f09lat
DESCRIPTION
sambalTRANSCRIPT
PENGARUH EDIBLE COATING PATI UBI JALAR PUTIH (Ipomoea
batatas L.) TERHADAP PERUBAHAN WARNA APEL POTONG SEGAR
(FRESH-CUT APPLE)
Oleh:
LATIFAH
F24103095
2009
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SKRIPSI
PENGARUH EDIBLE COATING PATI UBI JALAR PUTIH (Ipomoea
batatas L.) TERHADAP PERUBAHAN WARNA APEL POTONG SEGAR
(FRESH-CUT APPLE)
Oleh:
LATIFAH
F24103095
2009
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Latifah. F24103095. Pengaruh Edible Coating Pati Ubi Jalar Putih (Ipomoea
batatas L.) Terhadap Perubahan Warna Apel Potong Segar (Fresh-Cut
Apple). Di bawah bimbingan : Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS.
ABSTRAK
Pengolahan minimal (minimal processing) atau dikenal pula dengan istilah produk potong segar (fresh-cut product) merupakan pengolahan buah atau sayuran yang melibatkan pencucian, pengupasan, dan pengirisan sebelum dikemas dan menggunakan suhu rendah untuk penyimpanan sehingga mudah dikonsumsi tanpa menghilangkan kesegaran dan nilai gizi yang dikandungnya (Perera, 2007). Perlakuan proses pengolahan menyebabkan produk terolah minimal mudah mengalami penurunan mutu. Salah satu contoh penurunan mutunya adalah akibat terjadinya pencoklatan enzimatis (enzymatic browning). Pelapisan buah menggunakan edible coating merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk meminimalisir penurunan mutu buah terolah minimal. Edible coating merupakan lapisan terbuat dari bahan yang dapat dimakan dan berfungsi menahan laju perpindahan gas dan uap air (Baldwin, 1994). Komponen penyusun edible coating terdiri atas hidrokoloid, lemak, atau campurannya (Donhowe-Irene dan Fennema, 1994). Untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan sebaiknya dipilih edible coating yang memiliki daya penahan gas yang baik, misalnya pati. Dalam penelitian ini dilakukan pembuatan edible coating dari pati ubi jalar dengan mengkombinasikannya dengan tapioka dan diaplikasikan pada apel potong segar. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah (1) mengetahui pengaruh edible coating yang terbuat dari pati ubi jalar dikombinasikan dengan tapioka terhadap tingkat pencoklatan apel potong segar, (2) menentukan formulasi terbaik edible coating yang memiliki kemampuan penghambatan pencoklatan apel potong segar paling signifikan. Parameter yang diamati terutama nilai Browning Index (BI) dan laju respirasi. Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yakni penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan pati ubi jalar sebagai bahan pembuat edible coating serta penentuan konsentrasi pati dan CMC yang memberikan viskositas tidak terlalu kental juga tidak terlalu encer melalui pengamatan secara visual (subjektif). Terdapat empat kombinasi konsentrasi pati dan CMC yang dicobakan, yaitu (1) pati ubi jalar 1% b/v; CMC 0.5% b/v, (2) pati ubi jalar 1% b/v; CMC 1% b/v, (3) pati ubi jalar 2% b/v; CMC 0.5% b/v, dan (4) pati ubi jalar 2% b/v; CMC 1% b/v. Volume yang dimaksud yakni volume larutan pati setelah ditambahkan dengan CMC. Analisis yang dilakukan pada tahap penelitian pendahuluan adalah analisis rendemen pati, derajat putih, dan densitas kamba. Penelitian utama meliputi pengukuran laju respirasi, susut bobot, warna, dan organoleptik. Faktor yang diteliti adalah suhu penyimpanan (5°C dan suhu ruang) serta perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua kali ulangan. Penelitian pendahuluan menghasilkan pati ubi jalar dengan rendemen 16.1% dari bobot segar umbi, derajat putih 86.4%, dan densitas kamba 0.5 ± 0.09
g/ml. Sementara itu, formula untuk pembuatan edible coating terdiri atas pati 1% b/v larutan pati dan CMC, CMC 0.5% b/v larutan pati dan CMC, air destilata, dan gliserol 15% (v/b pati). Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai laju respirasi apel potong segar. Nilai laju respirasi apel potong segar yang disimpan pada suhu 5°C lebih rendah dibanding apel potong segar yang disimpan pada suhu ruang.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai laju respirasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa larutan edible coating yang digunakan tidak dapat berperan sebagai penahan laju respirasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap susut bobot apel potong segar. Susut bobot apel potong segar yang disimpan pada suhu 5°C lebih rendah dibanding apel potong segar yang disimpan pada suhu ruang. Sedangkan perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuatan edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai susut bobot. Hasil uji-t menunjukkan bahwa lama penyimpanan juga berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai susut bobot yang diperoleh. Nilai susut bobot semakin meningkat dengan meningkatnya lama penyimpanan.
Pengamatan terhadap nilai BI dan L menunjukkan bahwa suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai Browning Index (BI) dan L (kecerahan) apel potong segar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai BI dan L. Nilai BI dan L tetap tinggi meskipun produk apel potong segar sudah dilapisi edible coating.
Hasil uji organoleptik apel potong segar terhadap parameter rasa menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap penilaian panelis. Hasil uji organoleptik terhadap parameter warna menunjukkan bahwa penambahan edible coating pada apel potong segar dengan berbagai konsentrasi berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap tingkat kesukaan panelis. Dibanding kontrol, apel yang terlapis edible coating lebih tidak disukai panelis.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jumlah coating yang melekat per-satuan permukaan produk untuk mengetahui keefektifan dari suatu larutan edible coating. Selain itu, pembuatan edible coating sebaiknya ditambahkan lipid untuk menurunkan susut bobot produk terlapis. Penambahan asam sitrat dan asam askorbat sebagai antioksidan sebaiknya dilakukan dalam larutan edible coating itu sendiri dan konsentrasi pemlastis (plasticizer) sebaiknya diturunkan sehingga edible coating lebih cepat kering.
PENGARUH EDIBLE COATING PATI UBI JALAR PUTIH (Ipomoea batatas L.) TERHADAP PERUBAHAN WARNA APEL POTONG SEGAR
(FRESH-CUT APPLE)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
LATIFAH
F24103095
2009
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH EDIBLE COATING PATI UBI JALAR PUTIH (Ipomoea
batatas L.) TERHADAP PERUBAHAN WARNA APEL POTONG SEGAR
(FRESH-CUT APPLE)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
LATIFAH
F24103095
Dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 November 1984
di Jakarta
Tanggal lulus :
Bogor, Februari 2009
Menyetujui,
Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 12 November 1984 di Jakarta. Penulis
merupakan anak dari pasangan bernama Syafi’i dan Mulia. Penulis menyelesaikan
pendidikan dasar di MI Ash-Sholihin pada tahun 1997, MTs Negeri 12 Jakarta
Barat pada tahun 2000, SMU Negeri 78 Jakarta Barat tahun 2003, dan pada tahun
yang sama diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian
Bogor melalui SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).
Penulis aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi
Pertanian (BEM-F) sebagai Staf Administrasi dan Keuangan (tahun 2004) dan
Ketua Departemen Kesekretariatan (tahun 2005). Sementara itu, pada tahun 2006
penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM-KM)
IPB sebagai Sekretaris Departemen Pertanian. Penulis juga aktif di berbagai
kepanitiaan kampus.
Penulis menyelesaikan skripsi pada tahun 2008 dengan judul “Pengaruh
Edible Coating Pati Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.) terhadap Perubahan
Warna Apel Potong Segar (Fresh-Cut Apple)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Adil
Basuki Ahza, MS.
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Pengaruh Edible Coating Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Terhadap
Perubahan Warna Apel Potong Segar (Fresh-Cut Apple)”.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS selaku dosen pembimbing akademik atas
bimbingan, arahan, dan bantuannya selama ini.
2. Dr. Ir. Sukarno, M. Sc dan Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA selaku dosen
penguji.
3. Mama, Umi, Abi, K Fia, K Faris, Cing Mameh, Riva, Cing Cecet, serta
seluruh keluarga yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas kasih sayang,
motivasi, dan bantuannya selama ini.
4. Ibu Rub, Pak Sidik, Pak Sob, Pak Wahid, Mas Eddy, Mas Doddy, Pak Yahya,
atas bantuan selama penelitian.
5. Pak Sulyaden, Pak Tjahja Muhandri, Bu Waysima, atas kebaikan dan
bantuannya.
6. Diah Rochana, Dyah Setyorini, Septina, Mb Dhenok, Niken yang telah
bertugas dengan baik sebagai sie transportasi.
7. Ventri, Mely, Lia, Rina, Riwil, Ririn, Eti, Nona, Sohib, Erma, Risma, Mita,
Okta, Andri, Kani, Dyah, Chie2, Henry, Dwi, Eli, Ery, Ika, Tika, Risma, Ida,
Andri, Cucu, Fitri yang telah banyak membantu selama penelitian.
8. Syifa, Yeyen, Rosyi, Rifa, Asih, Astri, atas kebersamaannya.
9. Novi yang sangat setia menemani dikala sulit, Noor, Intan, Mona, Santo,
Riska, I2n, Wati, Lina, Angga, dan teman-teman ITP 40 yang tidak dapat
disebutkan namanya satu per satu, atas kebaikan dan keceriaan yang telah
diberikan.
10. Rien, Aliy, Maryono, Ani, Adam, Aji, Ferdy, Laela, Fitri, Diah, Putra, Zulvan,
Dani, Eko, Nur, Erick, Pi2t, Redy, Linda, Eva, Ramlah, Kristanto, Eka, dan
seluruh teman-teman di BEM-KM atas kebersamaannya.
ii
11. Lia, Shaqira, Fadli, Tyan, teman-teman SMU yang setia menemani dan
membantu.
12. Mb Siti, Mb Ari, Mb Leni, Erven, Uyuy, Anis, Ayu, Ramadhan’ers yang
selalu ceria.
13. Ami dan Rina yang selalu membantu untuk persoalan-persoalan statistik.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat
kekurangan, untuk itu saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan
sebagai perbaikan di masa mendatang.
Bogor, Februari 2009
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. viii
I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Tujuan Penelitian ................................................................................. 2
C. Manfaat Penelitian ............................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4
A. Edible Coating .................................................................................... 4
B. Pati ...................................................................................................... 6
C. Ubi Jalar ............................................................................................. 7
D. Pencoklatan (Browning) ....................................................................... 9
E. Apel ................................................................................................... 11
F. Pengolahan Minimal (Minimal Processing) ........................................ 12
G. Respirasi ............................................................................................. 14
III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 17
A. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 17
B. Bahan dan Alat .................................................................................... 17
C. Prosedur Penelitian .............................................................................. 17
1. Penelitian Pendahuluan .................................................................. 19
2. Penelitian Utama ........................................................................... 24
D. Pengamatan .......................................................................................... 26
1. Rendemen ....................................................................................... 27
2. Derajat Putih ................................................................................. 27
3. Densitas Kamba ........................................................................... 27
4. Laju Respirasi ................................................................................. 28
5. Susut Bobot .................................................................................... 29
6. Warna ............................................................................................. 29
iv
7. Organoleptik ................................................................................. 30
E. Rancangan Percobaan ........................................................................... 31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 33
A. Penelitian Pendahuluan ........................................................................ 33
1. Rendemen ....................................................................................... 34
2. Derajat Putih ................................................................................. 34
3. Densitas Kamba ............................................................................. 34
B. Penelitian Utama .................................................................................. 35
1. Laju Respirasi ................................................................................ 35
2. Susut Bobot ................................................................................... 39
3. Warna ............................................................................................. 42
4. Organoleptik .................................................................................. 45
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 47
A. Kesimpulan .......................................................................................... 47
B. Saran ..................................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 50
LAMPIRAN ..................................................................................................... 54
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kemungkinan penggunaan edible film dan coating ……………….. 5
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur amilosa ........................................................................... 6
Gambar 2. Struktur amilopektin .................................................................... 7
Gambar 3. Ubi jalar putih ............................................................................. 8
Gambar 4. Apel Manalagi sebelum mengalami browning (kiri) dan
setelah mengalami browning (kanan) .......................................... 10
Gambar 5. Apel Manalagi ............................................................................. 12
Gambar 6. Contoh produk terolah minimal .................................................... 13
Gambar 7. Kurva laju respirasi antara klimakterik dan non-klimakterik ....... 16
Gambar 8. Diagram alir penelitian ................................................................ 19
Gambar 9. Diagram alir pembuatan pati ubi jalar (Shinta, 2007) ................. 20
Gambar 10. Diagram alir pembuatan pati ubi jalar modifikasi ....................... 21
Gambar 11. Oven yang digunakan untuk pengeringan pada pembuatan
pati ............................................................................................... 21
Gambar 12. Blender kering yang digunakan untuk pengeringan pada
pembuatan pati ............................................................................. 22
Gambar 13. Diagram alir pembuatan edible coating (Santoso et al., 2004) .... 23
Gambar 14. Diagram alir pembuatan edible coating modifikasi .................... 23
Gambar 15. Pemanasan dan pengadukan pati menggunakan magnetic stirrer.. 24
Gambar 16. Diagram alir aplikasi edible coating pada apel potong segar
(Layuk et al., 2002) ...................................................................... 25
Gambar 17. Diagram alir aplikasi edible coating pada apel fresh-cut
modifikasi ................................................................................... 26
Gambar 18. Chromameter Minolta CR-200 ................................................... 29
Gambar 19. Pati ubi jalar yang telah diayak ................................................... 33
Gambar 20. Produk yang telah mengalami kerusakan pada penyimpanan
suhu ruang (kiri) dan 5°C (kanan) ................................................. 35
Gambar 21. Grafik laju produksi CO2 tiap konsentrasi pati ubi jalar-tapioka pada
suhu 5°C ...................................................................................... 38
Gambar 22. Grafik laju produksi CO2 tiap konsentrasi pati ubi jalar-tapioka
pada suhu ruang.............................................................................. 39
vii
Gambar 23. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka
terhadap susut bobot selama penyimpanan pada suhu ruang ....... 41
Gambar 24. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka
terhadap susut bobot selama penyimpanan pada suhu 5°C ........... 41
Gambar 25. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka
terhadap nilai BI selama penyimpanan pada suhu ruang ............... 42
Gambar 26. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka
terhadap nilai BI selama penyimpanan pada suhu 5°C.................. 43
Gambar 27. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka
terhadap nilai L selama penyimpanan pada suhu ruang ............... 43
Gambar 28. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka
terhadap nilai L selama penyimpanan pada 5°C ............................ 44
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data perhitungan analisis pendahuluan ................................... 54
Lampiran 2. Proses pengukuran laju respirasi ............................................. 55
Lampiran 3a. Data laju respirasi apel potong segar (fresh-cut apple) pada
suhu ruang ............................................................................... 56
Lampiran 3b. Data laju respirasi apel potong segar (fresh-cut apple) pada
suhu 5°C ................................................................................. 56
Lampiran 4. Hasil ANOVA untuk laju respirasi ........................................ 57
Lampiran 5a. Data analisis susut bobot pada suhu ruang …......................... 58
Lampiran 5b. Data analisis susut bobot pada suhu 5°C ............................... 58
Lampiran 6. Hasil ANOVA untuk susut bobot .......................................... 59
Lampiran 7a. Rumus konversi nilai L dan BI ………………...................... 61
Lampiran 7b. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar
(fresh-cut apple) hari ke-0 ..................................................... 61
Lampiran 8a. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar
(fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu ruang
hari ke-1 ................................................................................. 62
Lampiran 8b. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar
(fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu ruang hari
ke-2 ........................................................................................ 62
Lampiran 9a. Data Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar
(fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu 5°C hari
ke-1 ......................................................................................... 63
Lampiran 9b. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar
(fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu 5°C hari
ke-2 ........................................................................................ 63
Lampiran 10a. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar
(fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu 5°C hari
ke-3 ......................................................................................... 64
Lampiran 10b. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar
(fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu 5°C hari
ix
ke-4 ........................................................................................ 64
Lampiran 11. Hasil ANOVA untuk nilai BI ............................................... 65
Lampiran 12. Hasil ANOVA untuk nilai L ................................................. 66
Lampiran 13. Penampakan warna apel pada hari ke-0 ................................. 67
Lampiran 14a. Penampakan warna apel pada hari ke-1 penyimpanan
suhu ruang ............................................................................. 68
Lampiran 14b. Penampakan warna apel pada hari ke-2 penyimpanan
suhu ruang .............................................................................. 68
Lampiran 15a. Penampakan warna apel pada hari ke-1 penyimpanan
suhu 5°C .................................................................................. 69
Lampiran 15b. Penampakan warna apel pada hari ke-2 penyimpanan
suhu 5°C .................................................................................. 69
Lampiran 16a. Penampakan warna apel pada hari ke-3 penyimpanan
suhu 5°C ................................................................................. 70
Lampiran 16b. Penampakan warna apel pada hari ke-4 penyimpanan
suhu 5°C .................................................................................. 70
Lampiran 17. Form penilaian uji organoleptik .............................................. 71
Lampiran 18. Skor uji organoleptik .............................................................. 72
Lampiran 19. Hasil ANOVA organoleptik parameter rasa .......................... 73
Lampiran 20. Hasil ANOVA organoleptik parameter warna.......................... 74
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengolahan minimal (minimal processing) atau dikenal pula dengan
istilah potong segar (fresh-cut) merupakan pengolahan buah atau sayuran yang
melibatkan pencucian, pengupasan, dan pengirisan sebelum dikemas dan
menggunakan suhu rendah untuk penyimpanan sehingga mudah dikonsumsi
tanpa menghilangkan kesegaran dan nilai gizi yang dikandungnya (Perera,
2007).
Buah potong segar (fresh-cut fruit) lebih tidak tahan lama
dibandingkan buah segar. Berbagai perlakuan yang dialami buah potong segar
seperti pengupasan, pemotongan, pengirisan dapat mengganggu integritas
jaringan dan sel yang dimilikinya. Akibatnya terjadi peningkatan produksi
etilen, peningkatan laju respirasi, degradasi membran, kehilangan air, dan
kerusakan akibat mikroorganisme. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya
perubahan enzimatis dan penurunan umur simpan serta mutu (Baeza-Rita,
2007). Kerusakan mekanis pada produk potong segar misalnya akibat
pemotongan dapat mengaktifkan enzim polifenol oksidase membentuk
senyawa melanin menimbulkan warna coklat pada buah atau sayuran (Wong
et al., 1994). Padahal warna menjadi atribut mutu yang sangat penting pada
produk buah-buahan atau sayuran terolah minimal (Lin dan Zhao, 2007). Jenis
buah-buahan yang sering mengalami reaksi pencoklatan adalah pisang, pir,
salak, pala, dan apel.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah reaksi
pencoklatan adalah penggunaan edible coating. Yakni lapisan terbuat dari
bahan yang dapat dimakan dan berfungsi menahan laju perpindahan gas dan
uap air (Baldwin, 1994). Komponen penyusun edible coating terdiri atas
hidrokoloid, lemak, atau campuran (Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).
Untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan sebaiknya dipilih edible
coating yang memiliki daya penahan gas yang baik, misalnya pati. Warna
coklat ini meskipun tidak berbahaya tetapi tetap saja mengurangi mutu produk
karena konsumen tidak menyukainya. Dibutuhkan edible coating dengan
2
karakteristik penahan gas yang baik karena dalam reaksi pencoklatan
enzimatis juga melibatkan oksigen sebagai substrat pembantu (co-substrate).
Semakin sedikit oksigen yang tersedia dalam jaringan buah maka reaksi
pencoklatan dapat diminimalisir (Marshall et al., 2000).
Selain sebagai penahan gas yang baik untuk diterapkan sebagai bahan
edible coating, pati juga memiliki kelebihan lain, yaitu harganya yang murah,
ketersediaan yang melimpah, serta penanganan yang relatif mudah (Gontard
dan Guilbert, 1994). Salah satu tanaman penghasil pati yang sangat potensial
adalah ubi jalar. Belum berkembangnya usaha pati ubi jalar ini karena
pemanfaatannya dalam industri yang masih sangat terbatas dibanding tapioka.
Mempertimbangkan faktor tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk
mempelajari pengaruh penggunaan pati ubi jalar yang dikombinasikan dengan
tapioka sebagai bahan edible coating terhadap perubahan warna coklat yang
menjadi masalah besar pada produk apel potong segar. Apel dipilih sebagai
produk potong segar karena apel termasuk jenis buah yang tidak tergantung
musim sehingga menguntungkan untuk dikembangkan secara berkelanjutan.
Banyaknya apel impor membuat posisi apel lokal seperti varietas Manalagi
semakin terpinggirkan. Dengan mengolahnya menjadi produk potong segar,
diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah apel lokal.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Mengetahui pengaruh edible coating yang terbuat dari pati ubi jalar
dikombinasikan dengan tapioka terhadap tingkat pencoklatan apel potong
segar.
2. Mempelajari laju respirasi apel potong segar melalui pengukuran jumlah
CO2 yang diproduksi.
3. Menentukan formulasi terbaik edible coating yang memiliki kemampuan
penghambatan pencoklatan apel potong segar (fresh-cut apple) paling
signifikan.
3
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Formulasi edible coating yang terbaik nantinya dapat diterapkan untuk
mengatasi permasalahan pencoklatan pada produk potong segar (fresh-cut
product), misalnya apel.
2. Dapat diketahui kondisi-kondisi yang diperlukan dalam pembuatan edible
coating serta aplikasinya pada produk apel potong segar.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Edible Coating
Edible coating adalah suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang
dapat dimakan, dibentuk melapisi makanan (coating) yang berfungsi sebagai
penghalang terhadap perpindahan massa (seperti kelembaban, oksigen, cahaya,
lipid, zat terlarut) dan atau sebagai pembawa aditif serta untuk meningkatkan
penanganan suatu makanan (Baldwin, 1994). Saat ini, coating digunakan
untuk buah-buahan dan sayuran segar yang bertujuan menghambat susut
bobot, memperbaiki penampilan dengan meningkatkan kilap pada produk, dan
menahan pertukaran gas antara produk dengan lingkungan (Grant dan Burns,
1994).
Terdapat tiga kelompok penyusun edible coating, yakni : hidrokoloid,
lipid, dan campurannya (komposit). Yang termasuk hidrokoloid adalah protein,
turunan selulosa, alginat, pektin, pati, dan polisakarida lain. Lipid dapat
diperoleh dari lilin, asilgliserol, dan asam lemak. Sementara itu, komposit
merupakan campuran antara lipid dan hidrokoloid (Donhowe-Irene dan
Fennema, 1994).
Hidrokoloid yang digunakan untuk coating dapat dibagi berdasarkan
komposisi, muatan molekul, dan kelarutan airnya. Berdasarkan komposisinya,
hidrokoloid terdiri atas karbohidrat dan protein. Jenis karbohidrat yang dapat
digunakan meliputi pati, alginat, pektin, gum arabik, dan pati termodifikasi.
Sementara itu, dari jenis protein adalah gelatin, kasein, protein kedelai, whey,
gluten gandum, dan zein jagung. Berdasarkan muatan molekulnya,
hidrokoloid baik untuk pembentuk film. Sedangkan alginat dan pektin
membutuhkan ion polivalen, biasanya kalsium untuk membentuk film.
Menurut kelarutan terhadap air, hidrokoloid lebih rendah daya tahannya
terhadap uap air dibanding protein karena sifat hidrokoloid yang hidrofilik
(Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).
Lipid sering digunakan sebagai penahan uap air atau sebagai pelapis
untuk meningkatkan kilap pada produk-produk konfeksionari. Lipid jarang
digunakan secara tunggal karena integritas struktur serta daya tahannya yang
5
rendah. Dari golongan lipid yang paling sering digunakan adalah lilin yang
berfungsi menghambat respirasi dan susut bobot pada buah dan sayuran
(Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).
Film (lapisan) dari bahan komposit dapat digunakan untuk mengatasi
kekurangan-kekurangan lipid dan hidrokoloid jika digunakan secara tunggal.
Jika sifat penahan uap air yang diinginkan, dapat digunakan lipid sebagai
bahan edible coating. Sementara itu, sifat daya tahan lipid yang rendah dapat
ditutupi dengan penggunaan hidrokoloid (Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).
Pemilihan jenis edible coating dapat disesuaikan dengan fungsi dan
kegunaan yang diinginkan, seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kemungkinan penggunaan edible film dan coating
Kegunaan Jenis Film yang Sesuai
Memperlambat migrasi kelembaban
Memperlambat migrasi gas
Memperlambat migrasi minyak dan lemak
Memperlambat migrasi bahan terlarut
Memperbaiki integritas struktur atau sifat-sifat
penanganan
Mempertahankan senyawa flavor yang volatil
Pembawa bahan tambahan pangan
Lipid, komposit
Hidrokoloid, lipid, atau komposit
Hidrokoloid
Hidrokoloid, lipid, atau komposit
Hidrokoloid, lipid, atau komposit
Hidrokoloid, lipid, atau komposit
Hidrokoloid, lipid, atau komposit
Sumber : Donhowe-Irene dan Fennema (1994)
Bahan yang sering ditambahkan pada edible coating antara lain
antimikroba, antioksidan, flavor, pewarna, dan plasticizer. Bahan antimikroba
yang umumnya sering digunakaan adalah asam benzoat, asam sorbat, kalium
sorbat, dan asam propionat. Antioksidan diperlukan untuk melindungi dari
reaksi oksidasi, degradasi, dan pemudaran. Antioksidan yang sering
digunakan berupa senyawa asam dan senyawa fenolik. Senyawa asam yang
digunakan antara lain asam sitrat, asam sorbat, dan ester-esternya. Senyawa
fenolik yang digunakan adalah BHA, BHT, propil galat, dan tokoferol. Jenis
plasticizer yang umum digunakan adalah gliserol (Anonim, 2006). Gliserol
ditambahkan untuk memperbaiki karakteristik mekanis dari film yang
terbentuk (Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).
6
Gliserol dibuat dengan menguraikan fruktosa difosfat dengan enzim
aldosa menjadi dihidroksi aseton fosfat, kemudian direduksi menjadi α-
gliserofosfat. Setelah itu, gugus fosfat dihilangkan dengan proses fosforilasi
(Winarno, 1997).
Selain plasticizer, bahan lain yang sering ditambahkan dalam
formulasi coating adalah CMC. CMC (carboxymethylcellulose) atau gum
selulosa merupakan eter selulosa anionik yang diperoleh dengan mereaksikan
selulosa alkali dengan natrium monokloroasetat. Fungsinya antara lain
menjaga tekstur alami, kerenyahan dan kekerasan produk, menghambat
pertumbuhan kapang pada keju dan sosis, dan mengurangi penyerapan
oksigen tanpa menyebabkan peningkatan kadar karbondioksida pada jaringan
buah-buahan (Nisperos-Carriedo, 1994).
CMC jarang digunakan sebagai bahan tunggal dalam pembuatan edible
coating atau film. Tetapi kemampuannya membentuk film yang kuat dan tahan
minyak sangat baik untuk diaplikasikan (Nisperos-Carriedo, 1994).
B. Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.
Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-
nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua
fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa
dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus
dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa seperti terlihat pada Gambar 1, sedang
amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-
5 % dari berat total (Winarno, 1997), seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 1. Struktur amilosa (Cornell, 2004)
7
Gambar 2. Struktur amilopektin (Cornell, 2004)
Menurut Blennow (2004), pati merupakan cadangan energi utama
dalam tumbuhan dan salah satu jenis karbohidrat yang ketersediaannya
melimpah. Pati yang tersimpan dalam organ tumbuhan, seperti pada jagung,
kentang, gandum, dan lain-lain berperan sebagai sumber energi manusia.
Pati tersusun dari dua macam karbohidrat, amilosa dan amilopektin,
dalam komposisi yang berbeda-beda. Dibandingkan amilopektin, amilosa
lebih berperan dalam pembentukan edible coating. Amilosa diperlukan untuk
pembentukan film dan pembentukan gel yang kuat (Nisperros-Carriedo, 1994).
Beberapa sifat pati adalah mempunyai rasa yang tidak manis, tidak
larut dalam air dingin tetapi di dalam air panas dapat membentuk sol atau gel
yang bersifat kental. Sifat kekentalannya ini dapat digunakan untuk mengatur
tekstur makanan, dan sifat gelnya dapat diubah oleh gula atau asam. Pati di
dalam tanaman dapat merupakan energi cadangan. Di dalam biji-bijian, pati
terdapat dalam bentuk granula. Penguraian tidak sempurna dari pati dapat
menghasilkan dekstrin, yaitu suatu bentuk oligosakarida (Winarno et al.,
1980).
C. Ubi Jalar
Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) berasal dari daerah tropik dan sub
tropik Amerika, yang menyebar ke daerah tropik dan sub tropik lainnya,
termasuk Indonesia. Tanaman ini termasuk famili Convolvulaceae
(kekangkungan). Ubi jalar adalah tanaman merambat dengan batang yang
bervariasi dalam ketebalan, panjang, dan kebiasaan pertumbuhan. Umbi
8
tanaman ubi jalar adalah akar yang membesar dan sebagai makanan cadangan
bagi tanaman, dengan bentuk antara lonjong sampai agak bulat seperti terlihat
pada Gambar 3. Warna kulit umbi bervariasi, dari putih kotor, kuning, merah
muda, jingga, sampai ungu tua. Warna daging putih, krem, merah muda,
kekuning-kuningan, dan jingga tergantung jenis dan banyaknya pigmen yang
terdapat dalam kulit. Pigmen yang terdapat di dalam umbi ubi jalar adalah
karotenoid dan antosianin (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan
Hortikultura dan IPB, 1999).
Gambar 3. Ubi jalar putih
Berdasarkan kekerasannya, umbi ubi jalar digolongkan atas dua
kelompok, yakni yang berumbi keras dan ubi yang berumbi lunak. Ubi yang
berumbi keras banyak mengandung pati, sedang ubi berumbi lunak banyak
mengandung air dan gula (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan
Hortikultura dan IPB, 1999).
Ubi jalar merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan yang
mempunyai daya adaptasi luas sehingga dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik di seluruh Nusantara. Komoditas ini merupakan tanaman umbi-
umbian penting kedua setelah ubi kayu yang mempunyai manfaat beragam.
Tidak hanya digunakan sebagai bahan pangan tetapi juga sebagai pakan ternak,
bahan baku industri maupun komoditas ekpor (Hafsah, 2004).
Tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan agribisnis ubi jalar
adalah masih lambatnya kemajuan industri pengolahan produk-produk
berbahan baku ubi jalar. Karena umbi ubi jalar merupakan gudang dari pati,
9
maka salah satu industri pengolahan yang dapat dikembangkna adalah tepung
dan pati (Hafsah, 2004).
Menurut Jamrianti (2007), produksi ubi jalar cukup tinggi
dibandingkan dengan beras maupun ubi kayu. Ubi jalar dengan masa panen 4
bulan dapat berproduksi lebih dari 30 ton/ha, tergantung dari bibit, sifat tanah
dan pemeliharaannya. Walaupun rata-rata produksi ubi jalar nasional baru
mencapai 12 ton/ha. Tetapi masih lebih besar, jika dibandingkan dengan
produksi gabah (± 4.5 ton/ha) atau ubi kayu (± 8 ton/ha), padahal masa panen
lebih lama dari masa panen ubi jalar.
Pati ubi jalar belum banyak dimanfaatkan di Indonesia seperti pati ubi
kayu, jagung, dan garut. Sifat-sifat fisik dan kimia pati berbeda-beda,
bergantung pada bahan dasarnya. Perbedaan tersebut menentukan kesesuaian
penggunaannya untuk bahan olahan pangan dan nonpangan (Ginting et al.,
2005).
Ubi jalar juga sangat potensial sebagai bahan baku industri. Komoditas
ini dapat digunakan dalam pembuatan pati termodifikasi, yang banyak
diperlukan industri makanan beku, pengalengan makanan, dan campuran
makanan bayi. Berbagai produk seperti roti dan mie juga dapat diolah dari ubi
jalar sebagai pensubtitusi terigu. Di Jepang, ubi jalar digunakan sebagai bahan
baku dalam industri alkohol, aseton, asam laktat, dan asam cuka (Kantor
Menteri Negara Urusan Pangan dan Hortikultura dan IPB, 1999).
D. Pencoklatan (Browning)
Proses pencoklatan (Browning) sering terjadi pada buah-buahan yang
rusak, memar, pecah, atau terpotong seperti pada pisang, peach, pir, salak,
pala, dan apel. Proses pencoklatan dapat dibagi menjadi dua jenis, proses
pencoklatan enzimatis dan non-enzimatis. Reaksi pencoklatan non-enzimatis
belum diketahui atau dimengerti penuh. Tetapi pada umumnya ada tiga
macam reaksi pencoklatan non-enzimatis yaitu karamelisasi, reaksi Maillard,
dan pencoklatan akibat vitamin C (Winarno, 1997).
Pencoklatan enzimatis terjadi pada buah-buahan yang banyak
mengandung senyawa fenol (Winarno, 1997). Berdasarkan pada derajat
10
kekompleksannya, senyawa fenol pada tanaman dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu : (1) senyawa fenol sederhana dan (2) senyawa fenol kompleks
(Muchtadi, 1992).
Kelompok senyawa fenol yang sederhana terdiri dari asam amino
tirosin, dihidroksifenilalanin (DOPA), katekol, dan asam kafeat. Asam kafeat
bila bereaksi dengan asam kuinat akan membentuk asam klorogenat. Asam
klorogenat banyak terdapat pada apel, kentang, arbei, dan pir (Muchtadi,
1992).
Golongan senyawa fenol yang kompleks terdiri sari antosianin, lignin,
dan tanin. Berdasarkan dapat tidaknya dihidrolisis, maka tanin dapat dibagi
menjadi dua golongan, yaitu hydrolizable tannin dan condensed tannin. Yang
pertama adalah tanin yang dapat dihidrolisis baik dengan asam, basa, atau
enzim yang akan menghasilkan senyawa-senyawa seperti sakarida, asam galat,
asam elagat atau asam yang lain. Yang kedua adalah tanin yang mempunyai
struktur yang kompleks dan tidak dapat dihidrolisis. Yang termasuk ke dalam
grup ini adalah katekin dan leukoantosianin, di mana molekulnya dapat
terpolimerisasi (Muchtadi, 1992).
Menurut Marshall et al. (2000), pencoklatan enzimatis terjadi setelah
senyawa fenolik yang bertindak sebagai substrat dan terdapat di vakuola
bertemu dengan enzim polifenol oksidase yang terdapat di sitoplasma dan
dibantu oleh oksigen yang bertindak sebagai substrat pembantu (co-substrate).
Mekanisme pencoklatannya adalah enzim polifenol oksidase mengkatalisis
oksidasi fenol menjadi o-quinon. Kemudian o-quinon secara spontan
melangsungkan reaksi polimerisasi menjadi pigmen berwarna coklat yang
disebut juga dengan melanin seperti yang terjadi pada apel pada Gambar 4.
Gambar 4. Apel Manalagi sebelum mengalami browning (kiri) dan setelah mengalami browning (kanan)
11
Enzim-enzim yang dapat mengkatalisis oksidasi dalam proses
pencoklatan dikenal dengan berbagai nama, yaitu fenol oksidase, polifenol
oksidase, fenolase, atau polifenolase; masing-masing bekerja spesifik untuk
substrat tertentu (Winarno, 1997). Enzim merupakan protein yang dihasilkan
oleh sel hidup yang bertindak sebagai katalis dalam reaksi kimia organik, yang
dapat mengubah bahan sedangkan dia sendiri tidak mengalami perubahan
(Sucipto, 2008).
Untuk mencegah terbentuknya warna coklat pada buah atau sayuran
dapat dilakukan dengan : (1) menghilangkan oksigen pada permukaan buah
atau sayuran yang terpotong, misalnya dengan merendam dalam air; (2)
menghilangkan tembaga yang terdapat pada gugus prostetik enzim polifenol
oksidase dengan menggunakan pengkelat seperti EDTA, asam-asam organik,
dan fosfor sehingga enzim polifenol oksidase tidak dapat melangsungkan
reaksi pencoklatan enzimatis; (3) inaktivasi enzim polifenol oksidase dengan
melakukan blansir pada buah atau sayuran; (4) penyimpanan dingin; (5)
menggunakan senyawa antioksidan; dan (6) menggunakan edible coating
(Marshall et al., 2000).
E. Apel
Menurut Sunarjono (2005), tanaman apel (Malus domesticus Borkh)
diduga berasal dari sekitar Israel-Palestina, kemudian menyebar ke seluruh
dunia, termasuk Indonesia. Eropa dan Australia merupakan negara yang paling
dulu mengembangkan tanaman apel secara agribisnis. Di Indonesia, tanaman
apel banyak terdapat di Batu (Malang) dan Soe (Timor Timur Selatan).
Buah apel berbentuk bulat hingga bulat telur, keras tetapi renyah, dan
airnya sedikit. Bila buah sudah tua, warnanya ada yang merah, kuning, atau
hijau (Sunarjono, 2005).
Salah satu varietas unggul yang telah dilepas adalah Manalagi, seperti
terlihat pada Gambar 5. Asalnya dari Desa Gandon, Batu. Warna buahnya
hijau muda kekuningan, pori kulit buahnya putih, jarang, aromanya sedap.
Daging buahnya agak liat, kurang berair, warnanya putih (Kusumo, 1986).
12
Gambar 5. Apel Manalagi
Menurut Sunarjono (2005), selain sebagai buah segar untuk buah meja
(cuci mulut), buah apel mempunyai nilai tinggi sebagai minuman (jus). Nilai
gizi yang terkandung di dalamnya cukup tinggi karena selain mengandung
vitamin A, B, dan C juga banyak mengandung mineral yang penting untuk
menjaga kesehatan manusia.
Apel termasuk buah yang dapat mengalami reaksi pencoklatan
enzimatis apabila mengalami kerusakan berupa memar ataupun pengirisan dan
pemotongan (Winarno, 1997). Hal ini disebabkan di dalam apel terkandung
senyawa fenol yang apabila berinteraksi dengan enzim polifenol oksidase
dengan bantuan oksigen akan mengalami pencoklatan (browning). Senyawa
fenol yang terkandung pada apel meliputi asam klorogenat, katekol, katekin,
asam kafeat, 3,4-dihidroksifenilalanin (DOPA), p-kresol, 4-metil katekol,
leukosianidin, dan flavonol glikosida (Marshall et al., 2000).
F. Pengolahan Minimal (Minimal Processing)
Pengolahan minimal (minimal processing) atau dikenal pula dengan
istilah potong segar (fresh-cut) merupakan pengolahan buah atau sayuran yang
melibatkan pencucian, pengupasan, dan pengirisan sebelum dikemas dan
menggunakan suhu rendah untuk penyimpanan sehingga mudah dikonsumsi
tanpa menghilangkan kesegaran dan nilai gizi yang dikandungnya (Perera,
2007). Akan tetapi, proses pemotongan produk-produk tersebut dapat
13
mengakibatkan kerusakan sel dan mempercepat kerusakan mutu (Baldwin dan
Nisperros-Carriedo, 1993).
Kelebihan dari buah-buahan dan sayuran yang terolah minimal, seperti
terlihat pada Gambar 6, selain kemudahan dalam penyajian adalah
memungkinkan konsumen melihat secara langsung kondisi bagian dalam
produk sehingga menawarkan mutu yang lebih terjamin dibandingkan buah
utuh. Apalagi buah-buahan umumnya tidak terlepas dari serangan hama lalat
buah (fruit fly), sehingga meskipun nampak mulus di bagian luar, akan tetapi
di dalamnya bisa saja terinfestasi telur atau ulat dari lalat buah. Untuk buah
berukuran besar, konsumen tidak harus mengeluarkan uang ekstra hanya
untuk membeli satu buah yang beratnya kiloan. Bahkan konsumen dapat
membeli beberapa jenis buah dalam satu kemasan dalam ukuran berat yang
relatif kecil, sehingga bisa memenuhi selera sekaligus menghemat pengeluaran
(Hasbullah, 2006).
Gambar 6. Contoh produk terolah minimal
Perlakuan-perlakuan pada produk potong segar seperti pengupasan dan
pemotongan dapat menyebabkan perubahan kimia dan biokimia yang
selanjutnya menyebabkan kerusakan mutu. Perubahan tersebut meliputi
peningkatan respirasi, produksi etilen, perubahan warna, flavor, pembentukan
metabolit sekunder, dan peningkatan pertumbuhan mikroba (Baldwin, 2007).
Perlakuan tambahan dapat diberikan untuk mengatasi masalah yang
timbul akibat pengolahan minimal yang bertujuan mempertahankan kualitas
dan memperpanjang masa simpan, di antaranya adalah (i) penggunaan bahan
14
tambahan pangan (BTP), dan (ii) penggunaan pelapis edibel. Penggunaan BTP
seperti asam askorbat untuk buah mangga dan rambutan, tri sodium phosphate
atau Na-alginat untuk melon terbukti dapat memperpanjang masa simpan.
Pelapis edibel dapat digunakan sebagai pengemas primer yang dapat dimakan
dan berfungsi untuk mengawetkan dan mempertahankan kesegaran serta
kualitas produk (Hasbullah, 2006).
G. Respirasi
Setelah dipanen, buah dan sayur masih melangsungkan metabolisme
hidup. Pada saat itu terjadi degradasi komponen di dalam buah dan sayur
menjadi komponen yang lebih sederhana. Proses tersebut berlangsung hingga
akhirnya buah atau sayur menjadi layu dan busuk (Wulandari, 2006).
Aktivitas metabolisme itu adalah respirasi atau pernapasan, di mana
terjadi penyerapan oksigen (O2) dan pelepasan karbondioksida (CO2) melalui
pemecahan komponen-komponen yang terkandung di dalam buah dan sayur
tersebut. Selain itu, terjadi juga transpirasi (pelepasan uap air) melalui pori-
pori permukaan buah dan sayur. Transpirasi yang terus-menerus terjadi, pada
akhirnya akan menyebabkan buah dan sayur menjadi layu (Wulandari, 2006).
Apabila persediaan oksigen berkurang maka buah-buahan cenderung
untuk melakukan fermentasi untuk memenuhi kebutuhan energinya. Senyawa
organik yang biasa digunakan dalam proses fermentasi pada umumnya adalah
glukosa yang akan menghasilkan beberapa bahan lain seperti aldehida, alkohol,
atau asam. Bila buah-buahan melakukan fermentasi, maka energi yang
diperoleh lebih sedikit per satuan substrat dibandingkan dengan cara
pernapasan (respirasi). Oleh karena itu, bila buah-buahan melakukan proses
fermentasi untuk memenuhi kebutuhan energi, diperlukan substrat (glukosa)
dalam jumlah yang banyak sehingga dalam waktu yang singkat persediaan
substrat akan habis dan akhirnya buah tersebut akan mati dan busuk (Muchtadi
dan Sugiyono, 1989).
Luka atau memar yang terjadi pada buah-buahan akan meningkatkan
sintesa etilen. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan
kecepatan respirasi karena diketahui bahwa etilen dapat menstimulir reaksi
15
enzimatis dalam buah-buahan (Muchtadi, 1992). Perubahan-perubahan
fisiologis yang disebabkan peningkatan etilen meliputi : (1) peningkatan
permeabilitas sel, (2) hilangnya sekat-sekat (decompartmentation), (3)
peningkatan pelayuan dan aktivitas respirasi, dan (4) peningkatan aktivitas
enzim (Wong et al., 1994).
Faktor-faktor yang mempengaruhi respirasi dapat dibedakan atas dua,
yaitu faktor internal (dari dalam bahan sendiri) seperti tingkat perkembangan
organ, komposisi kimia jaringan, ukuran produk, adanya pelapisan alami pada
permukaan kulitnya, dan jenis jaringan. Faktor eksternal (dari luar atau
lingkungan di sekeliling bahan) seperti suhu, penggunaan etilen, ketersediaan
oksigen, karbondioksida, terdapatnya senyawa pengatur pertumbuhan, dan
adanya luka pada buah (Muchtadi dan Sugiyono, 1989).
Menurut Muchtadi (1992), terdapat tiga fase dalam respirasi, yaitu :
1. Perombakan polisakarida menjadi gula-gula sederhana,
2. Oksidasi gula-gula sederhana tersebut masih menjadi asam piruvat, dan
3. Perubahan (transformasi) aerobik dari piruvat dan asam-asam organik lain
menjadi karbondioksida, air, dan energi.
Beberapa senyawa penting yang dapat digunakan untuk mengukur
proses respirasi adalah glukosa, ATP, CO2, dan O2. Oleh karena itu, beberapa
cara telah dicoba digunakan untuk mengukur perubahan kandungan gula,
jumlah ATP, jumlah CO2 yang dihasilkan, dan jumlah O2 yang digunakan.
Dari keempat cara tersebut, pengukuran yang mungkin dilaksanakan dengan
menggunakan cara yang sederhana dan praktis adalah dengan menghitung
produksi CO2. Cara ini mudah dilakukan karena selama respirasi jumlah CO2
yang keluar relatif cukup banyak (Winarno dan Wirakartakusumah, 1979).
Terdapat dua jenis respirasi yang terjadi pada buah-buahan, yaitu
klimakterik dan non-klimakterik. Menurut Muchtadi (1992), buah-buahan
yang termasuk golongan klimakterik misalnya pisang, mangga, pepaya, sawo,
apel, advokat, dan sebagainya. Sedangkan buah-buahan yang termasuk
golongan non-klimakterik misalnya semangka, jeruk, nenas, mentimun,
anggur, limau, dan sejenis arbei.
16
Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1979), klimakterik adalah
suatu periode mendadak yang unik bagi buah-buahan tertentu, di mana selama
proses ini terjadi serangkaian perubahan biologis yang diawali dengan proses
pembuatan etilen. Menurut Winarno dan Jenie (1973), respirasi klimakterik
ditandai dengan laju produksi CO2 yang terus menurun sampai mendekati
senescene. Pada saat senescene produksi CO2 meningkat kemudian turun lagi
seperti terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Kurva laju respirasi antara klimakterik dan non-klimakterik
Pada tahap klimakterik, kloroplas pecah terfragmentasi, endoplasmik
retikula terdegradasi, dan sitoplasma penuh dengan produk-produk hasil
degradasi, tetapi mitokondria masih tetap utuh. Pada saat lepas klimakterik,
kloroplas akan menghilang, demikian juga endoplasmik retikula, sedangkan
mitokondria akan mengadakan degradasi. Kerusakan yang terjadi pada
mitokondria menyebabkan suplai energi untuk keperluan metabolisme
berkurang dan akhirnya berhenti, sehingga menyebabkan terjadinya pelayuan
(Muchtadi, 1992).
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai September 2008.
Bertempat di Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fateta IPB dan Laboratorium Teknologi Pengolahan
Pangan dan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Fateta IPB.
B. Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah ubi jalar putih
yang diperoleh dari Pasar Anyar Bogor dan apel Manalagi yang diperoleh dari
Pasar Induk Kramat Jati. Apel Manalagi yang digunakan memiliki tingkat
kematangan sedang yang dicirikan dengan warna kuning muda. Bahan-bahan
lain yang digunakan adalah tapioka yang diperoleh dari pasar, air destilata,
CMC, gliserol, asam askorbat, dan asam sitrat.
Alat-alat yang digunakan meliputi pisau, pemarut, timbangan, blender
kering, kain saring, oven, ayakan 100 mesh, alat-alat gelas, Whitenessmeter,
magnetic stirer, pompa vakum, baskom, penggaris, Chromameter Minolta
CR-200, neraca analitik, Gas Analyzer Shimadzu, lemari pendingin,
termometer, pipet volumetrik, gelas pengaduk, gelas ukur, wrapping film (dari
jenis PVC) merk WITA, dan styrofoam.
C. Prosedur Penelitian
Penelitian ini memiliki dua tahapan, yakni penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan memperoleh pati ubi jalar
sebagai bahan pembuat edible coating dan menentukan konsentrasi pati dan
CMC yang memberikan viskositas tidak terlalu kental juga tidak terlalu encer
dengan pengamatan secara visual (subjektif). Sementara itu, penelitian utama
meliputi pembuatan edible coating yang selanjutnya diaplikasikan pada apel
potong segar untuk diamati. Tahapan penelitian secara lengkap dapat dilihat
pada Gambar 8.
18
*
Pembuatan pati untuk bahan dasar edible coating (Gambar 10)
Pengamatan
Densitas kamba
Penentuan konsentrasi pati dan CMC untuk edible coating
Penilaian subjektif (secara visual) berdasarkan viskositas, yakni tidak terlalu encer dan tidak terlalu kental
Konsentrasi pati dan CMC yang
diinginkan
Penelitian utama
Pembuatan edible coating (Gambar 14)
Pati 1% (b/v) CMC
0.5%(b/v)
Perbandingan pati ubi
jalar:tapioka 4:0 (A1)
Rendemen
Derajat putih
Pati 1% (b/v) CMC
1%(b/v)
Pati 2% (b/v) CMC
0.5%(b/v)
Pati 2% (b/v) CMC
1%(b/v)
Penelitian pendahuluan
Perbandingan pati ubi
jalar:tapioka 3:1 (A2)
Perbandingan pati ubi
jalar:tapioka 2:2 (A3)
Perbandingan pati ubi
jalar:tapioka 1:3 (A4)
Perbandingan pati ubi
jalar:tapioka 0:4 (A5)
Kontrol (A6)
Aplikasi pada apel potong segar (Gambar 17)
19
*
Gambar 8. Diagram alir penelitian
1. Penelitian Pendahuluan
Ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) yang digunakan sebagai bahan
penghasil pati diperoleh dari Pasar Anyar Bogor dan hanya dari satu
pedagang untuk menjaga keseragaman. Pembuatan pati mengacu pada
Shinta (2007) dengan modifikasi yang dapat dilihat pada Gambar 9 dan
10.
*
Pengamatan
Ubi jalar segar bersih (10 kg)
Disortasi
Dibersihkan (abrassive peeler)
Kotoran
Dirajang (slicer)
Diblender Air
Diperas
Disaring (kain batis)
Ampas
Suhu ruang (B1)
Suhu 5°C (B2)
Organoleptik
Warna
Susut bobot
Laju respirasi
20
*
Gambar 9. Diagram alir pembuatan pati ubi jalar (Shinta, 2007)
*
Diendapkan selama 5 jam
Pati ubi jalar basah
Dikeringkan dengan oven 40°C
Pati ubi jalar kering
Air Diperas
Disaring dengan kain saring
Ampas
Ubi jalar segar (5 kg)
Disortasi
Dicuci dan dikupas
Ubi jalar bersih (3.1 kg)
Diparut dengan mesin pemarut kelapa
Digiling
Disaring dengan pengayak 100 mesh
Pati ubi jalar (5.1 kg)
21
*
Gambar 10. Diagram alir pembuatan pati ubi jalar modifikasi
Modifikasi pembuatan pati ubi jalar dilakukan pada tahapan
pembersihan, pemarutan, dan pengeringan. Pengupasan kulit pada
penelitian ini tidak menggunakan abrassive peeler melainkan dilakukan
secara manual agar tidak banyak bagian yang terbuang sehingga dapat
mengurangi rendemen. Pemarutan juga dilakukan dengan mesin pemarut
kelapa agar lebih efisien. Pengeringan menggunakan oven (Gambar 11)
pada proses pembuatan pati dilakukan dua kali, yakni sebelum dan
sesudah pengecilan ukuran menggunakan blender kering yang terdapat
pada Gambar 12.
Gambar 11. Oven yang digunakan untuk pengeringan pada pembuatan pati
Diendapkan selama 5 jam pada suhu ruang
Pati ubi jalar basah
Dikeringkan dengan oven 40°C selama 4 jam
Disaring dengan pengayak 100 mesh
Pati ubi jalar (5.1 kg)
Filtrat
Dihaluskan (blender kering) skala 1
Dikeringkan dengan oven 40°C selama 18 jam
22
Gambar 12. Blender kering yang digunakan untuk pengeringan pada
pembuatan pati
Selain pembuatan pati, pada penelitian pendahuluan juga dilakukan
penentuan konsentrasi pati dan CMC yang memberikan viskositas tidak
terlalu kental juga tidak terlalu encer yang dinilai secara visual (subjektif).
Terdapat empat kombinasi konsentrasi pati dan CMC yang dicobakan,
yaitu (1) pati ubi jalar 1% b/v; CMC 0.5% b/v, (2) pati ubi jalar 1% b/v;
CMC 1% b/v, (3) pati ubi jalar 2% b/v; CMC 0.5% b/v, dan (4) pati ubi
jalar 2% b/v; CMC 1% b/v. Volume yang dimaksud yakni volume larutan
pati setelah ditambahkan dengan CMC. CMC digunakan sebagi campuran
pati karena kemampuannya menyerap oksigen tanpa meningkatkan
kandungan karbondioksida.
Larutan edible coating yang terlalu encer akan mengurangi efek
penghambatan reaksi pencoklatan produk, dalam hal ini apel potong segar.
Sementara itu, larutan edible coating yang terlalu kental selain
mengakibatkan lapisan yang terbentuk tidak merata, juga akan
memperlama waktu pengeringan produk serta dapat mengakibatkan
fermentasi anaerobik.
Setelah diperoleh kombinasi pati dan CMC yang tepat, penelitian
dilanjutkan dengan pembuatan larutan edible coating yang selanjutnya
digunakan untuk melapisi apel potong segar. Mekanisme pembuatan
edible coating mengacu pada Santoso et al. (2004) dengan modifikasi
yang dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.
23
Gambar 13. Diagram alir pembuatan edible coating (Santoso et al., 2004)
Gambar 14. Diagram alir pembuatan edible coating modifikasi
Pati
Air
Diaduk dengan mixer selama 15 menit
Disaring Gliserol 15% (v/b
tapioka), asam stearat, CMC
Dipanaskan pada suhu 70°C sambil terus diaduk
Degassing selama 20 menit
Larutan edible coating
Didinginkan sampai suhu kamar
Pati (2 gram)
CMC (1 gram) Air destilata (197 ml)
Diaduk manual menggunakan gelas pengaduk
Diaduk dengan magnetic stirer skala 8 selama 15 menit
Dipanaskan sampai suhu 85°C, sambil diaduk dengan magnetic stirer
Gliserol 15% (v/b pati)
Degassing dengan pompa vakum sampai tidak ada gelembung lagi
Larutan edible coating
24
Tahapan yang dimodifikasi pada pembuatan edible coating adalah
penambahan CMC dan penggunaan magnetic stirrer. Penambahan CMC
pada penelitian ini dilakukan bersamaan dengan pencampuran pati dan air
destilata untuk kemudian diaduk dengan gelas pengaduk. Tujuan
pengadukan dengan gelas pengaduk adalah untuk mengurangi gumpalan
yang diakibatkan adanya CMC sehingga larutan lebih homogen. Pada
penelitian ini digunakan magnetic stirrer (Gambar 15) sebagai pengganti
mixer. Penggunan magnetic stirrer menyebabkan proses pembuatan edible
coating lebih mudah karena pengadukan berlangsung otomatis. Pembuatan
edible coating juga tidak ditambahi asam stearat dan degassing dilakukan
sampai tidak terlihat gelembung lagi.
Gambar 15. Pemanasan dan pengadukan pati menggunakan magnetic stirrer
2. Penelitian Utama
Setelah diperoleh kombinasi pati dan CMC yang sesuai pada
penelitian pendahuluan yaitu konsentrasi pati 1% b/v dan CMC 0.5% b/v,
penelitian dilanjutkan dengan aplikasi larutan edible coating tersebut pada
apel potong segar. Pati yang digunakan tidak hanya dari pati ubi jalar tapi
juga tapioka. Tapioka ini kemudian dicampurkan pati ubi jalar menjadi
lima kombinasi perlakuan. Yaitu (1) perbandingan pati ubi jalar:tapioka
4:0, (2) perbandingan pati ubi jalar:tapioka 3:1, (3) perbandingan pati ubi
jalar:tapioka 2:2, (4) perbandingan pati ubi jalar:tapioka 1:3, dan (5)
perbandingan pati ubi jalar:tapioka 0:4. Penggunaan tapioka sebagai
25
campuran pati disebabkan kemudahan mendapatkannya di pasaran dan
sering digunakan sebagai bahan baku industri. Pencampurannya dengan
pati ubi jalar untuk mengetahui efektivitas kedua pati tersebut ketika
dijadikan bahan baku edible coating.
Apel yang telah dilapisi edible coating dengan berbagai kombinasi
perlakuan kemudian diamati laju respirasi, warna, susut bobot, dan
organoleptik. Cara aplikasi edible coating terhadap apel potong segar
mengacu pada Layuk et al. (2002) dengan beberapa modifikasi. Secara
lengkap dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17.
Gambar 16. Diagram alir aplikasi edible coating pada apel potong segar (Layuk et al., 2002)
Apel
Dikupas
Dipotong dengan ukuran 3 x 1.5 x 1.5 cm
Dicelupkan larutan asam askorbat dan asam sitrat 1:1 (5 menit)
Dicelupkan dalam larutan edible coating (5 menit)
Dikeringkan pada suhu 50°C selama 20 menit
Diletakkan dalam cawan petri
Dimasukkan dalam stoples tertutup
Diamati
Silica gel
26
Gambar 17. Diagram alir aplikasi edible coating pada apel potong segar
modifikasi
Modifikasi proses yang dilakukan berupa pengecilan ukuran apel
potong segar menjadi 2 x 1.5 x 1cm dari semula 3 x 1.5 x 1.5 cm. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan keterbatasan biaya. Selanjutnya
pengeringan tidak dilakukan menggunakan oven tapi dengan kipas angin.
Wadah yang digunakan adalah styrofoam dan ditutup dengan wrapping
film. Hal ini dilakukan karena styrofoam merupakan jenis pengemas yang
mudah ditemui. Setiap wadah styrofoam berisi empat buah potongan apel.
Dan setiap kombinasi perlakuan terdiri atas dua wadah sebagai ulangan.
D. Pengamatan
Pengamatan dibagi menjadi dua, yakni pengamatan untuk penelitian
pendahuluan dan pengamatan untuk penelitian utama. Pengamatan yang
Apel
Dicuci
Dipotong dengan ukuran 2 x 1.5 x 1cm
Dicelupkan larutan asam askorbat dan asam sitrat 1:1 (5 menit)
Dicelupkan dalam larutan edible coating (5 menit)
Ditiriskan
Dikeringkan dengan kipas angin hingga kering
Diletakkan dalam styrofoam
Ditutup dengan wrapping film
Diamati
27
dilakukan pada penelitian pendahuluan meliputi pengamatan rendemen pati,
derajat putih, dan densitas kamba. Sedangkan pengamatan yang dilakukan
pada penelitian utama meliputi laju respirasi, susut bobot, warna, dan
organoleptik.
1. Rendemen
Rendemen pati ubi jalar dihitung berdasarkan perbandingan bobot
kering pati yang diperoleh terhadap bobot umbi segar tanpa kulit
(bobot bersih). Perhitungan rendemen menggunakan rumus :
100%x b
a patiRendemen =
Keterangan :
a = Bobot kering pati ubi jalar
b = Bobot umbi ubi jalar bersih
2. Derajat Putih
Derajat putih diukur menggunakan alat Whitenessmeter. Pada alat
ini dibandingkan derajat putih contoh dengan derajat putih standar (MgO)
yang bernilai 100%. Skala terkecil dari Whitenessmeter adalah 0 % (sama
dengan warna hitam) dan skala terbesar adalah 100 % (sama dengan warna
putih standar MgO). Pembacaan derajat putih contoh dapat dilihat
langsung pada skala yang terdapat pada Whitenessmeter. Derajat putih dari
contoh yang diukur mempunyai nilai 0-100 %.
3. Densitas Kamba (Afdi, 1989)
Densitas kamba merupakan salah satu sifat fisik bahan pangan
yang berupa tepung atau biji-bijian yang dinyatakan dalam g/ml. Sampel
dituang ke dalam gelas ukur 100 ml. Penuangan dilakukan dari ketinggian
10 cm. Kemudian diratakan dengan penggaris. Selanjutnya gelas ukur
yang berisi pati ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara membagi
sampel dengan volume ruang yang ditempati seperti yang terdapat pada
rumus di bawah ini.
28
Densitas kamba = ukur gelas volume
ukur) gelas(berat - pati) ukur gelas(berat +
Nilai densitas kamba penting dalam hal konsumsi suatu produk
pangan. Densitas kamba suatu bahan mempengaruhi jumlah bahan yang
bisa dikonsumsi dan biaya produksinya (Peleg, 1983). Nilai densitas
kamba berbanding terbalik dengan kekambaan. Semakin kecil nilai
densitas kamba maka kekambaan produk tersebut semakin besar (bulky).
Artinya untuk satuan berat yang sama, produk yang memiliki densitas
kamba lebih kecil akan memerlukan tempat yang lebih besar.
4. Laju Respirasi
Laju respirasi diukur dengan menggunakan sistem tertutup, dengan
menempatkan buah apel potong segar (fresh-cut apple) ± 250 gram ke
dalam toples dan ditutup rapat supaya tidak ada udara yang masuk ke
dalam sistem.
Pada saat pengukuran, dua buah selang yang terhubung dengan
Gas Analyzer dimasukkan ke dalam toples yang akan diukur laju
respirasinya. Pengukuran gas CO2 dilakukan secara bertahap, mulai dari 4,
8, 12, sampai 24 jam sekali setiap harinya hingga tujuh hari atau hingga
produk rusak.
Menurut Saltveit (_______), persamaan laju respirasi gas CO2 dan
O2 adalah sebagai berikut :
dt
dxx
W
VR =
Keterangan :
R = Laju respirasi (ml/kg jam)
V = Volume bebas dalam respiration chamber (liter)
W = berat bahan (kg)
dt
dx = perubahan konsentrasi gas CO2 terhadap waktu (%/jam)
29
5. Susut Bobot
Penentuan susut bobot dilakukan dengan mengukur bobot apel
potong segar yang telah dikemas setiap hari. Pengukuran dihentikan
hingga umur simpan yang diketahui melalui pengukuran laju respirasi
pada tahapan sebelumnya. Bobot apel potong segar pada H-0 ditentukan
sebagai bobot awal. Susut bobot merupakan selisih dari bobot pada
sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Persamaan yang digunakan
untuk mengukur susut bobot adalah sebagai berikut :
Susut bobot = %100_ ×
o
to
W
WW
Keterangan :
oW = Bobot sampel pada hari ke-0 (gram)
tW = Bobot sampel pada hari ke-n (gram)
6. Warna
Intensitas warna diukur dengan menggunakan Chromameter
Minolta CR-200 seperti terlihat pada Gambar 18. Pada Chromameter
Minolta CR-200 digunakan sistem Y, x, dan y. Nilai ini kemudian
dikonversi ke dalam nilai L untuk menunjukkan kecerahan (Lightness).
Rumus konversi yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 7a. Sebelum
pengukuran dilakukan, Chromameter dikalibrasi dahulu dengan
calibration plate yang berwarna putih.
Gambar 18. Chromameter Minolta CR-200
30
Nilai x yang diperoleh dari pengukuran Chromameter digunakan
untuk mengetahui nilai Browning Index (BI). Browning Index (BI)
biasanya digunakan sebagai indikator tingkat pencoklatan pada produk-
produk mengandung gula. Semakin tinggi nilai BI menunjukkan semakin
tinggi intensitas warna coklat pada produk. Berdasarkan Perez-Gago et al.
(2003), nilai BI diperoleh menggunakan rumus sebagai berikut :
100x 0.172
0.31)-(x BI =
x adalah cromaticity coordinate yang diperoleh dari pembacaan
Chromameter.
7. Organoleptik
Salah satu syarat edible coating adalah tidak berasa dan jernih
(Gontard dan Guilbert, 1994). Dengan alasan itulah dilakukan pengujian
organoleptik terhadap produk apel potong segar yang telah dilapisi edible
coating dengan berbagai konsentrasi pati ubi jalar-tapioka. Untuk
mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap apel yang telah dilapisi.
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik parameter
warna dan rasa pada skala 1-5. Masing-masing kriteria penilaian tersebut
adalah (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) netral/biasa, (4) suka, dan
(5) sangat suka. Jumlah panelis yang digunakan adalah 31 orang panelis.
Data yang diperoleh diolah secara statistika menggunakan ANOVA
melalui program SPSS 15.
Pada uji penerimaan tidak ada contoh pembanding atau contoh
baku dan panelis dilarang mengingat atau membandingkan dengan contoh
yang diuji sebelumnya. Tanggapan harus diberikan secara cepat dan
spontan. Bahkan tanggapan yang sudah diberikan tidak boleh ditarik
kembali meskipun kemudian timbul keragu-raguan. Uji penerimaan lebih
subjektif daripada uji pembedaan. Karena itu beberapa panelis yang
ekstrim senang atau benci terhadap suatu komoditi atau bahan tidak dapat
lagi digunakan untuk melakukan uji penerimaan (Soekarto,1981).
31
E. Rancangan Percobaan
Faktor yang dicobakan dalam penelitian ini meliputi perbandingan
konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka (A) dan suhu penyimpanan (B) yang
dilakukan dengan dua kali ulangan. Faktor perbandingan konsentrasi pati ubi
jalar dan tapioka terdiri atas enam taraf atau perlakuan, yakni A1
(perbandingan pati ubi jalar:tapioka 4:0), A2 (perbandingan pati ubi
jalar:tapioka 3:1), A3 (perbandingan pati ubi jalar:tapioka 2:2), A4
(perbandingan pati ubi jalar:tapioka 1:3), dan A5 (perbandingan pati ubi
jalar:tapioka 0:4), serta kontrol (A6) yaitu apel yang tidak dilapisi edible
coating. Suhu penyimpanan terdiri atas dua taraf, yakni B1 (suhu ruang) dan
B2 (suhu 5°C). Masing-masing faktor menggunakan Rancangan Acak
Lengkap sebagai rancangan percobaannya.
Model linier yang digunakan untuk faktor perbandingan konsentrasi
pati ubi jalar dan tapioka adalah sebagai berikut (Matjik dan Sumertajaya,
2002) :
Y ij = µ + τi + εij
Keterangan :
i = 1,2,3,4,5,6 dan j = 1,2
Y ij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = Rataan umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
βj = Pengaruh faktor suhu penyimpanan pada taraf ke-j
εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
Untuk faktor suhu penyimpanan model linier yang digunakan adalah
sebagai berikut (Matjik dan Sumertajaya, 2002) :
Y ij = µ + τi + εij
Keterangan :
i = 1,2 dan j = 1,2
Y ij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = Rataan umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
32
βj = Pengaruh faktor suhu penyimpanan pada taraf ke-j
εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
Data yang diperoleh diolah secara statistika menggunakan instrumen
ANOVA melalui program SPSS 15. Bila terjadi perbedaan nyata antar
perlakuan, akan dilanjutkan dengan uji Duncan dengan selang kepercayaan
99% (α = 0.01).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penelitian Pendahuluan
Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan
agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan
dihaluskan menggunakan blender kering, selanjutnya pati disaring
menggunakan ayakan 100 mesh. Pengayakan ini menghasilkan pati yang halus
seperti terlihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Pati ubi jalar yang telah diayak
Tahapan selanjutnya yang dilakukan setelah pembuatan pati adalah
penentuan konsentrasi pati dan CMC yang memberikan viskositas tidak terlalu
kental juga tidak terlalu encer. Terdapat empat kombinasi konsentrasi pati dan
CMC yang dicobakan, yaitu (1) pati ubi jalar 1% b/v; CMC 0.5% b/v, (2) pati
ubi jalar 1% b/v; CMC 1% b/v, (3) pati ubi jalar 2% b/v; CMC 0.5% b/v, dan
(4) pati ubi jalar 2% b/v; CMC 1% b/v. Volume yang dimaksud yakni volume
larutan pati setelah ditambahkan dengan CMC. Berdasarkan pengamatan
subjektif secara visual terhadap viskositas yang dihasilkan keempat kombinasi
konsentrasi pati dan CMC, diperoleh kombinasi konsentrasi pati dan CMC
yang menghasilkan edible coating tidak terlalu encer dan juga tidak terlalu
kental, yakni kombinasi konsentrasi pati dan CMC yang pertama dengan
konsentrasi pati 1% b/v dan CMC 0.5% b/v.
34
1. Rendemen
Rendemen yang dihasilkan dari proses pembuatan pati sebesar
16.1%. Jika dibandingkan kadar pati rata-rata yang terdapat pada ubi jalar,
yakni 22.4% (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan Hortikultura dan
IPB, 1999), maka efisiensi pembuatan pati ubi jalar adalah 71.9%.
Efisiensi tidak mencapai 100% kemungkinan disebabkan pemerasan yang
kurang sempurna sehingga masih banyak pati yang tertinggal pada ampas.
2. Derajat Putih
Derajat putih rata-rata yang dimiliki pati ubi jalar adalah 86.4%.
Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan standar derajat putih tapioka mutu
I dan II berdasarkan SNI 01-3451-1994, yakni 94.5% dan 92.0%.
Perbedaan derajat putih ini terutama dipengaruhi oleh faktor
genetik. Faktor genetik mempengaruhi pati dalam dua hal, yaitu secara
tidak langsung dan secara langsung. Secara tidak langsung mempengaruhi
melalui kandungan berbagai komponen lain yang terdapat pada bahan
yang mengandung pati dan secara langsung mempengaruhi melalui tingkat
keputihan pati. Bahan hasil tanaman yang mengandung pati biasanya juga
mengandung komponen lain seperti pigmen dan berbagai mineral (Ega,
2002).
3. Densitas Kamba
Densitas kamba merupakan salah satu sifat fisik bahan yang
dinyatakan dengan perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan
itu sendiri dalam satuan gram/mililiter.
Nilai densitas kamba yang diperoleh pada penelitian ini adalah 0.5
± 0.09 g/ml. Nilai standar deviasi yang kecil menunjukkan bahwa densitas
kamba yang dihasilkan pada penelitian ini mendekati nilai densitas kamba
yang sebenarnya. Dibanding densitas kamba pati jagung yang berkisar
antara 0.575 – 0.687 g/ml (Ikhlas, 1992), nilai densitas kamba pati ubi
jalar yang diperoleh dalam penelitian ini lebih kecil. Hal ini menunjukkan
35
bahwa untuk satuan berat yang sama, pati ubi jalar akan menempati ruang
yang lebih besar dibanding pati jagung.
B. Penelitian Utama
1. Laju Respirasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur simpan produk apel
potong segar untuk suhu ruang hanya 40 jam atau ± 2 hari karena lewat
jam tersebut produk sudah mengalami kerusakan, yakni ditumbuhi kapang
dan berlendir. Lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20. Produk yang telah mengalami kerusakan pada penyimpanan suhu ruang (kiri) dan 5°C (kanan)
Gambar yang dilingkari menunjukkan kapang yang tumbuh pada
apel potong segar. Sementara itu, untuk suhu penyimpanan 5°C produk
dapat bertahan hingga jam ke-168 atau ± 4 hari. Informasi mengenai lama
penyimpanan ini perlu untuk menentukan berapa lama analisis-analisis
berikutnya, seperti analisis susut bobot dan warna.
Umur simpan yang relatif singkat disebabkan kerusakan oleh
mikroorganisme. Hal ini ditandai dengan munculnya lendir serta
tumbuhnya kapang pada produk serta bau alkohol yang sangat menyengat.
Dibandingkan buah utuh, buah potong segar (fresh-cut fruit) lebih rentan
terhadap kerusakan akibat mikroorganisme. Hal tersebut terjadi akibat
jaringan dan sel yang rusak pada buah potong segar (fresh-cut fruit) akibat
pemotongan mampu menyediakan nutrisi yang dibutuhkan bagi
tumbuhnya mikroorganisme (Toivonen dan DeEll-Jennifer, 2002).
Kandungan air dan gula yang tinggi pada buah apel menciptakan kondisi
36
yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pelapisan apel potong segar dengan edible coating
tidak mampu menahan laju pertumbuhan mikroorganisme karena larutan
edible coating yang digunakan tidak ditambahkan senyawa antimikroba
seperti asam sorbat, kalium sorbat, atau asam propionat.
Selain disebabkan karakteristik buah potong segar (fresh-cut fruit)
yang rentan dan larutan edible coating yang tidak dapat lagi berfungsi
sebagai penahan laju pertumbuhan mikroorganisme, kerusakan akibat
mikroorganisme pada apel potong segar juga dapat disebabkan pengolahan
yang kurang higienis. Misalnya di dalam penelitian ini tidak dilakukan
pencucian buah apel dengan air berklorinasi, baik sebelum maupun
sesudah pemotongan. Pencucian hanya dilakukan saat sebelum
pemotongan menggunakan air biasa. Pencucian menggunakan air
berklorinasi saat sebelum pemotongan dapat menurunkan jumlah mikroba
awal sehingga nantinya kandungan mikroba pada produk juga berkurang.
Selain itu, peneliti juga tidak menggunakan masker pada saat pengolahan.
Kerusakan akibat mikroorganisme juga diakibatkan kondensasi
yang terjadi saat produk dikeluarkan dari ruang penyimpanan dingin untuk
diukur laju respirasinya. Kondensasi ini akan merangsang terjadinya
pembusukan (Perera, 2007).
Bau alkohol yang menyengat yang merupakan hasil dari fermentasi
anaerobik juga tercium pada produk apel potong segar saat akhir
penyimpanan. Fermentasi anaerobik dilakukan oleh jenis mikroorganisme
yang umum terdapat pada produk apel potong segar, yakni khamir dan
bakteri asam laktat (BAL). Khamir dan BAL menggunakan gula sederhana
yang terdapat pada apel potong segar untuk melakukan fermentasi dan
menghasilkan alkohol, asam organik, serta CO2 (Chen, 2002). Pengukuran
laju respirasi dalam toples yang tertutup menyebabkan persediaan oksigen
lama kelamaan akan berkurang. Sehingga untuk merombak gula yang
terdapat pada apel potong segar dilakukan dengan fermentasi yang
merupakan proses respirasi anaerobik.
37
Data yang digunakan untuk pengukuran laju respirasi hanya
berdasarkan kadar CO2 yang dihasilkan. Hal ini disebabkan selama
respirasi jumlah CO2 yang keluar relatif cukup banyak sehingga
mempermudah pengukuran. Selain itu pembacaan alat sudah dilakukan
secara digital sehingga keakuratan data dapat lebih terjamin dibanding
pengukuran O2. Jenis alat yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Hasil penelitian yang terdapat pada Lampiran 4 memperlihatkan
bahwa suhu berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai laju respirasi
apel potong segar. Nilai rata-rata laju respirasi apel potong segar yang
disimpan pada suhu ruang lebih besar (54.21 ml/kg jam) dibanding apel
potong segar yang disimpan pada suhu 5°C (10.56 ml/kg jam).
Nilai laju respirasi yang rendah pada suhu penyimpanan 5°C
disebabkan pada suhu rendah umumnya kecepatan reaksi kimia
mengalami penurunan. Seperti yang dikemukakan oleh Muchtadi (1992)
bahwa untuk tiap kenaikan suhu 10°C, respirasi akan berlangsung dua atau
tiga kali lipat lebih besar. Hal yang sama berlaku juga untuk kebalikannya.
Untuk setiap penurunan suhu sebesar 10°C, respirasi akan berlangsung dua
atau tiga kali lebih lambat.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perbandingan
konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan
pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai
laju respirasi. Nilai laju respirasi apel kontrol tidak berbeda nyata dengan
apel yang terlapis edible coating. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
larutan edible coating yang digunakan untuk melapisi apel potong segar
tidak efektif dalam menahan laju respirasi.
Hal ini kemungkinan disebabkan proporsi gilerol yang terlalu besar
sehingga mempengaruhi lapisan edible coating yang terbentuk. Gliserol
merupakan pemlastis yang mampu menjadikan matriks lapisan edible
coating lebih renggang sehingga meningkatkan permeabilitas. Peningkatan
permeabilitas menyebabkan oksigen dan karbondioksida dapat berpindah
dengan mudah dari produk ke lingkungan atau sebaliknya sehingga laju
respirasi meningkat.
38
Ukuran apel yang kecil menjadikan produk apel potong segar
memiliki luas permukaan lebih besar. Permukaan yang luas dapat
menyebabkan larutan edible coating tidak cukup untuk melapisi seluruh
permukaan apel potong segar sehingga laju respirasi tetap tinggi.
Laju respirasi yang tinggi pada apel potong segar disebabkan
peningkatan aktivitas sel karena pemotongan buah. Peningkatan aktivitas
sel tersebut meliputi : (1) peningkatan degradasi karbohidrat, (2)
peningkatan aktivitas glikolisis dan jalur pentosa fosfat, (3) peningkatan
aktivitas mitokondria, dan (4) peningkatan aktivitas enzim. Aktivitas sel
yang meningkat ini ditujukan untuk menyediakan energi dan prekursor
yang dibutuhkan untuk sintesis metabolit sekunder yang penting untuk
penyembuhan luka pada sel (Wong et al., 1994).
Grafik laju respirasi apel potong segar pada Gambar 21 secara
umum memperlihatkan peningkatan laju respirasi hingga jam ke-24
kemudian dilanjutkan dengan penurunan nilai laju respirasi pada jam ke-
32. Grafik laju respirasi yang demikian menunjukkan bahwa pada jam ke-
24 apel potong segar mengalami puncak klimakterik respirasi.
Gambar 21. Grafik laju produksi CO2 tiap konsentrasi pati ubi jalar-tapioka pada suhu 5°C
Pola respirasi yang sama juga terjadi pada apel potong segar yang
disimpan pada suhu 5°C seperti terlihat pada Gambar 22. Nilai laju
respirasi mengalami peningkatan hingga jam ke-24, kemudian turun secara
0.002.00
4.006.00
8.0010.00
12.0014.00
16.0018.00
4 8 12 16 20 24 32 40 48 60 72 96 120 144 168
Lama penyimpanan (jam)
Laj
u pr
oduk
si C
O2
(ml/
kg ja
m)
konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 4:0 konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 3:1konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 2:2 konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 1:3konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 0:4 kontrol
39
drastis pada jam ke-32. Fase klimakterik biasanya diikuti dengan
penurunan mutu. Hal ini terjadi disebabkan setelah klimakterik,
mitokondria mulai terdegradasi. Degradasi pada mitokondria
menyebabkan persediaan energi untuk metabolisme sel-sel menurun.
Akibatnya, sel-sel mengalami pelayuan dan akhirnya mati. Hal ini jelas
terlihat pada apel potong segar yang disimpan di suhu ruang. Setelah
mengalami puncak klimakterik pada jam ke-24, produk sudah tidak dapat
dikonsumsi lagi setelah jam ke-40
Gambar 22. Grafik laju produksi CO2 tiap konsentrasi pati ubi jalar-
tapioka pada suhu ruang
Dengan membandingkan Gambar 21 dan 22 juga dapat diketahui
bahwa laju respirasi apel potong segar pada suhu 5°C lebih rendah
daripada penyimpanan pada suhu ruang. Nilai laju respirasi suhu 5°C
berkisar antara 2.68 ml/kg jam hingga 15.78 ml/kg jam. Sedangkan laju
respirasi suhu ruang berkisar antara 19.41 ml/kg jam hingga 101.83 ml/kg
jam.
2. Susut Bobot
Hasil penelitian seperti terlihat pada Lampiran 6 menunjukkan
bahwa suhu berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap susut bobot apel
potong segar. Nilai rata-rata susut bobot apel potong segar yang disimpan
0
20
40
60
80
100
120
4 8 12 16 20 24 32 40
Lama penyimpanan (jam)
Laj
u P
rodu
ksi C
O2
(ml/k
g ja
m)
konsentrasi pati ubi jalar: tapioka 4:0 konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 3:1konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 2:2 konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 1:3konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 0:4 kontrol
40
pada suhu ruang (20.92 %) lebih besar dibanding apel potong segar yang
disimpan pada suhu 5°C (1.26 %).
Susut bobot terjadi terutama disebabkan penguapan air yang
terkandung dalam buah. Pemotongan yang dilakukan pada potong segar
menyebabkan jaringan dalam buah terpapar dengan lingkungan sehingga
berdampak pada peningkatan kecepatan penguapan air (Perera, 2007).
Suhu rendah dapat memperlambat susut bobot karena pada suhu rendah
kecepatan uap air berkurang.
Besarnya susut bobot yang disimpan pada suhu ruang secara tidak
langsung juga berkaitan dengan peningkatan laju respirasi akibat suhu
tinggi. Laju respirasi yang meningkat menyebabkan suhu internal buah
juga meningkat disebabkan panas (energi) yang dihasilkan dari respirasi.
Suhu internal buah yang tinggi menyebabkan selisih antara tekanan uap
lingkungan dan buah menjadi besar. Semakin besar selisih yang terjadi
maka kecepatan laju perpindahan uap air akan semakin tinggi (Ben-
Yehoshua, 1987). Sehingga berpengaruh terhadap nilai susut bobot yang
besar.
Hasil penelitian dalam Lampiran 6 juga menunjukkan bahwa
perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan
sebagai bahan pembuatan edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05)
terhadap nilai susut bobot. Nilai laju respirasi apel potong segar yang tidak
terlapis edible coating tidak berbeda nyata dengan nilai susut bobot apel
potong segar terlapis edible coating.
Hal ini dapat disebabkan karakteristik pati yang digunakan sebagai
bahan pembuat edible coating bersifat hidrofilik. Sifat hidrofilik pati
menyebabkan pati merupakan penghalang yang buruk terhadap uap air.
Air yang terdapat pada lingkungan dapat terserap dan merusak rantai
intermolekuler edible coating sehingga meningkatkan permeabilitas secara
umum. Agar edible coating yang terbuat dari pati mampu menahan susut
bobot sebaiknya ditambahkan lipid yang memiliki daya tahan bagus
terhadap uap air karena sifatnya yang hidrofobik.
41
Pengecilan ukuran pati menggunakan blender kering juga dapat
mempengaruhi. Pati menjadi rusak akibat perlakuan mekanis. Pati ini
menjadi lebih banyak mengikat air dibanding pati normal. Lebih lanjut
mengakibatkan edible coating yang dihasilkan tidak mampu menahan
susut bobot yang terjadi.
Hasil uji-t seperti terlihat pada Lampiran 6 dan Gambar 23 serta 24
menunjukkan bahwa lama penyimpanan juga berpengaruh sangat nyata
(p<0.01) terhadap nilai susut bobot yang diperoleh. Nilai susut bobot
semakin meningkat dengan meningkatnya lama penyimpanan.
Gambar 23. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka
terhadap susut bobot selama penyimpanan pada suhu ruang
Gambar 24. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka
terhadap susut bobot selama penyimpanan pada suhu 5°C
42
Gambar 23 dan 24 juga memperlihatkan pengaruh suhu
penyimpanan terhadap susut bobot. Nilai rata-rata susut bobot pada hari
pertama (6.56 %) lebih kecil dibanding susut bobot pada hari kedua (15.61
%).
3. Warna
Hasil penelitian yang terdapat pada Lampiran 11 menunjukkan
bahwa suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai
Browning Index (BI) apel potong segar. Nilai BI tetap tinggi meskipun
apel potong segar disimpan pada suhu 5°C. Hasil penelitian terhadap nilai
L (kecerahan) seperti terlihat pada Lampiran 12 juga menunjukkan bahwa
suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai
kecerahan (L) apel potong segar.
Nilai BI apel potong segar seperti terlihat pada Gambar 25 dan 26
menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata. Nilai rata-rata BI apel potong
segar yang disimpan pada suhu ruang adalah 37.97 tidak berbeda nyata
dengan nilai rata-rata BI apel potong segar yang disimpan pada suhu 5°C
(31.70).
Gambar 25. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka
terhadap nilai BI selama penyimpanan pada suhu ruang
43
Gambar 26. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka
terhadap nilai BI selama penyimpanan pada suhu 5°C
Nilai kecerahan (L) apel potong segar seperti terlihat pada Gambar
27 dan 28 menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata. Nilai rata-rata BI
apel potong segar yang disimpan pada suhu ruang adalah 60.11 tidak
berbeda nyata dengan nilai rata-rata BI apel potong segar yang disimpan
pada suhu 5°C (63.17).
Gambar 27. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka
terhadap nilai L selama penyimpanan pada suhu ruang
44
Gambar 28. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka terhadap nilai L selama penyimpanan pada 5°C
Hasil penelitian seperti terlihat pada Lampiran 11 menunjukkan
bahwa perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan
sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05)
terhadap nilai BI. Hasil penelitian terhadap nilai kecerahan (L) apel potong
segar seperti terlihat pada Lampiran 12 juga menunjukkan bahwa
perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan
sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05).
Nilai BI dan L tetap tinggi meskipun produk apel potong segar
sudah dilapisi edible coating. Hal tersebut mengindikasikan bahwa lapisan
edible coating yang dibuat pada penelitian ini tidak dapat berfungsi
sebagai penahan interaksi antara jaringan buah dengan oksigen. Oksigen
berperan penting dalam reaksi pencoklatan, yakni sebagai substrat
pembantu (co-substrate). Jika interaksi antara oksigen dengan jaringan
buah dapat ditekan, maka pencoklatan dapat diminimalisir. Dapat
disimpulkan, bahwa tidak ada formulasi konsentrasi untuk bahan edible
coating yang terbaik yang dapat dijadikan sebagai penghambat
pencoklatan enzimatis yang terjadi. Kondisi pencoklatan yang terjadi
selama penyimpanan dapat lebih jelas terlihat pada Lampiran 13-16.
45
Ketidakmampuan lapisan edible coating untuk menghambat
pencoklatan apel potong segar dapat disebabkan lapisan yang terbentuk
pada permukaan apel potong segar tidak merata karena ukurannya yang
kecil. Ukuran yang kecil menyebabkan permukaan menjadi luas.
Kurangnya kandungan pati juga dapat menyebabkan lapisan edible
coating yang terbentuk tidak dapat berfungsi sebagai penghambat reaksi
pencoklatan yang terjadi. Selain itu, pemakaian gliserol sebagai pemlastis
juga menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap oksigen.
Permeabilitas yang tinggi terhadap oksigen menyebabkan jaringan buah
dapat dengan mudah terpapar oksigen sehingga memicu terjadinya
pencoklatan.
4. Organoleptik
Hasil uji organoleptik apel potong segar terhadap parameter rasa
seperti terlihat pada Lampiran 19 menunjukkan bahwa perlakuan
konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan
pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap
penilaian panelis. Rasa apel potong segar yang terlapis edible coating tidak
berbeda nyata dengan rasa apel potong segar yang tidak terlapis (kontrol).
Salah satu syarat edible coating adalah tidak berasa sehingga tidak
mengganggu rasa produk terlapis itu sendiri. Berdasarkan hasil uji
organoleptik dapat disimpulkan bahwa edible coating yang digunakan
untuk melapisi apel potong segar tidak berpengaruh terhadap penilaian
panelis sehingga syarat tersebut terpenuhi.
Hasil uji organoleptik terhadap parameter warna seperti terdapat
pada Lampiran 20 menunjukkan bahwa penambahan edible coating pada
apel potong segar dengan berbagai konsentrasi berpengaruh sangat nyata
(p<0.01) terhadap tingkat kesukaan panelis. Dibanding kontrol, apel yang
terlapis edible coating lebih tidak disukai panelis. Hal ini dapat disebabkan
warna apel terlapis lebih coklat dibandingkan kontrol. Seperti sudah
diketahui pada pengujian menggunakan Chromameter, edible coating
46
tidak dapat berfungsi sebagai penahan jaringan buah dari terpapar dengan
oksigen.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Laju respirasi apel potong segar terlapis edible coating hanya mampu
bertahan selama ± 2 hari jika disimpan pada suhu ruang dan ± 4 hari jika
disimpan pada suhu 5°C. Lewat dari waktu dan kondisi tersebut produk sudah
rusak dan tidak layak untuk dimakan lagi karena sudah ditumbuhi kapang dan
berlendir serta tercium bau alkohol yang sangat menyengat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu berpengaruh sangat nyata
(p<0.01) terhadap nilai laju respirasi apel potong segar. Nilai laju respirasi
apel potong segar yang disimpan pada suhu 5°C lebih rendah dibanding apel
potong segar yang disimpan pada suhu ruang.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perbandingan konsentrasi
pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible
coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai laju respirasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa larutan edible coating yang digunakan
tidak dapat berperan sebagai penahan laju respirasi.
Pola respirasi yang terlihat jelas dalam grafik menunjukkan apel
potong segar termasuk dalam golongan respirasi klimakterik. Ditandai dengan
peningkatan laju respirasi pada jam ke-24 dan penurunan pada jam ke-32.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu berpengaruh sangat nyata
(p<0.01) terhadap susut bobot apel potong segar. Susut bobot apel potong
segar yang disimpan pada suhu 5°C lebih rendah dibanding apel potong segar
yang disimpan pada suhu ruang.
Perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan
sebagai bahan pembuatan edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05)
terhadap nilai susut bobot. Hal ini dapat disebabkan karakteristik pati yang
digunakan sebagai bahan pembuat edible coating bersifat hidrofilik. Agar
edible coating yang terbuat dari pati mampu menahan susut bobot sebaiknya
ditambahkan lipid yang memiliki daya tahan bagus terhadap uap air karena
sifatnya yang hidrofobik.
48
Hasil uji-t menunjukkan bahwa lama penyimpanan juga berpengaruh
sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai susut bobot yang diperoleh. Nilai susut
bobot semakin meningkat dengan meningkatnya lama penyimpanan.
Pengamatan terhadap nilai BI menunjukkan bahwa suhu penyimpanan
tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai Browning Index (BI) apel
potong segar. Hasil penelitian terhadap nilai L (kecerahan) juga menunjukkan
bahwa suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai
kecerahan (L) apel potong segar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan konsentrasi pati
ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible coating
tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai BI. Perbandingan konsentrasi
pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible
coating juga tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai kecerahan (L)
apel potong segar. Nilai BI dan L tetap tinggi meskipun produk apel potong
segar sudah dilapisi edible coating.
Hasil uji organoleptik apel potong segar terhadap parameter rasa
menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang
digunakan sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata
(p>0.05) terhadap penilaian panelis. Rasa apel potong segar yang terlapis
edible coating tidak berbeda nyata dengan rasa apel potong segar yang tidak
terlapis (kontrol). Dapat disimpulkan, edible coating yang digunakan untuk
melapisi apel potong segar tidak berpengaruh terhadap penilaian panelis
sehingga syarat edible coating tidak berasa terpenuhi.
Hasil uji organoleptik terhadap parameter warna menunjukkan bahwa
penambahan edible coating pada apel potong segar dengan berbagai
konsentrasi berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap tingkat kesukaan
panelis. Dibanding kontrol, apel yang terlapis edible coating lebih tidak
disukai panelis.
49
B. Saran
1. Perlunya penambahan lipid pada formulasi edible coating untuk
menurunkan susut bobot produk terlapis.
2. Penambahan asam sitrat dan asam askorbat sebagai antioksidan sebaiknya
dilakukan dalam larutan edible coating itu sendiri.
3. Penurunan konsentrasi pemlastis (plasticizer) sehingga edible coating
lebih cepat kering.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jumlah coating yang
melekat per-satuan permukaan produk untuk mengetahui keefektifan dari
suatu larutan edible coating.
DAFTAR PUSTAKA
Afdi, E. 1989. Modifikasi Pati Jagung (Zea Mays L.). Tesis. Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor.
[Anonim]. 2006. Pelapis yang Dapat Dimakan. www.halalguide.info [23 Maret
2008]. Baeza-Rita. 2007. Comparison of Technologies to Control the Physiological,
Biochemical and Nutritional Changes of Fresh-cut Fruit. http://krex.k-state.edu [1 Juni 2008].
Baldwin, E.A dan Nisperros-Carriedo, M.O. 1993. Edible Coatings for Lightly
Processed Fruits and Vegetables. www.hortsci.ashspublications.org [24 Maret 2008].
Baldwin, E.A. 1994. Edible Coatings for Fresh Fruits and Vegetables : Past,
Present, and Future. Di dalam : Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan Nisperos Carriedo, M.O. (Eds), Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company Inc., Lancaster Pennsylvania, p. 25-64.
Baldwin, E.A. 2007. Surface Treatments and Edible Coatings in Food
Preservation. Di dalam : Rahman, M. S. (Ed), Handbook of Food Preservation, 2nd Ed. CRC Press, New York, p. 477-507.
Ben-Yehoshua, S. 1987. Transpiration, Water Stress, and Gas Exchange. Di
dalam : Weichmann, J. (Ed), Postharvest Physiology of Vegetables. Marcell Dekker, Inc., New York, p. 113-170.
Blennow, A. 2004. Starch Bioengineering. Di dalam : Eliasson, A-C. (Ed), Starch
in Food. CRC Press, USA, p.97-127. Chen, J. 2002. Microbial Enzymes Associated with Fresh-cut Produce. Di dalam :
Lamikanra, O. (Ed), Fresh-cut Fruits and Vegetables. CRC Press, New York, p. 249-266.
Cornell, H. 2004. The Functionality of Wheat Starch. Di dalam : Eliasson, A-C.
(Ed), Starch in Food. CRC Press, USA, p.211-240. Donhowe-Irene, G. dan Fennema, O. 1994. Edible Films and Coatings :
Characteristics, Formation, Definitions, and Testing Methods. Di dalam : Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan Nisperos Carriedo, M.O. (Eds), Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company Inc., Lancaster Pennsylvania, p. 1-24.
51
Ega, La. 2002. Kajian Sifat Fisik dan Kimia serta Pola Hidrolisis Pati Ubi Jalar Jenis Unggul secara Enzimatis dan Asam. Disertasi. Program Pascasarjana IPB.
Ginting, E., Widodo, Y., Rahayuningsih, S.A., dan Jusuf, M. 2005. Karakteristik
Pati Beberapa Varietas Ubi Jalar. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 24 (1) www.puslittan.bogor.net [16 Maret 2008].
Gontard, N. dan Guilbert, S. 1994. Bio-packaging: Technology and Properties of
Edible and/or Biodegradable Material of Agricultural Origin. Di dalam : Mathlouthi, M. (Ed), Food Packaging and Preservation. Chapman and Hill Inc., New York.
Grant, L.A. dan Burns, J. 1994. Application of Coatings. Di dalam : Krochta, J.M.,
Baldwin, E.A., dan Nisperos Carriedo, M.O. (Eds), Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company Inc., Lancaster Pennsylvania, p. 189-200.
Hafsah, M.J. 2004. Prospek Bisnis Ubi Jalar. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Hasbullah, R. 2006. Teknologi Pengolahan Minimal. Food Review 1 (10) : 40-45. Ikhlas, V. 1992. Metode Ekstraksi dan Isolasi Serta Karakteristik Fisika-Kimia
dan Fungsional Pati Beberapa Varietas Jagung (Zea mays L.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Jamrianti, R. 2007. Ubi Jalar, Saatnya Menjadi Pilihan. www.beritaiptek.com [16
Maret 2008]. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan Hortikultura dan IPB. 1999.
Pengkajian Bahan Baku Potensial. Laporan Akhir. IPB, Bogor. Kusumo, S. 1986. Apel (Malus sylvestris Mill). CV. Yasaguna, Jakarta. Layuk, P., Djagal, W.M., dan Haryadi. 2002. Karakterisasi komposit Film Edible
Pektin Daging Buah Pala (Myristica fragrans Houtt) dan Tapioka. Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan XIII (2) : 178-183.
Lin, D. dan Zhao, Y. 2007. Innovations in the Development and Application of
Edible Coatings for Fresh and Minimally Processed Fruits and Vegetables. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety 6 : 60-75.
Marshall, M.R., Kim, J., dan Wei, C-I. 2000. Enzymatic Browning in Fruits,
Vegetables, and Seafoods. www.fao.org [1 Mei 2008]. Mattjik, A.A. dan Sumertajaya, M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab. Percetakan Jurusan Statistika FMIPA IPB, Bogor.
52
Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Petunjuk Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
Muchtadi, D. 1992. Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-buahan. Petunjuk
Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Nisperos-Carriedo, M.O. 1994. Edible Coatings and Films Based on
Polysaccharides. Di dalam : Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan Nisperos Carriedo, M.O. (Eds), Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company Inc., Lancaster Pennsylvania, p. 305-335.
Peleg, M. 1983. Physical Characteristics of Food Powders. Di dalam : Peleg, M
dan Bagley, E.B. (Eds), Physical Properties of Foods. AVI Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut, p. 293-323.
Perera, C.O. 2007. Minimal Processing of Fruits and Vegetables. Di dalam :
Rahman, M. S. (Ed), Handbook of Food Preservation, 2nd Ed. CRC Press, New York, p. 137-150.
Perez-Gago, M.B., Serra, M., Alonso, M., Mateos, M., dan Del-Rio, M.A. 2003.
Effect of Solid Content and Lipid Content of Whey Protein Isolate-Beeswax Edible Coatings on Color Change of Fresh-cut Apples. J Food Sci 68 : 1286-2191.
Saltveit, M. E. _______. Measuring Respiration. http://postharvest.ucdavis.edu
[12 Desember 2008]. Santoso, B., Saputra, D., dan Pambayun, R. 2004. Kajian Teknologi Edible
Coating dari Pati dan Aplikasinya untuk Pengemas Primer Lempok Durian. Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan XV (3) : 239-244.
Shinta. 2007. Pengembangan Produk Bubur Gel Instan Berbasis Pati Ubi Jalar
Putih (Ipomoea batatas L.) Termodifikasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Soekarto, S.T. 1981. Penilaian Organoleptik. PUSBANGTEPA IPB, Bogor. Sucipto, A. 2008. Phenol dan Aktifitas Enzim. naksara.blogspot.com [25 Maret
2008]. Sunarjono, H. 2005. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Penebar Swadaya, Jakarta. Toivonen, P.M.A. dan DeEll-Jennifer R. 2002. Physiology of Fresh-cut
Fruits and Vegetables. Di dalam : Lamikanra, O. (Ed), Fresh-cut Fruit and
53
Vegetables: Science, Technology, and Market. CRC Press, New York, p. 91-123.
Winarno, F.G. dan Jenie, B.S.L. 1973. Fisiologi Lepas Panen.
Departemen Teknologi Hasil Pertanian FATEMETA-IPB. Winarno, F.G. dan Wirakartakusumah, M.A. 1979. Fisiologi Lepas Panen. Sastra
Hudaya, Jakarta. Winarno, F.G., Fardiaz, D., dan Fardiaz, S. 1980. Pengantar Teknologi Pangan.
PT. Gramedia, Jakarta. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta. Wong, D.W.S., Camirand, W.M., dan Pavlath, A.E. 1994. Development of Edible
Coatings for Minimally Processed Fruits and Vegetables. Di dalam : Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan Nisperos Carriedo, M.O. (Eds), Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company Inc., Lancaster Pennsylvania, p. 65-88.
Wulandari, N. Teknologi Praktis MAS untuk Buah dan Sayur. Food Review 1
(10) : 30-35. Zuraida, N dan Supriati, Y. 2001. Usahatani Ubi Jalar sebagai Bahan Pangan
Alternatif dan Diversifikasi Sumber Karbohidrat. Buletin AgroBio 4 (1) : 13-23. www.biogen.litbang.deptan.go.id [16 Maret 2008].
Lampiran 1. Data perhitungan analisis pendahuluan
Rendemen
Bobot kering pati ubi jalar = 0.5 kg (a)
Bobot umbi ubi jalar bersih = 3.1 kg (b)
100%x b
a patiRendemen =
Rendemen pati = 16.1%
Densitas Kamba
Berat gelas ukur 100 ml = 126.4 gram
Berat gelas ukur + pati = 181.3 gram (ulangan 1)
= 180.4 gram (ulangan 2)
Densitas kamba = ukur gelas volume
ukur) gelas(berat - pati) ukur gelas(berat +
Densitas kamba (1) = ml 100
gram) 126.4 - gram (181.3
= 0.55 g/ml (X1)
Densitas kamba (2) =ml 100
gram) 126.4 - gram (180.4
= 0.54 g/ml (X2)
Densitas kamba rata-rata = 0.5 g/ml ( )X
Standar deviasi = 1
)(( 2
−−∑
n
XXi
Standar deviasi =)12(
))5.054.0()5.055.0(( 2
−−+−
standar deviasi = 0.09
55
Lampiran 2. Proses pengukuran laju respirasi
Gas Analyzer yang terdiri atas alat pengukur CO2 (kiri) dan O2 (kanan)
Apel potong segar (fresh-cut apple) yang telah siap diukur laju respirasinya
Saat pengukuran laju respirasi Konsentrasi CO2 yang terbaca
56
Lampiran 3a. Data laju respirasi apel potong segar (fresh-cut apple) pada suhu ruang
Waktu (jam)
Laju respirasi (ml/kg jam) A1 A2 A3 A4 A5 A6
4 29.43 25.46 23.66 25.47 19.41 23.03 8 43.08 40.61 38.22 38.50 31.24 42.13 12 55.22 53.64 50.05 50.02 49.44 57.59 16 67.96 69.10 60.36 62.76 62.48 72.44 20 81.01 83.95 74.62 73.37 74.92 83.35 24 67.05 101.83 90.39 87.92 91.29 96.69 32 25.49 28.94 28.97 28.95 29.88 29.85 40 48.39 61.07 54.14 58.06 55.20 55.47
Lampiran 3b. Data laju respirasi apel potong segar (fresh-cut apple) pada suhu 5°C
Waktu (jam)
Laju respirasi (ml/kg jam) A1 A2 A3 A4 A5 A6
4 5.76 12.43 11.83 12.13 9.10 7.89 8 5.46 12.13 12.74 13.04 10.61 11.52 12 9.40 12.43 13.65 15.78 14.25 14.25 16 11.22 12.43 13.04 15.17 14.55 15.47 20 9.70 11.52 13.04 14.86 12.43 13.34 24 11.22 12.28 14.25 15.78 13.34 14.86 32 4.09 4.25 4.25 4.10 4.25 4.40 40 6.97 5.00 5.91 6.37 6.97 7.28 48 7.28 6.22 6.52 6.98 8.34 8.04 60 4.14 3.13 3.84 3.24 3.94 4.04 72 6.67 5.56 6.57 6.17 7.28 7.08 96 3.28 2.88 4.04 2.93 3.84 3.54 120 3.08 2.68 3.39 2.78 3.49 3.54 144 3.39 2.68 3.34 2.68 3.64 3.69 168 3.84 3.18 3.49 3.24 3.89 3.69
57
Lampiran 4. Hasil ANOVA untuk laju respirasi
Univariate Analysis of Variance Warnings
Post hoc tests are not performed for Suhu because there are fewer than three groups.
Between-Subjects Factors
N Suhu S5 96
SR 96
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Laju_resp
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 91467.957 1 91467.957 354.407 .000 Intercept 201352.646 1 201352.646 780.173 .000 Suhu 91467.957 1 91467.957 354.407 .000 Error 49036.540 190 258.087 Total 341857.144 192 Corrected Total 140504.498 191
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors
N Konsentrasi A1 32
A2 32 A3 32 A4 32 A5 32 A6 32
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Laju_resp
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 452.958 5 90.592 .120 .988 Intercept 201352.646 1 201352.646 267.413 .000 Konsentrasi 452.958 5 90.592 .120 .988 Error 140051.539 186 752.965 Total 341857.144 192 Corrected Total 140504.498 191
58
Lampiran 5a. Data analisis susut bobot pada suhu ruang
Hari A1 A2 A3 A4 A5 A6 1 10.43 11.97 14.29 12.12 14.15 12.71 11.01 11.93 12.40 11.11 14.42 11.61 2 27.00 28.43 32.04 26.50 32.97 30.39 28.72 29.79 29.52 28.71 32.22 27.55
Lampiran 5b. Data analisis susut bobot pada suhu 5°C
Hari Ulangan A1 A2 A3 A4 A5 A6 1 1 0.00 0.74 0.72 0.00 1.59 0.79 2 0.79 0.74 0.85 1.52 0.87 0.76 2 1 1.71 1.49 1.45 1.72 2.40 1.60 2 1.60 1.49 1.72 2.29 1.75 1.54 3 1 1.71 2.26 2.19 2.61 3.23 2.42 2 2.42 2.26 2.61 3.08 2.65 2.33 4 1 2.59 3.03 2.19 2.61 4.07 3.25 2 2.42 3.03 3.51 3.08 3.57 3.12
59
Lampiran 6. Hasil ANOVA untuk susut bobot
Univariate Analysis of Variance Warnings
Post hoc tests are not performed for Suhu because there are fewer than three groups.
Between-Subjects Factors
N Suhu S5 24
SR 24
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Susut_Bobot
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 4638.120 1 4638.120 115.987 .000 Intercept 5899.505 1 5899.505 147.531 .000 Suhu 4638.120 1 4638.120 115.987 .000 Error 1839.460 46 39.988 Total 12377.084 48 Corrected Total 6477.580 47
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Susut_Bobot
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 29.979 5 5.996 .039 .999 Intercept 5899.505 1 5899.505 38.430 .000 Konsentrasi 29.979 5 5.996 .039 .999 Error 6447.601 42 153.514 Total 12377.084 48 Corrected Total 6477.580 47
60
T-Test Group Statistics
hari N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Susut_Bobot 1.00 24 6.5634 5.98590 1.22187
2.00 24 15.6092 14.25171 2.90912
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Lower Upper Lower Upper Lower Susut_Bobot Equal variances
assumed 509.591 .000 -2.867 46 .006
Equal variances not assumed -2.867 30.870 .007
61
Lampiran 7a. Rumus konversi nilai L dan BI
X = Y (y
x )
Z = Y ([1 - (x + y)] / y)
L = 10 Y1/2
100x 0.172
0.31)-(x BI =
Lampiran 7b. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar (fresh-cut apple) hari ke-0
Nilai
Perlakuan
A1 A2 A3 A4 A5 A6
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 Y
60.19 39.21 38.1 54.09 60 53.79 54.3 58.03 32.06 36.63 53.56 61.49
x 0.35 0.36 0.35 0.35 0.33 0.34 0.34 0.33 0.39 0.36 0.34 0.34
y 0.36 0.37 0.36 0.37 0.34 0.36 0.36 0.35 0.39 0.37 0.35 0.35
X 57.52 37.92 36.79 51.56 57.67 51.29 51.65 55.53 32.13 36.20 51.35 58.85
Z 48.24 28.36 30.19 42.34 57.06 45.34 45.52 52.29 18.80 27.42 46.69 54.50
L 77.58 62.62 61.76 73.55 77.45 73.34 73.69 76.18 56.62 60.52 73.18 78.42
BI 21.28 28.78 23.26 22.33 11.69 18.02 18.02 14.42 44.88 29.71 16.69 15.47
Rata-
rata 25.03 22.79 14.85 16.22 37.30 16.08
62
Lampiran 8a. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar (fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu ruang hari ke-1
Nilai
Perlakuan
A1 A2 A3 A4 A5 A6
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 Y
33.92 31.29 32.02 32.88 38.17 40.97 46.15 22.42 42.38 30.09 37.94 35.71
x 0.38 0.37 0.39 0.38 0.37 0.37 0.37 0.38 0.36 0.39 0.40 0.36
y 0.38 0.38 0.38 0.38 0.37 0.38 0.37 0.38 0.36 0.39 0.39 0.37
X 33.91 31.12 32.34 32.76 37.83 40.57 45.62 22.51 41.61 29.94 38.78 35.25
Z 21.53 20.84 18.90 19.92 27.16 27.05 32.09 13.66 32.70 17.09 20.54 25.94
L 58.24 55.94 56.59 57.34 61.78 64.01 67.93 47.35 65.10 54.85 61.60 59.76
BI 40.41 37.09 45.58 42.38 32.97 36.98 33.90 43.14 27.09 45.47 51.57 31.28
Rata-
rata 38.75 43.98 34.97 38.52 36.28 41.42
Lampiran 8b. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar (fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu ruang hari ke-2
Nilai
Perlakuan
A1 A2 A3 A4 A5 A6
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 Y
49.05 43.06 36.41 43.27 38.06 30.29 37.41 28.19 31.28 37.22 35.32 39.67
x 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.38 0.38 0.38 0.39 0.37 0.36 0.37
y 0.38 0.37 0.37 0.38 0.37 0.38 0.38 0.39 0.39 0.38 0.37 0.37
X 48.29 42.60 36.18 42.81 37.57 29.85 37.39 27.87 31.64 36.56 34.81 39.43
Z 32.22 29.94 24.64 29.09 26.93 19.15 24.48 16.88 18.33 24.02 25.51 27.79
L 70.04 65.62 60.34 65.78 61.69 55.04 61.16 53.09 55.93 61.01 59.43 62.98
BI 36.45 34.01 36.10 35.87 32.73 38.66 38.72 41.92 46.16 37.09 31.40 34.24
Rata-
rata 35.23 35.99 35.70 40.32 41.63 32.82
63
Lampiran 9a. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar (fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu 5°C hari ke-1
Nilai
Perlakuan
A1 A2 A3 A4 A5 A6
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 Y
45.78 37.54 38.11 49.74 36.87 41.37 32.13 44.03 33.8 40.39 52.29 37.82
x 0.35 0.35 0.36 0.35 0.38 0.36 0.37 0.35 0.40 0.40 0.35 0.34
y 0.36 0.35 0.37 0.37 0.38 0.37 0.38 0.37 0.39 0.39 0.36 0.36
X 44.13 36.60 37.27 47.31 36.68 40.61 31.98 42.15 34.27 40.69 49.63 36.03
Z 36.94 31.76 28.15 38.59 24.19 29.32 21.23 33.30 18.00 21.88 41.69 32.03
L 67.66 61.27 61.73 70.53 60.72 64.32 56.68 66.36 58.14 63.55 72.31 61.50
BI 22.03 20.70 29.07 22.56 37.97 31.92 37.62 24.88 51.28 49.53 20.70 17.62
Rata-
rata 21.37 25.81 34.94 31.25 50.41 19.16
Lampiran 9b. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar (fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu 5°C hari ke-2
Nilai
Perlakuan
A1 A2 A3 A4 A5 A6
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 Y
39.68 43.81 27.76 34.43 32.42 31.72 51.87 36.27 47.52 46.79 37.56 44.26
x 0.38 0.35 0.38 0.38 0.36 0.37 0.36 0.37 0.37 0.37 0.36 0.34
y 0.39 0.36 0.38 0.38 0.37 0.37 0.37 0.38 0.37 0.39 0.37 0.35
X 38.77 42.58 27.77 34.04 31.77 31.25 50.48 35.77 46.93 45.26 36.97 42.51
Z 24.45 34.33 17.28 21.09 23.45 21.85 36.90 23.53 32.74 29.45 27.20 39.87
L 62.99 66.19 52.69 58.68 56.94 56.32 72.02 60.22 68.93 68.40 61.29 66.53
BI 38.84 24.83 41.51 40.76 30.52 33.95 30.52 37.38 34.30 36.34 31.05 14.94
Rata-
rata 31.83 41.13 32.24 33.95 35.32 22.99
64
Lampiran 10a. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar (fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu 5°C hari ke-3
Nilai
Perlakuan
A1 A2 A3 A4 A5 A6
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 Y
42.38 42.37 41.26 29.82 28.01 54.17 27.35 46.73 47.01 35.91 48.87 57.54
x 0.38 0.37 0.38 0.37 0.41 0.36 0.39 0.36 0.36 0.39 0.37 0.33
y 0.38 0.38 0.38 0.38 0.40 0.37 0.39 0.37 0.36 0.39 0.37 0.35
X 41.99 41.36 40.77 29.19 29.02 52.46 27.36 46.05 45.84 35.81 47.82 55.29
Z 26.60 28.27 25.34 19.71 12.94 40.89 15.37 34.00 36.20 20.81 34.33 53.61
L 65.10 65.09 64.23 54.61 52.92 73.60 52.30 68.36 68.56 59.92 69.91 75.86
BI 39.77 34.48 40.52 35.35 60.87 26.51 46.74 30.93 26.28 44.77 31.98 12.91
Rata-
rata 37.12 37.94 43.69 38.84 35.52 22.44
Lampiran 10b. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar (fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu 5°C hari ke-4
Nilai Perlakuan
A1 A2 A3 A4 A5 A6
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 Y
35.39 36.49 15.8 14.96 17.36 8.91 28.79 43.49 15.62 13.17 27.8 28.45
x 0.38 0.36 0.47 0.49 0.49 0.50 0.39 0.38 0.49 0.50 0.39 0.39
y 0.39 0.37 0.39 0.40 0.40 0.40 0.39 0.38 0.39 0.40 0.39 0.39
X 35.05 35.75 18.94 18.29 21.25 11.21 28.69 42.94 19.30 16.43 28.07 28.41
Z 20.96 26.09 5.51 4.47 4.93 2.40 16.79 27.18 4.66 3.55 15.89 16.25
L 59.49 60.41 39.75 38.68 41.67 29.85 53.66 65.95 39.52 36.29 52.73 53.34
BI 42.73 31.16 93.31 101.74 103.49 109.19 44.36 39.53 103.26 107.91 47.21 45.70
Rata-
rata 36.95 97.53 106.34 41.95 105.58 46.45
65
Lampiran 11. Hasil ANOVA untuk nilai BI
Univariate Analysis of Variance Warnings
Post hoc tests are not performed for Suhu because there are fewer than three groups.
Between-Subjects Factors
N Suhu S5 36
SR 36
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Warna
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 314.198 1 314.198 2.974 .089 Intercept 67289.746 1 67289.746 636.966 .000 Suhu 314.198 1 314.198 2.974 .089 Error 7394.870 70 105.641 Total 74998.814 72 Corrected Total 7709.068 71
Univariate Analysis of Variance
N Konsentrasi A1 12
A2 12 A3 12 A4 12 A5 12 A6 12
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Warna
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1546.775 5 309.355 3.313 .010 Intercept 67289.746 1 67289.746 720.693 .000 Konsentrasi 1546.775 5 309.355 3.313 .010 Error 6162.293 66 93.368 Total 74998.814 72 Corrected Total 7709.068 71
66
Lampiran 12. Hasil ANOVA untuk nilai L
Univariate Analysis of Variance Warnings
Post hoc tests are not performed for Suhu because there are fewer than three groups.
Between-Subjects Factors
N Suhu S5 36
SR 36
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: L
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 74.769 1 74.769 1.367 .246 Intercept 300103.212 1 300103.212 5486.320 .000 Suhu 74.769 1 74.769 1.367 .246 Error 3829.019 70 54.700 Total 304007.000 72 Corrected Total 3903.788 71
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors
N Konsentrasi A1 12
A2 12 A3 12 A4 12 A5 12 A6 12
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: L
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 323.984 5 64.797 1.195 .321 Intercept 300103.212 1 300103.212 5532.932 .000 Konsentrasi 323.984 5 64.797 1.195 .321 Error 3579.804 66 54.239 Total 304007.000 72 Corrected Total 3903.788 71
67
Lampiran 13. Penampakan warna apel pada hari ke-0
A1 A2 A3
A4 A5 A6
68
Lampiran 14a. Penampakan warna apel pada hari ke-1 penyimpanan suhu ruang
A1 A2 A3
A4 A5 A6
Lampiran 14b. Penampakan warna apel pada hari ke-2 penyimpanan suhu ruang
A1 A2 A3
A4 A5 A6
69
Lampiran 15a. Penampakan warna apel pada hari ke-1 penyimpanan suhu 5°C
A1 A2 A3
A4 A5 A6
Lampiran 15b. Penampakan warna apel pada hari ke-2 penyimpanan suhu 5°C
A1 A2 A3
A4 A5 A6
70
Lampiran 16a. Penampakan warna apel pada hari ke-3 penyimpanan suhu 5°C
A1 A2 A3
A4 A5 A6
Lampiran 16b. Penampakan warna apel pada hari ke-4 penyimpanan suhu 5°C
A1 A2 A3
A4 A5 A6
71
Lampiran 17. Form penilaian uji organoleptik
Form Penilaian Uji OrganoleptForm Penilaian Uji OrganoleptForm Penilaian Uji OrganoleptForm Penilaian Uji Organoleptikikikik Tanggal : Nama : No Telp/HP :
Instruksi : 1. Cicipi sampel secara berurutan (dari kiri ke kanan) sesuai kode. 2. Sampel dicicipi satu per satu. Setiap selesai mencicipi satu sampel netralkan
dengan meminum air yang telah disediakan. 3. Berikan skor penilaian kesukaan dengan nilai sbb :
1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = netral/biasa 4 = suka 5 = sangat suka
Jangan membandingkan antar sampel karena penilaian bersifat bebas sesuai skor kesukaan.
Atribut/ kode sampel 694 216 514 398 272 193
Rasa
Warna
**Terima Kasih**
72
Lampiran 18. Skor uji organoleptik
Rasa Warna Rasa Warna Rasa Warna Rasa Warna Rasa Warna Rasa Warna1 4 1 4 3 4 2 4 4 5 2 4 52 5 2 4 2 3 2 3 3 2 3 1 43 3 2 2 3 4 1 4 3 2 4 3 34 4 1 2 4 3 3 3 4 3 3 2 55 3 2 3 2 2 1 3 3 2 3 3 46 4 1 4 2 3 1 2 4 2 2 2 57 3 3 3 3 4 2 5 3 4 4 5 48 3 1 4 3 4 2 3 5 5 4 4 59 4 3 3 4 3 3 3 2 3 2 2 210 4 2 4 4 2 2 2 3 4 4 5 511 3 2 4 4 4 2 4 3 2 4 2 412 4 2 3 4 4 1 3 5 3 5 5 513 4 1 4 2 2 3 5 3 4 5 5 514 5 1 3 2 2 3 3 4 2 5 2 515 4 2 5 3 3 2 3 4 5 3 2 416 4 1 3 3 3 3 2 4 2 5 1 517 2 1 4 3 3 2 4 3 3 4 4 418 3 3 3 4 1 2 3 3 3 2 2 419 4 2 3 3 2 2 4 5 3 3 2 320 4 2 3 2 4 2 3 2 4 4 4 521 3 1 2 2 1 1 4 3 5 2 5 522 1 4 4 2 2 2 4 3 2 3 3 523 4 2 3 3 3 2 3 3 2 3 2 324 4 1 3 2 5 1 3 3 3 2 2 525 2 1 3 4 1 3 3 4 3 3 5 526 4 3 3 3 4 2 2 4 3 4 4 527 3 2 4 3 3 2 4 3 4 4 3 428 3 2 4 4 2 2 3 3 3 3 3 429 4 4 3 3 3 3 2 3 2 3 1 230 4 2 4 3 2 2 3 3 5 4 2 431 3 3 2 4 2 3 3 4 4 4 4 4
A4Skor
A5Skor
A6Skor Panelis
A1Skor
A2Skor
A3Skor
73
Lampiran 19. Hasil ANOVA organoleptik parameter rasa
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors
Value Label N sampel 1 A 31
2 B 31 3 C 31 4 D 31 5 E 31 6 F 31
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 8.478 5 1.696 1.715 .133 Intercept 1890.586 1 1890.586 1912.522 .000 sampel 8.478 5 1.696 1.715 .133 Error 177.935 180 .989 Total 2077.000 186 Corrected Total 186.414 185
74
Lampiran 20. Hasil ANOVA organoleptik parameter warna
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors
Value Label N sampel 1 A 31
2 B 31 3 C 31 4 D 31 5 E 31 6 F 31
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 120.301 5 24.060 34.478 .000 Intercept 1698.086 1 1698.086 2433.313 .000 sampel 120.301 5 24.060 34.478 .000 Error 125.613 180 .698 Total 1944.000 186 Corrected Total 245.914 185
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan
sampel
N Subset
1 2 3 1 A 31 1.94 C 31 2.10 B 31 3.00 E 31 3.42 D 31 3.42 F 31 4.26 Sig. .448 .062 1.000