gambaran social adjustment pada mantan penyandang kusta setelah dinyatakan sembuh secara medis

132
UNIVERSITAS INDONESIA GAMBARAN SOCIAL ADJUSTMENT PENYANDANG KUSTA SETELAH DINYATAKAN SEMBUH SECARA MEDIS (STUDI DI LINGKUNGAN PEMUKIMAN KUSTA SITANALA TANGERANG) Description of Social Adjustment of People Affected by Leprosy after Medically Healed (Study in settlements of people affected by leprosy around Sitanala Tangerang ) SKRIPSI MOCHAMAD MIRZA 0706281311 FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM S1 REGULER DEPOK JUNI 2011

Upload: mochamad-mirza-adisurya

Post on 28-Jul-2015

984 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

This Is about Social Adjustment of people affected by leprosy in Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

UNIVERSITAS INDONESIA

GAMBARAN SOCIAL ADJUSTMENT PENYANDANG KUSTA

SETELAH DINYATAKAN SEMBUH SECARA MEDIS

(STUDI DI LINGKUNGAN PEMUKIMAN KUSTA SITANALA

TANGERANG)

Description of Social Adjustment of People Affected by Leprosy

after Medically Healed

(Study in settlements of people affected by leprosy around Sitanala

Tangerang )

SKRIPSI

MOCHAMAD MIRZA

0706281311

FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM S1 REGULER

DEPOK

JUNI 2011

Page 2: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

1

Universitas Indonesia

UNIVERSITAS INDONESIA

GAMBARAN SOCIAL ADJUSTMENT PENYANDANG KUSTA

SETELAH DINYATAKAN SEMBUH SECARA MEDIS

(STUDI DI LINGKUNGAN PEMUKIMAN KUSTA SITANALA

TANGERANG)

Description of Social Adjustment of People Affected by Leprosy

after Medically Healed

(Study in settlements of people affected by leprosy around Sitanala

Tangerang )

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Psikologi

MOCHAMAD MIRZA

0706281311

FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM S1 REGULER

DEPOK

Page 3: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

2

Universitas Indonesia

JUNI 2011

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Mochamad Mirza

NPM : 0706281311

Tanda Tangan :

Tanggal : 30 Juni 2011

Page 4: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

3

Universitas Indonesia

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Mochamad Mirza

NPM : 0706281311

Fakultas : Psikologi

Judul Skripsi : Gambaran Social Adjustment Penyandang Kusta

Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis (Studi di

Lingkungan Pemukiman Kusta Sitanala Tangerang)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima

sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar

Sarjana Psikologi pada Program Studi S1 Reguler, Fakultas Psikologi,

Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing 1 : Dra. Julia Suleeman, M.A., M.A., Ph.D ( )

NIP. 195507021980032001

Pembimbing 2 : Adhityawarman Menaldi S.Psi., M.Psi ( )

NIP. 198304162008121002

Penguji 1 : Dra. Miranda Diponegoro Zarfiel, M.Si ( )

NIP. 195006151982032001

Penguji 2 :Dra. Ratna Djuwita, Dipl. Psych. ( )

NIP. 195902041985032006

Ditetapkan di : Depok

Tanggal :30 Juni 2011

DISAHKAN OLEH,

Page 5: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

4

Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan

rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan

dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi

pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa

bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada

penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

(1) Dra. Julia Suleeman M.A, M.A., Ph.D. dan Adhityawarman Menaldi, S.Psi,

M.Psi, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan

pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini serta telah

bersabar menghadapi saya yang penuh dengan kelemahan ini;

(2) Bunda Dra. Sri Redatin Retno Pujiati, M.Si, selaku pembimbing akademik

yang telah banyak membantu saya selama menjalani 4 tahun perkuliahan dan

karena kebanyakan minta tanda tangan bunda;

(3) Harry Susianto, Ph.D. dan mgr. Erita Narhetali, S.Psi. atas dukungan selama

penyusunan skripsi dan kesempatan belajar dalam berbagai macam penelitian,

Agnes Nauli, S.Psi. M.Sc. atas akses jurnal yang diberikan, dr. Sri Linuwih

SW. Menaldi, Spkk (K) (dr. Dini) atas pengetahuan dan informasi medis

mengenai kusta yang diberikan, dan Dra. Ina Saraswati, M.Si atas kesediaan

membimbing saya atas topik skripsi sebelumnya;

(4) dr. Azhari (You are the most “unique” father that I only have); Izzah Zahirah

(the most emotional mother who love me and family so much); Aul (adik

paling diem tapi tajam kritikannya), dan Ayi (adik yang paling kompak diajak

kerja sama ) dan keluarga besar yang telah memberikan bantuan dukungan

moral dan material;

(5) Intan Kurniasih, S.Psi dan keluarga, sahabat terbaik yang telah bersabar dan

terus mendukung saya, menyediakan waktu, tenaga, dan pikirannya sehingga

pengerjaan skripsi ini dapat rampung. Tanpa bantuanmu takkan selesai skripsi

ini tepat waktu dan tentu akhirnya kita memiliki gelar yang sama.

Jazzakumullah;

Page 6: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

5

Universitas Indonesia

(6) Tammy Nurhardini, S.Ked, sahabat “ter-Cool” yang telah mendukung dan

membantu saya dengan referensi-referensi, serta pengorbanan waktunya

hingga akhir penyusunan skripsi ini selesai;

(7) Pak Ali (Ayah), Mbak Nisa, bang Ali, dan saudara-saudaraku di pemukiman

Sitanala thanks atas doa dan dukungan yang diberikan (sesuai janji saya ke

kalian saya akan lakukan sesuatu yang saya bisa demi saudara-saudaraku di

Sitanala. Pak Nuah Tarigan dan Pak Hermen Gpdli; serta Yuta Takashima

yang telah membuka mata saya atas keadaan saudara-saudara kita di

Indonesia.

(8) Mega Antari, Amores H.S, Annies Bramanti, Hilda. W, Rizkiana Shadewi,

teman-teman angkatan 2007, dan teman-teman bimbingan bersama Mbak

Julia yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, tanpa bantuan dan

kebaikan kalian takkan mungkin saya bisa menjadi seperti ini.

Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua

pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi

pengembangan ilmu.

Depok, 30 Juni 2011

Penulis

Page 7: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

6

Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Mochamad Mirza

NPM : 0706281311

Program Studi : S1 Reguler

Fakultas : Psikologi

Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Gambaran Social Adjustment Penyandang Kusta setelah Dinyatakan Sembuh

Secara Medis (Studi di Lingkungan Pemukiman Kusta Sitanala Tangerang)

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan

nama saya sebagai penulis atau pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : 30 Juni 2011

Yang menyatakan

(Mochamad Mirza)

Page 8: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

7

Universitas Indonesia

Tidakkah Kami telah melapangkan bagi engkau dada engkau;

Sesungguhnya, sesudah kesukaran ada kemudahan.

(Al-Insyirah ayat 2 dan ayat 6)

Page 9: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

8

Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Mochamad Mirza

Program Studi : Psikologi

Judul : Gambaran Social Adjustment Penyandang Kusta yang

telah dinyatakan Sembuh secara Medis (Studi di

Lingkungan Pemukiman Kusta Sitanala, Tangerang)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran social adjustment

penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis di lingkungannya.

Social adjustment adalah suatu tahap dimana individu telah mencapai

keseimbangan (harmoni) antara keinginan internal dan dorongan psikologisnya

serta faktor eksternal dan lingkungan sosialnya sehingga mereka merasa puas

akan kehidupan sehari-harinya dan menikmati kehidupan tanpa stres dan

kecemasan (Chung & Seo, 2007). Partisipan dari penelitian ini adalah 20 mantan

penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis di pemukiman

kusta sekitar Rumah Sakit Kusta Sitanala Tangerang. Metode pengumpulan data

yang digunakan adalah dengan menggunakan alat ukur Social Adaptation Self-

evaluation Scale yang didisain oleh Bosc, Dubini, and Polin (1997) dan

wawancara sebagai metode pengumpulan tambahannya Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa social adjustment penyandang kusta yang secara medis telah

dinyatakan sembuh berada dalam kategori rendah dibandingkan dengan anggota

masyarakat yang tidak pernah menyandang kusta. Salah satu implikasi dari

penelitian ini adalah pentingnya penyusunan program rehabilitasi pada

penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis agar memiliki

social adjustment yang lebih baik sebagai bagian yang penuh dari anggota

masyarakat.

Kata kunci: Social Adjustment, Kusta

Page 10: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

9

Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Mochamad Mirza

Study Program : Psychology

Title : Description of Social Adjustment of People Affected by

Leprosy after Medically Healed (Study in settlements of

people affected by leprosy around Sitanala Tangerang )

This study aims to know the description of social adjustment of people affected by

leprosy in the new environment. Social adjustment is a state in which the

individual has achieved harmony between his or her own internal and

psychological desires and his or her own internal and psychological desires and

his or her external and social environment, thereby becoming satisfied with daily

life while enjoying the absence of frustration or anxiety (Chung & Seo, 2007).

Participants of this study were 20 persons with leprosy who have been medically

diagnosed as recovered in settlements around Sitanala Leprosy Hospital in

Tangerang. Data collection methods used were interviews in addition to Self-

evaluation Social Adaptation Scale by Bosc, Dubini, and Polin (1997). The results

of this study indicate that the social adjustment of persons with leprosy is in a low

category compared with the individual who are not affected by leprosy. One of the

implications of this study is the importance of designing rehabilitation programs

to help people affected by leprosy after medically healed to function as full

community members.

Keywords: Social Adjustment, Leprosy

Page 11: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

10

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………….………………………… i

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS….…………………………. ii

LEMBAR PENGESAHAN…..……………………………………………. iii

KATA PENGANTAR…………………………………………………….. iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH……………. vi

ABSTRAK………………………………………………………………… vii

ABSTRACT……………………………………………………………….. viii

DAFTAR ISI………………………………………………………………. ix

DAFTAR TABEL…………………………………………………………. xi

DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………. xii

1. PENDAHULUAN……………………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang……………………………………………………… 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian……………………………………….. 7

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………... 7

1.4 Sistematika Penulisan……………………………………………….. 7

2. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….. 9

2.1 Adjustment………………………………………………………….. 9

2.1.1 Definisi Adjustment…………………………………………... 9

2.2 Social Adjustment…………………………………………………… 10

2.2.1 Definisi Social Adjustment…………………………………… 10

2.2.2 Persyaratan Social Adjustment……………………………….. 11

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Social Adjustment.. 13

2.2.4 Komponen Social Adjustment……………….......................... 17

2.2.5 Social Adaptation Self-evaluation Scale (SASS)……………... 19

2.3 Kusta………………………………………………………………... 20

2.3.1 Definisi Kusta………………………………………………... 20

2.3.2 Klasifikasi Kusta……………………………………………... 21

2.3.3 Ciri-ciri Kusta………………………………………………... 21

2.3.4 Epidemiologi Kusta………………………………………….. 22

3. METODE PENELITIAN……………………………………………… 23

3.1 Masalah Penelitian………………………………………………….. 23

3.2 Variabel Penelitian………………………………………………….. 23

3.2.1 Definisi Konseptual…………………………………………... 23

3.2.2 Definisi Operasional…………………………………………. 23

3.3 Tipe dan Desain Penelitian………………………………………...... 23

3.4 Partisipan Penelitian………………………………………………… 24

3.4.1 Teknik Pemilihan Partisipan Penelitian……………………… 24

3.4.2 Karakteristik Partisipan Penelitian…………………………… 24

3.4.3 Jumlah Partisipan Penelitian…………………………………. 25

3.5 Metode Pengumpulan Data…………………………………………. 25

3.6 Alat Ukur……………………………………………………………. 26

3.6.1 Alat Ukur Social Adjustment…………………………………. 26

Page 12: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

11

Universitas Indonesia

3.6.2 Teknik Skoring Alat Ukur Social Adjustment………………... 28

3.7 Prosedur Penelitian………………………………………………….. 29

3.7.1 Persiapan……………………………………………………... 29

3.7.1.1 Translasi Alat Ukur………………………………….. 29

3.7.1.2 Uji Keterbacaan……………………………………… 29

3.7.1.3 Uji Coba Alat Ukur…………………………………... 32

3.7.1.4 Norma………………………………………………... 34

3.7.2 Teknik Pengolahan Data……………………………………... 35

3.7.3 Pelaksanaan…………………...……………………………... 35

4. ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA………………………….... 37

4.1 Gambaran Umum Partisipan Penelitian …….……………………… 37

4.2 Hasil Penelitian……………………………………………………... 40

4.2.1 Gambaran Social Adjustment Penyandang Kusta……………. 41

4.2.2 Gambaran Komponen Social Adjustment……………………. 41

4.3 Gambaran Hasil Penelitian Berdasarkan Aspek Demografis……….. 45

4.4 Hasil Wawancara…………………………………………………… 50

4.4.1 Hasil Wawancara Partisipan C………………………………. 50

4.4.1.1 Kondisi Fisik…………………………………………. 50

4.4.1.2 Diagnosis Kusta oleh Dokter………………………… 52

4.4.1.3 Pengobatan yang Dilakukan terhadap Gejala Kusta…. 52

4.4.1.4 Self-efficacy dan Optimisme…………………………. 53

4.4.1.5 Kemampuan Menghadapi Stres……………………… 55

4.4.1.6 Citra Diri……………………………………………... 55

4.4.1.7 Hubungan Interpersonal……………………………... 56

4.4.1.8 Pernikahan…………………………………………… 57

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN…………………………… 62

5.1 Kesimpulan…………………………………………………………. 62

5.2 Diskusi……………………………………………………………… 62

5.2.1 Diskusi Hasil Penelitian……………………………………… 62

5.2.2 Keterbatasan Penelitian………………………………………. 67

5.3 Saran………………………………………………………………… 68

5.3.1 Saran Teoritis.………………………………………………… 68

5.3.2 Saran Praktis………………………………………………….. 69

DAFTAR REFERENSI…………………………………………………..........

Page 13: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

12

Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1.SASS: Clinical Study Questionnaire…………………………………..27

Tabel 3.2. Hasil Uji Keterbacaan…………………………………………..........30

Tabel 3.3. Norma Rata-Rata Skor Total Social Adjustment……………………..35

Tabel 4.1. Proporsi Jenis Kelamin dan Usia Partisipan………………………….37

Tabel 4.2. Proporsi Pendidikan dan Pekerjaan Partisipan……………………...38

Tabel 4.3. Proporsi Status Pernikahan dan Jumlah Tanggungan………….. ……39

Tabel 4.4. Proporsi Cacat Fisik dan Lama Vonis Kusta Partisipan……………40

Tabel 4.5. Gambaran Social Adjustment Penyandang Kusta………………. ……40

Tabel 4.6. Persebaran Rata-rata Skor Total Social Adjustment Partisipan… ……41

Tabel 4.7. Gambaran Umum Tiap Item Komponen Social Adjustment…… ……41

Tabel 4.8. Perbedaan Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Jenis

Kelamin……………………………………………………………………...…...46

Tabel 4.9. Perbedaan Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Rentang

Usia………………………………………………………………………........... 46

Tabel 4.10. Perbedaan Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Pendidikan

Partisipan…………………………………………………………………………47

Tabel 4.11. Perbedaan Rata-rata Skor Total Social Adjustment Berdasarkan Lama

Vonis Kusta………………………………………………………………… ……48

Tabel 4.12. Perbedaan Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Ada atau

Tidaknya Cacat Fisik…...………………………………………………….. ……49

Tabel 4.13. Perbedaan Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Status

Pernikahan…………………………………………………………………..……49

Page 14: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

13

Universitas Indonesia

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. PENGHITUNGAN RELIABILITAS DAN VALIDITAS

A. Uji Reliabilitas

B. Uji Validitas (Konsistensi Internal)

C. Norma

LAMPIRAN 2. ALAT UKUR

A. Halaman Depan

B. Halaman Pembuka

C. Petunjuk Pengisian

D. Contoh Isi Kuesioner

E. Identitas Pribadi

LAMPIRAN 3. PENGHITUNGAN RATA-RATA SKOR TOTAL

A. Rata-rata Skor Social Adjustment

B. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Pendidikan

C. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Lama Vonis Kusta

D. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Cacat Fisik

E. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Jenis Kelamin

F. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Status Pernikahan

LAMPIRAN 4. KATEGORISASI

LAMPIRAN 5. TRANSKRIP WAWANCARA

Page 15: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

14

Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Burgess (1936) menyatakan bahwa sejak lama kusta merupakan penyakit yang

mendunia. Pendapatnya ini didasarkan atas perjalanannya ke berbagai negara di

dunia dimana ia selalu menemukan sekelompok besar populasi orang-orang yang

terinfeksi kusta. Dalam kunjungannya ke dua puluh negara di dunia, ia mencatat

tidak kurang dari tiga juta orang telah terinfeksi kusta dan ratusan ribu kasus kusta

baru (Burgess, 1936). Berkaitan dengan hal tersebut, pada tahun 1991 World

Health Organization (WHO) melalui World Health Assembly (WHA) menetapkan

resolusi untuk menghilangkan kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat di

tahun 2000. Program ini disebut dengan program “eliminasi kusta” yang

menargetkan turunnya prevalensi kusta dari 21.1 per 10.000 menjadi 1 per 10.000

(World Health Organization, 2010). Jumlah kasus baru orang yang terinfeksi

kusta di 16 negara mengalami penurunan sejak tahun 2003 hingga tahun 2009

(World Health Organization, 2010). Meskipun demikian, jumlah ini tidak

merepresentasikan keadaan yang sesungguhnya di seluruh dunia.

WHO mencatat pada triwulan pertama tahun 2010, di 141 negara telah

terjadi peningkatan kasus baru penyandang kusta dibandingkan dengan tahun

2009. Angka tertinggi dengan kusta terbanyak ditemukan di belahan dunia

beriklim tropis dan subtropis (Euzenir, Ximena, José, Anna, Maria, Maria,

Elizabeth, & Gilla, 2008). Benua Asia dan Afrika menempati peringkat tertinggi

ditemukannya jumlah kasus baru orang yang terinfeksi kusta dimana Indonesia

termasuk didalamnya (World Health Organization, 2010).

Pada tahun 1963, Indonesia berada di urutan ke-12 (Shepard, 1963), dan

mulai tahun 2003 hingga tahun 2010 Indonesia melonjak menempati posisi ke-3

tertinggi, setelah India, dan Brazil (World Health Organization, 2010).

Berdasarkan keputusan WHO tentang program eliminasi kusta, Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia mencanangkan program yang sama untuk skala

provinsi di tahun 2005 dan untuk skala kabupaten di tahun 2007/2008 (Menaldi,

2008). Sayangnya, hal ini belum dapat tercapai dengan baik karena di awal tahun

2011, tercatat sekitar 17 ribu orang telah terinfeksi kusta di seluruh Indonesia

(Prihatianto, 2011).

Page 16: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

15

Universitas Indonesia

Kusta adalah penyakit infeksi menular dengan durasi kronis yang

disebabkan oleh Mycobacterium leprae (Euzenir, Ximena, José, Anna, Maria,

Maria, Elizabeth, & Gilla, 2008). Penyakit ini bersifat intraseluler obligat dengan

menyerang tubuh manusia, terutama di bagian saraf perifer (saraf diluar otak dan

medulla spinalis), lalu kulit, dan sistem pernapasan bagian atas serta dapat

menjalar ke organ-organ lain (Kosasih, Wisnu, Daili, Menaldi, 2003). Kusta ini

dapat menyebabkan masalah yang serius. Apabila dibiarkan, dapat

memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat fisik,

khususnya pada tangan dan kaki (Amirudin, Hakim, Darwis, 2003). Kusta

merupakan penyakit yang dapat disembuhkan dan tidak benar jika dikatakan tidak

dapat disembuhkan. Hanya saja cacat yang sudah terlanjur ada karena terlambat

dalam penanganannya, seperti kedua tangan penyandang kusta akan berbentuk

seperti “cakar” akibat kerusakan otot-otot di tangan, pada jari-jari penyandang

kusta juga akan terlihat bekas seperti terbakar dan bekas luka-luka, serta

kehilangan sensasi raba dan nyeri akibat kerusakan sel-sel saraf secara permanen

(McDougall & Yuasa, 2002), tidak akan pernah hilang sampai orang tersebut

meninggal dunia. Selain itu, Courtright dan Lewellen (dalam Prasad & Prasad,

2007) menambahkan bahwa penyandang ataupun mantan penyandang kusta dapat

mengalami kebutaan pada matanya. Penampakan fisik yang buruk seperti ini

dapat membuat banyak masyarakat merasa ”jijik” dan takut untuk berinteraksi

dengan penyandang kusta (Menaldi, 2008).

Kusta tidak hanya merupakan masalah kesehatan, tetapi juga merupakan

masalah sosial. Orang yang terkena infeksi kusta di Indonesia biasa disebut

dengan “orang kusta” bahkan sebutan ini terus melekat walaupun individu telah

dinyatakan sembuh secara medis. Di dunia internasional, mereka juga biasa

disebut sebagai “leper”. Berdasarkan halaman web yang ditulis oleh PR Newswire

on behalf of The Nippon Foundation, Mr.Yohei Sasakawa, WHO Goodwill

Ambassador for the Elimination of Leprosy and Japanese Government Goodwill

Ambassador for the Human Rights of People Affected by Leprosy, meminta untuk

menghentikan penggunaan kata “leper” untuk menyebut orang-orang yang

terinfeksi kusta ataupun yang telah dinyatakan sembuh secara medis dan

menggantinya dengan kata “people affected by leprosy.” Hal ini dikarenakan

Page 17: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

16

Universitas Indonesia

penggunaan kata “leper” memiliki makna yang negatif serta terkesan

mendiskriminasikan orang yang terinfeksi kusta bukan bagian dari masyarakat.

Oleh karena itu, peneliti juga akan mengunakan kata “penyandang kusta” dan

“mantan penyandang kusta”, sebagai sebutan untuk individu yang terinfeksi kusta

dan yang telah sembuh secara medis dibandingkan menggunakan kata “orang

kusta” atau “mantan orang kusta” yang terdengar lebih negatif.

Tsutsumi, Izutsu, Islam, Amed, Nakaahara, Fumie, & Wakai (2003)

menjelaskan bahwa orang yang terinfeksi kusta menghadapi berbagai stigma yang

ada di masyarakat dan mengalami perilaku negatif bahkan ketika ia telah

melakukan pengobatan, diantaranya individu yang terinfeksi kusta dianggap telah

terkena kutukan dan guna-guna. Lawn dan Lockwood (2007) menambahkan

bahwa orang yang terinfeksi kusta, sama seperti penyakit HIV/AIDS, merupakan

penyakit yang memang sangat tinggi dengan stigma dan menyebabkan distress

pada penyandangnya. Djuwita (1981) melakukan sebuah penelitian pada orang-

orang yang terinfeksi kusta dan berobat di Rumah Sakit Kusta Sitanala

Tangerang. Berdasarkan penelitian tersebut, kebanyakan dari mereka merasa

khawatir setelah melakukan pengobatan mengalami penolakan dari masyarakat

apabila kembali ke daerah asal karena riwayat penyakit yang pernah diderita

sehingga memutuskan untuk tinggal di sekitar rumah sakit dibandingkan kembali

ke daerah asal. Menaldi (2008) menambahkan bahwa sebenarnya mereka ingin

hidup normal seperti masyarakat pada umumnya, tetapi bayangan cacat yang

dialami membuat mereka khawatir akan dikucilkan oleh lingkungan tempat

tinggalnya. Seorang konsultan penyakit kulit dan kelamin, dr. Sri Linuwih SW.

Menaldi, S.pKK (K), menceritakan bahwa kebanyakan pasien terinfeksi kusta

sengaja berobat jauh dari tempat tinggalnya hingga ke daerah lain karena mereka

khawatir akan dikucilkan oleh lingkungan tempat tinggalnya jika mengetahui

penyakit kusta yang dideritanya (percakapan personal, 9 Juni 2011). Perlakuan

negatif yang biasanya diterima oleh penyandang kusta, diantaranya perlakuan

diskriminasi, devaluasi, menjaga jarak, membenci, mengucilkan, tidak dianggap

keberadaannya, tidak diacuhkan, dan labeling (Ebenso, Fashona, Ayuba, Idah,

Adeyemi, & S-Fada, 2007).

Page 18: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

17

Universitas Indonesia

Seseorang yang menderita penyakit kronis, seperti kusta, akan selalu

disertai dengan keadaan cemas, kebingungan, dan depresi khususnya apabila tidak

ada dukungan sosial (Walsh, 2006). Terlebih lagi adanya diskriminasi yang

dilakukan masyarakat terhadapnya, ketakutan masyarakat terhadap kusta atau

lepraphobia yang akhirnya membuat masyarakat semakin menjauhi mantan

penyandang kusta. Ditambah dengan kondisi internal penderita sendiri yang

memiliki anggapan yang salah bahwa penyakit kusta merupakan penyakit

menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan

menyebabkan kecacatan sehingga penyandang kusta merasa putus asa dan tidak

tekun untuk berobat. Tekanan-tekanan baik internal maupun eksternal ini yang

akhirnya memunculkan stress dan depresi berakibat pada buruknya hubungan

sosial masyarakat (Dunkel-Schetter & Skokan, Bolger, Foster, Vinokur, & Ng

dalam Lam, Chan, Hung, Or, & Fielding, 2009). Bosc, Dubini, dan Polin (1997)

menambahkan bahwa individu yang mengalami depresi cenderung akan lebih

sering kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain, menjadi tidak suka dengan

perilaku orang lain, dan secara konstan mengurangi jumlah teman bicara.

Menurut Zulkifli (2003), fenomena ini disebabkan oleh adanya

leprophobia masyarakat, yaitu rasa takut yang berlebihan terhadap kusta.

Leprophobia ini timbul karena pemahaman terhadap penyebab penyakit kusta

yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan. Selain itu, menurut

Halim (dalam Menaldi, 2008) sebagian besar dari penyandang kusta merupakan

individu yang cenderung paranoid dan menjaga jarak terhadap orang lain, terlebih

lagi pada orang baru yang dikenal. Hal ini menjadi sebuah lingkaran setan yang

membuat mantan penyandang kusta mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri

dengan lingkungannya. Akibatnya, mereka kesulitan untuk mengembangkan

kemampuan dan prestasi. Kesulitan tersebut berangsur-angsur menjadi

ketidakberdayaan mantan penyandang kusta untuk dapat melanjutkan hidupnya

secara produktif, mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan, sering ditolak untuk

mendapatkan perawatan kesehatan, dan diasingkan secara sosial (Marshall,

Maeshiro, & Korper, 1967). Mereka pun akhirnya berkumpul dalam sebuah

koloni dengan konstruksi rumah yang buruk dan hanya apa adanya serta

Page 19: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

18

Universitas Indonesia

mengandalkan kehidupan dengan mengemis (Marshall, Maeshiro, & Korper,

1967).

Bagi mantan penyandang kusta yang berasal dari status sosial ekonomi

yang kuat, tentunya hal ini tidak begitu menjadi masalah karena biasanya mereka

akan membuat usaha pribadi. Sementara itu, bagi mantan penyandang kusta yang

berstatus sosial ekonomi rendah hanya bisa pasrah dan tidak dapat berobat lagi

sehingga sakitnya makin parah. Di pemukiman kusta Sitanala Tangerang sendiri,

mantan penyandang kusta sendiri mengaku bahwa masyarakat tidak mau

mempekerjakan mereka karena takut tertular. Terlebih lagi jika mantan

penyandang kusta mengalami cacat fisik yang menakutkan dan tidak sedap

dipandang. Mantan penyandang kusta yang mencoba untuk berwirausaha dengan

membuat produk makanan atau rumah tangga, tetapi apabila diketahui bahwa

produknya dibuat oleh mantan penyandang kusta, produk tersebut sulit atau

bahkan tidak laku dijual. Kondisi ini membuat sebagian besar mantan penyandang

kusta yang tidak memiliki keahlian lain akhirnya memilih pekerjaan sebagai

pengemis, pengamen jalanan, atau kuli kasar di pasar. Terlebih lagi, penolakan

tidak hanya berasal dari masyakat lingkungan tempat tinggalnya, tetapi juga dari

keluarga, seperti tidak diizinkan untuk menggunakan peralatan rumah tangga yang

anggota keluarga lain gunakan (Yayasan Transformasi Lepra Indonesia, 2008).

Sebagai makhluk sosial penyandang kusta dan mantan penyandang kusta

tidak dapat hidup sendirian tanpa orang lain apalagi mereka hidup bersama-sama

ditengah masyarakat. Mereka juga dituntut untuk mampu mengatasi segala

permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan sosial

dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan yang berlaku dan mampu

menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Idealnya, setelah penyandang kusta

melakukan pengobatan dan telah dinyatakan sembuh secara medis, masyarakat

tidak perlu takut lagi untuk tertular dan dapat menerima mantan penyandang kusta

sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini didasarkan atas fakta kusta yang ada

bahwa kusta tidak dapat mudah menular dan dapat disembuhkan (World Health

Organization, 2010). Namun demikian, yang terjadi adalah sebaliknya dimana

penyandang kusta yang telah sembuh sekalipun masih mengalami penolakan dan

diskriminasi dari masyarakat serta mengalami kesulitan untuk berinteraksi dan

Page 20: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

19

Universitas Indonesia

menyesuaikan diri dengan lingkungannya, seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya. Padahal, menyesuaikan diri dengan lingkungannya diperlukan agar

mereka dapat survive dalam lingkungan yang “tidak ramah” untuk kehidupan para

mantan penyandang kusta. Menurut Doby, Boskoff, dan Pendietonn (dalam

Chung dan Seo, 2007) usaha manusia untuk bertahan hidup dalam lingkungan

yang mengelilingi mereka dikatakan sebagai social adjustment. Chung dan Seo

(2007), menggunakan konsep social adjustment sebagai aspek adjustment yang

spesifik dari individu yang telah berhasil berfungsi dengan baik di lingkungan

sosialnya, yaitu mencapai keseimbangan (harmoni) antara keinginan internal dan

dorongan psikologisnya serta faktor eksternal dan lingkungan sosialnya sehingga

mereka merasa puas akan kehidupan sehari-harinya dan menikmati kehidupan

tanpa sress dan kecemasan.

Berdasarkan penjabaran diatas, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai gambaran social adjustment penyandang kusta yang telah

dinyatakan sembuh secara medis, dengan mengambil sampe di pemukiman kusta

sekitar Rumah Sakit Kusta Sitanala, Tangerang. Hal ini dikarenakan banyaknya

individu yang terinfeksi kusta di dunia, khususnya Indonesia yang merupakan

negara ke-3 terbanyak terjadi kasus kusta sehingga diperlukan perhatian khusus

atas setiap fenomena yang terjadi pada penyandang ataupun mantan penyandang

kusta. Sementara itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa social

adjustment dianggap merupakan hal yang paling mendasar yang menjadi masalah

bagi mantan penyandang kusta untuk dapat kembali ke dalam masyarakat.

Ketertarikan peneliti juga didasarkan pada aktivitas peneliti yang merupakan

aktivis anti diskriminasi terhadap mantan penyandang kusta dimana setiap

manusia memilki hak asasi. Penelitian ini dilakukan di pemukiman kusta sekitar

Rumah Sakit Kusta Sitanala, Tangerang karena tempat ini merupakan rujukan

pemerintah Indonesia bagi warganya di seluruh Indonesia sebagai pusat

pengobatan kusta di Indonesia (Yayasan Transformasi Lepra Indonesia, 2008)

sehingga diharapkan hasil dari penelitian ini akan lebih variatif dan dapat

mewakili mantan penyandang kusta dari seluruh Indonesia. Peneliti menggunakan

kuesioner Social Adaptation Self-evaluation Scale (SASS) untuk mengukur social

functioning individu, yaitu kemampuan seseorang untuk memenuhi tuntutan hidup

Page 21: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

20

Universitas Indonesia

sebagaimana ia berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan personalnya

(Tyrer dalam Melley, Oltmanss, & Turkheimer, 2002) serta dapat

menggambarkan social adjustment secara lebih rinci yang terdiri dari lima

komponen dan berjumlah 21 item.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian yaitu: “Bagaimana gambaran social adjusment pada

penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran social adjustment

penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis. Dengan demikian

penelitian ini dapat menjadi data primer untuk dilakukan penelitian lanjutan,

fokus riset, ataupun kebijakan medis yang mungkin berhubungan dengan social

adjustment penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis. Selain

itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat agar

terwujudnya desain program rehabilitasi untuk membantu mantan penyandang

kusta agar dapat berfungsi sosial secara penuh sebagai bagian dari anggota

masyarakat.

1.4 Sistematika Penulisan

Penulisan Selanjutnya adalah:

2. Tinjauan Pustaka, yaitu menguraikan teori-teori social adjustment yang relevan

dengan topik penelitian yang diangkat untuk membahas permasalahan penelitian

ini. Selain itu juga dijabarkan beberapa teori kusta dan klasifikasinya.

3. Metode Penelitian, yaitu mengenai metode penelitian yang menguraikan

penggunaan metode kuantitatif., metode pengumpulan data, subjek penelitian,

prosdedur penelitian, dan metode analisis data.

4. Analisis dan Interpretasi Penelitian, yaitu memuat analisis dari hasil yang

diperoleh dalam penelitian. Termasuk didalamnya gambaran umum karakteristik

partisipan.

Page 22: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

21

Universitas Indonesia

5. Kesimpulan, Diskusi, dan Saran, yaitu berisi kesimpulan dari hasil penelitian,

diskusi mengenai kekurangan dan kelebihan penelitian, serta saran untuk

penelitian dan aplikasi selanjutnya.

Page 23: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

22

Universitas Indonesia

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Adjustment

2.1.1 Definisi Adjustment

Lazarus (1976) menyatakan bahwa adjustment menekankan pada usaha individu

untuk dapat bertahan atau hidup bersama pada lingkungan fisik dan sosial di mana

ia hidup. Menurutnya, adjustment memiliki dua proses, yaitu menyesuaikan diri

dengan lingkungan di sekitarnya dan mengubah lingkungan tersebut agar sesuai

dengan kebutuhan diri. Sementara itu, Grasha dan Kirschenbaum (dalam Wijaya,

2007) memandang adjustment sebagai usaha individu untuk menyeimbangkan

antara kemampuan yang dimiliki dengan tuntutan lingkungannya. Kemampuan

tersebut terbentuk melalui proses belajar dan pengalaman, dimana kedua hal

tersebut berkaitan dengan mengatasi masalah yang terjadi dalam lingkungan

individu yang bersangkutan.

Dalam istilah psikologi, adjustment dapat diartikan sebagai usaha manusia

untuk bertahan hidup dalam lingkungan yang mengelilingi mereka (Doby,

Boskoff, & Pendieton, dalam Chung & Seo, 2007). Lazarus (1976) menjelaskan

bahwa adjustment yang dilakukan individu terhadap lingkungannya dapat

dipahami sebagai hasil (achievement) dan atau sebagai proses. Konsep adjustment

sebagai proses, yaitu adjustment yang menekankan pada cara atau pola yang

dilakukan individu untuk menghadapi tuntutan yang dihadapkan kepadanya.

Sementara itu, adjustment sebagai hasil berhubungan dengan kualitas atau

efisiensi adjustment yang dilakukan individu. Dengan meninjau kualitas atau

efesiensi maka adjustment individu dapat dievaluasi menjadi baik atau buruk dan

secara praktis dapat dibandingkan dengan adjustment yang dilakukan oleh

individu lain.

Haber dan Runyon (1984) menyatakan pandangan yang senada dengan

Lazarus, mereka mengemukakan bahwa adjustment dapat dipandang sebagai

keadaan (state) atau sebagai proses. Adjustment sebagai state berarti bahwa

adjustment merupakan suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu. Konsep

adjustment sebagai keadaan mengimplikasikan bahwa individu merupakan

keseluruhan yang bisa bersifat well adjusted, yaitu jika individu tidak

menyesuaikan dirinya dengan baik dengan lingkungannya, dan maladjusted, yaitu

Page 24: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

23

Universitas Indonesia

individu dapat menerima dan menyesuaikan pola tingkah laku yang dituntut

lingkungannya. Dengan demikian, individu akan nyaman dan berfungsi secara

sosial dalam lingkungannya.

Definisi lain yang diungkapkan oleh Chung dan Seo (2007) adalah

adjustment sebagai proses, yaitu:

“…adjustment at large refers to the personal process of accepting and

appropriately dealing with the physical, socioeconomic, and cultural

changes presented in a new environment…”

(Chung & Seo, 2007, halaman 367)

Jadi, adjustment merujuk pada proses personal dalam diri seseorang untuk

menerima dan mengatasi perubahan fisik, sosioekonomi, dan budaya yang terjadi

dalam lingkungan yang baru.

2.2 Social Adjustment

2.2.1 Definisi Social Adjustment

Konsep social adjustment menarik untuk diteliti karena konsep ini merupakan

penyesuaian diri yang spesifik dari individu untuk berfungsi secara sosial di

lingkungannya dan dirasa cukup tepat untuk menjawab masalah yang dihadapi

oleh penyandang kusta sebagai bagian dari anggota masyarakat. Schneider (1955)

mendefinisikan social adjustment sebagai kapasitas untuk bereaksi secara efektif

dan baik secara moral terhadap kenyataan, situasi, dan relasi sosial. Campbell

(1996) menambahkan bahwa social adjustment adalah adaptasi individu kepada

lingkungan sosial dengan cara memodifikasi diri agar sesuai dengan lingkungan

atau dengan memodifikasi lingkungannya.

Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai social

adjustment, namun secara umum memiliki gagasan yang tetap sama, yaitu adanya

keselarasan atau keseimbangan antara individu dengan lingkungannya. Chung dan

Seo (2007) merangkum definisi-definisi social adjustment sebagai:

“a state in which the individual has achieved harmony between his or her

own internal and psychological desires and his or her own internal and

psychological desires and his or her external and social environment,

thereby becoming satisfied with daily life and enjoying the absence of

frustration or anxiety”

(Chung & Seo, 2007, halaman 367)

Page 25: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

24

Universitas Indonesia

Jadi, secara lengkap social adjustment adalah suatu tahap dimana individu

telah mencapai keseimbangan (harmoni) antara keinginan internal dan dorongan

psikologisnya serta faktor eksternal dan lingkungan sosialnya sehingga mereka

merasa puas akan kehidupan sehari-harinya dan menikmati kehidupan tanpa stres

dan kecemasan.

2.2.2 Persyaratan Social Adjustment

Schneider (1955) mengemukakan beberapa persyaratan dalam social adjustment

yang esensial, dimana kesemua karakteristik tersebut akan mengarah kepada

keinginan individu untuk berhubungan dengan lingkungan (motivasi sosial),

yaitu:

1. Mengenali hak-hak orang lain

Hal yang paling mendasar adalah individu diharuskan mengenali dan

menghargai hak-hak orang lain dalam masyarakat. Konflik sosial akan

terjadi apabila hal ini tidak terpenuhi.

2. Berhubungan dengan orang lain

Bergaul dengan orang lain sehingga mendorong pertemanan yang dapat

terus betahan diperlukan agar social adjustment yang efektif dapat

tercapai. Apabila seseorang berselisih dengan sesamanya atau tidak

memiliki teman padahal potensial untuk menjadi teman adalah tanda yang

meyakinkan bahwa orang tersebut memiliki social adjustment yang buruk

3. Berpartisipasi dalam kegiatan Sosial

Melakukan kegiatan bersama dengan masyarakat yang ada di lingkungan

sosial merupakan salah satu bentuk dari motivasi sosial seseorang dan

menandakan individu telah berfungsi secara sosial.

4. Peka terhadap orang lain

Social adjustment membutuhkan ketertarikan individu dan peka terhadap

masalah dan kesulitan orang-orang yang ada di sekitarnya. Bila diperlukan

dapat memberikan bantuan untuk mengurangi kesulitan-kesulitan. Selain

itu, individu harus tertarik dalam harapan dan ambisi tujuan dan aspirasi

dari teman-temannya serta membantunya secara aktif agar tujuan semua

itu tercapai.

Page 26: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

25

Universitas Indonesia

5. Belajar untuk menghargai nilai, hukum sosial, kebiasan dan tradisi

masyarakat.

Adalah hal yang penting untuk individu memahami semua unsur nilai

ataupun kebiasan yang ada dalam suatu masyarakat dimana ia tinggal.

Namun demikian, social adjustment bukanlah blind comformity, seperti

individu yang meminum-minuman keras karena masyarakat di

lingkungannya suka meminum-minuman keras. Lebih kepada menaati

hukum sosial dan kebiasaan yang pada dasarnya baik dan benar.

6. Memiliki nilai altruisme dalam dirinya.

Altruisme diperlukan agar tercipta hubungan yang tulus dalam

pertemanan. Dengan hubungan yang tulus maka akan tercipta hubungan

yang lebih erat dan erat dalam kehidupan bermasyarakat.

Selain itu, Haber dan Runyon (1996) menambahkan beberapa karakteristik

yang memperlihatkan bahwa individu telah berhasil menyesuaikan dirinya

terhadap lingkungannya, yaitu :

1. Persepsi yang akurat terhadap realitas.

Realitas seseorang berbeda dengan realitas orang lain, tergantung pada

keinginan dan motivasi orang tersebut. Seseorang yang mempunyai

penyesuaian diri yang baik dapat menerima keterbatasan-keterbatasannya

yang tidak dapat diubah, tetapi tetap berusaha memodifikasi keterbatasan-

keterbatasan itu seoptimal mungkin (Lazarus, 1976). Selain itu, dia juga

menetapkan tujuan realitas dan berusaha mencapai tujuan tersebut secara

aktif. Salah satu aspek yang penting dalam persepsi yang akurat terhadap

realitas adalah kemampuan mengenali konsekuensi dari tindakan yang

dilakukan dan mengatur tingkah laku sesuai konsekuensi tersebut.

2. Kemampuan mengatasi stress dan kecemasan.

Orang yang mampu menyesuaikan diri dengan efektif adalah orang yang

dapat mengatasi stress dan kecemasan dengan cara menentukan tujuan

yang realistis atau dengan cara membuat tujuan jangka pendek yang lebih

mudah dicapai dan mengatasi berbagai masalah dan konflik di dalamnya.

Page 27: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

26

Universitas Indonesia

3. Citra diri positif.

Salah satu ciri penyesuaian diri yang efektif adalah seseorang mampu

memandang diri sendiri dalam cara yang efektif. Meskipun demikian,

menyadari keadaan diri sepenuhnya merupakan hal yang penting. Oleh

karena itu, untuk memiliki citra diri yang positif seseorang harus

menyadari kelebihan maupun kekurangannya.

4. Kemampuan mengekspresikan perasaan.

Bila seseorang dapat menyadari emosi yang sedang dirasakannya, ia

berada dalam tahap penyesuaian diri terhadap ekspresi emosional. Orang

yang sehat secara emosional mampu merasakan dan mengekspresikan

seluruh spektrum dari emosi dan perasaan. Selain itu, ia dapat

menunjukkan emosinya secara realistis dan tetap di bawah kontrolnya.

Penyesuaian diri yang baik juga ditunjukkan dengan memberikan respon

yang tepat terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup.

5. Hubungan interpersonal yang baik.

Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan efektif mampu melakukan

hubungan interpersonal di tingkat keintiman tertentu. Mereka kompeten

dan nyaman dalam berhubungan dengan orang lain.

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan dalam Social Adjustment

Menurut Schneider (1955) terdapat lima faktor yang mempengaruhi seseorang

untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, yaitu :

1. Kondisi Fisik

a. Hereditas dan Konstitusi Fisik

Dalam mengidentifikasi pengaruh hereditas terhadap penyesuaian

diri, digunakan pendekatan fisik karena hereditas dipandang lebih

dekat dan tidak terpisahkan dari mekanisme fisik.

b. Sistem Utama Tubuh

Termasuk dalam sistem utama tubuh yang berpengaruh terhadap

penyesuaian diri adalah sistem syaraf, kelenjar dan otot. Sistem

syaraf yang berkembang dengan normal dan sehat merupakan

syarat bagi fungsi-fungsi psikologis agar dapat berfungsi secara

Page 28: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

27

Universitas Indonesia

maksimal yang akhirnya berpengaruh secara baik pada penyesuaian

diri individu.

c. Kesehatan fisik

Penyesuaian diri akan lebih mudah dilakukan dan dipelihara dalam

kondisi fisik yang sehat daripada yang tidak sehat. Kondisi fisik

yang sehat dapat menimbulkan penyesuaian diri, percaya diri dan

harga diri yang akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan

bagi proses penyesuaian diri.

2. Kepribadian

a. Kemauan dan Kemampuan untuk Berubah

Sebagai suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan, penyesuaian

diri membutuhkan kecenderungan untuk berubah dalam bentuk

kemauan, perilaku dan sikap. Kemauan dan kemampuan untuk

berubah akan berkembang melalui proses belajar.

b. Pengaturan Diri

Kemampuan mengatur diri dapat mencegah individu dari keadaan

yang tidak sesuai dan penyimpangan kepribadian.

c. Inteligensi

Kemampuan pengaturan diri tergantung pada kualitas dasar yang

penting peranannya dalam penyesuaian diri yaitu kualitas

inteligensi. Inteligensi sangat penting bagi perolehan

perkembangan gagasan, prinsip dan tujuan yang memainkan

peranan penting dalam proses penyesuaian diri.

3. Proses Belajar

a. Belajar

Kemauan belajar merupakan unsur penting dalam penyesuaian diri

individu karena pada umumnya sifat-sifat kepribadian yang

diperlukan bagi penyesuaian diri diperoleh dan menyerap ke dalam

diri individu melalui proses belajar.

b. Pengalaman

Ada dua jenis pengalaman yang memiliki nilai terhadap proses

penyesuaian diri yaitu pengalaman yang menyehatkan adalah

Page 29: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

28

Universitas Indonesia

peristiwa-peristiwa yang dialami oleh individu sebagai sesuatu

yang mengenakkan dan dirasa ingin mengulanginya kembali. Lalu

pengalaman traumatik adalah peristiwaperistiwa yang dialami oleh

individu dan dirasakan sebagai sesuatu yang sangat menyedihkan

bahkan menyakitkan sehingga yang mengalami akan kurang

percaya diri atau takut ketika harus menyesuaikan diri dengan

lingkungan yang baru.

c. Pelatihan

Penyesuaian diri sebagai suatu proses yang kompleks yang

mencangkup di dalamnya proses psikologis dan sosiologis maka

memerlukan latihan yang sungguh-sungguh agar mencapai hasil

penyesuaian diri yang baik.

d. Determinasi Diri

Berkaitan erat dengan penyesuaian diri adalah bahwa

sesungguhnya individu harus dapat menentukan dirinya sendiri

untuk melakukan proses penyesuaian diri. Ini penting karena

determinasi diri merupakan faktor yang dapat digunakan untuk

kebaikan atau keburukan (merusak diri sendiri).

4. Lingkungan

Lingkungan merupakan aspek diluar diri individu yang pasti berpengaruh

terhadap diri individu. Lingkungan ini terdiri dari, keluarga, sekolah, dan

masyarakat. Di lingkungan-lingkungan inilah individu mendapatkan

pengalaman tentang bagaimana seseorang mendapatkan pengalaman yang

akan dijadikan individu sebagai proses belajar.

5. Agama Serta Budaya

Agama secara konsisten dan terus-menerus mengingatkan manusia tentang

nilai-nilai intrinsik dan kemuliaan manusia yang diciptakan oleh Tuhan,

bukan sekedar nilai-nilai instrumental sebagaimana yang dihasilkan oleh

manusia. Budaya juga merupakan faktor yang sangat berpoengaruh

terhadap kehidupan individu. Hal ini terlihat dari adanya karakteristik

budaya yang diwariskan kepada individu melalui lingkungan keluarga,

sekolah dan masyarakat.

Page 30: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

29

Universitas Indonesia

Social Adjustment individu memang dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Selain Schneider (1955), didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Chung

dan Seo (1997) terdapat beberapa faktor lain yang berhubungan dengan aspek

demografis individu, yaitu jenis kelamin, status ekonomi individu, status

pekerjaan dan tingkat gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Mereka

menambahkan, berdasarkan uji signifikansi yang dilakukan pada faktor-faktor

tersebut ditemukan bahwa tingkat gejala PTSD merupakan faktor yang paling

kritikal dalam sukesnya individu dalam social adjustment dibandingkan dengan

faktor lainnya.

Optimisme dan self-efficacy juga memiliki kaitan yang erat dengan social

adjustment individu, dimana optimisme akan diasosiasikan dengan kesejahteraan

sosial dan keluarga yang lebih baik (Friedman, Kalidas, & Elledge dalam Lam,

Chan, Hung, Or, & Fielding, 2009). Ketika individu memiliki masalah dalam

berinteraksi dengan masyarakatnya maka optimisme yang dimiliki dapat membuat

seseorang lebih mudah dalam menyesuaikan diri. Hal ini dapat dipahami karena

optimisme yang dimiliki dapat membuat individu akan berpikir hal-hal yang

positif sehingga membuat individu tetap persisten dengan lingkungannya. Self-

efficacy sendiri adalah persepsi individu tentang bagaimana sebuah perilaku dapat

menyelesaikan atau tidak sebuah tugas. Self-efficacy ini bisa tinggi atau rendah

tergantung pada pengalaman masa lalu dari individu apakah perilaku tersebut

sukses atau gagal, seperti: apa yang dikatakan orang lain terhadap kompetensi

dirinya, atau apa yang orang lain nilai terhadap kemampuannya. Nilai self efficacy

yang tinggi dalam diri seseorang akan membuatnya lebih persisten (Bandura

dalam Cicarelli, 2007) sehingga ia mampu bertahan dan sukses dalam lingkungan

sosialnya. Sebaliknya yang terjadi pada individu yang memiliki self efficacy yang

rendah akan lebih rentan dan gagal dalam adjustmentnya di lingkungannya.

Selain itu, dari penelitian Lam, Chan, Hung, Or, dan Fielding (2009) juga

didapatkan bahwa psychological distress dapat memprediksi social adjustment

individu dimana tingginya yang dialami individu dapat diprediksi bahwa individu

akan mengalami kesulitan yang tinggi juga dalam social adjustment.

Psychological distress ini dapat mengakibatkan depresi yang berdampak pada

hubungan sosial individu dengan orang lingkungannya (Dunkel-Schetter &

Page 31: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

30

Universitas Indonesia

Skokan, Bolger, Foster, Vinokur, Ng dalam Lam, Chan, Hung, Or, & Fielding,

2009). Hal ini dikarenakan individu yang mengalami depresi cenderung akan

lebih sering kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain, menjadi tidak suka

dengan perilaku orang lain, dan secara konstan mengurangi jumlah teman bicara

(Bosc, Dubini, & Polin, 1997).

2.2.4 Komponen Social Adjustment

Bosc, Dubini, dan Polin (1997) mengemukakan adanya beberapa komponen

dalam social adjustment dimana masing-masing mengeksplor komponen-

komponen dibawah ini.:

1. Pekerjaan dan waktu luang (work and leisure)

a. Interest in job

Ketertarikan individu terhadap pekerjaan yang digelutinya saat

ini.

b. Interest in household work

Apabila individu tidak memiliki pekerjaan maka dapat dilihat

dari minat aktivitas rumah yang dilakukannya sehari-hari.

c. Enjoy job and household work

Individu juga dilihat apakah menikmati atau tidak pekerjaan

yang sedang digelutinya tersebut.

d. Interest in leisure

Ketertarikan individu pada aktivitas tertentu di saat waktu

luangnya.

e. Satisfaction with leisure activity

Kualitas aktivitas yang dilakukan oleh individu ketika waktu

senggang.

2. Hubungan dengan keluarga dan di luar keluarga (family and extra-

family relationship)

a. Pursuit of family relationship

Seberapa sering individu melakukan komunikasi dengan

anggota keluarga (pasangan, anak-anak, orang tua, dan lain-

lain)

Page 32: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

31

Universitas Indonesia

b. Satisfaction with family relationship

Kualitas hubungan dengan anggota keluarga (pasangan, anak-

anak, orang tua, dan lain-lain)

c. Sociability

Hubungan pertemanan dengan orag lain di luar anggota

keluarga

d. Pursuit of relationships

Kecenderungan untuk membentuk hubungan pertemanan

dengan orang lain

e. Quality of extra family relationships

Penilaian kualitas secara umum hubungan individu dengan

orang lain di luar anggota keluarga.

f. Evaluation of extra family relationships

Seberapa besar nilai yang individu berikan untuk hubungannya

dengan orang lain.

g. Social attractiveness

Seberapa sering orang lain atau lingkungan mencoba menjalin

hubungan dengan individu.

h. Level of social adjustment

Perhatian individu terhadap social roles atau nilai-nilai yang

berlaku di masyarakat.

i. Participation in community

Peran serta individu dalam kegiatan bermasyarakat seperti

anggota dalam sebuah klub masyarakat, karang taruna, arisan

tetangga, kerja bakti, dan lain-lain.

j. Research or curiosity in society

Rasa ingin tahu individu terhadap segala sesuatu tentang

lingkungannya termasuk situasi dan kondisi orang lain dengan

tujuan meningkatkan pemahaman dirinya terhadap

lingkungannya.

Page 33: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

32

Universitas Indonesia

3. Minat intelektual (intellectual interests)

a. Minat Intelektual

Ketertarikan individu pada studi ilmiah, keteknikan, atau

kebudayaan.

4. Kepuasan terhadap peran-peran yang dimiliki di masyarakat

(satisfaction in roles)

a. Difficulties in appealing

Seberapa sering individu mengalami kesulitan dalam

menyampaikan pendapat pribadi kepada orang lain

b. Sensitivity of denial

Penolakan lingkungan yang dirasakan individu terhadap

dirinya

c. Importance of appearance

Persepsi individu tentang peningnya penampilan dirinya ketika

berada di masyarakat

5. Persepsi diri mengenai kemampuan dalam mengatur dan mengontrol

lingkungan (Patient self-perception of his ability to manage and

control his environment)

a. Difficulties in resource management

Kesulitan individu dalam mengatur atau mengatasi masalah

sumber daya yang dimiliki dan pemasukan untuk dirinya

b. Need of control around environment

Kebutuhan untuk mengatur atau mengolah lingkungan menurut

keinginan dan kebutuhan dirinya.

2.2.5 Alat Ukur Social Adjustment dengan Social Adaptation Self-evaluation

Scale (SASS)

Untuk mengetahui gambaran social adjustment individu, digunakan salat satu alat

ukur self-rating social functioning scale, yaitu Social Adaptation Self-evaluation

Scale (SASS). SASS adalah salah satu bentuk self-rating social function scale

yang terdiri dari 21 item yang dikembangkan oleh Pharmacia-Upjohn Medical

Department dan Pharmacia-Upjohn Clinical Development. Awalnya, alat ukur ini

digunakan digunakan untuk mengetahui motivasi dan perilaku sosial pada pasien

Page 34: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

33

Universitas Indonesia

yang mengalami depresi (Bosc, Dubini, & Polin, 1997), yang mungkin tidak

terlihat pada pemeriksaan psikiatris (Weissman, Olfson, Gameroff, Feder, &

Fuentes, 2001). Alat ukur ini merupakan pengembangan terbaru dan

menyempurnakan dari dua alat ukur sebelumnya, yaitu Short-Form Health Survey

dan Social Adjustment Scale Self-Report.

2.3 Kusta

2.3.1 Definisi Kusta

Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha, yang berarti kumpulan

gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen,

sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer

Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen (Zulkifli,

2003). Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya adalah

Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat (Kosasih, Wisnu,

Sjamsoe-Daili, & Menaldi, 2007). Bakteri ini berkembang biak pada suhu

maksimal 27°C-30°C dan pada jaringan yang dingin seperti kulit, saraf perifer,

traktus respiratorius bagian atas, testis kemudian dapat ke jaringan lain, kecuali

susunan saraf pusat (Euzenir, Ximena, José, Anna, Maria, Maria, Elizabeth, &

Gilla, 2008).

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain belum dapat

diketahui secara pasti. Martodiharjo dan Susanto (2003) mengungkapkan bahwa

gambaran klinis, bakteriologis, maupun faktor pencetus reaksi kusta sudah

diketahui jelas, namun penyebab pasti masih belum diketahui, tetapi sebagian

besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran

pernapasan dan kulit (Amirudin, Hakim, & Darwis, 2003). Masuknya kusta ke

Indonesia sendiri diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina (Kosasih, Wisnu,

Sjamsoe-Daili, & Menaldi, 2007). Selain itu, diketahui bahwa distribusi penyakit

ini di tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda.

Demikian juga dengan menurun atau menghilangnya pula penyakit kusta pada

suatu negara sampai saat ini belum dapat diketahui dengan jelas benar.

Diagnosis dan pengobatan kusta dapat menggangu kehidupan pasien kusta

baik penampilan fisik, psikologis, maupun kesejahteraan sosialnya. Dimulai dari

tahun pertama terapi obat, penderita akan mengalami perubahan kontraktur (scar

Page 35: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

34

Universitas Indonesia

yang terbentuk dari sisa kulit yang sehat di sekitar luka, yang tertarik ke sisi kulit

yang terluka) dan perubahan fisik di tangan dan kaki (McDougall & Yuasa, 2002).

2.3.2 Klasifikasi Kusta

Meskipun berbeda istilah, pada dasarnya pengklasifikasian kusta memiliki

gagasan yang sama, yaitu dari jumlah banyaknya bakteri kusta yang ada di dalam

tubuh dan dimanifestasikan dalam jumlah lesi di kulit pasien. Salah satu

diantaranya, McDougall dan Yuasa (2002) yang mengklasifikasikan kusta

kedalam beberapa kategori berdasarkan jumlah lesi pada kulit:

1. PB Leprosy: tipe kusta yang memiliki jumlah 1-5 lesi pada kulit

2. MB Leprosy: tipe kusta yang memiliki jumlah lebih dari 5 lesi pada

kulit.

2.3.3 Ciri-Ciri Kusta

Menurut Amirudin, Hakim, dan Darwis (2003) penyakit kusta dapat menunjukkan

gejala yang mirip dengan penyakit lain, seperti kurap dan panu. Oleh karena itu,

dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan

membedakannya dengan penyakit lain agar tidak membuat kesalahan yang

merugikan individu. Berikut tanda-tanda utamanya:

1. Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau

meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja

terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.

2. Penebalan saraf tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan

fungsi saraf yang terkena, yaitu:

a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa

b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis (kelumpuhan)

c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, bengkak,

pertumbuhan rambut yang terganggu

Page 36: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

35

Universitas Indonesia

3. Ditemukan kuman tahan asam

Bahan pemeriksaan adalah hapisan kulit cuping telinga dan lesi kulit

pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan-bahan diperoleh dari

biopsi kulit atau saraf.

Untuk menegakkan diagnosis kusta harus ada setidaknya satu tanda utama.

Bila tidak atau belum ditemukan, individu dikatakan sebagai “tersangka kusta”

dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis

kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.

2.3.4 Epidemiologi Kusta

Cara penularan kusta belum dapat diketahui secara pasti hanya berdasarkan

anggapan klasik, yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat

(Kosasih, Wisnu, Sjamsoe-Daili, & Menaldi, 2007). Penularan yang

memungkinkan adalah disebar melalui vektor serangga yang terinfeksi dan

menggigit manusia yang sehat, dan bersin dari penderita kusta yang belum

diobati. Masuknya bakteri kusta juga bisa melalui kulit (bekas luka, bekas cakar

atau gigitan, dan tato) atau pernapasan melalui jaringan di paru-paru. Meskipun

demikian, menurut Cocrane (dalam Zukifli, 2003), terlalu sedikit orang yang

tertular penyakit kusta secara kontak kulit dan pernapasan dengan kasus-kasus

lepra terbuka. Oleh karena itu, Ress (dalam Zukifli, 2003) menarik kesimpulan

bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal

yakni jumlah atau keganasan Mycobacterium leprae dan daya tahan tubuh

penderita.

Page 37: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

36

Universitas Indonesia

3. METODE PENELITIAN

Di dalam bab ini peneliti akan menjelaskan masalah penelitian, variabel yang

akan diteliti, definisi konseptual dan operasional variabel. Selain itu, di dalam bab

ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang terdiri dari: tipe dan desain

penelitian, partisipan penelitian, lokasi dan pengumpulan data, metode

pengumpulan data, alat ukur, dan prosedur penelitian

3.1 Masalah penelitian

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran social

adjustment penyandang kusta setelah dinyatakan sembuh secara medis”.

3.2 Variabel Penelitian

3.2.1 Definisi Konseptual

Social Adjustment adalah suatu tahap dimana individu telah mencapai mencapai

keseimbangan (harmoni) antara keinginan internal dan dorongan psikologisnya

serta faktor eksternal dan lingkungan sosialnya sehingga mereka merasa puas

akan kehidupan sehari-harinya dan menikmati kehidupan tanpa sress dan

kecemasan (Chung & Seo, 2007).

3.2.2 Definisi Operasional

Untuk mengetahui gambaran social adjustment individu, partisipan akan diminta

untuk mengisi kuesioner Social Adaptation Self-evaluation Scale (SASS) yang

disusun oleh Bosc, Dubini, dan Polin (1997) para peneliti dari Pharmacia-Upjohn

Medical department dan Pharmacia-Upjohn Clinical Development. Skor total dari

tiap item menunjukkan gambaran social adjustment dari individu. Semakin tinggi

skor total merepresentasikan semakin baiknya social adjustment individu.

3.3 Tipe dan Desain Penelitian

Untuk mendapatkan data yang tepat sesuai dengan rumusan masalah penelitian ini

maka dibutuhkan metode penelitian yang juga sesuai. Peneliti menggunakan

pendekatan kuantitatif sebagai pendekatan utama untuk mendapatkan data yang

sesuai dengan dengan permasalahan penelitian. Kumar (1996) mengklasifikasikan

jenis desain penelitian berdasarkan tiga hal, yaitu jumlah kontak, periode

Page 38: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

37

Universitas Indonesia

referensi, dan sifat penelitian. Berdasarkan jumlah kontak, penelitian ini tergolong

penelitian cross sectional karena hanya dilakukan satu kali kontak dengan

partisipan. Berdasarkan periode referensi, maka penelitian ini termasuk jenis

retrospective study karena bertujuan untuk melihat fenomena, situasi, kejadian,

atau permasalahan yang telah ada sebelumnya, sedangkan berdasarkan sifat

penelitian, maka penelitian ini termasuk ke dalam penelitian non eksperimental,

karena peneliti tidak melakukan manipulasi terhadap variabel.

Kumar (1999) menggolongkan tipe penelitian menjadi tiga macam, yaitu,

menurut aplikasi, tujuan, dan pencarian informasi. Berdasarkan tipe aplikasi,

maka penelitian ini termasuk applied research, karena informasi-informasi yang

diperoleh dalam penelitian ini kemudian digunakan untuk memahami fenomena

tertentu. Sedangkan berdasarkan tujuan penelitian, berdasarkan Kumar (1999)

penelitian ini tergolong kepada penelitian deskriptif karena penelitian ini mencoba

mendeskripsikan social adjustment individu.

3.4 Partisipan Penelitian

3.4.1 Teknik Pemilihan Partisipan Penelitian

Pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik non-random sampling

karena jumlah populasi tidak dapat diketahui secara pasti (Gravetter & Forzano,

2009). Bentuk non-random sampling yang digunakan adalah purposive sampling

dimana pemilihan purposive sampling didasarkan atas keyakinan peneliti bahwa

sampel dapat memberikan informasi atau data terbaik untuk mencapai objektifitas

dari penelitian (Kumar, 2005). Partisipan penelitian juga dipilih dengan

menggunakan metode accidental sampling karena sampel dipilih berdasarkan

ketersediaan subjek dan kemudahan dalam mendapatkan sampel dari populasi

(Kumar, 2005).

3.4.2 Karakteristik Partisipan Penelitian

Karakteristik sampel berperan terhadap sejauh mana penelitian dapat

digeneralisasi pada populasi (Poerwandari, 2007). Menurut Patton (dalam

Poerwandari, 2007) terdapat beberapa prosedur penentuan sumber data dimana

pengambilan sampel dipilh dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau

konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai tujuan penelitian.

Page 39: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

38

Universitas Indonesia

Pada penelitian ini, karakteristik partisipan adalah penyandang kusta yang

telah dinyatakan sembuh secara medis. Untuk karakteristik lainnya seperti jenis

kelamin, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, lama vonis kusta, bekerja

atau tidak, lama bekerja, peneliti mengharapkan agar mendapatkan karakteristik

yang cukup variatif karena itu tidak ditetapkan secara khusus. Hal ini dilakukan

agar sampel sungguh-sungguh mewakili atau bersifat representatif terhadap

populasi dan hasil penelitiannya dapat lebih digenaralisasi.

3.4.3 Jumlah Partisipan Penelitian

Jumlah minimal partisipan dalam penelitian ini direncanakan berjumlah 30

partisipan. Hak ini dikarenakan jumlah minimal partisipan dalam sebuah

penelitian kuantitatif agar dapat diolah secara statistik berjumlah 30 partisipan

(Guilford & Fruchter, 1978). Jumlah tersebut adalah kondisi yang memungkinkan

untuk dilakukan pengolahan dan analisis statisitik parametrik yang adekuat dan

mengikuti kurva normal.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Kumar (2005) menjelaskan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu: observasi,

wawancara, dan kuesioner. Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan teknik

pengumpulan data kuesioner. Pemilihan teknik kuesioner didasarkan atas

beberapa pertimbangan, yaitu kemudahan pengambilan data karena metode

kuesioner efisien dalam hal waktu. Namun demikian, peneliti memahami bahwa

penggunaan kuesioner juga memiliki kelemahan karena penggunaan yang terbatas

pada orang-orang yang hanya bisa membaca dan menulis dan tidak adanya

kesempatan bagi partisipan untuk bertanya mengenai isi kuesioner yang tidak

mereka pahami. Oleh karena itu, peneliti mencoba melakukan beberapa usaha

untuk mengatasi kelemahan tersebut. Hal pertama, peneliti akan membatasi

partisipan dengan memilih partisipan yang bisa membaca dan menulis.

Pendampingan partisipan juga dilakukan selama proses pengisian kuesioner untuk

menghindari adanya hal-hal yang kurang dipahami oleh partisipan.

Sebagai alat bantu dalam proses penelitian, peneliti juga menggunakan

teknik pengumpulan wawancara dengan pedoman umum. Pedoman wawancara

seperti ini mencamtumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan

Page 40: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

39

Universitas Indonesia

pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit (Patton dalam

Poerwandari, 2007). Wawancara ini diperlukan, sesuai dengan yang dijelaskan

Banister, dkk (dalam Poerwandari, 2007), yaitu untuk memperoleh data-data yang

bermakna subjektif yang dipahami oleh partisipan untuk mengeksplorasi lebih

lanjut topik yang diteliti oleh peneliti. Berikut daftar pertanyaannya:

1. Kapan partisipan mendapatkan vonis kusta

2. Apa perasaan partisipan saat divonis kusta

3. Bagaimana kehidupan partisipan secara umum pravonis kusta

4. Bagaimana kehidupan partisipan secara umum pascavonis kusta

5. Bagaimana hubungan partisipan dengan keluarga dan masyarakat

pascavonis kusta

Observasi juga digunkan peneliti untuk melengkapi hasil wawancara

penelitian. Poerwandari (2001) menjelaskan bahwa observasi adalah kegiatan

memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan

mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut.

3.6 Alat Ukur

3.6.1 Alat Ukur Social Adjustment

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Social Adaptation Self-

evaluation Scale (SASS). Alat ukur ini dikembangkan oleh Pharmacia-Upjohn

Medical department dan Pharmacia-Upjohn Clinical Development (Weissman,

Olfson, Gameroff, Feder, & Fuentes, 2001) yang terdiri dari 21 item. Item-item

ini awalnya dikembangkan untuk mengukur motivasi sosial dan perilaku pada

pasien yang mengalami depresi yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan

psikiatri (Bosc, Dubini, & Polin, 1997). Namun, pada perkembangannya alat ukur

ini digunakan untuk mengukur gambaran social adjustment individu, seperti

penelitian yang dilakukan oleh Seo & Chung (2007) ataupun Lam, Chan, Hung,

Or & Fielding (2009). Kusioner SASS dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut ini:

Page 41: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

40

Universitas Indonesia

Tabel 3.1 Social adaptation self-evaluation scale: clinical study questionaire

Item Pertanyaan

Existence of an Occupation Apakah anda memiliki pekerjaan?

1. Interest in job Seberapa minatkah Anda dengan pekerjaan

Anda?

2. Interest in household work Seberapa minatkah Anda dengan aktvitas

yang berhubungan dengan rumah tangga?

3. Enjoy job and household

work

Apakah Anda menjalani pekerjaan ini,

aktivitas-aktivitas ini dengan:

4. Interest in leisures Apakah Anda berminat melakukan

hobi/waktu luang?

5. Satisfaction with leisure

activity

Bagaimana kualitas dari waktu senggang

Anda?

6. Pursuit of family

relationship

Seberapa sering Anda mencoba mencari

kontak dengan anggota keluarga Anda?

7. Satisfaction with family

relationship

Menurut Anda, bagaimana keadaan

hubungan dalam keluarga Anda?

8. Sociability Di luar keluarga, Anda berhubungan

dengan:

9. Pursuit of relationships

behavior

Apakah Anda mencoba berhubungan

dengan orang lain?

10. Quality of extra family

relationships

Secara umum bagaiamana Anda menilai

hubungan Anda dengan orang lain?

11. Evaluation of extra family

relationships

Nilai apa yang Anda tanamkan pada

hubungan Anda dengan orang lain?

12. Social attractiveness Seberapa sering orang-orang dalam

lingkaran sosial Anda mencari kontak

dengan Anda?

Page 42: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

41

Universitas Indonesia

13. Level of social adjustment Apakah Anda mengamati aturan-aturan

sosial, tata krama, kesopanan, dan lain-

lain?

14. Participation in

Community

Sampai taraf apa keikutsertaan Anda dalam

kehidupan masyarakat? (seperti klub,

gereja, dll?

15. Research or curiosity in

society

Apakah Anda suka mencari informasi

tentang hal-hal, situasi, dan orang lain

untuk meningkatkan pemahaman Anda

terhadap mereka?

16. Intellectual interest Apakah Anda berminat pada informasi

ilmiah, teknik, atau budaya?

17. Difficulties in appealing Seberapa sering Anda menemukan

kesulitan untuk mengekspresikan pendapat

kepada orang lain?

18. Sensitivity of denial Apakah Anda pernah merasa ditolak,

dikucilkan dari lingkungan Anda?

19. Importance of appearance Seberapa penting Anda

mempertimbangkan penampilan fisik

Anda?

20. Difficulties in resource

management

Sampai taraf apa Anda memiliki kesulitan

untuk mengatur sumber daya dan

pendapatan Anda?

21. Need of control around

environment

Apakah Anda bisa mengatur lingkungan

agar sesuai dengan keinginan dan

kebutuhan Anda?

3.6.2. Teknik Skoring Alat Ukur Social Adjustment

Kuesioner SASS dapat dilihat pada Tabel 3.1. Setiap item dalam SASS merupakan

suatu situasi umum di kehidupan sosial bermasyarakat. Sebelum partisipan

menjawab pertanyaan 1 dan 2, terdapat pertanyaan pendahuluan mengenai ada

atau tidaknya pekerjaan. Pertanyaan 1 dan 2 merupakan pertanyaan yang terpisah

namun akan dijadikan sebagai satu jawaban dalam analisisnya (pertanyaan 1 / 2,

Interest in job and household work).

Page 43: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

42

Universitas Indonesia

Jawaban partisipan akan dinilai dengan skala dari 1 sampai 4, yang

merepresentasikan social adjustment minimal dan maksimal dengan rentang skor

total dari 20 sampai 80. Pada instrumen ini terdapat tiga item unfavorable,yaitu

item 17,18, dan 20 sehingga skala harus dibalik terlebih dahulu. Kemudian skor

setiap item dijumlahkan untuk mendapatkan skor total. Semakin tinggi skor total

maka akan semakin tinggi tingkat social adjustment.

3.7 Prosedur Penelitian

3.7.1 Persiapan

3.7.1.1 Translasi Alat Ukur

Alat ukur SASS terdiri dari 21 item yang awalnya merupakan Bahasa Inggris dan

kemudian ditranslasikan ke dalam Bahasa Indonesia oleh peneliti. Setelah itu,

peneliti meminta bantuan expert (dosen Bahasa Inggris) untuk menguji hasil

translasi yang dilakukan oleh peneliti. Expert juga melakukan back translation

untuk menguji sejauh mana perbedaan hasil terjemahannya. Pengukuran validitas

melalui experted judgement atau psychiatric diagnosis bisa digunakan sebagai

bukti validitasnya suatu alat ukur (Anastasi&Urbina, 1988).

3.7.1.2 Uji Keterbacaan

Seminggu sebelum pengambilan data, yaitu Selasa, 24 Mei 2011, peneliti

melakukan survei dan uji keterbacaan alat ukur di Sitanala. Dalam survei tersebut,

peneliti dibantu oleh seorang alumni Fakultas Psikologi UI dan juga salah seorang

warga yang merupakan teman peneliti dalam LCC Indo (Leprosy Care

Community Indonesia). Kemudian, peneliti dan dua rekan peneliti menuju rumah

ketua RT 02 untuk melaporkan keberadaan penelitian yang akan dilakukan oleh

peneliti. Selanjutnya, peneliti diperkenalkan dengan salah seorang warga di RT

tersebut untuk melakukan uji keterbacaan. Melalui warga tersebut, peneliti juga

diperkenalkan dengan tiga warga lainnya untuk berpartisipasi dalam uji

keterbacaan kuesioner. Uji keterbacaan dilakukan untuk memperkirakan sejauh

mana pemahaman partisipan terhadap isi dari pertanyaan-pertanyaan kuesioner.

Berdasarkan hasil uji keterbacaan, diperlukan revisi terhadap beberapa

pertanyaan. Revisi pertanyaan dilakukan agar partisipan dapat lebih mudah

Page 44: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

43

Universitas Indonesia

memahami isi pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner, yaitu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9,

11, 12, 13, 14, 16, 17, 20, dan 21.

Tabel 3.2 Hasil Uji Keterbacaan

Pertanyaan Pertanyaan revisi

1. Seberapa minatkah Anda dengan pekerjaan

Anda?

Apakah Anda menyukai pekerjaan

Anda?

2. Seberapa minatkah Anda dengan aktvitas

yang berhubungan dengan rumah tangga?

Apakah Anda menyukai pekerjaan

rumah tangga, seperti menyapu,

mengepel, beres-beres rumah,

mencuci baju, dan lain-lain?

3. Apakah Anda menjalani pekerjaan ini,

aktivitas-aktivitas ini dengan:

Anda menjalani pekerjaan atau

pekerjaan rumah tangga tersebut

dengan:

4. Apakah Anda berminat melakukan

hobi/waktu luang?

Apakah Anda tertarik untuk

melakukan hobi Anda?

5. Bagaimana kualitas dari waktu senggang

Anda?

Menurut Anda, bagaimana kualitas

dari waktu senggang yang Anda

punya?

6. Seberapa sering Anda mencoba mencari

kontak dengan anggota keluarga Anda?

Seberapa sering Anda mencari

anggota keluarga seperti suami/istri,

anak, orang tua, dan lan-lain untuk

berkomunikasi?

8 Di luar keluarga, Anda berhubungan

dengan:

Di luar keluarga Anda, apakah Anda

memiliki pertemanan dengan:

9. Apakah Anda mencoba berhubungan

dengan orang lain?

Apakah Anda mencoba untuk

menciptakan hubungan dengan orang

lain:

11. Nilai apa yang Anda tanamkan pada

hubungan Anda dengan orang lain?

Seberapa bernilai hubungan Anda

dengan orang lain?

12 Seberapa sering orang-orang dalam

lingkaran sosial Anda mencari kontak

dengan Anda?

Seberapa sering orang-orang dalam

lingkaran sosial Anda mencari Anda

untuk berkomunikasi dengan Anda?

13. Apakah Anda mengamati aturan-aturan Apakah Anda mengikuti aturan-

Page 45: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

44

Universitas Indonesia

sosial, tata krama, kesopanan, dan lain-lain? aturan sosial, tata krama, kesopanan,

dan lain-lain?

14. Sampai taraf apa keikutsertaan Anda dalam

kehidupan masyarakat? (seperti klub,

gereja, dll?

Sampai taraf apa keikutsertaan Anda

dalam kehidupan bermasyarakat?

(seperti karang taruna, Arisan

RT/RW, grup pengajian, dll)?

16. Apakah Anda berminat pada informasi

ilmiah, teknik, atau budaya?

Apakah Anda berminat pada

informasi ilmiah, teknik, atau

budaya?

17 Seberapa sering Anda menemukan

kesulitan untuk mengekspresikan pendapat

kepada orang lain?

Seberapa sering Anda menemukan

kesulitan untuk mengemukakan

pendapat kepada orang lain?

20 Sampai taraf apa Anda memiliki kesulitan

untuk mengatur sumber daya dan

pendapatan Anda?

Seberapa sering mengalami kesulitan

dalam mengatur sumber daya dan

pendapatan yang dimiliki?

21 Apakah Anda bisa mengatur lingkungan

agar sesuai dengan keinginan dan

kebutuhan Anda?

Apakah Anda merasa mampu

mengatur lingkungan agar sesuai

dengan keinginan dan kebutuhan

Anda?

3.7.1.3 Uji Coba Alat Ukur

Adaptasi terhadap alat ukur Social Adaptation Self-rating Scale (SASS) yang

didesain oleh Bosc, Dubini, dan Pollin (1997) untuk mengukur social adjustment.

telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya adalah Yang, Kim, Shin, Noh,

dan Yoon (2003) di Korea, serta Chung dan Seo (2007) dalam penelitian mereka

mengenai tingkat social adjustment pengungsi dari Korea Utara. Alat ukur ini

telah dikembangkan untuk mengevaluasi kemampuan fungsi sosial individu yang

terdiri dari 21 item. Reliabilitas dan validitas dari alat ukur ini juga telah

diverifikasi oleh sejumlah peneliti, yaitu Bosc, dkk.; Dubini dan Polin;

Montgomery; Weissman; dan Yang, dkk. (dalam Chung & Seo, 2007).

Di Indonesia sendiri alat ukur SASS belum pernah digunakan. Oleh karena

itu, diperlukan adanya uji validitas dan reliabilitas terhadap alat ukur ini agar lebih

Page 46: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

45

Universitas Indonesia

relevan dengan keadaan di Indonesia. Uji coba dilakukan terhadap 48 orang

partisipan dewasa dari berbagai latar belakang pekerjaan, seperti mahasiswa,

dosen, profesional, satuan pengamanan, cleaning service, pedagang, dan ibu

rumah tangga. Berdasarkan hasil uji coba tersebut, peneliti kemudian melakukan

penghitungan statistik untuk mengetahui reliabilitas, validitas, dan analisis item.

Reliabilitas adalah konsistensi skor yang diperoleh dari orang yang sama

ketika mereka diuji dengan alat ukur yang sama pada situasi yang berbeda, atau

ketika diberikan alat ukur yang memiliki item-item yang setara atau dalam kondisi

pengujian yang berbeda (Anastasi & Urbina, 1997). Reliabilitas suatu alat ukur

mengindikasikan sejauh mana perbedaan skor yang diperoleh disebabkan oleh

perbedaan karakteristik individu yang sebenarnya dan sejauh mana disebabkan

oleh error. Uji reliabilitas yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan

menggunakan koefisien Alpha. Menurut Kaplan dan Saccuzzo (2005), sebuah alat

ukur yang memiliki koefisien reliabilitas yang berkisar antara 0,7 sampai 0,8

sudah dapat dianggap cukup baik. Berdasarkan hasil analisis statistik, alat ukur

social adjustment memiliki reliabitas sebesar 0,818. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa alat ukur SASS memiliki internal konsistensi yang baik.

Uji validitas digunakan untuk menguji apakah alat ukur yang digunakan

memang mengukur apa yang hendak diukur (Anastasi & Urbina, 1997). Menurut

Anastasi dan Urbina (1997), terdapat tiga jenis validitas yang dimiliki oleh sebuah

alat ukur, yaitu konten, kriteria, dan konstruk. Validitas konten digunakan untuk

menentukan apakah suatu tes dapat secara representatif mengukur sample dari

domain perilaku yang ingin diukur. Validitas kriteria menunjukkan hubungan

antara skor tes dengan beberapa kriteria, seperti rating, klasifikasi, atau skor tes

lainnya. Validitas konstruk menunjukkan sejauh mana suatu tes tepat mengukur

suatu konstruk atau trait psikologis.

Pengujian validitas pada alat ukur social adjustment dilakukan dengan

melihat validitas setiap item. Menurut Aiken dan Groth-Marnat (2006), nilai

validitas yang dianggap baik adalah lebih besar dari 0,2. Hal ini berarti secara

keseluruhan, item pada alat ukur ini mampu membedakan subyek yang memiliki

social adjustment yang tinggi dan social adjustment yang rendah. Namun,

terdapat item yang daya diskriminasinya tidak terlalu baik, yaitu item nomor 4,

Page 47: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

46

Universitas Indonesia

11, dan 17. Peneliti memutuskan untuk tidak membuang ketiga item tersebut

karena alat ukur ini telah melalui berbagai tahap pengujian dan sudah dinyatakan

valid dan reliabel oleh peneliti-peneliti sebelumnya (Bosc, dkk., 1997; Dubini &

Polin, 1997; Montgomery, 1996; Weissman, 1997; Yang et al., 2003, dalam

Chung & Seo, 2007). Peneliti menduga item-item tersebut tidak valid lebih

disebabkan oleh faktor keterbacaan. Atas dasar ini peneliti memutuskan untuk

memperbaiki keterbacaan pada ketiga item. Dari hasil revisi dan diskusi dengan

dosen psikometri diperoleh bahwa alat ukur SASS telah valid dan reliabel. Berikut

tabel kisi-kisi ketiga item:

Item Pertanyaan Pertanyaan Revisi

4. Interest in

leisure

Apakah Anda tertarik

untuk melakukan hobi

Anda?

Apakah Anda suka melakukan

hobi Anda di saat senggang?

11. Evaluation of

extra family

relationships

Seberapa bernilai

hubungan Anda dengan

orang lain?

Bagaimana penilaian Anda

terhadap hubungan Anda

dengan orang lain di luar

keluarga?

17 Difficulties in

appealing

Seberapa sering Anda

menemukan kesulitan

untuk mengemukakan

pendapat kepada orang

lain?

Apakah Anda menemukan

kesulitan dalam mengungkapkan

pendapat ataupun perasaan

Anda kepada orang lain?

3.7.1.4 Norma

Tanpa adanya interpretasi, suatu skor yang diperoleh tidak akan ada artinya

(Anastasi & Urbina, 1997). Oleh karena itu, skor dari suatu alat ukur biasanya

diintrepretasi berdasarkan suatu norma. Norma adalah performa dari kelompok

tertentu pada suatu tes tertentu yang dibuat berdasarkan distribusi skor individu-

individu dalam sampel tersebut. Dalam jurnal, Bosc, dkk. (1997) ataupun Chung

& Seo (2007) tidak menyertakan kategorisasi skor social adjustment. Peneliti

sudah berupaya untuk menanyakan via email, namun tidak ada jawaban hingga

saat ini.

Page 48: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

47

Universitas Indonesia

Oleh karena itu, peneliti membuat norma tes yang hanya berlaku pada

kelompok partisipan, yaitu dengan within-group norms dengan perhitungan

persentil. Dengan metode ini, kinerja individu dievaluasi berdasarkan kinerja

kelompok terstandarisasi yang paling bisa dibandingkan. Dalam hal ini, peneliti

membandingkan skor individu yang sehat dengan individu penyandang kusta.

Peneliti membuat norma yang berasal dari 48 orang indvidu sehat yang peneliti

ambil datanya saat menguji validitas dan reliabilitas alat ukur. Persentil

mengindikasikan posisi relatif individu dalam sampel yang standar (Anastasi &

Urbina, 1997). Dengan metode persentil, maka orang yang berada di tengah

kelompok akan berada pada persentil ke-50. Persentil ke-50 inilah yang disebut

sebagai median yang menunjukkan unjuk kerja yang biasa atau sedang. Oranag

yang berada pada persentil di atas 50 menunjukkan unjuk kerja di atas rata-rata,

sedangkan yang dibawahnya dianggap inferior/rendah. Adapun norma rata-rata

skor total social adjustment dan norma rata-rata skor tiap item komponen social

adjustment dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut:

Tabel 3.3 Norma Rata-Rata Skor Total Social Adjustment

Kategori Skor total

Rendah ≤58

Sedang 59-65

Tinggi ≥66

3.7.2 Teknik Pengolahan Data

Dalam pengolahan data menggunakan SPSS (Statistical Package for Sosial

Science) beberapa teknik yang digunakan untuk membantu dalam analisis data

adalah :

1. Statistika Deskriptif

Page 49: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

48

Universitas Indonesia

Statistika deskriptif digunakan untuk melihat gambaran umum mengenai

karakteristik dari sampel penelitian berdasarkan nilai rata-rata atau mean,

frekuensi, dan persentase dari skor yang didapatkan.

3.7.3 Pelaksanaan

Pengambilan data dilakukan di pemukiman bagi mantan penyandang kusta di

sekitar Rumah Sakit Kusta Sitanala Tangerang atau yang biasa disebut dengan

perkampungan kusta. Perkampungan kusta Sitanala terdiri dari 11 lorong, yaitu

Lorong 1 hinga Lorong 11. Lorong adalah sebutan untuk sebuah gang oleh

masyarakat di wilayah tersebut. Selain lorong, warga setempat juga menyebutkan

beberapa wilayah lain, seperti Bangsal jompo dekat RSK, menara PAM, serta

SAL DKI. Dari sejumlah wilayah tersebut, peneliti memilih lorong 5-8, bangsal

jompo, menara PAM, dan SAL DKI sebagai lokasi pengambilan data. Pemilihan

lokasi pengambilan data didasarkan pada akses dan informasi yang diperoleh

peneliti saat survei sebelumnya.

Peneliti tiba di lokasi pemukiman kusta pada hari Selasa, 31 Mei 2011

sekitar pukul 6 pagi. Dalam proses pengambilan data ini, peneliti kembali dibantu

oleh dua orang rekan yang sebelumnya juga terlibat dalam tahap uji keterbacaan.

Sebelum pengambilan data, peneliti memberikan arahan singkat kepada dua rekan

peneliti agar pelaksanaan pengambilan data dapat berlangsung dengan baik.

Namun, salah seorang rekan peneliti yang merupakan warga tidak dapat ikut

mendampingi peneliti dalam pengambilan data sehingga pengambilan data hanya

dilakukan oleh peneliti dan rekan peneliti yang merupakan alumni Fakultas

Psikologi UI.

Pemberian kuesioner dimulai pada pukul 07.00 WIB hingga 18.30 WIB di

rumah masing-masing partisipan. Dalam setiap pengambilan data yang dilakukan

peneliti, instruksi dan proses pengerjaan dilakukan secara individual. Hal ini

dilakukan untuk, menghindari kemungkinan partisipan untuk bertanya kepada

orang lain. Instruksi secara individual yang dimaksudkan oleh peneliti adalah

peneliti memberikan instruksi secara personal dan dalam pengerjaan kuesioner,

harus dipastikan partisipan tidak bertanya kepada orang lain, tetapi hanya kepada

peneliti.

Page 50: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

49

Universitas Indonesia

Meskipun demikian, peneliti mendapati beberapa kendala dalam

melakukan pengambilan data. Salah satu kendala yang dihadapi adalah pengisian

kuesioner tidak dapat dilakukan sendiri oleh partisipan, namun harus dibacakan

dan dijelaskan kembali oleh peneliti. Bukan hanya karena keterbatasan partisipan

dalam membaca dan menulis, melainkan partisipan juga keberatan untuk mengisi

sendiri. Mereka justru meminta peneliti untuk membacakan isi kuesioner. Hal ini

juga berakibat pada waktu pengambilan data yang menjadi lebih lama sekitar 45-

60 menit dari perkiraan semula.

Kendala lain yang dihadapi adalah sulitnya memperoleh partisipan yang

bersedia mengikuti penelitian ini. walaupun dibantu oleh rekan peneliti, peneliti

hanya mendapatkan 22 orang partisipan. Sementara itu, data yang bisa diolah oleh

peneliti hanya sejumlah 20 partisipan karena 2 partisipan lainnya tidak dapat

mengingat data pribadi mereka secara lengkap, seperti usia, tanggal lahir, vonis

kusta pertama kali hingga dinyatakan sembuh secara medis oleh dokter, ataupun

gejala-gejala kusta yang dialami dulu. Kesulitan ini dikarenakan sebagian besar

warga bersifat reluktan untuk mengikuti penelitian ini. Terakhir, peneliti

memberikan reward berbentuk gelas mug kepada partisipan. sebagai bentuk

ungkapan terima kasih atas kesediaannya mengikuti penelitian ini.

Page 51: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

50

Universitas Indonesia

4. ANALISIS DAN INTERPRETASI PENELITIAN

Hasil penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berisi pemaparan

mengenai gambaran umum partisipan penelitian berdasarkan data demografis.

Bagian kedua berisi pemaparan mengenai hasil dan analisis utama dan bagian

ketiga mengenai hasil dan analisis tambahan.

4.1 Gambaran Umum Partisipan Penelitian

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 20 orang mantan penyandang kusta

yang sudah dinyatakan sembuh secara medis. Partisipan berasal dari pemukiman

mantan kusta di sekitar Rumah Sakit Kusta Sitanala, Tangerang atau disebut juga

dengan perkampungan kusta. Sebagian besar partisipan berjenis kelamin wanita,

berusia 50-62 tahun, berpendidikan SD, tidak bekerja, sudah menikah, memiliki

tanggungan 0-2 orang, memiliki cacat fisik, dan divonis kusta selama 2-14 tahun.

Berdasarkan tabel 4.1 terlihat bahwa partisipan wanita memiliki proporsi

yang lebih besar, yaitu sebesar 60%. Sementara itu, rentang usia partisipan dalam

penelitian ini adalah 24-75 tahun. Dalam hal ini, peneliti melakukan pembagian

kelompok berdasarkan rentang usia seperti yang tertera pada tabel. Berdasarkan

tabel tersebut, dapat terlihat bahwa mayoritas partisipan dalam penelitian ini

berada dalam rentang usia 50-62 tahun (40%).

Tabel 4.1. Proporsi Jenis Kelamin dan Usia Partisipan

Aspek Demografis Frekuensi %

Jenis Kelamin Pria 8 40

Wanita 12 60

Total 20 100

Usia 24-36 3 15

37-49 6 30

50-62 8 40

63-75 3 15

Total 20 100

Page 52: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

51

Universitas Indonesia

Tabel 4.2. Proporsi Pendidikan dan Pekerjaan Partisipan

Aspek Demografis Frekuensi %

Pendidikan SD 12 60

SMP 1 5

SMA/Sederajat 2 10

Tidak sekolah 5 25

Total 20 100

Pekerjaan Pedagang 3 15

Teknisi 2 10

Buruh 3 15

Pemulung 3 15

Pengemis 1 5

Ibu rumah tangga 8 40

Total 20 100

Aspek demografis lain yang juga dilihat dalam penelitian ini adalah

pendidikan dan pekerjaan pada Tabel 4.2 di atas. Berdasarkan tingkat pendidikan,

dapat dilihat pada tabel di atas bahwa sebagian besar partisipan dalam penelitian

ini memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar (60%). Proporsi partisipan yang

tidak sekolah sebesar 25%, sedangkan proporsi partisipan dengan pendidikan

SMP sebesar 5%. Sementara itu, proporsi terkecil dimiliki oleh kelompok

partisipan dengan tingkat pendidikan SMA/sederajat (10%).

Pekerjaan partisipan dalam penelitian ini cukup bervariasi sehingga

peneliti mengelompokkannya ke dalam 6 kelompok, yaitu pedagang, teknisi,

buruh, pemulung, pengemis, dan ibu rumah tangga. Partisipan yang memiliki

pekerjaan sebagai pedagang meliputi pedagang kerupuk pangsit dan pedagang

warung. Partisipan yang memiliki pekerjaan sebagai teknisi termasuk di dalamnya

teknisi elektronik dan teknisi kaki palsu. Partisipan yang termasuk buruh terdiri

dari buruh panggul di pasar dan pembantu di sekolah TK dan SD. Melalui

penggolongan tersebut, proporsi tertinggi dimiliki oleh partisipan yang bekerja

Page 53: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

52

Universitas Indonesia

sebagai ibu rumah tangga (40%) dan paling rendah dimiliki oleh partisipan yang

bekerja sebagai pengemis (5%).

Aspek demografis lain dalam penelitian ini adalah status pernikahan dan

jumlah tanggungan. Berdasarkan tabel 4.3, dapat diketahui bahwa mayoritas

partisipan dalam penelitian ini berstatus menikah (60%). Proporsi janda sebanyak

25% sedangkan lajang atau yang belum menikah 15%. Jumlah tanggungan

merupakan jumlah orang yang dinafkahi oleh partisipan. Orang yang dinafkahi

tersebut dapat meliputi keluarga inti (orang tua, suami, istri, anak, adik, dan

kakak) maupun kerabat di luar keluarga inti. Melalui tabel di atas, dapat dilihat

bahwa sebagian besar subyek memiliki jumlah tanggungan sebanyak 0-2 jiwa

(65%) dan hanya sebagian kecil partisipan memiliki jumlah tanggungan 6-8 jiwa

(15%).

Aspek demografis lain yang juga penting dalam penelitian ini adalah cacat

fisik dan lama vonis kusta. Berdasarkan tabel 4.4 di bawah dapat dilihat bahwa

mayoritas partisipan dalam penelitian ini memiliki cacat fisik (75%). Lama vonis

kusta adalah rentang waktu partisipan dinyatakan dokter positif hingga ia

dinyatakan negatif terdapat kuman kusta dalam dirinya. Tabel di atas

menunjukkan bahwa 65% partisipan memiliki lama vonis kusta selama 2-14

tahun.

Tabel 4.3. Proporsi Status Pernikahan dan Jumlah Tanggungan

Aspek Demografis Frekuensi %

Status Pernikahan Lajang 3 15

Menikah 12 60

Janda 5 25

Total 20 100

Jumlah Tanggungan 0-2 13 65

(jiwa) 3-5 4 20

6-8 3 15

Total 20 100

Page 54: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

53

Universitas Indonesia

Tabel 4.4. Proporsi Cacat Fisik dan Lama Vonis Kusta Partisipan

Aspek Demografis Frekuensi %

Cacat Fisik Ya 15 75

Tidak 5 25

Total 20 100

Lama Vonis Kusta 2-14 13 65

(tahun) 15-27 7 35

Total 20 100

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Gambaran Social Adjustment Penyandang Kusta

Dengan menggunakan statistika deskriptif, didapatkan gambaran umum social

adjustment dari partisipan berdasarkan skor terendah, skor tertinggi, rata-rata skor

total, standar deviasi, frekuensi, dan persentase.

Tabel 4.5. Gambaran Social Adjustment Penyandang Kusta

Total Partisipan

Skor

Terendah Skor Tertinggi

Rata-rata

Skor Total Standar Deviasi

20 44 68 55.60 6.652

Tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata skor total social adjustment

partisipan adalah 55,60. Berdasarkan norma yang telah dibuat, skor total tersebut

termasuk dalam kategori rendah. Adapun skor terendah partisipan adalah sebesar

44, sedangkan skor tertinggi partisipan adalah 68 dengan standar deviasi sebesar

6,652. Selain itu, didapatkan pula persebaran skor social adjustment partisipan

dengan frekuensi tertinggi berada dalam kategori social adjustment rendah, yaitu

55% partisipan. Sementara itu, frekuensi terendah berada berada dalam kategori

social adjustment yang tinggi, yaitu 5% partisipan dan sisanya berada dalam

kategori sedang, yaitu 40% partisipan. Lebih lanjut, persebaran rata-rata skor total

social adjustment pada penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara

medis di lingkungan barunya disajikan dalam tabel berikut:

Page 55: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

54

Universitas Indonesia

Tabel 4.6. Persebaran Rata-rata Skor Total Social Adjustment

Partisipan

Kategori Skor total Frekuensi %

Rendah ≤58 11 55

Sedang 59-65 8 40

Tinggi ≥66 1 5

4.2.2 Gambaran Komponen Social Adjustment Penyandang Kusta

Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, social adjustment terdiri dari

lima komponen, yaitu work and leisure, family and extra family relationship,

intellectual interest, satisfaction in roles, dan individual self-perception of his/her

ability to manage and control his environment. Masing-masing komponen juga

terdiri dari beberapa item. Dengan menggunakan statistika deskriptif yang sama,

didapatkan juga gambaran umum komponen social adjustment dari partisipan

berdasarkan rata-rata skor tiap item.

Tabel 4.7. Gambaran Umum tiap Item Komponen Social Adjustment

Komponen Ítem

Mean (SD)

Penyandang

Kusta

Mean (SD)

Indivdu

Sehat

Work and

Leisure

12.21(2.385)

Interest in job and

household work

Apakah Anda menyukai

pekerjaan Anda? 3.35(.813) 3.17(.859)

Enjoy job and

household work

Apakah Anda menyukai

pekerjaan rumah

tangga, seperti

menyapu, mengepel,

beres-beres rumah,

mencuci baju, dan lain-

lain?

3.30(.865) 3.27(.792)

Interest in leisure Anda menjalani

pekerjaan atau

pekerjaan rumah tangga

2.40(1.353) 3.38(.733)

Page 56: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

55

Universitas Indonesia

tersebut dengan:

Satisfaction with

leisure activity

Apakah Anda suka

melakukan hobi Anda

di saat senggang?

2.50 (.761) 2.67(.834)

Family and

extra family

relationship

30.01 (3.930)

Pursuit of family

relationship

Menurut Anda,

bagaimana kualitas dari

waktu senggang yang

Anda punya?

2.60(.598) 3.06(.633)

Satisfaction with

family relationship

Seberapa sering Anda

mencari anggota

keluarga seperti

suami/istri, anak, orang

tua, dan lan-lain untuk

berkomunikasi?

3.00(.649) 3.21(.743)

Sociability Di luar keluarga Anda,

apakah Anda memiliki

pertemanan dengan:

3.35(.745) 3.69(.552)

Pursuit of family

relationships

Apakah Anda mencoba

untuk menciptakan

hubungan dengan orang

lain:

2.45(.826) 2.73(.736)

Quality of

extrafamily

relationships

Secara umum,

bagaimana Anda

menilai hubungan Anda

dengan orang lain?

2.75(.716) 3.15(.505)

Evaluation of

extrafamily

relationships

Bagaimana penilaian

Anda terhadap

hubungan Anda dengan

orang lain di luar

keluarga?

2.90(.852) 3.31(.589)

Social attractiveness Seberapa sering orang-

orang dalam lingkaran

sosial Anda mencari

Anda untuk

2.50(.761) 2.92(.577)

Page 57: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

56

Universitas Indonesia

berkomunikasi dengan

Anda?

Level of social

adjustment

Apakah Anda

mengikuti aturan-aturan

sosial, tata krama,

kesopanan, dan lain-

lain?

3.35(.587) 3.52(.505)

Participation in

community

Sampai taraf apa

keikutsertaan Anda

dalam kehidupan

bermasyarakat? (seperti

karang taruna, Arisan

RT/RW, grup

pengajian, dll)?

2.85(.875) 2.33(1.059)

Research or

curiosity in society

Apakah Anda suka

mencari informasi

tentang hal-hal, situasi,

dan orang lain untuk

meningkatkan

pemahaman Anda

terhadap mereka?

2.15(.813) 2.98(.699)

Intellectual

interest

2.71 (.963)

Intellectual interest Apakah Anda berminat

pada informasi ilmiah,

teknik, atau budaya?

1.90(1.071) 3.04(.683)

Satisfaction in

roles

9.56(1.013)

Difficulties in

appealing

Apakah Anda

menemukan kesulitan

dalam mengungkapkan

pendapat ataupun

perasaan Anda kepada

orang lain?

2.85(.745) 2.94(.480)

Sensitivity of denial Apakah Anda pernah

merasa ditolak,

dikucilkan dari

lingkungan Anda?

3.75(.639) 3.44(.501)

Page 58: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

57

Universitas Indonesia

Importance of

appearance

Seberapa penting Anda

mempertimbangkan

penampilan fisik Anda?

2.85(.745) 3.23(.660)

Ability to

manage and

control his

environment

5.26(1.128)

Difficulties in

resource

management

Seberapa sering

mengalami kesulitan

dalam mengatur sumber

daya dan pendapatan

yang dimiliki?

2.95(.887) 2.65(.565)

Need of control

around environment

Apakah Anda merasa

mampu mengatur

lingkungan agar sesuai

dengan keinginan dan

kebutuhan Anda?

1.85(.875) 2.81(.762)

59.75(7.049) 55.60 (6.652) 61.48 (6.523)

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata skor social adjustment

pada penyandang kusta (mean= 55.60, SD= 6.652) lebih rendah dibandingkan

dengan individu yang sehat (mean= 61.48, SD= 6.523). Individu sehat yang

dimaksud adalah individu yang tidak menyandang kusta dan telah diambil datanya

dalam penelitian ini untuk uji validitas dan reliabilitas.

Dari keseluruhan item, dapat dilihat bahwa item need of control around

environment dan intellectual interest, yang diwakili oleh pertanyaan “Apakah

Anda merasa mampu mengatur lingkungan agar sesuai dengan keinginan dan

kebutuhan Anda?” dan “Apakah Anda berminat pada informasi ilmiah, teknik,

atau budaya?”, memiliki rata-rata skor paling rendah dibandingkan dengan item

yang lainnya, yaitu 1.85 (0.875) dan 1.90 (1.071). Sementara itu, dapat dilihat

juga bahwa item Sensitivity of denial yang diwakili oleh pertanyaan “Apakah Anda

pernah merasa ditolak, dikucilkan dari lingkungan Anda?” memiliki rata-rata skor yang

paling tinggi dibandingkan dengan item lainnya, yaitu 3.75(.639).

Kemudian, dapat dilihat rata-rata skor tiap item pada tiap komponen. Pada

komponen work and leisure, item yang memiliki rata-rata skor paling rendah

adalah minat partisipan untuk melakukan hobi atau kegiatan di waktu senggang

(interest in leisure), dengan pertanyaan “Anda menjalani pekerjaan atau pekerjaan

Page 59: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

58

Universitas Indonesia

rumah tangga tersebut dengan:”, yaitu 2.40(1.353). Untuk komponen family and

extra-family relationship, item research or curiosity in society dan pursuit of

family relationships, yang diwakili oleh pertanyaan “Apakah Anda suka mencari

informasi tentang hal-hal, situasi, dan orang lain untuk meningkatkan pemahaman

Anda terhadap mereka?” dan “Apakah Anda mencoba untuk menciptakan

hubungan dengan orang lain:”, memiliki rata-rata skor total paling rendah, yaitu

2.15(.813) dan 2.45(.826). Sementara itu, pada komponen yang terakhir, ability to

manage and control his environment, item need of control around environment,

dengan pertanyaan “Apakah Anda merasa mampu mengatur lingkungan agar

sesuai dengan keinginan dan kebutuhan Anda?”, memiliki rata-rata skor paling

rendah, yaitu 1.85(.875).

4.3 Gambaran Hasil Penelitian Berdasarkan Aspek Demografis

Berikut ini akan dijabarkan gambaran social adjustment yang ditinjau dari aspek-

aspek demografis partisipan. Hasil pengolahan data yang akan disajikan pada

bagian ini hanyalah gambaran perbedaan rata-rata skor total social adjustment

pada masing-masing aspek demografis. Hal ini dikarenakan jumlah partisipan

dalam penelitian ini hanya berjumlah 20 partisipan, sedangkan menurut Guilford

dan Fruchter (1978) jumlah minimal partisipan dalam sebuah penelitian

kuantitatif agar dapat diolah secara statistik berjumlah 30 partisipan. Jumlah

tersebut adalah kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan pengolahan dan

analisis statisitik parametrik yang adekuat dan mengikuti kurva normal. Aspek-

aspek tersebut, diantaranya adalah jenis kelamin, rentang usia, pendidikan

partisipan, lama vonis kusta, cacat fisik, dan status pernikahan.

Berdasarkan tabel di bawah terlihat bahwa rata-rata skor social adjustment

pada penyandang kusta pria (Mean=57.25, SD=8.795) lebih tinggi dibandingkan

dengan wanita (Mean=54.50, SD=4.890). Data juga menunjukkan bahwa di semua

komponen, penyandang kusta pria memiliki rata-rata skor yang lebih tinggi

dibandingkan dengan penyandang kusta wanita. Namun, dapat terlihat juga bahwa

keduanya memiliki rata-rata skor paling rendah pada komponen intellectual

interest yang diwakili dengan pertanyaan “Apakah Anda berminat pada informasi

ilmiah, teknik, atau budaya?”, yaitu penyandang kusta pria (mean=2.38, SD= 1.302)

dan penyandang kusta wanita (mean=1.58, SD=.793). Sementara itu, skor paling tinggi

Page 60: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

59

Universitas Indonesia

penyandang kusta pria ataupun wanita terlihat pada komponen Family and extra-family

relationship.

Tabel 4.8. Perbedaan Rata-Rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Jenis

Kelamin

Komponen Social Adjustment Pria

Mean (SD)

Wanita

Mean (SD) Mean (SD)

Work and leisure 11.6 (3 3.292) 11.50 (2.393) 11.55 (2.704)

Family and extra-family relationship 28.50 (4.598) 27.50 (2.812) 27.90 (3.553)

Intellectual interests 2.38 (1.302) 1.58 (.793) 1.90 (1.071)

Satisfaction in roles 9.63 (1.188) 9.33(1.073) 9.45 (1.099)

ability to manage and control his

environment 5.13(1.727) 4.58 (.515) 4.80 (1.152)

Total 57.25 (8.795) 54.50 (4.890) 55.60 (6.652)

Aspek demografis yang juga dapat dilihat adalah pada aspek usia

partisipan. Berikut adalah perbedaan rata-rata skornya:

Tabel 4.9. Perbedaan Rata-Rata Skor Social Adjustment Berdasarkan

Rentang Usia

Komponen Social Adjustment 24-36 tahun

Mean (SD)

37-49 tahun

Mean (SD)

50-62 tahun

Mean (SD)

63-75 tahun

Mean (SD)

Work and leisure 12.67 (.577) 12.67 (2.875) 9.88 (2.642) 12.679 (2.309)

Family and extra-family

relationship 32.67(2.517) 28.17 (3.125) 25.75 (2.915) 28.33 (2.517)

Intellectual interests 3.00 (1.000) 2.50 (1.225) 1.25 (.463) 1.33 (.577)

Satisfaction in roles 10.00 (1.000) 9.33 (1.506) 9.63 (.916) 8.67 (.577)

ability to manage and control

his environment 5.33 (.577) 4.50 (1.049) 4.50 (.926) 5.67 (2.082)

Total 63.67 (4.041) 57.17 (6.494) 51.00 (4.504) 56.67 (6.028)

Dengan demikian dapat dilihat bahwa rata-rata skor yang paling tinggi

ditunjukkan pada partisipan dengan rentang usia 24-36 tahun (Mean=63.67, SD=

4.041) dibandingkan dengan rentang usia lainnya, sedangkan rata-rata skor paling rendah

Page 61: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

60

Universitas Indonesia

ditunjukkan pada partisipan dengan rentang usia 50-62 tahun (Mean= 51.00, SD=4.504).

Sementara itu, di semua rentang usia, rata-rata skor paling tinggi terlihat pada item

Family and extra-family relationship, sedangkan rata-rata skor paling rendah

terlihat pada komponen intellectual interest.

Sementara itu, pada tabel 4.10. dapat dilihat perbedaan rata-rata skor

partisipan berdasarkan pendidikannya. Berikut tabelnya:

Tabel 4.10. Perbedaan Rata-Rata Skor Social Adjustment Berdasarkan

Pendidikan Partisipan

Komponen Social

Adjustment

SD

Mean (SD)

SMP

Mean

(SD)

SMA

Mean (SD)

Tidak

sekolah

Mean (SD)

Mean (SD)

Work and leisure 10.33 (2.839) 13.00(-) 13.50(.707) 13.40(1.140) 11.55 (2.704)

Family and extra-

family relationship 26.17(2.980) 30.00(-) 29.00(2.828) 31.20(3.033) 27.90 (3.553)

Intellectual interests 1.25(.452) 4.00(-) 2.00(1.414) 3.00 (.707) 1.90 (1.071)

Satisfaction in roles 9.42 (.900) 11.00(-) 8.50 (2.121) 9.60(1.140) 9.45 (1.099)

ability to manage and

control his

environment

4.83(1.267) 4.00(-) 5.00(1.414) 4.80(1.095) 4.80 (1.152)

Total 52.00 (5.427) 62.00(-) 58.00(7.071) 62.00(3.674) 55.60 (6.652)

Mengacu pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata skor social adjustment

paling rendah terlihat pada partisipan yang memiliki pendidikan SD, sedangkan

rata-rata skor paling tinggi terlihat pada partisipan yang memiliki pendidikan SMP

dan tidak sekolah. Sementara itu, dari semua pendidikan, rata-rata skor paling

rendah terlihat pada komponen intellectual interest.

Perbedaan rata-rata skor social adjustment berdasarkan lama vonis kusta

dapat dilihat pada tabel 4.11. Berdasarkan tabel di bawah, dapat dilihat bahwa

rata-rata skor social adjustment pada penyandang kusta dengan lama vonis kusta

15-27 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan penyandang kusta dengan lama

vonis kusta 2-14 tahun. Pada kedua lama vonis kusta terlihat bahwa komponen

Page 62: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

61

Universitas Indonesia

intellectual interest memiliki rata-rata skor yang peling rendah sedangkan

komponen Family and extra-family relationship memiliki rata-rata skor yang

paling tinggi.

Tabel 4.11. Perbedaan Rata-Rata Skor Total Social Adjustment Berdasarkan

Lama Vonis Kusta

Komponen Social Adjustment 2-14 tahun

Mean (SD)

15-27 tahun

Mean (SD) Mean (SD)

Work and leisure 10.54 (2.817) 13.43 (.976) 11.55 (2.704)

Family and extra-family

relationship 26.54 (3.152) 30.43 (2.936) 27.90 (3.553)

Intellectual interests 1.38 (.650) 2.86 (1.069) 1.90 (1.071)

Satisfaction in roles 9.46 (.877) 9.43 (1.512) 9.45 (1.099)

Ability to manage and control

his environment 4.92 (1.256) 4.57 (.976) 4.80 (1.152)

Total 52.85 (6.026) 60.71(4.536) 55.6 (6.652)

Peneliti juga mencoba melihat perbedaan rata-rata skor social adjustment

pada ada atau tidaknya cacat fisik pada penyandang kusta. Berdasarkan tabel 4.12

dapat dilihat bahwa rata-rata skor total social adjustment pada penyandang kusta

yang tidak memiliki cacat fisik lebih tinggi dibandingkan dengan penyandang

kusta yang memiliki cacat fisik. Sementara itu, dapat dilihat juga bahwa baik

penyandang fisik yang memiliki cacat fisik atau tidak memiliki rata-rata skor yang

paling rendah pada komponen intellectual interest dan memiliki rata-rata skor

yang paling tinggi pada komponen Family and extra-family relationship.

Sementara itu, perbedaan rata-rata skor social adjustment berdasarkan

status pernikahan dapat dilihat pada tabel 4.13. Di dalam tabel tersebut dapat

dilihat bahwa penyandang kusta yang masih lajang memiliki rata-rata skor social

adjustment yang paling tinggi dibandingkan dengan penyandang kusta yang

memiliki status pernikahan lainnya, sedangkan yang paling rendah adalah

penyandang kusta yang memiliki status pernikahan janda. Sementara itu, dapat

dilihat bahwa semua partisipan memiliki rata-rata skor total yang paling rendah

Page 63: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

62

Universitas Indonesia

pada komponen intellectual interest dan paling tinggi pada komponen Family and

extra-family relationship.

Tabel 4.12. Perbedaan Rata-Rata Skor Total Social Adjustment berdasarkan

Ada atau Tidaknya Cacat Fisik

Komponen Social

Adjustment

Ya

Mean (SD)

Tidak

Mean (SD) Mean (SD)

Work and leisure 11.47 (2.615) 11.80 (3.271) 11.55 (2.704)

Family and extra-family

relationship 27.20 (3.189) 30.00 (4.123) 27.90 (3.553)

Intellectual interests 1.47 (.743) 3.20 (.837) 1.90 (1.071)

Satisfaction in roles 9.33 (1.175) 9.80 (.837) 9.45 (1.099)

Ability to manage and

control his environment 4.73 (1.280) 5.00 (.707) 4.80 (1.152)

Total 54.20 (5.833) 59.80 (7.855) 55.60 (6.652)

Tabel 4.13. Perbedaan Rata-Rata Skor Total Social Adjustment Berdasarkan

Status Pernikahan

Komponen Social

Adjustment

Lajang

Mean (SD)

Menikah

Mean (SD)

Janda

Mean (SD) Mean (SD)

Work and leisure 13.00(1.000) 11.92 (2.843) 9.80 (2.490) 11.55 (2.704)

Family and extra-

family relationship 27.33(5.508) 28.50(3.425) 26.80(3.114) 27.90 (3.553)

Intellectual interests 2.33 (1.155) 2.08(1.165) 1.20 (.447) 1.90 (1.071)

Satisfaction in roles 10.00(1.000) 9.25 (1.288) 9.60(.548) 9.45 (1.099)

Ability to manage and

control his

environment

5.33 (.577) 4.83(1.403) 4.40(.548) 4.80 (1.152)

Total 58.00(5.568) 56.58 (7.342) 51.80(4.604) 55.60 (6.652)

4.4 Hasil Wawancara

4.4.1 Hasil Wawancara Partisipan C

Page 64: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

63

Universitas Indonesia

4.4.1.1 Kondisi Fisik

Gejala awal kusta yang diderita oleh C ditandai oleh munculnya flek

berwarna putih di dengkul sebelah kanan. Akan tetapi, ia mengira saat itu ia hanya

terkena sakit kulit panu. Meskipun telah diberikan obat panu, flek tersebut tidak

hilang dan justru melebar ke seluruh kaki.

“…saya kena flek pertamanya di sini…iya, terus di tangan, berubah jadi

panu, putih. Terus pake Kalpanax ngga ilang, ngelebar. Kan tangan ngga

berasa…”

(Baris ke-2 dan Baris ke-6)

Kaki-kakinya pun terasa linu jika digunakan untuk berjalan di aspal. C

hanya merasakan ada sesuatu yang mengganjal apabila kakinya menginjak batu

kecil.

“…langsung kemari tu ngga terasa. Kalo saya nginjek aspal atau tanah

gitu ya, kaki kanan tu linu. Linu dah, ngga bisa dah pokoknya. Ada batu

sedikit aja kayanya ngeganjel…”

(Baris ke-8)

Kaki C pernah tertusuk duri ikan, namun ia tidak merasakan sakit apapun.

Ia pun mencungkil duri tersebut dengan menggunakan peniti. Akan tetapi, yang

terjadi adalah luka di kakinya menjadi infeksi dan tak kunjung sembuh, bahkan

semakin bertambah lebar dari sebelumnya. Setelah itu, tanpa disadari oleh C, ibu

jari kakinya terputus. Oleh karena itu, ia selalu melapisi kakinya dengan kain tebal

saat berjalan.

“…ngga sakit, cuma linu ke tulang. Nah itu sampe kena tusuk tulang ikan,

terus dikerik pake peniti. Setelah itu, kok makin lama makin besar? He-eh.

Makin membesar, makin membesar, jempolnya tahu-tahu kelepas. Iya,

dialasin terus kakinya..”

(Baris ke-11 sampai 16)

C menderita kusta tipe T dan kering, dimana kuman kusta menyerang

bagian tulang terlebih dahulu serta tidak menular. Kusta yang dideritanya

mengakibatkan perubahan fisik pada diri C. Awalnya, jari-jari tangan kirinya

menjadi kiting dan kemudian diikuti oleh jari tangan kanan yang juga menjadi

kiting.

Page 65: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

64

Universitas Indonesia

“Jenisnya? T. Jadi kenanya tu di bagian tulang… saya kering, kalo basah

tu gemuk, kaya orang keringetan. Itu menular….Tapi saya juga nih, kalo

lagi reaksi, panas-dingin, biar kata dokter ngga nular, kan tipe basah

nularnya pas lagi reaksi tuh, anak-anak ngga boleh kena. Tapi biarpun

kata dokter ngga nular, saya tetep jauhin anak-anak...”

(Baris ke 29 dan Baris ke 319-323)

C pernah melakukan operasi untuk memperbaiki keadaan jari-jarinya ini.

Dari tiga kali operasi, tidak ada yang sepenuhnya berhasil. Kedua tanggannya pun

menjadi semakin lemah.

“Operasi iya, tapi ngga ada reaksi apa-apa. Sempet. Sampe tiga kali saya

operasi, kan makanya ni tangan normal. Ini saya tangan normal tapi agak

lemah. Dulu operasi tapi gagal soalnya yang ngoperasi bukan dokter,

tahun ’95…”

(Baris ke 40-41)

Kemudian, tangannya yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa lagi

menjadi hal yang harus diwaspadai apabila menyentuh sesuatu yang panas. Suatu

hari tiba-tiba kulit C menggelembung dan melepuh karena memegang benda

panas yang ia tidak sadari. Oleh karena itu, setiap kali ia akan memegang suatu

benda, ia harus membauinya terlebih dahulu apakah beraroma panas atau tidak.

“…kalo ada yang panas-panas, saya hindari. Karena kan ngga berasa,

ntar tahu-tahu melembung aja, melepuh. Soalnya kalo kulit kaya gini,

keringnya bisa tahunan. Apalagi kalo kaki sering dipake jalan, bisa

tahunan. Tapi udah 25 tahun ini ngga kambuh-kambuh…”

(Baris ke 46-49

Ia juga tidak kuat lagi untuk berjalan meskipun sudah menggunakan alas

kaki, akibat dari rasa linu di tulang-tulang kakinya. Mobilisasi pun dilakukan

dengan merangkak. Di samping itu, kulitnya pun menjadi kering dan apabila

terluka, luka tersebut tidak lekas pulih. Sementara itu, apabila kaki C terluka dan

tetap digunakan untuk berjalan, lukanya tidak akan sembuh, bahkan hingga

hitungan tahun.

“Kalo jalan kaki mah ngga kuat saya. Ya paling saya merangkak gitu.

Kalo buat nginjek nih, biarpun pake sandal, sakit ini. Pokoknya ngga

tahan dah rasa sakitnya. Kalo ada luka kaki saya ngga bisa dipake…”

(Baris ke 53-61)

4.4.1.2 Diagnosis Kusta oleh Dokter

Page 66: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

65

Universitas Indonesia

Pada tahun 1978, setelah kepulangannya dari merantau ke beberapa

daerah, akhirnya C memutuskan untuk memeriksakan penyakit kulitnya tersebut

ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Namun, menurut penuturan C, dokter

yang memeriksanya hanya memberitahu bahwa ia menderita penyakit kulit biasa.

”…ngga. Udah gitu saya di Cipto…udah abis tanah dijualin, sembuh juga

ngga. Terus orang tua juga udah capek kali ya ngebiayain, sampe

almarhum ngurusin saya. Di Cipto saya cuman dibilang kena sakit kulit

biasa..”

(Baris ke 22-21)

Ia baru mengetahui penyakit yang sesungguhnya setelah ia memeriksakan

diri ke puskesmas. Dokter memberitahukan bahwa ia sebenarnya menderita kusta.

C pun terkejut saat mendengar hal tersebut dan mempertanyakan alasan dokter

sebelumnya yang tidak berterus terang padanya. Kemudian, dokter di puskesmas

pun menjelaskan bahwa pada umumnya rumah sakit enggan memberitahukan

keadaan yang sebenarnya kepada pasien karena dikhawatirkan pasien akan merasa

minder atau bahkan bunuh diri. Selain itu, rumah sakit juga khawatir apabila

pasien diusir dari keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. C pun merasa sedih

dan terpukul karena apa yang telah dilakukannya selama ini sia-sia.

“Terus sampe di puskesmas ya, uang saya kan udah abis ya untuk berobat,

ada yang bilangin, ke puskesmas. Sampe puskesmas baru saya sedih, ya

Allah, saya bilang, kenapa saya baru dibilangin sakit kusta? Terus

katanya, gini pak, kalo dikasih tahu, takutnya Bapak jadi minder atau

takut bunuh diri apa gimana ya? Justru emang banyak disembunyiin pak,

takut dari keluarga tu Bapak diusir atau gimana..”

(Baris ke 284-287)

4.4.1.3 Pengobatan yang Dilakukan terhadap Gejala Kusta

Setelah didiagnosis mengidap kusta oleh dokter, C pun langsung dirujuk

untuk menjalani pengobatan di RSK Sitanala. C sempat menjalani opname sejak

tahun 1984. Kemudian, ia diizinkan untuk rawat jalan pada tahun 1998.

“…saya diopnam di sini tahun ’84, terus tahun ’98 keluar saya. Saya di

bangsal 4, di situ aja ngga ke mana-mana. Berobat jalan lagi, saya

sebulan di rumah, cek lagi. Pas kaki saya putus, ya Allah, saya sakit apa

ini? Dikasih cobaan, kuat ngga nih saya…”

(Baris ke 328-330)

Selanjutnya, C pun secara rutin memeriksakan diri ke dokter. C

mengonsumsi berbagai macam obat yang diresepkan oleh dokter, di antaranya:

DDS, Amoxilyn, dan antibiotik. Pengobatan untuk luka terkadang menggunakan

Page 67: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

66

Universitas Indonesia

Bioplacenton, tetapi membutuhkan waktu yang agak lama untuk sembuh.

Menurut C, akan lebih cepat pulih apabila menggunakan MSG, yaitu obat yang

merangsang pertumbuhan kulit. C juga menceritakan bagaimana cara

menggunakan MSG, yaitu pertama-tama kapas dicelupkan, lalu ditempelkan pada

kulit yang luka. Setelah itu, pasien tidak diperkenankan untuk beraktivitas sampai

luka tersebut sembuh. Jika tidak demikian, luka akan bertambah besar.

“Obat-obatannya? DDS, terus Amoxilyn, antibiotik, itu aja kayanya.

Pengobatan lukanya itu kadang pake Bioplacenton, tapi itu agak lama

sembuhnya. Yang cepet tu pake MSG, itu buat pertumbuhan kulit. Caranya

kapas dicelupin, terus tempel. Tapi ngga boleh dibuat jalan kakinya,

soalnya kalo dibuat jalan, tambah besar luka itu. Makanya kalo pake MSG

itu total istirahat, tumbuh daging…”

(Baris ke 304-308)

4.4.1.4. Self-efficacy dan Optimisme

Meskipun C menderita penyakit kusta, ia merasa bahwa ia tidak pernah

dikucilkan oleh lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan

masyarakat. Keluarga C tetap menerima dan bahkan membantu C dalam

membersihkan dan mengobati lukanya.

“(keluarga, red.) Ya biasa aja, ngga apa-apa. Malah saya diurusin sama

sodara-sodara saya. Lukanya diobatin. Dari orang tua saya nih, keluarga

9, yang kena cuma saya doang…”

(Baris ke 312-313)

Begitu pula dengan lingkungan tempat tinggalnya yang justru biasa saja

dalam menanggapi penyakit yang diderita C. Warga setempat tidak menganggap

penyakit yang diidap oleh C sebagai momok yang perlu ditakuti.

“Waktu dulu di Kreo ya, ya orang-orang mah biasa aja…”

(Baris ke 130)

“…hubungan saya sama masyarakat situ (warga Larangan, red.) tetep

intim…”

(Baris ke 302)

Tidak hanya masyarakat di tempat ia tinggal, masyarakat dari lingkungan

luar pun datang berkunjung ke rumahnya. Penerimaan yang sangat baik oleh

lingkungan di sekitar C inilah yang membuatnya tidak merasa rendah diri

terhadap orang lain.

“Iya. Cuman dari mana-mana tu ya, ini saya ngga tau ya dipanggil

makelar apa bukan ya, kadang-kadang orang nyari tanah sama saya,

nyari motor sama saya. Saya ngga merasa minder, biarpun kaki saya udah

agak bau udah kena tulang gitu. Kan kalo kena tulang agak bau. Orang-

Page 68: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

67

Universitas Indonesia

orang sana juga uda pada tau, orang-orang Pondok Aren. RT, RW-nya

pada ke rumah saya…”

(Baris ke 70-74)

Teman-teman C pun tidak menjauhinya serta tetap berkunjung ke

rumahnya, meskipun mengetahui penyakit yang diderita C. Bahkan, mereka tidak

segan untuk berbagi isapan rokok dengan C. Di samping itu, tidak jarang orang-

orang meminta bantuannya untuk mencari tanah, kendaraan, ataupun

memperbaiki barang elektronik.

“Biasa aja, ngga menjauhi saya. Malah pada duduk sama saya rame-

rame, barengan sama saya. Malah seneng sama saya.”

(Baris ke 325)

“…pada ngobrol sama saya, kadang-kadang ke kamar saya juga.

Keadaan saya begini nih udah ngga apa-apa Pak C, tenang aja. Kita

ngerokok, saya sediain rokoknya, diisep sama dia. Kenapa jadi takut? Dia

tau kan ya karena saya begini kan ya, sayanya luka begini, saya nanya

“Nih lu isep nih. Mau ngga? Takut ngga?”. “Ngapain takut? Orang Pak

C aja sehat-sehat aja kok. Masa takut nular saya, ya ngga…””

(Baris ke 230-239)

Meskipun demikian, bukan berarti C tidak pernah mengalami rasa rendah

diri sama sekali. Ia merasa minder dan sungkan terhadap orang lain setiap kali

luka-luka di tubuhnya mengeluarkan bau yang tidak sedap sehingga menggangu

kenyamanan orang yang berada di dekatnya. Apabila hal tersebut terjadi, ia tidak

akan keluar rumah hingga lukanya sembuh dan bau tidak sedap yang dihasilkan

oleh lukanya hilang.

“…ya kecuali kalo udah kena tulang, kan agak bau tuh ya. Ya saya

biasanya operasi dulu. Mau ketemu orang agak ngerasa ngga enak…”

(Baris ke 126-127)

Hingga saat ini, C masih memendam keinginan untuk memiliki rumah

sendiri karena rumah tempat ia bermukim di Sitanala saat ini merupakan milik

pemerintah. Rumah tersebut memang diperuntukkan bagi penyandang kusta saja.

Jadi, apabila ia dan istrinya wafat, anak-anaknya yang sehat harus meninggalkan

rumah tersebut. Ia juga berkeyakinan bahwa selama Tuhan mengizinkan, ia pasti

mampu mewujudkan keinginannya tersebut.

“Punya rumahlah. Ini kan rumah pemerintah…pokoknya selama masih

ada umur nih, ya kita tinggal. Tapi kalo anak saya udah ngga ada orang

tua, saya udah ngga ada umur, istri saya udah ngga ada umur? Kan ini

untuk orang sakit. Jadi kan ngga bisa tinggal di sini lagi…”

(Baris ke 78-90)

Page 69: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

68

Universitas Indonesia

“Insya Allah kalo Tuhan mengizinkan (memiliki rumah sendiri, red.)…”

(Baris ke 92)

4.4.1.5 Kemampuan Menghadapi Stres

Setelah C keluar dari bangsal rumah sakit dan menjalani rawat jalan

selama sebulan, kaki C diamputasi. Saat itu, C mengaku sempat mengalami

guncangan karena ia tidak tahu apakah ia masih bisa menghidupi keluarganya atau

tidak. Akhirnya, ia hanya memasrahkan diri pada Tuhan. Sekarang pun ia tidak

mau terlalu pusing memikirkan kehidupannya, walaupun ia memiliki banyak

anak. Ia mengibaratkannya seperti “makan nasi dengan garam saja sudah cukup”.

“…ya ngapain dipikirin, ada kita makan, ngga ada ya udah. Makan nasi

sama garem cukup. Ngapain dibuat pikiran, kata saya gitu. Tapi kalo ngga

ada mau ngapain kita paksa-paksain kan? Yang ada kita jual, lama-lama

juga abis kan? Ya saya mah gitu aja orangnya. Saya ngga terbiasa jadi

mikirin…”

(Baris ke 101-104

4.4.1.6 Citra Diri

C mendapatkan penghasilan dengan mengerjakan apa saja yang mampu ia

lakukan. Setelah putus sekolah karena orang tua tidak mampu membiayainya, ia

pergi merantau untuk bekerja apa saja dan belajar dengan memperhatikan apa

yang orang lain kerjakan. Salah satu kemampuan yang ia miliki adalah mereparasi

alat-alat elektronik seperti televisi, radio, ponsel dan lain-lain.

“Kekuatan saya? Ya kalo saya…gimana ya? Ya paling di tipi doang saya.

Servis tipi bisa..”

(Baris ke 111-113)

“Saya? Ya mungkin saya…itulah kan kalo kata orang dulu, kalo sama

otak-otak orang sekarang ya, kalo dulu mah biar SR, otaknya mateng.

Makanya saya bilang kan saya cuma SR kelas 3…jadi kan tu pas umur

segitu udah merantau ke mana-mana. Jadi kalo ada orang lagi ngerjain

apa, itu saya perhatiin…”

(Baris ke 115-121

“Saya bisa ngerakit kawat tembaga, itu otak saya masuk.”

(Baris ke 123)

Ia pernah bekerja sebagai penjual minyak tanah keliling. Ia juga dulu

menjadi tukang ojeg dan melayani perbaikan gangguan instalasi listrik. Namun,

kini ia tidak lagi melakoni kedua pekerjaan tersebut karena kondisi fisiknya tidak

memungkinkan. Selain itu, ia juga menjadi perantara jual beli tanah, rumah,

Page 70: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

69

Universitas Indonesia

ataupun kendaraan bermotor. Ia bersedia melakukan pekerjaan apapun, selama

pekerjaan tersebut halal dan dapat menambah pemasukan bagi keluarganya.

“Kalo saya dulu kan masih dagang minyak tanah, dagang minyak tanah

keliling.”

(Baris ke 181)

“Saya dulu sempet ngojeg, 5 tahun kalo ngga salah. Langganan saya

kebanyakan orang Padang.”

(Baris ke 337)

“Ya pokoknya orang butuh apa, nyuruh apa, misalnya benerin listrik,

dipanggil, ya saya betulin. Pokoknya apa aja yang saya bisa.”

(Baris ke 192)

“Ya kalo orang sini mah banyak yang sering nyari. Titip Pak C, betulin

motor, tolongin ini nih. Kalo di Kreo, kita hampir setiap hari, kadang

minta cari motor. Kadang bertamu cari inilah inilah sama saya. Orang

minta cariin tanah, cariin rumah. Kan buat uang sampingan lumayan…”

(Baris ke244-247

“Saya tu ngga bisa diem orangnya, apa aja juga saya kerjain. Ini saya

betulin ah, biar jadi duit, gimana caranya buat nyenengin anak.”

(Baris ke 207)

4.4.1.7 Hubungan Interpersonal

Di lingkungannya, ia mengaku tidak lagi mengikuti kegiatan organisasi

kemasyarakatan. Ia sempat bergabung dengan organisasi Permata (Perhimpunan

Masyarakat Kusta), tetapi sekarang tidak lagi. Menurutnya, pengurus organisasi

tersebut tidak bisa dipercaya dan kacau.

“Permata ada dulu, tapi sekarang bubar lagi. Panitianya kacau, ngga

bisa dipegang omongannya. Masalahnya udah susah dipercaya, udah

banyak ngebohongin soalnya.”

(Baris ke 149-153)

Kegiatan kemasyarakatan lainnya, seperti kerja bakti atau Karang Taruna

seperti 17 Agustus-an pun diwakili oleh anak-anaknya karena penyandang kusta

biasanya tidak diperkenankan untuk bekerja. Suatu hari, ia pernah ingin

memberikan kontribusinya dalam suatu kegiatan dengan mengerjakan apa yang

dapat ia kerjakan. sayangnya ketua RT setempat melarangnya karena khawatir

akan memberatkannya. Ia sebenarnya merasa keberatan dan malu atas penolakan

tersebut.

“…kadang-kadang ya, RT sana tu udah Pak C ngga usah…ya kan karena

saya begini ya, kerja juga semampu saya kan, ngga bisa dipaksain. Ya

kadang-kadang tu RT RW sana mandang saya tu, gimana ya? Dikiranya

ngga bisa kerja. Kadang ditolak gitu. Ya kadang saya malu juga.”

Page 71: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

70

Universitas Indonesia

(Baris ke 251-254)

Meskipun memiliki keterbatasan, C mengaku memiliki banyak teman,

terutama di daerah Depok, yang merupakan pemulung. Bersama mereka, ia

seringkali mengobrol ataupun mengisap rokok bersama. Teman-temannya di

Depok pun sering mengunjungi C di Tangerang sekadar untuk mengobrol atau

menghabiskan waktu bersama. C merasa dalam berteman ia tidak perlu merasa

minder dan ia juga aktif mengajak teman-temannya untuk mengobrol. Tidak

hanya bergaul dengan sesama penyandang kusta, tetapi juga dengan orang-orang

yang sehat. Hubungan yang dimiliki pun sangat akrab.

“Ya banyak (teman, red.). Karena saya kan nih lagi di rumah ya, kalo

saya di Depok, bergaul sama anak pemulung-pemulung, pada ngerokok,

jadi satu. Anu…dia malah maranin saya.”

(Baris ke 225-226)

4.4.1.8 Pernikahan

Pernikahan C dengan istrinya saat ini merupakan pernikahan kedua.

Pernikahan pertama terjadi saat C berusia 17 tahun, saat kondisi fisiknya masih

tampak normal, kecuali bagian kaki. Dari pernikahan tersebut, C memiliki satu

orang anak dan saat ini tinggal bersama ibunya. Selama menikah dengan istri

pertamanya, C dan istri masih tinggal bersama keluarga istri dan mereka

seringkali dipisahkan oleh keluarga istri. Hal ini terjadi karena C seringkali

mengalami luka di bagian kaki yang mengeluarkan aroma kurang sedap. C pun

merasa segan setiap pulang ke rumah. Ia takut apabila aroma dari luka di kakinya

mengganggu istri dan mertuanya. Akhirnya, C dan istri pun berpisah.

“…saya kan dua kali kawin. Saya kawin yang pertama, saya dulu saya

masih normal. Kalo saya dulu kan masih dagang minyak tanah, dagang

minyak tanah keliling. Kalo saya pulang itu, aduh gimana ya? Saya tu

takut…takut bau. Jadi saya ngerasa ngga enak sendiri, sama istri, sama

mertua…punya satu (anak, red.), sekarang sama ibunya…”

(Baris ke 179-187)

Kemudian, saat C berusia 35 tahun, ia bertemu dengan seorang wanita

yang kini menjadi istrinya. Saat itu, mereka berdua merupakan pasien RSK

Sitanala yang sama-sama sedang diopname di bangsal. Setelah saling mengenal,

mereka pun menikah dan dikaruniai 6 orang anak.

Page 72: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

71

Universitas Indonesia

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa C kini telah mampu

menyeimbangkan keadaan internal dan kondisi psikologisnya dengan lingkungan

eksternalnya. Ia dapat menerima kekurangan yang dimiliki, merasa cukup puas

dengan keadaan sehari-harinya, dan mensyukuri atas apa yang ia terima.

Sementara itu, ia juga memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan

lingkungannya. Hal tersebut terlihat dari banyaknya teman yang dimiliki oleh C

dan hubungan mereka pun akrab. Selain itu, tidak sedikit orang yang

membutuhkan bantuannya untuk memperbaiki barang-barang elektronik ataupun

mencarikan rumah. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang berada di

sekitar C mengakui keberadaan C dalam lingkungan tersebut.

Lebih lanjut, kondisi fisik C yang diakibatkan oleh penyakit kusta yang

dideritanya cukup memprihatinkan. Dua anggota tubuh vitalnya, yakni tangan dan

kaki, tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun tidak memiliki

kondisi fisik yang dapat berfungsi dengan normal, C memiliki tingkat self-efficacy

yang cukup baik. C menilai dirinya masih memiliki kemampuan untuk

menghidupi diri dan keluarganya. Kemudian, ia juga selalu berpikiran positif

terhadap segala sesuatu yang telah menimpa dirinya selama ini. Ia hanya berserah

diri kepada Tuhan dan menganggap Tuhan sedang menguji kesabarannya. Self-

efficacy dan optimisme yang ia miliki tersebut, membuatnya persisten dan dapat

bertahan dalam menjalankan kehidupan di lingkungan sosialnya.

C masih berusia 17 tahun saat pertama kali didiagnosis kusta oleh dokter.

Sebelumnya, dokter justru menyembunyikan diagnosis yang sesungguhnya dari C

karena dikhawatirkan ia akan terguncang dan merasa rendah diri. C sempat

terguncang setelah mendengar kenyataan tersebut. Namun, perasaan tersebut

bukan karena ia malu akan penyakitnya, melainkan karena ia merasa “dibohongi”

dan pengobatan yang sebelumnya ia jalani menjadi sia-sia. Untungnya, perasaan

tersebut tidak berlangsung lama. Ia kembali pulih dan bangkit dari keterpurukan.

Ia pun akhirnya menjalani pengobatan di RSK Sitanala setelah mendapat

informasi dan rujukan dari dokter yang memeriksanya. Tahap pengobatan yang

dilakukannya berupa opname dan rawat jalan. Ia diopname sejak tahun 1984

sampai 1998. Di sana, ia ditempatkan di bangsal 4. Setelah keluar dari bangsal, ia

Page 73: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

72

Universitas Indonesia

pun menjalani rawat jalan hingga dinyatakan sembuh oleh dokter. Jenis obat-

obatan yang dikonsumsi oleh C adalah DDS, MSG, dan antibiotik.

Awalnya, ia memang terlihat membutuhkan waktu untuk menyesuaikan

diri, namun seiring dengan berjalannya waktu, ia dapat mencapai hal tersebut. Ia

sering mengisi waktu kosongnya dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat

produktif. C memiliki citra diri yang cukup positif. Dengan segala keterbatasan

yang ia miliki, ia merasa bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk

melangsungkan hidupnya dan keluarga. Ia sadar akan kekurangannya, namun ia

juga masih memiliki semangat untuk dapat terus menghidupi istri dan anak-

anaknya. Kehidupan pernikahan yang dijalaninya juga tidak terlalu mulus.

Pernikahan pertamanya tidak bertahan lama. Istri dan keluarganya tidak dapat

menerima C yang menderita kusta. Sementara itu, pernikahan kedua C terjadi

ketika C menjalani pengobatan di Sitanala. Istri C kala itu juga merupakan pasien

rumah sakit tersebut. Pernikahan keduanya ini dikaruniai enam orang anak dan

hingga kini berjalan dengan baik dan harmonis.

C tergolong mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosialnya. Hal

tersebut terlihat dari bagaimana C mengatasi stres dan rasa cemas yang

dialaminya. C tidak menjadikan himpitan ekonomi sebagai masalah yang harus

dikhawatirkan. Ia hanya mencoba pasrah kepada Tuhan dan juga berusaha untuk

terus menghidupi keluarganya dengan bekerja melakukan apapun yang ia bisa.

4.5 Hasil Observasi

Dalam pengamatan peneliti, hubungan sosial di antara warga yang satu dengan

yang lain terlihat cukup baik. Hal ini terlihat dari beberapa warga yang selalu

menyapa satu sama lain ketika mereka bertemu di jalan. Bagi warga yang

rumahnya berdekatan, mereka biasa berkumpul untuk berbincang-bincang dan

menceritakan keadaan satu sama lain. Tampak terlihat jelas bahwa mereka

berkumpul sesuai dengan peran di keluarga. Para ibu dengan anaknya akan

berkumpul juga dengan ibu lain dan anaknya. Mereka berkumpul di depan rumah

salah satu warga ataupun di warung yang dijaga oleh ibu-ibu juga. Para bapak

juga berkumpul bersama tapi memang tidak banyak bapak-bapak yang terlihat

berkumpul. Para remaja juga terlihat berkumpul bersama dengan remaja lain di

warung, di persimpangan lorong (gang), dan di lapangan bola sekolah.

Page 74: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

73

Universitas Indonesia

Hal lain yang peneliti amati adalah kedatangan peneliti sungguh dirasakan

berbeda oleh para warga. Mereka sangat heran dan ingin tahu ketika ada orang

asing yang masuk di wilayah mereka. Pandangan mereka pun terlihat curiga

dengan keberadaan peneliti dan apabila peneliti melihat ke arah mereka, mereka

akan bertanya kemana tujuan peneliti. Salah satu bentuk kecurigaan warga adalah

ketika peneliti akan meminta kesediaan warga untuk ikut dalam penelitan. Banyak

warga yang langsung menolak ketika melihat kedatangan peneliti ke arah mereka

bahkan sebelum mendengarkan penjelasan dari peneliti. Warga memang terlihat

curiga dengan kedatangan orang asing yang datang ke pemukiman ini. Selain itu,

peneliti juga melihat adanya kecenderungan pada beberapa partisipan yang tidak

memiliki kepercayaan terhadap orang lain di lingkungannya. Hal ini terlihat dari

beberapa partisipan yang menolak apabila diajak untuk ikut bergabung dalam

kegiatan kepanitiaan yang di dalamnya terdapat pengelolaan uang, seperti acara

kegiatan pencarian dana.

Page 75: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

74

Universitas Indonesia

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memberikan kesimpulan dan diskusi mengenai hasil

penelitian, keterbatasan penelitian, serta saran teoritis, metodologis, maupun

praktis untuk penelitian selanjutnya. Jawaban atas rumusan masalah pada

pendahuluan akan dijawab pada bagian kesimpulan. Bagian diskusi akan

memaparkan mengenai kesesuaian antara teori yang digunakan dengan jawaban

atas masalah serta keterbatasan penelitian yang ditemukan di lapangan. Terakhir,

saran-saran teoritis, metodologis, dan praktis agar penelitian dapat dijalankan

lebih baik akan dirangkum pada bagian saran.

5.1 Kesimpulan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran social adjustment

penyandang kusta setelah dinyatakan sembuh secara medis tergolong rendah

dibandingkan dengan anggota masyakat yang tidak pernah terinfeksi kusta. Selain

itu, didapatkan hasil lain bahwa sebagian besar dari mereka mengalami kesulitan

untuk mengubah atau memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keadaan

dirinya dan minatnya terhadap informasi ilmiah yang ada juga tergolong rendah.

5.2 Diskusi

5.2.1 Diskusi Hasil Penelitian

Penelitian mengenai kusta dan social adjustment telah banyak dilakukan

sebelumnya, akan tetapi belum ada penelitian yang mengaitkan kedua hal

tersebut. Penelitian ini, kemudian, mencoba untuk mengaitkan keduanya secara

deskriptif dengan melihat gambaran social adjustment pada penyandang kusta

yang telah dinyatakan sembuh secara medis. Dari penelitian ini didapatkan bahwa

tingkat social adjustment penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara

medis termasuk rendah. Meskipun demikian, hasil penelitian ini terlalu dini untuk

digeneralisasi kepada seluruh penyandang kusta yang ada di lingkungan

pemukiman kusta Sitanala Tangerang. Hal ini dikarenakan jumlah partisipan yang

ikut dalam penelitian ini terbatas hanya berjumlah 20 partisipan.

Rendahnya tingkat social adjustment pada penyandang kusta dapat

dihubungkan dengan psychological distress yang dialami oleh penyandang kusta,

Page 76: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

75

Universitas Indonesia

yaitu penyebab stress yang berasal dari pengalaman individu yang tidak

menyenangkan (Cicarelli, 2007). Menurut Lam, Chan, Hung, Or, dan Fielding

(2009), tingginya psychological distress dapat memprediksi rendahnya social

adjustment pada individu. Apabila psychological distress pada individu rendah,

individu memiliki social adjustment yang lebih baik. Sebaliknya, apabila

psychological distress pada individu tinggi, individu memiliki social adjustment

yang buruk. Psychological distress ini berasal dari adanya perlakuan negatif dan

stigma masyarakat yang ditujukan kepada penyandang kusta selama ini

(Tsutsumi, Izutsu, Islam, Amed, Nakaahara, Fumie, & Wakai, 2003), seperti

perlakuan diskriminasi, devaluasi, menjaga jarak, membenci, mengucilkan, tidak

dianggap keberadaannya, tidak diacuhkan, dan labeling (Ebenso, Fashona, Ayuba,

Idah, Adeyemi, & S-Fada, 2007).

Berdasarkan hasil wawancara dan obervasi terhadap sebagian besar

partisipan, peneliti memang melihat adanya kecenderungan stress yang dialami

oleh sebagian besar partisipan penelitian. Hal ini terlihat dari partisipan yang

mengeluhkan kehidupan ekonomi mereka yang sulit, serba kekurangan, dan tidak

ada pekerjaan. Mereka merasa tidak mampu untuk memenuhi kehidupannya

sehari-hari sendiri dan mengharapkan bantuan dari orang lain. Lazarus (1976)

menjelaskan bahwa tuntutan eksternal yang tidak mampu untuk diatasi karena

melebihi batas penyesuaian diri, dapat menyebabkan individu mengalami stress.

Sementara itu, individu yang mampu menyesuaikan diri dengan efektif adalah

individu yang dapat mengatasi stress dan kecemasan yang muncul. Hal ini dapat

dilakukan dengan cara menentukan tujuan yang realistis atau dengan cara

membuat tujuan jangka pendek yang lebih mudah dicapai dan mengatasi berbagai

masalah dan konflik di dalamnya.

Chung dan Seo (2007) menambahkan bahwa status ekonomi dan

pekerjaan, memang merupakan faktor yang signifikan bagi social adjustment

individu. Ketika status ekonominya lebih baik dan memiliki pekerjaan yang dapat

menopang kehidupannya, maka social adjustment-nya pun menjadi lebih baik.

Faktor gender juga berpengaruh terhadap social adjustment pada individu (Chung

& Seo, 2007). Pria cenderung lebih mampu untuk mencapai social adjustment

dibandingkan dengan wanita. Hal ini juga terlihat dari hasil penelitian yang

Page 77: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

76

Universitas Indonesia

didapatkan bahwa pria memiliki rata-rata skor total yang lebih tinggi

dibandingkan dengan wanita. Chung dan Seo (2007), memperkirakan rendahnya

social adjustment pada wanita dikarenakan budaya asia bahwa kaum wanita

berada di bawah kaum pria sehingga wanita akan lebih cenderung tergantung pada

kaum pria. Hal ini diperkuat oleh Lam, dkk (2009) bahwa faktor budaya

memerankan peran penting dalam social adjustment, dimana budaya akan

mengarahkan perilaku individu. Wawancara dan observasi yang dilakukan oleh

peneliti kepada partisipan wanita juga terlihat bahwa mereka lebih banyak

mengeluh dan lebih mengharapkan bantuan dari orang lain dibandingan dengan

melakukan usaha sendiri. Berbeda dengan partisipan pria yang memang dituntut

harus lebih bisa menyelesaikan masalahnya sendiri dan tidak tergantung kepada

orang lain, apalagi bagi yang sudah menikah dan memiliki tanggungan keluarga,

seperti anak dan istri. Meskipun demikian, perlu diteliti lebih lanjut apakah

memang bahwa pria yang telah menikah memiliki social adjustment yang lebih

baik daripada pria lajang. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini peneliti tidak

membedakan pria dan wanita dengan status pernikahannya sebagai aspek

demografis untuk dilihat skor social adjustment-nya.

Berdasarkan evaluasi dari hasil yang ditemukan dari berbagai macam alat

ukur fungsi sosial yang ada, depresi juga dianggap sebagai akar masalah dari

social adjustment (Weissman, dkk., Weissman; Weissman & Bothwell; Keller,

dkk., dalam Bosc, Dubini, dan Polin, 1997). Hal ini dikarenakan depresi dapat

membatasi akses individu untuk mendapatkan reward, internal ataupun eksternal,

dari berperilaku sosial sehingga individu yang depresif mengalami kesulitan untuk

berhubungan dengan orang lain, menjadi tidak suka dengan perilaku orang lain,

dan secara konstan akan mengurangi jumlah teman bicara ketika ia tidak lagi

mendapatkan dukungan dari orang lain (Bosc, dkk, 1997). Kusta yang merupakan

penyakit yang berdurasi kronis (Euzenir, Ximena, José, Anna, Maria, Maria,

Elizabeth, & Gilla, 2008). Walsh (2006) menambahkan bahwa individu yang

menderita penyakit kronis akan disertai dengan keadaan cemas, kebingungan, dan

depresi khususnya apabila tidak ada dukungan sosial. Seperti yang telah

dikemukakan sebelumnya oleh Bosc, dkk (1997) bahwa individu yang depresif

mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain, menjadi tidak suka

Page 78: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

77

Universitas Indonesia

dengan perilaku orang lain, dan secara konstan akan mengurangi jumlah teman

bicara ketika ia tidak lagi mendapatkan dukungan dari orang lain. Terlebih lagi

dengan sebagian besar keadaan penyandang ataupun mantan penyandang kusta

yang mengalami cacat fisik. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian

besar mantan penyandang kusta yang mengalami cacat fisik memiliki social

adjustment yang lebih rendah dibandingkan dengan mantan penyandang kusta

yang tidak memiliki cacat fisik. Hal ini dikarenakan, menurut Virmond (2007),

kehilangan atau kerusakan pada bagian dari anggota tubuh merupakan sebuah

kejadian yang sangat mengganggu bagi seseorang dan memiliki dampak negatif

bagi kehidupan seseorang. Individu akan merasa terpukul dan tidak mampu

melakukan kegiatan seperti orang pada umumnya. Hal ini juga yang diduga

mengakibatkan, yang seperti penelitian ini temukan, dimana sebagian besar

partisipan mengalami kesulitan untuk mengubah atau memodifikasi lingkungan

agar sesuai dengan keadaan dirinya. Sementara itu, menurut Lazarus (1976),

untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, selain mengubah diri

sendiri agar sesuai dengan lingkungannya, individu juga perlu mengubah

lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan inidividu.

Bennet, Parker, dan Robson (2008) mengungkapkan bahwa sebagai

penyakit yang berdampak pada cacat fisik, kusta menghadapi masalah stigma

yang berasal dari keluarga, masyarakat, atau bahkan tenaga professional kesehatan

khususnya apabila tidak ada dukungan sosial. Stigma adalah karakteristik individu

yang dipersepsikan secara negatif oleh beberapa individu lain (Baron & Byrne,

2002). Ebenso, dkk (2007) menambahkan, stigma masyarakat yang timbul dapat

menguatkan persepsi negatif penyandang kusta kepada masyarakat dan makin

memperlebar jarak antara penyandang kusta dengan masyarakat. Lawn dan

Lockwood (2007) juga menambahkan bahwa penyandang kusta, sama seperti

penyakit HIV/AIDS, merupakan penyakit yang memang sangat tinggi dengan

stigma dan menyebabkan distress pada penyandangnya. Namun, dalam penelitian

ini didapatkan hal yang sebaliknya, sebagian besar partisipan cenderung memilih

jawaban “baik” dalam menilai hubungannya dengan orang lain di dalam keluarga

ataupun di luar keluarga. Selain itu, partisipan juga cenderung memilih jawaban

“aktif” dan memiliki “banyak teman” dalam pergaulan. Hampir seluruh partisipan

Page 79: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

78

Universitas Indonesia

juga memilih jawaban “tidak pernah” pada pertanyaan “Apakah Anda pernah

merasa ditolak, dikucilkan dari lingkungan Anda?”. Namun, saat dilakukan

wawancara dengan partisipan, terdapat ketidaksesuaian antara jawaban kuesioner

dengan yang telah diceritakan partisipan. Hal ini terlihat dari sebagian besar

partisipan penelitian bahwa mereka merasa aktif untuk memulai pertemanan

dengan orang lain, tetapi selanjutnya mereka mengatakan bahwa keaktifannya

tergantung apakah orang lain tersebut mendatanginya untuk berteman terlebih

dahulu atau tidak. Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa mereka tidak pernah

merasa ditolak oleh lingkungannya, tetapi dari cerita selanjutnya bahwa sebagian

partisipan dijauhi oleh tetangga di lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini diduga,

menurut Menaldi (2008), karena partisipan merasa diuji ataupun tidak ingin

dinilai negatif oleh peneliti ataupun orang yang membacakan pertanyaan

kuesioner kepada dirinya sehingga mereka lebih memilih jawaban yang socially

desirable atau yang umumnya dipilih oleh kebanyakan orang. Bennet, dkk (2008)

juga menambahkan bahwa stigma, seperti pada penderita HIV, dapat diatasi

dengan memberikannya dukungan sosial. Ebenso, dkk (2007) dalam penelitiannya

menemukan bahwa tidak adanya dukungan sosial terhadap para penyandang kusta

dapat mengakibatkan timbulnya jarak dengan lingkungan. Sejalan dengan hal

tersebut, Lam, dkk (2009) menambahkan bahwa adanya dukungan sosial pada

penderita kanker payudara dapat meningkatkan meningkatkan optimisme dan self

efficacy yang berdampak pada social adjustment yang lebih baik. Sebaliknya tidak

ada dukungan sosial membuat penderita kanker semakin jauh dengan orang lain

dan membuat dirinya semakin depresi. Hal ini tentu juga dapat diaplikasikan

kepada penyandang ataupun mantan penyandang kusta yang memiliki

karakteristik penyakit yang sama dengan penderita kanker, yaitu penyakit kronis.

Dengan demikian, dapat diduga rendahnya social adjustment pada mantan

penyandang kusta karena kurangnya dukungan sosial yang didapatkan partisipan.

Berdasarkan hasil wawancara, partisipan memang mengaku merasa kesulitan dan

minder untuk berhubungan dengan orang lain. Namun, ketika mereka

berhubungan dengan orang lain yang juga sama-sama terinfeksi kusta, mereka

lebih mudah untuk berhubungan dan tidak merasa canggung.

Page 80: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

79

Universitas Indonesia

Dalam penelitian ini juga didapatkan bahwa penyandang kusta memiliki

minat yang rendah dengan informasi-informasi ilmiah. Sebagian partisipan

mengatakan bahwa minat yang rendah terhadap informasi ilmiah ini disebabkan

oleh kurangnya manfaat yang dirasakan partisipan dari mempelajari ilmu tersebut

dimana kebutuhan ekonomi menjadi prioritas dibandingkan dengan kebutuhan

yang lain. Namun demikian, ada juga beberapa partisipan yang memiliki minat

terhadap ilmiah, teknik, dan budaya karena berhubungan dengan pekerjaan yang

mereka lakukan. Melihat tingkat pendidikannya yang rendah, para mantan

penyandang kusta tersebut juga mungkin tidak memiliki kebiasaan untuk belajar,

sehingga minat mereka untuk menggali informasi ilmiah dirasakan kurang.

Padahal menurut Zulkifli (2003) munculnya leprophobia yang muncul pada

masyarakat diakibatkan kurangnya informasi terhadap kusta itu sendiri. Dengan

demikian, pencegahan akan cacat fisik menjadi lebih sulit.

5.2.2 Keterbatasan Penelitian

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa

tingkat social adjustment penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara

medis termasuk rendah dibandingkan dengan anggota masyarakat yang tidak

pernah terinfeksi kusta. Meskipun demikian, hasil tersebut tidak dapat

digeneralisasi begitu saja karena terbatasnya jumlah partisipan dalam penelitian

ini. Karena penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling, peneliti harus

mendatangi warga satu per satu untuk ikut dalam penelitian. Sayangnya, peneliti

beberapa kali ditolak ketika meminta kesediaan warga untuk menjadi partisipan,

meskipun peneliti sudah memperoleh izin dari ketua RT setempat. Berdasarkan

percakapan peneliti dengan beberapa partisipan, penolakan tersebut mungkin

terjadi karena adanya reluktansi warga terhadap keberadaan peneliti yang

dianggap tidak menguntungkan bagi mereka. Sebagian besar partisipan

menceritakan kepada peneliti bahwa mereka sangat membutuhkan bantuan

ekonomi yang mendesak dari orang lain untuk memperbaiki rumah tinggal yang

sudah rusak. Namun, hal ini tidak terlihat sejalan dengan keadaan yang

sebenarnya. Berdasarkan observasi peneliti, beberapa partisipan yang mengatakan

sangat membutuhkan bantuan dana dari orang lain, keadaan rumahnya cukup

layak dan nyaman untuk ditinggali. Peneliti menduga hal ini terjadi karena

Page 81: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

80

Universitas Indonesia

sebagaian besar partisipan sudah merasa nyaman dengan bantuan yang sering

datang dari lembaga-lembaga bantuan ke tempat mereka sehingga mereka

cenderung lebih mengharapkan bantuan dari orang lain daripada berusaha

mendapatkan penghasilan sendiri.

Selain itu, peneliti juga mengalami kesulitan dalam mengantisipasi

beberapa karakteristik sampel yang mungkin juga berpengaruh terhadap

pengerjaan alat ukur. Salah satu karakteristik tersebut adalah kondisi fisik yang

tidak memungkinkan, seperti jari-jari yang sudah kaku dan mata yang sudah

rabun. Hal ini menyebabkan partisipan tidak dapat mengerjakan kuesioner sendiri.

Selain itu, partisipan juga enggan untuk mengisi kuesioner sendiri dan lebih

memilih untuk dibacakan. Hal ini, menurut Menaldi (2008), bisa disebabkan

karenakan mereka tidak terbisa dengan pengerjaan kuesioner seperti ini. Selain

karena kesulitan-kesulitan di atas, keterbatasan lain dalam penelitian ini ialah

adanya item dalam kuesioner yang bersifat socially desirable. Contoh item

tersebut adalah item “Menurut Anda, bagaimana keadaan hubungan dalam

keluarga Anda?” dan “Secara umum, bagaimana Anda menilai hubungan Anda

dengan orang lain?”. Pada item tersebut, terlihat kecenderungan partisipan untuk

memilih jawaban “baik” atau “sangat baik”. Item lainnya adalah “Apakah Anda

pernah merasa ditolak, dikucilkan dari lingkungan Anda?” Partisipan cenderung

memilih jawaban “tidak pernah” pada item tersebut. Namun, ketika ditanyakan

lebih lanjut, sebenarnya partisipan memiliki masalah dalam hubungan keluarga

maupun hubungan sosialnya serta pernah mengalami penolakan di tempat tinggal

sebelumnya. Hal ini memperlihatkan kecenderungan partisipan yang tidak ingin

dinilai negatif oleh peneliti atau oleh orang yang mendampingi pengisian

kuesioner. Peneliti juga menemukan bahwa partisipan mengalami kesulitan untuk

memahami pertanyaan-pertanyaan kuesioner sehingga partisipan banyak bertanya

kepada peneliti walaupun telah dilakukan uji keterbacaan sebelumnya.

5.3 Saran

5.3.1 Saran Teoretis

1. Dengan karakteristik yang dimiliki oleh mantan penyandang kusta, metode

pengambilan data dengan menggunakan self-report, seperti kuesioner, sebagai

metode utama dirasa kurang tepat. Oleh karena itu, peneliti menyarankan untuk

Page 82: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

81

Universitas Indonesia

menggunakan metode lain seperti wawancara sebagai metode pengambilan

data utama untuk partisipan penyandang ataupun mantan penyandang kusta.

2. Para peneliti yang tertarik dengan topik social adjustment pada penyandang

kusta dapat mencoba melakukan penelitian sejenis dengan menambah beberapa

variabel lain, seperti yang telah didiskusikan sebelumnya sehingga dapat

memperkaya hasil penelitian dan dapat menyelesaikan masalah social

adjustment yang rendah pada penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh

secara medis.

5.3.2 Saran Praktis

1. Untuk mendapatkan jumlah partisipan yang lebih banyak, peneliti

menyarankan kepada peneliti lain untuk meminta bantuan kepada pihak ketiga

yang merupakan individu yang memiliki autoritas dalam lingkungan setempat

sehingga partisipan bersedia mengikuti penelitian.

2. Kepada para praktisi kesehatan, psikolog, konselor, maupun terapis diharapkan

dapat melakukan program-program intervensi psikologis bersama, seperti

mental health care, untuk menolong mereka terlepas dari keadaan depresi dan

psychological distress. Khususnya, dengan melakukan penelitian, assesment,

diagnosis, dan treatment psikologis dan medis yang lebih terintegrasi serta

berkelanjutan sehingga penyandang kusta dapat menjadi individu yang lebih

optimistis dan positif dalam menjalani kehidupannya di tengah stigma serta

pandangan negatif masyarakat umum tentang mereka. Hal ini mengingat

bahwa hal tersebut merupakan faktor penting yang dapat berpengaruh terhadap

tingkat social adjustment individu. Dengan demikian social adjustment

penyandang kusta yang telah dinyatakan sembuh secara medis dapat menjadi

lebih baik.

3. Menanggapi stigma yang terjadi pada penyandang ataupun mantan penyandang

kusta, institusi kesehatan ataupun yang lembaga yang berwenang, diharapkan

untuk membuat sosialisasi yang lebih luas sehingga dapat mengedukasi

masyarakat pada umumnya dan penyandang atau mantan penyandang kusta

pada khususnya sehingga tidak ada mispersepsi terhadap penyakit kusta seperti

yang terjadi seperti saat ini.

Page 83: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

82

Universitas Indonesia

4. Berkaitan dengan adanya jarak antara masyarakat dengan mantan penyandang

kusta dimana hal ini dapat berpengaruh terhadap tingkat social adjustment,

maka diperlukan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang mengikutsertakan

mantan penyandang kusta dengan masyarakat umum.

5. Berdasarkan pembahasan sebelumnya bahwa status ekonomi dan pekerjaan,

serta dukungan sosial merupakan faktor yang signifikan bagi social adjustment

individu, maka peneliti menyarankan bagi pembuat kebijakan ataupun

lembaga-lembaga yang peduli terhadap nasib mantan penyandang kusta untuk

memberikan kesempatan bagi penyandang kusta untuk mendapatkan pekerjaan

yang dapat membantunya untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya

dengan sendiri sehingga mereka lebih bermartabat sebagai bagian dari anggota

masyarakat yang mandiri dan produktif.

Page 84: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

83

Universitas Indonesia

DAFTAR REFERENSI

Ackerman, P. L. & Heggestad, E. D. (1997). Intelligence, Personality, and

Interests: Evidence for Overlapping Traits. Psychol Bull., 121(2):219-45.

Aiken, Lewis R., Groth-Marnat, Gary. (2005). Psychological Testing and

Assessment (12th ed). USA: Pearson, Inc.

Amirudin, M. D., Hakim, Z., & Darwis, E. (2003). Kusta: Diagnosis Penyakit

Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Anastasi, A. & Urbina, S. (1997). Psychological Testing 7th

ed. New Jersey:

Prentice-Hall, Inc.

Bargh, J. A. & Gollwitzer, P. M. (1994). Environmental Control of Goal-directed

Action: Automatic and Strategic Contingencies between Situations and

Behavior. In W. D. Spaulding (Ed.), Integrative Views of Motivation,

Cognition, and Emotion. Nebraska Symposium on Motivation, 41, 71-124.

Bennet, B. H., Parker, D. L., Robson. M. (2008). Leprosy: Steps Along the

Journey of Eradication. Public Health Reports (1974-), Vol. 123, No. 2,

pp. 198-205

Bosc, M., Dubini, A., Polina,V. (1997). Development and validation of a social

functioning scale, the Social Adaptation Self-evaluation Scale. European

Neuropsychopharmacology 7 Suppl. 1 (1997) S57–S70.

Burgess, P. (1936). Lepers and Leprosy. The Scientific Monthly, Vol. 42, No. 5

(May, 1936), pp. 396-402.

Page 85: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

84

Universitas Indonesia

Campbell, R., J. (1996). Psychiatric Dictionary 7th

ed. New York: Oxford

University Press

Djuwita, R. (1981). Suatu Penelitian Eksploratif tentang sebab-sebab Penderita

Kusta yang cacat di RSK Sitanala Menetap atau Kembali ke masyarakat.

Depok: Skripsi Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia-

tidak dipublikasikan

Dwiartanti, D. (2006). Gambaran Penyesuaian Diri Siswa Tuna Netra di Sekolah

Umum. Depok : Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Ebenso, B., Fashona, A., Ayuba, M., Idah, M., Adeyemi, G., S-Fada, S. (2007).

Impact of socio-economic rehabilitation on leprosy Stigma in northern

nigeria: findings of a Retrospective study. Asia Pacific Disability

Rehabilitation Journal: Vol. 18 No. 2

Euzenir, N. S., Ximena, I., José, A. C. N., Anna, M. S., Maria, C. G. G., Maria, L.

F. P., Elizabeth, P. S., & Gilla, K. (2008). HIV-M. Leprae Interaction: Can

HAART Modify the Course of Leprosy?. Public Health Reports (1974-),

Vol. 123, No. 2, pp. 206-212

Gravetter, F. J., & Forzano, L. A. B. (2009). Research Methods for the Behavioral

Sciences 3rd

ed. Belmont: Wadsworth Cencage Learning.

Gravetter, F. J., dan Forzano, L. B. (2006). Research Methods for the Behavioral

Science. California: Thomson Wardswoth.

Haber, A., & Runyon, R. P. (1984). Psychology Adjustment. Illinois: Dorsey

Press.

Page 86: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

85

Universitas Indonesia

Kosasih, A., Wisnu, M. I., Daili, E., S., & Menaldi, S., L. (2003). Ilmu Penyakit

Kulit Kelamin Edisi Kelima: Kusta. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.

Kumar, R. (2005). Research Methodology: A step by step guide for beginners, 2nd

Ed. New Delhi: Sage Publications India Pvt Ltd.

Lawn, S. D., & Lockwood, D. N. J. (2007). Leprosy after Starting Antiretroviral

Treatment. British Medical Journal, Vol. 334, No. 7587, pp. 217-218

Lazarus , R. S. (1976). Patterns of Adjustment: 3rd

Edition. New York: McGraw-

Hill Inc.

Marshall, C. L., Maeshiro, M., Korper, S. P. (1967). Attitude Towards Leprosy in

the ryukyu Islands. Public Health Reports (1896-1970), Vol. 82, No.9

(Sep., 1967), pp. 795-801

Martodiharjo, S., & Susanto, R. S. D. (2003). Kusta: Reaksi Kusta dan

Penanganannya. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

McDougall, A. C., & Yuasa, Y. (2002). A new Atlas of leprosy: A pictorial

manual to assist frontline health workers and volunteers in the Detection,

diagnosis and treatment of clinical leprosy. Tokyo: Sasakawa Memorial

Health Foundation.

McDougall, A. C., & Yuasa, Yo. (2002). A New Atlas Of Leprosy. Tokyo:

Sasakawa Memorial Health Foundation.

Page 87: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

86

Universitas Indonesia

Melley, A. H., Oltmans, T. F., & Turkheimer, E. (2002). The Schedule for

Nonadaptive and Adaptive Personality (SNAP): Temporal Stability and

Predictive Validity of the Diagnostic Scales. Assessment 2002; 9; 181.

Menaldi, A. (2008) Adaptasi Values In Action-Inventory Strengths pada

Penyandang Kusta. Depok: Tugas Akhir Program Magister Profesi

Psikologi Kekhususan Klinis Dewasa Fakultas Psikologi Universitas

Indonesia-tidak dipublikasikan

Nippon Foundation (26 Januari 2011). Stop Use of Word 'Leper'. 31 Mei 2011.

<http://www.prnewswire.co.uk/cgi/news/release?id=247209>

Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku

Manusia. Depok: LPSP3.

Prasad, N. M. & Prasad, S. R. (2007). Control of Blinding Eye Disease In

Leprosy: Strategies for India. Journal of Public health Policy, 28, 456-464.

Prihatianto, C. ”Penderita Lepra Indonesia Terbesar ke-3 di Dunia.”

Shvoong.com. 7 April 2011. 30 Mei 2011

<http://id.shvoong.com/medicine-and-health/2144773-penderita-lepra-di-

indonesia-terbesar/#ixzz1NqYEDfwW>

Rachmat, H. (2003). Kusta: Prorgram pemberantasan penyakit Kusta di

Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Sastroasmoro, S. & Ismael, S. (2010). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis:

Edisi Ke-3. Jakarta: Sagung Seto.

Page 88: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

87

Universitas Indonesia

Schneider, A. A. (1955). Personal Adjustment and Mental Health. New York:

Alexander A. Schneider

Seo, J. Y., & Chung, S. (2007). A study on Posttraumatic Stress Disorder among

North Korean Defectors And Their Social adjustment in South Korea.

Journal of Loss and Trauma, 12, 365–382,

Tsutsumi, A., Izutsu, T., Islam, M .A. D., Amed, J. U., Nakahara, S., Fumie, T., &

Wakai, S. (2003). Depressive Status of Leprosy Patients in Bangladesh:

Association with Self-Perception of Stigma. Lepr Rev (2004) 75, 57-66

Virmond, M. (2007). Amputation in Leprosy. Lepr Rev (2007) 78, 85–87

WHO. (2008). “Stop Use of Word 'Leper' “.

http://www.prnewswire.co.uk/cgi/news/release?id=247209. (17 Juni 2011)

WHO. (2010). “Weekly epidemiological record: Relevé épidémiologique

hebdomadaire”. 27 August 2010, 85th year / 27 août 2010, 85e année No.

35, 2010, 85, 337–348.

Wijaya, N. (2007). Hubungan Antara Keyakinan Diri Akademik dengan

Penyesuaian Diri Siswa Tahun Pertama Sekolah Asrama SMA Pangudi

Luhur Van Lith Muntilan. Semarang: Skripsi Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro.

World Health Organization (17 Februari 2011). Leprosy. 13 Juni 2011.

<http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs101/en/>

Page 89: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

88

Universitas Indonesia

World Health Organization. (2010). “Leprosy”.

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs101/en/index.html. (17 Juni

2011)

Yang, J., Kim, J., Shin, I., Noh, A., & Yoon, J. (2003). Evaluation of

psychometric properties of the Korean version of the Social Adaptation

Self-Evaluation Scale (KvSASS) in the general population and depressive

patients. Journal of the Korean Neuropsychiatric Association, 42, 340–

351.

Yayasan Transformasi Lepra Indonesia. (2008). Understanding the condition of

Leprosy Settlement In 13 Provinces In Indonesia.

Yayasan Transformasi Lepra Indonesia. (2008). Understanding The Condition of

Leprosy Settlement in 13 Provinces in Indonesia. Research Report:

Yayasan Transformasi Lepra Indonesia

Zulkifli. (2003). “Penyakit Kusta Dan Masalah Yang Ditimbulkannya.”, Sumatera

Utara: USU digital library Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

Page 90: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

89

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 1

PENGHITUNGAN RELIABILITAS DAN VALIDITAS

A. UJI RELIABILITAS

Cronbach's Alpha N of Items

.818 20

B. UJI VALIDITAS (KONSISTENSI INTERNAL)

Scale Mean if Item

Deleted Scale Variance if

Item Deleted Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item Deleted

item1item2 58.31 36.730 .488 .804

item3 58.21 36.168 .604 .797

item4 58.10 40.223 .193 .821

item5 58.81 36.156 .569 .799

item6 58.42 39.227 .369 .811

item7 58.27 38.968 .327 .814

item8 57.79 40.466 .254 .816

item9 58.75 36.234 .652 .795

item10 58.33 39.716 .406 .810

item11 58.17 41.163 .138 .821

item12 58.56 38.081 .581 .802

item13 57.96 39.785 .394 .811

item14 59.15 33.191 .676 .790

item15 58.50 38.383 .425 .808

item16 58.44 40.166 .222 .819

item17 58.54 41.615 .114 .821

item18 58.04 40.764 .240 .817

item19 58.25 40.234 .225 .818

item20 58.83 40.312 .268 .816

item21 58.67 37.844 .440 .807

C. NORMA

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid <= 58 9 18.8 37.5 37.5

59 - 65 7 14.6 29.2 66.7

66+ 8 16.7 33.3 100.0

Total 24 50.0 100.0

Missing System 24 50.0

Total 48 100.0

Page 91: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

90

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 2

ALAT UKUR

A. HALAMAN DEPAN

KUESIONER

KEGIATAN KEMASYARAKATAN

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK 2011

Page 92: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

91

Universitas Indonesia

B. HALAMAN PEMBUKA

Selamat pagi / siang / sore

Bapak/Ibu/Saudara/Saudari yang kami hormati,

Kami adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas

Indonesia. Saat ini kami sedang melakukan penelitian tugas akhir yang berkaitan

dengan kegiatan kemasyarakatan. Berkaitan dengan hal tersebut, kami

memohon kesediaan dan kerja sama Anda untuk menjawab pertanyaan dalam

kuesioner dengan cara memilih jawaban pada setiap pertanyaan yang tersedia

sesuai dengan petunjuk yang ada.

Tidak ada jawaban benar atau salah dalam penelitian ini. Oleh karena itu,

Anda diharapkan menjawab semua pertanyaan dengan jujur apa adanya dan

sesuai dengan kondisi yang paling menggambarkan diri Anda. Anda diharapkan

menjawab dengan cermat dan teliti, jangan sampai ada pertanyaaan yang

terlewat agar data dapat diolah dan digunakan untuk penelitian. Segala informasi

yang Anda berikan akan dijamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk

keperluan penelitian..

Atas perhatian dan bantuan Anda, saya ucapkan terima kasih.

Hormat Kami,

peneliti

Page 93: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

92

Universitas Indonesia

C. PETUNJUK PENGISIAN

PETUNJUK PENGISIAN

Di bawah ini, terdapat sejumlah pertanyaaan yang menggambarkan kondisi diri Anda.

Pada setiap pernyataan Anda diminta untuk memberikan tanda silang (X) pada jawaban

yang paling menggambarkan diri Anda.

Contoh Pengerjaan:

1. Apakah Anda terlibat dalam kegiatan masyarakat di tempat tinggal?

Selalu sering kadang-kadang tidak pernah

Jawaban di atas menunjukkan bahwa pernyataan di atas sesuai dengan diri Anda.

Jika Anda ingin mengganti jawaban, coretlah jawaban sebelumnya dengan dua garis

vertikal sejajar (=), kemudian berikan tanda silang (X) pada jawaban yang baru.

1. Apakah Anda terlibat dalam kegiatan masyarakat di tempat tinggal?

selalu sering kadang-kadang tidak pernah

SELAMAT MENGERJAKAN DAN HATI-HATI JANGAN SAMPAI ADA PERNYATAAN

YANG TERLEWAT!

APABILA MASIH ADA YANG KURANG JELAS SILAHKAN BERTANYA LANGSUNG

KEPADA PENELITI

Page 94: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

93

Universitas Indonesia

D. CONTOH ISI KUESIONER

PERTANYAAN

Apakah Anda memiliki pekerjaan? (ya/tidak) *lingkari salah satu

Jika ya, jawab pertanyaan 1 dan lewati pertanyaan 2 langsung jawab pertanyaan 3,dst.

Jika tidak, lewati pertanyaan 1 langsung jawab pertanyaan 2, dst.

1. Apakah Anda menyukai pekerjaan Anda?

Sangat Sedang Sedikit Tidak sama sekali

2. Apakah Anda menyukai pekerjaan rumah tangga, seperti menyapu, mengepel, beres-

beres rumah, mencuci baju, dan lain-lain? Sangat Sedang Sedikit Tidak sama sekali

9. Apakah Anda mencoba untuk menciptakan hubungan dengan orang lain?

Sangat aktif Aktif Lumayan aktif Tidak aktif

10. Secara umum, bagaimana Anda menilai hubungan Anda dengan orang lain?

Sangat baik baik Lumayan Tidak memuaskan

15. Apakah Anda suka mencari informasi tentang hal-hal,situasi, dan orang lain untuk

meningkatkan pemahaman Anda terhadap mereka?

Sangat suka Lumayan Tidak terlalu suka Tidak suka sama sekali

16. Apakah Anda tertarik dengan informasi ilmiah, teknik, atau budaya?

Sangat tertarik Lumayan Hanya sedikit Tidak sama sekali

21. Apakah Anda merasa mampu mengatur lingkungan agar sesuai dengan keinginan

dan kebutuhan Anda?

Sangat mampu Lumayan Tidak terlalu mampu Tidak sama sekali

MOHON CEK KEMBALI JAWABAN ANDA JANGAN SAMPAI ADA YANG

TERLEWAT ATAUPUN SALAH MENGISI. TERIMA KASIH.

Page 95: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

94

Universitas Indonesia

E. IDENTITAS PRIBADI

Identitas Pribadi

Nama :

Jenis Kelamin :

Usia : tahun

Pendidikan Terakhir :

Umur berapa divonis kusta :

Kapan terakhir anda berkunjung ke dokter yang

menangani penyakit Anda? :

Daerah Asal :

Suku Bangsa :

Lama Tinggal di Sitanala :

Status Pernikahan :

Usia Pernikahan :

Usia Saat Menikah :

Jumlah Anak :

Usia Anak :

Pekerjaan :

Lama Pekerjaan :

Jumlah Tanggungan Keluarga :

No Telepon yang bisa dihubungi ** :

Alamat :

Page 96: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

95

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 3

PENGHITUNGAN RATA-RATA SKOR TOTAL

A. Rata-Rata Skor Social Adjustment

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

totalWandL 20 6 15 11.55 2.704

totalRealationshi 20 22 35 27.90 3.553

totalintectualinterest 20 1 4 1.90 1.071

totalsatisfaction 20 7 11 9.45 1.099

totalmanagement 20 3 8 4.80 1.152

totalskorsocialadjustment 20 44 68 55.60 6.652

Valid N (listwise) 20

B. Rata-rata Skor tiap Item Social Adjustment

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

item1item2 20 1 4 3.35 .813 item3 20 1 4 3.30 .865 item4 20 1 4 2.40 1.353 item5 20 1 3 2.50 .761 item6 20 2 4 2.60 .598 item7 20 2 4 3.00 .649 item8 20 2 4 3.35 .745 item9 20 1 4 2.45 .826 item10 20 1 4 2.75 .716 item11 20 1 4 2.90 .852 item12 20 1 4 2.50 .761 item13 20 2 4 3.35 .587 item14 20 1 4 2.85 .875 item15 20 1 3 2.15 .813

Page 97: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

96

Universitas Indonesia

item16 20 1 4 1.90 1.071 item17 20 2 4 2.85 .745 item18 20 2 4 3.75 .639 item19 20 1 4 2.85 .745 item20 20 1 4 2.95 .887 item21 20 1 4 1.85 .875 Valid N (listwise) 20

C. Rata-rata Skor Partisipan Berdasarkan Jenis Kelamin

Descriptives

N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for

Mean Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound

totalWandL pria 8 11.63 3.292 1.164 8.87 14.38 6 15 wanita 12 11.50 2.393 .691 9.98 13.02 6 14 Total 20 11.55 2.704 .605 10.28 12.82 6 15 totalRealationshi pria 8 28.50 4.598 1.626 24.66 32.34 22 35 wanita 12 27.50 2.812 .812 25.71 29.29 24 33 Total 20 27.90 3.553 .794 26.24 29.56 22 35 totalintectualinterest pria 8 2.38 1.302 .460 1.29 3.46 1 4 wanita 12 1.58 .793 .229 1.08 2.09 1 3 Total 20 1.90 1.071 .240 1.40 2.40 1 4 totalsatisfaction pria 8 9.63 1.188 .420 8.63 10.62 8 11 wanita 12 9.33 1.073 .310 8.65 10.02 7 11 Total 20 9.45 1.099 .246 8.94 9.96 7 11 totalmanagement pria 8 5.13 1.727 .611 3.68 6.57 3 8 wanita 12 4.58 .515 .149 4.26 4.91 4 5 Total 20 4.80 1.152 .258 4.26 5.34 3 8 totalskorsocialadjustment pria 8 57.25 8.795 3.110 49.90 64.60 44 68 wanita 12 54.50 4.890 1.412 51.39 57.61 47 63 Total 20 55.60 6.652 1.487 52.49 58.71 44 68

Page 98: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

97

Universitas Indonesia

D. Rata-rata skor social adjustment beradasarkan Usia

Descriptives

N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for

Mean Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound

totalWandL 24-36 tahun 3 12.67 .577 .333 11.23 14.10 12 13 37-49 tahun 6 12.67 2.875 1.174 9.65 15.68 7 15 50-62 tahun 8 9.88 2.642 .934 7.67 12.08 6 12 63-75 tahun 3 12.67 2.309 1.333 6.93 18.40 10 14 Total 20 11.55 2.704 .605 10.28 12.82 6 15 totalRealationshi 24-36 tahun 3 32.67 2.517 1.453 26.42 38.92 30 35 37-49 tahun 6 28.17 3.125 1.276 24.89 31.45 23 31 50-62 tahun 8 25.75 2.915 1.031 23.31 28.19 22 32 63-75 tahun 3 28.33 2.517 1.453 22.08 34.58 26 31 Total 20 27.90 3.553 .794 26.24 29.56 22 35 totalintectualinterest 24-36 tahun 3 3.00 1.000 .577 .52 5.48 2 4 37-49 tahun 6 2.50 1.225 .500 1.21 3.79 1 4 50-62 tahun 8 1.25 .463 .164 .86 1.64 1 2 63-75 tahun 3 1.33 .577 .333 -.10 2.77 1 2 Total 20 1.90 1.071 .240 1.40 2.40 1 4 totalsatisfaction 24-36 tahun 3 10.00 1.000 .577 7.52 12.48 9 11 37-49 tahun 6 9.33 1.506 .615 7.75 10.91 7 11 50-62 tahun 8 9.63 .916 .324 8.86 10.39 8 11 63-75 tahun 3 8.67 .577 .333 7.23 10.10 8 9 Total 20 9.45 1.099 .246 8.94 9.96 7 11 totalmanagement 24-36 tahun 3 5.33 .577 .333 3.90 6.77 5 6 37-49 tahun 6 4.50 1.049 .428 3.40 5.60 3 6 50-62 tahun 8 4.50 .926 .327 3.73 5.27 3 6 63-75 tahun 3 5.67 2.082 1.202 .50 10.84 4 8 Total 20 4.80 1.152 .258 4.26 5.34 3 8 totalskorsocialadjustment 24-36 tahun 3 63.67 4.041 2.333 53.63 73.71 60 68 37-49 tahun 6 57.17 6.494 2.651 50.35 63.98 46 63 50-62 tahun 8 51.00 4.504 1.592 47.23 54.77 44 59 63-75 tahun 3 56.67 6.028 3.480 41.69 71.64 51 63 Total 20 55.60 6.652 1.487 52.49 58.71 44 68

Page 99: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

98

Universitas Indonesia

E. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Pendidikan

Descriptives

N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for Mean Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound

totalWandL SD 12 10.33 2.839 .820 8.53 12.14 6 14

SMP 1 13.00 . . . . 13 13

SMA sederajat 2 13.50 .707 .500 7.15 19.85 13 14

Tidak Sekolah 5 13.40 1.140 .510 11.98 14.82 12 15

Total 20 11.55 2.704 .605 10.28 12.82 6 15

totalRealationshi SD 12 26.17 2.980 .860 24.27 28.06 22 32

SMP 1 30.00 . . . . 30 30

SMA sederajat 2 29.00 2.828 2.000 3.59 54.41 27 31

Tidak Sekolah 5 31.20 3.033 1.356 27.43 34.97 27 35

Total 20 27.90 3.553 .794 26.24 29.56 22 35

totalintectualinterest SD 12 1.25 .452 .131 .96 1.54 1 2

SMP 1 4.00 . . . . 4 4

SMA sederajat 2 2.00 1.414 1.000 -10.71 14.71 1 3

Tidak Sekolah 5 3.00 .707 .316 2.12 3.88 2 4

Total 20 1.90 1.071 .240 1.40 2.40 1 4

totalsatisfaction SD 12 9.42 .900 .260 8.84 9.99 8 11

SMP 1 11.00 . . . . 11 11

SMA sederajat 2 8.50 2.121 1.500 -10.56 27.56 7 10

Tidak Sekolah 5 9.60 1.140 .510 8.18 11.02 8 11

Total 20 9.45 1.099 .246 8.94 9.96 7 11

totalmanagement SD 12 4.83 1.267 .366 4.03 5.64 3 8

SMP 1 4.00 . . . . 4 4

SMA sederajat 2 5.00 1.414 1.000 -7.71 17.71 4 6

Tidak Sekolah 5 4.80 1.095 .490 3.44 6.16 3 6

Total 20 4.80 1.152 .258 4.26 5.34 3 8

totalskorsocialadjustment SD 12 52.00 5.427 1.567 48.55 55.45 44 63

SMP 1 62.00 . . . . 62 62

SMA sederajat 2 58.00 7.071 5.000 -5.53 121.53 53 63

Tidak Sekolah 5 62.00 3.674 1.643 57.44 66.56 59 68

Total 20 55.60 6.652 1.487 52.49 58.71 44 68

Page 100: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

99

Universitas Indonesia

F. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Lama Vonis Kusta

Descriptives

N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for

Mean Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound

totalWandL 2-14 tahun 13 10.54 2.817 .781 8.84 12.24 6 14

15-27 tahun 7 13.43 .976 .369 12.53 14.33 12 15

Total 20 11.55 2.704 .605 10.28 12.82 6 15

totalRealationshi 2-14 tahun 13 26.54 3.152 .874 24.63 28.44 22 32

15-27 tahun 7 30.43 2.936 1.110 27.71 33.14 27 35

Total 20 27.90 3.553 .794 26.24 29.56 22 35

totalintectualinterest 2-14 tahun 13 1.38 .650 .180 .99 1.78 1 3

15-27 tahun 7 2.86 1.069 .404 1.87 3.85 1 4

Total 20 1.90 1.071 .240 1.40 2.40 1 4

totalsatisfaction 2-14 tahun 13 9.46 .877 .243 8.93 9.99 8 11

15-27 tahun 7 9.43 1.512 .571 8.03 10.83 7 11

Total 20 9.45 1.099 .246 8.94 9.96 7 11

totalmanagement 2-14 tahun 13 4.92 1.256 .348 4.16 5.68 3 8

15-27 tahun 7 4.57 .976 .369 3.67 5.47 3 6

Total 20 4.80 1.152 .258 4.26 5.34 3 8

totalskorsocialadjustment 2-14 tahun 13 52.85 6.026 1.671 49.20 56.49 44 63

15-27 tahun 7 60.71 4.536 1.714 56.52 64.91 53 68

Total 20 55.60 6.652 1.487 52.49 58.71 44 68

Page 101: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

100

Universitas Indonesia

G. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Cacat Fisik

Descriptives

N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for

Mean Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound

totalWandL cacat fisik 15 11.47 2.615 .675 10.02 12.91 6 15

Non cacat Fisik 5 11.80 3.271 1.463 7.74 15.86 6 14

Total 20 11.55 2.704 .605 10.28 12.82 6 15

totalRealationshi cacat fisik 15 27.20 3.189 .823 25.43 28.97 22 32

Non cacat Fisik 5 30.00 4.123 1.844 24.88 35.12 25 35

Total 20 27.90 3.553 .794 26.24 29.56 22 35

totalintectualinterest cacat fisik 15 1.47 .743 .192 1.06 1.88 1 3

Non cacat Fisik 5 3.20 .837 .374 2.16 4.24 2 4

Total 20 1.90 1.071 .240 1.40 2.40 1 4

totalsatisfaction cacat fisik 15 9.33 1.175 .303 8.68 9.98 7 11

Non cacat Fisik 5 9.80 .837 .374 8.76 10.84 9 11

Total 20 9.45 1.099 .246 8.94 9.96 7 11

totalmanagement cacat fisik 15 4.73 1.280 .330 4.02 5.44 3 8

Non cacat Fisik 5 5.00 .707 .316 4.12 5.88 4 6

Total 20 4.80 1.152 .258 4.26 5.34 3 8

totalskorsocialadjustment cacat fisik 15 54.20 5.833 1.506 50.97 57.43 44 63

Non cacat Fisik 5 59.80 7.855 3.513 50.05 69.55 47 68

Total 20 55.60 6.652 1.487 52.49 58.71 44 68

Page 102: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

101

Universitas Indonesia

H. Rata-rata Skor Social Adjustment Berdasarkan Status Pernikahan

Descriptives

N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for Mean Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound

totalWandL lajang 3 13.00 1.000 .577 10.52 15.48 12 14

menikah 12 11.92 2.843 .821 10.11 13.72 6 15

janda 5 9.80 2.490 1.114 6.71 12.89 6 12

Total 20 11.55 2.704 .605 10.28 12.82 6 15

totalRealationshi lajang 3 27.33 5.508 3.180 13.65 41.01 22 33

menikah 12 28.50 3.425 .989 26.32 30.68 23 35

janda 5 26.80 3.114 1.393 22.93 30.67 24 32

Total 20 27.90 3.553 .794 26.24 29.56 22 35

totalintectualinterest lajang 3 2.33 1.155 .667 -.54 5.20 1 3

menikah 12 2.08 1.165 .336 1.34 2.82 1 4

janda 5 1.20 .447 .200 .64 1.76 1 2

Total 20 1.90 1.071 .240 1.40 2.40 1 4

totalsatisfaction lajang 3 10.00 1.000 .577 7.52 12.48 9 11

menikah 12 9.25 1.288 .372 8.43 10.07 7 11

janda 5 9.60 .548 .245 8.92 10.28 9 10

Total 20 9.45 1.099 .246 8.94 9.96 7 11

totalmanagement lajang 3 5.33 .577 .333 3.90 6.77 5 6

menikah 12 4.83 1.403 .405 3.94 5.73 3 8

janda 5 4.40 .548 .245 3.72 5.08 4 5

Total 20 4.80 1.152 .258 4.26 5.34 3 8

totalskorsocialadjustment lajang 3 58.00 5.568 3.215 44.17 71.83 52 63

menikah 12 56.58 7.342 2.119 51.92 61.25 44 68

janda 5 51.80 4.604 2.059 46.08 57.52 47 59

Total 20 55.60 6.652 1.487 52.49 58.71 44 68

Page 103: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

102

Universitas Indonesia

Page 104: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

103

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 4

KATEGORISASI DAN TRANSKRIP WAWANCARA

A. PARTISIPAN 1

No. Kategori Padatan Faktual

1 Identitas pria berusia 44 tahun, berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, sudah berkeluarga,

pendidikan terakhir 3 SD, divonis kusta usia 20 tahun, pekerjaan sebelum dirawat sebagai

pendulang emas, mendapatkan penghasilan sebagai pengemis, agama islam, tinggal di Sitanala

sejak tahun 1990

2 Latar Belakang sebelum

tervonis Kusta

Ia bekerja sebagai pendulang emas di Kalimantan, pergi ke Jakarta dan berobat ke Rumah Sakit

Kusta Sitanala atas saran dokter

3 Awal terkena Kusta dan

gejala kusta yang dialami

sekujur tubuhnya menjadi demam, Kadang sekujur tubuhnya kedinginan dan jari-jari tangannya

menjadi kram, tujuh tahun kemudian mulai muncul flek-flek berwarna putih di daerah muka

dan tangan, Telapak tangannya tidak lagi merasakan apapun dan menjadi baal, jari tangannya

pun menjadi melengkung, Z pernah terluka pada telapak tangannya saat bekerja namun, luka

tersebut tidak kunjung sembuh.

4 Kehidupan setelah vonis

Kusta

Bekerja sebagai supir angkot,tinggal di sebuah rumah kecil berukuran 3x 4 meter bersama istri

dan tujuh orang anak, Istrinya juga merupakan pasien kusta yang telah dinyatakan sembuh

secara medis oleh dokter, mengalami kecelakaan sehingga kakinya harus diamputasi, ia tidak

bisa lepas dari obat-obatan

Page 105: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

104

Universitas Indonesia

Pekerjaan dan waktu luang bekerja sebagai pengemis setelah kakinya diamputasi, sebenarnya malu dan tidak mau

melakukan pekerjaan tapi terpaksa

Hubungan dengan keluarga

dan di luar keluarga pasca

vonis

Hubungan ia dengan saudara kandungnya pun terputus terutama semenjak kedua orang tuanya

meninggal, Tetangga sekitar, perlahan-lahan mulai menjauhi dan tidak mau berbicara

dengannya, Orang-orang mulai menjaga jarak dengan cara tidak mengikutkannya dalam

kegiatan masyarakat

7 Minat Intelektual Dulu tertarik sekarang tidak lagi setelah sakit kusta

8 Kepuasan terhadap peran-

peran yang dimiliki di

masyarakat

ia pun terpukul dan semakin rendah diri untuk bertemu dengan orang lain, Ia lebih banyak diam

9 Persepsi diri mengenai

kemampuan dalam mengatur

dan mengontrol lingkungan

ia merasa tidak mampu untuk membiayai anak-anaknya sehingga mencoba untuk bunuh diri,

B. PARTISIPAN 2

No. Padatan Faktual Tema Kategori

Page 106: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

105

Universitas Indonesia

1 Kena flek pertamanya di sini, terus di tangan, berubah jadi panu, putih. Terus pake Kalpanax

ngga ilang, ngelebar.

Flek yang berubah

menjadi panu

Awal

kemunculan

gejala kusta

2 Tangan ngga berasa, langsung kemari ngga terasa. Kalo nginjek aspal atau tanah, kaki kanan

linu. Ada batu sedikit kayanya ngeganjel.

Tangan dan kaki

mulai mati rasa

Awal

kemunculan

gejala kusta

3 Ngga sakit, cuma linu ke tulang. Sampe kena tusuk tulang ikan, terus dikerik pake peniti.

Setelah itu, makin lama makin besar.

Nyeri tulang dan

luka membesar

Awal

kemunculan

gejala kusta

4 Makin membesar, makin membesar, jempolnya tahu-tahu kelepas, dialasin terus kakinya. Luka membesar dan

jari terlepas

Awal

kemunculan

gejala kusta

5 Pulang dari merantau, tahun ’78 ya, kembali ke Jakarta, ke Rumah Sakit Cipto. Waktu itu ngga

ada reaksi apa-apa, berobat terus jalan tiap minggu.

Berobat ke rumah

sakit

Pengobatan

yang dilakukan

terhadap gejala

kusta

6 Di Cipto dibilang kena sakit kulit biasa. Diagnosis sakit kulit

biasa

Diagnosis oleh

dokter

7 Tangan yang sebelah begini nih yang kiri. Lama-lama pada kiting, yang ini sembuh, ini kiting.

Yang di sini sembuh, pindah ke kanan.

Tangan berubah

menjadi “keriting”

Perubahan

bentuk fisik

8 Jenisnya T. Jadi kenanya tu di bagian tulang. Kusta jenis T, bagian Jenis kusta

Page 107: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

106

Universitas Indonesia

tulang yang diderita

9 Kalo saya sih MSG, bentuknya cairan bening. Pake tapi udah stop. Terakhir pake DDS, tahun

’88.

Menggunakan MSG

dan DDS untuk

mengobati kusta

Jenis obat yang

digunakan

10 Operasi iya, tapi ngga ada reaksi apa-apa. Sampe tiga kali operasi, makanya ni tangan normal,

tapi agak lemah.

Tiga kali operasi

tangan

Usaha

perbaikan

bentuk fisik

yang berubah

11 Dulu operasi tapi gagal soalnya yang ngoperasi bukan dokter. Tahun ’95. Gagal operasi karena

bukan oleh dokter

Usaha

perbaikan

bentuk fisik

yang berubah

12 Rasanya ngga ada, cuman kalo ada yang panas-panas dihindari. Karena kan ngga berasa, ntar

tahu-tahu melembung aja, melepuh. Soalnya kalo kulit kaya gini, keringnya bisa tahunan.

Apalagi kalo kaki sering dipake jalan, bisa tahunan. Tapi udah 25 tahun ini ngga kambuh-

kambuh.

Menghindari sesuatu

yang panas

Kendala yang

dihadapi

13 Kalo jalan kaki ngga kuat, paling merangkak. Kalo kuat mah jalan, tapi sambil nahan sakit-

sakit.

Tidak kuat jalan

kaki. Merangkak.

Cara

bermobilisasi

14 Kalo buat nginjek nih, biarpun pake sandal, sakit ini. Pokoknya ngga tahan rasa sakitnya. Kalo

ada luka, kaki ngga bisa dipake.

Kaki sakit buat

nginjek

Anggota fisik

yang sakit

15 Ngga merasa minder. belum tahu. Dari dokter Cipto itu ngga pernah ngasih tahu ini kena sakit Tinggal bersama Perasaan

Page 108: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

107

Universitas Indonesia

kusta. Sampe dulu tinggal di Kreo, tinggal di lingkungan orang-orang normal semua, cuma

ngga merasa minder.

orang normal dan

tidak pernah minder

sebagai

penderita kusta

16 Kadang-kadang orang nyari tanah sama saya, nyari motor sama saya. Ngga merasa minder,

biarpun kaki udah agak bau udah kena tulang gitu. Kan kalo kena tulang agak bau. Orang-orang

sana juga uda pada tau, orang-orang Pondok Aren. RT, RW-nya pada ke rumah saya.

Tetap bekerja, tidak

merasa minder.

Perasaan

sebagai

penderita kusta

17 Punya rumahlah. Ini kan rumah pemerintah. Pokoknya selama masih ada umur, kita tinggal.

Tapi kalo anak udah ngga ada orang tua, kan ini untuk orang sakit. Jadi ngga bisa tinggal di sini

lagi.

Ingin punya rumah.

Masih tinggal di

rumah pemerintah.

Harapan yang

ingin dicapai

18 Insya Allah kalo Tuhan mengizinkan (punya rumah, red.). Insya Allah begitu. Insya Allah bisa

mendapatkan rumah.

Tingkat

keyakinan

dalam

mencapai

harapan

19 Ngga pernah. Meskipun anak banyak, ngapain dipikirin, ada kita makan, ngga ada ya udah.

Makan nasi sama garem cukup. Ngapain dibuat pikiran. Apa adanya aja. Anak mau sekolah,

kalo ada kasih, kalo ngga ada ya jalan aja.

Anak banyak tidak

jadi masalah

Stres yang

dirasakan

20 Kekuatan paling di tipi doang. Servis tipi bisa. Kalo kata orang dulu, kalo sama otak-otak orang

sekaranga, kalo dulu mah biar SR, otaknya mateng, cuma SR kelas 3.

Bisa servis TV.

Cuma sampe kelas 3

SR.

Kelebihan

yang dimiliki

21 Cuma SR kelas 3 karena sakit. Pas sakit, orang tua yang laki meninggal, ngga mampu lagi. Jadi

pas umur segitu udah merantau ke mana-mana. Jadi kalo ada orang lagi ngerjain apa, itu saya

perhatiin.

Berhenti saat kelas 3

SR. Merantau ke

mana-mana

Alasan

berhenti

sekolah

Page 109: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

108

Universitas Indonesia

22 Bisa ngerakit kawat tembaga, itu otak saya masuk. Bisa merakit kawat

tembaga

Kelebihan/keah

lian yang

dimiliki

23 Ngga. Biasa aja. Kecuali kalo udah kena tulang, agak bau. Biasanya operasi dulu. Mau ketemu

orang agak ngerasa ngga enak. Waktu dulu di Kreo, orang-orang biasa aja.

Merasa ngga enak

kalau sudah kena

tulang.

Perasaan

penderita kusta

24 Cuma namanya sodara, kalo deket bau tai kalo jauh bau kembang, makanya pindah kemari.

Kalo kita agak lama ngga nengok sodara, kayanya harum, kangen gitu. Kalo deket malah

berantem mulu.

Kalo jauh dari

sodara jadi kangen.

Alasan pindah

jauh dari

kerabat

25 Ya paling semalem benerin hape sampe malem. Itu (Karang Taruna, red.) ada, tapi kan anak-

anak muda kaya anak-anak saya gitu.

Ngga ikut Karang

Taruna, anak-anak

saja. Benerin hape

sampe malem.

Kegiatan yang

dilakukan di

lingkungan

tempat tinggal

26 Ngga. Pokoknya di lingkungan ini, anak-anaknya orang sakit, mereka yang turun. Yang sakit-

sakit mah ngga.

Orang sakit ngga

turun, cuma anak-

anaknya.

Yang

mengikuti

kegiatan di

lingkungan

tempat tinggal

27 Permata ada dulu, tapi sekarang bubar lagi. Panitianya kacau, ngga bisa dipegang omongannya.

Ngga ada di sini. Masalahnya udah susah dipercaya, udah banyak ngebohongin soalnya.

Permata sudah

bubar, panitianya

kacau.

Organisasi

yang diikuti

28 asalnya dulu tinggal di Kreo. tinggalnya dulu di Kreo, tapi kalo lahir di Tanjung Priuk. Nah Dulu tinggal di Domisili

Page 110: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

109

Universitas Indonesia

orang tua punya bagian di Kreo, Kreo Ciledug. Pas tinggal di situ udah sakit. Pas di Tanjung

Priuk ngga minder, di Kreo juga ngga minder.

Kreo. Lahir di

Tanjung Priuk.

sebelumnya

29 Betawi. Kalo bapak orang Banten, ibu orang Betawi. Di sini baru lima tahun. Orang Betawi, bapak

orang Banten, ibu

orang Betawi.

Suku bangsa

30 Nikah tahun…90-an. (ketemu istri, red.) Di rumah sakit, di bangsal. Nikah tahun ’90-an.

Ketemu istri di

bangsal.

Pernikahan

31 Dulu di bangsal rame. Pasiennya kurang lebih sampe 500. Kalo sekarang paling bisa diitung, di

bangsal paling ada 5 orang, 1 orang. Karena sebagiannya kan udah berobat jalan.

Dulu pasien di

bangsal sampe 500,

sekarang 1 atau 5

orang.

Berkurangnya

jumlah pasien

di bangsal

32 Yang udah RSP itu artinya udah minum obat, jadi udah sembuh total. Tapi kalo penyakit cacat

itu ngga bisa disembuhkan. Itu udah ngga minum obat sama sekali, kalo cacat ya masih cacat.

Meskipun udah

minum obat, kalo

cacat tetep cacat.

Pengobatan

terhadap

penderita kusta

33 Ini umur anak saya yang pertama 19 tahun. (kawin sama istri, red.) Kalo ngga salah 35…karena

kan dua kali kawin. Kawin yang pertama, dulu masih normal. Kalo dulu masih dagang minyak

tanah, dagang minyak tanah keliling. Kalo saya pulang itu, gimana ya? Takut bau. Jadi ngerasa

ngga enak sendiri, sama istri, sama mertua.

Umur anak pertama

19 tahun. Kawin

dengan istri 35

tahun.

Usia anak dan

saat menikah

dengan istri

34 Wiraswasta. Pokoknya orang butuh apa, nyuruh apa, misalnya benerin listrik, dipanggil, ya

saya betulin. Pokoknya apa aja yang saya bisa.

Wiraswasta Profesi saat ini

Page 111: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

110

Universitas Indonesia

35 (jumlah tanggungan, red.) 6 orang, belum sama istri. Tanggungan 6 orang,

belum sama istri.

Jumlah orang

yang

ditanggung

36 Kalo normal mah ngga begitu suka tapi dengan keadaan yang begini sedeng-sedeng aja. Ya

yang bisa aja saya kerjain.

Kalo normal ngga

begitu suka

pekerjaan sekarang.

Perasaan

terhadap

pekerjaan

37 Waktu kosong kayanya jarang sih. Ngga bisa diem orangnya, apa aja juga saya kerjain. Ini saya

betulin ah, biar jadi duit, gimana caranya buat nyenengin anak.

Jarang ada waktu

kosong, apa aja

dikerjain.

Kegiatan di

waktu kosong

38 Nonton tv aja. Baik. Nonton tv. Kualitas

baik.

Kegiatan di

waktu kosong

39 Ngga (minum DDS, red.). Kan Bapak kan punya luka, jadi saya aja yang berobat, ntar obatnya

buat dia.

Istri yang berobat,

obatnya untuk

Bapak.

Pengobatan

yang dilakukan

40 Ya sering (ngobrol sama anak, red.), kan kaya temen aja gitu. Baik. Sering ngobrol sama

anak, kaya temen.

Komunikasi

dengan

keluarga

41 Ya banyak. Karena saya kan nih lagi di rumah ya, kalo saya di Depok, bergaul sama anak

pemulung-pemulung, pada ngerokok, jadi satu. Malah sebaliknya, malah maranin saya.

Banyak teman.

Bergaul sama

pemulung, banyak

yang maranin.

Pertemanan

dengan orang

lain

Page 112: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

111

Universitas Indonesia

42 Ya saya mah ngga minder. Aktif. Pada ngobrol sama saya, kadang-kadang ke kamar saya juga. Ngga minder, aktif

ngobrol.

Keaktifan

berkomunikasi

dengan orang

lain

43 Baik. Satu lagi nih, saya temenan sama orang Padang, akrab bener. Makan minum sama-sama

kok. Ngga berasa minder. Biasa aja gitu. Kayanya, emang ada yang akrab sekali sama saya.

Gimana, waktu di Depok aja pas saya kontak, satu kamar berdua. Padahal dia orang normal,

saya ini orang sakit. Jadi dia ngga ngerasa takut, saya pun ngga ngerasa minder.

Temenan sama

orang Padang, akrab

bener. Temen ngga

takut, jadi ngga

minder.

Pertemanan

dengan orang

lain

44 Kalo orang sini mah banyak yang sering nyari. Titip Pak C, betulin motor, tolongin ini nih.

Kalo di Kreo, kita hampir setiap hari, kadang minta cari motor. Kadang bertamu cari inilah

inilah sama saya. Orang minta cariin tanah, cariin rumah. Kan buat uang sampingan lumayan.

Banyak yang sering

nyari untuk minta

tolong.

Hubungan

dengan orang

lain.

45 Ya ngga. Kadang-kadang ya, RT sana tu udah Pak C ngga usah. Tapi kalo di tempat lain, tetep

harus dilaksanain. Kan karena begini ya, kerja juga semampu saya kan, ngga bisa dipaksain. Ya

kadang-kadang tu RT RW sana mandang saya tu, dikiranya ngga bisa kerja. Kadang ditolak

gitu. Ya kadang malu juga.

Kadang ngga ikut

melaksanakan aturan

karena dikira ngga

bisa kerja, kadang

ditolak.

Kepatuhan

terhadap

peraturan

46 Ngga, ngga ikut. Tapi kalo kerja bakti mah ikut. Kalo arisan gitu-gitu ngga, udah ngga bisa

dipercaya soalnya.

Ngga ikut arisan,

cuma kerja bakti.

Udah ngga percaya

soalnya.

Organisasi

yang diikuti

47 Oh sering, banyak mengatasi gini-gini. Kadang-kadang berhasil. Intinya, sebagai Sering jadi Peran dalam

Page 113: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

112

Universitas Indonesia

penengahnyalah begitu. penengah. masyarakat.

48 Lumayan suka saya (keteknikan, red.). Lumayan suka

keteknikan

Minat terhadap

bidang tertentu

49 Tidak pernah. Ya ngomong aja, pokoknya saya mah sama orang tu apa adanya. Jangan sampe

saya jelekin dia.

Ngomong aja sama

orangnya, jangan

sampai jelekin.

Komunikasi

dengan orang

lain

50 Ngga pernah (ditolak/dikucilkan, red.). Ngga pernah ditolak

atau dikucilkan.

Penerimaan

masyarakat

51 Ngga terlalu penting (penampilan fisik, red.). Penampilan fisik

ngga terlalu penting

Pentingnya

penampilan

fisik

52 Ya kadang-kadang. Tapi kalo sampe susah bener tu ngga pernah, pasti ada aja kalo buat jajan. Kadang-kadang,

ngga pernah sampe

susah bener.

Pengelolaan

sumber daya

dan pendapatan

53 Lumayan bisa. Kan anak saya di sini ngerti semua. Anak yang laki “Pak, beliin vespa Pak.

Nanti kalo saya udah kerja beli sendiri.”

Lumayan bisa

mengatur

lingkungan.

Keyakinan

dalam

mengatur

lingkungan

54 Waktu pulang ke Jakarta, ke RS Cipto, ngga dibilangin sakit kusta, sakit kulit aja. Terus uang

udah abis untuk berobat, ada yang bilangin, ke puskesmas. Sampe puskesmas baru sedih, ya

Allah, kenapa baru dibilangin sakit kusta? Terus katanya, kalo dikasih tahu, takutnya jadi

Di RS Cipto ngga

dibilang kusta. Baru

tahu kena kusta di

Diagnosis

kusta

Page 114: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

113

Universitas Indonesia

minder atau takut bunuh diri. Justru emang banyak disembunyiin, takut diusir dari keluarga. puskesmas.

55 Iya penting. Jadinya ngga buang-buang duit percuma. Udah nebus obat, penyakit ngga sembuh-

sembuh, malah nambah terus.

Penting dikasih tau

kena kusta.

Diagnosis

kusta

56 Usia 17. Dulu waktu di Larangan, dagang minyak tanah, kaki udah luka, tapi tangan masih

normal. Kalo dorong gerobak meleset, dalam sebulan bisa tiga kali gerobak jatoh karena udah

ngga kuat lagi. Waktu di puskesmas, disuruh jepit kertas. Saya tahan kertas itu tapi ngga sobek.

Kalo normal kan sobek, ditarik, jepitannya kuat, saya ngga. Disuruh kuatin kuatin, ditarik, tetep

aja. Jepitannya udah lemah.

Baru tau kusta pas

usia 17 tahun.

Usia saat

didiagnosis

kusta

57 Pertama kali belum ngerti. Pas pulang ke Jakarta, baru tahu, waktu di Cipto kan ngga

dibilangin. Waktu di Cipto itu, tetep pake sepatu bisa, cuma lecetnya ngga berasa. Abis itu,

yang dijual udah ngga ada, sabar ya Pak C. Tapi hubungan saya sama masyarakat situ tetep

intim.

Pertama kali belum

ngerti kusta.

Hubungan dengan

masyarakat tetep

intim.

Reaksi diri dan

masyarakat

saat

didiagnosis

kusta

58 DDS, Amoxilyn, antibiotik, itu aja kayanya. Pengobatan lukanya kadang pake Bioplacenton,

tapi agak lama sembuhnya. Yang cepet pake MSG, buat pertumbuhan kulit. Caranya dicelupin,

terus tempel. Tapi ngga boleh dibuat jalan, kalo dibuat jalan, tambah besar luka itu. Makanya

kalo pake MSG total istirahat, tumbuh daging.

DDS, Amoxilyn

(antibiotik), MSG,

Bioplacenton.

Jenis obat yang

digunakan

59 Gratis, kan pake Jamkesmas. Gratis karena pake

Jamkesmas

Biaya

pengobatan

60 Ya biasa aja, ngga apa-apa. Malah diurusin sama sodara-sodara. Lukanya diobatin. Dari

keluarga, yang kena cuma saya. Saya juga nanya sama Dr. Handoko, kenapa bisa kena sodara-

sodara ngga kena. Terus kata dia, waktu ibu hamil, kurang sayur-sayuran. Coba kalo ibu kamu

Sodara biasa aja,

malah ngurusin.

Orang tua kurang

Reaksi

keluarga

terhadap

Page 115: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

114

Universitas Indonesia

makan sayur-sayuran, kamu ngga bakal kena. Terus orang tua kamu juga kurang gizi pas

ngelahirin.

gizi. diagnosis

kusta.

Kemungkinan

penyebab

kusta.

61 Tipe kering, kalo basah tu gemuk, kaya orang keringetan. Itu menular. Dokter juga ngga mau

nyentuh, Dr. Handoko ngomong. Tapi ngga langsung kena, ngga. Itu bertahun-tahun kenanya.

Tapi saya juga nih, kalo lagi reaksi, panas-dingin, biar kata dokter ngga nular, saya tetep jauhin

anak-anak.

Tipe kusta kering.

Tetep jauhin anak

kalo lagi reaksi.

Tipe kusta

yang diderita

62 Biasa aja, ngga menjauhi saya. Malah pada duduk sama saya rame-rame, barengan sama saya.

Malah seneng sama saya.

Ngga menjauhi,

malah barengan.

Reaksi teman

terhadap

diagnosis kusta

63 Dianter, diopnam di sini tahun ’84, terus tahun ’98 keluar. Di bangsal 4, di situ aja ngga ke

mana-mana. Berobat jalan lagi, sebulan di rumah, cek lagi. Pas kaki putus, ya Allah, sakit apa

ini? Dikasih cobaan, kuat ngga nih ngadepinnya? Biarpun begini, ngga nyusahin orang.

Diopname mulai

tahun ’84 sampai

’98.

Masa

pengobatan

kusta

64 Tahu, tapi biasa aja. Malah temen-temennya juga ngga takut main ke sini. Teman-teman ngga

takut main.

Reaksi teman-

teman terhadap

diagnosis

kusta.

65 Biasa aja, ngga minder, ngga berasa takut. Dulu sempet ngojek, 5 tahun kalo ngga salah.

Langganan kebanyakan orang Padang.

Ngga minder.

Sempet ngojek.

Perasaan

setelah

didiagnosis

Page 116: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

115

Universitas Indonesia

kusta.

Page 117: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

116

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 5

TRANSKRIP WAWANCARA

Iter: dari umur berapa pak? Sembilan taun udah mulai ada flek-flek gitu ya?

Itee: saya kena flek pertamanya di sini…

Iter: dengkul dulu

Itee: iya, terus di tangan, berubah jadi panu

Iter: putih ya pak dia warna fleknya? Putih, bukan warna merah?

Itee: putih. Terus pake Kalpanax ngga ilang, ngelebar. Kan tangan ngga berasa.

Iter: oh gitu..

Itee: langsung kemari tu ngga terasa. Kalo saya nginjek aspal atau tanah gitu ya, kaki kanan tu linu. Linu dah, ngga bisa dah pokoknya. Ada batu

sedikit aja kayanya ngeganjel.

Iter: oh berasa keganjel aja ya, tapi ngga sakit ngga apa ya?

Itee: ngga sakit, cuma linu ke tulang. Nah itu sampe kena tusuk tulang ikan, terus dikerik pake peniti. Setelah itu, kok makin lama makin besar?

Iter: lukanya?

Itee: he-eh. Makin membesar, makin membesar, jempolnya tahu-tahu kelepas.

Iter: ooh, tahu-tahu kelepas sendiri gitu pak?

Itee: iya, dialasin terus kakinya.

Page 118: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

117

Universitas Indonesia

Iter: oh dialasin terus. Terus Bapak belom ke dokter sama sekali?

Itee: belom, belom. Nah pas pulang dari merantau itu, tahun ’78 ya, saya kembali kemari, ke Jakarta, ke rumah sakit Cipto. Waktu itu ngga ada

reaksi apa-apa, berobat terus jalan tiap minggu.

Iter: dia ngga bilang apa-apa?

Itee: ngga. Udah gitu saya di Cipto…udah abis tanah dijualin, sembuh juga ngga. Terus orang tua juga udah capek kali ya ngebiayain, sampe

almarhum ngurusin saya. Di Cipto saya cuman dibilang kena sakit kulit biasa.

Iter: Oh dibilang kena sakit kulit..

Itee: Iya, tangan saya yang sebelah begini nih yang kiri. Lama-lama kan pada kiting ya, nah yang ini sembuh, ini kiting. Yang di sini sembuh,

pindah ke kanan.

Iter: oh gitu ya pak. Bapak tahu ngga kena kusta jenis apa?

Itee: Jenisnya? T. Jadi kenanya tu di bagian tulang.

Iter: oh di bagian tulang ya pak. Kalo obatnya yang dipake apa aja tuh pak?

Itee: oh kalo saya sih MSG, bentuknya cairan bening.

Iter: kalo DDS Bapak pake ngga?

Itee: pake tapi udah stop.

Iter: oh udah stop ya pak? Kapan tuh pak terakhir pake?

Itee: terakhir pake DDS…tahun ’88.

Iter: tahun ’88 ya pak? Terus pak, ada usaha perbaikan ngga pak terhadap ketunaan…operasi gitu pak?

Page 119: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

118

Universitas Indonesia

Itee: operasi iya, tapi ngga ada reaksi apa-apa.

Iter: tapi Bapak sempet operasi?

Itee: sempet. Sampe tiga kali saya operasi, kan makanya ni tangan normal. Ini saya tangan normal tapi agak lemah. Dulu operasi tapi gagal

soalnya yang ngoperasi bukan dokter.

Iter: tahun berapa tuh pak?

Itee: tahun ’95.

Iter: nah itu akibat tangan dan kaki Bapak seperti ini, ada kendala ngga tuh pak dalam melakukan kegiatan sehari-hari?

Itee: rasanya sih ngga ada. Cuman kalo ada yang panas-panas, saya hindari. Karena kan ngga berasa, ntar tahu-tahu melembung aja, melepuh.

Soalnya kalo kulit kaya gini, keringnya bisa tahunan. Apalagi kalo kaki sering dipake jalan, bisa tahunan. Tapi udah 25 tahun ini ngga kambuh-

kambuh.

Iter: jadi kendalanya masih yang panas-panas aja ya pak?

Itee: iya. Itu saya hindarin tuh.

Iter: kalo Bapak mobilitas naik apa pak biasanya kalo pergi-pergi? Jalan kaki bisa pak?

Itee: kalo jalan kaki mah ngga kuat saya.

Iter: jadi biasanya gimana pak? Kalo pindah ke tempat tidur atau apa gitu gimana?

Itee: ya paling saya merangkak gitu.

Iter: oh merangkak ya pak mobilitasnya.

Itee: kalo saya kuat mah jalan, tapi sambil nahan sakit-sakit.

Page 120: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

119

Universitas Indonesia

Iter: lemes apa sakit pak?

Itee: sakit! Kalo buat nginjek nih, biarpun pake sandal, sakit ini.

Iter: sakit ya? Oh gitu..sakitnya ngilu-ngilu kaya yang tadi Bapak bilang?

Itee: iya. Pokoknya ngga tahan dah rasa sakitnya. Kalo ada luka kaki saya ngga bisa dipake.

Iter: ya ampun…pak mau tanya deh pak waktu Bapak kena, dikatakan oh Bapak kena kusta gitu ya, perasaan Bapak gimana pak?

Itee: ya itu sih saya ngga merasa minder.

Iter: ngga merasa minder ya pak? Karena belum tahu atau gimana kali ya pak?

Itee: belum tahu. Dari dokter Cipto itu ngga pernah ngasih tahu ini saya kena sakit kusta. Sampe saya…kan dulu saya tinggal di Kreo, saya kan

tinggal di lingkungan orang-orang normal semua ya, cuma saya tu ngga merasa minder.

Iter: biasa aja ya pak ya?

Itee: iya. Cuman dari mana-mana tu ya, ini saya ngga tau ya dipanggil makelar apa bukan ya, kadang-kadang orang nyari tanah sama saya, nyari

motor sama saya. Saya ngga merasa minder, biarpun kaki saya udah agak bau udah kena tulang gitu. Kan kalo kena tulang agak bau. Orang-

orang sana juga uda pada tau, orang-orang Pondok Aren. RT, RW-nya pada ke rumah saya.

Iter: jadi santai aja Bapak ya? Terus pak, ada ngga nih hal yang pengen Bapak capai?

Itee: heh? Cita-cita yang ingin dicapai?

Iter: iya, cita-cita Bapak apa tuh pak?

Itee: punya rumahlah.

Iter: oh punya rumah? Lah ini rumah pak?

Page 121: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

120

Universitas Indonesia

Itee: ini kan rumah pemerintah.

Iter: oh rumah pemerintah…jadi apa pak? Sewa apa gimana pak?

Itee: yaaa sewa…pokoknya selama masih ada umur nih, ya kita tinggal. Tapi kalo anak saya udah ngga ada orang tua, saya udah ngga ada umur,

istri saya udah ngga ada umur? Kan ini untuk orang sakit.

Iter: hmmm, jadi harus keluar gitu ya anak-anak?

Itee: iya. Jadi kan ngga bisa tinggal di sini lagi.

Iter: oh gitu ya pak. Yakin ngga Bapak bisa mendapatkan rumah

Itee: Insya Allah kalo Tuhan mengizinkan.

Iter: oh gitu ya pak. Kalo dari 1 sampai 10, berapa keyakinan Bapak?

Itee: apanya nih?

Iter: kira-kira, dari 1 sampai 10 nih, kira-kira keyakinan saya…10. Saya mampu nih.

Itee: ya Insya Allah saya begitu.

Iter: Insya Allah ya pak ya, yakin mampulah ya kira-kira pak ya. Bapak tahu stress ngga pak?

Itee: belum pernah.

Iter: belum pernah ya? Tapi Bapak tau stress, ada orang ngomong stress?

Itee: tahu sih.

Iter: kira-kira…

Page 122: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

121

Universitas Indonesia

Itee: tapi saya kayanya ngga terlalu terpengaruh sih sama yang kaya gitu-gitu.

Iter: gitu ya pak? Ngga pernah stress Bapak?

Itee: ngga pernah. Saya nih meskipun anak saya banyak nih, orang-orang pada bilang “Tra, lu anak lu banyak kayanya santai aja?”. Ya ngapain

dipikirin, ada kita makan, ngga ada ya udah. Makan nasi sama garem cukup. Ngapain dibuat pikiran, kata saya gitu. Tapi kalo ngga ada mau

ngapain kita paksa-paksain kan? Yang ada kita jual, lama-lama juga abis kan? Ya saya mah gitu aja orangnya. Saya ngga terbiasa jadi mikirin…

Iter: santai aja ya pak? Jalanin aja lah ya pak?

Itee: iya, apa adanya aja kalo saya mah. Anak mau sekolah, kalo ada saya kasih, kalo ngga ada ya jalan.

Iter: terus dengan keadaan Bapak yang seperti ini, menurut Bapak, kelebihan apa pak? Ya kan dengan kondisi Bapak seperti ini, tapi Bapak

punya keyakinan, kekuatan Bapak tu apa sih pak kalo orang tanya?

Itee: kekuatan saya? Ya kalo saya…gimana ya? Ya paling di tipi doang saya.

Iter: di tipi? Itu maksudnya gimana pak?

Itee: servis tipi bisa.

Iter: servis segala macem, teknik jago ya pak? Belajar di mana pak?

Itee: saya? Ya mungkin saya…itulah kan kalo kata orang dulu, kalo sama otak-otak orang sekarang ya, kalo dulu mah biar SR, otaknya mateng.

Makanya saya bilang kan saya Cuma SR kelas 3.

Iter: SR kelas 3 ya pak? Berhenti sekolah karena apa pak dulu?

Itee: karena sakit. Nah terus pas saya sakit kan, orang tua saya yang laki meninggal, itu ngga mampu lagi saya. Jadi kan tu pas umur segitu udah

merantau ke mana-mana. Jadi kalo ada orang lagi ngerjain apa, itu saya perhatiin.

Page 123: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

122

Universitas Indonesia

Iter: jadi otodidak ya pak? Belajar langsung dari orangnya.

Itee: iya. Saya bisa ngerakit kawat tembaga, itu otak saya masuk.

Iter: gitu ya pak? Pak, Bapak jadi minder ngga sih dengan keadaan Bapak yang seperti ini?

Itee: ngga. Biasa aja saya. Ya kecuali kalo udah kena tulang, kan agak bau tuh ya. Ya saya biasanya operasi dulu. Mau ketemu orang agak

ngerasa ngga enak.

Iter: operasi dulu gitu ya pak? Pak, kalo sikap lingkungan ya, lingkungan tu, artinya kan masyarakat ya…

Itee: waktu dulu di Kreo ya, ya orang-orang mah biasa aja.

Iter: biasa aja ya pak? Ngga ada masalah gitu?

Itee: ngga.

Iter: kira-kira kenapa ya pak mereka ngga ada masalah gitu?

Itee: ya cuman saya begimana ya? Namanya kita deket sodara ya, kalo deket bau tai kalo jauh bau kembang. Ya kan anak-anak saya tahu sendiri,

makanya saya pindah kemari. Kan kalo kita agak lama ngga nengok sodara, kan kayanya harum, kangen gitu. Kalo deket malah berantem mulu.

Iter: oh gitu ya pak. Pak, Bapak kegiatan yang dilakukan di lingkungan apa aja pak biasanya?

Itee: ya saya mah ini ajalah.

Iter: oh di rumah aja ya pak?

Itee: ya paling saya semalem benerin hape sampe malem.

Iter: oh gitu, kalo kerja bakti gitu ada ngga sih? Karang taruna atau 17-an Agustus gitu?

Page 124: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

123

Universitas Indonesia

Itee: ada. Itu ada, tapi kan itu anak-anak muda yang…kaya anak-anak saya gitu.

Iter: tapi Bapak ngga ikutan?

Itee: ngga. Pokoknya di lingkungan ini, anak-anaknya orang sakit, mereka yang turun. Yang sakit-sakit mah ngga.

Iter: oh gitu. Bapak tergabung dalam organisasi atau komunitas ngga? Misalnya, apa…mmm tergabung dalam organisasi kusta, Permata, kan ada

tuh pak?

Itee: Permata ada dulu, tapi sekarang bubar lagi. Panitianya kacau, ngga bisa dipegang omongannya.

Iter: oh gitu ya pak. Jadi, sekarang udah ngga ikut organisasi apa-apa ya pak?

Itee: ngga ada di sini. Masalahnya udah susah dipercaya, udah banyak ngebohongin soalnya.

Iter: pak, dulu kalo asalnya dari daerah mana?

Itee: asalnya dulu kan saya tinggal di Kreo.

Iter: oh asalnya Kreo, berarti emang dari Jakarta ya pak?

Itee: tinggalnya dulu di Kreo, tapi kalo lahir mah di Tanjung Priuk. Nah orang tua punya bagian di Kreo, Kreo Ciledug situ tuh. Tapi saya pas

tinggal di situ udah sakit. Pas di Tanjung Priuk saya ngga minder, di Kreo juga saya ngga minder.

Iter: oh ngga minder juga ya pak di situ, terus Bapak sukunya apa pak? Betawi kalo ya pak?

Itee: saya? Betawi. Kalo bapak orang Banten, ibu orang Betawi.

Iter: terus tinggal di sini udah berapa lama pak?

Itee: di sini saya baru lima tahun.

Page 125: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

124

Universitas Indonesia

Iter: baru lima tahun ya pak? Nikah umur berapa pak?

Itee: saya nikah tahun…90-an.

Iter: tahun ’90 ya? Ketemu sama Ibu Mut di mana pak?

Itee: di rumah sakit, di bangsal. Biasalah…

Iter: oh di bangsal, saya belum pernah ke bangsal tuh pak.

Itee: dulu mah di bangsal rame. Pasiennya tu kurang lebih sampe 500. Kalo sekarang mah paling bisa diitung, di bangsal paling ada 5 orang, 1

orang. Karena apa ya? Sebagiannya kan udah berobat jalan. Yang udah RSP itu…

Iter: RSP tu apa pak?

Itee: RSP tu artinya udah minum obat, jadi udah sembuh total. Tapi kalo penyakit cacat itu ngga bisa disembuhkan. Itu udah ngga minum obat

sama sekali, kalo cacat ya masih cacat.

Iter: akibat dari itu ya pak? Pak, usia anak berapa pak?

Itee: ini umur anak saya yang pertama 19 tahun.

Iter: waktu nikah umur berapa pak?

Itee: kalo ngga salah 35…karena saya kan dua kali kawin.

Iter: oh dua kali kawin?

Itee: iya, saya kawin yang pertama, saya dulu saya masih normal. Kalo saya dulu kan masih dagang minyak tanah, dagang minyak tanah

keliling. Kalo saya pulang itu, aduh gimana ya? Saya tu takut…takut bau. Jadi saya ngerasa ngga enak sendiri, sama istri, sama mertua.

Iter: tapi ngga punya anak pak?

Page 126: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

125

Universitas Indonesia

Itee: punya, satu.

Iter: sekarang di mana pak?

Itee: sekarang sama ibunya.

Iter: terus pak, pekerjaan Bapak apa pak? Kalo Bapak ditanya orang gitu, Bapak jawabnya apa?

Itee: wiraswasta.

Iter: oh wiraswasta ya pak?

Itee: ya pokoknya orang butuh apa, nyuruh apa, misalnya benerin listrik, dipanggil, ya saya betulin. Pokoknya apa aja yang saya bisa.

Iter: pak, berapa orang jumlah orang yang Bapak tanggung? Yang Bapak biayai, berapa orang?

Itee: 6 orang.

Iter: 6 orang? Istri termasuk ya pak?

Itee: belum.

Iter: oh 7 ya berarti pak? Ini alamatnya lorong 7 berapa sih pak?

Itee: lorong 8 ini..

(isi kuesioner)

Iter: Bapak suka ngga dengan pekerjaan Bapak sekarang?

Page 127: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

126

Universitas Indonesia

Itee: kalo saya normal mah ngga begitu suka tapi dengan keadaan saya yang begini yaa sedeng-sedeng aja deh. Ya yang bisa aja saya kerjain.

Iter: bapak punya hobi ngga pak? Suka ngga ngelakuin hobi Bapak?

Itee: ya suka sih.

Iter: Bapak punya waktu kosong?

Itee: waktu kosong saya kayanya jarang sih. Saya tu ngga bisa diem orangnya, apa aja juga saya kerjain. Ini saya betulin ah, biar jadi duit,

gimana caranya buat nyenengin anak.

Iter: tapi waktu Bapak ngga ada kerjaan, menurut Bapak, kualitas waktu Bapak, Bapak ngapain aja kalo waktu kosong biasanya?

Itee: nonton tv aja.

Iter. Nonton tv aja? Menurut Bapak, itu kualitasnya gimana pak? Baik, sangat baik, baik, agak baik, atau ngga memuaskan?

Itee: baik.

Iter: Bapak masih minum DDS?

Itee 2 (istri): ngga. Kan Bapak kan punya luka, jadi saya aja yang berobat, ntar obatnya buat dia.

Iter: Bapak sering ngajak ngobrol anak-anak Bapak ngga?

Itee: ya sering, kan kaya temen aja gitu.

Iter: kalo keadaan hubungan ya pak, antara Bapak sama istri, sama anak-anak, itu gimana menurut Bapak? Sangat baikkah, baik, atau lumayan?

Page 128: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

127

Universitas Indonesia

Itee: baik.

Iter: di luar keluarga ini ya, Bapak tu punya teman banyak orangkah, beberapa orang, atau hanya sedikit orang?

Itee: ya banyak. Karena saya kan nih lagi di rumah ya, kalo saya di Depok, bergaul sama anak pemulung-pemulung, pada ngerokok, jadi satu.

Iter: kalo Bapak sendiri suka ngga mencoba membuat pertemanan dengan orang lain? Jadi artinya Bapak aktif duluan ngga untuk ngajakin

kenalan orang?

Itee: malah sebaliknya, anu…dia malah maranin saya.

Iter: oh jadi dia ke Bapak ya. Tapi kalo Bapak sendiri gimana?

Itee: ya saya mah ngga minder. Aktif. Pada ngobrol sama saya, kadang-kadang ke kamar saya juga. Keadaan saya begini nih udah ngga apa-apa

Pak C, tenang aja. Kita ngerokok, saya sediain rokoknya, diisep sama dia. Kenapa jadi takut? Dia tau kan ya karena saya begini kan ya, sayanya

luka begini, saya nanya “Nih lu isep nih. Mau ngga? Takut ngga?”. “Ngapain takut? Orang Pak C aja sehat-sehat aja kok. Masa takut nular saya,

ya ngga.”

Iter: kalo Bapak menilai hubungan pertemanan Bapak dengan orang lain itu bagaimana pak? Sangat baikkah, baik, atau…

Itee: baik. Satu lagi nih, saya temenan sama orang Padang, akrab bener. Makan minum sama-sama kok. Saya ngga berasa minder.

Iter: seberapa penting sih pak pertemanan Bapak dengan orang lain, menurut Bapak?

Itee: ya saya biasa aja gitu. Kayanya, emang ada yang akrab sekali sama saya. Gimana, waktu di Depok aja pas saya kontak, satu kamar berdua

sama saya. Padahal dia orang normal, saya ini orang sakit. Jadi dia ngga ngerasa takut, saya pun ngga ngerasa minder.

Iter: orang sering nyari Bapak ya berarti? Apa jarang aja?

Itee: ya kalo orang sini mah banyak yang sering nyari. Titip Pak C, betulin motor, tolongin ini nih. Kalo di Kreo, kita hampir setiap hari, kadang

minta cari motor. Kadang bertamu cari inilah inilah sama saya. Orang minta cariin tanah, cariin rumah. Kan buat uang sampingan lumayan.

Page 129: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

128

Universitas Indonesia

Iter: kan bahwa di masyarakat itu ka nada aturan, tata tertib gitu ya pak ya. Nah itu Bapak menjalankan itu ngga pak? Melaksanakan ngga pak?

Apakah selalu atau kadang-kadang doang?

Itee: ya ngga. Kadang-kadang ya, RT sana tu udah Pak C ngga usah. Tapi kalo di tempat lain, tetep harus saya laksanain. Ya kan karena saya

begini ya, kerja juga semampu saya kan, ngga bisa dipaksain. Ya kadang-kadang tu RT RW sana mandang saya tu, gimana ya? Dikiranya ngga

bisa kerja. Kadang ditolak gitu. Ya kadang saya malu juga.

Iter: Tanya lagi nih pak, Bapak suka ikut Karang Taruna atau arisan RT/RW atau pengajian masjid gitu ngga pak?

Itee: ngga, ngga ikut. Tapi kalo kerja bakti mah ikut. Kalo arisan gitu-gitu ngga, udah ngga bisa dipercaya soalnya.

Iter: oh gitu ya pak. Kalo Bapak suka mencari informasi tentang hal-hal, atau situasi orang lain gitu untuk Bapak mengerti orang lain?

Itee: oh sering saya. Saya banyak mengatasi gini-gini.

Iter: gitu ya pak? Itu lumayan apa sangat banyak apa agak banyak?

Itee: ya kadang-kadang berhasil saya. Intinya, saya sebagai penengahnyalah begitu.

Iter: tapi Bapak minat ngga sih pak? Suka ngga dengan hal-hal keteknikan?

Itee: lumayan suka saya.

Iter: Bapak suka menemukan kesulitan ngga untuk mengungkapkan pendapat Bapak kepada orang lain?

Itee: tidak pernah. Ya ngomong aja, pokoknya saya mah sama orang tu apa adanya. Jangan sampe saya jelekin dia.

Iter: kalo Bapak merasa ditolak atau dikucilkan dari lingkungan ngga pak?

Itee: ngga pernah.

Page 130: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

129

Universitas Indonesia

Iter: seberapa penting menurut Bapak penampilan bentuk fisik Bapak? Sangat pentingkah, lumayan, apa ngga terlalu penting atau sama sekali

ngga penting?

Itee: ngga terlalu penting.

Iter: Bapak suka kesulitan ngga dalam mengatur keuangan entah buat anak atau buat istri?

Itee: ya kadang-kadang. Tapi kalo sampe susah bener tu ngga pernah, pasti ada aja kalo buat jajan mah.

Iter: menurut Bapak, Bapak bisa ngga mengatur lingkungan sosial Bapak agar sesuai dengan keinginan dan harapan Bapak?

Itee: ya bisa, lumayan bisa. Kan anak saya di sini ngerti semua. Anak saya yang laki nih “Pak, beliin vespa Pak. Nanti kalo saya udah kerja beli

sendiri.”

Itee: waktu saya pulang ke Jakarta, ke RS Cipto, itu saya ngga dibilangin saya sakit kusta, saya sakit kulit. Terus sampe di puskesmas ya, uang

saya kan udah abis ya untuk berobat, ada yang bilangin, ke puskesmas. Sampe puskesmas baru saya sedih, ya Allah, saya bilang, kenapa saya

baru dibilangin sakit kusta? Terus katanya, gini pak, kalo dikasih tahu, takutnya Bapak jadi minder atau takut bunuh diri apa gimana ya? Justru

emang banyak disembunyiin pak, takut dari keluarga tu Bapak diusir atau gimana.

Iter: padahal menurut Bapak, dikasih tahu tu penting ya pak?

Itee: iya penting. Jadinya kan ngga buang-buang duit percuma. Udah nebus obat penyakit ngga sembuh-sembuh, malah nambah terus.

Iter 2: itu Bapak usia berapa tuh pak?

Itee: saya usia 17. Dulu saya waktu di Larangan, dagang minyak tanah, kaki saya udah luka tuh, tapi tangan masih normal. Jadi kalo dorong

gerobak tu meleset, dalam sebulan bisa tiga kali gerobak jatoh karena udah ngga kuat lagi. Terus saya waktu di puskesmas itu, waktu saya

normal, disuruh jepit kertas. Tahan pak, ya. Saya tahan kertas itu tapi ngga sobek. Kalo normal kan sobek? Ditarik, jepitannya kuat, saya ngga.

Disuruh kuatin kuatin, ditarik, tetep aja. Udah lemah jadi, jepitannya udah lemah.

Page 131: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

130

Universitas Indonesia

Iter 2: terus yang Bapak lakukan pertama kali waktu Bapak tahu kena kusta apa pak?

Itee: pertama kali? Ya saya tu belum ngerti. Pas saya pulang ke Jakarta, baru saya tahu.pas di rumah sakit umum ini baru saya tahu, waktu di

Cipto kan ngga dibilangin. Waktu di Cipto itu, saya tetep pake sepatu bisa, cuma lecetnya tu ngga berasa. Ya udah abis itu, yang dijual udah

ngga ada, sabar ya Pak C. Tapi hubungan saya sama masyarakat situ tetep intim.

Iter 2: terus jenis pengobatannya apa aja pak?

Itee: obat-obatannya? DDS, terus Amoxilyn, antibiotik, itu aja kayanya. Pengobatan lukanya itu kadang pake Bioplacenton, tapi itu agak lama

sembuhnya. Yang cepet tu pake MSG, itu buat pertumbuhan kulit. Caranya dicelupin, terus tempel. Tapi ngga boleh dibuat jalan kakinya,

soalnya kalo dibuat jalan, tambah besar luka itu. Makanya kalo pake MSG itu total istirahat, tumbuh daging.

Iter: tapi biaya pengobatannya gratis kan ya pak?

Itee: gratis, kan saya pake Jamkesmas.

Iter 2: terus keluarga Bapak waktu tau Bapak kena kusta gimana pak?

Itee: ya biasa aja, ngga apa-apa. Malah saya diurusin sama sodara-sodara saya. Lukanya diobatin. Dari orang tua saya nih, keluarga 9, yang kena

cuma saya doang. Saya juga nanya sama Dr. Handoko, kenapa saya bisa kena sodara-sodara saya ngga kena. Terus kata dia, itu Pak C, waktu ibu

Pak C hamil, kurang sayur-sayuran. Coba kalo ibu kamu makan sayur-sayuran, darah kamu kuat, kamu ngga bakal kena. Terus orang tua kamu

juga kurang gizi pas ngelahirin.

Iter: tipe kusta Bapak tipe apa pak?

Itee: saya kering, kalo basah tu gemuk, kaya orang keringetan. Itu menular. Dokter juga ngga mau nyentuh, Dr. Handoko kan ngomong. Tapi

ngga langsung kena, ngga. Itu bertahun-tahun kenanya. Tapi saya juga nih, kalo lagi reaksi, panas-dingin, biar kata dokter ngga nular, kan tipe

basah nularnya pas lagi reaksi tuh, anak-anak ngga boleh kena. Tapi biarpun kata dokter ngga nular, saya tetep jauhin anak-anak.

Iter 2: kalo temen-temen Bapak, tetangga Bapak, itu gimana terhadap Bapak?

Page 132: Gambaran Social Adjustment Pada Mantan Penyandang Kusta Setelah Dinyatakan Sembuh Secara Medis

131

Universitas Indonesia

Itee: biasa aja, ngga menjauhi saya. Malah pada duduk sama saya rame-rame, barengan sama saya. Malah seneng sama saya.

Iter 2: Bapak ke Sitanala sini diantar atau…

Itee: dianter, saya diopnam di sini tahun ’84, terus tahun ’98 keluar saya. Saya di bangsal 4, di situ aja ngga ke mana-mana. Berobat jalan lagi,

saya sebulan di rumah, cek lagi. Pas kaki saya putus, ya Allah, saya sakit apa ini? Dikasih cobaan, kuat ngga nih saya. Dikasih keturunan banyak

juga tapi saya sakit, kuat ngga nih saya ngadepinnya? Tapi alhamdulillaah, biarpun saya begini, saya ngga nyusahin orang kok.

Iter 2: anak-anak Bapak tahu kalo Bapak sakit?

Itee: tahu, tapi biasa aja. Malah temen-temennya juga ngga takut main ke sini.

Iter 2: setelah Bapak tahu kena kusta, pendapat Bapak tentang kusta bagaimana pak?

Itee; biasa aja, ngga minder, ngga berasa takut. Saya dulu sempet ngojek, 5 tahun kalo ngga salah. Langganan saya kebanyakan orang Padang.