emboli paruisi
DESCRIPTION
fk-ummTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Emboli paru merupakan masalah kesehatan internasional mayor dengan
perkiraan insiden setiap tahunnya lebih dari 100.000 kasus di Perancis, 65.000 kasus
di Inggris dan 60.000 kasus baru per tahunnya terjadi di Italia. Diagnosa emboli paru
sulit untuk ditegakkan. Mortalitas emboli paru yang tidak tertangani kira-kira sebesar
30%. Emboli paru dibedakan menjadi emboli trombotik yang terjadi ± 90% dari
jumlah keseluruhan kasus emboli paru dan emboli paru non trombotik yang terjadi <
10% dari jumlah keseluruhan kasus emboli paru (Wilson Loraine, 2002).
Penentuan diagnosis emboli paru (pada survey tersebut) didapat berdasarkan
hasil otopsi pasien yang meninggal oleh penyakit ini (post mortem). Penulisan referat
ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca terhadap emboli paru karena
emboli paru ini merupakan kasus kegawatdaruratan yang membutuhkan screening
yang cepat untuk menentukan penatalaksanaan yang tepat terhadap pasien sehingga
dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas kasus ini.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Emboli paru merupakan bekuan darah yang terlepas dari perlekatannya atau
material lain misal : lemak, udara, cairan amnion, tumor, parasit dan lain sebagainya
yang bersirkulasi melalui pembuluh darah dan jantung kanan sehingga akhirnya
tersangkut pada arteri pulmonalis utama atau pada salah satu percabangannya. Infark
paru adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan fokus nekrosis lokal pada
paru yang diakibatkan oleh penyumbatan vaskular (Wilson Loraine, 2002).
2.2 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, emboli paru dapat dibedakan menjadi emboli paru
trombotik dan emboli paru non trombotik. Emboli paru trombotik kurang lebih terjadi
pada 90% dari total kasus emboli paru keseluruhan, sedangkan emboli paru non
trombotik terjadi kurang dari 10% dari total kasus emboli paru keseluruhan (Wilson
Loraine, 2002).
2.2.1 Emboli Paru Trombotik
Tiga faktor utama yang menyebabkan timbulnya thrombosis vena dan kemudian
menjadi emboli paru yaitu : (1) stasis vena atau melambatnya aliran darah, (2) luka
dan peradangan pada dinding vena dan (3) hiperkoagulabilitas.
2
Tabel 2.1 Faktor Resiko Tromboemboli Vena
Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Emboli Paru
A. Keadaan yang menyebabkan stasis venaa. Tirah baring atau imobilisasi yang lamab. Keadaan post partumc. Bedah tulang atau memakai gipsd. Obesitase. Usia lanjut
B. Cedera pada dinding venaa. Pascabedah, terutama yang berhubungan dengan toraks,
abdomen, pelvis, atau tungkaib. Fraktur pelvis atau tulang panggulc. Terapi intravena
C. Keadaan yang meningkatkan bekuan daraha. Keganasan b. Kontrasepsi oral tinggi estrogenc. Polisitemia
D. Gangguan-gangguan risiko tinggia. Gagal jantung kongestif tingkat 4b. Keadaan pasca operasi
Bedah tulang panggul Bedah pelvis atau abdominal akibat keganasan yang
meluasc. Keadaan postpartumd. Riwayat thrombosis vena (DVT), emboli paru (PE), varisese. Fraktur tulang panjangf. Infeksi abdominalg. Diabetes mellitush. Anemia sel bulan sabiti. Penyakit paru kronik
Sumber : Wilson Loraine, 2002
Hubungan antara lokasi thrombus dengan insiden dan tingkat keparahan dari
emboli paru telah ditunjukkan melalui studi prospektif klinis, dengan hasil sebagai
berikut: insiden emboli paru akibat thrombosis vena betis sebesar 46%, thrombosis
vena paha sebesar 67%, dan thrombosis vena pelvis sebesar 77%. Pada emboli paru
yang berat, sebagian besar emboli berasal dari thrombus vena proximal. Sebagian
3
besar dari thrombus yang berasal dari vena betis akan berkembang ke vena bagian
proximal sebelum terjadi embolisasi (European Society of Cardiology, 2000).
2.2.2 Emboli Paru Non Trombotik
Emboli paru non trombotik disebabkan oleh materi paru non trombotik misalnya
: infeksi (septik), lemak, gas, cairan amnion, kateter, tumor, dan lain sebagainya.
Materi-materi tersebut memiliki patofisiologi dan karakteristik klinis yang berbeda
dalam menimbulkan emboli paru.
Tabel 2.2 Etilogi Emboli Paru Non Trombotik
No Emboli Paru Non Trombotik
Etiologi
1. Emboli paru septik Endokarditis katub trikuspidalis, indwelling kateter & kawat pacemaker, tromboplebitis septik perifer & transplantasi organ
2. Emboli kateter Komplikasi kateterisasi vena sentral3 Sindrom emboli
lemakHemoglobinopati, luka bakar berat, injuri jaringan lunak, diabetes, pankreatitis, infeksi berat, neoplasma, osteomielitis, transfusi darah, by pass kardiopulmonal, dekompresi ketinggian, lipectomy suction & tranplantasi ren.
4 Emboli udara vena Komplikasi trauma toraks, pembedahan & berbagai macam prosedur diagnostik & terapi.
5 Emboli cairan amnion
Aborsi pada trimester I melalui kuretase, aborsi trimester II melalui histerotomi / prostaglandin, injeksi saline & urea, trauma tumpul abdomen, amniosentesis, histerektomi & persalinan sesar.
6 Emboli tumor Sumber emboli sel tumor bersumber dari keganasan pada hepar, mamae, gaster, ginjal, prostat & choriocarcinoma.
7 Emboli talk Substansi obat : magnesium trisilicate (talc), tepung, selulosa, amphetamine, methylphenidate, hydromorphone, dihaluskan, dicampur menjadi liquid & diinjeksikan intravena.
8 Emboli merkuri Kecelakaan9 Emboli kontras yang
teriodinisasiPerlakuan limfangiografi
10. Emboli kapas Injeksi narkotik melalui kain penyeka & serabut kapas11. Emboli parasit Fase larva Echinococcus granulosus
Sumber :Rosy Santiago et al, 2000
4
2.3 Patofisiologi
Trombus yang lepas ataupun penyebab non trombus yang menimbulkan obstruksi total
atau parsial dan menimbulkan konsekuensi 2 hal yaitu :
a. Gangguan Sistem Hemodinamik
Respon hemodinamik terhadap emboli paru tergantung dari ukuran embolus, penyakit
kardiopulmonal yang diderita, dan efek neurohormonal. Dekompensasi hemodinamik
terjadi tidak hanya karena obstruksi fisik dari aliran darah tetapi juga karena pelepasan
faktor humoral, seperti serotonin dari trombosit, trombin dari plasma, dan histamin dari
jaringan. Sehingga menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pada cabang-cabang arteri
pulmonalis yang terkena obstruksi tadi. Adanya vasokonstriksi pada cabang-cabang arteri
pulmonalis akan menyebabkan peningkatan resistensi vaskular paru (pulmonary vascular
resistance). Pada pasien tanpa riwayat penyakit kardiopulmonal, rata-rata tekanan arteri
pulmonal dapat menjadi dua kali lipat kira-kira 40 mmHg. Selain itu peningkatan tekanan
arteri dua kali lipat juga dapat terjadi pada pasien dengan riwayat hipertensi pulmonal.
Pasien dibawah keadaan ekstrim dengan hipertensi pulmonal tromboembolik kronik,
tekanan arteri pulmonal dapat melebihi tekanan arteri sistemik. Peningkatan afterload
dapat menyebabkan dilatasi dari ventrikel, hipokinesia, regurgitasi trikuspid dengan
dilatasi anular dari katub trikuspidalis dan pada akhirnya menyebabkan kegagalan fungsi
ventrikel kanan. Selama proses patologis berlangsung, sebagian besar pasien
mempertahankan tekanan arteri sistemik untuk 12 - 48 jam dan kemungkinan akan
memberi kesan hemodinamik stabil. Kemudian tiba-tiba terjadi hipotensi tekanan arteri
sistemik dan henti jantung kemungkinan akan terjadi. Pembesaran dari ventrikel kanan
yang diakibatkan oleh tekanan yang overload mengakibatkan pergeseran ke kiri dari
septum interventrikuler. yang merupakan manifestasi dari ketergantungan interventrikuler.
5
Kontraksi ventrikel kanan tetap berlangsung bahkan saat ventrikel telah mulai relaksasi
pada akhir sistol. Pendataran septum interventrikuler selama sistol dan kemudian menonjol
ke arah ventrikel kiri, dengan gerakan septum yang berlawanan arah mengubah sirkulasi
normal dari ventrikel kiri. Didapatkan adanya kelemahan diastol ventrikel kiri, yang
merupakan akibat dari perubahan letak septum, penurunan peregangan ventrikel kiri, dan
gangguan pengisian ventrikel kiri selama diastol. Kontraksi atrium kiri lebih meningkat
kontribusinya selama pengisian ventrikel kiri, menghasilkan gelombang A yang jauh lebih
tinggi dari pada gelombang E pada dopller. Dengan adanya peningkatan tegangan dinding
ventrikel, iskemik jantung kemungkinan terjadi, karena peningkatan tekanan ventrikel
kanan akan memampatkan arteri koronaria kanan, penurunan perfusi subendokardia, dan
membatasi suplai oksigen. Mikroinfark dari ventrikel kanan menyebabkan peningkatan
kadar troponin, dan overload ventrikel kanan menyebabkan elevasi dari natriuretik peptida
pro tipe B dan tipe B (Goldhaber et al, 2003).
b. Gangguan Sistem Respirasi
Adanya obstruksi total atau parsial oleh tromboemboli paru akan menimbulkan :
a) Refleks bronkokonstriksi yang terjadi setempat pada daerah paru yang terdapat emboli
(pneumokonstriksi)
b) Wasted ventilation (suatu peninggian physiological dead space ), ventilasi paru daerah
terkena tidak efektif
c) Hilang atau menurunnya surfaktan paru pada alveoli daerah paru yang terkena dan
d) Hipoksemia arterial
Reaksi bronkokonstriksi setempat yang terjadi bukan saja akibat berkurangnya aliran
darah (obstruksi total atau parsial) tetapi juga karena berkurangnya bagian aktif permukaan
jaringan paru, dan terjadi pula akibat pengeluaran histamin dan 5-hidroksi isoptamin yang
dapat membuat vasokonstriksi dan bronkokonstriksi bertambah berat. Wasted ventilation 6
terjadi karena adanya obstruksi oleh emboli paru yang menimbulkan suatu zona paru
dengan ventilasi paru yang cukup tetapi tidak terdapat perfusi, sehingga menimbulkan
dead space di dalam paru. Bagian paru ini tidak ikut mengalami proses pertukaran gas.
Hilang atau menurunnya produksi surfaktan paru menyebabkan stabilitas alveoli menurun,
yang berakibat atelektasis pada daerah paru yang terkena. Hipoksemia arterial disebabkan
oleh karena adanya gangguan ventilasi atau perfusi daerah paru yang terkena.
Gambar 2.1 Patofisiologi Emboli Paru TrombotikSumber : Tapson Victor, 2008
2.4 Tanda dan Gejala Klinis
Gambaran klinis emboli paru bervariasi, dari yang paling ringan tanpa gejala
(asimptomatik) sampai yang paling berat dengan gejala yang kompleks. Variasi
gambaran klinis emboli paru tergantung pada beratnya obstruksi pembuluh darah,
7
jumlah emboli paru (tunggal atau multipel), ukurannya (kecil, sedang atau masif),
lokasi emboli umur pasien dan penyakit kardiopulmonal yang ada. Selain itu gejala
klinis yang timbul merupakan gangguan lebih lanjut karena adanya obstruksi arteri
pulmonalis oleh emboli paru, yaitu timbulnya gangguan hemodinamik berupa gejala-
gejala akibat vasokonstriksi arteri pulmonalis, dan timbulnya gangguan respirasi
berupa gejala-gejala akibat bronkokonstriksi daerah paru yang terkena emboli paru
tadi.
a. Gambaran Klinis Emboli Paru Masif
Emboli paru masif memberikan gejala karena tersumbatnya arteri pulmonalis atau
cabang pertama. Pasien akan mengalami pingsan mendadak (sinkop), renjatan,
pucat, dan berkeringat, nyeri dada sentral atau sesak nafas. Nafas sangat cepat.
Kesadaran mungkin hilang untuk sementara. Denyut nadi kecil dan cepat.
Tekanan darah turun. Bagian perifer menjadi pucat dan dingin. Ditemukan tanda
sianosis tipe sentral yang mungkin tidak responsif terhadap pemberian oksigen.
Apabila pasien menjadi sadar, dia akan merasa nyeri dada yang hebat.
Pemeriksaan terhadap jantung, selain adanya hipotensi akan ditemukan tanda-tanda
beban jantung kanan berlebihan, misalnya dapat ditemukan vena jugularis terisi
penuh, hepato jugular refleks (+), adanya tanda-tanda hipertrofi ventrikel kanan
(iktus jantung bergeser ke kiri, melebar, adanya pulsasi para sterna, sternum kuat
angkat), bunyi jantung P2 mengeras, a right sided gallop rhythm, bising sistolik
akibat insufisiensi katup trikuspid. Bila gangguan hemodinamik hebat, dalam
waktu dua jam pasien dapat meninggal, dan sering didiagnosis sebagai henti
8
jantung.fibrilasi ventrikel mungkin muncul, mungkin juga tidak. Pijat jantung
dapat dicoba dilakukan, tetapi biasanya tidak berhasil.
b. Gambaran Klinis Emboli Paru Ukuran Sedang
Biasanya emboli paru akan menyumbat cabang arteri pulmonalis segmental dan
subsegmental. Pasien biasanya mengeluh adanya nyeri pleura, sesak nafas, demam
> 37oC, hemoptisis. Tidak ditemukan sinkop atau hipotensi, kecuali apabila telah
ada kelainan jantung dan paru yang diderita sebelumnya.
Pada pemeriksaan jantung tidak ditemukan tanda-tanda kelainan yang nyata,
kecuali pada pasien yang menderita emboli paru berulang, dapat timbul
korpulmonal dengan hipertensi pulmonal yang berat dan berlanjut timbul gagal
jantung kanan.
Pada pemeriksaan paru ditemukan : (1) tanda-tanda pleuritis (nyeri pleura, suara
gesek pleura daerah terkena), (2) area konsolidasi paru (gerak nafas daerah paru
yang terkena berkurang), fremitus raba mengeras, perkusi redup pada daerah paru
yang terkena, suara bronkial dan egofoni mengeras dan sebagainya), (3) tanda-
tanda fisis adanya efusi pleura (dada daerah yang terkena mencembung, gerakan
nafas berkurang, fremitus menurun, suara perkusi pekak, dan suara nafas menurun
atau menghilang). Bila terdapat nyeri tekan di atas daerah efusi pleura mungkin
terdapat empiema. Apabila terdapat infark paru, dapat ditemukan adanya demam,
leukositosis dan ikterus ringan. Wheezing jarang ditemukan, tetapi pada 15% kasus
dapat ditemukan wheezing. Emboli paru ukuran sedang dapat terjadi berulang
dalam beberapa bulan atau tahun berikutnya, terutama pada pasien usia lanjut yang
harus tirah baring lama.9
c. Gambaran Klinis Emboli Paru Ukuran Kecil
Tromboemboli paru ukuran kecil sering luput dari perhatian, karena sumbatan
mengenai cabang-cabang kecil arteri pulmonalis. Baru sesudah sebagian besar
system sirkulasi pulmonal (vascular bed) tersumbat, muncullah gejalanya.
Gejalanya ialah sesak nafas waktu bekerja mirip dengan keluhan pasien gagal
jantung kiri. Apabila emboli paru terjadi berulang kali dan berlangsung sampai
berbulan-bulan akan mengakibatkan ventrikel kanan membesar. Adanya keluhan
mudah lelah, pingsan waktu kerja (sinkop) dan angina pectoris menunjukkan
bahwa curah jantung sudah terbatas. Sebagian pasien mengalami mikroemboli
(emboli ukuran kecil) bersama-sama dengan kehamilan atau bersamaan dengan
penggunaan pil kontrasepsi oral.
d. Gambaran Klinis Infark Paru
Gambaran klinis infark paru menyerupai emboli paru. Mungkin dijumpai sesak
nafas mendadak, takipnea, batuk-batuk, hemoptisis, nyeri pleuritik (dirasakan di
dinding dada daerah paru yang terkena atau menjalar ke tempat lain misalnya
daerah bahu ipsilateral). Nyeri pleuritik tadi menyebabkan pergerakan dada daerah
yang terkena menjadi berkurang. Gejala umum lainnya misalnya terdapat demam
dan takikardi.
Apabila sumbatan emboli paru mengenai arteri / cabang besar, maka tanda-tanda
gangguan hemodinamik akan lebih menonjol, misalnya tekanan vena jugularis
meningkat, renjatan atau hipotensi, sianosis sentral dan tanda-tanda kegagalan
jantung kanan lainnya. Apabila sumbatan emboli paru mengenai arteri / cabang
(kecil), yang mencolok tanda klinisnya ialah gangguan respirasi 10
(bronkokonstriksi). Hilangnya surfaktan dari sebagian besar alveoli paru karena
iskemia paru akan menyebabkan timbulnya atelektasis paru yang progresif.
Tanda-tanda fisis paru sebenarnya terdiri atas tiga bagian : 1). Pleuritis, 2). Elevasi
diafragma daerah yang terkena, dan 3). Tanda-tanda konsolidasi daerah paru yang
terkena. Keikutsertaan pleura pada infark paru hampir pasti ada, sehingga selalu
dijumpai keluhan nyeri pleuritik, adanya tanda- tanda efusi pleura, adanya suara
gesek pleura dan sebagainya. Elevasi diafragma karena tarikan ke atas oleh
atelektasis daerah infark paru menunjukkan area konsolidasi.
2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Tanda dan gejala klinis emboli paru dapat berkisar dari keadaan tanpa tanda
sama sekali sampai kematian mendadak akibat embolus plana yang masif pada
percabangan arteri pulmonalis utama yang mengakibatkan sumbatan pada seluruh
aliran darah ventrikel kanan.
Tabel 2.3 Tanda, Gejala dan Pemeriksaan Penunjang Diagnosa Emboli Paru
PE (n = 219) No PE (n =546)
GejalaDispneuNyeri dada (pleuritik)Nyeri dada (substernal)BatukHemoptisisSinkop
80%52%12%20%11%19%
59%43%8%25%7%11%
TandaTakipneu (> 20x/mnt)Takikardi (> 100x/mnt)Tanda-tanda thrombosis venaDemam (> 38,5oC)Sianosis
70%26%15%7%11%
68%23%10%17%9%
11
Foto thoraxAtelektasis atau infiltratEfusi pleuraDasar pleura tampak opaq (infark)Elevasi difragmaVaskularisasi pulmonal menurunAmputasi dari arteri hiler
49%46%23%36%36%36%
45%33%10%25%6%1%
Analisa Gas DarahHipoksemia 75% 81%ElektrokardiogramOverload ventrikel kanan 50% 12%
Sumber : Miniati et.al, 1999
2.5.2 Tes Probabilitas Klinis
Tes Probabilitas Klinis yang sering digunakan yaitu Wells score.
Tabel 2.4 Tes Probabilitas Klinis Emboli Paru : Wells Score & Revisi Geneva score
Sumber : Wells et al, 2000
Pedoman ini telah disahkan, 3 kategori kemungkinan klinis (low, moderate,
high) dan 2 kategori perencanaan (PE likely atau unlikely). Pedoman revisi Geneva
juga digunakan di eropa. Kedua skoring ini bertujuan untuk memungkinkan
12
pengklasifikasian pasien ke dalam kategori-kategori kemungkinan sebagai respon
balik terhadap peningkatan prevalensi emboli paru.
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
a.Pemeriksaan darah tepi
Kadang-kadang ditemukan leukositosis dan laju endap darah yang sedikit
meninggi.
b.Kimia darah
Pada emboli paru masif dapat ditemukan peningkatan kadar enzim SGOT,
LDH, dan CPK yang arti klinisnya balum jelas. Terdapat peningkatan kadar
FDP (Fibrin/Fibrinogen degradation product), yang mencapai puncaknya pada
hari ketiga serangan. Parameter laboratorium ini (FDP) lebih mempunyai arti
klinis mengingat angka negatif atau positif palsunya relatif kecil (< 7%).
c.Analisa gas darah
Biasanya didapatkan PaO2 rendah (hipoksemia), tetapi tidak jarang ditemukan
pasien dengan serangan emboli paru mempunyai PaO2 > 80 mmHg.
Menurunnya PaO2 disebabkan karena gagalnya fungsi perfusi dan ventilasi paru.
PaCO2 umumnya dibawah 40 mmHg, dan penurunan PaCO2 ini terjadi karena
reaksi kompensasi hiperventilasi sekunder.
d.Elektrokardiografi
Kelainan yang ditemukan pada elektrokardiogram juga tidak spesifik untuk
emboli paru, tetapi paling tidak dapat dipakai sebagai petanda pertama dugaan
adanya emboli paru, terlebih kalau digabungkan dengan keluhan dan gambaran
klinis lainnya.13
Pada emboli paru masif, kira-kira 77% kasus akan menunjukkan gambaran EKG
seperti pada pasien korpulmonal akut sebagai berikut :
Adanya strain ventrikel kanan (misalnya terdapat gelombang T terbalik pada
sandapan prekordial kanan (V1 sampai V5 / V6).
Perputaran searah jarum jam, dan ditemukan gambaran rS atau RS pada V1
sampai V5 / V6 dan juga qR pada V1 dan V6.
Terdapat tanda klasik kor pulmonal akut : S1Q3 atau S1Q3T3, juga QR pada
aVF dan III, serta elevasi segmen ST menyerupai infark miokard akut.
Terdapat RBBB komplet atau inkomplet.
Gelombang P pulmonal pada II, III dan aVF.
Lain-lain : aritmia, takikardi, dan atrial flutter.
e.Radiologi
a) Foto thorax
Pada umumnya terdapat miskonsepsi foto thoraks normal pada kasus emboli
paru. Secara kontradiktif, studi yang dilakukan oleh Prospective Investigation
of Pulmonary Embolism Diagnosis (PIOPED), yang menunjukkan hanya
12% dari 400 pasien emboli paru yang memiliki intepretasi normal. Studi
observasional prospektif oleh Elliot dan kolega mengkarakteristikkan
gambaran radiologi yang abnormal yang didapatkan pada pasien emboli paru.
Kardiomegali adalah penemuan yang sering didapatkan (terjadi pada 29%
pasien), dan diikuti oleh efusi pleura, elevasi diafragma, pembesaran arteri
pulmonal, dan infiltrat parenkim pulmonal. Foto thoraks emboli paru klasik
menunjukkan adanya konsolidasi subpleura fokal (Hampton's hump) (pada 14
gambar 2 ditunjukkan oleh tanda panah) dan regional oligemi (Westermark's
sign). Pemeriksaan foto thoraks relatif aman, biayanya murah dan dapat
mengidentifikasi kemungkinan penyebab nyeri dada yang mematikan misal
pneumothoraks. Selain itu foto thoraks juga digunakan untuk intepretasi
nuclear V/Q scan jika pemeriksaan diindikasikan.
Gambar 2.2 Foto Thoraks Postero Anterior Pada Emboli ParuSumber : Kluetz and White, 2006
Kekhasan Foto X-ray Emboli Paru Non Trombotik (Rosy Santiago et al, 2000)
a) Emboli Paru Septik
Keterangan :
Gambar A
Laki-laki 34 tahun pengguna obat intravena dengan emboli septik, nafas pendek
dan demam. Foto thoraks PA menunjukkan bagian perifer kedua paru terdapat
nodul-nodul dengan batas tidak tegas,
15
A B
Gambar B
Wanita 33 tahun pengguna obat intravena dengan emboli septik dan demam. foto
thoraks PA menunjukkan bagian perifer kedua paru yang tebal dan nodul-nodul
yang berdinding ireguler.
b) Emboli Kateter
Keterangan :
Wanita 57 tahun dengan emboli kateter dan Ca Mamae.
Gambar A : Foto thoraks PA menunjukkan kateter vena subclavia central dengan
ujung di vena cava superior.
Gambar B : Foto thoraks lateral menunjukkan fragmen kateter pada segmen
posterior lobus superior kanan.
c) Sindrom Emboli Lemak
16
A B
A CB
Keterangan :
Laki-laki 34 tahun dengan emboli lemak dan cidera akibat kecelakaan motor.
pasien mengalami gangguan nafas setelah 72 jam kemudian.
Gambar A :
Foto femur AP kanan menunjukkan fraktur femur transversa 1/3 distal.
Gambar B dan C : Foto thoraks AP 24 jam setelah trauma (gambar B) dan 72 jam
setelah trauma (gambar B) menunjukkan peningkatan keopakkan kedua paru yang
heterogen dan difus, dengan edema pulmonum yang disebabkan emboli lemak.
d) Emboli Udara Vena
Keterangan :
Laki-laki 32 tahun dengan emboli udara, jalur vena centralisnya yang tidak
berhubungan. Foto thoraks AP menunjukkan radiolusen yang berbentuk lonceng
atau kerucut pada arteri pulmonalis utama. hiperlusen pada lobus superior
menghasilkan oligemia yang disebabkan obstruksi arteri pulmonalis oleh emboli
udara.
e) Emboli Cairan Amnion17
Keterangan :
Wanita 33 tahun dengan emboli cairan amnion. Pasien tidak responsif terhadap
induksi persalinan dan dilakukan sectio sesarea. Selama uterus dijahit, pasien
mengalami kejang tonik-klonik yang diikuti cardiac arrest. Tindakan suportif
dilakukan, tetapi pasien meninggal 3 minggu kemudian. Foto thoraks AP yang
diambil sesaat setelah persalinan menunjukkan cardiomegali yang ringan dengan
keopakkan pada kedua paru yang densitasnya lebih tinggi pada bagian kiri. selain
itu juga didapatkan edem pulmonal yang asimetris yang kemungkinan disebabkan
oleh emboli cairan amnion.
f) Emboli Tumor
Keterangan :18
Wanita 70 tahun dengan emboli tumor dan adenokarsinoma yang tidak diketahui
sumber primernya. Pasien mengalami dispneu akut dan nafas yang pendek. Foto
thoraks AP menunjukkan cardiomegaly ringan dan paru-paru yang normal.
Melalui otopsi, diketahui bahwa pasien menderita emboli tumor pada sirkulasi
pulmonalnya.
g) Emboli Talk
Keterangan :
Wanita 26 tahun pengguna obat-obatan dengan emboli talk. Pasien telah
diinjeksikan methylphenidate hydrochloride tablet IV dan mengalami hipertensi
pulmonal yang panjang. Foto thoraks PA menunjukkan keopakkan yang retikuler
pada lobus inferior dan pembesaran arteri pulmonalis central.
h) Emboli Merkuri
Keterangan :
Laki-laki 31 tahun dengan emboli merkuri.19
Foto thoraks PA menunjukkan keopakkan logam yang multipel. Pada bagian
medial paru kanan, keopakkan membentuk garis sesuai arah arteri pulmonalis
pada lobus inferior.
i) Emboli Kontras yang Teriodinisasi
Keterangan :
Laki-laki 53 tahun dengan emboli kontras yang teriodinisasi. Setelah
limfangiografi, pasien mengeluh nafas pendek.Foto thoraks PA menunjukkan
lobus superior paru kiri menunjukkan keopakkan yang retikulonodular difus.
Materi kontras juga tampak pada limfonodi bagisn supraclavicular.
j) Emboli Kapas
Keterangan :
20
Wanita 22 tahun pengguna obat IV dengan emboli kapas dan nafas pendek. Pasien
biasanya menggunakan bola kapas untuk membersihkan kulitnya dan dimasukkan
jarum melalui kapas saat menginjeksikan narkotik. Foto thoraks PA menunjukkan
keopakkan yang homogen dengan batas yang tidak jelas pada kedua lapangan
paru.
k) Emboli Parasit
Foto thoraks tidak dapat menunjukkan parasit intravascular, namun
radiologi dapat membantu mendiagnosa infeksi paru dengan menunjukkan
kista hydatid pada parenkim paru.
b) Serum marker
Komponen kunci diagnosa emboli paru melibatkan pemeriksaan darah.
Pengukuran gas darah arteri digunakan untuk menilai peningkatan gradien
oksigen ateri - alveolar. Review dari beberapa studi menunjukkan
pemeriksaan ini tidak sensitif dan tidak spesifik. Baru-baru ini tes D-dimer
telah menjadi pemerikssaan yang viabel untuk penyakit trombosis vena. D-
dimer adalah produk fibrinolisis yang sensitif untuk trombosis vena dengan
nilai prediksi negatif yang tinggi. Selain itu, salah satu studi menunjukkan
level kuantitatif D-dimer, sama baiknya dengan tanda klinis lain, yang dapat
memprediksikan defek perfusi yang luas pada ventilasi - perfusi (VQ), dan
derajat emboli paru. D-dimer assay telah digunakan sebagai kombinasi dengan
model skoring klinis (misal kriteria Well's) yang menilai pasien terhadap
resiko emboli paru dengan menggunakan anamnesa dan pemeriksaan fisik
(misal riwayat keganasan, riwayat pembedahan baru-baru ini, nadi dan
21
kejadian trombsosis vena). Penggunaan D-dimer assay yang akurat dengan
kombinasi sistem skoring (misal kriteria Well's), memiliki nilai prediksi
negatif sebesar 99,5% dan secara aman dapat menyingkirkan trombsosis vena
tanpa memerlukan pemeriksaan pencitraan.
c) Sidikan Paru Perfusi dan Ventilasi (V/Q Scan)
Pemeriksaan V/Q scan menggunakan albumin yang ditandai dengan Te99m.
Bahan kontras radioaktif tadi disuntikkan intravena. Beberapa saat kemudian
daerah perfusinya dibaca dengan kamera gamma. Efek sidikan paru (cold
nodule) menunjukkan adanya gangguan perfusi, menentukan kemungkinan
letak emboli paru/infark paru. Hasil positif palsu dijumpai pada pneumonie
atau karsinoma. Apabila hasil sidikan paru menunjukkan normal (distribusi
bahan radioaktif homogen dengan batas tepi tegas serta sesuai topografi
jaringan paru), maka telah memastikan bahwa tidak ada emboli paru.
Pemeriksaan sidikan perfusi paru mempunyai sensitifitas cukup baik, tetapi
spesifitasnya merupakan problem (kurang baik) karena terdapat nilai positif
palsu. Untuk menghilangkan kekurangan tersebut, hasil sidikan perfusi paru
sebaiknya dikombinasikan dengan pemeriksaan dikombinasikan dengan
sidikan ventilasi paru dengan gas Xenon133. Bahan radioaktif gas Xenon
diinhalasikan pada pasien yeng telah dilakukan sidikan perfusi dan distribusi
bahan radioaktif telah dibaca dengan kamera gamma. Pasien tersangka emboli
paru sebaiknya menjalani pemeriksaan sidikan ventilasi/perfusi (V/Q scan,
meskipun hanya 50% pasien dengan radiologis normal dan sidikan
ventilasi/perfusi abnormal terdapat emboli paru positif pada angiografi. 22
Sidikan ventilasi/perfusi paru juga dapat abnormal pada penyakit paru lainnya.
Klasifikasi hasil V/Q scan dapat normal, probabilitas tinggi dan probabilitas
rendah.
Gambar 2.3 V/Q scan dengan probabilitas tinggiSumber : Kluetz et al,2006
Sidikan ventilasi/perfusi dengan probabilitas tinggi ditunjukkan oleh dua emisi
photon tunggal yaitu gas Xenon 133 dan injeksi 4 mCi technetium 99m yang
dimakroagregasikan oleh partikel albumin. Ventilasi homogen, Left posterior
oblique (LPO) dan proyeksi posterior dari skening perfusi menunjukkan
defect yang besar pada bagian lateral dan posterior basal lobus inferior paru
kiri.
23
Gambar 2.4 V/Q scan dengan probabilitas intermedietSumber : Kluetz et al,2006
Sidikan ventilasi/perfusi dengan probabilitas intermediet ditunjukkan oleh dua
emisi photon tunggal yaitu gas Xenon 133 dan injeksi 4 mCi technetium 99m
yang dimakroagregasikan oleh partikel albumin. (A) proyeksi anterior dari
pernafasan tunggal, skening ventilasi menunjukkan penurunan ventilasi yang
ringan pada bagian basal. (B) proyeksi right posterior oblique (RPO) dari
skening perfusi menunjukkan defek yang multipel pada paru kanan (tanda
panah). Foto thoraks menunjukkan infiltrat pada lobus inferior kanan.
Kombinasi ini dibaca sebagai probabilitas intermediet.
d) Angiografi Pulmonal Konvensional
Angiografi paru merupakan satu-satunya sarana untuk memberikan informasi
anatomi pembuluh darah paru paling akurat. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan cara menyuntikkan bahan kontras radioopak, lebih baik melalui kateter
jantung ke dalam arteri pulmonalis. Pemeriksaan ini lebih berisiko
dibandingkan prosedur lain, tetapi dapat memberikan visualisasi pembuluh
darah paru dan data hemodinamik. Gambaran diagnostik emboli paru berupa
penghentian mendadak aliran kontras yang menunjukkan filling defect.
Angiografi tidak perlu dilakukan apabila hasil sidikan perfusi ventilasi paru
normal. Angiografi mutlak perlu dilakukan apabila akan dilakukan
embolektomi paru, dan sangat dianjurkan jika pasien akan diterapi dengan
risiko perdarahan (terapi fibrinolitik atau terapi dengan antikoagulan).
Angiografi dapat dilakukan satu minggu sesudah episode akut. Angiografi
24
paru merupakan tindakan diagnostik
invasif, kurang ideal dan mahal. Untuk
pengerjaannya perlu mengingat adanya
faktor indikasi dan kontraindikasi,
sehingga tidak dapat dilakukan sebagai
pemeriksaan penyaring untuk setiap pasien.
Gambar 2.5 Emboli Paru Pada Angiografi Pulmonal Konvensional Sumber : Kluetz et al,2006
Angiografi pulmonal konvensional invasive. Proyeksi paru dikerucutkan pada
paru kiri menunjukkan defek intraluminal dan pembuluh darah yang terpotong
pada bagian sentral dan segmental dari sirkulasi arteri pulmonalis centralis kiri
(tanda panah)
e) CT Pulmonary Angiography (CTPA)
CTPA merupakan modalitas imaging lini pertama untuk emboli paru. CTPA
menawarkan banyak keuntungan meliputi ketersediaannya, biaya yan efektif,
data volumetrik yang diperoleh, identifikasi diagnosa pembanding, dan
kemampuan untuk menggambarkan vena pelvis dan ekstremitas bawah pada
waktu yang sama. Selain itu, CTPA dapat digunakan pada hasil foto thoraks
25
yang abnormal atau
riwayat penyakit
kardiopulmonal. CTPA secara langsung memvisualisasikan emboli melalui
observasi filling defect dengan mempertajam gambaran arteri pulmonalis.
Protokol CTPA menggunakan 100 ml - 150 ml kontras dengan injeksi rata-
rata 3 ml/detik.
Gambar 2.6 Emboli Paru Pada CTPASumber : Kluetz et al,2006
CTPA 16 detektor dengan penguatan kontras pada proyeksi axial (A) dan
coronal (B). Bekuan darah divisualisasikan secara langsung pada lobus
inferior arteri pulmonalis (tanda panah kecil). Area konsolidasi yang
berbentuk penjepitan pada lobus inferior (tanda panah besar) sesuai dengan
infark paru yang pada CT scan tampak sebagi “Hampton’s hump”.
26
f) Magnetic Resonance
Pulmonary Angiography
MRPA dan magnetic
resonance perfusion
merupakan modalitas
imanging non invasif yang menunjukkan evaluasi emboli paru akut. MRPA
menghasilkan data volumetrik dari vaskuler paru dengan rekonstruksi dan
visualisasi pada latar yang multipel. Berbeda dengan CT, MRPA
mengembangkan radiasi non ionik. selain itu, penggunaan gadolinium bersifat
kurang nefrotoksik daripada materi kontras. Dan tampaknya hanya
menghasilkan sedikit reaksi alergi.kelebihan MRPA yang lain meliputi
gambaran MR fungsional V/Q scan. Walaupun data prospektif dari MRPA
untuk emboli paru terbatas, studi menunjukkan bahwa sensitifitas dan
spesifisitas ketika dibandingkan dengan angiografi pulmona.
Gambar 2.7 Emboli Paru Pada MRPASumber : Kluetz et al,2006
Proyeksi coronal pada magnetic resonance dengan penguatan kontras
menunjukkan adanya pembuluh darah yang terpotong dan hilangnya
27
vaskularisasi pada zona paru kanan lobus superior (tanda panah). (Courtesy of
Robert C. Glikeson MD, Cleveland, OH)
g) Echocardiografi (untuk pasien yang tidak stabil)
Penggunaan echocardiogrfai dibatasi untuk work up emboli paru. Tetapi
karena kecepatan dan mudah dibawa-bawa, echocardiografi berguna pada
pasien suspek emboli paru. Echo transesofageal dan transtorakal dapat
memvisualisasikan bekuan darah secara langsung. Selain itu juga tampak
dilatasi dari ventrikel kanan dan anatomi septumnya. Hal tersebut sangat
penting karena, fakta tentang peregangan ventrikel kanan juga merupakan ini
informasi yang menunjukkan prognosa dari hemodinamik yang stabil pada
pasien emboli paru. Walaupun masih kontroversial, peregangan jantung kanan
yang divisualisasikan pada echocardiogram justru meningkatkan resiko
kematian menjadi 2 kali lipat
2.5.4 Prosedur Diagnosis
28
2.6 Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan kepada pasien emboli paru / infark paru terdiri atas :
a. Tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien
Oleh karena kebanyakan pasien emboli paru (khususnya emboli paru masif)
merupakan keadaan gawat darurat, tindakan pertama pada pasien ini adalah
memperbaiki keadaan umum pasien untuk mempertahankan fungsi-fungsi
vital tubuh. Hal-hal yang perlu dilakukan misalnya : a). memberikan oksigen
untuk mencegah terjadinya hipoksemia, b). memberikan cairan infus untuk
mempertahankan kestabilan keluaran ventrikel kanan dan aliran darah
pulmonal, c). intubasi (bila diperlukan).
b. Pengobatan atas dasar indikasi khusus
Kembali pada persoalan bahwa emboli paru terutama emboli paru masif
merupakan keadaan gawat darurat, sedikit atau banyak menimbulkan
gangguan terhadap fungsi jantung, maka perlu dilakukan tindakan pengobatan
terhadap gangguan pada jantung tadi, yang dengan sendirinya diberikan atas
dasar indikasi khusus sesuai dengan masalahnya, misal : ada indikasi untuk
pemberian vasopressor, obat inotropik, anti aritmia, digitalis dan sebagainya.
c. Pengobatan utama terhadap emboli paru / infark paru
29
Pengobatan utama terhadap emboli paru atau infark paru sampai sekarang
dilakukan ialah pengobatan antikoagulan dengan heparin dan warfarin.
a) Dosis heparin : bolus 3000-5000 unit IV diikuti sebanyak 30.000-35.000
unit/hari dalam infuse glukosa 5% dan NaCl 0,9% atau disesuaikan, sampai
dicapai hasil pengobatan heparin, dengan target pemeriksaan PTT (partial
tromboplastin time) mencapai 1,5-2 kali nilai normal. Lama pengobatan
diberikan 7-10 hari selanjutnya obat antikoagulan oral. Pada emboli paru
yang tidak masif , heparin diberikan 5000 unit/4 jam, sesudah 48 jam
diberikan pula obat antikoagulan oral. Sedangkan pada emboli paru masif,
dosis heparin ditingkatkan menjadi 10.000 unit tiap 4 jam.
Pemberian heparin subkutan lebih menguntungkan karena pemberiannya
lebih mudah, mobilisasi lebih cepat dan bias untuk pasien rawat jalan.
Dosis mulai dengan suntikan bolus intravena 3000-5000 unit bersama
suntikan subkutan pertama, kemudian suntikan subkutan diberikan 5000
unit/4jam atau 10000 unit/8 jam atau 15000-20000 unit tiap 12 jam sampai
dicapai PTT 1,5-2,5 kali nilai normal. Heparin tidak boleh diberikan
intramuskuler karena dapat menimbulkan hematoma pada tempat suntikan.
b) Pemberian warfarin
Warfarin diberikan pada pasien dengan thrombosis vena atau emboli paru
berulang dan pada pasien dengan faktor risiko menetap. Dosis yang biasa
diberikan ialah 10-15 mg/kgBB, dengan target sampai terjadi pemanjangan
(> 15%-25%) dari nilai normal waktu protrombin yang maksimum.
30
Pemberian warfarin adalah secara oral. Lama pemberian biasanya sekitar 3
bulan (12 minggu) terus menerus .
Kontraindikasi Pemberian Antikoagulan :
Kontraindikasi Absolute :
Perdarahan internal yang aktif
Perdarahan intracranial spontan yang baru terjadi
Kontraindikasi Relatif :
Pembedahan mayor, melahirkan, biopsy organ atau pungsi pembuluh darah
non kompresibel selama 10 hari.
Stroke iskemik sampai 2 bulan setelahnya
Perdarahan gastrointestinal selama 10 hari
Trauma fatal sampai 15 hari
Pembedahan saraf atau mata sampai 1 bulan setelahnya
Hipertensi berat yang tidak terkontrol (tekanan sistolik > 180 mmHg;
tekanan diastolik > 110 mmHg.
Resusitasi kardiopulmonal baru-baru ini
Hitung trombosit < 100 000/mm3, protrombine time < 50%
Kehamilan
Endokarditis bakterial
Diabetic Haemorhage retinopathy
d. Pengobatan lainnya
Yang terpenting adalah pengobatan pembedahan. Pengobatan pembedahan
pada emboli paru diperuntukkan bagi pasien yang tidak adekuat atau tidak 31
dapat diberikan terapi heparin. Dengan tindakan pembedahan ini dapat
dilakukan :
a) Venous interruption
Tujuan venous interruption adalah mencegah emboli ulang dari trombus
vena dalam tungkai bawah. Sekarang yang banyak dikerjakan ialah
pemasangan filter di vena kava inferior secara intravena, yang tidak
menyumbat aliran vena, dapat mencegah emboli yang lebih besar dari
2mm dan jarang mengalami thrombosis di filter tersebut.
b) Embolektomi paru
Tujuan embolektomi ini dulu banyak dikerjakan jika terdapat
kontraindikasi terhadap pemakaian antikoagulan atau pada pasien emboli
paru kronik. Karena resiko kematian cukup besar, maka tindakan
embolektomi sekarang ditinggalkan.
2.7 Diagnosis Banding
Apabila ada kecurigaan adanya emboli paru atau infark paru pada seorang pasien,
sedangkan pemeriksaan definitif untuk memastikan diagnosisnya belum dilakukan,
perlu diingat diagnosis banding terhadap kelainan yang dihadapi ini. Pemeriksaan
definitif yang dimaksudkan disini ialah pemeriksaan sidikan perfusi/ventilasi paru dan
angiografi pulmonal..
a.Diagnosis banding emboli paru masif, disertai adanya nyeri dada mendadak dan
hipotensi adalah inferk miokard akut, aneurisma aorta disekan, gagal jantung kiri
berat dan rupture esophagus.
32
b. Diagnosis banding emboli paru ukuran sedang, tanpa ada infark paru adalah
sindrom hiperventilasi, asma bronkial, alveolitis alergik, dan sebagainya.
c.Diagnosis banding emboli paru akut dengan infark paru adalah pneumonia,
sumbatan bronkus oleh lendir pekat, karsinoma paru dengan pneumonie
pascaobstruksi, empiema dan tuberkulosis paru dengan efusi pleura.
2.8 Prognosis
Prognosis emboli paru jika terapi yang tepat dapat segera diberikan adalah baik.
Emboli paru juga dapat menimbulkan kematian mendadak. Prognosis emboli paru
tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tergantung ketepatan diagnosis dan
pengobatan yang diberikan. Umumnya prognosis emboli paru kurang baik. Pada
emboli paru masif prognosisnya lebih buruk lagi, karena 70% dapat mengalami
kematian dalam waktu 2 jam sesudah serangan akut. Prognosis juga buruk pada
pasien emboli paru kronik dan yang sering mengalami ulangan serangan. Resolusi
emboli paru dapat terjadi dengan terapi trombolitik yang progresif. Umunya resolusi
dapat dicapai dalam waktu 30 jam. Resolusi komplet terjadi dalam waktu 7-19 hari,
variasinya tergantung pada kapan mulai terapi, adekuat tidaknya terapi dan besar
kecilnya emboli paru yang terjadi.
33