i.1.1. latar belakang ultrechtsche zendings vereeniging...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Permasalahan
I.1.1. Latar Belakang Masalah
Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) secara kelembagaan1 diresmikan pada
tanggal 6 Juni 1949. Komunitas iman ini diyakini lahir oleh pekerjaan Roh Kudus yang
diwujudkan melalui perantaraan para penginjil Ultrechtsche Zendings Vereeniging (UZV)
sebagai mitra kerja Tuhan dalam upaya menolong orang-orang yang mendiami pulau
Halmahera dan pulau sekitarnya untuk lebih memahami karya penebusan Allah dalam Yesus
Kristus.2 Orang-orang yang menerima karya penebusan tersebut mendefinisikan dirinya
sebagai komunitas iman para murid Yesus yang dipanggil untuk menjadi saksi karya Allah
yang menghidupkan dan saling memberdayakan.3 Kesadaran hidup menggereja ini lahir dari
sebuah kesadaran bahwa GMIH sebagai Gereja Tuhan di Halmahera selalu berupaya untuk
mewujudkan perbuatan nyata yang menghidupkan.4
Rumusan arah hidup menggereja GMIH yang selalu bertolak dari konteks sosial
Halmahera menunjukkan bahwa GMIH terus mempertimbangkan secara serius proses-proses
perubahan sosial yang terjadi. Sejumlah permasalahan yang terjadi dalam konteks tersebut
lalu dijadikan rujukan pembaruan arah hidup GMIH. Dan terkait dengan konteks Halmahera
itu, salah satu permasalahan yang paling sering terjadi ialah hubungan GMIH dan agama
kekerabatan5 di Halmahera. Perjumpaan ini telah berlangsung lama, dan dalam catatan
historis, perjumpaan tersebut selalu menunjukkan ketegangan. Acapkali sumber ketegangan
ini dihubung-hubungkan dengan paham teologis Kristen yang diwarisi dari para zendeling
yang kurang menghargai keberadaan agama kekerabatan. Sementara komunitas kultural ---
yang kemudian hari menjadi Kristen pun --- dalam konteks kehidupan mereka telah hidup
pemahaman-pemahaman teologis. Pemahaman teologis ini yang seringkali ditantang dan
karena itu seringkali diabaikan, padahal sangat berpengaruh besar dalam pembentukan pola
pikir dan perilaku umat di dalam menyikapi setiap aspek kehidupan.
1 Chris Hartono, Peranan Organisasi bagi Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), 29-36. Lihat
penjelasan mengenai Gereja dan organisasi. 2 “Dokumen Sidang Sinode GMIH XXVI”, (Jemaat Tiga Saudara, Wilayah pelayanan Ibu Halmahera Barat,
17-22 Juli 2012), hlm. 59. 3 Ibid., hlm. 60.
4 Jullianus Mojau, Menjadi Buah Bungaran Kebun Anggur Allah: Pergulatan Eklesiologis GMIH Pasca
Gereja-Zending, (Tobelo: Uniera, 2010), hlm. 27-48.
©UKDW
2
Kebuntuan ini telah berlangsung sejak Hendrik van Dijken menginjakkan kakinya di
pedalaman Galela-Halmahera bagian utara pada tahun 1886. Hendrik van Dijken adalah
seorang zendeling yang berlatarbelakang petani dan dipengaruhi oleh pietisme yang salah
ciri khasnya ialah menekankan kesalehan dan perhimpunan. Implikasi logis dari latar
belakang hidup van Dijken ini terbukti melalui metode pekabaran injil yang dipakainya.
Duma sebagai komunitas Kristen perdana di Halmahera dapat disebut sebagai conventicle,
yaitu komunitas orang-orang kudus. Orang-orang yang diterima dalam komunitas Duma
adalah orang-orang yang harus meninggalkan praktek-praktek budaya lokal.6 Sasarannya
sangat jelas sekali: agar para muridnya tidak lagi berhubungan dengan sistem nilai yang
mereka pelihara, anut dan yakini yang mereka peroleh secara turun-temurun. Sebagai
akibatnya, banyak orang yang menjadi Kristen diusir dari komunitas asalnya, dan hak-hak
adat di kampungnya juga ikut dihapus.7
Kemudian hari GMIH yang meneruskan tradisi iman warisan zending UZV pun ikut-
ikutan mengasingkan diri dari kenyataan kultural yang dihidupinya.8 Sikap GMIH ini
berhasil menyemai benih-benih permusuhan yang dilandasi dengan rasa unggul terhadap
budaya setempat. Dari situ juga lahirlah bermacam-macam masalah seperti perkembangan
umat Kristen yang menjadi terasing dari kebudayaan mereka, kaku dalam perjumpaan
dengan agama-agama lain, termasuk dengan agama kekerabatan yang sebelumnya dianut.
Pada kenyataannya sikap defensif yang ditunjukkan GMIH di sepanjang sejarahnya
itu tidak serta merta dapat memusnakan ekspresi-ekspresi budaya setempat, faktanya, hingga
tahun 2012, praktek-praktek warisan agama kekerabatan yang bersumber dari budaya
Halmahera tetap dipraktekkan secara diam-diam di kalangan anggota jemaat.9 Perilaku
5 Penjelasan tentang agama kekerabatan diuraikan pada bab II, poin II.2.3.
6 M. J. van Baarda, Riwayat Hidup Hendrik van Dijken, diterjemahkan dan diedit oleh H. G. Schuurman dari
judul aslinya, H. van Dijken, Zijn Leven en Arbeid op Halmaheira (Nijmegen 1905). H. G. Schuurman, Seri
Sejarah GMIH, (Tobelo: STT GMIH, 1995), hlm. 64-66. Lihat tinjauan H.G. Schuurman atas tulisan M. J.
van Baarda, khusus tentang suasana di kampung Duma pada masa pelayanan Hendrik van Dijken. 7 A. L. Franz, Benih Yang Tumbuh 9: Gereja Masehi Injili di Halmahera, (Jakarta: LPS-DGI, 1976), hlm. 7-9.
8 Bnd. J. Mojau, Religiositas Masyarakat Halmahera Tradisional dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan
Mereka Sehari-hari: Sebuah Pertimbangan untuk Pengembangan Teologi Operatif Lokal.
www.wikipedia.co.id/ file teologi operatif/. Menurut Mojau, bahwa bahaya kepunahan tradisi dan
kepercayaan lokal masyarakat Halmahera itu terkait dengan pengaruh warisan teologis dulaisme-pietisme-
rasionalistik a'la pencerahan (aufklarung) yang dibawah oleh lembaga-lembaga zending yang bekerja di
Halmahera. Warisan kekristenan inilah perlu ditinjau kembali yang sering mengklaim dirinya sebagai
kekristenan yang sah memajukan kesejahteraan umat manusia. Sebab menurut hemat Mojau, bahwa salah
satu faktor pembentuk sikap dan perilaku sosial desktruktif masyarakat kita dewasa ini justru sumbernya
adalah kekristenan rasionalistik yang dengan angkuh ingin "membongkar misteri kehidupan" manusia dan
alam semesta. 9 Sirayandris J. Botara, Teologi Masigilio; Sebuah Pertimbangan Untuk Pengembangan Teologi Lokal,
(Tobelo: Sangkakala GMIH, edisi Maret-April 2011), hlm. 21-22.
©UKDW
3
anggota jemaat seperti yang disebutkan terakhir ini telah menjadi rahasia umum di kalangan
jemaat-jemaat di lingkungan Sinode GMIH.
Mempercayai tempat-tempat tertentu yang memiliki daya, membaca pesan singkat
dalam isyarat simbolik, meyakini kehidupan sesudah kematian yang mewujud melalui sosok
O Gomanga sebagai roh orang mati yang memiliki relasi dengan manusia, dan sebagainya
adalah riak-riak kehidupan umat yang selalu dinilai negatif. Bersamaan dengan itu, GMIH
kembali dipusingkan dengan menguatnya semangat etnisitas yang ditandai dengan
bermunculannya “Raja-raja Lokal” (Selain Kesultanan Ternate, Tidore, dan Bacan) di
kalangan masyarakat Halmahera, diikuti dengan pratek-praktek pedukunan yang kembali
mendapat tempat di kalangan masyarakat.
Tentunya kenyataan-kenyataan kultural yang sempat disebutkan di atas masih sangat
terbatas dan belum mencakup semua hal yang terjadi mengenai bangkitnya budaya lokal.
Tetapi paling tidak beberapa contoh yang disebutkan di atas kiranya sudah cukup dalam
memberikan gambaran tentang pergumulan GMIH dalam konteks budaya yang dinamis dan
menyejarah itu. Pertanyaannya ialah bagaimana tanggapan umat maupun para pelayan
(pendeta dan majelis) terhadap realitas budaya?
Sebagai respons terhadap budaya lokal, ada orang yang berpendapat bahwa di dalam
budaya lokal terkandung unsur-unsur kekafiran. Misalnya saja yang nampak dalam
ungkapan kegeraman terhadap umat yang masih memelihara tradisi budaya lokal:
”Sebagai warga GMIH, kita sadar bahwa iman Kristen harus dipahami dalam budaya
Halmahera. Budaya Halmahera sebagai kulit tetapi isinya seharusnya nilai-nilai Kristiani
sejati. Tetapi yang terjadi dan berkembang selama ini disebagian besar kehidupan orang
Kristen Halmahera, ialah keadaan yang sebaliknya: Kulitnya Kristen tetapi isinya nilai-
nilai kearifan. Pertemuan antara Kekristenan yang sangat dangkal dengan agama-agama
Pra-literer yang pengaruhnya masih sangat kuat ternyata telah mempengaruhi kehidupan
sebagian besar warga GMIH yang tersebar di wilayah pedesaan. Dalam suasana agama
suku/pra-literer, nampaknya sangat sulit atau hampir tidak mungkin, usaha menuju
perbaikan kehidupan di dunia ini.”10
Kelompok yang menolak beranggapan bahwa sikap hidup yang masih dipengaruhi oleh
budaya lokal tidak akan menolong anggota jemaat GMIH untuk keluar dari keterpurukan
ekonominya yang mengkhawatirkan akibat kemiskinan yang dialami. Kelompok ini
seringkali mengabaikan kebiasaan hidup masyarakat Halmahera sebagai komunitas kultural
10
J.L. Nanere, Transformasi GMIH; Gereja Masehi Injili di Halmahera dan Pulau-Pulau Sekitarnya. 2012,
hlm. 17-18. Jauh sebelum Nanere, ada sejumlah pendeta yang nampak melalui tulisan-tulisan mereka
memperlihatkan penolakan terhadap budaya setempat. Salah satu contohnya, Kutjame yang menilai salah
satu problem yang dihadapi GMIH adalah sinkretisme. Lih. Salmon Kutjame, “Pengaruh Agama Asli dalam
Kehidupan Gereja Masehi Injili di Halmahera”, dalam H.G.Schuurman, (ed), Seri Sejarah GMIH, (Tobelo:
STT GMIH, 1995), hlm. 33-35. Baik Nanere maupun Kutjame hanyalah contoh yang mewakili umat dan
pendeta dalam sinode GMIH yang menolak ekspresi-ekspresi budaya Halmahera.
©UKDW
4
yang sangat menghargai dan terus memelihara tradisi religiositasnya yang terkandung dalam
budaya mereka. Masyarakat kultural ini tidak berorientasi kesejahteraan ekonomi, tetapi
orientasi spiritulitas seperti nampak dalam penghargaan terhadap roh orang mati adalah cara
mereka menjaga harmoni antara individu dengan komunitas, dengan alam, maupun dengan
Yang Ilahi.
Sikap penolakan terhadap budaya lokal adalah cerminan dari umat dan pendeta yang
seringkali bersikap defensif terhadap agama kekerabatan. Kelompok ini dapat disebut
sebagai kelompok ekslusif yang tetap setia terhadap aksioma dogmatis yang meyakini bahwa
Kekristenan adalah satu-satunya agama yang benar. Karena itu, tindakan memelihara tradisi
budaya setempat adalah sebuah tindakan kekafiran. Di sisi yang lain, sikap penolakan
semakin memperlihatkan kepada kita bahwa budaya lokal sesungguhnya tetap hidup dan
eksis hingga di saat ini.
Menyadari bahwa kearifan-kearifan lokal tetap eksis, maka sebagian umat dan pendeta
--- sebagai kelompok yang menerima --- mencoba menggali tradisi-tradisi yang terkandung
dalam budaya dan mempertimbangkannya kembali sebagai sumber berteologi. Fredrik
Putjutju, salah seorang pendeta GMIH yang sangat menghargai budaya lokal,
mengungkapkan pendapatnya sebagai berikut:
”Dahsyatnya kemajuan zaman, globalisasi dan modernisasi merupakan tantangan terhadap
nilai-nilai sosiokultural, yang di dalamnya termasuk nilai-nilai persaudaraan (penulis:
Esa Moi). Konflik merupakan penjelmaan atau bahkan merupakan salah satu sisi gelap
perubahan yang terjadi secara radikal akibat pergerakan zaman. Perubahan radikal ini
telah menjadi penyebab munculnya prahara kebudayaan.”11
Apa yang dikemukakan oleh Putjutju jelas-jelas memperlihatkan kepada kita bahwa
perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat telah turut mempengaruhi eksistensi budaya.
Dalam diri Putjutju ada kekhawatiran tentang terdegradasinya nilai-nilai budaya dalam
komunitas kultural, sehingga penting baginya (Putjutju) untuk mengangkat dan melestarikan
kembali budaya lokal, yang juga dapat dijadikan sebagai sumber berteologi kontekstual. 12
Sebagai pendeta GMIH, sikap Putjutju dapat disebut sebagai sebuah langkah maju.
Karena biasanya, di dalam lingkungan GMIH, para pendeta seringkali bersikap sebagai
”hakim” yang menentukan benar-tidaknya praktek-praktek budaya setempat. Dengan segala
keterbatasan metodologis dan sikap kritis, usaha Putjutju perlu diapresiasi. Upayanya dapat
11
Fredrik Putjutju, E’sa Moi, Teologi Rekonsiliatif di Tengah Kemajemukan Halmahera, (Yogyakarta: Lintang
Aksara, 2012), hlm. 20-21. 12
Sejalan dengan Putjutju, S. S. Duan dalam catatan editorialnya, berpendapat bahwa sudah saatnya
mengembangkan cara pandang yang lebih menghargai budaya Halmahera. S. S. Duan (ed), “O Hoya”
Mengenang Kepulangan Jan Namotemo, (Tobelo, Tobelo Pos, 2011), hlm. 8-9
©UKDW
5
disejajarkan dengan upaya berteologi yang diwarnai dengan semangat kontekstualisasi.13
Kesadaran ini mengandaikan bahwa bukan hanya teks (baca: Alkitab) yang diselediki dan di
telaah, tetapi juga konteks. Terjadinya perjumpaan teks dan konteks memungkinkan umat
untuk berjumpa dengan Allah dalam budaya dan kenyataan hidup yang dijalaninya.
Sampai di sini kiranya menjadi jelas bahwa pergumulan-pergumulan GMIH dalam
konteks budaya Halmahera yang sempat disebutkan di atas terkait dengan beberapa hal
berikut: 1), masih dipeliharanya tradisi religius warisan zendeling yang nampak dalam sikap
yang menolak secara tegas eksistensi budaya. 2), Bersamaan dengan itu, masih saja ada
orang yang beranggapan bahwa warisan agama kekerabatan tidak dapat menolong umat di
Halmahera yang hidup di dunia modern sekarang ini untuk keluar dan menjadi eksis –
meningkatkan taraf kesejahteraan hidupnya. 3), agama kekerabatan --- sekalipun selalu
ditindas --- ternyata tetap eksis hingga saat ini. 4), wacana hubungan GMIH dan kebudayaan
di Halmahera kembali menguat ketika ada kesadaran bahwa betapa pentingnya
mempertimbangkan secara serius kearifan-kearifan lokal dalam rangka berteologi.
Uraian-uraian tentang dinamika pergumulan GMIH dalam konteks sosial-budaya
Halmahera yang disebutkan di atas itu secara sepintas telah memperlihatkan pergumulan
GMIH yang telah terhisap ke dalam situasi sosial-budaya yang kompleks. Tugas penulis
ialah memeriksa sejarah GMIH dalam konteks budaya Halmahera periode 2002-2012 dan
melihat bagaimana GMIH dapat bertransformasi dalam dinamika sosial yang dinamis dan
menyejarah itu. Sejarah GMIH yang dibahas ini merupakan sejarah dialogis antara GMIH
dan dunia kehidupan yang nyata ini, yakni sejarah interaktif antara GMIH dengan sejarah
kehidupan budaya Halmahera.
I.1.2. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas itulah kemudian inti permasalahan yang hendak dibahas
dalam tesis ini dirumuskan sebagai berikut:
Apakah GMIH masih bersikap defensif terhadap riak-riak kehidupan yang bersumber
dari budaya lokal sebagai kenyataan kultural yang dijumpai dalam konteks
Halmahera?
13
Salah satu contoh yang dapat dilihat yaitu upaya Fredrick Pututju dalam mengapreasiasi kearifan lokal ‘Esa
Moi dalam kalangan masyarakat Tabaru. Hasil eksplorasi yang mendalam tentang ‘Esa Moi menghasilkan
rumusan teologi kontekstual tentang Teologi Rekonsiliatif di Tengah Kemajemukan Halmahera. Lih.
Fredrick. R. Putjutju, ‘Esa Moi; Teologi Rekonsiliatif di Tengah Kemajemukan Halmahera, (Yogyakarta:
Lintang Rasi Aksara Books, 2012).
©UKDW
6
Mengapa sikap defensif GMIH tidak serta-merta membuat riak-riak kehidupan yang
bersumber dari budaya lokal dalam konteks Halmahera semakin hilang, malah justru
sebaliknya, semakin eksis?
Bagaimana semestinya GMIH di sepanjang sejarahnya menghormati, memberi
tempat, dan perhatian terhadap budaya lokal dalam rangka berteologi secara
kontekstual?
I.1.3. Batasan Masalah
Setiap penulisan sejarah dituntut untuk menentukan batasan-batasan penelitian guna
memperoleh fokus dan ada kemungkinan dikaji, serta dapat dipertanggungjawabkan secara
metodologis. Batasan-batasan penelitian dalam penelitian ini ialah batasan waktu (temporal)
dan batasan spasial. Berikut ini uraiannya:
Batasan Temporal
Secara temporal, periode 2002-2012 yang menjadi perhatian utama dari studi ini erat
kaitannya dengan pergulatan GMIH dalam konteks sosial-budaya Halmahera seperti
yang telah disebutkan di atas. Periodisasi ini juga terkait dengan periode pelayanan
dan persidangan Sinode GMIH yaitu 2002-2007 GMIH yang utuh, dan periode 2007-
20012 GMIH yang memberdayakan.
Batasan Spasial
Penulisan tesis ini dapat digolongkan dalam fokus peristiwa yang terjadi di dalam
komunitas keagamaan di daerah tertentu, atau bisa disebut local history. Dalam tesis
ini lingkup spasial dibatasi pengertiannya sebagai gereja lokal. Karena itu, di sini
pengamatan akan dibatasi pada satu gereja saja, yaitu Gereja Masehi Injili di
Halmahera (GMIH). Hasil studi ini juga tidak merupakan representasi dari Gereja-
gereja yang ada di Halmahera.
Mengingat masalah-masalah yang terjadi pun sangat kompleks, maka penulis
akan secara khusus membahas peristiwa-peristiwa historis yang berdampak langsung
dan mempengaruhi GMIH. Peristiwa-peristiwa historis yang penulis maksudkan di
sini bukan tentang “kebenaran” yang ada di luar sana sehingga perlu ditemukan
untuk dikabarkan kepada semua orang. Fokus penulis terletak pada riak-riak
kehidupan yang bersumber dari budaya Halmahera periode 2002-2012 dan
bagaimana GMIH bersikap terhadap kenyataan kultural semacam itu, dan yang
©UKDW
7
dianggap sebagai bagian dari sejarah GMIH. Karena itu, sekalipun penulis akan
mencoba melihat sejauh mana GMIH berinteraksi dengan dinamika sosial-budaya
Halmahera, namun tidak semua gejala-gejala sosial-budaya yang terjadi dalam
konteks itu dijadikan sumber sejarah. Batasan ini penting, supaya penulis tidak jatuh
pada sebuah upaya penelitian antropologi atau etnomenologi murni.
I.2. Judul
1.2.1. Rumusan Judul
Berdasarkan konteks permasalahan di atas, tesis ini lalu diberi judul Mendayung
Kora-Kora Injil di Halmahera: Sejarah Gereja Masehi Injili di Halmahera dalam
Konteks Sosial-Budaya Halmahera 2002-2012. Istilah Kora-Kora Injil di Halmahera
terinspirasi dari istilah yang digunakan Th. Magany yang telah terlebih dahulu menulis
sejarah GMIH dengan judul tulisannya Bahtera Injil di Halmahera.14
Penulis lalu
menambahkan kata Mendayung pada Kora-Kora Injil di Halmahera yang pengertiannya
dibatasi pada; Pertama, dalam sosio-linguistik masyarakat Halmahera, Bahtera/perahu
disebut dengan istilah Kora-Kora (perahu tradisional masyarakat Halmahera dan pulau-pulau
sekitarnya). Kemudian GMIH menggunakan Kora-kora tersebut menjadi bagian dari Logo
GMIH. Kora-kora yang digambarkan sementara berlayar melambangkan sarana pewartaan
Injil Kerajaan Allah sebagai berita pembebasan, pemberdayaan dan yang membangkitkan
semangat hidup emansipatoris, baik secara ekonomi, budaya dan politik ke seluruh pulau
Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya.15
Kedua, Injil (Yunani: ε’υαγγέλιον/euanggelion) diartikan sebagai berita kesukaan.16
Chris Hartono dalam tulisan menjelaskan Injil sebagai pemberi pembebasan yang sempurna,
karena itu, dengan mengutip pendapat Gunning Jr, Hartono secara tegas mengatakan bahwa
Injil itu bersifat revolusioner bahkan bersifat radikal.17
Bersifat revolusioner dan radikal
sebab Injil menentang pembebasan palsu, pembebasan yang tidak pro-kemanusiaan. Injil
dengan demikian dapat membalikkan, menciptakan kembali sebuah komunitas iman yang
diberdayakan atau dilahirkan kembali. Selain itu, Injil juga membuat hidup menjadi penuh,
14
Lihat Th. Magany, Bahtera Injil di Halmahera, (Tobelo: GMIH, 1984). 15
“Dokumen Sidang Sinode XXVI”, (Tiga saudara, Ibu Halbar, 2007), hlm. 63. 16
R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 38. 17
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa pemikiran Hartono erat kaitannya dengan kajiannya terhadap teologis
etis. Penting untuk dicatat juga bahwa pemikiran teologis etis tentang Injil pada hakekatnya berbeda
(terbebas) dari kesalehan gaya Pietisme, yaitu yang memahami Injil hanya untuk beberapa orang
perseorangan belaka tersebut. Lih. Chris Hartono, Teologi Etis: Suatu Studi Tentang Teologi Etis Belanda
dan Nisbahnya dengan Pekabaran Injil Belanda, (Yogyakarta: TPK, 1995), hlm. 45-48.
©UKDW
8
baik secara rohani maupun jasmani. Injil dapat menjadi kekuatan etis yang bekerja dan dapat
menerangi seluruh dunia.
Ketiga, dalam Kamus bahasa Indonesia Kontemporer kata Di (prep) diartikan
sebagai; 1) penunjuk tempat; 2), penunjuk waktu. Dalam tesis ini kata Di yang terdapat pada
judul digunakan sebagai penunjuk tempat, yaitu Halmahera18
yang di dalamnya GMIH
hidup dan berkembang. Halmahera juga dapat dipahami sebagai subuah dunia atau konteks19
yang dinamis.
Sepintas melihat penjelasan singkat mengenai pengertian Bahtera Injil di Halmahera
seperti diuraikan di atas nampaknya tidak ada yang salah. Betul tidak ada yang salah, hanya
saja kita membutuhkan sebuah kata yang menggambarkan praksis hidup menggereja GMIH
yang selama ini telah diupayakan. Menurut penulis, mendayung adalah kata kunci bahtera
tersebut didorong dan bergerak maju mengarungi lautan dan hingga menepi di tempat tujuan.
Bahtera (n) tidak akan bergerak ke mana-mana, kecuali bahtera tersebut ditiup angin
kencang atau di bawah arus gelombang laut baru bisa bergerak, tetapi ending-nya hanya ada
dua, pertama perahu tersebut akan dibawa ke lautan lepas, kedua bahtera tersebut terkandas
di atas batu karang hingga akhirnya menjadi rusak. Diperlukan sebuah upaya, sebuah
langkah konkrit untuk mengarahkan agar bahtera bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat,
karena itu bahtera perlu didayung. Tema mendayung bahtera injil di Halmahera mengandung
nada optimistis, yaitu bahwa GMIH sebagai persekutuan para murid Yesus Kristus memiliki
kewajiban asasi untuk menjalankan misi-Nya di dunia ini. Itu tergambar pada simbol
pelayanan GMIH yang dilambangkan dengan Perahu (Bahtera) Kora-kora.20
Kedua, tema
mendayung bahtera injil di Halmahera juga terkandung nilai historis-teologis, yaitu perahu
ini juga melambangkan GMIH sebagai persekutuan kehidupan yang selalu mendayung
kehidupan ini searah ke arah kedewasaan dan kecerdasan iman. Dalam terang pengertian
18
Kata Halmahera sendiri mengandung pengertian yang berbeda-beda dan hingga kini belum ada satu
pengertian yang mutlak dapat diterima secara umum dalam kalangan masyarakat yang mendiami pulau
Halmahera. Ada yang mengatakan Halmahera adalah daratan atau benua, karena bila dibandingkan dengan
pulau-pulau sekitarnya yang lain Halmahera merupakan pulau terbesar di antara pulau-pulau sekitarnya yang
ukurannya jauh lebih kecil.18
Salah seorang sejarawan GMIH menjelaskan bahwa asal mulanya Halmahera
diambil dari kata Alu Ma Eira yang berarti Lunas Perahu. Penyebutan Alu Ma Eira terasa sulit bagi
masyarakat masa itu sehingga mereka lebih mudah mengucapkan dengan istilah Almaeira. Kemudian hari
Almaeira menjadi Halmahera. Lih. M. Th. Magany, Bahtera Injil di Halmahera, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1984), hlm. 8. Penjelasan lebih lanjut tentang Halmahera dapat dilihat pada Bab II, poin II.2. 19
E. D. K. Markus Masinambow, Konvergensi Etnolinguistis di Halmahera Tengah; Sebuah Analisa
Pendahuluan, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1976), hlm. 19-21. 20
Perahu Kora-kora adalah perahu tradisional masyarakat Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya. Simbol
GMIH ini mengandung makna yaitu Perahu (GMIH) yang sementara berlayar melambangkan sarana
pewartaan Injil Kerajaan Allah sebagai berita pembebasan, pemberdayaan dan yang membangkitkan
semangat hidup emansipatoris. Untuk penjelasan nama dan logo GMIH, dalam “Dokumen Sidang Sinode
GMIH ke XXVI”, (Tiga saudara, Ibu Halbar, 2007), hlm. 62-63.
©UKDW
9
itulah lalu subjudul tesis ini dirumuskan menjadi : Sejarah Gereja Masehi Injili di
Halmahera dalam Konteks Sosial-Budaya 2002-2012. Subjudul ini menekankan kekhususan
fokus penelitian dengan menggunakan pendekatan sejarah. Menulis sejarah, apalagi menulis
sejarah gereja, harus diingat bahwa upaya penulisan itu tidak sekadar kegiatan intelektual
atau akademisi, tetapi penulisan sejarah juga merupakan kegiatan yang bermakna teologis.
Harapannya yaitu sejarah GMIH yang ditulis diupayakan berdasarkan fakta-fakta empiris
yang pernah terjadi.
Sementara kata Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) adalah subjek penelitian.
Gereja (Portugis: igreja) secara etimologi diartikan sebagai “orang yang dipanggil keluar”.21
Menurut Veldhuis, aslinya digunakan untuk warga bebas (jadi bukan budak), yang dipanggil
berkumpul di lapangan kota untuk perkumpulan rakyat. Ini sebuah kata yang bagus,
sebagaimana Israel dibebaskan dan dipanggil Allah untuk menjadi umatNya, begitu juga
orang Kristen dipanggil sebagai manusia bebas, menjadi jemaat Allah.22
Penjelasan terakhir
yang disebutkan itu erat kaitannya dengan aspek teologis gereja sebagai persekutuan
kehidupan orang-orang yang beriman kepada Allah di dalam Yesus Kristus. Begitu juga
dengan orang-orang yang bergabung dengan Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH)
yang mendefenisikan dirinya sebagai komunitas iman para murid Yesus Kristus yang secara
kelembagaannya didirikan pada tanggal 6 Juni 1949. GMIH sebagai komunitas iman lahir
dari iman kepada Injil sebagai kekuatan Allah yang menghidupkan, membaharui,
memberdayakan dan membebaskan (Roma 1:6-17) yang bersumber dari pewartaan Yesus
Kristus sendiri tentang Injil Kerajaan Allah sebagai berita pertobatan, pembebasan, dan
perdamaian (Markus 1:14-15; Lukas 4:18-19) dan dengan pertolongan Roh Kudus sebagai
sumber hikmat dan kebijaksanaan. GMIH sebagai komunitas iman juga merupakan Umat
Allah dan Tubuh Kristus yang kudus dan am yang bersifat multikultural, serta sebagai
komunitas iman diakonal emansipatoris yang saling memberdayakan.23
21
Ada Gereja (‘ekklesia) yang tidak kelihatan dan Gereja yang kelihatan. Yang dimaksudkan dengan Gereja
yang tidak kelihatan ialah persekutuan orang-orang yang benar-benar percaya di segala tempat dan dari
segala waktu, atau sering disebut juga dengan tubuh Kristus (Kol 1:18). Gereja yang kelihatan berarti Gereja
yang secara organisatoris dibentuk untuk menjalankan tugas dan fungsi pelayanannya di dunia ini. Gereja
sebagai lembaga/organisasi merupakan manifestasi dari Gereja yang kudus dan am yang tidak kelihatan itu.
R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), hlm. 30-31. Penjelasan tentang
Gereja sebagai organisasi dapat dilihat dalam Chris Hartono, Peranan Organisasi dalam Gereja, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1978). Bnd. Henry C. Thiessen direvisi oleh Vernon D. Doerksen, Teologi Sistematika,
(Malang: Gandum Mas, 1992), hlm. 473-516. 22
Henri Veldhuis, Kutahu yang Kupercaya; Sebuah Penjelasan Tentang Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2010), hlm 200. 23
“Dokumen Sidang Sinode GMIH ke XXVI”, (Tiga saudara, Ibu Halbar, 2007), hlm. 62.
©UKDW
10
1.2.2. Alasan Pemilihan Judul
Selama ini telah ada beberapa studi tentang sejarah GMIH. Kita dapat menyebutkan di sini,
misalnya: studi yang dilakukan oleh F. L. Wowiling yang berusaha mengungkapkan
perjuangan tokoh-tokoh GMIH pada awal pembentukan GMIH sebagai organisasi mandiri
kurun waktu 1942-1949;24
studi yang dilakukan oleh Pdt. R. Salakparang yang secara khusus
memberi perhatian pada Perkawinan Kafir di Halmahera yang ditulis pada tahun 1972;25
studi yang dilakukan oleh M. Th. Magany yang diberi judul Bahtera Injil di Halmahera
ditulis pada tahun 1984;26
studi yang dilakukan oleh James Haire tentang Sifat dan
Pergumulan Gereja Masehi Injili di Halmahera 1941-1979;27
dan studinya Agustinus N.
Aesh yang diberi judul Sejarah Wawasan Eklesiologis GMIH.28
Studi-studi terbaru periode 2000-2012 yang berkaitan langsung dengan GMIH telah
berhasil dipublikasikan. Dapat disebutkan di sini, misalnya: bukunya Julianus Mojau tentang
Teologi Politik Pemberdayaan (2009);29
Menjadi Buah Bungaran Kebun Anggur Allah:
Pergulatan Eklesiologis GMIH Pasca Gereja-Zending (2010);30
dan Pedoman Liturgi
Gereja Masehi Injili di Halmahera (2010);31
studi yang dilakukan oleh Sefnat A. Hontong
tentang Eksistensi Pusara Dodara: Upaya Hermeneutika Etis-Sosiologis bagi Pembangunan
Budaya Damai di Halmahera;32
dan studi yang dilakukan Fredrik Putjutju yang diberi judul
‘Esa Moi: Teologi Rekonsiliatif di Tengah Kemajemukan Halmahera.33
Termasuk salah satu
manuskrip kontroversial yang ditulis oleh salah seorang warga jemaat mengenai
Transformasi GMIH.34
24
F. L. Wowiling, Gereja Protestan Halmahera. dalam, H. G. Schuurman (ed), Seri Sejarah GMIH, (Tobelo:
STT GMIH, 1995). 25
R. Salakparang, “Perkawinan kafir di Halmahera“, dalam, H. G. Schuurman, Seri Sejarah GMIH, (Tobelo:
STT GMIH, 1995). 26
M. Th. Magany, Bahtera Injil di Halmahera, (Tobelo: GMIH, 1984). 27
James Haire tentang Sifat dan Pergumulan Gereja Masehi Injili di Halmahera 1941-1979, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1998). 28
Agustinus N. Aesh, Sejarah Wawasan Eklesiologis GMIH, dalam H. G. Schuurman, Seri Sejarah GMIH 9,
(Tobelo: STT GMIH, 1995). 29
Julianus Mojau, Teologi Politik Pemberdayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2009). 30
Julianus Mojau, Menjadi Buah Bungaran Kembun Anggur Allah: Pergulatan Eklesiologis GMIH Pasca
Gereja-Zending, (Tobelo: Percis Halmahera, 2010). 31
Julianus Mojau, Pedoman Liturgi Gereja Masehi Injili di Halmahera, (Tobelo, Percis Halmahera, 2010). 32
Sefnat A. Hontong, Eksistensi Pusara Dodara; Upaya Hermeneutika Etis-Sosiologis bagi Pengembangan
Upaya Damai di Halmahera, (Yogyakarta: Kanisius, 2012). 33
Fredrik Putjutju, ‘Esa Moi: Teologi Rekonsiliatif di Tengah Kemajemukan Halmahera, (Yogyakarta: Lintang
Rasi Aksara Books, 2012). 34
Manuskrip kontroversial tersebut ditulis oleh salah seorang Guru Besar (pertanian) yang juga adalah warga
jemaat GMIH. Manuskrip ini kemudian dipresentasikan pada Sidang Majelis Tahunan Sinode yang
diselenggarakan pada awal tahun 2012 di Jemaat Mawea, Wilayah Pelayanan Tobelo Timur. Karena Penulis
manuskrip tersebut mengusulkan agar Hukum Taurat dihilangkan dalam tradisi iman GMIH maka serentak
©UKDW
11
Signifikansi studi ini dalam hubungan dengan studi-studi sebelumnya terletak pada
belum adanya satu studi pun yang berbicara mengenai sejarah GMIH periode 2002-2012 dari
sekian publikasi ilmiah yang disebutkan di atas. Sekalipun demikian, tesis ini hadir bukan
semata-mata mengisi kekosongan itu. Tesis ini hadir sebagai sebuah studi konprehensip dan
meliputi kurun waktu 2002-2012. Memberi fokus pada periode waktu tertentu bukan berarti
tesis ini tidak terkait dengan studi-studi sebelumnya, karena itu, baik studi-studi sejarah
maupun studi-studi seperti disebutkan di atas tetap penting untuk diingat dan tetap perlu
dipelajari serta dimanfaatkan dalam upaya penelusuran sejarah GMIH.
Penulis juga berpendapat bahwa pemilihan topik ini sangat unik dan khas. Unik
karena terjadi di tempat tertentu, di situ dan tidak akan terulang persis seperti pertama kali
terjadi, dan khas dalam konteks Halmahera. Artinya, sejarah GMIH tidak berlangsung di
tempat lain. GMIH hanya ada di Halmahera, dan dalam sejarahnya (2002-2012) mengalami
pergumulan serius ketika diperhadapkan dengan tekanan-tekanan konteks sosial-budaya
Halmahera. Keunikan dan kekhasan objek penelitian inilah yang memungkinkan penulis
memilih topik penelitian sejarah GMIH 2002-2012 dalam konteks sosial-budaya Halmahera.
Akhirnya, penulis menyadari sejak awal bahwa pemilihan topik ini juga sudah
terkandung unsur subyektivitas. Itu tidak apa-apa. Seorang sejarawan sejagonya
Kuntowijoyo juga berpendapat bahwa setiap penelitian dan penulisan sejarah, termasuk
sejarah gereja, sebaiknya dilandaskan pada dua alasan. Pertama, kedekatan emosional dan
kedua kedekatan intelektual.35
Kedekatan emosial dalam tesis ini jelas terkandung dalam diri
penulis, bahwa penulis adalah bagian dari umat/anggota GMIH yang memiliki kedekatan
emosional dengan objek penelitian. Selain yang subyektif itu, GMIH sendiri adalah sebuah
institusi keagamaan. Sebagai sebuah institusi, GMIH dapat diteliti dengan menggunakan
pendekatan sejarah. Dalam pendekatan sejarah, terkandung sejumlah kerangka teori dan
langka-langka metodologis yang harus ditempuh oleh seorang sejarawan, yang dengan
demikian kemungkinan subyektivitas dapat dikurangi dan jika mungkin penelitiannya
diupayakan menjadi obyektif. Tetapi jika seorang sejarawan tidak menghasilkan penelitian
yang benar-benar obyektif, dan ternyata unsur subyektif masih terkandung di dalam yang
obyektif itu, maka itulah yang dinamakan dengan unsur kreativitas sejarawan. 36
mendapat kecaman dari peserta sidang. Manuskrip ini pun dilarang untuk dipublikasikan dan yang telah
beredar ditarik kembali. Lihat. J.L. Nanere, Transformasi GMIH; Gereja Masehi Injili di Halmahera dan
Pulau-Pulau Sekitarnya. 2012. 35
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 1995), hlm. 90-92. 36
C. de. Jonge, Pembimbing ke Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), hlm. 17.
©UKDW
12
I.3. Metodologi37
1.3.1. Metode Penulisan
Dalam tesis ini penulis menggunakan metode penulisan deskriptif-analisis. Penulisan
deskriptif berupaya membentangkan masa lampau tanpa dengan memberikan dimensi
perubahan-perubahan dalam waktu. Fakta-fakta tersusun dalam suatu kesatuan seperti halnya
fakta-fakta geografis dalam peta. Penulisan deskripsi dipergunakan untuk menggambarkan
bentuk-bentuk struktur kelembagaan atau kehidupan umat pada periode waktu tertentu.
Sementara bentuk penulisan analitis lebih banyak dipergunakan oleh para sejarawan
professional. Penulisan analitik lebih diutamakan untuk menampilkan analisis dan solusi
suatu masalah. Struktur penulisan analitik lebih menekankan problem-problem dan bagian-
bagian komponennya, menghadirkan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan oleh sejarawan,
dan menunjukkan melalui argumen-argumen yang rasional. Sejarawan yang bekerja dengan
bentuk analitik perlu memperhatikan masalah-masalah komposisi dan gaya. Integritas
penulisan analitik, urutan argumentasi yang logis, gaya dan elegansi penuturannya akan
mempengaruhi impresinya. Karenanya, akan lebih menarik bagi audiens (pembaca). Lebih
dari itu, sejarawan analitik akan boleh berharap dapat menyentuh emosi dan simpati-simpati
manusiawi dari para audiens serta menumbuhkan suatu apresiasi yang lebih besar terhadap
karyanya.
1.3.2. Metode Penelitian Sejarah
Penelitian ini menggunakaan metodologi penelitian kualitatif. Mengingat studi ini
meliputi kurun waktu yang cukup panjang dan juga beragam peristiwa sejarah yang muncul,
maka diperlukan sebuah cara untuk memperlihatkan sebuah proses yang mencerminkan
pola dasar sejarah GMIH. Sehubungan dengan metodologi, pendekatan yang dipakai di sini
ialah pendekatan sejarah. Pendekatan sejarah yang penulis maksudkan ialah jalan atau cara
yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan
permasalahannya. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk
merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah
(history as written). Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode penelitian itu disebut metode
37
Dalam proses penelitian dan historiografi, penulis menggunakan sumber-sumber karya Kuntowijoyo,
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang1995); Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003); Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008);
Sartono Kartodirdo, Pemikiran Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia,
1982); A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2012); Louis Gosttschalk, Mengerti
Sejarah, (Jakarta: UI Press, 2008); W. K. Storey, Menulis Sejarah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011);
Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011).
©UKDW
13
sejarah.38
Metode sejarah mencakup empat tahap, yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan
historiografi.
I. Tahap heuristik, penulis memfokuskan diri pada pengumpulan sumber-sumber
sejarah. Sumber sejarah dapat berupa sumber lisan atau tulisan. Sumber lisan dapat
dijumpai melalui manusia yang menjadi pelaku atau saksi sejarah. Sementara
sumber tulisan dapat dijumpai di perpustakaan-perpustakaan, arsip, internet, koran,
video, foto dan sebagainya. Dalam pendekatan konvensional pada penulisan sejarah
sering membedakan validitas sumber tertulis dari sumber lisan. Umumnya sumber
tertulis lebih diandalkan atau lebih dipercaya daripada sumber lisan. Meskipun
banyak orang telah mengakui bahwa sumber lisan bermanfaat, terlebih lagi untuk
mengisi space (celah) sejarah disaat bahan tertulis tidak ditemukan. Tahap ini sering
dikenal dengan tahap heuristic (Yunani: eureka, yang berarti ‘untuk menemukan’).
Dalam bahasa Latin, heuristik dinamakan sebagai ars inveniendi (seni mencari) atau
sama artinya dengan istilah arts of invention dalam bahasa Inggris.39
II. Tahap kritik, penulis lebih fokus pada upaya memverifikasi sumber-sumber sejarah
yang telah berhasil dikumpulkan pada tahap heuristik. Dokumen-dokumen; baik
dokumen tertulis, maupun dokumen tidak tertulis sama-sama memiliki tingkat
kebenarannya masing-masing. Hal itu seringkali dibedakan menjadi sumber primer
dan sumber sekunder.40
Hal membedakan sumber primer dan sumber sekunder
menjadi penting untuk selanjutnya peneliti bergerak ke tahap-tahap berikutnya:
kritik (intern dan ekstern), interpretasi, dan historiografi.41
Hal membedakan sumber
yang disebutkan ini erat kaitannya dengan banyaknya sumber sejarah yang tersedia
menyebabkan semakin rumitnya peneliti untuk memverifikasi dokumen-dokumen
yang berhasil dikumpulkannya. Baik dokumen tertulis maupun dokumen tidak
tertulis perlu diverifikasi berdasarkan otentisitas dan kredibilitasnya.42
III. Tahap interpretasi, pada tahap ini penulis lebih memfokuskan diri pada upaya
interpretasi terhadap dokumen-dokumen yang telah diverifikasi. Interpretasi berarti
menafsirkan atau memberi makna kepada fakta-fakta (fact) sejarah. Interpretasi
38
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi Kedua ((Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003); Kuntowijoyo,
Penjelasan Sejarah, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2008); Bdk. C. De Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah
Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011/cet 12); Bdk. John A. Walker, Design History and the History of
Design, (New York: Pluto Press, 1989). p. vii. 39
A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm. 52. 40
W. K. Storey, Design History and the History of Design, (New York: Pluto Press, 2011), hlm. 30-32. 41
Louis Gosttschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 2008), hlm. 43. 42
Verifikasi atau kritik sumber dilakukan dalam dua tahap, pertama kritik eksternal dan kedua kritik internal.
Lihat. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 1995), hlm. 99.
©UKDW
14
diperlukan karena pada dasarnya bukti-bukti sejarah sebagai saksi (witness) realitas
di masa lampau adalah hanya saksi-saksi bisu belaka. Fakta-fakta sejarah dan saksi-
saksi sejarah itu tidak bisa berbicara sendiri mengenai apa yang disaksikannya di
masa lampau. Untuk mengungkapkan makna dan signifikansi dirinya, maka fakta-
fakta sejarah masih harus menyandarkan dirinya pada kekuatan informal dari luar
(extrinsic informative power) ialah peneliti atau sejarawan. Hubungan fakta-fakta
sejarah dengan peneliti sejarawan adalah hubungan asimetrik. Sejarawan berfungsi
sebagai determinan terhadap makna sejarah yang diinterpretasikan dari fakta-fakta
sejarah.
Secara metodologis interpretasi merupakan bagian yang tidak terpisah dari
keseluruhan proses penelitian sejarah (historical research) dan penulisan sejarah
(historical writing). Pada dasarnya proses kerja interpretasi sudah mewarnai pula
tahap heuristik, tahap kritik, dan tetap akan mewarnai tahap-tahap berikutnya, yakni
tahap kerja penulisan sejarah (writing historiography), terutama dalam implementasi
analisis-sintesis, aksentuasi, generalisasi, inferensi dan organisasi penulisannya.
Apabila, permasalahan merupakan pusat dan arah kegiatan penelitian, maka puncak
kerja seluruh aktivitas penelitian sejarah berada pada tahap interpretasi. Kerangka
pemikiran serta studi historiografi dan metodologi pada hakikatnya menjadi sarana
bagi proses interpretasi dalam memecahkan permasalahan melalui memaknai fakta-
fakta sejarah yang telah berhasil dihimpun dalam proses heuristik dan telah
terseleksi dan diuji kebenarannya pada tahap kritik.
IV. Tahap historiografi adalah tahap terakhir dari sebuah penelitian historis. Pada tahap
ini penulis menulis sejarah yang telah berhasil diinterpretasi. Penulisan sejarah
(historiografi) dalam tesis ini menggunakan bentuk penulisan deskriptif-analisis
(lihat penjelasan metode penulisan di atas).
I.5. Sistematika Pembahasan
Bab I : Pendahuluan
Bagian pertama dari tesis ini menguraikan tentang pokok permasalahan yang
mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, dan batasan masalah.
Kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang judul dan alasan pemilihan judul, serta
diikuti dengan penjelasan mengenai metode penulisan dan penelitian, lalu diakhiri
dengan uraian tentang sistematika pembahasan. Sub-subbagian pembahasan ini
terhimpun dalam Bab I sebagai bagian pendahuluan.
©UKDW
15
Bab II : Perjumpaan Injil Dan Budaya Di Halmahera (Sebelum Tahun 2002)
Pada bagian selanjutnya, yaitu Bab II dijelaskan tentang perjumpaan injil dan budaya
di Halmahera sebelum tahun 2002. Pada bagian ini penulis secara khusus
mengidentifikasi konteks budaya Halmahera. Setelah mengetahui konteks
Halmahera, pembahasan dilanjutkan dengan menguraikan kedatangan bangsa
Portugis, Spanyol, VOC, pemerintah Hindia-Belanda, dan lembaga zending (UZV)
yang telah turut mewartakan injil kepada orang-orang Halmahera. Lalu bagian
selanjutnya yang penting ialah GMIH di tengah-tengah budaya Halmahera selama 52
tahun.
Bab III : Pesona Dan Persoalan Injil Dan Budaya Di Halmahera Dalam Sejarah
GMIH 2002-2012
Bagian III secara khusus membahas pesona dan persoalan injil dan budaya
Halmahera periode 2002-2012. Mengingat periode inilah yang menjadi perhatian
utama penulis, maka sikap GMIH terhadap kenyataan budaya yang dijumpai
diselidiki secara mendalam. Tentunya sikap GMIH sebagai institusi itu tidak lepas
dari peran dan fungsi para tokoh dalam proses penentuan sikap GMIH. Karena itu,
beberapa pokok pikiran dan sikap para tokoh dalam lingkungan GMIH diakomodir
dalam tesis ini guna memperlihatkan korelasi-kausal antara pemahaman para tokoh
dan sikap GMIH terhadap budaya lokal. Akhir dari bab ini dijelaskan mengenai
peran dan partisipasi pemerintah Indonesia dalam bentuk regulasi yang terkait
dengan aliran kepercayaan.
Bab IV : Evaluasi dan Refleksi Teologis
Pembahasan pada Bab IV merupakan lanjutan dari bab III. Secara khusus pada Bab
IV dibahas warisan teologi zendeling yang diwarisi GMIH, serta bagaimana GMIH
di tengah-tengah budaya Halmahera merancang bangun ajaran dan teologi khas
Halmahera. Penulis juga mencoba mengemukakan beberapa pokok pikiran terkait
upaya membumikan GMIH di dalam budaya Halmahera sebagai bagian dari tawaran
solusi yang menurut penulis dapat dipertimbangkan kembali oleh tokoh GMIH dalam
upaya merumuskan ajaran dan teologi GMIH yang kontekstual. Akhir dari bab IV
diuraikanlah dua tema refleksi penulis atas hasil penelitian sejarah GMIH di tengah-
tengah budaya Halmahera.
©UKDW
16
Bab V : Kesimpulan
Bab V yang merupakan bab terakhir dari tesis ini menguraikan kesimpulan atas
seluruh isi tesis. Kesimpulan pada bab V berbeda dengan kesimpulan setiap bab (bab
II, III, IV), karena itu bab V sifatnya merangkum setiap pembahasan masing-masing
bab dari tesis ini.
©UKDW