hak asuh anak dibawah umur bagi ibu yang … cyntia dewi-fsh.pdfdaftar pustaka : 1994 - 2015 . vi...
TRANSCRIPT
HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR BAGI IBU YANG MENGIDAP
PENYAKIT BIPOLAR DISORDER
(Analisis Putusan Nomor : 0419/Pdt.G/2014/PAJP)
Diajukan Untuk Mempenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
AYU CYNTIA DEWI
NIM : 1111044100037
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
(AHWAL SYAKHSHIYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/2016 M
ABSTRAK
Ayu Cyntia Dewi. NIM 1111044100037 HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR BAGI IBU YANG MENGIDAP PENYAKIT BIPOLAR DISORDER (Analisis Putusan Nomor : 0419/Pdt.G/2014/PAJP) Program Studi Hukum Keluarga, Konsentrasi Peradilan Agama, Universitas Islam Negeri Syarifhidayatullah Jakarta, 1437/ 2016 M.
Skripsi ini dilatar belakangi oleh fenomena yang ada dilapangan perilah penetapan hak asuh anak dibawah umur yang jatuh kepada bapak. Pentapan ini dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat berdasarkan pada pasal 105 huruf (a) dan pasal 156 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam serta Undang-undang RI No.23 tahun 2002. Pada dasarnya penjelasan pasal ini tidak menyebutkan secara rinci bahwa hak asuh anak dibawah umur bisa jatuh kepada bapaknya jika si ibu menderita penyakit Bipolar Disorder dapat dijadikan alasan pindahnya hak asuh anak dibawah umur. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui penyakit Bipolar Disorder bisa menyebabkan ibu kehilangan hak asuh terhadap anaknya.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian analisis deskriptif dengan menggunakan putusan Nomor 0419/Pdt.G/2014/PAJP dimana penetapan perkara tersebut diputuskan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Metode pengumpulan data selain diambil dari putusan perkara Nomor 0419/Pdt.G/2014/PAJP serta data dari hasil wawancara hakim yang memutuskan perkara tersebut dengan menayakan apa yang menjadi pertimbangan para hakim untuk memutuskan dan kaitannya seputar pasal 105 dan pasal 156 KHI dan tentang penyakit Bipolar Disorder.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa hak asuh anak di bawah umur bagi ibu yang mengidap penyakit Bipolar Disorder, ternyata hak asuhnya dijatuhkan kepada bapaknya dikarenakan gangguan Bipolar Disorder adalah salah satu jenis gangguan penjiwaan yang ditandai dengan episode berulang, sekurang-kurangnya 2 kali episode dengan menunjukan gejala suasana perasaan meninggi dapat bervariasi antara keriangan sampai keadaan eksitasi yang hampir tak terkendali. Dan ini yang menjadikan Majlis Hakim dalam memutuskan perkara tersebut.
Kata Kunci : Perceraian, Hak asuh anak
Pembimbing : Dr. H. Kamarusdiana, S.Ag., MH
Daftar Pustaka : 1994 - 2015
vi
KATA PENGANTAR
السالم عليكم ورمحة اهلل وبركاته
Al-hamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat dan inayah-Nya skripsi ini dapat
diselesaikan. Selanjutnya shalawat dan salam senantiasa kami persembahkan
kepada baginda Nabi Muhammad Saw, yang telah membimbing umatnya ke jalan
yang benar sekaligus menyempurnakan akhlak manusia melalui petunjuk illahi.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda Tercinta Sumadi dan
Ibunda Tercinta Roisatun yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih
sayang, dan do’a tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa
melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar
Sarjana Hukum (S.H) pada Program Study Hukum Keluarga, Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam
penyusunan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya,
kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya
sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah
sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Bapak Arip Purkon, MA., selaku
Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
vii
3. Dr. H. Kamarusdiana, M.A, dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu,
tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.
4. Supriyadi Ahmmad, M.Ag, dosen pembimbing akademik yang senantiasa
memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi Al-
Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya
kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
6. Seluruh staf Pengadilan Agama Jakarta Pusat, khususnya Ibu Dra. Hj. Saniyah
KH. Dan Ibu Dra. Hj. Nurroh Sunah, SH.
7. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
8. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada Adinda Diana Oktavia dan Novita
Indriani yang senantiasa memberikan semangat dan doa sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi.
9. Terima kasih untuk Oxavia Aldiano, B.A., M.Sc, dan Adhiramsyah Choesin
S.E yang selalu memberi semangat dan do’a sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi.
10. Terima kasih untuk para sahabat Farda Chalida S.Sy, Nurseha Satyarini
S.E.Sy, Putri Rahmawati S.Sy, Nabila Al-halabi S.Sy, Atas support dan
doanya.
11. Terimakasih tak terhingga untuk sahabat, Mella Huzaifah, Tenri Andini,
Venita Andriani, Ernawati, Nur Habibah, Maydina Farezi, Vista Hatuwe yang
selalu memberikan support, motivasi dan Do’a.
12. Seluruh keluarga Besar Alumni Pondok Pesantren At-taqwa Pusat Putri dan
Putra yang selalu memberikan support dan motivasi yang penulis tidak
sebutkan namanya satu persatu.
13. Terima kasih untuk teman-teman KKN SUKSES tahun 2014 atas support dan
doanya.
viii
14. Teman-teman Keluarga Besar PERADILAN AGAMA angkatan 2011yang
menjadi teman seperjuangan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang
telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan
mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Penulis berharap skripsi ini dpaat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Ciputat, 12 Oktober 2016
Ayu Cyntia Dewi
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 9
D. Studi Review Terdahulu ................................................................ 10
E. Metode Penelitian .......................................................................... 14
F. Sistematika Penulisan .................................................................... 16
BAB II TINJAUAN TEORI TENTANG PERLINDUNGAN ANAK, TEORI
KEADILAN DAN TEORI KEMASLAHATAN DALAM
MASALAH HAK HADHANAH
A. Teori Perlindungan Anak dalam Hadhanah .................................... 17
B. Teori Keadilan ................................................................................ 19
C. Teori Kemaslahatan ......................................................................... 25
x
BAB III HAK ASUH ANAK (HADHANAH) MENURUT FIQIH DAN
HUKUM POSITIF
A. Hak Asuh Anak (Hadhanah) Menurut Fiqih
1. Pengertian Hak Asuh Anak (Hadhanah) ..................................... 28
2. Dasar Hukum Hak Asuh Anak (Hadhanah) ................................ 31
3. Hak dan Syarat Pemegang Hadhanah ......................................... 35
4. Batas Umur Hadhanah ................................................................ 42
B. Hak Asuh Anak (Hadhanah) Menurut Hukum Positif
1. UU No. 1 Tahun 1974 ................................................................. 44
2. Kompilasi Hukum Islam ............................................................. 47
BAB IV ANALISIS HAKIM TENTANG HAK ASUH ANAK DI BAWAH
UMUR BAGI IBU YANG MENGIDAP PENYAKIT BIPOLAR
DISORDER
A. Bipolar Disorder dalam Tinjauan Ilmu Kesehatan........................... 50
B. Putusan Hakim dan Perkara Hadhanah Bagi Ibu yang Mengidap
penyakit Bipolar Disorder di Pengadilan Agama Jakarta Pusat....... 52
C. Pandangan Undang-Undang Perkawinan, KHI, Fiqh Terhadap
Putusan Nomor : 0419/Pdt.G/2014/PAJP dan Dasar Pertimbanga
Hakim ............................................................................................... 58
D. Analisa penulis ................................................................................. 65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 69
B. Saran-saran ....................................................................................... 70
xi
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 71
LAMPIRAN .......................................................................................................... 74
1. Surat Mohon Kesediaan Pembimbing Skripsi
2. Surat Permohonan Data/Wawancara di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat
3. Surat Keterangan Data/Wawancara dari Pengadilan Agama Jakarta
Pusat
4. Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Jakarta Pusat dan
Psikologi Ibu Yenny
5. Dokumentasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam mengatur hubungan pergaulan manusia sebagai sebuah
perjanjian suci antara seorang laki-laki dan perempuan demi terciptanya
kondisi keluarga yang bahagia yang disebut dengan perkawinan.1
Langgeng kehidupan dalam ikatan perkawianan merupakan suatu
tujuan yang diutamakan dalam islam. Akad nikah diadakan untuk
sealamanya dan seterusnya agar suami istri bersama-sama dalam
mewujudkan rumah tangga untuk tempat berlindung, menikmati curahan
kasih sayang dan dapat memelihanya anak-anaknya sehingga mereka dapat
tumbuh dengan baik. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa ikatan antara
suami istri adalah ikatan yang paling suci dan kokoh, sehingga tidak ada
suatu dalail yang lebih jelas menunjukan tentang kesuciannya yang lebih
agung selain Allah sendiri yang menamakan ikatan suami dan istri
mitsaaqun ghalizun (perjanjian yang kokoh).2
Landasan perkawinan dengan nilai-nilai roh keislamian yaitu
sakinah, mawadah, dan rahmah yang dirumuskan dalam firman Allah dalam
QS. Ar-Rum 21. Keluarga yang dituju dengan adanya perkawinan adalah
keluarga yang:
1 Anik Farida, dkk, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas dan Adat, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), h. 1-2 2 Al Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 3, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), h 135
2
1. Sakinah, artinya tenang
2. Mawadah, keluarga yang di dalamnya terdapat rasa cinta, yang
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmani
3. Rahmah, keluarga yang di dalamnya terdapat rasa kasih sayang, yakni
yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kerohanian.3
Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada munculnya dua
suami istri penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar,
namun pada kenyataannya rasa kasih sayang itu bila tidak bisa dirawat bisa
menjadi pudar, bahkan bisa hilang dan berganti dengan kebencian. Kalau
kebencian sudah datang maka suami istri tidak dengan sungguh hati mencari
jalan keluar dan memulihkan kembali kasih sayangnya, akan berakibat
negatif bagi anaknya. Oleh karna itu, upaya kembali memulihkan kasih
sayang merupakan satu hal yang perlu dilakukan.4
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya
sampai matinya salah seorang suami-istri. Inilah sebenarnya yang
dikehendaki agama Islam. Namun keadaan tertentu terdapat hal-hal yang
menghendaki putus perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan
tetap dilanjutkan, maka maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam
membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha
melanjutkan rumah tanggga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah
suatu jalan keluar yang baik.5
3 Abd. Shomad, Hukum Islam (Jakarta: Kencana, 2010), h. 275- 276
4 Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2004), h.137 5 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih (Jakarta: Kencana 2003), h. 124
3
Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan
oleh ajaran Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai macam cara untuk
mewujudkan kerukunan, kedamaian dan kebahagiaan, namun harapan
dalam tujuan pernikahan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang
terjadi adalah perceraian. Perceraian diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 (selanjutnya disebut UUPA) dan pasal 115 KHI.6
Dalam pandangan Islam, tujuan dari perkawinan antara lain adalah
agar suami istri dapat membina kehidupan yang tentram lahir dan batin dan
saling cinta mencintai dalam suatu rumah tangga yang bahagia. Disamping
itu, diharapkan pula kehidupan rumah tangga dapat berlangsung kekal, oleh
karna itu, Islam telah memberi petunjuk atau jalan yang harus ditempuh bila
sewaktu-waktu terjadi perselisihan dalam rumah tangga.7
Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada
perceraian tanpa diawali pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan merupakan
awal dari hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku Jika sepanjang
pernikahannya kedua orang tua sudah tidak sepaham atau sering terjadi
perselisihan dan sudah tidak bisa disatukan lagi, maka jalan terakhir yang
bisa diambil adalah perceraian.
Keturunan disebut juga sebagai anak dalam kamus umum bahasa
Indonesia dikemukakan bahwa anak adalah keturunan kedua sebagai hasil
kedua hubungan antara pria dan wanita. Dari segi lain kata “anak” dipakai
6 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika 2006), h. 80 7 Neng Djubaedah Dkk, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Hecca Utama,
2005), h. 135.
4
secara umum baik manusia maupun untuk hewan bahkan juga untuk
tumbuh-tumbuhan. Dalam perkembangan lebih lanjut kata “anak” bukan
hanya dipakai untuk menunjukan keturunan dari pasangan manusia, tetapi
dipakai untuk menunjukan asal tempat anak itu lahir, seperti anak Aceh atau
anak Jawa, berarti anak tersebut lahir dan berasal dari Aceh atau Jawa.8
Istilah fikih pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian disebut
Hadhanah. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang
masih dibawah umur setelah terjadinya perceraian. Hal ini dibicarakan
dalam fikih karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi
perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan
ibunya.9
Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu
memerlukian orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti
makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan
bangun dan tidur. Karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa
kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu baik
(saleh) dikemudian hari. Disamping itu, harus mempunyai waktu yang
cukup pula untuk melakukan tugas tersebut. Dan yang memiliki syarat-
8 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2006), h. 77. Dikutip dari WJS Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, h.
38. 9 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, “Antara Fikih Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan”, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. Ke-1, h. 327-328.
5
syarat tersebut adalah wanita. Oleh karna itu, agama menetapkan bahwa
wanita adalah orang yang sesuai dengan syarat-syarat tersebut.10
Jika pasangan suami istri bercerai yang dari hubungan mereka
menghasilkan anak yang masih kecil, maka istrilah yang paling berhak
untuk memelihara dan mengasuh anak tersebut sehingga anak itu dewasa
karna biasanya ibulah yang paling telaten dan sabar untuk mengasuh anak
kecil.11
Tentang pemeliharaan anak yang belum mumayyiz, sedangkan
kedua orang tuanya bercerai, Kompilasi Hukum Islam menjelaskan pada
pasal 105-106 yang berbunyi: Pasal 105 Dalam hal terjadinya perceraian
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Pasal 106
1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya
yang belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan
memindahkan atau menggadaikannya kecuali karna keperluan yang
mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau
suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari lagi.
10
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana 2010), cet ke 4 h.177 11
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 2006), cet ke 5 h.391
6
2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena
kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).
Dalam suatu perceraian akan menimbulkan akibat-akibat hukum
yang begitu banyak dan rumit, baik itu mengenai hak asuh anak yang masih
dibawah umur, warisan, pembagian harta gono-gini dan sebagainya, tetapi
dalam anak juga merupakan korban dari perceraian kedua orangtuanya,
karena anak merupakan orang yang paling merasakan langsung dampak dari
perceraian tersebut, karena anak mempunyai ikatan batin terhadap ayah dan
ibunya.
Kedua orang tua berkewajiban memelihara anak, namun Islam lebih
menekankan hak asuhnya kepada ibu. Pertimbangannya adalah rasa kasih
sayang dan lemah lemut seorang ibu lebih sesuai dengan keadaan anak
dibanding ayah.12
Selain keluarga, anak juga salah satu orang yang tidak menginginkan
adanya perceraian yang terjadi pada orang tuanya. Seringkali orang tua yang
ingin bercerai tidak memikirkan perasaan anaknya, mereka hanya
memikirkan ego mereka masing-masing. Orang tua tidak berpikir bahwa
anak juga mempunyai perasaan tidak ingin kalau mempunyai orang tua
yang tidak bersatu lagi, meskipun dengan keadaan yang demikian orang tua
berjanji bahwa dengan adanya perceraian ini tidak mengurangi rasa sayang
orang tua pada anaknya, mereka berjanji akan mengurus anaknya dengan
baik,menyayangi dan memenuhi kebutuhannya meskipun orang tua telah
12
Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) , cet ke 2, h.246
7
bercerai. Perceraian yang dilakukan oleh seorang suami dan istri
menimbulkan akibat terhadap anak-anaknya baik secara moril maupun
materiil. Secara moril bahwa anak-anaknya tersebut menanggung
konsekuensi bahwa kedua orang tuanya tidak bersama lagi dalam suatu
rumah tangga dan otomatis perhatian dan kasih sayang yang tercurah pada
anak tidak seperti saat berkumpul dulu. Secara materiil ialah Diberikan
nafkah, yang menjadi hak seorang anak yang didapat dari kedua orang
tuanya.
Masa mumayyiz adalah dari umur tujuh tahun sampai menjelang
berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu
membedakan mana yang berbahaya dan mana yang bermanfaat bagi dirinya.
Adapun seseorang yang akan melakukan hadhonah demi kepentingan anak,
maka hendaklah sudah balig, berakal, dan tidak terganggu ingatannya, sebab
hadhonah itu merupakan pekerjaan yang membutuhkan tanggung jawab
yang penuh. Seseorang yang terkena gangguan jiwa atau ingatan, tidak
layak untuk melakukan tugas hadhonah. Orang yang rusak akhlaknya atau
agamanya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak, oleh
karna itu ia tidak layak melakukan tugas ini.13
Bipolar Disorder adalah jenis penyakit psikologi, ditandai dengan
perubahan mood (alam perasaan) yang sangat ekstrim, yaitu berupa depresi
dan mania. Pengambilan istilah bipolar disorder mengacu pada suasana hati
penderitanya yang dapat berganti secara tiba-tiba antara dua kutub (bipolar)
13 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Kencana,
2004), cet ke 2 h.182-183
8
yang berlawanan yaitu kebahagiaan (mania) dan kepedihan (depresi) yang
ekstrim. Tetapi seseorang yang menderita penyakit bipolar disorder
memiliki swings yang ekstrim yaitu pola perasaan yang mudah berubah
secara drastis. Suatu ketika seorang pengidap penyakit bipolar disorder bisa
merasa sangat antusias dan bersemangat (mania). Namun ketika moodnya
berubah menjadi buruk, ia bisa sangat depresi, pesimis, putus asa, bahkan
sampai mempunyai keinginan untuk bunuh diri (depresi).
B. Pembatasan dan perumusan masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembahasan dalam skripsi ini terarah dan tidak terlalu melebar
maka penulis membatasi pada perkara Nomor. 0419/Pdt.G/2014/PAJP
tentang penyelesaian perkara cerai gugat dan hadhanah. Maka disini
penulis lebih memfokuskan pada hak hadhanah anak di bawah umur pada
istri mengidap penyakit bipolar disorder.
2. Perumusan Masalah
Peraturan yang berlaku dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 –
106 bahwa pemeliharaan anak yang belum cukup umur (mumayyiz) atau
belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan dalam kenyataan
dilapangan ada hak asuh anak dibawah umur jatuh kepada bapak seperti
yang diputuskan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam putusan Nomor.
0419/Pdt.G/2014/PAJP.
9
Rumusan masalah di atas penulis rinci dalam beberapa pertanyaan
sebagai berikut:
a. Apakah penyakit bipolar dapat dijadikan alasan hak asuh anak di bawah
umur jatuh kepada ayah?
b. Bagaimana pandangan undang-undang perkawinan, KHI, dan fiqih pada
putusan perkara Nomor. 0419/Pdt.G/2014/PAJP yang menetapkan hak
asuh anak dibawah umur dari ibu yang mengidap penyakit bipolar pada
ayah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, adapun tujuan dari
penelitian ini adalah:
a. Mengetahui penyakit bipolar dapat dijadikan penyebab
berpindahnya hak asuh anak di bawah umur jatuh kepada ayah
b. Mengetahui pandangan undang-undang perkawinan, KHI, dan
fiqih pada putusan perkara Nomor. 0419/Pdt.G/2014/PAJP yang
memindahkan hak asuh anak dibawah umur dari ibu yang
mengidap penyakit bipolar pada ayah
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah:
a. Mengetahui hak asuh anak dibawah umur atau hadhanah akibat ibu
mengidap penyakit bipolar disorder.
10
b. Mengetahui dasar pertimbangan Hakim dalam memutuskan hak
asuh anak dibawah umur kepada bapak.
c. Mengetahui proses penyelesaian perkara hak asuh anak dibawah
umur yang diakibatkan ibu mengidap penyakit bipolar disorder.
d. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsih pemikiran yang bermanfaat kepada akademisi atau
pihak-pihak yang berkepentingan mengenai hal-hal yang terkait.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini diaplikasikan model pendekatan kasus,
yaitu mempelajari penerapan norma-norma atau khaidah hukum
yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-
kasus yang telah diputus lalu dipelajari untuk memperoleh
gambaran terhadap dampak dimensi pernormaan dalam suatu
aturan hukum dalam praktik hukum.14
Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang
menekankan kualitas sesuai dengan pemahaman deskriptif.
Penelitian ini berupa analisis terhadap kasus yang berkenaan
dengan penetapan hak hadhanah kepada bapak bagi anak yang
belum mumayiz yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
14
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jawa Timur:
Baymedia Publising, 2006), Cet. II, h. 321
11
Adapun jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif.
Sedangkan jelis data yang digunakan yaitu data kualitatif.15
2. Sumber Data
Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
sumber-sumber penelitian berupa data primer dan data sekunder.16
Adapun sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:
a. Data primer
1. Data ini didapatkan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat
perkara Nomor. 0419/Pdt.G/2014/PAJP
2. Peraturan Undang-undang Perkawinan dan KHI
menangani perkara Nomor. 0419/Pdt.G/2014/PAJP
kemudian data tersebut dianalisis dengan cara
menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang
dikaji.
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku-buku
umum, buku-buku Islam dan buku-buku hukum Islam
diantaranya, kitab-kitab fiiqh, Al-qur’an, hadis dan Undang-
Undang serta literatur lainnya yang dapat dijadikan sebagai
rujukan yang mengacu dan berhubungan dengan bahasan
yang sedang dikerjakan, sesuai dengan permasalahan yang
akan dibahas oleh peneliti.
15
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h. 45 16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008), h. 141
12
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah:
a. Studi kepustakaan (Library Research)
Pada tahapan ini peneliti mencari landasan teoritis dari
permasalahan penelitiannya sehingga penelitian ini bukanlah
aktifitas yang bersifat “Trial And Erorr” aktifitas ini
merupakan tahapan yang amat penting, bahwa studi
kepustakaan merupakan separuh dari keseluruhan aktifitas
penelitian itu sendiri, six hours in library sav six mounths ini
field or laburatory.
b. Wawancara
Selain dengan cara study dokumentasi, penulis
mengumpulkan data dari hasil wawancara dengan Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengenai perkara Nomor.
0419/Pdt.G/2014/PAJP dengan cara mengajukan pertanyaan
dan meminta penjelasan kepada hakim yang memutuskan
perkara tersebut.17
4. Teknik Analisis Data
Semua data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Jakarta
Pusat mengenai perkara Nomor. 0419/Pdt.G/2014/PAJP, dari
keputusan dan hasil wawancara dengan Hakim yang
17
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke arah
Ragam Varian Kontemporer, (Jakarta: Rajawai Pers, 2004), h. 36
13
menyelesaikan perkara tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Pusat
diseleksi dan disusun, setelah itu peneliti melakukan klasifikasi
data yaitu melakukan upaya untuk menggolongkan data
berdasarkan katagori tertentu. Setelah data-data yang telah
diklasifikasikan kemudian diadakan analisa data yaitu dengan studi
perbandingan antara teori dan kenyataan yang ada ditempat
penelitian. Jadi penulis memaparkan data-data yang sudah
diperoleh dan diseleksi itu dalam bentuk deskripsi sehingga
menghasilkan paragraf dengan menggunakan bahasa baku dan
bahasa penulis sendiri.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan dalam penulisan skripsi ini adalah
berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan
oleh Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
E. Review Study Terdahulu
Penulis melakukan review studi terdahulu sebelum menemukan
judul proposal. Dalam revew studi terdahulu penulis menemukan beberapa
skripsi yang berkaitan dengan hak asuh anak. Di antaranya:
1. Muhammad Irsyad dengan judul skripsi “ Disparitas Putusan Hakim
Tentang Hak Asuh Anak di Bawah Umur (Studi Analisis Putusan
Nomor. 2113/Pdt.G/2010/PAJS dan Putusan Nomor.
14
83/Pdt.G/2011/PTA.JK”. Dalam skripsi ini perbedaannya, penulis
memaparkan perbedaan Hakim dalam memutuskan perkara yang
berhubungan dengan hadhanah, dan penulis juga menggunakan metode
pendekatan kualitatif dan kuantitatif sebab dalam penelitiannya penulis
membutuhkan data berupa dokumen tentang seluruh perkara hadhanah
yang mempunyai hukum tetap dan mewawancarai Hakim yang pernah
memutuskan perkara hadhanah. Sedangkan dalam skripsi saya hanya
membahas perkara Nomor. 0419/Pdt.G/2014/PAJP, dan hanya
menggunakan metode kualitatif, yang hanya mewawancarai Hakim yang
memutus perkara tersebut. Dan skripsi saya lebih focus pada hak asuh
anak dibawah umur (hadhanah) kepada bapak dikarenakan ibu memiliki
penyakit bipolar disorder.
2. Widya Eka Rahmawati konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam,
dengan judul skripsi “ Hak Hadhanah Ghairu Mumayyiz Kepada Ayah
Karena Perdamaian” (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan Nomor. 1091/Pdt.G/2004/PAJS. Dalam skripsi ini membahas
tentang hak hadhanah anak yang belum mumayyiz kepada ayahnya
karena perdamaian, dan yang dimaksud dari perdamaian disini yaitu
berdasarkan antara kedua belah pihak antara penggugat dan tergugat, jadi
penyerahan anak yang belum mumayyiz berdasarkan kerelaan dari kedua
belah pihak, menyerahkan yang seharusnya menjadi hak ibu karna anak
tersebut belum mumayyiz diberikan hak asuhnya kepada ayahnya.
Sedangkan dalam skripsi saya walaupun sama-sama membahas hadhanah
15
yang diberikan haknya kepada bapak, akan tetapi alasan diserahkan
kepada bapaknya jelas sangat berbeda. Karna dalam skripsi saya
menyerahkan hak asuh anak kepada bapaknya dikarenakan istri memiki
penyakit bipolar disorder sehingga hakim menganggap ibu atau istri tidak
baik untuk mengasuhnya, jadi penyerahan hak asuh anaknya kepada
bapak berdasarkan keputusan hakim bukan dari kerelaan sang ibu.
3. Hadi Zulkarnain dengan judul skripsi “ Hak Asuh Anak Akibat Istri
Nusyuz” (Analisa Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara
Nomor 377/Pdt.G/2006/PAJT) secara umum skripsi tersebut menganalisa
tentang hak asuh anak karena istri nusyuz terhadap suami, walaupun
sama-sama membahas tentang hadhanah dibawah umur akan tetapi
berbeda sebabnya. Sedangkan skripsi saya membahas tentang hak asuh
anak kepada bapak disebabkan ibu memiliki penyakit bipolar disorder.
F. Sistematika penulisan
Skripsi ini terdiri dari V bab, untuk lebih mempermudah
pembahasan dan agar penulis skripsi ini lebih terfocus dan sistematis, maka
penulis mengklarifikasi permasalahan dalam beberapa bab, yang terdiri dari
sub-sub. Sistematika ini dimaksudkan untuk memudahkan jalannya
penulisan dan pengambilan kesimpulan akhir setelah diadakan analisa
permasalahan yang tercakup dalam sub-sub bab.
Bab pertama tentang, Pendahuluan, yang dibahas latar belakang,
perumusan masalah, tujuan penelitian, Metode Penelitian, dan sistematika
16
penulisan. Bab pendahuluan ini merupakan uraian yang berhubungan erat
dengan materi pembahasan.
Bab kedua tentang, tinjauan teori tentang perlindungan anak, teori
keadilan, dan teori kemaslahatan dalam masalah hak hadhanah.
Bab ketiga berisikan tentang, pengertian hak asuh anak (hadhanah),
dasar hukum hak asuh anak menurut fiqih, hak dan syarat pemegang
hadhanah dan hak asuh anak menurut hukum positif.
Bab keempat berisikan tentang, analisis penetapan hakim tentang
hak asuh anak (hadhanah) dibawah umur kepada bapak bagi ibu yang
mengidap penyakit Bipolar Disorder,
Bab kelima, pada bab ini berisi kesimpulan yang merupakan
jawaban atas masalah yang dirumuskan berdasarkan data yang diperoleh
serta saran-saran dan harapan penulis.
17
BAB II
TINJAUAN TEORI TENTANG PERLINDUNGAN ANAK, TEORI
KEADILAN DAN TEORI KEMASLAHATAN DALAM MASALAH HAK
HADHANAH
A. Teori Perlindungan Anak Dalam Hadhanah
Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab
mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada
bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih
kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan
urusannya, dan orang yang mendidiknya. Dalam kaitan ini, terutama
ibunyalah yang berkewajiban melakukan hadhanah. Rasulullah Saw.,
bersabda, yang artinya: “engkaulah (ibu) yang berhak terhadap anaknya.”1
Kewajiban dan tanggung jawab orang tua diatur dalam pasal 26 ayat
(1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak pasal 26 yang berbunyi:
Pasal 26:
1. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
b. Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya
c. Dan mencegah terjadinya pernikahan pada usia anak-anak
2. Dalam hal orang tua tidak ada atau karena suatu kewajiban dan tanggung
jawabnya maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud
1 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), cet 4, h. 217
18
dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Didalam penjelasan undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak ditegaskan: “bahwa tanggung jawab orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan terus-menerus demi terlindungnya dan terarah guna menjamin
pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik mental, spiritual, maupun
sosial.2
Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik
bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh,
memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai pancasila,
serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
Melakukan pembinaan dalam pengembangan dan perlindungan anak
perlu peran masyarakat baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga
keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan,
organisasi sosial, dunia usaha, media masa, atau lembaga pendidikan.
Setiap anak berhak untuk berprestasi sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tuanya. Karena anak
memerlukan kebebasan dalam rangka mengembangkan kreatifitas dan
intelektualitasnya (daya nalarnya) sesuai dengan tingkat usia anak. Dan
pengembangan anak yang belum cukup umur masih harus dalam bimbingan
orang tuanya.
2 Penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
19
B. Teori Keadilan
Teori-teori hukum alam sejak Socrates hingga Francois Geny, tetap
mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam
mengutamakan “the search for justice”. 3 Berbagai macam teori mengenai
keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan
kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara
teori-teori itu dapat disebut: teori keadilan Aristoteles dalam bukunya a
theory of justice dan teori hukum dan keadilan Hans Kelsen dalam bukunya
general theory of law and state.
1. Teori Keadilan Aristoteles
Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam
karyanya Nicomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam
buku Nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditunjukan bagi keadilan,
yang berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti
dari filsafat hukumnya “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam
kaitannya dengan keadilan”.4
Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak
persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak
persamaannya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan
manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat
difahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum
3 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, cet VIII, (Yogyakarta: Kanisius,
2005), h. 196 4 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004), h. 24
20
sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya
sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukannya.
Keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam
keadilan, keadilan “distributif” dan keadilan “commutatief”. Keadilan
distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang menurut
pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada
setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan
dengan peranan tukar menukar barang dan jasa.5 Dari pembagian macam
keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi,
honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan
dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis,
jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan
dan barang berharga lainnya berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan
warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai
dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.6
2. Teori Keadilan John Rawls
Beberapa teori keadilan dikemukakan oleh Filusuf Amerika di akhir
abad ke-20, Johan Rawls, seperti A Theory of Justice, politcal Liberalism,
5 L..J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, cet. Kedua
puluh enam, 1996), h. 11-12. 6 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004), h. 25
21
dan The Law of Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar
terhadap diskursus nilai-nilai keadilan.7
John Rawls yang dipandang sebagai persepektif “liberal-egalitarian
of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari
hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan
bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa
keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya
masyarakat lemah pencari keadilan.8
Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai
prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep
ciptaannya yang dikenal dengan “posisi asali” (original position) dan
“selubung ketidak tahuan” (veil of ignorance).
Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dengan
derajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan
status, kedudukan atau memiliki posisi yang lebih tinggi antara satu dengan
yang lainnya, sehingga satu pihak dengan yang lainnya dapat melakukan
kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai sebagai suatu
“posisi asasli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan
didasari oleh ciri rasionalis (rationality), kebebasan (freedom), dan
persamaan (equqlity) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic
structure of society).
7 Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls. dalam Jurnal Konstitusi, Volue 6 Nomor
1 (April 2009), h. 135 8 Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls. dalam Jurnal Konstitusi, Volue 6 Nomor
1 (April 2009), h. 139
22
Sementara konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh
John Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta
dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan
doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan
tentang keadilan yang tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls
menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil
dengan teorinya disebut sebagai “Justice as fairness”.
Pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi asasli” terdapat
prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni
setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan
kompitabel dan ketidak samaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri
masing-masing individu.
John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa
program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah
memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu pertama, memberi hak dan
kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas
kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali
kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi
keuntungan yang bersifat timbal balik.9
Prinsip perbedaan menurut diaturnya struktur dasar masyarakat
sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama
kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukan bagi keuntungan orang-
9 John Rawls, A Theory of Justice, diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,
Teori Keadilan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006), h. 203
23
orang yang paling kurang beruntung. Ini seperti keadilan sosial harus
diperjuangkan untuk dua hal: pertama. Melakukan koreksi dan perbaikan
terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan
menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang
memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memposisikan diri sebagai
pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi
ketidak adilan yang dialami kaum lemah.
3. Teori Keadilan Hans Kelsen
Hans kelsen dalam bukunya general theory of law and state,
berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan
adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang
memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagiaan didalamnya.10
Pandangan Hans Kelsen ini yang bersifat positifisme, nilai-nilai
keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang
mengakomodir nilai-nilai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan
kebahagiaan diperuntukan tiap individu.
Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai
pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang
adil beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagiaan setiap
perorangan, melainkan kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak
mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-
10
Hans Kelsen, General Theory of Low and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien,
(Bandung: Nusa Media, 2011), h. 7.
24
kebutuhan, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai
kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang,
pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah
yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan menggunakan
pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai,
ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.
Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut
aliran positifisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam, sehingga
pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara
hukum positif dan hukum alam. Dua hal lagi konsep keadilan yang
dikemukakan oleh Hans Kelsen:
Pertama tentang keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber
dari cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang
dapat berwujud suatu kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya
menimbulkan suatu konflik kepentingan. Penyelesaian atas konflik
kepentingan tersebut dapat dicapai melalui suatu tatanan yang memuaskan
salah satu kepentingan dengan mengorbankan kepentingan yang lain atau
berusaha mencapai suatu kompromi menuju suatu perdamaian bagi semua
kepentingan.11
Kedua, konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakan di atas
dasar suatu yang kokoh dari suatu tatanan sosial tertentu, menurut Hans
Kelsen pengertian “Keadilan” bermaknakan legalitas. Suatu peraturan
11
Hans Kelsen, General Theory of Low and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien,
(Bandung: Nusa Media, 2011), h. 14
25
umum adalah “adil” jika ia benar-benar diterapkan, sementara itu suatu
peraturan umum adalah “tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan
tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa.12
Konsep keadilan dan
legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa indonesia,
yang memaknai bahwa peraturannya, yang memaknai bahwa peraturan
hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum (law unbrella) bagi
peraturan-peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya
dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang
dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukum tersebut.13
C. Teori Kemaslahatan
Pengertian maslahah dalam bahasa arab berarti “perbuatan-perbuatan
yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum
adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti
menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau
kesenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak
kemadharatan atau kerusakan. Jadi setiap yang mengandung manfaat patut
disebut mashlahah. Dengan begitu mashlahah itu mengandung dua sisi yaitu
menarik atau mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau
menghindarkan kemudharatan.
Dilihat dari sudut pandang ilmu sharaf (morfologi), kata Maslahah
satu wazan (pola) dan makna dengan kata manfa’ah. Kedua kata ini
12
Hans Kelsen, General Theory of Low and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien,
h.16 13
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
26
(maslahah dan manfa’ah) telah diindonesiakan menjadi “maslahat” dan
“manfaat”.14
Kata maslahah adalah bentuk tunggal dari kata mashalih; selain itu
dikenal pula dengan istilah istishlah yang berarti mencari maslahat,
memandang maslahat atau baik, mendatangkan maslahat atau kebaikan, dan
kebaikannya adalah al-istisfad atau memandang buruk atau rusak,
mendatangkan keburukan atau kerusakan. Maslahah sama akarnya dengan
kata shalih yang berari “baik” menurut agama. Dalam al-qur’an banyak
ditemukan kata shalih, kata shalih ini pada umumnya berarti kebaikan pada
hakikatnya menguntungkan.15
Secara sederhana maslahat itu diartikan sesuatu yang baik dan dapat
diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal, mengandung arti bahwa akal
itu dapat mengetahui dengan jelas kenapa begitu. Setiap suruhan Allah
dapat dipahami oleh akal, kenapa Allah menyuruh, yaitu karna mengandung
kemaslahatan untuk manusia baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah
atau tidak.
Menurut Imam al-Ghazali maslahat adalah sebuah ungkapan
mengenai suatu hal yang mendatangkan manfaat dan menolak kerusakan
atau kemudharatan.16
Pada dasarnya mayoritas ahli ushul fiqih menerima metode atau teori
maslahat mursalat (kemaslahatan). Untuk menggunakan metode tersebut
14
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, (Jakarta: UIN Jakarta Pres, 2006), h. 101 15
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h.100. 16
Ahmad Mukri Aji, Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam,
(Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012), h. 48
27
mereka memberikan beberapa syarat. Imam Malik memberikan persyaratan
sebagai berikut:
- pertama, maslahat tersebut bersifat reasonable (ma’qul) dan
relavan (munasib) dengan kasus hukum yang ditetapkan.
- Kedua, maslahat tersebut bertujuan memelihara sesuatu yang
daruri dan menghilangkan kesulitan (rafu al-harj), dengan cara
menghilangkan masyaqqat dan madharrat.
- Ketiga, maslahat tersebut harus sesuai dengan maksud
disyari’atkan hukum (maqashid al-syari’at), dan tidak
bertentangan dengan dalil syara’ dan qath’i.
28
BAB III
HAK ASUH ANAK (HADHANAH) MENURUT FIQIH DAN HUKUM
POSITIF
A. Hak Asuh Anak (hadhanah) Menurut Fiqih
1. Pengertian Hak Asuh Anak (Hadhanah)
Persoalan mengasuh anak atau hadhanah tidak ada hubungannya
dengan perwalian terhadap anak, baik menyangkut perkawinannya maupun
menyangkut hartanya. Hadhanah adalah perkara mengasuh anak, dalam arti
mendidik dan menjaganya untuk masa ketika anak itu membutuhkan wanita
pengasuh. Dalam hal ini, mereka sepakat bahwa itu adalah hak ibu. Namun
mereka berbeda pendapat tentang lamanya masa asuhan seorang ibu, siapa
yang paling berhak sesudah ibu.1
Sejak lahir memang setiap anak membutuhkan kasih sayang,
kelembutan dan keceriaan, oleh sebab itu setiap orang tua harus dapat dan
berusaha meyakinkan mereka, bahwa segala sesuatu itu dilakukan untuk
mereka, dengan seperti ini maka dalam hati setiap anak akan merasakan
aman, tentram damai serta kehangatan kasih sayang dan persahabatan yang
erat antara anak dan orang tua.2
Pemeliharaan anak dalam Islam disebut dengan hadhanah,
secara etimologis hadhanah ini berarti “disamping” atau berada dibawah
1 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab (Jakarta: Basrie Press, 1994)
penerjemah: Afif Muhammad h.133 2 Abdur Rozak Husein, Hak Anak dalam Islam, Penerjemah Azwir Butun (Jakarta: PT
Fikahati Aneska, 1992), h. 62
29
ketiak.3 Hadhanah menurut bahasa berarti “meletakan sesuatu deket dengan
tulang rusuk atau di pangkuan” karna Ibu waktu menyusukan anaknya
meletakan anak itu di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi
dan memelihara anaknya.4
Supaya anak tumbuh dengan sempurna maka harus ada
kerjasama antara ibu dan bapak akan tetapi hal ini akan mudah terwujud
kalau kedua orang tua masih dalam ikatan perkawinan. Seorang anak pada
permulaan hidupnya sampai umur tertentu memerlukan orang lain dalam
kehidupannya, baik dalam pengaturan fisiknya maupun dalam pembentukan
akhlaknya. Seseorang yang melakukan tugas hadhanah sangat berperan
dalam hal tersebut. Oleh sebab itu masalah hadhanah mendapat perhatian
khusus dalam ajaran islam.5
Menurut istilah hadhanah yaitu merawat dan mendidik
seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya,
karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri. Hadhanah juga
dapat diartikan sebagai kewajiban orang tua untuk memelihara dan
mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya, pemeliharaan ini mencakup
masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi pokok
kebutuhan si anak.6
3 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtisar Baru Van Hoepe, 1999),
h. 415 4 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003) cet ke 4 h. 175
5 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Kencana,
2004), h. 166 6 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 23
30
Menurut Kompilasi Hukum Islam pengertian hadhanah juga
telah dirumuskan didalam pasal 1 huruf 9 yang dimaksud pemeliharaan
anak atau hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik
anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.7
Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat
tulang rusuk seperti menggendong, atau meletakan sesuatu dalam pangkuan.
Seorang ibu waktu menyusukan, meletakan anak dipangkuannya, dan
melindunginya dari segala yang menyakiti. Erat pengertian hubungannya
dengan pengertian tersebut, hadhanah menurut istilah ialah tugas menjaga
dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai
mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.8
Hadhanah berbeda maksudnya dengan pendidikan (tarbiyah).
Dalam hadhanah terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani,
pengertian pendidikan jasmani dan rohani, pengertian pendidikan terhadap
anak. Pendidik mungkin terdiri dari keluarga si anak dan mungkin pula
bukan dari keluarga si anak dan ia merupakan pekerjaan profesional;
dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota kerabat yang lain. Hadhanah
merupakan hak dari hadhin, sedangkan pendidikan belum tentu merupakan
hak dari pendidik.9
Menurut hemat penulis, mulai dari hadhanah menurut bahasa
sampai dengan hadhanah menurut istilah dapat difahami bahwa yang
7 Muhammad Daud dkk, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Ciputat:
Logos, 1999), h. 139 8 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2004), cet. 1, h.166 9 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 176
31
dimaksud dengan hadhanah adalah tanggung jawab atau kewajiban dalam
memelihara, mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak yang masih kecil
baik laki-laki maupun perempuan atau yang belum dewasa sehingga belum
bisa mengurus dan merawat dirinya sendiri sampai anak tersebut dinyatakan
sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk, dan tumbuh
dengan sempurna sehingga sudah bisa berdiri sendiri dalam menjalankan
kehidupannya.
2. Dasar Hukum Hak Asuh Anak (Hadhanah)
Islam telah mewajibkan pemeliharaan atas anak sampain anak
tersebut telah mampu berdiri dengan sendirinya tanpa mengharapkan
bantuan orang lain. Oleh karna itu mengasuh anak yang masih kecil adalah
wajib karna apabila anak yang dibawah umur di\biarkan begitu saja akan
mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuh dan perawatan,
sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu, iya
juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat
merusaknya. Dasar hukum hadhanah yaitu:
a. Al-Qur’an
Sebagaimana firman Allah SWT :
م الرضاعة و عل العولودله دهن حولين كاملين لمن ارادان يت والوالدات يرضعن اول
والدة بولد وكسوتهن بالمعروف رزقهن دله هاولمولو لتكلف نفس الوسعها لتضار
نهماوتشاورفلجناح ذالك فان ارادافصالا بولده اوعل الوارث مشل عن تراض م
دكم وااول لجناح عليهماوان اردتم ان تسترضع وان اردتم ان تسترضعوااولدكم ف عليهما
32
لون بصير م تيتم بالمعروف واتقوااهلل واعلمواان اهلل بماتع فلجناح عليكم اذاسلمتم ماا
( 322البقرة ) Artinya: “para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karna anaknhya, dan warispun berkewajiban
demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa keduanya.
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah melihat apa
yang kamu kerjakan”. (Al-baqarah 2/ 233)
Pada ayat ini, Allah SWT mewajibkan kepada orang tua untuk
memelihara anak mereka, ibu wajib menyusui anaknya selama 2 tahun. dan
Bapak berkewajiban memberikan nafkah kepada ibu. Dibolehkan
mengadakan penyapihan (menghentikan penyusuan) sebelum dua tahun
apabila ada kesepakatan antara kedua oarng tuanya. Mereka boleh
mengambil perempuan lain untuk menyusukan anak tersrebut dengan syarat
memberikan upah yang pantas. Hal ini demi kemaslahatan anak itu
sendiri.10
Pendidikan anak juga merupakan salah satu faktor yang amat
penting dalam kehidupan keluarga. Orang tua berkewajiban untuk
mengarahkan anak-anak mereka untuk menjadi orang-orang yang beriman
10
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 392-393.
33
dan berakhlak mulia, seperti patuh dalam melaksanakan ajaran agama
dengan baik agar terhindar dari perbuatan dosa dan maksiat.11
Allah berfirman dalam surat At-Tahrim ayat 6:
(6التحريم )ماكنتم تعملون و ن يايهاالذين كفروالتعتذروااليوم انماتجز
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”. (Q.S. At-Tahrim ayat 6)
Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk
memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh
keluarganya itu melaksanakan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-
larangan Allah, termasuk dalam anggota keluarga ini adalah anak.12
Kewajiban anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama
ayah dan ibu masih terkait dalam ikatan perkawinan saja, namun juga
berlanjut pada saat perceraian.13
Mengasuh anak-anak yang masih kecil
hukumnya wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkannya kepada
bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih
kecil, karna ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan
urusannya, dan orang yang mendidiknya.14
11
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), h. 217 12
Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 177 13
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h.
328 14
Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 177
34
Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam
pangkuan ibu dan bapaknya, karena dengan adanya pengawasan dan
perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan
jiwanya, serta mempersiapkan diri anak untuk menghadapi kehidupannya
dimasa yang akan datang.15
Suatu ketika datang sepasang suami istri kepada
Rasulullah saw. Untuk meminta penetapan siapa yang paling berhak untuk
mengasuh anak, sedangkan mereka sudah bercerai.
Dalam hadits nabi, Rasulullah bersabda:
يارسل اهلل : شعيب عن جده عبداهلل بن عمروأن امرأةا قالت حدثني عمروبن
وأن أباه طلقني وأرادأن ينتزعه مني ابني هداكان بطني له وعاءوحجري له حواء أن
مالمتنكهي أنت احق به : فقال لها رسولهلل
(والحاكم وصححه رواه احمدوابو داود والبيحقي) Artinya: “dari Abdullah bin Amr Ra. Sesungguhnya seorang perempuan
datang dan mengadu kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah
sesungguhnya seorang anak ini perut saya yang mengandung dan
dari susu saya ia mendapat minuman, dan pangkuan sayalah yang
menjadi penjaganya. Sedangkan ayahnya telah menceraikan saya,
dan ia bermaksud memisahkan ia dari saya. Maka Rasulullah
bersabda kepadanya: Engkau lebih berhak terhadap anakmu selama
engkau belum kawin dengan orang lain”. (Diriwayatkan oleh Abu
Daud)16
Hadits tersebut menjelaskan bahwa ibulah yang lebih berhak
untuk memelihara anaknya selama ia belum menikah dengan orang lain,
dengan kata lain jika ibunya menikah maka dengan sendirinya hak
15
Selamet Abidin, Fikih Munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 172 16
Abu Daud Sulaiman bin Al-‘Asy’ats As-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Daar
Fikr, 2003), h. 525
35
hadhanah itu gugur, lalu berpindah kepada ayahnya. Karna jika ibunya
menikah dengan orang lain, besar kemungkinan perhatiannya akan
berpaling kepada suami yang baru, dan mengalahkan bahkan bukan tidak
mungkin ia akan mengorbankan perhatian kasih sayanganya yang
seharusnya untuk anaknya sendiri.
Mengingat ibu lebih mengerti dan mampu mendidik anak.
Kesabaran ibu dalam hal ini lebih besar daripada bapak. Waktu yang
dimiliki ibu lebih lapang daripada bapak. Karna itu ibu lebih diutamakan
demi menjaga kemaslahatan anak. Dan jika si ibu sudah menikah dengan
laki-laki lain, maka hak hadhanah menjadi hilang.17
3. Hak dan Syarat Pemegang Hadhanah
a. Hak Hadhanah
Kepentingan untuk seorang anak, sikap peduli dari orang tua
terhadap masalah hadhanah memang sangat diperlukan, jika tidak
diperhatikan maka anak akan tumbuh dengan tidak terpelihara dan tidak
terarah seperti yang diinginkan, dan untuk mewujudkan anak tumbuh sesuai
dengan apa yang diharapkan, maka harus ada kerja sama antara ayah dan
ibu dalam melakukan tugas ini dan jalinan kerja sama ini akan terwujud
apabila ayah dan ibu masih ada dalam ikatan sebagai suami istri.18
Pasangan suami istri bercerai yang dari mereka menghasilkan
anak yang masih kecil, maka istilah yang paling berhak memelihara dan
17
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, (Jakarta: al-I’tishom, 2008), h. 528. 18
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana,
2004), cet. 1 h. 167.
36
merawat anak itu sehingga anak itu mumaayyiz karena ibulah yang biasanya
lebih telaten dan sabar.19
Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur
tertentu, memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya,
seperti makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada
pengaturan bangun dan tidurnya. Oleh karna itu, orang yang menjaganya
perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan
agar anak itu baik (saleh) di kemudian hari. Di samping itu juga, ia harus
mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu.20
Jika ibu
tidak ada, orang yang berhak menjadi hadhin (pemelihara atau pendidik)
adalah ibu dari ibu (nenek) dan seterusnya keatas, kemudian ibu dari bapak
(nenek) dan seterusnya keatas. Kemudian saudara perempuan ibu yang
sekandung, anak perempuan dari saudara perempuan seibu dan anak
perempuan dari saudara perempuan seayah. Kemudian, anak perempuan
dari saudara laki-lakiyang sekandung, anak perempuan dari saudara laki-laki
yang seibu, dan anak perempuan dari saudara laki-laki yang seayah.
Kemudian, bibi dari ibu yang sekandung dengan ibunya, bibi dari ibu yang
seayah dengan ibunya, bibi dari ibu yang seibu dengan ibunya. Kemudian,
bibi dari bapak yang sekandung dengan ibunya, bibi dari bapak yang seayah
dengan ibunya dan bibi dari bapak yang seibu dengan ibunya. Demikianlah
19
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), Cet. Ke V. h.
451 20
M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 217-218
37
seterusnya. Jika tidak ada pihak perempuan maupun pihak laki-laki yang
berhak hadhanah maka itu semua menjadi kewajiban pemerintah.21
Ulama berbeda pendapat siapa yang paling berhak mengasuh
anak setelah ibu kandung atau urutan hak asuh anak jika ternyata ada
penyebab yang menghalangi ibu kandung untuk mendapatkan hak asuhnya.
Perbedaan pendapat ini disebabkan karena tidak adanya dalail qath’i yang
secara tegas membahas masalah ini. Hanya saja keempat imam mazhab
lebih mendahulukan kalangan kerabat dari pihak ibu dibandingkan dari
kalangan kerabat dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang sama
(misalnya mendahulukan nenek dari pihak ibu dari pada nenek dari ayah).
Maka dari itu para ulama memberikan urutan dan skala prioritas
hak mengasuh anak bagi para wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak
tersebut. Menurut mereka, naluri kewanitaan mereka lebih sesuai untuk
merawat dan mendidik anak, serta adanya kesabaran mereka dalam
menghadapi permasalahan kehidupan anak lebih tinggi dibanding kesabaran
seorang laki-laki.22
b. Syarat Pemegang Hadhanah
Masalah yang paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah
syarat-syarat orang yang menjadi hadhin. Karna sifat seorang pengasuh
akan berpengaruh kuat kepada anak yang berpengaruh kepada anak yang
diasuhnya, seorang hadhinah (ibu asuh) yang menangani dan
menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya
21 Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 179-180 22
Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 118.
38
kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan kecakapan yang memerlukan
syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi satu saja maka
gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.23
Syarat asuhan para ulama mazhab berpendapat bahwa, dalam
asuhan seperti itu disyaratkan bahwa orang yang mengasuh berakal sehat,
bisa dipercaya, suci diri, bukan pelaku maksiat, bukan penari, dan bukan
peminum khamer, serta tidak mengabaikan anak yang diasuhnya. Tujuan
dari keharusan adanya sifat-sifat tersebut adalah untuk memelihara dan
menjamin kesehatan anak dan pertumbuhan moralnya. Syarat-syarat ini
berlaku pula bagi pengasuh laki-laki.
Para Ulama mazhab berbeda pendapat tentang, apakah islam
merupakan syarat dalam asuhan:24
Imamiyah dan Syafi’i: seorang kafir
tidak boleh mengasuh anak yang beragama islam. Sedangkan mazhab-
mazhab lainnya tidak mensyaratkannya. Hanyasannya para ulama mazhab
Hanafi mengatakan bahwa, kemurtadan wanita atau laki-laki yang
mengasuh, menggugurkan hak asuhan.
Setelah dasar hukum itu terealisasikan tentu pengasuh menjadi
faktor untuk kecakapan dan kepatutan untuk memelihara anaknya maka
harus ada syarat-syarat tertentu, yaitu:
1. Berakal sehat, karena orang gila tidak boleh menangani dan
menyelenggarakan hadhanah.
23
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana,
2004), cet. 1 h. 172 24 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta, Basrie Press, 1994) h. 135
39
2. Merdeka, sebab seorang budak kekuasaannya kurang lebih terhadap anak
dan kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan kepada tuannya
3. Beragama Islam, karena masalah ini untuk kepentingan agama yang ia
yakini atau masalah perwalian yang mana Allah tidak mengizinkan
terhadap orang kafir
4. Amanah
5. Belum menikah dengan laki-laki lain bagi ibunya
6. Bermukim bersama anaknya, bila salah satu di antara mereka pergi, maka
ayah lebih berhak karena untuk menjaga nasabnya.
7. Dewasa, karena anak kecil sekalipun mumayyiz tetapi ia butuh orang lain
untuk mengurusi dirinya.
8. Mampu mendidik, jika penyakit berat atau perilaku tercela maka
membahayakan jiwa anak dan justru terlantarkan berada di tanganya.25
Mayoritas ulama sepakat bahwa syarat-syarat hadhanah seperti
berakal, amanah, dewasa, mampu mendidik terhindar dari hal-hal yang
tercela merupakan bagian dari hadhanah. Sedangkah masalah agama bagi
Imam Syafi’i, orang selain Islam tidak boleh. Sedangkan bagi mazhab lain
bukan merupakan syarat, hanya saja bagi Imam Syafi’i kemurtadan
menjadikan gugur hak asuhan. Seterusnya mazhab 4 berpendapat bahwa,
apabila ibu si anak dicerai suaminya, lalu dia kawin lagi dengan laki-laki,
maka hak asuhnya gugur, tetapi hak asuhnya bagi ibu tetap ada karena
merupakan bukti kasih saying kepada anaknya. Sedangkan Imam Syafi’i,
25
Musthafa Kamal Pasha, Chalil, Wahardjani, Fiqih Islam, (Jogyakarta, Citra Karsa
Mandiri, 2002), h. 304
40
Hanafi, Imamiyyah dan Hambali: apabila ibu si anak bercerai lagi dengan
suaminya yang kedua, maka larangan hak asuhan si anak bias dicabut
kembali. Hak itu dikembalikan karena gugurnya perkawinan dengan laki-
laki kedua itu. Adapun Imam Maliki: hak tersebut tidak bias kembali
dengan adanya perceraian itu.26
Apabila seorang ibu tidak mampu mengasuh anaknya, kepada
siapa hak asuh anak tersebut dialihkan ? Ulama Mazhab berbeda pendapat
tentang, kepada siapa hak asuh anak tersebut dialihkan jika ibunya tidak
mampu mengasuh anaknya:27
Imam Hanafi: Hak itu secara berturut-turut dialihkan dari ibu
kepada ibunya ibu, ibunya ayah, saudara-saudara perempuan kandung,
saudara-saudara perempuan seibu, saudara-saudara perempuan seayah, anak
perempuan dari saudara perempuan kandung, kemudian anak perempuan
dari saudara seibu, dan demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu
dan ayah.
Imam Syafi’i: Hak atas asuhan, secara berturut-turut adalah, ibu,
ibunya ibu dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat mereka itu adalah
pewaris-pewaris si anak. Sesudah itu adalah ayah, ibunya ayah, ibu dari
ibunya ayah, dan seterusnya hingga keatas, dengan syarat mereka adalah
pewaris-pewarisnya pula. Selanjutnya adalah kerabat-kerabat dari pihak ibu,
dan disusul kerabat-kerabat dari ayah.
26
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih 5 Mazhab, (Jakarta, Lentera, 2002), h. 416-417 27
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta, Basrie Press, 1994),
h.133-135
41
Imam Maliki: Hak asuhan itu berturut-turut dialihkan dari ibu
kepada ibunya ibu dan seterusnya keatas, saudara perempuan ibu kandnung,
saudara perempuan ibu seibu, saudara perempuan nenek perempuan dari
pihak ibu, saudara perempuan nenek dari pihak ibu, saudara perempuan
kakek dari pihak ayah, ibu ibunya ayah, ibu bapaknya ayah dan seterusnya.
Imam Hambali: Hak asuh itu berturut-turut kepada ibu, ibunya
ibu, ibu dari ibunya ibu, ayah, ibunya ibu dari kakek, saudara perempuan
kandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, saudara
perempuan ayah sekandung, seibu dan seterusnya.
Imamiyah: ibu, ayah. Kalau ayah meninggal atau menjadi gila
sesudah asuhan diserahkan kepadanya, sedangkan ibu masih hidup, maka
asuhan diserahkan kembali kepadanya. Ibu adalah orang yang paling berhak
mengasuh si anak dibanding dengan seluruh kerabat, termasuk kakek dari si
ayah, bahkan andaikata dia kawin lagi dengan laki-laki lain sekalipun.
Kalau kedua orang tua meninggal dunia, maka asuhan beralih ke tangan
kakek dari pihak ayah. Kalau kakek dari pihak ayah sudah meninggal tanpa
menunjuk orang menerima wasiat (yang ditunjuk mengasuh), maka asuhan
beralih pada kerabat-kerabat si anak berdasarkan urutan waris. Kerabat yang
lebih dekat menjadi penghalang bagi kerabat yang lebih jauh. Bila anggota
keluarga yang berhak itu jumblah berbilang yang sejajar, semisal nenek dari
pihak ayah dengan nenek dari pihak ibu, atau bibi dari pihak ayah dengan
bibi dari pihak ibu, maka dilakukan undian manakala mereka berebut ingin
mengasuh. Orang yang namanya keluar sebagai pemenang, dialah yang
42
paling berhak mengasuh sampai orang ini meninggal atau menolak haknya.
Ini juga adalah pendapat hambali. (Al-Mughni, Jilid IX, bab Al-Hadhanah).
4. Batas umur hadhanah
Tidak terdapat ayat-ayat Al-Quran dan hadits yang menerangkan
dengan tegas tentang masa hadhanah, hanya terdapat isyarat-isyarat yang
menerangkan ayat tersebut, karna itu para ulama berijtihad sendiri-sendiri
dalam menetapkannya dengan berpedoman kepada isyarat-isyarat itu.
Separti menurut mazhab Hanafi: hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat
anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus
keperluannya sehari-hari, seperti makan, minum, mengatur pakaian,
membersihkan tempatnya dan sebagainya. Sedangkan masa hadhanah
wanita berakhir apabila ia telah baligh, atau telah datang masa haid
pertamanya.28
Imam Hanafi berpendapat, bahwa masa asuhan tujuh tahun
untuk anak laki-laki, dan sembilan tahun untuk anak perempuan. Mereka
menganggap bahwa untuk perempuan lebih lama, sebab agar dia dapat
menirukan kebiasaan-kebiasaan kewanitaan dari perempuan (ibu) yang
mengasuhnya.29
28
Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h.185 29
Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 185
43
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa masa hadhanah itu berakhir
setelah anak mumayyiz, yakni berumur antara lima dan enam tahun, dengan
dasar hadits:30
ا بين أ: قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم ه كما خير بنتاا بين خير غلما بيه وام
ها .أبيها وام
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: Anak ditetapkan antara bapak dan
ibunya sebagaimana anak (anak yang belum mumayyiz) perempuan
ditetapkan antara bapak dan ibunya. Menurut mazhab Imam Malik, masa hadhanah anak laki-laki itu
berakhir dengan ihtilam (mimpi), sedangkan masa hadanah anak perempuan
berakhir dengan pada saat dia usia menikah. Jika ia sampai pada saat usia
menikah, sedangkan ibu dalam masa iddah, maka ia lebih berhak terhadap
anak putrinya, sampai ia menikah (lagi). Jika tidak sedang demikian, maka
anak itu dititipkan kepada ayahnhya atau jika ayahnya tidak ada, maka ia
ditipkan pada wali-walinya.31
B. Hak Asuh Anak (Hadhanah) Menurut Hukum Positif
1. Perspektif Undang- Undang No.23 Tahun 2002 jo Undang-Undang 35
Tahun 2014
Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan
dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan
dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan
perlindungan anak membawa akibat hukum, baik kaitannya dengan hukum
30 Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 185 31
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta, Ghalia Indonesia,
2010), h. 186-187
44
tertulis maupun hukum tidak tertulis. Menurut Arif Gosita kepastian hukum
diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah
penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam
pelaksanaan perlindungan.32
Pasal 14 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak jo Undang-Undang 35 Tahun 2014 yang berbunyi:
“Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan atau aturan hukum yang sah menunjukan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan kepentingan
terakhir”. Dalam penjelasannya ditegaskannya bahwa, “Pemisahan yang
dimaksud dalam ketentuan ini tidak menghilangkan hubungan anak dengan
orang tuanya”. Jadi meskipun sudah ada ketentuan hukumnya yang
menyatakan salah satu orang tua sebagai pemegang “kuasa asuh anak”, tetap
tidak ada alasan untuk melarang orang tua lain bertemu dengan anaknya.33
2. Undang- Undang No. 1 Tahun 1974
Pemeliharaan anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan
primer dan sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu
pendidikan, biaya hidup, kesehatan, ketentraman dan segala aspek yang
berkaitan dengan kebutuhannya, dalam ajaran Islam di ungkapkan bahwa
tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah
tangga, dan tidak tertutup kemungkinan tanggung jawab itu beralih kepada
32
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak; Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2006),h. 33 33
Adib Bahari, Prosedur Gugatan Cerai + Pembagian Harta Gonogini + Hak Asuh Anak,
(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), hal 166
45
istri untuk membantu suaminya bila suami tidak mampu melaksanakan
kewajibannya. Oleh karena itu, amat penting mewujudkan kerja sama dan
saling membantu antara suami dan istri dalam memelihara anak sampai ia
dewasa. Hal dimaksud pada prinsipnya adalah tanggung jawab istri kepada
anak-anaknya.34
UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
1. UU No. 1 Tahun 1974
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka
yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,
orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu
memerlukan bantuannya.
Pasal 47
34
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 2006), hal 64
46
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar Pengadilan.35
Pasal 48 Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa orang
tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-
barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas
tahun) atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya.36
2. Kompilasi Hukum Islam
Pasal 98
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21
tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat
yang mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila kedua orang
tuanya tidak mampu.37
35
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 2006), hal 65 36
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: CV. Karya
Gemilang, 2011), hal 84
37 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2010) , hal 137
47
Pasal 98 tersebut memberikan isyarat bahwa kewajiban kedua
orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik,
membekali dengan ilmu pengetahuan untuk menjadi bekal mereka di hari
dewasanya. Secara khusus Alquran menganjurkan kepada ibu agar
menyusui anak-anaknya secara sempurna (sampai usia dua tahun).38
Selain
kewajiban di atas, kewajiban lain yang menjadi tanggung jawab orang tua,
yaitu hak kebendaan. Pasal 106 KHI mengungkapkan garis hukum sebagai
berikut.
Pasal 105 KHI
Dalam hal terjadinya perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak
untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Pasal 106 KHI
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya
yang belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak
diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena
keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keslamatan anak itu
menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
38
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 2006), hal 65
48
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).39
kalau seorang bayi disusukan oleh orang yang bukan
melahirkannya, maka perempuan yang menyusui bayi ditanggung oleh bayi
itu. Hal ini di atur oleh Pasal 104 KHI sebagai berikut.
Pasal 104 KHI
(1) Semua biaya penyusuan anak di pertanggung jawabkan kepada
ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya
penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban member
nafkah kepada ayahnya atau walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat dilakukan
penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah
ibunya.40
Demikian uraian mengenai ketentuan pemeliharaan anak dan
batas-batasnya menjadi tanggung jawab orang tua terutama ayah sebagai
kepala rumah tangga dan pelindung keluarga, bagi istri dan anak-anaknya.
39
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2010) , hal 138 40
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2010) , hal 138
50
BAB IV
ANALISIS HAKIM TENTANG HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR BAGI
IBU YANG MENGIDAP PENYAKIT BIPOLAR DISORDER
A. Bipolar Disolder dalam Tinjauan Ilmu Kesehatan
Gangguan bipolar yaitu gangguan mood yang kronis dan berat yang
ditandai dengan episode mania, hipomania, campuran dan depresi. Sebelumnya
gangguan bipolar disebut dengan manik depresif, gangguan afektif bipolar, atau
gangguan spektrum bipolar.1 Mengenal dan mengetahui suasana perasaan.
Suasana perasaan merupakan suatu suasana emosi berkepanjangan yang
mewarnai seluruh kehidupan psikik, yang pada umumnya mencakup pengertian
tentang depresi atau elasi (suasana perasaan yang meningkat). Gangguan
suasana perasaan yang utama adalah gangguan depresif berat dan gangguan
bipolar I, yang nama gangguan suasana perasaan tersebut sering kali dinamakan
gangguan afektif.
Pasien yang menderita hanya periode depresif dikatakan mengalami
gangguan depresif berat, dan dapat disebut sebagai depresif unipolar. Pasien
dengan periode manik dan depresif dan pasien dengan periode manik saja
dikatakan menderita gangguan bipolar I, dan istilah “mania unipolar” dan
“mania murni” kadang-kadang digunakan untuk pasien gangguan bipolar I yang
tidak memiliki episode depresif. Gangguan afektif merupakan kelompok kondisi
klinis yang ditandai dengan gangguan afek yang meningkat. Gangguan dengan
1 Nurmiati Amir, Gangguan Bipolar, (Jakarta: FKUI, 2013), h. 204
51
suasana perasaan yang meningkat memperlihatkan suasana perasaan yang
meluap-luap, didapatkan lompat gagasan, yang disertai dengan penurunan
kebutuhan tidur, peninggian harga diri dan gagasan kebesaran.2
Gangguan bipolar adalah salah satu masalah kejiwaan yang membuat
penderitanya mengalami perubahan suasana hati secara fluktuatif dan drastis.
Misalnya dari yang murung, tiba-tiba bisa berubah menjadi sangat bahagia atau
sebaliknya. Pada fase turun atau yang disebut sebagai periode depresi,
penderita gangguan bipolar biasanya akan terlihat sedih, lesu, dan tidak
bergairah. Sedangkan pada fase naik atau mania, penderita kondisi ini bisa
menjadi sangat bersemangat, enerjik, dan banyak bicara. Jika dilihat dari
perputaran episode suasana hati, ada penderita gangguan bipolar yang
mengalami keadaan normal di antara mania dan depresi. Meski begitu, ada
sebagian penderita yang mengalami perputaran cepat dari fase ke fase tanpa
adanya periode normal. Tiap fase gejala yang tergolong parah dapat
berlangsung hingga beberapa minggu. Pada gangguan bipolar, ada juga
penderita yang mengalami mania dan depresi secara bersamaan. Misalnya,
ketika penderita merasa sangat berenerjik, di saat bersamaan dirinya juga
merasa sangat sedih dan putus asa. Gejala yang jarang terjadi ini dinamakan
dengan periode campuran.3
2 Ayub Sani Ibrahim, Gangguan Alam Perasaan Manik Depresi, (Tangerang: Jelajah Nusa,
2011), h. 13
3 Laurentius M Panggabean dan Dee Rona, Apakah Aku Bipolar?, (Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, 2015), h, 5
52
Suasana perasaan yang mengalami penurunan memperlihatkan
kehilangan energi dan minat sesuatu, disertai dengan adanya perasaan bersalah,
kesukaran untuk berkonsentrasi, kehilangan nafsu makan, pikiran tentang
kematian atau bunuh diiri. Tanda dan gejala lainnya dari gangguan suasana
perasaan adalah perubahan dari aktifitas, kemampuan kognitif, berbicara dengan
fungsi vegenatif (misalnya: tidur, nafsu makan, dan aktifitas seksual). Depresi
unipolar merupakan suatu gangguan depresif berat termasuk salah satu gangguan
jiwa terbanyak yang mengenai orang dewasa, dengan kecenderungan gangguan
depresi unipolar pada wanita sebesar 20%. Angka ini lebih tinggi bila
dibandingkan dengan pria, yaitu di bawah 10%, sedangkan untuk gangguan
Bipolar pada wanita maupun pria sekitar 1% hanya 20% - 25% dari pasien
menderita Gangguan Bipolar yang memenuhi kriteria depresi yang menerima
pengobatan.4
B. Putusan Hakim dan Perkara Hak Asuh Anak bagi Ibu yang Mengidap
Penyakit Bipolar Disorder di Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Majlis Hakim dalam memutuskan suatu perkara dituntut suatu
keadilan dan untuk itu Hakim melakukan penilaian terhadap peristiwa atau
fakta-fakta yang ada apakah benar-benar terjadi. Hal ini hanya bisa dilihat dari
pembuktian, mengklasifikasikan antara yang penting dan tidak penting
(mengkualifikasi), dan menanyakan kembali kepada pihak lawan mengenai
keterangan saksi-saksi dan fakta-fakta yang ada.
4 Ayub Sani Ibrahim, Gangguan Alam Perasaan Manik Depresi, (Tangerang: Jelajah Nusa,
2011), h. 13-14
53
Berdasarkan dari hasil Petitum dari gugatan Penggugat, putusan
nomor 0419/Pdt.G/2014/PAJP, maka pertimbangan hukum majlis hakim yang
mencangkup hal-hal pokok tersebut, antara lain:
Berdasarkan pokok gugatan Penggugat dan pengakuan Tergugat,
bahwa pada tanggal 02 April 2011 Penggugat dan Tergugat melangsungkan
pernikahan, dan tertera dalam kutipan Akta Nikah No. 204/11/IV/2011 yang
dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Menteng, Jakarta pusat.
Dalam posita dan petitum gugatan Penggugat telah nampak dengan
jelas menunjukan adanya sengketa perkawinan dengan didasarkan pernyataan
penggugat dan senyatanya Penggugat berada di wilayah hukum Pengadilan
Agama Jakarta Pusat, maka berdasarkan pasal 49 Ayat (1) huruf (a) dan pasal
73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan perubahannya Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 maka Pengadilan Agama Jakarta Pusat
berwenang menerima, memeriksa dan menyelesaikan perkara tersebut.
Adapun alasan-alasan dan dalil-dalil gugatan Penggugat Konpensi,
baik dalam surat gugatannya, maupun dalam replik, sepanjang dapat
disimpulkan, pada intinya, bahwa sejak bulam Maret 2013 pernikahan
Penggugat Konpensi dengan Tergugat Konpensi sudah mulai terjadi
perselisihan yang terus menerus (Syiqaq) bahkan hingga kini semakin
memburuk yang kiranya sangat sulit untuk dirukunkan kembali dikarenakan
hal-hal sebagai berikut: antara Penggugat Konpensi dan Tergugat Konpensi
Menolak Permohonan Provisi Penggugat Rekonpensi.
54
Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh penggugat untuk
menguatkan gugatannya selain mengeluarkan bukti-bukti tertulis, tetapi
mengeluarkan bukti lain, saksi dan keluarga bertemu dengan ibu penggugat
konpensi dan pamannya Penggugat Konpensi bernama Riyanto Sofyan di
rumah Sofyan, pada pertemuan tersebut , saksi menanyakan alasan Penggugat
Konpensi untuk bercerai, tetapi tidak berhasil, dan pertemuan yang kedua
kalinya, saksi ada pertemuan dengan Penggugat Konpensi dan Tergugat
Konpensis, dalam pertemuan tersebut Penggugat Konpensi berkata, bahwa
Penggugat Konpensi sulit untuk mengikuti apa yang disarankan Tergugat
Konpensi, karena Penggugat bisa mandiri, dan pertemuan tersebut tidak
berhasil, yang terakhir diadakan pertemuan keluarga Tergugat Konpensi (ayah
Tergugat) dengan pamannya Penggugat Konpensi di Mall Cilandak Town
Square (Citos), untuk musyawarah mendamaikan Penggugat Konpensi dengan
Tergugat Konpensi, akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil.
Saksi ahli, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 145 HIR, maka majelis
menilai, bahwa saksi ahli dalam bidangnya masing-masing telah memenuhi
syarat formil dan syarat meteril dan dapat diterima dalam perkara ini, dan
bahwa dari kesaksian para saksi yang dihadirkan Penggugat Konpensi dan
Tergugat Konpensi secara formil dapat diterima. Karena telah disumpah, yang
mana keterangan saksi-saksi tersebut tidak bertentangan satu sama lain dan
keterangan para saksi tersebut relavan dan objektif dengan dalil-dalil
Penggugat dan jawaban Tergugat, oleh karnanya keterangan para saksi tersebut
55
secara meteriel dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti, sebagaimana
ketentuan Pasal 175 HIR.
Sebagaimana dalam penerapan pasal 19 huruf (F) PP Nomor 9 tahun
1975 sebagai salah satu alasan perceraian dengan tidak lagi mempersoalkan
atau mencari siapa yang menjadi penyebab terjadi perselisihan/ pertengkaran
tersebut antara suami istri, akan tetepi lebih diterapkan pada perkawinan itu
sendiri, apakah benar-benar telah pecah, ketentuan tersebut berdasarkan pada
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 38.K/AG/1990, tanggal 22 agustus
1991 dan Nomor: 534.K/Pdt/1996, tanggal 18 Juni 1996.
Kemaslahatan itu tidak akan terwujud, akibat karena Tergugat
Konpensi tidak lagi menaruh kepercayaan terhadap Penggugat Konpensi,
begitu juga sebaliknya Penggugat Konpensi tidak lagi menaruh
kepercayaannya kepada Tergugat Konpensi, dimana masalah ketidak
percayaan dalam membina rumah tangga. Bukanlah persoalan yang sepele
akan tetapi adalah prinsip dalam membina rumah tangga.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka majlis hakim
berkesimpulan, bahwa dalil-dalil gugatan Penggugat Konpensi telah memenuhi
ketentuan dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan jo Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam dan juga
sesuai dengan pendapat Ulama fiqh dalam kitab Ghoyatul Maromil Syaichil
Majdi yang berbunyi artinya “apabila istri sudah sangat memuncak
kebenciannya terhadap suaminya, disitulah Hakim diperkenankan untuk
menjatuhkan thalak dari laki-laki tersebut dengan thalak satu”. Dengan
56
demikian gugatan Penggugat Konpensi dapat kabulkan dengan menjatuhkan
thalak satu bain sughra dari Tergugat Konpensi terhadap Penggugat Konpensi
dan menyatakan perkawinan antara Penggugat Konpensi dan Tergugat
Konpensi putus karena perceraian.
Dalam surat gugatan duduk perkara/posita sangat penting
eksistensinya, setiap surat gugatan memuat posita. Pada hakikatnya posita atau
fundementum petendi yaitu menguraikan kejadian-kejadian atau peristiwa-
peristiwa.5
Biasanya dalam praktik dalam putusan atau surat gugatan lebih
dikenal atau lebih lazim disebut tentang duduk perkara yang menjadi dasar
yuridis gugatan atau menguraikan secara kronologis duduk perkaranya
kemudian penguraian tentang hukumnya, tidak berarti harus menyebutkan
peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan, melainkan cukup
hak atau peristiwa yang harus dibuktikan dalam persidangan nanti sebagai
dasar dari tuntutan.6
Tentang posita atau duduk perkara dalam surat gugatan tertanggal 22
April 2014 yang terdaftar di kepanitraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada
nomor 0419/Pdt.G/2014/PAJP, telah mengajukan pokok-pokok permasalahan.
Penggugat dan tergugat adalah pasangan suami istri yang sah yang
menikah pada hari sabtu tanggal 02 April 2011 sebagaimana ternyata dalam
kutipan Akta Nikah No. 204/11/IV/2011 yang dikeluarkan oleh Pegawai
5 Faizal Kamil, Asas Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2005), h. 60
6 Fauzie Yusuf Hasibuan, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Yayasan Pustaka Hukum
Indonesia, 2006), h. 9
57
Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Menteng,
Jakarta pusat. Penggugat dengan tergugat selama pernikahan tinggal di Jl.
Lembang No. 62, Menteng, Jakarta Pusat. Pada awal pernikahan antara
penggugat dengan tergugat telah hidup rukun dan harmonis sebagaimana
layaknya suami istri dan telah telah dikaruniai keturunan bernama “Sienna
Ameerah Kasyafani, perempuan, lahir di Jakarta, pada tanggal 22 Januari 2013.
Sejak bulan Maret 2013 pernikahan penggugat dan tergugat sudah mulai terjadi
perselisihan yang terus menerus (Syiqaq) bahkan hingga kini semakin
memburuk yang kiranya sangat sulit untuk dirukunkan kembali dikarenakan
hal-hal sebagai berikut:
a. Antara Penggugat dan Tergugat tidak terjalin komunikasi yang baik dalam
menjalankan rumah tangganya sehingga hanya menimbulkan perselisihan
antara Penggugat dan Tergugat:
b. Antara Penggugat dan Tergugat sama-sama memiliki sikap keras, mudah
emosi serta tidak bisa mengendalikan diri apabila terjadi pertengkaran
dalam permasalahan rumah tangganya;
c. Setiap kali terjadi pertengkaran antara Penggugat dengan Tergugat sering
kali dihadapan anak, sehingga menimbulkan dampak psikologis yang
buruk terhadap anak Penggugat dan Tergugat;
Puncak perselisihan terjadi pada hari kamis tanggal 27 Maret 2013
yang pada akhirnya antara Penggugat dengan Tergugat telah pisah ranjang dan
sudah tidak lagi melakukan hubungan suami istri. Selama ini Penggugatlah
dengan kemampuan tarbiahnya telah mendidik dan merawat anak yang
58
bernama Sienna Ameerah Kasyafani, Perempuan, lahir di Jakarta 22 Januari
2013, dan anak tersebut belum mumayiz sebagaimana dalam ketentuan Pasal
47 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, jo Pasal 105 KHI, maka Penggugat
mohon kepada Majlis Hakim untuk menetapkan anak tersebut berada dalam
Pengasuhan dan Pemeliharaan Penggugat. Pihak keluarga sudah berusaha
mendamaikan Penggugat dan Tergugat namun tidak berhasil. Tujuan dari
pernikahan adalah demi tercapainya keluarga sakinah mawaddah warahmah,
mengingat hingga saat ini ternyata Tergugat tetap tidak mau menyadari dan
memperbaiki kesalahan-kesalahannya dan justru membuat kondisi rumah
tangga semakin memburuk dan sekaligus telah menimbulkan kecewa dan sakit
hati Penggugat yang amat mendalam, maka Penggugat sudah tidak ingin
mempertahankan rumah tangganya dengan Tergugat. Terhadap biaya perkara
ini agar dibebankan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.7
C. Pandangan Undang-Undang Perkawinan, KHI dan Fiqh Terhadap
Putusan Nomor: 0419/Pdt.G/2014/PAJP dan Dasar Pertimbangan
Hakim
- Undang- Undang No. 1 Tahun 1974
Pemeliharaan anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan
primer dan sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu
pendidikan, biaya hidup, kesehatan, ketentraman dan segala aspek yang
berkaitan dengan kebutuhannya, dalam ajaran Islam di ungkapkan bahwa
7 Arsip Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Putusan No. 0419/Pdt.G/2014/PAJP
59
tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah
tangga, dan tidak tertutup kemungkinan tanggung jawab itu beralih kepada
istri untuk membantu suaminya bila suami tidak mampu melaksanakan
kewajibannya. Oleh karena itu, amat penting mewujudkan kerja sama dan
saling membantu antara suami dan istri dalam memelihara anak sampai ia
dewasa. Hal dimaksud pada prinsipnya adalah tanggung jawab istri kepada
anak-anaknya.8
UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
1. UU No. 1 Tahun 1974
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka
yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,
orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu
memerlukan bantuannya.
8 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 2006), hal 64
60
Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar Pengadilan.9
Pasal 48 Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa orang
tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-
barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas
tahun) atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya.10
2. Kompilasi Hukum Islam
Menurut Kompilasi Hukum Islam pengertian hadhanah juga
telah dirumuskan didalam pasal 1 huruf 9 yang dimaksud pemeliharaan
anak atau hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik
anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.11
Pasal 98
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21
tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
9 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 2006), hal 65
10 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: CV. Karya
Gemilang, 2011), hal 84 11
Muhammad Daud dkk, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Ciputat:
Logos, 1999), h. 139
61
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat
yang mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila kedua orang
tuanya tidak mampu.12
Pasal 98 tersebut memberikan isyarat bahwa kewajiban kedua
orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik,
membekali dengan ilmu pengetahuan untuk menjadi bekal mereka di hari
dewasanya. Secara khusus Alquran menganjurkan kepada ibu agar
menyusui anak-anaknya secara sempurna (sampai usia dua tahun).13
Selain
kewajiban di atas, kewajiban lain yang menjadi tanggung jawab orang tua,
yaitu hak kebendaan. Pasal 106 KHI mengungkapkan garis hukum sebagai
berikut.
Pasal 105 KHI
Dalam hal terjadinya perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak
untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
12 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2010) , hal 137 13
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 2006), hal 65
62
Pasal 106 KHI
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya
yang belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak
diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena
keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keslamatan anak itu
menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).14
kalau seorang bayi disusukan oleh orang yang bukan
melahirkannya, maka perempuan yang menyusui bayi ditanggung oleh bayi
itu. Hal ini di atur oleh Pasal 104 KHI sebagai berikut.
Pasal 104 KHI
(1) Semua biaya penyusuan anak di pertanggung jawabkan kepada ayahnya.
Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan
kepada orang yang berkewajiban member nafkah kepada ayahnya atau
walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat dilakukan
penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah
ibunya.15
14
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2010) , hal 138 15
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2010) , hal 138
63
Demikian uraian mengenai ketentuan pemeliharaan anak dan
batas-batasnya menjadi tanggung jawab orang tua terutama ayah sebagai
kepala rumah tangga dan pelindung keluarga, bagi istri dan anak-anaknya.
Penggugat Konpen dan Tergugat Konpensi telah dikaruniai seorang
anak perempuan yang bernama Sienna Ameerah Kasyafani dimana dalam
perkara ini, Penggugat Konpensi menuntut, hak pengasuhan dan pemeliharaan
anak tersebut diserahkan kepada Penggugat Konpensi, dengan alasan anak
tersebut masih belum mumayiz / dibawah umur. Terhadap tuntutan Penggugat
Konpensi tersebut, Tergugat Konpensi menyatakan menolak dan keberatan
anak tersebut diserahkan hak pengasuhan kepada Penggugat Konpensi, oleh
karnanya perlu dipertimbangkan. Bahwa anak adalah amanah dari Allah SWT
kepada kedua orang tuanya, yang berhak dan berkewajiban terhadap anaknya,
namun dikarenakan terkawinan Penggugat Konpensi dan Tergugat Konpensi
sudah diputus, maka perlu ditetapkan pengasuhan dan pemeliharaan anak
tersebut.
Tergugat Konpensi menyatakan keberatan anak dalam pengasuhan
dan pemeliharaan Penggugat Konpensi, disebabkan karena Penggugat
Konpensi mengalami gangguan Bipolar Disorder dan dalam kehidupan
Penggugat Konpensi ada laki-laki lain dan juga ada keributan antara Penggugat
Konpensi dengan ibu kandungnya, maka Tergugat Konpensi telah mengajukan
bukti yang telah dipertimbangkan di atas, serta saksi-saksi yang menerangkan
dibawah sumpahnya pada intinya; bahwa setelah menikah Penggugat Konpensi
mengatakan kepada saksi pertama, bahwa Penggugat Konpensi sakit Bipolar
64
Disorder, disebabkan karena pada awalnya Penggugat Konpensi kurang kasih
sayang dari orang tua, akibat orang tuanya bercerai dan mengalami luka batin.
Pada tahun 2013, saksi menemani Penggugat Konpensi untuk mengikuti
trainee hypnoterapi dan saksi kedua pernah mendapat pengakuan dari
Penggugat Konpensi sendiri, bahwa Penggugat Konpensi menderita penyakit
Bipolar dan Penggugat Konpensi harus minum obat seumur hidup dan dibawah
pengawasan dokter pribadi yang bernama dr. Richard dan juga saksi melihat
petugas rumah sakit datang kerumah Penggugat Konpensi untuk mengecek
kondisi Penggugat Konpensi. Dari sejak bayi Sienna tidak pernah diberikan Air
Susu Ibu (ASI), karena Penggugat Konpensi rutin minum obat dan sejak
tanggal 04 Agustus 2014 anak tersebut ada dengan Tergugat Konpensi sampai
saat ini, karena Penggugat Konpensi telah menitipkan anak tersebut kepada
Tergugat Konpensi, karena Sienna aman dan happy berada ditangan Tergugat
Konpensi dan mengurus, merawat Sienna adalah Tergugat Konpensi dan adik
perempuan kandung Tergugat Konpensi dan saksi sendiri serta dibantu oleh
Pembantu.
Fakta-fakta yang telah ditemukan di persidangan, baik dari keterangan
Penggugat Konpensi dan Tergugat Konpensi dan dihubungkan dengan bukti
tertulis sdan saksi-saksi yang telah disumpah, baik dari Penggugat Konpensi
maupun dari Tergugat Konpensi adalah sebagai berikut:
1. Anak Penggugat Konpensi yang bernama Sienna Ameerah Kasyafani
lahir tanggal 22 Januari 2013.
65
2. Penggugat Konpensi bekerja/ sedang shooting didalam kota Sienna
sering dibawa kelokasi shooting di Cibubur, di Kebagusan dan di
wilayah Jakarta Barat.
3. Selesai shooting barulah Penggugat Konpensi yang mengurus anaknya
tersebut, dan apabila Penggugat Konpensi ada shooting di luar kota
pada hari Minggu, Sienna tidak diajak dan tinggal di rumah dan diurus
oleh pembantu rumah tangganya dan Penggugat Konpnsi selalu
pulang.
4. Sejak bulan Agustus 2014 anak yang bernama Sienna ada dengan
Tergugat Konpensi sampai sekarang. Mengurus, merawat Sienna
adalah Tergugat Konpensi dan adik perempuan kandung Tergugat
Konpensi dan saksi sendiri serta dibantu oleh pembatu. Pada saat
Tergugat Konpensi bekerja, Sienna diasuh dan dirawat oleh saksi dan
adik kandung Tergugat Konpensi.
5. Sejak bayi Sienna tidak pernah diberikan Air Susu Ibu (ASI), karena
Penggugat Konpensi rutin minum obat.
6. Penggugat Konpensi ada hubungan dengan laki-laki lain.
7. Penggugat Konpensi mengidap penyakit gangguan Bipolar.
8. Penggugat Konpensi tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap.
Ditinjau dari sudut Normative, dalam pasal 105 huuf (a) dan Pasal 156
huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: bahwa anak yang masih di
bawah umur/belum mumayyiz ( dibawah 12 tahun ), pemeliharaan anak adalah
hak ibunya, akan tetapi hal itu tidaklah mutlak, karena selain Kompilasi
66
Hukum Islam tersebut ada ketentuan Peraturaan perundang-undang yang
berlaku, yakni Undang-undang RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak jo Undang-Undang 35 Tahun 2014, oleh karena itu dalam perkara ini
Pasal 105 huruf (a) dan Pasal 156 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, tidak
perlu dipertimbangkan.
Berdasarkan bukti jawaban Tim Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa di
RSPAD Gatot Soebroto tanggal 09 September 2014, yang menerangkan
Kondisi pasien saat ini tidak menjadi halangan untuk dapat bertemu, merawat
dan mengasuh anaknya (cakap temporer) dari bukti tersebut, Majlis Hakim
menilai, bahwa dengan adanya penjelasan dalam kurang “cakap temporer”
adalah suatu diagnose yang dapat dipahami, bahwa kecakapan Penggugat
Konpensi mengasuh, merawat anaknya adalah tidak stabil dan sewaktu-waktu
ada kemungkinan berubah kondisi kejiwaannya, pada hal untuk mengasuh
seorang anak diperlukan kondisi yang stabil dan berkesinambungan, sehingga
Majlis Hakim berpendapat, bahwa pada saat ini Penggugat Konpensi tidak
layak untuk menerima hak asuh anak tersebut. Berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut di atas, maka Majlis Hakim berkesimpulan, bahwa hak
penggugat Konpensi untuk mengasuh dan memelihara anak yang nernama
Sienna Ameera Kasyafani tidak dapat dikabulkan, maka gugatan Penggugat
tidak diterima
Tuntutan Penggugat Konpensi telah dikabulkan sebagian, maka
tuntutan Penggugat Konpensi tersebut tidak diterima selainnya. Bahwa
berdasarkan pasal 84 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 jo ayat (1)
67
peraturan Mentri Agama RI tahun 1990 jo surat Ketua Muda Mahkamah
Agung RI Nomor 28/TUDA-AG/IX/2002 tertanggal 22 Oktober 2002, maka
Pengadilan memerintahkan kepada panitra untuk menyampaikan salinan
putusan ini yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada KUA Kantor
Urusan Agama Kecamatan yang mewilayai tempat tinggal Penggugat dan
Tergugat tercatat, untuk mencatat perceraian tersebut dalam buku pendaftaran
thalak menurut model T. Oleh karna itu Majlis Hakim memerintahkan kepada
panitra Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk mengirimkan salinan putusan
ini kepada PPN KUA Kecamatan Menteng Kota Jakarta Pusat.16
Penggugat Rekonpensi menuntut pemeliharaan anak (Hadhanah)
Sienna Ameerah Kasyafani, anak perempuan, yang lahir di Jakarta pada
tanggal 22 Januari 2013 berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan
Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi sebagai ayah kandungnya.
Menimbang bahwa perkawinan Penggugat Rekonpensi dengan Tergugat
Rekonpensi telah putus bercerai, maka mengenai pengasuhan dan
pemeliharaan anak belum ada kepastian hukum, apakah anak tersebut di bawah
pengasuhan ibunya atau ayahnya, sebagaimana anak yang bernama Sienna
Ameerah Kasyafani. Pada hal dalam hukum Allah swt berdampak positif,
karena penuh keadilan, kebaikan, rahmat dan hikmah didalamnya, begitu juga
dalam pengasuhan anak, dimana anak yang masih kecil dan belum memenuhi
kemaslahatan-kemaslahatan bagi dirinya, yang masih sangat membutuhkan
keberadaan orang lain untuk dapat mencurahkan kebaikan-kebaikan dan
16 Arsip Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Putusan Nomor 0419/Pdt.G/2014/PAJP
68
menghindarkannya dari bahaya serta mendidik dengan pendidikan yang
terbaik, oleh karna itu perlu ditetapkan hak pengasuhan dan pemeliharaan anak
tersebut.17
Menimbang, bahwa untuk mendapatkan kepastian hukum tentang hak
asuh anak tersebut, Majlis Hakim berpendapat, untuk lebih mengedepankan
kemaslahatan anak dan tentu saja harus ditunjang dengan adanya kestabilan
situasi dan kondisi yang menjamin kelangsungan hak asuh dan pemeliharaan
anak, seperti tentang adanya tempat tinggal yang pasti dan lingkungan yang
nyaman untuk anak. Pada saat ini anak Penggugat Rekonpensi dan Tergugat
Rekonpensi berada dan tinggal bersama Penggugat Rekonpensi. Selama anak
berada bersama Penggugat Rekonpensi dan keluarganya tidak pernah
menghalang-halangi atau mempersulit Tergugat Rekonpensi untuk bertemu
dengan anaknya
Menimbang, bahwa dengan mengambil alih pertimbangan hukum
dalam konpensi tentang tidak diterimanya tuntutan Penggugat dalam konpensi
(Tergugat Rekonpensi) mengenai hak asuh anak, sebagaimana yang telah
diuraikan dimuka, maka Majlis Hakim berpendapat, bahwa untuk mendapatkan
kepastian hukum tentang pemegang hak asuh anak perlu untuk ditetapkan.
Bahwa dengan memperlihatkan Undang-undang No. 23 tahun 2002, tentang
perlindungan anak Bab III tentang hak dan kewajiban anak, dengan demikian
sudah sepatutnya anak yang bernama Sienna Ameerah Kasyafani ditetapkan
dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat Rekonpensi sebagai ayah
17 Arsip Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Putusan Nomor 0419/Pdt.G/2014/PAJP
69
kandung. Demi kepentingan anak tersebut , oleh karna itu majlis menambahkan
amar dalam perkara ini yang berbunyi dengan tidak menghilangkan hak
Tergugat Rekonpensi sebagai ibu kandung terhadap anak tersebut.
Menimbang, bahwa hak asuh yang bersifat, hak asuh yang bertalian
dengan hak dan tanggung jawab orang tua, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974, seperti kewenangan untuk
menentukan pendidikan anak dan mengawasi/memantau kesehatan anak
tersebut adalah tetap menjadi hak dan tanggung jawab bersama Penggugat
Rekonpensi dan Tergugat Rekonpensi, dan berdasarkan pasal 45 ayat (2)
Undang-undang No.1 tahun 1974, orang tua tetap sebagai orang tua bagi anak,
tidak ada lembaga perwalian , walaupun perkawinan orang tua sudah putus,
ayah tetap sebagai ayah bagi anak dan ibu tetap sebagai ibu bagi anak.18
D. Analisia Penulis
Sebuah perkawinan antara suami dan istri yang berujung kepada
perceraian, ternyata tidak hanya berdampak pada hubungan di antara mereka,
akan tetapi juga memberikan dampak yang sangat besar terhadap anak-anak
hasil perkawinan mereka.
Apabila suami dan istri tersebut memperseketakan hak asuh anak
setelah terjadi perceraian, maka dalam hal ini Pengadilan Agama berwenang
menyelesaikan masalah ini. Dalam prakteknya, masalah ini bukan sebuah hal
18
Arsip Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Putusan Nomor 0419/Pdt.G/2014/PAJP
70
yang mudah bagi hakim untuk menyelesaikannya, apalagi masing-masing
pihak yang bersengketa sama-sama mempunyai keinginan yang kuat untuk
melakukan pengasuhan anak dan sama-sama mengklaim diri mereka yang
paling layak untuk mendapatkan hak asuh anak tersebut.
Salah satu hal penting yang perlu diingat adalah sengketa mengenai
hak asuh anak ini memiliki sifat yang berbeda dengan sengketa harta benda.
Dalam sengketa harta benda menafikan hak milik pihak yang kalah, akan tetapi
dalam sengketa anak hal tersebut tidak berlaku, sebab bagaimana pun juga
hubungan keibuan dan kebapakan itu tidak akan pernah dapat dihilangkan, oleh
karna itu dalam sengketa hak asuh anak hanya bersifat hak pengawasan dan
pemeliharaan.
Sebagaimana telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya secara teori
bahwa seorang ibu lebih diprioritaskan memegang hak asuh anak bagi anak
yang belum mumayyiz.
Akan tetapi jika diteliti dan dikaji secara mendalam bahwa pada
hakikatnya esensi dari pengasuhan anak tersebut bukan terletak pada pihak
yang bersengketa akan tetapi semata-mata terletak pada kemaslahatan dan
kepentingan terbaik bagi anak.
Setelah membaca duduk perkara gugatan cerai dan hak asuh anak
dengan perkara Nomor 0419/Pdt.G/2014/PAJP tersebut di atas dan
mempelajari berkas perkaranya, serta mencermati argumentasi-argumentasi
yang diajukan oleh para Penggugat Konpensi dan Tergugat Konpensi dan
71
pertimbangan Hakim dalam menetapkan perkara tersebut di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan. Bahwasannya memang benar dalam pasal 105 Kompilasi
Hukum Islam mengatur tentang Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau
belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Bahwa pada dasarnya ibu lebih
besar kasih sayangnya terhadap anak dan mempunyai waktu yang banyak
untuk melakukan pengawasan dan pemeliharaan terhadap anak. Akan tetapi
fakta membuktikan bahwa dalam kasus ini penggugat kurang telaten mengurus
anak dan juga memiliki waktu yang relatif sedikit untuk melakukan
pengawasan terhadap anak disebabkan kesibukan aktifitasnya dan mengidap
penyakit Bipolar Disorder yang dimana penyakit ini sangat berbahaya terhadap
anak dibawah umur jika sedang kambuh.
Penggugat dan tergugat adalah pasangan suami istri yang sah yang
menikah pada hari sabtu tanggal 02 April 2011 sebagaimana ternyata dalam
kutipan Akta Nikah No. 204/11/IV/2011 yang dikeluarkan oleh Pegawai
Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Menteng,
Jakarta pusat. Mereka telah dikaruniai satu orang anak. Tidak dapat
mengabulkan hak asuh anak terhadap penggugat konvensi atau tergugat
rekonvensi, sebab tidak memenuhi ketentuan yang digariskan pasal 49 ayat (1)
UU No. 1 tahun 1974. Yaitu bahwa salah seorang atau kedua orang tua dapat
dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang
tertentu atas permintaan orang tua yang lainnya, keluarga anak dalam garis
lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang, dengan keputusan Pengadilan Agama dalam hal-hal: ia sangat
72
melalaikan kewajiban terhadap anaknya dan memiliki penyakit Bipolar
Disorder yang apabila kambuh dapat membahayakan untuk anak itu sendiri.
Oleh karna itu, ketika undang-undang atau aturan tersebut tidak bisa
diterapkan lagi secara normal terhadap fakta kejadian atau fakta hukum, maka
hakim wajib melakukan penemuan hukum dan hukum yang diterapkan itu
normanya harus bisa menjawab fakta hukum, tidak bertentangan dengan
ideologi negara, dapat menjangkau masa yang akan datang, dapat mencapai
satu keadilan serta dapat menjamin hak asasi manusia. Dalam hak asuh anak
itu hakim tidak melihat hak asasi orang tua tetapi hakim melihat pada hak asasi
anak, karena anak yang membutuhkan sebuah perlindungan.19
Dalam penemuan hukum tersebutlah, pandangan hakim di Pengadilan
Agama Jakarta Pusat, dengan memprioritaskan ayah sebagai pengasuh anak
atau memberikan kesamaan hak terhadap kedua belah pihak. Hakim
memutuskan perkara hak asuh anak dibawah umur dengan menggunakan dasar
hukum Pasal 1 Huruf g Kompilasi Hukum Islam, Pasal 105 Huruf a Kompilasi
Hukum Islam, Pasal 41 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan serta Pasal 2
huruf b UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, melakukan ijtihad
dengan metode maslahah mursalah. Hakim lebih melihat pada esensi dari
aturan-aturan tersebut yaitu semata-mata demi mewujudkan kepentingan
19
Wawancara pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat bernama Dra. Hj.
Saniyah KH. pada tanggal 5 november 2015.
73
terbaik bagi anak, sebagaimana pendapat Hakim Anggota ibu dalam
Wawancara pribadi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, 24 Agustus 2015.20
Dari apa yang menjadi alasan hakim di atas, dapat penulis simpulkan
bahwa faktor utamanya adalah karena ibu mengidap penyakit Bipolar Disorder
yang dapat membahayakan anak apabila sedang kambuh. Pada hakikatnya
hakim juga mempertimbangkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi anak
tersebut.
Pandangan teori keadilan jatuhnya hak asuh anak dibawah umur
kepada ayah ketika melihat penyakit ini sudah memenuhi unsur keadilan yang
terpenting adalah si ibu diperbolehkan untuk mengunjungi dan merawat si anak
tersebut tanpa harus ada batasan-batasan. Sebagaimana Undang-undang
Perlindungan Anak Bab III Pasal 14 No 23 Tahun 2002 sudah menentukan
bahwa “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika
ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan
terakhir”.
20
Wawancara pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat bernama Dra. Hj.
Nurroh Sunah, SH. pada tanggal 5 november 2015.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian penulis terhadap penetapan hak asuh anak
dibawah umur kepada ayahnya ini, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal:
1. Penyakit Bipolar Disorder bisa mengakibatkan putusnya hak asuh anak
dibawah umur dari ibu kepada ayah sebagaimana hakim Pengadilan Agama
Jakarta Pusat dalam memutuskan perkara Nomor 0419/Pdt.G/2014/PAJP
adalah Pasal 1 Huruf g Kompilasi Hukum Islam, pasal 105 huruf a
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 41 dan 45 UU No 1 tahun 1974 tentang
perkawinan serta Pasal 2 huruf b UU No 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak.
2. Ketentuan Undang-Undang Perkawinan tentang penetapan hak asuh anak
dibawah umur jatuh kepada ayah karena ibu menderita penyakit Bipolar
Disorder, bahwa hak asuh anak yang bersifat bertalian dengan hak dan
tanggung jawab orang tua, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 ayat
(1) Undang-undang No.1 Tahun 1974. Penyakit Bipolar Disorder yaitu
salah satu masalah kejiwaan yang membuat penderitanya mengalami
perubahan suasana hati secara fluktuatif dan drastis. Misalnya dari yang
murung, tiba-tiba bisa berubah menjadi sangat bahagia atau sebaliknya.
Pada fase turun atau yang disebut sebagai periode depresi, penderita
gangguan bipolar biasanya akan terlihat sedih, lesu, dan tidak bergairah.
Sedangkan pada fase naik atau mania, penderita kondisi ini bisa menjadi
70
sangat bersemangat, enerjik, dan banyak bicara. Jika dilihat dari perputaran
episode suasana hati. Hal ini tidak sesuai dengan KHI Pasal 105 huruf a
yang berbunyi Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Metode ijtihad yang digunakan hakim
Pengadilan Agama adalah menggunakan metode maslahah mursalah,
dengan melihat esensi dari hak pengasuhan anak tersebut untuk
mewujudkan kepentingan terbaik bagi anak. Dalam hal ini hakim tidak
menerapkan pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam secara kaku. Salah
satu alasan hakim memutuskan hak asuh anak dibawah umur jatuh pada
ayah adalah faktor ibu mengidap penyakit Bipolar Disorder.
Pertimbangannya yaitu mengedepankan kepentingan anak. Hal ini
merupakan paling utama yang harus dilakukan, karena kepentingan anak
adalah hal yang paling penting dan harus diutamakan. Selain metode
maslahah mursalah hakim juga melihat dari teori kemaslahatan yang mana
maslahat yaitu sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal sehat dalam
perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia.
71
B. Saran-saran
Berdasarkan pembahasan skripsi ini secara keseluruhan, ada beberapa
saran yang ingin penulis sampaikan sebagai penutup dalam karya ilmiyah ini,
yaitu:
1. Pernikahan adalah ikatan suci lahir dan batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang sakinah
mawaddah wa rahmah, dengan demikian menjaga keutuhan rumah tangga
adalah satu hal yang sangat penting bagi sebuah keluarga. Apabila terjadi
perselisihan dalam rumah tangga hendaknya diselesaikan dengan jalan
damai dan musyawarah terlebih dahulu. Cara terbaik dalam menyelesaikan
dalam sebuah permasalahan adalah dengan kepala digin dan bersikap
emosional. Sehingga perselisihan yang terjadi dalam rumah tangga tidak
langsung diselesaikan kejalan Pengadilan.
2. Apabila terjadi perceraian, maka anak adalah pihak yang paling dirugikan.
Oleh karna itu, perlu pikir panjang dalam mengambil sebuah keputusan
untuk menjadikan perceraian sebagai alternatif terakhir untuk mengakhiri
sebuah bahtera rumah tangga mengingat banyaknya dampak yang
ditimbulkan dari perceraian tersebut.
72
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2010
Abidin Selamet, Fikih Munakahat 2, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Aji Ahmad Mukri, Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika 2006.
Alam Andi Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, 2008.
Amir Nurmiati, Gangguan Bipolar, Jakarta: FKUI, 2013.
Apeldoorn L..J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, cet. Kedua puluh enam, 1996.
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, Jakarta: UIN Jakarta Pres, 2006.
Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 2006. cet ke 5.
Bungin Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: Rajawai Pers, 2004.
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtisar Baru Van Hoepe, 1999.
73
Daud Muhammad dkk, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Ciputat: Logos, 1999.
Djubaedah, Neng, Dkk, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Hecca Utama, 2005.
Effendi Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004, cet. 1.
Farida, Anik, dkk, perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas dan Adat. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007.
Friedrich Carl Joachim, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004.
Faiz Pan Mohamad, Teori Keadilan John Rawls. Dalam jurnal Konstitusi, Volue 6 Nomor 1 April 2009.
Ghozali Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana 2010. cet ke 4.
Hasibuan Fauzie Yusuf, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Yayasan Pustaka Hukum Indonesia, 2006.
Huijbers Theo, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, cet VIII, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Husein Abdur Rozak, Hak Anak Dalam Islam, Penerjemah Azwir Butun, Jakarta: PT Fikahati Aneska, 1992.
Ibrahim Ayub Sani, Gangguan Alam Perasaan Manik Depresi, Tangerang: Jelajah Nusa, 2011.
Ibrahim Jhony, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Jawa Timur: Baymedia Publising, 2006.
74
Faizal Kamil, Asas Hukum Acara Perdata, Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2005.
Kelsen Hans, General Theory of Low and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung: Nusa Media, 2011.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.
M. Zein, Satria Efendi, problematika Hukum Keluarga Islam kontemporer. Jakarta: Kencana, 2004.
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Mughniyah Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, penerjemah: Afif Muhammad, Jakarta: Basrie Press, 1994.
Panggabean Laurentius M dan Dee Rona, Apakah Aku Bipolar?, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2015.
Pasha Musthafa Kamal, Chalil, Wahardjani, Fiqih Islam, Jogyakarta, Citra Karsa Mandiri, 2002.
Prodjohamidjojo Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: CV. Karya Gemilang, 2011.
Rafiq Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1998.
Rawls John, A Theory of Justice, diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.
Sabiq, Al Sayyid, Fiqih Sunnah, jilid 3. Jakarta: Pena pundi Aksara, 2006.
75
Shomad, Abd, Hukum Islam. Jakarta: kencana, 2010.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Kencana 2003.
Syarifuddin, Amir, hukum perkawinan islam di Indonesia, “Antara Fikih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan”, Jakarta: Kencana, 2006. Cet. Ke-1.
Tihami dan Sahrani Sohari, Fikih Munakahat, Jakarta: Rajawali Pers, 2014. cet 4. Yanggo Huzaemah Tahido, Fikih Perempuan Kontemporer, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 2010.
Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, Jakarta: Rajawali Pers, 2013. cet ke 2.
As-Sajastani Abu Daud Sulaiman bin Al-‘Asy’ats, Sunan Abu Daud Juz I, Beirut: Daar Fikr, 2003.
Wawancara pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat bernama Dra. Hj. Saniyah KH . pada tanggal 5 november 2015.
Wawancara pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat bernama Dra. Hj. Nurroh Sunah, SH. pada tanggal 5 november 2015.
Arsip Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Putusan No. 0419/Pdt.G/2014/PAJP
76
77
78
79
HASIL WAWANCARA
PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
Nama Informan : Dra. Hj. Saniyah KH dan Dra. Hj. Nurroh Sunah, SH
Hari/Tanggal : Kamis, 5 November 2015
Waktu : 16.00 WIB
Tempat : Ruang Hakim
apakah seorang istri yang megidap penyakit Bipolar Disorder dapat secara
otomatis mencabut haknya dalam hadhanah anak yang masih dibawah umur tanpa
ada pertimbangan lain? Jelas tidak, karena persoalan penyakit bipolar disorder
dengan hadhanah itu merupakan dua konsep yang berbeda, oleh karna itu tidak
bisa secara otomatis dicabut haknya dalam hak asuh anak dibawah umur tanpa ada
pertimbangan yang lainnya.
Menurut ibu hakim faktor-faktor yang dapat menyebabkan hak asuh anak
dibawah umur jatuh kepada bapaknya yaitu memang seharusnya hak asuh anak
dibawah umur jatuh kepada ibunya akan tetapi apabila prilaku sang ibu tidak baik,
melalaikan kewajiban seorang ibu dan mengidap penyakit yang dapat
membahayakan si anak, maka demi kebaikan sang anak hak asuhnya bisa dicabut
sebagaimana yang tertera dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
80
Pandangan Ibu Hakim mengenai korelasi KHI, UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan dan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
berkenaan dengan hak asuh anak, bahwa aturan-aturan tersebut sangat erat
kaitannya dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Aturan ini sejalan dan
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Metode ijtihad yang digunakan majlis Hakim dalam memutuskan perkara
Nomor 0419/Pdt.G/2014/PAJP, hakim menggunakan maslahah mursalah, pada
intinya hakim memutuskan perkara ini semata-mata untuk kemaslahatan anak,
untuk pertumbuhan kewajiban anak yang baik sebab dalam kasus ini secara
psikologi anak tersebut lebih dekat dengan bapaknya dan merasa nyaman tinggal
bersama bapaknya. Dan apabila anak diasuh oleh ibunya maka akan
menyengsarakan dan membahayakan si anak jika suatu saat penyakit bipolar
ibunya kambuh.
Alasan yang paling kuat dalam memutuskan perkara ini yaitu ibu
mengidap penyakit bipolar disorder yang dapat membahayan nawa anak apabila
sedang kambuh, dan mengedepankan kepentingan anak hal ini yang paling
diutamakan yang harus dilakukan, pertimbangan yuridis dan normative seperti
merujuk pada peraturan perundang-undangan, yaitu pasal 41 Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, selain itu Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang perlindungan anak, meletakan kewajiban memberikan
perlindungan kepada anak berdasarkan asas kepentingan bagi anak. berdasarkan
proses pengadilan, bahwa fakta-fakta menunjukan bapak dianggap lebih mampu,
aman dan layak melakukan pengasuhan anak. Bapaknya lebih perhatian kepada
81
anaknya dan mempunyai waktu luang yang banyak untuk menjaga si anak.
Sehingga pada akhirnya majlis hakim bisa memberikan pertimbangan hukum,
memberikan hak asuhnya kepada bapaknya tidak kepada ibunya walaupun hak
asuh anak dibawah umur seharusnya jatuh kepada ibunya.
82
HASIL WAWANCARA
Hari/Tanggal : Sabtu, 2 April 2016
Waktu : 12.00 WIB
Tempat : Ruang Graha Utama Gedung A lantai 3 Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan
Nama Responden : dr. Yenny D. P. Tjahyani, Sp.Kj
Jabatan : Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa RS. Premiere Bintaro
Gangguan bipolar adalah salah satu masalah kejiwaan yang membuat
penderitanya mengalami perubahan suasana hati secara fluktuatif dan drastis.
Misalnya dari yang murung, tiba-tiba bisa berubah menjadi sangat bahagia atau
sebaliknya. Pada fase turun atau yang disebut periode depresi, penderita gangguan
bipolar biasanya terlihat sedih, lesu, dan tidak bergairah. Sedangkan pada fase
naik atau mania, penderita kondisi ini bisa menjadi sangat bersemangat, enerjik,
dan banyak bicara. Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa RS. Premiere Bintaro dr.
Yenny D. P. Tjahyani, Sp.Kj mengatakan, umumnya Orang Dengan Bipolar
(ODB) ditandai gejala empat episodik, yakni mania, hipomania, depresi dan
campuran. “Orang dengan bipolar memiliki gejala sangat bersemangat/senang
atau mania, hipomania, depresi dan campuran,” seperti yang diutarakan saat
Talkshow Bipolar Care Indonesia di Jakarta, Sabtu (2/4/2016).
83
Episode Mania
Gangguan mood saat episode mania bersifat berlebih, luas dan cepat
meledak-ledak. Gejala ini ditandai rasa percaya diri berlebihan (grandiositas),
berkurangnya kebutuhan tidur, bicara cepat dan banyak, gagasan dan pikiran terus
muncul, perhatian mudah teralih, adanya peningkatan sosial, hiperaktifitas
psikomotorik, aktivitas meningkat (sosial, seksual, pekerjaan dan sekolah),
melakukan tindakan gegabah (mengebut, boros, investasi tanpa perhitungan
matang). Episode ini muncul paling tidak selama sepakan. “Kalau ditemukan
minimal tiga indikasi tersebut dan bersifat menetap, berarti Anda memiliki
kecenderungan kuat mengalami episode mania,” jelasnya.
Episode Hipomania
Gejala hipomania pada ODB memiliki derajat lebih ringan ketimbang
mania. ODB hipomania sulit didiagnosa karena gejalanya mirip seperti orang
dengan tingkat kreativitas dan produktivitas tinggi. Umumnya episode ini muncul
paling sedikit empat hari. Namun hipomania dapat terlihat pada tanda seperti
perasaan sejahtera yang mencolok, keakraban berlebihan, banyak bercakap dan
bergaul, peningkatan libido, sulit berkonsentrasi serta tidak bisa duduk tenang.
Seseorang memenuhi syarat hipomania, jika mengantongi minimal empat indikasi
tersebut.
84
Episode Depresi
Gejala pada episode depresi adalah kebalikan sisi mania dan hipomania,
serta muncul minimal dua pekan. Menurut dr. Yenny, hanya memenuhi minimal
empat indikasi, seseorang tergolong mengalami episode depresi.
Episode depresi ditandai mood depresif, kehilangan minat dan
kegembiraan, berkurangnya energi, mudah lelah, aktivitas berkurang, konsentrasi
berkurang, percaya diri turun, rasa bersalah, masa depan suram, tidur terganggu
serta nafsu makan berkurang.
Depresi menjadi salah satu gejala paling berbahaya karena berujung
keinginan mengakhiri hidup. “Bahkan pada kasus berat terjadi simtom psikotik
yang umumnya ditandai halusinasi dan waham,” ujarnya.
Episode Campuran
Episode campuran muncul minimal selama sepekan, dengan indikasi
munculnya episode mania dan depresi secara bersamaan. Beberapa tanda ini
meliputi swing mood, mudah marah, panic attack, bicara cepat, agitasi, menangis,
ide bunuh diri, insomnia derajat berat, grandiositas, hiperseksualitas, waham dan
kadang-kadang bingung.
Derajat keparahan bipolar terdiri atas gangguan mood bipolar tipe 1
(ditandai episode manik dan depresi maupun episode campuran), serta tipe 2
(ditandai depresi dan hipomania) dan gangguan siklotimia. Awalnya ODB tidak
85
menyadari dirinya mengalami gangguan bipolar karena yang paling mengetahui
perubahan ini adalah orang-orang terdekatnya. Bila Anda menemukan tanda-tanda
bipolar sebaiknya memeriksakan diri ke psikiater untuk ditentukan derajat
kegawatan, rawat inap, rawat jalan dan obat-obatan. Pengobatan pasien bipolar
menggunakan stabilisator mood (Litium, Valproat dan Lamotrigin) dan
Antipsikotika Atipik (Risperidon, Olanzapin, Quetiapin dan Aripripazol).