hubungan pola asuh dan gangguan tingkah laku
DESCRIPTION
jiwaTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keluarga merupakan tempat utama dan pertama dimana anak melakukan
sosialisasi terhadap norma-norma hidup masyarakatnya, sehingga bentuk
perilaku anak telah terbentuk dari dalam keluarga. Hal ini merupakan
konsekuensi logis interaksi antara anak dan orangtua. Dalam proses
sosialisasi dan interaksi hubungan antara anak dan orangtua menerapkan cara-
cara yang khas, yang berbeda antara orangtua yang satu dengan orangtua
yang lain.
Akhir-akhir ini sering kita saksikan di televisi berita-berita tindakan
kriminal atau perilaku-perilaku yang menyimpang yang sebagian besar
pelakunya adalah remaja, seperti tawuran antar pelajar, minum-minuman
keras, obat-oabatan terlarang dan pembunuhan yang bermotif dendam atau
cemburu. Bahkan belum lama ini ada berita pembunuhan yang dilakukan oleh
anak usia sekolah dasar terhadap teman sekolahnya. Perilaku ini tidak terlepas
dari pengaruh perkembangan anak sejak dalam kandungan sampai remaja.
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh peran orang tua dalam
mengasuh anak. Pola asuh orangtua sangat berpengaruh terhadap
pembentukan karakter anak. Setiap orangtua biasanya memiliki pola asuh
terhadap anak yang berbeda-beda. Pola asuh anak meliputi interaksi antara
orang tua dan anak dalam pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis. Pola
asuh orangtua dapat membuat anak merasa tidak diperhatikan, dibatasi
kebebasannya, bahkan merasa tidak disayangi oleh orangtuanya. Perasaan
inilah yang banyak mempengaruhi sikap, perasaan dan cara berpikir anak.
Suasana emosional dalam rumah dapat mempengaruhi perkembangan mental
emosional dan perilaku pada anak. Gangguan mental emosional dan perilaku
pada anak merupakan gangguan yang cukup serius karena berdampak
terhadap 2 perkembangan, serta menimbulkan hendaya dan menurunkan
produktivitas serta kualitas hidup mereka.
Pola asuh orang tua akan mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak.
Terdapat tiga tipe pola asuh dibagi bagi menjadi 3 pola asuh orang tua yang
1
dikenal dengan pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh
permisif. Orang tua berinteraksi dengan anaknya lewat salah satu dari empat
cara pola asuh yaitu pola asuh authoritarian, pola asuh authoritative, pola
asuh neglectful, atau pola asuh indulgen. Faktor-faktor Pola Asuh diantaranya
kesamaan dengan disiplin yang digunakan orang tua, penyesuaian dengan
cara yang disetujui kelompok, usia orang tua, pendidikan untuk menjadi
orang tua, jenis kelamin, status sosial ekonomi, konsep mengenai peran orang
dewasa dll.
Gangguan perilaku (behavioral disorder) dikenal dengan istilah-istilah
lain seperti behavioral problems, behavioral disturbances. The American
Psychiatric Association mendefinisikan gangguan perilaku sebagai pola
perilaku yang secara klinis signifikan terjadi pada individu, yang dikaitkan
dengan adanya distres atau kegagalan atau adanya peningkatan resiko
kematian, kesakitan, ketidakmampuan atau hilangnya kebebasan. Biasanya
kondisi ini berpengaruh pada kemampuan individu untuk beradaptasi dengan
berbagai aspek dalam kehidupannya.
Gangguan perilaku didapatkan pada 6-16% anak laki-laki dan 2-9 %
anak perempuan, dibawah usia 18 tahun. Insiden pada usia sekolah adalah
0,9% dan 8,7% pada remaja. Berdasarkan penelitian longitudinal, kurang
lebih 4-75 % di antaranya akan berkembang menjadi Gangguan Kepribadian
Antisosial pada masa dewasa. Beberapa faktor penyebab gangguan perilaku
pada anak diantaranya yaitu gangguan kecemasan dan menarik diri, depresi,
perilaku Agresi dll.
Dari latar belakang yang kami paparkan dan banyak kasus yang
gangguan perilaku dewasa kini, maka kami membahas makalah ini untuk
menjadi fokus para orang tua dalam pengasuhan anak.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pola Asuh
2.1.1 Pengertian pola asuh
Pola asuh orang tua adalah suatu metode disiplin yang diterapkan orang
tua terhadap anaknya (Hurlock, 1998).
Metode disiplin ini meliputi dua konsep yaitu konsep negatif dan konsep
positif. Menurut konsep negatif, disiplin berarti pengendalian dengan kekuasaan.
Ini merupakan suatu bentuk pengekangan melalui cara yang tidak disukai dan
menyakitkan. Sedangkan menurut konsep positif, disiplin berarti pendidikan dan
bimbingan yang lebih menekankan pada disiplin dan pengendalian diri (Hurlock,
1998).
Fungsi pokok dari pola asuh orang tua adalah untuk mengajarkan anak
menerima pengekangan-pengekangan yang diperlukan dan membantu
mengarahkan emosi anak ke dalam jalur yang berguna dan diterima secara sosial
(Hurlock, 1998).
Pola asuh orang tua akan mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak.
Hurlock, mengemukakan tentang 3 pola asuh orang tua yang dikenal dengan pola
asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif. Orang tua berinteraksi
dengan anaknya lewat salah satu dari empat cara pola asuh yaitu pola asuh
authoritarian, pola asuh authoritative, pola asuh neglectful, atau pola asuh
indulge (Dariyo, 2004).
2.1.2 Macam-macam pola asuh
Metode asuh yang digunakan oleh orang tua kepada anak menjadi faktor
utama yang menentukan potensi dan karakter seorang anak. Ada banyak jenis-
jenis pola asuh orang tua yang sering menjadi pedoman bagi siapa saja yang ingin
mencetak generasi paripurna untuk diandalkan bagi kemajuan bangsa ke
depannya. Jenis-jenis pola asuh orang tua ini masing-masing memiliki
karakteristik dan ciri khas yang berbeda sehingga tergantung bagaimana anda
3
mempraktikkannya sebagai teknik dan pedoman untuk merawat anak dengan
pendekatan berbeda pula (Ilahi, 2013).
1. Authotarian atau otoriter
Pola ini menggunakan pendekatan yang memaksakan kehendak
orang tua kepada anak. Anak harus menuntut kepada orang tua.
Keinginan orang tua harus dituruti, anak tidak boleh mengeluarkan
pendapat. Pola asuh ini dapat mengakibatkan anak menjadi penakut,
pencemas, menarik diri dari pergaulan, kurang adaptif, kurang tajam,
kurang tujuan, curiga kepada orang lain, dan mudah stress (Septiari,
2012).
Pola asuh orang tua otoriter atau diktator dimana orang tua
mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap anak melalui perintah yang
tidak boleh dibantah. Mereka menetapkan aturan dan regulasi atau standar
perilaku yang dituntun untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh
dipertanyakan. Mereka menilai dan memberi penghargaan atas kepatuhan
absolut, sikap mematuhi kata-kata mereka, dan menghormati prinsip dan
kepercayaan keluarga tanpa kegagalan. Mereka menghukum secara paksa
setiap perilaku yang berlawanan dengan standar orang tua. Otoritas orang
tua dilakukan dengan penjelasan yang sedikit dan keterlibatan anak yang
sedikit dan keterlibatan anak yang sedikit dalam mengambil keputusan.
Pesannta adalah “Lakukan saja karena saya mengatakan begitu” (Wong,
2008).
Hukuman tidak selaku berupa hukuman fisik tetapi mungkin
berupa penarikan dari rasa cinta dan pengakuan. Latihan yang hati-hati
sering kali mengakibatkan perilaku menurut secara kaku pada anak, yang
cenderung untuk menjadi sensitive, cepat lelah dan tunduk. Mereka
cenderung menjadi sopan, setia, jujur dan dapat diandalkan tetapi mudah
dikontrol. Perilaku-perilaku ini lebih khas terlihat ketika penggunaan
kekuasaan diktator orang tua disertai dengan supervise ketat dan kasih
sayang yang masuk akal. Jika tidak, penggunaan kekuasaan dictator lebih
cenderung untuk dihubungkan dengan menentang dan anti sosial (Wong,
2008).
4
Pola asuh otoriter (Authoriative Parenting) merupakan gaya
pengasuhan, menghukum, memaksa anak mengikuti aturan dan kontrol
yang ketat. Orang tua menuntut anak mengikuti perintah-perintahnya,
sering memukul anak, memaksakan aturan tanpa penjelasan dan
menunjukkan amarah (Soetjiningsih, 2012).
Profil perilaku anak : mudah tersinggung, penakut, pemurung,
tidak bahagia, mudah stress, tidak mempunyai arah masa depan yang
jelas, tidak bersahabat (Yusuf, 2004).
Anak sering murung, sedih, takut, gelisah, mudah marah atau
kesal, licik dan bermusuhan, penarikan diri, rentan terhadap stres (Yusuf,
2004).
2. Permisif atau laissez-faire
Orang tua serba membolehkan anak berbuat apa saja. Orang tua
memiliki kehangatan, dan menerima apa adanya. Kehangatan cenderung
memanjakan, ingin dituruti keinginannnya. Sedangkan menerima apa
adanya cenderung memberikan kebebasan kepada anak untuk berbuat apa
saja. Pola asuh ini dapat menyebabkan anak agresif tidak patuh orang tua,
sok kuasa, kurang mampu mengontrol diri (Septiari, 2012).
Pola asuh yang membiarkan (permissive indulgent) merupakan
gaya pengasuhan yang mana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan
anak tetapi menetapkan sedikit batas, tidak terlalu menuntut, dan tidak
mengontrol mereka. Orang tua membiarkan anak melakukan apa saja
yang mereka inginkan sehingga anak tidak pernah belajar mengendalikan
perilakunya sendiri dan selalu mengharapkan kemauannya dituruti
(Soetjiningsih, 2012).
Pola asuh permisif atau laissez-faire adalah orang tua memiliki
sedikit kontrol atau tidak sama sekali atas tindakan anak-anak mereka.
Orang tua yang bermaksud baik ini kadang-kadang bingung antara sikap
permisif dan pemberian izin. Mereka menghindari untuk memaksakan
standar perilaku mereka dan mengizinkan anak mereka untuk mengatur
aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin. Orang tua ini menganggap
5
diri mereka sendiri sebagai sumber untuk anak, bukan merupakan model
peran (Wong, 2008).
Jika peraturan memang ada, orang tua menjelaskan alasan yang
mendasarinya, mendukung pendapat anak, dan berkonsultasi dengan
mereka dalam proses pembuatan keputusan. Mereka memberlakukan
kebebasan dalam bertindak, disiplin yang inkonsisten, tidak menetapkan
batasan-batasan yang masuk akal, dan tidak mencegah anak yang merusak
rutinitas di rumah. Orang tua jarang menghukum anak, karena sebagian
besar perilaku di anggap dapat di terima. Anak-anak dari orang tua yang
submisis sering kali tidak mematuhi, tidak menghormati, tidak
bertanggung jawab, dan secara umum tidak mematuhi kekuasaan ( Wong,
2008).
Profil perilaku anak : Bersikap impulsive dan agresif, suka
memberontak, kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri,
suka mendominasi, tidak jelas arah hidupnya, prestasinya rendah (Yusuf,
2004).
Cepat marah tetapi cepat untuk memulihkan suasana, sedikit
mandiri, hidup tanpa tujuan, patuh dan mudah marah (Yusuf, 2004).
3. Authoritative atau demokratik
Orang tua sangat memperhatikan kebutuhan anak dan
mencukupinya dengan pertimbangan faktor kepentinngan dan kebutuhan.
Pola asuh ini dapat mengakibatkan anak mandiri, mempunyai kontrol diri,
mempunyai kepercayaan diri yang kuat, dapat berinteraksi dengan teman
sebayanya dengan baik, mampu menghadapi stres, mempunyai minat
terhadap hal-hal yang baru, kooperatif dengan orang dewasa, penurut,
patuh dan berorientasi pada prestasi (Septiari, 2012).
Pola asuh otoritatif atau demokratis adalah gaya pengasuhan yang
mendorong anak untuk mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan
pengendalian atas tindakan anak. Jadi orang tua masih melakukan control
pada anak tetapi tidak terlalu ketat. Umumnya, orang tua bersikap tegas
6
tetapi mau memberikan penjelasan mengenai aturan yang ditetapkan dan
mau bermusyawarah atau berdiskusi (Soetjiningsih, 2012).
Pola asuh authoritative atau demokratik adalah orang tua
mengombinasikan praktik pengasuh anak dari dua gaya yang ekstrem.
Mereka mengarahkan perilaku dan sikap anak dengan menekankan alasan
peraturan dan secara negative menguatkan penyimpangan. Mereka
menghormati individialitas dari setiap anak dan mengizinkan mereka
untuk menyuarakan keberatannya terhadap standar atau peraturan
keluarga. Kontrol orang tua kuat dan konsisten tetapi disertai dengan
dukungan, pengertian, dan keamanan. Kontrol difokuskan pada masalah,
tidak ada penarikan rasa cinta atau takut pada hukuman. Orang tua ini
membantu “pengarahan diri pribadi” suatu kesadaran mengatur perilaku
berdasarkan perasaan bersalah, bukan karena takut tertangkap atau takut
dihukum. Standar realistis orang tua dan harapan yang masuk akal
menghasilkan anak dengan harga diri tinggi, dan sangat interaktif dengan
anak lain (Wong, 2008).
Profil perilaku anak : Bersikap bersahabat, memiliki rasa percaya diri,
mampu mengendalikan diri (self control), bersikap sopan, mau bekerja sama,
meiliki rasa ingin tahunya yang tinggi, mempunyai tujuan/arah hidup yang jelas,
berorintasi terhadap prestasi (Yusuf, 2004).
2.1.3 Faktor-faktor pola asuh
Dalam memberlakukan pola asuh di lingkungan keluarga, orang tua
dipengaruhi oleh beberapa hal. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola
asuh orang tua terhadap anak menurut (Hurlock, 1998) adalah:
a. Kesamaan dengan disiplin yang digunakan orang tua.
Jika orang tua merea memberikan pola asuh yang baik maka akan mereka
tetapkan juga pada anak mereka, namun sebaliknya jika kurang sesuai maka akan
digunakan cara yang berlawanan.
7
b. Penyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok.
Semua orang tua lebih dipengaruhi oleh apa yang oleh anggota kelompok
mereka dianggap sebagai cara “terbaik”, daripada oleh pendirian mereka sendiri
mengenai apa yang terbaik.
c. Usia orang tua.
Orang tua yang lebih muda cenderung demokratis dan permisif
dibandingkan dengan mereka yang tua. Mereka cenderung mengurangi kendali
ketika anak beranjak remaja.
d. Pendidikan untuk menjadi orang tua.
Orang tua yang belajar cara mengasuh anak dan mengerti kebutuhan anak
akan lebih menggunakan pola asuh yang demokratis daripada orang tua yang tidak
mengerti.
e. Jenis kelamin.
Wanita pada umumnya lebih mengerti anak dan kebutuhannya dibanding
pria, dan mereka cenderung kurang otoriter. Hal ini berlaku untuk orang tua
maupun pengasuh lainnya.
f. Status sosial ekonomi.
Orang tua dari kalangan menengah kebawah akan lebih otoriter dan
memaksa daripada mereka yang dari menengah ke atas. Semakin tinggi
pendidikan pola asuh yang digunakan semakin cenderung demokratis.
g. Konsep mengenai peran orang dewasa.
Orang tua yang mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang
tua, cenderung lebih otoriter dibandingkan orang tua yang telah menganut konsep
modern.
h. Jenis kelamin anak
Orang tua pada umumnya akan lebih keras terhadap anak perempuan
daripada terhadap anak laki-lakinya.
i. Usia anak
Pola asuh otoriter digunakan untuk anak kecil, karena anak-anak tidak
mengerti penjelasan sehingga mereka memusatkan perhatian pada pengendalian
otoriter.
8
j. Situasi
Ketakutan dan kecemasan biasanya tidak diganjar hukuman, sedangkan
sikap menantang, negativisme, dan agresi kemungkinan lebih mendorong
pengendalian yang otoriter.
k. Peraturan, tujuannya adalah untuk membekali anak dengan pedoman
perilaku yang disetujui dalam situasi tertentu. Hal ini berfungsi untuk mendidik
anak bersikap lebih bermoral. Karena peraturan memiliki nilai pendidikan mana
yang baik serta mana yang tidak, peraturan juga akan membantu mengekang
perilaku yang tidak diinginkan. Peraturan haruslah mudah dimengerti, diingat dan
dapat diterima oleh anak sesuai dengan fungsi peraturan itu sendiri.
l. Hukuman, yang merupakan sanksi pelanggaran. Hukuman memiliki tiga
peran penting dalam perkembangan moral anak. Pertama, hukuman menghalangi
pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Kedua, hukuman
sebagai pendidikan, karena sebelum anak tahu tentang peraturan mereka dapat
belajar bahwa tindakan mereka benar atau salah, dan tidakan yang salah akan
memperoleh hukuman. Ketiga, hukuman sebagai motivasi untuk menghindari
perilaku yang tidak diterima oleh msayarakat.
m. Penghargaan, bentuk penghargaan yang diberikan tidaklah harus yang
berupa benda atau materi, namun dapat berupa kata-kata, pujian, senyuman,
ciuman. Biasanya hadiah diberikan setelah anak melaksanakan hal yang terpuji.
Fungsi penghargaan meliputi penghargaan mempunyai nilai yang mendidik,
motivasi untuk mengulang perilaku yang disetujui secara sosial serta memperkuat
perilaku yang disetujui secara sosial, dan tiadanya penghargaan melemahkan
keinginan untuk mengulang perilaku itu.
n. Konsistensi, berarti kestabilan atau keseragaman. Sehingga anak tidak
bingung tentang apa yang diharapkan pada mereka. Fungsi konsistensi adalah
mempunyai nilai didik yang besar sehingga dapat memacu proses belajar,
memiliki motivasi yang kuat dan mempertinggi penghargaan terhadap peraturan
dan orang yang berkuasa. Oleh karena itu kita harus konsisten dalam menetapkan
semua aspek disiplin agar nilai yang kita miliki tidak hilang.
9
2.2 Gangguan Perilaku
2.2.1 Pengertian gangguan perilaku
Gangguan perilaku (behavioral disorder) dikenal dengan istilah-istilah lain
seperti behavioral problems, behavioral disturbances, psychological deficits,
emotional disorder, abnormal behavior, metal illnes, psychopathology,
maladaptive behavior, developmental disorders, dan lain-lain. The American
Psychiatric Association (dalam Wicks-Nelson & Israel, 2006) mendefinisikan
gangguan perilaku sebagai pola perilaku yang secara klinis signifikan terjadi pada
individu, yang dikaitkan dengan adanya distres atau kegagalan atau adanya
peningkatan resiko kematian, kesakitan, ketidakmampuan atau hilangnya
kebebasan. Biasanya kondisi ini berpengaruh pada kemampuan individu untuk
beradaptasi dengan berbagai aspek dalam kehidupannya.
Menurut Kearney (2006), gangguan perilaku mengacu pada bentuk dan
fungsi perilaku pada anak yang melibatkan variabel-variabel lain secara
menyeluruh, yaitu veriabel keluarga (konflik dalam keluarga, kekerasan atau
pengabaian, sikap negatif orangtua), pemfungsian anak sehari-hari, maupun
standar perilaku normal.
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa
(PPDGJ)-III, gangguan perilaku pada masa anak dan remaja merupakan suatu
golongan yang disediakan untuk semua gangguan yang terjadi pada masa anak
dan remaja yang bersifat lebih menetap, mendalam dan lebih sukar diatasi
dibandingkan dengan gangguan situasional sementara. Tetapi gangguan ini lebih
ringan dari psikosa, neurosa dan gangguan kepribadian. Keadaan seperti ini
disebabkan karena perilaku pada usia tersebut masih berada dalam keadaan yang
relatif mudah berubah-ubah (Maramis, 1998).
Perkembangan usia anak hingga dewasa dapat diklasifikasikan menjadi empat
yaitu :
a. Anak, seorang yang berusia di bawah 12 tahun
b. Remaja dini, seorang yang berusia12-15 tahun
c. Remaja penuh, seorang yang berusia 15-17 tahun
d. Dewasa muda, seorang yang berusia 17-21 tahun
10
e. Dewasa, seorang berusia di atas 21 tahun
Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Para ahli
sependapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia antara 13 tahun sampai
dengan 18 tahun (Nevid, 2006).
Secara lebih spesifik, gangguan tingkah laku merupakan suatu pola perilaku
yang berulang dan menetap dimana hak dasar orang lain, peraturan atau normal
sosial yang sesuai dengan usianya dilanggar, seperti perkelahian atau pelecehan
yang berlebihan, pencurian, perusakan, kebohongan berulang, yang berlanjut
selama 6 bulan atau lebih. Yang sering ditemukan selama masa anak-anak hingga
remaja (Anonim, 2006).
2.2.2 Epidemiologi
Banyak anak yang mengalami gangguan tingkah laku juga menunjukan
ganguan lain. Ada tingkat komorbiditas yang tinggi antara gangguan tingkah laku
dan ADHD. Sekitar 40% anak-anak dengan ADHD juga mengalami gangguan
tingkah laku. Hal ini terjadi pada anak laki-laki, namun jauh lebih sedikit yang
diketahui mengenai komorbiditas gangguan tingkah laku dan ADHD pada anak
perempuan. Penyalahgunaan zat juga umum terjadi bersamaan dengan gangguan
tingkah laku dimana dua kondisi tersebut saling memperparah satu sama lain
(Nurcombe, 2007).
Gangguan tingkah laku didapatkan pada 6-16% anak laki-laki dan 2-9 %
anak perempuan, dibawah usia 18 tahun. Insiden pada usia sekolah adalah 0,9%
dan 8,7% pada remaja. Berdasarkan penelitian longitudinal, kurang lebih 4-75 %
di antaranya akan berkembang menjadi Gangguan Kepribadian Antisosial pada
masa dewasa (Nurcombe, 2007).
Terdapat bukti bahwa anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah
laku dan komorbid dengan hambatan behavioral memiliki kemungkinan lebih
kecil untuk melakukan kejahatan dibanding mereka yang mengalami ganguan
tingkah laku yang komorbid dengan penarikan diri dari pergaulan sosial. Bukti-
bukti menunjukan bahwa anak-anak perempuan yang mengalami gangguan
11
tingkah laku beresiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan komorbid,
termasuk kecemasaan, depresi. Penyalahgunaan zat, dan ADHD dibandingkan
dengan anak lak-laki yang memiliki gangguan tingkah laku (Nurcombe, 2007).
2.2.3 Faktor-faktor penyebab gangguan perilaku
Ganguan perilaku pada anak dapat dikelompokkan menjadi beberapa
macam, berikut ini (Wick-Nelson & Israel, 2006):
1) Gangguan kecemasan dan menarik diri (Anxietydisorder and Withdrawl )
Ditandai dengan gejala-gejala antara lain adanya rasa takut atau khawatir
dengan alasan yang tidak jelas, rasa tidak nyaman dan tidak aman pada
situasi-situasi tertentu, merasa selalu tegang dan adanya dorongan kuat
untuk menjauhi sumber kecemasan. Disertai dengan adanya perubahan
pada aspek fisiologis, kognitif dan perilaku.
2) Depresi
Merupakan gangguan suasana perasaan yang ditandai dengan munculnya
afek depresif, hilangnya minat dan kegembiraan, menurunnya aktifitas,
gangguan tidur dan pola makan, munculnya ide atau usaha bunuh diri dan
merasa tidak berguna.
3) Perilaku Agresi (Conduct Disorder)
Ditandai dengan adanya perilaku agresif dan antisosial. Biasanya muncul
dalam bentuk perilaku-perilaku berikut : mengintimidasi orang lain,
berkelahi, berbuat kasar, mencuri, merusak, berbohong, membolos dan
kabur dari rumah . perilaku agresi yang dilakukan bisa berbentuk verbal
maupun non verbal.
4) Pelanggaran aturan (Oppositional Deviant Disorders)
Ditandai dengan adanya perilaku menetang dan melanggar aturan.
Biasanya muncul dalam bentuk perilaku menolak mengikuti aturan dan
atoritas dari dewasa seperti orang tua, guru, atau orang dewasa lainnya.
Para ahli perkembangan anak mengelompokan gangguan-gangguan
tersebut menjadi dua, yaitu gangguan perilaku internal atau eksternal. Perilaku
internal adalah perilaku yang lebih mengarah pada diri sendiri dan perilaku
12
eksterna adalah perilaku yang terekspresikan keluar dan mengarah pada orang
lain. Gangguan kecemasan, menarik diri, dan depresi dikelompokkan kedalam
gangguan perilaku internal, sedangkan perilaku agresi dan melanggar aturan
dikelompokkan kedalam gangguan perilaku eksternal.
2.2.4 Penanganan Gangguan Perilaku
Hal penting bagi keberhasilan dalam penanganan adalah upaya
mempengaruhi banyak sistem dalam kehidupan seorang remaja (keluarga, teman-
teman sebaya, sekolah, lingkungan tempat tinggal). Salah satu masalah yang
dihadapi masyarakat adalah bagaimana menghadapi orang-orang yang nurani
sosialnya tampak kurang berkembang (Nevid, 2006).
1. Intervensi keluarga, beberapa pendekatan yang paling menjanjikan untuk
menangani gangguan perilaku mencakup intervensi bagi orang tua atau
keluarga dari si anak antisosial. Gerald Patterson dan kolegannya
mengembangkan dan menguji sebuah program behavioral, yaitu Pelatihan
Manajemen Pola Ash (PMP), dimana orang tua diajari untuk mengubah
berbagai respon untuk anak-anak mereka sehingga perilaku proposial dan
bukannya perilaku antisosial yang dihargai secara konsisten.
2. Penanganan Multisistemik (PMS). Intervensi ini memandang masalah
tingkah laku sebagai suatu hal yang dipengaruhi oleh berbagai konteks
dalam keluarga dan antara keluarga dan berbagai sistem sosial lainnya.
Teknik yang dipergunakan bervariasi meliputi Cognitive Behavioural
Therapy (CBT), home-based interventions/sistem keluarga, classroom-
based behavior modifications dan manajemen kasus (Nevid, 2006)
3. Pendekatan kognitif, terapi dengan intervensi bagi orang tua dan keluarga
merupakan komponen keberhasilan yang penting, tetapi penanganan
semacam itu banyak memakan biaya dan waktu. Oleh karena itu,
penanganan dengan terapi kognitif individual bagi anak-anak yang
mengalami gangguan tingkah laku dapat memperbaiki tingkah laku
mereka, meski tanpa melibatkan keluarga. Contoh: mengajarkan
keterampilan kognitif pada anak-anak untuk mengendalikan kemarahan
13
mereka menunjukan manfaat yang nyata dalam membantu mereka
mengurangi perilaku agresif (Nevid, 2006).
4. Pengobatan berbasis rumah sakit dan rehabilitasi
Unit khusus untuk mengobati anak-anak dan remaja, terdapat di rumah
sakit jiwa. Pengobatan di unit-unit ini biasanya diberikan untuk klien
yang tidak sembuh dengan metode alternatif yang kurang restriktif, atau
bagi klien yang beresiko tinggi melakukan kekerasan terhadap dirinya
sendiri ataupun orang lain (Nevid, 2006).
Farmakoterapi
Gangguan perilaku dahulu dianggap resisten terhadap terapi farmakologi.
Saat ini, tiga penelitian telah selesai dilaksanakan. Satu menunjukan efektivitas
penggunaan methylphenidate dalam menurunkan tingkat perlawanan,
pembangkangan, agresi dan perubahan mood ada pasien dengan usia 5-8 tahun
yang didiagnosis dengan gangguan tingkah laku, dengan atau tanpa ADHD.
Penelitian lainnya menunjukan efektivitas dari divalproat dalam menurunkan
kemarahan dan agresivitas pada usia remaja. Divalproat secara khusus efektif
pada agresivitas yang dipicu oleh stres post traumatik. Penelitian ketiga
menunjukan efektifitas dari lithium dalam menurunkan agresivitas pada pasien
usia remaja dengan gangguan tingkah laku (Nurcombe, 2007).
14
2.3 Hubungan pola asuh dan gangguan perilaku
Parenting Style Sikap atau perilaku orang tua Profil perilaku anak
1. Authoritarian 1. Sikap “acceptance” rendah, namun kontrolnya tinggi
2. Suka menghukum secara fisik.
3. Bersikap mengomando (mengharuskan/memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi)
4. Bersikap kaku (keras)5. Cenderung emosional dan
bersikap menolak
1. Mudah tersinggung2. Penakut3. Pemurung, tidak
bahagia4. Mudah terpengaruh5. Mudah stress6. Tidak mempunyai
arah masa depan yang jelas
7. Tidak bersahabat
2. Permissive 1. Sikap “acceptancenya” tinggi namun kontrolnya rendah
2. Memberikan kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan/keinginannya
1. Bersikap impulsive dan agresif
2. Suka memberontak3. Kurang memiliki rasa
percaya diri dan pengendalian diri
4. Suka mendominasi5. Tidak jelas arah
hidupnya6. Presentasinya rendah
3. Authoritative 1. Sikap “acceptance” dan kontrolnya tinggi
2. Bersikap responsive terhadap kebutuhan anak
3. Mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan
4. Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk
1. Bersikap bersahabat2. Memiliki rasa percaya
diri 3. Mampu
mengendalikan diri (self control)
4. Bersikap sopan5. Mau bekerja sama6. Memiliki rasa ingin
tahunya yang tinggi7. Mempunyai
tujuan/arah hidup yang jelas
8. Berorientasi terhadap prestasi (yusuf, 2004)
15
BAB 3
KESIMPULAN
Gangguan tingkah laku merupakan suatu pola perilaku yang berulang dan
menetap dimana hak dasar orang lain, peraturan atau norma sosial yang sesuai
dengan usianya dilanggar, seperti perkelahian atau pelecehan yang berlebihan,
pencurian, perusakan, kebohongan berulang, yang berlanjut selam 6 bulan atau
lebih, yang sering ditemukan selama masa anak-anak hingga remaja.
16
Gangguan tingkah laku dapat disebabkan oleh berbagai etiologi dan faktor
resiko, antara lain faktor biologis, faktor psikologis, pengaruh lingkungan yang
mencakup orang tua, saudara-saudara, dan teman-teman seusia, serta faktor
sosiologis seperti tingkat pendidikan dan keadaan sosioekonomi keluarga.
Tidak terlepas fungsi pokok dari pola asuh orang tua adalah untuk
mengajarkan anak menerima pengekangan-pengekangan yang diperlukan dan
membantu mengarahkan emosi anak ke dalam jalur yang berguna dan diterima
secara sosial.
Pola asuh orang tua akan mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak
yang diyakini jika orang tua berinteraksi dengan anaknya lewat salah satu dari
empat cara pola asuh yaitu pola asuh authoritarian, pola asuh authoritative, pola
asuh neglectful, atau pola asuh indulgen dapat membentuk kepribadian dan
perilaku anak sehingga dapat memperkecil peluang untuk terjadinya gangguan
tingkah laku pada anak.
Penanganan gangguan tingkah laku meliputi intervensi keluarga,
penanganan multi-sistem yang meliputi Cognitive Behavioural Therapy (CBT),
home based interventions/sistem keluarga, classroom based behaviour
modifications, dan manajemen kasus serta pendekatan kognitif, pada beberapa
kasus dibutuhkan penanganan lebih jauh melalui unit khusus untuk mengobati
ank-anak dan remaja yang terdapat di rumah sakit jiwa. Pengobatan di unit-unit
biasanya diberikan untuk klien yang tidak sembuh dengan metode alternatif yang
kurang restriktif, atau bagi klien yang beresiko tinggi melakukan kekerasan
terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain. Farmakoterapi jarang digunakan
untuk penanganan gangguan tingkah laku, namun beberapa penelitian
menunjukan efektivitas penggunaan methylphenidate dalam menurunkan tingkat
perlawanan, pembangkangan, agresi dan perubahan mood pada pasien dengan
usia 5-8 tahun yang didiagnosis dengan gangguan tingkah laku, dengan atau tanpa
ADHD. Penelitian lainnya menunjukan efektivitas dari divalproat dalam
menurunkan kemarahan dan agresivitas pada usia remaja. Divalproat secara
khusus efektif pada agresivitas yang dipicu oleh stres post traumatik. Penelitian
ketiga menunjukan efektifitas dari lithium dalam menurunkan agresivitas pada
pasien usia remaja dengan gangguan tingkah laku.
17
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Childhood disorders : attention-deficit and disruptive behaviour disorders. In : First MB, Tasman A,eds. Clinical guide to the diagnosis and treatment of mental disorder.England : John Wiley & Sons Ltd. p. 321-6.
Casmini. 2012. Emotional Parenting. Yogyakarta : Pilar Media.
Dariyo, Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia.
Gunarsa, Singgih D. 2008. Psikologi Anak dan Remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Hurlock, E.B. 1998. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
18
Ilahi, Takdir M. 2013. Quantum Parenting. Jakarta : Ar-Ruzz Media.
John W, Santrock. 2002. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Kearney, C. A. 2006. Casebook in Child Behavior Disorders : Gajah Mada. University Press.
Maramis, WF. 1998. Gangguan perilaku anak. Dalam : Catatan ilmu kedokteran jiwa. Cetakan ketujuh. Surabaya : Airlangga University Press. h. 516-528.
Nevid, Jeffrey S, dkk. 2006. Psikologi abnormal. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Nurcombe B, Baumgaertel A, Wolraich ML. 2007. Disorders usually presenting in middle childhood (6-11 years) or adolescence (12-18 years). In : Ebert MH, Loosen PT, Nucombe B, eds. Current diagnosis and treatment in psychiatry. USA : McGraw Hill’s Company.
Septiari, B. 2012. Mencetak Balita Cerdas dan Pola Asuh Orang Tua. Yogyakarta : Nuha Medika.
Soetjiningsih, Christiana Hari. 2012. Perkembangan Anak. Jakarta: Prenada Media Group.
Yusuf, S. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Wicks-Nelson, R, Israel. 2006. Behavior Disorders of Childhood. New Jersey. Prentice Hall.
Wong, Donna L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Edisi 6. Jakarta : EGC.
19