fiqih x
TRANSCRIPT
Fiqih Kelas X 1
BAB I
HUKUM ISLAM
A. MACAM-MACAM HUKUM ISLAM
Secara garis besar para ulama membagi hukum menjadi dua macam, yaitu
hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi adalah:
“segala ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan
perbuatan orang mukallaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk
melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk
memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat”
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah:
“segala ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani’
(sesuatu yang menjadi penghalang untuk melakukan hukum taklifi”
Hukum Taklifi
Hukum taklifi mempunyai lima macam hukum , yaitu:
1. Wajib (Fardhu)
Adalah segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk
dilaksanakan oleh orang mukallaf. Apabila dilaksanakan akan mendapat
pahala dari Allah SWT, begitupun sebaliknya apabila tidak dilaksanakan
akan diancam dengan dosa. Hukum wajib ini dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu
a) Wajib (fardhu) ‘Ain. Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada orang
yang berakal baligh (mukallaf) tanpa terkecuali. Kewajiban ini tidak
dapat gugur kecuali dilakukan oleh dirinya sendiri. Seperti kewajiban
melaksanakan shalat lima waktu sehari semalam, melaksanakan puasa
di bulan ramadhan dan melaksanakan haji bagi yang mampu.
b) Wajib (fardhu) Kifayah. Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada
seluruh orang mukallaf, namun bilamana ada sebagian umat Islam yang
melaksanakannya maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi,
Fiqih Kelas X 2
sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan
untuk mengerjakannya.
Misalnya, pelaksanaan shalat jenazah merupakan kewajiban seluruh
umat Islam, tetapi sudah dianggap mencukupi bilamana sudah ada yang
melaksanakan oleh sebagian anggota masyarakat. Namun, bila tidak
ada seorang pun yang mengerjakannya maka seluruh umat Islam
diancam dosa.
Fardhu kifayah dapat berubah statusnya menjadi fardhu ‘ain, apabila di
satu negeri (tempat, kota atau desa) tidak ada lagi orang yang mampu
melaksanakannya selain dia. Misalnya, bila di sebuah desa hanya ada
seorang dokter, maka untuk melayani kesehatan desa tersebut menjadi
fardhu ‘ain atas diri dokter tersebut.
2. Mandub (Sunnah)
Menurut bahasa mandub adalah sesuatu yang dianjurkan. Sedangkan
menurut istilah adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan
Rasu-Nya, dimana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun
tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya.
Hukum sunnah terbagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu:
a) Sunnah Muakkad (sunnah yang sangat dianjurkan). Yaitu perbuatan
yang biasa dilakukan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya.
Seperti shalat sunnah dua rakaat sebelum fajar.
b) Sunnah Ghairu Muakkad (sunnah biasa). Yaitu sesuatu yang dilakukan
Rasulullah, namun tidak menjadi kebiasaannya. Misalnya, shalat
sunnah dua kali dua rakaat (empat rakaat satu salam) sebelum shalat
dhuhur.
c) Sunnah Zawaid. Yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah
sebagai manusia. Misalnya, sopan santunnya dalam makan, minum dan
tidur. Mengikuti Rasulullah dalam masalah-masalah tersebut hukumnya
adalah sunnah, namun tingkatannya di bawah dua macam sunnah di
atas dan yang lebih kuat adalah macam sunnah yang disebut pertama.
Fiqih Kelas X 3
3. Haram
Kata haram secara etimologi berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya.
Secara terminologi, kata haram mempunyai arti “sesuatu yang dilarang oleh
Allah dan Rasul-Nya, dimana orang yang mengerjakan larangan tersebut
dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang
meninggalkannya karena mentaati Allah dan Rasul-Nya diberi pahala.”
4. Makruh
Secara bahasa makruh adalah sesuatu yang dibenci. Menurut istilah, makruh
adalah sesuatu yang dianjurkan syariat untuk tidak melakukannya, dimana
bila tidak dikerjakan mendapat pujian dan bila dikerjakan tidak berdosa.
Misalnya, menurut Imam Hambali makruh hukumnya berkumur dan
memasukkan air ke dalam hidung secara berlebihan ketika berwudhu di
siang hari bulan Ramadhan, karena dikhawatirkan air akan masuk ke rongga
kerongkongan dan tertelan sehingga dapat membatalkan puasa.
5. Mubah
Mubah adalah sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan oleh syara’. Menurut
sebagian ulama istilah mubah sama pengertiannya dengan halal atau jaiz.
B. SUMBER HUKUM ISLAM
Sumber hukum Islam adalah sumber atau acuan dalam menetapkan hukum-
hukum dalam Islam, dan kita sebagai seorang muslim wajib berpegang teguh padanya.
Allah SWT berfirman dalam surat an-Nisa ayat 59, yang berbunyi:
$ pκš‰ r'̄≈tƒ tÏ% ©!$# (# þθ ãΨ tΒ#u (#θãè‹ÏÛr& ©! $# (#θãè‹ÏÛr& uρ tΑθß™§9 $# ’ Í<'ρ é&uρ Íö∆ F{$# óΟ ä3ΖÏΒ ( βÎ*sù ÷Λäôãt“≈uΖs? ’ Îû &ó x« çνρ –Šã sù ’ n< Î) «! $# ÉΑθ ß™§9 $# uρ βÎ) ÷ΛäΨ ä. tβθ ãΖÏΒ÷σ è? «! $$ Î/ ÏΘ öθu‹ø9 $# uρ ÌÅzFψ$# 4 y7Ï9≡sŒ ×�ö! yz ß |¡ ôm r&uρ ¸ξƒÍρ ù' s? ) :������(
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri
(pemimpin) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah masalah tersebut kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 59)
Fiqih Kelas X 4
Berikut perincian sumber hukum Islam.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan objek pertama dan utama dalam memecahkan
permasalahan suatu hukum. Menurut bahasa, al-Qur’an berarti bacaan;
sedangkan menurut istilah, al-Qur’an adalah kalam (perkataan) Allah yang
diturunkan-Nya dengan perantara malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW
dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah apabila membacanya.
Al-Qur’an mulai diturunkan di Mekkah pada tahun 611 M, dan berakhir di
Madinah pada tahun 633 M (dengan jarak waktu kurang lebih 22 tahun beberapa
bulan). Oleh karena itu, turunnya al-Qur’an mempunyai dua periode, yaitu
periode Mekkah (sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, yang disebut dengan
ayat-ayat Makiyyah) dan periode Madinah (setelah Rasulullah hijrah ke
Madinah, yang disebut dengan ayat-ayat Madaniyyah).
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam mempunyai banyak hukum-
hukum dan ajaran-ajaran yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Namun,
secara umum al-Qur’an mengandung tiga ajaran pokok, yaitu:
a) Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan aqidah (keimanan) yang
membicarakan tentang hal-hal yang wajib diyakini (disebut juga sebagai
doktrin aqidah). Seperti masalah tauhid, Malaikat, kenabian, kitab-kitab-
Nya, hari akhir dan sebagainya.
b) Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akhlaq, yaitu hal-hal yang harus
dijadikan perhiasan diri oleh setiap mukallaf (disebut juga sebagai doktrin
akhlaq).
c) Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuan-ketentuan yang berhubungan
dengan amal perbuatan mukallaf (disebut juga sebagai doktrin
syari’ah/fiqih). Dari hukum-hukum amaliyah inilah timbul dan
berkembangnya ilmu fiqih.
Hukum-hukum amaliyah dalam al-Qur’an terdiri dari dua cabang, yaitu hukum-
hukum ibadah (yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, � ���� ���� ��)
Fiqih Kelas X 5
dan hukum-hukum mu’amalah (yang mengatur hubungan antar manusia, ���� ��
����� ����).
2. Sunnah
Kata sunnah secara bahasa berarti perilaku seseorang tertentu, baik perilaku
yang baik atau yang buruk. Sedangkan secara istilah ushul fiqih, sunnah berarti
segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa
ucapan (sunnah qauliyyah), perbuatan (sunnah fi’liyyah) atau pengakuan
(sunnah taqririyyah).
Contoh sunnah qauliyyah dalam sabda Rasulullah SAW,
�� �� �� �� ��� �� �� � ��� �� �! �" �# �$ �% �& � �' �( � � ) �� �( �* + �, �$ �( �- �. �/ �! ) �" �0 �1 �2 �# �, �0 1 �2 �# (+3�� �� 4,#)
Dari Ubadah bin Samit, sesungguhnya Rasulullah SAW menetapkan bahwa
tidak boleh melakukan kemudharatan dan tidak boleh pula membalas
kemudharatan dengan kemudharatan. (HR. Ibnu Majah)
Contoh sunnah fi’liyyah tentang rincian tata cara shalat sebagai berikut,
�� � �� � �� �5 �2 �. �&� �! �" �# �$ �% �& � �' �( � � ) �� �( �* + �, �$ �( �- �. �&� �! �' �( �6 ) �5 �# � �! �7 � �! �' �8 9� �7 �� :( �% �" �0 �! �;< �=) �! �� >? �7 @� �( � ) �( �* A� �, �0 �;< �= A#� �� �B � ��� �C �;* �2 �! �" �0 ��D :2 �, �E �( �% �F �G� �5 H �, �0 �C �2 �, �;� �=(I#�J�� 4,#) �
Dari Ibnu Umar berkata, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Saya shalat
seperti sahabat-sahabatku melaksanakan shalat, aku tidak melarang seseorang
di antara mereka shalat, baik siang maupun malam sesuai yang dikehendakinya,
kecuali mereka sengaja shalat pada saat terbit dan tenggelamnya matahari.
(HR. Bukhari)
Sedangkan contoh sunnah taqririyyah (pengakuan) ialah pengakuan Rasulullah
atas perilaku para sahabatnya. Misalnya, di masa Rasulullah ada dua orang
sahabat dalam suatu perjalanan. Ketika akan shalat mereka tidak menemukan
air, lalu mereka bertayamum dan mengerjakan shalat. Kemudian mereka
menemukan air sedangkan waktu shalat masih berlanjut. Lalu salah seorang di
antara keduanya mengulangi shalatnya dan yang lain tidak. Ketika mereka
melaporkan hal tersebut pada Rasulullah, beliau membenarkan kedua praktik
Fiqih Kelas X 6
tersebut. Kepada yang tidak mengulangi shalatnya beliau berkata: “Engkau telah
melakukan sunnah, dan telah cukup bagimu shalatmu itu”. Dan kepada yang
mengulangi shalatnya beliau berkata pula: “Bagimu pahala dua kali lipat ganda”
(Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasai)
Dalam al-Qur’an berbagai ayat memerintahkan agar kaum muslimin untuk
mentaati (QS. An-Nisa: 59) dan meneladani sikap dan sifat dari Rasulullah (al-
Ahzab: 21), bahkan Allah pun memuji Rasulullah sebagai seorang yang agung
akhlaknya (al-Qalam: 4). Di samping itu, Allah menilai bahwa orang yang
mentaati Rasulullah sama dengan dia mentaati Allah SWT, seperti dalam ayat:
¨Β Æì ÏÜムtΑθ ß™§9 $# ô‰s) sù tí$sÛr& ©! $# ( tΒuρ 4’ ¯< uθ s? !$yϑsù y7≈oΨ ù=y™ö‘ r& öΝÎγøŠ n=tæ $ZàŠÏ! ym :�����)KL( Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan
barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara mereka. (QS. An-Nisa: 80)
Sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, sunnah mempunyai fungsi
sebagai bayan (penjelasan) atau tabyiin (menjelaskan) ayat-ayat hukum dalam
al-Qur’an, seperti yang ditunjukkan dalam surat an-Nahl ayat 44:
ÏM≈uΖÉi* t7ø9 $$ Î/ Ìç/ –“9 $# uρ 3 !$ uΖø9 t“Ρ r&uρ y7ø‹s9 Î) t ò2Ïe%!$# tÎi t7çFÏ9 Ĩ$ ¨Ζ=Ï9 $ tΒ tΑ Ìh“çΡ öΝÍκö. s9 Î) öΝßγ̄=yè s9 uρ šχρ ã ©3x! tG tƒ
:�8��)MM( Kami telah menurunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu menjelaskannya
kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka,dan supaya kamu
memikirkannya. (QS. An-Nahl: 44)
Ada beberapa bentuk fungsi sunnah terhadap al-Qur’an, yaitu:
a) Menjelaskan isi al-Qur’an, antara lain dengan merinci ayat-ayat yang
bersifat global. Misalnya pada sunnah fi’liyyah, Rasulullah menjelaskan tata
cara melakukan shalat yang diwajibkan dalam al-Qur’an pada hadits yang
diriwayatkan Bukhari dari Abu Hurairah.
b) Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas suatu kewajiban yang
disebutkan pokok-pokoknya di dalam al-Qur’an. Misalnya masalah li’an.
c) Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam al-Qur’an. Contohnya:
hadits riwayat al-Nasai dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda
Fiqih Kelas X 7
mengenai keharaman memakan binatang buruan yang mempunyai taring
dan burung yang mempunyai cakar.
3. Ijtihad
a) Ijma’
Secara bahasa Ijma’ berarti “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan” atau
“kesepakatan tentang suatu masalah”. Menurut istilah Ushul Fiqih, ijma’ adalah
sebuah kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukum
syara’ pada satu masa setelah Rasulullah wafat.
Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa Ijma’ akan diakui sebagai dalil atau
landasan hukum apabila dalam pembentukan ijma’ mempunyai landasan syara’
(sanad ijma’) yang berupa al-Qur’an dan Sunnah.
Contoh ijma’ yang dilandaskan atas al-Qur’an: kesepakatan para ulama atas
keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan (surat an-Nisa: 23). Para ulama
sepakat bahwa yang dimaksud dengan kata ummahat (para ibu) dalam ayat
tersebut mencakup ibu kandung dan nenek; dan kata bannat (anak-anak
perempuan) mencakup anak dan cucu perempuan.
Contoh ijma’ yang dilandaskan atas Sunnah: kesepakatan ulama bahwa nenek
menggantikan ibu apabila ibu kandung dari si mayit sudah meninggal dunia
dalam hal mendapat harta warisan. Sebagaimana yang disebut dalam hadits yang
artinya:
Dari Ibnu Umar berkata, ada seorang nenek, yaitu ibu kandung ibu dan ibu
kandung bapak yang datang kepada Abu Bakar (menanyakan sesuatu), maka
Abu Bakar bertanya kepada orang-orang dan al-Mughirah bin Syu’aibah lah
yang bisa memberi tahu bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW memberikan
bagian warisan kepada nenek se per-enam. (HR. Tirmidzi)
b) Qiyas
Qiyas atau analogi menurut bahasa adalah “mengukur sesuatu dengan sesuatu
yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”. Sedangkan
menurut istilah Ushul Fiqh, qiyas adalah “menghubungkan (menyamakan
Fiqih Kelas X 8
hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada
ketentuan hukumnya, karena adanya persamaan ‘illat antara keduanya”.
Qiyas merupakan salah kegiatan ijtihad yang tidak ditegaskan dalam al-Qur’an
dan Sunnah. Adapun qiyas dilakukan seorang mujtahid dengan meneliti alasan
logis (‘illat) dari rumusan hukum itu, setelah itu diteliti pula keberadaan ‘illat
yang sama pada masalah lain yang tidak termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah. Bila benar adanya kesamaan ‘illat, maka keras dugaan bahwa
hukumnya juga sama. Begitulah yang dilakukan pada setiap praktik qiyas.
Para ulama Ushul Fiqh menganggap qiyas sah dijadikan dalil hukum dengan
berbagai argumentasi, antara lain:
� Surat an-Nisa ayat 59:
$ pκš‰ r'̄≈tƒ tÏ% ©!$# (# þθãΨ tΒ# u (#θãè‹ÏÛr& ©! $# (#θãè‹ÏÛr& uρ tΑθ ß™§9 $# ’ Í<'ρ é&uρ Íö∆ F{ $# óΟ ä3ΖÏΒ ( βÎ*sù ÷Λäôãt“≈uΖs? ’ Îû &ó x«
çνρ –Šã sù ’ n< Î) «!$# ÉΑθß™§9 $# uρ βÎ) ÷ΛäΨ ä. tβθ ãΖÏΒ÷σ è? «!$$ Î/ ÏΘöθ u‹ø9 $#uρ Ì Åz Fψ$# 4 y7Ï9≡sŒ ×�ö! yz ß|¡ ôm r& uρ ¸ξƒÍρù' s? ) :������(
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri
(pemimpin) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah masalah tersebut kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 59)
Ayat ini menunjukkan bahwa jika ada perselisihan pendapat di antara ulama
tentangn hukum suatu masalah, maka jalan keluarnya dengan
mengembalikannya kepada al-Qur’an dan Sunnah, yaitu dengan melakukan
qiyas.
� Hadits yang berisi dialog antara Rasulullah dan Muaz bin Jabal ketika akan
dikirim menjadi Hakim di Yaman. Dalam hal ini Mu’az menjawab
pertanyaan Rasulullah tentang cara memutuskan (menetapkan) hukum di
Yaman, apabila suatu permasalahan tidak didapatkan dalam al-Qur’an dan
Sunnah. Dan Mu’az pun menjawab ia akan berijtihad sendiri jika suatu
hukum tidak ditemukan dalam kedua sumber tersebut. Mendengar jawaban
tersebut Rasulullah berkomentar dengan mengatakan: “Segala puji bagi
Fiqih Kelas X 9
Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan dari Rasulullah” (HR.
Tirmidzi).
c) Fatwa
Fatwa yang mempunyai arti dari bahasa Arab, yaitu I%NO, yang berarti nasihat,
petuah, jawaban atau pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah
keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan
yang diakui otoritasnya, dan disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai
tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa
(mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa
tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.
Penggunaannya dalam kehidupan beragama di Indonesia, fatwa dikeluarkan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai suatu keputusan tentang persoalan
ijtihadiyah yang terjadi di Indonesia, guna dijadikan pegangan dalam
pelaksanaan ibadah umat Islam di Indonesia.
C. MADZHAB EMPAT
A. Madzhab Hanafiyyah
Mazhab Hanafi ialah salah satu mazhab fiqh dalam Islam Sunni. Mazhab ini
didirikan oleh Imam Abu Hanifah dan terkenal sebagai mazhab yang paling
terbuka kepada ide modern. Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan
orang Islam Sunni Mesir, Turki, anak-benua India, Tiongkok dan sebagian
Afrika Barat, walaupun pelajar Islam seluruh dunia belajar dan melihat
pendapatnya mengenai amalan Islam. Mazhab Hanafi merupakan mazhab
terbesar dengan 30% pengikutnya di seluruh dunia.
Biografi Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli
Abu Hanifah bin Nu'man bin Tsabit Al-Taimi Al-Kufi. Lahir di Irak pada tahun
80 Hijriah (699 M), tepat pada masa kekhalifahan Bani Umayyah, Abdul Malik
bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena
Fiqih Kelas X 10
kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia serta
menjauhi perbuatan dosa dan keji. Dan mazhab fiqihnya dinamakan Madzhab
Hanafi.
Gelar ini merupakan berkah dari doa Ali bin Abi Thalib r.a, dimana suatu
saat ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya (Zauti) untuk berziarah ke kediaman
Ali r.a yang saat itu sedang menetap di Kufa akibat pertikaian politik yang
mengguncang ummat islam pada saat itu. Ali r.a mendoakan agar keturunan
Tsabit kelak akan menjadi orang-orang yang utama di zamannya, dan doa itu
pun terkabul dengan hadirnya Imam Hanafi. Namun tak lama kemudian ayahnya
meninggal dunia.
Dengan segala kecemerlangan otaknya, pada masa remaja Imam Hanafi
telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang
berkaitan dengan hukum islam. Kendati beliau anak seorang saudagar kaya
namun beliau sangat menjauhi hidup mewah, begitu pun setelah beliau menjadi
seorang pedagang yang sukses, hartanya lebih banyak didermakan ketimbang
untuk kepentingannya sendiri.
Disamping kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga
mendalami ilmu tafsir, hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah
mengantarkannya sebagai ahli fiqh. Dan keahliannya itu diakui oleh ulama-
ulama di zamannya, seperti Imam Hammad bin Abi Sulaiman yang
mempercayakannya untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh kepada murid
muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’I, “Abu Hanifah
adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh.”
Karena kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum Islam, Imam
Hanafi kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung
para ahli fiqh untuk bermusyawarah tentang hukum-hukum Islam serta
menetapkan hukum-hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang-
undangan dan beliau sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum
yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu; 38 ribu diantaranya
berkaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.
Fiqih Kelas X 11
Metodologi Fiqh Abu Hanifah
Metode yang digunakan oleh madzhab Hanafi dalam penetapan hukum
(istinbat) Fiqh berdasarkan pada tujuh hal pokok:
a) Al Quran sebagai sumber dari segala sumber hukum.
b) Sunnah Rasul sebagai penjelasan terhadap hal-hal yang global yang ada
dalam al-Qur’an.
c) Fatwa sahabat (aqwalus shahabah), karena mereka semua menyaksikan
turunnya ayat dan mengetahui asbab nuzul-nya serta asbabul khuruj-nya
hadis dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabiin tidak memiliki
kedudukan sebagaimana fatwa sahabat.
d) Qiyas (analogi) yang digunakan apabila tidak ada nash yang sharih dalam
al-Qur’an, Hadis maupun aqwalus shahabah.
e) Istihsan, yaitu keluar atau menyimpang dari keharusan logika menuju
hukum lain yang menyalahinya dikarenakan tidak tepatnya qiyas atau qiyas
tersebut berlawanan dengan Nash.
f) Ijma’, yaitu kesepakatan para mujtahid dalam suatu kasus hukum pada suatu
masa tertentu.
g) ‘Urf, yaitu adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang
tidak ada nashnya dalam Al Quran, Sunnah dan belum ada prakteknya pada
masa sahabat.
Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al-
‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar.
B. Madzhab Malikiyyah
Mazhab Maliki adalah satu dari empat mazhab fiqih atau hukum Islam
dalam Sunni. Dianut oleh sekitar 15% umat Muslim, kebanyakan di Afrika
Utara dan Afrika Barat. Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas.
Mazhab ini kebanyakan dianut oleh penduduk Tunisia, Maroko, al-Jazair,
Mesir Atas dan beberapa daerah taslim Afrika. Mazhab ini menjadi dasar hukum
di Arab Saudi.
Fiqih Kelas X 12
Biografi Imam Malik
Imam malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin
Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-
Asbahi. Lahir di Madinah pada tahun 712-796 M. Berasal dari keluarga Arab
yang terhormat dan berstatus sosial yang tinggi, baik sebelum datangnya Islam
maupun sesudahnya. tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek
moyangnya menganut Islam mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir
adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun ke dua
Hijriah.
Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadis terpandang di Madinah. Oleh
sebab itu, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk
mencari ilmu, karena beliau merasa Madinah adalah kota sumber ilmu yang
berlimpah dengan ulama-ulama besarnya. Imam Malik menekuni pelajaran hadis
kepada ayah dan paman-pamannya. Beliau juga pernah berguru pada ulama-
ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nu’aim, Ibnu Syihab al-Zuhri, Abu Zinad,
Hasyim bin Urwa’, Yahya bin Said al-Anshari, Muhammad bin Munkadir,
Abdurrahman bin Hurmuz dan Imam Ja’far as-Shadiq.
Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan
dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat Khalifah, mulai dari al-Mansur, al-
Mahdi, Harun ar-Rasyid dan al-Makmun pernah jadi muridnya, bahkan ulama-
ulama besar seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba
ilmu darinya. Menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa murid Imam Malik
yang terkenal mencapai 1.300 orang. Ciri pengajaran Imam malik adalah
disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid terhadap gurunya.
Karya Imam malik terbesar adalah bukunya yang berjudul al-Muwatha’,
yaitu kitab fiqh yang berdasarkan himpunan hadis-hadis pilihan. Menurut
beberapa riwayat mengatakan, bahwa kitab al-Muwatha’ tersebut tidak akan ada
bila Imam Malik tidak dipaksa oleh Khalifah al-Mansur sebagai sanksi atas
penolakannya untuk datang ke Baghdad, dan sanksinya adalah mengumpulkan
hadis-hadis dan membukukannya. Awalnya Imam Malik enggan untuk
melakukannya, namun setelah dipikir-pikir tak ada salahnya melakukan hal
tersebut. Akhirnya lahirlah al-Muwatha’ yang ditulis pada masa khalifah
Fiqih Kelas X 13
Al-Mansur (754-775 M) dan selesai di masa khalifah al-Mahdi (775-785 M).
Semula kitab ini memuat 10.000 hadis, namun setelah diteliti ulang, Imam Malik
hanya memasukkan 1.720 hadis. Selain kitab tersebut, beliau juga mengarang
buku al-Mudawwanah al-Kubra.
Imam malik tidak hanya meninggalkan warisan buku, tapi juga mewariskan
Mazhab fiqihnya di kalangan sunni yang disebut sebagai mazhab Maliki.
Mazhab ini sangat mengutamakan aspek kemaslahatan di dalam menetapkan
hukum.
Metodologi Imam Malik
Mazhab ini berpegang pada :
a) Al-Qur'an
b) Hadits Rasulullah yang dipandang sah
c) Ijma' ahlul Madinah. Terkadang menolak hadits yang berlawanan atau
yang tak diamalkan ulama Madinah
d) Qiyas
e) Al-Maslahah al-Mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau
dilarang oleh dalil tertentu)
C. Madzhab Syafi’iyyah
Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-
Syafi’i. Lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriah (767-820 M). Berasal
dari keturunan bangsawan Quraisy dan masih merupakan keluarga jauh dari
Rasulullah SAW. Dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf
(kakek ketiga rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi
Thalib r.a.
Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah
menuju Palestina. Setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke
rahmatullah. Kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi
yang sangat prihatin dan seba kekurangan. Pada usia 2 tahun, ia bersama ibunya
kembali ke Mekkah dan di kota inilah Imam Syafi’i mendapat pengasuhan dari
ibu dan keluarganya secara lebih intensif.
Fiqih Kelas X 14
Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat al-Qur’an dengan
lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam al-Qur’an dalam perjalanannya dari
Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab al-Muwattha’ karangan
Imam Malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga dihafalnya di luar kepala.
Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di dusun Badui Bani
Hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali ke Mekkah dan
belajar fiqih dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah pada saat
itu, yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni. Kecerdasannya inilah yang
membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi
mufti kota Mekkah.
Namun demikian Imam Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu karena
semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum beliau
mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi’i begitu banyak
jumlahnya, sama dengan banyaknya para murid beliau.
Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun
beliau lebih dikenal sebagai ahli hadis dan hukum, karena inti pemikirannya
terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Karena pembelaannya yang besar
terhadap sunnah Nabi maka beliau digelari Nasuru Sunnah (Pembela Sunnah
Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat
tinggi, malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam Syafi’i
menyetarakan kedudukan sunnah dengan al-Qur’an dalam kaitannya sebagai
sumber hukum Islam. Karena itu, menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan
oleh rasulullah pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh
Nabi dari pemahamannya terhadap al-Qur’an. Selain kedua sumber tersebut (Al
Quran dan Hadis), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga
menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum islam.
Diantara karya karya Imam Syafi’i yaitu kitab al-Risalah, al-Umm yang
mencakup isi beberapa kitabnya. Selain itu juga buku al-Musnad yang berisi
tentang hadis-hadis Rasulullah yang dihimpun dalam kitab al-Umm serta ikhtilaf
al-hadis.
Fiqih Kelas X 15
D. Madzhab Hanabilah (Hanbali)
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal
bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin
Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa’labah adz-Dzuhli asy-
Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma’d
bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim. Ketika beliau
masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat
tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada
bulan Rabi’ul Awwal – menurut pendapat yang paling masyhur – tahun 164
H/780 M. Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun,
ketika beliau baru berumur tiga tahun.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu,
kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan
manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan
beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para
sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya. Setelah itu, ia mengunjungi para ulama
terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan
Madinah. Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah,
Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim dan Musa bin Tariq. Dari merekalah
Hanbali muda mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam dan bahasa. Karena
kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran dengan
baik.
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali
mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan
jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Menurut putra
sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di
luar kepala. Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali
dalam kitab karyanya al-Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits
yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang
meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat shahih dan hanya
sedikit yang berderajat dha’if.
Fiqih Kelas X 16
Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada
abad ke-6 H, madzhab ini berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi
pada abad ke-11 dan ke-12 H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu
Qayyim (w. 751 H). Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang
untuk memberikan perhatian pada fikih madzhab Hanbali, khususnya dalam
bidang muamalah. Kini, madzhab tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan
Timur Tengah. Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai lembaga
pendidikan keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain
Tafsir Al-Qur'an, An-Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur'an, At-Tarikh, Taat
ar-Rasul, dan al-Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad
bin Hanbal.
D. ITTIBA’, TAQLID, TARJIH DAN TALFIQ
1. Ittiba’
Ittiba’ adalah bentuk mashdar dari kata ittaba’a, yang berarti mengikuti,
menyusul, mencari, meneladani dan mencontoh. Dikatakan apabila ittiba’
kepada al-Qur’an berarti mengikuti dan mengamalkan kandungan al-Qur’an.
Dan ittiba’ kepada Rasul SAW berarti meneladani, mencontoh dan mengikuti
jejak Rasulullah.
Sedangkan menurut istilah syar’I, ittiba’ adalah meneladani dan mencontoh
Nabi SAW di dalam keyakinan, perkataan, perbuatan dan di dalam perkara-
perkara yang ditinggalkannya. Ittiba’ kepada Nabi SAW di dalam keyakinan
akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh Nabi SAW sesuai
dengan bagaimana beliau meyakininya – apakah merupakan kewajiban,
kebid’ahan ataukah merupakan pondasi dasar agama atau yang membatalkan
dan merusak kesempurnaannya – dengan alasan karena beliau meyakininya.
Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam perkataan akan
terwujud dengan melaksanakan kandungan dan makna-makna yang ada
padanya. Bukan dengan mengulang-ulang lafadz dan nashnya saja, tetapi dengan
mengamalkannya juga. Sebagai contoh sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
P�(�'�! Q%�5�N�;7�!�# � �5�6 %:(�'
Fiqih Kelas X 17
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Ittiba’ kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau.
Contoh untuk menjelaskan ittiba’ di dalam perbuatan; Jika kita ingin meneladani
Nabi SAW di dalam puasa beliau maka kita harus berpuasa sebagaimana tata
cara puasa yang dianjurkan oleh Nabi SAW, yaitu menahan diri dari segala hal
yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar shadiq sampai terbenamnya
matahari, dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2. Taqlid
Taqlid secara bahasa adalah meletakkan “qiladatun” (kalung) ke leher. Adapun
taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjah-nya
(dalilnya). Adapun pembagian taqlid serta penjelasan hukum setiap bagian itu
adalah sebagai berikut:
a. Taqlid orang yang memiliki kemampuan berijtihad kepada seorang ulama
setelah tampak pada dirinya kebenaran berdasarkan dalil-dalil yang ada
dari Nabi saw, maka dalam hal ini tidak diperbolehkan baginya untuk
bertaqlid kepada orang yang bertentangan dengan apa yang telah
didapatnya itu (berupa kebenaran) berdasarkan ijma’ ulama.
b. Taqlid orang yang telah memenuhi kemampuan berijtihad kepada seorang
mujtahid lain sebelum dirinya mendapatkan hukum syar’i melalui
ijtihadnya, maka diperbolehkan baginya untuk bertaqlid kepada mujtahid
lainnya, sebagaimana dikatakan Syafi’i, Ahmad dan sekelompok ulama
dan ini merupakan pendapat yang paling tepat, dikarenakan dirinya
memiliki kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’i maka dirinya
dibebankan untuk melakukan ijtihad untuk mengetahui hukum syar’i di
dalam permasalahan itu.
c. Taqlid seorang yang tidak memiliki kemampuan untuk menelaah dalil-
dalil dan mengeluarkan hukum-hukum darinya kepada seorang yang alim
yang telah memenuhi kemampuan ijtihad terhadap dalil-dalil syar’I, maka
ini diperbolehkan.
Fiqih Kelas X 18
# þθ è=t↔ó¡ sù Ÿ≅ ÷δr& Ì ò2 Ïe%!$# βÎ) óΟçFΖä. Ÿω šχθßϑn=÷è s? :��*�<R)S( Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu
tiada Mengetahui. (QS. Al Anbiya : 7)
d. Taqlid kepada orang-orang yang menentang syariat Islam, seperti nenek
moyang, tuan-tuan, pemimpin-pemimpin ashobiyah atau mengikuti hawa
nafsu, maka taqlid yang seperti ini adalah diharamkan menurut ijma’
ulama. Allah SWT berfirman:
# sŒÎ)uρ Ÿ≅ŠÏ% ãΝßγs9 (#θãèÎ7®? $# !$ tΒ tΑ t“Ρ r& ª!$# (#θä9$s% ö≅t/ ßìÎ6 ®KtΡ !$tΒ $ uΖø‹x! ø9 r& ϵ ø‹n=tã !$tΡ u!$t/# u 3 öθ s9 uρr& šχ%x.
öΝèδäτ!$ t/# u Ÿω šχθè=É) ÷è tƒ $ \↔ø‹x© Ÿωuρ tβρ߉ tGôγtƒ :�2T��)USL( Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?" (QS. Al Baqarah : 170)
3. Tarjih
Menurut bahasa tarjih adalah membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan.
Menurut istilah ushul fiqh, tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua dalil
yang dzanni (dugaan) untuk dapat diamalkan.
Berdasarkan definisi di atas, diketahui bahwa dua dalil yang bertentangan dan
akan di-tarjih salah satunya itu sama-sama dzanni (masih samar). Berbeda
dengan itu, menurut kalangan Hanafiyyah, dua dalil yang bertentangan yang
akan di-tarjih salah satunya itu bisa jadi sama-sama qath’I (pasti), atau sama-
sama dzanni (samar). Oleh sebab itu, mereka mendefinisikan tarjih sebagai
upaya mencari keunggulan salah satu dari dua dalil yang sama atas yang lain.
Dalam definisi itu tidak dibatasi dengan dua dalil yang dzanni saja.
4. Talfiq
Ialah mengikut pendapat (bertaklid) satu imam dalam satu masalah, kemudian
bertaklid kepada imam lain dalam masalah lain. Contoh, mengambil wudhu
mengikuti cara Hanafi dan shalatnya mengikuti cara Syafiii. Ataupun, pada hari
ini dia shalat mengikuti pendapat Syafi’i dengan membaca bismillah, esoknya
Fiqih Kelas X 19
dia shalat mengikut pendapat Hanafi dengan tidak membaca bismillah. Hal
inilah yang dikatakan sebagai talfiq.
Kebanyakkan ulama membagi talfiq menjadi dua macam:
a. Mengambil pendapat yang paling ringan di antara mazhab-mazhab dalam
beberapa masalah yang berbeda. Contoh: Berwudu mengikuti madzhab
Hanafi dan shalat mengikuti madzhab Maliki.
Apa hukumnya? Menurut para ulama, talfiq dengan cara begini itu
dibenarkan, karena dia mengamalkan pendapat yang berbeda dalam dua
masalah yang berbeda, wudhu dan shalat.
Talfiq begini dibenarkan dalam bidang ibadah dan muamalat sebagai
keringanan dan rahmat dari Allah Taala terhadap umat Muhamad.
Contoh lain, Ali berwudhu menurut syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh
Syafi’i. Pada waktu lain dia berwudhu menurut syarat-syarat yang
ditetapkan oleh Hanafi.
Talfiq seperti ini dibenarkan karena wudhu pertama yang menurut syarat
Syafi’i telah selesai dan digunakan untuk satu ibadah hingga selesai.
Kemudian wudhu keduanya menurut Hanafi juga selesai dan digunakan
untuk tujuan tertentu hingga selesai. Jelasnya ia dilakukan, sekalipun
masalahnya sama tetapi dalam peristiwa yang berbeda.
b. Mengambil pendapat yang paling ringan di antara mazhab-mazhab dalam
satu masalah. Talfiq begini tidak benarkan.
Contoh, Ali bernikah tidak menggunakan wali karena ikut Hanafi. Dia tidak
memakai dua saksi karena mengikuti pendapat Maliki.
Pernikahan seperti ini adalah batal/tidak sah.
Fiqih Kelas X 20
BAB II
THAHARAH (BERSUCI)
A. PENGERTIAN DAN DALILNYA
Pengertian Thaharah
Secara etimologi, kata thaharah berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata
�2�=�E V �2�=�W�7– >2 �=�E– >��#��=�E yang berarti suci, lawan dari haid. Seorang wanita
dikatakan suci apabila dia sudah selesai masa haidnya. Pengertian kata �2�=�E ini
tergambar dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
) ...�,�2�=�E��O �>;����3 �-�N���6 �" Z�, :�?[�\]( Jika kamu junub (berhadats besa) maka bersucilah… (QS. Al-Maidah: 6)
Kesucian ini tidak hanya berarti suci dari haid saja, tetapi juga suci dari najis dan
kotoran bathin, seperti kesucian diri dari perbuatan keji dan kesucian dari akhlak yang
tercela.
Menurut istilah fiqh, thaharah adalah:
���̂ ��� �_����̀ ��� �_�O�# a�2:;N�� � + 5 �b�� �_�O�# �,�! ���5��� � Ac�$���d �,�! Ae�?�� �� � ��f����g�� � �5�* O ����,
Menghilangkan hadats atau najis yang menghalangi shalat dan ibadah-ibadah
sejenisnya dengan air, atau menghilangkan hukumnya (hadats dan najis) dengan tanah
Dengan kata lain, thaharah merupakan keadaan yang terjadi sebagai akibat
hilangnya hadats atau najis. Oleh karena itu, bersuci itu ada dua bagian yaitu:
1. Bersuci dari hadats (sesuatu yang ada (menempel) pada badan). Seperti mandi,
mengambil air wudhu dan tayamum.
2. Bersuci dari najis (sesuatu yang menempel pada badan, pakaian dan tempat).
Dalil Thaharah
Banyak sekali dalil-dalil yang menganjurkan atau memerintahkan untuk bersuci,
terutama dalam firman Allah SWT. Di antaranya adalah:
Surat al-Baqarah ayat 222:
Fiqih Kelas X 21
���7 2�=�W�N�5�� :h �i �, � �j ��%�;N� :h �i � � �" Z ) :�2T��kkk( Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan membersihkan
diri (bersuci). (QS. Al-Baqarah: 222)
Surat al-Maidah ayat 6:
..�,�2�=�E��O �>;����3 �-�N���6 �" Z�,) . :�?[�\]( Jika kamu junub (berhadats besa) maka bersucilah… (QS. Al-Maidah: 6)
B. ALAT BERSUCI
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa bersuci bisa dikatakan sah apabila
dilakukan air dan tanah. Oleh karena itu, air dan tanah merupakan alat atau sarana untuk
bersuci. Air dipergunakan untuk berwudhu atau mandi junub, sedangkan tanah dapat
dipergunakan untuk bertayamum (sebagai ganti dari wudhu atau mandi ketika tidak
ditemukannya air). Dan kedua sarana ini digunakan untuk bersuci dari hadats kecil atau
hadats besar.
Air dan Macam-Macamnya
Air sebagai sarana thaharah terbagi ke dalam beberapa macam, yaitu:
1. Air yang suci dan mensucikan (air mutlak). Yaitu air yang suci zatnya dan dapat
mensucikan hadats atau najis, seperti air hujan, air sumur, air salju, air mata air,
air sungai, air laut dan air embun. Berkaitan dengan air jenis ini, Allah SWT
berfirman:
$ uΖø9 t“Ρ r&uρ z ÏΒ Ï!$yϑ¡¡9 $# [!$ tΒ # Y‘θ ßγsÛ ) :"�.2l�MK( Dan Dia (Allah SWT) yang telah menurunkan air yang suci dari langit. (QS. Al-
Furqon: 48)
ãΑ Íi”t∴ ãƒuρ Νä3ø‹n=tæ z ÏiΒ Ï!$ yϑ¡¡9 $# [ !$tΒ Νä. t ÎdγsÜ ã‹Ïj9 ϵ Î/ ) :&�l<RUU( Dan (Dia) menurunkan bagimu air dari langit supaya kamu menyucikan
dengannya. (QS. Al-Anfal: 11)
�� �� �! � 9 �f �2 �;7 �2 �� �# 1 �P �� �� �� �+ �! �" ��� � m �' �)( �� �� �( �* + �, �$ �( �- �. �&� �f ... �% �W� �= �% �# �� �n� �4
�o :� �� �* �N; �N; �+ (p*8' q7?� rf Ir�s� &�., c�5t 4,#) Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi SAW bersabda: … dia (laut) suci airnya
dan halal bangkainya. (HR. al-Khamsah)
Fiqih Kelas X 22
Air akan tetap suci-mensucikan apabila air tersebut tidak mengalami perubahan
dengan kehilangan keadaan atau sifatnya, baik perubahan pada salah satu dari
sifat air yang tiga (warna, rasa dan bau). Apabila mengalami perubahan maka
air tersebut sudah berubah dari bentuk air yang suci-mensucikan. Perubahan itu
adalah sebagai berikut:
a. Berubah dengan sebab tempatnya. Seperti air yang tergenang atau mengalir
di batu belerang.
b. Berubah karena tidak mengalir, seperti air kolam.
c. Berubah karena suatu yang terjadi padanya, seperti berubah karena ikan
atau lainnya.
d. Berubah dengan sebab tanah yang suci atau segala perubahan yang sukar
memeliharanya, seperti berubah oleh sebab daun-daunan yang jatuh dari
pohon yang berdekatan dengan tempat air tersebut.
2. Air suci tapi tidak mensucikan. Adalah air yang zatnya suci tetapi tidak sah
untuk dipakai bersuci. Yang termasuk ke dalam bagian ini adalah:
a. Air yang telah berubah salah satu sifatnya dengan sebab bercampur dengan
suatu benda yang suci (selain dari perubahan di atas), seperti air kopi, air teh
dan sebagainya.
b. Air sedikit yang kurang dari dua qullah1, sudah terpakai untuk mengangkat
hadats atau menghilangkan hukum najis, sedangkan air tersebut tidak
berubah sifatnya dan tidak pula bertambah timbangannya.
c. Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari
lekukan pohon kayu (air nira), air kelapa dan lain sebagainya.
3. Air najis. Air yang termasuk bagian ini ada dua macam, yaitu:
a. Sudah berubah salah satu sifatnya dengan kejatuhan najis. Air ini tidak
boleh dipakai lagi, baik itu airnya banyak atau sedikit, hukumnya sama
seperti najis.
1 Banyaknya air dua qullah apabila tempatnya persegi empat, maka panjang 1 ¼ hasta, lebar 1 ¼ hasta
dan dalamnya 1 ¼ hasta. Apabila tempatnya bundar maka garis tengahnya 1 hasta, dalamnya 2 ¼ hasta
dan keliling 3 1/7 hasta.
Fiqih Kelas X 23
b. Air najis, tetapi tidak berubah salah satu sifatnya. Kalau air ini sedikit
(kurang dua qullah) maka air ini tidak boleh dipakai. Tapi apabila air itu
banyak (dua qullah atau lebih), selama air itu tidak berubah sifat-sifatnya,
maka air itu hukumnya suci-mensucikan. Sabda Rasulullah SAW:
�. �&� �# �$ �% �& � �' �)( �� �� �( �* + �, �$ �( �- Z : �u �6 �"� �� �5 ��� �;. �(; �;N �j ��v �;7 �� �w �� �+ �B �P �� 4,#)(c�5t
Rasulullah SAW bersabda: apabila air itu cukup dua qullah tidaklah
dinajisi sesuatu apapun. (HR. Lima ahli hadits)
4. Air yang makruh dipakai untuk bersuci. Seperti air terjemur oleh matahari (air
musyammas) dalam bejana (selain bejana emas dan perak), air ini makruh
dipakai untuk badan dan pakaian karena dapat merusaknya. Kecuali air yang
terjemur di tanah sawah, kolam dan tempat-tempat terbuka yang bukan bejana
yang mungkin akan berkarat.
Bersuci dengan Tanah
Tanah merupakan salah satu alat atau sarana untuk bersuci selain air. Tanah
dapat digunakan untuk bersuci apabila di sekeliling kita tidak ditemukan air untuk
bersuci, baik itu untuk berwudhu ataupun mandi junub. Seseorang yang bersuci dengan
tanah disebut orang yang bertayamum. Allah SWT berfirman:
βÎ)uρ ΛäΨ ä. # yÌ ó£∆ ÷ρ r& 4’n?tã @ x!y™ ÷ρ r& u!$ y_ Ó‰tn r& Νä3Ψ ÏiΒ z ÏiΒ ÅÝÍ←!$ tó ø9 $# ÷ρr& ãΛäó¡yϑ≈s9 u!$ |¡ ÏiΨ9$# öΝn=sù (#ρ߉Åg rB [!$tΒ (#θßϑ£ϑ u‹tFsù
# Y‰‹Ïè|¹ $ Y7ÍhŠsÛ (#θßs |¡øΒ $$ sù öΝä3 Ïδθã_ âθÎ/ öΝä3ƒÏ‰ ÷ƒr& uρ ) :�����Mx( Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau ingin buang air besar atau menyentuh
wanita, lalu kamu tidak memperoleh air maka bertayamumlah dengan tanah yang
bersih. Sapulah muka dan kedua tanganmu. (QS. An-Nisa: 43)
�� �� �! � 9 �! �� ��� �c �! �" �� � m� �' �)( �� �� �( �* + �, �$ �( �- �. �&� �3 : g �( � �� �;� � � �R �# �y �6 :( ��= �� �� w >? �, �;z �2 �;� �;N �= � �E �= �% >#(?{! 4,#)
Dari Abu Umamah bahwa Nabi SAW bersabda: dijadikanlah bagi kita bumi dan semua
isinya sebagai tempat sujud dan tanahnya suci. (HR. Ahmad)
Mengenai tayammum akan dijelaskan pada bab tersendiri.
Fiqih Kelas X 24
C. HADATS DAN NAJIS
Hadats
Hadats terdiri dari dua macam, yaitu:
a. Hadats Kecil, yaitu suatu keadaan seseorang yang dapat disucikan dengan
cara berwudhu atau tayamum (sebagai ganti dari wudhu’). Orang yang tidak
berwudhu disebut berhadats kecil.
b. Hadats Besar, yaitu suatu keadaan seseorang yang harus disucikan dengan
cara mandi junub atau tayamum (sebagai ganti dari mandi). Seperti yang
terjadi pada orang yang sedang junub dan wanita haid.
Najis
Benda-benda najis yang harus dihindari dan disucikan baik ketika shalat, makan,
minum atau lain sebaginya, adalah sebagai berikut:
- Air kencing (bawl)
- Kotoran (ghaith)
- Air mani
- Anjing dan babi
- Darah
- Minum keras
- Bangkai
- Orang kafir, baik ahlul kitab atau bukan, Nashibi (orang yang memusuhi
keluarga Rasulullah dan para pengikutnya), Khariji (kaum Khawarij)
Jika pakaian, kain atau bejana dan yang lainnya terkena najis maka wajib
disucikan oleh air yang suci-mensucikan.
Apabila seseorang telah buang air kecil, maka dianjurkan untuk meng-istibra’-
kan tempat keluar air kencing, kemudian dibersihkan dengan air sebanyak dua kali. Dan
apabila telah buang air besar, maka tempat keluar harus dicuci hingga bersih.
Kaifiat (cara) Mensucikan Najis
Cara untuk mensucikan benda yang terkena najis dibagi tiga berdasarkan bentuk
najisnya, yaitu
Fiqih Kelas X 25
1. Najis Mughaladhah (berat). Adalah sesuatu yang terkena anjing. Cara
mensucikannya adalah dibasuh tujuh kali, dan satu kali di antara tujuh
basuhan itu hendaklah airnya dicampur dengan tanah. Rasulullah SAW
bersabda:
+(�|7 "! h(b� +*O }�, uZ -6?�! ��<Z #%=E :-($, +*(� � )(' m�� &�.(-(�� 4,#) as��� �f 0 ,! ~2� _�$
Cara mensucikan bejana apabila dijilat anjing hendaklah dibasuh tujuh kali
dan hendaklah dicampur dengan tanah (pada salah satu tujuh basuhan
tersebut). (HR. Muslim).
2. Najis Mukhaffafah (ringan), seperti kencingnya anak laki-laki yang belum
makan-makanan selain dari susu ibunya. Cara mensucikan najis ini adalah
dengan memercikkan air atas benda yang terkena najis tersebut, meskipun
tidak mengalir. Adapun apabila mensucikan kencingnya anak perempuan
yang belum makan makan-makanan selain dari susu ibunya adalah
membasuh sampai air tersebut mengalir di atas benda yang terkena najis itu,
sehingga hilangnya zat dan sifat najis tersebut, sebagaimana mencuci
kencing orang dewasa.
3. Najis Mutawasitthah (pertengahan), yaitu najis yang berbeda dengan dua
macam najis di atas. Najis ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Najis Hukmiyah, yaitu najis yang tidak lagi nyata zatnya, baunya,
rasanya dan warnanya. Seperti kencing yang sudah kering, sehingga
sifat-sifat hilang. Cara mensucikannya cukup dengan mengalirkan air di
atas benda yang terkena najis tersebut.
b. Najis ‘Ainiyah, yaitu najis yang masih ada zat, warna, rasa atau baunya;
kecuali warna atau bau yang sangat sukar hilang, maka sifat ini
dimaafkan. Cara mensucikannya adalah dengan menghilangkan zat,
rasa, warna dan baunya najis tersebut.
Ada beberapa jenis najis yang dimaafkan dalam shalat, yaitu:
a. Darah yang melekat di badan atau pakaian, baik karena penyakit atau luka biasa,
tetapi keduanya tetap dianjurkan untuk dibersihkan dari badan dan pakaian.
Tolak ukur pemaafan terhadap darah tersebut adalah: pertama, sulitnya
Fiqih Kelas X 26
mensucikan anggota badan atau mengganti pakaian yang terkena darah; kedua,
tidak menyulitkan tetapi memberatkan kepada pelakunya. Contoh, darah wasir
atau luka dalam apabila muncul kepermukaan.
b. Lebar darah hanya selebar bulatan (ujung) jari telunjuk, dan darah tersebut darah
haid, nifas, istihadhah, darah bangkai atau darah binatang buas. Apabila letak
darah tersebut terpencar-pencar, baik di badan atau pakaian, maka dapat
dimaafkan apabila jumlah keseleruhannya tidak melebihi lebar bulatan itu.
c. Apabila darah tersebut melekat pada pakaian, dimana shalat akan dianggap sah
tanpa mengenakannya, atau shalat dianggap batal apabila mengenakannya.
d. Benda najis yang sudah menyatu dalam tubuh manusia. Seperti darah yang
sudah ditransfusikan, arak yang sudah diminum, benang najis (saat operasi) yang
sudah dijahitkan.
e. Pakaian orang yang tugasnya selalu merawat bayi, baik dia selaku ibu bayi
tersebut atau sebagai juru rawat (baby sitter). Hal ini diperbolehkan, walaupun
untuk lebih utamanya dia mandi.
D. Darah yang Keluar Dari Rahim Wanita (Haid, Istihadhah dan Nifas)
HAID
Darah Haid (menstruasi) adalah darah yang keluar bersamaan dengan dorongan
dan rasa panas. Darah tersebut datang pada wanita setiap bulannya (datang
bulan) dengan warna merah agak kehitam-hitaman. Adapun lamanya antara tiga
sampai sepuluh hari. Apabila kurang dari tiga hari atau lebih dari sepuluh tidak
lagi disebut darah haid.
��;7! �2G� 42�6!, ��;7! c�^� �*o "%b7 �� �.! ,�^�� +*(� ����� ���� &�., Imam as-Shadiq berkata: masa paling singkat haid adalah tiga hari dan paling
lama ialah sepuluh hari. Apabila kurang satu jam dari tigas hari dinamakan
istihadhah dan tidak dinakaman haid lagi. Begitu pula halnya kalau lebih dari
sepuluh hari.
ISTIHADHAH
Darah istihadhah adalah darah yang keluar selain pada hari-hari haid dan tidak
memiliki sifat-sifat seperti darah haid. Keluarnya darah tersebut tidak memiliki
Fiqih Kelas X 27
batas waktu, adapun warnanya juga merah kekuning-kuningan dan dapat terjadi
kapan saja.
Wanita yang mengeluarkan darah istihadhah dalam ukuran banyak dia wajib
mandi lima kali dalam sehari pada setiap akan melakukan shalat (apabila dia
memisahkan setiap shalat pada waktunya masing-masing) atau tiga kali dalam
sehari (apabila dia menjama’ antara dhuhur dengan ashar dan maghrib dan isya).
Kalau yang keluar darah istihadhah berukuran sedang, dia harus mandi sekali
sehari sebelum melakukan shalat shubuh, dan setelah mandi harus memkai kapas
pembalut kemudian mengambil wudhu.
Adapun bagi wanita yang mengeluarkan darah istihadhah sedikit, hanya
diharuskan memperbaharui wudhu setiap akan melakukan shalat dengan
didahului membersihkan darah yang ada dan mengganti kapas pembalutnya.
Jika dilihat dari bentuk keluarnya, ketiga jenis darah istihadhah ini dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu: pertama, keluarnya darah hanya sesaat; kedua,
keluarnya darah terus menerus tidak ada henti.
Untuk macam yang pertama, cara yang harus dilakukan sebelum melakukan
shalat adalah menunggu sampai berhentinya darah yang keluar. Setelah itu
wudhu (untuk yang sedikit), atau mandi sekali sehari pada waktu fajar (untuk
yang sedang), atau tiga kali sehari (untuk yang banyak). Kemudian
membalutnya dengan kapas baru kemudian mengerjakan shalat.
Bagi yang mengalami bentuk kedua, diharuskan wudhu (bagi yang sedikit), atau
mandi (bagi yang banyak dan sedang) pada saat masuknya waktu shalat.
Kemudian diwajibkan meletakkan air di sampingnya saat melakukan shalat,
guna untuk mengulang wudhu setiap darah keluar dipertengahan shalat, dengan
tetap melanjutkan shalatnya (baik keadaannya maupun bilangan rakaatnya).
Misalnya, ketika saat berdiri atau sujud darah keluar, dia harus berwudhu
terlebih dahulu kemudian kembali berdiri dan sujud (untuk melanjutkan shalat).
Begitu pula hukumnya bagi orang yang terkena penyakiy diare atau kencing
yang berkesinambungan (beser).
NIFAS
Fiqih Kelas X 28
Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan, warnanya sepertinya darah
segar (merah kekuning-kuningan) yang dimulai dari keluarnya janin. Adapun
jangka waktunya ada yang singkat (yaitu saat keluarnya janin tidak disertai
dengan keluarnya darah, dalam hal ini wanita tersebut boleh langsung mandi
besar), dan paling lamanya adalah sepuluh hari. Untuk lebih baiknya setelah hari
kesepuluh dia merangkap dua pekerjaan, yaitu:
Pertama, sebagai seorang yang sedang nifas, dengan tidak menyentuh al-Qur’an
atau berdiam di masjid.
Kedua, sebagai orang yang sedang istihadhah, dengan tetap melakukan shalat
lima waktu sampai hari kedelapan belas. Setelah itu apabila ia masih
mengeluarkan darah, dia hanya melakukan pekerjaan sebagai orang istihadhah
(wajib shalat dan boleh menyentuh al-Qur’an atau berdiam di masjid). Jadi pada
hari kesebelas sampai kedelapan belas dia tetap diharuskan shalat seperti
biasanya, tetapi dia dilarang untuk menyentuh tulisan-tulisan al-Qur’an atau
berdiamdi masjid.
qb� <�6 �� �=��;7! �^�� �� �bz ���l�� �^�� +*(� ����� ���� &�.c1�8N�\ �5� �5gz, ��|z � (�=/*� j� �!) �=*O
Imam as-Shadiq berkata: wanita-wanita yang sedang nifas (bersalin) dilarang
mengerjakan shalat selama masa haidnya (tiga sampai sepuluh hari). Setelah
dia diwajibkan mandi sebagai mandi janabat, namun jika darah masih keluar
maka diharuskan baginya untuk mengerjakan pekerjaan yang dibolehkan bagi
orang yang sedang istihadhah (tanpa melakukan shalat).
Fiqih Kelas X 29
BAB III
TATA CARA BERSUCI
A. ISTINJA’
Secara etimologi, istinja’ berasal dari kata �% �w���, yang artinya adalah benda yang
keluar dari perut. Kata )�w���;N �$ berarti membasuh dengan air atau menyapu dengan batu.
Secara terminologi, istinja’ adalah menghilangkan najis yang keluar dari qubul
atau dubur, baik dengan membasuh maupun dengan menyapu atau menyeka. Secara
khusus membersihkan najis dengan batu atau benda-benda keras lainnya disebut
istijmar.
Hukum istinja’ adalah wajib, demikian menurut pendapat jumhur ulama.
Kewajiban itu terjadi apabila najis keluar melewati tempatnya (qubul atau dubur).
Dengan kata lain istinja’ diwajibkan setelah buang air kecil dan besar. Alasannya
adalah:
t“ ô_ ”9 $#uρ öàf ÷δ$$sù :2�?\)( Dan segala kotoran itu hendaklah engkau jauhi. (QS. Al-Mudatstsir: 5)
hWN�*(O �[�|� �Z -6?�! hfu uZ :&�. -($, +*(� � )(' m�� "! cG[�� ��
(�,� %�! 4,#) +�� ��� ���O #�w�! c�^��
Dari Aisyah ra. bahwa Nabi SAW bersabda: apabila salah seorang kamu pergi
buang air besar, maka hendaklah dibaguskan (dihilangkan) dengan tiga batu.
Sesungguhnya hal itu memadai. (HR. Abu Daud)
Berdasarkan ayat dan hadits di atas, kewajiban istinja’ hanya ketika terjadi pada
waktu buang air kecil atau besar. Tetapi, hukumnya menjadi sunnah muakkad apabila
membersihkannya bagi laki-laki maupun perempuan ketika hendak melaksanakan
Fiqih Kelas X 30
shalat, meskipun ia tidak buang air kecil atau besar, karena seseorang tidak ada yang
mengetahui secara pasti apa yang terjadi pada kedua saluran itu.
Membasuh atau menyapu kedua tempat keluar najis itu tidak ada ketentuan
jumlahnya; yang menjadi tujuan dari membasuh atau menyapu itu adalah tercapainya
kebersihan. Hal itu dapat tercapai dengan satu, dua atau tiga kali sapuan, kalau perlu
lebih dari itu lebih baik.
Hukum ber istinja’ dengan tulang dan tahi binatang , menurut para fuqaha,
adalah makruh tahrim. Sesuai sabda Nabi SAW:
4,#) �2g� ,! -�g� p5�N7 "! -($, +*(� � )(' m�� )� � ?�� �� 2��3 ��
(?3,�%�!, -(��, ?{!
Dari Jabir bin Abdullah, Nabi SAW melarang seseorang untuk mengusap
(beristinja’) dengan tulang atau tahi binatang. (HR. Ahmad, Muslim dan Abu
Daud)
Begitu juga makruh hukumnya (makruh tahrim) ber istinja’ dengan batu bata,
tembikar, kaca, makanan manusia atau hewan dan semua benda-benda yang bermanfaat.
Rukun, Sunnah dan Makruh Istinja’
Rukun istinja’ adalah sebagai berikut:
1. Mustanji’, yaitu orang yang ber-istinja’.
2. Mustanji’ bih, yaitu alat untuk ber-istinja’. Seperti air dan batu.
3. Mustanji’ minhu, yaitu najis yang keluar dari dua jalan.
4. Qubul atau dubur yang akan dibasuh
Sunnah ber istinja’ adalah sebagai berikut:
1. Ber-istinja’ dengan batu atau daun-daunan (benda yang keras dan dapat
menyerap) yang tidak terhormat.
2. Membersihkan sebanyak tiga kali (bagi golongan Hanafiyah dan
Malikiyah).
3. Tidak ber-istinja’ dengan tangan kanan kecuali ada udzur.
Fiqih Kelas X 31
4. Istinja’ di tempat yang tertutup.
5. Orang yang ber-istinja’ dengan air hendaklah menggosokkan tangannya ke
tanah kemudian dibasuh dengan sabun atau yang lainnya.
6. Menyeka tempat duduk sebelum berdiri.
7. Mendahulukan ber-istinja’ pada qubul kemudian dubur.
Beberapa hal yang memakruhkan istinja’ adalah sebagai berikut:
1. Menghadap dan membelakangi kiblat.
2. Buang air kecil atau besar ke dalam air, sekalipun air itu mengalir.
3. Istinja’ di pinggir sungai, sumur, kolam, mata air, di bawah pohon kayu
yang berbuah atau tanaman lainnya dan di tempat-tempat peristirahatan.
4. Istinja’ di samping masjid, musholla, kuburan dan di jalan yang dilalui
manusia.
5. Buang air kecil atau besar dalam keadaan berdiri atau tidak berpakaian
tanpa udzur.
6. Istinja’ di tempat mandi atau beruduk
B. ISTIJMAR
Istijmar adalah ber-istinja’ dengan menggunakan batu atau benda-benda sejenis
lainnya, dengan sekurang-kurangnya tiga buah batu atau tiga penjuru dari sebuah batu
dengan syarat najis yang hendak dibersihkan itu tidak kering; najis tidak merebak ke
bagian lain; najis tidak bercampur dengan najis yang lain. Apabila tidak dapat
memenuhi syarat-syarat tersebut, maka hendaklah menggunakan air.
Sabda Rasulullah SAW:
(-(��, I#�J�� 4,#) 2z, 25wN�*(O -6?�! 25wN$ uZ
Apabila seseorang dari kamu ber-istinja’ dengan batu (istijmar), maka
hendaklah ganjil. (HR. Bukhari-Muslim)
e^� �� �.�� Pw�N�< "! -($, +*(� � )(' � &%$# �;<�� :"�5($ &�.
(-(�� 4,#) #�w�!
Fiqih Kelas X 32
Salman bekata: Rasulullah SAW telah melarang kita ber-istinja’ dengan kurang
dari tiga buah batu. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini disebutkan bahwa ber-istijmar sekurang-kurangnya dengan tiga
buah batu atau satu batu yang mempunyai tiga sudut. Yang dimaksud dengan batu di
sini adalah setiap benda yang keras, suci dan kesat (kasar), seperti kayu, tembikar dan
sebagainya. Adapun benda yang licin, seperti kaca, tidak sah buat istinja’, karena tidak
dapat menghilangkan najis. Demikian pula benda-benda yang dihormati, seperti
makanan dan sebagainya, karena mubadzir.
C. WUDHU
Wudhu secara etimologi berarti kebersihan ( �c�O������). Kata �%1�%��, dengan
dhammah ,%� adalah nama bagi suatu perbuatan, yaitu menggunakan air bagi anggota
badan tertentu. Sedangkan �%1�%�, dengan fathah ,%� adalah nama air yang dipakai
untuk berwudhu.
Secara terminologi, Wahbah Zuhaily, seorang ahli fiqh, mendefinisikan wudhu
dengan:
F2G� � c'%�� cl' )(� cg�#R ��/�R � #%=E ��� &�5gN$Z
Memakai air yang suci pada anggota badan yang empat (muka, dua tangan,
kepala dan dua kaki) berdasarkan sifat yang ditentukan oleh syara’
Pada dasarnya hukum wudhu adalah wajib, dan disyari’atkan berdasarkan
firman Allah SWT:
Fiqih Kelas X 33
$pκ š‰ r'¯≈ tƒ š Ï%©!$# (#þθ ãΨtΒ#u #sŒÎ) óΟçF ôϑè% ’ n< Î) Íο 4θ n=¢Á9 $# (#θ è=Å¡ øî$$sù
öΝ ä3 yδθ ã_ãρ öΝä3tƒ ω ÷ƒ r&uρ ’ n< Î) È,Ïù# tyϑø9 $# (#θ ßs |¡øΒ$#uρ öΝ ä3Å™ρ âãÎ/
öΝ à6 n=ã_ ö‘r&uρ ’ n<Î) È÷t6 ÷è s3 ø9 $# 4 :�?[�\)]( Hai orang-orang yang beriman! Jika kamu hendak mendirikan shalat maka
basuhlah mukamu, tanganmu sampai siku, dan sapulah kepala dan kakimu
sampai mata kaki. (QS. Al-Maidah: 6)
Fardhu Wudhu
Berdasaarkan surat al-Maidah ayat 6, yang menjadi fardhu wudhu hanya empat,
yaitu:
1. Membasuh muka. Membasuh adalah mengalirkan air ke anggota badan yang
dibasuh dengan menyiramnya, paling kurang dua kali siram. Batas
membasuh muka adalah antara tempat yang biasa tumbuh rambut di dahi
sampai dagu, atau mulai dari atas kening sampai ke bawah dagu. Dan batas
lebarnya antara dua anak telinga kiri dan kanan.
2. Membasuh dua tangan hingga siku. Menurut jumhur ulama, hukum
membasuh siku adalah wajib seperti halnya membasuh pergelangan. Karena
kata �Z dalam ayat mengandung arti _� (bersamaan). Dengan demikian
pengertian ayat adalah “basuhlah tanganmu bersamaan dengan siku”. Orang
yang terpotong tangannya sampai siku, maka wajib membasuh ujung tulang
lengannya (siku) yang masih ada. Tetapi kalau yang terpotong itu di atas
siku, maka disunnahkan membasuh lengannya yang masih tersis, jumhur
ulama berpendapat bahwa bila seseorang memakai cincin, maka wajib
menggerak-gerakkannya pada saat membasuh, berdasarkan hadits berikut:
� )(' m�� "�6 _O# �� �� +3�� �� 4,#) +N��� ��2� �;1%z uZ -($, +*(� (�W.#?�,
Fiqih Kelas X 34
Dari Ibu Rafi’, bahwa Nabi SAW apabila berwudhu beliau menggerakkan
cincinnya. (HR. Ibn Majah dan al-Daruquthni)
3. Menyapu kepala. Yang termasuk kepala adalah tempat tumbuh rambut yang
biasa mulai dari atas kening sampai kepada tengkuk (bagian belakang
kepala), termasuk ke dalamnya pelipis yang terletak antara mata dan telinga.
Rasulullah bersabda:
��.�O +7?*� +$!# p�� -($, +*(� � )(' � &%$# "! ?7� �� �?�� ��
u � +$!# �?T� !?� 2��!, �5� +�� !?� Ir� "�b\ �Z ���# � 4�l. �Z �5� hf
(c��5� 4,#)
Dari Abdullah bin Zaid, bahwa Rasulullah SAW menyapu kepalanya
dengan kedua kedua tangannya, lalu beliau mengedapan dan
mengebelakangkannya yang dimulai dari kepala bagian depan. Kemudian
beliau melangsungkan ke tengkuknya dan mengembalikannya ke tempat
semula. (HR. al-Jama’ah)
4. Membasuh dua kaki hingga mata kaki. Nabi SAW bersabda:
2�! �56 +$!# p�` � ...&�. -($, +*(� )(' � &%$# "! c��� �� ,25� ��
2�! �56 jN�gb� �Z +*�?. ��|7 � �(?{! 4,#) �
Dari Amr bin ‘Absah…. Kemudian dia menyapu kepalanya sebagaimana
diperintah Allah, kemudian dia membasuh kedua kakinya hingga mata kaki
sebagaimana diperintahkan Allah. (HR. Ahmad)
Sunnah Wudhu
1. Membaca bismillah pada permulaan wudhu
2. Membasuh dua telapak tangan sampai pergelangan
3. Berkumur-kumur
4. Memasukkan air ke hidung (istinsyaq)
5. Menyapu seluruh kepala
6. Menyapu kedua telinga luar dan dalam
Fiqih Kelas X 35
7. Mendahulukan anggota badan kanan daripada kiri
8. Membasuh tiap-tiap anggota tiga kali
9. Berturut-turut antara antara anggota satu dengan lainnya
Batal Wudhu
Hal-hal yang dapat membatalkan wudhu seseorang adalah sebagai berikut:
1. Keluar sesuatu dari dua pintu atau salah satu dari keduanya
2. Hilang akal
3. Bersentuh kulit laki-laki dengan kulit perempuan
4. Menyentuh kemaluan atau pintu dubur dengan telapak tangan (baik
kemaluan sendiri maupun kemaluan orang lain)
D. MANDI JUNUB
Mandi menurut bahasa adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia
dengan cara mengalirkan air ke badannya. Dalam bahasa Arab disebut dengan al-gusl
( �� ���|��). Pengertian al-gusl juga mencakup kepada air yang dipergunakan untuk mandi.
Adapun menurut istilah, mandi adalah menggunakan (mengalirkan) air yang suci
untuk seluruh badan dengan cara yang ditentukan oleh syara’.
Para ahli fiqh telah menetapkan beberapa hal yang mewajibkan mandi, yaitu:
1. Jima’ (bersetubuh), disebut juga dengan bertemu dua khitan (laki-laki dan
perempuan)
2. Keluar air mani (sperma). Baik keluarnya sebab mimpi atau sebab lain, dengan
sengaja atau tidak, dengan perbuatan sendiri atau bukan.
3. Meninggal dunia. Fardhu kifayah hukumnya bagi orang Islam yang masih
hidup untuk memandikan orang Islam yang meninggal dunia. Kecuali orang
yang mati syahid.
4. Haid.
5. Nifas.
E. TAYAMUM
Fiqih Kelas X 36
Secara etimologi, tayamum berarti menyengaja. Dalam terminologi fiqh
diartikan dengan menyampaikan tanah ke muka dan dua tangan sebagai ganti dari
wudhu dengan syarat-syarat tertentu.
Tayamum disyari’atkan berdasarkan firman Allah SWT:
βÎ)uρ Λ äΨä. #yÌ ó£∆ ÷ρ r& 4’ n?tã @x!y™ ÷ρ r& u !$y_ Ó‰ tnr& Νä3ΨÏiΒ z ÏiΒ ÅÝÍ←!$tó ø9 $#
÷ρ r& ãΛäó¡ yϑ≈s9 u!$ |¡ÏiΨ9 $# öΝ n=sù (#ρ ߉ Åg rB [!$tΒ (#θ ßϑ£ϑu‹tF sù #Y‰‹Ïè |¹ $Y7ÍhŠsÛ
(#θ ßs |¡øΒ$$sù öΝ ä3 Ïδθ ã_ âθ Î/ ö :�����)Mx( Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau datang kepadamu buang air
atau menyentuh wanita, lalu kamu tidak memperoleh air maka
bertayamumlah dengan tanah yang bersih. Sapulah muka dan kedua
tanganmu. (QS. An-Nisa: 43)
Sebab-sebab yang Membolehkan Tayamum
Ada beberapa sebab yang membolehkan tayamum adalah sebagai berikut:
1. Udzur (halangan) karena sakit. Kalau ia memakai air akan bertambah
sakitnya atau lambat sembuhnya.
2. Karena dalam perjalanan.
3. Karena tidak ada air.
Syarat Tayamum
Berikut adalah syarat-syarat tayamum.
1. Sudah masuk waktu shalat.
2. Sudah diusahakan untuk mencari air tetapi tidak ditemukan air tersebut,
sedangkan waktu shalat sudah tiba.
3. Dengan tanah atau debu yang suci.
4. Menghilangkan najis. Berarti sebelum melakukan tayamum hendaklah ia
bersuci dari najis.
Rukun Tayamum
Fiqih Kelas X 37
Berikut rukun (fardhu) tayamum.
1. Niat.
2. Menyapu muka dengan tanah atau debu.
3. Menyapu kedua tangan sampai siku dengan tanah atau debu.
4. Tertib.
Fiqih Kelas X 38
BAB IV
SYAHADATAIN
Syahadat merupakan asas dan dasar bagi rukun Islam lainnya. Syahadat
merupakan ruh, inti dan landasan seluruh ajaran Islam. Syahadat sering juga disebut
dengan Syahadatain ( �j�;z �?�=�B), karena terdiri dari dua kalimat, yaitu kalimat 0 "! ?=B!
� 0Z +�Z (syahadat tauhid) dan kalimat � &%$# ?5� "! ?=B! (syahadat Rasul).
A. SYAHADAT TAUHID
Kalimat pertama dalam kalimat syahadat menunjukkan pengakuan tauhid.
Artinya, seorang muslim hanya mempercayai dan meyakini bahwa Allâh sebagai satu-
satunya Tuhan di muka bumi ini. Allah adalah Tuhan dalam arti sesuatu yang menjadi
motivasi atau menjadi tujuan seseorang. Jadi dengan mengikrarkan kalimat pertama,
seorang muslim memantapkan diri untuk menjadikan hanya Allâh-lah sebagai tujuan,
motivasi, dan jalan hidup baginya.
Kalau kita tinjau makna kalimat � 0Z +�Z 0 dalam syahadat tauhid, sebenarnya
mengandung dua makna, yaitu makna penolakan terhadap segala bentuk persembahan
selain Allah; dan makna menetapkan bahwa satu-satunya Tuhan yang wajib disembah
hanyalah Allah semata. Berkaitan hal ini Allah SWT berfirman:
óΟn=÷æ$$sù …çµ ¯Ρr& Iω tµ≈ s9Î) �ω Î) ª!$# :?5�)U�( Maka ketahuilah bahwasannya tidak ada tiada Tuhan selain Allah (QS.
Muhammad : 19)
Berdasarkan ayat ini, maka perlu diketahui bahwa makna syahadat tauhid adalah
wajib dan harus didahulukan daripada rukun-rukun Islam lainnya. Disamping itu Nabi
Muhammad SAW pun menyatakan bahwa “Barang siapa yang mengucapkan lafadz 0
� 0Z +�Z dengan ikhlas maka akan masuk ke dalam surga” (HR. Ahmad)
Fiqih Kelas X 39
Kalimat � 0Z +�Z 0 bermanfaat bagi orang yang mengucapkannya selama tidak
membatalkannya dengan aktivitas kesyirikan.
B. SYAHADAT RASUL
Kalimat kedua menunjukkan pengakuan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan
Allâh. Oleh karena itu, kalimat kedua ini dinamakan sebagai syahadat Rasul. Dengan
mengikrarkan kalimat ini seorang muslim memantapkan diri untuk meyakini bahwa
ajaran Allâh seperti yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW. Seperti
misalnya meyakini hadist-hadis Rasulullah SAW. Termasuk di dalamnya adalah
mempercayai dan meyakini bahwa tidak ada nabi lagi yang diutus setelah Nabi
Muhammad SAW.
C. KANDUNGAN KALIMAT SYAHADAT
Dua kalimat syahadat mempunyai beberapa kandungan di dalamnya, di
antaranya adalah sebagai berikut:
� Ikrar. Dalam kalimat syahadat mengandung makna ikrar, yaitu suatu
pernyataan seorang muslim mengenai apa yang diyakininya. Ketika kita
mengucapkan kalimat syahadat, maka kita memiliki kewajiban untuk
menegakkan dan memperjuangkan apa yang telah kita ikrarkan itu.
� Sumpah. Syahadat juga mempunyai makna sebagai sumpah. Seseorang yang
bersumpah, berarti dia bersedia menerima akibat dan risiko apapun dalam
mengamalkan sumpahnya tersebut. Artinya, seorang muslim itu telah siap dan
bertanggung jawab dalam tegaknya Islam dan penegakan ajaran Islam.
� Janji. Syahadat juga berarti janji. Artinya, setiap muslim adalah orang-orang
yang berjanji setia untuk mendengar dan taat dalam segala keadaan terhadap
semua perintah Allah SWT, yang terkandung dalam al-Qur'an maupun
Sunnah Rasul.
D. MAKNA SYAHADAT BAGI MUSLIM
Bagi penganut agama Islam, Syahadat memiliki makna sebagai berikut:
Fiqih Kelas X 40
1. Pintu masuk menuju islam. Syarat sahnya iman adalah dengan
mengucapkan, meyakini dan mengamalkan dua kalimat syahadat.
2. Intisari ajaran islam. Pokok dari ajaran Islam adalah syahadatain,
sebagaimana ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu.
3. Pondasi iman. Syahadat merupakan pondasi bagi bangunan, yang bernama,
iman dan Islam.
4. Pembeda antara muslim dengan kafir. Hal ini berkenaan dengan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban syariat yang akan diterima atau ditanggung oleh
seseorang setelah dia mengucapkan dua kalimat syahadat.
5. Jaminan masuk surga. Allah SWT telah memberi jaminan surga kepada
orang yang telah mengucapkan, meyakini dan mengamalkan dua kalimat
syahadat.
E. SYARAT SYAHADAT
Syarat syahadat adalah sesuatu yang tanpa keberadaannya maka yang
disyaratkannya itu tidak sempurna. Jadi jika seseorang mengucapkan dua kalimat
syahadat tanpa memenuhi syarat-syaratnya, maka syahadat itu tidak sah.
Syarat syahadat ada tujuh, yaitu:
1. Pengetahuan. Seseorang yang bersyahadat harus memiliki pengetahuan
tentang syahadat yang akan diucapkannya. Dia wajib memahami isi dari dua
kalimat yang dinyatakannya itu, serta bersedia menerima konsekuensi
ucapannya.
2. Keyakinan. Seseorang yang bersyahadat harus mengetahui dan meyakini
dengan sempurna makna dari syahadat tanpa sedikitpun keraguan terhadap
makna tersebut.
3. Keikhlasan. Ikhlas berarti bersihnya hati dari segala sesuatu yang
bertentangan dengan makna syahadat. Ucapan syahadat yang bercampur
dengan riya atau kecenderungan tertentu tidak akan diterima oleh Allah SWT.
4. Kejujuran. Kejujuran adalah kesesuaian antara ucapan dan perbuatan.
Pernyataan syahadat harus dinyatakan dengan lisan, diyakini dalam hati, lalu
diaktualisasikan dalam amal perbuatan.
Fiqih Kelas X 41
5. Kecintaan. Kecintaan berarti mencintai Allah dan Rasul-Nya serta orang-
orang yang beriman. Cinta juga harus disertai dengan amarah yaitu
kemarahan terhadap segala sesuatu yang bertentangan dengan syahadat. Atau
dengan kata lain, semua ilmu dan amal yang menyalahi sunnah Rasulullah
SAW.
6. Penerimaan. Penerimaan berarti penerimaan hati terhadap segala sesuatu
yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Dan hal ini harus membuahkan
ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT, dengan jalan meyakini bahwa tak
ada yang dapat menunjuki dan menyelamatkannya kecuali ajaran yang datang
dari syariat Islam. Artinya, bagi seorang muslim tidak ada pilihan lain kecuali
Al Qur'an dan Sunnah Rasul.
7. Ketundukan. Ketundukan yaitu tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah
dan Rasul-Nya secara lahiriyah. Artinya, seorang muslim yang bersyahadat
harus mengamalkan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-
Nya. Perbedaan antara penerimaan dengan ketundukan yaitu bahwa
penerimaan dilakukan dengan hati, sedangkan ketundukan dilakukan dengan
fisik. Oleh karena itu, setiap muslim yang bersyahadat selalu siap
melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupannya.
Fiqih Kelas X 42
BAB V
KEWAJIBAN SHALAT
A. Pengertian dan Sejarah Shalat
Pengertian Shalat
Arti shalat menurut bahasa adalah do’a dengan kebaikan. Allah SWT berfirman:
Èe≅|¹uρ öΝ Îγ ø‹n=tæ ( ) :c�%N�ULx( Dan bershalatlah untuk mereka (QS. Al-Taubah: 103)
Sedangkan pengertian shalat menurut istilah para ahli fiqh adalah
Ac�'�%����� �� [�2�G � -�* ( ���N�� � �c�5�N�N��� �� � �b�N�� � �c�8�N�N �l�� �&��g�;O�!�, �&�%�;.�!
Perkataan (bacaan-bacaan) dan perbuatan (gerakan-gerakan) yang diawali
dengan takbir dan diakhiri (ditutup) dengan salam dengan syarat-syarat
tertentu.
Pengertian ini mencakup semua shalat yang diawali dengan takbiratul ihram dan
diakhiri dengan salam. Oleh karena itu sujud tilawah tidaklah termasuk dalam
pengertian ini, karena sujud ini dilakukan pada waktu mendengar ayat sajdah yang
menyebabkan seseorang melakukan sujud tanpa menggunakan takbir dan salam.
Menurut Malikiyah dan Hanabilah, karena mereka mendefinisikan shalat dengan
pengertian bahwa shalat merupakan qurbah fi’liyah (mendekatkan diri kepada Allah
dalam bentuk tindakan atau perbuatan) yang mempunyai takbiratul ihram dan salam,
atau sujud saja.2
Sejarah Diwajibkannya Shalat
2 Yang dimaksud dengan qurbah adalah sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan
yang dimaksud dengan fi’liyah adalah mencakup segala tindakan atau perbuatan anggota badan seperti
ruku’ dan sujud; dan perbuatan lisan seperti membaca dan bertasbih; serta perbuatan hati seperti
khusyu’ dan khudu’ (sikap tunduk). Hanafiyah dan Syafi’iyah tidak berbeda pendapat dengan mereka
dalam makna ini. Akan tetapi perbedaan mereka hanyalah dalam penamaan sujud sebagai shalat
syar’iyah. Dan perkara itu tidaklah sulit (tidak prinsip).
Fiqih Kelas X 43
Shalat merupakan suatu perbuatan untuk memuliakan Allah yang menjadi suatu
tanda syukur kaum muslimin sebagai seorang hamba dengan gerakan dan bacaan yang
telah diatur khusus oleh Nabi Muhammad Saw yang tidak boleh dirubah kecuali ada
ketentuan-ketentuan yang memang memperbolehkannya. Misalnya jika sakit boleh
shalat dengan cara duduk, berbaring hingga hanya dengan kedipan mata saja.
Perintah shalat sendiri sudah harus diperkenalkan sejak dini kepada generasi
muda Islam agar kelak dikemudian hari mereka tidak lagi merasa canggung, malu atau
malah tidak bisa melakukannya.
Dalam hadis Nabi SAW, dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya,
berkata :
Rasulullah Saw bersabda: ‘Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat
disaat mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka jika tidak mengerjakannya
saat mereka berumur 10 tahun.’ (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Dari Hadis di atas bahwa mendirikan shalat sudah ditekankan mulai umur tujuh
tahun. Dan bila sampai usia 10 tahun belum juga melaksanakannya, maka kita
seyogyanya mulai memberi penegasan berupa pukulan sampai mereka mau
mendirikannya. Tentu saja pukulan yang dimaksud disini tidak dengan tujuan menyakiti
apalagi sampai pada tingkat penganiayaan, namun sekedar memberi pengajaran dan
peringatan agar mau dan tidak malas untuk shalat.
Perintah tentang diwajibkannya mendirikan shalat tidak seperti Allah
mewajibkan zakat dan lainnya. Perintah mendirikan shalat melalui suatu proses luar
biasa yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, yaitu melalui Isra dan Mi’raj, dimana
proses ini tidak dapat dipahami hanya secara akal melainkan harus secara keimanan.
Sehingga dalam sejarah digambarkan, setelahnya Nabi melaksanakan Isra dan Mi’raj,
umat Islam ketika itu terbagi tiga golongan, yaitu yang secara terang-terangan menolak
kebenarannya itu, yang setengah-tengah dan yang yakin sekali kebenarannya.
Dilihat dari prosesnya yang luar biasa maka shalat merupakan kewajiban yang
utama, yaitu mengerjakan shalat dapat menentukan amal-amal yang lainnya, dan
mendirikan sholat berarti mendirikan agama.
Allah SWT berfirman:
Fiqih Kelas X 44
(#θ ßϑŠÏ% r& uρ nο 4θ n=¢Á9 $# (#θ è?#uuρ nο4θ x. ¨“9$# (#θ ãè x. ö‘$#uρ yìtΒ tÏè Ï.≡§9 $# ) :�2T��43( Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang – orang
yang ruku. (QS. Al-Baqarah: 43)
ÉΟÏ%r& uρ nο 4θ n=¢Á9 $# ( 6χÎ) nο 4θ n=¢Á9 $# 4‘sS ÷Ζ s? Ç∅ tã Ï!$t± ósx! ø9 $# Ìs3Ζßϑ ø9$#uρ 3 ) :c��b<RM(
Dan kerjakanlah shalat, sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan
keji dan munkar. (QS. Al-Ankabut: 45)
B. WAKTU-WAKTU SHALAT SHALAT FARDHU
Waktu shalat merupakan salah satu dari bagian syarat-syarat shalat. Oleh
karenanya seorang mukallaf tidak wajib melaksanakan shalat kecuali apabila telah
masuk waktu shalat. Apabila waktu shalat telah tiba maka syar’I memerintahkan agar
segera melaksanakan shalat tepat pada awal waktunya.
¨βÎ) nο 4θ n=¢Á9 $# ôMtΡ%x. ’ n?tã šÏΖ ÏΒ÷σ ßϑ ø9$# $Y7≈ tF Ï. $Y?θ è% öθ ¨Β ):����� ULx( Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-
orang yang beriman. (QS. An-Nisa: 103)
Sabda Rasulullah SAW:
(q7?o) � >= N�.�, &�,�! � ���̂ ��� &��5���R� ���/�O�!
Perbuataan yang paling afdhal adalah (mendirikan) shalat pada awal
waktunya.
ÉΟ Ï%r& nο4θ n=¢Á9 $# Ï8θä9 à$ Î! ħ ôϑ¤±9 $# 4’n< Î) È,|¡xî È≅ø‹©9 $# tβ#uöè% uρ Ìôf x! ø9 $# ( ¨βÎ) tβ#uöè% Ìôf x!ø9 $# šχ% x. #YŠθ åκ ô¶tΒ ):�2$� SK(
Fiqih Kelas X 45
Dirikanlah shalat ketika (telah) tergelincirnya matahari sampai gelap malam
dan (dirikan pula shalat) fajar (shubuh). Sesungguhnya shalat fajar itu
disaksikan (oleh malaikat). (QS. Al-Isra’: 78)
Dari potongan ayat surat al-Isra’ di atas sangat jelas bahwa dimulainya waktu
mendirikan shalat adalah saat telah tergelincirnya matahari sampai malam hari dan
diperintahkan pula untuk melaksanakan shalat shubuh ketika fajar mulai menyingsing.
Berikut adalah waktu-waktu shalat fardhu yang telah ditentukan:
a. Waktu shalat Dhuhur: ketika tergelincirnya matahari, sehingga bayangan suatu
benda akan sama panjangnya dengan benda tersebut.
b. Waktu shalat Ashar: sejak habisnya waktu dhuhur (ketika bayangan suatu benda
tidak lagi sama ukurannya dengan benda tersebut) sampai terbenamnya
matahari.
c. Waktu shalat Maghrib: sejak terbenamnya matahari di ufuk barat sampai
hilangnya mega merah.
d. Waktu shalat Isya’: sejak hilangnya mega merah hingga terbitnya fajar shadiq.
e. Waktu shalat Shubuh: ketika terbitnya fajar shodiq di ufuk timur sampai
terbitnya matahari.
C. HIKMAH SHALAT
Shalat adalah kewajiban umat Islam yang paling utama setelah mengucapkan
dua kalimat syahadat. Shalat merupakan pembeda antara muslim dan non-muslim.
Disyari’atkannya shalat dalam rangka mensyukuri nikmat Allah SWT yang sangat
banyak dan mempunyai manfaat yang bersifat religius (keagamaan) dan mengandung
unsur pendidikan bagi individu dan masyarakat.
Dari sudut religius shalat merupakan hubungan langsung antara hamba dengan
Khaliq-nya ( � ���� ���� ��) yang di dalamnya terkandung kenikmatan munajat, pernyataan
‘ubudiyah (penyembahan), penyerahan segala urusan kepada Allah, keamanan dan
ketenteraman serta perolehan keuntungan. Di samping itu, shalat merupakan suatu cara
untuk memperoleh kemenangan serta menahan diri berbuat kejahatan dan kesalahan.
Allah SWT berfirman:
Fiqih Kelas X 46
ô‰ s% yx n=øùr& tβθãΖ ÏΒ÷σ ßϑø9$# � tÏ%©! $# öΝèδ ’Îû öΝÍκ ÍE Ÿξ|¹ tβθãè ϱ≈ yz �
):"%�� \ 1−2( Sungguh menang (bahagia) orang-orang yang berimana yang khusyu’ dalam
shalat. (QS. Al-Mu’minun: 1-2)
Dalam suatu sabda Nabi Muhammad SAW dinyatakan:
�� �� Z �c�g �5����, , �H�5��t �~�%�(��� : �&��. �-�(�$�, +�*�(�� � � �)(�' � m��� �"�! ��2�7�2�f 9�! ��
�� �¡�|�;z �v ��;� ���=�;� �;*�;� � �5 � ���#��l�6 c�g �5���(-(�� 4,#) �2 [��� �b
Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: shalat yang
lima, (shalat) jum’at sampai (shalat) jum’at (berikutnya) dapat menahan dosa-
dosa yang diperbuat di antaranya selama tidak mengerjakan dosa-dosa besar.
(HR. Muslim)
Secara individu shalat merupakan pendekatan diri kepada Allah SWT,
menguatkan jiwa dan keinginan, semata-mata mengagungkan Allah SWT, bukan
berlomba-lomba untuk dan memperturutkan hawa nafsu dalam mencapai kemegahan
dan mengumpulkan harta. Di samping itu, shalat merupakan peristirahatan diri dan
ketenangan jiwa sesudah melakukan kesibukan dalam menghadapi aktivitas dunia.
(#θ ãΖŠÏè tF ó™ $#uρ Î� ö9¢Á9 $$Î/ Íο 4θ n=¢Á9 $#uρ 4 $pκ ¨ΞÎ)uρ îο u�! Î7s3 s9 �ωÎ) ’ n?tã tÏè ϱ≈ sƒø:$#
) :�2T��M( Dan minta pertolonganlah dengan kesabaran dan shalat. Sesungguhnya shalat
itu sangat berat kecuali bagi orang yang khusyu’. (QS. Al-Baqarah: 45)
Shalat mengajar seseorang untuk berdisiplin dan mentaati berbagai peraturan
dan etika dalam kehidupan dunia. Hal ini terlihat dari penetapan waktu shalat yang
harus dipelihara oleh setiap muslim dan tata tertib yang terkandung di dalamnya.
Dengan demikian orang yang melakukan shalat akan memahami peraturan, nilai-nilai
Fiqih Kelas X 47
sopan santun, ketenteraman dan mengkonsentrasikan pikiran pada hal-hal yang
bermanfaat.
Dari segi sosial masyarakat, shalat merupakan pengakuan aqidah setiap anggota
masyarakat dan kekuatan jiwa mereka yang berimplikasi pada persatuan dan kesatuan
umat. Persatuan dan kesatuan ini menumbuhkan hubungan sosial yang harmonis dan
kesamaan pikiran dalam menghadapi segala problema kehidupan sosial
kemasyarakatan.
Fiqih Kelas X 48
BAB VI
TATA CARA SHALAT
A. SYARAT WAJIB DAN SAH SHALAT
Para ulama membagi syarat shalat menjadi dua macam, yaitu syarat wajib dan
syarat sah shalat. Syarat wajib adalah syarat yang menyebabkan seseorang wajib
melaksanakan shalat; Sedangkan syarat sah shalat adalah syarat yang menjadikan shalat
seseorang diterima secara syara’, di samping adanya kriteria lain seperti rukun. Berikut
adalah syarat wajib dan sah-nya shalat yang dijelaskan secara rinci:
Syarat Wajib Shalat
Syarat wajib shalat adalah sebagai berikut:
1. Islam.
2. Baligh. Walaupun anak kecil tidak diwajibkan untuk shalat, namun mereka
tetap disunnahkan mengerjakan shalat dalam rangka untuk membiasakan
apabila ia sudah baligh. Bahkan ketika seorang anak tersebut sudah
memasuki usia sepuluh tahun masih enggan melaksanakan shalat Rasulullah
membolehkan untuk memukul anak tersebut dengan tidak
membahayakannya. Rasulullah SAW bersabda:
-f, �^���� -6�0,! ,2� :&�. �-�(�$�, +�*�(�� � � �)(�' m�� "! 25� �� � ?�� ��
_3�/\ � -=�*� %.2O, ,j�$ 2G� ��;��! -f, �=*(� -f%�21, ,j�$ _�$ ��;��!
(-6�o, �,� %�!, ?{! 4,#)
Dari Abdullah bin ‘Amr ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda: Suruhlah
anak-anak kamu melaksanakan shalat pada umur tujuh tahun, dan pukullah
mereka pada umur sepuluh tahun (bila masih enggan) dan pisahkanlah
tempat tidurnya. (HR. Ahmad, Abu Daud dan al-Hakim)
3. Berakal.
Fiqih Kelas X 49
Syarat Sah Shalat
Adapun syarat sah shalat adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui waktu shalat. Karena shalat harus dilaksanakan tepat pada
waktunya. Allah SWT berfirman:
¨βÎ) nο 4θ n=¢Á9 $# ôMtΡ% x. ’ n?tã šÏΖ ÏΒ÷σ ßϑ ø9 $# $Y7≈ tF Ï. $Y?θ è% öθ ¨Β ) :�����
ULx( Sesungguhnya shalat bagi orang-orang yang beriman mempunyai ketentuan
(ketepatan) waktu. (QS. An-Nisa: 103)
2. Suci dari hadats kecil dan besar. Rasulullah SAW bersabda:
7 0 :&�. �-�(�$�, +�*�(�� � � �)(�' m�� "! +�� � P1# 25� �� �� � ��T
(I#�J�� 0Z c��5� 4,#) .#%=E �|� �^'
Dari Ibn Umar ra. bahwa Nabi SAW bersabda: Allah tidak akan menerima
shalat seseorang yang tidak suci. (HR. al-Jama’ah kecuali al-Bukhari)
3. Suci badan, pakaian dan tempat dari najis hakiki.
4. Menutup aurat. Seseorang yang shalat disyaratkan menutup aurat, baik
sendiri dalam keadaan terang maupun sendiri dalam keadaan gelap. Allah
SWT berfirman:
(#ρ ä‹ è{ ö/ä3 tGt⊥ƒ Η y‰Ζ Ïã Èe≅ä. 7‰ Éf ó¡ tΒ ) :¢2�RxU( Ambillah (pakailah) perhiasaanmu (pakaianmu) pada setiap masjid
(shalat). (QS. Al-A’raf: 31)
5. Menghadap kiblat. Allah SWT berfirman:
Fiqih Kelas X 50
ô ÏΒuρ ß]ø‹ym |Mô_ tyz ÉeΑuθ sù y7yγ ô_ uρ tôÜx© ω Éf ó¡ yϑø9 $# ÏΘ#tysø9 $# 4 ß] øŠ ymuρ $tΒ óΟçFΖ ä. (#θ —9 uθ sù öΝ à6yδθ ã_ ãρ …çν tôÜx© :�2T��)UL(
Dan walau darimanapun engkau keluar, maka hendaklah engkau hadapkan
mukamu ke arah Masjidil Haram, dan walau dimanapun kamu berada maka
hendaklah kamu hadapkan muka-mukamu ke arahnya. (QS. Al-Baqarah:
150)
6. Niat.
B. RUKUN SHALAT
Rukun shalat adalah bagian-bagian dari pelaksanaan shalat yang apabila
sebagian dari padanya hilang (tidak dilaksanakan) maka secara otomatis shalat tersebut
tidak sah. Berikut adalah pemaparan tentang rukun shalat menurut pendapat masing-
masing madzhab yang empat.
1. Madzhab Hanafi (Hanafiyah)
Rukun-rukun shalat yang mereka sepakati ada empat perkara, dimana rukun-
rukun ini merupakan hakikat shalat. Yang artinya apabila seseorang
meninggalkan satu di antara empat rukun tersebut di saat ia mampu
melakukannya, maka ia tidak disebut melaksanakan shalat dan tidak pula
sebagai seorang yang sedang shalat (mushalli). Rukun-rukun tersebut adalah:
1) Berdiri
2) Ruku’
3) Sujud
4) Bacaan
2. Madzhab Syafi’I (Syafi’iyah)
Mereka menyebutkan bahwa jumlah rukun shalat sebanyak 13, yang terbagi ke
dalam dua bagian yang bersifat qauliyah (bacaan, terdapat lima rukun) dan
fi’liyah (gerakan, terdapat delapan rukun). Berikut adalah rinciannya:
Fiqih Kelas X 51
� Bersifat Qauliyah (bacaan)
a) Takbiratul ihram
b) Membaca surat al-Fatihah
c) Tasyahud
d) Shalawat atas Nabi Muhammad SAW
e) Salam yang pertama
� Bersifat Fi’liyah (gerakan)
a) Niat
b) Berdiri (bagi yang mampu dalam shalat fardhu)
c) Ruku’
d) I’tidal (bangkit dari ruku’)
e) Sujud pertama dan kedua
f) Duduk di antara dua sujud
g) Duduk terakhir
h) Tertib
Thuma’ninah merupakan syarat yang terdapat pada ruku’, I’tidal, sujud dan
duduk. Menurut pendapat yang rajih (kuat), thuma’ninah harus ada, walaupun ia
bukan merupakan rukun tambahan.
3. Madhzab Maliki (Malikiyah)
Mereka berpendapat bahwa rukun shalat itu ada 15 perkara, yaitu
a) Niat
b) Takbiratul ihram
c) Berdiri bagi yang mampu
d) Membaca surat al-Fatihah
e) Berdiri untuk membaca surat al-Fatihah dalam surat fardhu
f) Ruku’
g) Bangkit dari ruku’
h) Sujud
i) Bangkit dari sujud
j) Salam
Fiqih Kelas X 52
k) Duduk sekedarnya
l) Thuma’ninah (menenangkan diri dalam setiap perpindahan gerak dalam
shalat)
m) I’tidal (tegak) dalam masing-masing ruku’ dan sujud
n) Tertib
o) Niat bagi makmum untuk mengikuti imam
4. Madzhab Hambali (Hanabilah)
Mereka berpendapat bahwa jumlah rukun shalat sebanyak empat belas, yaitu:
a) Berdiri dalam shalat fardhu
b) Takbiratul ihram
c) Membaca surat al-Fatihah
d) Ruku’
e) Bangkit dari ruku’
f) I’tidal (tegak)
g) Sujud
h) Bangkit dari sujud
i) Duduk antara dua sujud
j) Tasyahud akhir
k) Duduk untuk tasyahud akhir dan dua salam
l) Thuma’ninah dalam setiap rukun yang bersifat fi’liyah
m) Tertib dalam melaksanakan rukun shalat
n) Mengucapkan salam
C. HAL-HAL YANG DISUNNAHKAN DALAM SHALAT
Ada beberapa perkara yang disunnahkan dalam shalat, di antaranya adalah
sebagai berikut:
1. Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram sampai ujung jari sama
tingginya dengan telinga dan telapak tangan setinggi bahu serta keduanya
dihadapkan ke kiblat.
2. Mengangkat kedua tangan ketika akan ruku’, berdiri dari ruku’ dan ketika
berdiri dari tasyahud awal, dengan cara seperti di atas.
Fiqih Kelas X 53
3. Meletakkan kedua tangan di bawah dada. Menurut sebagian ulama yang lain
diletakkan di bawah pusar. Rasulullah SAW bersabda:
4?7 )(� �5*� 4?7 _1%O �-�(�$�, +�*�(�� � � �)(�' m�� _� *(' 2w� �� �7, ��
(c �̀� �� 4,#) 4#?' )(� I2�*�
Dari Wail bin Hujrin, saya shalat bersama Rasulullah SAW, dan beliau
meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya dan (diletakkan) di atas dada.
(HR. Ibnu Khuzaimah)
4. Melihat ke tempat sujud (ketika tasyahud), selain pada waktu membaca: "! ?=B!
� 0Z +�Z 0, karena ketika itu hendaknya melihat ke telunjuknya.
5. Membaca do’a iftitah sesudah takbiratul ihram dan sebelum membaca al-
Fatihah. Bacaannya adalah:
�� �T< -=(� ,a2|\, �2G\ j� ~?��� �56 ��7�W� j�, �*� ?��� -=(�
£(���� ��7�W� �� �(�C! -=(� ,H<?� �� �*�R a%�� )T;�7 �56 ��7�Wt
(-(��, I#�J�� 4,#) �¤�, ��;\,
Ya Allah, jauhkanlah antaraku dan kesalahanku sebagaimana Engkau telah
menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari
kesalahanku sebagaimana Engkau membersihkan kain putih dan dari kotoran.
Ya Allah, basuhlah kesalahanku dengan air es dan air embun. (HR. Bukhari-
Muslim)
Selain bacaan di atas baca pula bacaan di bawah ini:
Fiqih Kelas X 54
"Z .j62G\ �� �<! �� , �5(�� �l*�� y#R, ~%5�� 2WO Ir(� P=3, =3,
�� �<!, ~2�! ¥�r�, +� ¥72B 0 j\�g� a# � )z�¦, ��*�, )b�<, )z^'
(-(�� 4,#) .j5(��
Aku menghadapkan mukaku ke hadapan Yang Menjadikan langit dan bumi
dengan tunduk menyerahkan diri. Aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku
adalah milik Allah yang menguasai seluruh alam, yang tidak bersekutu pada-
Nya. Dan dengan itu aku diperintah dan aku termasuk orang-orang yang
menyerah. (HR. Muslim)
6. Membaca ‘amin’ setelah membaca al-Fatihah. Rasulullah bersabda:
�5O j�§ &%T7 ����, j�§ &%Tz cb[^\ "�O j�§ %��TO j��/� 0, ���� &�. uZ
(�����, ?{! 4,#) .+�<u �� �?Tz �� 2lC cb[^\ j��z +;�*��z ¨O,
Apabila imam berkata “Waladh-dhallin” maka hendaklah kamu berkata pula
“Amin”. Maka sesungguhnya malaikat berkata pula “Amin” dan imam juga
berkata “Amin”. Maka barangsiapa yang (berkata) “Amin” bersamaan dengan
“Amin”-nya malaikat, maka diampuni dosanya yang telah lalu. (HR. Ahmad
dan Nasai)
7. Membaca surat atau ayat al-Qur’an (bagi imam atau orang yang shalat sendiri)
setelah membaca al-Fatihah di dua rakaat pertama. Pada rakaat pertama surat
atau ayat yang dibaca hendaknya lebih panjang dari yang dibaca pada rakaat
kedua.
8. Mengeraskan bacaan pada waktu shalat shubuh dan pada dua rakaat pertama
shalat maghrib dan isya. Begitu juga pada shalat jum’at, hari raya, tarawih dan
witir di bulan ramadhan.
9. Meletakkan kedua telapak tangan di atas lutut ketika ruku’.
Fiqih Kelas X 55
10. Membaca tasbih tiga kali ketika ruku’. Lafadznya adalah: (-(�� 4,#) ��©�# �"��8���$
-�* ��g�� “Maha Suci Tuhanku yang Maha Mulia”.
11. Membaca tasbih tiga kali ketika sujud. Lafadznya adalah:
(�,� %�!, -(�� 4,#) �)(���R� ��©�# �"��8���$ “Maha Suci Tuhanku yang Maha
Tinggi”
12. Membaca do’a ketika duduk di antara dua sujud. Lafadznya adalah:
�C �-�=@(��(�,� %�!, Ir�s� 4,#) ��.���#�, ª ? �f�, ª�2�;� �3�, ���{�#�, ��2 l
Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, beri aku kecukupan dan berilah aku
petunjuk serta berilah aku rizki. (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)
13. Duduk iftirasy3 (bersimpuh) di semua duduk dalam shalat, kecuali pada duduk
tasyahud akhir.
14. Duduk tawarru’4 pada duduk tasyahud akhir.
15. Salam kedua.
16. Menoleh ke kanan pada salam pertama, sehingga kelihatan pipi sebelah kanan
dari belakang, dan menoleh ke kiri pada salam kedua sehingga kelihatan pipi
sebelah kiri dari belakang. Rasulullah SAW bersabda dari Sa’id ibn Waqas:
�y��*�;� I�2�;7 ���� 4 #����7 �����, + ��* �̀ ���� �-�(���7 �-�(�$�, +�*�(�� � � �)(�' : m��� I�#�! � ���6
(-(�� 4,#) 4 ?��
Saya lihat Nabi SAW memberi salam ke kanan dan ke kiri sehingga kelihatan
putih pipi beliau. (HR. Muslim)
D. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHALAT
Ada beberapa perkara yang dapat membatalkan shalat, di antaranya adalah
sebagai berikut:
3 Duduk di atas tumit kaki kiri dan telapak kaki kanan ditegakkan serta ujung jari kaki kanan dilipat dan
dihadapkan ke kiblat 4 Seperti halnya duduk iftirasy, tetapi telapak kaki kiri dikeluarkan ke sebelah kanan sehingga pantat
menempel pada tanah
Fiqih Kelas X 56
1. Meninggalkan salah satu rukun atau memutuskan rukun yang belum
sempurna dengan sengaja. Umpama seseorang I’tidal (berdiri dari ruku’)
padahal ruku’-nya belum sempurna.
2. Meninggalkan salah satu syarat shalat.
3. Berbicara selain bacaan shalat dengan sengaja
4. Banyak bergerak selain dari gerakan shalat, dengan tidak mempunyai
keperluan, seperti bergerak tiga langkah atau memukul tiga kali berturut-
turut. Kecuali apabila mempunyai keperluan untuk bergerak ketika adanya
sesuatu yang membahayakan kita. Seperti shalat ketika takut dalam
peperangan (shalatul-Khauf) atau melihat binatang yang akan menggigit.
Rasulullah SAW bersabda:
�)(�' � �&�%�$�# �2���! 4,#) c�*��o�, a�2�T�g�� ��̂ ��� � ��7���% �$�R� ��N�T � �-�(�$�, +�*�(�� � �
(Ir�s�, �,� %�!
Rasulullah menyuruh membunuh kalajengking dan ular ketika shalat. (HR.
Abu Daud dan Tirmidzi)
5. Makan dan minum dalam shalat.
E. SUNNAH SEBELUM SHALAT
1. Adzan
Arti adzan menurut bahasa adalah pemberitahuan. Allah SWT berfirman dalam
surat at-Taubah ayat tiga, yang berbunyi:
×β≡sŒr& uρ š∅ ÏiΒ «!$# ÿÏ& Î!θ ß™ u‘uρ Dan (inilah) suatu pemberitahuan dari Allah dan Rasul-Nya. (QS. At-Taubah:
3)
Sedangkan pengertian adzan menurut syara’ adalah pemberitahuan akan
masuknya shalat dengan sebutan dzikir khusus. Adapun dalil disyari’atkannya adzan
ditegaskan dalam al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’.
Fiqih Kelas X 57
Allah SWT berfirman:
$ pκš‰ r'¯≈ tƒ t Ï%©!$# (#þθ ãΖ tΒ#u #sŒÎ) š” ÏŠθ çΡ Íο 4θ n=¢Á=Ï9 ÏΒ ÏΘ öθ tƒ Ïπ yèßϑàf ø9 $#
(#öθ yè ó™ $$sù 4’ n< Î) Ìø. ÏŒ «!$# :cg5�)�( Wahai orang-orang yang berfirman, apabila telah diseur (dikumandangkan
adzan) untuk menunaikan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu
mengingat kepada Allah. (QS. Al-Jum’ah: 9)
Rasulullah SAW bersabda:
(q7?o) �-�6�?���! �-�b�� �"�u� �;*�(�;O ���̂ ��� �2�/�� �u Z Apabila (waktu) shalat telah tiba, maka hendaknya ada seorang di antara kamu
yang mengumandangkan untuk kamu sekalian. (HR. Bukhari dan Muslim)
Lafadz Adzan
Adapun lafadz adzan adalah sebagai berikut:
Allah Maha Besar, Allah Maha
Besar
) �2�;� �6�! � �� �2�;� �6�! � �2x(
Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah
) � � �0 Z �+�� Z�0 �"�! �?�= �B�!2x(
Saya bersaksi bahwa Nabi
Muhammad adalah utusan Allah
) � �&�%�$�# >?�5��� �"�! �?�= �B�!2x(
Marilah (mengerjakan) shalat ) ��̂ ��� )�(�� �P��2x( Marilah (menuju) kemenangan ) «�̂ �l�� )�(�� �P��2x( Allah Maha Besar, Allah Maha
Besar
�2�;� �6�! � �� �2�;� �6�! � ��
Tiada Tuhan selain Allah � � �0 Z �+�� Z�0
Fiqih Kelas X 58
Dalam shalat shubuh disunnahkan ditambah dengan lafadz ��%�;�� ���� �2 �;* �� ���̂ ����
sebanyak dua kali setelah melafalkan lafadz «�̂ �l�� )�(�� �P��. Apabila lafadz ini
tidak dibaca, maka adzannya tetap sah tetapi makruh. Demikian pula apabila
melafalkan adzan tidak dengan tarji’ (mengulangi bacaan dua kalimat syahadat),
maka hukum adzannya menjadi makruh.
Hukum Adzan
Para imam madzhab sepakat bahwa hukum mengumandangkan adzan adalah
sunnah muakkad, kecuali madzhab Hanabilah. Mereka berpendapat bahwa
hukum adzan adalah fardhu kifayah, dimana apabila ada seorang yang
melakukannya maka gugurlah kewajiban adzan bagi lainnya.
Syarat-syarat Adzan
Untuk ke-sah-an adzan, ditentukan beberapa syarat sebagai berikut:
1. Berniat. Menurut pendapat Malikiyah dan Hanabilah, bila seseorang
mengumandangkan lafadz adzan dengan tanpa niat dan tujuan maka adzan
tersebut tidak sah; sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanafiyah, adanya
niat dalam adzan itu tidak disyaratkan, bahkan menurut mereka adzan itu
tetap sah walau tanpa niat.
2. Melafalkan lafadz adzan secara berkesinambungan (tidak memisahkan
antara satu lafadz dengan lafadz lain dengan diam lama ataupun dengan
banyak berbicara.
3. Adzan itu diucapkan dengan bahasa Arab.
4. Adzan dikumandangkan setelah masuknya waktu shalat.
5. Melafalkan lafadz adzan dengan tertib.
Masih ada satu hal yang termasuk syarat adzan yang disepakati oleh para imam
madzhab, yaitu hendaknya adzan dilakukan oleh satu orang atau dilakukan
secara bergantian. Misalnya jika muadzdzin (orang yang adzan)
mengumandangkan sebagian dari adzan kemudian disempurnakan oleh orang
Fiqih Kelas X 59
lain, maka adzan tersebut tidak sah. Begitu juga apabila ada dua orang ataupun
lebih yang secara bergiliran mengumandangkan adzan, dimana masing-masing
orang mengucapkan satu kalimat yang tidak diucapkan oleh lainnya, maka adzan
tersebut tidak sah pula. Sebagian orang mengistilahkan hal itu dengan sebutan
adzan al-Jauq atau adzan Sulthani, yaitu adzan yang dilakukan secara
bergantian.
Syarat-Syarat Muadzdzin
Untuk seorang muadzdzin hendaknya disyaratkan bagi seorang muslim (tidak
sah jika dilakukan oleh selain muslim), berakal (tidak gila, mabuk atau orang
pingsan) dan seorang laki-laki (tidak sah jika dilakukan oleh perempuan ataupun
banci).
2. Iqamah
Yang dimaksud dengan iqamah adalah pemberitahuan bahwa telah siap untuk
mendirikan shalat dengan menggunakan bacaan dzikir khusus. Adapun lafadz iqamah
adalah sebagai berikut5:
�2�;� �6�! � �� �2�;� �6�! � ��
� �&�%�$�# >?�5��� �"�! �?�= �B�! �"�! �?�= �B�! � � �0 Z �+�� Z�0
«�̂ �l�� )�(�� �P�� ��̂ ��� )�(�� �P��
�2�;� �6�! � �� �2�;� �6�! � �� ) ��̂ ��� ����. �?�.2x(
� � �0 Z �+�� Z�0
Hukum Iqamah
Sama halnya dengan hukum pada adzan, hukum iqamah pun sunnah muakkad.
Berbeda dengan Malikiyah yang berpendapat bahwa hukum iqamah adalah
5 Bentuk bacaan ini telah disepakati oleh Madzhab Hanabilah dan Syafi’iyah.
Fiqih Kelas X 60
sunnah ‘ain bagi seorang laki-laki baligh, sunnah kifayah bagi jama’ah laki-laki
dan mandub ‘ain bagi seorang anak kecil dan perempuan (kecuali apabila ia
bersama dengan seorang laki-laki baligh, karena telah cukup dengan keberadaan
seorang laki-laki baligh).
Sunnah Iqamah
Sunnah iqamah sama dengan sunnah dalam adzan, kecuali dalam beberapa hal,
yaitu:
a) Menurut tiga imam madzhab, adzan disunnahkan untuk dikumandangkan di
tempat yang tinggi, sedangkan iqamah tidak. Sedangkan menurut
Hanabilah, sama halnya dengan adzan, iqamah pun dikumandangkan di
tempat yang tinggi, kecuali apabila hal tersebut menyulitkan.
b) Dalam mengumandangkan adzan disunnahkan untuk tarji’ (mengulangi
bacaan dua kalimat syahadat), sedangkan dalam iqamah tidak.
c) Dalam mengumandangkan adzan disunnahkan pelan, sedangkan dalam
iqamah disunnahkan cepat sesuai sesuai dengan kesepakatan tiga imam
madzhab (kecuali Malikiyah).
d) Bagi orang yang mengumandangkan adzan disunnahkan meletakkan ujung
jari telunjuk di lubang telinga sesuai dengan kesepakatan Hanabilah dan
Syafi’iyah.
F. ZIKIR DAN DO’A SETELAH SHALAT
Zikir menurut bahasa adalah mengingat.
Sedangkan menurut istilah zikir adalah mengingat Allah dengan membaca kata-
kata yang baik, seperti Tasbih (� "�8�$), Tahmid (� ?5o), Takbir (¤6! �), Tahlil
(� 0Z +�Z 0) dan lain sebagainya.
Do’a secara bahasa memiliki banyak arti, di antaranya adalah memanggil atau
memohon. Sedangkan secara istilah do’a berarti memohon dan merendahkan diri
kepada Allah dengan membaca lafadz tertentu, baik dalam bahasa arab maupun dengan
bahasa selain arab.
Fiqih Kelas X 61
Di dalam al-Qur’an terdapat banyak anjuran Allah agar hamba-hamba-Nya
selalu mengingat Allah kapan dan dimana pun berada. Seperti yang dianjurkan Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 152, yang berbunyi:
þ’ ÎΤρ ãä. øŒ$$sù öΝ ä.öä. øŒr& (#ρ ãà6 ô©$# uρ ’Í< Ÿω uρ Èβρ ãà! õ3s? :�2T��)Uk( Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah
kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku. (QS. Al-Baqarah: 152)
Selain menganjurkan berzikir, Allah juga menganjurkan agar hamba-hamba-Nya
memohon (berdo’a) segala sesuatu yang menjadi hajat (kebutuhan) mereka. Allah SWT
berfirman:
(#θ ãã ÷Š$# öΝ ä3−/ u‘ % Yæ•�|Ø n@ ºπ uŠø!äzuρ 4 …çµ ¯ΡÎ) Ÿω B= Ït ä† š ω tF ÷è ßϑø9$# � Ÿω uρ
(#ρ ߉ Å¡ø! è? †Îû ÇÚ ö‘ F{ $# y‰ ÷è t/ $yγ Ås≈ n=ô¹Î) çνθ ãã÷Š$#uρ $]ùöθ yz $·è yϑ sÛuρ 4 ¨βÎ) |MuΗ÷q u‘ «!$# Ò=ƒ Ìs% š∅ ÏiΒ tÏΖ Å¡ós ßϑ ø9 $# � :¢2�R) V](
Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan kerendahan hati dan suara yang lembut.
Sungguh Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik.
Berdo’alah kepada-Nya dengan rasadan penuh harap, sesungguhnya Rahmat
Allah sangat dekat bagi orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-A’raf: 55-56)
Ü=‹Å_ é& nο uθ ôãyŠ Æí#¤$!$# #sŒÎ) Èβ$ tãyŠ ( (#θ ç6‹Éf tGó¡uŠ ù=sù ’ Í< (#θ ãΖ ÏΒ÷σ ã‹ø9 uρ ’Î1 öΝ ßγ̄=yè s9 šχρ ߉ ä©ötƒ :�2T��)UK](
Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku.
Maka hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar
memperoleh kebenaran (QS. Al-Baqarah: 186)
Fiqih Kelas X 62
Zikir dan Do’a Sesudah Shalat
Ada beberapa macam zikir dan do’a sesudah shalat yang dapat dibaca oleh
setiap muslim. Di antara zikir dan do’a tersebut adalah sebagai berikut:
(-(��, I#�J�� 4,#) �26�, &^� u�7 6#��z �^�� ¥��, �^�� <! -=(�
Ya Allah, Engkaulah pemilik kesejahteraan, dari-Mu lah datangnya
kesejahteraan itu. Engkau Maha Pemberi Berkah. Ya Allah, Tuhan yang Maha
Tinggi dan Maha Murah Hati. (HR. Bukhari-Muslim)
0 -=(� ,27?. �PB �6 )(� %f, ?5o +�, ¥(;\ +� ,+� ¥72B0 4?�, � 0Z +�Z 0
(-(��, I#�J�� 4,#) .?� ¥�� ?� u _l�7 0, g�� �;\ PWg� 0, *W�! �\ _<��
Tidak ada Tuhan selain Allah Zat yang Esa. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-
Nya lah segala kekuasaan dan bagi-Nya lah segala puji dan Dia lah yang Maha
Menguasai segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa
yang Engkau berikan kepada hamba-Mu dan tidak ada yang dapat memberikan
kepada seseorang apa yang telah Engkau halangi. Tidak berguna di hadapan-
Mu kemuliaan seseorang atas diri-Nya. (HR. Bukhari-Muslim)
) � "�8�$xx (×) � ?5oxx (×) ¤6! �xx (× ,+� ¥72B0 4?�, � 0Z +�Z 0
27?. �PB �6 )(� %f, ?5o +�, ¥(;\ +�
Maha Suci Allah (33 x)
Segala puji bagi Allah (33 x)
Maha Besar Allah (33 x)
Tidak ada Tuhan selain Allah, Zat yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Bagi-Nya lah segala kekuasaan dan bagi-Nyalah segala puji. Dia Maha
Menguasai segala sesuatu. (HR. Bukhari-Muslim)
Ketika zikir selesai dibaca kemudian dilanjutkan dengan berdo’a sesuai dengan
apa yang kita inginkan. Berdo’a kepada Allah dapat menggunakan bahasa arab atau
Fiqih Kelas X 63
dengan bahasa selain arab. Namun akan lebih baik apabila berdo’a mengikuti apa yang
sudah dicontohkan oleh Rasulullah ASW. Di antara adalah sebagai berikut:
(?{! 4,#) ¥z���� ���, �2bB, �26u )(� (���!) �! -=(�
Ya Allah, tolonglah kami untuk selalu ingat kepada-Mu, mensyukuri nikmat-Mu
dan berlaku baik dalam beribadah kepada-Mu. (HR. Ahmad)
�, ?{! 4,#) ^�TN� ^5�, �g$, �.�#, �gO�< �5(� ¥(®$! QZ -=(�(c�*B ��, +3�� �
Ya Allah, aku mohon diberi ilmu yang bermanfaat, rizki yang lapang dan
amalan yang diterima. (HR. Ahmad, Ibn Majah dan Ibn Syaibah).
#��� ar� ��., c��� �2�R �, c��� �*<?� � ��z! ¯��#
Selain ketiga do’a di atas, masih banyak do’a yang bisa dibaca setelah
melaksanakan shalat. Do’a apa yang dimohonkan kepada Allah tergantung kepada
keinginan setiap orang.
Manfaat Zikir dan Do’a
Mengapa kita diperintahkan berzikir dan berdo’a kepada Allah? Kita
diperintahkan berzikir dan berdo’a kepada Allah karena pada hakikatnya kita
merupakan makhluk yang lemah dan selalu membutuhkan tempat bergantung, dan
tempat bergantung itu adalah Allah SWT. Dalam salah satu firman-Nya Allah
menjelaskan manfaat berzikir kepada-Nya, yaitu untuk menentramkan hati. Firman
tersebut berbunyi:
t Ï%©!$# (#θ ãΖ tΒ#u ’ È⌡uΚ ôÜs?uρ Οßγ ç/θè=è% Ìø. É‹ Î/ «!$# 3 Ÿω r& Ìò2 É‹ Î/ «!$# ’È⌡yϑ ôÜs?
Ü>θ è=à)ø9$# :?�2�)kK(
Fiqih Kelas X 64
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka akan menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan
menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra’d: 28)
Selain untuk menenteramkan hati, manfaat berzikir kepada Allah adalah sebagai
berikut:
1. Memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
2. Memperoleh ampunan dan pahala yang besar dari Allah.
3. Menjauhkan diri dari siksa Allah.
4. Memperoleh keagungan Rahmat dan Inayah Allah.
5. Melepaskan diri dari penyesalan.
Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh apabila seseorang berdo’a kepada
Allah antara lain sebagai berikut:
1. Memperoleh naungan Rahmat dari Allah.
2. Melindungi diri dari malapetaka.
3. Memperoleh hasil yang pasti, karena setiap do’a seorang hamba itu dipelihara
dengan baik di sisi Allah. Adakalanya do’a dikabulkan dengan cepat dan
terkadang juga dikabulkan di waktu yang lain.
4. Taat menunaikan kewajiban dan menjauhkan dari maksiat.
5. Menolak bahaya dan meringankan tekanan.
Fiqih Kelas X 65
BAB VII
SHALAT BERJAMA’AH
A. PENGERTIAN, HUKUM DAN URGENSI
Shalat berjama’ah adalah shalat yang dilakukan bersama-sama dan salah seorang
di antara mereka mengikuti yang lain (imam). Orang yang diikuti ketika shalat
berjama’ah dan berada di depan disebut imam; dan orang yang mengikuti orang yang di
depan ketika shalat berjama’ah dan berdiri di belakangnya disebut makmum.
Allah SWT berfirman:
#sŒÎ)uρ |MΖ ä. öΝ Íκ. Ïù |Môϑ s%r' sù ãΝ ßγ s9 nο 4θ n=¢Á9 $# öΝ à)tF ù=sù ×πx! Í← !$sÛ Νåκ ÷] ÏiΒ y7tè ¨Β
:�����)ULk( Dan apabila engkau (Rasulullah) beserta mereka ketika dalam peperangan,
sedangkan engkau hendak melaksanakan shalat bersama mereka, maka
hendaklah sebagian dari berdiri untuk shalat bersama engkau. (QS. An-Nisa:
102)
Sabda Rasulullah SAW:
^'(-(��, I#�J�� 4,#) ��3#� �72G�, _��� rl� �^' )(� �/lz c��5� �
Shalat berjama’ah lebih utama daripada shalat sendiri (dengan ganjaran) 27
pahala. (HR. Bukhari-Muslim)
Tentang hukum melaksanakan shalat berjama’ah para ulama banyak berselisih
pendapat tentangnya. Ada yang mengatakan fardhu ‘ain, fardhu kifayah dan adapula
yang mengatakan sunnah muakkad, dan pendapat terakhir inilah yang menjadi pijakan
yang disepakati para ulama.
Shalat berjama’ah ini sangat dianjurkan bagi laki-laki dilakukan di masjid,
karena shalat berjama’ah di masjid lebih utama daripada shalat berjama’ah di rumah.
Kecuali shalat sunnah, maka dilakukan di rumah lebih baik, dan bagi perempuan shalat
di rumah lebih baik karena lebih aman bagi mereka.
Rasulullah SAW bersabda:
Fiqih Kelas X 66
I#�J�� 4,#) c�%Nb\ 0Z +;N*� � �2\ �^' �^�� �/O! "�O -bz%*� � ���� �=7!
(-(��,
Hai manusia, shalatlah kamu di rumah masig-masing. Sesungguhnya shalat
bagi perempuan lebih utama dilakukan di rumahnya, kecuali shalat lima waktu.
(HR. Bukhari-Muslim)
(�,� %�! 4,#) �° �� �±%*�, ?3��\ -b[��< %g��0
Janganlah kamu larang para wanita pergi ke masjid. Dan rumah mereka lebih
baik (untuk beribadah). (HR. Abu Daud)
B. SYARAT IMAM DAN MAKMUM
Syarat Imam
Imam adalah seseorang yang memimpin makmumnya dalam rangka menghadap
dan bersujud di hadapan Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu seorang imam
harus bukan orang yang sembarangan dan merupakan orang yang terpilih. Maka
seorang imam haruslah memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Baligh. Maka tidak sah makmum kepada seorang anak kecil, walaupun dia
sudah mengerti akan hal-hal najis atau syarat-syarat shalat.
2. Berakal.
3. Adil. Tidak boleh makmum di belakang orang yang fasiq.
4. Fasih dalam membaca al-Qur’an. Sabda Rasulullah SAW.
� %<�6 "�O ,�2wf -=�?.�O �%$ ��2T� � %<�6 "�O "§2T(� -fn2.! �%T� �?TN7
-==TO!, c����� -=5(�! -=� *(O �%$ ��� � %<�6 "�O ,��$ -f¤6�O �%$ �2w°
+<�W($ � "�W(�� h��', +���� � �32� -6?�! ��?TN70, �7?� �
Jadikanlah imam yang mahir (fasih) dalam membaca al-Qur’an. Bila
terdapat orang yang sama fasihnya, maka utamakan siapa yang lebih dahulu
(masuk) Islamnya. Bila tidak diketahui siapa yang lebih dahulu (masuk
Islamnya), maka utamakan yang lebih tua usianya.
Fiqih Kelas X 67
Syarat Makmum
1. Makmum harus berniat mengikuti imam. Adapun imam tidak disyaratkan
untuk berniat menjadi imam, hanya sunnah hukumnya apabila ia berniat
agar ia mendapat pahal berjama’ah.
2. Makmum harus mengikuti imamnya dalam segala gerakannya. Maksudnya
makmum hendaklah takbiratul ihram setelah imam, begitu juga semua
gerakan makmum harus dilakukan setelah gerakan imam. Rasulullah SAW
bersabda:
(-(��, I#�J�� 4,#) %g6#�O _6# uZ, ,¤bO ¤6 u�O +� ² *� ���� �g3 �³Z
Sesungguhnya imam dijadikan imam supaya dia diikuti gerakannya.
Apabila ia takbir hendaklah kamu (makmum) takbir, dan apabila ia ruku’
maka hendaklah kamu (makmum) ruku’ pula. (HR. Bukhari-Muslim)
3. Mengetahui gerakan imam, baik dengan melihat atau mendengar suara
imam.
4. Keduanya (imam dan makmum) berada dalam satu tempat.
5. Tempat berdiri makmum tidak boleh melebihi tempat imam. Bagi orang
yang shalat berdiri diukur dari tumit imam, dan bagi orang yang duduk
diukur dari pinggulnya.
6. Shalat makmum harus sama dengan shalat imam. Artinya, makmum tidak
boleh mengikuti shalat imam yang berbeda dengannya. Apabila makmum
ingin shalat fardhu jangan mengikuti imam yang sedang shalat sunnah.
7. Laki-laki tidak boleh makmum kepada perempuan.
8. Tidak boleh mengikuti shalatnya imam yang tidak sah (batal).
C. HUKUM MAKMUM MASBUQ
Orang yang terlambat jika ingin mendapatkan keutamaan shalat berjama’ah, dia
dapat bergabung dengan orang yang sedang shalat, maka yang ketinggalan ini disebut
makmum masbuq. Makmum masbuq akan mendapatkan rakaat pertamanya jika dia
mendapatkan ruku’ bersama imam.
Fiqih Kelas X 68
Apabila masbuq mendapati imam sebelum ruku’ atau sedang ruku’ dan
makmum tersebut mendapatkan ruku’ yang sempurna bersama imam, maka ia
mendapatkan satu rakaat. Dan apabila dia tidak mendapatkan satu rakaatnya, maka
hendaklah dia menambah kekurangan rakaatnya, jika belum cukup, setelah imam
memberi salam.
Rasulullah SAW bersabda:
?TO F%62� �#�! ��, �®*B �f,?gz 0, ,?w$�O �%w$ � ,́ �^�� -6?�! ��3 uZ
(�,� %�! 4,#) cg62� �#�!
Apabila seseorang di antara kamu datang shalat ketika kami sujud, maka
hendaklah kamu sujud dan janganlah kamu hitung satu rakaat. Dan
barangsiapa yang mendapatkan ruku’ bersama imam, maka ia telah mendapat
satu rakaat. (HR. Abu Daud)
D. HALANGAN SHALAT BERJAMA’AH
Seseorang diperbolehkan tidak melaksanakan shalat berjama’ah apabila:
1. Karena hujan yang menyusahkan perjalanan ke tempat berjama’ah.
� &�. 2��3 �� ��B �� ��*� � &%$# &�TO �;<2W5O 2l$ � � &%$# _� ��32
(-(��, ?{! 4,#) +(�# � -b��
Dari Jabir, dia berkata: kami berjalan bersama Rasulullah, dalam perjalanan
kami kehujanan. Rasulullah bersabda: orang yang hendak shalat, shalatlah
dikendaraannya masing-masing. (HR. Ahmad dan Muslim)
2. Karena angin yang kuat. Sabda Rasulullah SAW:
0! &%T7 "! p72� ~u ��#��� c(*(� � +7���� 2��7 -($, +*(� � )(' m�� "�6
()gO�G� 4,#) -b���# � "%(�7
Pada suatu malam yang dingin dan angin badai, Nabi SAW menyuruh
seseorang agar (berseru) mengatakan: Ketahuilah! Shalatlah kalian di atas
kendaraan kalian. (HR. as-Syafi’i)
Fiqih Kelas X 69
3. Sakit yang menyusahkan berjalan ke tempat berjama’ah. Nabi SAW bersabda:
,#) ���6 ���7! ������ �^�� �2z -($, +*(� � )(' � &%$# y2� �\ I#�J�� 4
(-(��,
Ketika Rasulullah SAW sakit, beliau meninggalkan shalat berjama’ah
beberapa hari. (HR. Bukhari-Muslim)
4. Karena lapar dan haus, sedangkan makanan sudah siap sedia. Begitu juga
ketika sangat ingin buang air besar atau buang kecil.
�. cG[�� �� _O?7 %f 0, ��gE �2/µ �^' 0 -($, +*(� � )(' � &%$# &
(-(��, I#�J�� 4,#) jG�R
Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda: Jangan shalat ketika makanan sudah
sedia, dan jangan pula ketika sangat ingin buang air. (HR. Bukhari-Muslim)
5. Karena baru makan makanan yang baunya sukar dihilangkan, seperti bawang,
petai, jengkol dan lain sebagainya.
6. Dan halangan-halangan lain yang membawa kesulitan untuk melaksanakan
shalat berjama’ah.
E. HIKMAH SHALAT BERJAMA’AH
Shalat berjama'ah disamping memiliki keutamaan, kelebihan (fadilah) dan
keistimewaan (maziyah) bila dibandingkan dengan shalat menyendiri (munfarid) juga
mengandung hikmah dan pelajaran (ibrah) bagi orang yang memikirkannya. Dan
barangsiapa yang mengetahui hikmah dan keistimewaan tersebut, maka orang tersebut
telah diberi karunia yang besar dan termasuk orang yang diberi anugerah keimanan oleh
Allah Swt.
Diantara hikmah-hikmah shalat berjama'ah adalah sebagai berikut:
1. Berkumpulnya kaum muslimin dalam shaf-shaf yang teratur di belakang seorang
imam (pemimpin). Hal ini mengisyaratkan bahwa kaum muslimin harus bersatu
karena persatuan merupakan sumber kekuatan dan kejayaan.
Fiqih Kelas X 70
2. Makmum harus mengikuti setiap apa yang dilakukan oleh imam dan apabila
imam lupa atau salah dalam melakukan gerakan shalat, maka makmum harus
mengingatkan sang imam dengan membaca subhanallah bagi laki-laki dan
makmum tidak boleh keluar dari barisan. Hal ini mengajarkan keharusan untuk
patuh dan taat kepada pemimpin selama langkah-langkah yang dilakukannya
benar. Disamping itu, shalat berjama'ah mengajarkan keharusan adanya kontrol
sosial terhadap pemimpin yang salah dan tidak dibenarkan berontak terhadap
suatu kepemimpinan. Dan jika imam batal seperti kentut, maka sang imam harus
legowo dan mundur dari kepemimpinan shalatnya lalu digantikan oleh orang
yang ada dibelakangnya. Hal ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin yang
jelas-jelas melanggar hal yang prinsipil yang telah disepakati dan merugikan
yang dipimpinnya, seperti korupsi, melakukan penghianatan dan lain-lain, maka
ia harus legowo mengundurkan diri dari jabatannya.
3. Dalam shalat berjama'ah tidak ada perbedaan status sosial antara orang kaya
dengan miskin, rakyat jelata dengan pejabat, semuanya sama menghadap kearah
yang sama, melakukan hal yang sama dan berdiri dalam shaf yang sama. Hal ini
mengisyaratkan adanya persamaan derajat dan kedudukan manusia dihadapan
Allah SWT. Nilai keutamaan dan kemuliaan seseorang disisi Allah hanya diukur
dari tingkat ketaqwaannya sehingga setiap orang mu'min memiliki akses dan
kesempatan yang sama untuk memperoleh keutamaan dan kemuliaan disisi
Allah tersebut, asalkan dia bertaqwa.
4. Shalat berjama'ah menjanjikan kebahagian dan kesuksesan karena ketika waktu
shalat tiba, sang muadzdzin menyeru kaum muslimin dengan kalimat: )�(�� �P��
«�̂ �l�� )�(�� �P�� , ��̂ ���, yang mengadung arti “wahai hamba-hambaku hendaklah
kamu sekalian menuju shalat dan kebahagian. Jika kamu sekalian bersegera
menuju shalat dan melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya, maka kamu
akan beruntung, bahagia dan sukses meraih apa yang kamu inginkan dan kamu
cita-citakan”.
Fiqih Kelas X 71
BAB VIII
SHALAT JUM’AT
A. PENGERTIAN DAN HUKUM SHALAT JUM’AT
Shalat jum’at merupakan shalat dua rakaat yang dilaksanakan setelah khutbah
pada waktu shalat dhuhur dan di hari jum’at.
Hukum shalat jum’at adalah fardhu ‘ain, yaitu wajib atas setiap laki-laki dewasa
yang beragama Islam, merdeka dan muqim (menetap). Tetapi shalat jum’at tidak wajib
bagi perempuan, anak-anak, hamba sahaya (budak) dan orang yang sedang dalam
perjalanan (musafir). Allah SWT berfirman:
$ pκš‰ r'¯≈ tƒ tÏ% ©!$# (#þθ ãΖ tΒ#u #sŒÎ) š” ÏŠθ çΡ Íο4θ n=¢Á=Ï9 ÏΒ ÏΘ öθ tƒ Ïπ yè ßϑàf ø9 $# (#öθ yè ó™ $$sù
4’ n<Î) Ìø. ÏŒ «!$# (#ρ â‘sŒuρ yìø‹t7ø9 $# 4 öΝ ä3Ï9≡ sŒ ×� ö! yz öΝ ä3 ©9 β Î) óΟçGΨä. tβθ ßϑn=÷è s?
:cg5�)�( Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu dipanggil (diseru) untuk shalat di
hari jum’at, maka hendaklah kamu segera mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli. (QS. Al-Jum’at: 9)
Sabda Rasulullah SAW:
�72� ,! m' ,! �!2�,! �%(¦ ?�� cg�#! 0Z c��¶ � -(�� �6 )(� h3, ¨� cg5�
(-6�o , �,� %�! 4,#)
Jum’at itu hak yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam dengan
berjama’ah, kecuali empat macam, yaitu: hamba sahaya (budak), perempuan,
anak-anak atau orang sakit. (HR. Abu Daud dan Hakim)
B. SYARAT SAH DAN WAJIB SHALAT JUM’AT
1. Syarat Sah Shalat Jum’at
Shalat jum’at akan dianggap sah apabila syarat-syarat berikut dilaksanakan,
yaitu:
Fiqih Kelas X 72
a) Hendak dilaksanakan di tempat dimana ia tinggal (tidak sedang dalam
perjalanan)
b) Berjama’ah, karena pada masa Rasulullah SAW shalat jum’at tidak
dilakukan sendiri-sendiri. Menurut sebagian ulama, jama’ah yang ikut
shalat jum’at di suatu masjid sekurang-kurangnya berjumlah 40 orang
laki-laki dewasa yang muqim.
c) Dikerjakan di waktu shalat dhuhur. Rasulullah SAW bersabda:
H5G� &,�z j� cg5� )(�7 -($, +*(� � )(' � &%$# "�6 H<! ��(I#�J�� 4,#)
Dari Anas, Rasululllah SAW shalat jum’at ketika telah tergelincirnya
matahari. (HR. Bukhari)
d) Didahului dengan dua khutbah.
2. Syarat Wajib Shalat Jum’at
Berikut adalah syarat wajib melaksanakan shalat jum’at, yaitu:
a) Islam
b) Baligh (dewasa)
c) Berakal
d) Laki-laki (bukan perempuan)
e) Sehat, tidak sakit
f) Muqim, tidak sedang dalam perjalanan
C. SUNNAH SHALAT JUM’AT
Hal-hal yang sunnah dilakukan dalam pelaksanaan shalat jum’at, yaitu:
1. Disunnahkan mandi sebelum pergi shalat jum’at
2. Berhias dengan memakai pakaian yang sebaik-baiknya, dan lebih baik
memakai baju berwarna putih
3. Memakai wangi-wangian
4. Memotong kuku, menggunting kumis dan mencukur jenggot. Rasulullah SAW
bersabda:
Fiqih Kelas X 73
"! ��. cg5� �%7 +�#�B ·T7, 4#�;l¸! -(T7 -($, +*(� � )(' � &%$# "�6
(ª¤W�, )T=*�� 4,#) �^�� �Z ¹2º
Rasulullah memotong kuku dan menggunting kumisnya pada hari jum’at
sebelum beliau pergi shalat. (HR. Baihaqi dan Thabrani)
5. Berjalan kaki ketika pergi shalat jum’at
6. Hendaklah ia membaca qur’an atau berzikir sebelum khutbah, lebih baik
membaca surat al-Kahfi. Sabda Rasulullah SAW:
-6�o 4,#) jNg5� j� �� #%�� �� +� ��1! c=5� �%7 � �=b� !2. ��
(+88',
Barangsiapa yang membaca surat Kahfi pada hari jum’at, maka cahaya akan
menyinarinya antara kedua jum’at. (HR. Hakim)
7. Hendaklah memperbanyak do’a dan shalawat atas Nabi SAW pada hari jum’at
dan pada malamnya.
D. KHUTBAH JUM’AT
1. Syarat Khutbah
a) Hendaklah kedua khutbah dimulai setelah tergelincirnya matahari (waktu
dhuhur).
b) Jika mampu ketika khutbah hendaklah berdiri.
c) Khatib hendaklah duduk di antara dua khutbah, sekurang-kurangnya
berhenti sebentar.
d) Khutbah hendaklah dilakukan dengan suara yang keras.
e) Hendaklah berturur-turut, baik rukun atau jarak keduanya dengan shalat.
f) Khatib hendaklah suci dari hadats dan najis.
g) Khatib hendaklah menutup aurat.
2. Rukun Khutbah
Rukun dua khutbah adalah sebagai berikut:
Fiqih Kelas X 74
a) Mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT.
b) Mengucapkan shalawat atas Rasulullah beserta keluarga dan sahabatnya.
c) Mengucapkan syahadat. Sabda Rasulullah SAW:
(�,� %�!, ?{! 4,#) ���r� ?*��6 P=O ?=Gz �5*O H*� c�W� �6
Setiap khutbah yang tidak ada syahadatnya adalah seperti tangan yang
terpotong. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
d) Berwasiat (bernasehat) dengan taqwa dan menjelaskan isi khutbah.
e) Membaca ayat al-Qur’an pada salah satu kedua khutbah.
f) Berdo’a untuk mu’minin dan mu’minat pada khutbah kedua.
3. Sunnah Khutbah
Dalam khutbah jum’at, terdapat beberapa hal yang disunnahkan, yaitu:
a) Hendaklah khutbah dilakukan di atas mimbar atau di tempat yang lebih
tinggi.
b) Isi khutbah diucapkan dengan kalimat yang fasih, jelas, mudah
dipahami, sederhana, tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu
pendek.
c) Hendaklah khatib menghadap kepada mustami’ (orang yang
mendengar) khutbah.
d) Membaca surat al-Ikhlas ketika duduk antara dua khutbah.
e) Menertibkan tiga rukun (mulai dari puji-pujian, shalawat dan
berwasiat).
f) Mustami’ hendaklah diam dan memperhatikan khutbah. Sabda
Rasulullah SAW:
I#�J�� 4,#) ~%|� ?TO hWº ����, �< cg5� �%7 ¥����� (. uZ
(-(�� ,
Apabila engkau berbicara kepada temanmu pada waktu shalat jum’at,
maka diamlah sewaktu imam berkhutbah. Maka sesungguhnya telah
gugur jum’atmu. (HR. Bukhari-Muslim)
Fiqih Kelas X 75
g) Khatib hendaklah memberi salam.
E. HALANGAN SHALAT JUM’AT
Halangan (udzur) shalat jum’at adalah salah satu sebab yang menghalangi
seseorang untuk melaksanakan shalat jum’at, yaitu:
1. Karena sakit. Rasulullah SAW bersabda:
,! m' ,! �!2�,! �%(¦ ?�� cg�#! 0Z c��¶ � -(�� �6 )(� h3, ¨� cg5�
(-6�o , �,� %�! 4,#) �72�
Jum’at itu hak yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam dengan
berjama’ah, kecuali empat macam, yaitu: hamba sahaya (budak),
perempuan, anak-anak atau orang sakit. (HR. Abu Daud dan Hakim)
2. Karena hujan sehingga sulit untuk pergi shalat jum’at.
Fiqih Kelas X 76
BAB IX
SUJUD
A. SUJUD SAHWI
Sujud sahwi adalah sujud yang diwajibkan karena terjadinya lupa dalam shalat,
baik karena menambah atau mengurangi kewajiban-kewajiban shalat atau hanya adanya
keraguan (dugaan) akan hal tersebut. Sujud itu dilakukan setelah salam sebanyak dua
kali dengan bacaan:
�+�z��6�2�;��, � �c��{�#�, : m��� � �=:;7�! �¥�*�(�� ���̂ ��� �� ��, � - �� �
Dengan menyebut nama Allah, dan dengan salam kesejahteraan serta Rahmat
dan Berkah-Nya bagimu Nabi.
Hukum sujud sahwi adalah sunnah muakkad untuk imam dan orang yang shalat
sendiri (munfarid), adapun makmum ia wajib mengikuti imamnya untuk melakukan
sujud, dan apabila imam tidak sujud makmum tidak boleh sujud sendiri.
Sebab Sujud Sahwi
Ada beberapa hal yang menyebabkan dilakukannya sujud sahwi, di antaranya
adalah:
1. Ketinggalan tasyahud awal. Sabda Rasulullah SAW:
�-�(�;O �j�;N�g �6�2� �� � �-�6�?���! ����. �u Z :�-�(�$�, +�*�(�� � �)(�' � �&�%�$�# �&��. ��2 �;* |�5�� ���
(?{! 4,#) % �=��� ��»�? �w�$ �?�w���7�, �H (��¼ �̂ �O � >5 [��. �- N;�N �$ " Z�, �H
( �w�*�(�;O �>5 [��. �- N;�N ���7
Dari al-Mughirah, telah bersabda Rasulullah SAW: apabila salah seorang
dari kamu berdiri sesudah dua rakaat tetapi ia belum sempurna berdirinya,
maka hendaklah ia duduk kembali (untuk tasyahud awal). Dan jika ia sudah
berdiri sempurna maka ia jangan duduk kembali, dan hendaklah ia sujud dua
kali (untuk melakukan sujud sahwi). (HR. Ahmad)
2. Kelebihan rakaat atau ruku’ dan sujudnya karena lupa.
Fiqih Kelas X 77
Sabda Rasulullah SAW:
� �?�7 ��! �+�� ���* T�O �>���½ �2 �=:�� �)(�' �-�(�$�, +�*�(�� � � �)(�' � m��� �"�! A��%�g ���� ��� ���
I#�J�� 4,#) �j�;z�? �w�$�?�w���O �>���½ � �*�(�' �%����T�;O �¥ ��u ����, �0 �&��T�;O ��̂ ���
(-(��,
Dari Ibnu Mas’ud ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW telah shalat dhuhur lima
rakaat, maka seseorang bertanya kepada beliau: “apakah engkau sengaja
untuk melebihkan shalat wahai Rasulullah?” Beliau jawab: Tidak. Lalu
mereka yang melihat Nabi shalat berkata: “Engkau telah shalat lima rakaat.”
Maka kemudian beliau sujud dua kali. (HR. Bukhari-Muslim)
3. Karena ragu (syak) bilangan rakaat yang telah dikerjakan. Jika seseorang ragu
apakah rakaat yang sudah dikerjakannya tiga atau empat, maka hendaklah ia
ambil bilangan yang ia yakini. Apabila ia yakin pada bilangan tiga rakaat maka
ia harus tambah satu rakaat lagi dan melakukan sujud sahwi sebelum memberi
salam.
+ z�̂ �' � �-�6�?���! ����B �u Z �-�(�$�, +�*�(�� � � �)(�' : m��� �&��. �I # �?��t ?�* g�$ 9�! �����,
# �?�7 �-�(�;O �?�w���7 ��� � �j�T�;N; �$ ��� �)(�� �¾;�*���, �¥�G� «�2�W�7 �-�(�;O �>g�;��#�! ���! �>��̂ �� �)(�' �-�6
(-(��, ?{! 4,#) ��̂ ��� �����;. �j�;z �? �w�$
Dari Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah SAW telah bersabda: apabila salah
seorang dari kamu dalam shalat, apakah ia sudah mengerjakan tiga atau
empat (rakaat),maka hendaklah ia hilangkan keraguan itu dan diteruskannya
shalat menurut yang ia yakini (bilangan rakaatnya), kemudian ia sujud dua
kali sebelum salam. (HR. Ahmad dan Muslim)
4. Apabila kurang rakaat karena lupa. Sabda Rasulullah SAW,
Fiqih Kelas X 78
�)(���O �P G�g�� ��»�̂ �' I�? �� Z �-�(�$�, +�*�(�� � � �)(�' � �&�%�$�# ��� � )�(�' ���2�;7�2�f 9�! ����
��v�, �H�<�! ��v �&��T�;O ¿ � �&�%�$�# ��7 � �* ��< ���! ���̂ ��� ~�2���. �%����T�;O .�-�(�$ ��� �j�;N�g �6�#
��T�;O . �2���T�;z �&�%�E�! �,�! 4 ��%�w�$ ���� � �?�w�$�, �2�;� �6 ��� �-�(�$ ��� ���2�;z ��� �)(���O ���?�T�;N�;O �-�g�;< �%��
(+*(� ¨lN�, 4,#)
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata bahwa Rasulullah telah shalat bersama kami
salah satu dari dua shalat siang hari (dhuhur dan ashar). Baru dua rakaat
beliau shalat kemudian ia salam. Mereka bertanya: “Apakah shalatmu di
qashar atau engkau lupa?” Rasulullah menjawab: “shalat saya tidak di
qashar dan tidak pula lupa”. Mereka menjawab: “Ya, engkau telah
melakukannya”. Kemudian Rasulullah menghadap kiblat dan shalat kembali
rakaat yang kurang kemudian salam. Kemudian beliau takbir dan sujud
seperti biasanya atau lebih lama. (HR. Mutafaqun Alaih)
Tata Cara Sujud Sahwi
Niat di dalam hati untuk melaksanakan sujud sahwi, kemudian meletakkan dahi
di atas tempat sujud sambil membaca zikir berikut:
�+�z��6�2�;��, � �c��{�#�, : m��� � �=:;7�! �¥�*�(�� ���̂ ��� �� ��, � - �� �
Dengan menyebut nama Allah, dan dengan salam kesejahteraan serta Rahmat
dan Berkah-Nya bagimu Nabi.
Selain bacaan yang diatas, bacaan ketika sujud sahwi sama dengan bacaan rukun
sujud. Begitu juga bacaan duduk antara dua sujud sama dengan bacaan rukun
duduk antara dua sujud.
Setelah membaca zikir di atas lalu duduk kemudian sujud sekali lagi, kemudian
membaca tasyahud dan salam.
B. SUJUD TILAWAH
Pengertian
Fiqih Kelas X 79
Sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan seseorang karena membaca ayat
sajdah, atau mendengar orang lain membaca ayat tersebut, meskipun orang yang
membacanya tidak melakukan sujud. Sujud ini dapat dilakukan ketika sedang shalat
maupun tidak. Sujud tilawah juga termasuk perbuatan yang disunahkan.
Perintah melakukan sujud tilawah dalam Islam berdasarkan pada hadis Nabi
saw. Rasulullah melakukan sujud tilawah apabila membaca atau mendengar ayat-ayat
sajdah.
�&���;N�� �?�w���O ���? �w��� ����§ ���� �!�2�;. �u Z -($, +*(� � )(' : m��� �&��. ���2�;7�2�f 9�! ����
�%�w:��� � �~�2 ��! �, �c����� �+�(�;O �?�w���O ?�w:��� � ����§ ���� �2 ��! ��N�(�;7�, ��7 �&�%�T�;7 ) b���;7 �"��W�*�G� �
� � �*���g�;O (-(�� 4,#) #����
Dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda: “Apabila keturunan Adam membaca
ayat sajdah; lalu ia sujud, maka setan menghindar dan menangis seraya
berkata: aduhai celakalah aku, anak Adam (manusia) disuruh sujud, kemudian
ia sujud, maka baginya surga. Dan saya pernah disuruh sujud tapi saya enggan,
maka bagi saya neraka.” (HR. Muslim)
Hadis Nabi yang lain adalah sebagai berikut:
�u ��O �"§�2�T�� ��� �;*�(�� �!�2; �T�;7 �"��6 �-�(�$�, +�*�(�� � � �)(�' � m��� �"�! �2 �5�� ��� ���� �2�;� �6 ��? �w���� � �2��
(Ir�s� 4,#) �+�g�� ��< �?�w�$�, �?�w�$�,
Dari Ibnu Umar ra, sesungguhnya Nabi saw pernah membaca al-Qur’an di
depan kami, ketika beliau membaca ayat Sajdah beliau takbir lalu sujud, kami
pun sujud pula bersama beliau. (HR. Tirmidzi)
Ayat-Ayat Sajdah
Ayat-ayat Sajdah yang disunahkan melakukan sujud tilawah terdapat pada surat-
surat berikut:
No Surat/Ayat Bacaan Artinya
Fiqih Kelas X 80
1 Al-A’raf : 206 �"�,�?�w ���7 �+���, �+�<�%�8�����7�, ... … dan mereka
menyucikan-Nya dan
hanya kepada-Nya
mereka bersujud
2 Ar-Ra’d:15 &��'�R��, �,�?�|��� � �-��°�̂ ̧ �, ... … (dan sujud pula)
bayang-bayang mereka
pada waktu pagi dan
petang hari
3 An-Nahl:50 �"�,�2��� �;7 ��� �"�%�(�g �l�;7�, ... … dan melaksanakan
apa yang diperintahkan
(kepada mereka)
4 Al-Isra’:109 �>��%�G�� �-�f�?�7 ��7�, ... … dan mereka
bertambah khusyu’
5 Maryam:58 �À* b���, >?�w�$ �,:2�� ... … mereka tunduk sujud
dan menangis
6 Al-Hajj:18 ��¯�G�7 ��� ���g�l�;7 �� �" Z ... … sungguh, Allah
berbuat apa saja yang
Dia kehendaki
7 Al-Hajj: 77 �"�%�8 ( �l�;z �-�b�(�g�� ... … agar kamu beruntung
8 Al-Furqon: 60 >#�%�l�;< �-�f�����, ... … dan mereka makin
jauh lari (dari
kebenaran)
9 An-Naml: 26 -�* ��g�� Á�2�g�� :a�# ... Tuhan yang mempunyai
‘Arsy yang agung
10 As-Sajdah: 15 �"�,� ¤ �b�N ���7 �0 �-�f�, ... … dan mereka tidak
menyombongkan diri
11 Sad: 4 �>���;<�!�, �>g 6�# �2���, ... lalu menyungkur sujud
dan bertaubat
12 Fussilat (Ha Mim
Sajdah: 38)
�"�%�5�® ���7 �0 �-�f�, ... … sedang mereka tidak
pernah jemu
Fiqih Kelas X 81
13 An-Najm: 62 �,�?�����, � �,�?�w�$��O ... maka bersujudlah
kepada Allah dan
sembahlah (Dia)
14 Al-Insyiqaq: 21 ... �"�,�?�w���7 �0 Mereka tidak (mau)
bersujud
15 Al-‘Alaq: 19 �a �s�;.�, �?�w�$�, ... dan sujudlah serta
dekatkanlah (dirimu
kepada Allah)
Tata cara Sujud Tilawah
Berniat untuk melakukan sujud Tilawah dengan mengucapkan takbir kemudian
melakukan sujud satu kali dengan membaca
(Ir�s� 4,#) + z�%�;.�, + ��%�µ �4�2�����, �+�g�� �̈ �B�, �+�T�( �� �� r�( � �P = �3�, �?�w�$
Aku sujud kepada Tuhan yang menjadikan diriku, Tuhan yang membukakan
pendengaran dan penglihatan dengan kekuasaan-Nya. (HR. Tirmidzi)
Syarat Sujud Tilawah
Dalam sujud tilawah mempunyai syarat seperti syarat shalat. Misalnya suci dari
hadats dan najis, menghadap kiblat dan menutup aurat. Ini merupakan pendapat
sebagian ulama, karena menurut mereka sujud tilawah sebagai keadaan dalam
shalat. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa tidak disyaratkan suci dari
hadats dan tidak pula disyaratkan suci pakaian dan tempatnya.
Rukun Sujud Tilawah
Di luar shalat, rukun sujud tilawah adalah:
1. Niat.
2. Takbiratul ihram.
3. Sujud
4. Salam sesudah duduk
C. SUJUD SYUKUR
Fiqih Kelas X 82
Pengertian
Sujud syukur adalah sujud yang dilakukan oleh seseorang karena memperoleh
kenikmatan dari Allah swt atau terhindar dari malapetaka. Sujud syukur ini
dapat dilakukan sewaktu-waktu di luar ibadah shalat. Dalil al-Qur’an yang
menyuruh kita bersyukur terdapat dalam surat Ibrahim ayat 7, sebagai berikut:
È⌡s9 óΟè? öx6 x© öΝä3¯Ρy‰ƒÎ— V{ ( È⌡s9 uρ ÷Λ än öx! Ÿ2 ¨β Î) ’ Î1# x‹tã Ó‰ƒÏ‰ t±s9 :-*f2�Z)S(
sesungguhnya jika kamu bersyukur niscaya Aku akan menambah (nikmat)
kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku
sangat berat. (QS. Ibrahim / 14: 7)
Sedangkan dalil sujud Syukur dari hadis Nabi adalah sebagai berikut:
+ � I�2 �G�� �,�! �4:2���7 �2 ���! �4��;z�! �u Z �"��6 �-�(�$�, +�*�(�� � � �)(�' � m��� �"�! ���2 �b�� 9�! ���� �2��
(Ir�s�, +3�� ��, �,� %�! 4,#) � �2 �b�B >? 3��$
Dari Abu Bakrah, sesungguhnya Nabi saw bila kedatangan urusan yang
menyenangkan atau diberi kabar gembira, maka beliau menunduk bersujud,
karena bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah dan Tirmidzi)
Setiap orang Islam diperintahkan melakukan sujud Syukur apabila mendapatkan
nikmat dari Allah maupun terhindar dari mara bahaya. Sujud ini merupakan
bentuk pengakuan seseorang atas nikmat yang ia terima dari Allah. Sujud syukur
juga sebagai ungkapan terimakasih seorang hamba kepada Khaliknya. Sujud
Syukur termasuk perbuatan sunah, yakni mendapatkan pahala apabila dilakukan
dan tidak berdosa apabila tidak dilaksanakan.
Tata Cara
Sebelum melaksanakan sujud Syukur, hendaknya kita berniat melakukan sujud
Syukur. Selanjutnya lakukanlah sujud Syukur dimana saja berada. Sujud Syukur
tidak perlu syarat dan rukun seperti sujud dalam shalat. Selain itu, orang yang
Fiqih Kelas X 83
akan melaksanakan sujud Syukur tidak perlu bersuci, baik dari hadas kecil
maupun hadas besar.
Menurut Imam Saukani, “Sujud Syukur tidak disyaratkan berwudhu, suci
pakaian dan tempat sujudnya. Tidak mengucapkan takbir sebagaimana sujud
dalam shalat”.
D. PERBANDINGAN SUJUD TILAWAH DAN SYUKUR
Perbandingan antara sujud tilawah dan sujud syukur adalah sebagai berikut:
1. Syarat dan rukun kedua sujud tersebut sama, begitu juga perselisihan ulama
tentang syarat dan rukun kedua sujud ini.
2. Kedua sujud tersebut hanya satu kali saja.
3. Sujud tilawah disunnahkan dalam shalat dan di luar shalat, tetapi jika sujud
syukur hanya disunnahkan di luar shalat, tidak boleh dilakukan dalam shalat.
Fiqih Kelas X 84
BAB X
SHALAT SUNNAH RAWATIB
A. PENGERTIAN
Rawatib dari segi bahasa diambil dari kata raatibah yang artinya continue atau
terus menerus. Sedangkan menurut pengertian istilah, shalat rawatib adalah shalat
sunnat yang dilakukan sebelum (qabliyah) dan sesudah (ba’diyah) shalat fardhu yang
lima waktu dalam sehari.
Waktu shalat sunnah rawatib adalah mulai dari masuk waktu shalat hingga
iqamah; sementara yang dilakukan setelah shalat, waktunya adalah seusai shalat, hingga
habisnya waktu shalat tersebut.
Fungsi shalat sunnah rawatib adalah untuk menambah serta menyempurnakan
kekurangan dari shalat fardhu.
B. WAKTU DAN BILANGAN SHALAT SUNNAH RAWATIB
Dari segi waktu dan bilangannya, shalat sunnah rawatib dibagi menjadi dua
macam, yaitu shalat sunnah rawatib muakkad (sangat dianjurkan) dan shalat sunnah
rawatib ghairu muakkad (dianjurkan).
Shalat Sunnah Rawatib Muakkad
Yang termasuk ke dalam shalat sunnah rawatib muakkad adalah:
1. Dua rakaat sebelum shalat shubuh (atau biasa disebut dengan shalat fajar).
Rasulullah SAW bersabda:
+�� ?f�gz �?B! �O%�� �� �PB )(� -($, +*(� � )(' m�� �b7 v cG[�� ��
(-(��, I#�J�� 4,#) 2wl� jNg6# )(�
Dari Aisyah ra. tidak ada shalat sunnah yang lebih dipentingkan (dianjurkan)
oleh Nabi SAW selain dua rakaat shubuh. (HR. Bukhari-Muslim).
2. Dua rakaat sebelum shalat dhuhur
3. Dua rakaat sesudah shalat dhuhur
Fiqih Kelas X 85
4. Dua rakaat sesudah shalat maghrib
5. Dua rakaat sesudah shalat isya
Sabda Rasulullah SAW:
jNg6#, 2=�� ��. jNg6# -($, +*(� � )(' � &%$# &�. 25� �� � ?�� ��
2|\ ?g� jNg6#, 2=�� ?g� I#�J�� 4,#) �?|� ��. jNg6#, ��Gg� ?g� jNg6#, a
(-(��,
Dari Abdullah bin Umar berkata: saya ingat bahwa Rasulullah (shalat) dua
rakaat sebelum dhuhur, dua rakaat sesudah dhuhur, dua rakaat sesudah
maghrib, dua rakaat sesudah isya dan dua rakaat sebelum shubuh. (HR.
Bukhari-Muslim)
Shalat Sunnah Rawatib Ghairu Muakkad
Yang termasuk ke dalam shalat sunnah rawatib ghairu muakkad adalah:
1. Dua rakaat sebelum dan sesudah shalat dhuhur. Apabila ada seseorang yang
shalat sunnah dhuhur empat rakaat sebelum dan sesudah shalat dhuhur maka
Allah akan mengharamkan baginya api neraka. Sesuai dengan sabda Rasulullah
SAW:
_�#!, 2=�� ��. cg6# _�#! )(� ÃO�� �� -($, +*(� � )(' m�� &�. c�*�� �! ��
(Ir�s� 4,#) #��� )(� � +�2� �f?g�
Dari Ummu Habibah, Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang
mengerjakan shalat empat rakaat sebelum dhuhur dan empat rakaat
sesudahnya, maka Allah akan mengharamkan baginya api neraka. (HR.
Tirmidzi)
2. Empat rakaat sebelum ashar. Rasulullah SAW bersabda:
4,#) �g�#! 2�g� ��. )(' 2;� � -�# -($, +*(� � )(' m�� &�. 25� �� ��
(Ir�s�
Fiqih Kelas X 86
Dari Ibnu Umar, Nabi SAW bersabda: Allah member rahmat kepada seseorang
yang shalat empat rakaat sebelum ashar. (HR. Tirmidzi)
3. Dua rakaat sebelum maghrib. Sabda Rasulullah SAW:
��. %(' a2|\ ��. %(' -($, +*(� � )(' m�� &�. �l|� �� � ?�� ��
(I#�J�� 4,#) ��B �\ c����� � &�. � a2|\
Dari Abdullah bin Mughaffal, Nabi SAW bersabda: Shalatlah kamu sebelum
maghrib, shalatlah sebelum maghrib. Kemudian belliau berkata untuk yang
ketiga kalinya bagi orang yang menghendakinya (shalat sebelum maghrib).
(HR. Bukhari)
C. SHALAT SUNNAH RAWATIB PADA SHALAT JUM’AT
Pada shalat jum’at disunnahkan kepada seluruh orang mukallaf untuk
melaksanakan shalat sunnah dua atau empat rakaat sesudah shalat jum’at. Hal ini sesuai
dengan yang disabdakan oleh Rasulullah SAW sebagai berikut:
4,#) +;N*� � jNg6# cg5� ?g� )(�7 "�6 -($, +*(� � )(' m�� "! :25� �� ��
(-(��, I#�J��
Dari Ibnu Umar, bahwasannya Nabi SAW shalat dua rakaat sesudah (shalat)
jum’at di rumah beliau. (HR. Bukhari-Muslim)
-($, +*(� � )(' m�� &�. �272f 9! �� _�#! �f?g� ��*(O cg5� -6?�! )(' uZ
(4�C, -(�� 4,#) ~�g6#
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: apabila salah seorang dari
kamu shalat jum’at, maka shalatlah kamu empat rakaat sesudahnya. (HR.
Muslim dan lainnya)
D. KEUTAMAAN SHALAT SUNNAH RAWATIB
Dalam perihal keutamaan shalat sunnah rawatib, Rasulullah SAW bersabda:
Fiqih Kelas X 87
�� ������ �� �������� �� ����� ��������� ���� ���� � �� �!�� ���"���# $ ����� %&� �'(�� �)(�*&� +�( �,&- .�/�� �0�- ��- &'(
��� &'�� ����&� �� �1�2 ����3��� ��� ��"����� &'�� ��� �3��� ��� 45��
Seorang hamba yang muslim melakukan shalat sunnah yang bukan wajib,
karena Allah, (sebanyak) dua belas rakaat dalam setiap hari, Allah akan
membangunkan baginya sebuah rumah (istana) di surga.
Fiqih Kelas X 88
DAFTAR PUSTAKA
M. Zein, Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, Ed. 1
Al-Jaziri, Abdurrahman, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, yang diterjemahkan oleh
H. Chatibul Umam dan Abu Hurairah, Darul Ulum Press, 1996, cet. 2
Husain, Syarif Hidayatullah, Salat dalam Mazhab Ahlul Bait: Kajian al-Qur’an, Hadis,
fatwa & ilmiah, Jakarta: Lentera, 2007
Abu Zahra’, Salat Nabi Saw: Versi Keluarga yang Disucikan, Bandung: Kota Ilmu,
2001
Ritonga, A. Rahman, Zainuddin, Fiqh Ibadah, Jakarta: Gaya Media Pratama 2002, cet.
2
Rasyid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta: At-Thahariyah
Mahfuzh, Hakiki, Junaidi M, Fikih Tsanawiyah Jilid 2, Yogyakarta: Kota Kembang,
2005, cet. 5