hubungan locus of contol, gaya kepemimpina, dan rekan kerja terhadap komitmen kerja - bab 2
TRANSCRIPT
6
BAB II
Karangan Teori dan Konsep
A. Komitmen Kerja
1. Pengertian Komitmen Kerja
Komitmen organisasi lebih dikenal sebagai pendekatan sikap terhadap
organisasi. Komitmen organisasi sebagai suatu sikap yang didefinisikan sebagai
kekuatan relatif suatu identifikasi dan keterlibatan individu terhadap organisasi
tertentu (Mowday, dkk. 1982).
Steers (1988), mengatakan komitmen organisasi menjelaskan kekuatan
relatif dari sebuah identifikasi individu dengan keterlibatan dalam sebuah
organisasi. Komitmen menghadirkan sesuatu diluar loyalitas belaka terhadap
suatu organisasi. disamping itu, hal ini meliputi suatu hubungan yang aktif dengan
organisasi dimana individu bersedia untuk memberikan sesuatu dari diri mereka
untuk membantu keberhasilan dan kemakmuran organisasi.
Komitmen kerja adalah kesanggupan anggota organisasi dalam
memelihara sebuah nilai dalam upaya pencapaian tujuan organisasi bersama
(Hasibuan, 2005). Muthuveloo dan Rose (2005), menyataan bahwa komitmen
kerja bukan mengacu kepada organisasi maupun kepada karier seseorang, tetapi
kepada pekerjaan itu sendiri.
Robbins dan Judge (2008), memberikan definisi bahwa ”Komitmen kerja
adalah suatu keadaan di mana seorang karyawan memihak organisasi tertentu
serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam
7
organisasi tersebut.” terwujudnya situasi yang kondusif manakala karyawan dan
organisasi memiliki sinergi yang sama dalam orientasi pencapaian tujuan,
berusaha keras mencapai target yang ditentukan adalah suatu kemestian ketika
seorang karyawan memihak pada organisasi.
Sopiah (2008), berpendapat bahwa komitmen karyawan merupakan
kondisi di mana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran
organisasinya. Komitmen karyawan lebih dari sekedar keanggotaan formal,
karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan
tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan.
Mathis dan Jackson (2008), mendefinisikan komitmen kerja sebagai
derajat dimana karyawan percaya dan mau menerima tujuan-tujuan organisasi dan
akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasinya.
Menurut Mowday (dalam Sopiah, 2008), komitmen organisasi merupakan
dimensi perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan
karyawan untuk bertahan sebagai anggota organisasi. Komitmen organisasi
merupakan identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap
organisasi. Komitmen organisasional adalah keinginan angota organisasi untuk
tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi dan bersedia berusaha
keras bagi pencapaian tujuan organisasi.
Berdasarkan pengertian komitmen kerja menurut beberapa para ahli di atas
dapat disimpulkan bahwa, komitmen kerja adalah kesedian suatu anggota yang
bersifat aktif serta mempunyai sikap loyalitas dan dapat menggerahkan pikirian
8
maupun tenaga untuk mencapai sebuah tujuan sama dalam organisasi tempat
bekerjanya.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Kerja
Komitmen karyawan terhadap organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi
melalui proses yang cukup panjang dan bertahap. Komitmen karyawan pada
organisasi juga ditentukan oleh sejumlah faktor. Menurut Steven L. McShane dan
Mary Ann Von Glinow (2000), merinci ada lima faktor yang mempengaruhi
komitmen karyawan, antara lain:
a. Keadilan dan kepuasan kerja
Hal yang paling mempengaruhi loyalitas karyawan adalah pengalaman
kerja yang positif dan adil. Komitmen organisasi tampaknya sulit dicapai
ketika karyawan menghadapi beban kerja yang meningkat di perusahaan
tetapi profit yang didapatkan oleh perusahaan hanya dinikmati oleh
manajer tingkat atas. Oleh karena itu, perusahaan dapat membangun
komitmen organisasi dengan berbagi keuntungan yang diperoleh
perusahaan kepada karyawan.
b. Keamanan kerja
Karyawan membutuhkan hubungan kerja yang saling timbal balik dengan
perusahaan. Keamanan kerja harus diperhatikan untuk memelihara
hubungan dimana karyawan percaya usaha mereka akan dihargai. Di sisi
lain, ketidakamanan kerja mengakibatkan hubungan kontrak yang lebih
formal tetapi dengan hubungan timbal balik yang rendah. Tidak
mengherankan jika ancama PHK adalah salah satu pukulan terbesar bagi
9
loyalitas karyawan, bahkan diantara mereka yang perkerjaannya tidak
beresiko.
c. Pemahaman organisasi
Affective commitment adalah identifikasi secara perorangan terhadap
organisasi, jadi masuk akal jika sikap ini akan menguat ketika karyawan
memiliki pemahaman yang kuat tentang perusahaan. Karyawan secara
rutin harus diberikan informasi mengenai kegiatan perusahaan dan
pengalaman pribadi dari bagian lain. Seorang eksekutif dari American
Fence Corp. memperingatkan, “Ketika orang-orang tidak mengetahui apa
yang terjadi di organisasinya, mereka akan merasa tidak nyambung.”
d. Keterlibatan karyawan
Karyawan merasa menjadi bagian dari organisasi ketika mereka
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut masa
depan perusahaan. Melalui partisipasi ini, karyawan mulai melihat
perusahaan sebagai refleksi dari keputusan mereka. Keterlibatan karyawan
juga membangun loyalitas karena dengan melibatkan karyawan dalam
pengambilan keputusan berarti perusahaan mempercayai karyawannya
e. Kepercayaan karyawan
Kepercayaan berarti yakin pada seseorang atau kelompok. Kepecayaan
juga merupakan sebuah aktivitas timbal balik. Untuk memperoleh
kepercayaan, kamu harus menunjukkan kepercayaan. Kepercayaan penting
untuk komitmen organisasi karena menyentuh jantung dari hubungan
10
kerja. Karyawan merasa wajib bekerja untuk perusahaan hanya ketika
mereka mempercayai pemimpin mereka.
Berdasarkan uraian tersebut dari para ahli diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa komitmen kerja itu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, faktor keadilan
dan kepuasan kerja, keamanan kerja, pemahaman organisasi, keterlibatan
karyawan, dan kepercayaan karyawan.
3. Aspek Komitmen Kerja
Menurut Meyer, dkk dalam (Jerald Greenberg dan Robert A. Baron 2008),
ada tiga aspek dalam komitmen kerja yaitu :
a. Komitmen afektif, komitmen ini mengacu pada hubungan emosional
anggota terhadap organisasi. Orang-orang ingin terus bekerja untuk
organisasi tersebut karena mereka sependapat dengan tujuan dan nilai
dalam organisasi tersebut. Orang-orang dengan tingkat komitmen afektif
yang tinggi memiliki keinginan untuk tetap berada di organisasi karena
merekamendukung tujuan dari organisasi tersebut dan bersedia membantu
untuk mencapai tujuan tersebut.
b. Komitmen berkelanjutan, komitmen ini mengacu pada keinginan
karyawan untuk tetap tinggal di organisasi tersebut karena adanya
perhitungan atau analisis tentang untung dan rugi dimana nilai ekonomi
yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi dibandingkan dengan
meninggalkan organisasi tersebut. Semakin lama karyawan tinggal dengan
organisasi mereka, semakin mereka takut kehilangan apa yang telah
mereka investasikan di dalam organisasi selama ini.
11
c. Komitmen normatif, komitmen ini mengacu pada perasaan karyawan
dimana mereka diwajibkan untuk tetap berada di organisasinya karena
adanya tekanan dari yang lain. Karyawan yang memiliki tingkat komitmen
normatif yang tinggi akan sangat memperhatikan apa yang dikatakan
orang lain tentang mereka jika mereka meninggalkan organisasi tersebut.
Mereka tidak ingin mengecewakan atasan mereka dan khawatir jika rekan
kerja mereka berpikir buruk terhadap mereka karena pengunduran diri
tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, dalam penelitian kali ini peneliti menggunakan
teori yang dikemukakan oleh Meyer, Allen dan Smith, yaitu dengan memasukan
komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, dan komitmen normatif sebagai dasar
aspek untuk mengukur komitmen kerja seorang karyawan dalam sebuah
perusahaan.
B. Locus Of Control
1. Pengertian Locus of Control
Locus of Control atau lokus pengendalian yang merupakan kendali
individu atas pekerjaan mereka dan kepercayaan mereka terhadap keberhasilan
diri. Lokus pengendalian ini terbagi menjadi dua yaitu lokus pengendalian internal
yang mencirikan seseorang memiliki keyakinan bahwa mereka bertanggung jawab
atas perilaku kerja mereka di organisasi.
Rotteer (1996), menyatakan bahwa locus of control sebagai tindakan
dimana individu menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya dengan
12
tindakan atau kekuatan di luar kendalinya. Locus of control merupakan salah satu
variabel kepribadian (personility), yang didefinisikan sebagai keyakinan individu
terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib (destiny) sendiri (Kreitner dan
Kinicki, 2005).
Robbins dan Judge (2007), mendefinisikan locus of control sebagai tingkat
dimana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri.
Internal adalah individu yang yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali
atas apa-apa pun yang terjadi pada diri mereka, sedangkan eksternal adalah
individu yang yakin bahwa apapun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan
oleh kekuatan luar seperti keberuntungan dan kesempatan.
Locus of control menurut Dayakisni & Yuniardi (2008), adalah
kondisi bagaimana individu memandang perilaku diri mereka sebagai
hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungannya. Menurut Hiriyappa
(2009), locus of control mengacu pada keyakinan seseorang bahwa apa yang
terjadi adalah karena kendali dirinya yaitu internal atau diluar kendali dirinya
yaitu eksternal.
Locus of control menurut Hanurawan (2010), adalah kecendrungan
orang untuk mencari sebab suatu peristiwa pada arah tertentu. Dapat
dikategorikan kedalam locus of control internal dan eksternal. Menurut Ghufron
& Risnawita (2011), locus of control adalah gambaran pada keyakinan seseorang
mengenai sumber penentu perilakunya. Locus of control merupakan salah satu
faktor yang sangat menentukan perilaku individu.
13
Berdasarkan pandangan para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa
locus of control merupakan suatu konsep yang menunjukkan sebuah keyakinan
dari seorang individu mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
kehidupannya serta mengarahkan perilaku individu dalam lingkungan sekitar.
2. Faktor yang Mempengaruhi Locus of Control
Menurut Winner (1974), Faktor yang mempengaruhi locus of control
dibagi menjadi tiga faktor, antara lain:
a. Faktor keluarga: Lingkungan keluarga merupakan tempat seorang
individu tumbuh dapat memberikan pengaruh terhadap locus of control
yang dimilikinya. Orangtua yang mendidik anak, pada kenyataannya
mewakili nilai-nilai dan sikap atas kelas sosial mereka. Kelas sosial yang
disebutkan di sini tidak hanya mengenai status ekonomi, tetapi juga
memiliki arti yang luas, termasuk tingkat pendidikan, kebiasaan,
pendapatan dan gaya hidup. Individu dalam kelas sosial ekonomi tertentu
mewakili bagian dari sebuah sistem nilai yang mencakup gaya
membesarkan anak, yang mengarah pada pembangunan karakter
kepribadian yang berbeda. Dalam lingkungan otokratis di mana perilaku
dibawah kontrol yang ketat, anak-anak tumbuh sebagai pemalu, suka
bergantung. (locus of control eksternal). Di sisi lain, ia mengamati bahwa
anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang demokratis,
mengembangkan rasa individualisme yang kuat menjadi mandiri,
dominan, memiliki keterampilan interaksi sosial, percaya diri, dan rasa
ingin tahu yang besar (locus of control internal).
14
b. Faktor motivasi: Kepuasan kerja, harga diri, peningkatan kualitas hidup
(motivasi internal) dan pekerjaan yang lebih baik, promosi jabatan, gaji
yang lebih tinggi (motivasi eksternal) dapat mempengaruhi locus of
control seseorang. Reward dan punishment (motivasi eksternal) juga
berpengaruh terhadap locus of control.
c. Faktor pelatihan: Program pelatihan telah terbukti efektif mempengaruhi
locus of control individu sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan
peserta pelatihan dalam mengatasi hal-hal yang memberikan efek buruk.
Pelatihan adalah sebuah pendekatan terapi untuk mengembalikan kendali
atas hasil yang ingin diperoleh. Pelatihan diketahui dapat mendorong locus
of control internal yang lebih tinggi, meningkatkan prestasi dan
meningkatkan keputusan karir.
Berdasarkan dari pemikiran para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa,
faktor yang mempengaruhi locus of control diantaranya adalah sebagai berikut;
(1) faktor keluarga yang berada di lingkungan, (2) faktor motivasi yang saling
berhubungan dengan kepuasan kerja, harga diri, peningkatan kepuasan hidup, dan
(3) faktor pelatihan.
3. Aspek-aspek Locus of Control
Menurut Robbins (2007), locus of control memiliki dua aspek, yaitu aspek
internal dan aspek eksternal. Tidak hanya Robbins para ahli yang lain berpendapat
demikian.
Aspek internal menurut Robbins (2007), dari locus of control internal
adalah individu yang percaya bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas
15
apa pun yang terjadi pada diri mereka. Individu dengan locus of control internal
mempunyai persepsi bahwa lingkungan dapat dikontrol oleh dirinya sehingga
mampu melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan keinginannya. Faktor
internal individu yang di dalamnya mencakup kemampuan kerja, kepribadian,
tindakan kerja yang berhubungan dengan keberhasilan bekerja, kepercayaan diri
dan kegagalan kerja individu bukan disebabkan karena hubungan dengan mitra
kerja.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2009), individu yang memiliki
kecendrungan locus of control internal adalah individu yang memiliki keyakinan
untuk dapat mengendalikan segala peristiwa dan konsekuensi yang memberikan
dampak pada hidup mereka. Contohnya seorang mahasiswa memiliki IPK yang
tinggi dikarenakan keyakinan atas kemampuan dirinya dalam menjawab soal-soal
ujian yang diberikan.
Menurut Hanurawan (2010), orang dengan locus of control internal sangat
sesuai untuk menduduki jabatan yang membutuhkan inisiatif, inovasi, dan
perilaku yang dimulai oleh diri sendiri seperti peneliti, manajer atau perencana.
Aspek eksternal menurut Robbins (2007), yaitu, individu yang
berkeyakinan bahwa apa pun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan oleh
kekuatan luar seperti keberuntungan atau kesempatan, dikatakan sebagai individu
yang memiliki locus of control eksternal. Individu dengan locus of control
eksternal tinggi cenderung akan pasrah terhadap apa yang menimpa dirinya tanpa
usaha untuk melakukan perubahan, sehingga cenderung untuk menyukai perilaku
penyesuaian diri terhadap lingkungan agar tetap bertahan dalam situasi yang ada.
16
Faktor eksternal individu yang didalamnya mencakup nasib, keberuntungan,
kekuasaan atasan dan lingkungan kerja.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2009), individu yang memiliki
kecendrungan locus of control eksternal adalah individu yang memiliki
keyakinan bahwa kinerja adalah hasil dari peristiwa di luar kendali langsung
mereka. Contohnya seorang pekerja mampu melewati tes tertulis dikarenakan
keyakinannya akan hal yang bersifat eksternal misalnya soal tes yang mudah atau
sedang bernasib baik.
Menurut Hanurawan (2010), orang dengan locus of control eksternal
sangat sesuai dengan jabatan-jabatan yang membutuhkan pengarahan dari orang
lain, seperti karyawan dan mekanik kelas bawah.
Pendapat dari beberapa ahli tersebut dapat diuraikan, bahwa aspek locus of
control terdiri dari dua aspek yaitu, aspek internal dan aspek eksternal. Aspek
internal locus of control mengacu pada hubungan dengan individu yang
memegang kendali atas apa yang terjadi pada diri mereka sendiri. Aspek eksternal
locus of control saling berhubungan dengan bahwa sesuatu yang terjadi pada diri
mereka sendiri disebabkan oleh adanya pengaruh luar seperti keberuntungan,
lingkungan, dan kesempatan.
C. Gaya Kepemimpinan
1. Pengertian Gaya Kepemimpinan
Menurut Thoha (2003), gaya kepemimpinan merupakan suatu perilaku
yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi
17
perilaku orang lain seperti yang ia lihat. Gaya kepemimpinan itu terdiri dari suatu
kombinasi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Perilaku tugas yang
dimaksudkan sebagai kadar upaya pemimpin mengorganisasikan dan menetapkan
peranan dari anggota kelompok (pengikut) (Hersey dan Blanchard, 2004).
Menurut Yuki (2005), kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi
orang lain, untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan
bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi
upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Robbins (2006), kepemimpinan merupakan sebuah kemampuan
untuk mempengaruhi kelompok menuju sebuah pencapaian sasaran.Gaya
kepemimpinan menurut Tampubolon (2007), adalah perilaku dan strategi, sebagai
hasil kombinasi dari falsafah, ketrampilan, sifat, sikap, yang sering diterapkan
seorang pemimpin ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya.
Dari beberapa definisi para ahli diatas dapat disimpulkan, bahwa gaya
kepemimpinan adalah sebuah cara, teknik, kemampuan seseorang untuk dapat
mempengaruhi dan mengarahkan orang lain untuk mau bekerja sama dalam
melakukan pekerjaan demi tercapainya sebuah tujuan yang ingin dicapai.
2. Faktor yang Mempengaruhi Gaya Kepemimpinan
Suwatno (2001), mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kepemimpinan adalah sebagai berikut :
a. Faktor genetis adalah faktor yang menampilkan pandangan bahwa
seseorang menjadi pemimpin karena latar belakang keturunannya.
18
b. Faktor sosial faktor ini pada hakikatnya semua orang sama dan bisa
menjadi pemimpin. Setiap orang memiliki kemungkinan untuk menjadi
seorang pemimpin, dan tersalur sesuai lingkungannya.
c. Faktor bakat, faktor yang berpandangan bahwa seseorang hanya akan
berhasil menjadi seorang pemimpin yang baik, apabila orang itu memang
dari sejak kecil sudah membawa bakat kepemimpinan.
Faktor yang mempengaruhi kepemimpinan menurut para ahli diatas dapat
disimpulkan yaitu, adanya pewarisan sifat yang diturunkan oleh genetik, mampu
untuk berkomunikasi serta memiliki kontribusi sosial di masyarakat, dan bakat
yang selalu di pupuk sejak kecil yang membuat semuanya akan saling berkaitan.
3. Aspek-aspek Gaya Kepemimpinan
Menurut Tjutju Yuniarsih dan Suwatno (2008), menyatakan bahwa
persyaratan utama menjadi pemimpin dapat dilihat dari dua aspek pokok, yaitu:
a. Dari Aspek Kepribadian (Personality)
Untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya dituntut
persyaratan kepribadian yang mantap dan menunjukkan moralitas yang
baik. Secara rinci dapat disebutkan bahwa pribadi seorang pemimpin harus
menampilkan sifat-sifat sebagai berikut:
1) Bertakwa dan tawakal kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2) Memiliki loyalitas dan dedikasi tinggi;
3) Tegas dan komitmen terhadap organisasi;
4) Bersikap rendah hati (tawadhu), sederhana, dan suka menolong;
5) Sabar, pemaaf, dan memiliki kestabilan emosi;
19
6) Berani mengambil keputusan yang tepat dengan cara tepat;
7) Berani bertanggung jawab secara arif, jujur, dan adil;
8) Berani menghadapi resiko dari keputusannya;
9) Berani memberi kepercayaan dan dapat dipercaya;
10) Berani menghargai prestasi orang lain dan memperbaiki kelemahan
diri sendiri;
11) Berani memprediksi masa depan (visioner)
12) Berani menjadi agent of change, innovator, dan brain power.
b. Dari Aspek Kemampuan (Skills)
1. Keterampilan Manajerial (Managerial skill)
Pemimpin harus menguasai cara-cara memimpin, memiliki keterampilan
memimpin supaya dapat bertindak sebagai seorang pemimpin yang baik.
Untuk itu ia harus menguasai bagaimana caranya: menyusun rencana
bersama, mengajak anggota berpartisipasi, memberi bantuan kepada
anggota kelompok, memupuk moral kelompok, menghindari "working on
the group", dan "working for the group" dan mengembangkan " w ork ing
w it h in t he g roup" , membagi dan menyerahkan tanggungjawab dan
sebagainya. Untuk memperoleh keterampilan ini perlu pengalaman dan
pelatihan yang memadai.
2. Keterampilan Konsep (Conceptual Skill)
Kemampuan di dalam melihat sesuatu secara keseluruhan yang kemudian
merumuskannya, seperti dalam mengambil keputusan, menentukan
kebijakan dan lain-lain. Dalam hubungan ini perlu ditekankan bahwa
20
seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak melaksanakan
sendiri tindakan-tindakan yang bersifat operasional, lebih banyak
merumuskan konsep-konsep.
3. Keterampilan Hubungan Insani (Human Relations Skill)
Kemampuan melakukan hubungan kemanusiaan dengan bawahan. Bekerja
sama menciptakan iklim kerja yang menyenangkan dan kooperatif.
Terjalin hubungan baik sehingga bawahan merasa aman dan nyaman
dalam menjalankan tugasnya. Ada dua macam hubungan yang biasa kita
hadapi dalam kehidupan sehari-hari: (1) hubungan fungsional atau
hubungan formal, yaitu hubungan karena tugas resmi atau pekerjaan resmi
dan (2) hubungan pribadi atau hubungan informal ialah hubungan yang
tidak didasarkan atas tugas resmi atau pekerjaan, tetapi lebih bersifat
kekeluargaan.
Seorang pemimpin harus terampil dalam melaksanakan hubungan-
hubungan tersebut, jangan sampai mencampuradukan keduanya.
4. Keterampilan Teknis (Technical Skill).
Kemampuan menerapkan ilmunya dalam pelaksanaan (operasional).
Dalam rangka mendayagunakan sumber-sumber daya yang ada.
Melaksanakan tindakan operasional. Memikirkan pemecahan masalah-
masalah praktis. Makin tinggi tingkatan manajer, secara relatif technical
skills makin kurang urgensinya.
21
5. Keterampilan dalam proses kelompok
Setiap anggota kelompok memiliki perbedaan, ada yang lebih ada yang
kurang, tetapi dalam kelompok mereka harus bisa bekerja sama. Maksud
utama dan proses kelompok adalah bagaimana meningkatkan partisipasi
anggota-anggota kelompok setinggi-tingginya sehingga potensi yang
dimiliki para anggota kelompok itu dapat diefektifkan secara maksimal.
6. Keterampilan dalam implementasi bidang-bidang manajemen, baik
yang berkenaan dengan sumber daya manusia, proses operasi produksi,
pemasaran, keuangan, maupun terkait dengan sistem informasinya.
Manajemen sumber daya manusia mencakup segala usaha untuk
menggunakan keahlian dan kesanggupan yang dimiliki oleh anggota
secara efektif efisien. Kegiatan MSDM menyangkut: seleksi,
pengangkatan, penempatan, penugasan, orientasi, pengawasan, bimbingan,
dan pengembangan serta kesejahteraan.
Berdasarkan pemikiran para ahli dapat diuraikan bahwa aspek-aspek
dalam gaya kepemimpinan yaitu, aspek kepribadian, dan aspek kemampuan. Dari
kedua aspek tersebut masih terdapat banyak aspek rincian yang dapat
mempengaruhi gaya kepemimpinan dalam organisasi.
D. Rekan Kerja
1. Pengertian Rekan kerja
Dalam Kamus KBBI rekan merupakan teman sekerja, teman dalam suatu
urusan atau kawan persekutuan, sedangkan kerja merupakan suatu bentuk aktifitas
22
untuk melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan dengan tujuan mencari nafkah
atau mata pencarian (Novia, 2006).
Menurut Robbins dan Judge (2008) dalam penelitian mengenai kelompok
bahwa kelompok kerja dapat diartikan sebagai rekan bekerja yang berarti suatu
kelompok yang berinteraksi terutama untuk berbagi informasi dan mengambil
keputusan untuk membantu setiap anggota kelompok yang bekerja diarea
tanggung jawabnya.
Rekan kerja dapat pula diartikan sebuah kelompok kerja, karena dengan
kelompoklah manusia dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya
sebagai manusia. Berikut merupakan pendapat tentang kelompok menurut
Ahmadi (2009) mengatakan bahwa kelompok merupakan suatu unit sosial yang
terdiri dari dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang
cukup intensif dan teratur, sehingga diantara individu itu telah terdapat pembagian
tugas, struktur dan norma-norma tertentu yang khas bagi kelompok itu.
Kesimpulan yang dapat diambil dari pendapat para ahli bahwa, rekan kerja
merupakan sekumpulan atau sebuah unit sosial yang terdiri dari satu atau dua
orang individu yang bekerja bersama-sama dan saling berbagi informasi dalam
suatu organisasi baik secara kelompok lingkungan maupun secara individual.
2. Faktor yang Mempengaruhi Rekan Kerja
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelompok kerja menurut Ahmadi
(2009), sebagai berikut:
a. Adanya interaksi diantara individu serta memiliki motif dan tujuan yang
sama.
23
b. Adanya Spesialisasi peranan didalam organisasi/kelompok kerja.
c. Adanya faktor kesamaan yang memungkinkan anggota yang satu dengan
yang lain saling membantu didalam organisasi atau kelompok kerja.
Berdasarkan dari fakto-faktor yang dapat mempengaruhi rekan kerja
menurut para ahli dapat di simpulkan, yakni dengan adanya suatu hubungan
interaksi diantara individu, mempunyai peranan spesial dalam
organisasi/kelompok kerja, dan faktor kesamaan antara anggota satu dengan
anggota yang lain.
3. Aspek-aspek Rekan Kerja
Rekan kerja dapat diartikan kelompok kerja karena adanya interaksi
didalamnya. Aspek-aspek kelompok kerja menurut Ahmadi (2009), sebagai
berikut:
a. Mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga tertulis.
b. Mempunyai pedoman-pedoman tingkah laku yang dirumuskan secara
tegas dan tertulis.
c. Bersifat tidak kekeluargaan, bercorak pertimbangan-pertimbangan rasional
dan obyektif.
Berdasarkan pemikiran para ahli dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
didalam rekan kerja atau kelompok kerja yaitu, mempunyai anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga yang tertulis jelas, mempunyai pedoman-pedoman yang
tertulis, dan mempunyai hubungan yang tidak kekeluargaan.
24
E. Kerangka Berpikir
Robbins dan Judge (2008), memberikan definisi bahwa ”Komitmen kerja
adalah suatu keadaan di mana seorang karyawan memihak organisasi tertentu
serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam
organisasi tersebut.
Locus of control mengarah pada kemampuan seseorang individu
dalam mempengaruhi kejadian yang berhubungan dengan hidupnya (Suwandi
dan Indriantoro dalam Toly, 2001). Locus of Control adalah cara pandang
seseorang terhadap suatu peristiwa apakah dia dapat atau tidak
mengendalikan peristiwa yang terjadi padanya (Rotter dalam Prasetyo,2002).
Berdasarkan teori locus of control memungkinkan bahwa perilaku
karyawan dalam situasi konflik akan dipengaruhi oleh karakteristik internal locus
of controlnya dimana ocus of control internal adalah cara pandang bahwa
segala hasil yang didapat baik atau buruk adalah karena tindakan kapasitas dan
faktor - faktor dalam diri mereka sendiri. Ciri pembawaan internal Locus of
Control adalah mereka yang yakin bahwa suatu kejadian selalu berada dalam
rentang kendalinya dan kemungkinan akan mengambil keputusan yang lebih etis
dan independen. Oleh karena itulah maka dapat disimpulkan kinerja juga
dipengaruhi oleh tipe personalitas individu – individu dengan Locus of
control internal lebih banyak berorientasi pada tugas yang dihadapinya
sehingga akan meningkatkan kinerja mereka.
Robbins dan Judge (2007), mendefinisikan locus of control sebagai tingkat
dimana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri.
25
Internal adalah individu yang yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali
atas apa-apa pun yang terjadi pada diri mereka, sedangkan eksternal adalah
individu yang yakin bahwa apapun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan
oleh kekuatan luar seperti keberuntungan dan kesempatan.
Gaya kepemimpinan yang efektif dalam mengelola sumber daya manusia
dalam suatu unit kelompok kerja akan berpengaruh pada perilaku kerja yang
diindikasikan dengan peningkatan locus of control kerja individu dan kinerja unit
itu sendiri, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja perusahaan secara
keseluruhan. Seorang pemimpin juga harus mampu menciptakan komitmen
organisasi pada karyawannya dengan menanamkan visi, misi, dan tujuan dengan
baik untuk membangun loyalitas dan kepercayaan dari karyawannya. Komitmen
karyawan diindikasikan menjadi pemediasi pengaruh gaya kepemimpinan
terhadap kepuasan kerja dan kinerja.
Menurut Robbins (2006), kepemimpinan merupakan sebuah kemampuan
untuk mempengaruhi kelompok menuju sebuah pencapaian sasaran. Bagi seorang
pemimpin dalam menghadapi situasi yang menuntut aplikasi gaya
kepemimpinannya dapat melalui beberapa proses seperti: memahami gaya
kepemimpinannya, mendiagnosa suatu situasi, menerapkan gaya kepemimpinan
yang relevan dengan tuntutan situasi atau dengan mengubah situasi agar sesuai
dengan gaya kepemimpinannya. Hal ini akan mendorong timbulnya itikad baik
atau komitmen anggota terhadap organisasinya.
Berdasarkan dinamika di atas dapat disimpulkan bahwa secara teoritis ada
hubungan antara Locus of Control, gaya kepemimpinan, dan rekan kerja
26
terhadap komitmen kerja pada individu didalam sebuah kelompok organisasi.
Maka dalam penelitian ini, dapat disusun kerangka penelitian sebagai berikut:
Gambar 1. Konsep kerangka berfikir
Locus of Control:
1. Internal
2. Eksternal
Komitmen Kerja
1. Komitmen afektif
2. Komitmen
berkelanjutan
3. Komitmen
normatif
Gaya Kepemimpinan:
1. Aspek kepribadian
2. Aspek
Rekan Kerja:
1. Mempunyai anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga yan
tertulis.
2. Mempunyai pedoman-pedoman
tingkah laku yang dirumuskan
secara tegas dan tertulis
3. Bersifat tidak kekeluargaan,
bercorak pertimbangan-
pertimbangan rasional dan
objektif.
27
F. Hipotesis
Beberapa hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1) H0 = Tidak terdapat hubungan antara locus of control terhadap komitmen
Kerja.
H1 = Terdapat hubungan antara locus of control terhadap komitmen kerja.
2) H0 = Tidak terdapat hubungan antara gaya kepemimpinan terhadap
komitmen kerja.
H1 = Terdapat hubungan antara gaya kepemimpinan terhadap komitmen
Kerja.
3) H0 = Tidak terdapat hubungan antara rekan kerja terhadap komitmen kerja.
H1 = Terdapat hubungan antara rekan kerja terhadap komitmen kerja.
4) H0 = Tidak terdapat hubungan antara locus of control, gaya
kepemimpinan, rekan kerja, terhadap komitmen kerja.
H1 = Terdapat hubungan antara locus of control, gaya kepemimpinan,
rekan kerja, terhadap komitmen kerja.