heavenly bab 1

16
Heavenly akan mencengkeram emosimu. Ditulis dengan sangat indah. Kau pasti akan menginginkannya lagi dan lagi.” —Ednah Walters, Penulis Awakened (The Guardian Legacy)

Upload: ufuk-fiction

Post on 16-Mar-2016

222 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Heavenly BAb 1

TRANSCRIPT

Page 1: Heavenly BAb 1

Aku bertemu seseorang yang mengubah segalanya. Matthias.

Dia malaikat pelindung. Jujur. Inspiratif. Lucu.

Seksi. Dan abadi.

Itulah masalahnya. Apa yang bisa kulakukan?

Aku merasakan apa yang gadis lain akan rasakan. Aku jatuh cinta kepadanya.

Zoe, gadis delapan belas tahun, terpisah dengan Abria, adiknya, saat berada di sebuah taman. Dia mencari Abria dan mendapatinya sedang bersama seorang laki-laki tampan. Anehnya, hanya Zoe dan Abria yang bisa melihat laki-laki itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Matthias. Matthias ternyata adalah malaikat pelindung yang ditugaskan untuk melindungi Abria.

Zoe mendapati keberadaan Matthias ternyata membuatnya merasa tenang, walaupun dia hanya bisa bertemu Matthias saat bersama Abria. Namun, dengan takdir dan kehidupan yang berbeda, mampukah Zoe dan Matthias bersatu? Bagaimana pula nasib Zoe dan Abria selanjutnya? Mampukah Matthias melaksanakan misinya di tengah konflik yang terus memuncak di sekelilingnya?

“Wajib dibaca!”—The Bookaholics

“Heavenly akan mencengkeram emosimu. Ditulis dengan sangat indah. Kau pasti akan menginginkannya lagi dan lagi.”—Ednah Walters, Penulis Awakened (The Guardian Legacy)

novel

ISBN: 978-602-18349-5-4

Page 2: Heavenly BAb 1

2

1Aku membuka mata dan mendapati diriku berada di

ruangan gelap. Di atas ranjang yang asing. Kepalaku

berdenyut-denyut. Aku mencoba mengangkat tangan,

tetapi tubuhku terasa berat sehingga nyaris tak dapat

bergerak. Residu asam membuat bagian dalam mulutku

terasa tebal. Di mana aku? Apa yang telah terjadi? Kilasan

gambar berdenyut di benakku: wajah-wajah, gelak tawa,

bayang-bayang.

Bagaimana aku bisa berada di tempat ini?

Aku harus mengerahkan seluruh tenaga untuk

mengangkat kepalaku supaya bisa melihat ke sekitar.

Sudut-sudut gelap. Sebuah pintu dengan bayang-bayang.

Jendela bertirai.

Aku masih mengenakan celana jins dan T-shirt merah

berlengan panjang yang kupakai sebelum pesta, tetapi udara

Page 3: Heavenly BAb 1

3

dingin di bahuku menarik pandanganku yang kabur ke

arah kain yang sobek, memperlihatkan kulitku.

Dengan erangan, kepalaku terkulai kembali ke atas

bantal. Ada yang salah, aku sangat mabuk, padahal aku

belum menyentuh alkohol. Apa yang terjadi? Aku di

mana? Kepanikan bergulir melalui darahku. Aku menarik

napas panjang, bertekad untuk menopang tubuhku dengan

siku agar dapat melihat tempat ini dengan jelas. Tapi,

mengangkat tubuhku sendiri rasanya seperti mengangkat

lempengan semen.

Saat itulah aku melihatnya.

Merasakan kehadirannya.

Seperti matahari yang bersinar cerah di balik badai.

Dia duduk di kursi seperti prajurit seusai bertempur.

Kakinya yang panjang terjulur dan tangannya terentang di

sisi tubuhnya, dengan telapak tangan menghadap ke atas,

seakan pertempuran telah menguras tenaganya. Tetapi itu

tidak mungkin. Sumber asal energinya mengalir terasa

kekal. Kenyamanan yang biasa kurasakan ketika dia hadir

di hadapanku berada di luar jangkauanku, menari-nari di

sekitarnya dalam cahaya lembut. Satu-satunya cahaya di

ruangan itu berasal dari tubuhnya, di bawah warna gading

lembut pakaiannya. Dia tidak mengatakan apa-apa. Mata

birunya yang jernih tampak galak, terkunci pada mataku.

Rasa menggigil mengaliri tubuhku.

Tatapannya bertemu dengan pandangan mataku dengan

intensitas tajam, memotong terbuka jiwaku. Seolah-olah, dia

akan membedah jiwaku saat itu juga untuk mengungkap

Page 4: Heavenly BAb 1

4

apakah aku bersalah atau tidak pada peristiwa malam itu.

Aku membuka mulut untuk membela diri, tidak yakin

balasan apa yang akan kuterima, tetapi tenggorokanku

terkunci. Apakah aku sudah menyebabkan kami berada

dalam bahaya? Apakah para penghuni surga akan memukul

dan berteriak? Akankah dia meninggalkanku? Pikiranku

dipenuhi rasa takut yang begitu pekat, tanganku gemetar.

Aku hampir mengisut ke dalam kasur.

“Apa yang terjadi?” suaraku serak.

Tatapannya yang terkunci pada mataku membuatku

tertahan, tatapan tanpa kedip yang tak bisa kuhindari.

Kenangan malam itu bergulir lambat ke dalam hati nuraniku

dan rasa malu memaksaku untuk memejamkan mata.

Mengapa kau masuk, Zoe?

Aku mendengar pertanyaannya sama jelasnya seolah

dia telah berbicara kepadaku. Tapi, dia tidak berbicara

kepadaku. Kami bisa membaca pikiran masing-masing,

itulah indahnya, keajaiban hubungan kami.

Aku tadi marah. Maafkan aku. Seharusnya aku tidak

marah. Itu salah. Maafkan aku.

Sunyi. Berkabut. Panas. Lembap.

Tatap aku.

Aku tidak bisa. Air mata menyerbu di balik mataku

dan meluap melalui bulu mataku yang tertutup. Dia telah

menyelamatkanku malam itu. Apa pun yang telah terjadi pasti

berbahaya, seberapa seriusnya bahaya itu adalah sesuatu yang

hanya bisa kuukur dari ketegangan di wajahnya—seperti

Page 5: Heavenly BAb 1

5

matahari yang mengoyak awan-awan hitam, menegaskan

kekuasaannya atas langit.

* * *

heyJemariku mengetik balasan SMS di ponsel merah

mudaku: pa kabar?

tak ada yang baruaku bosan

kau di manataman dengan abria

ooo, turut menyesalyeah...

Aku mendongak untuk memeriksa adik perempuanku.

Ayunan tempat yang dia duduki sedari tadi sekarang kosong,

berayun semakin pelan.

Aku memandang ke kanan, lalu ke kiri.

Tidak ada.

Aku melompat dari bangku, napasku membeku di

dadaku dan berputar, mengamati taman yang dihiasi

kerangka-kerangka pohon untuk mencarinya.

Tidak ada.

Aku berlari ke area memanjat yang sangat besar dari

kayu cedar dan memandang ke dalam lubang-lubang bundar

yang seharusnya merupakan jendela. “Abria?”

“Abria!” teriakan kedua dari tenggorokanku membuat

tangan dan kakiku gemetar. Aku membungkuk rendah,

Page 6: Heavenly BAb 1

6

menatap ke bagian bawah perosotan, lalu aku berlari

memutar ke sisi lain area panjat.

Area bermain itu kosong.

Kepanikan menyerbuku, mencengkeram tenggorokanku

dengan kepalan tangan yang kuat. Aku berdiri di atas

pasir, tatapanku mengawasi bagian luar taman yang

terjangkau untuk mencari sosoknya yang kecil. Lapangan

baseball kosong terbentang di sebelah timur. Di sebelah

barat: rumput dan pohon-pohon aspen yang tertidur,

kurus akibat napas musim dingin. Di atas kepala, awan

hitam yang ganas bertabrakan dengan uap abu-abu gelap,

memenuhi udara dengan gemuruh guntur. Paviliun yang

penuh bangku dan meja berada di belakangku. Paviliun

itu juga kosong, kecuali piring dari kertas berwarna putih

yang melayang dari satu meja ke meja lainnya, terbawa

oleh angin sepoi-sepoi.

Aku tidak bisa menelan gumpalan di tenggorokanku.

Aku tidak bisa berhenti gemetar. Perasaan berat, yang

cukup akrab denganku, membebani pundakku seakan aku

telah dikubur hidup-hidup.

Abria sudah pernah menghilang sebelumnya, tapi kau

tidak akan pernah terbiasa dengan peristiwa anak lima

tahun lenyap begitu saja di udara. Dia mengidap autisme.

Orangtuaku, adik laki-lakiku, dan aku sering berharap

kami mempunyai sepasang mata di belakang kepala kami.

Hari ini giliranku menjaganya.

Jantungku yang berdebar-debar tenggelam hingga ke

kakiku saat aku mengamati taman, namun belum juga

Page 7: Heavenly BAb 1

7

melihat apa pun. Aku ingin berlari, tetapi kakiku terasa

berat. Taman yang luas terbentang di depanku, pohon-pohon

yang telanjang gemetar, rumput hijau berubah warna

menjadi keemasan. Tidak ada orang lain di sini. Suhu

udara terlalu dingin untuk berada di taman.

Jadi, mengapa aku membawanya ke taman?

Bayangan adikku berlari tanpa pengawasan ke tengah

jalan, mengembara ke pekarangan belakang rumah

seseorang, atau tersesat di hutan lebat yang menutupi

pegunungan yang lokasinya cukup dekat dari taman

menyumbat pikiranku.

Akhirnya, aku bergerak. Kumohon, Tuhan, di mana

pun dia berada, jagalah dia. Aku mulai menuju paviliun

untuk memastikan dia tidak berada di belakang bangunan,

meskipun aku yakin dia tidak berada di sana. Bila berlari,

dia seperti bulu yang tertiup angin. Dia tidak berhenti.

Sepatu tenisku berdecit di lantai semen paviliun yang

kosong. “Abria?” Namanya bergema, lalu menghilang.

Serbuan air mata menyelubungi pandanganku.

Aku seharusnya tidak mengalihkan pandangan darinya.

Aku seharusnya tinggal di rumah saja, menjaganya di

dalam rumah. Aku bisa saja membuatnya duduk di depan

TV dan memutar DVD... Itu cara yang mudah, dan aku

sudah melakukannya terlalu sering hingga tak terhitung

lagi. Menjaganya dengan cara yang mudah berarti aku bisa

melakukan apa pun yang ingin kulakukan: mengobrol di

telepon, online di Internet sementara dia duduk ternganga

di depan sesuatu yang bodoh.

Page 8: Heavenly BAb 1

8

Membawanya ke taman mungkin terdengar seperti

tindakan tak mementingkan diri sendiri bagiku, tetapi

nyatanya tidak seperti itu. Karena itulah rasa bersalah ini

terasa begitu berat, kini membuatku tercekik.

“Taman.” Hanyalah satu dari sedikit kata yang dikenal

Abria. Dia mengucapkan kata itu seperti bayi seekor burung.

“Bawa dia, Zoe,” Ibu menyuruhku tak lebih dari

sejam yang lalu.

Menjaga adikku adalah hal terakhir yang sudi

kulakukan.

“Kuberi sepuluh dolar jika kau membawanya keluar

selama sejam,” Ibu akhirnya mendesah.

Jadi, di sinilah aku.

Uangnya terselip di saku depan celana jinsku.

Angin dingin menggigit pipiku. Aku menarik kerudung

jaket cokelatku lebih erat di sekitar kepalaku. Aku

seharusnya membawa mantel, tapi aku tidak berencana

untuk berlama-lama di taman. Rencanaku hanya sepuluh

menit di taman, lalu lima belas menit mengemudi pulang

dengan mobilku diiringi musik yang kencang.

Berkendara merupakan hal termudah kedua untuk

membuat Abria terbuai.

“Di mana kau?” Aku berteriak. Dia tidak pernah

menjawab. Dia tidak akan merespons dengan menjulurkan

kepala dari tempat persembunyian seperti anak normal

lain. Jika dia normal seperti anak-anak lain, hal seperti ini

tidak mungkin terjadi. Dia akan menjawabku. Dia akan

bermain denganku. Dia akan benar-benar menjadi adik

Page 9: Heavenly BAb 1

9

perempuan dan bukan seperti alien dari planet lain yang

tidak bisa kuajak bicara, tidak bisa kupahami. Separuh

waktu kusayangi dan kubenci pada separuh waktu sisanya

karena hidupku bukan lagi milikku sendiri sejak dia

dilahirkan.

Bahkan dengan seluruh perbedaan kami, aku selalu

merasakan suatu pertalian tak lazim dengan Abria.

Mungkin karena aku telah menjadi ibu kedua baginya,

merasakan dalamnya keprihatinan orangtuaku akan

hidupnya, kebahagiaannya dan keselamatannya seakan dia

adalah bagian dari diriku.

Aku berdiri mematung, memejamkan mata dan

mendengarkan, berharap akan mendengar tawa ringannya

yang terbawa angin, berharap segera menemukannya. Abria,

di mana kau?

Angin berbisik melalui cabang-cabang pohon yang

gundul—desisan kutukan dan rasa bersalah.

Aku kembali memutari sisi paviliun tepat saat awan

meretih dan berdentum. Aku harus menelepon Ibu dan

memberitahunya, tetapi aku menghindari hal itu.

Aku muncul di sekitar sudut tembok batu bata dan

berhenti. Di sana, ada seorang lelaki muda yang berdiri di

hadapanku. Dia menggandeng Abria. Debaran di dadaku

semakin kencang. Tadinya aku benar-benar yakin kami

hanya berdua di taman itu.

Dari mana pemuda itu muncul?

Page 10: Heavenly BAb 1

10

Dia memiliki mata biru yang sangat tajam menusuk.

Matanya terkunci pada mataku, kokoh. “Hai....” Suaranya

dalam dan tenang, seperti aliran air hangat.

“Uh... hai.” Aku melangkah maju dan menggendong

Abria ke dalam pelukanku, lalu mundur. “Kau di sini.” Aku

memeriksanya dari kepala sampai jari kaki dengan cepat.

Apakah pemuda itu menyentuhnya? Menyakitinya? Aku

tidak akan pernah tahu, Abria tidak bisa memberitahuku,

suaranya terkunci di suatu tempat di dalam dirinya.

Menyadari bahwa Abria dan aku hanya bertiga dengan

pemuda asing ini membuat sarafku mengerut. Jantungku

berdegup lebih kencang dan kegelisahan yang kurasakan

merayap naik ke tenggorokanku dan praktis membuatku

tercekik. “Kau menemukannya. Terima kasih,” aku

bergumam.

Dia tersenyum, rasanya seakan seberkas cahaya

matahari mengelilingi kami, menaikkan suhu udara musim

dingin ke tingkat suhu yang menyenangkan. Mata birunya

yang bening tampak tajam, namun menenangkan seperti

mengintip ke sungai yang mengalir di belakang rumah

kami, suara lembut yang sering menenangkanku ketika

aku merasa jengah.

“Dia sedang berlari-lari,” katanya.

“Yeah, dia sering begitu.” Aku menggigil meskipun

kehangatan mengelilingiku. Aku heran bagaimana bisa dia

berada di luar dalam suhu udara yang dingin menggigit

dalam pakaian yang mengesankan, seolah dia baru saja

meninggalkan pantai: celana pantalon berwarna gading

Page 11: Heavenly BAb 1

11

dan kemeja putih dari bahan selembut sutra yang sama.

Tetapi, kulitnya tidak berwarna kecokelatan seperti orang

yang sering ke pantai. Cenderung lebih pucat ketimbang

warna kulitku dan bersih tanpa cacat, seperti salju yang

baru jatuh.

“Um, terima kasih.”

“Sama-sama.”

“Bagaimana kau menemukannya? Maksudku, aku tadi

tidak melihatmu.” Bagaimana jika dia telah bersembunyi,

mengawasi kami, menunggu.

“Aku melihatnya berlari.”

Aku melangkah mundur lagi, meskipun aku tahu tidak

akan sanggup berlari lebih cepat darinya. Dia tampak

kurus dan gesit dalam balutan pakaiannya yang ringan itu.

Usianya sepertinya tak berbeda jauh denganku. Sementara

hendak melakukan apa pun yang menjadi tujuannya datang

ke tempat ini, dia telah menemukan kami berdua. Aku

merenggut Abria ke tubuhku.

“Well, terima kasih lagi,” kataku, bergerak menjauh

perlahan-lahan. Abria tidak suka dipeluk, dia menggeliat

dan menggeram di pinggulku. Tubuhnya menegang di

tanganku dan aku merasakan dia pelan-pelan bergerak

menolak peganganku.

Pemuda itu tidak bergerak, hanya berdiri dengan

senyuman lembut. Tapi, aku tidak mudah dibodohi.

Betapa seringnya aku melihat wajah-wajah seperti pemuda

itu muncul di berita? Well, mungkin tidak persis seperti

wajahnya. Dia lebih tampan daripada kebanyakan psikopat.

Page 12: Heavenly BAb 1

12

Aku hampir luluh pada ketenangan yang mencoba menyebar

ke dalam diriku setiap kali aku menatap matanya.

“Selamat tinggal, Abria.” Dia melambai singkat

kepada Abria. Abria membalasnya dengan sebuah tatapan,

meskipun dia masih sibuk berusaha melepaskan diri dari

tanganku.

“Bagaimana kau bisa tahu namanya?” tanyaku.

Kebingungan tersirat di wajahnya. “Aku mendengarmu

memanggilnya.”

“Oh. Benar. Terima kasih lagi. Dia tidak memahami

dengan baik. Dia mengidap autisme.”

Dia tampaknya merenungkan kata-kataku, ekspresinya

berpikir. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi tatapannya

tetap terpaku pada Abria dalam cara simpatik. Kebanyakan

anak remaja yang kuceritakan tentang kecacatan Abria

menatapnya dengan tertarik dan kasihan, yang disertai

dengan rasa takut yang cukup besar. Dia pasti lebih

dewasa daripada penampilannya, pikirku, karena sama

sekali tidak ada kecanggungan tidak nyaman yang sering

kali diperlihatkan oleh teman-temanku sewaktu mereka

melihat adikku.

Akhirnya Abria bergerak hingga terlepas dari pegangan-

ku, tetapi dengan cepat aku menangkap pergelangan

tangannya. “Tidak, kau tidak boleh pergi ke mana pun.”

Dia mengeluarkan lolongan bernada tinggi. Aku

mengernyit. Pemuda asing itu pastinya akan terkejut. Tapi,

wajahnya tetap tenang dan yang lebih mengejutkanku

Page 13: Heavenly BAb 1

13

adalah keharuan yang kulihat membuat nuansa matanya

menjadi semakin biru.

Aku begitu terpaku oleh perubahan nuansa pada

tatapannya, aku berdiri terpaku, menatap lekat-lekat.

Abria menggeram dan menggeliat melawan pelukanku.

Dia ingin berlari lagi karena itulah yang dia lakukan

di ruang terbuka yang luas seperti ini. Satu sentakan

sengit membangunkanku dari kebingungan, dan aku

menyentakkan Abria ke tubuhku, disiram rasa malu dan

marah karena pemuda itu berdiri begitu tenang sementara

aku berjuang agar tidak menjadi sangat marah, memukul

pantat Abria keras-keras, dan menyeretnya ke mobil.

“Hentikan. Aku sebaiknya pergi. Terima kasih lagi,”

kataku.

“Tentu.”

Abria melolong dan berusaha menggigitku. Aku mulai

melangkah ke arah mobil, kesal karena adikku bersikap

seperti binatang liar. Amukannya selalu membuatku merasa

telanjang—seolah-olah seluruh kemarahan dan kebencian

yang kupendam di dalam hatiku kepadanya dapat dilihat

oleh penonton yang memvonis, yang akan menertawakanku

dan mengatakan, Kasihan kau, lihat kau terjebak dengan

anak seperti apa!

“Ayo.” Aku menariknya di sisiku, tidak memedulikan

apa yang dipikirkan oleh pemuda itu atau betapa aku

terlihat gila dan marah. Abria telah mencuri soreku

yang menyenangkan. Sebagian dari diriku selalu me-

nikmati ketika memarahinya di depan umum. Seakan

Page 14: Heavenly BAb 1

14

aku bisa berdiri bersama seluruh penghuni dunia dan

menertawakannya. Mengasihaninya. Menjaga jarak darinya.

Kenikmatan itu hanya berlangsung sesaat. Rasa malu

yang tak bisa diacuhkan pun muncul. Tidak seorang pun,

bahkan aku, memahami ekspresi tak berdosanya yang

terjebak dalam area “terlupakan”. Dan, aku tidak bisa

menyelamatkannya dari area yang terasing itu. Seperti

orang-orang lain, aku berdiri dengan pasrah di luar area itu.

Apa yang akan dipikirkan oleh pemuda asing itu

tentang sikap ala remajaku? Pastinya akan ada rasa simpati

di wajahnya, mengerti bahwa kesabaranku sudah mencapai

batasnya dan aku tidak dapat menjalani tantangan ini

lebih dari satu detik lagi. Ketika rasa frustrasiku akhirnya

menyurut dan digantikan oleh rasa penasaran, aku mencuri

pandang melalui bahuku.

Pemuda itu telah pergi.

*

Page 15: Heavenly BAb 1

15

2Keuntungan memiliki saudara kandung yang tidak bisa

bicara hanya sedikit. Tapi sementara aku mengemudi ke

arah rumah, takut dan bingung karena bertemu dengan

pemuda itu di taman, aku lega Abria tidak akan mengatakan

apa-apa tentang kelalaianku pada Ibu dan Ayah.

Aku menatapnya dari kaca spion tengah. Dia duduk,

terlilit sabuk pengaman di tempat duduk khusus balita,

mengepakkan tangannya. Aku tidak suka kalau dia sedang

bertingkah seperti itu. “Berhenti mengepak. Kau tampak

seperti burung.”

“Bur. Bur.”

Yeah, apalah. Suasana hatiku lebih tenang daripada

biasanya. Namun, dia duduk di sana sambil tersenyum,

dengan ceria menatap keluar jendela seakan peristiwa

lima belas menit terakhir tidak pernah terjadi. Seluruh

Page 16: Heavenly BAb 1

16

peristiwa yang kuingat, tidak menyisakan kenangan apa

pun untuknya. Entah memang keadaannya seperti itu atau

dia senang menempatkanku dalam rasa ngeri yang baru

saja kualami.

Aku menyalakan radio, mengencangkan volume lagu

rock. Aku harus menjernihkan pikiranku dan satu-satunya

cara yang mujarab adalah tenggelam dalam dentuman

musik. Dia tidak suka suara musik kencang yang lagi-lagi

alasannya tidak kami pahami. Kami hanya bisa mengatakan

bahwa banyak anak autis memiliki pendengaran yang

hiper-sensitif. Bahkan, sering kali musik klasik membuatnya

merengek-rengek.

Aku menatapnya lagi. Setidaknya dia sudah berhenti

mengepak-ngepak. Sekarang dia benar-benar duduk diam

seolah mendengarkan alunan musik yang tak bisa kudengar,

dan dia memandang keluar jendela seperti patung.

Bagus. Kemenangan terasa begitu manis, tapi kepahitan

segera menyusul. Aku tidak bisa membiarkan suara musik

mengganggu pendengarannya tanpa rasa bersalah, jadi

aku mengecilkan volumenya dan melihat reaksinya. Dia

berkedip dan mulai bergerak lagi.

Aku mendesah.

Sementara kami berkendara, aku mendengarkan musik

dan ocehannya. Aku memikirkan pemuda di taman itu.

Mata birunya, yang menenangkan dan menggairahkan,

terpahat dalam ingatanku. Aku berusaha mengingat detail

wajahnya. Aku tidak memperhatikan apa warna rambutnya.

Aku tidak bisa membayangkan hal lain selain matanya.