implementasi kebijakan ktsp dan efektivitas pembelajaran ips
DESCRIPTION
BAB I PENDAHULUAN1.1Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional dewasa ini sedang dihadapkan pada berbagai krisis.Mulyasa (2002: 4) menyebutkan empat krisis pokok, yaitu yang berkaitan dengan kuantitas, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme, dan manajemen. Lebihlanjut, dikemukakan bahwa beberapa masalah pokok sistem pendidikan nasional, yaitu: (1) menurunnya ahlak dan moral peserta didik, (2) pemerataan kesempatan belajar, (3) masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan, (TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan nasional dewasa ini sedang dihadapkan pada berbagai krisis.
Mulyasa (2002: 4) menyebutkan empat krisis pokok, yaitu yang berkaitan dengan
kuantitas, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme, dan manajemen. Lebih
lanjut, dikemukakan bahwa beberapa masalah pokok sistem pendidikan nasional,
yaitu: (1) menurunnya ahlak dan moral peserta didik, (2) pemerataan kesempatan
belajar, (3) masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan, (4) status
kelembagaan, (5) manajemen pendidikan yang tidak selajan dengan pembangunan
nasional, dan (6) sumberdaya yang belum profesional.
Laporan tahunan Propenas 2006-2010 menyatakan rendahnya mutu
pendidikan secara umum disebabkan oleh berbagai faktor baik internal sekolah
maupun eksternal. Faktor-faktor internal yang menentukan mutu pendidikan
adalah masih rendahnya efektivitas proses belajar-mengajar, terutama disebabkan
kurangnya sarana dan prasarana belajar, kurangnya jumlah dan rendahnya mutu
guru, kelemahan pada metode mengajar dan kurikulum yang berlaku, serta
lemahnya sistem pengelolaan persekolahan. Dari sisi eksternal faktor yang
berperan meliputi belum optimalnya peran orang tua dan masyarakat dan
pemerintah dalam mendukung pembangunan pendidikan yang bermutu.
Depdiknas (2001: 1-2) menganalisis bahwa setidaknya terdapat tiga faktor
yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami perubahan secara merata.
1
Yantini - 09870098
Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional
menggunakan pendekatan education production function atau input-output
analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Faktor kedua,
penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik.
Faktor ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam
penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim.
Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan bahwa pendidikan, sistem
pendidikan, dan penyelenggaraan pendidikan nasional di Indonesia masih belum
terlepas dari berbagai masalah yang pelik. Dalam hal ini, pemerintah telah
melakukan upaya penyempurnaan sistem pendidikan. Salah satunya adalah
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 yang
disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 22 dan 23 Tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah, yang secara langsung berpengaruh terhadap perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan
nasional perlu direkonstruksi dalam rangka otonomi daerah ini. Mulyasa (2002,
6-7) mengemukakan empat hal yang perlu direkonstruksi, yaitu (1) peningkatan
mutu pendidikan dengan menerapkan tujuan dan standar kompetensi pendidikan,
(2) peningkatan efisiensi pengelolaan MBS, (3) peningkatan relevansi pendidikan
yang mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat, dan (4) pemerataan
pelayanan pendidikan.
Upaya rekonstruksi tersebut tidak terlepas dari perubahan mendasar yang
berkaitan dengan kurikulum. Berbagai pihak melihat perlunya penerapan
kurikulum berbasis kompetensi (competency based curriculum) yang sering
2
Yantini - 09870098
disingkat dengan KBK. Depdiknas (2004: 1) menyatakan bahwa salah satu upaya
memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia dilakukan melalui pembaharuan
Kurikulum 1994 menjadi Kurikulum 2004. Dengan paradigma KBK/KTSP,
Kurikulum 2004 ini secara mendasar diharapkan dapat mengatasi masalah-
masalah besar yang dialami dunia pendidikan di Indonesia. KBK/KTSP dapat
dikatakan sebagai suatu konsep yang menawarkan otonomi kepada sekolah untuk
menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, dan efisiensi
pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta
menjalin kerja sama yang erat antar sekolah, masyarakat, industri, dan pemerintah
dalam membentuk pribadi peserta didik. KBK/KTSP dapat diterapkan pada
setiap jenjang pendidikan dan pada berbagai ranah pendidikan. KBK/KTSP
memang memberikan wawasan baru terhadap sistem yang sedang berjalan saat
ini. Kesiapan para pelaksana KBK/KTSP (pemerintah pusat, aparat daerah,
masyarakat, dan sekolah itu sendiri) sangat diperlukan.
Namun demikian, dalam implementasinya sampai saat ini, KBK/KTSP
menemui beberapa kendala. Dinas Propinsi Jawa Barat (2005: 19) menilai bahwa
kurikulum pendidikan 2004 yang lebih menekankan kepada implementasi
kurikulum berbasis kompetensi (KBK/KTSP) hingga saat ini belum sepenuhnya
diimplementasikan di sekolah-sekolah di Jawa Barat. Masalah-masalah yang
dihadapi dalam implementasi kurikulum ini antara lain adalah kurangnya
pemahaman para guru terhadap KBK/KTSP, minimnya sosialisasi KBK/KTSP,
iklim kerja yang tidak kondusif sehingga kualitas hasil didik yang semakin
rendah.
3
Yantini - 09870098
Dari survey pendahuluan yang dilakukan peneliti melalui wawancara
kepada beberapa kepala sekolah di SMP di Kabupaten Bandung Barat, mereka
(sekolah) sebenarnya merasa belum optimal menerapkan KBK/KTSP secara
menyeluruh. Alasan tersebut antara lain berkaitan dengan ketidaksiapan personel,
kurangnya sosialisasi KBK/KTSP, sosialisasi, dan dana yang terbatas.
Masalah lain adalah banyaknya sekolah yang cenderung menyebutkan
bahwa setelah dilaksanakan KBK/KTSP, kualitas hasil pendidikan relatif rendah.
Ini dibuktikan dengan banyaknya siswa yang tidak bisa masuk sekolah-sekolah
tertentu karena tidak masuk seleksi dalam penerimaan siswa baru (PSB) SMPN
dan SMAN karena hasil ujian nasional dan ujian sekolah di bawah passing grade
(PR, 11 Agustus 2005). Memang hal ini muncul pada tahun pertama uji coba
KBK/KTSP. Banyak guru yang menafsirkan pergeseran dari pengajar (sumber
informasi) menjadi fasilitator dalam pengertian ekstrim. Dalam hal ini guru tidak
menerangkan atau menjelaskan mata pelajaran, tetapi berganti memberikan tugas
kepada siswa untuk mencari bahan sendiri dari buku, ensiklopedia, koran, dan
internet. Para siswa merasakan bahwa buku dan bahan cetak yang tersedia di
perpustakaan kurang memadai untuk melaksanakan proses belajar, dijadikan
sumber belajar, atau sebagai bahan untuk tugas-tugas pembelajaran. Keterbatasan
jumlah dan kapasitas laboratorium, terutama untuk lab IPA dan komputer sesuai
dengan tuntutan KBK/KTSP dirasakan juga menghambat.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji
implementasi kebijakan KBK/KTSP dan pengaruhnya terhadap efektivitas
pembelajaran. Dalam hal ini, peneliti melakukan penelitian dengan mengajukan
4
Yantini - 09870098
judul: Pengaruh Implementasi Kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) terhadap Efektivitas Pembelajaran IPS di SMPN
Se-Kabupaten Bandung Barat
1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah
Kebijakan publik (public policy) adalah serangkaian keputusan yang saling
berkaitan yang dibuat oleh satu atau beberapa unit pemerintahan yang merupakan
konsep atau azas yang menjadi dasar atau pedoman bagi seseorang atau suatu
instansi pemerintah untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dengan maksud dan
tujuan tertentu, dalam rangka menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Pendidikan
merupakan salah satu objek dari kebijakan publik. Oleh karena itu, kebijakan
KBK/KTSP juga merupakan bagian dari kebijakan publik.
Menurut Wibawa (1994) yang mengutip pendapat Van Meter dan Van
Horn, terdapat beberapa variabel penentu dalam penerapan dan implementasi
kebijakan publik, antara lain:
1. Ukuran dan tujuan kebijakan.
2. Sumber daya
3. Keaktifan komunikasi antar-lembaga yang terlibat dalam implementasi
kebijakan dan keaktifan pelaksanaan kebijakan.
4. Karakteristik lembaga pelaksana kebijakan.
5. Kondisi sosial, politik dan ekonomi.
6. Sikap para pelaksana.
5
Yantini - 09870098
Implementasi kebijakan publik pada dasarnya melibatkan berbagai pihak
meskipun dengan persepsi dan kepentingan yang berbeda, bahkan sering terjadi
pertentangan kepentingan antar lembaga atau pihak yang terlibat. Menurut
Edward III (1980: 9) terdapat empat variabel yang menentukan suksesnya
implementasi kebijakan publik, yaitu: communication (komunikasi), resources
(sumber daya), disposition atau attitudes (sikap), dan bureaucratic structure
(struktur birokrasi).
Dalam implementasi kebijakan KBK/KTSP di sekolah, hal ini tidak
terlepas dari efektivitas sekolah, yang disederhanakan menjadi efektivitas
pembelajaran. Efektivitas sekolah biasanya menjadi bahan pembicaraan para
pendidik, dewan sekolah, atau pembuat kebijakan pendidikan. Istilah seperti
“akuntabilitas,” “prestasi akademik,” “standar kinerja,” “skor test,” “kinerja
mengajar,” “tingkat tinggal kelas siswa,” “kepuasan kerja,” “kurikulum berbasis
kompetensi” dan “budaya pembelajaran produktif” menjadi bahan percakapan.
Efektivitas pembelajaran ini terutama melibatkan pada aspek pengajar atau guru
(level struktur teknis) dan peserta didik di sekolah. Level teknis atau inti teknis
merupakan sistem dari aktivitas organisasi yang menghasilkan “produk” aktual
organisasi, dan di sekolah disederhanakan dengan istilah pengajaran dan
pembelajaran di kelas.
Pendidik dan masyarakat mengetahui bahwa setiap sekolah mencapai
tingkat keberhasilan yang berlainan, bahkan dengan populasi siswa yang serupa.
Pada tataran praktis, indikator efektivitas itu diketahui dan digunakan. Efektivitas
proses belajar mengajar dapat didefinisikan sebagai keberhasilan proses belajar
6
Yantini - 09870098
mengajar sesuai dengan yang telah direncanakan. Efektivitas proses belajar
mengajar dapat diukur melalui tiga unsur utama, yaitu rencana pengajaran,
pelaksanaan, dan evaluasi.
Kebijakan KBK/KTSP yang telah dirumuskan beberapa tahun yang lalu
sekarang ini sudah mulai diimplementasikan di berbagai jenjang sekolah.
Implementasi kebijakan KBK/KTSP tentu akan mempengaruhi proses
pembelajaran di sekolah, termasuk efektivitas pembelajarannya.
Untuk lebih memahami gambaran besar penelitian ini, Model
Implementasi Kebijakan KBK/KTSP dan Efektivitas Pembelajaran dipakai
sebagai acuan dalam hubungannya variabel dan sub-variabel yang digunakan
dalam penelitian ini. Model yang penulis gunakan dalam penelitian ini disajikan
pada Gambar 1-1.
Oleh karena itu, masalah dalam penelitian ini akan dirumuskan dengan
dua fokus kajian sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran mengenai implementasi kebijakan KBK/KTSP dan
efektivitas pembelajaran pada mata pelajaran IPS di SMP Negeri se-
Kabupaten Bandung Barat.
2. Bagaimana pengaruh implementasi kebijakan KBK/KTSP yang terdiri dari
aspek komunikasi, struktur birokrasi, sumberdaya, dan sikap terhadap
efektivitas pembelajaran yang terdiri dari aspek perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi pada mata pelajaran IPS di SMP Negeri se-Kabupaten
Bandung Barat.
7
Yantini - 09870098
Sumber: George C. Edward III (1980:9), dan Mulyasa (2005:95)
Gambar 1-1Model Implementasi Kebijakan KBK/KTSP dan Efektivitas Pembelajaran
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Maksud dari penulisan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan
mendeskripsikan konsep, teori, dan pendekatan yang berhubungan dengan
pengaruh implementasi kebijakan KBK/KTSP terhadap efektivitas pembelajaran
Efektivitas PBM
Implementasi Kebijakan
KBK/KTSP
Komunikasi
Struktur Birokrasi
Sumber Daya
Sikap
Perencanaan
Pelaksanaan
Evaluasi
8
Yantini - 09870098
pada mata pelajaran IPS di SMP Negeri se-Kabupaten Bandung Barat. Dengan
demikian, tujuan penelitian ini adalah memperoleh data, mengolah, menganalisis,
dan menarik kesimpulan yang didasarkan pada hasil analisis data dan teori yang
dikemukakan oleh para ahli yang menguasai bidang tersebut. Secara khusus,
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui dan memperoleh gambaran mengenai implementasi kebijakan
KBK/KTSP dan efektivitas pembelajaran pada mata pelajaran IPS di SMP
Negeri se-Kabupaten Bandung Barat.
2. Mengetahui dan menganalisis pengaruh implementasi kebijakan
KBK/KTSP yang terdiri dari aspek komunikasi, struktur birokrasi,
sumberdaya, dan sikap terhadap efektivitas pembelajaran yang terdiri dari
aspek perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pada mata pelajaran IPS di
SMP Negeri se-Kabupaten Bandung Barat.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat akademis; penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam
memperkaya khazanah mengenai pengembangan kurikulum, khususnya yang
berkaitan penerapan kurikulum berbasis kompetensi di SMTP, yaitu mengkaji
sampai sejauh mana implementasi kebijakan KBK/KTSP ini berdampak pada
efektivitas pembelajaran di sekolah.
2. Manfaat praktis; hasil penelitian diharapkan dapat menjadi umpan balik
terhadap kajian mengenai pengembangan kurikulum, khususnya yang
9
Yantini - 09870098
berkaitan dengan penerapan KBK/KTSP dan dampaknya terhadap efektivitas
pembelajaran di sekolah, sehingga manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh
para guru dan siswa sebagai unsur utama pembelajaran di sekolah, sekolah itu
sendiri, pemerintah dan masyarakat pada umumnya.
1.4 Asumsi Penelitian
Suatu teori bisa berlaku jika didukung oleh beberapa asumsi (anggapan
dasar) tertentu. Asumsi dapat membantu seorang peneliti dalam memecahkan
masalah sehingga hasil penelitian itu dapat diterima secara ilmiah. Dengan kata
lain, penelitian yang baik memerlukan pedoman sebagai dasar penelitian,
sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dapat dikatakan bahwa
asumsi merupakan titik tolak dilakukannya penelitian ditinjau dari segi
permasalahan. Hal ini ditegaskan oleh Suharsimi Arikunto (2000: 60) yang
menyatakan bahwa asumsi atau anggapan dasar atau postulat adalah “sebuah titik
tolak pemikiran yang kebenarannya diterima oleh penyelidik.” Lebih lanjut
Suharsimi Arikunto (2000: 57) menjelaskan pengertian asumsi atau anggapan
dasar tersebut sebagai “suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh peneliti yang
harus dirumuskan dengan jelas.”
Menurut Komaruddin, asumsi “dapat berhubungan dengan syarat-syarat,
kondisi-kondisi dan tujuan, hakikat, bentuk dan arah argumentasi” (Komaruddin,
1987: 22). Secara lengkap dia mengartikan asumsi sebagai:
sesuatu yang dianggap tidak mempengaruhi atau dianggap konstan. Asumsi menetapkan faktor-faktor yang diawasi. Asumsi berhubungan
10
Yantini - 09870098
dengan syarat-syarat, kondisi-kondisi, dan tujuan. Asumsi dapat memberikan hakekat, bentuk, dan arah argumentasi.
Berdasarkan definisi di atas, penulis memberikan asumsi sebagai berikut:
1. Implementasi kebijakan KBK/KTSP dapat membantu sekolah dalam
melakukan proses pembelajaran yang efektif, mencapai tujuan yang
diharapkan, materi yang diajarkan relevan dengan kebutuhan masyarakat,
berorientasi pada proses, hasil (output), dan dampak (outcome), serta
melakukan penilaian, pengawasan, dan pemantauan berbasis seolah secara
berkelanjutan.
2. KBK/KTSP dapat diterapkan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan dan
pada berbagai ranah pendidikan (Mulyasa, 2002: 11).
3. Setiap sekolah yang menjadi responden dalam penelitian ini telah
menjalankan KBK/KTSP.
1.5 Hipotesis Penelitian
Secara sederhana, hipotesis merupakan suatu jawaban sementara terhadap
permasalahan penelitian. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan
baru didasarkan teori yang relevan, belum didasarkan fakta-fakta empiris yang
diperoleh dari pengumpulan data. Untuk memudahkan pembahasan selanjutnya,
penulis perlu mengemukakan dugaan sementara yang kemudian akan dibuktikan
apakah jawaban tersebut dapat diterima atau tidak. Menurut Suharsimi Arikunto,
(1996: 67; 2000, 63) hipotesis dapat diartikan sebagai “suatu jawaban yang
bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data
11
Yantini - 09870098
yang terkumpul”. Selain itu, Winarno Surakhmad (1990: 52) mengemukakan
bahwa yang dimaksud dengan hipotesis adalah:
“...rumusan jawaban yang bersifat sementara terhadap satu soal yang dimaksudkan sebagai tuntutan sementara dalam penyelidikan untuk mencari jawaban yang sebenarnya. Hipotesis ini dijabarkan ditarik dari postulat-postulat dan hipotesis tersebut tidak selalu dianggap benar atau yang dapat dibenarkan oleh penyelidik walaupun selalu diharapkan terjadi demikian.” (Winarno Surakhmad, 1990: 52)
Pendapat lain dikemukakan oleh Moh. Nazir (1985: 182), bahwa:
Hipotesis tidak lain dari jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Hipotesis menyatakan hubungan apa yang kita cari atau yang kita ingin pelajari.Hipotesis adalah pernyataan yang diterima secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya, pada saat fenomena dikenal dan merupakan dasar kerja serta paduan dalam verifikasi. Hipotesis adalah keterangan sementara dari hubungan fenomena-fenomena yang kompleks.
Sedangkan menurut Nasution, hipotesis adalah pernyataan tentatif yang
merupakan dugaan atau terkaan tentang apa saja yang kita amati dalam usaha
untuk memahaminya (S. Nasution, 1988: 49). Lebih lanjut dikatakan bahwa:
Hipotesis berfungsi untuk:1. Menguji kebenaran suatu teori2. Memberi ide untuk mengembangkan suatu teori3. Memperluas pengetahuan kita mengenai gejala-gejala yang kita
pelajari
Berdasarkan identifikasi masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian,
penulis mengemukakan hipotesis utama sebagai berikut:
“Implementasi kebijakan KBK/KTSP yang terdiri dari aspek komunikasi,
struktur birokrasi, sumberdaya, dan sikap berpengaruh terhadap efektivitas
12
Yantini - 09870098
pembelajaran yang terdiri dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pada mata pelajaran IPS se-Kabupaten Bandung Barat”
Hipotesis utama yang menjadi fokus penelitian tersebut dibagi lagi ke
dalam tiga sub-hipotesis sebagai berikut:
Sub-hipotesis 1 Implementasi kebijakan KBK/KTSP yang terdiri dari aspek
komunikasi, struktur birokrasi, sumberdaya, dan sikap
berpengaruh terhadap efektivitas perencanaan pembelajaran
Sub-hipotesis 2 Implementasi kebijakan KBK/KTSP yang terdiri dari aspek
komunikasi, struktur birokrasi, sumberdaya, dan sikap
berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan pembelajaran
Sub-hipotesis 3 Implementasi kebijakan KBK/KTSP yang terdiri dari aspek
komunikasi, struktur birokrasi, sumberdaya, dan sikap
berpengaruh terhadap efektivitas evaluasi pembelajaran
1.6 Pendekatan Penelitian
Pendekatan teori utama yang dipakai mengacu pada teori, penelitian, dan
praktik Pengembangan Kurikulum, Studi Kebijakan Publik, Teori Pembelajaran,
Efektivitas Pembelajaran, dan Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Berdasarkan tingkat penjelasan dan bidang penelitian, jenis penelitian
yang akan digunakan adalah metode deskriptif dan verifikatif dengan
menggunakan analisis kasus yang melihat hubungan dua variabel atau lebih dalam
satu kajian. Karena jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dan verifikatif
13
Yantini - 09870098
yang akan dilaksanakan melalui pengumpulan data di lapangan, maka metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey explanatory, yaitu metode
penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang
dipelajari adalah data dari sample yang diambil dari populasi tersebut, sehingga
ditemukan deskripsi dan hubungan antar variabel.
Bentuk studi yang akan dikembangkan dan teknik pengumpulan data yang
akan dilakukan dalam penelitian ini adalah (1) studi kepustakaan, (2) studi
lapangan yang akan dilakukan dengan menggunakan angket/kuesioner yang
disebarkan kepada guru SMP Negeri yang mengajar mata pelajaran IPS (untuk
variabel Implementasi Kebijakan KBK/KTSP) dan kuesioner kepada kepala
sekolah SMP Negeri di Kabupaten Bandung Barat (untuk variabel Efektivitas
Pembelajaran) yang menjadi responden dalam penelitian ini. Selain itu, teknik
wawancara kepada beberapa siswa dan observasi langsung digunakan untuk
memperkaya pembahasan.
Dengan demikian, yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah
sekolah, yaitu SMP Negeri di Kabupaten Bandung Barat. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh SMP Negeri di Kabupaten Bandung Barat. Sekolah-
sekolah tersebut dikategorikan ke dalam SMP Negeri kategori tinggi, sedang, dan
rendah berdasarkan hasil nilai UN. Setelah dilakukan pengambilan sampel secara
proportional sampling dari tiga kategori SMP Negeri, sampel keseluruhan dalam
penelitian akan diambil secara random sampling. Unit analisis sekolah
merupakan agregat dari hasil kuesioner yang disebarkan kepada guru (untuk
variabel Implementasi Kebijakan KBK/KTSP) dan kuesioner kepada kepala
14
Yantini - 09870098
sekolah SMP Negeri di Kabupaten Bandung Barat (untuk variabel Efektivitas
Pembelajaran). Sebelum instrumen disebarkan kepada guru dan kepala sekolah
(yang mewakili aggregate masing-masing sekolah), validitas dan reliabilitas
instrumen tersebut diuji terlebih dahulu.
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis jalur
(path analysis). Melalui analisis jalur dapat diketahui besarnya pengaruh masing-
masing variabel dan dapat digambarkan secara diagramatik struktur variabel-
variabel penyebab dengan variabel akibat. Besarnya pengaruh (relatif) dari suatu
variabel eksogen ke variabel endogen tertentu, dinyatakan dengan besarnya
bilangan koefisien jalur (path coefficient) dari variabel eksogen tersebut ke
variabel endogennya.
Untuk melakukan analisis jalur, bila skala yang digunakan adalah skala
ordinal maka skala tersebut diubah menjadi skala interval dengan menggunakan
Method of Successive Interval (MSI). Informasi yang didapatkan dari hasil
perhitungan statistik akan dianalisis dan diinterpretasikan sesuai dengan teori dan
variabel yang dikaji dalam penelitian ini.
1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di sekolah, yaitu SMP Negeri di Kabupaten
Bandung Barat, dengan responden guru-guru mata pelajaran IPS dan para kepala
sekolah SMP Negeri di Kabupaten Bandung Barat. Waktu yang diperlukan untuk
penelitian ini diperkirakan sekitar 8 bulan.
15
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1Konsep Implementasi Kebijakan Publik
2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Secara umum, istilah kebijakan atau policy dipergunakan untuk
menunjukkan perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok,
maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang
kegiatan tertentu.
Istilah kebijakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:155)
berasal dari kata bijaksana, yang berarti: 1) selalu menggunakan akal budinya
(pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran; 2) pandai dan ingat-ingat
(cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi kesulitan, kebijakan artinya:
1) kepandaian, kemahiran, dan 2) rangkaian konsep dan asa yang menjadi garis
besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan atau suatu pekerjaan, kepemimpinan
dan cara bertindak (tentang pemerintah, organisasi, dan sebagainya); pernyataan
cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai pedoman untuk manajemen dalam
usaha untuk mencapai sasaran; garis Haluan. Contohnya: kebijakan dalam bidang
ekonomi, berarti kebijakan suatu pemerintah yang bertujuan untuk mengatur
sekaligus mengawasi pertumbuhan dan aktivitas ekonomi di negara.
Istilah publik mempunyai arti umum, namun sering juga istilah publik
dalam IPS diartikan sebagai negara atau pemerintah, terutama dalam istilah
keilmuan, misalnya Public Administration (Administrasi Publik) Public
16
Yantini - 09870098
Organization (Organisasi Publik), Public Policy (Kebijakan Publik). Bahkan
dapat diartikan masyarakat, seperti halnya pelayanan umum (Public Services).
Santoso membuat batasan kebijakan publik sebagai berikut:
Kebijakan publik terdiri dari serangkaian keputusan yang dibuat oleh suatu pemerintah untuk mencapai suatu tujuan-tujuan tertentu dan juga petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut terutama dalam bentuk peraturan-peraturan atau dekrit-dekrit pemerintah.
Smallwood (1990:30) mengemukakan bahwa istilah kebijakan publik
adalah serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana
kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan.
Lebih lanjut Smallwood mengatakan, bahwa proses kebijakan dapat dibagi ke
dalam tiga lingkungan, yaitu lingkungan kebijakan, lingkungan implementasi
kebijakan, dan lingkungan evaluasi kebijakan.
Lingkungan pembuat kebijakan diisi oleh para birokrat pembuat kebijakan
seperti Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota atau Bupati dan individu-individu
lain yang mempunyai kekuatan mempengaruhi pembuat suatu kebijakan.
Lingkungan implementasi isinya jauh lebih bervariasi, tergantung dari jenis
kebijakan yang diterapkan, antara lain terdiri dari pembuat kebijakan, pelaksana
kebijakan, kelompok masyarakat yang terkait dengan implementasi kebijakan,
mass media, para evaluator dan sebagainya. Sedangkan dalam lingkungan
evaluasi ialah para pembuat dan pelaksana kebijakan, termasuk pengamat yang
berperan sebagai evaluator.
Anderson (1997:2-3) mengemukakan suatu konsep tentang kebijakan
(policy), yaitu suatu rangkaian kegiatan dengan maksud tertentu yang diikuti oleh
17
Yantini - 09870098
seorang atau satu perangkat pemeran (aktor) dalam mengatasi masalah atau
mengenai suatu hal. Kaitannya dengan hal tersebut di atas Hogwood dan Gunn
dalam Islamy (1997:19-22) menyatakan bahwa:
Definisi dari kebijakan publik bersifat subjektif, namun pada umumnya menyangkut serangkaian keputusan yang saling berkaitan dimana terlibat banyak keadaan dan pribadi orang, kelompok dan kontribusi dari pengaruh organisasi.
Dunn (1996:89-96) mendefinisikan kebijakan publik sebagai rangkaian
panjang pilihan-pilihan yang kurang lebih berhubungan, termasuk keputusan
untuk tidak berbuat, yang dibuat oleh kantor-kantor atau badan-badan pemerintah.
Berkaitan dengan pengertian di atas, Raksasatya dalam Islamy (1997:17)
mengemukakan pengertian kebijakan sebagai berikut.
Kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan memuat tiga elemen, yaitu 1) identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai, 2) taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, 3) penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
Definisi kebijakan publik yang dikemukakan oleh Anderson (1997:3)
adalah: “public policy is those policies developed by governmental bodies and
officials”. (kebijakan publik adalah merupakan kebijakan-kebijakan yang
dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah). Implikasi dari
definisi tersebut, menurut Islamy (1997:19) adalah sebagai berikut:
1) Bahwa kebijakan publik, selalu mempunyai tujuan-tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi kepada beberapa tujuan tertentu.
2) Bahwa kebijakan publik itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.
3) Bahwa kebijakan publik merupakan apa yang dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu.
18
Yantini - 09870098
4) Bahwa kebijakan publik itu dapat bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau dapat bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
5) Bahwa kebijakan publik setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan atau selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa (otoritatif).
R. Dye dalam Islamy (1997:4), mengemukakan definisi sebagai berikut:
“public policy is whatever government choose to do or not to do, yaitu bahwa
kebijakan publik adalah merupakan apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilakukan atau tidak dilakukan. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa apabila
pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya dan
kebijakan publik itu harus meliputi semua tindakan pemerintah, jadi bukan
semata-mata merupakan pernyataan pemerintah atau pejabat pemerintah saja.
Selain itu sesuatu untuk tidak dilaksanakan oleh pemerintah, termasuk kebijakan
publik akan mempunyai dampak yang sama dengan sesuatu yang dilaksanakan
oleh pemerintah.
Berdasarkan pandangan yang dikemukakan oleh para pakar tersebut di
atas, menurut hemat penulis kebijakan publik (public policy) adalah serangkaian
keputusan yang saling berkaitan yang dibuat oleh satu atau beberapa unit
pemerintahan yang merupakan konsep atau azas yang menjadi dasar atau
pedoman bagi seseorang atau suatu instansi pemerintah untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dengan maksud dan tujuan tertentu, dalam rangka menjalankan
tugas-tugas pemerintahan.
19
Yantini - 09870098
2.1.2 Model Kebijakan Publik
Memang ada beberapa model atau pendekatan yang dapat membantu
untuk menelaah proses pembuatan kebijakan. Kegunaan model atau pendekatan
tersebut, paling tidak untuk mempermudah pemahaman dalam proses perumusan
kebijakan publik sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing, kendati dari
setiap model memiliki kelebihan dan kekurangan karena tergantung pada focus of
interest pada aspek dinamika kebijakan publik.
Thoha (1992: 82) mendefinisikan model adalah
Bentuk abstraksi dari suatu kenyataan. Ia merupakan suatu perwakilan yang disederhanakan dari beberapa gejala dunia kenyataan. Model dipergunakan dengan berbagai cara dalam kehidupan manusia. Ia bias berupa percontohan fisik, seperti misalnya suatu model pesawat Nurtanio, dapat pula berupa diagram, seperti diagram peta bumi provinsi Jawa Timur, atau peta jaringan jalan tol yang akan dibangun. … Demikian banyak model yang dipergunakan untuk menjelaskan berbagai aspek kehidupan nyata ini.
Oleh karena itu, model yang dipergunakan untuk kepentingan pembahasan
kebijakan publik, bukan berarti untuk memberikan penilaian model yang satu
lebih baik daripada model yang lain, namun berusaha untuk membantu atau
mengkomunikasikan karakter dari masing-masing model tersebut, sehingga
mampu memberikan penjelasan terhadap model-model proses kebijakan yang
akan diambil.
Dengan demikian, membuat kebijakan publik ini merupakan studi tentang
proses pembuatan keputusan, karena bukankah kebijaksanaan pemerintah (public
policy) ini merupakan pengambilan keputusan (decision making) dan pengambilan
kebijaksanaan (policy making), yaitu memilih dan menilai informasi yang ada
20
Yantini - 09870098
untuk memecahkan masalah. Atau dengan perkataan lain, persoalan kebijakan
tersebut yaitu penjelasan tujuan penguraian kecenderungan, penganalisaan
keadaan, proyeksi pengembangan masa depan dan penelitian, penilaian dan
penelitian, serta penilaian dan pemilihan kemungkinan.
Pemanfaatan model memang merupakan peranan model itu sendiri
terhadap kebijakan publik, dan dalam pementingan karya tulis ini, akan dijelaskan
beberapa berdasarkan pengelompokan seperti yang dikemukakan oleh beberapa
pakar ilmu politik.
Ada beberapa model yang dipergunakan dalam pembuatan public policy,
yaitu sebagai berikut:
1. Model Elit
Yaitu pembentukan public policy hanya berada pada sebagian kelompok
orang-orang tertentu yang sedang berkuasa. Walaupun pada kenyataannya
mereka sebagai preferensi dari nilai-nilai elit tertentu tetapi mereka masih saja
berdalih merefleksikan tuntutan-tuntutan rakyat banyak. Oleh karena itu
mereka cenderung pengendalian dengan kontinyu, dengan perubahan-
perubahan hanya bersifat tambal sulam. Masyarakat banyak dibuat sedemikian
rupa tetap miskin informasi.
2. Model Kelompok
Berlainan dengan model elit yang dikuasai oleh kelompok tertentu yang
berkuasa, maka pada model ini terdapat beberapa kelompok kepentingan
(interest group) yang saling berebutan mencari posisi dominan. Jadi dengan
demikian model ini merupakan interaksi antar kelompok dan merupakan fakta
21
Yantini - 09870098
sentral dari politik serta pembuatan public policy. Antar kelompok mengikat
diri secara formal atau informal dan menjadi penghubung pemerintah dan
individu.
3. Model Kelembagaan
Yang dimaksud dengan kelembagaan di sini adalah kelembagaan pemerintah.
Yang masuk dalam lembaga-lembaga pemerintah seperti eksekutif (presiden,
menteri-menteri dan departemennya), lembaga legislative (parlemen),
lembaga yudikatif, pemerintah daerah dan lain-lain. Dalam model ini public
policy dikuasai oleh lembaga-lembaga tersebut, dan sudah barang tentu
lembaga tersebut adalah satu-satunya yang dapat memaksa serta melibatkan
semua pihak. Perubahan dalam kelembagaan pemerintah tidak berarti
perubahan kebijaksanaan.
4. Model Proses
Model ini merupakan rangkaian kegiatan politik mulai dari identifikasi
masalah, perumusan usul pengesahan kebijaksanaan, pelaksanaan dan
evaluasi. Model ini akan memperhatikan bermacam-macam jenis kegiatan
pembuatan kebijaksanaan pemerintah (public policy).
5. Model Rasialisme
Model ini bermaksud untuk mencapai tujuan secara efisien, dengan demikian
dalam model ini segala sesuatu dirancang dengan tepat, untuk meningkatkan
hasil bersihnya. Seluruh nilai diketahui seperti kalkulasi semua pengorbanan
politik dan ekonomi, serta menelusuri semua pilihan dan apa saja
konsekuensinya, perimbangan biaya dan keuntungan (cost and benefit).
22
Yantini - 09870098
6. Model Inkrementallisme
Model ini berpatokan pada kegiatan masa lalu dengan sedikit perubahan.
Dengan demikian hambatan seperti waktu, biaya dan tenaga untuk memilih
alternatif dapat dihilangkan. Dalam arti model ini tidak banyak bersusah
payah, tidak banyak beresiko, perubahan-perubahannya tidak radikal tidak ada
konflik yang meninggi kestabilan terpelihara tetapi tidak berkembang
(konservatif) karena hanya menambah dan mengurangi yang sudah ada.
7. Model Sistem
Model ini beranjak dari memperhatikan desakan-desakan lingkungan yang
antara lain berisi tuntutan, dukungan, hambatan, tantangan, rintangan,
gangguan, pujian, kebutuhan atau keperluan dan lain-lain yang mempengaruhi
public policy. Dan setelah diproses akan mengeluarkan jawaban. Desakan
lingkungan sebagaimana yang penulis sampaikan di atas, dianggap masukan
(input) sedangkan jawabannya dianggap keluaran (output), yang berisi
keputusan-keputusan, peraturan-peraturan, tindakan-tindakan, kebijaksanaan-
kebijaksanaan dari pemerintah (Syafi’ie: 1994).
2.1.3 Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas,
merupakan alat administrasi hukum dimana aktor, organisasi, prosedur, dan teknik
yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak
atau tujuan yang diinginkan.
Implementasi kebijakan tidak hanya berkaitan dengan mekanisme
operasional kebijakan keadaan ke dalam prosedur-prosedur birokrasi melainkan
23
Yantini - 09870098
juga terkait dengan masalah konflik keputusan dan bagaimana suatu kebijakan itu
diperoleh kelompok-kelompok sasaran, untuk mencermati proses implementasi
kebijakan, terlebih dahulu perlu dipahami beberapa konsep tentang implementasi
kebijakan. Dalam kamus Webster sebagaimana yang dikutip Wahab dalam Putra
(2001: 81) dirumuskan bahwa “Implementasi kebijakan merupakan suatu proses
pelaksanaan keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk Undang-Undang,
peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau dekrit
Presiden”.
Pemahaman lebih lanjut tentang pelaksanaan kebijakan dirumuskan oleh
Uddodji dalam Putra (2001: 79), menyatakan sebagai berikut:
The execution of policies is a important if not more important than policy-making. Policies will remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented. (Pelaksanaan kebijakan adalah suatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan dengan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.
Implementasi kebijakan perlu dilakukan secara arif, bersifat situasional,
mengacu pada semangat kompetensi dan berwawasan pemberdayaan. Hal ini
dinyatakan oleh Wahab, Setyodarmodjo, dalam Putra (2001: 80) sebagai berikut:
Implementasi suatu kebijakan publik biasanya terjadi interaksi antara lingkungan yang satu dengan yang lainnya melalui komunikasi dan saling pengertian dari para pelaku (aktor) yang terlibat. Kegagalan komunikasi biasanya terjadi karena pesan yang disampaikan tidak jelas, sehingga membingungkan penerima pesan. Kesalahan interpretasi menyebabkan perbedaan persepsi bahkan mempengaruhi pengertian masyarakat yang terkena kebijakan.
Terjadinya proses saling pengertian dalam implementasi kebijakan publik,
menurut Andersen (1997: 133) adalah: “tergantung bagaimana usaha pemerintah
dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat secara psikologis dalam proses
24
Yantini - 09870098
sosialisasi kebijakan tersebut.” John (1997: 64) mengemukakan bahwa:
“Implementasi kebijakan publik bersifat saling mempengaruhi dengan kebijakan-
kebijakan yang mendahuluinya.” Dengan demikian implementasi kebijakan
publik merupakan kegiatan pengoperasian sebuah program yang mempunyai tiga
pilar kegiatan, antara lain yaitu:
1) Organisasi, yaitu penataan sumber daya, unit-unit serta metode untuk
menunjang agar program tersebut dapat berjalan.
2) Interpretasi, yakni penafsiran program agar menjadi rencana yang tepat
sehingga dapat diterima dan dilaksanakan.
3) Penerapan, yaitu pelayanan sesuai dengan tujuan.
Menurut Wibawa (1994) yang mengutip pendapat Van Meter dan Van
Horn, terdapat beberapa variabel penentu dalam penerapan dan implementasi
kebijakan publik, antara lain:
7. Ukuran dan tujuan kebijakan.
8. Sumber daya
9. Keaktifan komunikasi anta lembaga-lembaga yang terlibat dalam
implementasi kebijakan dan keaktifan pelaksanaan kebijakan.
10. Karakteristik lembaga pelaksana kebijakan.
11. Kondisi sosial, politik dan ekonomi.
12. Sikap para pelaksana.
Implementasi kebijakan publik pada dasarnya melibatkan berbagai pihak
meskipun dengan persepsi dan kepentingan yang berbeda, bahkan sering terjadi
pertentangan kepentingan antar lembaga atau pihak yang terlibat. Menurut
25
Yantini - 09870098
Edward III (1980: 9) terdapat empat variabel yang menentukan suksesnya
implementasi kebijakan publik, yaitu: Communication (komunikasi), resources
(sumber daya), disposition atau attitudes (sikap), dan bureaucratic structure
(struktur birokrasi). Keempat variabel dalam penerapannya sangat simultan,
saling berinteraksi dan saling mempengaruhi, secara visual dapat digambarkan
sebagai berikut:
Sumber: George C. Edward III, 1980: 9
Gambar 2Hubungan Interaksi Antara Variabel yang Mempengaruhi
Implementasi Kebijakan Publik
Gambar tersebut menunjukkan bahwa di dalam implementasi
kebijaksanaan ada empat variabel yang sangat mempengaruhi dan satu sama lain
saling berkaitan. Edward III (1980: 10) menjelaskan hubungan keterkaitan
variabel tersebut sebagai berikut:
1) Komunikasi. Agar supaya implementasi kebijaksanaan efektif, maka siap yang
bertanggung jawab dalam implementasi harus paham apa yang harus
dilakukannya. Pemerintah maupun tugas untuk penerapan kebijaksanaan harus
Implementasi Kebijakan (Policy Implementastion)
Komunikasi (Communication)
Struktur Birokrasi(Buereaucratic Structure)
Sumber Daya (Resources)
Sikap (Attitudes)
26
Yantini - 09870098
disalurkan kepada personil yang tepat, harus jelas, akurat dan konsisten.
Komunikasi sangat penting, artinya, karena dalam implementasi kebijakan
setiap perintah pelaksanaan harus jelas, tepat, dimengerti dan dipahami oleh
pelaksana. Apabila pelaksana kurang jelas dalam memahami arti kebijakan
yang harus dikerjakan, maka akan membingungkan dan akan terjadi
kekeliruan dalam penerapan kebijakan tersebut. Ada tiga indikator yang dapat
dipakai mengukur keberhasilan komunikasi yaitu:
a) Transmisi penyaluran komunikasi. Sebelum orang dapat menerapkan satu
keputusan, mereka harus sudah siap dan mengerti bahwa keputusan sudah
diambil dan perintah untuk implementasi sudah dikeluarkan. Hal ini
seiring tidak berlangsung mulus sebagaimana mestinya, dan yang paling
sering adalah ketidaktahuan atau salah pengertian, apalagi kalau terjadi
adanya ketidaksetujuan daripada pelaksana penerapan terhadap
implementasi kebijakan tersebut. Dengan adanya ketidaksetujuan akan
menimbulkan distorsi, para aparat sering menginterpretasikan kebijakan
menurut persepsinya sendiri.
b) Kejelasan komunikasi. Selain harus sampai kepada pelaksana yang tepat
komunikasi juga harus jelas. Seiring terjadi, sampaikan instruksi kepada
para pelaksana membingungkan, kabur dan tidak jelas secara spesifik
kapan dan bagaimana program kebijakan itu harus dilaksanakan.
Kemungkinan penyebabnya antara lain: 1) Kompleksnya kebijakan publik.
2) Bertujuan untuk tidak menyinggung sekelompok masyarakat. 3) Tidak
adanya kesepakatan dalam pencapaian tujuan kebijakan, 4) Masalah
27
Yantini - 09870098
mulainya kebijakan baru. 5) Menghindari kemungkinan mencari
keuntungan, dan 6) karena di sengaja.
c) Konsistensi, ketepatan dan keajegan. Perintah pelaksanaan satu kebijakan
harus konsisten dan jelas kalau mau berjalan efektif. Dengan instruksi
yang tidak konsisten atau kadang-kadang kontradiktif akan menimbulkan
kesulitan bagi para pelaksana, terutama untuk menentukan instruksi yang
mana yang harus diikutinya. Apabila hal ini terjadi, para pelaksana akan
bersikap menunggu (pasif) atau melaksanakan salah satu yang mereka
sukai.
2) Sumber daya sangat penting artinya dalam penerapan kebijakan.
Bagaimanapun jelas dan dipahami kebijakan tersebut. Namun, apabila tidak di
dukung oleh sumber daya yang memadai maka penerapan kebijakan akan
kurang efektif. Sumber tersebut antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
a) Sumber Daya Manusia, jumlah dan keterampilannya yang cukup
memadai. Ini sangat menentukan tercapainya efektivitas implementasi
kebijakan publik.
b) Kewenangan yang dimilikinya cukup kuat, bagaimana banyak dan
keterampilannya staf yang dimiliki oleh instansi pelaksana kebijakan
publik, akan tetapi tidak efektif apabila kewenangan untuk melakukan
kegiatan dari para pelaksana tidak ada.
c) Informasi yang dimilikinya cukup dan akurat. Dalam hal ini informasi
dapat berupa informasi atau pengetahuan yang diperlukan untuk
implementasi kebijakan tersebut. Informasi dapat merupakan hal yang
28
Yantini - 09870098
bersifat teknis, sub-teknis dapat pula standar-standar, tarif atau aturan-
aturan tertentu, misalnya: melaksanakan kebijakan lingkungan hidup
selain diperlukan informasi teknis juga diperlukan aturan atau standar
untuk melakukan pemakaian pelaksanaan kebijakan.
d) Biaya yang disediakan sesuai dengan kebutuhan. Bagaimanapun juga
untuk melaksanakan suatu kebijakan publik agar berhasil dan efektif,
memerlukan biaya yang tidak sedikit.
3) Sikap dan kesiapan pelaksana. Yang tidak kalah penting adalah faktor sikap
dan kesiapan aparatur pelaksana kebijakan, terutama menyangkut adanya
sikap menerima, merasa terpanggil, keinginan atau menjadi satu kewajibannya
untuk menyukseskan implementasi kebijakan. Apabila para pelaksana
menerima dengan baik suatu kebijakan yang ditetapkan, mereka akan lebih
antusias dalam penerapan kebijakan tersebut sesuai dengan apa yang
diharapkan pengambil keputusan. Akan tetapi, apabila sikap dan kesiapan
aparatur pelaksana berbeda dengan pengambil keputusan, maka proses
implementasi kebijakan akan menjadi semakin pelik. Apalagi kalau pelaksana
kebijakan itu seorang pejabat tinggi yang mempunyai kebebasan bertindak
yang cukup besar, bila sikap atau pandangannya berbeda dengan pengambil
keputusan, maka kebijakan tersebut akan sampai ke daerah ketidakpedulian,
artinya pelaksanaan akan terhambat. Mungkin juga terjadi para pelaksana
berpandangan picik, karena dengan adanya penerapan kebijakan baru maka
kepentingan pribadi atau organisasi menjadi penerapan atau dirugikan. Sikap
para pelaksana bahkan akan menghalangi. Penerapan kebijaksanaan baru,
29
Yantini - 09870098
apabila tidak setuju secara substansial atas kebijakan tersebut. Untuk
mengurangi hambatan-hambatan di atas, banyak cara yang bisa di tempuh,
antara lain bila menyangkut pejabat pemerintah dapat dengan cara mengalih
tugaskan mereka yang menolak atau yang bersikap picik terhadap kebijakan
baru dan menggantinya dengan pejabat baru yang setuju, baik mutasi atau
penunjukan. Cara lain yang juga dapat ditempuh ialah dengan memberi
insentif baik di berikan dalam bentuk material maupun non material.
4) Struktur Birokrasi. Faktor ini pengaruhnya sangat besar terhadap keberhasilan
implementasi suatu kebijakan. Struktur birokrasi dimaksud adalah meliputi
dua hal, yaitu prosedur operasional standar yang harus bersifat baku dan rutin
dalam satu jaringan birokrasi dan fragmentasi dalam berbagai unit organisasi
yang terlibat dapat mencerminkan ada tidaknya koordinasi, pemborosan,
duplikasi dan lain sebagainya.
a) Adanya prosedur operasional standar akan menghemat waktu bagi para
pelaksana kebijakan, apalagi bila penyususnannya sudah menghitung
efisiensi, menghilangkan mata rantai yang terlalu panjang dan berbelit-
belit. Prosedur operasional standar juga dapat menyeragamkan tindakan
para pejabat pelaksana, terutama dalam kebijakan yang rumit atau dalam
organisasi yang tersebar luas. Dengan adanya prosedur operasional standar
mungkin juga pengalihan urusan lebih luwes, serta kesamaan penerapan
ketentuan yang tercantum dalam peraturan, misalnya seperti tarif, bea,
retribusi.
30
Yantini - 09870098
b) Fragmentasi Organisasi, adalah penyebaran tanggung jawab atas satu
kebijakan publik kepada beberapa organisasi pemerintahan, hal ini
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap keberhasilan
implementasi kebijakan. Sebab semakin banyak aktor atau
instansi/lembaga pemerintah yang terlibat dalam implementasi kebijakan
publik, maka semakin sedikit kemungkinan berhasilnya implementasi
kebijakan tersebut. Fragmentasi dan implementasi kebijakan publik adalah
suatu hal yang tidak bisa dihindari, karena kebijakan publik merupakan
satu rangkaian keputusan yang melibatkan banyak aktor, baik individu
maupun institusi. Fragmentasi terjadi baik secara horizontal maupun
vertikal, yakni dari instansi pemerintah tingkat pusat, tingkat wilayah
regional, maupun daerah dan sampai ke tingkat desa. Makin luasnya
fragmentasi, masalah yang sulit diatasi ialah koordinasi. Menyatupadukan
gerak kegiatan berbagai lembaga pemerintahan dengan berbagai macam
tujuan dan permasalahan masing-masing selalu menjadi penghambat
dalam implementasi kebijakan publik, karena sering terjadi duplikasi,
tumpang tindih, pemborosan, jalur birokrasi yang berbelit-belit dan saling
melempar tanggung jawab.
Winarno (2002:101) menyatakan implementasi kebijakan, yaitu sebagai
berikut:
Implementasi kebijakan di pandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi hukum di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang di inginkan. Implementasi pada sisi yang lain merupakan sebagai fenomena yang
31
Yantini - 09870098
kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, keluaran (output) maupun sebagai hasil.
Van Meter dan Van Horn dalam Winarno, (2002: 102) membatasi
implementasi kebijakan, yaitu sebagai berikut:
Sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang di arahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah di Tetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.
Perlu ditekankan di sini adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak
akan di mulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran di Tetapkan atau
diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap
implementasi terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana
disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.
Implementasi kebijakan merupakan salah satu tahap saja dari sekian tahap
kebijakan publik. Hal ini berarti bahwa implementasi kebijakan hanya merupakan
salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu
kebijakan di dalam memecahkan persoalan-persoalan publik. Lineberry dalam
Putra (2001: 81) menyatakan bahwa proses implementasi setidak-tidaknya
memiliki elemen-elemen sebagai berikut:
(1) Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana; (2) Penjabaran tujuan ke berbagai aturan pelaksana (standard operating procedures/SOP); (3) Koordinasi sebagai s umber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran; (4) Pembagian tugas di dalam dan di antara dinas-dinas/badan pelaksana; (5) Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan.
32
Yantini - 09870098
Mater dan Horn dalam kaitan implementasi kebijakan menawarkan suatu
model dasar yang memiliki enam variabel yang membentuk ikatan (linkage)
antara kebijakan dan pencapaian (performance) dengan harapan dapat
menguraikan proses-proses keputusan dapat dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:
Sumber: Van Matter dan Van Horn dalam Budi Winarno, Buku: Teori dan Proses Kebijakan Publik (2002: 111)
Gambar 3Model Proses Implementasi Kebijakan
Gambar proses implementasi kebijakan dari Van Mater dan Van Horan
tersebut di atas, dapat dijelaskan simpel sebagai berikut: Variabel ukuran dasar
dan tujuan kebijakan ini didasarkan pada kepentingan dalam pencapaian
kebijakan dan menilai sejauh mana ukuran dasar dan tujuan kebijakan telah
direalisasikan gunanya untuk menguraikan tujuan keputusan secara menyeluruh
dengan melakukan berbagai identifikasi ukuran dan tujuan tersebut yang pada
akhirnya ukuran pencapaian tujuan bergantung pada tujuan yang didukung oleh
penelitian.
Pencapaian
Ukuran dan tujuan
Kebijaksanaan
Sumber-sumber
Komunikasi organisasi dan
kegiatan pelaksanaan
Karakteristik-karakteristik dan
badan pelaksanaan
Sumber-sumber
Kecenderungan pelaksanaan
33
Yantini - 09870098
Sumber Kebijakan, yang dimaksud adalah meliputi dana atau perangsang
(incentive) yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.
Artinya perencanaan program perlu didukung dana baik besar maupun kecil faktor
tersebut turut menentukan keberhasilan implementasi kebijakan.
Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan. Artinya
pencapaian kebijakan ditentukan pula oleh ketepatan komunikasi antar pelaksana
walaupun komunikasi dalam organisasi merupakan proses yang sulit, tetapi
kejelasan ukuran dan tujuan dengan ketepatan dan konsistensi komunikasi
menentukan prospek implementasi yang efektif yang meliputi pelaku dan
mekanisme dalam organisasi birokrasi, struktur, hukum, yang terakumulasi dalam
suatu bentuk kekuasaan dan kewenangan.
Karakteristik badan pelaksana, hal ini adalah menyangkut dengan
struktur birokrasi yang diartikan sebagai karakteristik, norma dan pola hubungan
dalam menjalankan kebijakan. Komponen dari model ini terdiri dari ciri-ciri
struktur formal dari organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari personil.
Kondisi ekonomi, sosial dan politik, yaitu merupakan yang memberikan
dampak terhadap kebijakan yang memiliki efek terhadap pencapaian badan-badan
pelaksana di dalam kaitannya dengan dampak lingkungan.
Kecenderungan pelaksana (implementers), yaitu pada tahap ini
pengalaman individu dalam memegang peranan dengan mengidentifikasi unsur
tanggapan pelaksanaan yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan, yakni:
kognisi (komprehensif, pemahaman) tentang kebijakan, macam tanggapan
terhadapnya (penerima, netralis, penolakan), dan intensitas tanggapan itu.
34
Yantini - 09870098
Akhirnya kecenderungan pelaksana akan mempengaruhi pencapaian kebijakan,
tetapi peran pengawasan tetap dioptimalkan demi efektivitas implementasi.
Implementasi kebijakan dimaksudkan untuk memahami apa yang terjadi
setelah suatu program di rumuskan dan dilaksanakan, serta apa dampak yang
ditimbulkannya. Di samping itu, implementasi kebijakan tidak hanya terkait pada
persoalan birokrasi administratif saja melainkan juga mengkaji faktor-faktor
lingkungan (di luar birokrasi) seperti Organisasi kemasyarakatan, hal ini untuk,
menghindari pertentangan dalam pelaksanaan antar- implementers (antar unit
birokrasi dan non birokrasi) yang berpengaruh pada proses implementasi
kebijakan.
Implementasi pada sisi lain, merupakan fenomena yang kompleks yang
mungkin dapat dipahami sebagai proses keluaran (output). Kekurangpahaman
terhadap implementasi kebijakan mendorong para pelaku dihadapkan ada
kegagalan suatu kebijakan yang tidak seirama dengan perencanaan, dikarenakan
tidak memadai suatu program yang direncanakan yang mengakibatkan
ketidakberhasilan dalam implementasi program atau kebijakan.
2.1.4 Analisis Kebijakan Publik
2.1.4.1 Pengertian Analisis Kebijakan
Patton and Sawicki (1986:7-8) menguraikan bahwa analisis kebijakan
pertama kali diperkenalkan oleh Charles E. Londblom pada tahun 1958.
Lindblom mengaitkan istilah tersebut dengan sebuah tipe analisis kuantitatif
mengenai peningkatan perbandingan-perbandingan, dimana metode non-
35
Yantini - 09870098
kuantitatif digunakan dalam hubungan antara nilai dan kebijakan. Sejak beberapa
tahun analisis kebijakan juga didefinisikan sebagai berikut:
a. Alat untuk mensitesa informasi dan hasil-hasil penelitian untuk menghasilkan
format keputusan-keputusan kebijakan (perencanaan alternatif pilihan) dan
penentuan kebutuhan di masa depan sesuai dengan informasi tersebut.
b. Suatu proses yang rumit dalam menganalisis, merumuskan dan mengelola
konflik politik yang timbul karena perubahan kota.
c. Suatu investigasi yang sistematik tentang alternatif kebijakan dan penyusunan
serta penyatuan bukti-bukti yang mendukung atau bertentangan terhadap
setiap pilihan. Termasuk di dalamnya pendekatan dalam pemecahan masalah,
pengumpulan dan penafsiran informasi serta berbagai usaha dalam
memprediksikan konsekuensi dari alternatif-alternatif tindakan yang
dilakukan.
d. Proses pemilihan kebijakan terbaik antara sejumlah alternatif beserta alasan
dan bukti-buktinya.
e. Suatu disiplin terapan yang menggunakan metode penyelidikan beragam serta
argumen untuk menghasilkan dan mengubah informasi kebijakan yang relevan
yang berguna bagi pemecahan masalah-masalah umum di bidang politik.
f. Suatu bentuk penelitian terapan untuk mendapatkan pemahaman yang dalam
tentang isu sosial dan mencari solusi terbaik. Penggunaan ilmu pengetahuan
modern dan teknologi dalam menanggulangi masalah sosial, pencarian
analisis kebijakan untuk pengambilan tindakan, penurunan informasi, dan
pengumpulan bukti tentang keuntungan serta konsekuensi lain yang akan
36
Yantini - 09870098
diterima dalam proses adaptasi dan implementasi untuk menolong pembuat
kebijakan dalam memilih tindakan yang paling banyak manfaatnya.
Stokey and Zeckhauser (1977:3) mengungkapkan bahwa analisis
kebijakan dapat dilakukan dengan pendekatan yang didasarkan pada pandangan
pembuat keputusan dengan berlandaskan pemikiran rasional (rational decision
maker), yaitu mereka yang menetapkan tujuan dan menggunakan proses-proses
logis untuk menyelidiki atau menemukan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan
tersebut.
MacRae and Wilde (1985:4) mengemukakan “policy analysis is the use
reason and evidence to choose the best policy among a number of alternatives”.
(Analisis kebijakan adalah penggunaan alasan dan bukti untuk memilih kebijakan
yang terbaik antara sejumlah alternatif).
Patton and Sawicki (1986:15) memaparkan analisis kebijakan adalah
sebuah proses yang diawali dengan definisi masalah, memberikan alternatif
pilihan yang dokumen akhirnya dapat berupa memo, makalah, atau draf
perundang-undangan. Analisis kebijakan memiliki klien khusus dan memiliki
rentang waktu yang lebih pendek dan pendekatan politik terbuka.
Secara lebih rinci Patton and Sawicki (1986:5) mengemukakan bahwa
analisis kebijakan memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Adanya tahapan inventarisir atau penelitian, terhadap ruang lingkup yang
terbatas yang berhubungan langsung dengan isu-isu.
b. Meneliti berbagai alternatif untuk dievaluasi dan disajikan pada klien.
37
Yantini - 09870098
c. Mempersiapkan memo, dokumen masalah, dokumen kebijakan atau draft
perundang-undangan.
d. Memiliki klien khusus, seperti direktur eksekutif, pegawai yang diberi
wewenang, kelompok masyarakat, tetangga, bank yang memerlukan
perspektif khusus dalam memandang masalah tersebut.
e. Berorientasi pada isu dan masalah dengan memaparkan setiap alternatif
sebagai reaksi terhadap keadaan.
f. Adanya kesepakatan di masa yang akan datang mengenai pihak yang diberi
kewenangan dan ketidakpastian.
g. Adanya pendekatan politik untuk mendapatkan persetujuan.
Dunn (1994:xiii) mengemukakan “policy analysis is viewed as an applied
social science discipline that employs multiple methods of inquiry, in contexts of
argumentation and public debate, to create, critically assess, and communicate
policy relevant knowledge” (Analisis kebijakan dipandang sebagai suatu disiplin
ilmu sosial terapan yang menerapkan berbagai metode pengkajian dalam konteks
argumentasi dan debat publik, untuk menciptakan secara kritis, menaksir dan
mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan).
Selain memandang analisis kebijakan sebagai ilmu, Dunn juga melihat
analisis kebijakan sebagai suatu proses. Dunn (1994:29) mengemukakan analisis
kebijakan adalah “An intellectual and practical activity aimed at creating,
critically assessing, and communicating knowledge of and in the policy making
process”.
38
Yantini - 09870098
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis
kebijakan adalah proses pengkajian secara logis dan sistematis terhadap suatu
kebijakan untuk memecahkan masalah yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut.
2.1.4.2 Pendekatan dalam Analisis Kebijakan
Dunn (1994) mengemukakan studi kebijakan adalah ilmu sosial terapan
yang menggunakan sejumlah metode pengkajian dan argumentasi untuk
menghasilkan dan mentrasformasikan informasi kebijakan yang relavan dalam
rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan.
Informasi yang relevan sebagaimana dimaksud dalam definisi di atas
meliputi:
a. Informasi tentang policy problem, terutama pada aspek the nature of problem.
b. Informasi tentang policy alternative, yaitu tindakan potensial yang dapat
memberikan kontribusi untuk mencapai nilai-nilai pemenuhan kebutuhan dan
peluang.
c. Informasi tentang policy action, yaitu seperangkat tindakan yang berpedoman
kepada alternatif kebijakan yang dirancang untuk mencapai hasil kebijakan.
d. Informasi tentang policy outcome, yaitu konsekuensi-konsekuensi dari
tindakan kebijakan.
e. Informasi tentang policy performance, yaitu tingkat kontribusi dari
konsekuensi kebijakan terhadap pencapaian nilai-nilai kebutuhan dan peluang.
Informasi-informasi tersebut di atas bersumber dari tiga pertanyaan, yaitu:
1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah
39
Yantini - 09870098
masalah telah teratasi, 2) fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau
meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan 3) tindakan yang penerapannya dapat
menghasilkan pencapaian nilai-nilai.
Untuk menghasilkan informasi sebagaimana dikemukakan di atas yang
disandarkan kepada tiga pertanyaan ini, analisis kebijakan dapat memakai satu
atau lebih dari tiga pendekatan analisis, yaitu Empirical, Valuative, dan
Normative.
Tabel 2-1Tiga Pendekatan dalam Analisis Kebijakan
Approach Primary Question Type of Information
Empirical Does it and will it exist? (fact Descriptive and predictive
Valuative Of what worth is it? (values) Valuative
Normative What should be done? (action) Prescriptive
Sumber: Dunn, William N. (1994). Public Policy Analysis: An Introduction (2nd ed.). Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall. p-63
Pendekatan Empirical, merupakan suatu pendekatan yang menekankan
terutama pada penjelasan berbagai sebab dan akibat dari suatu kebijakan publik.
Pertanyaan utama bersifat faktual (Apakah sesuatu ada?) dan macam informasi
yang dihasilkan bersifat deskriptif dan prediktif.
Pendekatan Valuative, yaitu pendekatan yang menekankan terutama pada
penentuan bobot atau nilai dari kebijakan. Pertanyaan berkenaan dengan nilai
(Berapa nilainya?) dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat valuatif.
Pendekatan Normative, yaitu suatu pendekatan yang menekankan pada
rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang yang dapat menyelesaikan
40
Yantini - 09870098
masalah-masalah publik. Dalam kasus ini, pertanyaan berkenaan dengan tindakan.
(Apa yang harus dilakukan?).
Patton dan Sawicki (1986) mengemukakan dua jenis analisis kebijakan
yang tidak lain merupakan pendekatan analisis kebijakan sebagaimana
dimaksudkan oleh Dunn (1994).
Sumber: Patton, Carl V. dan David S. Sawicki. (1986). Basic Methods of Policy Analysis and Planning. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.
Gambar 4Jenis Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan descriptive merupakan sebuah proses evaluasi terhadap
kebijakan baru yang diimplementasikan. Analisis retrospective berhubungan
dengan proses penggambaran dan penafsiran kebijakan terdahulu. Analisis ini
berhubungan dengan pertanyaan “Apa yang terjadi?”; Analisis kebijakan
evaluative, berhubungan dengan evaluasi program. Analisis ini berhubungan
dengan pertanyaan “Apakah tujuan kebijakan dapat dicapai?”
ANALISIS KEBIJAKAN
Descriptive
Prospective
Retrospective
Evaluative
Predictive
Prescriptive
41
Yantini - 09870098
Analisis kebijakan prospective terfokus pada hasil yang mungkin dicapai
dari kebijakan yang diajukan. Analisis kebijakan predictive, adalah analisis yang
menunjukkan proyeksi tentang masa yang akan datang yang diperoleh dari
pemilihan fakta-fakta alternatif. Analisis kebijakan prescriptive, menunjukkan
sebuah proses analisis kebijakan yang menghasilkan sebuah rekomendasi akhir.
2.2Konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
2.2.1 Pengertian Kurikulum
Secara umum kurikulum dapat didefinisikan sebagai rencana pengajaran
yang harus ditempuh oleh peserta didik. Hal ini sejalan dengan pendapat yang
dikemukakan oleh beberapa ahli sebagaimana dipaparkan berikut. Taba
(Nasution, 2001:2) mengartikan kurikulum sebagai “a plan for learning”.
Sukmadinata (2001:5) mengemukakan kurikulum merupakan rencana pendidikan
atau pengajaran sebagai pedoman atau pegangan dalam proses kegiatan belajar
mengajar. Beauchamp (Sukmadinata, 2001:5) menyatakan kurikulum adalah
suatu rencana pendidikan atau pengajaran.
Persoalan yang muncul adalah kandungan apa saja yang terdapat dalam
kurikulum tersebut? Mengenai hal ini para ahli memberikan penekanan yang
berbeda-beda. Pada mulanya penekanan kurikulum terfokus kepada isi kurikulum,
sehingga kurikulum diartikan sebagai kumpulan mata pelajaran yang harus
disampaikan guru atau yang harus dipelajari siswa. Zais (Sukmadinata, 2001:4)
dalam kaitan ini menyebutkan kurikulum sebagai “a racecourse of subject
matters to be mastered”. Nasution (2001:9) mengemukakan kurikulum
42
Yantini - 09870098
merupakan sejumlah mata pelajaran yang harus diajarkan. Para ahli kurikulum
menyebut definisi ini sebagai definisi tradisional.
Perkembangan selanjutnya konsep kurikulum lebih menekankan kepada
pengalaman belajar yang harus dikuasai siswa. Pergeseran ini ditegaskan oleh
Doll (Sukmadinata, 2001:4) sebagai berikut “the commonly accepted definition of
the curriculum has changed from content of course of study and list of subjects
and courses to all the experiences which are offered to learners under the
auspices or direction of the school”. Saylor, Alexander dan Lewis (Ahmad,
1998:14) mengemukakan kurikulum berisi sekumpulan pengalaman belajar bagi
anak didik.
Secara lebih rinci Taba (Nasution, 2001:7) mengemukakan bahwa pada
hakikatnya tiap kurikulum merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak
didik agar berpartisipasi sebagai anggota yang produktif dalam masyarakatnya.
Tiap kurikulum, bagaimanapun polanya, selalu mempunyai komponen-komponen
tertentu, yakni pernyataan tentang tujuan dan sasaran, seleksi dan organisasi
bahan dan isi pelajaran, bentuk dan kegiatan belajar dan mengajar, dan akhirnya
evaluasi hasil belajar. David Pratt (Ahmad, 1998:12) mengemukakan kurikulum
berisi berbagai macam hal seperti masalah yang harus dikembangkan dalam diri
siswa, evaluasi untuk menafsirkan hasil belajar, bahan dan peralatan yang
dipergunakan, dan kualitas guru yang dituntut. Pasal 1 ayat 19 Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, mengemukakan “kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
43
Yantini - 09870098
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
2.2.2 Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Mulyasa (2003:93) mendefinisikan implementasi kurikulum berbasis
kompetensi sebagai suatu proses penerapan ide, konsep, dan kebijakan kurikulum
dalam suatu aktivitas pembelajaran, sehingga peserta didik menguasai
seperangkat kompetensi tertentu. Dapat diartikan pula sebagai aktualisasi dari
kurikulum tertulis (written curriculum). Miller dan Seller sebagai mana dikutip
Mulyasa (2003:94) mengemukakan implementasi kurikulum merupakan proses
interaksi antara fasilitator sebagai pengembang kurikulum, dan peserta didik
sebagai subjek belajar.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa implementasi
kurikulum merupakan operasionalisasi kurikulum potensial (tertulis) menjadi
aktual dalam bentuk kegiatan pembelajaran.
Mulyasa (2003:94) mengemukakan implementasi kurikulum dipengaruhi
tiga faktor, yaitu:
a. Karakteristik kurikulum, yang mencakup ruang lingkup ide baru, suatu kurikulum dan kejelasannya bagi pengguna di lapangan.
b. Strategi implementasi, yaitu strategi yang digunakan dalam implementasi, seperti diskusi profesi, seminar, penataran, lokakarya, penyediaan buku kurikulum, dan kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong penggunaan kurikulum di lapangan.
c. Karakteristik pengguna kurikulum, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap guru terhadap kurikulum, serta kemampuannya untuk merealisasikan kurikulum (curriculum planning) dalam pembelajaran.
44
Yantini - 09870098
Secara garis besar Mulyasa (2003:95) mengemukakan implementasi
kurikulum mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu pengembangan program,
pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi.
2.3Konsep Efektivitas Proses Belajar Mengajar
Efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti berhasil mencapai sasaran.
Ensiklopedia Administrasi yang dikutip dalam Harits (2002:109) menyatakan
bahwa efektivitas merupakan suatu keadaan yang mengandung pengertian
mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki. Dengan kata lain,
efektivitas merupakan suatu pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau
tujuan yang telah ditentukan.
Steers (1980:9) mengemukakan faktor-faktor yang mendorong
keberhasilan suatu organisasi ke dalam empat kelompok umum, yaitu (1)
karakteristik organisasi, (2) karakteristik lingkungan. (3) karakteristik pekerja, dan
(4) kebijakan dan praktek manajemen. Selanjutnya Gibson dalam Darma
(1987:25-26) menyatakan tiga macam perspektif efektivitas:
1. Efektivitas Individu, menekankan pada pelaksanaan tugas pekerja atau anggota organisasi. Tugas-tugas yang harus dilaksanakan adalah bagian dari pekerjaan atau posisi dalam organisasi tersebut.
2. Efektivitas kelompok, yang merupakan jumlah kontribusi dari seluruh anggota
3. Efektivitas organisasi, merupakan fungsi efektivitas individu dan kelompok.
Hubungan antara ketiga perspektif tentang efektivitas tersebut dapat dilihat
pada Gambar berikut:
45
Yantini - 09870098
Sumber: Gibson dalam Dharma, 1987. (Organisasi: Perilaku, Struktur dan Proses)
Gambar 5Hubungan Perspektif Efektivitas
Individu, Kelompok, dan Organisasi
Berdasarkan uraian di atas, efektivitas proses belajar mengajar dapat
didefinisikan sebagai keberhasilan proses belajar mengajar sesuai dengan yang
telah direncanakan. Efektivitas proses belajar mengajar dapat diukur melalui tiga
unsur utama, yaitu rencana pengajaran, pelaksanaan, dan evaluasi.
Rencana pengajaran dapat terwujud melalui kalender pendidikan, program
kerja tahunan, program kerja semester, program kerja bulanan, program kerja
mingguan, jadwal pelajaran, serta satuan pelajaran. Semua program tersebut
menurut Sanusi (1992:37) meliputi indikator 1) perencanaan pengorganisasian
bahan pengajaran, 2) pengelolaan kegiatan belajar mengajar, 3) pengelolaan kelas,
4) penggunaan media dan sumber pengajaran, 5) penilaian prestasi
Satuan pelajaran sebagai suatu rencana program pengajaran merupakan
kerangka acuan bagi terlaksananya proses belajar mengajar. Kemampuan
merencanakan program belajar mengajar merupakan muara dari segala
pengetahuan teori, kemampuan dasar dan pemahaman yang mendalam tentang
Efektivitas Individu
Efektivitas Kelompok
Efektivitas Organisasi
46
Yantini - 09870098
objek belajar dan situasi pengajaran. Perencanaan program belajar mengajar
merupakan suatu perkiraan/proyeksi guru mengenai kegiatan yang akan
dilakukan, baik oleh guru maupun oleh murid. Dalam kegiatan tersebut, harus
jelas ke mana anak didik akan dibawa (tujuan), apa yang harus dipelajari (isi
bahan pelajaran), bagaimana anak didik mempelajarinya (metode dan teknik), dan
bagaimana kita mengetahui bahwa anak didik telah mencapai tujuan tersebut
(penilaian). Tujuan, isi, metode, teknik, serta penilaian merupakan unsur utama
yang secara minimal harus ada dalam setiap program belajar mengajar yang
merupakan pedoman bagi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar.
Pelaksanaan mengajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan
mengajar guru. Kegiatan mengajar diartikan sebagai segenap aktivitas kompleks
yang dilakukan guru dalam mengorganisasi ataupun mengatur lingkungan sebaik-
baiknya dan menghubungkan dengan anak sehingga terjadi proses belajar
(Nasution, 1982:8)
Proses dan keberhasilan belajar siswa turut ditentukan oleh peran yang
dibawakan guru selama interaksi proses belajar mengajar berlangsung. Guru
menentukan apakah proses belajar mengajar itu berpusat pada guru dengan
mengutamakan penggunaan metode memberitahukan ataukah berpusat pada siswa
dengan mengutamakan penggunaan metode penemuan. Oleh karena itu
keberhasilan belajar siswa sebagai salah satu indikator efektivitas mengajar
dipengaruhi oleh perilaku mengajar guru dalam mewujudkan secara nyata peranan
itu.
47
Yantini - 09870098
Aktivitas mengajar yang terwujud dalam bentuk perilaku mengajar bukan
hanya terbatas pada aktivitas menyampaikan sejumlah informasi pengetahuan dari
bahan yang diajarkan, melainkan juga bagaimana bahan pelajaran tersebut dapat
sampai pada siswa secara efektif dalam pengertian tercapainya kegiatan belajar
yang mempunyai makna (meaningful learning).
Proses mengajar pada hakekatnya merupakan interaksi antara guru dengan
siswa. Keterpaduan proses belajar siswa dengan proses mengajar guru tidak
terjadi begitu saja, tetapi memerlukan pengaturan dan perencanaan yang seksama
terutama menentukan komponen-komponen yang harus ada dan terlihat dalam
proses pengajaran tersebut. Winkel (dalam Nasution, 1989:177) menjelaskan
terdapat tiga komponen utama dalam proses belajar mengajar yaitu “komponen
prosedur didaktik, komponen media pengajaran, dan komponen siswa dan materi
pelajaran”.
Komponen prosedur didaktik, merupakan sarana kegiatan pengajaran yang
dapat menimbulkan aktivitas siswa dalam proses belajar. Komponen ini akan
berjalan dengan lancar bila memperhatikan tujuan yang ingin dicapai, hakekat
siswa sebagai individu yang terlibat dalam proses belajar mengajar, hakekat bahan
pelajaran yang akan disampaikan pada siswa.
Komponen kedua adalah media pengajaran. Media pengajaran adalah
aspek penting untuk membantu guru dalam menyajikan bahan pelajaran, juga
mempermudah siswa dalam menerima pelajaran. Gagne (dalam Arief, 1986: 6)
berpendapat bahwa “media pendidikan adalah berbagai jenis komponen dalam
lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar”. Winkel (dalam
48
Yantini - 09870098
Nasution, 1989:18) mengemukakan bahwa media pengajaran adalah “suatu sarana
non personal yang digunakan atau disediakan oleh tenaga pengajar yang
memegang peranan dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan
instruksional”.
Komponen ketiga adalah komponen siswa dan materi pelajaran.
Komponen ini harus mendapat perhatian dari guru karena ia harus mampu
mendorong aktualisasi siswa dan memberi kesempatan untuk dapat
mengungkapkan perasaannya melakukan percobaan, bertingkah laku, serta
diamati perkembangannya. Oleh karena itu siswa harus diberi kesempatan untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya sesuai dengan kemampuannya.
Untuk mengetahui keberhasilan dari suatu proses belajar mengajar perlu
diadakan penilaian atau evaluasi. Fungsi dari evaluasi tersebut menurut Sudjana
(1989:14) adalah untuk mengetahui 1) tercapai tidaknya tujuan pengajaran, dan 2)
keefektifan proses belajar mengajar yang telah dilakukan guru. Dengan demikian
maka fungsi penilaian dalam proses belajar mengajar bermanfaat ganda, yakni
bagi siswa dan guru. Bagi guru penilaian merupakan umpan balik sebagai suatu
cara bagi perbaikan proses belajar mengajar selanjutnya. Sedangkan bagi siswa
berfungsi sebagai alat untuk mengukur prestasi belajar yang dicapai siswa.
Uraian di atas menggambarkan indikator-indikator yang terkait dengan
komponen prosedur mengajar. Secara lebih terperinci indikator-indikator tersebut
dikemukakan oleh Sanusi (1992:37), yakni 1) metode, media, dan latihan yang
sesuai dengan tujuan pengajaran, 2) komunikasi dengan siswa, 3)
mendemonstrasikan metode mengajar, 4) mendorong dan menggalakan
49
Yantini - 09870098
keterlibatan siswa dalam pengajaran, 5) mendemonstrasikan penguasaan mata
pelajaran dan relevansinya, 6) pengorganisasian waktu, ruang, bahan, dan
perlengkapan pengajaran, serta 7) mengadakan evaluasi belajar mengajar.
50
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
3.1Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu cara/langkah dalam mengumpulkan,
mengorganisasikan, menganalisis, serta menginterpretasikan data. Hal ini sejalan
dengan pendapat Winarno Surakhmad (1994: 131) yang menyatakan bahwa
metode merupakan suatu cara utama yang dipergunakan untuk mencapai tujuan,
misalnya untuk menguji serangkaian hipotesis dengan mempergunakan teknik
serta alat tertentu. Dalam hal ini, cara utama itu dipergunakan setelah penyelidik
memperhitungkan kewajarannya ditinjau dari tujuan penyelidikan serta situasi
penyelidikan”.
Berdasarkan tingkat penjelasan dan bidang penelitian, jenis penelitian ini
adalah penelitian deskriptif dan verifikatif. Traver Travens (dalam Husain Umar
2001: 21) menjelaskan bahwa “Penelitian dengan menggunakan metode deskriptif
adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik
satu variabel atau lebih (independent) tanpa membuat perbandingan atau
menghubungkan dengan variabel lain”. Penelitian deskriptif di sini bertujuan
untuk memperoleh deskripsi atau gambaran mengenai implementasi kebijakan
KBK/KTSP dan efektivitas pembelajaran di SMP Negeri dan Swasta, khususnya
untuk mata pelajaran IPS.
51
Yantini - 09870098
Adapun sifat penelitian yang verifikatif pada dasarnya ingin menguji
kebenaran dari suatu hipotesis yang dilaksanakan melalui pengumpulan data di
lapangan. Dalam penelitian ini akan diuji satu model utama dan tiga sub-
strukturnya. Dengan demikian terdapat empat model, yaitu:
1. Pengaruh variabel X1 X2 X3 dan X4 terhadap Y1, Y2, dan Y3 (keseluruhan).
2. Pengaruh variabel X1 X2 X3 dan X4 terhadap Y1 (parsial)
3. Pengaruh variabel X1 X2 X3 dan X4 terhadap Y2 (parsial)
4. Pengaruh variabel X1 X2 X3 dan X4 terhadap Y2 (parsial)
Berdasarkan jenis penelitian di atas—yaitu penelitian deskriptif dan
verifikatif yang dilaksanakan melalui pengumpulan data di lapangan—metoda
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah survey explanatory. Fraenkel &
Wallen (1993: 288) menyatakan bahwa kajian explanatory yang bersifat korelasi
itu bertujuan untuk menjelaskan pemahaman kita mengenai fenomena yang
penting melalui identifikasi hubungan antara dua variabel atau lebih. Menurut
Kerlinger (dalam Sugiyono, 1996: 7), yang dimaksud dengan metode survey
adalah “metode penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil,
tetapi data yang dipelajari adalah data dari sample yang diambil dari populasi
tersebut, sehingga ditemukan deskripsi dan hubungan antar variabel”. Dalam
penelitian yang menggunakan metode ini, informasi dari sebagian populasi
dikumpulkan langsung di tempat kejadian secara empirik dengan tujuan
mengetahui pendapat dari sebagian populasi terhadap objek yang sedang diteliti.
52
Yantini - 09870098
3.2Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi merupakan sekelompok objek yang dapat dijadikan sumber
penelitian. Menurut Sudjana (1997: 66):
Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin hasil menghitung atau pengukuran kuantitatif maupun kualitas mengenai karakteristik-karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang dipelajari sifat-sifatnya.
Berkaitan dengan itu, Sugiyono (1996: 72) mendefinisikan populasi
sebagai “wilayah generalisasi yang terdiri atas objek yang mempunyai kualitas
dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulan”.
Berdasarkan pengertian di atas, populasi (unit analisis) dalam penelitian
ini adalah sekolah, yaitu seluruh SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Bandung
Barat yang berjumlah xxx unit.
Sampel
Untuk pengambilan sampel dari populasi agar diperoleh sampel yang
representatif dan mewakili, maka diupayakan setiap subjek dalam populasi
mempunyai peluang yang sama untuk menjadi sampel. Menurut Suharsimi
Arikunto (1998: 117), yang dimaksud dengan sampel adalah “sebagian atau wakil
populasi yang diteliti”. Sedangkan menurut Sugiyono (2002: 73), yang dimaksud
dengan sampel adalah “bagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tertentu”.
53
Yantini - 09870098
Dalam suatu penelitian tidak mungkin semua populasi diteliti, dalam hal
ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya keterbatasan biaya, tenaga dan waktu
yang tersedia. Oleh karena itu, peneliti diperkenankan mengambil sebagian dari
objek populasi yang ditentukan, dengan catatan bagian yang diambil tersebut
mewakili yang lain yang tidak diteliti. Hal ini sejalan dengan pendapat Sugiyono
(2002 : 73):
Bila populasi besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu kesimpulannya akan diberlakukan untuk populasi. Untuk itu, sampel dari populasi harus benar-benar mewakili.
Dengan demikian sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari
populasi penelitian, yaitu sebagian dari unit analisis, yang berjumlah xx sekolah,
dengan guru IPS sebanyak xx orang.
3.3Operasionalisasi Variabel
Operasionalisasi variabel dalam penelitian ini dimaksudkan untuk
memudahkan atau mengarahkan dalam menyusun alat ukur data yang diperlukan
berdasarkan variabel yang terdapat pada hipotesis. Untuk lebih jelasnya dapat
dikemukakan batasan operasional dari variabel penelitian beserta sub
variabel/dimensi, dan indikator sebagaimana tercantum pada tabel di bawah ini:
54
Yantini - 09870098
Tabel 3.1Operasionalisasi Variabel
Variabel Dimensi Indikator Item Skala
Implementasi Kebijakan KBK/KTSP(Variabel X)
Komunikasi (X1) Transmisi penyaluran komunikasi
Ordinal
Kejelasan komunikasi Konsistensi, ketepatan dan
keajeganSumberdaya (X2) Jumlah SDM
Keterampilan SDM Kewenangan SDM Kecukupan Informasi Alokasi Biaya
Sikap dan kesiapan pelaksana (X3)
Sikap menerima, merasa terpanggil, keinginan terlibat dalam suatu implementasi kebijakan
Tingkat kesiapan pelaksana Kesesuaian sikap pelaksana
dan pembuat kebijakanStruktur Birokrasi (X4) Ketersediaan Prosedur
Operasional Standar Tingkat koordinasi struktur Tingkat fragmentasi
strukturEfektivitas Pembelajaran (Variabel Y)
Dikdasmen (2004)
Perencanaan Tingkat ketuntasan dan performance siswa dalam setiap unit
Satuan Pembelajaran sebagai pedoman guru serta diberikan kepada siswa
Pandangan terhadap kemampuan siswa saat mengikuti satuan pembelajaran tertentu dengan variasi kemampuan siswa
Ordinal
55
Yantini - 09870098
Variabel Dimensi Indikator Item Skala
Pelaksanaan Bentuk pembelajaran dalam setiap standar kompetensi yang dilaksanakan melalui pendekatan klasikal, kelompok, dan individual
Cara pembelajaran dalam setiap standar kompetensi yang dilakukan melalui penjelasan guru, membaca secara mandiri dan terkontrol, berdiskusi, dan belajar secara individu
Orientasi pembelajaran yang mengacu pada prestasi siswa secara individual
Peranan guru sebagai pengelola pembelajaran
Fokus kegiatan pembelajaran yang ditujukan kepada masing-masing siswa secara individu
Penentuan keputusan satuan pembelajaran yang ditentukan siswa dengan bantuan guru
Ordinal
Evaluasi Instrumen umpanbalik dalam menggunakan berbagai jenis dan bentuk capaian secara berkelanjutan
Cara membantu siswa dengan menggunakan sistem tutor dalam diskusi kelompok kecil dan tutor secara individual
Ordinal
3.4Penentuan Instrumen Penelitian
Ketepatan pengujian suatu hipotesis tentang hubungan variabel penelitian
sangat tergantung pada kualitas data yang dipakai dalam pengujian tersebut.
Untuk itu diperlukan dua macam tes, yaitu test validitas (uji kesahihan) dan test
reliabilitas (uji keandalan). Dengan demikian langkah-langkah untuk menentukan
instrumen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
56
Yantini - 09870098
1. Menentukan sumber primer (populasi dan sampel)
2. Membuat kuesioner sesuai dengan kisi-kisi operasionalisasi variabel
3. Mengujicobakan kuesioner
4. Menguji validitas dan reliabilitas kuesioner
5. Merevisi kuesioner bila diperlukan
6. Menyebarkan angket ke lapangan kepada sumber primer (sampel)
7. Mengolah data
Uji Validitas Instrumen
Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa
yang ingin diukur (Masri Singarimbun, 1995: 124) . Hal ini berarti apabila peneliti
menggunakan kuesioner di dalam pengumpulan data penelitian, maka kuesioner
yang disusunnya harus mengukur apa yang ingin diukurnya.
Selanjutnya uji validitas untuk jawaban kuesioner tingkat pengukuran
Likert’s Summated Rating dilakukan melalui teknik korelasi antara masing-
masing item pertanyaan/pernyataan dengan total item pertanyaan/pernyataan
tersebut. Karena data yang diperoleh adalah data yang bersifat ordinal, maka uji
korelasi yang digunakan adalah teknik korelasi Rank-Spearman (Spearman’s-
Rho). dengan rumus sebagai berikut:
(Sidney Siegel 1992: 256)
Untuk menentukan validitas sebuah pertanyaan/pernyataan dilakukan uji-t,
dengan rumus sebagai berikut:
57
Yantini - 09870098
(Sidney Siegel 1992: 263)
Dengan taraf signifikansi 95% atau alpha =0,05, t hitung yang diperoleh
dibandingkan dengan t tabel, dengan derajat kebebasan (df = n – 2). Ketentuan
yang dipakai adalah sebagai berikut:
1. Jika t-hitung t-tabel, maka pertanyaan tersebut adalah valid
2. Jika t-hitung t-tabel, maka pertanyaan tersebut adalah tidak valid
Validitas diukur dengan membandingkan t-hitung dengan t-tabel. Bila t-hitung ≥
t-tabel maka item tersebut valid, dan bila t-hitung < t-tabel maka item tersebut
tidak valid. Pertanyaan yang tidak valid akan dibuang atau direvisi.
Uji Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana
suatu hasil pengukuran relatif konsisten dalam mengungkapkan gejala tertentu
dari kelompok individu, walaupun dilakukan pada waktu-waktu yang berbeda.
Dalam penelitian ini akan menggunakan tes belah dua atau ‘split-half method’
dari Spearman Brown.
Membagi item-item yang valid menjadi dua belahan, dalam penelitian ini cara
yang diambil adalah berdasarkan nomor awal-akhir atau ganjil-genap. Nomor
awal/ganjil sebagai belahan pertama dan nomor akhir/genap sebagai belahan
kedua.
58
Yantini - 09870098
Skor masing-masing item tiap belahan dijumlahkan, sehingga menghasilkan
dua skor total untuk masing-masing responden, yaitu skor total belahan
pertama dan skor total belahan kedua.
Mengkorelasikan skor belahan pertama dengan skor belahan kedua dengan
menggunakan teknik korelasi rank-spearman (spearman’s rho), dengan rumus:
(Sidney Siegel 1992: 256)
Untuk menguji koefisien reliabilitas instrumen digunakan rumus
Spearman-Brown. Adapun rumus Spearman-Brown adalah:
Keterangan:r11 = koefisien reliabilitas instrumenr½½ = reliabilitas ½ instrumen
Dari hasil perhitungan di atas, selanjutnya dibandingkan dengan tabel
interpretasi dengan nilai r dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3-2Nilai Koefisien Reliabilitas
Interval Koefisien Tingkat Reliabilitas0,000 – 0,1990,200 – 0,3990,400 – 0,5990,600 – 0,7990,800 – 1,000
Sangat RendahRendahSedangKuatSangat Kuat
Sumber Suharsimi Arikunto (1995)
59
Yantini - 09870098
3.5Teknik Analisis Data
Untuk memudahkan dalam menganalisis data yang telah terkumpul dari
hasil survey lapangan terhadap sampel, langkah selanjutnya adalah pengolahan
data. Mengenai teknik pengolahan yang akan dilakukan dalam penelitian ini,
yaitu dengan menggunakan program SPSS (Statistic Product and Service
Solutions), Microsoft Excel-2000 (Plus Add-ins Successive Interval dan PHStat2),
LISREL 8.3, dan AMOS 5. Gambaran atau deskripsi penelitian menjelaskan hasil
penelitian Selain itu dilakukan pula pengolahan data secara manual, khususnya
untuk data yang bersifat kualitatif.
Hasil dari pengolahan data tersebut, dapat disajikan dalam bentuk tabel,
gambar dan grafik yang dijadikan dasar untuk menganalisis secara kualitatif
maupun kuantitatif, sehingga dapat memberikan gambaran variabel dan sub-
variabel yang diteliti.
Untuk melakukan hubungan korelatif pada penelitian ini digunakan teknik
analisis jalur (path analysis) sehingga dapat dilihat pengaruh dari setiap variabel
terhadap variabel lainnya. Karena datanya setiap variabel dari kuesioner itu masih
berskala ordinal, agar dapat dianalisis dengan analisis jalur, diperlukan
pengubahan skala ordinal menjadi skala interval dengan menggunakan Method of
Succesive Interval (MSI).
Pada penelitian ini, digunakan dua jenis analisis yaitu: (1) analisis
deskriptif, khususnya bagi variabel yang bersifat kualitatif, dan (2) analisis
kuantitatif, berupa pengujian hipotesis dengan menggunakan uji statistik. Analisis
kuantitatif menitikberatkan dalam pengungkapan perilaku variabel penelitian,
60
Yantini - 09870098
sedangkan analisis deskriptif/kualitatif digunakan untuk menggali perilaku faktor
penyebab. Dengan menggunakan kombinasi metode analisis tersebut dapat
diperoleh generalisasi yang bersifat komprehensif.
Menurut Harun Al Rasyid, (1999: 34) Langkah-langkah dalam path
analysis adalah: (1) Mengolah data berskala ordinal menjadi data berskala interval
dengan MSI (Method of Successive Interval) dan (2) Menentukan struktur
hubungan antar variabel berdasarkan kerangka pemikiran dan perumusan
hipotesis penelitian. Berikut ini akan diuraikan masing-masing langkah dalam
analisis jalur.
Mengolah data berskala ordinal menjadi data berskala interval dengan
MSI (Method of Successive Interval) dengan langkah kerja sebagai berikut:
a. Berdasarkan hasil jawaban responden untuk setiap pernyataan, hitung
frekuensi setiap pilihan jawaban.
b. Berdasarkan frekuensi yang diperoleh untuk setiap pernyataan, hitung
proporsi kumulatif untuk setiap pilihan jawaban
c. Berdasarkan proporsi tersebut, untuk setiap pernyataan, hitung proporsi
kumulatif untuk setiap pilihan jawaban
d. Dengan menggunakan Tabel Distribusi Normal Baku, menghitung nilai
Ztabel untuk setiap proporsi kumulatif yang diperoleh
e. Menentukan nilai batas untuk setiap nilai z yang diperoleh (dari tabel
normal).
f. Menentukan Nilai skala (scale value) untuk setiap nilai Z dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
61
Yantini - 09870098
Density at lower Limit – Density at upper limitScale value =
Area Under Upper Limit – Area Under Lower Limit
g. Menghitung nilai transformasi (Y) dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
Y = NS + k
k = 1 + NSmin
Di mana Nilai skala yang nilainya terkecil diubah menjadi = 1
3.6Struktur Model Penelitian
Untuk menentukan berapa besarnya pengaruh dari suatu variabel terhadap
variabel lainnya dalam analisis jalur diperlukan persyaratan seperti yang
dikemukakan Sitepu (1994: 14) sebagai berikut:
1. Hubungan antara variabel harus merupakan hubungan linear dan aditif
2. Semua variabel residu tidak mempunyai korelasi satu sama lain.
3. Pola hubungan antara variabel adalah rekursif
4. Skala pengukuran baik pada variabel penyebab maupun pada variabel akibat
sekurang-kurangnya interval.
Apabila persyaratan ini dipenuhi, maka koefisien jalur bisa dihitung
dengan langkah sebagai berikut:
1. Gambarkan diagram jalur untuk hubungan antara variabel secara lengkap.
Diagram jalur ini harus mencerminkan hipotesis konseptual yang diajukan,
sehingga nampak jelas yang mana sebagai variabel penyebab dan yang mana
sebagai variabel akibat.
62
Yantini - 09870098
2. Hitung besarnya pengaruh (parameter struktural) antara suatu variabel
penyebab dengan variabel akibat. Perhitungan ini didasarkan pada substruktur
hubungan antara k buah variabel penyebab dengan sebuah variabel akibat.
Perhitungan besarnya pengaruh tersebut dapat didasarkan pada:
1. Koefisien regresi
2. Koefisien korelasi (matriks korelasi)
3. Koefisien determinasi multiple (koefisien determinasi dan unsur matriks
invers korelasi, dan fungsi dan koefisien determinasi).
Struktur hubungan antar variabel didasarkan pada kerangka pemikiran dan
perumusan hipotesis penelitian. Secara umum struktur model penelitian tampak
pada gambar berikut:
3.7Jadwal Penelitian
Jadwal penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan dalam lima bulan, mulai dari bulan Januari – Mei 2010.
KegiatanBulan/Minggu
Jan Feb Mar Apr MeiA. Persiapan: Penyusunan Proposal Penelitian Penyusunan Instrumen Pendaftaran Seminar ProposalB. Pelaksanaan: Pengumpulan Data Tabulasi dan Pengolahan Data Analisis Data dan Pembahasan Sidang Tahap I C. Pelaporan: Penyusunan Draft Laporan Final Sidang Tahap II Disseminasi hasil
63
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, dkk (1998). Pengembangan Kurikulum. Bandung: CV Pustaka Setia.
Arikunto, Suharsimi (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dunn, William N. (1994). Public Policy Analysis: An Introduction (2nd ed.). Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.
Edwards III, George, C. (1980). Implementing Public Policy. Wasihington D.C: Congressional Quarterly Press.
Fraenkel, J. R. & Wallen, N. E. (1993) How to Design and Evaluate Research in Education (2nd ed.). Singapore: McGraw-Hill Inc.
Hoy, Wayne K. & Miskel, Cecil G. (2001). Educational Administration: Theory, Research, and Practice (6th ed., international edition). Singapore: McGraw-Hill Co.
Isaac, Stephen & Michael, William B. (1981). Handbook in Research and Evaluation for Education and Behavioral Sciences (2nd ed.). San Diego, California 92107: EdITS Publishers.
Islamy, I. (2000). Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara.
Jones, Charles O., (1984) An Introduction to the Study of Public Policy (3rd ed.). Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company.
Komaruddin dan Yooke Tjuparmah S Komaruddin (2000). Kamus Istilah Karya Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara.
Kusnendi (2005). Analisis Jalur: Konsep dan Aplikasi Dengan Program SPSS & LISREL 8. Bandung: Jurusan Pendidikan Ekonomi, UPI.
MacRae, Jr. Duncan and Wilde, James A. (1985). Policy for Public Decisions. Boston: University Press of America, Inc.
Mulyasa, E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2003). Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK.. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
64
Yantini - 09870098
Nasution, Arif. (2000), Demokratisasi dan Problema Otonomi Daerah, Bandung: Mandar Maju.
Parkay, Forrest W. & Stanford, Beverly H. (1998). Becoming A Teacher (4th ed.). Needham Height, MA 02194: Ally & Bacon – A Viacom Company.
Patton, Carl V. dan David S. Sawicki. (1986). Basic Methods of Policy Analysis and Planning. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.
Putra, Fadillah. (2001). Paradigma Kritis dalam Studi Kebijaksanaan Publik: Perubahan dan Inovasi Kebijakan Publik dan Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Razik & Swanson (1995). Fundamental Concept of Educational Leadership and Management. New Jersey: Prentice Hall.
Reece, Ian & Walker, Stephen (1997). Teaching, Training and Learning: A Practical Guide. Sunderland: Business Education Publisher Ltd.
Sanusi, Achmad (1992) Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan. Bandung: IKIP-Bandung.
Setiawan, Didang. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah. LPMP Jakarta.
Sitepu, Nirwana SK (1994). Analisis Jalur (Path Analysis). Bandung: Jurusan Statistika FMIPA Universitas Padjadjaran.
Steers, Richard M. (1980). Efektivitas Organisasi. Jakarta: Erlanga-PPM.
Stokey, Edith dan Richard Zeckhauser. (1977). A Primer for Policy Analysis. ___: __
Sudjana, Nana, (1989), Tuntunan Penyusunan Skripsi Karya Ilmiah. Bandung: Sinar Baru.
Sugiyono (1994). Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Sukmadinata, Nana Sy. (2001). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Surachmad, Winarno (1985). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito.
Sutherland, John W (ed.). (1978). Management Handbook for Public Administrators. New York: Van Nostrand Reinhold Company.
Usman, Moch Uzer (1990). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosda Karya.
65
Yantini - 09870098
Wahab, Abdul. (1997). Analisis Kebijaksanaan, dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Zais, Robert S. (1976). Curriculum: Principles and Foundation. New York: Harper & Row Publishers, Inc.
Dokumen:
Dirjen Dikdasmen. (2004). Pedoman Penunjang Kurikulum 2004. Jakarta: Dirjen Dikdasmen, Depdiknas.
Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat. Implementasi Kurikulum 2004 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang Berbasis Informational Technology. Bandung: Dinas Pendidikan.
66
Yantini - 09870098
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................11.1 Latar Belakang Masalah............................................................................11.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah...........................................................51.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................................8
1.3.1 Tujuan Penelitian...............................................................................81.3.2 Manfaat Penelitian.............................................................................9
1.4 Asumsi Penelitian....................................................................................101.5 Hipotesis Penelitian.................................................................................111.6 Pendekatan Penelitian.............................................................................131.7 Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................................15
BAB II LANDASAN TEORI...............................................................................162.1 Konsep Implementasi Kebijakan Publik.................................................16
2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik............................................................162.1.2 Model Kebijakan Publik..................................................................202.1.3 Implementasi Kebijakan Publik.......................................................232.1.4 Analisis Kebijakan Publik................................................................35
2.2 Konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan......................................422.2.1 Pengertian Kurikulum......................................................................422.2.2 Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.....................44
2.3 Konsep Efektivitas Proses Belajar Mengajar..........................................45BAB III PROSEDUR PENELITIAN...................................................................51
3.1 Metode Penelitian....................................................................................513.2 Populasi dan Sampel...............................................................................53
Populasi...................................................................................................53Sampel.....................................................................................................53
3.3 Operasionalisasi Variabel........................................................................543.4 Penentuan Instrumen Penelitian..............................................................56
Uji Validitas Instrumen...........................................................................57Uji Reliabilitas Instrumen.......................................................................58
3.5 Teknik Analisis Data...............................................................................603.6 Struktur Model Penelitian.......................................................................623.7 Jadwal Penelitian.....................................................................................63
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................64
67