filsafat eksistensialisme oleh sita simon
DESCRIPTION
filsafat eksistensialismeTRANSCRIPT
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)
1
beFILSAFAT EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme berasal dari kata dasar exist. Kata exist berasal dari kata “ex” yang
artinya keluar dan “sister” yang berarti menempatkan atau berdiri. Dari asal kata tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa eksistensialisme berarti berdiri keluar dari diri sendiri. Kaum
eksistensialis menekankan kepada eksistesi. Menurut Santre ‘eksistensi mendahului esensi’
beranggapan bahwa eksistensi ada sebelum esensi sehingga mereka focus untuk membuat suatu
yang ada menjadi eksis. Eksistensialisme adalah filsafat yang menunjukkan kebebasan seutuhnya
dari manusia.
Pandangan eksistensialisme pertama kali di kemukakan oleh Kierkegaard, namun
pandangan ini menjadi terkenal setelah di kemukakan oleh Jean-Paul Sartre. Eksistensi pada
sartre artiya bahwa manusia itu sadar bahwa ia ada dan berada. Ia “bereksistensi” karena ia
menyadari dirinya berhadapan dengan kekosongan.
1. Latar belakang
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Filsafat esistensialisme muncul akibat dari krisis
idealisme dan meterialisme. Pandangan materialisme mengatakan bahwa manusia pada akhirnya
sama dengan benda-benda mati. Pada akhirnya manusia hanyalah sesuatu yang material.
Manusia memang lebih unggul dari pada benda-benda mati, namun eksistensi manusia sama saja
dengan benda-benda mati ataupun makhluk hidup lainnya. Hal inilah yang ditentang oleh kaum
eksistensialisme sehingga muncul filsafat eksistensialis. Paham eksistensialis mengatakan
bahwa, manusia berada di dunia berbeda dengan benda dan makhluk lain. Manusia sebagai
subjek yang menyadari setiap hal, sedangkan hewan dan tumbuhan serta benda mati adalah objek
yang disadari. Sementara kaum materialisme tidak memandang manusia secara keseluruhan.
Idealisme memandang manusia hanya sebatas kesadaran atau subjek. Sementara
meterialisme memandang materi (kejasmanian) sebagai keseluruhan dari manusia. Padahal hal
tersebut hanyalah sebagian dari aspek manusia. Mereka tidak memandang manusia sebagai
subjek. Hal inilah yang dianggap para penganut eksistensialisme sebagai suatu hal yang keliru.
Eksistensialime juga didorong oleh reaksi terhadap dunia pada umumnya. Keadaan dunia yang
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)
2
tidak menentu, penuh dengan teka-teki, ketakutan, kebencian, kemunafikan, sehingga
menimbulkan krisis. Sementara agama dianggap tidak mampu memberikan makna bagi
kehidupan. Manusia menjadi gelisah dan terancam oleh eksistensinya sendiri, sehingga filsof
melihat pada dirinya dan mengharap ada pegangan yang dapat mengeluarkan dari krisis tersebut.
Kemudian tampillah eksistensialime yang menjadikan manusia sebagai subjek dan sekaligus
objek.
2. Manusia dipandang dalam ekstensialisme Sartre
Eksistensialisme menyatakan bahwa keberadaan manusia dan benda lain tidaklah sama.
Manusia dan makhluk yang lain sama-sama tinggal di bumi, tetapi yang menjadi perbedaannya
ialah tentang keberadaannya. Manusia mengalami keberadaannya di dunia dan menyadari
dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia dengan mengerti apa yang dihadapinya itu.
Manusia mengerti kegunaan pohon, batu, dan salah satu diantaranya ialah ia mengerti bahwa
hidupnya mempunyai arti. Artinya, manusia adalah subyek yang menyadari atau pribadi yang
sadar. Hal lain yang disadarinya disebut obyek.
Bagi Sarte, eksistensi manusia mendahului esensinya. Filsafat eksistensialisme
membicarakan cara manusia berada di dunia ini. Dengan perkataan lain filsafat ini menempatkan
cara wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu hanya khusus ada pada
manusia karena hanya manusialah yang bereksistensi. Binatang, tumbuhan, bebatuan memang
ada, tetapi mereka tidak dapat disebut bereksistensi (Drijarkara, 1966:57). Hal ini berbeda dari
tumbuhan, hewan, dan bebatuan yang esensinya mendahului eksistensinya, seandainya mereka
mempunyai eksistensi.
Jika seseorang membuat suatu barang, misalnya buku, ia mestinya telah mempunyai
konsep tentang buku yang akan dibuatnya itu. Kemudian dibuatnyalah buku sesuai dengan
konsep yang telah ada. Konsep buku merupakan buku pada masa praeksisten dilihat dari sudut
terwujudnya buku. Kita tidak dapat membayangkan seseorang dapat membuat buku tanpa
didahului oleh suatu konsep tentang buku. Dapatlah dikatakan sekarang bahwa konsep buku
merupakan esensi buku, sedangkan wujud buku adalah eksistensinya. Jelaslah sekarang bahwa
kehadiran buku itu ditentukan oleh pembuatnya, yaitu manusia. Maka untuk buku tersebut
berlaku esensi mendahului eksistensi.
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)
3
Bila kita berpikir bahwa Tuhan adalah pencipta, maka kita akan membayangkan bahwa
Tuhan mengetahui secara persis apa yang diciptakan-Nya. Jadi, konsep sesuatu yang akan
diciptakan Tuhan itu telah ada sebelum sesuatu itu diciptakan (diadakan). Jika demikian, maka
bagi manusia pun berlaku konsep esensi mendahului eksistensi. Ini bila Tuhan yang menciptakan
manusia. Ide seperti ini ada dalam agama. Sarte menyatakan bahwa semua itu berlawanan
dengan kenyataan.
Eksistensialisme menyatakan Tuhan tidak ada, maka tinggal satu yang ada yaitu,
eksistensinya mendahului esensinya. Itu adalah manusia yang oleh Heidegger disebut realitas
manusia. Hal yang maksud adalah bahwa manusia adalah yang pertama dari semua yang ada,
menghadapi dirinya, menghadapi dunia, dan mengenal dirinya sesudah itu. Bila manusia sebagai
seorang eksitensialis melihat dirinya sebagai seorang tidak dapat dikenal, itu karena dia mulai
dari ketiadaan. Dia tetap tidak akan ada, sampai suatu ketika ia ada seperti yang diperbuatnya
terhadap dirinya. Oleh karena itu, tidaklah ada kekhususan kemanusiaan karena tidak ada Tuhan
yang mempunyai konsep tentang manusia. Hal ni dianggap penting oleh Sartre karena bila
eksistensi mendahului esensinya berarti manusia harus bertanggung jawab untuk apa ia ada.
Sartre menjelaskan karena manusia mula – mula sadar bahwa ia ada, itu berarti manusia
menyadari bahwa ia menghadapi masa depan, dan ia sadar ia berbuat begitu. Hal ini menekankan
suatu tanggung jawab pada manusia. Eksistensi manusia bukan sekedar hendak menjelaskan
keadaan beradanya ditengah manusia dan bukan manusia. Lebih dari itu, ia handak menjelaskan
tanggungjawab yang seharusnya dipikul manusia.
Eksistensi manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada dirinya sendiri
bahwa ia berhadapan dengan manusia. Bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan
sesuatu, menyadari ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu juga dia ia telah
bertanggungjawab untuk memutuskan bagi dirinyadan bagi keseluruhan manusia, dan pada saat
itu pula manusia merasa tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab menyeluruh.Dalam
ekstensialisme manusia tidak memiliki apa pun saat dilahirkan. Manusia selama kehidupannya
merupakan hasil dari kalkulasi komitmen di masa lalu. Sehingga manusia mendefinisikan dirinya
berdasarkan hal yang telah dia lakukan dan dia capai. Manusia memiliki kebebasan dan
kehidupan ini bedasarkan pada otoritas manusia.
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)
4
Menurut Sartre, ada 2 kategori manusia menjalani kehidupan di dunia:
a. Secara autentik
b. Dalam kepercayaan buruk percaya adanya Tuhan dan kodrat
Sartre tidak menggunakan ateisme sebagai dasar dari pandangannya, namun bagi Sartre
kepercayaan kepada Tuhan dan segala hal supranatural lainnya merupakan pilihan manusia
dalam rangka menentukan esensinya. Saat manusia menemukan esensinya, manusia dapat
mengerti tujuan hidupnya. Manusia itu merdeka, bebas. Ia harus bebas menentukan,
memutuskan. Kenyataan manusia adalah nasibnya diserahkan kepada dirinya sendiri.
Kelebihan dan kelemahan eksistensialisme sartre
Kelebihan eksistensialisme
1. Eksistensialisme berpandangan bahwa, jika hidup belum selesai maka manusia tidak
boleh pasrah akan keadaan apa adanya tetapi harus terus menerus di ubah menjadi lebih
baik lagi.
2. Hidup dimengerti sebagai projek. Faktor penting untuk perbaikan hidup adalah tanggung
jawab. Setiap orang harus betanggung jawab atas hidupnya dan dengan sungguh-sungguh
berupaya untuk mengembangkannya.
3. Hidup ini belum selesai, setiap situasi membawa akibat untuk kemajuan hidup. Oleh
karena itu setiap situasi perlu dikendalikan, dimanfaatkan, diarahkan, sehingga menjadi
keuntungan bagi kemajuan hidup.
Kelemahan eksistensialisme
1. Etika eksistensialis terperosok ke dalam pendirian yang individualistis. Dengan pendirian
seperti melaksanakan sebuah projek hidup maka para pengikut aliran eksistensialis hanya
mencari kepentingan diri sendiri. Cara memandang kebaikan yang individualistis dapat
merugikan sesama masyarakat dan dunia.
2. Dengan mengabaikan tata tertib, peraturan, hukum, kaum eksistensialis menjadi manusia
yang anti sosial. Sehingga mereka mengabaikan norman-norma untuk mencapai tujuan demi
memperbaiki hidup. Sementara norma masyarakat adalah suatu hasil perjalanan pencarian
yang tidak mudah begitu saja ditiadakan.
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)
5
3. Dengan mengambil sikap bebas dan merdeka, kaum eksistensialis memandang kemerdekaan
sebagai sesuatu yang tidak terbatas. Pada hal dalam hidup ini, tidak ada kemerdekaan yang
tanpa batas. Selama manusia hidup dalam masyarakat, pelaksanaan masyarakat akan selalu
dibatasi oleh pelaksanaan kebebasan orang lain. Mau tidak mau hidup dalam
bermasyarakat, setiap orang harus mau memberi dan menerima/ kompromi.
4. Kaum eksistensialisme sangat memperhitungkan situasi, namun situasi itu mudah goyah. Bila
manusia hanya bersandar pada situasi dan diri sendiri saja, maka pandangannya akan menjadi
terbatas, lingkup perbuatannya dipersempit serta pendiriannya rapuh.
6. Kesimpulan
Kaum eksistensialisme Kaum Kristen
Berdasarkan pengertian dari
eksistensialisme yang mempercayai
bahwa manusia dengan sadar
mengetahui segala tentang dirinya
sendiri dan tahu apa yang menjadi
tujuan hidupnya, manusia berdiri
sebagai aku.
Pandangan ini mempercayai bahwa
manusia memiliki kesadaran sendiri
atas segala yang diciptakan seperti
benda-benda mati, manusia sadar akan
kegunaan pohon.
Kaum eksistensialisme tidak percaya
adanya Tuhan. Manusia ada bukan
karena di ciptakan Tuhan, melainkan
sejak dahulu sudah ada manusia.
Manusia adalah yang pertama dari
semua yang ada. Manusia
menghadapi dirinya, menghadapi
dunia, dan mengenal dirinya sesudah
Manusia yang telah jatuh kedalam
dosa tidak akan bisa mencari
kebenaran yang sejati. Manusia
memerlukan Tuhan dalam menjalani
kehidupannya. Terlebih untuk
mendapat keselamatan sebagai tujuan
hidup manusia. (Kisah Para Rasul 4 :
12)
Manusia terkadang tidak sadar akan
apa yang ia lakukan. Manusia tidak
dapat berdiri sendiri ataupun
melakukan segala sesuatu hanya
dengan kekuatannya sendiri. Manusia
membutuhkan Hikmat dari Tuhan.
(Amsal 2 : 6)
Dalam kekristenan, Allah yang telah
menciptakan manusia. Ia menciptakan
manusia segambar dan serupa dengan
Allah. (Kejadian 1:1,27)
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)
6
itu.
Dalam ekstensialisme manusia tidak
memiliki apa pun saat dilahirkan
Dalam kekristenan setelah kejatuhan
manusia sejak lahir telah membawa
natur keberdosaan. (kejadian 3)
TAMBAHAN
Dalil yang digaungkan Sartre dalam filsafatnya yang menetang keberadaan tuhanadalah
"eksistensi mendahului esensi". Maksud dari "eksistensi mendahului esesni" adalah
eksistensi disini menyangkut bentuk, wujud dan yang nampak sementaraesensi
menyagkutabstrak, konsep, ide . lebih jelas Sartre menjelaskan
"Apa itu eksistensi mendahului esensi? yang kita maksud adalah bahwa, pertama tama
manusia ada, berhadapan dengan dirinya sendiri, terjun ke dalam dunia.... dan barulah
setelah itu mndefinisikan dirinya." (Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 44 )
2. Tokoh-tokoh Eksistensialisme
a. Soren Aabye Kiekegaard
Kierkegaard adalah seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf Eksistensialisme yang
terkenal abad 19. Kierkegaard berpendapat bahwa manusia dapat menemukan arti hidup
sesungguhnya jika ia menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak terbatas dan
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)
7
merenungkan hidupnya untuk melakukan hal tersebut, walaupun dirinya memiliki keterbatasan
untuk melakukan itu. Karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial, tujuan filsafat Kierkegaard
adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang individu?”. Kiergaard
menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut, yakni manusia (aku) bisa menjadi individu yang
autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Inti pemikiran Kierkegaard adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi
senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari
cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia
untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
b. Friedrich Nietzsche
Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman. Tujuan filsafatnya adalah untuk menjawab pertanyaan
“bagaimana caranya menjadi manusia unggul?”. Jawabannya adalah manusia bisa menjadi
unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.
Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk
berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (
bermensch) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanyaـ
dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan
akan menemukan dirinya sendiri.
c. Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif
serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri .Ada dua
fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
d. Martin Heidegger
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)
8
Martin Hiedegger merupakan pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf saja yang mengerti
pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara sistematis. Tujuan dari
pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk menjawab pengertian dari “being”.
Heidegger berpendapat bahwa “Das Wesen des Daseins liegt in seiner Existenz”, adanya
keberadaan itu terletak pada eksistensinya. Di dalam realitas nyata being (sein) tidak sama
sebagai “being” ada pada umumnya, sesuatu yang mempunyai ada dan di dalam ada, dan hal
tersebut sangat bertolak belakang dengan ada sebagai pengada. Heidegger menyebut being
sebagai eksistensi manusia, dan sejauh ini analisis tentang “being” biasa disebut sebagai
eksistensi manusia (Dasein). Dasein adalah tersusun dari da dan sein. “Da” disana (there), “sein”
berarti berada (to be/being). Artinya manusia sadar dengan tempatnya.
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang
berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada
diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-
benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
e. Jean Paul Sartre
Jean-Paul Sartre filsuf lain dari eksistensialisme berpendapat eksistensi mendahului esensi,
manusia adalah mahkluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul di dalam dunia. Jean-paul
Sartre kemudian menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki suatu apapun, namun dia dapat
membuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Menurut Sartre adanya manusia itu bukanlah “etre”
melainkan “a etre”. Artinya manusia itu tidak hanya ada tapi dia selamanya harus membangun
adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak henti-hentinya.
Satre berkeyakinan bahwa inti setiap relasi antarmanusia adalah konflik, saling menegasikan
terus-menerus, karena seorang manusia menjadi subjek sekaligus juga objek bagi yang lain. Oleh
karena itu, satu dengan yang lainnya berusaha untuk memasukkan orang lain ke dalam pusat
”dunia”-nya. Mengikuti Nietzsche, Sartre mengutuk setiap bentuk objektivikasi dan
impersonalisasi. Tak ada standar baik dan
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)
9
buruk kecuali kebebasan itu sendiri.
Sartre menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan
untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk
yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.
Sepanjang sejarah eksistensialisme, kebebasan ala Sartre ini boleh dibilang paling ekstrim dan
radikal. Dalam sejarah perkembangan filsafat, agaknya tidak ada pendirian tentang kebebasan
yang ekstrim dan radikal seperti Sartre.
3. Hakekat Eksistensialisme
Eksistensialisme berarti filsafat mengenai aku, dan bagaimana aku hidup. Dengan demikian,
eksistensialisme adalah filsafat subyektif mengenai diri. Hal ini terlihat pada ide-ide dari tiga
eksistensialis terbesar Eropa: Soren Kierkegaard (1813-1855), Martin Heidegger (1889-1976)
dan Jean-Paul Sartre (1905-1980).
Eksistensialisme Kierkegaard tercapai karena menemukan diri di hadapan Tuhan. Bagi
Heidegger, filsuf Jerman dengan karya Being & Time yang sangat berpengaruh, diri terkait
dengan ‘pengada otentik’, atau kecerdasan identitas.
Sementara bagi Sartre, diri serupa dengan konsep Descartes, tetapi dengan meniadakan Tuhan.
Diri bagi Sartre adalah pengakuan atas Tuhan. Karena, dalam menciptakan manusia yang kita
inginkan, tak ada satupun dari tindakan-tindakan kita yang tidak sekaligus menciptakan
gambaran tentang manusia sebagaimana ia seharusnya.
Dalil diataslah, menurut Sartre lagi, yang menggambarkan diri kita sebagai ‘Tuhan kecil’ yang
berada atau menyatu dalam diri kita, sekaligus yang ‘memiliki kebebasan kita’ seperti sebuah
kebajikan metafisik (Being & Nothingness, 1943:42).
Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata “eks” yang berarti diluar dan “sistensi” yang
berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)
10
sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Eksistensialisme merupakan suatu aliran
dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu
mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi
dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkrit.
Eksistensialisme didefinisikan sebagai usaha untuk memfilsafatkan sesuatu dari sudut pandang
pelakunya, di bandingkan cara tradisonal, yaitu dari sudut penelitinya. Eksistensialisme memberi
perhatian terhadap masalah-masalah kehidupan manusia modern. Eksistensialisme menekankan
tema eksistensi pribadi yang dibandingkan dengan eksistensi manusia secara umum,
kemustahilan hidup dan pertanyaan untuk arti dan jaminan kebebasan manusia, pilihan dan
kehendak, pribadi yang terisolasi, kegelisahan, rasa takut yang berlebihan dan kematian.
Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia,
dimana manusia dipandang sebagai suatu makhluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara
manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme
adalah manusia konkrit.
Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara manusia berada, eksistensi
diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia dipandang sebagai
suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkrit.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang
benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan
mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan
karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat.
Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat
kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal
kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)
11
doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi
terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.
Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang
terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas,
maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering
muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas?
atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung
jawab"? Bagi eksistensialis,
ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari
setiap individu adalah kebebasan individu lain.
Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain daripada yang
lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia,
tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari
eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung
jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita
akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi
yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan
orangtua, atau keinginan sendiri.
Waini Rasyidin (2007:24) mengungkapkan bahwa teori eksistensialisme menomorsatukan hak
kebebasan individu menjadi diri sendiri yang bersifat terbuka terhadap segala kemungkinan yang
selalu baru. Jika dibandingkan dengan penerapannya dalam filsafat pendidikan, eksistensialisme
tampak lebih berpengaruh sebagai sistem filsafat, kecuali di Inggris dan dalam bidang
pendidikan profesional tertentu di universitas-universitas di Eropa Barat dan Amerika Utara. Inti
aliran eksistensialisme adalah filsafat hidup yang lebih menghormati hak hidup manusia sebagai
individu. Atas dasar asas individualisme, eksistensialisme berpendapat bahwa tidak ada unsur
hakiki di alam semesta yang bersifat universal.
Hakekat kenyataan tergantung pada persepsi individu yang bersangkutan. Parkay (1998)
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)
12
membagi dua aliran pemikiran eksistensialisme, yakni bersifat theistik (bertuhan) dan atheistik.
Aliran theistik menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu kerinduan akan suatu wujud yang
sempurna, yakni Tuhan. Kerinduan ini tidak membuktikan keberadaan Tuhan, manusia dapat
bebas memilih untuk tinggal dalam kehidupan mereka seakan-akan ada Tuhan. Sementara aliran
atheistik berpendapat bahwa pendirian theistik merendahkan kondisi manusia. Ateistik
berpendapat bahwa manusia harus memiliki suatu fantasi agar dapat tinggal dalam kehidupan
tanggung jawab moral. Pendirian tersebut membebaskan manusia dari tanggung jawab untuk
berhubungan dengan kebebasan pilihan sempurna yang dimiliki.
Menurut eksistensialisme, terdapat dua jenis filsafat tradisional, yakni filsafat spekulatif dan
skeptis. Filsafat spekulatif menjelaskan tentang hal-hal yang fundamental tentang pengalaman,
dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam yang secara inheren telah ada dalam diri
individu. Dengan kata lain pengalaman tidak banyak berpengaruh pada diri individu. Filsafat
skeptik berpandangan bahwa semua pengalaman manusia adalah palsu, tidak ada sesuatu pun
yang dapat kita kenal dari realitas. Mereka menganggap bahwa konsep metafisika adalah
sementara.
Eksistensialisme menolak kedua pandangan tersebut dengan berpendapat bahwa manusia dapat
menemukan kebenaran yang fundamental berargumentasi, bahwa yang nyata adalah yang kita
alami. Realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, kita harus
menggambarkan apa yang ada dalam diri kita, bukan yang ada di luar kondisi manusia.
Paham eksistensialisme terdiri dari berbagai pandangan yang berbedabeda. Meski berbeda
pandangan-pandangan tersebut memiliki beberapa persamaan, sehingga pandangan tersebut
dapat digolongkan filsafat eksistensialisme. Persamaan-persamaan tersebut di antaranya:
a) Motif pokok eksistensialisme adalah apa yang disebut “eksistensi”, yaitu cara manusia berada.
Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Dengan kata lain
bersifat humanis.
b) Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara
aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan.
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)
13
c) Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih dalam
proses menjadi. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih lagi terhadap
sesama manusia.
d) Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalaman yang eksistensial.
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomologi, suatu
pandangan yang menggambarkan penampakkan benda-benda dan peristiwa-peristiwa
sebagaimana benda-benda tersebut tersebut menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusia.
Pengetahuan manusia tergantung pemahamannya tentang realitas, tergantung pada interpretasi
manusia terhadap realitas. Pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk
memperoleh pekerjaan atau karis siswa, melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan
alat pemenuhan diri.
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan
bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan berupa suatu potensi untuk
suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan
yang terbaik adalah yang tersulit. Berbuat akan menghasilkan akibat, dan seseorang harus
menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak akan pernah selesai, karena
setiap akibat akan melahirkan kebutuhan akan pilihan-pilihan selanjutnya.
Diposkan oleh MUKHTAR ARAHMAN/ IBENK BIMA di 06.08
Eksistensialisme. Sartre sendiri –yang mengistilahkan Eksistensialisme–
menawarkan sebuah definisi dalam esainya di tahun 1946: “Eksistensialisme adalah
Humanisme”. Menurut Sartre, seorang eksistensialis adalah orang yang percaya dan
bertindak berdasarkan dalil: “eksistensi mendahului esensi”. Bukan keterbalikannya:
“esensi mendahului eksistensi”. Dengan begitu, seorang eksistensialis pasti seorang ateis.
Dalam pengertian Sartre: manusia dinilai menurut kesesuaian dengan esensinya, serta
tidak ada hakikat manusia –karena tidak ada Allah yang menciptakannya.
“Memilih ini atau itu adalah menegaskan pada saat yang sama nilai dari apa yang
kita pilih, karena kita tidak pernah dapat memilih yang jahat, kita selalu memilih yang
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)
14
baik dan tidak ada sesuatu pun yang baik bagi kita tanpa menjadi baik bagi semua.” (hlm.
114)
"Eksistensi mendahuli Esensi", "Hidup dan Jangan Menyerah!" kata satre
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala-galanya dengan
berpangkalan pada eksistensi. Menurut asal kata eks berarti keluar dan sistensi berarti
menempatkan, berdiri. Atau bisa dikatakan juga bahwa yang dimaksud dengan eksistensi
adalah cara manusia berada di dunia ini. Cara itu hanya khusus bagi manusia, jadi yang
bereksistensi itu hanya manusia. (Driyarkara, 2006a:1281-1282)
edangkan Menurut Sartre, seorang eksistensialis adalah orang yang percaya dan
bertindak berdasarkan dalil berikut, yang berlaku untuk semua umat manusia yaitu
‘eksistensi mendahului esensi’. Apa artinya? Sebelum itu marilah kita membahas
pendapat ‘esensi mendahului eksistensi’. Esensi berarti hakikat dari suatu hal, definisi
dari suatu hal, ide mengenai suatu hal, sifat dasar atau kodrat, fungsi, dan program.
Artinya bahwa dalam benda buatan manusia esensi benar-benar mendahului eksistensi
(Palmer, 2007:21).
Bagi Sartre, manusia mengada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri. Dan
sebagai demikian itu maka ia tidak bisa dipertukarkan. Dengan demikian pula maka
adanya manusia berbeda dengan adanya hal-hal lain yang tanpa kesadaran tentang adanya
sendiri. Dengan lain perkataan bagi manusia eksistensi adalah keterbukaan; berbeda
dengan benda-benda yang lain dimana ada itu sekaligus esensi, maka bagi manusia
eksistensi mendahului esensi.
Ini mengandung arti bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri,
apapun jadinya eksistensinya, apapun makna yang hendak diberikan pada eksistensinya
itu, tiada lain yang bertanggung jawab adalah dirinya sendiri. Sebab dalam membentuk
dirinya sendiri itu, manusia mendapat kesempatan untuk tiap kali memilih apa yang baik
dan apa yang kurang baik baginya. Setiap pilihan yang dijatuhkan terhadap alternatif-
alternatif yang ditemuinya adalah pilihannya sendiri; ia tidak bisa mempersalahkan orang
lain, tidak pula bisa menggantungkan keadaan pada Tuhan (Hassan,1976:103).
L etre-en-soi menunjuk suatu cara bereksistensi yang tertutup, apa yang ada
sepenuhnya identik dengan dirinya sendiri. Ia bersifat tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)
15
celah, dan tanpa gerak sedikitpun untuk keluar dari dirinya. di situ tidak terdapat-subjek-
objek, sama sekali tidak mempunyai relasi. Oleh Sartre L etre-en-soi disebut ‘ada yang
tidak berkesadaran’. Boleh dikatakan ada jenis ini adalah adanya benda-benda, yang
berada begitu saja (Siswanto, 1998 : 140).
Lebih jelasnya tentang etre-en-soi itu harus dikatakan : it is what it is. Etre-en-soi
tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif : kategori-kategori macam itu itu
hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan manusia. Etre-en-soi tidak mempunyai masa
silam, masa depan; tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Etre-en-soi itu sama
sekali kontingen. Artinya : ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat
dimainkan dari sesuatu yang lain (Bertens, 2001 : 92). Menurut Sartre, segala yang
berada secara ini, segala yang L etre-en-soi, adalah memuakkan. Mengapa ? Meja, kursi,
pohon, dan sebagainya, dalam dirinya bukanlah apa-apa. Benda-benda itu bila kita lihat
sebagai de-facto demikian, seperti adanya tanpa alasan apa pun, lepas dari segala arti
yang kita berikan kepadanya dalam hidup sehari-hari akan tampak memuakkan
(Hadiwijono, 2011 : 159)
L etre-pour-soi
L etre-pour-soi atau ‘ada untuk diri’ menunjuk cara beradanya manusia yaitu pada
kesadaran manusia ; sifatnya melebar (co extensive) dengan dunia kesadaran dan sifat
kesadaran yang berada di luar diri sesuatu atau seseorang. Dalam kesadaran barulah
muncul adanya subjek dan objek. Ada yang sadar menjadi subjek, tetapi dia juga bisa
menjadi objek. Jadi seolah-olah di situ ada keduaanya ; subjek berhadapan dengan objek.
Yang berupa subjek adalah ‘pengada yang sadar’. Yang berupa objek ialah dia sendiri,
sekedar disadari. Tetapi kesadaran itu tidak identik dengan dirinya karena ia hanya
berdiri sebagai ‘subjek yang lain’ dan tak terpisahkan dengan dirinya sendiri. Antara
subjek yang menyadari dan objek yang disadari selalu terdapat jarak, jarak antara aku dan
diriku, inilah yang disebut ‘ketiadaan’ (Siswanto, 1998: 141
Sebetulnya, peniadaan itu terjadi terus menerus, terjadi tak ada berhenti-hentinya,
sebab manusia itu tidak pernah berhenti. Dia terus saja berbuat. Setiap perbuatan itu
berupa perpindahan. Perpindahan perubahan, karena manusia tidak bisa menghendaki
ketetapan dan itu justru karena kesadaranya. Pandanglah sekarang demikian : manusia itu
dlaam tiap-tiap perbuatan berubah, mengalih, jadi bergerak ke-. Karena dia sedang
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)
16
berubah, karena dia sedang mengalih ke-, karena dia sedang bergerak ke-, jadi dia belum
seperti yang dimaukan. Dia dalam keadaan yang tidak dikehendaki dan keadaan seperti
yang dikehendaki belum ada. Jadi dia belum ada. Jadi, yang dikehendaki belum ada dan
yang tidak ada tidak dikehendaki. Itulah manusia dalam tiap detik. Jadi dia selalu
meniadakan (Driyarkara, 2006a: 1309). Itulah yang dimaksud Ada selalu menuju
ketiadaan
Sejauh ini kita telah melihat bahwa menurut Sartre ‘diri’ bukanlah entittas
substantif yang terus menerus tidak berubah sepanjang waktu. Demikian pula, kepastian
absolutnya tidak bisa diasalkan dari kesadaran (seperti yang diyakini Descartes dengan
dalilnya “cogito ergo sum”). Diri juga bukan hanya kesatuan biologis, yaitu tubuh
manusia, sebagaimana yang diyakini oleh kaum materialis (Karena tidak ada kontinuitas
biologis semacam itu. Sel-sel yang membangun kamu delapan tahun yang lalu sudah
mati.) ‘diri’ bukanlah sesuatu yang secara otomatis anda peroleh karena memiliki orang
tua manusia; sebaliknya, diri adalah pembentukan terus menerus yang setiap saat
diciptakan kembali melalui pilihan-pilihan kita (Palmer, 2007:89).