hasil dan pembahasan profil vegetasi penyusun dusung 5... · hasil dan pembahasan ... berdasarkan...

17
39 HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung Stratifikasi dusung sangat dipengaruhi oleh struktur dan komposisi jenis tanaman, baik jenis tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat maupun jenis tanaman yang tumbuh sendiri selama berlangsungnya proses suksesi. Hasil analisa vegetasi pada beberapa bentuk penutupan lahan di Desa Wakal dan Hatu menunjukkan adanya pengaruh suksesi dari dusung vegetasi jarang menjadi dusung vegetasi sedang dan selanjutnya menjadi dusung vegetasi rapat, disajikan pada Tabel berikut. Tabel 8 Komposisi vegetasi penyusun dusung sesuai tingkat pertumbuhan berdasarkan bentuk penutupan lahan Penutupan Lahan Σ Kera- patan (individu /ha) LBD (m 2 /ha) (%) LBD (%) Kera- patan Σ Kera- patan (individu /ha) LBD (m 2 /ha) (%) LBD (%) Kera- patan Dusung vegetasi jarang (DVJ) Pohon 8 60 4,74 100 2,12 7 40 2,61 100 8,70 Tiang 4 70 0,76 0,02 2,47 4 40 0,62 0,02 8,70 Pancang + Semai 9 2.700 0,78 0,02 95,41 10 380 0,39 0,02 82,61 Jumlah 21 2.830 4,74 30 21 460 2,61 8 Dusung vegetasi sedang (DVS) Pohon 10 115 2,79 73,56 5,41 12 135 8,61 81,42 5,88 Tiang 7 110 1 26,42 5,18 11 260 1,96 18,58 11,33 Pancang + Semai 14 1.900 0,67 0,02 89,41 18 1.900 0,52 0,005 82,79 Jumlah 31 2.125 3,80 23 41 2.295 11,09 41 Dusung vegetasi rapat (DVR) Pohon 13 305 9,09 81,54 6,89 13 410 13,89 89,21 14,14 Tiang 11 449 2,06 18,45 10,15 8 330 1,68 10,79 11,38 Pancang + Semai 18 3.670 0,64 0,01 82,96 18 2.160 0,56 0,004 74,48 Jumlah 42 4.424 11,15 47 39 2.900 15,57 51 Hasil analisis vegetasi penyusun dusung pada ketiga bentuk penutupan lahan menunjukkan bahwa jumlah jenis, kerapatan dan luas bidang dasar pohon paling tinggi ditemukan pada bentuk penutupan lahan dusung vegetasi rapat. Di lokasi Desa Wakal ditemukan jumlah dan jenis tanaman pada berbagai tingkat pertumbuhan yang lebih banyak, ini juga ditunjukkan dengan jumlah kerapatan untuk dusung vegetasi jarang sebanyak 2.830 individu/ha atau 30 %, untuk vegetasi sedang sebanyak 2.125 individu/ha atau 23 % dan untuk dusung vegetasi rapat sebanyak 4.424 individu/ha atau 47 %. Sedangkan di Desa Hatu, untuk

Upload: hoangxuyen

Post on 16-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

39

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Vegetasi Penyusun Dusung

Stratifikasi dusung sangat dipengaruhi oleh struktur dan komposisi jenis

tanaman, baik jenis tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat maupun jenis

tanaman yang tumbuh sendiri selama berlangsungnya proses suksesi. Hasil

analisa vegetasi pada beberapa bentuk penutupan lahan di Desa Wakal dan Hatu

menunjukkan adanya pengaruh suksesi dari dusung vegetasi jarang menjadi

dusung vegetasi sedang dan selanjutnya menjadi dusung vegetasi rapat, disajikan

pada Tabel berikut.

Tabel 8 Komposisi vegetasi penyusun dusung sesuai tingkat pertumbuhan berdasarkan bentuk penutupan lahan

Penutupan Lahan

Σ

Kera-patan

(individu/ha)

LBD (m2/ha)

(%) LBD

(%) Kera-patan

Σ

Kera- patan

(individu /ha)

LBD (m2/ha)

(%) LBD

(%) Kera- patan

Dusung vegetasi jarang (DVJ)

Pohon 8 60 4,74 100 2,12 7 40 2,61 100 8,70

Tiang 4 70 0,76 0,02 2,47 4 40 0,62 0,02 8,70 Pancang +

Semai 9 2.700 0,78 0,02 95,41 10 380 0,39 0,02 82,61

Jumlah 21 2.830 4,74 30 21 460 2,61 8 Dusung vegetasi sedang (DVS)

Pohon 10 115 2,79 73,56 5,41 12 135 8,61 81,42 5,88

Tiang 7 110 1 26,42 5,18 11 260 1,96 18,58 11,33

Pancang + Semai 14 1.900 0,67 0,02 89,41 18 1.900 0,52 0,005 82,79

Jumlah 31 2.125 3,80 23 41 2.295 11,09 41 Dusung vegetasi rapat (DVR)

Pohon 13 305 9,09 81,54 6,89 13 410 13,89 89,21 14,14

Tiang 11 449 2,06 18,45 10,15 8 330 1,68 10,79 11,38

Pancang + Semai 18 3.670 0,64 0,01 82,96 18 2.160 0,56 0,004 74,48

Jumlah 42 4.424 11,15 47 39 2.900 15,57 51

Hasil analisis vegetasi penyusun dusung pada ketiga bentuk penutupan

lahan menunjukkan bahwa jumlah jenis, kerapatan dan luas bidang dasar pohon

paling tinggi ditemukan pada bentuk penutupan lahan dusung vegetasi rapat. Di

lokasi Desa Wakal ditemukan jumlah dan jenis tanaman pada berbagai tingkat

pertumbuhan yang lebih banyak, ini juga ditunjukkan dengan jumlah kerapatan

untuk dusung vegetasi jarang sebanyak 2.830 individu/ha atau 30 %, untuk

vegetasi sedang sebanyak 2.125 individu/ha atau 23 % dan untuk dusung vegetasi

rapat sebanyak 4.424 individu/ha atau 47 %. Sedangkan di Desa Hatu, untuk

Page 2: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

40

dusung vegetasi jarang kerapatan tanaman sebanyak 460 individu/ha atau 8 %,

untuk dusung vegetasi sedang dengan 2.295 individu/ha atau 41 % dan dusung

vegetasi rapat adalah 2.900 individu/ha atau sebesar 51 %.

Penelitian Wardah (2008), pada ekosistem kebun hutan di Taman Nasional

Lore Lindu, Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa luas bidang dasar tingkat

pohon dan tiang di ladang paling rendah adalah 0,2 m2/ha dan 0,03 m2/ha,

sedangkan untuk tingkat pancang dan semai tidak ditemukan. Sebaliknya luas

bidang dasar 0,01 m2/ha sampai 0,02 m2/ha ditemukan lebih banyak di dusung

vegetasi jarang, sedang atau vegetasi rapat terutama untuk tingkat tiang, pancang

dan semai di Desa Wakal dan Desa Hatu. Bila dibandingkan dengan hasil

penelitian beberapa ahli khusus untuk perubahan suksesi dari bentuk penggunaan

lahan hutan sekunder muda menjadi hutan sekunder tua maupun selanjutnya

menjadi hutan alam hasil penelitian Wardah (2008), bahwa rata-rata pertumbuhan

pohon hutan sekunder muda adalah 15,5 m2/ha dan hutan sekunder tua dapat

mencapai 28,4 m2/ha. Studi Dietz et al (2006) di Toro adalah 51 m2/ha; studi

hutan alam oleh Brodbeck et al (2003) adalah 31,6 – 33,1 m2/ha.

Pada Desa Wakal untuk ukuran kelas diameter pohon antara 20 s/d 30 cm

sebanyak 38 pohon/ha sementara untuk diameter > 30 cm hanya sebanyak 18

pohon/ha, hal ini dapat diduga bahwa proses suksesi pada penggunaan lahan

dusung vegetasi rapat baru saja dimulai. Di Desa Hatu diameter tingkat pohon

antara 20 s/d 30 cm sebanyak 29 pohon/ha dan untuk diameter > 30 cm sebanyak

43 pohon/ha. Pertumbuhan dan pertambahan jenis-jenis tanaman buah-buahan

produktif yang mendominasi dusung vegetasi sedang dan dusung vegetasi rapat

diduga akan mempercepat proses suksesi menuju terbentuknya hutan sekunder

kerapatan tinggi dengan hadirnya beragam spesies baru, baik tumbuhan-

tumbuhan, hewan atau mikroorganisme.

Jenis tanaman buah-buahan produktif pada dusung vegetasi sedang di

Desa Wakal dan Hatu, didominasi oleh tanaman coklat (Theobroma cacao sp),

durian (Durio zibethinus), kelapa (Cocos nucifera), jambu (Eugenia sp), rambutan

(Nephelium lappaceum), langsa (Lancium domesticum). Tanaman monokultur

seperti cengkeh (Eugenia aromatica), pala (Myristica fragran) dan sagu

(Metroxillon spp) akan membuka peluang untuk mempercepat proses

Page 3: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

41

terbentuknya dusung hutan sekunder kerapatan tinggi, karena sudah masuk juga

beberapa tanaman kehutanan seperti kayu samama (Anthosepalus macrophylla),

pule (Alstonia scholaris), salawaku (Paraserianthes falcataria), guyawas hutan

(Duabanga mollucana), dan kayu yang ditanam masyarakat seperti kayu jati

(Tectona grandis), kayu titi (Gmelina mollucana) dan kayu lenggua (Pterocarpus

indicus).

Pertambahan jenis tanaman berkayu dan buah-buahan milik masyarakat

ini, merupakan hasil penanaman dan pengayaan secara alami yang telah dilakukan

20 sampai 30 tahun yang lalu, karena jumlah diameter tanaman yang ditemukan

lebih banyak di atas 30 cm yang mendominasi komposisi tegakan, begitu pula

untuk tingkat tiang, pancang dan semai yang ditemukan di lokasi studi.

Bentuk Penggunaan Lahan Sistem Dusung

Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka

ditetapkan 3 bentuk penggunaan lahan pada sistem dusung di Desa Wakal dan

Hatu, disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 3.

Tabel 9 Bentuk penggunaan lahan sistem dusung di Desa Wakal dan Hatu Bentuk Wakal Hatu Penggunaan Jenis Bentuk Jenis Bentuk Lahan Tanaman Penanaman Tanaman Penanaman Ladang

Kacang tanah, ubi talas, jagung,ubi jalar, terung, ubi kayu dan lainnya

Tumpangsari dan Monokultur

Ubi kayu, talas, kacang, timun panjang, terung, dan lainnya

Tumpangsari dan Monokultur

Kebun Campuran

Pisang,coklat, salak, langsa, duku, pulai, rambutan, jati, samama, pisang, lenggua, durian dan lainnya

Tumpangsari dan Agroforest

Langsa, nenas, coklat,cempedak, durian, pisang, sengon, kelapa, kenari, lenggua dan lainnya

Tumpangsari dan Agroforest

Kebun Monokultur

Cengkeh, pala, sagu

Tumpangsari dan Monokultur

Cengkeh, pala, Sagu

Tumpangsari dan Monokultur

Usahatani dusung merupakan multi cropping system yang di dalamnya

ditemukan berbagai bentuk penggunaan lahan dengan pola; ladang, kebun

campuran, dan kebun dengan hanya satu jenis komoditas tanaman (kebun

monokultur).

Page 4: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

42

Ladang terbentuk oleh kebiasaan-kebiasan bertani masyarakat secara

tradisional dengan menanam jenis tanaman umbi-umbian dan sayuran seperti ubi

kayu (Manihot utilisima), ubi jalar (Xanthosoma sagittifolium), talas (Calocasia

esculenta), pisang (Musa spp), kacang tanah (Arachis hipogea) dan lainnya.

Biasanya luas lahan usahatani adalah sebesar 0,1 – 2 ha dan berjarak 100 - 500 m

dari Desa.

Kebun campuran terbentuk oleh pola pertanian forest crops yang

dilakukan sejak awal melalui tebang seleksi pada tahap pembukaan lahan hutan

sehingga jenis-jenis pohon yang ditinggalkan umumnya tanaman komersil yang

berfungsi sebagai tanaman pelindung seperti lenggua (Pterocarpus indicus), pule

(Alstonia scholaris), guyawas hutan (Duabanga mollucana), titi (Gmelina

mollucana), kemudian dilakukan penanaman pengayaan dengan tanaman buah-

buahan untuk jangka panjang yang ditemukan seperti kelapa (Cocos nucifera),

kenari (Canarium commune), durian (Durio zibethinus), dan lainnya.

Pola usahatani dusung dengan monokultur tanaman tahunan (khusus:

cengkeh, pala) terbentuk awalnya dari pola ladang dengan tanaman pangan

khususnya untuk konsumsi keluarga kemudian diikuti dengan penanaman

tanaman pala (Myristica fragran) dan cengkeh (Eugenia aromatica) sehingga

berkembang menjadi dusung dengan pola kebun monokultur. Begitu pula dengan

tanaman sagu (Metroxylon spp) yang ditanam pada lahan dataran rendah dengan

kondisi tanah tergenang air (rawa), dan daerah cekungan seperti pinggiran sungai.

Gambar 3 Bentuk penggunaan lahan pada sistem dusung

Ditinjau dari kelompok sistem agroforestri, maka sistem dusung dengan

pola usahatani ladang dan kebun monokultur dapat dikelompokan sebagai bentuk

agroforestri sederhana, karena pepohonan umumnya ditanam secara tumpangsari

Page 5: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

43

dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim atau ditanam hanya satu atau dua

jenis tanaman saja. Sebaliknya kebun campuran merupakan agroforestri kompleks

(agroforest) karena biasanya terdapat berbagai jenis tanaman pepohonan (berbasis

pohon) yang sengaja ditanam maupun tumbuh sendiri secara alami (Huxley

1999).

Bentuk agroforestri dusung sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat,

pola bercocok tanam dan kondisi tapak/tempat tumbuh tanaman. Hal ini

mencirikan kondisi agroekosistem dusung yang terbentuk juga sangat berbeda

dengan ciri agroforestri yang ada dibeberapa daerah di Indonesia.

Berdasarkan bentuk penggunaan lahan yang terdapat pada sistem dusung

di kedua lokasi studi, maka hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh de

Foresta et al. (2000) bahwa, pola agroforestri lahir dari praktek tradisional

masyarakat dalam rangka diversifikasi produk, baik produksi pangan, tanaman

semusim (tanaman pertanian) maupun tanaman kehutanan yang memiliki struktur

yang serupa dengan hutan alam primer atau sekunder, karena didominasi

pepohonan dan keanekaragaman tetumbuhan.

Pola Usahatani Tradisional Sistem Dusung

Sistem silvikultur tradisional dusung sudah ada jauh sebelum sistem

silvikultur modern saat ini dikenal. Mengapa ?, karena pola usahatani ini

terbentuk sesuai dengan budaya dan tradisi masyarakat secara turun-temurun.

Kebiasaan usahatani dengan cara menanam tanaman jangka pendek (peladangan)

dan sayuran, akan dilanjutkan dengan menanam tanaman berkayu dan buah-

buahan secara bertahap pada lahan milik pribadi maupun milik keluarga

(marga/faam). Proses terbentuknya dusung berdasarkan pola usahatani, seperti

disajikan pada Tabel 10.

Terbentuknya dusung di lokasi studi ditunjukkan dengan pola usahatani

yang sama, dimulai dari pembukaan ewang (hutan primer) untuk berladang.

Proses ini dilakukan dengan cara menebang kayu di hutan alam dan

memanfaatkan pohon-pohon tersebut untuk kayu bakar, kayu pertukangan

maupun kayu bangunan rumah. Setelah itu selang beberapa hari dilihat bahwa

biomasa tanaman yang ditebang sudah mulai kering dan siap dibakar, maka

Page 6: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

44

dilanjutkan dengan kegiatan pembakaran areal penebangan dan dibiarkan begitu

saja selama seminggu.

Tabel 10 Matriks proses terbentuknya dusung berdasarkan pola usahatani

Proses Pembentukan

Masa Tanam(Tahun)

Jenis-Jenis Tanaman

Pertumbuhan, Pemeliharaan &

Pengayaan (Tahun)

Masa Bera (Aong), dan

sasi adat (Tahun)

Masa Panen

(Tahun)

Ewang (Hutan primer menjadi ladang tahap I *

0,1-0,3

Ubi kayu, pisang, bayam, jagung, kacang tanah, papaya, dan lainnya

0,1 – 1

0,6 – 1 atau sesuai aturan

adat

0,3 - 0,6

Aong (ladang tahap 1) diberakan, ditanami menjadi ladang tahap II *

1-6

Ubi jalar, talas, matel, tomat, kacang panjang, terung, timun, papari dan lainnya

0,3 – 1

0,8 – 1,5 atau sesuai aturan

adat

0,6 – 1

Aong (ladang tahap II) diberakan lagi & pengayaan menjadi kebun campuran tahap I **

Tahun ke-5

Tanaman buah ; kelapa, durian, langsat, duku, rambutan, gandaria, mangga, jati, titi, lenggua dan lainnya

5 – 10

1 – 5 atau

sesuai aturan adat

sesuai musim panen

Kebun campuran tahap I mengalami suksesi menjadi hutan sekunder ***

Setiap Tahun

kenari, alpukat, manggis, jambu, samama, salawaku, pulai, Pete, Kuini dan lainnya.

5 – 10

1 – 5 atau

sesuai aturan adat

sesuai musim panen

*) Tanaman pertama setelah pembersihan dan pengolahan tanah sekaligus pembuatan pagar pelindung kemudian selang waktu diberakan (terbentuknya aong)

**) Tanaman kedua ditanam sementara kegiatan peladangan dan tegalan dilanjutkan dengan perbaikan pagar pelindung kemudian selang waktu diberakan (terbentuknya aong)

***) Tanaman tumbuh sendiri atau ditanam selama selang waktu diberakan (terbentuknya aong)

Penyiapan lahan untuk mulai bercocok tanam dilakukan lebih kurang dua

minggu yang dipahami secara tradisional bahwa abu hasil pembakaran itu

mengandung kalium yang berfungsi untuk menetralisir tanah bersifat masam.

Kemudian dilakukan penanaman tanaman peladangan/tegalan dan sayuran secara

bergiliran untuk jangka waktu pendek seperti ubi kayu (Manihot esculenta),

pisang (Musa spp), bayam (Amarantus sp), Jagung (Zea mays), kacang tanah

(Arachis hipogea), papaya (Carica papaya), sawi (Brasisca sp), ubi jalar

(Xanthosoma sagittifolium), talas (Calocasia esculenta), kacang panjang (Vigna

sinensis), terong (Solannum tuberesum), ketimun (Cucurbita sp), tomat

(Solannum lycopersicum), papari (Nomordica charantia). Kegiatan ini akan

dihentikan setelah dirasakan bahwa tanah tersebut tidak lagi memberikan hasil

Page 7: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

45

yang menguntungkan (tidak produktif), maka kemudian lahan tersebut dibiarkan

terlantar (diberakan) untuk suatu waktu tertentu biasanya disebut masyarakat

dengan istilah aong.

Setelah sekian waktu lamanya dilihat bahwa kebun ladang/tegalan yang

ditinggalkan (aong) sudah secara alamiah ditumbuhi jenis-jenis tanaman pionir,

maka dilakukan upaya penanaman kembali dengan tanaman buah-buahan dan

tanaman kehutanan secara bergiliran, seperti kelapa (Cocos nucifera), durian

(Durio zibethinus), langsat (Lancium sp), duku (Lancium domesticum), rambutan

(Naphelium lapeceaum) gandaria (Buea macrophylla), mangga (Mangifera spp);

jati (Tectona grandis), titi (Gmelina mollucana), lenggua (Pterocarpus indicus),

kenari (Canarium commune), alpukat (Persea americana), manggis (Garcinia

mangostana), jambu (Eugenia jambolana), samama (Anthosepalus macrophylla),

salawaku (Paraserianthes falcataria), pulai (Alstonia scholaris), pete (Parkia

speciosa), kuini (Mangifera odorata) dan tanaman lainnya yang tumbuh sendiri

tanpa dilakukan perawatan sehingga terbentuklah dusung (Gambar 4 dan Tabel

10).

Pola pertanian dusung secara umum dikenal 2 tipe ditinjau dari aspek

pembentukan dan tahapan kegiatannya, yaitu, (1). Membangun dusung dengan

membuka lahan hutan, dan (2). Membangun dusung dengan membuka lahan

semak belukar. Perbedaan dasar dari kedua sistem ini adalah terletak pada proses

pengadaan forest crops. Pada pola pertanian dusung model pertama, proses

Gambar 4 Proses terbentuk dusung

Hutan Alam (Ewang)

Penebangan dan Pembakaran

Ladang Kebun Monokultur

Semak Belukar

Dusung

Penanaman

Kebun Campuran

Bera (aong)Penebasan dan

Pembakaran

Page 8: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

46

pengadaan forest crops sudah dilakukan sejak awal melalui tebang seleksi pada

tahap pembukaan lahan hutan sehingga jenis-jenis pohon yang ditinggalkan

umumnya berfungsi sebagai tanaman pelindung. Sedangkan pada pola pertanian

dusung model kedua, proses pengadaan forest crops dilakukan kemudian yaitu

setelah proses penanaman annual dan perennial crops. Selanjutnya tahapan

kegiatan dari model pertama adalah : (1). Menentukan lahan hutan, (2). Membabat

tumbuhan bawah, (3). Menebang pohon-pohonan (sistem tebang pilih) dimana

pohon yang ditinggalkan akan berfungsi sebagai pohon pelindung, (4).

Pembersihan lahan, (5). Penanaman annual crops, (6). Pembuatan pagar

pelindung), (7). Penanaman perennial crops dan (8). Pemeliharaan.

Pola tanam model kedua ini juga sama dengan pola pertanian dusung

model pertama yaitu menggunakan kombinasi tanaman berupa annual, perennial

dan forest crops (kombinasi tanaman setahun, tahunan dan hutan). Namun pada

pola pertanian dusung model kedua, proses pengadaan forest crops dilakukan

pada saat setelah tahap penanaman annual dan perennial crops. Rangkaian

tahapan kegiatan dari pola pertanian dusung model ini adalah : (1). Menentukan

lahan usaha dengan prioritas lahan semak belukar, (2). Pembabatan semak belukar

(kegiatan ini biasa dilakukan dengan sistem masohi), (3). Pembakaran dan

pembersihan lahan, (4). Penanaman annual crops, (5). Pembuatan pagar

pelindung, (6). Penanaman perennial crops, (7). Penyiangan gulma dan (8).

Introduksi tanaman hutan sebagai tanaman pelindung (Matinahoru 2005).

Tingkat Penggunaan Lahan Pada Sistem Dusung

Terdapat 3 bentuk pengusahaan lahan pada lokasi studi, yaitu pemilikan

lahan usahatani dengan luas minimum ≤ 1 ha ( 25 %) ; luas lahan usahatani antara

1 – 2 ha (30 %) dan luas lahan usahatani > 2 ha (45 %). Status kepemilikan lahan

oleh masyarakat pada kedua lokasi studi dikategorikan sama, yaitu untuk lahan

dengan ukuran minimum sebagian besar milik pribadi, sedangkan luas lahan di

atas 2 ha umumnya berstatus milik bersama (keluarga).

Tingkat penggunaan lahan dimaksudkan pada lokasi penelitian di Desa

Wakal dan Hatu adalah sistem pengelolaan lahan yang spesifik terkait dengan

jenis tanaman dan sistem pertanaman yang diterapkan (teknik budidaya),

Page 9: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

47

pemanfaatan lahan dan teknik konservasi. Tingkat pemanfaatan lahan dapat

dikelompokkan atas kategori berikut :

1. Pemanfaataan lahan 80,01 – 100 % dari lahan tersedia dikategorikan optimal.

2. Pemanfaataan lahan 60,01 – 80 % dari lahan tersedia adalah belum optimal

3. Pemanfaataan lahan 40,01 – 60 % dari lahan tersedia adalah kurang optimal

4. Pemanfaataan lahan ≤ 40 % dari lahan tersedia adalah tidak optimal

Penetapan kategori (kurang optimal, belum optimal dan optimal)

berdasarkan tingkat pengelolaan lahan akan memberikan alasan terhadap bentuk

pemanfaatan lahan yang diusahakan petani sesuai pola tanam masyarakat

setempat. Berdasarkan asumsi tersebut, maka kondisi aktual pemanfaatan lahan

sesuai bentuk penggunaan lahan di kedua lokasi penelitian sesuai hasil wawancara

dengan petani, disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Tingkat penggunaan dan pengelolaan lahan sistem dusung Penggunaan

Lahan

Pola Tanam

Rerata

Pemanfaatan

Lahan (%)

Tingkat

Pengelolaan

Lahan

Kategori

Wakal

Ladang Ubi kayu + kelapa 60 Sedang

Terung + cabe 15 Rendah

Kacang tanah 15 Sedang

Ubi talas + pisang 15 Rendah

26,25 Tidak optimal

Kebun

Campuran

Kelapa + pisang 75 Tinggi

coklat + langsat+cengkeh 90 Tinggi

pala + jati + langsa 60 Sedang

Durian + salak + duku 70 Sedang

73,75 Belum optimal

Kebun

Monokultur

Cengkeh 80 Sedang

Pala 70 Sedang

Sagu 35 Rendah

61,67 Belum optimal

Page 10: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

48

Hatu

Ladang Ubi kayu + terung 45 Sedang

Kacang panjang + terung 10 Sedang

Ubi jalar + jagung + kelapa 15 Sedang

Ubi talas + pisang 15 Rendah

21,24 Tidak optimal

Kebun

Campuran

Kelapa + coklat + pisang 85 Tinggi

Nenas + salawaku 80 Sedang

Durian + pala + langsa 60 Rendah

Cengkeh + lenggua 80 Tinggi

76,25 Belum optimal

Kebun

Monokultur

Cengkeh 85 Tinggi

Pala 80 Sedang

Sagu 40 Rendah

68,33 Belum optimal

Berdasarkan informasi Tabel 11 diketahui bahwa pemanfaatan lahan

garapan di Desa Wakal untuk penggunaan lahan ladang sebesar 26,25 %, kebun

campuran sebesar 73,75 % dan kebun monokultur sebesar 61,67 %. Tingkat

penggunaan dan pemanfaatan lahan untuk kebun campuran dan kebun monokultur

dikategorikan belum optimal karena pada kedua penggunaan lahan ini

pengelolaan dan pemanfaatan lahan mulai intensif dilakukan petani ketika

tanaman mulai berbuah hingga akhir masa panen. Sebaliknya penggunaan lahan

ladang pengelolaan tanaman dilakukan lebih intensif pada tanaman umbi-umbian.

Hal ini disebabkan karena usahatani ladang sifatnya tidak menetap karena

disesuaikan dengan kondisi iklim. Biasanya kegiatan bertani dilakukan diawal

musim kemarau dan kemudian berhenti diawal mulai musim penghujan.

Pemanfaatan lahan garapan di Desa Hatu untuk penggunaan lahan kebun

campuran sebesar 76,25 % dan kebun monokultur sebesar 68,33 % dikategorikan

belum optimal. Sistem usahatani yang dilakukan pada kedua bentuk penggunaan

lahan ini bersifat temporer karena kegiatan rutin dilakukan hanya pada saat

tanaman mulai berbuah hingga usai masa panen, keterbatasan pengetahuan petani

Page 11: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

49

juga menjadi kendala dalam menerapkan teknik budidaya dan pemeliharaan

tanaman. Untuk penggunaan lahan ladang dengan tingkat pengelolaan sebesar

21,24 %, disebabkan karena masyarakat petani di Desa Hatu yang berladang

hanya sebagian orang saja yang dilakukan diawal musim kemarau dan berhenti

pada awal terjadinya musim hujan. Petani di Desa Hatu lebih mengandalkan

kegiatan usahatani tanaman monokultur dibandingkan berladang karena menurut

petani tanaman tersebut dapat memberikan hasil produksi secara baik.

Hasil penelitian Sehe (2007) di Cikapundung Bandung Utara

menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan sesuai pola tanam masyarakat setempat

dengan pemanfaatan lahan untuk tanaman monokultur sebesar 33,3 % dan

tanaman dengan pola agroforestri sederhana sebesar 56,9 – 62,5 %. Bila

dibandingkan dengan hasil penelitian tersebut, maka agroforestri sederhana pada

sistem dusung adalah pada bentuk penggunaan lahan ladang dan tanaman

monokultur. Sebaliknya pada kebun campuran merupakan bentuk agroforestri

kompleks karena memiliki pola tanam dengan beragam jenis tanaman buah-

buahan dan tanaman berkayu.

Priyono et al. (2005) mengatakan bahwa dalam manajemen ruang,

tanaman kehutanan dan tanaman pertanian (agroforestri) didasarkan pada tindakan

silvikultur dan agronomi baik secara pararel atau seri, menjadi dasar dalam

menentukan keberlangsungan agroforestri. Dinamika ruang temu sangat

menentukan apakah model agroforestri yang berkembang dapat menjaga

keseimbangan produk baik tanaman pohon maupun tanaman semusim atau

mengarah pada model yang didominasi oleh komponen pohon saja.

Produktifitas Usahatani Dusung

Pertimbangan utama usahatani dusung antara lain karakteristik lahan, dan

potensi produktifitas lahan, yaitu jumlah dan jenis tanaman yang dapat dipanen

per satuan luas lahan. Jumlah produksi tanaman yang dapat dipanen oleh

masyarakat di Desa Wakal dan Hatu sangat berbeda dilihat dari bentuk

penggunaan lahan, seperti disajikan pada Tabel 12 dan Gambar 5.

Tabel 12 Produktifitas tanaman berdasarkan bentuk penggunaan lahan di Desa Wakal dan Hatu.

Page 12: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

50

Bentuk Penggunaan Lahan

Luas Lahan (ha)

Produktifitas (Rp) / ha

Total Produktifitas (Rp)

Desa Wakal

Ladang 9 3.466.924,- Kebun Campuran 38 9.716.000,- 18.232.924,-Kebun Monokultur 23 5.050.000,- Desa Hatu

Ladang 11,6 2.394.804,-Kebun Campuran 42,7 11.468.000,- 20.647.804,-Kebun Monokultur 26,5 6.785.000,-

Gambar 5 Persentase produktifitas lahan di Desa Wakal dan Hatu

Hasil perhitungan produktifitas lahan berdasarkan jenis tanaman di Desa

Wakal untuk kebun campuran dengan luas lahan 23 ha memiliki nilai produksi

terbesar mencapai Rp 9.716.000,- /ha/tahun atau 55 %. Untuk kebun monokultur

dengan luas lahan 23 ha produksi sebesar Rp 5.050.000,- /ha/tahun atau 33 %, dan

ladang dengan luas 9 ha dengan produksi sebesar Rp 3.466.924,- /ha/tahun atau

12 %. di Desa Hatu produktifitas tanaman tertinggi juga dihasilkan oleh kebun

campuran dengan luas lahan 42,7 ha memiliki nilai produksi sebesar Rp

11.468.000,- /ha/tahun atau 53 % diikuti produksi tanaman untuk kebun

monokultur sebesar Rp. 6.785.000,- /ha/tahun atau 19 % dengan luas lahan 26,5

dan tanaman untuk ladang dengan luas lahan 11,6 ha, nilai produksi sebesar Rp.

2.394.804,- /ha/tahun atau 28 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktifitas tanaman jangka pendek

(3 - 6 bulan) dihasilkan pada penggunaan lahan ladang, karena pola usahatani

yang dilakukan petani masih bersifat tradisional dan terbatas hanya untuk

dikonsumsi saja. Keberadaan petani di Maluku umumnya sangat bergantung pada

kondisi iklim (musim) yang juga secara langsung berpengaruh terhadap pola

Produktifitas Lahan Di Desa Hatu

12%

55%

33%

ladang

kebuncampurankebunmonokultur

Produktifitas Lahan Di Desa Wakal

19%

53%

28%

ladang

kebuncampurankebunmonokultur

Page 13: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

51

usahatani dan hasil produksi tanaman. Faktor penting dari upaya meningkatkan

produktifitas lahan adalah petani itu sendiri, karena untuk mengembalikan tingkat

kesuburan tanah yang relatif rendah, masyarakat petani belum menerapkan

pemupukan berimbang dalam teknik usahatani dan masih bergantung pada tingkat

kesuburan tanah alami pada sistem usahatani dusung.

Menurut petani, tanaman yang memberikan hasil produksi secara

berkelanjutan dan menguntungkan adalah pada kebun campuran. Hal ini lebih

disebabkan oleh adanya kombinasi tanaman umur panjang (buah-buahan) yang

memiliki nilai ekonomis tinggi seperti durian, coklat, pisang, salak dan kelapa

karena waktu produksi tanaman ini secara rutin dapat dipanen oleh petani.

Tanaman monokultur (cengkeh, pala dan sagu) sebenarnya memiliki nilai

ekonomis, namun produksi tanaman ini menurut petani semakin menurun setiap

tahun apalagi pemeliharaan tanaman itu tidak dilakukan secara intensif dan

teratur, sehingga produksinya pun tidak secara baik setiap musimnya.

Berdasarkan hasil penelitian Sehe (2007), pada lahan kering di Hulu Sub

Das Cikapundung Bandung Utara bahwa produktifitas tanaman alpokat, nangka

dan jeruk pada sistem tanaman campuran memberikan nilai produksi rata-rata

sebesar 10.000-15.000 kg/ha/tahun untuk luas lahan 10-25 Hektar. Bila

dibandingkan dengan hasil penelitian tersebut jelaslah bahwa tanaman campuran

memiliki peluang produksi yang lebih besar.

Beberapa hasil studi yang dihimpun oleh Perry (1994) di peroleh informasi

bahwa produktifitas akan lebih tinggi pada tegakan campuran daripada tegakan

sejenis. Hal ini disebabkan karena pertama, lebih banyak sumberdaya tersedia

untuk tegakan campuran yang dapat dihasilkan dari jenis berbeda karena faktor

lingkungan bila dibandingkan tegakan sejenis atau terdapat jenis-jenis yang dapat

meningkatkan ketersediaan beberapa sumber pembatas misalnya tumbuhan

penfiksasi nitrogen. Kedua tegakan campuran lebih stabil daripada tegakan

sejenis terutama yang berhubungan dengan fruktuasi iklim, hama dan penyakit

serta produktifitas.

Page 14: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

52

Erosi Tanah Pada Lahan Dusung

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis tanah secara deskriptif pada

ketiga bentuk penggunaan lahan, maka lapisan solum dengan kandungan bahan

organik (humus) tinggi dicirikan dengan lapisan berwarna hitam mempunyai

kedalaman 0 - 50 cm dari permukaan tanah. Pentingnya informasi mengenai

erosi tanah pada sistem agroforestri dusung dimaksudkan untuk melihat lapisan

tanah yang subur yang dapat mempengaruhi produksi tanaman karena praktek

penggunaan lahan dalam arti luas sangat dipengaruhi oleh faktor erosi dimana

terjadi pencucian kandungan bahan organik pada lapisan tanah atas, akibatnya

produktifitas lahan akan menurun (Supli 2000).

Penentuan besarnya erosi dilakukan dengan menghitung besar erosi aktual

dan erosi yang masih dapat ditoleransikan. Hasil bagi antara erosi yang terjadi

dengan erosi yang masih dapat dibiarkan menentukan indeks bahaya erosi (IBE).

Tingkat bahaya erosi ditentukan berdasarkan kategori sebagai berikut:

1. IBE ≤ 1, bahaya erosi tergolong ringan

2. IBE = 1 - 4, bahaya erosi tergolong sedang

3. IBE = 4 – 10 , bahaya erosi tergolong berat atau tinggi

4. IBE ≥ 10 bahaya erosi tergolong sangat berat atau sangat tinggi

Besarnya erosi (prediksi) yang terjadi pada bentuk penggunaan lahan usahatani

dusung seperti ditunjukkan pada Tabel 13 berikut.

Tabel 13 Prediksi erosi pada bentuk penggunaan lahan usahatani dusung di Desa Wakal dan Hatu

Bentuk

Penggunaan Lahan

KemiringanLereng (%)

Erosi Aktual (ton/ha/tahun)

Tolelir Erosi (E-Tol) (ton/ha/tahun)

IBE Kategori TBE

Desa Wakal

Ladang 0 - 8 53,83 48 1,12 Sedang

Kebun Campuran 8 - 30 30,68 45 0,68 Ringan

Kebun Monokultur

Cengkeh/pala

0 - 30

72,30

45

1,61

Sedang

Page 15: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

53

Sagu 0 - 15 12,99 32,4 0,40 Ringan

Desa Hatu

Ladang 0 - 30 49,5 30 1,65 Sedang

Kebun Campuran 8 - 45 12,14 33 0,37 Ringan

Kebun Monokultur

Cengkeh/pala

0 - 30

38,82

43,2

0,90

Ringan

Sagu 0 - 15 13,38 29,7 0,45 Ringan

Dusung di Desa Wakal dengan bentuk penggunaan lahan ladang, di

temukan berada pada daerah datar pada lereng 0 - 8 % ; kebun campuran 8 – 30

% dan kebun monokultur cukup bervariasi antara 0 - 45 %. Sebaliknya dusung di

Desa Hatu dengan bentuk penggunaan lahan ladang berada pada kemiringan

lereng antara 0-30 % ; kebun campuran 8-45 % dan kebun monokultur 8-30 %.

Selain faktor iklim, curah hujan dan penutupan vegetasi maka kemiringan lereng

merupakan faktor penentu terjadinya erosi berdasarkan karakteristik lahan

(Lampiran 8).

Hasil prediksi erosi aktual pada bentuk penggunaan lahan ladang dan

monokultur cengkeh-pala di Desa Wakal adalah 53,83 ton/ha/tahun dan 72,30

ton/ha/tahun. Nilai erosi pada kedua penggunaan lahan ini, berada lebih besar

dari erosi yang dapat ditoleransikan yakni 48 ton/ha/tahun dan 45 ton/ha/tahun.

Besar erosi pada kedua penggunaan lahan ini diduga akibat dari kegiatan

usahatani yang dilakukan dengan membersihkan tumbuhan penutup tanah di

bawah tanaman cengkeh terutama pada musim panen dan pada saat pola

penyiapan lahan untuk penanaman dengan cara membakar sehingga menyisahkan

lahan terbuka.

Pada sistem perladangan, dengan tanaman ubi kayu ditumpangsari dengan

tanaman jagung, penutupan lahannya rendah sehingga erosi yang terjadi cukup

tinggi. Sebaliknya untuk penggunaan lahan kebun campuran dan kebun

monokultur sagu erosinya adalah 30,68 ton/ha/tahun dan 12,99 ton/ha/tahun.

Erosi tersebut masih berada di bawah nilai erosi yang ditoleransikan yaitu 45

Page 16: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

54

ton/ha/tahun dan 32,4 ton/ha/tahun. Pada kebun campuran fungsi stratifikasi tajuk

sudah terlihat berlapis antara tanaman salak dengan tanaman durian, kelapa,

langsa, kenari dan vegetasi bawah yang dijumpai ditutupi oleh rerumputan dan

serasah pada bagian permukaan lahan, sehingga erosi yang terjadi relatif

rendah. Pada penggunaan lahan tanaman monokultur sagu, nilai erosi sebesar

12,99 ton/ha/tahun, masih berada di bawah erosi yang dapat ditoleransikan (ETot)

yakni 30 ton/ha/tahun. Nilai erosi ini rendah karena tanaman sagu umumnya

ditemukan pada daerah dataran rendah (rawa) kemiringan lereng 0-5 % dan pada

cekungan sungai dengan tingkat genangan air yang cukup tinggi, karena perakaran

tanaman sagu mampu menyerap air yang besar dan sifat tanah umumnya peka

terhadap erosi.

Prediksi erosi untuk bentuk penggunaan lahan di Desa Hatu, diperoleh

erosi tertinggi pada penggunaan lahan ladang yaitu 49 ton/ha/tahun lebih tinggi

dari erosi yang masih ditoleransi (ETot) yakni 33 ton/ha/tahun. Besar erosi pada

penggunaan lahan ini terlihat pada penanaman tanaman nenas di bawah tegakan

kelapa, umumnya lahan terbuka tanpa penutup tanah, begitu juga dengan tanaman

kacang panjang yang ditumpangsarikan dengan terung umumnya ditanam pada

daerah berlereng pada kondisi tanah terbuka. Erosi pada penggunaan lahan kebun

campuran adalah 12,14 ton/ha/tahun, lebih rendah dari erosi yang masih dapat

ditoleransikan yakni 33 ton’ha/tahun. Adanya stratifikasi tanaman cukup rapat,

seperti durian, petai, jambu, langsa, kelapa dan pisang dengan tumbuhan bawah

dan serasah mampu menyerap air dan menjaga stabilitas tanah meskipun

umumnya berada pada kemiringan lereng 8 - 40 %.

Penggunaan lahan tanaman monokultur cengkeh dan pala besar erosi

38,82 ton/ha/tahun, lebih rendah dari nilai erosi yang ditoleransi (ETot) yakni 43,2

ton/ha/tahun, ini terjadi karena tanaman cengkeh dan pala banyak ditanam secara

bergiliran sehingga kondisi tajuk terlihat cukup rapat dan permukaan tanah

banyak ditutupi oleh vegetasi bawah. Tanaman monokultur sagu erosi aktual

13,38 ton/ha/tahun tergolong rendah dengan nilai toleransi erosi (ETot) yakni 29,7

ton/ha/tahun. Hal ini karena sifat tanaman sagu dengan kondisi perakaran yang

mampu menyerap air dalam jumlah banyak dan memiliki sifat tanah yang peka

terhadap erosi.

Page 17: HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung 5... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan

55

Hasil penelitian Sutono et al. (2003), pada beberapa tipe penggunaan lahan

(tegalan dengan tanaman semusim dan tanaman monokultur yakni rambutan dan

kaliandris), dimana besarnya hasil erosi menunjukkan bahwa pada tegalan besar erosi

dapat dikendalikan dengan penanaman tanaman penutup tanah namun pada tanaman

monokultur dengan penanaman singkong memberikan jumlah erosi yang besar.

Sedangkan penelitian skala plot yang dilakukan Pujianto (2004) pada tanaman kopi

dan rambutan bahwa tindakan pengendalian erosi menggunakan teras bangku dan

strip tanaman sangat efektif mengurangi erosi. Menurut Wischmeier dan Smith

(1978) bahwa penentuan erosi diperbolehkan (ETot) harus mempertimbangkan

jumlah tanah yang hilang yang diperbolehkan pertahun agar produktifitas lahan tidak

berkurang sehingga tanah tetap produktif secara lestari dalam hal ini terjaganya

ketebalan lapisan tanah atas, sifat fisik tanah, kandungan bahan organik dan

kandungan zat hara tanaman.

Berdasarkan hasil penelitian di atas bila dibandingkan dengan penggunaan

lahan sistem dusung menunjukkan bahwa, kombinasi tanaman kebun campuran

dan kebun monokultur sagu cukup efektif dalam mengurangi terjadinya erosi. Ini

memberikan bukti bahwa bentuk pertanaman pada sistem dusung mampu menjaga

kerusakan tanah akibat erosi sehingga lapisan solum tanah sebagai lapisan organik

yang subur dapat terjaga dengan baik sebagai lapisan produktif bagi pertumbuhan

tanaman. Agus et al. (2003) mengatakan bahwa, sistem penggunaan lahan

berbasis tanaman pepohonan mampu mempertahankan kapasitas mitigasi banjir

mendekati kapasitas hutan, karena sistem penggunaan lahan yang berbeda mampu

memberikan jasa lingkungan yang berbeda pula tergantung pada sistem itu sendiri

dan cara pengelolaannya.