi samadengan aturan-aturan eksternal.Pembangunan besar adalah bahwa tindakansekarang dievaluasi lebih dalam hal niat.Tahap ini berhubungan dengan landasan dantahap operasional formal dalam teori kognitifPiaget, di mana anak-anak menjadi mampumelaksanakan operasi mental yangkompleks, pertama pada contoh-contohkonkret, kemudian ditambah pada konsep-konsep abstrak. (Piaget, 2006). Sebagaiperbandingan, bahwa dalam Islam peraturan(moral) Islam bersifat eksternal dan mutlakkarena berasal dari Allah serta diciptakansesuai fitrah manusia. Karena itu, konsistensipenerapannya menjadi keniscayaan.

Menurut Piaget, mulai 10 tahun ke atas,dimana anak menunjukkan moralitasotonom, di mana anak mulai sadar bahwaperaturan dan hukum dibuat oleh manusia;dan ketika menilai sebuah perbuatan, merekamempertimbangkan niat dan jugakonsekwensinya (Santrock, 2007, h.117-118). Ringkasnya, tahapan moral adalahberhubungan dengan perkembangan kognitifdan perilaku moral, tetapi identifikasi kamiterhadap tahapan moral haruslah berdasarpada pertimbangan (pemikiran) moral(Santrock, 2010, h. 129).

Dalam kompilasi hukum Islam,tanggungjawab moral/taklif jugaberhubungan dengan perkembangan kognitif.Taklif —dimana tanggungjawab diletakkan—akan berfungsi setelah masa baligh-aqil(cukup umur dan berpikir logis), sehinggaanak mampu berfikir abstrak yang merupakantangga rasional untuk mengetahui danberiman kepada Allah, yang menjadi sentraldalam doktrin Islam. Orang yang secaraumum mencapai umur kematangan phisik danpsikhis tertentu, secara syar’i, akan dikenaitanggung jawab moral/taklif. Karena itu,dalam mengantisipasi fase taklif dapatdipahami, misalnya kenapa hadits Nabimewajibkan orang tua agar menyuruhanaknya yang berumur 7 tahun untukshalat dan memukulnya (sebagai tindakanedukatif) bila anak tidak shalat jika berumur10 tahun (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, h242). Hal ini karena shalat merupakan sendipokok dalam moral Islam dalamhubungannnya dengan Allah (secara vertikal)—yang bila dilaksanakan dengan ikhlas danbenar— juga mempunyai implikasi pentingterhadap kebaikan moral dalam hubungannyadengan manusia (secara horizontal).

Miskawaih, seorang filosof moral Islammengemukakan, bahwa perangkat yangmembedakan manusia dari hewan secaraspesifik adalah ditentukan oleh kapasitasperbuatan-perbuatannya yang disengaja yangdiakibatkan oleh pemikiran dan pertimbanganmendalam. Inilah sebabnya kesempurnaanmanusia terletak pada kesempurnaan akalnya(Fakhry, 1970, hlm. 212). Islam pada satusisi, seperti tercermin di atas, memiliki titik-titik similarisasinya dengan pandanganperkembangan moral dan kognitif Piaget,tetapi sekaligus berbeda dengan teori Piagetdalam hal, bahwa perilaku moral tidakselamanya berdasar pada pertimbanganmoral; atau tidak selalu seperti yangdiungkapkan Piaget, bahwa tindakan moraldikontrol oleh metakognisi. Itulah sebabnyahadits di atas menunjukkan adanyakemungkinan digunakannya punishmen(pukulan edukatif) sebagai tindakan antisipatifbila anak yang berumur 10 tahun ke atas tidakmelaksanakan shalat secara sengaja.

Page 11: IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEAN …

250

Jurnal Teknodik Vol. XVI Nomor 2, Juni2012

123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

Mungkin pandangan Piaget yang dapatmenjembatani perbedaan di atas adalahpendapatnya terkait dengan epistemologi.Piaget menyatakan, bahwa persoalanepistemologis memiliki dimensi empiris juga,tetapi penalaran menjadi “mu’jizat”kreativitas manusia dalam merekonstruksidan mengkodifikasi norma/moralitas (Palmer,2006, h. 73,76). Di sini tampak bahwapenalaran (kognitif) bagi Piaget begitupenting perannya, walaupun masihmempertimbangkan dimensi empirik, tetapiia melihatnya sebagai mu’jizat karenakapasitasnya merekonstruksi danmengkodifikasi norma/moralitas. Padahalsebagaimana dapat diamati dalam kehidupannyata, betapa banyak persoalan yang tidakdapat terpecahkan dan menjadi misteri yangmenunjuk betapa terbatasnya akal manusia.

Kalau Piaget mengemukakan, bahwaindividu akan menafsirkan dan bertindaksesuai dengan kategori atau skemakonseptual yang dikembangkan dalaminteraksi dengan lingkungan. Makapandangan tersebut bisa saja terjadi dalamsuatu kemungkinan, tetapi belum tentuterjadi pada kemungkinan yang lain,terutama kaitannya dengan tindakan moralseseorang. Apakah tindakan seseorang selalusesuai dengan kategori atau skemakonseptual yang dikembangkan dalaminteraksi dengan lingkungan? Mungkin tidakselalu; Seorang perampok mungkin sajaberlaku sadis, walaupun mungkin jugaseketika saja hatinya tidak berkenan untukitu dan ia terpaksa melakukannya. Dengandemikian, selalu ada kemungkinan lain, dimana kesempurnaan akal seseorang tidakotomatis menunjukkan perilaku bermoral.

Dalam masalah tersebut, Kohlbergmisalnya mendapat kritik, “di mana padakebanyakan skandal publik pada masasekarang, pelakunya biasanyamemperlihatkan pemikiran moral yang baik,tetapi perilakunya imoral (Santrock, 2007, h.123). Sasaran kritik aliran kognitif yangditujukan pada Kohlberg, sebagaipengembang teori kognitif Piaget,menyebabkan “Menjelang akhir kariernyaKohlberg 1986 (dalam Santrock: 2010,h.122) mengakui bahwa atmosfir moral di

sekolah adalah lebih penting ketimbang yangpernah dibayangkannya”. Tetapi pandanganakhir tersebut dapat dipahami, karenamenurut Kohlberg, meskipun penalaranmoral dalam setiap tahap mensyaratkantingkat perkembangan kognitif tertentu,tetapi kemajuan dalam kognitif anak tidakmenentukan penalaran moral (Santrock,2007, h. 121).

Karena itu, pendidikan moral yangumumnya sering disebut pendidikankemauan, oleh M.J. Langeveld dinamakanDe opvoedeling omzichzelfswel(Tirtarahardja: 2005, h. 34). Hal ini dapatdimengerti, karena orang yang tahu (memilikikecerdasan) dan memiliki kata hati belumtentu, secara otomatis, berkemauan untukbertingkah laku sesuai dengan nilai-nilaimoral yang luhur (akhlak mulia) tersebut.

Dalam pandangan Islam, seseorang yangberakhlak, sebagaimana dijelaskan di atas,tidak hanya sekadar mengetahui nilai baikdan buruk suatu perbuatan, sebab yang lebihpenting dari itu adalah melakukan perbuatanbaik tersebut. Karena itu, pengetahuan moralhanya akan bermakna bila bermuara padaperilaku moral.

Menurut Hurlock, dengan berakhirnyaawal masa kanak-kanak kebiasaan untukpatuh harus dibentuk agar anak-anakmempunyai disiplin yang konsisten. Tetapianak-anak belum mengembangkan hatinurani sehingga ia tidak merasa bersalahatau malu bila melakukan sesuatu yangdiketahui sebagai suatu yang salah (Hurlock,1980, h. 123). Karena itu dalam khazanahpemikiran pendidikan Islam, dipandangpenting mengembangkan rasa malu(Miskawaih, 1934, h. 21).

Sebagaimana dapat dipahami daripandangan Aristoteles, bahwa kebaikan yangsempurna harus memiliki perwujudan yangsama sempurnanya dalam realitas. Tentuproposisi Arisroteles di atas bersifat netraldan lebih universal, tetapi di tangan filosofPostModernisme misalnya, kebenaran“moral” tidak akan pernah memiliki sandaranyang ‘Mutlak’, kecuali bersifat relatif dansubjektif (Ewing: 2003, h. 386-388; Misbah:2008, h. 47, 53 & bab 5). Pandangan tersebutdapat ditarik jauh ke zaman sofis Yunani kuno

Page 12: IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEAN …

25112341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

dan memiliki padanannya yang esensial padafilsafat PostModernisme, yang bercorakantroposentrisme. Dalam konteks moralIslami pengetahuan moral Islami menuntutkonsistensi (istiqamah) dalam perilakumoralnya (Al-Dimasyqy,1994 ,h. 28) Rasulmenyatakan: “Katakanlah! Aku berimandengan Allah, setelah itu istiqamahlah(konsisten).

PostModernisme secara intrinsik,potensial dapat menjadi biang inkonsistensidalam implementasi moral karenamenempuh jalan rasionalitas kebebasan(kritis-kreatif-divergen) (Muhadjir, 2001, h.203, 204-222) yang tidak bersandar padasesuatu yang “Mutlak”. Pandangan pokokmoral PostModernisme berpijak padarelativisme kebenaran, moralitas tanpastandar dan perlunya terus menerusmelakukan dekonstruksi kebenaran. Namunmoral Islami karena terpaut erat denganprinsip-prinsip mutlak keyakinan agama yangditurunkan Allah, maka penerapannyamemungkinkan dan seharusnya dilakukansecara konsisten. Penerapan secara tidakkonsisten nilai-nilai moral Islami dalambentuk pengetahuan, sikap dan tindakan(perbuatan) akan menyebabkan seseorangterjebak dalam sikap dan tindak moralrendah kemungkaran dan kekufuran(QS.2:208), sesuatu yang esensinyabertentangan dengan makna akhlak danIslam sendiri. Fleksibelitas hanya bisa dalamkonteks penafsiran terhadap absolutismenilai-nilai Tuhan, tidak untuk nilainya secaraintrinsik. Dengan demikian, landasan moralIslami adalah sesuatu yang tetap dan mutlakyang tidak berubah oleh perubahan keadaan,zaman dan tempat (Ma’arif, 1985, h.140).“Al-Syari’ah Al-Islamiyah shalikhun li kullizamanin wa makanin” Artinya: Islam itucocok bagi setiap zaman dan tempat (Suma,2002, h. 2). Pandangan ini menunjukkekenyalan peraturan Islam yang universal.Hal ini karena moral Islam didasarkan padapandangan yang bercorak theosentrismeyang absolut, tetapi sesuai dengan fitrahmanusia.

Dari sudut pandang moral Islam yangbercorak theosentris, maka tahapan ketigaperkembangan moral Piaget mungkin harus

diadabtasi secara hati-hati, karena padatahapan ini memasuki fase autonomousmoral; di mana anak menyadari aturan tidaktetap (relatif ) dan dapat diubah olehpersetujuan bersama (subjektif ) danhukuman diciptakan oleh manusia. Dengandemikian moralitas autonomous dapatterjebak ke dalam wilayah inkonsistensiperindividu dan massif dalam melakukankonstruksi terhadap apa yang dianggap baikdan tidak baik, sehingga bertentangandengan tujuan dan orientasi moral itu sendiriuntuk (di antaranya) menciptakanketeraturan. Dengan demikian, pandangankonstruktivisme tersebut bercorakanthroposentris dalam bingkai filsafatPostmodernistik.

Walaupun nilai-nilai moral Islami terdapattitik-titik berbeda secara fundamental denganteori moral Piaget, yang didasarkan padapandangan filsafat yang bercorakantroposentrisme. Namun dalam aplikasinyasecara teknis terdapat titik-titik persamaan(similarisasi), komplementasi, ataukomparasi dengan moral Islam, dalamkonteks psikologisnya (Bastaman, 1997, h.32). Tetapi implementasi pendekatan teorikognitif di sekolah-sekolah —pada tataranteknisnya— sebagaimana akan dibahas lebihlanjut, menjadi bias, apabila dalampembelajaran moral tersebut pendidik hanyamenekankan pada pengembangan kognitifsemata.

E. IMPLIKASI: PENDIDIKAN MORALDI SEKOLAH

Dalam Sistem Pendidikan Nasional tahun2003, sebagaimana telah dijelaskan di atas,bahwa secara formal pendidikan nasionalbertujuan untuk membangun manusiaseutuhnya, secara integral. Semestinyasemua kebijakan pemerintah danpembelajaran berbagai bidang ilmu dilembaga-lembaga pendidikan secara praktisdirancang terintegrasi dalam mewujudkanpembangunan manusia seutuhnya tersebut.Dengan demikian, nilai menjadi landasanyang niscaya dan menjadi bagian integral daripengembangan ilmu pengetahuan danteknologi bagi peserta didik.

Page 13: IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEAN …

252

Jurnal Teknodik Vol. XVI Nomor 2, Juni2012

123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

Ada kesenjangan yang nyata antara apayang seharusnya dan praktik pendidikan yangberlangsung di lapangan. Hal ini dapatdiamati dari banyaknya nilai-nilai yangseharusnya disemaikan secara integral dalampraktik pembelajaran, dengan contoh danketeladanan hidup, yang memungkinkanterbentuknya iklim sosial yang kondusif untukitu; pada kenyataannya telah direduksisecara sempit hanya sekadar menekankanpada aspek kognitif, sehingga setelah siswabelajar maka nilai-nilai luhur yang merekapelajari itu membekas secara minim dalamkehidupan sosial mereka. Bahkan dalampembelajaran bidang studi pendidikan agamayang secara khusus bertujuan untukmeningkatkan iman-taqwa dan akhlak muliaanak didik —dari sejak TK sampai Perguruantinggi— telah diredusir untuk pengembangankognitif semata. Terkadang dalam kehidupansehari-hari, guru tidak memberikan contohteladan, dan perilakunya tampak kurangsesuai dengan nilai-nilai moral Islami (akhlakmulia) yang diajarkan. “Inkonsistensi” sepertiini bisa berbahaya bagi perkembangan moralanak (Hurlock: 1980, h. 138).

Dalam praktik, penyelenggaraanpendidikan dalam berbagai jenjang banyakdisibukkan untuk mengejar target kurikuleryang parsial, karena hanya lebihmenekankan pada aspek kognitif. Pendidikandi sekolah-sekolah pada akhir pembelajarandi setiap jenjang berorientasi padapencapaian target minimal NEM yang telahditetapkan pemerintah. Termasuk didalamnya pendidikan agama yang secarapraksis berorientasi lebih padapengembangan kognitif, secara lebih sempit.Maka dapat diprediksi, bila out come produkpendidikan di Indonesia tidak seperti yangdiharapkan, seperti tercermin dalamsisdiknas.

Dengan demikian, dapatlah dikatakanbahwa out come pendidikan di Indonesiaadalah gagal. Indikasinya yang paling jelasadalah adanya potret reformasi yang secarapraksis menyisakan setumpuk permasalahankrusial yang bertumpu pada krisis moral.Laporan United Nations DevelopmentProgram menyebutkan IPM Indonesia turundari peringkat 108 tahun 2010 menjadi

peringkat 124 tahun 2011 dari 187 negarayang disurvei dan Indonesia juga termasukkategori negara gagal (Kompas.com, 2012).

Inilah buktinya bahwa —dalam perspektifaksiologis— pengetahuan yang tercerabutnilainya tidak menjamin dengan pasti adanyakebaikan bagi seseorang. Banyak anggotalegislatif, yudikatif dan eksekutif di negarakita —yang notabene berpendidikan lebihtinggi dan umumnya merupakan keluaranlembaga-lembaga pendidikan Indonesia—terseret dalam kesalahan yang nyatamerugikan bangsa dan negara. Kenyataantersebut merupakan fenomena gunung esyang mencerminkan wilayah abu-abu danchaos yang begitu lebar karenaketiadateraturan dan terjungkirbaliknyatatanan nilai dan disfungsinya pranata sosialsecara baik. Kenyataan di atas menyumbangsecara negatif terhadap terpuruknya indeksPembangunan Manusia dimaksud. Dansekarang ini menurut Lari, banyak orangyang mengganti perilaku baik dengankecenderungan-kecenderungan hewaninya(Musavi Lari, 1993, h. 46).

Solusi dari persoalan pendidikan di atas,tetap melalui restorasi pada jalur pendidikan.Fazlurrahman mengemukakan, bahwa“pembaharuan dan reorientasi pendidikan,(formal, informal dan non formal) adalahsatu-satunya pendekatan untuk suatupenyelesaian jangka panjang atas problema-problema yang dialami masyarakat dewasaini —di tengah pertarungan ideologi besardunia dikhotomi mental dan kehidupanpribadi maupun sosial yang terpecah-belah,yang berakibat kekacauan dalam segalausaha dan frustasi serta krisis yangmelumpuhkan hampir semua sendikehidupan” (Fazlurrahman, 1984, h. 384).

F. SIMPULAN DAN SARAN1. Simpulan

Tahapan perkembangan moral Piagetditempatkan paralel denganperkembangan kognitif dan perilaku.Karena itu metakognisi menurut Piagetdapat mengontrol perilaku anak. Namundemikian, sekalipun pengembangankapasitas kognitif adalah penting bagiperubahan tingkah laku seseorang, tetapi

Page 14: IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEAN …

25312341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

berbagai kenyataan menunjukkan bahwaperkembangan kognitif yang optimalsekalipun tidak menjamin kebaikanseseorang. Maka, tidak selamanyatindakan moral sesuai dengan kategori/skema konseptualnya.

Karena itu dalam perspektif Islam,sejak masa konsepsi orang tua dianjurkanuntuk menciptakan lingkungan dankondisi yang baik baginya, walaupun iabelum memil iki pengertian yangsempurna. Aturan yang bersifat eksternalbagi anak penting mendapatkanpeneguhan iklim sosial dan spiritual sertamenyandarkan orientasi otoritasnya padaAllah secara konsisten sejak dini; dengandemikian memberi solusi bagi masalah“lupa” yang sering dihadapi anak danmenyerap dengan kuat ke dasarmetakognisinya dan mewatak.Konsistensi ini juga penting ketika anakmengembangkan pencarian moralitasinternal pada tahap autonomoussehingga tidak terjebak ke dalamkebenaran yang nisbi. Karena itu dalamkonteks Islam tanggungjawab moral tidakhanya ditentukan oleh perindividu, tetapijuga oleh lingkungan masyarakat sebagaisebuah umat.

2. SaranPenggunaan model pengembangan

moral Piaget sangat baik untuk memicukeaktifan anak membangunpengetahuannya. Oleh karenapengembangan kognitif (pengetahuanmoral) anak hanya merupakan suatukemungkinan untuk melahirkan perilakumoral. Maka pengembangan kognitif(pengetahuan) moral harus benar-benarmempertimbangkan iklim sosial bagipelaksanaan atau perilaku moral secarakonsisten.

PUSTAKA ACUAN

Al-Qur’an dan Terjemahannya, (1990). terj.Mujtama’ al-Malik Fahd, Tashhih Depag RI.Madinah al-Munawwarah.

Al-Azady, Abi Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Syajistani. (2009). Sunan Abi Dawud, Al-Juzal-Awwal. Kairo: Dar al-Hadits.

Bastaman, Hanna Djumhana. (1997). IntegrasiPsikologi dengan Islam: Menuju PsikologiIslami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Borba, Michele. (2008). Membangun KecerdasanMoral. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Daradjat, Zakiah. (1987). Ilmu Jiwa Agama.Jakarta: Bulan Bintang.

al-Dimasyqy, Al-Imam Abi Zakariya Yahya ibnSarif An-Nawawi. (1994). Riyadusshalihin.Bairut: Dar al-Fikr.

Essa, Eva L. (2003). Introduction to EarlyChildhood Education. United States:Thomson, Delmar.

Ewing, A.C. (2003). Persoalan-PersoalanMendasar Filsafat. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Fakhry, Majid. (1970). A History of IslamicPhilosophy. New York & London: ColumbiaUniversity Press.

Fazlurrahman. (1984). Islam. Bandung: Pustaka.al-Ghazali, Imam Abu Hamid Muhammad ibn

Muhammad. tt. Ihya’ Ulum al-Dien, Jilid 3.Bairut: Daar al-Ma’arif.

Hughes, Sean. (2001). Jean Piaget’s EducationalTheory. [online] tersedia: Error! Hyperlinkreference not valid.. dimodifikasi 29 Juli2012 (diunduh Jum’at 3 Agustus 2012,10.47 WIB.)

Hurlock, Elizabeth B. (1980). PsikologiPerkembangan: Suatu PendekatanSepanjang Rentang Kehidupan, TerjemahanIstiwidayanti, dkk. Jakarta: Erlangga.

___,2006, Piaget’s Theory of MoralDevelopment, [online] tersedia: Error!Hyperlink reference not valid.. 30 Mei2002.

Jarvis, Matt. (2009). Teori-Teori Psikologi:Pendekatan Modern untuk MemahamiPerilaku, Perasaan & Pikiran Manusia.Bandung: Nusa Media.

http://nasional.kompas.com/read/2012/04/17/1 2 2 1 4 0 2 2 /Indeks.Pembangunan.Manusia.IndonesiaSangat.Rendah.

Keenan, Thomas and Subhadra Evans. (2009).An Introduction to Child Development.London: SAGE Publications, Ltd.

Ma’arif, Ahmad Syafi’i. (1985). Islam dan MasalahKenegaraan: Studi tentang Percaturan dalamKonstituante. Jakarta: LP3ES.

Misbah, Mujtaba. (2008). Daur Ulang Jiwa,terjemahan Jayadi. Jakarta: Al-Huda.

Page 15: IMPLIKASI PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL JEAN …

254

Jurnal Teknodik Vol. XVI Nomor 2, Juni2012

123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

Miskawaih, Abu Ali Ahmad ibn. (1934).Tahdzib.al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq: Mesir:Maktabah al-Mishriyah.

Muhadjir, Noeng. (2001). Ilmu: Positivisme,PostPositivisme, dan PostModernisme.Yogyakarta: Rake Sarasin.

Oswalt, Angela MSW. (2007). Early ChildhoodMoral Development, Error! Hyperlinkreference not [email protected].(diunduh 2 Agustus 2012)

Palmer, Joy A. (Ed.). (2006). Fifty ModernThinkers on Education, terjemahan FaridAssifa. Yogyakarta: IRCiSoD.

Papalia, Diane E. And Sally Wendkos Olds.(1990). A Child’s World: Infancy ThroughAdolescence. United State of America:McGraw-Hill, Inc.

Piaget, Jean dan Barbel Inhelder. (2010).Psikologi Anak, terjemahan Miftahul Jannah.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santrock, John W. (1997). Life-SpanDevelopment. USA: Brown & Benchmark.

Santrock, John W. (2007). Perkembangan AnakJilid 1, terjemahan Mila Rachmawati danAnna Kuswanti. Jakarta: Erlangga.

Santrock, John W. (2007). Perkembangan AnakJilid 2, terjemahan Mila Rachmawati danAnna Kuswanti. Jakarta: Erlangga.

Santrock, John W. (2010). Psikologi Pendidikan,terjemahan Tri Wibowo, Edisi Kedua. PrenadaJakarta: Media Group.

Shaffer, David R. and Katherine Kipp. (2007).Developmental Psychology: Childhood andAdolescence. USA: Thomson.

Sukmadinata, Nana Syaodih, (2005). MetodePenelitian Pendidikan, Bandung: ProgramPascasarjana UPI & PT. Remaja Rosdakarya.

Suma, Muhammad Amin. (2002). Ijtihad IbnuTaimiyyah dalam Fiqih Islam, Jakarta:Pustaka Firdaus.

Susanto, Astrid S. (1985). Pengantar Sosiologidan Perubahan Sosial. Jakarta: Bina Cipta.

Tirtarahardja, Umar dan S. L. La Sulo. (2005).Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20tahun 2003. (2003). Tentang SistemPendidikan Nasional. Jakarta: CV. Eko Jaya.

Wikipedia, Early Childhood Education” 2008.[online] tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Early Childhood EducationZuriah, Nurul. (2007). Pendidikan Moral &

Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan:Menggagas Platform Pendidikan BudiPekerti Secara Kontekstual dan Futuristik.Jakarta: Bumi Aksara.

*******