hak dan kewajiban suami istri
DESCRIPTION
Hak dan Kewajiban Suami IstriTRANSCRIPT
![Page 1: Hak dan Kewajiban Suami Istri](https://reader037.vdocuments.site/reader037/viewer/2022100407/568c35471a28ab023593a1ff/html5/thumbnails/1.jpg)
Hak dan Kewajiban Suami Istri
Minggu, 22 Januari 2012 05:00 Muhammad Abduh Tuasikal Belajar Islam
Sumber: http://rumaysho.com/belajar‐islam/keluarga/3677‐kewajiban‐istri‐1.html
Pasutri pasti selalu menginginkan keluarganya terus tentram dan langgeng. Namun kadang yang terjadi
di tengah-tengah pernikahan adalah pertengkaran dan perselisihan. Ini boleh jadi karena tidak
mengetahui manakah yang menjadi hak atau kewajiban dari masing-masing pasutri. Oleh karena itu,
mengetahui kewajiban suami atau kewajiban istri sangatlah penting. Sehingga istri atau suami masing-
masing mengetahui manakah tugas yang mesti ia emban dalam rumah tangga. Kali ini rumaysho.com
akan mengulas bahasan kewajiban istri. Namun jangan khawatir, untuk kewajiban suami masih tetap ada
setelah bahasan untuk istri selesai. Allahumma yassir wa a’in.
Keagungan Hak Suami
Hak suami yang menjadi kewajiban istri asalnya dijelaskan dalam ayat berikut ini,
قانتات لحاتفالصا أموالهم من أنفقوا وبما بعض على بعضهم الله فضل بما النساء على قوامون الرجال فإن واضربوهن المضاجع في واهجروهن فعظوهن نشوزهن تخافون واللاتي الله حفظ بما للغيب حافظات
سبيلا عليهن تبغوا فلا أطعنكم
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)
Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
الحق من عليهن لهم الله جعل لما ألزواجهن يسجدن أن النساء ألمرت ألحد يسجد أن داأح آمرا آنت لو
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan
memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak
suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852
dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketaatan seorang istri pada suami termasuk sebab yang menyebabkannya masuk surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أى من الجنة ادخلى لها قيل زوجها وأطاعت فرجها وحفظت شهرها وصامت خمسها المرأة صلت إذا شئت الجنة بوابأ
![Page 2: Hak dan Kewajiban Suami Istri](https://reader037.vdocuments.site/reader037/viewer/2022100407/568c35471a28ab023593a1ff/html5/thumbnails/2.jpg)
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan),
serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka
dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang
engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan
bahwa hadits ini shahih)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
الزوج حق من أوجب ورسوله اهللا حق بعد المرأة على وليس
"Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya-
daripada hak suami" (Majmu' Al Fatawa, 32: 260)
Jika kewajiban istri pada suami adalah semulia itu, maka setiap wanita punya keharusan mengetahui
hak-hak suami yang harus ia tunaikan.
Berikut adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:
Pertama: Mentaati perintah suami
Istri yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak membangkang yang membuat suami benci,
itulah sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
في تخالفه ولا أمر إذا وتطيعه نظر إذا تسره التي قال خير النساء أي وسلم عليه الله صلى الله لرسول قيل يكره بما اوماله نفسها
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?”
Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan
tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231
dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya,
apakah ia taat ataukah durhaka.
Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya kepadanya,
أنت أين فانظري :قال .عنه عجزت ما إال آلوه ما :قالت له؟ أنت آيف :قال .نعم :قالت أنت؟ زوج أذات ونارك جنتك هو فإنما منه،
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau
terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah
mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
![Page 3: Hak dan Kewajiban Suami Istri](https://reader037.vdocuments.site/reader037/viewer/2022100407/568c35471a28ab023593a1ff/html5/thumbnails/3.jpg)
sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena
suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits inishahih sebagaimana
kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)
Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk tidak berjilbab,
berdandan menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di saat haidh,
maka perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
المعروف فى الطاعة إنما ، معصية فى طاعة ال
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang
ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan,
اهللا معصية في لمخلوق طاعة ال
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad 1: 131. Sanad hadits
ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Kedua: Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami
Allah Ta’ala berfirman,
الأولى الجاهلية تبرج تبرجن ولا بيوتكن في وقرن
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-
orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk
mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat
di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah
kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti
ia telah berbuat nusyuz(pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas
mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)
Ketiga: Taat pada suami ketika diajak ke ranjang
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حتصب حتى المالئكة لعنتها تجىء أن فأبت فراشه إلى امرأته الرجل دعا إذا“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan
melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).
Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,
![Page 4: Hak dan Kewajiban Suami Istri](https://reader037.vdocuments.site/reader037/viewer/2022100407/568c35471a28ab023593a1ff/html5/thumbnails/4.jpg)
عليها ساخطا السماء في الذي آان إال عليه فتأبى فراشها إلى امرأته يدعو رجل من ما بيده نفسي والذي عنها يرضى حتى
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat
tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri
tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim no. 1436)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika
tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas
kemaluannya” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7). Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau kecapekan,
maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.
Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami
Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,
يوطئن ال أن عليهن ولكم الله بكلمة فروجهن واستحللتم الله بأمان أخذتموهن فإنكم النساء فى الله فاتقوا تكرهونه أحدا فرشكم
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil
mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak
kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk
menginjak permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
غير عن فقةن من أنفقت وما ، بإذنه إال بيته فى تأذن وال بإذنه، إال شاهد وزوجها تصوم أن للمرأة يحل ال شطره إليه يؤدى فإنه أمره
“Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan
izinnya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia
menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya”. (HR.
Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah,
بإذنه إال اهدش وهو زوجها بيت في المرأة تأذن ال
“Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan
suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib Al
Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Hadits di atas dipahami jika tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain yang masuk. Adapun jika
seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)
![Page 5: Hak dan Kewajiban Suami Istri](https://reader037.vdocuments.site/reader037/viewer/2022100407/568c35471a28ab023593a1ff/html5/thumbnails/5.jpg)
Kelima: Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami
Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk melaksanakan puasa
sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits
yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بإذنه إال شاهد وزوجها تصوم أن للمرأة يحل ال
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali
dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh lainnya disebutkan,
رمضان غير بإذنه إال شاهد وبعلها المرأة تصوم ال
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak
bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392
mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”)
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho
suami sudah sama dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di atas dimaksudkan untuk puasa
tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang
dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini
adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di
luar Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami.
... Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami. Demikianlah
pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanita menjalankan puasa (selain puasa
Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian
pendapat mayoritas fuqoha. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah
menyatakan seperti itu haram jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak berulang kali
(artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arofah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan
Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya.” (Al Mawsu’ah
Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam: (1) puasa sunnah yang tidak
memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis[1]), (2) puasa wajib yang masih ada waktu
longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih
longgar sampai Ramadhan berikutnya.[2]
![Page 6: Hak dan Kewajiban Suami Istri](https://reader037.vdocuments.site/reader037/viewer/2022100407/568c35471a28ab023593a1ff/html5/thumbnails/6.jpg)
Jika Suami Tidak di Tempat
Berdasarkan pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat, maka istri tidak perlu
meminta izin pada suami ketika ingin melakukan puasa sunnah. Keadaan yang dimaksudkan seperti
ketika suami sedang bersafar, sedang sakit, sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa (Lihat
Fathul Bari, 9: 296 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99) Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin
melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu pula ketika suami
sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di tempat.
Hikmah Mengapa Harus dengan Izin Suami
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang menerangkan masalah ini
terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang
hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib
tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul Bari, 9/296)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah
karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya
setiap harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau
melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
-bersambung insya Allah-
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 26 Shafar 1433 H
www.rumaysho.com