ibnu taimiyah dan
DESCRIPTION
imam ibn taymiyahTRANSCRIPT
Ibnu Taimiyah dan Ta’wil
2
JUL
Pengantar
Cobaan bertubi sepertinya tak henti menjumpai Ibnu Taimiyah bahkan hingga lebih dari 700 tahun dari wafatnya, namun perumpaan beliau layaknya cendana yang memang harus dibakar agar tercium wanginya, dan terbukti bahwa wangi dan keagungannya tak lekang oleh zaman.
Kali ini tuduhan aneh menyambangi beliau.
Bagaiman tidak aneh, atas dasar permusuhannya dengan Aqidah takwillah beliau keluar masuk penjara dan bahkan menghembuskan nafas terakhirnya dibalik jeruji besi didalam benteng yang kokoh.
hal ini adalah sesuatu yang umum dikalangan sahabat, murid dan musuhnya. Permusuhan beliau dengan Aqidah takwil khususnya Asya’irah tidak mungkin samar lagi. Kalaulah beliau melakukan takwil dalam memahami nash-nash terkait asma dan sifat Allah, maka apa arti permusuhan dengan orang-orang yang mempertahankan aqidah tersebut dan apapula arti dari pembelaan murid-murid beliau terhadap keyakinan gurunya itu.
Mari kita ulas keanehan ini dengan memohon taufik dan hidayah semoga pembahasan dan mungkin diskusi terkait tema ini adalah hanya mengharapkan ridho dari Allah Subhanahu Wataala.
Makna Takwil
Disini harus didudukkan makna takwil berdasarkan pendapat salaf yang diikuti oleh ibnu Taimiyah dan pengikutnya yang menjulukkan diri sebagai Salafi agar kita dapat membuat keputusan yang adil tentang sikap ibnu Taimiyah yang sebenarnya tentang Takwil
Takwil menurut Kholaf dan Asya’irah
Takwil dikalangan Kholaf sangat popular dengan makna:
ذلك تقتضي بقرينة الظاهر عن اللفظ صرف
Takwil adalah memalingkan sebuah kata dari Žahirnya dengan petunjuk-petunjuk yang menyertainya.
Definisi ini merupakan istilah Mutaakhirin yang berbeda dengan takwil secara bahasa dan perkataan salaf
Takwil Menurut Salaf dan Ibnu Taimiyah
Dalam Mukhtar Shihhâh dikatakan:
ذلك تقتضي شيئ إليه يؤول ما تفسير التأويل
Ta’wil adalah tafsir yang dikembalikan sesuatu kepadanya[1]
Dalam Lisaanul arab dikatakan bahwa ia berarti عاد و yang artinya kembali[2] رجع
Secara ringkas dalam bahasa arab kata takwil bermuara kepada dua hal:
Pertama: tempat kembalinya sesuatu, yaitu hakikat yang perkataan dikembalikan kepadanya.
sebagaiman kita tahu bahwa kalam itu bisa Khobariyah atau Thalabiyah, maka:
Takwil Khobar adalah hakikat dan kejadiannya (kejadian yang sebenarnya): Seperti dalam firman Allah :
*ل( ق,ب م.ن* ,اي, ؤ*ي ر( و.يل(* ,أ ت ه,ذ,ا
Artinya: inilah ta’wil mimpiku yang dahulu itu
maksudnya inilah hakikat dan kejadian sebenarnya dari mimpi yang pernah dia alami[3]
Allah juga berfirman:
*ل( ق,ب م.ن* وه( ,س( ن 5ذ.ين, ال ,ق(ول( ي (ه( و.يل* ,أ ت .ي *ت ,أ ي ,و*م, ي ,ه( و.يل
* ,أ ت .ال5 إ ون, *ظ(ر( ,ن ي *ه,ل* م.ن ,اي, ؤ*ي ر( و.يل(* ,أ ت ه,ذ,ا
Artinya: Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al Quran itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu
Maksudnya: mereka hanyalah menunggu terjadinya hal yang sama dengan yang diberitakan oleh Allah berupa janji dan ażab
Sedangkan ta’wil Thalabiyah yang merupakan amr (perintah) dan nahy (larangan) adalah sama dengan perbuatan yang diperintahkan untuk melaksanakannya dan beramal dengannya dan juga sama dengan larangan yang ditinggalkan. Hal ini seperti perkataan Aisyah Radiyallâhu anhu:
أللهم: )) وبحمدك، ربنا اللهم سبحانك وسجوده؛ ركوعه في يقول وسل:م عليه الله صل:ى النبي: كانالقرآن؟. يتأو:ل ((اغفرلي
Artinya: Nabi Shallallâhu alaihi Wasallam pernah membaca:
اغفرلي أللهم: وبحمدك، ربنا اللهم سبحانك
pada ruku dan sujudnya. (Aisyah berkata) : engkau mentakwilkan Al qur’an?
Maksudnya apakah engkau melaksanakan amalan sesuai dengan firman Allah:
ه( ,غ*ف.ر* ت و,اس* Lك, ب ر, .ح,م*د. ب Lح* ب ف,س,
Artinya: maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.[4]
Kedua: takwil dengan makna tafsir
Yaitu perkataan yang digunakan untuk menjelaskan sebuah lafaz hingga dapat dipahami maknanya. Inilah yang dimaksud dari perkataan para Mufassirin تعالى قوله yang sering digunakan oleh تأويلpara Mufassirin[5]. Bahkan Ibnu Jarir al Thabarî menamai kitabnya:
القرآن آي تأويل عن البيان جامع
Berdasarkan makna yang pertama maka takwil dari apa yang diberitakan oleh Allah tentang sifat dan perbuatanNya adalah sama dengan keadaan yang sebenarnya. Hal tersebut adalah hak Allah subhanahu wataala yang tidak diketahui oleh selainNya dan tidak ada celah bagi kita untuk mengetahuinya dan melingkupinya[6].
Berdasarkan makna yang pertama ini juga maka waqaf jatuh setelah kata berikut: 5ال. إ ,ه( و.يل* ,أ ت ,م( ,ع*ل ي و,م,ا
5ه( الل
Sedangkan berdasarkan makna kedua maka takwil tentang apa yang diberitakan Allah mengenai sifat-sifatnya yang tinggi adalah tafsir dan pemahaman makna dari apa yang Ia beritakan tentang dirinya yang memiliki sifat-sifat yang agung dan tinggi. Inipun dikenal dalam bahasa yang Allah gunakan kepada manusia dan kita pahami dengan perantaraan bahasa tersebut, namun dengan pemahaman bahwa Allah tidak sama dengan apapun baik zatNya, SifatNya, maupun perbuatannya.
Berdasarkan makna ini maka waqaf jatuh setelah kata berikut: . *م *ع.ل ال ف.ي اس.خ(ون, و,الر5
Sebagaimana mazhab kebanyakan ulama Salaf.
Ibnu Jarîr berkata: Ahli takwil (tafsir, red) berselisih tentang takwilnya, apakah kata الراسخون menjadi athaf dari lafadz ألله yang berarti mereka dapat mengetahui ayat yang mutasyabih ataukah itu adalah isti’naf (kalimat baru selanjutnya) yang disebutkan untuk memberitakan mereka (orang-orang yang mendalam ilmunya) yang berkata bahwa mereka beriman kepada ayat-ayat mutasyabih termasuk menyatakan bahwa pengetahuan tentang ayat-ayat tersebut hanyalah dimiliki oleh
Allah.
Sebagian dari mereka mengatakan: maknanya adalah tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah saja dengan pengetahuannya.
Adapun kata العلم في adalah kalimat selanjutnya yang menyatakan bahwa mereka الراسخونberiman kepada ayat-ayat mutasyabih dan Muhkam serta semua itu berasal dari sisi Allah. Kemudian beliau menyebutkan yang berpendapat demikin…. : Aisyah, ibnu Abbas, urwah, Abi Nahik, dll.
Yang lain berkata: maknanya adalah tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. dengan memiliki pengetahuan dan kedalaman ilmunya tersebut mereka tetap mengatakan “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Kemudian beliau menyebutkan yang berpendapat demikin…. : Ibnu Abbas, Mujahid, Rabî’ bin Anas, dan Muhammad bi Ja’far bin Zubair, dll[7]
Inilah takwil yang dimaksud oleh para salaf dan juga Ibnu Taimiyah ketika dia mengikuti mereka dalam menjelaskan beberapa makna ayat-ayat sifat.
Ibnu Taimiyah berkata:
من – كثير في أقوله وإنما أجوبتي من تقدم فيما اكتبه لم كنت وإن واكتبه اآلن أقوله الذي وأماتأويلها – في اختالف الصحابة عن فليس الصفات آيات من القرآن في ما جميع إن المجالس
الله شاء ما على ذلك من ووقفت الحديث من رووه وما الصحابة عن المنقولة التفاسير طالعت وقدالصحابة – – من أحد عن هذه ساعتي إلى أجد فلم تفسير مائة من اكثر والصغار الكبار الكتب من تعالى
من عنهم بل المعروف المفهوم مقتضاها بخالف الصفات أحاديث أو الصفات آيات من شيء تأول انهالله إال يحصيه ال ما المتأولين كالم يخالف ما الله صفات من ذلك أن وبيان وتثبيته ذلك تقرير
Adapun yang aku katakan sekarang dan aku tulis sekalipun aku belum pernah menulisnya dalam jawaban-jawabanku adalah bahwa semua yang ada di qur’an berupa ayat-ayat sifat tidak pernah didapat perselisihan dari sahabat seputar takwilnya. Sungguh aku telah menelaah berbagai tafsir yang dinukil dan diriwayatkan dari para sahabat dan hadits-hadits. Aku juga telah membaca-Masya Allah- banyak dari kitab-kitab para pembesar dan Sighar lebih dari seratus tafsir, namun sampai saat ini aku belum mendapatkan satupun dari sahabat yang mentakwilkan ayat-ayat atau hadits-hadits sifat dengan tafsiran yang menyelisihi tuntutan-tuntutan makna yang dipahami dan populer. Bahkan yang aku dapat adalah persetujuan, penetapan, dan penjelasan mereka bahwasanya hal tersebut termasuk sifat-sifat Allah yang menyelisihi perkataan tukang-tukang takwil yang tidak terhitung jumlahnya.[8]
Dalam penjelasan ibnu taimiyah jelaslah bagi kita bahwa para sahabat juga melakukan takwil yang bermakna tafsir terhadap ayat-ayat sifat, namun Ibnu Taimiyah juga mengatakan:
Bahkan yang aku dapat adalah persetujuan, penetapan, dan penjelasan mereka bahwasanya hal tersebut termasuk sifat-sifat Allah yang menyelisihi perkataan tukang-tukang takwil yang tidak terhitung jumlahnya.
Point penting dalam bahasan ini adalah bahwa ta’wil dengan makna tafsir justeru memperkuat istbat atau penetapan sifat-sifat Allah. Hal ini terbukti dengan banyaknya penjelasan salaf tentang Sifat-sifat Allah misalnya Allah Ta’ala bersemayam di atas Arsy. Di dalam ayat disebutkan Ar-Rahmaanu ‘alal ‘arsy istawaa. Secara bahasa istiwa’ itu memiliki empat makna yaitu:
1. ‘ala (tinggi)
2. Irtafa’a (terangkat)
3. Sho’uda (naik)
4. Istaqarra (menetap)
Imam Bukhari membuat bab khusus tentang istiwa dengan teks berikut:
ارتفع السماء الى استوى العالية ابو قال العظيم العرش هورب و الماء على عرشه كان و قوله بابالعرش على عال العرش على استوى مجاحد قال و خلقهن هن فسو
Ibnu Taimiyah juga mengatakan:
“Sesungguhnya lafadz ta’wil menurut pemahaman orang-orang yang suka bertentangan (yakni Ahlul Kalam), bukanlah ta’wil yang dimaksud dalam At-Tanzil (wahyu yang diturunkan). Bahkan bukan pula yang dikenal oleh para ulama tafsir terdahulu.
Sesungguhnya para ulama tafsir Al-Qur’an terdahulu memahami lafadz ta’wil dengan maksud tafsir. Ta’wil semacam ini dapat diketahui oleh ulama yang mengetahui tafsir Al-Qur’an. Oleh sebab itulah Imam Mujahid, imamnya ahli tafsir dan murid Ibnu Abbas, pernah menanyakan seluruh tafsir Al-Qur’an kepada Ibnu Abbas, dan Ibnu Abbas pun telah menjelaskan tafsir seluruhnya. Ketika beliau (Mujahid) mengatakan : “Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar ahlil-ilmi (Ar-Rasikhum fi Al-‘Ilmi) jika memahami tentang ta’wil, maka maksud ta’wil itu adalah tafsir yang telah disebutkan pada ibnu Abbas”.
Adapun lafal ta’wil menurut At-Tanzil (wahyu yang diturunkan), maknanya adalah “hakikat”, yakni sesuatu yang menjadi asal sebuah pembicaraan. Dan itu sama dengan hakikat-hakikat yang telah diberitakan oleh Allah Ta’ala, misalnya ta’wil tentang hari akhir yang telah diberitakan oleh Allah ialah kejadian yang akan terjadi di hari akhir itu sendiri (hakikat kejadiannya). Ta’wil tentang apa yang Dia beritakan mengenai Diri-Nya itu sendiri yang Maha Suci lagi tersifati dengan sifat-sifat Maha Tinggi. Ta’wil (dalam arti hakikat) inilah yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala sendiri.
Oleh karena itulah kaum salaf mengatakan :”Istiwa’ telah dimaklumi (maknanya), sedangkan bagaimana hakikatnya itu majhul (tidak dapat diketahui)”. Untuk itu kaum salaf mengistbatkan (menetapkan) pengetahuan tentang Istiwa’. Inilah yang disebut ta’wil dalam arti tafsir, yaitu memahami makna yang dimaksud oleh suatu pembicaraan, sehingga dapat merenungi, memahami dan mengerti.
Sedangkan perkataan mereka “Al-Kaif (bagaimana hakikatnya) adalah majhul (tidak dapat diketahui). Hal ini adalah ta’wil yang hanya bisa diketahui oleh Allah semata, yaitu tentang hakikat yang tiada satu mahluk pun dapat mengetahuinya”.[9]
Adapun istilah yang digunakan oleh para Mutaakhirin dari kalangan Muatthilah berbeda dengan definisi diatas dimana mereka mengatakan bahwa takwil adalah: Memalingkan[10] lafaz dari zohirnya dan hakikatnya kepada majaz dan apa yang berbeda dengan zohirnya dengan adanya penyertaan (Qarinah)[11]. Ini adalah istilah yang baru.
Mereka menjadikan Qarinah-qarinah untuk memalingkan makna sifat-sifat Allah dari zohirnya dan hakekatnya berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh akal mereka bukan berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh Atsar dan yang telah disepakati oleh salaf. Mereka menjadikan akal mereka sebagai hakim untuk sifat-sifat Allah yang merupakan hakikat dan yang bukan hakikat. Bukan berdasarkan dalil-dalil Naqli berupa ayat-ayat, hadits, maupun qaul Salaf.
Inilah jenis takwil yang telah dikarang oleh Abu Bakr bin Faurak[12] dalam sebuah kitab yang berjudul “ Ta’wîl al Musyki al Qur’ân” dan dibantah oleh Qadhî Abu Ya’la dengan sebuah kitab yang berjudul “ibthâl al ta’wîlât fî akhbâ al Shifât”. Begitu juga Ibnu Qudamah yang telah mencela takwil dengan kitabnya yang berjudul “Zamm al ta’wîl”
Batalnya klaim-klaim takwil oleh salaf terkait ayat-ayat sifat
Yang sering terjadi dalam klaim-klaim orang-orang yang menukil takwil tentang ayat-ayat sifat dari kaum salaf yang dilakukan oleh kalangan Asya’irah lalu mereka jadikan pembelaan untuk melakukan pemalingan makna terhadap semua ayat-ayat sifat adalah sebagai berikut:
klaim itu tidak benar karena tidak ada sumbernya atau dhoif sanadnya, atau menyalahi perkataan yang lebih masyhur dari salaf tersebut
tidak sesuai dengan tempatnya, seperti takwilan tersebut bukanlah pada nash-nash yang terkait dengan ayat-ayat sifat atau diperselisihkan sebagai ayat sifat
tidak memahami perbedaan takwil bathil yang berarti pemalingan makna dengan takwil yang bermakna tafsir.
Sebagai contoh yang sering adalah klaim bahwa Mujahid, Al Dhahak, Al Syafii, dan al Bukhârî mentakwil lafadz wajah dalam firman Allah taala : .5ه الل و,ج*ه( ,م5 ف,ث cوا (و,ل ت ,م,ا *ن ي
, ف,أ
Dengan mengatakan bahwa Mujahid berkata: Qiblatullah dan Imam Syafii mengatakan
: إليه الله وجهكم الذي الوجه فثم: الل5ه و,ج*ه( ,م5 ف,ث cوا (و,ل ت
yaitu arah yang ditunjukkan oleh Allah bagi kalian ..
Jawabannya dari semua itu adalah bahwa ayat ini termasuk yang diperselisihkan oleh salaf ayat sifat atau bukan. Kebanyakan salaf menganggapnya bukan ayat sifat maka mereka mentafsirkannya sebagaimana telah disebutkan diatas.
Hal ini karena الوجه dalam bahasa arab terkadang berarti arah, dan inilah yang populer. Dzohir ayat menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah arah bukan sifat Allah, yang semisal ini bukanlah takwil karena takwil berdasarkan pemahaman mutaakhirin adalah memalingkan ayat dari maksud, penunjukkan, dan arti yang dikenal.
Seluruh penukilan tafsir ayat ini adalah sehubungan dengan pendapat mereka bahwa ayat ini bukanlah ayat sifat. Adapun dalam ayat lain yang merupakan ayat sifat mereka menetapkan bahwa Allah memiliki wajah dalam arti yang hakiki
Al-Qadli Abu Ya’la rahimahullah meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bahwa beliau berkata :
, ) ( ) ( d وجها له وإن بيمينه مطويات والسموات بقوله d يمينا له وأن مبسوطتان يداه بل بقوله يدين له وأن ) ( ,) النبي ) بقول d قدما له وأن واإلكرام الجالل ذو ربك وجه ويبقى وقوله وجهه إال هالك شيء كل بقوله
) جهنم ) يعني قدمه فيها وجل عز الرب يضع حتى وسلم عليه الله صلى
“Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan dengan dalil firman-Nya : “Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64). Dia juga memiliki wajah dengan dalil firman Allah : “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah” (QS. Al-Qashaash : 88) dan juga firman-Nya : “Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dia juga mempunyai kaki dengan dalil sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Hingga Rabb (Allah) ‘azza wa jalla meletakkan kaki-Nya padanya…” (HR. Bukhari dan Muslim) yaitu pada neraka” [13]
Adapun yang diriwayatkan dari Mujahid, al Dhahak, Abu ubaidah, dan Bukhari tentang firman Allah taala : وجهه إال هالك شيء bahwa al Dhahak dan Abu Ubaidah berkata: artinya kecuali Dia, Maka كلini bukanlah pemalingan makna sama sekali, karena sesuatu terkadang diungkapkan dengan sebagian kriterianya, maka maksud وجهه adalah zatNya yang disifatkan dengan beberapa sifat إالdiantaranya لوجه dan ini jelas karena tidak sama sekali menafikan sifat Allah Taala. Allah mengungkapkan zatNya dengan menyebutkan salah satu sifatnya yaitu wajah Allah taala.
Adapun riwayat dari Imam Bukhari serta Mujahid mengatakan: kecuali apa yang dilakukan untuk menharapkan wajahnya.
Maka hal ini merupakan tafsir yang sesuai dengan syariat dimana segala sesuatu yang dilakukan memang harus diniatkan untuk Allah Subhanahu wataala.
Namun begitu, hal tersebut tidak dimaksudkan untuk menolak penetapan sifat Allah yang memiliki wajah yang sesuai
dengan keagungan dan kebesaran Allah Subahanahu Wataala. Dalam mentafsirkan firman Allah Subahanahu Wataala:
والزيادة الحسنى احسنوا للذين
Al imam Daruquthni meriwayatkan dalam kitab al ru’yah dari al dhahak ia berkata:
Al ziyadah adalah memandang wajah Allah ajja Wajalla[14]
al Lalikâi juga menyandarkan kepada Mujahid dari jalan ibnu abi Hatim bahwasanya ia berkata : والزيادة الحسنى احسنوا ia berkata: Al Husna adalah Syurga dan Al ziyâdah adalah memandang للذين
Rabb.[15]
Imam Bukhari menetapkan Wajah Allah sesuai dengan Kesempurnaan Sifat Allah, tanpa beliau palingkan pada makna lain. Bagaimana kita tahu bahwa beliau menetapkan ‘Wajah’ bagi Allah? Bisa kita simak dalam kitab Shahih beliau sendiri pada bagian yang lain. Beliau menempatkan bab tersendiri dalam penafsiran ayat itu, kemudian menyebutkan riwayat hadits yang menjelaskan kandungan bab itu sendiri.
Imam al Bukhâri menyatakan dalam kitab Shahihnya:
ه,ه( } و,ج* .ال5 إ iك. ه,ال jي*ء ش, cل) ك ,ع,ال,ى ت 5ه. الل ق,و*ل. ,اب {ب
ه(و, } ق(ل* ,ة( ي اآل* ه,ذ.ه. ل,ت* ,ز, ن ,م5ا ل ق,ال, 5ه. الل *د. ع,ب *ن. ب .ر. اب ج, ع,ن* ع,م*رjو ع,ن* jد* ي ز, *ن( ب ح,م5اد( ,ا ,ن د5ث ح, jع.يد س, *ن( ب ,ة( *ب ,ي ق(ت ,ا ,ن د5ث ح, { و* { , أ ف,ق,ال, .و,ج*ه.ك, ب ع(وذ(
, أ 5م, ل و,س, *ه. ,ي ع,ل 5ه( الل ص,ل5ى cي. 5ب الن ق,ال, (م* ف,و*ق.ك م.ن* dا ع,ذ,اب (م* *ك ,ي ع,ل *ع,ث, ,ب ي ,ن* أ ع,ل,ى *ق,اد.ر( ال } { } cي. 5ب الن ف,ق,ال, ,عdا ي ش. (م* ك .س, *ب ,ل ي و*
, أ ق,ال, .و,ج*ه.ك, ب ع(وذ(, أ 5م, ل و,س, *ه. ,ي ع,ل 5ه( الل ص,ل5ى cي. 5ب الن ف,ق,ال, (م* .ك ل ج( ر*
, أ ,ح*ت. ت م.ن*ر( *س, ,ي أ ه,ذ,ا 5م, ل و,س, *ه. ,ي ع,ل 5ه( الل ص,ل5ى
“Bab firman Allah Ta’ala : ‘Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya’
Telah memberitahukan kepada kami Qutaibah bin Sa’id (ia berkata) telah memberitahukan pada kami Hammad bin Zaid dari ‘Amr dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: ketika turun ayat ini : ‘Katakan: Dialah (Allah) Yang mampu untuk mengirim adzab dari atas kalian’, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah : ‘atau dari bawah kaki kalian’, Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah: atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan), Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Ini lebih ringan’
Telah dimaklumi di kalangan para Ulama’ Ahlul hadits bahwa pemilihan riwayat hadits dalam suatu bab merupakan representasi pemahaman Imam Bukhârî terhadap makna yang ada pada bab tersebut.ini terungkap dalam sebuah kaedah :
بابه في البخاري فقه
Pemahaman Bukhâri terletak pada babnya, yaitu kesimpulan tentang pendapat beliau mengenai suatu masalah biasanya direpresentasikan dalam bab yang beliau buat. Ketika Imam Bukhârî menyebutkan hadits perkataan/ doa Nabi: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, beliau tidaklah mentakwilkan ucapan Nabi tersebut pada makna-makna lain.. Beliau sekedar menyebutkan riwayat itu saja. Dari sini juga kita bisa melihat bahwa Imam Bukhârî menjadikan hadits tersebut sebagai tafsir dari wajah. Ini menunjukkan bahwa Imam Bukhârî menetapkan Sifat ‘Wajah’ bagi Allah tanpa mentahrif (memalingkan) pada makna yang lain.
Mungkin masih tersisa pertanyaan: ‘Jika benar Imam Bukhârî memilih pendapat yang kedua dalam menafsirkan ayat itu, bukankah juga berarti beliau menakwilkan ayat tersebut. Kalimat: ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali Wajah Allah’ ditakwilkan sebagai ‘Segala sesuatu akan binasa kecuali yang mengharapkan Wajah Allah’. Benar, itu adalah takwil yang beliau lakukan sebagaimana penakwilan al Tsaurî. Penakwilan tersebut tidaklah batil, karena memang dipahami dari ucapan lafadz Arab.
Al-Imam al Thobâry menyatakan dalam tafsirnya juz 19 halaman 643 bahwa penafsiran tersebut sesuai dengan perkataan syair:
… والع,م,ل( الو,ج*ه( *ه. ,ي إل الع.باد. cب ر, م(ح*ص.يه( ل,س*ت( dا *ب ذ,ن الله, ,غ*ف.ر( ت س*, أ
“Aku memohon ampun kepada Allah dari dosa yang aku tak mampu menghitungnya…
(Dialah) Rabb hamba-hamba, kepadaNyalah wajah (kehendak) dan amalan
Lafadz الوجه (wajah) dalam kalimat syair tersebut berarti kehendak dan keinginan. Takwil yang demikian bukanlah takwil yang batil, karena merupakan salah satu penjelasan terhadap makna kalimat yang sesuai dengan konteks bahasa Arab yang biasa dipahami. Selain itu, penakwilan ini tidaklah menafikan penetapan ‘Wajah’ bagi Allah sesuai dengan Keagungan, Kemulyaan, dan Kesempurnaan Allah, yang tidak sama dengan makhlukNya, dan tidak diketahui kaifiyatnya kecuali Allah.
Ibnu taimiyah mengatakan : ta’wil dari salaf jika berasal dari sahabat maka hal itu diterima, karena mereka mendengarnya dari Rasul, Jika berasal dari selain mereka dan pengikut mereka (tabiin) dan dijadikan pedoman oleh para Imam maka kita juga menerimanya. Namun kalau ia menyendiri maka kita berpaling darinya sebagaimana kita berpaling dari takwil kholaf.[16]
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dan praktek-praktek yang dilakukan Ibnu Taimiyah dalam banyak tulisannya maka jelaslah bahwa komentar-komentar beliau terkait sifat Allah hanyalah sebatas tafsiran yang berasal dari para pendahulu kaum muslimin dari kalangan salaf dan sahabat. Kalaupun dia menulis
dengan kata takwil maka hal tersebut bermakna tafsir yang sangat berbeda dengan pemahaman Mutaakhirin yang memalingkan makna atau bahkan merubah (tahrif).
Tafsir-tafsir tersebut sama sekali tidak menodai akidah terhadap Sifat Allah berupa penetapan sifat sebagai mana datangnya dan sesuai dengan apa yang Allah sifatkan bagi diriNya tanpa tahrif ta’thil dan tamsil. Beliau banyak menjelaskan hal ini dalam kitab-kitabnya, maka ambillah pelajaran.
Wallahu a’lam Bisshowab
Semoga bermanfaat
Saudaramu: dobdob
Maraji:
Al Asyâirah Fî Mizâni Ahli al Sunnah
Mauqif Ibnu Taimiyah Min Asyâirah
Majmu Fatâwa
al Risâlah al Tadmuriyyah
http://www.darussalaf.or.id
http://www.almanhaj.or.id
[1] Mukhtar Sihhâh: unsur-unsur أول
[2] Lisân al arab: unsur-unsur أول
[3] Diawal surat yusuf dijelaskan tentang cerita dimana planet-planet bersujud padanya dan kejadian itu terjadi dimesir ketika beliau menjadi salah seorang pembesar negeri itu. Itulah takwil atau kejadian yang sebenarnya dari mimpi tersebut.
[4] Maksudnya isi bacaan Rasulullah ketika ruku dan sujud berisi tasbih dan istighfar sesuai dengan ayat dalam surat al Nashr ayat 3 tersebut
[5] Perkataan seperti ini sering sekali ditemukan dalam tafsir-tafsir semisal al Thabarî dan Ibnu katsir serta lain-lain ketika memulai mentafsirkan sebuah ayat Al qur’an
[6] Inilah yang merupakan ranah kaifiat yang kita jahil tentang hal tersebut kecuali yang telah diberitakan oleh Allah, tidak ada jalan lain kecuali menetapkan sesuai dengan dzohirnya, yakni yang sesuai dengan keagungan dan kebesarannya tanpa takyif, tasybih dan tamsil.
[7] Tafsir Ibnu Jarîr ( 3/182-183). Secara jelas juga bahwa waqaf dalam ayat tersebut memiliki dua riwayat yang keduanya boleh digunakan dan kedua pendapat tersebut memiliki Faidah yang melengkapi bukan bertentangan
[8] Majmu’ Fatâwa 6/394
[9] Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, Ibnu Taimiyah, jilid 5/381-383, Tahqiq. Dr Muhammad Rosyad Salim
[10] Seharusnya mereka menyebutnya dengan istilah tashrif (pemalingan) atau tahrif (perubahan) karena kata takwil sejatinya berkonotasi positif dan akrab ditelinga kaum salaf. Mungkin mereka menggunakan istilah takwil demi untuk dianggap baik lalu mereka menyebutkan sesuatu bukan dengan namanya untuk mengaburkan pendengar.
[11] Yaitu qarinah yang mereka klaim sebagai Tanzih (pensucian), namun sejatinya justeru jurang yang menjerumuskan mereka kepada berbicara tentang Allah yang mereka tidak memiliki ilmu tentang hal tersebut. Mereka mengatakan bahwa istiwa bermakna istawla, karena kalau bermakna istiwa maka sesuai pikiran sempit mereka akan membuat Allah sama dengan makhluknya, padahal dengan memaknakan istawla justeru membuat tandingan-tandingan bagi Allah karena dalam bahara arab istawla hanya digunakan untuk Sesutu yang berkuasa setelah mengalahkan sesuatu. Apakah Allah perlu mengalahkan sesuatu untuk menguasai alam semesta padahal ia menciptakan yang tidak ada menjadi ada? Wal iyadzu billah
[12] Salah seorang pemuka Asy’ariyah yang menjadi penyebar mazhab ini setelah sebelumnya redup
[13] Thabaqat Al-Hanabilah oleh Al-Qaadliy Abu Ya’la Al-Farraa’, 2/269, tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman bin Sulaiman Al-‘Utsaimin; Cet. Tahun. 1419
[14] Al Ru’yah al Dâruqutni 162
[15] Al-lâlikâi 3/454-463
[16] Naqdhut ta’sis (manuskrip/2/20) nukilan dari atsar yang didapat dari para Imam sunnah tentang bab I’tiqad dari kitab siyar a’lami al Nubalâ.
Jawaban Ahlussunnah Terhadap Argumentasi Takwil Para Pengingkar Sifat ‘Uluw
Oleh: DR. Alimusri Semjan Putra, MA
Para pembaca yang dirahmati Allah! Semoga petunjuk Allah senantiasa tercurah kepada kita semua.
Pada bahsan yang lalu kita telah menjelaskan tentang jawaban dan bantahan Ahlussunnah terhadap
Syubhat ’Aqliyah )argumen logika( para pengingkar sifat ’Uluw. Sebagai kelanjutan dari pembahasan
tersebut, bagaimana pula jawaban dan bantahan Ahlussunnah terhada Syubhat Naqliyah )argumen
takwil( para pengingkar sifat ‘uluw terhadap ayat dan hadits-hadits yang menetapkan sifat tersebut
bagi Allah?
Ada dua cara yang dilakukan oleh para pengingkar sifat ‘Uluw terhadap nash-nash yang menetapkan
sifat ‘Uluw bagi Allah:
Cara Pertama: Mereka mencoba menolak dalil-dalil yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah dengan
caramentafwidh )menyerahkan maknanya kepada Allah( dan mengingkari makna yang terkandung
lafaz secara zohir. Sebahagian mereka menisbahkan cara ini kepada para ulama salaf. Mereka tidak
bisa membedakan antar tafwidh yang dipahami oleh ulama salaf dengan tafwidh yang pahami oleh
Ahlul kalam. Tafwidh yang dipahami oleh ulama salaf adalah dalam masalah kaifiyah )bentuk
/hakikat( tentang sifat tersebut bukan makna dari sifat. Adapun tafwidh yang pahami oleh Ahlul kalam
adalah tafwidh terhadap makna sifat.
Tentang kebatilan manhaj Tafwidh yang dipahami oleh Ahlul kalam sudah pernah kita jelaskan dalam
pembahasan tentang kaedah-kaedah dalam memahami nash-nash sifat. Secara ringkas dapat kita
sebutkan kembali di sini sisi-sisi kebatilan mahaj Ahlul Tafwidh;
1. Mereka telah menutup jalan yang paling utama untuk mengenal Allah, yaitu melalui nama dan sifat-
sifat-Nya yang mulia. Karena menurut Ahlu Tafwidh nash-nash sifat tersebut tidak bisa dipahami
dan tidak dimengerti makna dan maksudnya.
2. Menurut mereka Al Qur’an tidak dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk mengenal Allah, karena
menurut mereka ayat-ayat sifat tersebut adalah lafaz-lafaz yang tidak diketahui maknanya.
3. Mereka telah menuduh -tanpa mereka sadari- bahwa Nabi r dan para sahabat y dalam membaca
ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah mereka tidak memahaminya dan tidak mengetahui
maknanya. Ini adalah prasangka yang amat buruk kepada Nabi r dan para sahabat mulia y.
Cara Kedua: Mereka mentakwil ayat dan hadits-hadits yang menetapkan sifat tersebut.
Namun bila kita cermati sesungguhnya takwil-takwil yang mereka sebutkan sangat bertolak belakang
dengan maksud dari nash-nash tersebut, bahkan terkesan mereka telah mempermainkan ayat-ayat
Allah atau hadits-hadits Rasulullah r. Sebelum kita masuk kepada topik pembahasan takwil para Ahli
kalam terhadap dalil-dalil ‘Uluw, ada baiknya terlebih dahulu kita kemukakan penjelasan para ulama
tentang pengertian takwil secara ringkas.
Takwil dalam penjelasan para ulama memiliki tiga pengertian[1]:
Pertama takwil bermakna: tafsir, pengertian takwil dengan makna ini sangat masyhur dikalangan
ulama salaf dan sangat banyak terdapat dalam ungkapan para ulama ahli tafsir yang terdahulul
)mutaqaddimin(.
Seperti yang terdapat dalam do’a Nabi r untuk sahabat yang mulia Ibnu ‘Abbas t:
” التأويل“ وعلمه الدين، في فقهه اللهم
“Ya Allah! Pahamkanlah ia tentang agama dan ajarkan kepadanya takwil (tafsir)” [2]
Demikian pula ungkapan Imam Thobary -yang digelari sebagai imam mufassirin- berulang kali
menggunakan kata takwil untuk makna tafsir dalam kitab tafsir beliau yang monumental “Jaami’ul
Bayaan“: ““ تعالى قوله تأويل في القول
“Penjelasan tentang takwil )tafsir( firman Allah Ta’alaa“.
Kedua takwil bermakna: hakikat tentang sesuatu perkara/kejadian, sebagaimana hakikat dari mimpi
nabi Yusuf u, ketika beliau melihat sebelas bintang, matahari dan bulan bersujud kepadanya. Lalu
mimpi tersebut terbukti setelah beberapa waktu kemudian, sebagaimana dinyatakan dalam firman
Allah:
/ ] } يوسف} ح,قmا Lي ب ر, ,ه,ا ج,ع,ل ق,د* *ل( ق,ب م.ن* ,اي, ؤ*ي ر( و.يل(* ,أ ت ه,ذ,ا ,ت. ,ب أ ,ا ي و,ق,ال, ج5دdا س( ,ه( ل وا cو,خ,ر *ع,ر*ش. ال ع,ل,ى *ه. ,و,ي ب
, أ ف,ع, ]100و,ر,
“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) menundukkan
diri seraya bersujud kepada Yusuf. Dan berkatalah Yusuf: “Wahai ayahku inilah takwil mimpiku yang
dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan”.
Makna yang kedua ini juga makna yang sering dipergunakan oleh para ulama salaf dalam ungkapan
mereka.
Ketiga takwil bermakna: memalingkan lafaz dari maknanya yang zohir kepada makna lain karena
adanya qorinah (dalil) yang membolehkannya. Takwil dengan pengertian ini hanya dikenal dikalangan
para ulama yang zaman terakhir )muta-akhirin( secara khusus lebih banyak dipergunakan oleh para
ulama ahli ushul fiqh. Para ulama yang memakai takwil untuk makna ini menetukan syarat-syarat
yang harus terpenuhi untuk melakukan takwil terhadap sebuah nash/dalil.
Diantara syarat-syarat tersebut adalah:
1. Penentuan makna dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat harus ada qorinah/dalil lain yang
mendukungnya, baik dalil syar’i atau dalil lughawi )bahasa(.
Maka seseorang tidak boleh mentakwil hanya sekedar berdasarkan kepada logikanya
semata, dan mengabaikan dalil-daliil yang lain, karena hal tersebut akan menimbulkan
kontradiksi /kerancuan dalam memahami nash-nash agama.
2. Penetuan makna dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat harus memperhatikan gramatika
bahasa Arab serta memperhatikan susunan rangkaian kata-kata dari sebuah lafaz dan kalimat.
Dalam bahasa Arab sebuah kata bisa memiliki bebrapa makna, seperti kata ‘Ainun bisa
berarti mata yang dapat melihat, dan bisa berarti mata air, atau berarti jasus )intel( dan bisa
juga berarti bagian dari sesuatu untuk diteliti di labor. Yang dapat menetukan makna yang
sebenarnya adalah tergantung dari gramatika dan susunan rangkaian kata yang terdapat
dalam sebuah ungkapan.
3. Makna yang menjadi pilihan dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat haruslah diantara makna-
makna yang tercakup dan terkandung dalam lafaz/kalimat tersebut dalam bahasa Arab.
Maka tidak boleh mentakwilkan sebuah lafaz dengan kata yang tidak tercakup dalam makna
lafaz tersebut. Seperti takwilan orang-orang bathiniyah terhadap lafaz puasa dengan
makna menjaga rahasia guru-guru mereka.
4. Tidak terdapat dalil lain yang menolak lebih kuat terhadap makna yang ditakwilkan tersebut, baik
dalil syar’i maupun dalil lughawi )garamatika bahas Arab(.
Seperti mentakwilkan kata tangan dengan qudrat dalam firman Allah berikut ini:
/ ] } ص} ,د,ي5 .ي ب ,ق*ت( خ,ل .م,ا ل ج(د, ,س* ت ,ن* أ ,ع,ك, م,ن م,ا *ل.يس( .ب إ ,ا ي ]75ق,ال,
“Allah berfirman: “Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-
ciptakan dengan kedua tangan-Ku?.
Seandainya kata tangan ditakwil dengan qutrat, berarti qudrat Allah ada dua! karena kata
tangan dalam ayat di atas dikaitkan dengan bilangan dua. Kemudian
jika tangan diartikan qutrat berarti tidak ada keistimewaan Adam dari Iblis karena Iblis juga
diciptakan dengan qudrat Allah.
Jika salah satu syarat yang kita sebutkan di atas tidak terpenuhi maka takwil tersebut dinilai
sebagaitakwil fasid )cacat(. Takwil dalam pengertian terakhir ini yang selalu menjadi perdebatan
kalangan para ulama. Karena takwil dalam pengertian ini bisa benar atau bisa salah, dan bahkan bisa
menimbulkan kesesatan dalam agama. Konsep takwil seperti ini sering dipergunakan oleh para
pengingkar sifat-sifat Allah dalam argumentasi mereka, sebagaimana yang akan kita jelaskan pada
berikutnya nanti. Alat untuk mengukur dan memastikan kebenaran takwil tersebut adalah dengan
merujuk kepada pemahaman para ulama salaf dalam memahami nash /dalil.
Takwil-takwil Ahlul kalam terhadap dalil-dalil ‘Uluw
Pada berikut ini kita kemukakan beberapa takwil yang digunakan Ahlul kalam dalam mengingkari
sifat-sifat Allah subhaanahu wata’alaa yang terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, secara khusus
sifat ‘Uluw.
Pertama: Mentakwil nash-nas yang menunjukkan tentang sifat ‘Uluw dan Fauqiyyah (Allah di
atas seluruh zat makhluk) dengan makna ketinggian nilai dan kekuasan (rutbah dan qohhar).
Mereka mencontohkannya dalam ungkapan seseorang: “emas lebih tinggi dari perak”, “ketua lebih
tinggi dari wakilnya”. Ketinggian yang dimaksud dalam ungkapan tersebut adalah ketinggian nilai dan
kekuasaan, bukan ketinggian zat masing-masing di atas yang lainnya. Demikian analogi yang mereka
pakai dalam mentakwil nash-nash yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah subhaanahu wata’alaa.
Sebagai contoh firman Allah: } م,اء الس5 ف.ي م,ن* (م* *ت م.ن, ,أ ] }أ 16الملك/ ]
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit”
Maka menurut pemahaman Ahlu Takwil maksud firman Allah tersebut ialah: Allah lebih mulia dari
langit atau Allah lebih berkuasa dari langit. Bukan berarti Allah berada di atas langit.
Contoh lain firman Allah: } ف,و*ق.ه.م* م.ن* 5ه(م* ب ر, ,خ,اف(ون, ] }ي 50النحل/ ]
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka“
Menurut Ahlu Takwil maksud firman Allah tersebut ialah: Allah lebih mulia dari mereka atau Allah
lebih berkuasa dari mereka. Bukan berarti Allah berada di atas mereka.
Maka mereka tidak mengimani bahwa Zat Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya, akan
tetapi mereka hanya membatasi keimanan pada bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Mulia di atas
seluruh makhlukn-Nya.
Adapun Ahlussunnah mengimani seluruh bagian dari makna ‘uluw secara mutlak bagi Allah, baik dari
segi zat maupun sifat-sifat-Nya termasuk sifat Maha Kuasa dan sifat Maha Mulia.
Jawaban Ahlussunnah:
Jika kita cermati takwil mereka terhadap sifat ‘Uluw dengan makna ketinggian nilai dan kekuasan
seperti dalam dua ayat di atas memiliki kesalahan dari beberapa sisi:
1. Mentakwil nash-nas ‘Uluw dengan makna Maha Mulia dan Maha Kuasa tidak sesuai dengan
gramatika yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut. Karena ayat-ayat tersebut tidak berbicara
tentang konteks perbandingan kelebihan Allah di atas makhluk-Nya dalam segi kekuasan dan
kemulian. karena tidak ada sedikitpun kedekatan antara Allah dan makhluk dalam hal tersebut! Hal
tersebut sama dengan ungkapan seseorang: “permata lebih tinggi nilainya dari kulit bawang” atau
“pedang lebih tajam dari pada tongkat”. Bila ada seseorang yang berkata demikian sungguh semua
orang akan ketawa mendengarkannya. Karena hal tiu tidak perlu dibandingkan sebab begitu jauh
perbedaan anatar keduanya. Ungkapan tersebut adalah sesuatu yang sia-sia, apalagi perbandingan
kemulian dan kekuasaan Allah dengan kemulian dan kekuasaan makhluk! Sesungguhnya Allah
Maha Suci dari segala perkataan yang sia-sia.
2. Allah tidak pernah dalam memuji diri-Nya baik dalam Al Qur’an maupun melalui sabda Rasul r,
bahwasanya Dia )Allah( lebih mulia dari ‘Arasy, atau lebih baik dari langit. Akan tetapi perbandingan
yang sering disebutkan dalam Al Qur’an tentang sesembahan dari selain Allah manakah yang lebih
baik dari Allah? Seperti dalam firman Allah:
*ق,ه5ار(} ) ال *و,اح.د( ال 5ه( الل . م, أ iر* ي خ, ق(ون, Lف,ر, م(ت iاب, ب ر*
, ,أ ل,( 39أ *ز, ,ن أ م,ا (م* ,اؤ(ك ,ب و,آ (م* *ت ن, أ (م(وه,ا *ت م5ي س, dم,اء س*
, أ .ال5 إ .ه. د(ون م.ن* (د(ون, ,ع*ب ت م,ا
} ,م(ون, ,ع*ل ي ال, 5اس. الن ,ر, *ث ك, أ ,ك.ن5 و,ل Lم( *ق,ي ال الدLين( ذ,ل.ك, 5اه( .ي إ .ال5 إ (د(وا ,ع*ب ت ال5
, أ م,ر,, أ 5ه. .ل ل .ال5 إ *م( *ح(ك ال .ن. إ jل*ط,ان س( م.ن* .ه,ا ب 5ه( الل
/ ]40، 39يوسف[
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi
Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-
nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu
keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
3. Nash-nash yang menyatakan tentang sifat ‘Uluw )keMahatinggian Zat Allah( di atas seluruh
makhluk-Nya diungkapkan dalam berbagai redaksi dan sinonim yang menafikan takwil terhadap
sifat tersebut.
Sebagai contoh firman Allah:
/ فاطر} [ ف,ع(ه{( ,ر* ي .ح( الص5ال *ع,م,ل( و,ال Lب( الط5ي ,ل.م( *ك ال ,ص*ع,د( ي *ه. ,ي .ل إ ج,م.يعdا ة( *ع.ز5 ال 5ه. .ل ف,ل ة, *ع.ز5 ال (ر.يد( ي ,ان, ك ]10م,ن*
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu
semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh Ia angkat
kepada-Nya“.
Dan firman Allah: } *ه ,ي .ل إ 5ه( الل ف,ع,ه( ر, ,ل* ] }ب 158النساء/ ]
“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya“.
Kata-kata; naik dan diangkat dalam dua ayat tersebut sangat jelas lafaz yang menunjukan posisi
dari bawah ke atas dan tidak mungkin ditakwil lagi dengan ketinggian nilai dan kekuasaan atau
makna-makna lain yang mau dicari oleh Ahlu Takwil.
Kedua: Mereka mentakwil lafaz Istawaa )استوى( yang terdapat dalam Al Qur’an dengan
makanaIstawlaa )استولى(.
Dianatara dalil yang menyatakan bahwa Allah bersifat ‘Uluw adalah ayat-ayat yang menyatakan
bahwa Allah beristiwaa di atas ‘Arasy. Sebagaimana telah kita jelaskan permasalahan ini dalam
pembahasan tentang dalil-dalil ‘Uluw dari ayat-ayat Al Qur’an. Namun orang-orang Ahlul kalam
berusaha menolak makna Istiwaa dengan cara mentakwilnyat dengan makna istilaa )berkuasa(.
Jawaban Ahlussunnah:
1. Garamatika penggunaan lafaz istiwaa dalam bahasa Arab ada dua bentuk:
1. Mutlak yaitu penggunaannya tidak dihubungkan dengan huruf bantu .
2. Muqayyad yaitu penggunaannya dihubungkan dengan huruf bantu .
Ketika lafaz istiwaa dalam gramatika Mutlak berbeda maknanya ketika berrada dalam
gramatikaMuqayyad, begitu pula dalam garamatika Muqayyad dengan huruf tertentu maka
maknanya bisa sama atau bebrbeda bila saat Muqayyad dengan huruf yang lain.
Bila lafaz istiwaa berada dalam gramatika Mutlak maka ia bermakna: sempurna atau matang )
وتم: ( :seperti diungkapkan dalam bahasa Arab . )كمل الطعام واستوى النبات، :atinya )استوى
tanaman itu telah tumbuh sempurna dan makanan itu telah matang.
Adapun lafaz istiwaa yang Muqayyat dengan huruf, ia berada dalam tiga gramatika:
1. Digabung dengan huruf banru Ilaa )إلى( seperti dalam ungkapan berikut: إلى فالن استوى artinya: Sipulan naik ke atas loteng”. Untuk gramatika ini terdapat dalam Al Qur’an dalam السطح
dua ayat:
Pertama dalam firman Allah:
/ ] } البقرة} jم,و,ات س, *ع, ب س, و5اه(ن5 ف,س, م,اء. الس5 .ل,ى إ ,و,ى ت اس* (م5 ث ج,م.يعdا ر*ض., األ* ف.ي م,ا (م* ,ك ل خ,ل,ق, 5ذ.ي ال ]29ه(و,
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit”.
Kedua dalam firman Allah: } iد(خ,ان و,ه.ي, م,اء. الس5 .ل,ى إ ,و,ى ت اس* (م5 ] }ث 11فصلت/ ]
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap“.
Dalam konteks ini istawaa mennjukkan dua Makna: قصد )bermaksud( dan makna عال
tinggi/ di atas( untuk menetukkan makna yang tepat dari dua makna tersebut dilihat( وارتفع
dari sisi gramatikanya, sebagaimana dalam contoh di atas.
b. Digabung dengan huruf bantu ‘Alaa )على( sebagaimana dalam beberpa ayat berikut:
Pertama dalam firman Allah: } Lج(ود.ي* ال ع,ل,ى ,و,ت* ت ] }و,اس* 44هود/ ]
“Dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi“
Kedua firman Allah: } ظ(ه(ور.ه. ع,ل,ى ,و(وا ت ,س* .ت ] }ل 13الزخرف/ ]
“Supaya kamu duduk di atas punggungnya“.
Ketiga firman Allah: } وق.ه. س( ع,ل,ى ,و,ى ت ] }ف,اس* 29الفتح/ ]
“Tegak lurus di atas rumpunnya”.
Dalam konteks ini dalam semua nash istawaa menunjukkan makna وارتفع )tinggi/ di atas( عال
dan tidak bisa tawil dengan makna dari selain itu. Dalam sifat Istiwaa Allah terdapat tujuh
ayat[3] yang muqayyad dengan huruf ‘Alaa )على( sebagaimana telah jelaskan ketika
membahas dalil-dalil‘Uluw dalam Al Qur’an.
Bila kita cermati semua nash yang menunjukkan tentang Istiwaa Allah hanya berada dalam
hal yaitu: muqayyad dengan huru Ilaa )إلى( atau huruf ‘Alaa )على( saja.
c. Digabung dengan huruf penghubung Waaw )واو( yang menunjukkan akan makna maf’ul ma’ah
)kesamaan /sebanding( seperti ungkapan seseorang: ) والخشبة الماء artinya air dan kayu )استوى
sejajar.
Jika kita cermati lafaz Istawaa )استوى( dalam dari berbagai gramatika bahasa Arab tidak ada
satupun yang bermakna Istawlaa )استولى( dan tidak ada satupun dari ulama pakar bahasa
arab yang terpercaya menyebutkannya.
Seorang ulama pakar bahasa Arab yaitu Khalil bin Ahmad pernah ditanya: apakah engkau
pernah menemukan dalam bahasa Arab Istawaa )استوى( dengan makna Istawlaa )استولى(?
Beliau menjawab: “ini adalah sesuatu yang tidak pernah dikenal orang Arab dan tidak pernah
digunakan dalam bahasa mereka”[4].
2. Istawaa )استوى( dan Istawlaa )استولى( adalah dua kata yang berbrbeda dari sisi lafaz dan makna.
Karena tidak penah ditemukan penggunaan Istawlaa )استولى( dalam Al Qur’an dan sunnah maupun
dalam bahasa Arab untuk menunjukkan makna Istawaa )استوى(, ini membuktikan bahwa
lafaz Istawaa )استوى( tidak boleh ditakwilkan dengan makna Istawlaa )استولى(, kalau hal tesebut
diperbolehkan tentu akan terdapat penggunaan kedua lafaz tersebut saling bergantian.
Andaikan lafaz Istawlaa )استولى( disebutkan dalam Al Qu’an, namun bila dibandingkan
lafaz Istawaa)استوى( jumlahnya lebih banyak disebutkan umpamanya, tentu yang seharusnya
dilakukan adalah menggunakan makna Istawaa )استوى( untuk lafaz Istawlaa )استولى(, bukan
sebaliknya! Apalagi kenyataanya justru lafaz Istawlaa )استولى( tidak pernah penah disebut dalam
Al Qur’an, lalu dari mana bisa kita bisa menjadikan makna Istawlaa )استولى( sebagai takwil bagi
lafaz Istawaa )استوى(?
3. Bila Istawaa )استوى( ditakwilkan dengan makna Istawlaa )استولى( hal tersebut akan melazimkan
kerancuan dalam makna dan dalam pemahaman kaum muslimin. Hal tersebut ditinjau dari
beberapa segi:
1. Tatanan gramatika bahasa Arab, kalimat Istawaa )استوى( didahului oleh kata penghubung Tsumma)
.)tartib( yang menunjukkan runtutan kejadian /peristiwa )ثم
Sebagaimana dalam firman Allah:
/ ] } السجدة} *ع,ر*ش. ال ع,ل,ى ,و,ى ت اس* (م5 ث j 5ام ي, أ 5ة. ت س. ف.ي ,ه(م,ا *ن ,ي ب و,م,ا ر*ض,
, و,األ* م,او,ات. الس5 خ,ل,ق, 5ذ.ي ال 5ه( ]4الل
“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam
enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy“.
Bila lafaz Istawaa )استوى( ditakwilkan dengan makna Istawlaa )استولى( berarti ‘Arsy
sebelumn pencitaan langit dan bumi berada di luar kekuasaan Allah. Lalu ‘Arasy tersebut di
bawah kekuasaan siapa sebelumnya? Karena arti dari makna Istawlaa )استولى(
itu menguasai jauh beda dengan makna Istawaa )استوى(.
b. Bila Bila lafaz Istawaa )استوى( ditakwilkan dengan makna Istawlaa )استولى( berarti ada yang
berusaha menguasai ‘Arasy dari selain Allah! karena penggunaan lafza Istawlaa )استولى( dalam
bahsa Arab adalah untuk menunjukkan dua pihak yang saling berebut menguasai sesuatu, bila
salah satu di anatara keduanya dapat mengalahkan yang lainnya maka ia disebut menguasanya )
استولى عليه (. Apakah ada yang berusaha merebut ‘Arasy dari kekuasaan Allah sebelumnya? Bila
ada di anatara manusia yang berasumsi demikian sesunggunya ia telah jatuh kedalam kesesatan
yang nyata.
4. Jika lafaz Istawaa )استوى( ditakwilkan dengan makna Istawlaa )استولى( yang artinya menguasai.
Melazimkan para Ahlu Takwil memilih salah satu dari dua pilihan yang kedua-duanya bagaikan
memakan buah simalakama:
1. Berarti boleh dikatakan oleh seseorang bahwa Allah Istiwaa )استواء( di atas gunung, di atas pohon,
dan di atas semua makhluk yang ada di muka bumi. Karena kekuasaan tidak terbatas atas ‘Arasy
saja. Lalu apa artinya Allah mengkhusus ‘Arasy dengan sifat istiwaa )استواء( dalam setiap ayat
dalam Al Qu’an!?
2. Atau Allah hanya mengusai ‘Arasy saja setelah menciptakan langit dan bumi, karena Allah
mengkhusus ‘Arasy dengan sifat istiwaa )استواء( dalam setiap ayat dalam Al Qu’an!? Lalu siapa
yang menguasai langit dan bumi kalau bukan Allah!?
Kesimpulanya lafaz Istawaa )استوى( tidak bisa ditakwilkan dengan makna Istawlaa )استولى(
karena kedua saling berbeda dilalahnya menurut syara’ dan lughah.
5. Jika lafaz Istawaa )استوى( ditakwilkan dengan makna Istawlaa )استولى( ini adalah tahrif
)penyelewengan( terhadap kalam Allah. Seperti perbuatan orang-orang Bani Irail ketika
diperintahkan Allah untuk mengucapkan Hiththoh )ampunan( mereka menukar ucapan tersebut
dengan kata Hinthoh )gandum(.
Sebagaimana diceritakan dalam firman Allah:
.ين,} ) ن *م(ح*س. ال ,ز.يد( ن و,س, (م* ,اك خ,ط,اي (م* ,ك ل ,غ*ف.ر* ن iح.ط5ة (وا /58و,ق(ول ] } البقرة( ,ه(م* ل ق.يل, 5ذ.ي ال *ر, غ,ي dق,و*ال ,م(وا ظ,ل 5ذ.ين, ال ,د5ل, ،58ف,ب
59[
“Dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa”, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu,
dan kelak Kami akan menambah (kebaikan) kepada orang-orang yang berbuat baik. Lalu orang-
orang yang zalim mengganti ucapan yang tidak dikatakan kepada mereka“.
Maka orang yang suka metakwil kalam Allah adalah telah meniru kebiasaan orang-orang Bani
Israil yang telah merubah-rubah kalam Allah yang diturunkan kepada mereka. Oleh sebab itu
ulama kita mengatakan Laam )ل( yang ditambahkan oleh Ahlu Kalam terhadap lafaz )استوى(
sehinggga menjadi )استولى( sama dengan perbuatan orang Bani Israil yang menambah Nuun )ن(
terhadap kalimat )حط:ة( sehingga menjadi )حنطة(.
6. Alasan utma orang Ahlul kalam mentakwil lafaz Istawaa )استوى( dengan makna Istawlaa )استولى(
adalah takut terjatuh kedalam aqidah Tasybih )menyerupakan Allah dengan makhluk(. Akan tetapi
dalam kenyataannya justru mereka terjatuh pada lubang yang mereka gali sendiri, karena makhluk
juga memilki sifat Istawlaa )استولى(. Jika mereka menetapkan sifat Istawlaa )استولى( bagi Allah
berarti mereka juga menyerupakan Allah dengan makhluk. Bahkan lebih keliru lagi ketika mereka
mentakwil sifat Allah dengan makna yang tidak pantas dinisbahkan kepada Allah. Karena Istawlaa )
maknanya menyadingkan Allah dengan makhluk dalam berebut menguasai ‘Arasy. Oleh )استولى
sebab itu Allah tidak pernah menisbahkan sifat tersebut kepada diri-Nya dalam Al Qu;an, demikian
pula Rasulullah r dalam sabdanya.
Di sini mereka harus mengakui kebenaran pandangan Ahlussunnah tentang sifat Istiwaa’ )استواء(:
bahwa Allah beristiwaa di ‘Arasy sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, tidak sama
seperti beristiwaa’nya makhluk.
7. Takwil yang dilakukan oleh Ahlul kalam terhadap ayat-ayat tentang sifat ‘Uluw adalah takwil yang
cacat hukum karena tidak memenuhi syarat-syarat dan kriteria yang ditetukan oleh para ulama
sebagaimana yang kita sebutkan di awal bahasan ini. Bahkan Tidak ditemukan seorang pun dari
para sahabat dan para ulama salaf dikalangan umat ini yang mentakwil ayat-ayat tentang sifat ‘Uluw
bagi Allah. Kecuali mereka yang terpengaruh dengan aqidah filsafat Yunani.
8. Sebagai pemungkas untuk orang-orang yang mengaku mengikuti aqidah Imam Abu hasan Asy’ari.
Di sini kami sebutkan bantahan beliau terhadap orang yang mentakwil lafaz )استوى( dengan makna
,dalam kitab munumental beliau “Al Ibaanah“[5]: “Sesungguhnya orang-orang Mu’tazilah )استولى(
Jahmiyah dan Haruriyah berpendapat bahwa firman Allah: } ,و,ى ت اس* *ع,ر*ش. ال ع,ل,ى ح*م,ن( ] }الر5 5طه/ ]
“Tuhan Yang Maha Pemurah beristiwaa’ di atas ‘Arsy“.
Menurut mereka makna )استوى( adalah menguasai ) وقهر استولى وملك ( dan zat Allah berada
disetiap tempat. Mereka mengikari bahwa Allah berada di atas ‘Arasy sebagaimana yang diyakini
oleh Ahlul Haq, mereka mengartikan Istiwaa’ dengan Qudrah.
Kalau benar apa yang mereka sebutkan tentu tidak ada perbedaanya antara ‘Arasy dengan bumi
yang dilapisan ketujuh! Karena segala sesuatu berada di bawah kekuasan Allah. Bumi, tempat
buang kotoran dan segala yang di dalam alam ini adalah di bawah kekuasaan Allah.
Jika istiwaa’ Allah di atas ‘Arasy diartikan istilaa’ tentu Allah itu beristiwaa’ di atas segala
sesuatu?! berarti Allah beristiwaa’ di atas ‘Arasy, bumi, langit, tempat buang hajat dan di atas
segala tempat yang kotor?! Karena Zat Yang kuasa atas segala sesuatu berarti Ia telah
memilikinya ) عليه Sekalipun Allah menguasai segala sesuatu, namun tidak ada .)مستول
seorangpun dari kalangan kaum muslimin yang membolehkan ungkapan: Allah beristiwaa’ di
atas tempat buang hajat dan kotoran…”.
“Asumsi orang-orang Mu’tazilah, Haruriyah dan Jahmiyah bahwa zat Allah berada disetiap
tempat, melazimkan Allah berada dalam perut Maryam, tempat buang kotoran dan tempat buang
hajat, hal ini adalah bertentangan dengan agama”. Hal ini juga melazimkan Allah berada diantara
diantara langit dan bumi, dianatara dua langit dan dianatara dua lapis bumi, ini senua merupakan
kemustahilan dan saling bertentangan”.
Demikian bantahan Imam Abu Hasan Asy’ary secara ringkas. Semoga orang-
orang Asyaa’irah yang mengaku sebagai pengikut beliau mau menerima keyakinan imam mereka
dan meninggalkan keyakinan orang-orang Mu’Tazilah, Haruriyah dan Jahmiyah.
Wallahu A’lam wa Ahkam
[1] Penjelasan lebih luas tentang hal ini dapat dilihat dalam kitab “Jinayah at Takwil al Faasid”
karangan Dr. Muhammad Ahmad Luh, MA. Dan kita-kitab ‘Ulumuttafsir.
[2] H.R. Imam Ahmad no )2397(, dan dishohihkan oleh Syeikh Al Bany dalam “silsilah shohihah” no
)2589(.
[3] Lihat: Q.S. Al A’raaf: )54(, Yunus: )3(, Thohaa: )5(, Ar Ra’d: )2(, Al Furqon: )59(, As Sajdah: )4(,
Fushshilat: )11(.
[4] Lihat: Aqoowiil Ats Tsiqqoot karangan Al karmy, hal: 124.
[5] Lihat: ‘Al Ibaanah”, hal: 98-99.