heavenly bab 1
DESCRIPTION
Heavenly BAb 1TRANSCRIPT
Aku bertemu seseorang yang mengubah segalanya. Matthias.
Dia malaikat pelindung. Jujur. Inspiratif. Lucu.
Seksi. Dan abadi.
Itulah masalahnya. Apa yang bisa kulakukan?
Aku merasakan apa yang gadis lain akan rasakan. Aku jatuh cinta kepadanya.
Zoe, gadis delapan belas tahun, terpisah dengan Abria, adiknya, saat berada di sebuah taman. Dia mencari Abria dan mendapatinya sedang bersama seorang laki-laki tampan. Anehnya, hanya Zoe dan Abria yang bisa melihat laki-laki itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Matthias. Matthias ternyata adalah malaikat pelindung yang ditugaskan untuk melindungi Abria.
Zoe mendapati keberadaan Matthias ternyata membuatnya merasa tenang, walaupun dia hanya bisa bertemu Matthias saat bersama Abria. Namun, dengan takdir dan kehidupan yang berbeda, mampukah Zoe dan Matthias bersatu? Bagaimana pula nasib Zoe dan Abria selanjutnya? Mampukah Matthias melaksanakan misinya di tengah konflik yang terus memuncak di sekelilingnya?
“Wajib dibaca!”—The Bookaholics
“Heavenly akan mencengkeram emosimu. Ditulis dengan sangat indah. Kau pasti akan menginginkannya lagi dan lagi.”—Ednah Walters, Penulis Awakened (The Guardian Legacy)
novel
ISBN: 978-602-18349-5-4
2
1Aku membuka mata dan mendapati diriku berada di
ruangan gelap. Di atas ranjang yang asing. Kepalaku
berdenyut-denyut. Aku mencoba mengangkat tangan,
tetapi tubuhku terasa berat sehingga nyaris tak dapat
bergerak. Residu asam membuat bagian dalam mulutku
terasa tebal. Di mana aku? Apa yang telah terjadi? Kilasan
gambar berdenyut di benakku: wajah-wajah, gelak tawa,
bayang-bayang.
Bagaimana aku bisa berada di tempat ini?
Aku harus mengerahkan seluruh tenaga untuk
mengangkat kepalaku supaya bisa melihat ke sekitar.
Sudut-sudut gelap. Sebuah pintu dengan bayang-bayang.
Jendela bertirai.
Aku masih mengenakan celana jins dan T-shirt merah
berlengan panjang yang kupakai sebelum pesta, tetapi udara
3
dingin di bahuku menarik pandanganku yang kabur ke
arah kain yang sobek, memperlihatkan kulitku.
Dengan erangan, kepalaku terkulai kembali ke atas
bantal. Ada yang salah, aku sangat mabuk, padahal aku
belum menyentuh alkohol. Apa yang terjadi? Aku di
mana? Kepanikan bergulir melalui darahku. Aku menarik
napas panjang, bertekad untuk menopang tubuhku dengan
siku agar dapat melihat tempat ini dengan jelas. Tapi,
mengangkat tubuhku sendiri rasanya seperti mengangkat
lempengan semen.
Saat itulah aku melihatnya.
Merasakan kehadirannya.
Seperti matahari yang bersinar cerah di balik badai.
Dia duduk di kursi seperti prajurit seusai bertempur.
Kakinya yang panjang terjulur dan tangannya terentang di
sisi tubuhnya, dengan telapak tangan menghadap ke atas,
seakan pertempuran telah menguras tenaganya. Tetapi itu
tidak mungkin. Sumber asal energinya mengalir terasa
kekal. Kenyamanan yang biasa kurasakan ketika dia hadir
di hadapanku berada di luar jangkauanku, menari-nari di
sekitarnya dalam cahaya lembut. Satu-satunya cahaya di
ruangan itu berasal dari tubuhnya, di bawah warna gading
lembut pakaiannya. Dia tidak mengatakan apa-apa. Mata
birunya yang jernih tampak galak, terkunci pada mataku.
Rasa menggigil mengaliri tubuhku.
Tatapannya bertemu dengan pandangan mataku dengan
intensitas tajam, memotong terbuka jiwaku. Seolah-olah, dia
akan membedah jiwaku saat itu juga untuk mengungkap
4
apakah aku bersalah atau tidak pada peristiwa malam itu.
Aku membuka mulut untuk membela diri, tidak yakin
balasan apa yang akan kuterima, tetapi tenggorokanku
terkunci. Apakah aku sudah menyebabkan kami berada
dalam bahaya? Apakah para penghuni surga akan memukul
dan berteriak? Akankah dia meninggalkanku? Pikiranku
dipenuhi rasa takut yang begitu pekat, tanganku gemetar.
Aku hampir mengisut ke dalam kasur.
“Apa yang terjadi?” suaraku serak.
Tatapannya yang terkunci pada mataku membuatku
tertahan, tatapan tanpa kedip yang tak bisa kuhindari.
Kenangan malam itu bergulir lambat ke dalam hati nuraniku
dan rasa malu memaksaku untuk memejamkan mata.
Mengapa kau masuk, Zoe?
Aku mendengar pertanyaannya sama jelasnya seolah
dia telah berbicara kepadaku. Tapi, dia tidak berbicara
kepadaku. Kami bisa membaca pikiran masing-masing,
itulah indahnya, keajaiban hubungan kami.
Aku tadi marah. Maafkan aku. Seharusnya aku tidak
marah. Itu salah. Maafkan aku.
Sunyi. Berkabut. Panas. Lembap.
Tatap aku.
Aku tidak bisa. Air mata menyerbu di balik mataku
dan meluap melalui bulu mataku yang tertutup. Dia telah
menyelamatkanku malam itu. Apa pun yang telah terjadi pasti
berbahaya, seberapa seriusnya bahaya itu adalah sesuatu yang
hanya bisa kuukur dari ketegangan di wajahnya—seperti
5
matahari yang mengoyak awan-awan hitam, menegaskan
kekuasaannya atas langit.
* * *
heyJemariku mengetik balasan SMS di ponsel merah
mudaku: pa kabar?
tak ada yang baruaku bosan
kau di manataman dengan abria
ooo, turut menyesalyeah...
Aku mendongak untuk memeriksa adik perempuanku.
Ayunan tempat yang dia duduki sedari tadi sekarang kosong,
berayun semakin pelan.
Aku memandang ke kanan, lalu ke kiri.
Tidak ada.
Aku melompat dari bangku, napasku membeku di
dadaku dan berputar, mengamati taman yang dihiasi
kerangka-kerangka pohon untuk mencarinya.
Tidak ada.
Aku berlari ke area memanjat yang sangat besar dari
kayu cedar dan memandang ke dalam lubang-lubang bundar
yang seharusnya merupakan jendela. “Abria?”
“Abria!” teriakan kedua dari tenggorokanku membuat
tangan dan kakiku gemetar. Aku membungkuk rendah,
6
menatap ke bagian bawah perosotan, lalu aku berlari
memutar ke sisi lain area panjat.
Area bermain itu kosong.
Kepanikan menyerbuku, mencengkeram tenggorokanku
dengan kepalan tangan yang kuat. Aku berdiri di atas
pasir, tatapanku mengawasi bagian luar taman yang
terjangkau untuk mencari sosoknya yang kecil. Lapangan
baseball kosong terbentang di sebelah timur. Di sebelah
barat: rumput dan pohon-pohon aspen yang tertidur,
kurus akibat napas musim dingin. Di atas kepala, awan
hitam yang ganas bertabrakan dengan uap abu-abu gelap,
memenuhi udara dengan gemuruh guntur. Paviliun yang
penuh bangku dan meja berada di belakangku. Paviliun
itu juga kosong, kecuali piring dari kertas berwarna putih
yang melayang dari satu meja ke meja lainnya, terbawa
oleh angin sepoi-sepoi.
Aku tidak bisa menelan gumpalan di tenggorokanku.
Aku tidak bisa berhenti gemetar. Perasaan berat, yang
cukup akrab denganku, membebani pundakku seakan aku
telah dikubur hidup-hidup.
Abria sudah pernah menghilang sebelumnya, tapi kau
tidak akan pernah terbiasa dengan peristiwa anak lima
tahun lenyap begitu saja di udara. Dia mengidap autisme.
Orangtuaku, adik laki-lakiku, dan aku sering berharap
kami mempunyai sepasang mata di belakang kepala kami.
Hari ini giliranku menjaganya.
Jantungku yang berdebar-debar tenggelam hingga ke
kakiku saat aku mengamati taman, namun belum juga
7
melihat apa pun. Aku ingin berlari, tetapi kakiku terasa
berat. Taman yang luas terbentang di depanku, pohon-pohon
yang telanjang gemetar, rumput hijau berubah warna
menjadi keemasan. Tidak ada orang lain di sini. Suhu
udara terlalu dingin untuk berada di taman.
Jadi, mengapa aku membawanya ke taman?
Bayangan adikku berlari tanpa pengawasan ke tengah
jalan, mengembara ke pekarangan belakang rumah
seseorang, atau tersesat di hutan lebat yang menutupi
pegunungan yang lokasinya cukup dekat dari taman
menyumbat pikiranku.
Akhirnya, aku bergerak. Kumohon, Tuhan, di mana
pun dia berada, jagalah dia. Aku mulai menuju paviliun
untuk memastikan dia tidak berada di belakang bangunan,
meskipun aku yakin dia tidak berada di sana. Bila berlari,
dia seperti bulu yang tertiup angin. Dia tidak berhenti.
Sepatu tenisku berdecit di lantai semen paviliun yang
kosong. “Abria?” Namanya bergema, lalu menghilang.
Serbuan air mata menyelubungi pandanganku.
Aku seharusnya tidak mengalihkan pandangan darinya.
Aku seharusnya tinggal di rumah saja, menjaganya di
dalam rumah. Aku bisa saja membuatnya duduk di depan
TV dan memutar DVD... Itu cara yang mudah, dan aku
sudah melakukannya terlalu sering hingga tak terhitung
lagi. Menjaganya dengan cara yang mudah berarti aku bisa
melakukan apa pun yang ingin kulakukan: mengobrol di
telepon, online di Internet sementara dia duduk ternganga
di depan sesuatu yang bodoh.
8
Membawanya ke taman mungkin terdengar seperti
tindakan tak mementingkan diri sendiri bagiku, tetapi
nyatanya tidak seperti itu. Karena itulah rasa bersalah ini
terasa begitu berat, kini membuatku tercekik.
“Taman.” Hanyalah satu dari sedikit kata yang dikenal
Abria. Dia mengucapkan kata itu seperti bayi seekor burung.
“Bawa dia, Zoe,” Ibu menyuruhku tak lebih dari
sejam yang lalu.
Menjaga adikku adalah hal terakhir yang sudi
kulakukan.
“Kuberi sepuluh dolar jika kau membawanya keluar
selama sejam,” Ibu akhirnya mendesah.
Jadi, di sinilah aku.
Uangnya terselip di saku depan celana jinsku.
Angin dingin menggigit pipiku. Aku menarik kerudung
jaket cokelatku lebih erat di sekitar kepalaku. Aku
seharusnya membawa mantel, tapi aku tidak berencana
untuk berlama-lama di taman. Rencanaku hanya sepuluh
menit di taman, lalu lima belas menit mengemudi pulang
dengan mobilku diiringi musik yang kencang.
Berkendara merupakan hal termudah kedua untuk
membuat Abria terbuai.
“Di mana kau?” Aku berteriak. Dia tidak pernah
menjawab. Dia tidak akan merespons dengan menjulurkan
kepala dari tempat persembunyian seperti anak normal
lain. Jika dia normal seperti anak-anak lain, hal seperti ini
tidak mungkin terjadi. Dia akan menjawabku. Dia akan
bermain denganku. Dia akan benar-benar menjadi adik
9
perempuan dan bukan seperti alien dari planet lain yang
tidak bisa kuajak bicara, tidak bisa kupahami. Separuh
waktu kusayangi dan kubenci pada separuh waktu sisanya
karena hidupku bukan lagi milikku sendiri sejak dia
dilahirkan.
Bahkan dengan seluruh perbedaan kami, aku selalu
merasakan suatu pertalian tak lazim dengan Abria.
Mungkin karena aku telah menjadi ibu kedua baginya,
merasakan dalamnya keprihatinan orangtuaku akan
hidupnya, kebahagiaannya dan keselamatannya seakan dia
adalah bagian dari diriku.
Aku berdiri mematung, memejamkan mata dan
mendengarkan, berharap akan mendengar tawa ringannya
yang terbawa angin, berharap segera menemukannya. Abria,
di mana kau?
Angin berbisik melalui cabang-cabang pohon yang
gundul—desisan kutukan dan rasa bersalah.
Aku kembali memutari sisi paviliun tepat saat awan
meretih dan berdentum. Aku harus menelepon Ibu dan
memberitahunya, tetapi aku menghindari hal itu.
Aku muncul di sekitar sudut tembok batu bata dan
berhenti. Di sana, ada seorang lelaki muda yang berdiri di
hadapanku. Dia menggandeng Abria. Debaran di dadaku
semakin kencang. Tadinya aku benar-benar yakin kami
hanya berdua di taman itu.
Dari mana pemuda itu muncul?
10
Dia memiliki mata biru yang sangat tajam menusuk.
Matanya terkunci pada mataku, kokoh. “Hai....” Suaranya
dalam dan tenang, seperti aliran air hangat.
“Uh... hai.” Aku melangkah maju dan menggendong
Abria ke dalam pelukanku, lalu mundur. “Kau di sini.” Aku
memeriksanya dari kepala sampai jari kaki dengan cepat.
Apakah pemuda itu menyentuhnya? Menyakitinya? Aku
tidak akan pernah tahu, Abria tidak bisa memberitahuku,
suaranya terkunci di suatu tempat di dalam dirinya.
Menyadari bahwa Abria dan aku hanya bertiga dengan
pemuda asing ini membuat sarafku mengerut. Jantungku
berdegup lebih kencang dan kegelisahan yang kurasakan
merayap naik ke tenggorokanku dan praktis membuatku
tercekik. “Kau menemukannya. Terima kasih,” aku
bergumam.
Dia tersenyum, rasanya seakan seberkas cahaya
matahari mengelilingi kami, menaikkan suhu udara musim
dingin ke tingkat suhu yang menyenangkan. Mata birunya
yang bening tampak tajam, namun menenangkan seperti
mengintip ke sungai yang mengalir di belakang rumah
kami, suara lembut yang sering menenangkanku ketika
aku merasa jengah.
“Dia sedang berlari-lari,” katanya.
“Yeah, dia sering begitu.” Aku menggigil meskipun
kehangatan mengelilingiku. Aku heran bagaimana bisa dia
berada di luar dalam suhu udara yang dingin menggigit
dalam pakaian yang mengesankan, seolah dia baru saja
meninggalkan pantai: celana pantalon berwarna gading
11
dan kemeja putih dari bahan selembut sutra yang sama.
Tetapi, kulitnya tidak berwarna kecokelatan seperti orang
yang sering ke pantai. Cenderung lebih pucat ketimbang
warna kulitku dan bersih tanpa cacat, seperti salju yang
baru jatuh.
“Um, terima kasih.”
“Sama-sama.”
“Bagaimana kau menemukannya? Maksudku, aku tadi
tidak melihatmu.” Bagaimana jika dia telah bersembunyi,
mengawasi kami, menunggu.
“Aku melihatnya berlari.”
Aku melangkah mundur lagi, meskipun aku tahu tidak
akan sanggup berlari lebih cepat darinya. Dia tampak
kurus dan gesit dalam balutan pakaiannya yang ringan itu.
Usianya sepertinya tak berbeda jauh denganku. Sementara
hendak melakukan apa pun yang menjadi tujuannya datang
ke tempat ini, dia telah menemukan kami berdua. Aku
merenggut Abria ke tubuhku.
“Well, terima kasih lagi,” kataku, bergerak menjauh
perlahan-lahan. Abria tidak suka dipeluk, dia menggeliat
dan menggeram di pinggulku. Tubuhnya menegang di
tanganku dan aku merasakan dia pelan-pelan bergerak
menolak peganganku.
Pemuda itu tidak bergerak, hanya berdiri dengan
senyuman lembut. Tapi, aku tidak mudah dibodohi.
Betapa seringnya aku melihat wajah-wajah seperti pemuda
itu muncul di berita? Well, mungkin tidak persis seperti
wajahnya. Dia lebih tampan daripada kebanyakan psikopat.
12
Aku hampir luluh pada ketenangan yang mencoba menyebar
ke dalam diriku setiap kali aku menatap matanya.
“Selamat tinggal, Abria.” Dia melambai singkat
kepada Abria. Abria membalasnya dengan sebuah tatapan,
meskipun dia masih sibuk berusaha melepaskan diri dari
tanganku.
“Bagaimana kau bisa tahu namanya?” tanyaku.
Kebingungan tersirat di wajahnya. “Aku mendengarmu
memanggilnya.”
“Oh. Benar. Terima kasih lagi. Dia tidak memahami
dengan baik. Dia mengidap autisme.”
Dia tampaknya merenungkan kata-kataku, ekspresinya
berpikir. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi tatapannya
tetap terpaku pada Abria dalam cara simpatik. Kebanyakan
anak remaja yang kuceritakan tentang kecacatan Abria
menatapnya dengan tertarik dan kasihan, yang disertai
dengan rasa takut yang cukup besar. Dia pasti lebih
dewasa daripada penampilannya, pikirku, karena sama
sekali tidak ada kecanggungan tidak nyaman yang sering
kali diperlihatkan oleh teman-temanku sewaktu mereka
melihat adikku.
Akhirnya Abria bergerak hingga terlepas dari pegangan-
ku, tetapi dengan cepat aku menangkap pergelangan
tangannya. “Tidak, kau tidak boleh pergi ke mana pun.”
Dia mengeluarkan lolongan bernada tinggi. Aku
mengernyit. Pemuda asing itu pastinya akan terkejut. Tapi,
wajahnya tetap tenang dan yang lebih mengejutkanku
13
adalah keharuan yang kulihat membuat nuansa matanya
menjadi semakin biru.
Aku begitu terpaku oleh perubahan nuansa pada
tatapannya, aku berdiri terpaku, menatap lekat-lekat.
Abria menggeram dan menggeliat melawan pelukanku.
Dia ingin berlari lagi karena itulah yang dia lakukan
di ruang terbuka yang luas seperti ini. Satu sentakan
sengit membangunkanku dari kebingungan, dan aku
menyentakkan Abria ke tubuhku, disiram rasa malu dan
marah karena pemuda itu berdiri begitu tenang sementara
aku berjuang agar tidak menjadi sangat marah, memukul
pantat Abria keras-keras, dan menyeretnya ke mobil.
“Hentikan. Aku sebaiknya pergi. Terima kasih lagi,”
kataku.
“Tentu.”
Abria melolong dan berusaha menggigitku. Aku mulai
melangkah ke arah mobil, kesal karena adikku bersikap
seperti binatang liar. Amukannya selalu membuatku merasa
telanjang—seolah-olah seluruh kemarahan dan kebencian
yang kupendam di dalam hatiku kepadanya dapat dilihat
oleh penonton yang memvonis, yang akan menertawakanku
dan mengatakan, Kasihan kau, lihat kau terjebak dengan
anak seperti apa!
“Ayo.” Aku menariknya di sisiku, tidak memedulikan
apa yang dipikirkan oleh pemuda itu atau betapa aku
terlihat gila dan marah. Abria telah mencuri soreku
yang menyenangkan. Sebagian dari diriku selalu me-
nikmati ketika memarahinya di depan umum. Seakan
14
aku bisa berdiri bersama seluruh penghuni dunia dan
menertawakannya. Mengasihaninya. Menjaga jarak darinya.
Kenikmatan itu hanya berlangsung sesaat. Rasa malu
yang tak bisa diacuhkan pun muncul. Tidak seorang pun,
bahkan aku, memahami ekspresi tak berdosanya yang
terjebak dalam area “terlupakan”. Dan, aku tidak bisa
menyelamatkannya dari area yang terasing itu. Seperti
orang-orang lain, aku berdiri dengan pasrah di luar area itu.
Apa yang akan dipikirkan oleh pemuda asing itu
tentang sikap ala remajaku? Pastinya akan ada rasa simpati
di wajahnya, mengerti bahwa kesabaranku sudah mencapai
batasnya dan aku tidak dapat menjalani tantangan ini
lebih dari satu detik lagi. Ketika rasa frustrasiku akhirnya
menyurut dan digantikan oleh rasa penasaran, aku mencuri
pandang melalui bahuku.
Pemuda itu telah pergi.
*
15
2Keuntungan memiliki saudara kandung yang tidak bisa
bicara hanya sedikit. Tapi sementara aku mengemudi ke
arah rumah, takut dan bingung karena bertemu dengan
pemuda itu di taman, aku lega Abria tidak akan mengatakan
apa-apa tentang kelalaianku pada Ibu dan Ayah.
Aku menatapnya dari kaca spion tengah. Dia duduk,
terlilit sabuk pengaman di tempat duduk khusus balita,
mengepakkan tangannya. Aku tidak suka kalau dia sedang
bertingkah seperti itu. “Berhenti mengepak. Kau tampak
seperti burung.”
“Bur. Bur.”
Yeah, apalah. Suasana hatiku lebih tenang daripada
biasanya. Namun, dia duduk di sana sambil tersenyum,
dengan ceria menatap keluar jendela seakan peristiwa
lima belas menit terakhir tidak pernah terjadi. Seluruh
16
peristiwa yang kuingat, tidak menyisakan kenangan apa
pun untuknya. Entah memang keadaannya seperti itu atau
dia senang menempatkanku dalam rasa ngeri yang baru
saja kualami.
Aku menyalakan radio, mengencangkan volume lagu
rock. Aku harus menjernihkan pikiranku dan satu-satunya
cara yang mujarab adalah tenggelam dalam dentuman
musik. Dia tidak suka suara musik kencang yang lagi-lagi
alasannya tidak kami pahami. Kami hanya bisa mengatakan
bahwa banyak anak autis memiliki pendengaran yang
hiper-sensitif. Bahkan, sering kali musik klasik membuatnya
merengek-rengek.
Aku menatapnya lagi. Setidaknya dia sudah berhenti
mengepak-ngepak. Sekarang dia benar-benar duduk diam
seolah mendengarkan alunan musik yang tak bisa kudengar,
dan dia memandang keluar jendela seperti patung.
Bagus. Kemenangan terasa begitu manis, tapi kepahitan
segera menyusul. Aku tidak bisa membiarkan suara musik
mengganggu pendengarannya tanpa rasa bersalah, jadi
aku mengecilkan volumenya dan melihat reaksinya. Dia
berkedip dan mulai bergerak lagi.
Aku mendesah.
Sementara kami berkendara, aku mendengarkan musik
dan ocehannya. Aku memikirkan pemuda di taman itu.
Mata birunya, yang menenangkan dan menggairahkan,
terpahat dalam ingatanku. Aku berusaha mengingat detail
wajahnya. Aku tidak memperhatikan apa warna rambutnya.
Aku tidak bisa membayangkan hal lain selain matanya.