gambaran social adjustment pada mantan penyandang kusta setelah dinyatakan sembuh secara medis
DESCRIPTION
This Is about Social Adjustment of people affected by leprosy in IndonesiaTRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
GAMBARAN SOCIAL ADJUSTMENT PENYANDANG KUSTA
SETELAH DINYATAKAN SEMBUH SECARA MEDIS
(STUDI DI LINGKUNGAN PEMUKIMAN KUSTA SITANALA
TANGERANG)
Description of Social Adjustment of People Affected by Leprosy
after Medically Healed
(Study in settlements of people affected by leprosy around Sitanala
Tangerang )
SKRIPSI
MOCHAMAD MIRZA
0706281311
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM S1 REGULER
DEPOK
JUNI 2011
1
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
GAMBARAN SOCIAL ADJUSTMENT PENYANDANG KUSTA
SETELAH DINYATAKAN SEMBUH SECARA MEDIS
(STUDI DI LINGKUNGAN PEMUKIMAN KUSTA SITANALA
TANGERANG)
Description of Social Adjustment of People Affected by Leprosy
after Medically Healed
(Study in settlements of people affected by leprosy around Sitanala
Tangerang )
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Psikologi
MOCHAMAD MIRZA
0706281311
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM S1 REGULER
DEPOK
2
Universitas Indonesia
JUNI 2011
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Mochamad Mirza
NPM : 0706281311
Tanda Tangan :
Tanggal : 30 Juni 2011
3
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Mochamad Mirza
NPM : 0706281311
Fakultas : Psikologi
Judul Skripsi : Gambaran Social Adjustment Penyandang Kusta
Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis (Studi di
Lingkungan Pemukiman Kusta Sitanala Tangerang)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Psikologi pada Program Studi S1 Reguler, Fakultas Psikologi,
Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing 1 : Dra. Julia Suleeman, M.A., M.A., Ph.D ( )
NIP. 195507021980032001
Pembimbing 2 : Adhityawarman Menaldi S.Psi., M.Psi ( )
NIP. 198304162008121002
Penguji 1 : Dra. Miranda Diponegoro Zarfiel, M.Si ( )
NIP. 195006151982032001
Penguji 2 :Dra. Ratna Djuwita, Dipl. Psych. ( )
NIP. 195902041985032006
Ditetapkan di : Depok
Tanggal :30 Juni 2011
DISAHKAN OLEH,
4
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi
pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada
penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Dra. Julia Suleeman M.A, M.A., Ph.D. dan Adhityawarman Menaldi, S.Psi,
M.Psi, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan
pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini serta telah
bersabar menghadapi saya yang penuh dengan kelemahan ini;
(2) Bunda Dra. Sri Redatin Retno Pujiati, M.Si, selaku pembimbing akademik
yang telah banyak membantu saya selama menjalani 4 tahun perkuliahan dan
karena kebanyakan minta tanda tangan bunda;
(3) Harry Susianto, Ph.D. dan mgr. Erita Narhetali, S.Psi. atas dukungan selama
penyusunan skripsi dan kesempatan belajar dalam berbagai macam penelitian,
Agnes Nauli, S.Psi. M.Sc. atas akses jurnal yang diberikan, dr. Sri Linuwih
SW. Menaldi, Spkk (K) (dr. Dini) atas pengetahuan dan informasi medis
mengenai kusta yang diberikan, dan Dra. Ina Saraswati, M.Si atas kesediaan
membimbing saya atas topik skripsi sebelumnya;
(4) dr. Azhari (You are the most “unique” father that I only have); Izzah Zahirah
(the most emotional mother who love me and family so much); Aul (adik
paling diem tapi tajam kritikannya), dan Ayi (adik yang paling kompak diajak
kerja sama ) dan keluarga besar yang telah memberikan bantuan dukungan
moral dan material;
(5) Intan Kurniasih, S.Psi dan keluarga, sahabat terbaik yang telah bersabar dan
terus mendukung saya, menyediakan waktu, tenaga, dan pikirannya sehingga
pengerjaan skripsi ini dapat rampung. Tanpa bantuanmu takkan selesai skripsi
ini tepat waktu dan tentu akhirnya kita memiliki gelar yang sama.
Jazzakumullah;
5
Universitas Indonesia
(6) Tammy Nurhardini, S.Ked, sahabat “ter-Cool” yang telah mendukung dan
membantu saya dengan referensi-referensi, serta pengorbanan waktunya
hingga akhir penyusunan skripsi ini selesai;
(7) Pak Ali (Ayah), Mbak Nisa, bang Ali, dan saudara-saudaraku di pemukiman
Sitanala thanks atas doa dan dukungan yang diberikan (sesuai janji saya ke
kalian saya akan lakukan sesuatu yang saya bisa demi saudara-saudaraku di
Sitanala. Pak Nuah Tarigan dan Pak Hermen Gpdli; serta Yuta Takashima
yang telah membuka mata saya atas keadaan saudara-saudara kita di
Indonesia.
(8) Mega Antari, Amores H.S, Annies Bramanti, Hilda. W, Rizkiana Shadewi,
teman-teman angkatan 2007, dan teman-teman bimbingan bersama Mbak
Julia yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, tanpa bantuan dan
kebaikan kalian takkan mungkin saya bisa menjadi seperti ini.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.
Depok, 30 Juni 2011
Penulis
6
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Mochamad Mirza
NPM : 0706281311
Program Studi : S1 Reguler
Fakultas : Psikologi
Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Gambaran Social Adjustment Penyandang Kusta setelah Dinyatakan Sembuh
Secara Medis (Studi di Lingkungan Pemukiman Kusta Sitanala Tangerang)
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis atau pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 30 Juni 2011
Yang menyatakan
(Mochamad Mirza)
7
Universitas Indonesia
Tidakkah Kami telah melapangkan bagi engkau dada engkau;
Sesungguhnya, sesudah kesukaran ada kemudahan.
(Al-Insyirah ayat 2 dan ayat 6)
8
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Mochamad Mirza
Program Studi : Psikologi
Judul : Gambaran Social Adjustment Penyandang Kusta yang
telah dinyatakan Sembuh secara Medis (Studi di
Lingkungan Pemukiman Kusta Sitanala, Tangerang)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran social adjustment
penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis di lingkungannya.
Social adjustment adalah suatu tahap dimana individu telah mencapai
keseimbangan (harmoni) antara keinginan internal dan dorongan psikologisnya
serta faktor eksternal dan lingkungan sosialnya sehingga mereka merasa puas
akan kehidupan sehari-harinya dan menikmati kehidupan tanpa stres dan
kecemasan (Chung & Seo, 2007). Partisipan dari penelitian ini adalah 20 mantan
penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis di pemukiman
kusta sekitar Rumah Sakit Kusta Sitanala Tangerang. Metode pengumpulan data
yang digunakan adalah dengan menggunakan alat ukur Social Adaptation Self-
evaluation Scale yang didisain oleh Bosc, Dubini, and Polin (1997) dan
wawancara sebagai metode pengumpulan tambahannya Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa social adjustment penyandang kusta yang secara medis telah
dinyatakan sembuh berada dalam kategori rendah dibandingkan dengan anggota
masyarakat yang tidak pernah menyandang kusta. Salah satu implikasi dari
penelitian ini adalah pentingnya penyusunan program rehabilitasi pada
penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis agar memiliki
social adjustment yang lebih baik sebagai bagian yang penuh dari anggota
masyarakat.
Kata kunci: Social Adjustment, Kusta
9
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Mochamad Mirza
Study Program : Psychology
Title : Description of Social Adjustment of People Affected by
Leprosy after Medically Healed (Study in settlements of
people affected by leprosy around Sitanala Tangerang )
This study aims to know the description of social adjustment of people affected by
leprosy in the new environment. Social adjustment is a state in which the
individual has achieved harmony between his or her own internal and
psychological desires and his or her own internal and psychological desires and
his or her external and social environment, thereby becoming satisfied with daily
life while enjoying the absence of frustration or anxiety (Chung & Seo, 2007).
Participants of this study were 20 persons with leprosy who have been medically
diagnosed as recovered in settlements around Sitanala Leprosy Hospital in
Tangerang. Data collection methods used were interviews in addition to Self-
evaluation Social Adaptation Scale by Bosc, Dubini, and Polin (1997). The results
of this study indicate that the social adjustment of persons with leprosy is in a low
category compared with the individual who are not affected by leprosy. One of the
implications of this study is the importance of designing rehabilitation programs
to help people affected by leprosy after medically healed to function as full
community members.
Keywords: Social Adjustment, Leprosy
10
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………….………………………… i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS….…………………………. ii
LEMBAR PENGESAHAN…..……………………………………………. iii
KATA PENGANTAR…………………………………………………….. iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH……………. vi
ABSTRAK………………………………………………………………… vii
ABSTRACT……………………………………………………………….. viii
DAFTAR ISI………………………………………………………………. ix
DAFTAR TABEL…………………………………………………………. xi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………. xii
1. PENDAHULUAN……………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah Penelitian……………………………………….. 7
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………... 7
1.4 Sistematika Penulisan……………………………………………….. 7
2. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….. 9
2.1 Adjustment………………………………………………………….. 9
2.1.1 Definisi Adjustment…………………………………………... 9
2.2 Social Adjustment…………………………………………………… 10
2.2.1 Definisi Social Adjustment…………………………………… 10
2.2.2 Persyaratan Social Adjustment……………………………….. 11
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Social Adjustment.. 13
2.2.4 Komponen Social Adjustment……………….......................... 17
2.2.5 Social Adaptation Self-evaluation Scale (SASS)……………... 19
2.3 Kusta………………………………………………………………... 20
2.3.1 Definisi Kusta………………………………………………... 20
2.3.2 Klasifikasi Kusta……………………………………………... 21
2.3.3 Ciri-ciri Kusta………………………………………………... 21
2.3.4 Epidemiologi Kusta………………………………………….. 22
3. METODE PENELITIAN……………………………………………… 23
3.1 Masalah Penelitian………………………………………………….. 23
3.2 Variabel Penelitian………………………………………………….. 23
3.2.1 Definisi Konseptual…………………………………………... 23
3.2.2 Definisi Operasional…………………………………………. 23
3.3 Tipe dan Desain Penelitian………………………………………...... 23
3.4 Partisipan Penelitian………………………………………………… 24
3.4.1 Teknik Pemilihan Partisipan Penelitian……………………… 24
3.4.2 Karakteristik Partisipan Penelitian…………………………… 24
3.4.3 Jumlah Partisipan Penelitian…………………………………. 25
3.5 Metode Pengumpulan Data…………………………………………. 25
3.6 Alat Ukur……………………………………………………………. 26
3.6.1 Alat Ukur Social Adjustment…………………………………. 26
11
Universitas Indonesia
3.6.2 Teknik Skoring Alat Ukur Social Adjustment………………... 28
3.7 Prosedur Penelitian………………………………………………….. 29
3.7.1 Persiapan……………………………………………………... 29
3.7.1.1 Translasi Alat Ukur………………………………….. 29
3.7.1.2 Uji Keterbacaan……………………………………… 29
3.7.1.3 Uji Coba Alat Ukur…………………………………... 32
3.7.1.4 Norma………………………………………………... 34
3.7.2 Teknik Pengolahan Data……………………………………... 35
3.7.3 Pelaksanaan…………………...……………………………... 35
4. ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA………………………….... 37
4.1 Gambaran Umum Partisipan Penelitian …….……………………… 37
4.2 Hasil Penelitian……………………………………………………... 40
4.2.1 Gambaran Social Adjustment Penyandang Kusta……………. 41
4.2.2 Gambaran Komponen Social Adjustment……………………. 41
4.3 Gambaran Hasil Penelitian Berdasarkan Aspek Demografis……….. 45
4.4 Hasil Wawancara…………………………………………………… 50
4.4.1 Hasil Wawancara Partisipan C………………………………. 50
4.4.1.1 Kondisi Fisik…………………………………………. 50
4.4.1.2 Diagnosis Kusta oleh Dokter………………………… 52
4.4.1.3 Pengobatan yang Dilakukan terhadap Gejala Kusta…. 52
4.4.1.4 Self-efficacy dan Optimisme…………………………. 53
4.4.1.5 Kemampuan Menghadapi Stres……………………… 55
4.4.1.6 Citra Diri……………………………………………... 55
4.4.1.7 Hubungan Interpersonal……………………………... 56
4.4.1.8 Pernikahan…………………………………………… 57
5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN…………………………… 62
5.1 Kesimpulan…………………………………………………………. 62
5.2 Diskusi……………………………………………………………… 62
5.2.1 Diskusi Hasil Penelitian……………………………………… 62
5.2.2 Keterbatasan Penelitian………………………………………. 67
5.3 Saran………………………………………………………………… 68
5.3.1 Saran Teoritis.………………………………………………… 68
5.3.2 Saran Praktis………………………………………………….. 69
DAFTAR REFERENSI…………………………………………………..........
12
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1.SASS: Clinical Study Questionnaire…………………………………..27
Tabel 3.2. Hasil Uji Keterbacaan…………………………………………..........30
Tabel 3.3. Norma Rata-Rata Skor Total Social Adjustment……………………..35
Tabel 4.1. Proporsi Jenis Kelamin dan Usia Partisipan………………………….37
Tabel 4.2. Proporsi Pendidikan dan Pekerjaan Partisipan……………………...38
Tabel 4.3. Proporsi Status Pernikahan dan Jumlah Tanggungan………….. ……39
Tabel 4.4. Proporsi Cacat Fisik dan Lama Vonis Kusta Partisipan……………40
Tabel 4.5. Gambaran Social Adjustment Penyandang Kusta………………. ……40
Tabel 4.6. Persebaran Rata-rata Skor Total Social Adjustment Partisipan… ……41
Tabel 4.7. Gambaran Umum Tiap Item Komponen Social Adjustment…… ……41
Tabel 4.8. Perbedaan Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Jenis
Kelamin……………………………………………………………………...…...46
Tabel 4.9. Perbedaan Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Rentang
Usia………………………………………………………………………........... 46
Tabel 4.10. Perbedaan Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Pendidikan
Partisipan…………………………………………………………………………47
Tabel 4.11. Perbedaan Rata-rata Skor Total Social Adjustment Berdasarkan Lama
Vonis Kusta………………………………………………………………… ……48
Tabel 4.12. Perbedaan Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Ada atau
Tidaknya Cacat Fisik…...………………………………………………….. ……49
Tabel 4.13. Perbedaan Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Status
Pernikahan…………………………………………………………………..……49
13
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. PENGHITUNGAN RELIABILITAS DAN VALIDITAS
A. Uji Reliabilitas
B. Uji Validitas (Konsistensi Internal)
C. Norma
LAMPIRAN 2. ALAT UKUR
A. Halaman Depan
B. Halaman Pembuka
C. Petunjuk Pengisian
D. Contoh Isi Kuesioner
E. Identitas Pribadi
LAMPIRAN 3. PENGHITUNGAN RATA-RATA SKOR TOTAL
A. Rata-rata Skor Social Adjustment
B. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Pendidikan
C. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Lama Vonis Kusta
D. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Cacat Fisik
E. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Jenis Kelamin
F. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Status Pernikahan
LAMPIRAN 4. KATEGORISASI
LAMPIRAN 5. TRANSKRIP WAWANCARA
14
Universitas Indonesia
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Burgess (1936) menyatakan bahwa sejak lama kusta merupakan penyakit yang
mendunia. Pendapatnya ini didasarkan atas perjalanannya ke berbagai negara di
dunia dimana ia selalu menemukan sekelompok besar populasi orang-orang yang
terinfeksi kusta. Dalam kunjungannya ke dua puluh negara di dunia, ia mencatat
tidak kurang dari tiga juta orang telah terinfeksi kusta dan ratusan ribu kasus kusta
baru (Burgess, 1936). Berkaitan dengan hal tersebut, pada tahun 1991 World
Health Organization (WHO) melalui World Health Assembly (WHA) menetapkan
resolusi untuk menghilangkan kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat di
tahun 2000. Program ini disebut dengan program “eliminasi kusta” yang
menargetkan turunnya prevalensi kusta dari 21.1 per 10.000 menjadi 1 per 10.000
(World Health Organization, 2010). Jumlah kasus baru orang yang terinfeksi
kusta di 16 negara mengalami penurunan sejak tahun 2003 hingga tahun 2009
(World Health Organization, 2010). Meskipun demikian, jumlah ini tidak
merepresentasikan keadaan yang sesungguhnya di seluruh dunia.
WHO mencatat pada triwulan pertama tahun 2010, di 141 negara telah
terjadi peningkatan kasus baru penyandang kusta dibandingkan dengan tahun
2009. Angka tertinggi dengan kusta terbanyak ditemukan di belahan dunia
beriklim tropis dan subtropis (Euzenir, Ximena, José, Anna, Maria, Maria,
Elizabeth, & Gilla, 2008). Benua Asia dan Afrika menempati peringkat tertinggi
ditemukannya jumlah kasus baru orang yang terinfeksi kusta dimana Indonesia
termasuk didalamnya (World Health Organization, 2010).
Pada tahun 1963, Indonesia berada di urutan ke-12 (Shepard, 1963), dan
mulai tahun 2003 hingga tahun 2010 Indonesia melonjak menempati posisi ke-3
tertinggi, setelah India, dan Brazil (World Health Organization, 2010).
Berdasarkan keputusan WHO tentang program eliminasi kusta, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia mencanangkan program yang sama untuk skala
provinsi di tahun 2005 dan untuk skala kabupaten di tahun 2007/2008 (Menaldi,
2008). Sayangnya, hal ini belum dapat tercapai dengan baik karena di awal tahun
2011, tercatat sekitar 17 ribu orang telah terinfeksi kusta di seluruh Indonesia
(Prihatianto, 2011).
15
Universitas Indonesia
Kusta adalah penyakit infeksi menular dengan durasi kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae (Euzenir, Ximena, José, Anna, Maria,
Maria, Elizabeth, & Gilla, 2008). Penyakit ini bersifat intraseluler obligat dengan
menyerang tubuh manusia, terutama di bagian saraf perifer (saraf diluar otak dan
medulla spinalis), lalu kulit, dan sistem pernapasan bagian atas serta dapat
menjalar ke organ-organ lain (Kosasih, Wisnu, Daili, Menaldi, 2003). Kusta ini
dapat menyebabkan masalah yang serius. Apabila dibiarkan, dapat
memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat fisik,
khususnya pada tangan dan kaki (Amirudin, Hakim, Darwis, 2003). Kusta
merupakan penyakit yang dapat disembuhkan dan tidak benar jika dikatakan tidak
dapat disembuhkan. Hanya saja cacat yang sudah terlanjur ada karena terlambat
dalam penanganannya, seperti kedua tangan penyandang kusta akan berbentuk
seperti “cakar” akibat kerusakan otot-otot di tangan, pada jari-jari penyandang
kusta juga akan terlihat bekas seperti terbakar dan bekas luka-luka, serta
kehilangan sensasi raba dan nyeri akibat kerusakan sel-sel saraf secara permanen
(McDougall & Yuasa, 2002), tidak akan pernah hilang sampai orang tersebut
meninggal dunia. Selain itu, Courtright dan Lewellen (dalam Prasad & Prasad,
2007) menambahkan bahwa penyandang ataupun mantan penyandang kusta dapat
mengalami kebutaan pada matanya. Penampakan fisik yang buruk seperti ini
dapat membuat banyak masyarakat merasa ”jijik” dan takut untuk berinteraksi
dengan penyandang kusta (Menaldi, 2008).
Kusta tidak hanya merupakan masalah kesehatan, tetapi juga merupakan
masalah sosial. Orang yang terkena infeksi kusta di Indonesia biasa disebut
dengan “orang kusta” bahkan sebutan ini terus melekat walaupun individu telah
dinyatakan sembuh secara medis. Di dunia internasional, mereka juga biasa
disebut sebagai “leper”. Berdasarkan halaman web yang ditulis oleh PR Newswire
on behalf of The Nippon Foundation, Mr.Yohei Sasakawa, WHO Goodwill
Ambassador for the Elimination of Leprosy and Japanese Government Goodwill
Ambassador for the Human Rights of People Affected by Leprosy, meminta untuk
menghentikan penggunaan kata “leper” untuk menyebut orang-orang yang
terinfeksi kusta ataupun yang telah dinyatakan sembuh secara medis dan
menggantinya dengan kata “people affected by leprosy.” Hal ini dikarenakan
16
Universitas Indonesia
penggunaan kata “leper” memiliki makna yang negatif serta terkesan
mendiskriminasikan orang yang terinfeksi kusta bukan bagian dari masyarakat.
Oleh karena itu, peneliti juga akan mengunakan kata “penyandang kusta” dan
“mantan penyandang kusta”, sebagai sebutan untuk individu yang terinfeksi kusta
dan yang telah sembuh secara medis dibandingkan menggunakan kata “orang
kusta” atau “mantan orang kusta” yang terdengar lebih negatif.
Tsutsumi, Izutsu, Islam, Amed, Nakaahara, Fumie, & Wakai (2003)
menjelaskan bahwa orang yang terinfeksi kusta menghadapi berbagai stigma yang
ada di masyarakat dan mengalami perilaku negatif bahkan ketika ia telah
melakukan pengobatan, diantaranya individu yang terinfeksi kusta dianggap telah
terkena kutukan dan guna-guna. Lawn dan Lockwood (2007) menambahkan
bahwa orang yang terinfeksi kusta, sama seperti penyakit HIV/AIDS, merupakan
penyakit yang memang sangat tinggi dengan stigma dan menyebabkan distress
pada penyandangnya. Djuwita (1981) melakukan sebuah penelitian pada orang-
orang yang terinfeksi kusta dan berobat di Rumah Sakit Kusta Sitanala
Tangerang. Berdasarkan penelitian tersebut, kebanyakan dari mereka merasa
khawatir setelah melakukan pengobatan mengalami penolakan dari masyarakat
apabila kembali ke daerah asal karena riwayat penyakit yang pernah diderita
sehingga memutuskan untuk tinggal di sekitar rumah sakit dibandingkan kembali
ke daerah asal. Menaldi (2008) menambahkan bahwa sebenarnya mereka ingin
hidup normal seperti masyarakat pada umumnya, tetapi bayangan cacat yang
dialami membuat mereka khawatir akan dikucilkan oleh lingkungan tempat
tinggalnya. Seorang konsultan penyakit kulit dan kelamin, dr. Sri Linuwih SW.
Menaldi, S.pKK (K), menceritakan bahwa kebanyakan pasien terinfeksi kusta
sengaja berobat jauh dari tempat tinggalnya hingga ke daerah lain karena mereka
khawatir akan dikucilkan oleh lingkungan tempat tinggalnya jika mengetahui
penyakit kusta yang dideritanya (percakapan personal, 9 Juni 2011). Perlakuan
negatif yang biasanya diterima oleh penyandang kusta, diantaranya perlakuan
diskriminasi, devaluasi, menjaga jarak, membenci, mengucilkan, tidak dianggap
keberadaannya, tidak diacuhkan, dan labeling (Ebenso, Fashona, Ayuba, Idah,
Adeyemi, & S-Fada, 2007).
17
Universitas Indonesia
Seseorang yang menderita penyakit kronis, seperti kusta, akan selalu
disertai dengan keadaan cemas, kebingungan, dan depresi khususnya apabila tidak
ada dukungan sosial (Walsh, 2006). Terlebih lagi adanya diskriminasi yang
dilakukan masyarakat terhadapnya, ketakutan masyarakat terhadap kusta atau
lepraphobia yang akhirnya membuat masyarakat semakin menjauhi mantan
penyandang kusta. Ditambah dengan kondisi internal penderita sendiri yang
memiliki anggapan yang salah bahwa penyakit kusta merupakan penyakit
menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan
menyebabkan kecacatan sehingga penyandang kusta merasa putus asa dan tidak
tekun untuk berobat. Tekanan-tekanan baik internal maupun eksternal ini yang
akhirnya memunculkan stress dan depresi berakibat pada buruknya hubungan
sosial masyarakat (Dunkel-Schetter & Skokan, Bolger, Foster, Vinokur, & Ng
dalam Lam, Chan, Hung, Or, & Fielding, 2009). Bosc, Dubini, dan Polin (1997)
menambahkan bahwa individu yang mengalami depresi cenderung akan lebih
sering kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain, menjadi tidak suka dengan
perilaku orang lain, dan secara konstan mengurangi jumlah teman bicara.
Menurut Zulkifli (2003), fenomena ini disebabkan oleh adanya
leprophobia masyarakat, yaitu rasa takut yang berlebihan terhadap kusta.
Leprophobia ini timbul karena pemahaman terhadap penyebab penyakit kusta
yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan. Selain itu, menurut
Halim (dalam Menaldi, 2008) sebagian besar dari penyandang kusta merupakan
individu yang cenderung paranoid dan menjaga jarak terhadap orang lain, terlebih
lagi pada orang baru yang dikenal. Hal ini menjadi sebuah lingkaran setan yang
membuat mantan penyandang kusta mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Akibatnya, mereka kesulitan untuk mengembangkan
kemampuan dan prestasi. Kesulitan tersebut berangsur-angsur menjadi
ketidakberdayaan mantan penyandang kusta untuk dapat melanjutkan hidupnya
secara produktif, mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan, sering ditolak untuk
mendapatkan perawatan kesehatan, dan diasingkan secara sosial (Marshall,
Maeshiro, & Korper, 1967). Mereka pun akhirnya berkumpul dalam sebuah
koloni dengan konstruksi rumah yang buruk dan hanya apa adanya serta
18
Universitas Indonesia
mengandalkan kehidupan dengan mengemis (Marshall, Maeshiro, & Korper,
1967).
Bagi mantan penyandang kusta yang berasal dari status sosial ekonomi
yang kuat, tentunya hal ini tidak begitu menjadi masalah karena biasanya mereka
akan membuat usaha pribadi. Sementara itu, bagi mantan penyandang kusta yang
berstatus sosial ekonomi rendah hanya bisa pasrah dan tidak dapat berobat lagi
sehingga sakitnya makin parah. Di pemukiman kusta Sitanala Tangerang sendiri,
mantan penyandang kusta sendiri mengaku bahwa masyarakat tidak mau
mempekerjakan mereka karena takut tertular. Terlebih lagi jika mantan
penyandang kusta mengalami cacat fisik yang menakutkan dan tidak sedap
dipandang. Mantan penyandang kusta yang mencoba untuk berwirausaha dengan
membuat produk makanan atau rumah tangga, tetapi apabila diketahui bahwa
produknya dibuat oleh mantan penyandang kusta, produk tersebut sulit atau
bahkan tidak laku dijual. Kondisi ini membuat sebagian besar mantan penyandang
kusta yang tidak memiliki keahlian lain akhirnya memilih pekerjaan sebagai
pengemis, pengamen jalanan, atau kuli kasar di pasar. Terlebih lagi, penolakan
tidak hanya berasal dari masyakat lingkungan tempat tinggalnya, tetapi juga dari
keluarga, seperti tidak diizinkan untuk menggunakan peralatan rumah tangga yang
anggota keluarga lain gunakan (Yayasan Transformasi Lepra Indonesia, 2008).
Sebagai makhluk sosial penyandang kusta dan mantan penyandang kusta
tidak dapat hidup sendirian tanpa orang lain apalagi mereka hidup bersama-sama
ditengah masyarakat. Mereka juga dituntut untuk mampu mengatasi segala
permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan sosial
dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan yang berlaku dan mampu
menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Idealnya, setelah penyandang kusta
melakukan pengobatan dan telah dinyatakan sembuh secara medis, masyarakat
tidak perlu takut lagi untuk tertular dan dapat menerima mantan penyandang kusta
sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini didasarkan atas fakta kusta yang ada
bahwa kusta tidak dapat mudah menular dan dapat disembuhkan (World Health
Organization, 2010). Namun demikian, yang terjadi adalah sebaliknya dimana
penyandang kusta yang telah sembuh sekalipun masih mengalami penolakan dan
diskriminasi dari masyarakat serta mengalami kesulitan untuk berinteraksi dan
19
Universitas Indonesia
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Padahal, menyesuaikan diri dengan lingkungannya diperlukan agar
mereka dapat survive dalam lingkungan yang “tidak ramah” untuk kehidupan para
mantan penyandang kusta. Menurut Doby, Boskoff, dan Pendietonn (dalam
Chung dan Seo, 2007) usaha manusia untuk bertahan hidup dalam lingkungan
yang mengelilingi mereka dikatakan sebagai social adjustment. Chung dan Seo
(2007), menggunakan konsep social adjustment sebagai aspek adjustment yang
spesifik dari individu yang telah berhasil berfungsi dengan baik di lingkungan
sosialnya, yaitu mencapai keseimbangan (harmoni) antara keinginan internal dan
dorongan psikologisnya serta faktor eksternal dan lingkungan sosialnya sehingga
mereka merasa puas akan kehidupan sehari-harinya dan menikmati kehidupan
tanpa sress dan kecemasan.
Berdasarkan penjabaran diatas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai gambaran social adjustment penyandang kusta yang telah
dinyatakan sembuh secara medis, dengan mengambil sampe di pemukiman kusta
sekitar Rumah Sakit Kusta Sitanala, Tangerang. Hal ini dikarenakan banyaknya
individu yang terinfeksi kusta di dunia, khususnya Indonesia yang merupakan
negara ke-3 terbanyak terjadi kasus kusta sehingga diperlukan perhatian khusus
atas setiap fenomena yang terjadi pada penyandang ataupun mantan penyandang
kusta. Sementara itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa social
adjustment dianggap merupakan hal yang paling mendasar yang menjadi masalah
bagi mantan penyandang kusta untuk dapat kembali ke dalam masyarakat.
Ketertarikan peneliti juga didasarkan pada aktivitas peneliti yang merupakan
aktivis anti diskriminasi terhadap mantan penyandang kusta dimana setiap
manusia memilki hak asasi. Penelitian ini dilakukan di pemukiman kusta sekitar
Rumah Sakit Kusta Sitanala, Tangerang karena tempat ini merupakan rujukan
pemerintah Indonesia bagi warganya di seluruh Indonesia sebagai pusat
pengobatan kusta di Indonesia (Yayasan Transformasi Lepra Indonesia, 2008)
sehingga diharapkan hasil dari penelitian ini akan lebih variatif dan dapat
mewakili mantan penyandang kusta dari seluruh Indonesia. Peneliti menggunakan
kuesioner Social Adaptation Self-evaluation Scale (SASS) untuk mengukur social
functioning individu, yaitu kemampuan seseorang untuk memenuhi tuntutan hidup
20
Universitas Indonesia
sebagaimana ia berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan personalnya
(Tyrer dalam Melley, Oltmanss, & Turkheimer, 2002) serta dapat
menggambarkan social adjustment secara lebih rinci yang terdiri dari lima
komponen dan berjumlah 21 item.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian yaitu: “Bagaimana gambaran social adjusment pada
penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis?”
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran social adjustment
penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis. Dengan demikian
penelitian ini dapat menjadi data primer untuk dilakukan penelitian lanjutan,
fokus riset, ataupun kebijakan medis yang mungkin berhubungan dengan social
adjustment penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis. Selain
itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat agar
terwujudnya desain program rehabilitasi untuk membantu mantan penyandang
kusta agar dapat berfungsi sosial secara penuh sebagai bagian dari anggota
masyarakat.
1.4 Sistematika Penulisan
Penulisan Selanjutnya adalah:
2. Tinjauan Pustaka, yaitu menguraikan teori-teori social adjustment yang relevan
dengan topik penelitian yang diangkat untuk membahas permasalahan penelitian
ini. Selain itu juga dijabarkan beberapa teori kusta dan klasifikasinya.
3. Metode Penelitian, yaitu mengenai metode penelitian yang menguraikan
penggunaan metode kuantitatif., metode pengumpulan data, subjek penelitian,
prosdedur penelitian, dan metode analisis data.
4. Analisis dan Interpretasi Penelitian, yaitu memuat analisis dari hasil yang
diperoleh dalam penelitian. Termasuk didalamnya gambaran umum karakteristik
partisipan.
21
Universitas Indonesia
5. Kesimpulan, Diskusi, dan Saran, yaitu berisi kesimpulan dari hasil penelitian,
diskusi mengenai kekurangan dan kelebihan penelitian, serta saran untuk
penelitian dan aplikasi selanjutnya.
22
Universitas Indonesia
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Adjustment
2.1.1 Definisi Adjustment
Lazarus (1976) menyatakan bahwa adjustment menekankan pada usaha individu
untuk dapat bertahan atau hidup bersama pada lingkungan fisik dan sosial di mana
ia hidup. Menurutnya, adjustment memiliki dua proses, yaitu menyesuaikan diri
dengan lingkungan di sekitarnya dan mengubah lingkungan tersebut agar sesuai
dengan kebutuhan diri. Sementara itu, Grasha dan Kirschenbaum (dalam Wijaya,
2007) memandang adjustment sebagai usaha individu untuk menyeimbangkan
antara kemampuan yang dimiliki dengan tuntutan lingkungannya. Kemampuan
tersebut terbentuk melalui proses belajar dan pengalaman, dimana kedua hal
tersebut berkaitan dengan mengatasi masalah yang terjadi dalam lingkungan
individu yang bersangkutan.
Dalam istilah psikologi, adjustment dapat diartikan sebagai usaha manusia
untuk bertahan hidup dalam lingkungan yang mengelilingi mereka (Doby,
Boskoff, & Pendieton, dalam Chung & Seo, 2007). Lazarus (1976) menjelaskan
bahwa adjustment yang dilakukan individu terhadap lingkungannya dapat
dipahami sebagai hasil (achievement) dan atau sebagai proses. Konsep adjustment
sebagai proses, yaitu adjustment yang menekankan pada cara atau pola yang
dilakukan individu untuk menghadapi tuntutan yang dihadapkan kepadanya.
Sementara itu, adjustment sebagai hasil berhubungan dengan kualitas atau
efisiensi adjustment yang dilakukan individu. Dengan meninjau kualitas atau
efesiensi maka adjustment individu dapat dievaluasi menjadi baik atau buruk dan
secara praktis dapat dibandingkan dengan adjustment yang dilakukan oleh
individu lain.
Haber dan Runyon (1984) menyatakan pandangan yang senada dengan
Lazarus, mereka mengemukakan bahwa adjustment dapat dipandang sebagai
keadaan (state) atau sebagai proses. Adjustment sebagai state berarti bahwa
adjustment merupakan suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu. Konsep
adjustment sebagai keadaan mengimplikasikan bahwa individu merupakan
keseluruhan yang bisa bersifat well adjusted, yaitu jika individu tidak
menyesuaikan dirinya dengan baik dengan lingkungannya, dan maladjusted, yaitu
23
Universitas Indonesia
individu dapat menerima dan menyesuaikan pola tingkah laku yang dituntut
lingkungannya. Dengan demikian, individu akan nyaman dan berfungsi secara
sosial dalam lingkungannya.
Definisi lain yang diungkapkan oleh Chung dan Seo (2007) adalah
adjustment sebagai proses, yaitu:
“…adjustment at large refers to the personal process of accepting and
appropriately dealing with the physical, socioeconomic, and cultural
changes presented in a new environment…”
(Chung & Seo, 2007, halaman 367)
Jadi, adjustment merujuk pada proses personal dalam diri seseorang untuk
menerima dan mengatasi perubahan fisik, sosioekonomi, dan budaya yang terjadi
dalam lingkungan yang baru.
2.2 Social Adjustment
2.2.1 Definisi Social Adjustment
Konsep social adjustment menarik untuk diteliti karena konsep ini merupakan
penyesuaian diri yang spesifik dari individu untuk berfungsi secara sosial di
lingkungannya dan dirasa cukup tepat untuk menjawab masalah yang dihadapi
oleh penyandang kusta sebagai bagian dari anggota masyarakat. Schneider (1955)
mendefinisikan social adjustment sebagai kapasitas untuk bereaksi secara efektif
dan baik secara moral terhadap kenyataan, situasi, dan relasi sosial. Campbell
(1996) menambahkan bahwa social adjustment adalah adaptasi individu kepada
lingkungan sosial dengan cara memodifikasi diri agar sesuai dengan lingkungan
atau dengan memodifikasi lingkungannya.
Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai social
adjustment, namun secara umum memiliki gagasan yang tetap sama, yaitu adanya
keselarasan atau keseimbangan antara individu dengan lingkungannya. Chung dan
Seo (2007) merangkum definisi-definisi social adjustment sebagai:
“a state in which the individual has achieved harmony between his or her
own internal and psychological desires and his or her own internal and
psychological desires and his or her external and social environment,
thereby becoming satisfied with daily life and enjoying the absence of
frustration or anxiety”
(Chung & Seo, 2007, halaman 367)
24
Universitas Indonesia
Jadi, secara lengkap social adjustment adalah suatu tahap dimana individu
telah mencapai keseimbangan (harmoni) antara keinginan internal dan dorongan
psikologisnya serta faktor eksternal dan lingkungan sosialnya sehingga mereka
merasa puas akan kehidupan sehari-harinya dan menikmati kehidupan tanpa stres
dan kecemasan.
2.2.2 Persyaratan Social Adjustment
Schneider (1955) mengemukakan beberapa persyaratan dalam social adjustment
yang esensial, dimana kesemua karakteristik tersebut akan mengarah kepada
keinginan individu untuk berhubungan dengan lingkungan (motivasi sosial),
yaitu:
1. Mengenali hak-hak orang lain
Hal yang paling mendasar adalah individu diharuskan mengenali dan
menghargai hak-hak orang lain dalam masyarakat. Konflik sosial akan
terjadi apabila hal ini tidak terpenuhi.
2. Berhubungan dengan orang lain
Bergaul dengan orang lain sehingga mendorong pertemanan yang dapat
terus betahan diperlukan agar social adjustment yang efektif dapat
tercapai. Apabila seseorang berselisih dengan sesamanya atau tidak
memiliki teman padahal potensial untuk menjadi teman adalah tanda yang
meyakinkan bahwa orang tersebut memiliki social adjustment yang buruk
3. Berpartisipasi dalam kegiatan Sosial
Melakukan kegiatan bersama dengan masyarakat yang ada di lingkungan
sosial merupakan salah satu bentuk dari motivasi sosial seseorang dan
menandakan individu telah berfungsi secara sosial.
4. Peka terhadap orang lain
Social adjustment membutuhkan ketertarikan individu dan peka terhadap
masalah dan kesulitan orang-orang yang ada di sekitarnya. Bila diperlukan
dapat memberikan bantuan untuk mengurangi kesulitan-kesulitan. Selain
itu, individu harus tertarik dalam harapan dan ambisi tujuan dan aspirasi
dari teman-temannya serta membantunya secara aktif agar tujuan semua
itu tercapai.
25
Universitas Indonesia
5. Belajar untuk menghargai nilai, hukum sosial, kebiasan dan tradisi
masyarakat.
Adalah hal yang penting untuk individu memahami semua unsur nilai
ataupun kebiasan yang ada dalam suatu masyarakat dimana ia tinggal.
Namun demikian, social adjustment bukanlah blind comformity, seperti
individu yang meminum-minuman keras karena masyarakat di
lingkungannya suka meminum-minuman keras. Lebih kepada menaati
hukum sosial dan kebiasaan yang pada dasarnya baik dan benar.
6. Memiliki nilai altruisme dalam dirinya.
Altruisme diperlukan agar tercipta hubungan yang tulus dalam
pertemanan. Dengan hubungan yang tulus maka akan tercipta hubungan
yang lebih erat dan erat dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain itu, Haber dan Runyon (1996) menambahkan beberapa karakteristik
yang memperlihatkan bahwa individu telah berhasil menyesuaikan dirinya
terhadap lingkungannya, yaitu :
1. Persepsi yang akurat terhadap realitas.
Realitas seseorang berbeda dengan realitas orang lain, tergantung pada
keinginan dan motivasi orang tersebut. Seseorang yang mempunyai
penyesuaian diri yang baik dapat menerima keterbatasan-keterbatasannya
yang tidak dapat diubah, tetapi tetap berusaha memodifikasi keterbatasan-
keterbatasan itu seoptimal mungkin (Lazarus, 1976). Selain itu, dia juga
menetapkan tujuan realitas dan berusaha mencapai tujuan tersebut secara
aktif. Salah satu aspek yang penting dalam persepsi yang akurat terhadap
realitas adalah kemampuan mengenali konsekuensi dari tindakan yang
dilakukan dan mengatur tingkah laku sesuai konsekuensi tersebut.
2. Kemampuan mengatasi stress dan kecemasan.
Orang yang mampu menyesuaikan diri dengan efektif adalah orang yang
dapat mengatasi stress dan kecemasan dengan cara menentukan tujuan
yang realistis atau dengan cara membuat tujuan jangka pendek yang lebih
mudah dicapai dan mengatasi berbagai masalah dan konflik di dalamnya.
26
Universitas Indonesia
3. Citra diri positif.
Salah satu ciri penyesuaian diri yang efektif adalah seseorang mampu
memandang diri sendiri dalam cara yang efektif. Meskipun demikian,
menyadari keadaan diri sepenuhnya merupakan hal yang penting. Oleh
karena itu, untuk memiliki citra diri yang positif seseorang harus
menyadari kelebihan maupun kekurangannya.
4. Kemampuan mengekspresikan perasaan.
Bila seseorang dapat menyadari emosi yang sedang dirasakannya, ia
berada dalam tahap penyesuaian diri terhadap ekspresi emosional. Orang
yang sehat secara emosional mampu merasakan dan mengekspresikan
seluruh spektrum dari emosi dan perasaan. Selain itu, ia dapat
menunjukkan emosinya secara realistis dan tetap di bawah kontrolnya.
Penyesuaian diri yang baik juga ditunjukkan dengan memberikan respon
yang tepat terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup.
5. Hubungan interpersonal yang baik.
Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan efektif mampu melakukan
hubungan interpersonal di tingkat keintiman tertentu. Mereka kompeten
dan nyaman dalam berhubungan dengan orang lain.
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan dalam Social Adjustment
Menurut Schneider (1955) terdapat lima faktor yang mempengaruhi seseorang
untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, yaitu :
1. Kondisi Fisik
a. Hereditas dan Konstitusi Fisik
Dalam mengidentifikasi pengaruh hereditas terhadap penyesuaian
diri, digunakan pendekatan fisik karena hereditas dipandang lebih
dekat dan tidak terpisahkan dari mekanisme fisik.
b. Sistem Utama Tubuh
Termasuk dalam sistem utama tubuh yang berpengaruh terhadap
penyesuaian diri adalah sistem syaraf, kelenjar dan otot. Sistem
syaraf yang berkembang dengan normal dan sehat merupakan
syarat bagi fungsi-fungsi psikologis agar dapat berfungsi secara
27
Universitas Indonesia
maksimal yang akhirnya berpengaruh secara baik pada penyesuaian
diri individu.
c. Kesehatan fisik
Penyesuaian diri akan lebih mudah dilakukan dan dipelihara dalam
kondisi fisik yang sehat daripada yang tidak sehat. Kondisi fisik
yang sehat dapat menimbulkan penyesuaian diri, percaya diri dan
harga diri yang akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan
bagi proses penyesuaian diri.
2. Kepribadian
a. Kemauan dan Kemampuan untuk Berubah
Sebagai suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan, penyesuaian
diri membutuhkan kecenderungan untuk berubah dalam bentuk
kemauan, perilaku dan sikap. Kemauan dan kemampuan untuk
berubah akan berkembang melalui proses belajar.
b. Pengaturan Diri
Kemampuan mengatur diri dapat mencegah individu dari keadaan
yang tidak sesuai dan penyimpangan kepribadian.
c. Inteligensi
Kemampuan pengaturan diri tergantung pada kualitas dasar yang
penting peranannya dalam penyesuaian diri yaitu kualitas
inteligensi. Inteligensi sangat penting bagi perolehan
perkembangan gagasan, prinsip dan tujuan yang memainkan
peranan penting dalam proses penyesuaian diri.
3. Proses Belajar
a. Belajar
Kemauan belajar merupakan unsur penting dalam penyesuaian diri
individu karena pada umumnya sifat-sifat kepribadian yang
diperlukan bagi penyesuaian diri diperoleh dan menyerap ke dalam
diri individu melalui proses belajar.
b. Pengalaman
Ada dua jenis pengalaman yang memiliki nilai terhadap proses
penyesuaian diri yaitu pengalaman yang menyehatkan adalah
28
Universitas Indonesia
peristiwa-peristiwa yang dialami oleh individu sebagai sesuatu
yang mengenakkan dan dirasa ingin mengulanginya kembali. Lalu
pengalaman traumatik adalah peristiwaperistiwa yang dialami oleh
individu dan dirasakan sebagai sesuatu yang sangat menyedihkan
bahkan menyakitkan sehingga yang mengalami akan kurang
percaya diri atau takut ketika harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang baru.
c. Pelatihan
Penyesuaian diri sebagai suatu proses yang kompleks yang
mencangkup di dalamnya proses psikologis dan sosiologis maka
memerlukan latihan yang sungguh-sungguh agar mencapai hasil
penyesuaian diri yang baik.
d. Determinasi Diri
Berkaitan erat dengan penyesuaian diri adalah bahwa
sesungguhnya individu harus dapat menentukan dirinya sendiri
untuk melakukan proses penyesuaian diri. Ini penting karena
determinasi diri merupakan faktor yang dapat digunakan untuk
kebaikan atau keburukan (merusak diri sendiri).
4. Lingkungan
Lingkungan merupakan aspek diluar diri individu yang pasti berpengaruh
terhadap diri individu. Lingkungan ini terdiri dari, keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Di lingkungan-lingkungan inilah individu mendapatkan
pengalaman tentang bagaimana seseorang mendapatkan pengalaman yang
akan dijadikan individu sebagai proses belajar.
5. Agama Serta Budaya
Agama secara konsisten dan terus-menerus mengingatkan manusia tentang
nilai-nilai intrinsik dan kemuliaan manusia yang diciptakan oleh Tuhan,
bukan sekedar nilai-nilai instrumental sebagaimana yang dihasilkan oleh
manusia. Budaya juga merupakan faktor yang sangat berpoengaruh
terhadap kehidupan individu. Hal ini terlihat dari adanya karakteristik
budaya yang diwariskan kepada individu melalui lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat.
29
Universitas Indonesia
Social Adjustment individu memang dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Selain Schneider (1955), didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Chung
dan Seo (1997) terdapat beberapa faktor lain yang berhubungan dengan aspek
demografis individu, yaitu jenis kelamin, status ekonomi individu, status
pekerjaan dan tingkat gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Mereka
menambahkan, berdasarkan uji signifikansi yang dilakukan pada faktor-faktor
tersebut ditemukan bahwa tingkat gejala PTSD merupakan faktor yang paling
kritikal dalam sukesnya individu dalam social adjustment dibandingkan dengan
faktor lainnya.
Optimisme dan self-efficacy juga memiliki kaitan yang erat dengan social
adjustment individu, dimana optimisme akan diasosiasikan dengan kesejahteraan
sosial dan keluarga yang lebih baik (Friedman, Kalidas, & Elledge dalam Lam,
Chan, Hung, Or, & Fielding, 2009). Ketika individu memiliki masalah dalam
berinteraksi dengan masyarakatnya maka optimisme yang dimiliki dapat membuat
seseorang lebih mudah dalam menyesuaikan diri. Hal ini dapat dipahami karena
optimisme yang dimiliki dapat membuat individu akan berpikir hal-hal yang
positif sehingga membuat individu tetap persisten dengan lingkungannya. Self-
efficacy sendiri adalah persepsi individu tentang bagaimana sebuah perilaku dapat
menyelesaikan atau tidak sebuah tugas. Self-efficacy ini bisa tinggi atau rendah
tergantung pada pengalaman masa lalu dari individu apakah perilaku tersebut
sukses atau gagal, seperti: apa yang dikatakan orang lain terhadap kompetensi
dirinya, atau apa yang orang lain nilai terhadap kemampuannya. Nilai self efficacy
yang tinggi dalam diri seseorang akan membuatnya lebih persisten (Bandura
dalam Cicarelli, 2007) sehingga ia mampu bertahan dan sukses dalam lingkungan
sosialnya. Sebaliknya yang terjadi pada individu yang memiliki self efficacy yang
rendah akan lebih rentan dan gagal dalam adjustmentnya di lingkungannya.
Selain itu, dari penelitian Lam, Chan, Hung, Or, dan Fielding (2009) juga
didapatkan bahwa psychological distress dapat memprediksi social adjustment
individu dimana tingginya yang dialami individu dapat diprediksi bahwa individu
akan mengalami kesulitan yang tinggi juga dalam social adjustment.
Psychological distress ini dapat mengakibatkan depresi yang berdampak pada
hubungan sosial individu dengan orang lingkungannya (Dunkel-Schetter &
30
Universitas Indonesia
Skokan, Bolger, Foster, Vinokur, Ng dalam Lam, Chan, Hung, Or, & Fielding,
2009). Hal ini dikarenakan individu yang mengalami depresi cenderung akan
lebih sering kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain, menjadi tidak suka
dengan perilaku orang lain, dan secara konstan mengurangi jumlah teman bicara
(Bosc, Dubini, & Polin, 1997).
2.2.4 Komponen Social Adjustment
Bosc, Dubini, dan Polin (1997) mengemukakan adanya beberapa komponen
dalam social adjustment dimana masing-masing mengeksplor komponen-
komponen dibawah ini.:
1. Pekerjaan dan waktu luang (work and leisure)
a. Interest in job
Ketertarikan individu terhadap pekerjaan yang digelutinya saat
ini.
b. Interest in household work
Apabila individu tidak memiliki pekerjaan maka dapat dilihat
dari minat aktivitas rumah yang dilakukannya sehari-hari.
c. Enjoy job and household work
Individu juga dilihat apakah menikmati atau tidak pekerjaan
yang sedang digelutinya tersebut.
d. Interest in leisure
Ketertarikan individu pada aktivitas tertentu di saat waktu
luangnya.
e. Satisfaction with leisure activity
Kualitas aktivitas yang dilakukan oleh individu ketika waktu
senggang.
2. Hubungan dengan keluarga dan di luar keluarga (family and extra-
family relationship)
a. Pursuit of family relationship
Seberapa sering individu melakukan komunikasi dengan
anggota keluarga (pasangan, anak-anak, orang tua, dan lain-
lain)
31
Universitas Indonesia
b. Satisfaction with family relationship
Kualitas hubungan dengan anggota keluarga (pasangan, anak-
anak, orang tua, dan lain-lain)
c. Sociability
Hubungan pertemanan dengan orag lain di luar anggota
keluarga
d. Pursuit of relationships
Kecenderungan untuk membentuk hubungan pertemanan
dengan orang lain
e. Quality of extra family relationships
Penilaian kualitas secara umum hubungan individu dengan
orang lain di luar anggota keluarga.
f. Evaluation of extra family relationships
Seberapa besar nilai yang individu berikan untuk hubungannya
dengan orang lain.
g. Social attractiveness
Seberapa sering orang lain atau lingkungan mencoba menjalin
hubungan dengan individu.
h. Level of social adjustment
Perhatian individu terhadap social roles atau nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat.
i. Participation in community
Peran serta individu dalam kegiatan bermasyarakat seperti
anggota dalam sebuah klub masyarakat, karang taruna, arisan
tetangga, kerja bakti, dan lain-lain.
j. Research or curiosity in society
Rasa ingin tahu individu terhadap segala sesuatu tentang
lingkungannya termasuk situasi dan kondisi orang lain dengan
tujuan meningkatkan pemahaman dirinya terhadap
lingkungannya.
32
Universitas Indonesia
3. Minat intelektual (intellectual interests)
a. Minat Intelektual
Ketertarikan individu pada studi ilmiah, keteknikan, atau
kebudayaan.
4. Kepuasan terhadap peran-peran yang dimiliki di masyarakat
(satisfaction in roles)
a. Difficulties in appealing
Seberapa sering individu mengalami kesulitan dalam
menyampaikan pendapat pribadi kepada orang lain
b. Sensitivity of denial
Penolakan lingkungan yang dirasakan individu terhadap
dirinya
c. Importance of appearance
Persepsi individu tentang peningnya penampilan dirinya ketika
berada di masyarakat
5. Persepsi diri mengenai kemampuan dalam mengatur dan mengontrol
lingkungan (Patient self-perception of his ability to manage and
control his environment)
a. Difficulties in resource management
Kesulitan individu dalam mengatur atau mengatasi masalah
sumber daya yang dimiliki dan pemasukan untuk dirinya
b. Need of control around environment
Kebutuhan untuk mengatur atau mengolah lingkungan menurut
keinginan dan kebutuhan dirinya.
2.2.5 Alat Ukur Social Adjustment dengan Social Adaptation Self-evaluation
Scale (SASS)
Untuk mengetahui gambaran social adjustment individu, digunakan salat satu alat
ukur self-rating social functioning scale, yaitu Social Adaptation Self-evaluation
Scale (SASS). SASS adalah salah satu bentuk self-rating social function scale
yang terdiri dari 21 item yang dikembangkan oleh Pharmacia-Upjohn Medical
Department dan Pharmacia-Upjohn Clinical Development. Awalnya, alat ukur ini
digunakan digunakan untuk mengetahui motivasi dan perilaku sosial pada pasien
33
Universitas Indonesia
yang mengalami depresi (Bosc, Dubini, & Polin, 1997), yang mungkin tidak
terlihat pada pemeriksaan psikiatris (Weissman, Olfson, Gameroff, Feder, &
Fuentes, 2001). Alat ukur ini merupakan pengembangan terbaru dan
menyempurnakan dari dua alat ukur sebelumnya, yaitu Short-Form Health Survey
dan Social Adjustment Scale Self-Report.
2.3 Kusta
2.3.1 Definisi Kusta
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha, yang berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen,
sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer
Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen (Zulkifli,
2003). Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya adalah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat (Kosasih, Wisnu,
Sjamsoe-Daili, & Menaldi, 2007). Bakteri ini berkembang biak pada suhu
maksimal 27°C-30°C dan pada jaringan yang dingin seperti kulit, saraf perifer,
traktus respiratorius bagian atas, testis kemudian dapat ke jaringan lain, kecuali
susunan saraf pusat (Euzenir, Ximena, José, Anna, Maria, Maria, Elizabeth, &
Gilla, 2008).
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain belum dapat
diketahui secara pasti. Martodiharjo dan Susanto (2003) mengungkapkan bahwa
gambaran klinis, bakteriologis, maupun faktor pencetus reaksi kusta sudah
diketahui jelas, namun penyebab pasti masih belum diketahui, tetapi sebagian
besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran
pernapasan dan kulit (Amirudin, Hakim, & Darwis, 2003). Masuknya kusta ke
Indonesia sendiri diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina (Kosasih, Wisnu,
Sjamsoe-Daili, & Menaldi, 2007). Selain itu, diketahui bahwa distribusi penyakit
ini di tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda.
Demikian juga dengan menurun atau menghilangnya pula penyakit kusta pada
suatu negara sampai saat ini belum dapat diketahui dengan jelas benar.
Diagnosis dan pengobatan kusta dapat menggangu kehidupan pasien kusta
baik penampilan fisik, psikologis, maupun kesejahteraan sosialnya. Dimulai dari
tahun pertama terapi obat, penderita akan mengalami perubahan kontraktur (scar
34
Universitas Indonesia
yang terbentuk dari sisa kulit yang sehat di sekitar luka, yang tertarik ke sisi kulit
yang terluka) dan perubahan fisik di tangan dan kaki (McDougall & Yuasa, 2002).
2.3.2 Klasifikasi Kusta
Meskipun berbeda istilah, pada dasarnya pengklasifikasian kusta memiliki
gagasan yang sama, yaitu dari jumlah banyaknya bakteri kusta yang ada di dalam
tubuh dan dimanifestasikan dalam jumlah lesi di kulit pasien. Salah satu
diantaranya, McDougall dan Yuasa (2002) yang mengklasifikasikan kusta
kedalam beberapa kategori berdasarkan jumlah lesi pada kulit:
1. PB Leprosy: tipe kusta yang memiliki jumlah 1-5 lesi pada kulit
2. MB Leprosy: tipe kusta yang memiliki jumlah lebih dari 5 lesi pada
kulit.
2.3.3 Ciri-Ciri Kusta
Menurut Amirudin, Hakim, dan Darwis (2003) penyakit kusta dapat menunjukkan
gejala yang mirip dengan penyakit lain, seperti kurap dan panu. Oleh karena itu,
dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan
membedakannya dengan penyakit lain agar tidak membuat kesalahan yang
merugikan individu. Berikut tanda-tanda utamanya:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau
meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja
terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan
fungsi saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis (kelumpuhan)
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, bengkak,
pertumbuhan rambut yang terganggu
35
Universitas Indonesia
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapisan kulit cuping telinga dan lesi kulit
pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan-bahan diperoleh dari
biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis kusta harus ada setidaknya satu tanda utama.
Bila tidak atau belum ditemukan, individu dikatakan sebagai “tersangka kusta”
dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis
kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.
2.3.4 Epidemiologi Kusta
Cara penularan kusta belum dapat diketahui secara pasti hanya berdasarkan
anggapan klasik, yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat
(Kosasih, Wisnu, Sjamsoe-Daili, & Menaldi, 2007). Penularan yang
memungkinkan adalah disebar melalui vektor serangga yang terinfeksi dan
menggigit manusia yang sehat, dan bersin dari penderita kusta yang belum
diobati. Masuknya bakteri kusta juga bisa melalui kulit (bekas luka, bekas cakar
atau gigitan, dan tato) atau pernapasan melalui jaringan di paru-paru. Meskipun
demikian, menurut Cocrane (dalam Zukifli, 2003), terlalu sedikit orang yang
tertular penyakit kusta secara kontak kulit dan pernapasan dengan kasus-kasus
lepra terbuka. Oleh karena itu, Ress (dalam Zukifli, 2003) menarik kesimpulan
bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal
yakni jumlah atau keganasan Mycobacterium leprae dan daya tahan tubuh
penderita.
36
Universitas Indonesia
3. METODE PENELITIAN
Di dalam bab ini peneliti akan menjelaskan masalah penelitian, variabel yang
akan diteliti, definisi konseptual dan operasional variabel. Selain itu, di dalam bab
ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang terdiri dari: tipe dan desain
penelitian, partisipan penelitian, lokasi dan pengumpulan data, metode
pengumpulan data, alat ukur, dan prosedur penelitian
3.1 Masalah penelitian
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran social
adjustment penyandang kusta setelah dinyatakan sembuh secara medis”.
3.2 Variabel Penelitian
3.2.1 Definisi Konseptual
Social Adjustment adalah suatu tahap dimana individu telah mencapai mencapai
keseimbangan (harmoni) antara keinginan internal dan dorongan psikologisnya
serta faktor eksternal dan lingkungan sosialnya sehingga mereka merasa puas
akan kehidupan sehari-harinya dan menikmati kehidupan tanpa sress dan
kecemasan (Chung & Seo, 2007).
3.2.2 Definisi Operasional
Untuk mengetahui gambaran social adjustment individu, partisipan akan diminta
untuk mengisi kuesioner Social Adaptation Self-evaluation Scale (SASS) yang
disusun oleh Bosc, Dubini, dan Polin (1997) para peneliti dari Pharmacia-Upjohn
Medical department dan Pharmacia-Upjohn Clinical Development. Skor total dari
tiap item menunjukkan gambaran social adjustment dari individu. Semakin tinggi
skor total merepresentasikan semakin baiknya social adjustment individu.
3.3 Tipe dan Desain Penelitian
Untuk mendapatkan data yang tepat sesuai dengan rumusan masalah penelitian ini
maka dibutuhkan metode penelitian yang juga sesuai. Peneliti menggunakan
pendekatan kuantitatif sebagai pendekatan utama untuk mendapatkan data yang
sesuai dengan dengan permasalahan penelitian. Kumar (1996) mengklasifikasikan
jenis desain penelitian berdasarkan tiga hal, yaitu jumlah kontak, periode
37
Universitas Indonesia
referensi, dan sifat penelitian. Berdasarkan jumlah kontak, penelitian ini tergolong
penelitian cross sectional karena hanya dilakukan satu kali kontak dengan
partisipan. Berdasarkan periode referensi, maka penelitian ini termasuk jenis
retrospective study karena bertujuan untuk melihat fenomena, situasi, kejadian,
atau permasalahan yang telah ada sebelumnya, sedangkan berdasarkan sifat
penelitian, maka penelitian ini termasuk ke dalam penelitian non eksperimental,
karena peneliti tidak melakukan manipulasi terhadap variabel.
Kumar (1999) menggolongkan tipe penelitian menjadi tiga macam, yaitu,
menurut aplikasi, tujuan, dan pencarian informasi. Berdasarkan tipe aplikasi,
maka penelitian ini termasuk applied research, karena informasi-informasi yang
diperoleh dalam penelitian ini kemudian digunakan untuk memahami fenomena
tertentu. Sedangkan berdasarkan tujuan penelitian, berdasarkan Kumar (1999)
penelitian ini tergolong kepada penelitian deskriptif karena penelitian ini mencoba
mendeskripsikan social adjustment individu.
3.4 Partisipan Penelitian
3.4.1 Teknik Pemilihan Partisipan Penelitian
Pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik non-random sampling
karena jumlah populasi tidak dapat diketahui secara pasti (Gravetter & Forzano,
2009). Bentuk non-random sampling yang digunakan adalah purposive sampling
dimana pemilihan purposive sampling didasarkan atas keyakinan peneliti bahwa
sampel dapat memberikan informasi atau data terbaik untuk mencapai objektifitas
dari penelitian (Kumar, 2005). Partisipan penelitian juga dipilih dengan
menggunakan metode accidental sampling karena sampel dipilih berdasarkan
ketersediaan subjek dan kemudahan dalam mendapatkan sampel dari populasi
(Kumar, 2005).
3.4.2 Karakteristik Partisipan Penelitian
Karakteristik sampel berperan terhadap sejauh mana penelitian dapat
digeneralisasi pada populasi (Poerwandari, 2007). Menurut Patton (dalam
Poerwandari, 2007) terdapat beberapa prosedur penentuan sumber data dimana
pengambilan sampel dipilh dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau
konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai tujuan penelitian.
38
Universitas Indonesia
Pada penelitian ini, karakteristik partisipan adalah penyandang kusta yang
telah dinyatakan sembuh secara medis. Untuk karakteristik lainnya seperti jenis
kelamin, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, lama vonis kusta, bekerja
atau tidak, lama bekerja, peneliti mengharapkan agar mendapatkan karakteristik
yang cukup variatif karena itu tidak ditetapkan secara khusus. Hal ini dilakukan
agar sampel sungguh-sungguh mewakili atau bersifat representatif terhadap
populasi dan hasil penelitiannya dapat lebih digenaralisasi.
3.4.3 Jumlah Partisipan Penelitian
Jumlah minimal partisipan dalam penelitian ini direncanakan berjumlah 30
partisipan. Hak ini dikarenakan jumlah minimal partisipan dalam sebuah
penelitian kuantitatif agar dapat diolah secara statistik berjumlah 30 partisipan
(Guilford & Fruchter, 1978). Jumlah tersebut adalah kondisi yang memungkinkan
untuk dilakukan pengolahan dan analisis statisitik parametrik yang adekuat dan
mengikuti kurva normal.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Kumar (2005) menjelaskan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu: observasi,
wawancara, dan kuesioner. Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan teknik
pengumpulan data kuesioner. Pemilihan teknik kuesioner didasarkan atas
beberapa pertimbangan, yaitu kemudahan pengambilan data karena metode
kuesioner efisien dalam hal waktu. Namun demikian, peneliti memahami bahwa
penggunaan kuesioner juga memiliki kelemahan karena penggunaan yang terbatas
pada orang-orang yang hanya bisa membaca dan menulis dan tidak adanya
kesempatan bagi partisipan untuk bertanya mengenai isi kuesioner yang tidak
mereka pahami. Oleh karena itu, peneliti mencoba melakukan beberapa usaha
untuk mengatasi kelemahan tersebut. Hal pertama, peneliti akan membatasi
partisipan dengan memilih partisipan yang bisa membaca dan menulis.
Pendampingan partisipan juga dilakukan selama proses pengisian kuesioner untuk
menghindari adanya hal-hal yang kurang dipahami oleh partisipan.
Sebagai alat bantu dalam proses penelitian, peneliti juga menggunakan
teknik pengumpulan wawancara dengan pedoman umum. Pedoman wawancara
seperti ini mencamtumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan
39
Universitas Indonesia
pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit (Patton dalam
Poerwandari, 2007). Wawancara ini diperlukan, sesuai dengan yang dijelaskan
Banister, dkk (dalam Poerwandari, 2007), yaitu untuk memperoleh data-data yang
bermakna subjektif yang dipahami oleh partisipan untuk mengeksplorasi lebih
lanjut topik yang diteliti oleh peneliti. Berikut daftar pertanyaannya:
1. Kapan partisipan mendapatkan vonis kusta
2. Apa perasaan partisipan saat divonis kusta
3. Bagaimana kehidupan partisipan secara umum pravonis kusta
4. Bagaimana kehidupan partisipan secara umum pascavonis kusta
5. Bagaimana hubungan partisipan dengan keluarga dan masyarakat
pascavonis kusta
Observasi juga digunkan peneliti untuk melengkapi hasil wawancara
penelitian. Poerwandari (2001) menjelaskan bahwa observasi adalah kegiatan
memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan
mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut.
3.6 Alat Ukur
3.6.1 Alat Ukur Social Adjustment
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Social Adaptation Self-
evaluation Scale (SASS). Alat ukur ini dikembangkan oleh Pharmacia-Upjohn
Medical department dan Pharmacia-Upjohn Clinical Development (Weissman,
Olfson, Gameroff, Feder, & Fuentes, 2001) yang terdiri dari 21 item. Item-item
ini awalnya dikembangkan untuk mengukur motivasi sosial dan perilaku pada
pasien yang mengalami depresi yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan
psikiatri (Bosc, Dubini, & Polin, 1997). Namun, pada perkembangannya alat ukur
ini digunakan untuk mengukur gambaran social adjustment individu, seperti
penelitian yang dilakukan oleh Seo & Chung (2007) ataupun Lam, Chan, Hung,
Or & Fielding (2009). Kusioner SASS dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut ini:
40
Universitas Indonesia
Tabel 3.1 Social adaptation self-evaluation scale: clinical study questionaire
Item Pertanyaan
Existence of an Occupation Apakah anda memiliki pekerjaan?
1. Interest in job Seberapa minatkah Anda dengan pekerjaan
Anda?
2. Interest in household work Seberapa minatkah Anda dengan aktvitas
yang berhubungan dengan rumah tangga?
3. Enjoy job and household
work
Apakah Anda menjalani pekerjaan ini,
aktivitas-aktivitas ini dengan:
4. Interest in leisures Apakah Anda berminat melakukan
hobi/waktu luang?
5. Satisfaction with leisure
activity
Bagaimana kualitas dari waktu senggang
Anda?
6. Pursuit of family
relationship
Seberapa sering Anda mencoba mencari
kontak dengan anggota keluarga Anda?
7. Satisfaction with family
relationship
Menurut Anda, bagaimana keadaan
hubungan dalam keluarga Anda?
8. Sociability Di luar keluarga, Anda berhubungan
dengan:
9. Pursuit of relationships
behavior
Apakah Anda mencoba berhubungan
dengan orang lain?
10. Quality of extra family
relationships
Secara umum bagaiamana Anda menilai
hubungan Anda dengan orang lain?
11. Evaluation of extra family
relationships
Nilai apa yang Anda tanamkan pada
hubungan Anda dengan orang lain?
12. Social attractiveness Seberapa sering orang-orang dalam
lingkaran sosial Anda mencari kontak
dengan Anda?
41
Universitas Indonesia
13. Level of social adjustment Apakah Anda mengamati aturan-aturan
sosial, tata krama, kesopanan, dan lain-
lain?
14. Participation in
Community
Sampai taraf apa keikutsertaan Anda dalam
kehidupan masyarakat? (seperti klub,
gereja, dll?
15. Research or curiosity in
society
Apakah Anda suka mencari informasi
tentang hal-hal, situasi, dan orang lain
untuk meningkatkan pemahaman Anda
terhadap mereka?
16. Intellectual interest Apakah Anda berminat pada informasi
ilmiah, teknik, atau budaya?
17. Difficulties in appealing Seberapa sering Anda menemukan
kesulitan untuk mengekspresikan pendapat
kepada orang lain?
18. Sensitivity of denial Apakah Anda pernah merasa ditolak,
dikucilkan dari lingkungan Anda?
19. Importance of appearance Seberapa penting Anda
mempertimbangkan penampilan fisik
Anda?
20. Difficulties in resource
management
Sampai taraf apa Anda memiliki kesulitan
untuk mengatur sumber daya dan
pendapatan Anda?
21. Need of control around
environment
Apakah Anda bisa mengatur lingkungan
agar sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan Anda?
3.6.2. Teknik Skoring Alat Ukur Social Adjustment
Kuesioner SASS dapat dilihat pada Tabel 3.1. Setiap item dalam SASS merupakan
suatu situasi umum di kehidupan sosial bermasyarakat. Sebelum partisipan
menjawab pertanyaan 1 dan 2, terdapat pertanyaan pendahuluan mengenai ada
atau tidaknya pekerjaan. Pertanyaan 1 dan 2 merupakan pertanyaan yang terpisah
namun akan dijadikan sebagai satu jawaban dalam analisisnya (pertanyaan 1 / 2,
Interest in job and household work).
42
Universitas Indonesia
Jawaban partisipan akan dinilai dengan skala dari 1 sampai 4, yang
merepresentasikan social adjustment minimal dan maksimal dengan rentang skor
total dari 20 sampai 80. Pada instrumen ini terdapat tiga item unfavorable,yaitu
item 17,18, dan 20 sehingga skala harus dibalik terlebih dahulu. Kemudian skor
setiap item dijumlahkan untuk mendapatkan skor total. Semakin tinggi skor total
maka akan semakin tinggi tingkat social adjustment.
3.7 Prosedur Penelitian
3.7.1 Persiapan
3.7.1.1 Translasi Alat Ukur
Alat ukur SASS terdiri dari 21 item yang awalnya merupakan Bahasa Inggris dan
kemudian ditranslasikan ke dalam Bahasa Indonesia oleh peneliti. Setelah itu,
peneliti meminta bantuan expert (dosen Bahasa Inggris) untuk menguji hasil
translasi yang dilakukan oleh peneliti. Expert juga melakukan back translation
untuk menguji sejauh mana perbedaan hasil terjemahannya. Pengukuran validitas
melalui experted judgement atau psychiatric diagnosis bisa digunakan sebagai
bukti validitasnya suatu alat ukur (Anastasi&Urbina, 1988).
3.7.1.2 Uji Keterbacaan
Seminggu sebelum pengambilan data, yaitu Selasa, 24 Mei 2011, peneliti
melakukan survei dan uji keterbacaan alat ukur di Sitanala. Dalam survei tersebut,
peneliti dibantu oleh seorang alumni Fakultas Psikologi UI dan juga salah seorang
warga yang merupakan teman peneliti dalam LCC Indo (Leprosy Care
Community Indonesia). Kemudian, peneliti dan dua rekan peneliti menuju rumah
ketua RT 02 untuk melaporkan keberadaan penelitian yang akan dilakukan oleh
peneliti. Selanjutnya, peneliti diperkenalkan dengan salah seorang warga di RT
tersebut untuk melakukan uji keterbacaan. Melalui warga tersebut, peneliti juga
diperkenalkan dengan tiga warga lainnya untuk berpartisipasi dalam uji
keterbacaan kuesioner. Uji keterbacaan dilakukan untuk memperkirakan sejauh
mana pemahaman partisipan terhadap isi dari pertanyaan-pertanyaan kuesioner.
Berdasarkan hasil uji keterbacaan, diperlukan revisi terhadap beberapa
pertanyaan. Revisi pertanyaan dilakukan agar partisipan dapat lebih mudah
43
Universitas Indonesia
memahami isi pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner, yaitu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9,
11, 12, 13, 14, 16, 17, 20, dan 21.
Tabel 3.2 Hasil Uji Keterbacaan
Pertanyaan Pertanyaan revisi
1. Seberapa minatkah Anda dengan pekerjaan
Anda?
Apakah Anda menyukai pekerjaan
Anda?
2. Seberapa minatkah Anda dengan aktvitas
yang berhubungan dengan rumah tangga?
Apakah Anda menyukai pekerjaan
rumah tangga, seperti menyapu,
mengepel, beres-beres rumah,
mencuci baju, dan lain-lain?
3. Apakah Anda menjalani pekerjaan ini,
aktivitas-aktivitas ini dengan:
Anda menjalani pekerjaan atau
pekerjaan rumah tangga tersebut
dengan:
4. Apakah Anda berminat melakukan
hobi/waktu luang?
Apakah Anda tertarik untuk
melakukan hobi Anda?
5. Bagaimana kualitas dari waktu senggang
Anda?
Menurut Anda, bagaimana kualitas
dari waktu senggang yang Anda
punya?
6. Seberapa sering Anda mencoba mencari
kontak dengan anggota keluarga Anda?
Seberapa sering Anda mencari
anggota keluarga seperti suami/istri,
anak, orang tua, dan lan-lain untuk
berkomunikasi?
8 Di luar keluarga, Anda berhubungan
dengan:
Di luar keluarga Anda, apakah Anda
memiliki pertemanan dengan:
9. Apakah Anda mencoba berhubungan
dengan orang lain?
Apakah Anda mencoba untuk
menciptakan hubungan dengan orang
lain:
11. Nilai apa yang Anda tanamkan pada
hubungan Anda dengan orang lain?
Seberapa bernilai hubungan Anda
dengan orang lain?
12 Seberapa sering orang-orang dalam
lingkaran sosial Anda mencari kontak
dengan Anda?
Seberapa sering orang-orang dalam
lingkaran sosial Anda mencari Anda
untuk berkomunikasi dengan Anda?
13. Apakah Anda mengamati aturan-aturan Apakah Anda mengikuti aturan-
44
Universitas Indonesia
sosial, tata krama, kesopanan, dan lain-lain? aturan sosial, tata krama, kesopanan,
dan lain-lain?
14. Sampai taraf apa keikutsertaan Anda dalam
kehidupan masyarakat? (seperti klub,
gereja, dll?
Sampai taraf apa keikutsertaan Anda
dalam kehidupan bermasyarakat?
(seperti karang taruna, Arisan
RT/RW, grup pengajian, dll)?
16. Apakah Anda berminat pada informasi
ilmiah, teknik, atau budaya?
Apakah Anda berminat pada
informasi ilmiah, teknik, atau
budaya?
17 Seberapa sering Anda menemukan
kesulitan untuk mengekspresikan pendapat
kepada orang lain?
Seberapa sering Anda menemukan
kesulitan untuk mengemukakan
pendapat kepada orang lain?
20 Sampai taraf apa Anda memiliki kesulitan
untuk mengatur sumber daya dan
pendapatan Anda?
Seberapa sering mengalami kesulitan
dalam mengatur sumber daya dan
pendapatan yang dimiliki?
21 Apakah Anda bisa mengatur lingkungan
agar sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan Anda?
Apakah Anda merasa mampu
mengatur lingkungan agar sesuai
dengan keinginan dan kebutuhan
Anda?
3.7.1.3 Uji Coba Alat Ukur
Adaptasi terhadap alat ukur Social Adaptation Self-rating Scale (SASS) yang
didesain oleh Bosc, Dubini, dan Pollin (1997) untuk mengukur social adjustment.
telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya adalah Yang, Kim, Shin, Noh,
dan Yoon (2003) di Korea, serta Chung dan Seo (2007) dalam penelitian mereka
mengenai tingkat social adjustment pengungsi dari Korea Utara. Alat ukur ini
telah dikembangkan untuk mengevaluasi kemampuan fungsi sosial individu yang
terdiri dari 21 item. Reliabilitas dan validitas dari alat ukur ini juga telah
diverifikasi oleh sejumlah peneliti, yaitu Bosc, dkk.; Dubini dan Polin;
Montgomery; Weissman; dan Yang, dkk. (dalam Chung & Seo, 2007).
Di Indonesia sendiri alat ukur SASS belum pernah digunakan. Oleh karena
itu, diperlukan adanya uji validitas dan reliabilitas terhadap alat ukur ini agar lebih
45
Universitas Indonesia
relevan dengan keadaan di Indonesia. Uji coba dilakukan terhadap 48 orang
partisipan dewasa dari berbagai latar belakang pekerjaan, seperti mahasiswa,
dosen, profesional, satuan pengamanan, cleaning service, pedagang, dan ibu
rumah tangga. Berdasarkan hasil uji coba tersebut, peneliti kemudian melakukan
penghitungan statistik untuk mengetahui reliabilitas, validitas, dan analisis item.
Reliabilitas adalah konsistensi skor yang diperoleh dari orang yang sama
ketika mereka diuji dengan alat ukur yang sama pada situasi yang berbeda, atau
ketika diberikan alat ukur yang memiliki item-item yang setara atau dalam kondisi
pengujian yang berbeda (Anastasi & Urbina, 1997). Reliabilitas suatu alat ukur
mengindikasikan sejauh mana perbedaan skor yang diperoleh disebabkan oleh
perbedaan karakteristik individu yang sebenarnya dan sejauh mana disebabkan
oleh error. Uji reliabilitas yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan
menggunakan koefisien Alpha. Menurut Kaplan dan Saccuzzo (2005), sebuah alat
ukur yang memiliki koefisien reliabilitas yang berkisar antara 0,7 sampai 0,8
sudah dapat dianggap cukup baik. Berdasarkan hasil analisis statistik, alat ukur
social adjustment memiliki reliabitas sebesar 0,818. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa alat ukur SASS memiliki internal konsistensi yang baik.
Uji validitas digunakan untuk menguji apakah alat ukur yang digunakan
memang mengukur apa yang hendak diukur (Anastasi & Urbina, 1997). Menurut
Anastasi dan Urbina (1997), terdapat tiga jenis validitas yang dimiliki oleh sebuah
alat ukur, yaitu konten, kriteria, dan konstruk. Validitas konten digunakan untuk
menentukan apakah suatu tes dapat secara representatif mengukur sample dari
domain perilaku yang ingin diukur. Validitas kriteria menunjukkan hubungan
antara skor tes dengan beberapa kriteria, seperti rating, klasifikasi, atau skor tes
lainnya. Validitas konstruk menunjukkan sejauh mana suatu tes tepat mengukur
suatu konstruk atau trait psikologis.
Pengujian validitas pada alat ukur social adjustment dilakukan dengan
melihat validitas setiap item. Menurut Aiken dan Groth-Marnat (2006), nilai
validitas yang dianggap baik adalah lebih besar dari 0,2. Hal ini berarti secara
keseluruhan, item pada alat ukur ini mampu membedakan subyek yang memiliki
social adjustment yang tinggi dan social adjustment yang rendah. Namun,
terdapat item yang daya diskriminasinya tidak terlalu baik, yaitu item nomor 4,
46
Universitas Indonesia
11, dan 17. Peneliti memutuskan untuk tidak membuang ketiga item tersebut
karena alat ukur ini telah melalui berbagai tahap pengujian dan sudah dinyatakan
valid dan reliabel oleh peneliti-peneliti sebelumnya (Bosc, dkk., 1997; Dubini &
Polin, 1997; Montgomery, 1996; Weissman, 1997; Yang et al., 2003, dalam
Chung & Seo, 2007). Peneliti menduga item-item tersebut tidak valid lebih
disebabkan oleh faktor keterbacaan. Atas dasar ini peneliti memutuskan untuk
memperbaiki keterbacaan pada ketiga item. Dari hasil revisi dan diskusi dengan
dosen psikometri diperoleh bahwa alat ukur SASS telah valid dan reliabel. Berikut
tabel kisi-kisi ketiga item:
Item Pertanyaan Pertanyaan Revisi
4. Interest in
leisure
Apakah Anda tertarik
untuk melakukan hobi
Anda?
Apakah Anda suka melakukan
hobi Anda di saat senggang?
11. Evaluation of
extra family
relationships
Seberapa bernilai
hubungan Anda dengan
orang lain?
Bagaimana penilaian Anda
terhadap hubungan Anda
dengan orang lain di luar
keluarga?
17 Difficulties in
appealing
Seberapa sering Anda
menemukan kesulitan
untuk mengemukakan
pendapat kepada orang
lain?
Apakah Anda menemukan
kesulitan dalam mengungkapkan
pendapat ataupun perasaan
Anda kepada orang lain?
3.7.1.4 Norma
Tanpa adanya interpretasi, suatu skor yang diperoleh tidak akan ada artinya
(Anastasi & Urbina, 1997). Oleh karena itu, skor dari suatu alat ukur biasanya
diintrepretasi berdasarkan suatu norma. Norma adalah performa dari kelompok
tertentu pada suatu tes tertentu yang dibuat berdasarkan distribusi skor individu-
individu dalam sampel tersebut. Dalam jurnal, Bosc, dkk. (1997) ataupun Chung
& Seo (2007) tidak menyertakan kategorisasi skor social adjustment. Peneliti
sudah berupaya untuk menanyakan via email, namun tidak ada jawaban hingga
saat ini.
47
Universitas Indonesia
Oleh karena itu, peneliti membuat norma tes yang hanya berlaku pada
kelompok partisipan, yaitu dengan within-group norms dengan perhitungan
persentil. Dengan metode ini, kinerja individu dievaluasi berdasarkan kinerja
kelompok terstandarisasi yang paling bisa dibandingkan. Dalam hal ini, peneliti
membandingkan skor individu yang sehat dengan individu penyandang kusta.
Peneliti membuat norma yang berasal dari 48 orang indvidu sehat yang peneliti
ambil datanya saat menguji validitas dan reliabilitas alat ukur. Persentil
mengindikasikan posisi relatif individu dalam sampel yang standar (Anastasi &
Urbina, 1997). Dengan metode persentil, maka orang yang berada di tengah
kelompok akan berada pada persentil ke-50. Persentil ke-50 inilah yang disebut
sebagai median yang menunjukkan unjuk kerja yang biasa atau sedang. Oranag
yang berada pada persentil di atas 50 menunjukkan unjuk kerja di atas rata-rata,
sedangkan yang dibawahnya dianggap inferior/rendah. Adapun norma rata-rata
skor total social adjustment dan norma rata-rata skor tiap item komponen social
adjustment dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut:
Tabel 3.3 Norma Rata-Rata Skor Total Social Adjustment
Kategori Skor total
Rendah ≤58
Sedang 59-65
Tinggi ≥66
3.7.2 Teknik Pengolahan Data
Dalam pengolahan data menggunakan SPSS (Statistical Package for Sosial
Science) beberapa teknik yang digunakan untuk membantu dalam analisis data
adalah :
1. Statistika Deskriptif
48
Universitas Indonesia
Statistika deskriptif digunakan untuk melihat gambaran umum mengenai
karakteristik dari sampel penelitian berdasarkan nilai rata-rata atau mean,
frekuensi, dan persentase dari skor yang didapatkan.
3.7.3 Pelaksanaan
Pengambilan data dilakukan di pemukiman bagi mantan penyandang kusta di
sekitar Rumah Sakit Kusta Sitanala Tangerang atau yang biasa disebut dengan
perkampungan kusta. Perkampungan kusta Sitanala terdiri dari 11 lorong, yaitu
Lorong 1 hinga Lorong 11. Lorong adalah sebutan untuk sebuah gang oleh
masyarakat di wilayah tersebut. Selain lorong, warga setempat juga menyebutkan
beberapa wilayah lain, seperti Bangsal jompo dekat RSK, menara PAM, serta
SAL DKI. Dari sejumlah wilayah tersebut, peneliti memilih lorong 5-8, bangsal
jompo, menara PAM, dan SAL DKI sebagai lokasi pengambilan data. Pemilihan
lokasi pengambilan data didasarkan pada akses dan informasi yang diperoleh
peneliti saat survei sebelumnya.
Peneliti tiba di lokasi pemukiman kusta pada hari Selasa, 31 Mei 2011
sekitar pukul 6 pagi. Dalam proses pengambilan data ini, peneliti kembali dibantu
oleh dua orang rekan yang sebelumnya juga terlibat dalam tahap uji keterbacaan.
Sebelum pengambilan data, peneliti memberikan arahan singkat kepada dua rekan
peneliti agar pelaksanaan pengambilan data dapat berlangsung dengan baik.
Namun, salah seorang rekan peneliti yang merupakan warga tidak dapat ikut
mendampingi peneliti dalam pengambilan data sehingga pengambilan data hanya
dilakukan oleh peneliti dan rekan peneliti yang merupakan alumni Fakultas
Psikologi UI.
Pemberian kuesioner dimulai pada pukul 07.00 WIB hingga 18.30 WIB di
rumah masing-masing partisipan. Dalam setiap pengambilan data yang dilakukan
peneliti, instruksi dan proses pengerjaan dilakukan secara individual. Hal ini
dilakukan untuk, menghindari kemungkinan partisipan untuk bertanya kepada
orang lain. Instruksi secara individual yang dimaksudkan oleh peneliti adalah
peneliti memberikan instruksi secara personal dan dalam pengerjaan kuesioner,
harus dipastikan partisipan tidak bertanya kepada orang lain, tetapi hanya kepada
peneliti.
49
Universitas Indonesia
Meskipun demikian, peneliti mendapati beberapa kendala dalam
melakukan pengambilan data. Salah satu kendala yang dihadapi adalah pengisian
kuesioner tidak dapat dilakukan sendiri oleh partisipan, namun harus dibacakan
dan dijelaskan kembali oleh peneliti. Bukan hanya karena keterbatasan partisipan
dalam membaca dan menulis, melainkan partisipan juga keberatan untuk mengisi
sendiri. Mereka justru meminta peneliti untuk membacakan isi kuesioner. Hal ini
juga berakibat pada waktu pengambilan data yang menjadi lebih lama sekitar 45-
60 menit dari perkiraan semula.
Kendala lain yang dihadapi adalah sulitnya memperoleh partisipan yang
bersedia mengikuti penelitian ini. walaupun dibantu oleh rekan peneliti, peneliti
hanya mendapatkan 22 orang partisipan. Sementara itu, data yang bisa diolah oleh
peneliti hanya sejumlah 20 partisipan karena 2 partisipan lainnya tidak dapat
mengingat data pribadi mereka secara lengkap, seperti usia, tanggal lahir, vonis
kusta pertama kali hingga dinyatakan sembuh secara medis oleh dokter, ataupun
gejala-gejala kusta yang dialami dulu. Kesulitan ini dikarenakan sebagian besar
warga bersifat reluktan untuk mengikuti penelitian ini. Terakhir, peneliti
memberikan reward berbentuk gelas mug kepada partisipan. sebagai bentuk
ungkapan terima kasih atas kesediaannya mengikuti penelitian ini.
50
Universitas Indonesia
4. ANALISIS DAN INTERPRETASI PENELITIAN
Hasil penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berisi pemaparan
mengenai gambaran umum partisipan penelitian berdasarkan data demografis.
Bagian kedua berisi pemaparan mengenai hasil dan analisis utama dan bagian
ketiga mengenai hasil dan analisis tambahan.
4.1 Gambaran Umum Partisipan Penelitian
Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 20 orang mantan penyandang kusta
yang sudah dinyatakan sembuh secara medis. Partisipan berasal dari pemukiman
mantan kusta di sekitar Rumah Sakit Kusta Sitanala, Tangerang atau disebut juga
dengan perkampungan kusta. Sebagian besar partisipan berjenis kelamin wanita,
berusia 50-62 tahun, berpendidikan SD, tidak bekerja, sudah menikah, memiliki
tanggungan 0-2 orang, memiliki cacat fisik, dan divonis kusta selama 2-14 tahun.
Berdasarkan tabel 4.1 terlihat bahwa partisipan wanita memiliki proporsi
yang lebih besar, yaitu sebesar 60%. Sementara itu, rentang usia partisipan dalam
penelitian ini adalah 24-75 tahun. Dalam hal ini, peneliti melakukan pembagian
kelompok berdasarkan rentang usia seperti yang tertera pada tabel. Berdasarkan
tabel tersebut, dapat terlihat bahwa mayoritas partisipan dalam penelitian ini
berada dalam rentang usia 50-62 tahun (40%).
Tabel 4.1. Proporsi Jenis Kelamin dan Usia Partisipan
Aspek Demografis Frekuensi %
Jenis Kelamin Pria 8 40
Wanita 12 60
Total 20 100
Usia 24-36 3 15
37-49 6 30
50-62 8 40
63-75 3 15
Total 20 100
51
Universitas Indonesia
Tabel 4.2. Proporsi Pendidikan dan Pekerjaan Partisipan
Aspek Demografis Frekuensi %
Pendidikan SD 12 60
SMP 1 5
SMA/Sederajat 2 10
Tidak sekolah 5 25
Total 20 100
Pekerjaan Pedagang 3 15
Teknisi 2 10
Buruh 3 15
Pemulung 3 15
Pengemis 1 5
Ibu rumah tangga 8 40
Total 20 100
Aspek demografis lain yang juga dilihat dalam penelitian ini adalah
pendidikan dan pekerjaan pada Tabel 4.2 di atas. Berdasarkan tingkat pendidikan,
dapat dilihat pada tabel di atas bahwa sebagian besar partisipan dalam penelitian
ini memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar (60%). Proporsi partisipan yang
tidak sekolah sebesar 25%, sedangkan proporsi partisipan dengan pendidikan
SMP sebesar 5%. Sementara itu, proporsi terkecil dimiliki oleh kelompok
partisipan dengan tingkat pendidikan SMA/sederajat (10%).
Pekerjaan partisipan dalam penelitian ini cukup bervariasi sehingga
peneliti mengelompokkannya ke dalam 6 kelompok, yaitu pedagang, teknisi,
buruh, pemulung, pengemis, dan ibu rumah tangga. Partisipan yang memiliki
pekerjaan sebagai pedagang meliputi pedagang kerupuk pangsit dan pedagang
warung. Partisipan yang memiliki pekerjaan sebagai teknisi termasuk di dalamnya
teknisi elektronik dan teknisi kaki palsu. Partisipan yang termasuk buruh terdiri
dari buruh panggul di pasar dan pembantu di sekolah TK dan SD. Melalui
penggolongan tersebut, proporsi tertinggi dimiliki oleh partisipan yang bekerja
52
Universitas Indonesia
sebagai ibu rumah tangga (40%) dan paling rendah dimiliki oleh partisipan yang
bekerja sebagai pengemis (5%).
Aspek demografis lain dalam penelitian ini adalah status pernikahan dan
jumlah tanggungan. Berdasarkan tabel 4.3, dapat diketahui bahwa mayoritas
partisipan dalam penelitian ini berstatus menikah (60%). Proporsi janda sebanyak
25% sedangkan lajang atau yang belum menikah 15%. Jumlah tanggungan
merupakan jumlah orang yang dinafkahi oleh partisipan. Orang yang dinafkahi
tersebut dapat meliputi keluarga inti (orang tua, suami, istri, anak, adik, dan
kakak) maupun kerabat di luar keluarga inti. Melalui tabel di atas, dapat dilihat
bahwa sebagian besar subyek memiliki jumlah tanggungan sebanyak 0-2 jiwa
(65%) dan hanya sebagian kecil partisipan memiliki jumlah tanggungan 6-8 jiwa
(15%).
Aspek demografis lain yang juga penting dalam penelitian ini adalah cacat
fisik dan lama vonis kusta. Berdasarkan tabel 4.4 di bawah dapat dilihat bahwa
mayoritas partisipan dalam penelitian ini memiliki cacat fisik (75%). Lama vonis
kusta adalah rentang waktu partisipan dinyatakan dokter positif hingga ia
dinyatakan negatif terdapat kuman kusta dalam dirinya. Tabel di atas
menunjukkan bahwa 65% partisipan memiliki lama vonis kusta selama 2-14
tahun.
Tabel 4.3. Proporsi Status Pernikahan dan Jumlah Tanggungan
Aspek Demografis Frekuensi %
Status Pernikahan Lajang 3 15
Menikah 12 60
Janda 5 25
Total 20 100
Jumlah Tanggungan 0-2 13 65
(jiwa) 3-5 4 20
6-8 3 15
Total 20 100
53
Universitas Indonesia
Tabel 4.4. Proporsi Cacat Fisik dan Lama Vonis Kusta Partisipan
Aspek Demografis Frekuensi %
Cacat Fisik Ya 15 75
Tidak 5 25
Total 20 100
Lama Vonis Kusta 2-14 13 65
(tahun) 15-27 7 35
Total 20 100
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Gambaran Social Adjustment Penyandang Kusta
Dengan menggunakan statistika deskriptif, didapatkan gambaran umum social
adjustment dari partisipan berdasarkan skor terendah, skor tertinggi, rata-rata skor
total, standar deviasi, frekuensi, dan persentase.
Tabel 4.5. Gambaran Social Adjustment Penyandang Kusta
Total Partisipan
Skor
Terendah Skor Tertinggi
Rata-rata
Skor Total Standar Deviasi
20 44 68 55.60 6.652
Tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata skor total social adjustment
partisipan adalah 55,60. Berdasarkan norma yang telah dibuat, skor total tersebut
termasuk dalam kategori rendah. Adapun skor terendah partisipan adalah sebesar
44, sedangkan skor tertinggi partisipan adalah 68 dengan standar deviasi sebesar
6,652. Selain itu, didapatkan pula persebaran skor social adjustment partisipan
dengan frekuensi tertinggi berada dalam kategori social adjustment rendah, yaitu
55% partisipan. Sementara itu, frekuensi terendah berada berada dalam kategori
social adjustment yang tinggi, yaitu 5% partisipan dan sisanya berada dalam
kategori sedang, yaitu 40% partisipan. Lebih lanjut, persebaran rata-rata skor total
social adjustment pada penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara
medis di lingkungan barunya disajikan dalam tabel berikut:
54
Universitas Indonesia
Tabel 4.6. Persebaran Rata-rata Skor Total Social Adjustment
Partisipan
Kategori Skor total Frekuensi %
Rendah ≤58 11 55
Sedang 59-65 8 40
Tinggi ≥66 1 5
4.2.2 Gambaran Komponen Social Adjustment Penyandang Kusta
Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, social adjustment terdiri dari
lima komponen, yaitu work and leisure, family and extra family relationship,
intellectual interest, satisfaction in roles, dan individual self-perception of his/her
ability to manage and control his environment. Masing-masing komponen juga
terdiri dari beberapa item. Dengan menggunakan statistika deskriptif yang sama,
didapatkan juga gambaran umum komponen social adjustment dari partisipan
berdasarkan rata-rata skor tiap item.
Tabel 4.7. Gambaran Umum tiap Item Komponen Social Adjustment
Komponen Ítem
Mean (SD)
Penyandang
Kusta
Mean (SD)
Indivdu
Sehat
Work and
Leisure
12.21(2.385)
Interest in job and
household work
Apakah Anda menyukai
pekerjaan Anda? 3.35(.813) 3.17(.859)
Enjoy job and
household work
Apakah Anda menyukai
pekerjaan rumah
tangga, seperti
menyapu, mengepel,
beres-beres rumah,
mencuci baju, dan lain-
lain?
3.30(.865) 3.27(.792)
Interest in leisure Anda menjalani
pekerjaan atau
pekerjaan rumah tangga
2.40(1.353) 3.38(.733)
55
Universitas Indonesia
tersebut dengan:
Satisfaction with
leisure activity
Apakah Anda suka
melakukan hobi Anda
di saat senggang?
2.50 (.761) 2.67(.834)
Family and
extra family
relationship
30.01 (3.930)
Pursuit of family
relationship
Menurut Anda,
bagaimana kualitas dari
waktu senggang yang
Anda punya?
2.60(.598) 3.06(.633)
Satisfaction with
family relationship
Seberapa sering Anda
mencari anggota
keluarga seperti
suami/istri, anak, orang
tua, dan lan-lain untuk
berkomunikasi?
3.00(.649) 3.21(.743)
Sociability Di luar keluarga Anda,
apakah Anda memiliki
pertemanan dengan:
3.35(.745) 3.69(.552)
Pursuit of family
relationships
Apakah Anda mencoba
untuk menciptakan
hubungan dengan orang
lain:
2.45(.826) 2.73(.736)
Quality of
extrafamily
relationships
Secara umum,
bagaimana Anda
menilai hubungan Anda
dengan orang lain?
2.75(.716) 3.15(.505)
Evaluation of
extrafamily
relationships
Bagaimana penilaian
Anda terhadap
hubungan Anda dengan
orang lain di luar
keluarga?
2.90(.852) 3.31(.589)
Social attractiveness Seberapa sering orang-
orang dalam lingkaran
sosial Anda mencari
Anda untuk
2.50(.761) 2.92(.577)
56
Universitas Indonesia
berkomunikasi dengan
Anda?
Level of social
adjustment
Apakah Anda
mengikuti aturan-aturan
sosial, tata krama,
kesopanan, dan lain-
lain?
3.35(.587) 3.52(.505)
Participation in
community
Sampai taraf apa
keikutsertaan Anda
dalam kehidupan
bermasyarakat? (seperti
karang taruna, Arisan
RT/RW, grup
pengajian, dll)?
2.85(.875) 2.33(1.059)
Research or
curiosity in society
Apakah Anda suka
mencari informasi
tentang hal-hal, situasi,
dan orang lain untuk
meningkatkan
pemahaman Anda
terhadap mereka?
2.15(.813) 2.98(.699)
Intellectual
interest
2.71 (.963)
Intellectual interest Apakah Anda berminat
pada informasi ilmiah,
teknik, atau budaya?
1.90(1.071) 3.04(.683)
Satisfaction in
roles
9.56(1.013)
Difficulties in
appealing
Apakah Anda
menemukan kesulitan
dalam mengungkapkan
pendapat ataupun
perasaan Anda kepada
orang lain?
2.85(.745) 2.94(.480)
Sensitivity of denial Apakah Anda pernah
merasa ditolak,
dikucilkan dari
lingkungan Anda?
3.75(.639) 3.44(.501)
57
Universitas Indonesia
Importance of
appearance
Seberapa penting Anda
mempertimbangkan
penampilan fisik Anda?
2.85(.745) 3.23(.660)
Ability to
manage and
control his
environment
5.26(1.128)
Difficulties in
resource
management
Seberapa sering
mengalami kesulitan
dalam mengatur sumber
daya dan pendapatan
yang dimiliki?
2.95(.887) 2.65(.565)
Need of control
around environment
Apakah Anda merasa
mampu mengatur
lingkungan agar sesuai
dengan keinginan dan
kebutuhan Anda?
1.85(.875) 2.81(.762)
59.75(7.049) 55.60 (6.652) 61.48 (6.523)
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata skor social adjustment
pada penyandang kusta (mean= 55.60, SD= 6.652) lebih rendah dibandingkan
dengan individu yang sehat (mean= 61.48, SD= 6.523). Individu sehat yang
dimaksud adalah individu yang tidak menyandang kusta dan telah diambil datanya
dalam penelitian ini untuk uji validitas dan reliabilitas.
Dari keseluruhan item, dapat dilihat bahwa item need of control around
environment dan intellectual interest, yang diwakili oleh pertanyaan “Apakah
Anda merasa mampu mengatur lingkungan agar sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan Anda?” dan “Apakah Anda berminat pada informasi ilmiah, teknik,
atau budaya?”, memiliki rata-rata skor paling rendah dibandingkan dengan item
yang lainnya, yaitu 1.85 (0.875) dan 1.90 (1.071). Sementara itu, dapat dilihat
juga bahwa item Sensitivity of denial yang diwakili oleh pertanyaan “Apakah Anda
pernah merasa ditolak, dikucilkan dari lingkungan Anda?” memiliki rata-rata skor yang
paling tinggi dibandingkan dengan item lainnya, yaitu 3.75(.639).
Kemudian, dapat dilihat rata-rata skor tiap item pada tiap komponen. Pada
komponen work and leisure, item yang memiliki rata-rata skor paling rendah
adalah minat partisipan untuk melakukan hobi atau kegiatan di waktu senggang
(interest in leisure), dengan pertanyaan “Anda menjalani pekerjaan atau pekerjaan
58
Universitas Indonesia
rumah tangga tersebut dengan:”, yaitu 2.40(1.353). Untuk komponen family and
extra-family relationship, item research or curiosity in society dan pursuit of
family relationships, yang diwakili oleh pertanyaan “Apakah Anda suka mencari
informasi tentang hal-hal, situasi, dan orang lain untuk meningkatkan pemahaman
Anda terhadap mereka?” dan “Apakah Anda mencoba untuk menciptakan
hubungan dengan orang lain:”, memiliki rata-rata skor total paling rendah, yaitu
2.15(.813) dan 2.45(.826). Sementara itu, pada komponen yang terakhir, ability to
manage and control his environment, item need of control around environment,
dengan pertanyaan “Apakah Anda merasa mampu mengatur lingkungan agar
sesuai dengan keinginan dan kebutuhan Anda?”, memiliki rata-rata skor paling
rendah, yaitu 1.85(.875).
4.3 Gambaran Hasil Penelitian Berdasarkan Aspek Demografis
Berikut ini akan dijabarkan gambaran social adjustment yang ditinjau dari aspek-
aspek demografis partisipan. Hasil pengolahan data yang akan disajikan pada
bagian ini hanyalah gambaran perbedaan rata-rata skor total social adjustment
pada masing-masing aspek demografis. Hal ini dikarenakan jumlah partisipan
dalam penelitian ini hanya berjumlah 20 partisipan, sedangkan menurut Guilford
dan Fruchter (1978) jumlah minimal partisipan dalam sebuah penelitian
kuantitatif agar dapat diolah secara statistik berjumlah 30 partisipan. Jumlah
tersebut adalah kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan pengolahan dan
analisis statisitik parametrik yang adekuat dan mengikuti kurva normal. Aspek-
aspek tersebut, diantaranya adalah jenis kelamin, rentang usia, pendidikan
partisipan, lama vonis kusta, cacat fisik, dan status pernikahan.
Berdasarkan tabel di bawah terlihat bahwa rata-rata skor social adjustment
pada penyandang kusta pria (Mean=57.25, SD=8.795) lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita (Mean=54.50, SD=4.890). Data juga menunjukkan bahwa di semua
komponen, penyandang kusta pria memiliki rata-rata skor yang lebih tinggi
dibandingkan dengan penyandang kusta wanita. Namun, dapat terlihat juga bahwa
keduanya memiliki rata-rata skor paling rendah pada komponen intellectual
interest yang diwakili dengan pertanyaan “Apakah Anda berminat pada informasi
ilmiah, teknik, atau budaya?”, yaitu penyandang kusta pria (mean=2.38, SD= 1.302)
dan penyandang kusta wanita (mean=1.58, SD=.793). Sementara itu, skor paling tinggi
59
Universitas Indonesia
penyandang kusta pria ataupun wanita terlihat pada komponen Family and extra-family
relationship.
Tabel 4.8. Perbedaan Rata-Rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Jenis
Kelamin
Komponen Social Adjustment Pria
Mean (SD)
Wanita
Mean (SD) Mean (SD)
Work and leisure 11.6 (3 3.292) 11.50 (2.393) 11.55 (2.704)
Family and extra-family relationship 28.50 (4.598) 27.50 (2.812) 27.90 (3.553)
Intellectual interests 2.38 (1.302) 1.58 (.793) 1.90 (1.071)
Satisfaction in roles 9.63 (1.188) 9.33(1.073) 9.45 (1.099)
ability to manage and control his
environment 5.13(1.727) 4.58 (.515) 4.80 (1.152)
Total 57.25 (8.795) 54.50 (4.890) 55.60 (6.652)
Aspek demografis yang juga dapat dilihat adalah pada aspek usia
partisipan. Berikut adalah perbedaan rata-rata skornya:
Tabel 4.9. Perbedaan Rata-Rata Skor Social Adjustment Berdasarkan
Rentang Usia
Komponen Social Adjustment 24-36 tahun
Mean (SD)
37-49 tahun
Mean (SD)
50-62 tahun
Mean (SD)
63-75 tahun
Mean (SD)
Work and leisure 12.67 (.577) 12.67 (2.875) 9.88 (2.642) 12.679 (2.309)
Family and extra-family
relationship 32.67(2.517) 28.17 (3.125) 25.75 (2.915) 28.33 (2.517)
Intellectual interests 3.00 (1.000) 2.50 (1.225) 1.25 (.463) 1.33 (.577)
Satisfaction in roles 10.00 (1.000) 9.33 (1.506) 9.63 (.916) 8.67 (.577)
ability to manage and control
his environment 5.33 (.577) 4.50 (1.049) 4.50 (.926) 5.67 (2.082)
Total 63.67 (4.041) 57.17 (6.494) 51.00 (4.504) 56.67 (6.028)
Dengan demikian dapat dilihat bahwa rata-rata skor yang paling tinggi
ditunjukkan pada partisipan dengan rentang usia 24-36 tahun (Mean=63.67, SD=
4.041) dibandingkan dengan rentang usia lainnya, sedangkan rata-rata skor paling rendah
60
Universitas Indonesia
ditunjukkan pada partisipan dengan rentang usia 50-62 tahun (Mean= 51.00, SD=4.504).
Sementara itu, di semua rentang usia, rata-rata skor paling tinggi terlihat pada item
Family and extra-family relationship, sedangkan rata-rata skor paling rendah
terlihat pada komponen intellectual interest.
Sementara itu, pada tabel 4.10. dapat dilihat perbedaan rata-rata skor
partisipan berdasarkan pendidikannya. Berikut tabelnya:
Tabel 4.10. Perbedaan Rata-Rata Skor Social Adjustment Berdasarkan
Pendidikan Partisipan
Komponen Social
Adjustment
SD
Mean (SD)
SMP
Mean
(SD)
SMA
Mean (SD)
Tidak
sekolah
Mean (SD)
Mean (SD)
Work and leisure 10.33 (2.839) 13.00(-) 13.50(.707) 13.40(1.140) 11.55 (2.704)
Family and extra-
family relationship 26.17(2.980) 30.00(-) 29.00(2.828) 31.20(3.033) 27.90 (3.553)
Intellectual interests 1.25(.452) 4.00(-) 2.00(1.414) 3.00 (.707) 1.90 (1.071)
Satisfaction in roles 9.42 (.900) 11.00(-) 8.50 (2.121) 9.60(1.140) 9.45 (1.099)
ability to manage and
control his
environment
4.83(1.267) 4.00(-) 5.00(1.414) 4.80(1.095) 4.80 (1.152)
Total 52.00 (5.427) 62.00(-) 58.00(7.071) 62.00(3.674) 55.60 (6.652)
Mengacu pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata skor social adjustment
paling rendah terlihat pada partisipan yang memiliki pendidikan SD, sedangkan
rata-rata skor paling tinggi terlihat pada partisipan yang memiliki pendidikan SMP
dan tidak sekolah. Sementara itu, dari semua pendidikan, rata-rata skor paling
rendah terlihat pada komponen intellectual interest.
Perbedaan rata-rata skor social adjustment berdasarkan lama vonis kusta
dapat dilihat pada tabel 4.11. Berdasarkan tabel di bawah, dapat dilihat bahwa
rata-rata skor social adjustment pada penyandang kusta dengan lama vonis kusta
15-27 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan penyandang kusta dengan lama
vonis kusta 2-14 tahun. Pada kedua lama vonis kusta terlihat bahwa komponen
61
Universitas Indonesia
intellectual interest memiliki rata-rata skor yang peling rendah sedangkan
komponen Family and extra-family relationship memiliki rata-rata skor yang
paling tinggi.
Tabel 4.11. Perbedaan Rata-Rata Skor Total Social Adjustment Berdasarkan
Lama Vonis Kusta
Komponen Social Adjustment 2-14 tahun
Mean (SD)
15-27 tahun
Mean (SD) Mean (SD)
Work and leisure 10.54 (2.817) 13.43 (.976) 11.55 (2.704)
Family and extra-family
relationship 26.54 (3.152) 30.43 (2.936) 27.90 (3.553)
Intellectual interests 1.38 (.650) 2.86 (1.069) 1.90 (1.071)
Satisfaction in roles 9.46 (.877) 9.43 (1.512) 9.45 (1.099)
Ability to manage and control
his environment 4.92 (1.256) 4.57 (.976) 4.80 (1.152)
Total 52.85 (6.026) 60.71(4.536) 55.6 (6.652)
Peneliti juga mencoba melihat perbedaan rata-rata skor social adjustment
pada ada atau tidaknya cacat fisik pada penyandang kusta. Berdasarkan tabel 4.12
dapat dilihat bahwa rata-rata skor total social adjustment pada penyandang kusta
yang tidak memiliki cacat fisik lebih tinggi dibandingkan dengan penyandang
kusta yang memiliki cacat fisik. Sementara itu, dapat dilihat juga bahwa baik
penyandang fisik yang memiliki cacat fisik atau tidak memiliki rata-rata skor yang
paling rendah pada komponen intellectual interest dan memiliki rata-rata skor
yang paling tinggi pada komponen Family and extra-family relationship.
Sementara itu, perbedaan rata-rata skor social adjustment berdasarkan
status pernikahan dapat dilihat pada tabel 4.13. Di dalam tabel tersebut dapat
dilihat bahwa penyandang kusta yang masih lajang memiliki rata-rata skor social
adjustment yang paling tinggi dibandingkan dengan penyandang kusta yang
memiliki status pernikahan lainnya, sedangkan yang paling rendah adalah
penyandang kusta yang memiliki status pernikahan janda. Sementara itu, dapat
dilihat bahwa semua partisipan memiliki rata-rata skor total yang paling rendah
62
Universitas Indonesia
pada komponen intellectual interest dan paling tinggi pada komponen Family and
extra-family relationship.
Tabel 4.12. Perbedaan Rata-Rata Skor Total Social Adjustment berdasarkan
Ada atau Tidaknya Cacat Fisik
Komponen Social
Adjustment
Ya
Mean (SD)
Tidak
Mean (SD) Mean (SD)
Work and leisure 11.47 (2.615) 11.80 (3.271) 11.55 (2.704)
Family and extra-family
relationship 27.20 (3.189) 30.00 (4.123) 27.90 (3.553)
Intellectual interests 1.47 (.743) 3.20 (.837) 1.90 (1.071)
Satisfaction in roles 9.33 (1.175) 9.80 (.837) 9.45 (1.099)
Ability to manage and
control his environment 4.73 (1.280) 5.00 (.707) 4.80 (1.152)
Total 54.20 (5.833) 59.80 (7.855) 55.60 (6.652)
Tabel 4.13. Perbedaan Rata-Rata Skor Total Social Adjustment Berdasarkan
Status Pernikahan
Komponen Social
Adjustment
Lajang
Mean (SD)
Menikah
Mean (SD)
Janda
Mean (SD) Mean (SD)
Work and leisure 13.00(1.000) 11.92 (2.843) 9.80 (2.490) 11.55 (2.704)
Family and extra-
family relationship 27.33(5.508) 28.50(3.425) 26.80(3.114) 27.90 (3.553)
Intellectual interests 2.33 (1.155) 2.08(1.165) 1.20 (.447) 1.90 (1.071)
Satisfaction in roles 10.00(1.000) 9.25 (1.288) 9.60(.548) 9.45 (1.099)
Ability to manage and
control his
environment
5.33 (.577) 4.83(1.403) 4.40(.548) 4.80 (1.152)
Total 58.00(5.568) 56.58 (7.342) 51.80(4.604) 55.60 (6.652)
4.4 Hasil Wawancara
4.4.1 Hasil Wawancara Partisipan C
63
Universitas Indonesia
4.4.1.1 Kondisi Fisik
Gejala awal kusta yang diderita oleh C ditandai oleh munculnya flek
berwarna putih di dengkul sebelah kanan. Akan tetapi, ia mengira saat itu ia hanya
terkena sakit kulit panu. Meskipun telah diberikan obat panu, flek tersebut tidak
hilang dan justru melebar ke seluruh kaki.
“…saya kena flek pertamanya di sini…iya, terus di tangan, berubah jadi
panu, putih. Terus pake Kalpanax ngga ilang, ngelebar. Kan tangan ngga
berasa…”
(Baris ke-2 dan Baris ke-6)
Kaki-kakinya pun terasa linu jika digunakan untuk berjalan di aspal. C
hanya merasakan ada sesuatu yang mengganjal apabila kakinya menginjak batu
kecil.
“…langsung kemari tu ngga terasa. Kalo saya nginjek aspal atau tanah
gitu ya, kaki kanan tu linu. Linu dah, ngga bisa dah pokoknya. Ada batu
sedikit aja kayanya ngeganjel…”
(Baris ke-8)
Kaki C pernah tertusuk duri ikan, namun ia tidak merasakan sakit apapun.
Ia pun mencungkil duri tersebut dengan menggunakan peniti. Akan tetapi, yang
terjadi adalah luka di kakinya menjadi infeksi dan tak kunjung sembuh, bahkan
semakin bertambah lebar dari sebelumnya. Setelah itu, tanpa disadari oleh C, ibu
jari kakinya terputus. Oleh karena itu, ia selalu melapisi kakinya dengan kain tebal
saat berjalan.
“…ngga sakit, cuma linu ke tulang. Nah itu sampe kena tusuk tulang ikan,
terus dikerik pake peniti. Setelah itu, kok makin lama makin besar? He-eh.
Makin membesar, makin membesar, jempolnya tahu-tahu kelepas. Iya,
dialasin terus kakinya..”
(Baris ke-11 sampai 16)
C menderita kusta tipe T dan kering, dimana kuman kusta menyerang
bagian tulang terlebih dahulu serta tidak menular. Kusta yang dideritanya
mengakibatkan perubahan fisik pada diri C. Awalnya, jari-jari tangan kirinya
menjadi kiting dan kemudian diikuti oleh jari tangan kanan yang juga menjadi
kiting.
64
Universitas Indonesia
“Jenisnya? T. Jadi kenanya tu di bagian tulang… saya kering, kalo basah
tu gemuk, kaya orang keringetan. Itu menular….Tapi saya juga nih, kalo
lagi reaksi, panas-dingin, biar kata dokter ngga nular, kan tipe basah
nularnya pas lagi reaksi tuh, anak-anak ngga boleh kena. Tapi biarpun
kata dokter ngga nular, saya tetep jauhin anak-anak...”
(Baris ke 29 dan Baris ke 319-323)
C pernah melakukan operasi untuk memperbaiki keadaan jari-jarinya ini.
Dari tiga kali operasi, tidak ada yang sepenuhnya berhasil. Kedua tanggannya pun
menjadi semakin lemah.
“Operasi iya, tapi ngga ada reaksi apa-apa. Sempet. Sampe tiga kali saya
operasi, kan makanya ni tangan normal. Ini saya tangan normal tapi agak
lemah. Dulu operasi tapi gagal soalnya yang ngoperasi bukan dokter,
tahun ’95…”
(Baris ke 40-41)
Kemudian, tangannya yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa lagi
menjadi hal yang harus diwaspadai apabila menyentuh sesuatu yang panas. Suatu
hari tiba-tiba kulit C menggelembung dan melepuh karena memegang benda
panas yang ia tidak sadari. Oleh karena itu, setiap kali ia akan memegang suatu
benda, ia harus membauinya terlebih dahulu apakah beraroma panas atau tidak.
“…kalo ada yang panas-panas, saya hindari. Karena kan ngga berasa,
ntar tahu-tahu melembung aja, melepuh. Soalnya kalo kulit kaya gini,
keringnya bisa tahunan. Apalagi kalo kaki sering dipake jalan, bisa
tahunan. Tapi udah 25 tahun ini ngga kambuh-kambuh…”
(Baris ke 46-49
Ia juga tidak kuat lagi untuk berjalan meskipun sudah menggunakan alas
kaki, akibat dari rasa linu di tulang-tulang kakinya. Mobilisasi pun dilakukan
dengan merangkak. Di samping itu, kulitnya pun menjadi kering dan apabila
terluka, luka tersebut tidak lekas pulih. Sementara itu, apabila kaki C terluka dan
tetap digunakan untuk berjalan, lukanya tidak akan sembuh, bahkan hingga
hitungan tahun.
“Kalo jalan kaki mah ngga kuat saya. Ya paling saya merangkak gitu.
Kalo buat nginjek nih, biarpun pake sandal, sakit ini. Pokoknya ngga
tahan dah rasa sakitnya. Kalo ada luka kaki saya ngga bisa dipake…”
(Baris ke 53-61)
4.4.1.2 Diagnosis Kusta oleh Dokter
65
Universitas Indonesia
Pada tahun 1978, setelah kepulangannya dari merantau ke beberapa
daerah, akhirnya C memutuskan untuk memeriksakan penyakit kulitnya tersebut
ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Namun, menurut penuturan C, dokter
yang memeriksanya hanya memberitahu bahwa ia menderita penyakit kulit biasa.
”…ngga. Udah gitu saya di Cipto…udah abis tanah dijualin, sembuh juga
ngga. Terus orang tua juga udah capek kali ya ngebiayain, sampe
almarhum ngurusin saya. Di Cipto saya cuman dibilang kena sakit kulit
biasa..”
(Baris ke 22-21)
Ia baru mengetahui penyakit yang sesungguhnya setelah ia memeriksakan
diri ke puskesmas. Dokter memberitahukan bahwa ia sebenarnya menderita kusta.
C pun terkejut saat mendengar hal tersebut dan mempertanyakan alasan dokter
sebelumnya yang tidak berterus terang padanya. Kemudian, dokter di puskesmas
pun menjelaskan bahwa pada umumnya rumah sakit enggan memberitahukan
keadaan yang sebenarnya kepada pasien karena dikhawatirkan pasien akan merasa
minder atau bahkan bunuh diri. Selain itu, rumah sakit juga khawatir apabila
pasien diusir dari keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. C pun merasa sedih
dan terpukul karena apa yang telah dilakukannya selama ini sia-sia.
“Terus sampe di puskesmas ya, uang saya kan udah abis ya untuk berobat,
ada yang bilangin, ke puskesmas. Sampe puskesmas baru saya sedih, ya
Allah, saya bilang, kenapa saya baru dibilangin sakit kusta? Terus
katanya, gini pak, kalo dikasih tahu, takutnya Bapak jadi minder atau
takut bunuh diri apa gimana ya? Justru emang banyak disembunyiin pak,
takut dari keluarga tu Bapak diusir atau gimana..”
(Baris ke 284-287)
4.4.1.3 Pengobatan yang Dilakukan terhadap Gejala Kusta
Setelah didiagnosis mengidap kusta oleh dokter, C pun langsung dirujuk
untuk menjalani pengobatan di RSK Sitanala. C sempat menjalani opname sejak
tahun 1984. Kemudian, ia diizinkan untuk rawat jalan pada tahun 1998.
“…saya diopnam di sini tahun ’84, terus tahun ’98 keluar saya. Saya di
bangsal 4, di situ aja ngga ke mana-mana. Berobat jalan lagi, saya
sebulan di rumah, cek lagi. Pas kaki saya putus, ya Allah, saya sakit apa
ini? Dikasih cobaan, kuat ngga nih saya…”
(Baris ke 328-330)
Selanjutnya, C pun secara rutin memeriksakan diri ke dokter. C
mengonsumsi berbagai macam obat yang diresepkan oleh dokter, di antaranya:
DDS, Amoxilyn, dan antibiotik. Pengobatan untuk luka terkadang menggunakan
66
Universitas Indonesia
Bioplacenton, tetapi membutuhkan waktu yang agak lama untuk sembuh.
Menurut C, akan lebih cepat pulih apabila menggunakan MSG, yaitu obat yang
merangsang pertumbuhan kulit. C juga menceritakan bagaimana cara
menggunakan MSG, yaitu pertama-tama kapas dicelupkan, lalu ditempelkan pada
kulit yang luka. Setelah itu, pasien tidak diperkenankan untuk beraktivitas sampai
luka tersebut sembuh. Jika tidak demikian, luka akan bertambah besar.
“Obat-obatannya? DDS, terus Amoxilyn, antibiotik, itu aja kayanya.
Pengobatan lukanya itu kadang pake Bioplacenton, tapi itu agak lama
sembuhnya. Yang cepet tu pake MSG, itu buat pertumbuhan kulit. Caranya
kapas dicelupin, terus tempel. Tapi ngga boleh dibuat jalan kakinya,
soalnya kalo dibuat jalan, tambah besar luka itu. Makanya kalo pake MSG
itu total istirahat, tumbuh daging…”
(Baris ke 304-308)
4.4.1.4. Self-efficacy dan Optimisme
Meskipun C menderita penyakit kusta, ia merasa bahwa ia tidak pernah
dikucilkan oleh lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan
masyarakat. Keluarga C tetap menerima dan bahkan membantu C dalam
membersihkan dan mengobati lukanya.
“(keluarga, red.) Ya biasa aja, ngga apa-apa. Malah saya diurusin sama
sodara-sodara saya. Lukanya diobatin. Dari orang tua saya nih, keluarga
9, yang kena cuma saya doang…”
(Baris ke 312-313)
Begitu pula dengan lingkungan tempat tinggalnya yang justru biasa saja
dalam menanggapi penyakit yang diderita C. Warga setempat tidak menganggap
penyakit yang diidap oleh C sebagai momok yang perlu ditakuti.
“Waktu dulu di Kreo ya, ya orang-orang mah biasa aja…”
(Baris ke 130)
“…hubungan saya sama masyarakat situ (warga Larangan, red.) tetep
intim…”
(Baris ke 302)
Tidak hanya masyarakat di tempat ia tinggal, masyarakat dari lingkungan
luar pun datang berkunjung ke rumahnya. Penerimaan yang sangat baik oleh
lingkungan di sekitar C inilah yang membuatnya tidak merasa rendah diri
terhadap orang lain.
“Iya. Cuman dari mana-mana tu ya, ini saya ngga tau ya dipanggil
makelar apa bukan ya, kadang-kadang orang nyari tanah sama saya,
nyari motor sama saya. Saya ngga merasa minder, biarpun kaki saya udah
agak bau udah kena tulang gitu. Kan kalo kena tulang agak bau. Orang-
67
Universitas Indonesia
orang sana juga uda pada tau, orang-orang Pondok Aren. RT, RW-nya
pada ke rumah saya…”
(Baris ke 70-74)
Teman-teman C pun tidak menjauhinya serta tetap berkunjung ke
rumahnya, meskipun mengetahui penyakit yang diderita C. Bahkan, mereka tidak
segan untuk berbagi isapan rokok dengan C. Di samping itu, tidak jarang orang-
orang meminta bantuannya untuk mencari tanah, kendaraan, ataupun
memperbaiki barang elektronik.
“Biasa aja, ngga menjauhi saya. Malah pada duduk sama saya rame-
rame, barengan sama saya. Malah seneng sama saya.”
(Baris ke 325)
“…pada ngobrol sama saya, kadang-kadang ke kamar saya juga.
Keadaan saya begini nih udah ngga apa-apa Pak C, tenang aja. Kita
ngerokok, saya sediain rokoknya, diisep sama dia. Kenapa jadi takut? Dia
tau kan ya karena saya begini kan ya, sayanya luka begini, saya nanya
“Nih lu isep nih. Mau ngga? Takut ngga?”. “Ngapain takut? Orang Pak
C aja sehat-sehat aja kok. Masa takut nular saya, ya ngga…””
(Baris ke 230-239)
Meskipun demikian, bukan berarti C tidak pernah mengalami rasa rendah
diri sama sekali. Ia merasa minder dan sungkan terhadap orang lain setiap kali
luka-luka di tubuhnya mengeluarkan bau yang tidak sedap sehingga menggangu
kenyamanan orang yang berada di dekatnya. Apabila hal tersebut terjadi, ia tidak
akan keluar rumah hingga lukanya sembuh dan bau tidak sedap yang dihasilkan
oleh lukanya hilang.
“…ya kecuali kalo udah kena tulang, kan agak bau tuh ya. Ya saya
biasanya operasi dulu. Mau ketemu orang agak ngerasa ngga enak…”
(Baris ke 126-127)
Hingga saat ini, C masih memendam keinginan untuk memiliki rumah
sendiri karena rumah tempat ia bermukim di Sitanala saat ini merupakan milik
pemerintah. Rumah tersebut memang diperuntukkan bagi penyandang kusta saja.
Jadi, apabila ia dan istrinya wafat, anak-anaknya yang sehat harus meninggalkan
rumah tersebut. Ia juga berkeyakinan bahwa selama Tuhan mengizinkan, ia pasti
mampu mewujudkan keinginannya tersebut.
“Punya rumahlah. Ini kan rumah pemerintah…pokoknya selama masih
ada umur nih, ya kita tinggal. Tapi kalo anak saya udah ngga ada orang
tua, saya udah ngga ada umur, istri saya udah ngga ada umur? Kan ini
untuk orang sakit. Jadi kan ngga bisa tinggal di sini lagi…”
(Baris ke 78-90)
68
Universitas Indonesia
“Insya Allah kalo Tuhan mengizinkan (memiliki rumah sendiri, red.)…”
(Baris ke 92)
4.4.1.5 Kemampuan Menghadapi Stres
Setelah C keluar dari bangsal rumah sakit dan menjalani rawat jalan
selama sebulan, kaki C diamputasi. Saat itu, C mengaku sempat mengalami
guncangan karena ia tidak tahu apakah ia masih bisa menghidupi keluarganya atau
tidak. Akhirnya, ia hanya memasrahkan diri pada Tuhan. Sekarang pun ia tidak
mau terlalu pusing memikirkan kehidupannya, walaupun ia memiliki banyak
anak. Ia mengibaratkannya seperti “makan nasi dengan garam saja sudah cukup”.
“…ya ngapain dipikirin, ada kita makan, ngga ada ya udah. Makan nasi
sama garem cukup. Ngapain dibuat pikiran, kata saya gitu. Tapi kalo ngga
ada mau ngapain kita paksa-paksain kan? Yang ada kita jual, lama-lama
juga abis kan? Ya saya mah gitu aja orangnya. Saya ngga terbiasa jadi
mikirin…”
(Baris ke 101-104
4.4.1.6 Citra Diri
C mendapatkan penghasilan dengan mengerjakan apa saja yang mampu ia
lakukan. Setelah putus sekolah karena orang tua tidak mampu membiayainya, ia
pergi merantau untuk bekerja apa saja dan belajar dengan memperhatikan apa
yang orang lain kerjakan. Salah satu kemampuan yang ia miliki adalah mereparasi
alat-alat elektronik seperti televisi, radio, ponsel dan lain-lain.
“Kekuatan saya? Ya kalo saya…gimana ya? Ya paling di tipi doang saya.
Servis tipi bisa..”
(Baris ke 111-113)
“Saya? Ya mungkin saya…itulah kan kalo kata orang dulu, kalo sama
otak-otak orang sekarang ya, kalo dulu mah biar SR, otaknya mateng.
Makanya saya bilang kan saya cuma SR kelas 3…jadi kan tu pas umur
segitu udah merantau ke mana-mana. Jadi kalo ada orang lagi ngerjain
apa, itu saya perhatiin…”
(Baris ke 115-121
“Saya bisa ngerakit kawat tembaga, itu otak saya masuk.”
(Baris ke 123)
Ia pernah bekerja sebagai penjual minyak tanah keliling. Ia juga dulu
menjadi tukang ojeg dan melayani perbaikan gangguan instalasi listrik. Namun,
kini ia tidak lagi melakoni kedua pekerjaan tersebut karena kondisi fisiknya tidak
memungkinkan. Selain itu, ia juga menjadi perantara jual beli tanah, rumah,
69
Universitas Indonesia
ataupun kendaraan bermotor. Ia bersedia melakukan pekerjaan apapun, selama
pekerjaan tersebut halal dan dapat menambah pemasukan bagi keluarganya.
“Kalo saya dulu kan masih dagang minyak tanah, dagang minyak tanah
keliling.”
(Baris ke 181)
“Saya dulu sempet ngojeg, 5 tahun kalo ngga salah. Langganan saya
kebanyakan orang Padang.”
(Baris ke 337)
“Ya pokoknya orang butuh apa, nyuruh apa, misalnya benerin listrik,
dipanggil, ya saya betulin. Pokoknya apa aja yang saya bisa.”
(Baris ke 192)
“Ya kalo orang sini mah banyak yang sering nyari. Titip Pak C, betulin
motor, tolongin ini nih. Kalo di Kreo, kita hampir setiap hari, kadang
minta cari motor. Kadang bertamu cari inilah inilah sama saya. Orang
minta cariin tanah, cariin rumah. Kan buat uang sampingan lumayan…”
(Baris ke244-247
“Saya tu ngga bisa diem orangnya, apa aja juga saya kerjain. Ini saya
betulin ah, biar jadi duit, gimana caranya buat nyenengin anak.”
(Baris ke 207)
4.4.1.7 Hubungan Interpersonal
Di lingkungannya, ia mengaku tidak lagi mengikuti kegiatan organisasi
kemasyarakatan. Ia sempat bergabung dengan organisasi Permata (Perhimpunan
Masyarakat Kusta), tetapi sekarang tidak lagi. Menurutnya, pengurus organisasi
tersebut tidak bisa dipercaya dan kacau.
“Permata ada dulu, tapi sekarang bubar lagi. Panitianya kacau, ngga
bisa dipegang omongannya. Masalahnya udah susah dipercaya, udah
banyak ngebohongin soalnya.”
(Baris ke 149-153)
Kegiatan kemasyarakatan lainnya, seperti kerja bakti atau Karang Taruna
seperti 17 Agustus-an pun diwakili oleh anak-anaknya karena penyandang kusta
biasanya tidak diperkenankan untuk bekerja. Suatu hari, ia pernah ingin
memberikan kontribusinya dalam suatu kegiatan dengan mengerjakan apa yang
dapat ia kerjakan. sayangnya ketua RT setempat melarangnya karena khawatir
akan memberatkannya. Ia sebenarnya merasa keberatan dan malu atas penolakan
tersebut.
“…kadang-kadang ya, RT sana tu udah Pak C ngga usah…ya kan karena
saya begini ya, kerja juga semampu saya kan, ngga bisa dipaksain. Ya
kadang-kadang tu RT RW sana mandang saya tu, gimana ya? Dikiranya
ngga bisa kerja. Kadang ditolak gitu. Ya kadang saya malu juga.”
70
Universitas Indonesia
(Baris ke 251-254)
Meskipun memiliki keterbatasan, C mengaku memiliki banyak teman,
terutama di daerah Depok, yang merupakan pemulung. Bersama mereka, ia
seringkali mengobrol ataupun mengisap rokok bersama. Teman-temannya di
Depok pun sering mengunjungi C di Tangerang sekadar untuk mengobrol atau
menghabiskan waktu bersama. C merasa dalam berteman ia tidak perlu merasa
minder dan ia juga aktif mengajak teman-temannya untuk mengobrol. Tidak
hanya bergaul dengan sesama penyandang kusta, tetapi juga dengan orang-orang
yang sehat. Hubungan yang dimiliki pun sangat akrab.
“Ya banyak (teman, red.). Karena saya kan nih lagi di rumah ya, kalo
saya di Depok, bergaul sama anak pemulung-pemulung, pada ngerokok,
jadi satu. Anu…dia malah maranin saya.”
(Baris ke 225-226)
4.4.1.8 Pernikahan
Pernikahan C dengan istrinya saat ini merupakan pernikahan kedua.
Pernikahan pertama terjadi saat C berusia 17 tahun, saat kondisi fisiknya masih
tampak normal, kecuali bagian kaki. Dari pernikahan tersebut, C memiliki satu
orang anak dan saat ini tinggal bersama ibunya. Selama menikah dengan istri
pertamanya, C dan istri masih tinggal bersama keluarga istri dan mereka
seringkali dipisahkan oleh keluarga istri. Hal ini terjadi karena C seringkali
mengalami luka di bagian kaki yang mengeluarkan aroma kurang sedap. C pun
merasa segan setiap pulang ke rumah. Ia takut apabila aroma dari luka di kakinya
mengganggu istri dan mertuanya. Akhirnya, C dan istri pun berpisah.
“…saya kan dua kali kawin. Saya kawin yang pertama, saya dulu saya
masih normal. Kalo saya dulu kan masih dagang minyak tanah, dagang
minyak tanah keliling. Kalo saya pulang itu, aduh gimana ya? Saya tu
takut…takut bau. Jadi saya ngerasa ngga enak sendiri, sama istri, sama
mertua…punya satu (anak, red.), sekarang sama ibunya…”
(Baris ke 179-187)
Kemudian, saat C berusia 35 tahun, ia bertemu dengan seorang wanita
yang kini menjadi istrinya. Saat itu, mereka berdua merupakan pasien RSK
Sitanala yang sama-sama sedang diopname di bangsal. Setelah saling mengenal,
mereka pun menikah dan dikaruniai 6 orang anak.
71
Universitas Indonesia
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa C kini telah mampu
menyeimbangkan keadaan internal dan kondisi psikologisnya dengan lingkungan
eksternalnya. Ia dapat menerima kekurangan yang dimiliki, merasa cukup puas
dengan keadaan sehari-harinya, dan mensyukuri atas apa yang ia terima.
Sementara itu, ia juga memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan
lingkungannya. Hal tersebut terlihat dari banyaknya teman yang dimiliki oleh C
dan hubungan mereka pun akrab. Selain itu, tidak sedikit orang yang
membutuhkan bantuannya untuk memperbaiki barang-barang elektronik ataupun
mencarikan rumah. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang berada di
sekitar C mengakui keberadaan C dalam lingkungan tersebut.
Lebih lanjut, kondisi fisik C yang diakibatkan oleh penyakit kusta yang
dideritanya cukup memprihatinkan. Dua anggota tubuh vitalnya, yakni tangan dan
kaki, tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun tidak memiliki
kondisi fisik yang dapat berfungsi dengan normal, C memiliki tingkat self-efficacy
yang cukup baik. C menilai dirinya masih memiliki kemampuan untuk
menghidupi diri dan keluarganya. Kemudian, ia juga selalu berpikiran positif
terhadap segala sesuatu yang telah menimpa dirinya selama ini. Ia hanya berserah
diri kepada Tuhan dan menganggap Tuhan sedang menguji kesabarannya. Self-
efficacy dan optimisme yang ia miliki tersebut, membuatnya persisten dan dapat
bertahan dalam menjalankan kehidupan di lingkungan sosialnya.
C masih berusia 17 tahun saat pertama kali didiagnosis kusta oleh dokter.
Sebelumnya, dokter justru menyembunyikan diagnosis yang sesungguhnya dari C
karena dikhawatirkan ia akan terguncang dan merasa rendah diri. C sempat
terguncang setelah mendengar kenyataan tersebut. Namun, perasaan tersebut
bukan karena ia malu akan penyakitnya, melainkan karena ia merasa “dibohongi”
dan pengobatan yang sebelumnya ia jalani menjadi sia-sia. Untungnya, perasaan
tersebut tidak berlangsung lama. Ia kembali pulih dan bangkit dari keterpurukan.
Ia pun akhirnya menjalani pengobatan di RSK Sitanala setelah mendapat
informasi dan rujukan dari dokter yang memeriksanya. Tahap pengobatan yang
dilakukannya berupa opname dan rawat jalan. Ia diopname sejak tahun 1984
sampai 1998. Di sana, ia ditempatkan di bangsal 4. Setelah keluar dari bangsal, ia
72
Universitas Indonesia
pun menjalani rawat jalan hingga dinyatakan sembuh oleh dokter. Jenis obat-
obatan yang dikonsumsi oleh C adalah DDS, MSG, dan antibiotik.
Awalnya, ia memang terlihat membutuhkan waktu untuk menyesuaikan
diri, namun seiring dengan berjalannya waktu, ia dapat mencapai hal tersebut. Ia
sering mengisi waktu kosongnya dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat
produktif. C memiliki citra diri yang cukup positif. Dengan segala keterbatasan
yang ia miliki, ia merasa bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk
melangsungkan hidupnya dan keluarga. Ia sadar akan kekurangannya, namun ia
juga masih memiliki semangat untuk dapat terus menghidupi istri dan anak-
anaknya. Kehidupan pernikahan yang dijalaninya juga tidak terlalu mulus.
Pernikahan pertamanya tidak bertahan lama. Istri dan keluarganya tidak dapat
menerima C yang menderita kusta. Sementara itu, pernikahan kedua C terjadi
ketika C menjalani pengobatan di Sitanala. Istri C kala itu juga merupakan pasien
rumah sakit tersebut. Pernikahan keduanya ini dikaruniai enam orang anak dan
hingga kini berjalan dengan baik dan harmonis.
C tergolong mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosialnya. Hal
tersebut terlihat dari bagaimana C mengatasi stres dan rasa cemas yang
dialaminya. C tidak menjadikan himpitan ekonomi sebagai masalah yang harus
dikhawatirkan. Ia hanya mencoba pasrah kepada Tuhan dan juga berusaha untuk
terus menghidupi keluarganya dengan bekerja melakukan apapun yang ia bisa.
4.5 Hasil Observasi
Dalam pengamatan peneliti, hubungan sosial di antara warga yang satu dengan
yang lain terlihat cukup baik. Hal ini terlihat dari beberapa warga yang selalu
menyapa satu sama lain ketika mereka bertemu di jalan. Bagi warga yang
rumahnya berdekatan, mereka biasa berkumpul untuk berbincang-bincang dan
menceritakan keadaan satu sama lain. Tampak terlihat jelas bahwa mereka
berkumpul sesuai dengan peran di keluarga. Para ibu dengan anaknya akan
berkumpul juga dengan ibu lain dan anaknya. Mereka berkumpul di depan rumah
salah satu warga ataupun di warung yang dijaga oleh ibu-ibu juga. Para bapak
juga berkumpul bersama tapi memang tidak banyak bapak-bapak yang terlihat
berkumpul. Para remaja juga terlihat berkumpul bersama dengan remaja lain di
warung, di persimpangan lorong (gang), dan di lapangan bola sekolah.
73
Universitas Indonesia
Hal lain yang peneliti amati adalah kedatangan peneliti sungguh dirasakan
berbeda oleh para warga. Mereka sangat heran dan ingin tahu ketika ada orang
asing yang masuk di wilayah mereka. Pandangan mereka pun terlihat curiga
dengan keberadaan peneliti dan apabila peneliti melihat ke arah mereka, mereka
akan bertanya kemana tujuan peneliti. Salah satu bentuk kecurigaan warga adalah
ketika peneliti akan meminta kesediaan warga untuk ikut dalam penelitan. Banyak
warga yang langsung menolak ketika melihat kedatangan peneliti ke arah mereka
bahkan sebelum mendengarkan penjelasan dari peneliti. Warga memang terlihat
curiga dengan kedatangan orang asing yang datang ke pemukiman ini. Selain itu,
peneliti juga melihat adanya kecenderungan pada beberapa partisipan yang tidak
memiliki kepercayaan terhadap orang lain di lingkungannya. Hal ini terlihat dari
beberapa partisipan yang menolak apabila diajak untuk ikut bergabung dalam
kegiatan kepanitiaan yang di dalamnya terdapat pengelolaan uang, seperti acara
kegiatan pencarian dana.
74
Universitas Indonesia
5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Pada bab ini, peneliti akan memberikan kesimpulan dan diskusi mengenai hasil
penelitian, keterbatasan penelitian, serta saran teoritis, metodologis, maupun
praktis untuk penelitian selanjutnya. Jawaban atas rumusan masalah pada
pendahuluan akan dijawab pada bagian kesimpulan. Bagian diskusi akan
memaparkan mengenai kesesuaian antara teori yang digunakan dengan jawaban
atas masalah serta keterbatasan penelitian yang ditemukan di lapangan. Terakhir,
saran-saran teoritis, metodologis, dan praktis agar penelitian dapat dijalankan
lebih baik akan dirangkum pada bagian saran.
5.1 Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran social adjustment
penyandang kusta setelah dinyatakan sembuh secara medis tergolong rendah
dibandingkan dengan anggota masyakat yang tidak pernah terinfeksi kusta. Selain
itu, didapatkan hasil lain bahwa sebagian besar dari mereka mengalami kesulitan
untuk mengubah atau memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keadaan
dirinya dan minatnya terhadap informasi ilmiah yang ada juga tergolong rendah.
5.2 Diskusi
5.2.1 Diskusi Hasil Penelitian
Penelitian mengenai kusta dan social adjustment telah banyak dilakukan
sebelumnya, akan tetapi belum ada penelitian yang mengaitkan kedua hal
tersebut. Penelitian ini, kemudian, mencoba untuk mengaitkan keduanya secara
deskriptif dengan melihat gambaran social adjustment pada penyandang kusta
yang telah dinyatakan sembuh secara medis. Dari penelitian ini didapatkan bahwa
tingkat social adjustment penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara
medis termasuk rendah. Meskipun demikian, hasil penelitian ini terlalu dini untuk
digeneralisasi kepada seluruh penyandang kusta yang ada di lingkungan
pemukiman kusta Sitanala Tangerang. Hal ini dikarenakan jumlah partisipan yang
ikut dalam penelitian ini terbatas hanya berjumlah 20 partisipan.
Rendahnya tingkat social adjustment pada penyandang kusta dapat
dihubungkan dengan psychological distress yang dialami oleh penyandang kusta,
75
Universitas Indonesia
yaitu penyebab stress yang berasal dari pengalaman individu yang tidak
menyenangkan (Cicarelli, 2007). Menurut Lam, Chan, Hung, Or, dan Fielding
(2009), tingginya psychological distress dapat memprediksi rendahnya social
adjustment pada individu. Apabila psychological distress pada individu rendah,
individu memiliki social adjustment yang lebih baik. Sebaliknya, apabila
psychological distress pada individu tinggi, individu memiliki social adjustment
yang buruk. Psychological distress ini berasal dari adanya perlakuan negatif dan
stigma masyarakat yang ditujukan kepada penyandang kusta selama ini
(Tsutsumi, Izutsu, Islam, Amed, Nakaahara, Fumie, & Wakai, 2003), seperti
perlakuan diskriminasi, devaluasi, menjaga jarak, membenci, mengucilkan, tidak
dianggap keberadaannya, tidak diacuhkan, dan labeling (Ebenso, Fashona, Ayuba,
Idah, Adeyemi, & S-Fada, 2007).
Berdasarkan hasil wawancara dan obervasi terhadap sebagian besar
partisipan, peneliti memang melihat adanya kecenderungan stress yang dialami
oleh sebagian besar partisipan penelitian. Hal ini terlihat dari partisipan yang
mengeluhkan kehidupan ekonomi mereka yang sulit, serba kekurangan, dan tidak
ada pekerjaan. Mereka merasa tidak mampu untuk memenuhi kehidupannya
sehari-hari sendiri dan mengharapkan bantuan dari orang lain. Lazarus (1976)
menjelaskan bahwa tuntutan eksternal yang tidak mampu untuk diatasi karena
melebihi batas penyesuaian diri, dapat menyebabkan individu mengalami stress.
Sementara itu, individu yang mampu menyesuaikan diri dengan efektif adalah
individu yang dapat mengatasi stress dan kecemasan yang muncul. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara menentukan tujuan yang realistis atau dengan cara
membuat tujuan jangka pendek yang lebih mudah dicapai dan mengatasi berbagai
masalah dan konflik di dalamnya.
Chung dan Seo (2007) menambahkan bahwa status ekonomi dan
pekerjaan, memang merupakan faktor yang signifikan bagi social adjustment
individu. Ketika status ekonominya lebih baik dan memiliki pekerjaan yang dapat
menopang kehidupannya, maka social adjustment-nya pun menjadi lebih baik.
Faktor gender juga berpengaruh terhadap social adjustment pada individu (Chung
& Seo, 2007). Pria cenderung lebih mampu untuk mencapai social adjustment
dibandingkan dengan wanita. Hal ini juga terlihat dari hasil penelitian yang
76
Universitas Indonesia
didapatkan bahwa pria memiliki rata-rata skor total yang lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita. Chung dan Seo (2007), memperkirakan rendahnya
social adjustment pada wanita dikarenakan budaya asia bahwa kaum wanita
berada di bawah kaum pria sehingga wanita akan lebih cenderung tergantung pada
kaum pria. Hal ini diperkuat oleh Lam, dkk (2009) bahwa faktor budaya
memerankan peran penting dalam social adjustment, dimana budaya akan
mengarahkan perilaku individu. Wawancara dan observasi yang dilakukan oleh
peneliti kepada partisipan wanita juga terlihat bahwa mereka lebih banyak
mengeluh dan lebih mengharapkan bantuan dari orang lain dibandingan dengan
melakukan usaha sendiri. Berbeda dengan partisipan pria yang memang dituntut
harus lebih bisa menyelesaikan masalahnya sendiri dan tidak tergantung kepada
orang lain, apalagi bagi yang sudah menikah dan memiliki tanggungan keluarga,
seperti anak dan istri. Meskipun demikian, perlu diteliti lebih lanjut apakah
memang bahwa pria yang telah menikah memiliki social adjustment yang lebih
baik daripada pria lajang. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini peneliti tidak
membedakan pria dan wanita dengan status pernikahannya sebagai aspek
demografis untuk dilihat skor social adjustment-nya.
Berdasarkan evaluasi dari hasil yang ditemukan dari berbagai macam alat
ukur fungsi sosial yang ada, depresi juga dianggap sebagai akar masalah dari
social adjustment (Weissman, dkk., Weissman; Weissman & Bothwell; Keller,
dkk., dalam Bosc, Dubini, dan Polin, 1997). Hal ini dikarenakan depresi dapat
membatasi akses individu untuk mendapatkan reward, internal ataupun eksternal,
dari berperilaku sosial sehingga individu yang depresif mengalami kesulitan untuk
berhubungan dengan orang lain, menjadi tidak suka dengan perilaku orang lain,
dan secara konstan akan mengurangi jumlah teman bicara ketika ia tidak lagi
mendapatkan dukungan dari orang lain (Bosc, dkk, 1997). Kusta yang merupakan
penyakit yang berdurasi kronis (Euzenir, Ximena, José, Anna, Maria, Maria,
Elizabeth, & Gilla, 2008). Walsh (2006) menambahkan bahwa individu yang
menderita penyakit kronis akan disertai dengan keadaan cemas, kebingungan, dan
depresi khususnya apabila tidak ada dukungan sosial. Seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya oleh Bosc, dkk (1997) bahwa individu yang depresif
mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain, menjadi tidak suka
77
Universitas Indonesia
dengan perilaku orang lain, dan secara konstan akan mengurangi jumlah teman
bicara ketika ia tidak lagi mendapatkan dukungan dari orang lain. Terlebih lagi
dengan sebagian besar keadaan penyandang ataupun mantan penyandang kusta
yang mengalami cacat fisik. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian
besar mantan penyandang kusta yang mengalami cacat fisik memiliki social
adjustment yang lebih rendah dibandingkan dengan mantan penyandang kusta
yang tidak memiliki cacat fisik. Hal ini dikarenakan, menurut Virmond (2007),
kehilangan atau kerusakan pada bagian dari anggota tubuh merupakan sebuah
kejadian yang sangat mengganggu bagi seseorang dan memiliki dampak negatif
bagi kehidupan seseorang. Individu akan merasa terpukul dan tidak mampu
melakukan kegiatan seperti orang pada umumnya. Hal ini juga yang diduga
mengakibatkan, yang seperti penelitian ini temukan, dimana sebagian besar
partisipan mengalami kesulitan untuk mengubah atau memodifikasi lingkungan
agar sesuai dengan keadaan dirinya. Sementara itu, menurut Lazarus (1976),
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, selain mengubah diri
sendiri agar sesuai dengan lingkungannya, individu juga perlu mengubah
lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan inidividu.
Bennet, Parker, dan Robson (2008) mengungkapkan bahwa sebagai
penyakit yang berdampak pada cacat fisik, kusta menghadapi masalah stigma
yang berasal dari keluarga, masyarakat, atau bahkan tenaga professional kesehatan
khususnya apabila tidak ada dukungan sosial. Stigma adalah karakteristik individu
yang dipersepsikan secara negatif oleh beberapa individu lain (Baron & Byrne,
2002). Ebenso, dkk (2007) menambahkan, stigma masyarakat yang timbul dapat
menguatkan persepsi negatif penyandang kusta kepada masyarakat dan makin
memperlebar jarak antara penyandang kusta dengan masyarakat. Lawn dan
Lockwood (2007) juga menambahkan bahwa penyandang kusta, sama seperti
penyakit HIV/AIDS, merupakan penyakit yang memang sangat tinggi dengan
stigma dan menyebabkan distress pada penyandangnya. Namun, dalam penelitian
ini didapatkan hal yang sebaliknya, sebagian besar partisipan cenderung memilih
jawaban “baik” dalam menilai hubungannya dengan orang lain di dalam keluarga
ataupun di luar keluarga. Selain itu, partisipan juga cenderung memilih jawaban
“aktif” dan memiliki “banyak teman” dalam pergaulan. Hampir seluruh partisipan
78
Universitas Indonesia
juga memilih jawaban “tidak pernah” pada pertanyaan “Apakah Anda pernah
merasa ditolak, dikucilkan dari lingkungan Anda?”. Namun, saat dilakukan
wawancara dengan partisipan, terdapat ketidaksesuaian antara jawaban kuesioner
dengan yang telah diceritakan partisipan. Hal ini terlihat dari sebagian besar
partisipan penelitian bahwa mereka merasa aktif untuk memulai pertemanan
dengan orang lain, tetapi selanjutnya mereka mengatakan bahwa keaktifannya
tergantung apakah orang lain tersebut mendatanginya untuk berteman terlebih
dahulu atau tidak. Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa mereka tidak pernah
merasa ditolak oleh lingkungannya, tetapi dari cerita selanjutnya bahwa sebagian
partisipan dijauhi oleh tetangga di lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini diduga,
menurut Menaldi (2008), karena partisipan merasa diuji ataupun tidak ingin
dinilai negatif oleh peneliti ataupun orang yang membacakan pertanyaan
kuesioner kepada dirinya sehingga mereka lebih memilih jawaban yang socially
desirable atau yang umumnya dipilih oleh kebanyakan orang. Bennet, dkk (2008)
juga menambahkan bahwa stigma, seperti pada penderita HIV, dapat diatasi
dengan memberikannya dukungan sosial. Ebenso, dkk (2007) dalam penelitiannya
menemukan bahwa tidak adanya dukungan sosial terhadap para penyandang kusta
dapat mengakibatkan timbulnya jarak dengan lingkungan. Sejalan dengan hal
tersebut, Lam, dkk (2009) menambahkan bahwa adanya dukungan sosial pada
penderita kanker payudara dapat meningkatkan meningkatkan optimisme dan self
efficacy yang berdampak pada social adjustment yang lebih baik. Sebaliknya tidak
ada dukungan sosial membuat penderita kanker semakin jauh dengan orang lain
dan membuat dirinya semakin depresi. Hal ini tentu juga dapat diaplikasikan
kepada penyandang ataupun mantan penyandang kusta yang memiliki
karakteristik penyakit yang sama dengan penderita kanker, yaitu penyakit kronis.
Dengan demikian, dapat diduga rendahnya social adjustment pada mantan
penyandang kusta karena kurangnya dukungan sosial yang didapatkan partisipan.
Berdasarkan hasil wawancara, partisipan memang mengaku merasa kesulitan dan
minder untuk berhubungan dengan orang lain. Namun, ketika mereka
berhubungan dengan orang lain yang juga sama-sama terinfeksi kusta, mereka
lebih mudah untuk berhubungan dan tidak merasa canggung.
79
Universitas Indonesia
Dalam penelitian ini juga didapatkan bahwa penyandang kusta memiliki
minat yang rendah dengan informasi-informasi ilmiah. Sebagian partisipan
mengatakan bahwa minat yang rendah terhadap informasi ilmiah ini disebabkan
oleh kurangnya manfaat yang dirasakan partisipan dari mempelajari ilmu tersebut
dimana kebutuhan ekonomi menjadi prioritas dibandingkan dengan kebutuhan
yang lain. Namun demikian, ada juga beberapa partisipan yang memiliki minat
terhadap ilmiah, teknik, dan budaya karena berhubungan dengan pekerjaan yang
mereka lakukan. Melihat tingkat pendidikannya yang rendah, para mantan
penyandang kusta tersebut juga mungkin tidak memiliki kebiasaan untuk belajar,
sehingga minat mereka untuk menggali informasi ilmiah dirasakan kurang.
Padahal menurut Zulkifli (2003) munculnya leprophobia yang muncul pada
masyarakat diakibatkan kurangnya informasi terhadap kusta itu sendiri. Dengan
demikian, pencegahan akan cacat fisik menjadi lebih sulit.
5.2.2 Keterbatasan Penelitian
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa
tingkat social adjustment penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara
medis termasuk rendah dibandingkan dengan anggota masyarakat yang tidak
pernah terinfeksi kusta. Meskipun demikian, hasil tersebut tidak dapat
digeneralisasi begitu saja karena terbatasnya jumlah partisipan dalam penelitian
ini. Karena penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling, peneliti harus
mendatangi warga satu per satu untuk ikut dalam penelitian. Sayangnya, peneliti
beberapa kali ditolak ketika meminta kesediaan warga untuk menjadi partisipan,
meskipun peneliti sudah memperoleh izin dari ketua RT setempat. Berdasarkan
percakapan peneliti dengan beberapa partisipan, penolakan tersebut mungkin
terjadi karena adanya reluktansi warga terhadap keberadaan peneliti yang
dianggap tidak menguntungkan bagi mereka. Sebagian besar partisipan
menceritakan kepada peneliti bahwa mereka sangat membutuhkan bantuan
ekonomi yang mendesak dari orang lain untuk memperbaiki rumah tinggal yang
sudah rusak. Namun, hal ini tidak terlihat sejalan dengan keadaan yang
sebenarnya. Berdasarkan observasi peneliti, beberapa partisipan yang mengatakan
sangat membutuhkan bantuan dana dari orang lain, keadaan rumahnya cukup
layak dan nyaman untuk ditinggali. Peneliti menduga hal ini terjadi karena
80
Universitas Indonesia
sebagaian besar partisipan sudah merasa nyaman dengan bantuan yang sering
datang dari lembaga-lembaga bantuan ke tempat mereka sehingga mereka
cenderung lebih mengharapkan bantuan dari orang lain daripada berusaha
mendapatkan penghasilan sendiri.
Selain itu, peneliti juga mengalami kesulitan dalam mengantisipasi
beberapa karakteristik sampel yang mungkin juga berpengaruh terhadap
pengerjaan alat ukur. Salah satu karakteristik tersebut adalah kondisi fisik yang
tidak memungkinkan, seperti jari-jari yang sudah kaku dan mata yang sudah
rabun. Hal ini menyebabkan partisipan tidak dapat mengerjakan kuesioner sendiri.
Selain itu, partisipan juga enggan untuk mengisi kuesioner sendiri dan lebih
memilih untuk dibacakan. Hal ini, menurut Menaldi (2008), bisa disebabkan
karenakan mereka tidak terbisa dengan pengerjaan kuesioner seperti ini. Selain
karena kesulitan-kesulitan di atas, keterbatasan lain dalam penelitian ini ialah
adanya item dalam kuesioner yang bersifat socially desirable. Contoh item
tersebut adalah item “Menurut Anda, bagaimana keadaan hubungan dalam
keluarga Anda?” dan “Secara umum, bagaimana Anda menilai hubungan Anda
dengan orang lain?”. Pada item tersebut, terlihat kecenderungan partisipan untuk
memilih jawaban “baik” atau “sangat baik”. Item lainnya adalah “Apakah Anda
pernah merasa ditolak, dikucilkan dari lingkungan Anda?” Partisipan cenderung
memilih jawaban “tidak pernah” pada item tersebut. Namun, ketika ditanyakan
lebih lanjut, sebenarnya partisipan memiliki masalah dalam hubungan keluarga
maupun hubungan sosialnya serta pernah mengalami penolakan di tempat tinggal
sebelumnya. Hal ini memperlihatkan kecenderungan partisipan yang tidak ingin
dinilai negatif oleh peneliti atau oleh orang yang mendampingi pengisian
kuesioner. Peneliti juga menemukan bahwa partisipan mengalami kesulitan untuk
memahami pertanyaan-pertanyaan kuesioner sehingga partisipan banyak bertanya
kepada peneliti walaupun telah dilakukan uji keterbacaan sebelumnya.
5.3 Saran
5.3.1 Saran Teoretis
1. Dengan karakteristik yang dimiliki oleh mantan penyandang kusta, metode
pengambilan data dengan menggunakan self-report, seperti kuesioner, sebagai
metode utama dirasa kurang tepat. Oleh karena itu, peneliti menyarankan untuk
81
Universitas Indonesia
menggunakan metode lain seperti wawancara sebagai metode pengambilan
data utama untuk partisipan penyandang ataupun mantan penyandang kusta.
2. Para peneliti yang tertarik dengan topik social adjustment pada penyandang
kusta dapat mencoba melakukan penelitian sejenis dengan menambah beberapa
variabel lain, seperti yang telah didiskusikan sebelumnya sehingga dapat
memperkaya hasil penelitian dan dapat menyelesaikan masalah social
adjustment yang rendah pada penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh
secara medis.
5.3.2 Saran Praktis
1. Untuk mendapatkan jumlah partisipan yang lebih banyak, peneliti
menyarankan kepada peneliti lain untuk meminta bantuan kepada pihak ketiga
yang merupakan individu yang memiliki autoritas dalam lingkungan setempat
sehingga partisipan bersedia mengikuti penelitian.
2. Kepada para praktisi kesehatan, psikolog, konselor, maupun terapis diharapkan
dapat melakukan program-program intervensi psikologis bersama, seperti
mental health care, untuk menolong mereka terlepas dari keadaan depresi dan
psychological distress. Khususnya, dengan melakukan penelitian, assesment,
diagnosis, dan treatment psikologis dan medis yang lebih terintegrasi serta
berkelanjutan sehingga penyandang kusta dapat menjadi individu yang lebih
optimistis dan positif dalam menjalani kehidupannya di tengah stigma serta
pandangan negatif masyarakat umum tentang mereka. Hal ini mengingat
bahwa hal tersebut merupakan faktor penting yang dapat berpengaruh terhadap
tingkat social adjustment individu. Dengan demikian social adjustment
penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis dapat menjadi
lebih baik.
3. Menanggapi stigma yang terjadi pada penyandang ataupun mantan penyandang
kusta, institusi kesehatan ataupun yang lembaga yang berwenang, diharapkan
untuk membuat sosialisasi yang lebih luas sehingga dapat mengedukasi
masyarakat pada umumnya dan penyandang atau mantan penyandang kusta
pada khususnya sehingga tidak ada mispersepsi terhadap penyakit kusta seperti
yang terjadi seperti saat ini.
82
Universitas Indonesia
4. Berkaitan dengan adanya jarak antara masyarakat dengan mantan penyandang
kusta dimana hal ini dapat berpengaruh terhadap tingkat social adjustment,
maka diperlukan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang mengikutsertakan
mantan penyandang kusta dengan masyarakat umum.
5. Berdasarkan pembahasan sebelumnya bahwa status ekonomi dan pekerjaan,
serta dukungan sosial merupakan faktor yang signifikan bagi social adjustment
individu, maka peneliti menyarankan bagi pembuat kebijakan ataupun
lembaga-lembaga yang peduli terhadap nasib mantan penyandang kusta untuk
memberikan kesempatan bagi penyandang kusta untuk mendapatkan pekerjaan
yang dapat membantunya untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya
dengan sendiri sehingga mereka lebih bermartabat sebagai bagian dari anggota
masyarakat yang mandiri dan produktif.
83
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
Ackerman, P. L. & Heggestad, E. D. (1997). Intelligence, Personality, and
Interests: Evidence for Overlapping Traits. Psychol Bull., 121(2):219-45.
Aiken, Lewis R., Groth-Marnat, Gary. (2005). Psychological Testing and
Assessment (12th ed). USA: Pearson, Inc.
Amirudin, M. D., Hakim, Z., & Darwis, E. (2003). Kusta: Diagnosis Penyakit
Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Anastasi, A. & Urbina, S. (1997). Psychological Testing 7th
ed. New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.
Bargh, J. A. & Gollwitzer, P. M. (1994). Environmental Control of Goal-directed
Action: Automatic and Strategic Contingencies between Situations and
Behavior. In W. D. Spaulding (Ed.), Integrative Views of Motivation,
Cognition, and Emotion. Nebraska Symposium on Motivation, 41, 71-124.
Bennet, B. H., Parker, D. L., Robson. M. (2008). Leprosy: Steps Along the
Journey of Eradication. Public Health Reports (1974-), Vol. 123, No. 2,
pp. 198-205
Bosc, M., Dubini, A., Polina,V. (1997). Development and validation of a social
functioning scale, the Social Adaptation Self-evaluation Scale. European
Neuropsychopharmacology 7 Suppl. 1 (1997) S57–S70.
Burgess, P. (1936). Lepers and Leprosy. The Scientific Monthly, Vol. 42, No. 5
(May, 1936), pp. 396-402.
84
Universitas Indonesia
Campbell, R., J. (1996). Psychiatric Dictionary 7th
ed. New York: Oxford
University Press
Djuwita, R. (1981). Suatu Penelitian Eksploratif tentang sebab-sebab Penderita
Kusta yang cacat di RSK Sitanala Menetap atau Kembali ke masyarakat.
Depok: Skripsi Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia-
tidak dipublikasikan
Dwiartanti, D. (2006). Gambaran Penyesuaian Diri Siswa Tuna Netra di Sekolah
Umum. Depok : Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Ebenso, B., Fashona, A., Ayuba, M., Idah, M., Adeyemi, G., S-Fada, S. (2007).
Impact of socio-economic rehabilitation on leprosy Stigma in northern
nigeria: findings of a Retrospective study. Asia Pacific Disability
Rehabilitation Journal: Vol. 18 No. 2
Euzenir, N. S., Ximena, I., José, A. C. N., Anna, M. S., Maria, C. G. G., Maria, L.
F. P., Elizabeth, P. S., & Gilla, K. (2008). HIV-M. Leprae Interaction: Can
HAART Modify the Course of Leprosy?. Public Health Reports (1974-),
Vol. 123, No. 2, pp. 206-212
Gravetter, F. J., & Forzano, L. A. B. (2009). Research Methods for the Behavioral
Sciences 3rd
ed. Belmont: Wadsworth Cencage Learning.
Gravetter, F. J., dan Forzano, L. B. (2006). Research Methods for the Behavioral
Science. California: Thomson Wardswoth.
Haber, A., & Runyon, R. P. (1984). Psychology Adjustment. Illinois: Dorsey
Press.
85
Universitas Indonesia
Kosasih, A., Wisnu, M. I., Daili, E., S., & Menaldi, S., L. (2003). Ilmu Penyakit
Kulit Kelamin Edisi Kelima: Kusta. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
Kumar, R. (2005). Research Methodology: A step by step guide for beginners, 2nd
Ed. New Delhi: Sage Publications India Pvt Ltd.
Lawn, S. D., & Lockwood, D. N. J. (2007). Leprosy after Starting Antiretroviral
Treatment. British Medical Journal, Vol. 334, No. 7587, pp. 217-218
Lazarus , R. S. (1976). Patterns of Adjustment: 3rd
Edition. New York: McGraw-
Hill Inc.
Marshall, C. L., Maeshiro, M., Korper, S. P. (1967). Attitude Towards Leprosy in
the ryukyu Islands. Public Health Reports (1896-1970), Vol. 82, No.9
(Sep., 1967), pp. 795-801
Martodiharjo, S., & Susanto, R. S. D. (2003). Kusta: Reaksi Kusta dan
Penanganannya. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
McDougall, A. C., & Yuasa, Y. (2002). A new Atlas of leprosy: A pictorial
manual to assist frontline health workers and volunteers in the Detection,
diagnosis and treatment of clinical leprosy. Tokyo: Sasakawa Memorial
Health Foundation.
McDougall, A. C., & Yuasa, Yo. (2002). A New Atlas Of Leprosy. Tokyo:
Sasakawa Memorial Health Foundation.
86
Universitas Indonesia
Melley, A. H., Oltmans, T. F., & Turkheimer, E. (2002). The Schedule for
Nonadaptive and Adaptive Personality (SNAP): Temporal Stability and
Predictive Validity of the Diagnostic Scales. Assessment 2002; 9; 181.
Menaldi, A. (2008) Adaptasi Values In Action-Inventory Strengths pada
Penyandang Kusta. Depok: Tugas Akhir Program Magister Profesi
Psikologi Kekhususan Klinis Dewasa Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia-tidak dipublikasikan
Nippon Foundation (26 Januari 2011). Stop Use of Word 'Leper'. 31 Mei 2011.
<http://www.prnewswire.co.uk/cgi/news/release?id=247209>
Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Depok: LPSP3.
Prasad, N. M. & Prasad, S. R. (2007). Control of Blinding Eye Disease In
Leprosy: Strategies for India. Journal of Public health Policy, 28, 456-464.
Prihatianto, C. ”Penderita Lepra Indonesia Terbesar ke-3 di Dunia.”
Shvoong.com. 7 April 2011. 30 Mei 2011
<http://id.shvoong.com/medicine-and-health/2144773-penderita-lepra-di-
indonesia-terbesar/#ixzz1NqYEDfwW>
Rachmat, H. (2003). Kusta: Prorgram pemberantasan penyakit Kusta di
Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Sastroasmoro, S. & Ismael, S. (2010). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis:
Edisi Ke-3. Jakarta: Sagung Seto.
87
Universitas Indonesia
Schneider, A. A. (1955). Personal Adjustment and Mental Health. New York:
Alexander A. Schneider
Seo, J. Y., & Chung, S. (2007). A study on Posttraumatic Stress Disorder among
North Korean Defectors And Their Social adjustment in South Korea.
Journal of Loss and Trauma, 12, 365–382,
Tsutsumi, A., Izutsu, T., Islam, M .A. D., Amed, J. U., Nakahara, S., Fumie, T., &
Wakai, S. (2003). Depressive Status of Leprosy Patients in Bangladesh:
Association with Self-Perception of Stigma. Lepr Rev (2004) 75, 57-66
Virmond, M. (2007). Amputation in Leprosy. Lepr Rev (2007) 78, 85–87
WHO. (2008). “Stop Use of Word 'Leper' “.
http://www.prnewswire.co.uk/cgi/news/release?id=247209. (17 Juni 2011)
WHO. (2010). “Weekly epidemiological record: Relevé épidémiologique
hebdomadaire”. 27 August 2010, 85th year / 27 août 2010, 85e année No.
35, 2010, 85, 337–348.
Wijaya, N. (2007). Hubungan Antara Keyakinan Diri Akademik dengan
Penyesuaian Diri Siswa Tahun Pertama Sekolah Asrama SMA Pangudi
Luhur Van Lith Muntilan. Semarang: Skripsi Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
World Health Organization (17 Februari 2011). Leprosy. 13 Juni 2011.
<http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs101/en/>
88
Universitas Indonesia
World Health Organization. (2010). “Leprosy”.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs101/en/index.html. (17 Juni
2011)
Yang, J., Kim, J., Shin, I., Noh, A., & Yoon, J. (2003). Evaluation of
psychometric properties of the Korean version of the Social Adaptation
Self-Evaluation Scale (KvSASS) in the general population and depressive
patients. Journal of the Korean Neuropsychiatric Association, 42, 340–
351.
Yayasan Transformasi Lepra Indonesia. (2008). Understanding the condition of
Leprosy Settlement In 13 Provinces In Indonesia.
Yayasan Transformasi Lepra Indonesia. (2008). Understanding The Condition of
Leprosy Settlement in 13 Provinces in Indonesia. Research Report:
Yayasan Transformasi Lepra Indonesia
Zulkifli. (2003). “Penyakit Kusta Dan Masalah Yang Ditimbulkannya.”, Sumatera
Utara: USU digital library Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
89
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 1
PENGHITUNGAN RELIABILITAS DAN VALIDITAS
A. UJI RELIABILITAS
Cronbach's Alpha N of Items
.818 20
B. UJI VALIDITAS (KONSISTENSI INTERNAL)
Scale Mean if Item
Deleted Scale Variance if
Item Deleted Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
item1item2 58.31 36.730 .488 .804
item3 58.21 36.168 .604 .797
item4 58.10 40.223 .193 .821
item5 58.81 36.156 .569 .799
item6 58.42 39.227 .369 .811
item7 58.27 38.968 .327 .814
item8 57.79 40.466 .254 .816
item9 58.75 36.234 .652 .795
item10 58.33 39.716 .406 .810
item11 58.17 41.163 .138 .821
item12 58.56 38.081 .581 .802
item13 57.96 39.785 .394 .811
item14 59.15 33.191 .676 .790
item15 58.50 38.383 .425 .808
item16 58.44 40.166 .222 .819
item17 58.54 41.615 .114 .821
item18 58.04 40.764 .240 .817
item19 58.25 40.234 .225 .818
item20 58.83 40.312 .268 .816
item21 58.67 37.844 .440 .807
C. NORMA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid <= 58 9 18.8 37.5 37.5
59 - 65 7 14.6 29.2 66.7
66+ 8 16.7 33.3 100.0
Total 24 50.0 100.0
Missing System 24 50.0
Total 48 100.0
90
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 2
ALAT UKUR
A. HALAMAN DEPAN
KUESIONER
KEGIATAN KEMASYARAKATAN
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2011
91
Universitas Indonesia
B. HALAMAN PEMBUKA
Selamat pagi / siang / sore
Bapak/Ibu/Saudara/Saudari yang kami hormati,
Kami adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia. Saat ini kami sedang melakukan penelitian tugas akhir yang berkaitan
dengan kegiatan kemasyarakatan. Berkaitan dengan hal tersebut, kami
memohon kesediaan dan kerja sama Anda untuk menjawab pertanyaan dalam
kuesioner dengan cara memilih jawaban pada setiap pertanyaan yang tersedia
sesuai dengan petunjuk yang ada.
Tidak ada jawaban benar atau salah dalam penelitian ini. Oleh karena itu,
Anda diharapkan menjawab semua pertanyaan dengan jujur apa adanya dan
sesuai dengan kondisi yang paling menggambarkan diri Anda. Anda diharapkan
menjawab dengan cermat dan teliti, jangan sampai ada pertanyaaan yang
terlewat agar data dapat diolah dan digunakan untuk penelitian. Segala informasi
yang Anda berikan akan dijamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk
keperluan penelitian..
Atas perhatian dan bantuan Anda, saya ucapkan terima kasih.
Hormat Kami,
peneliti
92
Universitas Indonesia
C. PETUNJUK PENGISIAN
PETUNJUK PENGISIAN
Di bawah ini, terdapat sejumlah pertanyaaan yang menggambarkan kondisi diri Anda.
Pada setiap pernyataan Anda diminta untuk memberikan tanda silang (X) pada jawaban
yang paling menggambarkan diri Anda.
Contoh Pengerjaan:
1. Apakah Anda terlibat dalam kegiatan masyarakat di tempat tinggal?
Selalu sering kadang-kadang tidak pernah
Jawaban di atas menunjukkan bahwa pernyataan di atas sesuai dengan diri Anda.
Jika Anda ingin mengganti jawaban, coretlah jawaban sebelumnya dengan dua garis
vertikal sejajar (=), kemudian berikan tanda silang (X) pada jawaban yang baru.
1. Apakah Anda terlibat dalam kegiatan masyarakat di tempat tinggal?
selalu sering kadang-kadang tidak pernah
SELAMAT MENGERJAKAN DAN HATI-HATI JANGAN SAMPAI ADA PERNYATAAN
YANG TERLEWAT!
APABILA MASIH ADA YANG KURANG JELAS SILAHKAN BERTANYA LANGSUNG
KEPADA PENELITI
93
Universitas Indonesia
D. CONTOH ISI KUESIONER
PERTANYAAN
Apakah Anda memiliki pekerjaan? (ya/tidak) *lingkari salah satu
Jika ya, jawab pertanyaan 1 dan lewati pertanyaan 2 langsung jawab pertanyaan 3,dst.
Jika tidak, lewati pertanyaan 1 langsung jawab pertanyaan 2, dst.
1. Apakah Anda menyukai pekerjaan Anda?
Sangat Sedang Sedikit Tidak sama sekali
2. Apakah Anda menyukai pekerjaan rumah tangga, seperti menyapu, mengepel, beres-
beres rumah, mencuci baju, dan lain-lain? Sangat Sedang Sedikit Tidak sama sekali
9. Apakah Anda mencoba untuk menciptakan hubungan dengan orang lain?
Sangat aktif Aktif Lumayan aktif Tidak aktif
10. Secara umum, bagaimana Anda menilai hubungan Anda dengan orang lain?
Sangat baik baik Lumayan Tidak memuaskan
15. Apakah Anda suka mencari informasi tentang hal-hal,situasi, dan orang lain untuk
meningkatkan pemahaman Anda terhadap mereka?
Sangat suka Lumayan Tidak terlalu suka Tidak suka sama sekali
16. Apakah Anda tertarik dengan informasi ilmiah, teknik, atau budaya?
Sangat tertarik Lumayan Hanya sedikit Tidak sama sekali
21. Apakah Anda merasa mampu mengatur lingkungan agar sesuai dengan keinginan
dan kebutuhan Anda?
Sangat mampu Lumayan Tidak terlalu mampu Tidak sama sekali
MOHON CEK KEMBALI JAWABAN ANDA JANGAN SAMPAI ADA YANG
TERLEWAT ATAUPUN SALAH MENGISI. TERIMA KASIH.
94
Universitas Indonesia
E. IDENTITAS PRIBADI
Identitas Pribadi
Nama :
Jenis Kelamin :
Usia : tahun
Pendidikan Terakhir :
Umur berapa divonis kusta :
Kapan terakhir anda berkunjung ke dokter yang
menangani penyakit Anda? :
Daerah Asal :
Suku Bangsa :
Lama Tinggal di Sitanala :
Status Pernikahan :
Usia Pernikahan :
Usia Saat Menikah :
Jumlah Anak :
Usia Anak :
Pekerjaan :
Lama Pekerjaan :
Jumlah Tanggungan Keluarga :
No Telepon yang bisa dihubungi ** :
Alamat :
95
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 3
PENGHITUNGAN RATA-RATA SKOR TOTAL
A. Rata-Rata Skor Social Adjustment
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
totalWandL 20 6 15 11.55 2.704
totalRealationshi 20 22 35 27.90 3.553
totalintectualinterest 20 1 4 1.90 1.071
totalsatisfaction 20 7 11 9.45 1.099
totalmanagement 20 3 8 4.80 1.152
totalskorsocialadjustment 20 44 68 55.60 6.652
Valid N (listwise) 20
B. Rata-rata Skor tiap Item Social Adjustment
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
item1item2 20 1 4 3.35 .813 item3 20 1 4 3.30 .865 item4 20 1 4 2.40 1.353 item5 20 1 3 2.50 .761 item6 20 2 4 2.60 .598 item7 20 2 4 3.00 .649 item8 20 2 4 3.35 .745 item9 20 1 4 2.45 .826 item10 20 1 4 2.75 .716 item11 20 1 4 2.90 .852 item12 20 1 4 2.50 .761 item13 20 2 4 3.35 .587 item14 20 1 4 2.85 .875 item15 20 1 3 2.15 .813
96
Universitas Indonesia
item16 20 1 4 1.90 1.071 item17 20 2 4 2.85 .745 item18 20 2 4 3.75 .639 item19 20 1 4 2.85 .745 item20 20 1 4 2.95 .887 item21 20 1 4 1.85 .875 Valid N (listwise) 20
C. Rata-rata Skor Partisipan Berdasarkan Jenis Kelamin
Descriptives
N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for
Mean Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound
totalWandL pria 8 11.63 3.292 1.164 8.87 14.38 6 15 wanita 12 11.50 2.393 .691 9.98 13.02 6 14 Total 20 11.55 2.704 .605 10.28 12.82 6 15 totalRealationshi pria 8 28.50 4.598 1.626 24.66 32.34 22 35 wanita 12 27.50 2.812 .812 25.71 29.29 24 33 Total 20 27.90 3.553 .794 26.24 29.56 22 35 totalintectualinterest pria 8 2.38 1.302 .460 1.29 3.46 1 4 wanita 12 1.58 .793 .229 1.08 2.09 1 3 Total 20 1.90 1.071 .240 1.40 2.40 1 4 totalsatisfaction pria 8 9.63 1.188 .420 8.63 10.62 8 11 wanita 12 9.33 1.073 .310 8.65 10.02 7 11 Total 20 9.45 1.099 .246 8.94 9.96 7 11 totalmanagement pria 8 5.13 1.727 .611 3.68 6.57 3 8 wanita 12 4.58 .515 .149 4.26 4.91 4 5 Total 20 4.80 1.152 .258 4.26 5.34 3 8 totalskorsocialadjustment pria 8 57.25 8.795 3.110 49.90 64.60 44 68 wanita 12 54.50 4.890 1.412 51.39 57.61 47 63 Total 20 55.60 6.652 1.487 52.49 58.71 44 68
97
Universitas Indonesia
D. Rata-rata skor social adjustment beradasarkan Usia
Descriptives
N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for
Mean Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound
totalWandL 24-36 tahun 3 12.67 .577 .333 11.23 14.10 12 13 37-49 tahun 6 12.67 2.875 1.174 9.65 15.68 7 15 50-62 tahun 8 9.88 2.642 .934 7.67 12.08 6 12 63-75 tahun 3 12.67 2.309 1.333 6.93 18.40 10 14 Total 20 11.55 2.704 .605 10.28 12.82 6 15 totalRealationshi 24-36 tahun 3 32.67 2.517 1.453 26.42 38.92 30 35 37-49 tahun 6 28.17 3.125 1.276 24.89 31.45 23 31 50-62 tahun 8 25.75 2.915 1.031 23.31 28.19 22 32 63-75 tahun 3 28.33 2.517 1.453 22.08 34.58 26 31 Total 20 27.90 3.553 .794 26.24 29.56 22 35 totalintectualinterest 24-36 tahun 3 3.00 1.000 .577 .52 5.48 2 4 37-49 tahun 6 2.50 1.225 .500 1.21 3.79 1 4 50-62 tahun 8 1.25 .463 .164 .86 1.64 1 2 63-75 tahun 3 1.33 .577 .333 -.10 2.77 1 2 Total 20 1.90 1.071 .240 1.40 2.40 1 4 totalsatisfaction 24-36 tahun 3 10.00 1.000 .577 7.52 12.48 9 11 37-49 tahun 6 9.33 1.506 .615 7.75 10.91 7 11 50-62 tahun 8 9.63 .916 .324 8.86 10.39 8 11 63-75 tahun 3 8.67 .577 .333 7.23 10.10 8 9 Total 20 9.45 1.099 .246 8.94 9.96 7 11 totalmanagement 24-36 tahun 3 5.33 .577 .333 3.90 6.77 5 6 37-49 tahun 6 4.50 1.049 .428 3.40 5.60 3 6 50-62 tahun 8 4.50 .926 .327 3.73 5.27 3 6 63-75 tahun 3 5.67 2.082 1.202 .50 10.84 4 8 Total 20 4.80 1.152 .258 4.26 5.34 3 8 totalskorsocialadjustment 24-36 tahun 3 63.67 4.041 2.333 53.63 73.71 60 68 37-49 tahun 6 57.17 6.494 2.651 50.35 63.98 46 63 50-62 tahun 8 51.00 4.504 1.592 47.23 54.77 44 59 63-75 tahun 3 56.67 6.028 3.480 41.69 71.64 51 63 Total 20 55.60 6.652 1.487 52.49 58.71 44 68
98
Universitas Indonesia
E. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Pendidikan
Descriptives
N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for Mean Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound
totalWandL SD 12 10.33 2.839 .820 8.53 12.14 6 14
SMP 1 13.00 . . . . 13 13
SMA sederajat 2 13.50 .707 .500 7.15 19.85 13 14
Tidak Sekolah 5 13.40 1.140 .510 11.98 14.82 12 15
Total 20 11.55 2.704 .605 10.28 12.82 6 15
totalRealationshi SD 12 26.17 2.980 .860 24.27 28.06 22 32
SMP 1 30.00 . . . . 30 30
SMA sederajat 2 29.00 2.828 2.000 3.59 54.41 27 31
Tidak Sekolah 5 31.20 3.033 1.356 27.43 34.97 27 35
Total 20 27.90 3.553 .794 26.24 29.56 22 35
totalintectualinterest SD 12 1.25 .452 .131 .96 1.54 1 2
SMP 1 4.00 . . . . 4 4
SMA sederajat 2 2.00 1.414 1.000 -10.71 14.71 1 3
Tidak Sekolah 5 3.00 .707 .316 2.12 3.88 2 4
Total 20 1.90 1.071 .240 1.40 2.40 1 4
totalsatisfaction SD 12 9.42 .900 .260 8.84 9.99 8 11
SMP 1 11.00 . . . . 11 11
SMA sederajat 2 8.50 2.121 1.500 -10.56 27.56 7 10
Tidak Sekolah 5 9.60 1.140 .510 8.18 11.02 8 11
Total 20 9.45 1.099 .246 8.94 9.96 7 11
totalmanagement SD 12 4.83 1.267 .366 4.03 5.64 3 8
SMP 1 4.00 . . . . 4 4
SMA sederajat 2 5.00 1.414 1.000 -7.71 17.71 4 6
Tidak Sekolah 5 4.80 1.095 .490 3.44 6.16 3 6
Total 20 4.80 1.152 .258 4.26 5.34 3 8
totalskorsocialadjustment SD 12 52.00 5.427 1.567 48.55 55.45 44 63
SMP 1 62.00 . . . . 62 62
SMA sederajat 2 58.00 7.071 5.000 -5.53 121.53 53 63
Tidak Sekolah 5 62.00 3.674 1.643 57.44 66.56 59 68
Total 20 55.60 6.652 1.487 52.49 58.71 44 68
99
Universitas Indonesia
F. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Lama Vonis Kusta
Descriptives
N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for
Mean Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound
totalWandL 2-14 tahun 13 10.54 2.817 .781 8.84 12.24 6 14
15-27 tahun 7 13.43 .976 .369 12.53 14.33 12 15
Total 20 11.55 2.704 .605 10.28 12.82 6 15
totalRealationshi 2-14 tahun 13 26.54 3.152 .874 24.63 28.44 22 32
15-27 tahun 7 30.43 2.936 1.110 27.71 33.14 27 35
Total 20 27.90 3.553 .794 26.24 29.56 22 35
totalintectualinterest 2-14 tahun 13 1.38 .650 .180 .99 1.78 1 3
15-27 tahun 7 2.86 1.069 .404 1.87 3.85 1 4
Total 20 1.90 1.071 .240 1.40 2.40 1 4
totalsatisfaction 2-14 tahun 13 9.46 .877 .243 8.93 9.99 8 11
15-27 tahun 7 9.43 1.512 .571 8.03 10.83 7 11
Total 20 9.45 1.099 .246 8.94 9.96 7 11
totalmanagement 2-14 tahun 13 4.92 1.256 .348 4.16 5.68 3 8
15-27 tahun 7 4.57 .976 .369 3.67 5.47 3 6
Total 20 4.80 1.152 .258 4.26 5.34 3 8
totalskorsocialadjustment 2-14 tahun 13 52.85 6.026 1.671 49.20 56.49 44 63
15-27 tahun 7 60.71 4.536 1.714 56.52 64.91 53 68
Total 20 55.60 6.652 1.487 52.49 58.71 44 68
100
Universitas Indonesia
G. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Cacat Fisik
Descriptives
N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for
Mean Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound
totalWandL cacat fisik 15 11.47 2.615 .675 10.02 12.91 6 15
Non cacat Fisik 5 11.80 3.271 1.463 7.74 15.86 6 14
Total 20 11.55 2.704 .605 10.28 12.82 6 15
totalRealationshi cacat fisik 15 27.20 3.189 .823 25.43 28.97 22 32
Non cacat Fisik 5 30.00 4.123 1.844 24.88 35.12 25 35
Total 20 27.90 3.553 .794 26.24 29.56 22 35
totalintectualinterest cacat fisik 15 1.47 .743 .192 1.06 1.88 1 3
Non cacat Fisik 5 3.20 .837 .374 2.16 4.24 2 4
Total 20 1.90 1.071 .240 1.40 2.40 1 4
totalsatisfaction cacat fisik 15 9.33 1.175 .303 8.68 9.98 7 11
Non cacat Fisik 5 9.80 .837 .374 8.76 10.84 9 11
Total 20 9.45 1.099 .246 8.94 9.96 7 11
totalmanagement cacat fisik 15 4.73 1.280 .330 4.02 5.44 3 8
Non cacat Fisik 5 5.00 .707 .316 4.12 5.88 4 6
Total 20 4.80 1.152 .258 4.26 5.34 3 8
totalskorsocialadjustment cacat fisik 15 54.20 5.833 1.506 50.97 57.43 44 63
Non cacat Fisik 5 59.80 7.855 3.513 50.05 69.55 47 68
Total 20 55.60 6.652 1.487 52.49 58.71 44 68
101
Universitas Indonesia
H. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Status Pernikahan
Descriptives
N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for Mean Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound
totalWandL lajang 3 13.00 1.000 .577 10.52 15.48 12 14
menikah 12 11.92 2.843 .821 10.11 13.72 6 15
janda 5 9.80 2.490 1.114 6.71 12.89 6 12
Total 20 11.55 2.704 .605 10.28 12.82 6 15
totalRealationshi lajang 3 27.33 5.508 3.180 13.65 41.01 22 33
menikah 12 28.50 3.425 .989 26.32 30.68 23 35
janda 5 26.80 3.114 1.393 22.93 30.67 24 32
Total 20 27.90 3.553 .794 26.24 29.56 22 35
totalintectualinterest lajang 3 2.33 1.155 .667 -.54 5.20 1 3
menikah 12 2.08 1.165 .336 1.34 2.82 1 4
janda 5 1.20 .447 .200 .64 1.76 1 2
Total 20 1.90 1.071 .240 1.40 2.40 1 4
totalsatisfaction lajang 3 10.00 1.000 .577 7.52 12.48 9 11
menikah 12 9.25 1.288 .372 8.43 10.07 7 11
janda 5 9.60 .548 .245 8.92 10.28 9 10
Total 20 9.45 1.099 .246 8.94 9.96 7 11
totalmanagement lajang 3 5.33 .577 .333 3.90 6.77 5 6
menikah 12 4.83 1.403 .405 3.94 5.73 3 8
janda 5 4.40 .548 .245 3.72 5.08 4 5
Total 20 4.80 1.152 .258 4.26 5.34 3 8
totalskorsocialadjustment lajang 3 58.00 5.568 3.215 44.17 71.83 52 63
menikah 12 56.58 7.342 2.119 51.92 61.25 44 68
janda 5 51.80 4.604 2.059 46.08 57.52 47 59
Total 20 55.60 6.652 1.487 52.49 58.71 44 68
102
Universitas Indonesia
103
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 4
KATEGORISASI DAN TRANSKRIP WAWANCARA
A. PARTISIPAN 1
No. Kategori Padatan Faktual
1 Identitas pria berusia 44 tahun, berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, sudah berkeluarga,
pendidikan terakhir 3 SD, divonis kusta usia 20 tahun, pekerjaan sebelum dirawat sebagai
pendulang emas, mendapatkan penghasilan sebagai pengemis, agama islam, tinggal di Sitanala
sejak tahun 1990
2 Latar Belakang sebelum
tervonis Kusta
Ia bekerja sebagai pendulang emas di Kalimantan, pergi ke Jakarta dan berobat ke Rumah Sakit
Kusta Sitanala atas saran dokter
3 Awal terkena Kusta dan
gejala kusta yang dialami
sekujur tubuhnya menjadi demam, Kadang sekujur tubuhnya kedinginan dan jari-jari tangannya
menjadi kram, tujuh tahun kemudian mulai muncul flek-flek berwarna putih di daerah muka
dan tangan, Telapak tangannya tidak lagi merasakan apapun dan menjadi baal, jari tangannya
pun menjadi melengkung, Z pernah terluka pada telapak tangannya saat bekerja namun, luka
tersebut tidak kunjung sembuh.
4 Kehidupan setelah vonis
Kusta
Bekerja sebagai supir angkot,tinggal di sebuah rumah kecil berukuran 3x 4 meter bersama istri
dan tujuh orang anak, Istrinya juga merupakan pasien kusta yang telah dinyatakan sembuh
secara medis oleh dokter, mengalami kecelakaan sehingga kakinya harus diamputasi, ia tidak
bisa lepas dari obat-obatan
104
Universitas Indonesia
Pekerjaan dan waktu luang bekerja sebagai pengemis setelah kakinya diamputasi, sebenarnya malu dan tidak mau
melakukan pekerjaan tapi terpaksa
Hubungan dengan keluarga
dan di luar keluarga pasca
vonis
Hubungan ia dengan saudara kandungnya pun terputus terutama semenjak kedua orang tuanya
meninggal, Tetangga sekitar, perlahan-lahan mulai menjauhi dan tidak mau berbicara
dengannya, Orang-orang mulai menjaga jarak dengan cara tidak mengikutkannya dalam
kegiatan masyarakat
7 Minat Intelektual Dulu tertarik sekarang tidak lagi setelah sakit kusta
8 Kepuasan terhadap peran-
peran yang dimiliki di
masyarakat
ia pun terpukul dan semakin rendah diri untuk bertemu dengan orang lain, Ia lebih banyak diam
9 Persepsi diri mengenai
kemampuan dalam mengatur
dan mengontrol lingkungan
ia merasa tidak mampu untuk membiayai anak-anaknya sehingga mencoba untuk bunuh diri,
B. PARTISIPAN 2
No. Padatan Faktual Tema Kategori
105
Universitas Indonesia
1 Kena flek pertamanya di sini, terus di tangan, berubah jadi panu, putih. Terus pake Kalpanax
ngga ilang, ngelebar.
Flek yang berubah
menjadi panu
Awal
kemunculan
gejala kusta
2 Tangan ngga berasa, langsung kemari ngga terasa. Kalo nginjek aspal atau tanah, kaki kanan
linu. Ada batu sedikit kayanya ngeganjel.
Tangan dan kaki
mulai mati rasa
Awal
kemunculan
gejala kusta
3 Ngga sakit, cuma linu ke tulang. Sampe kena tusuk tulang ikan, terus dikerik pake peniti.
Setelah itu, makin lama makin besar.
Nyeri tulang dan
luka membesar
Awal
kemunculan
gejala kusta
4 Makin membesar, makin membesar, jempolnya tahu-tahu kelepas, dialasin terus kakinya. Luka membesar dan
jari terlepas
Awal
kemunculan
gejala kusta
5 Pulang dari merantau, tahun ’78 ya, kembali ke Jakarta, ke Rumah Sakit Cipto. Waktu itu ngga
ada reaksi apa-apa, berobat terus jalan tiap minggu.
Berobat ke rumah
sakit
Pengobatan
yang dilakukan
terhadap gejala
kusta
6 Di Cipto dibilang kena sakit kulit biasa. Diagnosis sakit kulit
biasa
Diagnosis oleh
dokter
7 Tangan yang sebelah begini nih yang kiri. Lama-lama pada kiting, yang ini sembuh, ini kiting.
Yang di sini sembuh, pindah ke kanan.
Tangan berubah
menjadi “keriting”
Perubahan
bentuk fisik
8 Jenisnya T. Jadi kenanya tu di bagian tulang. Kusta jenis T, bagian Jenis kusta
106
Universitas Indonesia
tulang yang diderita
9 Kalo saya sih MSG, bentuknya cairan bening. Pake tapi udah stop. Terakhir pake DDS, tahun
’88.
Menggunakan MSG
dan DDS untuk
mengobati kusta
Jenis obat yang
digunakan
10 Operasi iya, tapi ngga ada reaksi apa-apa. Sampe tiga kali operasi, makanya ni tangan normal,
tapi agak lemah.
Tiga kali operasi
tangan
Usaha
perbaikan
bentuk fisik
yang berubah
11 Dulu operasi tapi gagal soalnya yang ngoperasi bukan dokter. Tahun ’95. Gagal operasi karena
bukan oleh dokter
Usaha
perbaikan
bentuk fisik
yang berubah
12 Rasanya ngga ada, cuman kalo ada yang panas-panas dihindari. Karena kan ngga berasa, ntar
tahu-tahu melembung aja, melepuh. Soalnya kalo kulit kaya gini, keringnya bisa tahunan.
Apalagi kalo kaki sering dipake jalan, bisa tahunan. Tapi udah 25 tahun ini ngga kambuh-
kambuh.
Menghindari sesuatu
yang panas
Kendala yang
dihadapi
13 Kalo jalan kaki ngga kuat, paling merangkak. Kalo kuat mah jalan, tapi sambil nahan sakit-
sakit.
Tidak kuat jalan
kaki. Merangkak.
Cara
bermobilisasi
14 Kalo buat nginjek nih, biarpun pake sandal, sakit ini. Pokoknya ngga tahan rasa sakitnya. Kalo
ada luka, kaki ngga bisa dipake.
Kaki sakit buat
nginjek
Anggota fisik
yang sakit
15 Ngga merasa minder. belum tahu. Dari dokter Cipto itu ngga pernah ngasih tahu ini kena sakit Tinggal bersama Perasaan
107
Universitas Indonesia
kusta. Sampe dulu tinggal di Kreo, tinggal di lingkungan orang-orang normal semua, cuma
ngga merasa minder.
orang normal dan
tidak pernah minder
sebagai
penderita kusta
16 Kadang-kadang orang nyari tanah sama saya, nyari motor sama saya. Ngga merasa minder,
biarpun kaki udah agak bau udah kena tulang gitu. Kan kalo kena tulang agak bau. Orang-orang
sana juga uda pada tau, orang-orang Pondok Aren. RT, RW-nya pada ke rumah saya.
Tetap bekerja, tidak
merasa minder.
Perasaan
sebagai
penderita kusta
17 Punya rumahlah. Ini kan rumah pemerintah. Pokoknya selama masih ada umur, kita tinggal.
Tapi kalo anak udah ngga ada orang tua, kan ini untuk orang sakit. Jadi ngga bisa tinggal di sini
lagi.
Ingin punya rumah.
Masih tinggal di
rumah pemerintah.
Harapan yang
ingin dicapai
18 Insya Allah kalo Tuhan mengizinkan (punya rumah, red.). Insya Allah begitu. Insya Allah bisa
mendapatkan rumah.
Tingkat
keyakinan
dalam
mencapai
harapan
19 Ngga pernah. Meskipun anak banyak, ngapain dipikirin, ada kita makan, ngga ada ya udah.
Makan nasi sama garem cukup. Ngapain dibuat pikiran. Apa adanya aja. Anak mau sekolah,
kalo ada kasih, kalo ngga ada ya jalan aja.
Anak banyak tidak
jadi masalah
Stres yang
dirasakan
20 Kekuatan paling di tipi doang. Servis tipi bisa. Kalo kata orang dulu, kalo sama otak-otak orang
sekaranga, kalo dulu mah biar SR, otaknya mateng, cuma SR kelas 3.
Bisa servis TV.
Cuma sampe kelas 3
SR.
Kelebihan
yang dimiliki
21 Cuma SR kelas 3 karena sakit. Pas sakit, orang tua yang laki meninggal, ngga mampu lagi. Jadi
pas umur segitu udah merantau ke mana-mana. Jadi kalo ada orang lagi ngerjain apa, itu saya
perhatiin.
Berhenti saat kelas 3
SR. Merantau ke
mana-mana
Alasan
berhenti
sekolah
108
Universitas Indonesia
22 Bisa ngerakit kawat tembaga, itu otak saya masuk. Bisa merakit kawat
tembaga
Kelebihan/keah
lian yang
dimiliki
23 Ngga. Biasa aja. Kecuali kalo udah kena tulang, agak bau. Biasanya operasi dulu. Mau ketemu
orang agak ngerasa ngga enak. Waktu dulu di Kreo, orang-orang biasa aja.
Merasa ngga enak
kalau sudah kena
tulang.
Perasaan
penderita kusta
24 Cuma namanya sodara, kalo deket bau tai kalo jauh bau kembang, makanya pindah kemari.
Kalo kita agak lama ngga nengok sodara, kayanya harum, kangen gitu. Kalo deket malah
berantem mulu.
Kalo jauh dari
sodara jadi kangen.
Alasan pindah
jauh dari
kerabat
25 Ya paling semalem benerin hape sampe malem. Itu (Karang Taruna, red.) ada, tapi kan anak-
anak muda kaya anak-anak saya gitu.
Ngga ikut Karang
Taruna, anak-anak
saja. Benerin hape
sampe malem.
Kegiatan yang
dilakukan di
lingkungan
tempat tinggal
26 Ngga. Pokoknya di lingkungan ini, anak-anaknya orang sakit, mereka yang turun. Yang sakit-
sakit mah ngga.
Orang sakit ngga
turun, cuma anak-
anaknya.
Yang
mengikuti
kegiatan di
lingkungan
tempat tinggal
27 Permata ada dulu, tapi sekarang bubar lagi. Panitianya kacau, ngga bisa dipegang omongannya.
Ngga ada di sini. Masalahnya udah susah dipercaya, udah banyak ngebohongin soalnya.
Permata sudah
bubar, panitianya
kacau.
Organisasi
yang diikuti
28 asalnya dulu tinggal di Kreo. tinggalnya dulu di Kreo, tapi kalo lahir di Tanjung Priuk. Nah Dulu tinggal di Domisili
109
Universitas Indonesia
orang tua punya bagian di Kreo, Kreo Ciledug. Pas tinggal di situ udah sakit. Pas di Tanjung
Priuk ngga minder, di Kreo juga ngga minder.
Kreo. Lahir di
Tanjung Priuk.
sebelumnya
29 Betawi. Kalo bapak orang Banten, ibu orang Betawi. Di sini baru lima tahun. Orang Betawi, bapak
orang Banten, ibu
orang Betawi.
Suku bangsa
30 Nikah tahun…90-an. (ketemu istri, red.) Di rumah sakit, di bangsal. Nikah tahun ’90-an.
Ketemu istri di
bangsal.
Pernikahan
31 Dulu di bangsal rame. Pasiennya kurang lebih sampe 500. Kalo sekarang paling bisa diitung, di
bangsal paling ada 5 orang, 1 orang. Karena sebagiannya kan udah berobat jalan.
Dulu pasien di
bangsal sampe 500,
sekarang 1 atau 5
orang.
Berkurangnya
jumlah pasien
di bangsal
32 Yang udah RSP itu artinya udah minum obat, jadi udah sembuh total. Tapi kalo penyakit cacat
itu ngga bisa disembuhkan. Itu udah ngga minum obat sama sekali, kalo cacat ya masih cacat.
Meskipun udah
minum obat, kalo
cacat tetep cacat.
Pengobatan
terhadap
penderita kusta
33 Ini umur anak saya yang pertama 19 tahun. (kawin sama istri, red.) Kalo ngga salah 35…karena
kan dua kali kawin. Kawin yang pertama, dulu masih normal. Kalo dulu masih dagang minyak
tanah, dagang minyak tanah keliling. Kalo saya pulang itu, gimana ya? Takut bau. Jadi ngerasa
ngga enak sendiri, sama istri, sama mertua.
Umur anak pertama
19 tahun. Kawin
dengan istri 35
tahun.
Usia anak dan
saat menikah
dengan istri
34 Wiraswasta. Pokoknya orang butuh apa, nyuruh apa, misalnya benerin listrik, dipanggil, ya
saya betulin. Pokoknya apa aja yang saya bisa.
Wiraswasta Profesi saat ini
110
Universitas Indonesia
35 (jumlah tanggungan, red.) 6 orang, belum sama istri. Tanggungan 6 orang,
belum sama istri.
Jumlah orang
yang
ditanggung
36 Kalo normal mah ngga begitu suka tapi dengan keadaan yang begini sedeng-sedeng aja. Ya
yang bisa aja saya kerjain.
Kalo normal ngga
begitu suka
pekerjaan sekarang.
Perasaan
terhadap
pekerjaan
37 Waktu kosong kayanya jarang sih. Ngga bisa diem orangnya, apa aja juga saya kerjain. Ini saya
betulin ah, biar jadi duit, gimana caranya buat nyenengin anak.
Jarang ada waktu
kosong, apa aja
dikerjain.
Kegiatan di
waktu kosong
38 Nonton tv aja. Baik. Nonton tv. Kualitas
baik.
Kegiatan di
waktu kosong
39 Ngga (minum DDS, red.). Kan Bapak kan punya luka, jadi saya aja yang berobat, ntar obatnya
buat dia.
Istri yang berobat,
obatnya untuk
Bapak.
Pengobatan
yang dilakukan
40 Ya sering (ngobrol sama anak, red.), kan kaya temen aja gitu. Baik. Sering ngobrol sama
anak, kaya temen.
Komunikasi
dengan
keluarga
41 Ya banyak. Karena saya kan nih lagi di rumah ya, kalo saya di Depok, bergaul sama anak
pemulung-pemulung, pada ngerokok, jadi satu. Malah sebaliknya, malah maranin saya.
Banyak teman.
Bergaul sama
pemulung, banyak
yang maranin.
Pertemanan
dengan orang
lain
111
Universitas Indonesia
42 Ya saya mah ngga minder. Aktif. Pada ngobrol sama saya, kadang-kadang ke kamar saya juga. Ngga minder, aktif
ngobrol.
Keaktifan
berkomunikasi
dengan orang
lain
43 Baik. Satu lagi nih, saya temenan sama orang Padang, akrab bener. Makan minum sama-sama
kok. Ngga berasa minder. Biasa aja gitu. Kayanya, emang ada yang akrab sekali sama saya.
Gimana, waktu di Depok aja pas saya kontak, satu kamar berdua. Padahal dia orang normal,
saya ini orang sakit. Jadi dia ngga ngerasa takut, saya pun ngga ngerasa minder.
Temenan sama
orang Padang, akrab
bener. Temen ngga
takut, jadi ngga
minder.
Pertemanan
dengan orang
lain
44 Kalo orang sini mah banyak yang sering nyari. Titip Pak C, betulin motor, tolongin ini nih.
Kalo di Kreo, kita hampir setiap hari, kadang minta cari motor. Kadang bertamu cari inilah
inilah sama saya. Orang minta cariin tanah, cariin rumah. Kan buat uang sampingan lumayan.
Banyak yang sering
nyari untuk minta
tolong.
Hubungan
dengan orang
lain.
45 Ya ngga. Kadang-kadang ya, RT sana tu udah Pak C ngga usah. Tapi kalo di tempat lain, tetep
harus dilaksanain. Kan karena begini ya, kerja juga semampu saya kan, ngga bisa dipaksain. Ya
kadang-kadang tu RT RW sana mandang saya tu, dikiranya ngga bisa kerja. Kadang ditolak
gitu. Ya kadang malu juga.
Kadang ngga ikut
melaksanakan aturan
karena dikira ngga
bisa kerja, kadang
ditolak.
Kepatuhan
terhadap
peraturan
46 Ngga, ngga ikut. Tapi kalo kerja bakti mah ikut. Kalo arisan gitu-gitu ngga, udah ngga bisa
dipercaya soalnya.
Ngga ikut arisan,
cuma kerja bakti.
Udah ngga percaya
soalnya.
Organisasi
yang diikuti
47 Oh sering, banyak mengatasi gini-gini. Kadang-kadang berhasil. Intinya, sebagai Sering jadi Peran dalam
112
Universitas Indonesia
penengahnyalah begitu. penengah. masyarakat.
48 Lumayan suka saya (keteknikan, red.). Lumayan suka
keteknikan
Minat terhadap
bidang tertentu
49 Tidak pernah. Ya ngomong aja, pokoknya saya mah sama orang tu apa adanya. Jangan sampe
saya jelekin dia.
Ngomong aja sama
orangnya, jangan
sampai jelekin.
Komunikasi
dengan orang
lain
50 Ngga pernah (ditolak/dikucilkan, red.). Ngga pernah ditolak
atau dikucilkan.
Penerimaan
masyarakat
51 Ngga terlalu penting (penampilan fisik, red.). Penampilan fisik
ngga terlalu penting
Pentingnya
penampilan
fisik
52 Ya kadang-kadang. Tapi kalo sampe susah bener tu ngga pernah, pasti ada aja kalo buat jajan. Kadang-kadang,
ngga pernah sampe
susah bener.
Pengelolaan
sumber daya
dan pendapatan
53 Lumayan bisa. Kan anak saya di sini ngerti semua. Anak yang laki “Pak, beliin vespa Pak.
Nanti kalo saya udah kerja beli sendiri.”
Lumayan bisa
mengatur
lingkungan.
Keyakinan
dalam
mengatur
lingkungan
54 Waktu pulang ke Jakarta, ke RS Cipto, ngga dibilangin sakit kusta, sakit kulit aja. Terus uang
udah abis untuk berobat, ada yang bilangin, ke puskesmas. Sampe puskesmas baru sedih, ya
Allah, kenapa baru dibilangin sakit kusta? Terus katanya, kalo dikasih tahu, takutnya jadi
Di RS Cipto ngga
dibilang kusta. Baru
tahu kena kusta di
Diagnosis
kusta
113
Universitas Indonesia
minder atau takut bunuh diri. Justru emang banyak disembunyiin, takut diusir dari keluarga. puskesmas.
55 Iya penting. Jadinya ngga buang-buang duit percuma. Udah nebus obat, penyakit ngga sembuh-
sembuh, malah nambah terus.
Penting dikasih tau
kena kusta.
Diagnosis
kusta
56 Usia 17. Dulu waktu di Larangan, dagang minyak tanah, kaki udah luka, tapi tangan masih
normal. Kalo dorong gerobak meleset, dalam sebulan bisa tiga kali gerobak jatoh karena udah
ngga kuat lagi. Waktu di puskesmas, disuruh jepit kertas. Saya tahan kertas itu tapi ngga sobek.
Kalo normal kan sobek, ditarik, jepitannya kuat, saya ngga. Disuruh kuatin kuatin, ditarik, tetep
aja. Jepitannya udah lemah.
Baru tau kusta pas
usia 17 tahun.
Usia saat
didiagnosis
kusta
57 Pertama kali belum ngerti. Pas pulang ke Jakarta, baru tahu, waktu di Cipto kan ngga
dibilangin. Waktu di Cipto itu, tetep pake sepatu bisa, cuma lecetnya ngga berasa. Abis itu,
yang dijual udah ngga ada, sabar ya Pak C. Tapi hubungan saya sama masyarakat situ tetep
intim.
Pertama kali belum
ngerti kusta.
Hubungan dengan
masyarakat tetep
intim.
Reaksi diri dan
masyarakat
saat
didiagnosis
kusta
58 DDS, Amoxilyn, antibiotik, itu aja kayanya. Pengobatan lukanya kadang pake Bioplacenton,
tapi agak lama sembuhnya. Yang cepet pake MSG, buat pertumbuhan kulit. Caranya dicelupin,
terus tempel. Tapi ngga boleh dibuat jalan, kalo dibuat jalan, tambah besar luka itu. Makanya
kalo pake MSG total istirahat, tumbuh daging.
DDS, Amoxilyn
(antibiotik), MSG,
Bioplacenton.
Jenis obat yang
digunakan
59 Gratis, kan pake Jamkesmas. Gratis karena pake
Jamkesmas
Biaya
pengobatan
60 Ya biasa aja, ngga apa-apa. Malah diurusin sama sodara-sodara. Lukanya diobatin. Dari
keluarga, yang kena cuma saya. Saya juga nanya sama Dr. Handoko, kenapa bisa kena sodara-
sodara ngga kena. Terus kata dia, waktu ibu hamil, kurang sayur-sayuran. Coba kalo ibu kamu
Sodara biasa aja,
malah ngurusin.
Orang tua kurang
Reaksi
keluarga
terhadap
114
Universitas Indonesia
makan sayur-sayuran, kamu ngga bakal kena. Terus orang tua kamu juga kurang gizi pas
ngelahirin.
gizi. diagnosis
kusta.
Kemungkinan
penyebab
kusta.
61 Tipe kering, kalo basah tu gemuk, kaya orang keringetan. Itu menular. Dokter juga ngga mau
nyentuh, Dr. Handoko ngomong. Tapi ngga langsung kena, ngga. Itu bertahun-tahun kenanya.
Tapi saya juga nih, kalo lagi reaksi, panas-dingin, biar kata dokter ngga nular, saya tetep jauhin
anak-anak.
Tipe kusta kering.
Tetep jauhin anak
kalo lagi reaksi.
Tipe kusta
yang diderita
62 Biasa aja, ngga menjauhi saya. Malah pada duduk sama saya rame-rame, barengan sama saya.
Malah seneng sama saya.
Ngga menjauhi,
malah barengan.
Reaksi teman
terhadap
diagnosis kusta
63 Dianter, diopnam di sini tahun ’84, terus tahun ’98 keluar. Di bangsal 4, di situ aja ngga ke
mana-mana. Berobat jalan lagi, sebulan di rumah, cek lagi. Pas kaki putus, ya Allah, sakit apa
ini? Dikasih cobaan, kuat ngga nih ngadepinnya? Biarpun begini, ngga nyusahin orang.
Diopname mulai
tahun ’84 sampai
’98.
Masa
pengobatan
kusta
64 Tahu, tapi biasa aja. Malah temen-temennya juga ngga takut main ke sini. Teman-teman ngga
takut main.
Reaksi teman-
teman terhadap
diagnosis
kusta.
65 Biasa aja, ngga minder, ngga berasa takut. Dulu sempet ngojek, 5 tahun kalo ngga salah.
Langganan kebanyakan orang Padang.
Ngga minder.
Sempet ngojek.
Perasaan
setelah
didiagnosis
115
Universitas Indonesia
kusta.
116
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 5
TRANSKRIP WAWANCARA
Iter: dari umur berapa pak? Sembilan taun udah mulai ada flek-flek gitu ya?
Itee: saya kena flek pertamanya di sini…
Iter: dengkul dulu
Itee: iya, terus di tangan, berubah jadi panu
Iter: putih ya pak dia warna fleknya? Putih, bukan warna merah?
Itee: putih. Terus pake Kalpanax ngga ilang, ngelebar. Kan tangan ngga berasa.
Iter: oh gitu..
Itee: langsung kemari tu ngga terasa. Kalo saya nginjek aspal atau tanah gitu ya, kaki kanan tu linu. Linu dah, ngga bisa dah pokoknya. Ada batu
sedikit aja kayanya ngeganjel.
Iter: oh berasa keganjel aja ya, tapi ngga sakit ngga apa ya?
Itee: ngga sakit, cuma linu ke tulang. Nah itu sampe kena tusuk tulang ikan, terus dikerik pake peniti. Setelah itu, kok makin lama makin besar?
Iter: lukanya?
Itee: he-eh. Makin membesar, makin membesar, jempolnya tahu-tahu kelepas.
Iter: ooh, tahu-tahu kelepas sendiri gitu pak?
Itee: iya, dialasin terus kakinya.
117
Universitas Indonesia
Iter: oh dialasin terus. Terus Bapak belom ke dokter sama sekali?
Itee: belom, belom. Nah pas pulang dari merantau itu, tahun ’78 ya, saya kembali kemari, ke Jakarta, ke rumah sakit Cipto. Waktu itu ngga ada
reaksi apa-apa, berobat terus jalan tiap minggu.
Iter: dia ngga bilang apa-apa?
Itee: ngga. Udah gitu saya di Cipto…udah abis tanah dijualin, sembuh juga ngga. Terus orang tua juga udah capek kali ya ngebiayain, sampe
almarhum ngurusin saya. Di Cipto saya cuman dibilang kena sakit kulit biasa.
Iter: Oh dibilang kena sakit kulit..
Itee: Iya, tangan saya yang sebelah begini nih yang kiri. Lama-lama kan pada kiting ya, nah yang ini sembuh, ini kiting. Yang di sini sembuh,
pindah ke kanan.
Iter: oh gitu ya pak. Bapak tahu ngga kena kusta jenis apa?
Itee: Jenisnya? T. Jadi kenanya tu di bagian tulang.
Iter: oh di bagian tulang ya pak. Kalo obatnya yang dipake apa aja tuh pak?
Itee: oh kalo saya sih MSG, bentuknya cairan bening.
Iter: kalo DDS Bapak pake ngga?
Itee: pake tapi udah stop.
Iter: oh udah stop ya pak? Kapan tuh pak terakhir pake?
Itee: terakhir pake DDS…tahun ’88.
Iter: tahun ’88 ya pak? Terus pak, ada usaha perbaikan ngga pak terhadap ketunaan…operasi gitu pak?
118
Universitas Indonesia
Itee: operasi iya, tapi ngga ada reaksi apa-apa.
Iter: tapi Bapak sempet operasi?
Itee: sempet. Sampe tiga kali saya operasi, kan makanya ni tangan normal. Ini saya tangan normal tapi agak lemah. Dulu operasi tapi gagal
soalnya yang ngoperasi bukan dokter.
Iter: tahun berapa tuh pak?
Itee: tahun ’95.
Iter: nah itu akibat tangan dan kaki Bapak seperti ini, ada kendala ngga tuh pak dalam melakukan kegiatan sehari-hari?
Itee: rasanya sih ngga ada. Cuman kalo ada yang panas-panas, saya hindari. Karena kan ngga berasa, ntar tahu-tahu melembung aja, melepuh.
Soalnya kalo kulit kaya gini, keringnya bisa tahunan. Apalagi kalo kaki sering dipake jalan, bisa tahunan. Tapi udah 25 tahun ini ngga kambuh-
kambuh.
Iter: jadi kendalanya masih yang panas-panas aja ya pak?
Itee: iya. Itu saya hindarin tuh.
Iter: kalo Bapak mobilitas naik apa pak biasanya kalo pergi-pergi? Jalan kaki bisa pak?
Itee: kalo jalan kaki mah ngga kuat saya.
Iter: jadi biasanya gimana pak? Kalo pindah ke tempat tidur atau apa gitu gimana?
Itee: ya paling saya merangkak gitu.
Iter: oh merangkak ya pak mobilitasnya.
Itee: kalo saya kuat mah jalan, tapi sambil nahan sakit-sakit.
119
Universitas Indonesia
Iter: lemes apa sakit pak?
Itee: sakit! Kalo buat nginjek nih, biarpun pake sandal, sakit ini.
Iter: sakit ya? Oh gitu..sakitnya ngilu-ngilu kaya yang tadi Bapak bilang?
Itee: iya. Pokoknya ngga tahan dah rasa sakitnya. Kalo ada luka kaki saya ngga bisa dipake.
Iter: ya ampun…pak mau tanya deh pak waktu Bapak kena, dikatakan oh Bapak kena kusta gitu ya, perasaan Bapak gimana pak?
Itee: ya itu sih saya ngga merasa minder.
Iter: ngga merasa minder ya pak? Karena belum tahu atau gimana kali ya pak?
Itee: belum tahu. Dari dokter Cipto itu ngga pernah ngasih tahu ini saya kena sakit kusta. Sampe saya…kan dulu saya tinggal di Kreo, saya kan
tinggal di lingkungan orang-orang normal semua ya, cuma saya tu ngga merasa minder.
Iter: biasa aja ya pak ya?
Itee: iya. Cuman dari mana-mana tu ya, ini saya ngga tau ya dipanggil makelar apa bukan ya, kadang-kadang orang nyari tanah sama saya, nyari
motor sama saya. Saya ngga merasa minder, biarpun kaki saya udah agak bau udah kena tulang gitu. Kan kalo kena tulang agak bau. Orang-
orang sana juga uda pada tau, orang-orang Pondok Aren. RT, RW-nya pada ke rumah saya.
Iter: jadi santai aja Bapak ya? Terus pak, ada ngga nih hal yang pengen Bapak capai?
Itee: heh? Cita-cita yang ingin dicapai?
Iter: iya, cita-cita Bapak apa tuh pak?
Itee: punya rumahlah.
Iter: oh punya rumah? Lah ini rumah pak?
120
Universitas Indonesia
Itee: ini kan rumah pemerintah.
Iter: oh rumah pemerintah…jadi apa pak? Sewa apa gimana pak?
Itee: yaaa sewa…pokoknya selama masih ada umur nih, ya kita tinggal. Tapi kalo anak saya udah ngga ada orang tua, saya udah ngga ada umur,
istri saya udah ngga ada umur? Kan ini untuk orang sakit.
Iter: hmmm, jadi harus keluar gitu ya anak-anak?
Itee: iya. Jadi kan ngga bisa tinggal di sini lagi.
Iter: oh gitu ya pak. Yakin ngga Bapak bisa mendapatkan rumah
Itee: Insya Allah kalo Tuhan mengizinkan.
Iter: oh gitu ya pak. Kalo dari 1 sampai 10, berapa keyakinan Bapak?
Itee: apanya nih?
Iter: kira-kira, dari 1 sampai 10 nih, kira-kira keyakinan saya…10. Saya mampu nih.
Itee: ya Insya Allah saya begitu.
Iter: Insya Allah ya pak ya, yakin mampulah ya kira-kira pak ya. Bapak tahu stress ngga pak?
Itee: belum pernah.
Iter: belum pernah ya? Tapi Bapak tau stress, ada orang ngomong stress?
Itee: tahu sih.
Iter: kira-kira…
121
Universitas Indonesia
Itee: tapi saya kayanya ngga terlalu terpengaruh sih sama yang kaya gitu-gitu.
Iter: gitu ya pak? Ngga pernah stress Bapak?
Itee: ngga pernah. Saya nih meskipun anak saya banyak nih, orang-orang pada bilang “Tra, lu anak lu banyak kayanya santai aja?”. Ya ngapain
dipikirin, ada kita makan, ngga ada ya udah. Makan nasi sama garem cukup. Ngapain dibuat pikiran, kata saya gitu. Tapi kalo ngga ada mau
ngapain kita paksa-paksain kan? Yang ada kita jual, lama-lama juga abis kan? Ya saya mah gitu aja orangnya. Saya ngga terbiasa jadi mikirin…
Iter: santai aja ya pak? Jalanin aja lah ya pak?
Itee: iya, apa adanya aja kalo saya mah. Anak mau sekolah, kalo ada saya kasih, kalo ngga ada ya jalan.
Iter: terus dengan keadaan Bapak yang seperti ini, menurut Bapak, kelebihan apa pak? Ya kan dengan kondisi Bapak seperti ini, tapi Bapak
punya keyakinan, kekuatan Bapak tu apa sih pak kalo orang tanya?
Itee: kekuatan saya? Ya kalo saya…gimana ya? Ya paling di tipi doang saya.
Iter: di tipi? Itu maksudnya gimana pak?
Itee: servis tipi bisa.
Iter: servis segala macem, teknik jago ya pak? Belajar di mana pak?
Itee: saya? Ya mungkin saya…itulah kan kalo kata orang dulu, kalo sama otak-otak orang sekarang ya, kalo dulu mah biar SR, otaknya mateng.
Makanya saya bilang kan saya Cuma SR kelas 3.
Iter: SR kelas 3 ya pak? Berhenti sekolah karena apa pak dulu?
Itee: karena sakit. Nah terus pas saya sakit kan, orang tua saya yang laki meninggal, itu ngga mampu lagi saya. Jadi kan tu pas umur segitu udah
merantau ke mana-mana. Jadi kalo ada orang lagi ngerjain apa, itu saya perhatiin.
122
Universitas Indonesia
Iter: jadi otodidak ya pak? Belajar langsung dari orangnya.
Itee: iya. Saya bisa ngerakit kawat tembaga, itu otak saya masuk.
Iter: gitu ya pak? Pak, Bapak jadi minder ngga sih dengan keadaan Bapak yang seperti ini?
Itee: ngga. Biasa aja saya. Ya kecuali kalo udah kena tulang, kan agak bau tuh ya. Ya saya biasanya operasi dulu. Mau ketemu orang agak
ngerasa ngga enak.
Iter: operasi dulu gitu ya pak? Pak, kalo sikap lingkungan ya, lingkungan tu, artinya kan masyarakat ya…
Itee: waktu dulu di Kreo ya, ya orang-orang mah biasa aja.
Iter: biasa aja ya pak? Ngga ada masalah gitu?
Itee: ngga.
Iter: kira-kira kenapa ya pak mereka ngga ada masalah gitu?
Itee: ya cuman saya begimana ya? Namanya kita deket sodara ya, kalo deket bau tai kalo jauh bau kembang. Ya kan anak-anak saya tahu sendiri,
makanya saya pindah kemari. Kan kalo kita agak lama ngga nengok sodara, kan kayanya harum, kangen gitu. Kalo deket malah berantem mulu.
Iter: oh gitu ya pak. Pak, Bapak kegiatan yang dilakukan di lingkungan apa aja pak biasanya?
Itee: ya saya mah ini ajalah.
Iter: oh di rumah aja ya pak?
Itee: ya paling saya semalem benerin hape sampe malem.
Iter: oh gitu, kalo kerja bakti gitu ada ngga sih? Karang taruna atau 17-an Agustus gitu?
123
Universitas Indonesia
Itee: ada. Itu ada, tapi kan itu anak-anak muda yang…kaya anak-anak saya gitu.
Iter: tapi Bapak ngga ikutan?
Itee: ngga. Pokoknya di lingkungan ini, anak-anaknya orang sakit, mereka yang turun. Yang sakit-sakit mah ngga.
Iter: oh gitu. Bapak tergabung dalam organisasi atau komunitas ngga? Misalnya, apa…mmm tergabung dalam organisasi kusta, Permata, kan ada
tuh pak?
Itee: Permata ada dulu, tapi sekarang bubar lagi. Panitianya kacau, ngga bisa dipegang omongannya.
Iter: oh gitu ya pak. Jadi, sekarang udah ngga ikut organisasi apa-apa ya pak?
Itee: ngga ada di sini. Masalahnya udah susah dipercaya, udah banyak ngebohongin soalnya.
Iter: pak, dulu kalo asalnya dari daerah mana?
Itee: asalnya dulu kan saya tinggal di Kreo.
Iter: oh asalnya Kreo, berarti emang dari Jakarta ya pak?
Itee: tinggalnya dulu di Kreo, tapi kalo lahir mah di Tanjung Priuk. Nah orang tua punya bagian di Kreo, Kreo Ciledug situ tuh. Tapi saya pas
tinggal di situ udah sakit. Pas di Tanjung Priuk saya ngga minder, di Kreo juga saya ngga minder.
Iter: oh ngga minder juga ya pak di situ, terus Bapak sukunya apa pak? Betawi kalo ya pak?
Itee: saya? Betawi. Kalo bapak orang Banten, ibu orang Betawi.
Iter: terus tinggal di sini udah berapa lama pak?
Itee: di sini saya baru lima tahun.
124
Universitas Indonesia
Iter: baru lima tahun ya pak? Nikah umur berapa pak?
Itee: saya nikah tahun…90-an.
Iter: tahun ’90 ya? Ketemu sama Ibu Mut di mana pak?
Itee: di rumah sakit, di bangsal. Biasalah…
Iter: oh di bangsal, saya belum pernah ke bangsal tuh pak.
Itee: dulu mah di bangsal rame. Pasiennya tu kurang lebih sampe 500. Kalo sekarang mah paling bisa diitung, di bangsal paling ada 5 orang, 1
orang. Karena apa ya? Sebagiannya kan udah berobat jalan. Yang udah RSP itu…
Iter: RSP tu apa pak?
Itee: RSP tu artinya udah minum obat, jadi udah sembuh total. Tapi kalo penyakit cacat itu ngga bisa disembuhkan. Itu udah ngga minum obat
sama sekali, kalo cacat ya masih cacat.
Iter: akibat dari itu ya pak? Pak, usia anak berapa pak?
Itee: ini umur anak saya yang pertama 19 tahun.
Iter: waktu nikah umur berapa pak?
Itee: kalo ngga salah 35…karena saya kan dua kali kawin.
Iter: oh dua kali kawin?
Itee: iya, saya kawin yang pertama, saya dulu saya masih normal. Kalo saya dulu kan masih dagang minyak tanah, dagang minyak tanah
keliling. Kalo saya pulang itu, aduh gimana ya? Saya tu takut…takut bau. Jadi saya ngerasa ngga enak sendiri, sama istri, sama mertua.
Iter: tapi ngga punya anak pak?
125
Universitas Indonesia
Itee: punya, satu.
Iter: sekarang di mana pak?
Itee: sekarang sama ibunya.
Iter: terus pak, pekerjaan Bapak apa pak? Kalo Bapak ditanya orang gitu, Bapak jawabnya apa?
Itee: wiraswasta.
Iter: oh wiraswasta ya pak?
Itee: ya pokoknya orang butuh apa, nyuruh apa, misalnya benerin listrik, dipanggil, ya saya betulin. Pokoknya apa aja yang saya bisa.
Iter: pak, berapa orang jumlah orang yang Bapak tanggung? Yang Bapak biayai, berapa orang?
Itee: 6 orang.
Iter: 6 orang? Istri termasuk ya pak?
Itee: belum.
Iter: oh 7 ya berarti pak? Ini alamatnya lorong 7 berapa sih pak?
Itee: lorong 8 ini..
(isi kuesioner)
Iter: Bapak suka ngga dengan pekerjaan Bapak sekarang?
126
Universitas Indonesia
Itee: kalo saya normal mah ngga begitu suka tapi dengan keadaan saya yang begini yaa sedeng-sedeng aja deh. Ya yang bisa aja saya kerjain.
Iter: bapak punya hobi ngga pak? Suka ngga ngelakuin hobi Bapak?
Itee: ya suka sih.
Iter: Bapak punya waktu kosong?
Itee: waktu kosong saya kayanya jarang sih. Saya tu ngga bisa diem orangnya, apa aja juga saya kerjain. Ini saya betulin ah, biar jadi duit,
gimana caranya buat nyenengin anak.
Iter: tapi waktu Bapak ngga ada kerjaan, menurut Bapak, kualitas waktu Bapak, Bapak ngapain aja kalo waktu kosong biasanya?
Itee: nonton tv aja.
Iter. Nonton tv aja? Menurut Bapak, itu kualitasnya gimana pak? Baik, sangat baik, baik, agak baik, atau ngga memuaskan?
Itee: baik.
Iter: Bapak masih minum DDS?
Itee 2 (istri): ngga. Kan Bapak kan punya luka, jadi saya aja yang berobat, ntar obatnya buat dia.
Iter: Bapak sering ngajak ngobrol anak-anak Bapak ngga?
Itee: ya sering, kan kaya temen aja gitu.
Iter: kalo keadaan hubungan ya pak, antara Bapak sama istri, sama anak-anak, itu gimana menurut Bapak? Sangat baikkah, baik, atau lumayan?
127
Universitas Indonesia
Itee: baik.
Iter: di luar keluarga ini ya, Bapak tu punya teman banyak orangkah, beberapa orang, atau hanya sedikit orang?
Itee: ya banyak. Karena saya kan nih lagi di rumah ya, kalo saya di Depok, bergaul sama anak pemulung-pemulung, pada ngerokok, jadi satu.
Iter: kalo Bapak sendiri suka ngga mencoba membuat pertemanan dengan orang lain? Jadi artinya Bapak aktif duluan ngga untuk ngajakin
kenalan orang?
Itee: malah sebaliknya, anu…dia malah maranin saya.
Iter: oh jadi dia ke Bapak ya. Tapi kalo Bapak sendiri gimana?
Itee: ya saya mah ngga minder. Aktif. Pada ngobrol sama saya, kadang-kadang ke kamar saya juga. Keadaan saya begini nih udah ngga apa-apa
Pak C, tenang aja. Kita ngerokok, saya sediain rokoknya, diisep sama dia. Kenapa jadi takut? Dia tau kan ya karena saya begini kan ya, sayanya
luka begini, saya nanya “Nih lu isep nih. Mau ngga? Takut ngga?”. “Ngapain takut? Orang Pak C aja sehat-sehat aja kok. Masa takut nular saya,
ya ngga.”
Iter: kalo Bapak menilai hubungan pertemanan Bapak dengan orang lain itu bagaimana pak? Sangat baikkah, baik, atau…
Itee: baik. Satu lagi nih, saya temenan sama orang Padang, akrab bener. Makan minum sama-sama kok. Saya ngga berasa minder.
Iter: seberapa penting sih pak pertemanan Bapak dengan orang lain, menurut Bapak?
Itee: ya saya biasa aja gitu. Kayanya, emang ada yang akrab sekali sama saya. Gimana, waktu di Depok aja pas saya kontak, satu kamar berdua
sama saya. Padahal dia orang normal, saya ini orang sakit. Jadi dia ngga ngerasa takut, saya pun ngga ngerasa minder.
Iter: orang sering nyari Bapak ya berarti? Apa jarang aja?
Itee: ya kalo orang sini mah banyak yang sering nyari. Titip Pak C, betulin motor, tolongin ini nih. Kalo di Kreo, kita hampir setiap hari, kadang
minta cari motor. Kadang bertamu cari inilah inilah sama saya. Orang minta cariin tanah, cariin rumah. Kan buat uang sampingan lumayan.
128
Universitas Indonesia
Iter: kan bahwa di masyarakat itu ka nada aturan, tata tertib gitu ya pak ya. Nah itu Bapak menjalankan itu ngga pak? Melaksanakan ngga pak?
Apakah selalu atau kadang-kadang doang?
Itee: ya ngga. Kadang-kadang ya, RT sana tu udah Pak C ngga usah. Tapi kalo di tempat lain, tetep harus saya laksanain. Ya kan karena saya
begini ya, kerja juga semampu saya kan, ngga bisa dipaksain. Ya kadang-kadang tu RT RW sana mandang saya tu, gimana ya? Dikiranya ngga
bisa kerja. Kadang ditolak gitu. Ya kadang saya malu juga.
Iter: Tanya lagi nih pak, Bapak suka ikut Karang Taruna atau arisan RT/RW atau pengajian masjid gitu ngga pak?
Itee: ngga, ngga ikut. Tapi kalo kerja bakti mah ikut. Kalo arisan gitu-gitu ngga, udah ngga bisa dipercaya soalnya.
Iter: oh gitu ya pak. Kalo Bapak suka mencari informasi tentang hal-hal, atau situasi orang lain gitu untuk Bapak mengerti orang lain?
Itee: oh sering saya. Saya banyak mengatasi gini-gini.
Iter: gitu ya pak? Itu lumayan apa sangat banyak apa agak banyak?
Itee: ya kadang-kadang berhasil saya. Intinya, saya sebagai penengahnyalah begitu.
Iter: tapi Bapak minat ngga sih pak? Suka ngga dengan hal-hal keteknikan?
Itee: lumayan suka saya.
Iter: Bapak suka menemukan kesulitan ngga untuk mengungkapkan pendapat Bapak kepada orang lain?
Itee: tidak pernah. Ya ngomong aja, pokoknya saya mah sama orang tu apa adanya. Jangan sampe saya jelekin dia.
Iter: kalo Bapak merasa ditolak atau dikucilkan dari lingkungan ngga pak?
Itee: ngga pernah.
129
Universitas Indonesia
Iter: seberapa penting menurut Bapak penampilan bentuk fisik Bapak? Sangat pentingkah, lumayan, apa ngga terlalu penting atau sama sekali
ngga penting?
Itee: ngga terlalu penting.
Iter: Bapak suka kesulitan ngga dalam mengatur keuangan entah buat anak atau buat istri?
Itee: ya kadang-kadang. Tapi kalo sampe susah bener tu ngga pernah, pasti ada aja kalo buat jajan mah.
Iter: menurut Bapak, Bapak bisa ngga mengatur lingkungan sosial Bapak agar sesuai dengan keinginan dan harapan Bapak?
Itee: ya bisa, lumayan bisa. Kan anak saya di sini ngerti semua. Anak saya yang laki nih “Pak, beliin vespa Pak. Nanti kalo saya udah kerja beli
sendiri.”
Itee: waktu saya pulang ke Jakarta, ke RS Cipto, itu saya ngga dibilangin saya sakit kusta, saya sakit kulit. Terus sampe di puskesmas ya, uang
saya kan udah abis ya untuk berobat, ada yang bilangin, ke puskesmas. Sampe puskesmas baru saya sedih, ya Allah, saya bilang, kenapa saya
baru dibilangin sakit kusta? Terus katanya, gini pak, kalo dikasih tahu, takutnya Bapak jadi minder atau takut bunuh diri apa gimana ya? Justru
emang banyak disembunyiin pak, takut dari keluarga tu Bapak diusir atau gimana.
Iter: padahal menurut Bapak, dikasih tahu tu penting ya pak?
Itee: iya penting. Jadinya kan ngga buang-buang duit percuma. Udah nebus obat penyakit ngga sembuh-sembuh, malah nambah terus.
Iter 2: itu Bapak usia berapa tuh pak?
Itee: saya usia 17. Dulu saya waktu di Larangan, dagang minyak tanah, kaki saya udah luka tuh, tapi tangan masih normal. Jadi kalo dorong
gerobak tu meleset, dalam sebulan bisa tiga kali gerobak jatoh karena udah ngga kuat lagi. Terus saya waktu di puskesmas itu, waktu saya
normal, disuruh jepit kertas. Tahan pak, ya. Saya tahan kertas itu tapi ngga sobek. Kalo normal kan sobek? Ditarik, jepitannya kuat, saya ngga.
Disuruh kuatin kuatin, ditarik, tetep aja. Udah lemah jadi, jepitannya udah lemah.
130
Universitas Indonesia
Iter 2: terus yang Bapak lakukan pertama kali waktu Bapak tahu kena kusta apa pak?
Itee: pertama kali? Ya saya tu belum ngerti. Pas saya pulang ke Jakarta, baru saya tahu.pas di rumah sakit umum ini baru saya tahu, waktu di
Cipto kan ngga dibilangin. Waktu di Cipto itu, saya tetep pake sepatu bisa, cuma lecetnya tu ngga berasa. Ya udah abis itu, yang dijual udah
ngga ada, sabar ya Pak C. Tapi hubungan saya sama masyarakat situ tetep intim.
Iter 2: terus jenis pengobatannya apa aja pak?
Itee: obat-obatannya? DDS, terus Amoxilyn, antibiotik, itu aja kayanya. Pengobatan lukanya itu kadang pake Bioplacenton, tapi itu agak lama
sembuhnya. Yang cepet tu pake MSG, itu buat pertumbuhan kulit. Caranya dicelupin, terus tempel. Tapi ngga boleh dibuat jalan kakinya,
soalnya kalo dibuat jalan, tambah besar luka itu. Makanya kalo pake MSG itu total istirahat, tumbuh daging.
Iter: tapi biaya pengobatannya gratis kan ya pak?
Itee: gratis, kan saya pake Jamkesmas.
Iter 2: terus keluarga Bapak waktu tau Bapak kena kusta gimana pak?
Itee: ya biasa aja, ngga apa-apa. Malah saya diurusin sama sodara-sodara saya. Lukanya diobatin. Dari orang tua saya nih, keluarga 9, yang kena
cuma saya doang. Saya juga nanya sama Dr. Handoko, kenapa saya bisa kena sodara-sodara saya ngga kena. Terus kata dia, itu Pak C, waktu ibu
Pak C hamil, kurang sayur-sayuran. Coba kalo ibu kamu makan sayur-sayuran, darah kamu kuat, kamu ngga bakal kena. Terus orang tua kamu
juga kurang gizi pas ngelahirin.
Iter: tipe kusta Bapak tipe apa pak?
Itee: saya kering, kalo basah tu gemuk, kaya orang keringetan. Itu menular. Dokter juga ngga mau nyentuh, Dr. Handoko kan ngomong. Tapi
ngga langsung kena, ngga. Itu bertahun-tahun kenanya. Tapi saya juga nih, kalo lagi reaksi, panas-dingin, biar kata dokter ngga nular, kan tipe
basah nularnya pas lagi reaksi tuh, anak-anak ngga boleh kena. Tapi biarpun kata dokter ngga nular, saya tetep jauhin anak-anak.
Iter 2: kalo temen-temen Bapak, tetangga Bapak, itu gimana terhadap Bapak?
131
Universitas Indonesia
Itee: biasa aja, ngga menjauhi saya. Malah pada duduk sama saya rame-rame, barengan sama saya. Malah seneng sama saya.
Iter 2: Bapak ke Sitanala sini diantar atau…
Itee: dianter, saya diopnam di sini tahun ’84, terus tahun ’98 keluar saya. Saya di bangsal 4, di situ aja ngga ke mana-mana. Berobat jalan lagi,
saya sebulan di rumah, cek lagi. Pas kaki saya putus, ya Allah, saya sakit apa ini? Dikasih cobaan, kuat ngga nih saya. Dikasih keturunan banyak
juga tapi saya sakit, kuat ngga nih saya ngadepinnya? Tapi alhamdulillaah, biarpun saya begini, saya ngga nyusahin orang kok.
Iter 2: anak-anak Bapak tahu kalo Bapak sakit?
Itee: tahu, tapi biasa aja. Malah temen-temennya juga ngga takut main ke sini.
Iter 2: setelah Bapak tahu kena kusta, pendapat Bapak tentang kusta bagaimana pak?
Itee; biasa aja, ngga minder, ngga berasa takut. Saya dulu sempet ngojek, 5 tahun kalo ngga salah. Langganan saya kebanyakan orang Padang.