hasil dan pembahasan profil vegetasi penyusun dusung 5... · hasil dan pembahasan ... berdasarkan...
TRANSCRIPT
39
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Vegetasi Penyusun Dusung
Stratifikasi dusung sangat dipengaruhi oleh struktur dan komposisi jenis
tanaman, baik jenis tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat maupun jenis
tanaman yang tumbuh sendiri selama berlangsungnya proses suksesi. Hasil
analisa vegetasi pada beberapa bentuk penutupan lahan di Desa Wakal dan Hatu
menunjukkan adanya pengaruh suksesi dari dusung vegetasi jarang menjadi
dusung vegetasi sedang dan selanjutnya menjadi dusung vegetasi rapat, disajikan
pada Tabel berikut.
Tabel 8 Komposisi vegetasi penyusun dusung sesuai tingkat pertumbuhan berdasarkan bentuk penutupan lahan
Penutupan Lahan
Σ
Kera-patan
(individu/ha)
LBD (m2/ha)
(%) LBD
(%) Kera-patan
Σ
Kera- patan
(individu /ha)
LBD (m2/ha)
(%) LBD
(%) Kera- patan
Dusung vegetasi jarang (DVJ)
Pohon 8 60 4,74 100 2,12 7 40 2,61 100 8,70
Tiang 4 70 0,76 0,02 2,47 4 40 0,62 0,02 8,70 Pancang +
Semai 9 2.700 0,78 0,02 95,41 10 380 0,39 0,02 82,61
Jumlah 21 2.830 4,74 30 21 460 2,61 8 Dusung vegetasi sedang (DVS)
Pohon 10 115 2,79 73,56 5,41 12 135 8,61 81,42 5,88
Tiang 7 110 1 26,42 5,18 11 260 1,96 18,58 11,33
Pancang + Semai 14 1.900 0,67 0,02 89,41 18 1.900 0,52 0,005 82,79
Jumlah 31 2.125 3,80 23 41 2.295 11,09 41 Dusung vegetasi rapat (DVR)
Pohon 13 305 9,09 81,54 6,89 13 410 13,89 89,21 14,14
Tiang 11 449 2,06 18,45 10,15 8 330 1,68 10,79 11,38
Pancang + Semai 18 3.670 0,64 0,01 82,96 18 2.160 0,56 0,004 74,48
Jumlah 42 4.424 11,15 47 39 2.900 15,57 51
Hasil analisis vegetasi penyusun dusung pada ketiga bentuk penutupan
lahan menunjukkan bahwa jumlah jenis, kerapatan dan luas bidang dasar pohon
paling tinggi ditemukan pada bentuk penutupan lahan dusung vegetasi rapat. Di
lokasi Desa Wakal ditemukan jumlah dan jenis tanaman pada berbagai tingkat
pertumbuhan yang lebih banyak, ini juga ditunjukkan dengan jumlah kerapatan
untuk dusung vegetasi jarang sebanyak 2.830 individu/ha atau 30 %, untuk
vegetasi sedang sebanyak 2.125 individu/ha atau 23 % dan untuk dusung vegetasi
rapat sebanyak 4.424 individu/ha atau 47 %. Sedangkan di Desa Hatu, untuk
40
dusung vegetasi jarang kerapatan tanaman sebanyak 460 individu/ha atau 8 %,
untuk dusung vegetasi sedang dengan 2.295 individu/ha atau 41 % dan dusung
vegetasi rapat adalah 2.900 individu/ha atau sebesar 51 %.
Penelitian Wardah (2008), pada ekosistem kebun hutan di Taman Nasional
Lore Lindu, Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa luas bidang dasar tingkat
pohon dan tiang di ladang paling rendah adalah 0,2 m2/ha dan 0,03 m2/ha,
sedangkan untuk tingkat pancang dan semai tidak ditemukan. Sebaliknya luas
bidang dasar 0,01 m2/ha sampai 0,02 m2/ha ditemukan lebih banyak di dusung
vegetasi jarang, sedang atau vegetasi rapat terutama untuk tingkat tiang, pancang
dan semai di Desa Wakal dan Desa Hatu. Bila dibandingkan dengan hasil
penelitian beberapa ahli khusus untuk perubahan suksesi dari bentuk penggunaan
lahan hutan sekunder muda menjadi hutan sekunder tua maupun selanjutnya
menjadi hutan alam hasil penelitian Wardah (2008), bahwa rata-rata pertumbuhan
pohon hutan sekunder muda adalah 15,5 m2/ha dan hutan sekunder tua dapat
mencapai 28,4 m2/ha. Studi Dietz et al (2006) di Toro adalah 51 m2/ha; studi
hutan alam oleh Brodbeck et al (2003) adalah 31,6 – 33,1 m2/ha.
Pada Desa Wakal untuk ukuran kelas diameter pohon antara 20 s/d 30 cm
sebanyak 38 pohon/ha sementara untuk diameter > 30 cm hanya sebanyak 18
pohon/ha, hal ini dapat diduga bahwa proses suksesi pada penggunaan lahan
dusung vegetasi rapat baru saja dimulai. Di Desa Hatu diameter tingkat pohon
antara 20 s/d 30 cm sebanyak 29 pohon/ha dan untuk diameter > 30 cm sebanyak
43 pohon/ha. Pertumbuhan dan pertambahan jenis-jenis tanaman buah-buahan
produktif yang mendominasi dusung vegetasi sedang dan dusung vegetasi rapat
diduga akan mempercepat proses suksesi menuju terbentuknya hutan sekunder
kerapatan tinggi dengan hadirnya beragam spesies baru, baik tumbuhan-
tumbuhan, hewan atau mikroorganisme.
Jenis tanaman buah-buahan produktif pada dusung vegetasi sedang di
Desa Wakal dan Hatu, didominasi oleh tanaman coklat (Theobroma cacao sp),
durian (Durio zibethinus), kelapa (Cocos nucifera), jambu (Eugenia sp), rambutan
(Nephelium lappaceum), langsa (Lancium domesticum). Tanaman monokultur
seperti cengkeh (Eugenia aromatica), pala (Myristica fragran) dan sagu
(Metroxillon spp) akan membuka peluang untuk mempercepat proses
41
terbentuknya dusung hutan sekunder kerapatan tinggi, karena sudah masuk juga
beberapa tanaman kehutanan seperti kayu samama (Anthosepalus macrophylla),
pule (Alstonia scholaris), salawaku (Paraserianthes falcataria), guyawas hutan
(Duabanga mollucana), dan kayu yang ditanam masyarakat seperti kayu jati
(Tectona grandis), kayu titi (Gmelina mollucana) dan kayu lenggua (Pterocarpus
indicus).
Pertambahan jenis tanaman berkayu dan buah-buahan milik masyarakat
ini, merupakan hasil penanaman dan pengayaan secara alami yang telah dilakukan
20 sampai 30 tahun yang lalu, karena jumlah diameter tanaman yang ditemukan
lebih banyak di atas 30 cm yang mendominasi komposisi tegakan, begitu pula
untuk tingkat tiang, pancang dan semai yang ditemukan di lokasi studi.
Bentuk Penggunaan Lahan Sistem Dusung
Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka
ditetapkan 3 bentuk penggunaan lahan pada sistem dusung di Desa Wakal dan
Hatu, disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 3.
Tabel 9 Bentuk penggunaan lahan sistem dusung di Desa Wakal dan Hatu Bentuk Wakal Hatu Penggunaan Jenis Bentuk Jenis Bentuk Lahan Tanaman Penanaman Tanaman Penanaman Ladang
Kacang tanah, ubi talas, jagung,ubi jalar, terung, ubi kayu dan lainnya
Tumpangsari dan Monokultur
Ubi kayu, talas, kacang, timun panjang, terung, dan lainnya
Tumpangsari dan Monokultur
Kebun Campuran
Pisang,coklat, salak, langsa, duku, pulai, rambutan, jati, samama, pisang, lenggua, durian dan lainnya
Tumpangsari dan Agroforest
Langsa, nenas, coklat,cempedak, durian, pisang, sengon, kelapa, kenari, lenggua dan lainnya
Tumpangsari dan Agroforest
Kebun Monokultur
Cengkeh, pala, sagu
Tumpangsari dan Monokultur
Cengkeh, pala, Sagu
Tumpangsari dan Monokultur
Usahatani dusung merupakan multi cropping system yang di dalamnya
ditemukan berbagai bentuk penggunaan lahan dengan pola; ladang, kebun
campuran, dan kebun dengan hanya satu jenis komoditas tanaman (kebun
monokultur).
42
Ladang terbentuk oleh kebiasaan-kebiasan bertani masyarakat secara
tradisional dengan menanam jenis tanaman umbi-umbian dan sayuran seperti ubi
kayu (Manihot utilisima), ubi jalar (Xanthosoma sagittifolium), talas (Calocasia
esculenta), pisang (Musa spp), kacang tanah (Arachis hipogea) dan lainnya.
Biasanya luas lahan usahatani adalah sebesar 0,1 – 2 ha dan berjarak 100 - 500 m
dari Desa.
Kebun campuran terbentuk oleh pola pertanian forest crops yang
dilakukan sejak awal melalui tebang seleksi pada tahap pembukaan lahan hutan
sehingga jenis-jenis pohon yang ditinggalkan umumnya tanaman komersil yang
berfungsi sebagai tanaman pelindung seperti lenggua (Pterocarpus indicus), pule
(Alstonia scholaris), guyawas hutan (Duabanga mollucana), titi (Gmelina
mollucana), kemudian dilakukan penanaman pengayaan dengan tanaman buah-
buahan untuk jangka panjang yang ditemukan seperti kelapa (Cocos nucifera),
kenari (Canarium commune), durian (Durio zibethinus), dan lainnya.
Pola usahatani dusung dengan monokultur tanaman tahunan (khusus:
cengkeh, pala) terbentuk awalnya dari pola ladang dengan tanaman pangan
khususnya untuk konsumsi keluarga kemudian diikuti dengan penanaman
tanaman pala (Myristica fragran) dan cengkeh (Eugenia aromatica) sehingga
berkembang menjadi dusung dengan pola kebun monokultur. Begitu pula dengan
tanaman sagu (Metroxylon spp) yang ditanam pada lahan dataran rendah dengan
kondisi tanah tergenang air (rawa), dan daerah cekungan seperti pinggiran sungai.
Gambar 3 Bentuk penggunaan lahan pada sistem dusung
Ditinjau dari kelompok sistem agroforestri, maka sistem dusung dengan
pola usahatani ladang dan kebun monokultur dapat dikelompokan sebagai bentuk
agroforestri sederhana, karena pepohonan umumnya ditanam secara tumpangsari
43
dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim atau ditanam hanya satu atau dua
jenis tanaman saja. Sebaliknya kebun campuran merupakan agroforestri kompleks
(agroforest) karena biasanya terdapat berbagai jenis tanaman pepohonan (berbasis
pohon) yang sengaja ditanam maupun tumbuh sendiri secara alami (Huxley
1999).
Bentuk agroforestri dusung sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat,
pola bercocok tanam dan kondisi tapak/tempat tumbuh tanaman. Hal ini
mencirikan kondisi agroekosistem dusung yang terbentuk juga sangat berbeda
dengan ciri agroforestri yang ada dibeberapa daerah di Indonesia.
Berdasarkan bentuk penggunaan lahan yang terdapat pada sistem dusung
di kedua lokasi studi, maka hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh de
Foresta et al. (2000) bahwa, pola agroforestri lahir dari praktek tradisional
masyarakat dalam rangka diversifikasi produk, baik produksi pangan, tanaman
semusim (tanaman pertanian) maupun tanaman kehutanan yang memiliki struktur
yang serupa dengan hutan alam primer atau sekunder, karena didominasi
pepohonan dan keanekaragaman tetumbuhan.
Pola Usahatani Tradisional Sistem Dusung
Sistem silvikultur tradisional dusung sudah ada jauh sebelum sistem
silvikultur modern saat ini dikenal. Mengapa ?, karena pola usahatani ini
terbentuk sesuai dengan budaya dan tradisi masyarakat secara turun-temurun.
Kebiasaan usahatani dengan cara menanam tanaman jangka pendek (peladangan)
dan sayuran, akan dilanjutkan dengan menanam tanaman berkayu dan buah-
buahan secara bertahap pada lahan milik pribadi maupun milik keluarga
(marga/faam). Proses terbentuknya dusung berdasarkan pola usahatani, seperti
disajikan pada Tabel 10.
Terbentuknya dusung di lokasi studi ditunjukkan dengan pola usahatani
yang sama, dimulai dari pembukaan ewang (hutan primer) untuk berladang.
Proses ini dilakukan dengan cara menebang kayu di hutan alam dan
memanfaatkan pohon-pohon tersebut untuk kayu bakar, kayu pertukangan
maupun kayu bangunan rumah. Setelah itu selang beberapa hari dilihat bahwa
biomasa tanaman yang ditebang sudah mulai kering dan siap dibakar, maka
44
dilanjutkan dengan kegiatan pembakaran areal penebangan dan dibiarkan begitu
saja selama seminggu.
Tabel 10 Matriks proses terbentuknya dusung berdasarkan pola usahatani
Proses Pembentukan
Masa Tanam(Tahun)
Jenis-Jenis Tanaman
Pertumbuhan, Pemeliharaan &
Pengayaan (Tahun)
Masa Bera (Aong), dan
sasi adat (Tahun)
Masa Panen
(Tahun)
Ewang (Hutan primer menjadi ladang tahap I *
0,1-0,3
Ubi kayu, pisang, bayam, jagung, kacang tanah, papaya, dan lainnya
0,1 – 1
0,6 – 1 atau sesuai aturan
adat
0,3 - 0,6
Aong (ladang tahap 1) diberakan, ditanami menjadi ladang tahap II *
1-6
Ubi jalar, talas, matel, tomat, kacang panjang, terung, timun, papari dan lainnya
0,3 – 1
0,8 – 1,5 atau sesuai aturan
adat
0,6 – 1
Aong (ladang tahap II) diberakan lagi & pengayaan menjadi kebun campuran tahap I **
Tahun ke-5
Tanaman buah ; kelapa, durian, langsat, duku, rambutan, gandaria, mangga, jati, titi, lenggua dan lainnya
5 – 10
1 – 5 atau
sesuai aturan adat
sesuai musim panen
Kebun campuran tahap I mengalami suksesi menjadi hutan sekunder ***
Setiap Tahun
kenari, alpukat, manggis, jambu, samama, salawaku, pulai, Pete, Kuini dan lainnya.
5 – 10
1 – 5 atau
sesuai aturan adat
sesuai musim panen
*) Tanaman pertama setelah pembersihan dan pengolahan tanah sekaligus pembuatan pagar pelindung kemudian selang waktu diberakan (terbentuknya aong)
**) Tanaman kedua ditanam sementara kegiatan peladangan dan tegalan dilanjutkan dengan perbaikan pagar pelindung kemudian selang waktu diberakan (terbentuknya aong)
***) Tanaman tumbuh sendiri atau ditanam selama selang waktu diberakan (terbentuknya aong)
Penyiapan lahan untuk mulai bercocok tanam dilakukan lebih kurang dua
minggu yang dipahami secara tradisional bahwa abu hasil pembakaran itu
mengandung kalium yang berfungsi untuk menetralisir tanah bersifat masam.
Kemudian dilakukan penanaman tanaman peladangan/tegalan dan sayuran secara
bergiliran untuk jangka waktu pendek seperti ubi kayu (Manihot esculenta),
pisang (Musa spp), bayam (Amarantus sp), Jagung (Zea mays), kacang tanah
(Arachis hipogea), papaya (Carica papaya), sawi (Brasisca sp), ubi jalar
(Xanthosoma sagittifolium), talas (Calocasia esculenta), kacang panjang (Vigna
sinensis), terong (Solannum tuberesum), ketimun (Cucurbita sp), tomat
(Solannum lycopersicum), papari (Nomordica charantia). Kegiatan ini akan
dihentikan setelah dirasakan bahwa tanah tersebut tidak lagi memberikan hasil
45
yang menguntungkan (tidak produktif), maka kemudian lahan tersebut dibiarkan
terlantar (diberakan) untuk suatu waktu tertentu biasanya disebut masyarakat
dengan istilah aong.
Setelah sekian waktu lamanya dilihat bahwa kebun ladang/tegalan yang
ditinggalkan (aong) sudah secara alamiah ditumbuhi jenis-jenis tanaman pionir,
maka dilakukan upaya penanaman kembali dengan tanaman buah-buahan dan
tanaman kehutanan secara bergiliran, seperti kelapa (Cocos nucifera), durian
(Durio zibethinus), langsat (Lancium sp), duku (Lancium domesticum), rambutan
(Naphelium lapeceaum) gandaria (Buea macrophylla), mangga (Mangifera spp);
jati (Tectona grandis), titi (Gmelina mollucana), lenggua (Pterocarpus indicus),
kenari (Canarium commune), alpukat (Persea americana), manggis (Garcinia
mangostana), jambu (Eugenia jambolana), samama (Anthosepalus macrophylla),
salawaku (Paraserianthes falcataria), pulai (Alstonia scholaris), pete (Parkia
speciosa), kuini (Mangifera odorata) dan tanaman lainnya yang tumbuh sendiri
tanpa dilakukan perawatan sehingga terbentuklah dusung (Gambar 4 dan Tabel
10).
Pola pertanian dusung secara umum dikenal 2 tipe ditinjau dari aspek
pembentukan dan tahapan kegiatannya, yaitu, (1). Membangun dusung dengan
membuka lahan hutan, dan (2). Membangun dusung dengan membuka lahan
semak belukar. Perbedaan dasar dari kedua sistem ini adalah terletak pada proses
pengadaan forest crops. Pada pola pertanian dusung model pertama, proses
Gambar 4 Proses terbentuk dusung
Hutan Alam (Ewang)
Penebangan dan Pembakaran
Ladang Kebun Monokultur
Semak Belukar
Dusung
Penanaman
Kebun Campuran
Bera (aong)Penebasan dan
Pembakaran
46
pengadaan forest crops sudah dilakukan sejak awal melalui tebang seleksi pada
tahap pembukaan lahan hutan sehingga jenis-jenis pohon yang ditinggalkan
umumnya berfungsi sebagai tanaman pelindung. Sedangkan pada pola pertanian
dusung model kedua, proses pengadaan forest crops dilakukan kemudian yaitu
setelah proses penanaman annual dan perennial crops. Selanjutnya tahapan
kegiatan dari model pertama adalah : (1). Menentukan lahan hutan, (2). Membabat
tumbuhan bawah, (3). Menebang pohon-pohonan (sistem tebang pilih) dimana
pohon yang ditinggalkan akan berfungsi sebagai pohon pelindung, (4).
Pembersihan lahan, (5). Penanaman annual crops, (6). Pembuatan pagar
pelindung), (7). Penanaman perennial crops dan (8). Pemeliharaan.
Pola tanam model kedua ini juga sama dengan pola pertanian dusung
model pertama yaitu menggunakan kombinasi tanaman berupa annual, perennial
dan forest crops (kombinasi tanaman setahun, tahunan dan hutan). Namun pada
pola pertanian dusung model kedua, proses pengadaan forest crops dilakukan
pada saat setelah tahap penanaman annual dan perennial crops. Rangkaian
tahapan kegiatan dari pola pertanian dusung model ini adalah : (1). Menentukan
lahan usaha dengan prioritas lahan semak belukar, (2). Pembabatan semak belukar
(kegiatan ini biasa dilakukan dengan sistem masohi), (3). Pembakaran dan
pembersihan lahan, (4). Penanaman annual crops, (5). Pembuatan pagar
pelindung, (6). Penanaman perennial crops, (7). Penyiangan gulma dan (8).
Introduksi tanaman hutan sebagai tanaman pelindung (Matinahoru 2005).
Tingkat Penggunaan Lahan Pada Sistem Dusung
Terdapat 3 bentuk pengusahaan lahan pada lokasi studi, yaitu pemilikan
lahan usahatani dengan luas minimum ≤ 1 ha ( 25 %) ; luas lahan usahatani antara
1 – 2 ha (30 %) dan luas lahan usahatani > 2 ha (45 %). Status kepemilikan lahan
oleh masyarakat pada kedua lokasi studi dikategorikan sama, yaitu untuk lahan
dengan ukuran minimum sebagian besar milik pribadi, sedangkan luas lahan di
atas 2 ha umumnya berstatus milik bersama (keluarga).
Tingkat penggunaan lahan dimaksudkan pada lokasi penelitian di Desa
Wakal dan Hatu adalah sistem pengelolaan lahan yang spesifik terkait dengan
jenis tanaman dan sistem pertanaman yang diterapkan (teknik budidaya),
47
pemanfaatan lahan dan teknik konservasi. Tingkat pemanfaatan lahan dapat
dikelompokkan atas kategori berikut :
1. Pemanfaataan lahan 80,01 – 100 % dari lahan tersedia dikategorikan optimal.
2. Pemanfaataan lahan 60,01 – 80 % dari lahan tersedia adalah belum optimal
3. Pemanfaataan lahan 40,01 – 60 % dari lahan tersedia adalah kurang optimal
4. Pemanfaataan lahan ≤ 40 % dari lahan tersedia adalah tidak optimal
Penetapan kategori (kurang optimal, belum optimal dan optimal)
berdasarkan tingkat pengelolaan lahan akan memberikan alasan terhadap bentuk
pemanfaatan lahan yang diusahakan petani sesuai pola tanam masyarakat
setempat. Berdasarkan asumsi tersebut, maka kondisi aktual pemanfaatan lahan
sesuai bentuk penggunaan lahan di kedua lokasi penelitian sesuai hasil wawancara
dengan petani, disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Tingkat penggunaan dan pengelolaan lahan sistem dusung Penggunaan
Lahan
Pola Tanam
Rerata
Pemanfaatan
Lahan (%)
Tingkat
Pengelolaan
Lahan
Kategori
Wakal
Ladang Ubi kayu + kelapa 60 Sedang
Terung + cabe 15 Rendah
Kacang tanah 15 Sedang
Ubi talas + pisang 15 Rendah
26,25 Tidak optimal
Kebun
Campuran
Kelapa + pisang 75 Tinggi
coklat + langsat+cengkeh 90 Tinggi
pala + jati + langsa 60 Sedang
Durian + salak + duku 70 Sedang
73,75 Belum optimal
Kebun
Monokultur
Cengkeh 80 Sedang
Pala 70 Sedang
Sagu 35 Rendah
61,67 Belum optimal
48
Hatu
Ladang Ubi kayu + terung 45 Sedang
Kacang panjang + terung 10 Sedang
Ubi jalar + jagung + kelapa 15 Sedang
Ubi talas + pisang 15 Rendah
21,24 Tidak optimal
Kebun
Campuran
Kelapa + coklat + pisang 85 Tinggi
Nenas + salawaku 80 Sedang
Durian + pala + langsa 60 Rendah
Cengkeh + lenggua 80 Tinggi
76,25 Belum optimal
Kebun
Monokultur
Cengkeh 85 Tinggi
Pala 80 Sedang
Sagu 40 Rendah
68,33 Belum optimal
Berdasarkan informasi Tabel 11 diketahui bahwa pemanfaatan lahan
garapan di Desa Wakal untuk penggunaan lahan ladang sebesar 26,25 %, kebun
campuran sebesar 73,75 % dan kebun monokultur sebesar 61,67 %. Tingkat
penggunaan dan pemanfaatan lahan untuk kebun campuran dan kebun monokultur
dikategorikan belum optimal karena pada kedua penggunaan lahan ini
pengelolaan dan pemanfaatan lahan mulai intensif dilakukan petani ketika
tanaman mulai berbuah hingga akhir masa panen. Sebaliknya penggunaan lahan
ladang pengelolaan tanaman dilakukan lebih intensif pada tanaman umbi-umbian.
Hal ini disebabkan karena usahatani ladang sifatnya tidak menetap karena
disesuaikan dengan kondisi iklim. Biasanya kegiatan bertani dilakukan diawal
musim kemarau dan kemudian berhenti diawal mulai musim penghujan.
Pemanfaatan lahan garapan di Desa Hatu untuk penggunaan lahan kebun
campuran sebesar 76,25 % dan kebun monokultur sebesar 68,33 % dikategorikan
belum optimal. Sistem usahatani yang dilakukan pada kedua bentuk penggunaan
lahan ini bersifat temporer karena kegiatan rutin dilakukan hanya pada saat
tanaman mulai berbuah hingga usai masa panen, keterbatasan pengetahuan petani
49
juga menjadi kendala dalam menerapkan teknik budidaya dan pemeliharaan
tanaman. Untuk penggunaan lahan ladang dengan tingkat pengelolaan sebesar
21,24 %, disebabkan karena masyarakat petani di Desa Hatu yang berladang
hanya sebagian orang saja yang dilakukan diawal musim kemarau dan berhenti
pada awal terjadinya musim hujan. Petani di Desa Hatu lebih mengandalkan
kegiatan usahatani tanaman monokultur dibandingkan berladang karena menurut
petani tanaman tersebut dapat memberikan hasil produksi secara baik.
Hasil penelitian Sehe (2007) di Cikapundung Bandung Utara
menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan sesuai pola tanam masyarakat setempat
dengan pemanfaatan lahan untuk tanaman monokultur sebesar 33,3 % dan
tanaman dengan pola agroforestri sederhana sebesar 56,9 – 62,5 %. Bila
dibandingkan dengan hasil penelitian tersebut, maka agroforestri sederhana pada
sistem dusung adalah pada bentuk penggunaan lahan ladang dan tanaman
monokultur. Sebaliknya pada kebun campuran merupakan bentuk agroforestri
kompleks karena memiliki pola tanam dengan beragam jenis tanaman buah-
buahan dan tanaman berkayu.
Priyono et al. (2005) mengatakan bahwa dalam manajemen ruang,
tanaman kehutanan dan tanaman pertanian (agroforestri) didasarkan pada tindakan
silvikultur dan agronomi baik secara pararel atau seri, menjadi dasar dalam
menentukan keberlangsungan agroforestri. Dinamika ruang temu sangat
menentukan apakah model agroforestri yang berkembang dapat menjaga
keseimbangan produk baik tanaman pohon maupun tanaman semusim atau
mengarah pada model yang didominasi oleh komponen pohon saja.
Produktifitas Usahatani Dusung
Pertimbangan utama usahatani dusung antara lain karakteristik lahan, dan
potensi produktifitas lahan, yaitu jumlah dan jenis tanaman yang dapat dipanen
per satuan luas lahan. Jumlah produksi tanaman yang dapat dipanen oleh
masyarakat di Desa Wakal dan Hatu sangat berbeda dilihat dari bentuk
penggunaan lahan, seperti disajikan pada Tabel 12 dan Gambar 5.
Tabel 12 Produktifitas tanaman berdasarkan bentuk penggunaan lahan di Desa Wakal dan Hatu.
50
Bentuk Penggunaan Lahan
Luas Lahan (ha)
Produktifitas (Rp) / ha
Total Produktifitas (Rp)
Desa Wakal
Ladang 9 3.466.924,- Kebun Campuran 38 9.716.000,- 18.232.924,-Kebun Monokultur 23 5.050.000,- Desa Hatu
Ladang 11,6 2.394.804,-Kebun Campuran 42,7 11.468.000,- 20.647.804,-Kebun Monokultur 26,5 6.785.000,-
Gambar 5 Persentase produktifitas lahan di Desa Wakal dan Hatu
Hasil perhitungan produktifitas lahan berdasarkan jenis tanaman di Desa
Wakal untuk kebun campuran dengan luas lahan 23 ha memiliki nilai produksi
terbesar mencapai Rp 9.716.000,- /ha/tahun atau 55 %. Untuk kebun monokultur
dengan luas lahan 23 ha produksi sebesar Rp 5.050.000,- /ha/tahun atau 33 %, dan
ladang dengan luas 9 ha dengan produksi sebesar Rp 3.466.924,- /ha/tahun atau
12 %. di Desa Hatu produktifitas tanaman tertinggi juga dihasilkan oleh kebun
campuran dengan luas lahan 42,7 ha memiliki nilai produksi sebesar Rp
11.468.000,- /ha/tahun atau 53 % diikuti produksi tanaman untuk kebun
monokultur sebesar Rp. 6.785.000,- /ha/tahun atau 19 % dengan luas lahan 26,5
dan tanaman untuk ladang dengan luas lahan 11,6 ha, nilai produksi sebesar Rp.
2.394.804,- /ha/tahun atau 28 %.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktifitas tanaman jangka pendek
(3 - 6 bulan) dihasilkan pada penggunaan lahan ladang, karena pola usahatani
yang dilakukan petani masih bersifat tradisional dan terbatas hanya untuk
dikonsumsi saja. Keberadaan petani di Maluku umumnya sangat bergantung pada
kondisi iklim (musim) yang juga secara langsung berpengaruh terhadap pola
Produktifitas Lahan Di Desa Hatu
12%
55%
33%
ladang
kebuncampurankebunmonokultur
Produktifitas Lahan Di Desa Wakal
19%
53%
28%
ladang
kebuncampurankebunmonokultur
51
usahatani dan hasil produksi tanaman. Faktor penting dari upaya meningkatkan
produktifitas lahan adalah petani itu sendiri, karena untuk mengembalikan tingkat
kesuburan tanah yang relatif rendah, masyarakat petani belum menerapkan
pemupukan berimbang dalam teknik usahatani dan masih bergantung pada tingkat
kesuburan tanah alami pada sistem usahatani dusung.
Menurut petani, tanaman yang memberikan hasil produksi secara
berkelanjutan dan menguntungkan adalah pada kebun campuran. Hal ini lebih
disebabkan oleh adanya kombinasi tanaman umur panjang (buah-buahan) yang
memiliki nilai ekonomis tinggi seperti durian, coklat, pisang, salak dan kelapa
karena waktu produksi tanaman ini secara rutin dapat dipanen oleh petani.
Tanaman monokultur (cengkeh, pala dan sagu) sebenarnya memiliki nilai
ekonomis, namun produksi tanaman ini menurut petani semakin menurun setiap
tahun apalagi pemeliharaan tanaman itu tidak dilakukan secara intensif dan
teratur, sehingga produksinya pun tidak secara baik setiap musimnya.
Berdasarkan hasil penelitian Sehe (2007), pada lahan kering di Hulu Sub
Das Cikapundung Bandung Utara bahwa produktifitas tanaman alpokat, nangka
dan jeruk pada sistem tanaman campuran memberikan nilai produksi rata-rata
sebesar 10.000-15.000 kg/ha/tahun untuk luas lahan 10-25 Hektar. Bila
dibandingkan dengan hasil penelitian tersebut jelaslah bahwa tanaman campuran
memiliki peluang produksi yang lebih besar.
Beberapa hasil studi yang dihimpun oleh Perry (1994) di peroleh informasi
bahwa produktifitas akan lebih tinggi pada tegakan campuran daripada tegakan
sejenis. Hal ini disebabkan karena pertama, lebih banyak sumberdaya tersedia
untuk tegakan campuran yang dapat dihasilkan dari jenis berbeda karena faktor
lingkungan bila dibandingkan tegakan sejenis atau terdapat jenis-jenis yang dapat
meningkatkan ketersediaan beberapa sumber pembatas misalnya tumbuhan
penfiksasi nitrogen. Kedua tegakan campuran lebih stabil daripada tegakan
sejenis terutama yang berhubungan dengan fruktuasi iklim, hama dan penyakit
serta produktifitas.
52
Erosi Tanah Pada Lahan Dusung
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis tanah secara deskriptif pada
ketiga bentuk penggunaan lahan, maka lapisan solum dengan kandungan bahan
organik (humus) tinggi dicirikan dengan lapisan berwarna hitam mempunyai
kedalaman 0 - 50 cm dari permukaan tanah. Pentingnya informasi mengenai
erosi tanah pada sistem agroforestri dusung dimaksudkan untuk melihat lapisan
tanah yang subur yang dapat mempengaruhi produksi tanaman karena praktek
penggunaan lahan dalam arti luas sangat dipengaruhi oleh faktor erosi dimana
terjadi pencucian kandungan bahan organik pada lapisan tanah atas, akibatnya
produktifitas lahan akan menurun (Supli 2000).
Penentuan besarnya erosi dilakukan dengan menghitung besar erosi aktual
dan erosi yang masih dapat ditoleransikan. Hasil bagi antara erosi yang terjadi
dengan erosi yang masih dapat dibiarkan menentukan indeks bahaya erosi (IBE).
Tingkat bahaya erosi ditentukan berdasarkan kategori sebagai berikut:
1. IBE ≤ 1, bahaya erosi tergolong ringan
2. IBE = 1 - 4, bahaya erosi tergolong sedang
3. IBE = 4 – 10 , bahaya erosi tergolong berat atau tinggi
4. IBE ≥ 10 bahaya erosi tergolong sangat berat atau sangat tinggi
Besarnya erosi (prediksi) yang terjadi pada bentuk penggunaan lahan usahatani
dusung seperti ditunjukkan pada Tabel 13 berikut.
Tabel 13 Prediksi erosi pada bentuk penggunaan lahan usahatani dusung di Desa Wakal dan Hatu
Bentuk
Penggunaan Lahan
KemiringanLereng (%)
Erosi Aktual (ton/ha/tahun)
Tolelir Erosi (E-Tol) (ton/ha/tahun)
IBE Kategori TBE
Desa Wakal
Ladang 0 - 8 53,83 48 1,12 Sedang
Kebun Campuran 8 - 30 30,68 45 0,68 Ringan
Kebun Monokultur
Cengkeh/pala
0 - 30
72,30
45
1,61
Sedang
53
Sagu 0 - 15 12,99 32,4 0,40 Ringan
Desa Hatu
Ladang 0 - 30 49,5 30 1,65 Sedang
Kebun Campuran 8 - 45 12,14 33 0,37 Ringan
Kebun Monokultur
Cengkeh/pala
0 - 30
38,82
43,2
0,90
Ringan
Sagu 0 - 15 13,38 29,7 0,45 Ringan
Dusung di Desa Wakal dengan bentuk penggunaan lahan ladang, di
temukan berada pada daerah datar pada lereng 0 - 8 % ; kebun campuran 8 – 30
% dan kebun monokultur cukup bervariasi antara 0 - 45 %. Sebaliknya dusung di
Desa Hatu dengan bentuk penggunaan lahan ladang berada pada kemiringan
lereng antara 0-30 % ; kebun campuran 8-45 % dan kebun monokultur 8-30 %.
Selain faktor iklim, curah hujan dan penutupan vegetasi maka kemiringan lereng
merupakan faktor penentu terjadinya erosi berdasarkan karakteristik lahan
(Lampiran 8).
Hasil prediksi erosi aktual pada bentuk penggunaan lahan ladang dan
monokultur cengkeh-pala di Desa Wakal adalah 53,83 ton/ha/tahun dan 72,30
ton/ha/tahun. Nilai erosi pada kedua penggunaan lahan ini, berada lebih besar
dari erosi yang dapat ditoleransikan yakni 48 ton/ha/tahun dan 45 ton/ha/tahun.
Besar erosi pada kedua penggunaan lahan ini diduga akibat dari kegiatan
usahatani yang dilakukan dengan membersihkan tumbuhan penutup tanah di
bawah tanaman cengkeh terutama pada musim panen dan pada saat pola
penyiapan lahan untuk penanaman dengan cara membakar sehingga menyisahkan
lahan terbuka.
Pada sistem perladangan, dengan tanaman ubi kayu ditumpangsari dengan
tanaman jagung, penutupan lahannya rendah sehingga erosi yang terjadi cukup
tinggi. Sebaliknya untuk penggunaan lahan kebun campuran dan kebun
monokultur sagu erosinya adalah 30,68 ton/ha/tahun dan 12,99 ton/ha/tahun.
Erosi tersebut masih berada di bawah nilai erosi yang ditoleransikan yaitu 45
54
ton/ha/tahun dan 32,4 ton/ha/tahun. Pada kebun campuran fungsi stratifikasi tajuk
sudah terlihat berlapis antara tanaman salak dengan tanaman durian, kelapa,
langsa, kenari dan vegetasi bawah yang dijumpai ditutupi oleh rerumputan dan
serasah pada bagian permukaan lahan, sehingga erosi yang terjadi relatif
rendah. Pada penggunaan lahan tanaman monokultur sagu, nilai erosi sebesar
12,99 ton/ha/tahun, masih berada di bawah erosi yang dapat ditoleransikan (ETot)
yakni 30 ton/ha/tahun. Nilai erosi ini rendah karena tanaman sagu umumnya
ditemukan pada daerah dataran rendah (rawa) kemiringan lereng 0-5 % dan pada
cekungan sungai dengan tingkat genangan air yang cukup tinggi, karena perakaran
tanaman sagu mampu menyerap air yang besar dan sifat tanah umumnya peka
terhadap erosi.
Prediksi erosi untuk bentuk penggunaan lahan di Desa Hatu, diperoleh
erosi tertinggi pada penggunaan lahan ladang yaitu 49 ton/ha/tahun lebih tinggi
dari erosi yang masih ditoleransi (ETot) yakni 33 ton/ha/tahun. Besar erosi pada
penggunaan lahan ini terlihat pada penanaman tanaman nenas di bawah tegakan
kelapa, umumnya lahan terbuka tanpa penutup tanah, begitu juga dengan tanaman
kacang panjang yang ditumpangsarikan dengan terung umumnya ditanam pada
daerah berlereng pada kondisi tanah terbuka. Erosi pada penggunaan lahan kebun
campuran adalah 12,14 ton/ha/tahun, lebih rendah dari erosi yang masih dapat
ditoleransikan yakni 33 ton’ha/tahun. Adanya stratifikasi tanaman cukup rapat,
seperti durian, petai, jambu, langsa, kelapa dan pisang dengan tumbuhan bawah
dan serasah mampu menyerap air dan menjaga stabilitas tanah meskipun
umumnya berada pada kemiringan lereng 8 - 40 %.
Penggunaan lahan tanaman monokultur cengkeh dan pala besar erosi
38,82 ton/ha/tahun, lebih rendah dari nilai erosi yang ditoleransi (ETot) yakni 43,2
ton/ha/tahun, ini terjadi karena tanaman cengkeh dan pala banyak ditanam secara
bergiliran sehingga kondisi tajuk terlihat cukup rapat dan permukaan tanah
banyak ditutupi oleh vegetasi bawah. Tanaman monokultur sagu erosi aktual
13,38 ton/ha/tahun tergolong rendah dengan nilai toleransi erosi (ETot) yakni 29,7
ton/ha/tahun. Hal ini karena sifat tanaman sagu dengan kondisi perakaran yang
mampu menyerap air dalam jumlah banyak dan memiliki sifat tanah yang peka
terhadap erosi.
55
Hasil penelitian Sutono et al. (2003), pada beberapa tipe penggunaan lahan
(tegalan dengan tanaman semusim dan tanaman monokultur yakni rambutan dan
kaliandris), dimana besarnya hasil erosi menunjukkan bahwa pada tegalan besar erosi
dapat dikendalikan dengan penanaman tanaman penutup tanah namun pada tanaman
monokultur dengan penanaman singkong memberikan jumlah erosi yang besar.
Sedangkan penelitian skala plot yang dilakukan Pujianto (2004) pada tanaman kopi
dan rambutan bahwa tindakan pengendalian erosi menggunakan teras bangku dan
strip tanaman sangat efektif mengurangi erosi. Menurut Wischmeier dan Smith
(1978) bahwa penentuan erosi diperbolehkan (ETot) harus mempertimbangkan
jumlah tanah yang hilang yang diperbolehkan pertahun agar produktifitas lahan tidak
berkurang sehingga tanah tetap produktif secara lestari dalam hal ini terjaganya
ketebalan lapisan tanah atas, sifat fisik tanah, kandungan bahan organik dan
kandungan zat hara tanaman.
Berdasarkan hasil penelitian di atas bila dibandingkan dengan penggunaan
lahan sistem dusung menunjukkan bahwa, kombinasi tanaman kebun campuran
dan kebun monokultur sagu cukup efektif dalam mengurangi terjadinya erosi. Ini
memberikan bukti bahwa bentuk pertanaman pada sistem dusung mampu menjaga
kerusakan tanah akibat erosi sehingga lapisan solum tanah sebagai lapisan organik
yang subur dapat terjaga dengan baik sebagai lapisan produktif bagi pertumbuhan
tanaman. Agus et al. (2003) mengatakan bahwa, sistem penggunaan lahan
berbasis tanaman pepohonan mampu mempertahankan kapasitas mitigasi banjir
mendekati kapasitas hutan, karena sistem penggunaan lahan yang berbeda mampu
memberikan jasa lingkungan yang berbeda pula tergantung pada sistem itu sendiri
dan cara pengelolaannya.