fungsi lembaga penyanderaan
DESCRIPTION
fungsi lembaga penyanderaan indonesiaTRANSCRIPT
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK
YANG MENUNGGAK PAJAK (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur)
S K R I P S I
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi persyaratan Untuk mencapai gelar Sarjana Hukum
O l e h :
YASMINE A. NST 030200174
Bagian Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2007
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK
YANG MENUNGGAK PAJAK (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur)
S K R I P S I
O l e h :
YASMINE A. NST 030200174
Bagian Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2007
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK
YANG MENUNGGAK PAJAK (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi persyaratan Untuk mencapai gelar Sarjana Hukum
O l e h :
YASMINE A. NST 030200174
Bagian Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang
Disahkan Oleh
Ketua Bagian Hukum Keperdataan
Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS. NIP. 1310764 556
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II M. Hayat, SH Megarita, SH, CN, M.Hum NIP. 130 808 994 NIP. 131 762 538
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis haturkan kehadirat Allah SWT, sehingga skripsi
ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Penulis bersyukur kepada Allah SWT
karena telah memberikan banyak nikmat termasuk nikmat kesehatan sehingga
penyusunan skripsi ini tidak menemui kendala yang berarti.
Skripsi yang berjudul: “Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Proses
Penagihan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Menunggak Pajak” ini merupakan
kewajiban Penulis guna melengkapi tugas akhir Penulis dalam memperoleh gelar
kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun demikian,
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan skipsi ini.
Selama dalam penulisan skripsi ini, Penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang telah memberikan
waktu dan dukungannya hingga selesainya penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam
kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan..
2. Bapak Prof Dr. Tan Kamello, S.H, M.S, selaku Ketua Jurusan Departemen
Hukum Perdata Dagang.
3. Bapak M.Hayat, S.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
4. Ibu Megarita, S.H., C.N, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan yang sangat
Penulis butuhkan hingga selesainya penulisan skripsi ini.
5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi S.H., M.Hum, selaku Dosen Wali yang telah banyak
membantu Penulis dalam masa perkuliahan
6. Ibu Rafiqah S.H. M.Hum., Bapak Dedi Harianto S.H. M.Hum., dan seluruh
dosen serta staf pengajar lainnya yang telah memberikan bimbingan dan
pengajarannya selama penulis dalam masa perkuliahan sehingga kelak ilmu
tersebut dapat berguna bagi Penulis untuk menjalankan kehidupan nantinya.
7. Ayah dan bundaku tersayang (Drs. H. Zachruddin Nst dan Hj. Wartawani Lbs)
atas kasih sayang dan perhatiannya yang tak terhingga yang takkan bisa
Penulis balas dengan apapun juga.
8. Gadiz Ganksta a.k.a Dogerz (Esther Patricia Juniarti Simamora a.k.a ndut
cayank, Reny Aswita Sianturi a.k.a Bamba, Dewi Novita Tarigan a.k.a Ophey,
Margaretta Silvia Rosa Silitonga a.k.a Comel, Dwinda Asterita Permanasari
Sembiring a.k.a Dida, and last but not least Anju Ciptani Putri Manik a.k.a
Jupek). Friendship is one of the hardest things to keep coz somewhere in the
middle, new friend may come but I hope you still keep me in your heart even
if someone new come along.
9. QFC (Risa Tresna Mukti, Novi Herwina Nst, Fauriza Wildhani Dalimunthe,
Neni Azrina, Athiah Ramadhani Siregar, dan Tri Ramadhani).
Medan, Agustus 2007
Penulis
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
ABSTRAKSI ............................................................................................ v
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................ 7
D. Keaslian Kepustakaan ....................................................... 8
E. Tinjauan Kepustakaan ......................................................... 9
F. Metode Penelitian ............................................................... 15
G. Sistematika Penulisan ......................................................... 16
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PAJAK .............. 18
A. Pengertian dan Sejarah Pajak ............................................. 18
B. Subjek dan Objek Pajak ...................................................... 27
C. Penggolongan Jenis Pajak ................................................... 37
D. Jenis-Jenis Ketetapan Pajak ................................................ 40
E. Pajak sebagai Sumber Penerimaan Negara ......................... 44
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
BAB III. PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK .......... 47
A. Timbulnya dan Hapusnya Hutang Pajak ............................. 48
B. Yurisdiksi Penagihan Pajak ................................................ 54
C. Rangkaian Kegiatan Penagihan Pajak ................................ 56
D. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak ........................................ 69
E. Pengertian dan Sanksi bagi Wajib Pajak yang Menunggak
Pajak .................................................................................. 78
BAB IV. FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM PENAGIHAN PAJAK TERHADAP PAJAK YANG MENUNGGAK PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN ................................. 88
A. Pengertian Penyanderaan ................................................... 89
B. Kriteria Wajib Pajak yang Dapat Dikenakan Penyanderaan . 92
C. Contoh Kasus Wajib Pajak yang Menunggak Pajak ........... 96
D. Tata Cara dan Prosedur Pelaksanaan Penyanderaan ............ 99
E. Prosedur Penghentian Penyanderaan .................................. 110
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 116
A. Kesimpulan ......................................................................... 116
B. Saran .................................................................................. 119
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 121
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
ABSTRAKSI
Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara, maka negara mencari pembiayaannya melalui berbagai sektor, khususnya melalui sektor pajak. Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi esssensial. Tanpa pemungutan pajak sudah bisa dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh terlebih-lebih bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia. Karena Pajak merupakan pungutan yang bersifat politis dan strategis, yaitu untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembiayaan bagi kelangsungan pembangunan. Untuk kepentingan tersebut, maka dibuatlah ketentuan berupa undang-undang maupun berbagai peraturan lainnya yang mengatur mengenai pelaksanaan pemungutan pajak tersebut. Dalam hal ini akan dititikberatkan pada penagihan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak terhadap Wajib Pajak yang mempunyai tunggakan pajak. Penagihan pajak dilaksanakan berdasarkan UU No. 19 tahun 1997 yang telah diubah dengan UU No. 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa. Surat paksa tersebut memiliki kekuatan eksekutorial dan sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Surat paksa tersebut antara lain memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk melakukan penyanderaan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai tunggakan pajak. Penyanderaan (Gijzeling) adalah merupakan suatu paksaan untuk dilakukannya sita badan terhadap Wajib Pajak yang telah melalaikan kewajibannya sehingga mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi pihak pemerintah. Dalam hal ini pemerintah harus melakukannya secara selektif dan hati-hati karena ini menyangkut Hak Asasi Manusia. Dan pelaksanaannya pun hanya dapat dilakukan setelah melalui rangkaian kegiatan penagihan pajak lainnya.
Seperti yang telah dikemukakan diatas maka yang menimbulkan permasalahan dalam masyarakat adalah hal-hal mengenai bagaimana masyarakat dalam hal ini adalah Wajib Pajak dapat dikenakan penyanderaan, bagaimana proses pemberlakuan dan penghentian proses penyanderaan itu serta bagaimanakah fungsi dan peran lembaga penyanderaaan sehingga dapat mendorong pencairan tunggakan pajak dari Wajib Pajak yang melalaikan kewajibannya tersebut.
Untuk lebih memahami mengenai keberadaan lembaga penyanderaan maka dalam penulisan ini akan dititikberatkan pada studi kasus dan studi kepustakaan serta pembahasannya. Di dalam penulisan ini juga dikemukakan adanya proses gugatan terhadap pelaksanaan sandera tersebut. Dimana dalam hal ini pemerintah tetap berupaya agar Wajib Pajak yang terkena sandera dapat mengajukan keberatan berupa gugatan yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri. Pemerintah juga berupaya melakukan ganti rugi baik dengan uang maupun rehabilitasi nama baik Wajib Pajak apabila gugatan yang diajukan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri. Sehingga diharapkan keberadaan lembaga ini dapat membuat efek jera bagi para penunggak pajak, agar tidak melakukan hal yang sama dan melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakannya sebagai suatu sumbangsihnya terhadap negara ini.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tugas suatu negara pada prinsipnya adalah berusaha dan bertujuan untuk
menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Itulah sebabnya maka negara harus
tampil ke depan dan turut campur tangan, bergerak aktif dalam bidang kehidupan
masyarakat, terutama di bidang perekonomian guna tercapainya kesejahteraan
masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut maka dibutuhkan biaya-biaya yang
cukup besar. Demi berhasilnya usaha ini, negara mencari pembiayaannya dengan
cara menarik pajak. Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang
harus dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi essensial. Tanpa pemungutan
pajak sudah bisa dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh terlebih-lebih
bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia. Sebab pajak merupakan
pemasukan yang utama bagi negara disamping pemasukan-pemasukan dari sektor
lainnya seperti : devisa sebagai hasil ekspor negara, laba dari perusahaan negara,
kredit dari luar negeri, pencetakan uang oleh pemerintah melalui bank sentral,
uang administrasi, denda, dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana yang telah
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa pajak merupakan
pungutan yang bersifat politis dan strategis. Bersifat politis karena pemungutan
pajak adalah perintah konstitusi, dan bersifat srategis karena pajak merupakan
tumpuan utama bagi negara dalam membiayai kegiatan pemerintahan dan
pembiayaan bagi kelangsungan pembangunan baik untuk masa sekarang maupun
bagi masa yang akan datang seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Untuk
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
itu perlu adanya pemahaman dari anggota masyarakat khususnya bagi wajib pajak
mengenai seluk-beluk perpajakan yang begitu kompleks dan rumit. Oleh karena
itu dengan adanya perkembangan masyarakat yang semakin pesat dan dengan
dilandasi oleh unsur keadilan dalam pemungutan dan atau penagihan pajak, maka
dibuatlah ketentuan berupa undang-undang maupun berbagai peraturan yang
mengatur mengenai siapa saja yang menjadi subjek dan objek pajak, bagaimana
pelaksanaan penagihan pajak terhadap Wajib Pajak, jenis-jenis pajak apa saja
yang harus dipungut, berapa besarnya pajak yang harus dibayar serta sanksi apa
saja yang dapat dikenakan apabila Wajib Pajak ternyata melalaikan kewajibannya
dalam membayar pajak
Adanya berbagai undang-undang maupun peraturan yang telah
dikeluarkan untuk mengatur perpajakan di negara kita tetap saja tidak dapat
mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti banyaknya Wajib Pajak
yang enggan melaksanakan kewajibannya sehingga timbul tunggakan pajak yang
tidak sedikit jumlahnya dan hal tersebut mengakibatkan kerugian bagi negara. Hal
ini dapat terjadi dalam masyarakat kita sekarang karena disebabkan oleh banyak
faktor, salah satunya adalah karena Wajib Pajak dengan itikad buruk sengaja
melalaikan kewajibannya untuk membayar pajak.
Apabila dikaitkan dengan hukum yang berlaku di negara kita ini maka
pajak dapat dikaitkan dengan hukum perdata dan hukum pidana. Dikatakan
berkaitan dengan hukum perdata adalah karena pihak Wajib Pajak yang belum
membayar atau melunasi pajaknya maka ia dikatakan mempunyai hutang kepada
negara. Dalam hal ini negara sebagai orang (persoon) menjadi pihak kreditur
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
(berpiutang) menagih hutang kepada pihak Wajib Pajak sebagai seorang yang
berhutang (debitur).
Seorang Wajib Pajak yang tidak membayar pajak atau membayar tidak
menurut ketentuan yang berlaku maka dikatakan telah melakukan wanprestasi,
yang dalam hal itu negara tetap menuntut pada pihak debiturnya (si berutang).
Kaitan lainnya adalah hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutan
pajak berdasarkan perbuatan Hukum Perdata misalnya berupa perjanjian-
perjanjian, hal pendapatan, kekayaan, warisan. Seseorang yang melakukan
perjanjian membeli suatu barang, merupakan dasar bagi hukum pajak untuk
melakukan pemungutan pajak. Sedangkan dalam hal pengertian atau terminologi
seperti pengertian Wajib Pajak yang dalam hukum perdata sering disebut subjek
hukum, walaupun pengertian subjek hukum sebenarnya lebih luas daripada
pengertian Wajib Pajak.
Sedangkan kaitan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana adalah karena
terhadap Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak,
baik dengan memalsukan jumlah perhitungan kekayaan dan laba perusahaan,
penipuan atau berbohong atau dengan menyuap petugas-petugas pajak maka
perbuatan seperti itu merupakan delik tindak pidana yang mana dapat dituntut
berdasarkan hukum acara pidana.
Menurut Pasal 103 KUHPidana, yang menegaskan bahwa ketentuan
pidana yang terdapat pada KUHPidana berlaku juga untuk tindak pidana yang
terdapat dalam undang-undang lainnya. Ketentuan ini juga berlaku bagi Hukum
Pajak, Sedangkan pasal 1 KUHPidana menegaskan bahwa tiada suatu perbuatan
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
pun yang dapat dihukum selain atas ketentuan pidana yang terdapat dalam
undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Kemudian dapat
dilihat dari ketentuan yang diatur dalam pasal 38 dan pasal 39 UU No.6 Tahun
1983 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.16 Tahun 2000 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (untuk selanjutnya disebut KUP)
yang dengan jelas sekali menyebutkan adanya sanksi pidana (berupa kealpaan dan
kesengajaan) terhadap Wajib Pajak yang melanggar ketentuan di bidang
perpajakan.
Pada tahun 2000 pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) telah mengeluarkan UU No.19 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU
No.19 tahun 1997 yakni tentang penagihan pajak dengan surat paksa, yang
kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia (PERMA-RI) No.1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa
Badan, dimana dalam hal Wajib Pajak yang melalaikan kewajibannya sehingga
mengakibatkan tunggakan pajak yang menimbulkan kerugian bagi negara maka
sebagai upaya terakhir dari penagihan pajak yaitu dengan memberlakukan
penyanderaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana yang terdapat dalam UU No.19
Tahun 2000.
Sesuai dengan peraturan dalam perpajakan, bahwa tindakan penagihan
merupakan salah satu bagian dalam kerangka sistem pelaksanaan undang-undang
di bidang perpajakan agar tujuan penerimaan negara dari sektor pajak dapat
berjalan dengan baik. Karena seperti yang kita ketahui bahwa pajak merupakan
satu-satunya sumber penerimaan negara yang dapat diperbaharui (renewable
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
resources) sesuai dengan perkembangan ekonomi yang nantinya akan
dikembalikan kepada masyarakat luas. Oleh karena itu setiap anggota masyarakat
wajib berperan aktif dalam melaksanakan sendiri kewajiban perpajakannya, sesuai
dengan sistem self assessment yang dianut sejak reformasi di bidang Undang-
Undang Perpajakan pada tahun 1983.
Walaupun pada tahun 1975 telah dikeluarkan SEMA No.04 Tahun 1975
tanggal 1 Desember 1975 jo.SEMA No.02 Tahun 1964 tanggal 22 Desember
1964 yang pada dasarnya melarang penggunaan lembaga penyanderaan seperti
yang tercantum dalam Undang-Undang No.19 Tahun 1959 yang diatur dalam bab
III, Pasal 15 sampai dengan Pasal 23 dikarenakan alasan perikemanusiaan
menurut dasar negara kita yaitu Pancasila sehingga dalam perkembangannya
sekarang ini banyak mengakibatkan kerugian bagi negara. Hal ini yang kemudian
menjadi pemicu untuk menghidupkan kembali Lembaga Penyanderaan (Gijzeling)
di negara kita ini. Namun penyanderaan ini bersifat untuk kepentingan negara dan
bukan untuk kepentingan pribadi.
Walaupun pada prakteknya penerapan lembaga penyanderaan (Gijzeling)
ini tentu saja hanya akan dilaksanakan secara sangat selektif dan hati-hati. Melihat
pentingnya lembaga penyanderaan ini tetap dipertahankan, maka ditindaklanjuti
dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.137 Tahun 2000 tentang
Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak
dan Pemberian Ganti Rugi dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Secara psikologis dengan tetap dipertahankannya lembaga penyanderaan ini
dalam proses penagihan pajak tidak lain dimaksudkan untuk membuat
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
penanggung pajak menjadi malu jika sampai terkena sandera hanya karena
menunggak pajak.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan adalah merupakan persoalan atau persyaratan tentang
sesuatu yang harus dicari pemecahannya. Dalam permasalahan sudah seharusnya
dapat menemukan pemecahan atau jawaban. Untuk dapat menjawab segala
permasalahan yang timbul dalam penulisan ini maka diusahakanlah untuk
mendapatkan literatur yang memadai untuk membahas permasalahan tersebut.
Maka untuk lebih memahami pembahasan skripsi ini perlu kiranya penulis
mengemukakan beberapa permasalahan yang timbul mengenai keberadaan dan
fungsi lembaga penyanderaan tersebut dalam sistem penagihan pajak.
Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut :
1. Mengapa Wajib Pajak cenderung enggan dalam melaksanakan
kewajibannya untuk membayar pajak. Serta bagaimanakah rangkaian
penagihan pajak terhadap Wajib Pajak hingga sampai kepada tahap
penyanderaan.
2. Bagaimana kriteria Wajib Pajak sehingga dapat dikenakan penyanderaan.
3. Bagaimana tata cara dan prosedur pelaksanaan penyanderaan.
4. Bagaimana prosedur penghentian penyanderaan.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
5. Bagaimana peranan lembaga penyanderaan sehingga dapat membantu
usaha pejabat fiskus dalam upaya pencairan pajak terhadap Wajib Pajak
yang menunggak pajak.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Subyektif
Untuk mendapatkan data dan bahan-bahan yang lengkap dan akurat yang
diperlukan dalam penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
2. Tujuan Obyektif
Untuk mengetahui fungsi dari lembaga penyanderaan dalam proses
penagihan pajak terhadap Wajib Pajak yang tidak melaksanakan
kewajibannya dalam membayar pajak.
Didalam penulisan ini ada beberapa manfaat yang dapat kita peroleh
antara lain :
a. Penulisan ini berguna karena dengan mengetahui alasan Wajib Pajak
sehingga enggan memenuhi kewajibannya membayar pajak kita akan
dapat memberikan masukan kepada pemerintah agar tidak terjadi lagi
tunggakan pajak dengan meminimalisasi kemungkinan terjadinya hal-
hal yang menjadi alasan tersebut.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
b. Menambah pengetahuan di bidang perpajakan yakni tentang beberapa
kriteria Wajib Pajak yang dapat dikenakan penyanderaan.
c. Penulisan ini juga berguna karena dapat menambah pengetahuan
dalam hal bagaimana tata cara dan prosedur pelaksanaan
penyanderaan.
d. Menambah pengetahuan mengenai prosedur penghentian
penyanderaan.
e. Penulisan ini juga berguna untuk menambah pengetahuan dalam hal
keefektifan dari lembaga penyanderaan tersebut dalam rangka
mendorong pencairan tunggakan pajak.
D. Keaslian Penulisan
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, permasalahan mengenai
sandera (gijzeling) di bidang perpajakan telah ada sejak UU No.19 Tahun 1959
dikeluarkan, namun pelaksanaannya telah ditiadakan disebabkan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan menurut dasar negara.
Namun pada Tahun 2000 yang lalu pemerintah telah dengan tegas
menyatakan bahwa terhadap Wajib Pajak yang melalaikan kewajibannya dengan
disengaja sehingga menyebabkan kerugian yang akan berpengaruh terhadap
pembangunan negara, maka olehnya akan dikenakan sandera (Gijzeling). Adapun
pemberlakuan tesebut tetap dilakukan dengan sangat selektif dan hati-hati
sehingga dapat menghukum Wajib Pajak yang benar-benar sudah memenuhi
kriteria untuk dapat dikenakan sandera.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Karya penulisan mengenai hukum pajak menurut sumber dari jurusan
Keperdataan Dagang Fakultas Hukum USU memang telah ada yang
mengangkatnya sebagai skripsi, namun penulisan mengenai fungsi lembaga
penyanderaan dalam mendorong pencairan tunggakan pajak ini belum pernah
diangkat dalam skripsi. Dengan demikian dalam penulisan karya ilmiah ini
menganggap bahwa perlu kiranya untuk mengangkat pembahasan mengenai
fungsi lembaga penyanderaan ini dan mengupasnya lebih lanjut dalam penulisan
skripsi ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa isi dari tulisan ini tidak
sama dengan karya penulisan lainnya yang telah ada selama ini.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam pokok pembahasan ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan
dengan pajak.
“Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-
barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”1
Menurut PJA Adriani pengertian pajak adalah “iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang dan wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
2
1 H. Bohari, 2006, Pengantar Hukum Pajak, Rajawali Pers, Jakarta, hal 24 2 Zainul Pelly, 1993, Pengantar Hukum Pajak, USU Pers, Medan, hal 3
Sebagai sesuatu yang ada di masyarakat, pajak dapat ditinjau dari berbagai
segi, misalnya dari segi sosiologi, dari segi ekonomi dan dari segi hukum.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
H. Rochmat Soemitro, mengatakan bahwa pajak dilihat dari segi hukum dapat didefenisikan sebagai perikatan yang timbul karena undang-undang (jadi dengan sendirinya) yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat (tatbestand) yang ditentukan dalam undang-undang, untuk membayar sesuatu jumlah tertentu kepada negara yang dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.”3
“Dalam peninjauan hukum kita tidak cukup mengetahui penerapannya saja, tetapi harus juga menilai peraturan yang menjadi dasarnya kalau kita bandingkan perikatan yang berupa utang pajak dengan perikatan dalam hukum perdata, maka tampak sekali perbedaannya. Perikatan dalam hukum pajak terjadi hanya karena undang-undang dan tidak mungkin terjadi karena perjanjian”
4
a. Sejarah Pajak
Hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur
hubungan antara penguasa sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai
pembayar pajak (Wajib Pajak).
Peraturan perundang-undangan tentang pajak banyak mengalami
perubahan, karena seiring perkembangan masyarakat dan juga untuk memenuhi
rasa keadilan bagi Wajib Pajak yang hak dan kewajibannya tidak dapat dianggap
sebagai sesuatu yang mudah, sebab bagaimanapun Wajib Pajak akan selalu
menuntut ketentuan yang jelas dan suatu kepastian hukum yang jelas pula.
1. Sejarah dan Perkembangan Pajak
Masyarakat mengenal istilah pajak sudah sejak zaman penjajahan dahulu,
dan bahkan sebagian besar telah melaksanakannya.
3 H. Bohari op.cit. hal 25 4 Zainul Pelly, op.cit. hal 11
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Kerajaan-kerajaan di Jawa sekitar abad XIX juga melakukan hal semacam
itu. Baru setelah terbentuknya negara-negara nasional dan tercapainya pemisahan
antara rumah tangga negara dengan rumah tangga pribadi raja pada akhir abad
pertengahan mendapat tempat yang lebih mantap diantara pendapatan negara.
Perpajakan di Indonesia pada mulanya mengikuti undang-undang peninggalan
pemerintah Hindia Belanda, namun terjadi perubahan sedikit demi sedikit
memakai peraturan yang memuat ketentuan hukum adat dan sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia.
“Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, banyak sekali undang-undang
mengenai pembayaran pajak, sehingga mengakibatkan masyarakat mengalami
kesulitan dalam pelaksanaan sehari-hari, dan undang-undang itu hanya untuk
kepentingan penjajah(pemerintah Hindia Belanda).”5
1) Masa Tahun 1950
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia tercapai, ada empat langkah
perubahan yang sangat berarti yaitu :
2) Masa Tahun 1983
3) Masa Tahun 1997
4) Masa Tahun 2000 sampai dengan sekarang
Adanya perubahan-perubahan itu sendiri adalah karena perkembangan ekonomi
dan masyarakat yang begitu cepat disamping tuntutan rasa keadilan dan adanya
reformasi hukum.
5 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, 2001, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, hal2
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
b. Perkembangan Pajak
Pembaharuan peraturan perundang-undangan pajak dilakukan karena
pemerintah menganggap bahwa peraturan perpajakan yang berlaku saat itu (1983
dan sebelumnya) adalah peninggalan kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan masyarakat sekarang ini, tidak sesuai dengan struktur
dan organisasi pemerintah tidak berdasarkan pancasila, dan tidak lagi sesuai
dengan perkembangan sosial dan ekonomi yang terjadi di Indonesia.
2. Jenis-Jenis Pungutan
Selain pajak yang dipungut oleh pemerintah, maka ada dua jenis pungutan
lainnya yaitu retribusi dan sumbangan.
a. Retribusi
Pungutan retribusi di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang No.34
tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam Pasal 1 angka (26)
disebutkan retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin kepentingan orang pribadi atau badan.
“Retribusi pada umumnya mempunyai hubungan langsung dengan
kembalinya prestasi karena pembayaran tersebut ditujukan semata-mata untuk
mendapatkan prestasi dari pemerintah, misalnya pembayaran uang kuliah, karcis
masuk terminal, dan kartu langganan.”6
1) Retribusi Jasa Umum
Retribusi terbagi atas tiga jenis yaitu :
2) Retribusi Jasa Usaha
6 H. Bohari op.cit. hal 11
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
3) Retribusi Perizinan Tertentu.
b. Sumbangan
Apabila pajak dan rertribusi pungutannya harus berdasarkan undang-
undang maka dalam sumbangan pungutannya tidak berdasarkan undang-undang,
tetapi lebih bersifat pada gotong-royong masyarakat setempat. Pada sumbangan
tidak ada sifat paksaan tetapi suka rela, si pemberi sumbangan dapat merasakan
imbalan langsung atas hasil sumbangannya.
“Pada sumbangan seseorang yang mendapatkan prestasi justru tidak dapat
ditunjuk, tetapi golongan tertentu yang dapat menikmati kontra prestasi sebagai
contoh sumbangan bencana alam.”7
7 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, op.cit. hal 6
c. Bea dan Cukai
Merupakan pajak tidak langsung yang dipungut atas kewenangan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan. Bea merupakan tariff
yang sudah ditentukan atas suatu barang. Sedangkan Cukai adalah pungutan yang
dikenakan atas barang-barang tertentu seperti : rokok, minuman keras dan lain-
lain.
d. Iuran
Iuran adalah merupakan pungutan yang dilakukan terhadap masyarakat
tertentu, dilakukan oleh pemerintah atas dasar Wajib pajak telah menerima
sesuatu jasa dari pemerintah.
3. Penggolongan Jenis Pajak
Jenis-jenis pajak yang dapat dikenakan terbagi dalam 3 golongan yaitu :
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
a.”Menurut sifatnya, pajak terbagi dua yaitu : 1) Pajak langsung, adalah pajak yang dikenakan secara periodik (berulang-
ulang) missalnya pajak penghasilan. 2) Pajak tidak langsung, adalah pajak yang dikenakan secara insidental
(pada saat tertentu) misalnya, Pajak Pertambahan Nilai.8
b. “Menurut objeknya, pajak terbagi dua yaitu :
1) Pajak Subjektif adalah pajak yang dikenakan kepada keadaan pribadi Wajib Pajak (subjeknya), misalnya Pajak Penghasilan.
2) Pajak Objektif, adalah pajak yang menghubungkan wajib pajak dengan keadaan perbuatan yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak.9
c. “Menurut lembaga pemungutnya pajak terbagi dua yaitu :
1) Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, terdiri dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, pajak/bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, bea materai.
2) Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, misalnya retribusi.10
4. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak yang digunakan di Negara Republik Indonesia
sejak tahun 1984 ditetapkan sistem self assessment secara penuh dalam sistem
pemungutan, sesuai dengan diundangkannya Undang-Undang No.6 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2000 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
5. Fungsi Pemungutan Pajak
Terdapat dua fungsi pemungutan pajak yaitu :
a. Fungsi Budgetair, yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam
kas negara.11
8 Ibid. hal 17 9 Ibid 10 Ibid. hal 18 11 Haula Rosdiana dan Drs. Rasin Tarigan, 2005, Perpajakan, Rajawali Pers, Jakarta, hal 40
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
b. Fungsi Regulerend, yaitu fungsi mengatur. Hal ini berarti bahwa pajak
sebagai alat pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu baik dalam
bidang ekonomi, moneter, sosial, kultural, maupun dalam bidang politik.
F. Metode Penelitian
Suatu kebenaran dan suatu pengetahuan yang objektif yang dapat
dipercaya harus didukung oleh dalil-dalil, fakta-fakta atau data-data yang empiris
yang diperoleh dari penelitian secara ilmiah. Karena itu suatu karya ilmiah harus
didasarkan pada fakta-fakta atau data-data yang objektif agar dapat
dipertanggungjawabkan dan diuji kebenarannya.
Untuk memperoleh data-data dalam menyusun skripsi ini, maka Penulis
melakukan metode sebagai berikut :
1 Library Research (Studi Kepustakaan)
Yaitu dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku,
majalah-majalah, peraturan perundangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan
dengan materi yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Selanjutnya bahan
rujukan yang dikumpul itu dipelajari, dipahami dan dianalisa secara sistematis
serta memilih hal-hal yang dijadikan dasar guna menghasilkan pemikiran yang
tertuang dalam penulisan skripsi ini. Dalam hal pengumpulan data melalui library
research ini diharapkan dapat memenuhi hal-hal yang akan dibahas dalam
penulisan karya ilmiah ini.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
2 Field Research (Penelitian Lapangan)
Yaitu dengan cara melakukan interview atau wawancara langsung dengan
informan yaitu staf pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur, yang berkantor di
Jl. Diponegoro No. 30 A.
Melalui metode diatas maka data-data tersebut diolah dan selanjutnya akan
disesuaikan dengan sistematika pembahasan penulisan skripsi ini. Berdasarkan hal
tersebut diterapkan konklusi berupa kesimpulan dan saran yang diharapkan
berguna bagi perkembangan hukum khususnya dalam hukum pajak.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika atau gambaran isi dari penulisan skripsi ini dibagi dalam
beberapa bab dan diantara bab-bab ini terdiri pula atas sub-bab.
Adapun gambaran isi atau sistematika terssebut adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan suatu pengantar dari pembahasan selanjutnya yang
terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu : Latar Belakang, Rumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PAJAK
Bab ini terdiri dari 5 (lima ) sub bab yang akan menguraikan
Pengertian tentang pajak dan Sejarah hukum pajak, mengenai Subjek
dan Objek Pajak, Penggolongan Jenis Pajak, Jenis-Jenis Ketetapan
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Pajak, serta akan dijelaskan Peranan Pajak Sebagai Sumber
Penerimaan Negara.
BAB III : PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK
Dalam bab ini terdiri dari 5 (lima) sub bab yang akan membahas
mengenai Timbul dan Hapusnya Hutang Pajak, Dasar Teori dan
Yurisdiksi Penagihan Pajak, Rangkaian Kegiatan Penagihan Pajak,
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, serta Pengertian dan Sanksi Bagi
Wajib Pajak yang Menunggak Pajak.
BAB IV : FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK YANG MENUNGGAK PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai beberapa kriteria Wajib
Pajak yang dapat dikenakan penyanderaaan, Contoh kasus Wajib
Pajak yang menunggak Pajak, Tata Cara dan Prosedur Pelaksanaan
Penyanderaan, serta bagaimana Prosedur Penghentian Penyanderaan.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan penutup yang berisikan tentang pokok-pokok
kesimpilan terhadap pembahasan permasalahan serta saran-saran
yang mungkin akan bermanfaat di masa yang akan datang bagi kita
khususnya sebagai Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang baik.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PAJAK
A. Pengertian dan Sejarah Pajak
1. Pengertian Pajak
Di dalam tiap-tiap masyarakat, di mana ada hubungan antara manusia
dengan manusia, maka selalu ada peraturan yang mengikatnya yakni “hukum”.
Hukum mengatur tentang hak dan kewajiban manusia. Hal ini tidak saja berlaku
dalam lingkup hukum publik. Demikian juga dengan pajak. Hak untuk mencari
dan memperoleh penghasilan sebanyak-banyaknya membawa suatu kewajiban
untuk menyerahkan sebagian kekayaan tersebut kepada negara dalam bentuk
“pajak”. Untuk memahami mengapa seseorang harus membayar pajak, maka
haruslah dipahami terlebih dahulu pengertian dari pajak itu sendiri. Seperti
diketahui bahwa negara dalam menyelenggarakan pemerintahan mempunyai
kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang
kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal
tersebut sesuai dengan tujuan negara kita, sebagaimana yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea keempat yang berbunyi :
“..melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial”.
Dari uraian diatas, nampak bahwa untuk menyelenggarakan kepentingan
rakyatnya, maka negara memerlukan dana yang tidak sedikit jumlahnya untuk
mewujudkan tujuan negara tersebut. Dana yang akan dikeluarkan ini tentunya
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
didapat dari rakyat melalui pemungutan yang disebut dengan “pajak”.
Pemungutan pajak haruslah terlebih dahulu disetujui oleh rakyatnya, sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 yang menegaskan agar setiap pajak
yang akan dipungut haruslah berdasarkan undang-undang. Pemungutan pajak
yang harus berlandaskan undang-undang ini berarti bahwa pemungutan pajak
tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyatnya melalui perwakilannya pada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang biasa disebut “berasaskan yuridis.”
Dengan asas ini berarti telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak
negara untuk memungut pajak.
Untuk mengetahui apa arti pajak, berikut akan dikemukakan beberapa
pendapat dari para ahli hukum yang diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.,
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-
Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal
(kontra –prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang dapat
digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.12
b. Menurut R. Santoso Brotodiharjo, S.H.,
“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.13
12 Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, Penerbit
Eresco, Bandung, hal 19 13 R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, 2005, Penerbit Eresco,
Bandung, hal 4
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
c. Menurut Prof. Dr. M.J.H Smeets
“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-
norma umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa ada kontra-prestasi
yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah
untuk membiayai pengeluaran pemerintah”.14
d. Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja
“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa-jasa secara kolektif dalam mencapai kesejahteraan
umum”.15
14 H. Bohari, op.cit. hal 23 15 R. Santoso Brotodiharjo, op.cit. hal 5
Pada pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Rochmat
Soemitro, dijelaskan bahwa unsur “dapat dipaksakan” artinya bahwa bila utang
pajak tidak dibayar, maka utang pajak tersebut dapat ditagih dengan menggunakan
kekerasan seperti dengan mengeluarkan surat paksa dan melakukan penyitaan
bahkan bisa dengan melakukan penyanderaan, sedangkan terhadap pembayaran
pajak tersebut tidak dapat ditunjukkan jasa timbal-balik tertentu, seperti halnya
dengan retribusi.
Dari beberapa pengertian pajak yang telah dikemukakan diatas, dapat
disimpulkan bahwa ada 5 (lima) unsur yang melekat dalam pengertian pajak,
yaitu sebagai berikut :
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
1) Bahwa pajak adalah suatu iuran atau kewajiban menyerahkan sebagian
kekayaan (pendapatan) kepada negara. Dapat dikatakan bahwa pemerintah
menarik sebagian daya beli rakyat untuk negara.
2) Bahwa perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat wajib, dalam arti
bahwa apabila kewajiban itu tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya dapat
dipaksakan.
3) Perpindahan ini adalah berdasarkan undang-undang atau peraturan yang dibuat
oleh pemerintah yang berlaku umum. Sekiranya pemungutan pajak tidak
didasarkan pada undang-undang atau peraturan maka ini tidaklah sah dan
dianggap sebagai perampasan hak.
4) Tidak ada jasa timbal (tegen prestasi) yang dapat ditunjuk, artinya bahwa
antara pembayaran pajak dengan prestasi dari negara tidak ada hubungan
langsung. Prestasi dari negara tersebut antara lain seperti : Hak untuk mendapat
perlindungan dari alat-alat negara, hak menggunakan jalan umum, hak untuk
mendapatkan pengairan, dan sebagainya. Prestasi tersebut tidak ditujukan
secara langsung kepada individu si pembayar pajak, tetapi ditujukan secara
kolektif atau kepada anggota masyarakat secara keseluruhan.
5) Uang yang dikumpulkan oleh negara tersebut digunakan untuk membiayai
pengeluaran umum yang berguna untuk kepentingan masyarakat.
Sifat pemungutan pajak yang dapat dipaksakan seabagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, dapatlah kita artikan bahwa uang yang dikumpulkan dari
pajak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan serta
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Agar ada kepastian dalam proses
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
pengumpulannya, maka sifat pemaksaannya harus ada dan rakyat itu sendiri telah
menyetujuinya dalam bentuk undang-undang. Unsur pemaksaan ini berarti apabila
Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak, maka
pemerintah mempunyai kewenangan untuk melakukan upaya paksa antara lain
dengan mengeluarkan surat paksa, sita bahkan juga dapat melakukan
penyanderaaan sebagai upaya terakhir yang dapat dilakukan agar Wajib Pajak
mau melunasi utang pajaknya.
2. Sejarah Perpajakan
Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-
cuma), namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang
harus dilaksanakan oleh rakyat kepada seorang raja atau penguasa. Rakyat ketika
itu memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi,
ternak, atau hasil tanaman lainnya. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu
digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja, sedangkan imbalan atau
prestasi yang dikembalikan kepada rakyat tidak ada oleh karena sifatnya memang
hanya untuk kepentingan sepihak dan solah-olah ada tekanan secara psikologis
karena kedudukan raja yang lebih tinggi dibandingkan rakyat.
Namun, dalam perkembangannya kemudian sifat upeti yang diberikan oleh
rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada
kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya pemberian yang dilakukan oleh rakyat
tersebut digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan
rakyat, memelihara jalan, membangun saluran air serta berbagai kepentingan
umum lainnya.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Dengan adanya perkembangan suatu masyarakat, maka sifat upeti
(pemberian) yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut,
selanjutnya dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang
memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Guna untuk
memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat
aturan-aturan dalam pemungutan pajak. Maka untuk itu dibuatlah suatu ketentuan
berupa undang-undang yang mengatur mengenai bagaimana tata cara pemungutan
pajak, jenis-jenis pajak apa saja yang dipungut, siapa saja yang harus membayar
pajak dan berbagai aturan lainnya.
Sejak zaman penjajahan Belanda ternyata telah diberlakukan cukup
banyak undang-undang yang mengatur tentang pembayaran pajak, yaitu sebagai
berikut :
a. Ordonansi Rumah Tangga (Stbl 1908 No.13)
b. Aturan Bea Materai (Stbl 1921 No. 498)
c. Ordonansi Bea Balik Nama (Stbl 1924 No.291)
d. Ordonansi Pajak kekayaan (Stbl 1932 No.405)
e. Orodonansi Pajak Kendaraan Bermotor (Stbl 1934 no.718)
f. Ordonanasi Pajak Upah (Stbl 1934 No. 611)
g. Ordonansi Pajak Potong (Stbl 1936 No.671)
h. Ordonansi Pajak Pendapatan (Stbl 1944 No.17)
i. Undang-Undang Pajak Radio (UU No.12 Tahun 1947)
j. Undang-Undang Pajak Pembangunan I (UU No.14 Tahun 1947)
k. Undang-Undang Pajak Peredaran (UU No.12 Tahun 1952)
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Kemudian dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat, diundangkan
lagi beberapa Undang-Undang, antara lain :
a. Undang-Undang Pajak Penjualan Tahun 1951 yang dirubah dengan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1968;
b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1967 tentang pajak atas bunga,
dividen dan royalti;
c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara
dengan Surat Paksa;
d. Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak bangsa asing;
e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd,
PKK, dan PPs.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan
masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaan sehari-hari. Selain itu,
beberapa undang-undang diatas ternyata dalam perkembangannya tidak
memenuhi rasa keadilan terlebih-lebih undang-undang dimaksud masih dibuat
oleh dan untuk kepentingan penjajah Belanda.
Menyadari kondisi diatas maka, pada tahun 1983 pemerintah bersama-
sama dengan DPR sepakat melakukan reformasi Undang-Undang Perpajakan
yang ada dan mengundangkan lima paket undang-undang perpajakan yang
sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktekkan serta tidak menimbulkan
duplikasi dalam hal pemungutan pajaknya dan unsur keadilan lebih diutamakan.
Kelima Undang-Undang tersebut adalah :
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (KUP)
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ;
d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB);
e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
Dengan diberlakukannya kelima undang-undang tersebut diatas, semua
lapisan masyarakat tentunya diharapkan turut berpartisipasi dan dapat mengerti
akan kewajibannya untuk membayar pajak sesuai dengan sistem self assessment
yang berlaku sejak tahun 1983.
Selanjutnya pada tahun1997 pemerintah kembali mengadakan perubahan
atas undang-undang perpajakan yang ada dan membuat beberapa undang-undang
yang berkaitan dengan masalah perpajakan , yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak;
b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah;
c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa;
d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan
Pajak;
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
e. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan.
Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan
dalam rangka memberikan rasa keadilan kepada Wajib Pajak, pada tahun 2000
kembali pemerintah mengadakan perubahan terhadap undang-undang perpajakan
yang dibuat pada tahun 1983, yang selengkapnya seperti dibawah ini :
a. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 mengenai Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP) sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor
9 tahun 1994;
b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana
telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994;
c. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 mengenai Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994;
d. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 mengenai Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
e. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 mengenai Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
B. Subjek Pajak dan Objek Pajak
1. Subjek Pajak
Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, tidak menjelaskan tentang subjek pajak dan hanya
menyebutkan Wajib Pajak, namun jika bertolak pada prinsip “Self Assessment”
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan subjek pajak adalah orang
pribadi dari badan yang menurut Undang-Undang Perpajakan dinyatakan sebagai
subjek hukum yang dapat dikenakan pajak.
Dalam bab ini akan diuraikan tentang siapa saja yang menjadi subjek pajak
tersebut, antara lain :
a. Subjek Pajak Penghasilan
Subjek pajak penghasilan menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dalam pasal 2 ayat 1,
disebutkan bahwa yang menjadi subjek adalah :
1) Orang Pribadi;
2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
3) Badan. Pengertian badan disini adalah modal yang merupakan kesatuan, baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi :
a) Perseroan Terbatas (PT)
b) Perseroan Komanditer (CV)
c) Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
d) Firma
e) Kongsi
f) Koperasi
g) Dana Pensiun
h) Yayasan
i) Dan bentuk-bentuk badan lainnya.16
4) Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang dimaksud dengan BUT adalah bentuk usaha
yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, yang dapat berupa : Tempat kedudukan manajemen, Cabang
perusahaan, Kantor perwakilan, Gedung kantor, Pabrik, Bengkel,
Pertambangan dan penggalian sumber alam wilayah kerja pengeboran yang
digunakan untuk eksploitasi pertambangan, Perikanan, peternakan, pertanian,
perkebunan, kehutanan, Proyek konstruksi instalasi atau proyek perakitan,
Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas,
serta agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan
tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung resiko di Indonesia.
Subjek pajak terdiri dari :
16 Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, Undang-
Undang Perpajakan Tahun 2000, Penerbit Citra Umbara, Bandung, hal 95
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
1) Subjek Pajak Dalam Negeri, dan
2) Subjek Pajak Luar Negeri.
Subjek pajak dalam negeri terdiri dari ;
a) Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia;
b) Badan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia;
c) Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan yang menggantikan
yang berhak.
Subjek pajak luar negeri terdiri dari :
a) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menjalankan bentuk usaha tetap di Indonesia.
b) Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak berkedudukan di Indonesia
yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Bagi mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia, baru menjadi
subjek pajak di Indonesia apabila mereka menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia, misalnya penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal
Undang-Undang No.17 Tahun 2000. Penghasilan yang dimaksudkan dalam pasal
26 ini adalah :
1) Dividen;
2) Bunga, royalty, sewa;
3) Penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
4) Imbalan sehubungan dengan penggunaan jasa, pekerjaan dan kegiatan;
5) Hadiah dan penghargaan; dan
6) Pensiunan dan pembayaran berkala lainnya.
Sedangkan yang tidak termasuk pada subjek pajak penghasilan adalah
sebagai berikut:
1) Badan Perwakilan Negara Asing;
2) Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan consular;
3) Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
b. Subjek Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN)
Subjek pajak dari pajak pertambahan nilai 1984 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 adalah Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha adalah orang atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaannya :
1) Menghasilkan barang, pengusahanya disebut pabrikan atau produsen;
2) Mengimpor barang, pengusahanya disebut eksportir;
3) Melakukan usaha perdagangan, pengusahanya disebut pedagang; dan
4) Melakukan usaha jasa, pengusahanya disebut pengusaha jasa.
Pengusaha menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai No.18
Tahun 2000 wajib melaporkan usahanya kepada pejabat pajak di tempat
pengusaha itu bertempat tinggal atau tempat kedudukan usaha itu, dalam jangka
waktu 30 hari sejak usaha dimulai untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Pajak (PKP). Pengertian sejak usaha itu dilakukan adalah sejak saat pendirian atau
sejak diperolehnya izin usaha atau sejak usahanya nyata-nyata dimulai.
c. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Subjek pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah orang atau
badan yang:
1) Memiliki, menguasai;
2) memperoleh manfaat atas bumi, dan /atau;
3) memperoleh manfaat atas bangunan;
Subjek pajak diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak, menjadi
wajib pajak. Orang-orang atau badan yang mempunyai hak memiliki, menguasai
dan memperoleh manfaat atas tanah di bangunan menurut pasal 3 Undang-
Undang No.12 Tahun 1994 dimana Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan
bangunan tersebut kurang atau tidak melebihi Rp. 8000.000,- bukan merupakan
wajib pajak. Artinya seseorang yang memiliki tanah dan bangunan yang nilai jual
objek pajak nya hanya Rp. 8.000.000,- maka mereka dibebaskan dari pengenaan
pajak dari pajak bumi dan bangunan.
2. Objek Pajak
Yang dimaksud dengan objek pajak adalah apa yang dikenakan pajak.
Mengingat penting dan strategisnya objek pajak tersebut berikut ini akan
diuraikan mengenai objek pajak tersebut, antara lain :
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
a. Objek Pajak Penghasilan (PPh)
Objek Pajak Penghasilan (PPh) adalah penghasilan. Yang dimaksud
penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang digunakan baik
untuk investasi maupun konsumsi. Objek PPh terbagi atas:
1) Objek PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :
a) Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang
pension bulanan, upah, honorarium, premi bulanan, uang lembur, uang
sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak,
tunjangan kehamilan, tunjangan jabatan, tunjangan transport, tunjangan
pajak, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, hadiah, dan penghasilan
teratur lainnya dengan nama apapun;
b) Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur;
c) Upah harian ,upah mingguan, upah satuan dan upah borongan;
d) Uang tebusan pensiun, uang tabungan hari tua atau Tunjangan Hari Tua
(THT), uang pesangon, dan pembayaran lainnya yang sejenis;
e) Honorarium, uang saku atau penghargaan dengan nama apapun;
f) Gaji dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima
oleh Pejabat Negara, serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain
yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan
termasuk janda atau duda dan anak-anaknya.
2) Objek PPh Pasal 22, adalah sebagai berikut :
a) Penyerahan barang dan atau jasa kepada instutusi pemerintah.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
b) Kegiatan impor ke dalam daerah pabean.
Sedangkan yang bukan objek PPh Pasal 22 adalah :
a) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
perundang-undangan tidak terutang pajak penghasilan.
b) Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk, antara lain :
(1) Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang
bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
(2) Barang untuk keperluan Badan Internasional beserta pejabatnya yang
bertugas di Indonesia;
(3) Buku ilmu pengetahuan;
(4) Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial,
atau kebudayaan;
(5) Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain
semacam itu yang terbuka untuk umum;
(6) Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan;
(7) Barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang
cacat lainnya;
3) Objek PPh pasal 23 adalah sebagai berikut :
Pasal 23 Undang-Undang PPh mengatur mengenai pemotongan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib pajak dalam negeri dan BUT
yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan yang
dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak badan dalam
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya. Objek yang dimaksud antara lain :
a) Dividen
b) Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian hutang
c) Royalti
d) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
e) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,jasa konstruksi
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21.
4) Objek PPh pasal 26
Pasal 26 UU PPh mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang
bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri
dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Pada dasarnya objek PPh pasal 26 sama dengan objek PPh pasal 23, hanya
saja dalam PPh pasal 26 yang menerima penghasilan tersebut adalah Wajib Pajak
luar negeri, sedangkan dalam PPh pasal 23 yang menerima penghasilan adalah
Wajib Pajak dalam negeri. Selain itu sifat pemotongan PPh pasal 26 adalah
bersifat final (tidak dapat dikreditkan), sedangkan pemotongan PPh pasal 23
sifatnya tidak final.
b. Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Objek dalam PPN adalah penyerahan atau kegiatan yang dilakukan oleh
pengusaha kena pajak. Ada 6 kegiatan yang ditegaskan UU PPN sebagai objek
PPN, yaitu sebagai berikut:
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
1) Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
2) Impor barang kena pajak;
3) Penyerahan jasa kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean oleh
pengusaha;
4) Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di
dalam daerah pabean;
5) Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;
6) Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.
c. Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah benda tidak bergerak yaitu
berupa bumi dan bangunan. Yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi
dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Sedangkan bangunan adalah suatu
konstruksi tehnik yang ditanam atau dilihatkan secara tetap pada tanah dan atau
perairan.Yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
1) Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seprti hotel,
pabrik dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan bangunan
kompleks tersebut;
2) Jalan tol;
3) Kolam renang;
4) Tempat Olahraga;
5) Taman mewah;
6) Tempat penampungan/ kilang minyak, air dan gas;
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
7) Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
d. Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Objek dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat berupa tanah, tanah dan
bangunan, atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut
meliputi hal-hal seperti:
1) Pemindahan hak
2) Pemberian hak baru
e. Objek Bea Materai
Objek bea materai adalah dokumen. Dokumen adalah kertas yang
berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan
atau kenyataan bagi sesorang dan pihak-pihak yang berkepentingan. Beberapa
dokumen yang wajib dikenakan bea materai, adalah sebagai berikut :
1) Dokumen yang telah disebutkan dalam Undang-Undang, seperti : surat
perjanjian, akta-akta notaris termasuk salinannya, akta-akta yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah, surat berharga seperti wesel, promes dan lain-
lain.
2) Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan,
seperti : surat-surat biasa dan surat –surat kerumahtanggaan serta surat-surat
yang semula tidak digunakan Bea Materai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain , lain dari maksud semula, contoh surat
keterangan dokter, keterangan hak warisan dan lain-lain.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
C. Penggolongan Jenis Pajak
Jenis-jenis pajak yang dapat dikenakan terhadap Wajib Pajak dapat
digolongkan dalam 3 golongan yaitu:
1. Berdasarkan sifatnya
Jenis-jenis pajak menurut sifatnya dapat dibagi dua, yaitu :
a. Pajak langsung adalah pajak-pajak yang bebannya harus dipikul sendiri
oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta
dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu, misalnya
pajak penghasilan.
b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan
kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau
peritiwa-peristiwa tertentu saja, misalnya Pajak Pertambahan Nilai.
2. Menurut Sasaran/ Objeknya
Menurut sasaran atau objeknya, pajak dapat dibagi atas dua golongan yaitu :
a. Pajak Subjektif adalah pajak yang dikenakan dengan pertama-tama
memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (subjeknya). Setelah
diketahui keadaan subjektifnya barulah diperhatikan keadaan objektifnya
sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak, misalnya Pajak
Penghasilan.
b. Pajak Objektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama
memperhatikan / melihat objeknya baik berupa keadaan perbuatan atau
peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak.
Setelah diketahui objeknya barulah dicari subjeknya yang mempunyai
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui, misalnya Pajak
Pertambahan Nilai, bea masuk, cukai tembakau, bensin dan lain
sebagainya. Pajak ini tidak menghiraukan keadaan Wajib Pajak, dimana
lazimnya tidak dipungut tersendiri melainkan dimasukkan kedalam harga
barang sehingga sering kali orang tidak menyadari bahwa dalam harga itu
sudah termasuk pajak. Maka oleh sebab itu pemungutan pajak objektif
yang tidak langsung ini sangat mudah sekali.
Negara yang sedang berkembang sering memungut pajak objektif ini,
bahkan lazimnya hasil pajak objektif ini lebih besar daripada hasil pajak
langsung. Ditinjau dari segi keadilan dan dari segi kekuatan pikul, pajak
ini kurang memenuhi rasa keadilan. Tetapi karena cara pemungutannya
sangat mudah, maka oleh negara-negara baik Negara berkembang maupun
Negara industri kehadirannya dalam penghasilan negara belum dapat
dihilangkan sama sekali.
3. Menurut Lembaga Pemungutannya
Menurut lembaga pemungutannya, jenis pajak dapat dibagi dua yaitu jenis
pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan jenis pajak yang dipungut
oleh Pemerintah Daerah.
a. Pajak pusat adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang
dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan Direktorat
Jenderal Pajak. Hasil dari pemungutan pajak pusat dikumpulkan dan
dimasukkan sebgai bagian dari penerimaan APBN (Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara).
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Jenis Pajak Pusat yang dikelola oleh Departemen Keuangan adalah sebagai
berikut :
1) Pajak Penghasilan
2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
3) Pajak Bumi dan Bangunan
4) Pajak/ Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
5) Bea Materai.
b. Pajak Daerah adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
yang dalam pelaksanaannya sehari-hari dilakukan oleh Dinas Pendapatan
Daerah (Dispenda). Hasil pemungutan pajak daerah dikumpulkan dan
dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah). Sesuai Undang –Undang Nomor 18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis pajak yang
dikelola oleh Dispenda adalah:
1) Pajak Daerah TK I terdiri dari : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor, dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
2) Pajak Daerah TK II terdiri dari : Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan,
Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan
Pengolahan Bahan Galian Golongan C, serta Pajak Pemanfaatan Air
Bawah Tanah dan Air Permukaan.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
D. Jenis-Jenis Ketetapan Pajak
Berbagai produk hukum yang dapat diterbitkan oleh Direktorat jenderal
Pajak dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan (KPP/ KPPBB) untuk mengetahui adanya kewajiban atau hak
Wajib Pajak adalah berupa surat ketetapan pajak yang terdiri dari 6 (enam)
macam, yaitu sebagai berikut :
1. Surat Tagihan Pajak (STP)
STP adalah surat yang diterbitkan untuk melakukan tagihan pajak dan atau
sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. STP diatur dalam pasal 14
Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000. STP dapat diterbitkan dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Apabila pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. Apabila dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan
pembayaran pajak akibat salah tulis dan atau salah hitung;
c. Apabila Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau
bunga;
d. Apabila pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang
PPN dan perubahannya tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP);
e. Apabila pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak
tetapi membuat faktur pajak;
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
f. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak
membuat atau membuat Faktur Pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak
mengisi selengkapnya Faktur Pajak tersebut.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan
pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang
masih harus dibayar.
SKPKB diatur dalam pasal 13 UU KUP yang dapat diterbitkan dalam jangka
waktu 10 tahun sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak,
bagian tahun pajak, atau tahun pajak yaitu dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang
terutang tidak atau kurang bayar;
b. Apabila surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang
telah ditetapkan dan telah ditegur secara tertulis, tidak disampaikan juga
seperti ditentukan dalam surat teguran;
c. Apabila berdasakan hasil pemeriksaan atas PPN dan PPnBM ternyata
tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak
seharusnya dikenakan tarif 0 %;
d. Apabila Wajib Pajak tidak melakukan kewajiban pembukuan dan tidak
memenuhi permintaan dalam pemeriksaan pajak sehingga tidak dapat
diketahui besarnya pajak yang terutang.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Penerbitan SKPKB akan diikuti dengan sanksi administrasi yang bisa berupa
denda ataupun kenaikan. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 %
sebulan, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa Wajib Pajak
tidak atau kurang membayar besarnya pajak yang terutang.
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan
tambahan atas jumlah pajak yang ditetapkan dalam SKPKB. SKPKBT diatur
dalm pasal 15 UU KUP yang diterbitkan untuk menampung beberapa
kemungkinan yang terjadi seperti :
a. Adanya SKPKB yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah daripada
perhitungan yang sebenarnya;
b. Adanya proses pengembalian pajak yang telah ditetapkan dalam SKPLB
yang seharusnya tidak dilakukan; dan
c. Adanya pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) yang
ditetapkan ternyata lebih rendah.
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
SKPLB adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar
daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. SKPLB diatur
dalam pasal 17 UU KUP yang diterbitkan untuk hal-hal sebagai berikut :
a. Untuk Pajak Penghasilan (untuk selanjutnya disebut PPh), jumlah kredit
pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
b. Untuk Pajak Pertambahan Nilai (untuk selanjutnya disebut PPN), jumlah
kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah
dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
c. Untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah (untuk selanjutnya disebut
PPnBM), jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang
terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya
terutang.
5. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
SKPN adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah
pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak. SKPN diatur dalam pasal 17A UUKUP
yang akan diterbitkan dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Untuk PPh, jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau
pajak yang tidak terutang;
b. Untuk PPN, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang,
atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
c. Untuk PPnBM, jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak
yang teutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.
6. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
SPPT adalah surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk
memberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada Wajib Pajak. SPPT
diatur dalam Pasal 10 ayat 1 UU No.12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan. SPPT merupakan dokumen yang berisi besarnya utang atas Pajak
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Bumi dan Bangunan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak pada waktu yang
telah ditentukan. SPPT diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek
Pajak (SPOP) yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak atau berdasarkan data
objek pajak yang telah ada di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.
E. Pajak Sebagai Sumber Penerimaan Negara
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai instansi yang bertanggung jawab
langsung terhadap sumber penerimaan negara dari sektor pajak, mendapat tugas
yang penting dalam mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional. Hal ini
adalah konsekuensi dari upaya mengurangi ketergantungan dana dari luar negeri
melalui pemberian hutang, dengan cara meningkatkan sumber penerimaan dari
dalam negeri.
Berkaitan dengan itu sudah selayaknya apabila setiap individu dalam
masyarakat dapat memahami dan mengerti akan arti dan pentingnya peran pajak
untuk kelangsungan penerimaan negara.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam APBN yang dibuat oleh pemerintah
terdapat tiga sumber penerimaan yang menjadi pokok andalan, yaitu:
1. Penerimaan dari sektor pajak;
2. Penerimaan dari sektor migas (minyak bumi dan gas): dan
3. Penerimaan dari sektor bukan pajak.
Dari ketiga sumber penerimaan diatas, penerimaan dari sektor pajak
ternyata merupakan salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Dari tahun ke
tahun kita dapat mengetahui bahwa penerimaan pajak terus meningkat dan
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
memberi andil yang besar dalam penerimaan negara. Penerimaan dari sektor pajak
selalu dikatakan merupakan yang terbesar dalam membiayai pembangunan
nasional. Sedangkan penerimaan dari sektor migas, yang dahulu selalu menjadi
andalan dalam penerimaan negara, sekarang ini sudah tidak bisa diharapkan
sebagai sumber penerimaan keuangan negara yang terus-menerus karena sifatnya
yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Penerimaan migas
pada suatu waktu akan habis sedangkan dari pajak selalu dapat diperbaharui
sesuai dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat itu sendiri. Sekalipun
demikian bukan berarti sumber penerimaan negara lainnya tidak terlalu penting,
tetapi posisi pajak dapat dikatakan lebih penting sebagai salah satu sumber
penerimaan negara. Kondisi ini tidak boleh luput dari perhatian pemerintah,
apalagi kedepannya kebutuhan pendanaan pemerintah akan semakin besar saja.
Jika pemerintah masih ingin mempertahankan pajak sebagai salah satu sumber
penerimaan negara yang dominan, maka pemerintah harus mendorong partisipasi
publik dalam bidang perpajakan. Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan
bahwa Wajib Pajak atau Penanggung Pajak mendapatkan perlakuan yang baik,
adil dan wajar sehingga mereka tidak menganggap bahwa pemenuhan kewajiban
perpajakan sebagai beban yang berat dan kesadaran untuk membayar pajak
semakin meningkat. Hal ini menjadi semakin penting terutama dengan
diterapkannya sistem self assessment yang menuntut Wajib Pajak untuk berperan
aktif dan jujur dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Peranan yang demikian strategis menjadikan Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) harus terus melakukan pembenahan terutama di bidang peraturan
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
perpajakan agar misi menjadikan pajak sebagai sumber utama pembiayaan
pembangunan dapat tercapai tanpa mengabaikan prinsip keadilan bagi
masyarakat. Maka dilakukanlah beberapa usaha untuk meningkatkan penerimaan
dari sektor pajak, antara lain :
a. Perluasan Wajib Pajak; dalam arti menjaring wajib pajak sebanyak mungkin.
b. Penyempurnaan tarif pajak; dan
c. Penyempurnaan administrasi pemungutan pajak.
Semangat pembaharuan mendorong DJP terus-menerus menyempurnakan
sistem perpajakan secara optimal. Perubahan secara mendasar terhadap peraturan
perpajakan dilakukan pada tahun 1985, untuk menggantikan peraturan perpajakan
peninggalan kolonial Belanda, serta untuk mengimbangi perkembangan dunia
usaha dan untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pembiayaan
pembangunan nasional.
Pada tahun 1997 terjadi lagi perubahan peraturan perpajakan untuk
penyempurnaan dalam mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan di bidang
ekonomi yang semakin maju, sehingga pada tahun 2000 peraturan perpajakan
mengalami perubahan lagi untuk menghadapi tantangan perkembangan kemajuan
global di segala bidang. Perubahan terakhir ini dalam rangka menegakkan hukum
dan kepastian hukum terutama dalam hal peraturan perpajakan.
Setiap perubahan yang dilakukan tersebut semata-mata dimaksudkan
untuk meningkatkan peranan penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
BAB III
PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK
Peran serta masyarakat sebagai Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
pembayaran pajak tentu sangat diharapkan sesuai dengan kerangka sistem “self
assessment” yang dianut dalam Undang-Undang Perpajakan sejak tahun 1983,
yang memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat khususnya Wajib Pajak
untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri jumlah
pajaknya. Akan tetapi dalam kenyataannya terdapat cukup banyak masyarakat
yang dengan sengaja atau dengan berbagai alasan tidak melaksanakan
kewajibannya membayar pajak berdasarkan ketetapan pajak yang telah
diterbitkan. Tidak dibayarnya utang pajak tersebut maka akan menjadi tunggakan
pajak. Untuk menegakkan ketentuan Undang-Undang pajak yang ada,
dilakukanlah tindakan penagihan pajak.
Tindakan penagihan terhadap utang pajak yang dilakukan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa. Undang-undang ini mempunyai kekuatan hukum yang bersifat memaksa
agar Wajib Pajak mau melunasi utang pajaknya.
Berdasarkan hal tersebut maka dalam bab ini terlebih dahulu akan dibahas
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana timbul dan hapusnya hutang
pajak tersebut, dasar teori dan yurisdiksi pemungutan pajak, rangkaian kegiatan
penagihan pajak, hak-hak dan kewajiban Wajib Pajak, serta bagaimana sanksi
bagai Wajib Pajak yang menunggak pajak.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
A. Timbul dan Hapusnya Hutang Pajak
1.Timbulnya Utang Pajak
Membicarakan mengenai utang pajak maka harus dimengerti dahulu apa
itu yang dimaksud dengan utang. Secara yuridis mengenai utang itu harus ada dua
pihak, yaitu pihak kreditur yang mempunyai hak dan pihak debitur yang
mempunyai kewajiban.
Kedudukan debitur dan kreditur dalam hukum perdata tidak sama dengan
kedudukan kreditur dan debitur dalam hukum pajak. Ketidaksamaan utang pajak
dan utang biasa dapat dilihat dalam hal :
a. Cara timbulnya utang
b. Sifat utangnya
Timbulnya utang dalam hukum perdata (utang biasa) disebabkan adanya
perikatan yang dikuasai oleh hukum perdata. Dalam perikatan, maka pihak yang
satu berkewajiban memenuhi apa yang menjadi hak dari pihak lain, misalnya
terjadi perjanjian jual beli, maka kewajiban penjual menyerahkan barang yang
dijualnya, sedangkan si pembeli berkewajiban membayar harga yang telah
ditetapkan.
Sedangkan perikatan yang timbul dari undang-undang saja, misalnya
adanya kelahiran, yaitu bila seorang anak lahir maka menurut undang-undang
orang tuanya berkewajiban mengurus dan memelihara anaknya.
Utang pajak timbul karena undang-undang, dimana antara negara dan
rakyat sama sekali tidak ada perikatan yang melandasi utang itu. Hak dan
kewajiban antara negara dan rakyatnya tidak sama. Negara dapat memaksakan
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
utang itu untuk dibayar apabila seorang Wajib Pajak berutang pajak terhadap
negara. Utang pajak timbulnya karena undang-undang dengan syarat adanya
tatbestand, yaitu rangkaian dari perbuatan-perbuatan, keadaan-keadaan dan
peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak itu, seperti:
a. Perbuatan-perbuatan, seperti pengusaha yang mengimpor barang mewah atau
melakukan penyerahan barang di daerah pabean dalam lingkungan
perusahaan, dikenakan atau terutang pajak Pertambahan Nilai dan Jasa, serta
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
b. Keadaan-keadaan seperti: memiliki harta bergerak dan harta tak bergerak,
dikenakan atau terutang pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983, yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000.
c. Peristiwa, seperti meninggalnya pewaris. Sejak saat meninggalnya pewaris,
maka harta warisan yang belum terbagi merupakan subjek pajak penghasilan
dan dikenakan pajak. Jika warisan itu sudah dibagi-bagi kepada ahli warisnya
maka tidak lagi terkena pajak.
Jadi timbulnya utang pajak karena undang-undang yakni tatbestand yang
dalam hukum pajak disebut ajaran materil tentang timbulnya utang pajak.
Sedangkan ada pendirian lain yang dikenal dengan ajaran formil, dimana para
penganut ajaran ini berpendirian bahwa utang pajak itu timbul karena adanya
Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus atau Inspeksi Pajak. Dengan demikian
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
meskipun sudah dipenuhi adanya tatbestand, namun jika belum ada surat
ketetapan pajak maka ini berarti belum ada utang pajak.17
a. Utang pajak diliputi atau dikuasai oleh ketentuan hukum publik, sedangkan
utang biasa dikuasai oleh hukum perdata. Kalau dalam hukum perdata utang
biasa itu ada/ terdapat suatu jasa timbal (tegen prestasi) dari ikatan itu, tetapi
dalam utang pajak justru hal itu tidak ada.
Dengan berlakunya undang-undang pajak nasional, maka jelas yang dianut
adalah ajaran materil tentang timbulnya utang pajak. Ini jelas kita lihat dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2000 tentang KUP pada Pasal 12, yang
menegaskan setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak
menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
Perbedaan antara utang pajak dengan utang biasa dapat disimpulkan
adalah sebagai berikut :
b. Utang biasa penagihannya berdasarkan hukum perdata, sedangkan utang pajak
penagihannya berdasarkan hukum publik yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000 yang dikenal dengan “Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa”. Baik penagihan utang biasa maupun penagihan utang pajak keduanya
dapat dipaksakan, hanya berlainan dalam hal prosedur penagihannya. Utang
biasa prosedur untuk memaksakan penagihannya harus melalui keputusan
hakim pengadilan. Sedangkan utang pajak tidak melalui hakim, tetapi
17 H. Bohari, op.cit. hal 112
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
prosedurnya lebih singkat, yaitu langsung dengan paksaan berdasarkan surat
paksa.18
Menurut Santoso Brotodiharjo S.H., bahwa :
“Dalam hukum pajak positif Indonesia, tidaklah selalu dinyatakan dengan terang di dalam undang-undangnya, pada saat manakah terjadinya suatu utang pajak, melainkan dicurahkannyalah semua perhatian kepada timbulnya keharusan untuk membayarnya. Demikian itu adalah karena dalam praktek sehari-hari, saat yang disebut terakhir ini adalah jauh lebih penting. Kepentingan ini terutama terletak dalam soal penagihan.”.19
2.Hapusnya Utang Pajak
Terhadap setiap utang pajak yang timbul tentunya diharapkan pada waktu
yang telah ditetapkan berakhirnya perikatannya. Saat timbul dan berakhirnya
utang pajak ini, merupakan saat yang sangat penting di dalam hukum pajak.
Diantara kedua saat tersebut terdapatlah suatu keadaan yang juga perlu ditinjau.
Yaitu waktu sedang adanya utang pajak, sebab kebanyakan hal waktu ini meliputi
jangka yang panjang, yang diadakan karena pada umumnya dapat diduga bahwa
pada saat timbulnya utang pajak, si Wajib Pajak belum mempunyai kemampuan
untuk melunasinya seluruh ataupun sekaligus.
Pembayaran ataupun pelunasan pajak bagi Wajib Pajak pada hakekatnya
merupakan suatu perikatan bagi Wajib Pajak karena undang-undang. Oleh karena
itu hapusnya utang pajak dapat terjadi jika berakhirnya perikatan dari Wajib
Pajak. Cara yang menyebabkan berakhirnya utang pajak tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
18 Ibid. hal 113
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
a. Pembayaran
Utang pajak akan hapus apabila Wajib Pajak melakukan pembayaran atas
utang pajaknya ke kas negara atau tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan. Pembayaran pajak hanya dapat dilakukan dengan uang dan bukan
dengan bentuk lainnya.
b. Kompensasi
Kompensasi adalah suatu cara penghapusan utang dengan jalan
mempertemukan atau memperhitungkan utang-piutang secara timbal balik
antara kreditur dan debitur. Dalam hal ini dapat terjadi jika Wajib Pajak punya
piutang kepada negara, piutang mana dalam hal ini cq. Instansi yang
memungut pajak sehingga jika diperhitungkan maka piutangnya tersebut dapat
menutupi jumlah pajak yang harus dibayarnya sehingga utang pajaknya
dianggap lunas atau utang pajaknya menjadi hapus.
c. Daluwarsa
Daluwarsa utang pajak merupakan suatu cara untuk menghapus utang pajak
karena lampaunya waktu. Daluwarsa utang pajak dapat terjadi karena
lampaunya waktu penetapan pajak (penetapan surat ketetapan pajak) maupun
karena lampaunya waktu proses penagihan pajak. Daluwarsa utang pajak
dimaksudkan agar ada suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak untuk suatu
masa tertentu yang ditentukan oleh undang-undang tidak lagi mempunyai
utang pajak.
19 R. Santoso Brotodiharjo, 1991, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung, hal 103
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Dalam pasal 22 UU No.16 Tahun 2000, menyatakan bahwa daluwarsa
penetapan dan penagihan pajak lampau waktu setelah 10 (sepuluh) tahun.
Artinya setelah batas waktu tersebut, Wajib Pajak tidak lagi mempunyai
kewajiban untuk melunasi utang pajaknya.
d. Penghapusan
Hapusnya utang pajak yang terakhir terjadi karena adanya proses
penghapusan piutang pajak yang biasa disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut :
1) Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan
dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat ditemukan;
2) Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi yang dibuktikan
berdasarkan surat keterangan dari Pemerintah Daerah setempat.
Penghapusan piutang pajak melalui proses penghapusan merupakan
bentuk keadilan bagi Wajib Pajak yang memang benar-benar mengalami
hal tersebut diatas;
3) Sebab lain, misalnya Wajib Pajak tidak dapat ditemukan lagi atau
dokumen tidak dapat ditemukan lagi disebabkan oleh hal/ keadaan yang
tidak dapat dihindarkan seperti kebakaran, bencana alam dan sebagainya.
Untuk memastikan keadaan Wajib Pajak apakah tidak mungkin lagi dapat
ditagih, maka harus diadakan lagi pemeriksaan setempat terhadap Wajib Pajak
yang bersangkutan. Laporan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang tidak
mungkin ditagih lagi harus menggambarkan keadaan Wajib Pajak yang
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
bersangkutan sebagai dasar untuk menentukan besarnya utang pajak yang tidak
dapat ditagih lagi.
Utang pajak yang tidak mungkin ditagih lagi, hanya dapat dihapuskan
setelah adanya laporan pemeriksaan dari pihak instansi yang berwenang, dalam
hal ini aparat perpajakan, atau setelah adanya penelitian administrasi mengenai
lewat waktu (kadaluwarsa) penagihan pajak. Atas dasar laporan pemeriksaan atau
atas dasar penelitian administrasi mengenai kadaluwarsaan penagihan suatu utang
pajak, maka setiap akhir tahun takwin Kepala Inspeksi Pajak membuat “daftar
penghapusan piutang pajak” untuk setiap jenis pajak yang berisi nama Wajib
Pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang telah dibayar, sisa utang
pajak dan keterangan mengenai Wajib Pajak.
Usul penghapusan piutang pajak disampaikan kepada Menteri Keuangan
pada setiap akhir tahun takwin oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan dilampirkan
daftar penghapusan utang pajak Menteri Keuangan menerbitkan Surat Keputusan
Piutang Pajak atas dasar usulan dari Direktur Pajak.20
B. Yurisdiksi Pemungutan Pajak
Yurisdiksi pemungutan pajak merupakan salah satu cara pemungutan
pajak yang didasarkan pada tempat tinggal seseorang atau berdasarkan
kebangsaan seseorang atau berdasarkan sumber dimana penghasilan diperoleh.
Yurisdiksi yang dimaksud adalah batas kewenangan yang dapat dilakukan oleh
suatu negara dalam memungut pajak terhadap warga negaranya, agar
20 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 953/KMK.04/1983
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
pemungutannya tidak menjadi berulang-ulang yang bisa memberatkan orang yang
dikenakan pajak. Yurisdiksi yang dimaksud tersebut yaitu sebagai berikut :
a. Asas Tempat Tinggal
Adalah suatu asas pemungutan pajak berdasarkan tempat tinggal atau domisili
seseorang. Suatu negara hanya dapat memungut pajak terhadap semua orang
yang bertempat tinggal atau berdomsili di negara yang bersangkutan atas
seluiruh penghasilan dimanapun diperoleh, tanpa memperhatikan apakah
orang yang bertempat tinggal tersebut adalah warga negaranya atau warga
negara asing.
b. Asas Kebangsaan
Adalah suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada kebangsaan suatu
negara. Suatu negara akan memungut pajak kepada setiap orang yang
mempunyai kebangsaan atas negara yang bersangkutan sekalipun orang
tersebut tidak bertempat tinggal di negara yang bersangkutan. Misalnya
Negara A akan memungut pajak terhadap semua orang yang berkebangsaan
Negara A sekalipun orang tersebut tidak bertempat tinggal di Negara A.
c. Asas Sumber
Adalah suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada sumber atau
tempat penghasilan berada. Apabila suatu sumber penghasilan berada di suatu
negara maka negara tersebut berhak memungut pajak kepada setiap orang
yang memperoleh penghasilan dari tempat atau sumber penghasilan tersebut
berada.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Undang-Undang PPh Indonesia menganut ketiga asas diatas. Khusus terhadap
asas tempat tinggal UU PPh (UU No.17 Tahun 2000), menegaskan adanya
batasan waktu untuk bertempat tinggal atau berada di Indonesia yaitu lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 bulan.
Keberadaan lebih dari 183 hari tidaklah harus berturut-turut tetapi ditentukan
oleh jumlah hari seseorang berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 bulan
sejak kedatangannya di Indonesia. Untuk asas kebangsaan dan asas sumber
dapat dipahami yaitu bahwa terhadap setiap warga negara Indonesia
dimanapun berada akan dikenakan pajak oleh negara Indonesia, demikian
pula halnya apabila seseorang bukan Warga Negara Indonesia namun
memperoleh penghasilan dari Indonesia maka negara Indonesia mempunyai
hak untuk mengenakan pajak kepada setiap orang yang memperoleh
penghasilan dari sumber penghasilan tersebut berada.
C. Rangkaian Kegiatan Penagihan Pajak
Penagihan pajak ini merupakan suatu hal yang sangat penting baik bagi
penerimaan negara maupun bagi pendidikan tanggung jawab rakyat jika
dijalankan dengan baik. Pelaksanaan penagihan harus dilakukan berdasarkan
ketentuan yang jelas, yang dapat digunakan sebagai pedoman. Penagihan pajak
diatur dalam Undang-Undang No.6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan. Dalam Pasal 20 Undang-Undang ini, diatur mengenai
penagihan pajak dengan Surat Paksa. Ketentuan tersebut kemudian ditindaklanjuti
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
dengan UU No.19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
Dalam Undang-Undang ini ditentukan mengenai bagaimana prosedur dari
penagihan pajak tersebut.
Penagihan pajak dalam sistem self assessment dilaksanakan sedini
mungkin sejak timbulnya utang pajak dan sebelum tanggal jatuh tempo
pembayaran atau penyetoran pajak melalui penagihan pajak secara persuasif,
seperti melalui pengumuman, himbauan, telepon, atau surat serta diskusi atau
dialog perpajakan yang semata-mata dilakukan agar Wajib Pajak membayar atau
menyetor sendiri pajak yang terutang secara tepat waktu.
Penagihan pajak pasif lebih diarahkan untuk mengingatkan Wajib Pajak
untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Dilihat dari sisi aktivitas fiskus, pihak
fiskus mulai berperan aktif dalam penagihan pasif tersebut. Tetapi penagihan pasif
ini bukan hanya ditujukan untuk menagih pajak itu sendiri, melainkan juga untuk
memberikan pendidikan mengenai tanggung jawab perpajakan kepada rakyat
seperti dengan mengadakan seminar, diskusi, pelatihan atau lokakarya perpajakan.
Menurut UU No.19 Tahun 2000 Pasal 1 angka 9 penagihan pajak adalah
serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi hutang pajak dan biaya
penagihan pajak dengan menegaskan, memperingatkan, melaksanakan penagihan
seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang
telah disita. Atau dengan kata lain penagihan pajak adalah serangkaian tindakan
yang dimulai setelah Wajib Pajak mempunyai tunggakan pajak yang belum atau
tidak dilunasinya.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Sebelum sampai pada pembahasan selanjutnya, maka disini terlebih
dahulu akan dijelaskan mengenai hal-hal yang terkait dengan tindakan penagihan
pajak tersebut, antara lain:
1. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan termasuk pemungut pajak atas pemotong pajak tertentu.
2. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab
atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi
kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
3. Biaya penagihan pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah
melaksanakan penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa
Penilai, dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.
4. Pejabat Pajak adalah orang yang berwenang mengangkat dan memberhentikan
Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus,
Surat Paksa, Surat Perintah melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita,
Pengumuman Lelang, Surat Penentuan Harga Limit, Pembatalan Lelang, Surat
Perintah Penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak
sehubungan dengan penanggung pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh
utang pajak menurut undang-undang dan peraturan daerah. Menteri Keuangan
berwenang menunjuk pejabat untuk penagihan pajak pusat dan Kepala Daerah
berwenang menunjuk pejabat untuk penagihan pajak daerah.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
5. Jurusita Pajak adalah pelaksana atas tindakan penagihan pajak yang meliputi
penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan dan
penyanderaan. Tugas jurusita pajak antara lain : Melaksanakan Surat Perintah
Penagihan Seketika dan Sekaligus, Memberitahukan Surat Paksa,
Melaksanakan Penyitaan atas barang penanggung pajak berdasarkan suatu
surat perintah, dan melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah
Penyanderaan.
6. Pengadilan Negeri adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi
tindakan penagihan pajak dilaksanakan.
Berdasarkan Pasal 2 UU No.19 Tahun 2000 disebutkan bahwa serangkaian
tindakan penagihan pajak sebagaimana yang dimaksud diatas adalah sebagai
berikut :
1. Surat teguran, surat peringatan, atau surat lainnya yang sejenis.
Adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau
memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi hutang pajaknya.
Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar penagihan pajak adalah
adanya Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar ditambah.
Setelah dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkannya surat
ketetapan sebagaimana dimaksud diatas, Wajib Pajak tetap tidak melunasi hutang
pajaknya, barulah dilakukan suatu tindakan penagihan aktif dengan nama Surat
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Teguran atau surat peringatan lain yang sejenis yang dimaksudkan untuk menegur
atau memperingatkan Wajib Pajak tersebut.
Penerbitan Surat Teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis
merupakan tindakan awal dari pelaksanaan penagihan pajak dan pelaksanaannya
harus dilakukan sebelum dilanjutkan dengan penerbitan surat paksa, maka secara
yuridis surat paksa tersebut dapat dianggap tidak ada karena tidak didahului
dengan pengeluaran surat teguran atau surat peringatan lain seperti yang dimaksud
diatas.
2. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
Adalah tindakan penagihan pajak yang dilakukan oleh jurusita pajak
kepada penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang
meliputi seluruh hutang pajakdari semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak.
Ada dua kata yang penting untuk dipahami yaitu kata “seketika” dan
“sekaligus”. Yang dimaksud dengan penagihan seketika adalah penagihan yang
dilakukan segera tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran, sedangkan
penagihan sekaligus adalah penagihan yang meliputi seluruh utang pajak dari
semua jenis pajak dan tahun pajak. Secara preventif dimaksudkan agar
penerimaan negara di sektor perpajakan dapat diamankan dalam waktu yang
singkat.
Dalam pasal 20 UU KUP ditegaskan bahwa tindakan penagihan seketika
dan sekaligus dapat dilakukan apabila salah satu dari hal-hal berikut diketahui:
a. Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau
berniat untuk itu;
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasai
dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau
pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia ;
c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan
usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan
yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
e. Terjadinya penyitaan atas barang-barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga
atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurang-kurangnya
memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak ;
b. Besarnya utang pajak ;
c. Perintah untuk membayar pajak;
d. Saat pelunasan pajak.
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus ini diterbitkan sebelum
penerbitan Surat Paksa.
3. Surat Paksa
Adalah surat perintah untuk membayar hutang pajak dan biaya penagihan
pajak.21
21 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, op.cit. hal 120
Hal ini adalah sebagaimana dijelaskan pada pasal 1 angka 12 UU No.19
Tahun 2000. Ada 3 (tiga) hal yang menyebabkan diterbitkannya Surat Paksa,
yaitu:
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
a. Bahwa Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal
jatuh tempo dan telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau
surat lain yang sejenis.
b. Bahwa terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan penagihan seketika dan
sekaligus.
c. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan persetujuan
angsuran atau penundaan pembayaran.
Berbicara lebih lanjut tentang Surat Paksa, maka Surat Paksa dapat
ditinjau dari 2 (dua) segi, yaitu segi isinya dan segi karakteristiknya. Surat paksa
ini dalam bahasa hukum disebut eksekusi langsung (parate eksekusi), yang berarti
bahwa penagihan pajak secara paksa dapat dilaksanakan tanpa melalui proses
Pengadilan Negeri. Hal ini bisa dimengerti karena Surat Paksa itu mempunyai
kekuatan Eksekutorial dan mempunyai kekuatan hukum yang pasti, dimana fiskus
dalam melaksanakan kewajibannya mempunyai hak “Parate Eksekusi”.
Dilihat dari segi isinya Surat Paksa memuat hal-hal sebagai berikut :
a. Berkepala kata-kata “Atas Nama Keadilan” yang dengan UU No.14 Tahun
1970 pasal 4 disesuaikan bunyinya menjadi “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
b. Nama Wajib Pajak/ Penanggung Pajak, keterangan cukup tentang alasan yang
menjadi dasar penagihan, perintah membayar.
c. Dikeluarkan atau ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan/ Kepala Daerah.
Sedangkan dari segi karakteristiknya adalah sebagai berikut :
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
a. Mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Groose putusan hakim dalam
perkara perdata yang tidak dapat diminta banding lagi pada hakim atasan.
b. Mempunyai kekuatan hukum yang pasti (in kracht van gewijsde).
c. Mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak dan menagih bukan pajak
(biaya-biaya penagihan).
d. Dapat dilanjutkan dengan tindakan penyitaan atau pencegahan dan
penyanderaan.
Mengingat Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan
hukum yang tetap, maka pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak
oleh Jurusita Pajak harus dilaksanakan dengan cara membacakan isi surat paksa
dan kedua belah pihak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Surat Paksa
telah diberitahukan.
Surat Paksa yang akan diberitahukan kepada Penanggung Pajak dilakukan
paling lambat setelah lampau waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat
Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yag sejenis diterbitkan. Bila Surat
Paksa diterbitkan kurang dari 21 (dua puluh satu) hari setelah surat teguran
diterbitkan, maka Surat Paksa tersebut menjadi batal demi hukum.
4. Surat perintah melaksanakan penyitaan
Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang
Penanggung Pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi hutang pajak menurut
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Penyitaan merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan penagihan dengan
Surat Paksa, apabila pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
waktu 2*24 jam sesudah tanggal pemberitahuan dengan pernyataan dan
penyerahan Surat Paksa kepada Wajib Pajak. Penyitaan dilakukan oleh Jurusita
Pajak yang telah disumpah terlebih dahulu dan didampingi oleh 2 (dua) orang
saksi penduduk Indonesia yang telah mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun,
dikenal oleh Jurusita Pajak dan dapat dipercaya. Setiap melaksanakan penyitaan
jurusita pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh
jurusita pajak, penanggung pajak dan saksi-saksi.
Meskipun penanggung pajak tidak hadir, penyitaan tetap dapat
dilaksanakan dengan syarat ada saksi yang berasal dari pemerintah daerah
setempat. Dalam hal penyitaan tidak dihadiri oleh penanggung pajak, Berita Acara
Pelaksanaan Sita ditandatangani oleh jurusita pajak dan saksi-saksi. Salinan Berita
Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada barang bergerak atau barang tidak
bergerak yang disita, dan atau di tempat-tempat umum. Pengajuan keberatan oleh
Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan penyitaan.
Penyitaan dapat dilaksanakan terhadap milik penanggung pajak yang
berada di tempat tinggal, tempat usaha, atau di tempat lain, termasuk yang
penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dibebani dengan hak
tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu berupa:
a. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, deposito, giro, atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham atau surat
berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan
b. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan kapal.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Menurut pasal 15 UU No.19 Tahun 2000, ada 6 (enam) jenis barang yang
dikecualikan dari penyitaan yaitu:
a. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh
Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya ;
b. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta
peralatan memasak yang ada di rumah;
c. Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas;
d. Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak
dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan;
e. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan
pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari
Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah);
f. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan
keluarga yang menjadi tanggungannya.
5. Surat Perintah Penyanderaan
Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan
Penanggung Pajak dengan menempatkannya ditempat tertentu. Penyanderaan
hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak apabila memenuhi 2 (dua)
syarat, yaitu:
a. Syarat kuantitatif, yaitu apabila Penanggung Pajak mempunyai utang pajak
sekurang-kurangnya Rp.100.000.000.- (seratus juta rupiah); dan
b. Syarat kualitatif, yaitu syarat mengenai diragukannya itikad baik Penanggung
Pajak yang bersangkutan dalam melunasi utang pajaknya. Misalnya,
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Penanggung Pajak menyembunyikan harta kekayaannya sehingga tidak cukup
harta yang dapat dijadikan jaminan pelunasan utang pajak dan biaya penagihan
pajak.
Namun demikian penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam kondisi
sebagai berikut:
a. Apabila Penanggung Pajak sedang beribadah;
b. Apabila Penanggung Pajak sedang mengikuti sidang resmi;
c. Apabila Penanggung Pajak sedang mengikuti Pemilihan Umum.
Pembahasan lebih lanjut mengenai penyanderaan ini akan dibahas pada bab
berikutnya.
6. Surat Pencabutan Sita
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa penyitaan adalah tindakan
jurusita pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak guna dijadikan jaminan
untuk melunasi hutang pajak menurut peraturan perundang-undangan.
Pencabutan sita hanya dapat dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah
melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak atau berdasarkan putusan
pengadilan atau putusan badan peradilan pajak atau ditetapkan lain dengan
Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah. Mengenai pencabutan sita
tersebut diatur lebih lanjut dalam UU No.19 Tahun 2000 dalam pasal 22.
Pencabutan sita sebagaimana dimaksud, dilaksanakan berdasarkan suatu Surat
Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh pejabat. Dan dalam hal penyitaan
dilaksanakan terhadap barang yang kepemilikannya terdaftar, maka Surat
Pencabutan Sita disampaikan kepada instansi tempat barang tersebut terdaftar.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
7. Pengumuman Lelang
Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara
penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan
peminat atau calon pembeli. Dasar hukum pelaksanaan lelang adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan
Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa. Lelang dalam hal sita pajak merupakan salah satu bagian
dari berbagai jenis lelang untuk melaksanakan eksekusi atas barang milik
Penanggung Pajak dalam rangka penagihan piutang pajak. Sesuai aturan yang
telah ditentukan pelaksanaan penjualan secara lelang terhadap barang yang telah
disita dilakukannya sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah
pengumuman lelang. Pengumuman lelang itu sendiri dilakukan setelah ditentukan
hari, tanggal, dan jam lelang, dalam waktu sekurang-kurangnya 14 (empat belas)
hari setelah pelaksanaan penyitaan. Kepala Kantor mengumumkan lelang melalui
surat kabar harian, selebaran, atau tempelan yang mudah dibaca oleh umum dan
atau media elektronik termasuk internet di wilayah kerja Kantor Lelang tempat
barang yang akan dijual. Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1
(satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali. Jangka waktu
pengumuman pertama dan kedua sekurang-kurangnya lima belas (15) hari serta
diatur agar pengumuman kedua tidak jatuh pada hari libur/ hari besar.22
22 Direktorat Jenderal Pajak, 2005, Pedoman Penagihan Pajak, Dirjen Pajak, Jakarta, hal 22
Pengumuman lelang barang tidak bergerak yang akan dilelang bersama-
sama dengan barang bergerak, maka pengumumannya dilakukan sebagai berikut:
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
a. Pengumuman pertama dilakukan untuk barang bergerak dan barang yang tidak
bergerak.
b. Pengumuman kedua dilakukan hanya untuk barang yang tidak bergerak.
c. Pengumuman lelang terhadap barang dengan nilai paling banyak Rp.
20.000.000,00.- (dua puluh juta rupiah) tidak harus diumumkan melalui media
massa.23
Hasil dari pelaksanaan lelang barang-barang yang disita terlebih dahulu
akan digunakan untuk melunasi biaya penagihan pajak, dan sisanya baru
dipergunakan untuk membayar utang pajak. Bila masih tetap ada sisanya, maka
akan dikembalikan kepada Penanggung Pajak yang bersangkutan. Setelah lelang
selesai dilaksanakan maka akan dibuatkan Risalah Lelang yang merupakan suatu
Berita Acara Pelaksanaan Lelang yang dapat berfungsi sebagai suatu akta jual beli
yang merupakan bukti otentik sebagai dasar untuk mendaftarkan dan pengalihan
hak.
Tetapi dapat melalui selebaran atau pengumuman yang ditempelkan
di tempat umum misalnya di Kantor Kelurahan atau di papan pengumuman
KPP.
8. Surat Penentuan Harga Limit
Surat Penentuan Harga Limit merupakan suatu surat yang dibuat ataupun
diterbitkan oleh Jurusita untuk menentukan harga dari barang-barang baik
bergerak ataupun tidak yang dimiliki oleh si Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
yang disita dan akan di lelang untuk membayar/ melunasi tunggakan pajak dari
Wajib Pajak tersebut. Sehingga Jurusita dapat mengetahui apakah harta yang
23 Mardiasmo, 2003, Perpajakan, Penerbit Andi, Yogyakarta, hal 50
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
dilelang tersebut dapat mencukupi atau tidak untuk membayar utang pajak dari
Wajib Pajak tersebut.
9. Pembatalan Lelang
Apabila Wajib Pajak / Penanggung Pajak melunasi utang-utang pajak serta
biaya pelaksanaannya sesudah pengumuman lelang dimuat di surat kabar/ media
cetak/ media elektronik tetapi sebelum pelaksaaan lelang, maka pengumuman
lelang itu dapat dibatalkan dengan memuat iklan pembatalan lelang dalam surat
kabar/ media cetak/ media elektronik yang bersangkutan.
Pembatalan pengumuman lelang baru dapat dilakukan apabila Wajib Pajak
/ Penanggung Pajak menunjukkan bukti pembayaran utang pajak serta biaya
pelaksanaannya.
10. Surat Lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan pajak
Merupakan semua bentuk surat yang dapat dikeluarkan oleh fiskus, yang
diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugasnya untuk melakukan penagihan pajak
terhadap Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang memiliki tunggakan pajak.
D. Hak Dan Kewajiban Wajib Pajak
Sejak diberlakukannya sistem self assessment dalam undang-undang
perpajakan Indonesia, telah diatur adanya hak dan kewajiban Wajib Pajak yang
diatur dengan seimbang dengan hak dan kewajiban fiskus (petugas Direktorat
Jenderal Pajak) sehingga Wajib Pajak dan fiskus dapat melaksanakan ketentuan
yang ada dengan sebaik-baiknya.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Hal ini tentu saja akan mengakibatkan Wajib Pajak tersebut dapat dikenai
sanksi apabila tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan peraturan
perpajakan yang berlaku. Oleh karena itu berikut ini akan diuraikan mengenai hak
dan kewajiban Wajib Pajak yang akan disertai dengan hak dan kewajiban fiskus
serta hak dan kewajiban pihak ketiga.
1. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
a. Hak Wajib Pajak
Hak-hak Wajib Pajak yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah
sebagai berikut:
1) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari fiskus.
Hak ini merupakan konsekuensi logis dari sistem self assessment yang
mewajibkan Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan dan
membayar pajaknya sendiri. Untuk dapat melaksanakan sistem tersebut
tentu hak dimaksud merupakan prioritas dari seluruh hak Wajib Pajak
yang ada.
2) Hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan (untuk selanjutnya disebut
SPT).
Apabila Wajib Pajak dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan terdapat
kekeliruan misalnya karena adanya data yang belum dilaporkan atau
terdapat kesalahan dalam menghitung, Wajib Pajak masih diberikan
kesempatan untuk membetulkannya dengan syarat fiskus belum
melakukan tindakan pemeriksaan. Pembetulan ini diberikan dalam jangka
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak,
atau tahun pajak (Pasal 8 ayat 1 UU KUP).
3) Hak untuk memperpanjang waktu penyampaian SPT.
Dalam pasal 3 ayat 3 UU KUP disebutkan bahwa batas waktu
penyampaian SPT dalam masa paling lambat dua puluh hari setelah akhir
masa pajak dan untuk SPT tahunan paling lambat tiga bulan setelah akhir
tahun pajak. Batas waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama enam
bulan dengan mengajukan permohonan secara tertulis.
4) Hak memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak.
Apabila Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran pajaknya mengalami
kelebihan, maka atas kelebihan tersebut dapat diminta kembali (restitusi)
sesuai Pasal 11 UU KUP dengan suatu permohonan tertulis.
5) Hak untuk mengajukan keberatan dan banding.
Apabila Wajib Pajak merasa tidak puas atas ketetapan pajak yang telah
diterbitkan, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum berupa keberatan
dan banding. Upaya keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) sedangkan banding diajukan kepada Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP) seperti diatur dalam Pasal 25 dan 27 UU KUP.
6) Hak mengadukan pejabat yang membocorkan rahasia Wajib Pajak.
Penjelasan Pasal 34 UU KUP menegaskan bahwa setiap pejabat baik
petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan
untuk tidak mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut
masalah perpajakan. Apabila pejabat tersebut membocorkan rahasia Wajib
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Pajak kepada pihak lain, maka Wajib Pajak dapat mengadukan pejabat
tersebut karena telah melakukan tindak pidana perpajakan sebagaimana
dimaksud Pasal 41 UU KUP.
7) Hak untuk mengajukan permohonan untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak.
Hak ini diberikan untuk membantu Wajib Pajak yang mengalami kondisi
tertentu misalnya, Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau
mengalami keadaan diluar kekuasaannya, maka Wajib Pajak yang
bersangkutan dapat mengajukan permohonan untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajaknya (Pasal 9 ayat 4 UU KUP).
8) Hak mengurangi penghasilan kena pajak dengan biaya yang telah
dikeluarkan.
Dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak, Wajib Pajak
khususnya Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dapat
mengurangi penghasilannya dengan segala pengeluaran-pengeluaran yang
telah ditentukan dalam undang-undang. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 6
UU PPh.
9) Hak pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Khusus untuk Wajib Pajak orang pribadi Pasal 7 UU PPh memberikan
pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak dalam jumlah tertentu
yang telah ditentukan.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
10) Hak menggunakan norma perhitungan penghasilan netto.
Hak ini diberikan kepada Wajib Pajak yang mempunyai peredaran bruto
usaha dalam satu tahun kurang dari Rp. 600.000.000.- dengan syarat
memberitahukan kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu
tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan sebagaimana diatur
dalam Pasal 14 UU PPh.
11) Hak untuk memperoleh fasilitas perpajakan.
Pasal 31 a UU PPh memberikan fasilitas perpajakan kepada Wajib Pajak
yang melakukan penanaman modal pada bidang usaha tertentu dan atau
daerah tertentu dalam bentuk :
a) Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah
penanaman yang dilakukan;
b) Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c) Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari sepuluh
tahun; dan
d) Pengenaan PPh atas dividen sebagaimana dimaksud dalam pasal 26
sebesar 10% kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang
berlaku menetapkan lebih rendah.
12) Hak untuk melakukan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak
Keluaran.
Apabila Pengusaha Kena Pajak (PKP) mempunyai Pajak Masukan (pajak
yang dibayar kepada pihak lain), maka atas Pajak Masukan tersebut dapat
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
dikreditkan terhadap Pajak Keluarannya (pajak yang dipungut dari pihak
lain).
b. Kewajiban Wajib Pajak
Kewajiban Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-Undang Perpajakan
adalah:
1) Kewajiban untuk mendaftarkan diri.
Pasal 2 UU KUP menegaskan bahwa setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan
diri pada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP).
2) Kewajiban mengisi dan menyampaikan SPT.
Pasal 3 ayat 1 UU KUP menegaskan bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi
SPT dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab,
satuan mata uang rupiah dan menandatangani serta menyampaikannya ke
kantor pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
3) Kewajiban membayar atau menyetor pajak.
Kewajiban membayar atau menyetor pajak dilakukan di kas negara melalui
Kantor Pos atau Bank BUMN/ BUMD atau tempat pembayaran lain yang
ditetapkan Menteri Keuangan (Pasal 10 ayat 1 UU KUP).
4) Kewajiban membuat pembukuan atau pencatatan.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia diwajibkan membuat
pembukuan (Pasal 28 ayat 1). Sedangkan pencatatan dilakukan oleh Wajib
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
Norma Perhitungan Penghasilan Netto dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang
tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
5) Kewajiban mentaati pemeriksaan pajak.
Terhadap Wajib Pajak yang diperiksa harus mentaati ketentuan dalam rangka
pemeriksaan pajak, misalnya Wajib Pajak wajib memperlihatkan dan atau
meminjamkan buku atau catatan dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh; memberikan kesempatan untuk memasuki
tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna
kelancaran pemeriksaan; serta memberikan keterangan yang diperlukan oleh
pemeriksa pajak (Pasal 29 UU KUP).
6) Kewajiban melakukan pemotongan atau pemungutan pajak.
Kewajiban ini dilakukan Wajib Pajak terhadap pihak lain dalam rangka
melaksanakan perintah undang-undang pajak itu sendiri, seperti Pasal 21,
Pasal 22, Pasal 23, Pasal 26 UU PPh, dan ketentuan dalam UU PPN.
7) Kewajiban membuat faktur pajak.
Setiap pengusaha kena pajak wajib membuat faktur pajak untuk setiap
penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak (Pasal 13 UU PPN). Faktur
pajak yang dibuat merupakan bukti adanya pungutan pajak yang dilakukan
oleh pengusaha kena pajak.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
8) Kewajiban melunasi bea materai.
Dalam Undang-Undang Bea Materai disebutkan bahwa bea materai adalah
merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen, maka terhadap
dokumen-dokumen tertentu wajib dilunasi bea materainya.
2. Hak dan Kewajiban Fiskus
a. Hak Fiskus
Hak-hak fiskus yang diatur dalam Undang-Undang Perpajakan adalah:
1) Menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau mengukuhkan
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
2) Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak.
3) Menerbitkan Surat Paksa dan Melaksanakan Penyitaan,
4) Melakukan Pemeriksaan dan Penyegelan.
5) Menghapuskan atau Menguraikan Sanksi Administrasi.
6) Melakukan Penyidikan.
b. Kewajiban Fiskus
Kewajiban fiskus yang diatur dalam Undang-Undang Perpajakan antara
lain sebagai berikut:
1) Kewajiban untuk membina Wajib Pajak
Kewajiban ini merupakan suatu kewajiban yang sangat penting sekalipun
sistem perpajakan yang dipakai saat ini adalah sistem self assessment.
Suksesnya penerimaan dari sektor pajak antara lain juga ditentukan melalui
pembinaan yang dilakukan oleh fiskus. Pembinaan ini dapat dilakukan melalui
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
berbagai upaya antara lain pemberian penyuluhan, pengetahuan perpajakan
baik melalui media massa maupun penerangan langsung kepada masyarakat.
2) Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
Berdasarkan permohonan Wajib Pajak atas adanya kelebihan pembayaran
pajak dan fiskus telah melakukan pemeriksaan atas permohonan tersebut,
maka fiskus berkewajiban menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima (Pasal 17
b UU KUP).
3) Merahasiakan Data Wajib Pajak
Setiap petugas pajak dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak
kepada pihak lain atas segala sesuatu yang menyangkut masalah perpajakan
sebagiamana diatur dalam Pasal 34 UU KUP.
3. Hak dan Kewajiban Pihak Ketiga
Pelaksanaan pemeriksaan di bidang pajak juga mungkin melibatkan pihak
ketiga, karena pihak ketiga tesebut bisa memiliki pekerjaan atau profesi yang
bersinggungan dengan pemeriksaan tersebut. Dalam pasal 35 Undang-Undang
tentang KUP dinyatakan bahwa:
a. Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik,
notaris, konsultan pajak, kantor admninstrasi, dan pihak ketiga lainnya yang
mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa atau disidik, atas
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tesebut wajib
memberikan keterangan atau bukti yang diminta.
b. Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh
kewajiban merahasiakan, maka untuk keperluan pemeriksaan atau penyidikan
pajak kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank
kewajiban merahasiakan ditiadakan atas perintah tertulis dari Menteri
Keuangan.
Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, maka
atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak ketiga yaitu bank,
akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi dan pihak ketiga
lainnya yang mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang
diperiksa atau disidik harus memberikan keterangan atau bukti-bukti yang
diminta oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak. Dengan demikian pihak ketiga
sebagaimana yang disebutkan diatas juga memiliki kewajiban untuk
membantu pemeriksaan.
E. Pengertian Dan Sanksi Bagi Wajib Pajak Yang Menunggak Pajak
Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa
Hukum Pajak dapat dikaitkan dengan Hukum Perdata. Dalam hal ini negara
sebagai orang (persoon) dalam bentuk badan hukum (recht persoon) menjadi
pihak kreditur (berpiutang) menagih hutang kepada pihak Wajib Pajak sebagai
seorang yang berhutang (debitur). Wajib Pajak yang tidak melaksanakan
kewajibannya dalam membayar pajak dalam waktu yang telah ditentukan dapatlah
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
dikatakan bahwa ia telah melakukan wanprestasi. Maka berikut ini akan
dipaparkan apa yang dimaksud dengan wanprestasi itu dan sanksi apa saja yang
akan diterima apabila Wajib Pajak menunggak pajak.
5. Pengertian Wanprestasi
Salah satu subjek berkewajiban dan berhak atas sesuatu atau menerima
prestasi sebagai objek. Jika perikatan tanpa objek maka seperti tak ada perjanjian.
Wanprestasi adalah suatu keadan dimana salah satu pihak tidak memenuhi
prestasi pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan
juga tetapi tidak selayaknya.
Pasal 1239 KUH Perdata menyatakan bahwa: “tiap-tiap perikatan untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak
memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban
memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”. Wanprestasi bisa terjadi akibat
daripada kesalahan debitur, bisa sengaja tidak dipenuhinya atau karena kelalaian
dan wanprestasi ini juga bisa terjadi akibat dari keadaan memaksa (overmacht)
atau tidak dapat diketahui akan terjadi (Force Majour).
Wajib Pajak dapat saja tidak mampu memenuhi prestasinya yaitu
menyelesaikan kewajiban-kewajiban terhadap objek pajak yang dipikulnya. Kita
mungkin pernah berfikir bahwa negara tidak memperdulikan nasib Wajib Pajak,
sekalipun Wajib Pajak mendapat musibah negara tetap saja menjalankan fungsi
budgeternya. Pemikiran diatas tidak selamanya benar, hal ini dibuktikan dengan
adanya fasilitas-fasilitas pajak yang berkaitan dengan musibah yang dialami
Wajib Pajak. Fasilitas yang demikian antara lain diberlakukan secara formal di
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Amerika Serikat oleh IRS (Internal Revenue Services). Di Indonesia sendiri ada
juga failitas pajak atas musibah yang dialami Wajib Pajak. Di Amerika Serikat
fasilitas pajak diberikan berkaitan dengan terjadinya bencana (causalities),
pencurian (theft) dan kerugian deposit (loss on deposit). Masing-masing defenisi
dan perlakuan pajaknya akan kita bahas pada bagian berikut:
a. Bencana (casuality)
Bencana atau kecelakaan (casuality) adalah kerusakan atau kerugian atau
kehilangan atas harta benda sebagai dampak dari kejadian yang tidak
diperkirakan (unexpected), tiba-tiba (sudden), dan tidak biasa (unusual).
Kerugian dari bencana bisa menjadi pengurangan penghasilan antara lain
adalah: kecelakaan mobil, gempa bumi, kebakaran, banjir, kecelakaan kapal,
dentuman sonic (sonic boom), dan lain-lain.. Kerugian dari bencana yang
tidak dapat dibebankan mengurangi penghasilan antara lain jika terjadi
disebabkan karena: kesengajaan merusak barang, kebakaran yang disengaja,
kecelakaan yang disengaja, dan lain sebagainya.
b. Pencurian (Theft)
Adalah tindakan sengaja mengambil dan memindahkan uang atau harta milik
orang lain. Pengertian pencurian disini termasuk pemerasan, perampokan, dan
penculikan.
c. Kerugian/ deposit (Loss on deposit)
Dapat terjadi apabila sebuah bank, pegadaian atau lembaga keuangan lainnya
menjadi bangkrut. Jika hal ini terjadi maka kerugian tersebut dapat
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
diperlakukan sebagai kerugian karena bencana atau kerugian karena sebab
biasa (ordinary loss), atau piutang non usaha yang tidak tertagih.
Sedangkan di Indonesia perihal perlakuan pajak atas musibah terdapat
dalam Pasal 11 ayat 8 dan 9 UU No.17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
beserta penjelasannya, yang menyatakan bahwa apabila harta terbakar, maka
penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan dan nilai sisa buku harta
tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Dengan demikian, jika penggantian yang diterima lebih kecil dari jumlah
kerugian atau tidak terdapat penggantian sama sekali, maka sisa kerugian atau
seluruh kerugian jika tidak ada penggantian dapat dibebankan dalam tahun pajak
bersangkutan.
Dalam hal penggantian asuransi yang diterima baru dapat diketahui
dengan pasti dikemudian hari, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
kepada Dirjen pajak agar jumlah kerugian dapat dibebankan dalam tahun
penggantian asuransi.
Penagihan pajak dan bunga penagihan dalam hal Wajib Pajak melakukan
ingkar janji. Maka menurut Pasal 5 Keputusan Dirjen Pajak No.53/ Pj.4/ 1995
tindakan penagihan dengan surat paksa dapat dilakukan apabila, Wajib Pajak yang
telah mendapat keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak tidak melaksanakan keputusan tersebut.
Ingkar janji atau wanprestasi tersebut dapat berupa tidak memenuhi jumlah
angsuran yang telah ditentukan maupun membayar angsuran pada tanggal yang
tidak sesuai dengan keputusan.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
2. Sanksi bagi Wajib Pajak yang menunggak pajak
Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ ditaati/
dipatuhi. Atau bisa dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah
(preventif) agar Wajib Pajak tidak melanggar norma perpajakan. Dalam Undang-
Undang Perpajakan dikenal adanya 2 (dua) macam sanksi yaitu:
a. Sanksi Administrasi, dan
b. Sanksi Pidana
Ancaman terhadap pelanggaran suatu norma perpajakan ada yang diancam
dengan sanksi administrasi saja, ada yang diancam dengan sanksi pidana saja, dan
ada pula yang diancam dengan sanksi administrasi dan sanksi pidana.
Sanksi administrasi merupakan sejumlah pembayaran kerugian berupa
uang kepada negara dalam bentuk bunga, denda atau kenaikan. Sanksi ini diatur
dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang KUP.
Sanksi administrasi tersebut terdiri dari:
1) Bunga, terdiri dari:
a) Pembayaran
b) Penagihan
c) Ketetapan
masing-masing 2% per-bulan.
2) Kenaikan, 50% atau 100%
3) Denda, Rp.50.000.- / Rp.100.000.-
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Sanksi administrasi berupa bunga yang ada kaitannya dengan masalah
penagihan, sedangkan sanksi administrasi berupa kenaikan dan denda diabaikan.
Sanksi administrasi berupa bunga terdiri dari:
a. Bunga Pembayaran
Bunga pembayaran adalah bunga karena melakukan pembayaran pajak tidak
pada waktunya dan pembayaran pajak tersebut dilakukan sendiri tanpa
dikeluarkan suatu Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dengan demikian bunga
pembayaran umumnya dibayar dengan menggunakan SSP, yaitu meliputi
antara lain:
1) Bunga karena pembetulan SPT.
2) Bunga karena angsuran atau penundaan pembayaran.
3) Bunga karena terlambat membayar.
4) Bunga karena ada selisih antara pajak yang sebenarnya terutang dan pajak
sementara.
b. Bunga Penagihan
Bunga penagihan adalah bunga karena pembayaran pajak yang ditagih dengan
Surat Tagihan berupa Surat Tagihan Pajak, tidak dilakukan dalam batas waktu
pembayaran yang telah ditentukan. Bunga penagihan umumnya ditagih
dengan Surat Tagihan Pajak.
c. Bunga Ketetapan
Bunga ketetapan adalah bunga yang dimasukkan dalam Surat Ketetapan Pajak
sebagai tambahan pokok pajak. Bunga ketetapan umumya ditagih dengan
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Hal ini sebagaimana diatur
dalam Pasal 13 ayat 2 KUP.
Sedangkan sanksi pidana merupakan sanksi/ penderitaan terhadap Wajib
Pajak. Sanksi pidana dapat berupa pidana denda, pidana kurungan, atau pidana
penjara yang ditetapkan oleh hakim pidana. Sanksi pidana merupakan suatu alat
terakhir atau benteng hukum yang dapat digunakan fiskus agar norma perpajakan
ditaati atau dipatuhi.
Sanksi pidana yang berupa denda pidana berbeda dengan sanksi berupa
denda administrasi yang hanya diancam atau dikenakan kepada Wjaib Pajak yang
melanggar ketentuan peraturan perpajakan. Sanksi berupa denda pidana selain
dikenakan kepada Wajib Pajak ada juga yang diancamkan kepada pejabat pajak
atau kepada pihak ketiga yang melanggar norma. Denda pidana dikenakan kepada
tindak pidana yang bersifat pelanggaran maupun bersifat kejahatan.
Sanksi pidana berupa kurungan hanya diancamkan kepada tindak pidana
yang bersifat pelanggaran. Dapat ditujukan kepada Wajib Pajak dan pihak ketiga.
Karena pidana kurungan diancamkan kepada si pelanggar norma itu ketentuannya
sama dengan yang diancamkan dengan pidana denda, maka masalahnya hanya
ketentuan mengenai denda pidana sekian itu diganti dengan pidana kurungan
selama-lamanya sekian.
Sedangkan sanksi pidana berupa pidana penjara merupakan hukuman
perampasan kemerdekaan. Pidana penjara diancamkan terhadap kejahatan.
Ancaman pidana penjara tidak ada yang ditujukan kepada pihak ketiga, adanya
kepada pejabat dan kepada Wajib Pajak sendiri.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Wajib Pajak yang dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana pajak,
yaitu telah diketahui pada saat dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu oleh
pemeriksa pajak dan diperoleh bukti-bukti bahwa Wajib Pajak tersebut telah
melakukan Tindak Pidana Pajak sebagaimana diatur pada Pasal 38 dan Pasal 39
UU No.16 Tahun 2000. Pasal 38 UU No.16 Tahun 2000, menyatakan:
Setiap orang karena kealpaannya:
a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan
b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap melampirkan keterangan sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara dipidana kurungan paling lama 1 tahun.
Pasal 39 UU No.16 Tahun 2000, menyatakan:
a. Setiap orang yang dengan sengaja:
1) Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa
hak NPWP atau PPKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
2) Tidak menyampaikan SPT,
3) Menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau
tidak lengkap,
4) Menolak untuk dilakukan pemeriksaan yang dimaksud dalam Pasal 29,
5) Memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu
atau dipalsukan seolah-olah benar,
6) Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan atau dokumen
lainnya,
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
7) Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) atau denda paling tinggi 4 (empat) kali
jumlah pajak yang tidak atau kurang bayar.
b. Pidana dimaksud pada ayat 1 dilipatkan 2 (dua) apabila seorang melakukan
lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun terhitung
sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
c. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa NPWP atau tanpa PPKP,
sebagaimana dimaksud ayat1 huruf a, atau menyampaikan Surat
Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dalam rangka mengajukan permohonan
restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 tahun atau denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi
yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Pembagian sifat kealpaan dan kesengajaan dalam undang-undang pajak,
pada prinsipnya sama dengan pembagian sifat pidana dalam KUHP. Jika kedua
pasal diatas ditujukan kepada Wajib Pajak, maka Pasal 41 UU No.16 Tahun 2000
ditujukan kepada pejabat pajak (fiskus), yang selengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
a. Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan
hal sebagaimana diatur dalam Pasal 34, dipidana dengan pidana kurungan
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000.- (empat
juta rupiah).
b. Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang
yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp. 10.000.000.- (sepuluh juta rupiah).
c. Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan
ayat 2 hanya dilakukan atas pengaduan dari orang yang kerahasiaannya
dilanggar.
Dari ketiga pasal diatas, terlihat ada keseimbangan (keadilan) dalam
undang-undang pajak, karena siapapun orangnya baik Wajib Pajak maupun fiskus
tanpa terkecuali akan ditindak/ dipidana sesuai dengan berat ringannya kesalahan
yang dilakukan. Namun demikian perlu diingat bahwa terhadap pejabat yang akan
dituntut hanya dapat dilakukan sepanjang ada pengaduan dari orang yang merasa
kerahasiaannya dilanggar, yang disebut dengan delik aduan. Dengan kata lain
sekalipun pejabat melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal
tersebut bisa tidak dituntut seandainya Wajib Pajak yang kerahasiaannya
dilanggar tidak melakukan pengaduan kepada pihak kepolisian sebagai pihak
penyidik.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
BAB IV
FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK YANG MENUNGGAK PAJAK
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN
Meskipun kewajiban membayar pajak ditetapkan berdasarkan undang-
undang seperti halnya yang telah dipaparkan sebelumnya, namun pada prakteknya
tidak setiap orang yang terkena undang-undang tersebut akan serta merta dan
sukarela memenuhi kewajibannya. Ada sebagian orang yang tidak mau memenuhi
atu mematuhi ketentuan tersebut. Hal ini sangat disayangkan mengingat bahwa
rakyat dikenakan kewajiban untuk membayar pajak berdasarkan undang-undang
di bidang perpajakan yang diberlakukan hanya setelah memperoleh persetujuan
dari rakyat melalui wakil-wakilnya. Jika pajak dipandang sebagai utang yang
harus dilunasi oleh mereka ynag berkewajiban untuk membayarnya, maka akan
ada suatu konsekuensi yang dapat dikenakan terhadap pihak-pihak yang tidak mau
membayar bahkan menghindar dari kewajibannya tersebut. Sebagai contoh
adanya Wajib Pajak atau Penanggung Pajak berusaha dengan tipu muslihat
mengalihkan atau memindahtangankan sebagian harta miliknya seluruhnya
ataupun sebagian luput dari penyitaan yang akan dilakukan oleh jurusita pajak
guna dijadikan jaminan untuk membayar utang pajak dari Penanggung Pajak.
Dengan cara memindahtangankan harta itu kepada pihak lain atau atas nama
orang lain, maka utang pajak tidak dapat dilunasi karena barang atau harta milik
Penanggung Pajak yang akan dijadikan jaminan utang pajak tidak ada lagi. Dalam
keadaan yang demikian maka fiskus (negara selaku pemungut pajak) akan sangat
dirugikan karenanya.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Dalam hubungan antara debitur dengan kreditur, terdapat sanksi berupa
hukuman penjara terhadap debitur yang tidak sanggup ataupun tidak bersedia
untuk melunasi utangnya kepada kreditur seperti halnya contoh diatas. Hukuman
penjara tersebut tentunya harus dilaksanakan dalam koridor hukum yang berlaku,
dimana debitur hanya dapat ditahan sebagai jaminan utang sampai ada pihak
ketiga, seperti anggota keluarga atau saudara dari debitur yang bersedia melunasi
utangnya. Dalam sistem hukum di Indonesia yang menganut sistem hukum
daratan Eropa, tindakan melakukan penahanan tersebut dikenal dengan nama
penyanderaan (Gijzeling).24
A. Pengertian Penyanderaan
Dengan kata lain penyanderaan (gijzeling) merupakan
akibat dari ketidakmauan atau ketidakmampuan debitur untuk memenuhi
kewajiban guna membayar utang-utangnya kepada kreditur. Namun dalam
masalah penyanderaan ini terutama dikenakan terhadap pihak-pihak yang
mempunyai kemampuan untuk memenuhi kewajibannya, teteapi tidak mau
memenuhinya.
Dalam pembahasan bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai
lembaga penyanderaan dan pelaksanaan serta penghentian proses penyanderaan
itu sendiri.
Dalam bidang perpajakan ada kemungkinan bahwa Penanggung Pajak
bertindak a social; yaitu dengan jalan menyembunyikan harta kekayaan untuk
menghindarkan dari penyitaan. Akibat perbuatan tersebut maka jurusita pajak
tidak dapat menyita barang-barang Penanggung Pajak/ Wajib Pajak. Langkah
24 Y. Sri Pudyatmoko, 2007, Penegakan dan Perlindungan Hukum Di Bidang Pajak,
Salemba empat, Jakarta, hal 111
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
selanjutnya dari Jurusita Pajak adalah melakukan penyitaan badan yang dikenal
dengan nama “penyanderaan” (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Pasal 33
ayat 1).
Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Pasal 1 sub 21 bahwa
yang dimaksud dengan penyanderaan adalah pengekangan untuk sementara waktu
kebebasan Penanggung Pajak/ Wajib Pajak dengan menempatkannya di tempat
tertentu.
Menurut Undang-Undang Nomor 49 Prp 1960 bahwa yang dimaksud
dengan paksa badan atau penyanderaan adalah penagihan dalam rangka
penyelamatan uang negara dengan cara pengekangan kebebasan untuk sementara
waktu di suatu tempat tertentu terhadap debitur yang tergolong mampu namun
tidak beritikad baik.
Menurut HIR Pasal 209 sampai Pasal 244 bahwa jika tidak ada atau tidak
cukup barang untuk memastikan pelaksanaan keputusan, maka Ketua Pengadilan
Negeri dapat memberi perintah untuk melaksanakan surat sita guna menyandera
debitur. Dalam hal ini yang disita adalah orangnya dan berkaitan dengan
hubungan antara debitur dan kreditur secara Hukum perdata. Segala biaya
pemeliharaan orang yang disanderakan ditanggung oleh orang yang mendapat izin
untuk menyanderakan.
Selain itu ketentuan mengenai penyanderaan juga dapat ditemukan dalam
Pasal 242 sampai Pasal 258 Rbg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten), yaitu
Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura. Pasal 243
menyatakan bahwa lama penyanderaan dapat ditentukan secara berjenjang sesuai
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
dengan besar kecilnya jumlah yang harus dipenuhi oleh debitur. Dalam Rbg juga
diatur mengenai persyaratan usia, kondisi, dimana seseorang tidak dapat
disandera, tempat penyanderaan, wewenang penyanderaan, dan sebagainya.
Dalam ketentuan tersebut juga dinyatakan bahwa penyanderaan dilakukan atas
permohonan kreditur.25
Kemudian MA mempertimbangkan bahwa SEMA No.2 Tahun 1964 dan
SEMA No.2 Tahun 1975 tentang Gijzeling dipandang tidak sesuai lagi dengan
Dalam perkembangan selanjutnya, Mahkamah Agung RI menerbitkan
Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung (SEMA) No.2 Tahun 1964 jo. No.2 Tahun
1975, yang memerintahkan kepada semua Ketua Pengadilan dan para hakim untuk
tidak menggunakan lagi peraturan-peraturan mengenai sandera sebagaimana
dimaksud dalam pasal 209-224 HIR (Pasal 242-258 Rbg), karena lembaga paksa
badan tersebut dianggap bertentangan dengan perikemanusiaan. Sekalipun
demikian Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan penetapannya tanggal 27 Mei
1974 No.1/ 1974/ Gijz menetapkan gijzeling apabila debitur tidak memenuhi
bunyi putusan No.142/ 1972 G. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 6
Februari 1975 No.915 k / Sip/ 1974 berpendapat: bahwa hakim pertama salah
menerapkan hukum karena HIR/ Rbg hanya dapat dilaksanakan terhadap Debitur
yang sudah tidak punya barang lagi, terhadap orang yang miskin atau dengan kata
lain HIR/ Rbg membuka kemungkinan untuk merampas kebebasan bergerak
seorang miskin.
25 Y. Sri Pudyatmoko, op.cit. hal 112
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta
pembangunan ekonomi bangsa.
Sedangkan penyanderaan dalam KUHAP pasal 161 (1) berkaitan dengan
seorang saksi atau saksi ahli menolak untuk bersumpah atau berjanji. Adapun
sanksinya adalah 14 (empat belas) hari dapat dikenakan sandera dengan surat
penetapan hakim ketua.
B. Kriteria Wajib Pajak Yang Dapat Dikenakan Penyanderaan
Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak KEP- 218/PJ/2003 tertanggal 30
Juli 2003 tentang petunjuk pelaksanaan penyanderaan dan pemberian rehabilitasi
nama baik Penanggung Pajak yang akan disandera dijelaskan hal-hal sebagai
berikut:
1. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab
atas pembayaran pajak termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi
kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan.
2. Tempat Penyanderaan adalah rumah tahanan negara yang dijadikan tempat
pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak yang terpisah
dari tahanan lain.
3. Kepala Kantor adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (untuk selanjutnya disebut Kepala KPP /
KPPBB)
Sebelum membicarakan mengenai penyanderaan lebih lanjut, perlu
dipahami bahwa penyanderan dilakukan terhadap Penanggung Pajak atau orang
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
pribadi yang memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak. Penanggung Pajak
sebenarnya dapat dikatakan sebagai pihak yang bertindak untuk dan atas nama
Wajib Pajak, atau pihak yang mewakili Wajib Pajak. Penanggung Pajak diatur
dalam Pasal 32 Undang-Undang tentang KUP. Dalam pasal tersebut dinyatakan
bahwa Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diwakili dalam hal:
1. Badan oleh pengurus;
2. Badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau badan yang dibebani
untuk melakukan pemberesan;
3. Suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana
wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya;
4. Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh
wali atau pengampunya.
Dalam rangka melakukan penagihan pajak, tidak semua Wajib Pajak dapat
disandera begitu saja ketika mereka tidak mau dan tidak mampu memenuhi
kewajibannya. Untuk itu diperlukan pengaturan mengenai kriteria dan ukuran
penyanderaan yang jelas. Tindakan penyanderaan harus dilakukan oleh fiskus
berdasarkan pada prinsip kehati-hatian serta selektif. Hal ini penting mengingat
bahwa lembaga penyanderaan mengandung unsur pengekangan terhadap hak-hak
individu. Penempatan orang sebagai Wajib Pajak atau Penanggung Pajak di
tempat tertentu dalam rangka paksa badan sesungguhnya membatasi ruang gerak
dan kebebasan dari yang bersangkutan.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Berikut ini akan diuraikan mengenai beberapa kriteria dari Penanggung
Pajak yang dapat dikenakan sandera, berdasarkan ketentuan dalam Undang-
Undang tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan dipertegas lagi dengan
Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000, antara lain
adalah sebagai berikut:
1. Mempunyai hutang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp.100.000.000,-
(seratus juta rupiah).
2. Diragukan itikad baiknya dalam melunasi hutang pajak.
3. Telah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat paksa
diberitakan kepada Penanggung Pajak, dan
4. Telah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan hutang pajak
adalah hutang yang dibebankan kepada seseorang atau khususnya Wajib Pajak
untuk dibayarkan kepada negara demi kelancaran dan kelangsungan pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan. Hutang Pajak akan hapus apabila Wajib Pajak
melakukan pembayaran atas utang pajaknya ke kas negara atau tempat lain yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Pembayaran pajak hanya dapat dilakukan
dengan uang dan bukan dengan bentuk lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan Penanggung Pajak diragukan itikad
baiknya dalam pelunasan hutang pajak, meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Penanggung Pajak tidak merespon himbauan untuk melunasi hutang pajak.
2. Penanggung Pajak tidak menjelaskan/ tidak bersedia melunasi hutang pajak
baik sekaligus maupun angsuran.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
3. Penanggung Pajak tidak bersedia menyerahkan hartanya untuk melunasi
hutang pajak.
4. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau
berniat untuk itu.
5. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasai
dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau
pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia.
6. Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya atau menggabungkan
usahanya atau memekarkan usahanya atau memindahtangankan perusahaan
yang dimiliki atau dikuasainya atau melakukan perubahan bentuk lainnya.
Dan selanjutnya mengenai surat paksa bahwa ada 3 (tiga) hal yang
menyebabkan diterbitkannya surat paksa tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Bahwa Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan
tanggal jatuh tempo dan telah diterbitkan surat teguran atau surat peringatan
atau surat lainnya yang sejenis.
2. Bahwa terhadap Penangung Pajak telah dilakukan penagihan seketika dan
sekaligus.
3. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan persetujuan
angsuran atau penundaan pembayaran.
Hal yang sama mengenai kriteria penyanderaan diatas juga diatur dalam
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-218/ PJ/ 2003 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung
Pajak yang Disandera.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Dengan memperhatikan berbagai ketentuan tersebut, dapat dikatakan
bahwa lembaga paksa badan atau penyanderaan hanya dapat diterapkan untuk hal-
hal tertentu yang bersifat khusus. Misalnya saja, Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak tersebut harus mempunyai utang pajak yang jumlahnya relatif besar yaitu
Rp. 100.000.000,-. Angka tersebut dapat diubah seiring berjalannya waktu, karena
jumlah tersebut dimasa yang akan datang dapat saja menjadi relatif kecil. Dengan
demikian penyanderaan tidak diterapkan kepada mereka yang mempunyai utang
pajak atau tunggakan pajak dalam jumlah kecil.
Selain itu, pihak fiskus juga sebaiknya tidak melakukan penyanderaan
apabila memang pada kenyataannya Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang
bersangkutan sudah tidak mempunyai kekayaan sama sekali, sehingga mereka
tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya. Meskipun secara teoritis
dalam kasus semacam itu pemenuhan kewajiban pajak masih dapat
dimungkinkan, yaitu melalui sanak saudara atau kerabat Wajib Pajak yang
bersangkutan. Tetapi secara manusiawi seharusnya ada kebijakan tesendiri dalam
menghadapi kasus semacam itu.
C. Contoh Kasus Wajib Pajak Yang Menunggak Pajak
Berikut ini akan dipaparkan data-data dari Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak yang memiliki tunggakan pajak dan sedang dalam proses penagihan yang
dilakukan oleh fiskus pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur. Namun untuk
kepentingan dari Wajib Pajak yang bersangkutan dan dengan berdasar pada Pasal
34 Undang-Undang KUP, yang mewajibkan fiskus untuk merahasiakan data-data
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
dari Wajib Pajak, maka dalam pembahasan ini hanya akan menggunakan inisial
dari Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tersebut.
1. F.S, NPWP: 01.553.xxx.6-113.000, Tahun Pajak 1991-2006. Surat Teguran
terakhir disampaikan pada tanggal 26 Juni 2006, Surat Paksa terakhir
disampaikan pada tanggal 1 Mei 2003, Jumlah tunggakan sampai dengan
bulan Juni 2007 adalah sebesar Rp. 9.048.238.784,-
2. P.P, NPWP: 01.946.xxx.3-113.000, Tahun Pajak 2001-2004, Surat Teguran
terakhir disampaikan pada tanggal 28 Juni 2007, Surat Paksa terakhir
disampaikan pada tanggal 10 Mei 2006, Jumlah tunggakan sampai dengan
bulan Juni 2007 adalah sebesar Rp. 5.285.562.005,-
3. A.T.C, NPWP: 01.536.xxx.1-113.000, Tahun Pajak 1995-2004, Surat Teguran
terakhir disampaikan pada tanggal 28 Juni 2005, Surat Paksa terakhir
disampaikan pada tanggal 13 Februari 2006, Jumlah tunggakan sampai dengan
bulan Juni 2007 adalah sebesar Rp. 4.801.451.723,-
4. P.I.P, NPWP: 01.536.xxx.0-113.000, Tahun Pajak 1994-2003, Surat Teguran
terakhir disampaikan pada tanggal 19 Februari 2007, Surat Paksa terakhir
disampaikan pada tanggal 15 Maret 2005, Jumlah tunggakan sampai dengan
bulan Juni 2007 adalah sebesar Rp. 4.054.675.610,-
5. A.P.A, NPWP: 01.467.xxx.0-113.000, Tahun Pajak 1995-2006, Surat Teguran
terakhir disampaikan pada tanggal 19 Februari 2007, Surat Paksa terakhir
disampaikan pada tanggal 25 Juli 2005, Jumlah tunggakan sampai dengan
bulan Juni 2007 adalah sebesar Rp. 3.844.829.321,-
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
6. D.Y, NPWP: 06.737.xxx.6-113.000, Tahun Pajak 2000-2003, Surat Teguran
terakhir disampaikan pada tanggal 01 Juni 2004, Surat Paksa terakhir
disampaikan pada tanggal 08 Januari 2003, Jumlah tunggakan sampai dengan
bulan Juni 2007 adalah sebesar Rp. 2.071.498.949,-
7. K.R, NPWP: 01.467.xxx.3-113.000, Tahun Pajak 1991-2004, Surat Teguran
terakhir disampaikan pada tanggal 22 Maret 2006, Surat Paksa terakhir
disampaikan pada tanggal 18 Mei 2005, Jumlah tunggakan sampai dengan
bulan Juni 2007 adalah sebesar Rp. 2.224.872.049,-
8. G.D.T Company, NPWP: 01.002xxx.0-113.000, Tahun Pajak 1993-2004,
Surat Teguran terakhir disampaikan pada tanggal 21 Juli 2005, Surat Paksa
terakhir disampaikan pada tanggal 01 Desember 2004, Jumlah tunggakan
sampai dengan bulan Juni 2007 adalah sebesar Rp. 1.915.386.560,-
9. K.P.J, NPWP: 01.467.xxx.4-113.000, Tahun Pajak 1997-2006, Surat Teguran
terakhir disampaikan pada tanggal 10 Februari 2007, Surat Paksa terakhir
disampaikan pada tanggal 12 April 2007, Jumlah tunggakan sampai dengan
bulan Juni 2007 adalah sebesar Rp. 1.905.070.711,-
10. M.A Indonesia, NPWP: 01.602.xxx.1-113.000, Tahun Pajak 2001-2004, Surat
Teguran terakhir disampaikan pada tanggal 10 Juli 2006, Surat Paksa terakhir
disampaikan pada tanggal 23 Agustus 2006, Jumlah tunggakan sampai dengan
bulan Juni 2007 adalah sebesar Rp. 1.591.823.135,-
11. M.M.S, NPWP: 01.700.xxx.3-113.000, Tahun Pajak 1998-2002, Surat
Teguran terakhir disampaikan pada tanggal 11 Mei 2004, Surat Paksa terakhir
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
diampaikan pada tanggal 14 Juni 2004, Jumlah tunggakan sampai dengan
bulan Juni 2007 adalah sebesar Rp. 1.265.554.817,-
12. T.I, NPWP: 01.422.xxx.3-113.000, Tahun Pajak 1992-2002, Surat Teguran
terakhir disampaikan pada tanggal 04 April 2003, Surat Paksa terakhir
disampaikan pada tanggal 20 Juni 2005, jumlah tunggakan sampai dengan
bulan Juni 2007 adalah sebesar Rp. 1.240.318.327,-
13. H.O, NPWP: 04.205.xxx.0-113.000, Tahun Pajak 1997-2007, Surat Teguran
terakhir disampaikan pada tanggal 16 April 2007, Surat Paksa terakhir
disampaikan pada tanggal 12 Februari 2007, jumlah tunggakan sampai dengan
bulan Juni 2007 adalah sebesar Rp. 1.215.930.117,-
14. M Elektronik, NPWP: 02.342.xxx.2-113.000, Tahun Pajak 2004-2005, Surat
teguran terakhir disampaikan pada tanggal 16 April 2007, Surat Paksa terakhir
diampaikan pada tanggal 07 April 2005, jumlah tunggakan sampai dengan
bulan Juni 2007 adalah sebesar Rp. 1.059.894.273,-
15. B.A.G, NPWP: 01.602.xxx.0-113.000, Tahun Pajak 1998-2002, Surat Teguran
terakhir disampaikan pada tanggal 20 April 2006, Surat Paksa terakhir
disampaikan pada tanggal 26 Juni 2006, jumlah tunggakan sampai dengan
bulan Juni 2007 adalah sebesar Rp. 864.105.640,-
D. Tata Cara Dan Prosedur Pelaksanaan Penyanderaan
Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang
tidak melunasi utang pajak setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari
terhitung sejak tanggal surat paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak/ Wajib
Pajak apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
1. Syarat kuantitatif, yaitu apabila Penanggung Pajak/ Wajib Pajak mempunyai
hutang pajak sekurang-kurang nya Rp.100.000.000.-(seratus juta rupiah), dan
2. Syarat kualitatif, yaitu syarat mengenai diragukannya itikad baik Penanggung
Pajak/ Wajib Pajak yang bersangkutan dalam melunasi hutang pajaknya.
Tata cara pelaksanaan penyanderaan terhadap Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak harus dilaksanakan dengan mekanisme tertentu dan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Proses penyanderaan telah diatur dalam Keputusan Direktur
Jenderal Pajak No. Kep-218/ PJ/ 2003. Ketentuan tesebut menyatakan bahwa
proses paksa badan diawali dengan diajukannya permohonan izin penyanderaan
oleh Kepala KPP / KPPBB kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal
Pajak untuk perhatian Direktur Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak
dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
Permohonan tersebut memuat :
1. Identitas Penanggung Pajak yang akan disandera.
2. Jumlah hutang pajak yang belum dilunasi disertai Kartu Pengawasan
Tunggakan Pajak Penanggung Pajak yang bersangkutan sampai dengan
tanggal usulan penyanderaan dan upaya hukum yang ditempuh Wajib Pajak/
Penanggung Pajak (keberatan/ peninjauan kembali, banding, gugatan, maupun
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung).
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
3. Tindakan penagihan pajak meliputi penagihan persuasif dan represif yang
telah dilaksanakan oleh KPP/ KPPBB dengan melampirkan fotocopy Surat
Paksa dan Berita Acara Penyampaian Surat Paksa.
4. Uraian tentang adanya petunjuk bahwa Penanggung Pajak diragukan itikad
baiknya dalam melunasi utang pajak.
Setelah menerima izin tertulis dari Menteri Keuangan, Direktur Jenderal
Pajak untuk perhatian Direktur Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak,
segera mengirimkan izin tertulis tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Pajak yang bersangkutan melalui kurir, pos kilat tercatat, atau pos kilat
khusus. Segera setelah menerima izin tersebut, Kepala KPP / KPPBB menerbitkan
Surat Perintah Penyanderaan.
Apabila Menteri Keuangan telah memberikan izin tertulis untuk
melakukan penyanderaan sebagaimana yang dimaksud diatas, maka yang akan
melaksanakan penyanderaan adalah jurusita negara yang berada di Kantor
Pelayanan Pajak yang bersangkutan.
Kemudian Jurusita Pajak tersebut menyampaikan Surat Perintah
Penyanderaan secara langsung kepada Penanggung Pajak dengan disaksikan oleh
dua (2) orang saksi yaitu dua orang Warga Negara Indonesia yang telah dewasa,
dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya; yaitu Kepala Seksi Penagihan,
Koordinator Pelaksana Penagihan, atau aparat Desa / Kelurahan. Dalam
melaksanakan penyanderaan, Jurusita Pajak dapat meminta bantuan dari aparat
Kepolisian atau Kejaksaan. Tindakan ini ditempuh guna memperlancar proses
penyanderaan, serta menghindarkan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Ketika
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang akan disandera tidak dapat ditemukan,
bersembunyi atau melarikan diri, maka Jurusita Pajak melalui Kepala KPP /
KPPBB atau atasannya dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan untuk
menghadirkan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang bersangkutan. Begitu
pula dalam hal Jurusita Pajak menemui kesulitan, ataupun atas alasan keamanan
dan keselamatan Jurusita Pajak dan saksi-saksi, maka Jurusita Pajak dapat
meminta bantuan dari pihak Kepolisian atau Kejaksaan.
Namun demikian, penyanderaan tidak boleh dilakukan dalam kondisi-
kondisi sebagai berikut:
1. Apabila Penanggung Pajak sedang beribadah;
2. Apabila Penanggung Pajak sedang mengikuti sidang resmi;
3. Apabila Penanggung Pajak sedang mengikuti Pemilihan Umum.
Jika Penanggung Pajak yang akan disandera berada di luar wilayah kerja
Kepala KPP /KPPBB yang menerbitkan Surat Paksa atau jika Penanggung Pajak
yang akan disandera tersebut melarikan diri atau bersembunyi ke luar wilayah
kerja dari Kepala KPP / KPPBB, maka Kepala KPP / KPPBB tersebut tetap dapat
menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan dan memerintahkan Jurusita Pajak
untuk melaksanakan penyanderaan terhadap Penanggung Pajak yang berada di
luar wilayah kerjanya. Hal ini dilakukan dengan meminta bantuan kepada Kepala
KPP / KPPBB yang wilayah kerjanya merupakan tempat kedudukan , tempat
domisili, atau tempat persembunyian dari Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
yang akan disandera itu. Dalam kasus semacam ini, Kepala KPP / KPPBB yang
dimintai bantuannya wajib memberikan bantuan antara lain dengan:
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
1. Memberikan keterangan dan informasi tentang keberadaan Penanggung Pajak
yang dimaksud;
2. Memperbantukan Jurusita Pajak dan menyediakan saksi;
3. Melakukan koordinasi dengan aparat Pemerintah Daerah / Kepolisian
setempat;
4. Memberikan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan
penyanderaan.26
Proses penyanderaan yang sesungguhnya baru mulai dilaksanakan ketika
Surat Perintah Penyanderaan diterima oleh Penanggung Pajak yang akan
disandera. Jika Penanggung Pajak yang bersangkutan menolak menerima Surat
Perintah Penyanderaan, maka menurut ketentuan, Jurusita Pajak harus
meninggalkan Surat Perintah Penyanderaan tersebut ditempat kedudukan
Penanggung Pajak, baik ditempat tinggal atau tempat kerjanya, dan mencatatnya
dalam Berita Acara Penyampaian Surat Perintah Penyanderaan bahwa
Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Perintah Penyanderaan tersebut.
Dengan demikian, Surat Perintah Penyanderaan dianggap telah diterima dan sah
sehingga mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis. Selain itu, salinan Surat
Perintah Penyanderaan disampaikan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara.
Surat Perintah Penyanderaan tersebut memuat sekurang-kurangnya:
1. Identitas Penanggung Pajak;
2. Alasan Penyanderaan;
3. Izin Penyanderaan;
26 Ibid. hal 119
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
4. Lamanya Penyanderaan; dan
5. Tempat Penyanderaan.
Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Penyanderaan ketika
Penanggung Pajak ditempatkan di Rumah Tahanan Negara. Berita Acara tersebut
harus ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Kepala Rumah Tahanan Negara, dan
saksi-saksi. Salinan Berita Acara Pelaksanaan Penyanderaan disampaikan kepada:
1. Kepala Rumah Tahanan Negara;
2. Penanggung Pajak yang akan disandera;
3. Bupati / Walikota, dimana Penanggung Pajak yang disandera bertempat
tinggal, sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang dimilikinya.
Berita Acara Pelaksanaan Penyanderaan tersebut merupakan syarat formal
sahnya penyanderaan dan berfungsi sebagai Berita Acara serah terima
Penanggung Pajak yang disandera oleh Jurusita Pajak kepada kepala tempat
penyanderaan.
Berita Acara Penyanderaan sekurang-kurangnya memuat:
1. Nomor dan tanggal Surat Perintah Penyanderaan;
2. Izin tertulis Menteri Keuangan atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I;
3. Tempat penyanderaan;
4. Lamanya penyanderaan;
5. Identitas saksi penyanderaan.
Menurut Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Menteri
Kehakiman dan Hak Azasi Manusia No. M-02.UM.01 Tahun 2003 dan No. 294 /
KMK.03 / 2003, penyanderaan yang dilakukan di Rumah Tahanan Negara
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
penempatannya dipisahkan dari tempat tahanan tersangka tindak pidana lainnya
berdasarkan jenis kelamin Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang disandera.
Berkaitan dengan penempatan ini, Kepala Rumah Tahanan Negara wajib
memperhatikan penempatan Penanggung Pajak yang disandera yang berada dalam
kondisi tertentu, seperti sakit keras, mengidap penyakit menular, ataupun
mengidap gangguan jiwa.
Penerimaan Penanggung Pajak yang akan disandera di Rumah Tahanan
Negara dicatat dalam Buku Register Daftar Penanggung Pajak yang disandera.
Dalam buku register tersebut dimuat mengenai:
1. Penelitian surat sebagai dasar penyanderaan;
2. Pencocokan nama Penanggung Pajak yang disandera;
3. Penggeledahan badan atau barang;
4. Pengambilan sidik jari;
5. Pengambilan foto; dan
6. Pemeriksaan kesehatan oleh dokter / paramedis Rumah Tahanan Negara.
Apabila Penanggung Pajak yang akan disandera adalah seorang wanita,
maka penggeledahan badan atau barang harus dilakukan oleh petugas wanita.
Apabila dalam hal tidak terdapat petugas wanita, maka penggeledahan dapat
dilakukan oleh polisi wanita atau istri dari petugas. Petugas yang berwenang
melakukan penggeledahan harus melakukannya sesuai dengan etika
penggeledahan yang telah ditentukan. Semua barang atau uang yang diperoleh
dari hasil penggeledahan wajib dicatat dalam register khusus dan ditandatangani
oleh petugas dan Penanggung Pajak yang disandera. Apabila ditemukan barang
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
berbahaya atau barang terlarang, maka barang tersebut dapat dirampas atau
dimusnahkan berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Pelaksanaan penyanderaan bagi Wajib Pajak/ Penanggung Pajak dilakukan
selama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjangkan lagi selama-lamanya 6 bulan.
Ketentuan mengenai jangka waktu maksimum penyanderaan ini didasarkan pada
perhitungan besarnya utang pajak, besarnya jumlah harta yang disembunyikan dan
dihubungkan dengan itikad baik Penanggung Pajak untuk melunasi utang
pajaknya.
Dengan dilakukannya penyanderaan, maka segala biaya yang terjadi
seperti biaya hidup selama dalam penyanderaan di rumah tahanan negara, dan
biaya penangkapan dalam hal Penanggung Pajak melarikan diri dari rumah
tahanan negara menjadi beban Penanggung Pajak yang disandera yang akan
diperhitungkan sebagai biaya penagihan pajak.
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-218 / PJ / 2003,
bahwa sekalipun Penanggung Pajak disandera, selama dalam penyanderan
Penanggung Pajak tetap memperoleh hak-hak seperti:
1. Melakukan ibadah di tempat penyanderaan sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing;
2. Memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
3. Mendapat makanan yang layak termasuk menerima kiriman dari keluarga;
4. Memperoleh bahan bacaan dan informasi atas biaya sendiri;
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
5. Menerima kunjungan rohaniawan dan dokter pribadi atas biaya sendiri setelah
mendapat izin dari Kepala Rumah Tahanan Negara;
6. Menerima kunjungan keluarga, pengacara dan sahabat setelah mendapat izin
tertulis dari Kepala KPP / KPPBB paling banyak 3 (tiga) kali dalam seminggu
selama tiga puluh menit untuk setiap kali kunjungan; dan
7. Menyampaikan keluhan tentang perlakuan petugas kepada Kepala Rumah
Tahanan Negara atau Kepala KPP / KPPBB.
Ketentuan mengenai hak dari Penanggung Pajak yang disandera
menunjukkan bahwa sekalipun yang bersangkutan mempunyai sikap yang kurang
terpuji karena tidak bersedia untuk memenuhi kewajiban pajaknya atau bahkan
beritikad kurang baik berkaitan dengan pajak, hal tersebut tidak menghilangkan
hak-hak dasar yang mereka miliki. Hak yang dimaksud disini adalah hak-hak
seperti yang telah dikemukakan diatas. Tetapi, sesuai dengan sifat penyanderaan
yang menempatkan pihak yang disandera tersebut di tempat yang tertutup dan
terasing dari masyarakat serta memiliki pengamanan dan pengawasan yang
memadai, maka setiap Penanggung Pajak yang disandera dilarang membawa
telepon genggam atau peralatan elektronik lainnya yang dapat digunakan untuk
menghubungi seseorang di luar Rumah Tahanan Negara.
Selain berbagai hak tersebut, apabila Penanggung Pajak yang disandera
menderita penyakit keras, maka yang bersangkutan dapat dirawat di rumah sakit
di luar Rumah Tahanan Negara setelah memperoleh izin tertulis dari Kepala KPP
/ KPPBB yang menyandera. Apabila Penanggung Pajak yang disandera menderita
sakit keras secara mendadak dan memerlukan tinadakan cepat maka petugas
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Rumah Tahanan Negara dapat segera membawa yang bersangkutan ke rumah
sakit atau klinik kesehatan terdekat dan memberitahukan hal tersebut kepada
Kepala KPP / KPPBB yang bersangkutan, serta pihak kepolisian untuk
pengawalan. Ketentuan tersebut juga berlaku kepada Penanggung Pajak yang
menderita gangguan jiwa. Jika perawatan medis di luar Rumah Tahanan Negara
sebagaimana telah dijelaskan dilakukan, maka masa perawatan medis tersebut
tidak dihitung sebagai masa penyanderaan.
Apabila Penanggung Pajak yang disandera meninggal dunia di Rumah
Tahanan Negara karena sakit, maka Kepala Rumah Tahanan Negara harus segera
memberitahukan kepada Pejabat yang menyandera dan keluarga dari Penanggung
Pajak serta membuat Berita Acara Kematian. Pemberitahuan dan Berita Acara
Kematian tersebut disampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak,
Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kehakiman dan Hak Azasi Manusia, serta pihak kepolisian. Barang atau uang
milik Penanggung Pajak yang meninggal dunia tersebut diserahkan kepada
keluarganya dengan suatu tanda bukti penerimaan.
Seorang Penanggung Pajak yang melarikan diri dari Rumah Tahanan
Negara dalam masa penyanderaan dapat disandera kembali berdasarkan Surat
Perintah Penyanderaan yang dahulu diterbitkan terhadapnya. Apabila terjadinya
pelarian oleh pihak Penanggung Pajak, terdapat kemungkinan dilakukannya upaya
pencarian dan pengejaran. Biaya yang muncul sebagai akibat dari upaya pencarian
dan pengejaran tersebut harus ditanggung oleh Penanggung Pajak yang
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
bersangkutan. Waktu yang dihabiskan selama masa pelarian tidak diperhitungkan
sebagai masa penyanderaan.
Disatu sisi, hak-hak dari Penanggung Pajak yang disandera dijamin dan
dilindungi. Tetapi di sisi lain Penanggung Pajak yang disandera juga dituntut
untuk memenuhi kewajibannya seperti:
a. Seorang Penanggung Pajak yang disandera selama dalam Rumah Tahanan
Negara, wajib mematuhi tata tertib dan disiplin Rumah Tahanan Negara.
b. Penanggung Pajak yang disandera dilarang membawa telepon genggam,
pager, komputer atau peralatan elektronik lain yang dapat digunakan untuk
menghubungi seseorang di luar Rumah Tahanan Negara.
Jika terbukti Penanggung Pajak yang disandera melakukan pelanggaran
terhadap tata tertib dan disiplin, maka Kepala Rumah Tahanan Negara harus
memberitahukan pelanggaran tersebut kepada Kepala KPP / KPPBB atau kepada
kepolisian terdekat.
Berdasarkan penjelasan mengenai prosedur penyanderan tersebut serta
ketentuan mengenai pihak yang menanganinya, dapat disimpulkan bahwa
penyanderaan dalam kasus ini tidak dapat disamakan dengan sanksi pidana. Hal
ini disebabkan karena tindakan Penanggung Pajak yang menyebabkan
dilakukannya penyanderaan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai Tindak
Pidana. Selain itu, pengenaan sanksi pidana sebagai bagian dari upaya penegakan
hukum pidana harus melalui suatu proses peradilan. Dengan demikian, meskipun
lembaga paksa badan (Gijzeling) menempatkan orang dalam tempat tertentu
dengan pembatasan terhadap hak individu, namun tindakan penyanderaan tidak
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
dapat disamakan dengan pengenaan sanksi pidana. Dalam penyanderaan berlaku
ketentuan bahwa yang bersangkutan akan dilepaskan jika telah memenuhi
kewajiban perpajakannya.
E. Prosedur Penghentian Penyanderaan
Sebelum sampai pada pembahasan mengenai prosedur penghentian
penyanderaan, maka terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai upaya hukum
yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang merasa
dirugikan atau keberatan atas diberlakukannya penyanderaan terhadapnya. Untuk
itu, Penanggung Pajak yang bersangkutan memiliki kesempatan untuk
mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan tersebut. Gugatan
tersebut hanya dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang merupakan bagian dari
lembaga peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, dan bukan ke Pengadilan
Pajak, sebagaimana gugatan untuk sengketa pajak lainnya.
Menurut Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-218 / PJ / 2003,
gugatan ini hanya dapat diajukan selama Wajib Pajak/ Penanggung Pajak berada
dalam penyanderaan. Gugatan untuk pelaksanaan penyanderaan ini tidak dapat
diajukan setelah masa penyanderaan berakhir. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya bahwa adanya gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan tidak
menyebabkan tertundanya pelaksanaaan penagihan pajak terhadap Wajib Pajak/
Penanggung Pajak. Dalam Keputusan Dirjen Pajak tersebut tidak diuraikan hal-
hal yang secara teknis dapat digunakan sebagai pijakan oleh Penanggung Pajak
untuk mengajukan sebuah gugatan. Dalam keputusan tersebut hanya disebutkan
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
bahwa pengajuan gugatan hanya dapat dilakukan ke Pengadilan Negeri dan
sebelum masa penyanderaan berakhir.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa jangka waktu yang
digunakan oleh Penanggung Pajak untuk mengajukan gugatan sesuai dengan
jangka waktu penyanderaan, yakni maksimum enam bulan dan tambahan
maksimum enam bulan lagi jika ada perpanjangan penyanderaan. Lewat dari masa
itu, gugatan tidak dapat diajukan. Padahal proses penyelesaian sengketa di
pengadilan dapat memakan waktu yang cukup panjang. Terutama jika terhadap
putusan atas gugatan tersebut sampai diajukan banding ke Pengadilan Tinggi atau
diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sehingga dapat terjadi bahwa ketika
putusan pengadilan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Penanggung
Pajak yang bersangkutan telah keluar dari Rumah Tahanan Negara. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dalam ketentuan tersebut
adalah waktu pengajuan gugatan dan bukan waktu ditetapkannya putusan
pengadilan atas sengketa tersebut.
Dalam hal gugatan Penanggung Pajak dikabulkan oleh pengadilan dan
putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Penanggung
Pajak harus dilepaskan statusnya dari penyanderaan tersebut. Dan kepada
Penanggung Pajak tersebut diberikan ganti rugi. Besarnya ganti rugi yang
diberikan Pejabat kepada Penanggung pajak adalah sebesar Rp. 100.000.-(seratus
ribu rupiah) setiap hari selama penyanderaan yang telah dijalaninya. Ganti rugi
sebagaimana dimaksud diatas diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
diterimanya permohonan Penanggung Pajak. Sedangkan tata cara pemberian ganti
rugi ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.27
1. Hutang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas.
Sedangkan penyanderaan terhadap Penanggung Pajak dapat pula
dihentikan apabila memenuhi beberapa persyaratan, antara lain sebagai berikut:
Dalam hal ini Wajib Pajak/ Penanggung Pajak tersebut harus memenuhi
persyaratan berupa salinan atau fotokopi bukti pembayaran / pelunasan utang
pajak /biaya penagihan pajak yang dilegalisasi oleh tempat pembayaran pajak
yang bersangkutan.
2. Jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan telah habis.
3. Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Dalam hal ini Wajib Pajak tersebut harus memenuhi persyaratan berupa
salinan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang
dilegalisasi oleh pengadilan yang bersangkutan.
4. Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan atau Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I.
Pengertian dari berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan
adalah berupa surat rekomendasi/ surat pemberitahuan Menteri Keuangan kepada
Direktur Jenderal Pajak dengan alasan sebagai berikut:
27 H. Moeljo Hadi, Dasar-Dasar Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Oleh Jurusita
Pajak pusat Dan Daerah, Rajawali Pers, Jakarta, hal 113
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
1. Penanggung Pajak sudah membayar hutang pajak 90 % atau lebih dari jumlah
hutang pajak/ sisa hutang pajak dan sisanya akan dilunasi dengan angsuran.
2. Penanggung Pajak sanggup melunasi hutang pajak dengan menyerahkan bank
garansi.
3. Penanggung Pajak sanggup melunasi hutang pajak dengan menyerahkan harta
kekayaannya yang sama nilainya dengan hutang pajak dan biaya penagihan
pajak untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4. Penanggung Pajak telah berumur 75 tahun atau lebih, dan
5. Untuk kepentingan perekonomian negara dan untuk kepentingan umum.
Menurut ketentuan yang berlaku, terkait dengan hal Penanggung Pajak
yang memenuhi kriteria sebagaimana telah diuraikan tersebut, Kepala KPP /
KPPBB menyampaikan usul atau permohonan rekomendasi ke Menteri Keuangan
melalui Direktur Jenderal Pajak untuk perhatian Direktur Pemeriksaan,
Penyidikan dan Penagihan Pajak, disertai dengan fotokopi Surat setoran pajak,
Surat Jaminan Bank , Surat pernyataan penyerahan harta kekayaan Penanggung
Pajak atau dokumen/ keterangan lain yang berkaitan dengan usulan tersebut.
Direktur Jenderal Pajak untuk perhatian Direktur Pemeriksaan, Penyidikan dan
Penagihan Pajak, setelah menerima rekomendasi/ pemberitahuan tertulis dari
Menteri Keuangan, segera mengirimkan surat tersebut kepada Kepala KPP /
KPPBB yang bersangkutan melalui kurir, pos, kilat tercatat, atau pos kilat khusus.
Kepala KPP / KPPBB wajib memberitahukan secara tertulis dalam jangka waktu
paling lama dua puluh empat jam sejak diterimanya salah satu persyaratan
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya kepada Kepala Rumah Tahanan Negara
bahwa Penanggung Pajak akan dibebaskan dari penyanderaan.
Perhitungan dan penentuan tanggal pelepasan terhadap Penanggung Pajak
yang disandera ditetapkan oleh Kepala Rumah Tahanan Negara. Kepala Rumah
Tahanan Negara segera memberitahukan secara tertulis kepada Kepala KPP /
KPPBB apabila Penanggung Pajak yang disandera telah dibebaskan dari
penyanderaan.
Setelah surat resmi penghentian melaksanakan penyanderaan dikeluarkan
oleh Kepala Kantor, maka tindakan selanjutnya adalah melakukan rehabilitasi
nama baik Penanggung Pajak yang disandera tersebut. Rehabilitasi nama baik
dilakukan oleh Pejabat dalam bentuk 1 (satu) kali pengumuman pada media cetak
harian yang berskala nasional/ regional/ lokal dengan ukuran yang memadai, yang
dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat permohonan
Penanggung Pajak.
Permohonan rehabilitasi nama baik tersebut diajukan oleh Penanggung
Pajak kepada Kepala Kantor yang mengajukan penyanderaan, dilakukan harus
secara tertulis, dalam bahasa Indonesia dan dengan dilengkapi persyaratan
sebagai berikut:
1. Putusan pengadilan.
2. Surat Perintah Penyanderaan, dan
3. Surat pemberitahuan pelepasan Penanggung Pajak yang disandera.
Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal
Pajak No. KEP-218 / PJ / 2003 yang juga menyatakan bahwa dalam hal
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
gugatan Penanggung Pajak dikabulkan oleh pengadilan dan putusan pengadilan
tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Penanggung Pajak
yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik.
Permohonan tersebut tidak dapat diajukan bersama-sama dengan tuntutan yang
ada dalam gugatan pertama. Dengan demikian, keputusan mengenai
rehabilitasi nama baik Penanggung Pajak berada pada pejabat yang berwenang,
yakni jajaran pemerintah.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Mengenai keengganan dari Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya
adalah merupakan suatu hal yang dipicu dari beberapa sebab antara lain
dikarenakan kurangnya perhatian dari pemerintah dalam hal ini adalah fiskus
itu sendiri untuk lebih mensosialisasikan dan membudidayakan kesadaran
untuk membayar pajak sebagai kewajiban dari warga negara yang baik.
Namun Adakalanya Wajib Pajak yang dikenai utang pajak itu tidak melunasi
utang pajaknya sehingga dilakukanlah tahapan-tahapan yang berhubungan
dengan tindakan penagihan. Tindakan penagihan ini dimulai dari adanya Surat
Teguran atau surat peringatan lain yang sejenis, dilakukannya Penagihan
Seketika dan Sekaligus, dilakukannya penagihan pajak dengan suatu Surat
Paksa, dilakukannya penyitaan sebagai tindakan preventif agar Wajib Pajak
tidak menghilangkan atau memindahtangankan barang yang ada dan juga
berguna untuk dijadikan jaminan dalam pelunasan utang pajak, dan dilakukan
pelelangan terhadap barang-barang Wajib Pajak tersebut, sampai dengan
dilakukannya suatu penyanderaan terhadap Wajib Pajak tersebut.
2. Adapun beberapa kriteria dari Wajib Pajak sehingga dapat dikenakan
penyanderaan dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Mempunyai hutang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp.100.000.000.-
(seratus juta rupiah).
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
b. Diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
c. Telah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal Surat Paksa
diberitakan kepada Penanggung Pajak/ Wajib Pajak, dan
d. Telah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan Republik Indonesia.
3. Tata cara penyanderaan terhadap Wajib Pajak yang tidak melaksanakan
kewajibannya dalam membayar pajak (menunggak pajak) adalah bahwa
diberlakukannya penyanderaan haruslah secara selektif dan sangat hati-hati.
Terhadap Wajib Pajak yang akan dikenakan sandera harus memenuhi syarat
kuantitatif dan syarat kualitatif, dimana Wajib Pajak yang mempunyai utang
pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp.100.000.000.- dan diragukan itikad
baiknya dalam melunasi utang pajak. Penyanderaan dilakukan dengan
membuat suatu permohonan izin penyanderaan yang diajukan oleh Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang bersangkutan dengan memuat:
identitas Penanggung Pajak yang akan disandera; Jumlah hutang pajak yang
belum dilunasi disertai Kartu Pengawasan Tunggakan Pajak Penanggung
Pajak yang bersangkutan sampai dengan tanggal usulan penyanderaan dan
upaya hukum yang ditempuh Wajib Pajak/ Penanggung Pajak; Tindakan
penagihan pajak meliputi penagihan persuasif dan represif yang telah
dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak dengan melampirkan fotocopy
Surat Paksa dan Berita Acara Penyampaian Surat Paksa. Apabila Menteri
Keuangan telah memberikan izin tertulis untuk melakukan penyanderaan
maka yang akan melaksanakan penyanderaan adalah jurusita negara yang
berada di KPP yang bersangkutan. Penyampaian Surat Perintah Penyanderaan
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
dilakukan oleh jurusita pajak dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. Wajib
Pajak atau Penanggung Pajak yang disandera dititipkan kepada Rumah
Tahanan Negara. Ruang tahanan bagi Wajib Pajak tersebut dipisahkan dari
tahanan kriminal biasa. Pelaksanaan penyanderaan bagi Wajib Pajak/
Penanggung Pajak dilakukan selama 6 (enam) bulan dan dapat
diperpanjangkan lagi selama-lamanya 6 bulan.
4. Setiap Wajib Pajak yang merasa keberatan atas pelaksanaan penyanderaan
tersebut diberi hak untuk mengajukan gugatan atas pelaksanaan penyanderaan
tersebut yang diajukan kepada Pengadilan Negeri. Dan apabila gugatan
tersebut dikabulkan maka Penanggung Pajak yang disandera tersebut harus
dilepaskan statusnya dari penyanderaan dan kepadanya diberikan ganti rugi
sebesar Rp. 100.000.- (seratus ribu rupiah) perhari selama menjalani masa
tahanan di rumah tahanan negara. Sedangkan prosedur penghentian
penyanderaan dapat dilakukan apabila Wajib Pajak memenuhi beberapa
persyaratan antara lain: Hutang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar
lunas; jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan telah
habis; Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap atau berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan.
5. Dari beberapa persyaratan untuk penghentian penyanderaan tersebut, maka
dapatlah diketahui bahwa lembaga penyanderaan (Gijzeling) tersebut
memegang peranan penting dalam membantu usaha pejabat fiskus untuk
mendorong pencairan tunggakan pajak dari Wajib Pajak/ Penanggung Pajak
yang mempunyai tunggakan pajak. Sehingga dengan adanya atau
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
dikenakannya penyanderaan tersebut maka mau tidak mau Wajib Pajak akan
segera melunasi utang pajaknya atau paling tidak akan berusaha untuk
membayar tunggakan pajaknya tersebut baik secara keseluruhan maupun
sebagian, angsuran ataupun dengan jalan menyerahkan harta kekayaannya
yang sama nilainya dengan utang pajak dan biaya penagihan pajak. Dan
keberadaan lembaga penyanderaan dapat membuat efek jera bagi para
penunggak pajak maupun bagi Wajib Pajak/ Penanggung Pajak lainnya agar
tidak melakukan hal yang sama dan segera memenuhi kewajiban
perpajakannya.
B. Saran
1. Agar pemerintah khususnya Dirjen Pajak lebih menggiatkan lagi usahanya
dalam memberikan penyuluhan-penyuluhan atau melaksanakan sosialisasi
kepada masyarakat mengenai arti pentingnya pajak sebagai sumber
penerimaan negara, baik untuk pembiayaan pemerintah maupun untuk
pelaksanaan pembangunan baik dimasa sekarang maupun dimasa yang akan
datang, sehingga timbul kesadaran dari masyarakat itu sendiri.
2. Diharapkan kepada masyarakat agar dapat menjadi Wajib Pajak yang baik
khususnya dalam menerapkan sistem self assessment, sehingga kewajiban
perpajakan tidak dirasakan sebagai kewajiban yang membebani melainkan
sebagai suatu kebutuhan.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
3. Agar pejabat fiskus dalam melaksanakan tugasnya lebih disiplin dan
menjunjung tinggi kejujuran. Begitu pula bagi Wajib Pajak dalam
menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri jumlah pajaknya.
4. Agar Wajib Pajak tidak enggan dalam melaksanakan kewajibannya dalaam
membayar pajak sehingga tidak terjadi tunggakan pajak yang dapat
mengakibatkan kerugian pada kas negara dan tentunya kerugian bagi Wajib
Pajak itu sendiri karena harus melewati beberapa rangkaian kegiatan
penagihan pajak seperti penyitaan, pelelangan maupun penyanderaan yang
memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit jumlahnya.
5. Diharapkan kepada fiskus agar lebih teliti dalam melaksanakan penyanderaan
yang merupakan upaya terakhir untuk menjaring para Penunggak Pajak dan
kepada pemerintah agar mau menambahkan lama masa penahanan yang
sedianya 6 bulan agar para Wajib Pajak yang berada dalam kondisi yang tidak
memungkinkan untuk melakukan pembayaran dapat melakukan pembayaran
itu atas perpanjangan masa tahanan secara keseluruhan.
6. Agar prosedur pelaksanaan penyanderaan terutama menyangkut prosedur
untuk mengusulkan Wajib Pajak yang akan dikenakan sandera ke Menteri
Keuangan dipercepat proses izin persetujuannya.
7. Agar keberadaan lembaga penyanderaan tersebut dapat membuat Wajib Pajak
dapat segera melunasi hutang pajaknya dan dapat membuat efek jera
khususnya bagi para Penunggak Pajak.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
DAFTAR PUSTAKA
Badrul Zaman, Mariam, Darus, dkk., 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Zakti, Bandung.
Bohari, 2006, Pengantar Hukum Pajak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Brotodiharjo, Santoso, 1991, Pengantar Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung Haula, Rosdiana, dan Rasin, Tarigan, 2005, Perpajakan Teori dan Aplikasi, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta Ilyas,. B Wirawan, dan Burton, Richard, 2001, Hukum Pajak, Penerbit Salemba
Empat, Jakarta Mardiasmo, 2002, Perpajakan Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta Moeljo, Hadi, Dasar-Dasar Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Oleh Jurusita
Pajak Pusat dan Daerah, Rajawali Pers, Jakarta Pelly, Zainul, 1993, Pengantar Hukum Pajak, USU Pers, Medan Pudyatmoko, Sri, Y, 2007, Penegakan Dan Perlindungan Hukum Di Bidang
Pajak, Penerbit Salemba Empat, Yogyakarta Soemitro, Rochmat, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pendapatan, Penerbit
Eresco, Bandung Subekti, R, dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
PT Pradnya Paramita, Jakarta Waluyo, Bambang, 1991, Pemeriksaan dan Peradilan Di Bidang Perpajakan,
Sinar Grafika, Jakarta Undang-Undang Perpajakan Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan, Penerbit Citra Umbara, Bandung Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, Tentang Perubahan Atas Undang-
undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pihak Dengan Surat Paksa.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap W ajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur), 2007. USU Repository © 2009.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) No. 137 Tahun 2000, Tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
PPRI No. 135 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Penyitaan dalam Rangka
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Keputusan Menteri Keuangan RI No. 561/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penagihan Seketika Sekaligus dan Pelaksanaan Surat Paksa.
Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-215/Pj./2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak yang Disandera.
Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Menteri Kehakiman dan HAM RI
No. M-02.UM.09.01.2003 dan 294/KMK.03/2003, Tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak yang Disandera di Rumah Tahanan Negara dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.