efektifitas pembelajaran pendekatan design for …
TRANSCRIPT
804 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN PENDEKATAN DESIGN FOR CHANGE
DALAM PENGEMBANGAN KREATIVITAS ENTREPRENEURIAL
LEADERSHIP ANAK USIA DINI
Siti Fadjryana Fitroh1, Dewi Mayangsari2
Program Studi PG PAUD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura
Email : [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Kemampuan yang penting untuk dimiliki oleh seorang anak adalah kreativitas. Di zaman globalisasi saat ini
menjadi orang kreatif sangat menguntungkan. Susahnya mencari pekerjaan, membuka peluang seseorang untuk
menunjukkan kreativitasnya lewat sebuah hasil karya dan nantinya karyanya (produk) akan dipasarkan.
Namun, disayangkan tidak semua orang paham berwirausaha. Dalam berwirausaha seseorang harus memiliki
jiwa kepemimpinan, agar tidak mudah ditipu daya pembeli ataupun pengusaha lain. Hal ini perlu diajarkan,
sehingga menjadi penting jika mulai distimulus sejak dini. Anak usia dini dengan rasa ingin tahunya yang
tinggi sangat tepat jika dikembangkan kreativitas entrepreneurial leadership lewat pembelajaran yang
menyenangkan. Penelitian ini memiliki tujuan antara lain ingin melihat: 1) Efektifitas penerapan metode
pembelajaran menggunakan pendekatan DFC dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership
AUD; 2) Bentuk kesulitan yang dialami guru dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership
AUD penerapan metode pembelajaran pendekatan DFC. Subyek penelitian anak kelompok B usia 5-6 tahun.
Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan datanya observasi, wawancara, dan
FGD. Hasil penelitian menyatakan bahwa 1) Penerapan metode pembelajaran pendekatan Design for Change
(DFC) sangat efektif dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership, nampak disetiap langkah
pelaksanaan mulai dari feel, image, do dan share subyek mengalami peningkatan. 2) Hambatan yang dialami
oleh guru dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership anak adalah perkembangan anak dan
mengenal karakteristik kepribadian anak.
Kata kunci: DFC, Kreativitas, Entrepreneurial Leadership, Anak Usia Dini
PENDAHULUAN
Usia dini merupakan usia yang paling tepat dalam menumbuh kembangkan segala kemampuan
yang dimiliki oleh anak. Karena pada masa ini anak sedang membutuhkan banyak stimulus guna
mengembangkan segala kemampuan serta minat yang dimilikinya secara optimal. Hal di atas senada
dengan pengungkapan Mansur (2005) yang menjelaskan bahwa anak usia dini adalah kelompok anak
yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, karea memiliki sifat unik. Mereka
memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangannya. Dalam prosesnya dibutuhkan sebuah wadah yang dapat mendidik dan
menstimulasi anak usia dini secara tepat yakni pendidikan.
Sesuai dengan Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 14, upaya pembinaan yang
ditujukan bagi anak usia 0-6 tahun dilakukan melalui Pendidikan anak usia dini (PAUD). Pendidikan
anak usia dini dapat dilaksanakan melalui pendidikan formal, nonformal dan informal. Pendidikan
anak usia dini jalur formal berbentuk taman kanak-kanak (TK) dan Raudatul Athfal (RA) dan bentuk
lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini jalur nonformal berbentuk kelompok bermain (KB),
taman penitipan anak (TPA), sedangkan PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan
keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan lingkungan seperti bina keluarga balita dan posyandu
yang terintegrasi PAUD atau yang kita kenal dengan satuan PAUD sejenis (SPS)
Dalam pendidikan untuk anak usia dini baik formal, non formal ataupun informal perlu
diperhatikan pula karakteristik anak, sehingga dalam menstimulus pembelajarannya dapat tepat
sesuai tahapan usianya. Menurut Hartati (2005) menjelaskan bahwa karakteristik anak usia dini
adalah 1) memiliki rasa ingin tahu yang besar, 2) memiliki pribadi yang unik, 3) suka berfantasi dan
berimajinasi, 4) masa potensial untuk belajar, 5) memiliki sikap egosentris, 6) memiliki rentan daya
konsentrasi yang pendek, 7) merupakan bagian dari mahluk sosial. Karakteristik diatas
menggambarkan bahwa potensi harus dapat berkembang maksimal.
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 805
Adapun aspek-aspek perkembangan anak usia dini yang perlu dikembangkan yakni :
1. Perkembangan fisik/motorik
Perkembangan ini akan mempengaruhi kehidupan anak baik secara langsung
ataupun tidak langsung (Hurlock, 2007). Perkembangan motorik kasar berhubungan
dengan gerakan dasar yang terkoordinasi dengan otak seperti berlari, berjalan, melompat,
memukul dan menarik. Sedangkan motorik halus berfungsi untuk melakukan gerakan yang
lebih spesifik seperti menulis, melipat, menggunting, mengancingkan baju dan mengikat
tali sepatu.
2. Perkembangan Kognitif
Perkembangan ini menggambarkan bagaimana pikiran anak berkembang dan
berfungsi sehingga dapat berpikir (Mansur, 2005). Keat menyatakan bahwa perkembangan
kognitif merupakan proses mental yang mencakup pemahaman tentang dunia, penemuan
pengetahuan, pembuatan perbandingan, berfikir dan mengerti (Endang & Nur, 2005).
Proses mental yang dimaksud adalah proses pengolahan informasi yang menjangkau
kegiatan kognisi, intelegensi, belajar, pemecahan masalah dan pembentukan konsep. Hal
ini juga menjangkau kreativitas, imajinasi dan ingatan
3. Perkembangan Bahasa
Penguasaan bahasa anak berkembang menurut hukum alami, akan muncul dan
berkembang melalui berbagai situasi interaksi sosial anak dengan lingkungan. Suhartono
(2005) menyatakan bahwa peranan bahasa bagi anak usia dini diantaranya sebagai sarana
untuk berfikir, sarana untuk mendengarkan, sarana untuk berbicara dan sarana agar anak
mampu membaca dan menulis. Melalui bahasa seseorang dapat menyampaikan keinginan
dan pendapatnya kepada orang lain.
4. Perkembangan Sosial-Emosi
Sosial Emosi merupakan perasaan atau afeksi yang melibatkan perpaduan antara
gejolak fisiologis dan gelaja perilaku yang terlihat (Mansur, 2005). Perkembangan emosi
memainkan peranan yang penting dalam kehidupan terutama dalam hal penyesuaian
pribadi dan sosial anak dengan lingkungan.
Aspek perkembangan diatas menunjukkan bahwa didalam aspek Kognitif terdapat kreativitas
yang harus dikembangkan sejak usia dini. Menurut Sujiono 2005 (dalam Nurhayati, 2011)
menyatakan bahwa kreativitas yang ditunjukkan anak merupakan bentuk kreativitas yang original
dengan frekuensi kemunculannya seolah tanpa terkendali. Selain itu, Munandar (2009) juga
mengemukakan pentingnya pengembangan kreativitas pada anak antara lain: (1) kreativitas dapat
mewujudkan aktualisasi diri; (2) kreativitas merupakan cerminan berpikir kreatif anak; (3) kreativitas
bermanfaat bagi lingkungan sosial; dan (4) kreativitas memungkinkan manusia meningkatkan
kualitas hidup.
Dalam bidang pendidikan, kreativitas anak didik mendapat perhatian yang cukup besar.
Terlihat pada upaya-upaya pengambil kebijakan di bidang pendidikan untuk memasukkan
peningkatan kreativitas dalam berbagai kegiatan pendidikan, baik dimuat dalam kurikulum, strategi
pembelajaran maupun perangkat pembelajaran lainnya. Menurut Hurlock (2007) ada beberapa faktor
yang dapat meningkatkan kreativitas antara lain a) Waktu untuk menuangkan ide/gagasan atau
konsep-konsep originalnya; b) Kesempatan menyendiri untuk mengembangkan imajinasinya; c)
Dorongan atau motivasi untuk kreatif, bebas dari ejekan; d) Sarana bermain untuk merangsang
dorongan eksperimen dan eksplorasi. Selain itu ada hal lain yang juga perlu diperhatikan selain faktor
yakni beberapa kondisi yang dapat meningkatkan kreativitas yaitu: 1) sarana belajar dan bermain
disediakan untuk merangsang dorongan eksperimen dan eksplorasi; 2) lingkungan sekolah yang
teratur, bersih, dan indah secara lansung akan mendorong kreativitas; 3) Kemenarikan guru dalam
mendidik dan memberikan motivasi; 4) peran masyarakat dan orangtua mendukung kegiatan TK
yaitu menyediakan media/bahan praktek senirupa (Depdikbud, 2005: 42).
Penjelasan diatas merupakan bagian dari upaya agar setiap kegiatan pendidikan atau
pembelajaran, dapat memfasilitasi peserta didik dalam mendapatkan keterampilan mengembangkan
kreativitas terutama dalam memecahkan masalah. Dengan demikian dunia pendidikan akan
memberikan kontribusi yang besar terhadap pengembangan SDM yang kreatif dan memiliki
kemampuan pemecahan masalah yang handal untuk menjalani masa depan yang penuh tantangan.
806 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
Perkembangan zaman saat ini, semakin banyak produk-produk hasil kreativitas. Namun,
disayangkan banyak orang kreatif banyak pula orang berbuat curang dalam berbagai kegiatan salah
satunya berwirausaha. Hal ini membuat banyak pengusaha yang memiliki sifat tidak jujur. Ternyata
sifat tersebut menjadi model untuk banyak orang, tidak terkecuali anak-anak. Jadi dapat disimpulkan
bahwa berwirausaha tidaklah mudah, butuh pembelajaran yang tepat. apalagi dengan fenomena
sosial diatas, jika hal tersebut semakin berlanjut bagaimana dengan masa depan bangsa yang
dikelilingi oleh orang-orang yang tidak jujur.
Hal ini membuat penting untuk mengembangkan kreativitas dalam usia yang masih dini,
kreativitas yang dimaksudkan disini adalah memiliki jiwa kepemimpinan yang bagus dalam
berwirausaha. Ada dua karakter seorang entrepreneur yakni Pertama entrepreneur sebagai creator
yaitu menciptakan usaha atau bisnis yang benar-benar baru yang dalam hal ini mengarah ke
pengembangan kreativitas. Kedua, entrepreneur sebagai innovator, yaitu menggagas pembaruan
baik dalam produksi, pemasaran, maupun pengelola dari usaha yang sudah ada sehingga menjadi
lebih baik mengarah pada jiwa kepemimpinan. Saat sudah mampu menguasai karakteristik menjadi
seorang pengusaha, perlu diketahui menjadi seorang pemimpin di usahanya sendiri membutuhkan
beberapa proses, dan hal ini bagus jika dilakukan atau ditanamkan secara dini sehingga menjadi
karakter lekat pada anak. Menurut Pattikumay, 2008 (dalam Sugianto & Sutanto, 2013), menyatakan
bahwa untuk membangun jiwa entrepreneurial leadership merupakan suatu tindakan perubahan
yang mengarah kepada peningkatan kreativitas, inovasi, intuisi, dan kemampuan memimpin,
motivasi, serta keberanian mengambil risiko.
Dapat disimpulkan bahwa entrepreneurial leadership adalah kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang anak dalam memimpin usahanya dengan bentuk peningkatan kreativitas, inovasi, intuisi,
motivasi, serta keberanian mengambil risiko. Adapun tujuannya saat anak sudah memiliki bekal jiwa
entrepreneurial leadership maka anak akan memiliki keberanian, kemandirian serta ketrampilan,
sehingga mampu meminimalisir kegagalan dalam dirinya sehingga tidak mudah putus asa dan terus
berjuang serta optimis. Sedangkan kreativitas entrepreneurial leadership sendiri adalah anak dapat
berfikir luwes dalam memimpin usahanya dengan bentuk peningkatan kreativitas, inovasi, intuisi,
dan motivasi, serta keberanian mengambil risiko.
Mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership pada anak usia dini dalam proses
pembelajaran sangatlah mudah, jika stimulus yang diberikan tepat. Dalam hal ini pemberian
stimulasi dalam pembelajaran anak usia dini tidak jauh-jauh dengan konsep bermain, namun disaat
bermain perlu penekanan tentang hikmah atau maksud dari permainan yang dilakukan, sehingga
tidak terlihat hanya bermain saja, namun anak bisa belajar banyak hal. Metode pembelajaran dengan
pendekatan Design For Change (DFC) menjadi pilihan yang sangat sesuai untuk anak-anak karena
berkonsep dasar bahwa anak merupakan individu yang memiliki kemampuan untuk membawa
perubahan yang luar biasa. Selain itu melalui pendekatan design ini kita sebagai pengasuh bisa guru
maupun orangtua diminta untuk menularkan semangat “saya bisa” yang mana dalam kesempatan ini
meminta anak-anak untuk mengekspresikan ide-ide mereka dan meminta untuk menjalankan ide
tersebut.
DFC didalam bidang pendidikan digunakan untuk mengembangkan ketrampilan yang
dibutuhkan oleh anak-anak. Cara kerja pendekatan ini adalah membekali anak dengan sebuah
perangkat yang membuat anak lebih peduli terhadap segala informasi. Dalam pendekatan ini tidak
hanya bidang akademis yang ditekankan tetapi juga meminta anak-anak untuk peduli secara sosial
dan proaktif dalam menjadi agen perubahan di permasalahan sosial. Maka dari itu penerapan DFC
di lingkungan pendidikan diharapkan dalam proses pembelajarannya berfokus mengajarkan anak
untuk memiliki sifat antusiasme, kasih sayang, konten, karakter dan berbuat baik (Eka,2015).
Desain ini memiliki ketepatan dalam pembelajaran untuk anak usia dini dalam pengembangan
kreativitas entrepreneurial leadership. Menurut Kiran Bir Sethi (dalam Eka, 2015) menyatakan
bahwa seorang anak harus memiliki FIDS, dalam hal ini disebut sebagai langkah-langkah yakni:
1. Feel (Merasakan)
Dalam langkah ini anak diajak untuk bisa memahami perasaan orang lain dan melihat
permasalahan yang ada disekitarnya dengan melalui beberapa tahapan yakni :a) observasi,
anak diminta mengamati; b) memilih, dari hasil observasi anak diminta memilih satu kondisi
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 807
yang ingin dirubah; c) terlibat, mengajak anak untuk belajar mewawancarai orang-orang yang
terlibat maupun yang terkena dampak dari keadaan yang ingin dirubah.
2. Image (Membayangkan)
Langkah yang kedua diminta untuk menjadi pemandu dalam mendorong anak untuk
dapat mengumpulkan ide sebanyak-banyaknya dan membayangkan solusi yang “tidak biasa”.
Mengajak anak untuk berimajinasi sehingga eksplorasi ide-idenya dapat keluar menakjubkan.
Langkah kedua ini jangan beri batasan pada proses penciptaan sebuah ide, tugas kita hanya
memandu dan mendorong anak untuk memunculkan bermacam-macam ide.
3. Do (Melakukan)
Langkah ketiga saatnya mengajak anak-anak untuk melaksanakan ide-ide yang sudah
mereka susun dalam membuat sebuah perubahan. Disini ada beberapa tahap yang harus
diperhatikan yakni a) merencanakan cara menjalankan ide; b) mengimplementasikan ide,
disini berikan dukungan dan sorakan “Ya Kamu Bisa”; c) Refleksikan yakni mengajak anak
untuk dapat mengambil hikmah dari apa yang sudah dilakukan, ajak anak membuat jawaban
tentang apa yang telah dipelajari dari diri sendiri lalu bersama teman-temannya.
4. Share (Membagikan)
Langkah yang terakhir mengajak anak untuk menularkan atau berbagi kisah lewat cerita
dengan orang lain. Dalam langkah ini meminta anak untuk fokus pada F.A.C.T.S yakni
a. Feeling (Perasaan) yakni bagaimana mereka menggambarkan perasaan orang-orang atau
teman-teman nya saat bermain tadi
b. Action (aksi) yakni merekam aksi teman-teman super mereka saat bermain
c. Changes & Transformations (perubahan dan transformasi) yakni meminta anak untuk
merekam kutipan-kutipan yang bisa membuat seseorang berubah
Jika langkah-langkah diatas dapat dilalui maka permasalahan sosial tentang berwirausaha
tidak jujur bisa diatasi secara dini. Ketertarikan peneliti tentang pendekatan Design For Change
(DFC) ingin dibuktikan dalam bidang pendidikan khususnya pengembangan kreativitas
entrepreneurial leadership anak usia dini lewat pembelajaran. Design For Change (DFC) digunakan
sebagai pilihan metode pendidikan yang efektif untuk guru dalam proses pembelajaran, serta sebagai
bentuk stimulasi yang tepat dalam merangsang serta menumbuhkan kreativitas entrepreneurial
leadership. Maka peneliti mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana efektifitas
penerapan metode pembelajaran menggunakan pendekatan Design For Change (DFC) dalam
mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership AUD?; dan 2) Kesulitan apa saja yang
dialami oleh guru dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership AUD dengan
penerapan metode pembelajaran mengunakan pendekatan Design For Change (DFC)?
METODE
Penelitian dilakukan di TK Tarbiyatus Sibyan Kamal dengan subyek anak Kelompok B usia
5-6 tahun sejumlah 6 orang. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan
deskriptif naratif, dengan didasari beberapa alasan, yaitu: (1) bersifat natural, maksudnya adalah
penelitian dilakukan sesuai keadaan sebenarnya dan peneliti sebagai instrumen utama, (2) data
bersifat deskriptif, (3) lebih menekankan proses daripada hasil, (4) pengolahan data cenderung
dilakukan secara induktif, (5) perhatian utama pada setiap aktivitas yang dilakukan individu. Sumber
data yakni observasi, wawancara dan focus group discussion (FGD).
Dalam proses analisis adapun alur kegiatan yang akan dilakukan yakni: 1) Reduksi data yakni
proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari
catatan yang tertulis di lapangan. 2) Penyajian Data yakni sekumpulan informasi yang tersusun
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan bisa dengan bentuk grafik, maupun bagan. 3)
Penarikan kesimpulan yakni proses mencari arti, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan,
konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proposisi dari gambaran-gambaran secara
keseluruhan baik catatan deskriptif maupun reflektif yang telah dibuat sebelumnya pada bagan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
808 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
Berdasarkan hasil observasi, wawancara, dan FGD yang dilakukan peneliti selama
pelaksanaan penerapan metode pembelajaran menggunakan pendekatan Design For Change (DFC)
dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership AUD menyatakan ada beberapa
catatan perubahan selama proses. Lokasi penelitian ini menggunakan dua tempat yakni laboratorium
dan sekolah, intinya menyesuaikan dengan kondisi dalam rancangan penelitian. Akan lebih detail
dan jelas jika di tiap langkah kegiatan yang harus dilalui anak kita ketahui yakni anak diminta secara
berurutan melakukan kegiatan dalam FIDS lewat pembelajaran DFC, langkah-langkah yang
dimaksud adalah:
1. Feel (Merasakan)
Dalam langkah ini anak diajak untuk berkunjung sekaligus mempelajari kegiatan di
suatu tempat yang tidak biasa anak datangi sebelumnya, tujuannya anak bisa memahami dan
melihat. Kegiatan ini dikonsep sebagai kegiatan tamasya berkunjung di perusahaan jagung
(setting tempat dilaboratorium menjadi perusahaan jagung), dalam kegiatan ini anak diminta
untuk dapat melalui beberapa tahapan yakni :
a) Observasi; anak diminta mengamati di tiap proses kegiatan, terdapat dua kegiatan yakni
pertama cara pemuatan kotak pensil dan gantungan kunci dari kulit jagung dan kedua cara
membuat susu dan ice cream dari biji jagung. Anak diberi tahu cara pembuatannya lewat
sebuah demo pembuatan dan anak diminta memperhatikan. Dalam proses kegiatan ini ke
enam anak nampak antusias ditiap proses, nampak dari bagaimana mereka tetap mengikuti
aturan dan memperhatikan demo pembuatan.
b) Memilih; dari hasil observasi (pengamatan) kegiatan, anak diminta memilih satu dari dua
kegiatan di atas. Ternyata dari dua kegiatan diatas yang diminati oleh 6 anak yang dalam
hal ini adalah subyek yakni cara pembuatan ice cream. Dalam wawancara yang dilakukn
oleh peneliti pada salah satu anak yang membuat dia tertarik adalah ingin membuat ice
cream di rumah karena dilihatnya dirasa mudah.
c) Terlibat; setelah melihat dan memilih kegiatan, anak diajak untuk belajar membuat
sekaligus bertanya-tanya seputar kegiatan kepada istuktur pembuat ice cream. Dalam
proses ini anak sangat senang dan berantusias, nampak dari diikutinya kegiatan hingga
akhir.
Pelaksanaan kegiatan langkah pertama ini memakan waktu sekitar 2 jam 30 menit,
dengan hasil anak tidak merasa bosan dan dapat mengikuti kegiatan dengan baik.
2. Image (Membayangkan)
Langkah kedua ini peneliti mengambil lokasi tempat di sekolah. Kegiatan ini lebih
banyak dilakukan oleh peneliti yang berperan sebagai pemberi stimulus dan pemandu dalam
mendorong anak untuk dapat mengumpulkan ide sebanyak-banyaknya dan membayangkan
solusi yang “tidak biasa”. Mengajak anak untuk berimajinasi sehingga eksplorasi ide-idenya
dapat keluar menakjubkan. Di awal kegiatan peneliti mencoba untuk flash back ulang kegiatan
yang sudah dilakukan sebelumnya yakni langkah feel dan anak-anakpun menjawab spotan
yakni “main keperusahaan jagung membuat ice cream”. Lalu dilanjutkan dengan stimulus
berikutnya berupa pertanyaan dari peneliti yakni siapa yang ingin memiliki toko besar jualan
es krim? Ke enam anak antusias dengan mengacungkan tangannya. Setelah itu barulah dilanjut
pemberian stimulasi berupa pemutaran video inspirasi berjudul “juragan cilik”. Video itu
bercerita tentang awal mula seorang anak kecil yang sudah memulai karirnya sejak kecil (usia
mengkondisikan sama dengan subyek) berjualan es krim dan akhirnya dewasanya benar-benar
menjadi juragan sukses. Video tersebut berhasil menstimulasi anak-anak untuk ingin menjadi
pengusaha, lewat pertanyaan yang mendorong anak-anak untuk bisa jadi juragan cilik. Proses
kegiatan ini berlangsung selama 1 jam 30 menit dengan durasi pemutaran video dua kali.
3. Do (Melakukan)
Dalam langkah ini peneliti mengambil lokasi tempat di sekolah. Anak diajak untuk
melaksanakan ide-ide yang sudah mereka susun dalam sebuah rencana. Anak harus melalui
beberapa tahap yang harus diperhatikan yakni
a) Merencanakan cara menjalankan ide, dalam kegiatan ini anak disediakan buku gambar dan
meminta anak untuk menggambar ide yang ingin dilakukan yakni bentuk usaha apa, setelah
menggambar anak diminta untuk bercerita kepada peneliti tentang apa yang digambar.
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 809
Terlihat dari hasil gambar hampir tiap anak memiiki ide usaha yang berbeda-beda. Diakhir
kegiatan anak diminta untuk membawa hasil karyanya dan menceritakan kepada orangtua
tentang usaha yang ngin dibuat.
Dihari esoknya orang tua diundang kesekolah, untuk membahas tentang rancangan
yang sudah dibuat anak dan diceritakan pada mereka untuk dapat diwujudkan dalam
kegiatan berikutnya. Orang tua dari ke enam subyek menyepakati dilaksanakan kegiatan
aplikasi ide, sebelum pelaksanaan orang tua dan anak diberi waktu 1 minggu untuk belajar
berwirausaha mulai dari mencari bahan, membuat sampai dengan cara pemasaran.
b) Mengimplementasikan ide; dari kegiatan mengambar yang dilakukan anak hingga
mengundang orangtua dalam keterlibatan, membuat kegiatan ini dapat berjalan. Awal
kegiatan dimulai dari menyiapkan jualannya, anak dibantu orangtua. Setelah siap, anak
diminta bersiap-siap dijam istirahat. Anak diminta melakukan pemasaran dengan cara
merayu konsumen yakni teman-teman sekolahnya untuk membeli produksnya. Dalam
kondisi ini tidak perlu ada setting, anak benar-benar diberi kebebasan untuk menjual
produks jualannya sedangkan orangtua hanya bertugas untuk membantu memberikan uang
kembalian sekaligus memberikan semangat “ kamu bisa”. Waktu berjualan 20 menit untuk
menjual 10 produks. Kondisi lapangan nampak ramai dan anak sangat antusias mencari
pelanggan, anak berkompetisi secara teratur, tidak berebut ataupun curang. Setelah selesai
kegiatan pemasaran anak kembali keruangan dengan orang tua untuk menghitung
untung/rugi. Dalam proses langkah ini selalu diberikan dukungan dan sorakan “Ya Kamu
Bisa” itu bagian dari stimulasi
c) Refleksikan; anak diajak untuk dapat mengambil hikmah dari apa yang sudah dilakukan,
dan diminta mengungkapkan tentang apa yang telah dipelajari dari mulai diri sendiri,
bersama teman-temannya, salah satunya bersyukur dari hasil usaha jualannya. Peneliti
masih selalu memberikan dukungan dan sorakan “Ya Kamu Bisa” dan ternyata memang
anak-anak bisa.
4. Share (Membagikan)
Langkah yang terakhir mengajak anak untuk menularkan semua kegiatan yang sudah
dilaluinya dari awal hingga akhir puncak kegiatan dengan bercerita didepan teman-temannya. Dalam
langkah ini meminta anak untuk tetap fokus pada F.A.C.T.S, dalam kegiatan ini tetap dibantu peneliti
untuk mengarahkan yakni dilakukan secara berurutan mulai dari apa yang dirasakan Feeling
(Perasaan) yakni anak menceritakan tentang perasaan dirinya saat dibawa keperusahaan jagung dan
waktu membuat ice cream, terus impian ingin memiliki toko jualan yang besar dan menceritakan
teman-teman nya saat kegiatan begitu senang dan serunya dilanjutkan dengan Action (aksi) yakni
merekam aksi teman-teman super mereka saat kegiatan, menceritakan ulang teman-temannya tadi
jualan apa saja dan menanyakan kepada teman-teman yang sudah membeli tentang bagaimana rasa
dari produks yang dijual enak atau tidak. Proses selanjutnya Changes & Transformations (perubahan
dan transformasi) yakni meminta teman-temanya untuk mengikuti instruksi kata-kata sang juragan
dengan slogan kata “juragan cilik pasti bisa”, dan memberikan pesan pada teman-teman untuk selalu
usaha dan nyakin. Memberi kenyakinan pada teman-temannya bahwa mereka yang terpilih sebagai
juragan cilik bisa pasti teman-temannya juga bisa melakukan, meneriakan slogan terakhir “ aku bisa,
kamu pasti bisa”.
Tabel 1
Hasil Penilaian Subyek Di Tiap Langkah DFC
No Nama
Tahapan DFC
Feel Image Do
& Share
1 Dn 107 129 137
2 Dk 92 119 133.5
3 In 136 99,5 110.5
4 Ar 115 135 142.5
5 Fi 78 119 69.5
6 Ls 83 123 128
810 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
Tabel diatas membuktikan bahwa terdapat 4 anak dari 6 yang mengalami peningkatan yakni Dn, Dk, Ar dan Ls.
Menunjukkan bahwa di tiap pelaksanaan kegiatan mulai dari langkah feel, image, do & share ada peningkatan.
Pembahasan
Design For Change (DFC) digunakan untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan
oleh anak-anak, khususnya anak usia dini. Pendekatan ini mengajarkan anak-anak untuk peduli
secara sosial dan proaktif menjadi agen perubahan di permasalahan sosial. Dalam hal ini
permasalahan sosialnya adalah mengajarkan anak sejak dini untuk bisa menjadi pemimpin yang jujur
lewat kegiatan berwirausaha. Sehingga penelitian ini difokuskan pada integrasi antara penerapan
metode pembelajaran menggunakan pendekatan Design For Change (DFC) dalam mengembangkan
kreativitas entrepreneurial leadership anak usia dini.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dilapangan menyatakan bahwa terdapat peningkatan, yang
tepatnya mengarah pada suatu perubahan selama pelaksanaan kegiatan DFC, pastinya lebih pada
progres. Metode pembelajaran dengan pendekatan Design For Change (DFC) menjadi pilihan yang
sangat sesuai untuk anak-anak karena berkonsep dasar bahwa anak merupakan individu yang
memiliki kemampuan untuk membawa perubahan yang luar biasa. Hal tersebut didukung oleh
Hartati (2005) yang menjelaskan bahwa anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, suka berfantasi
dan berimajinasi, dan memiliki potensial untuk belajar sehingga dalam mencapai sebuah perubahan
itu bagian dari tahapan perkembangan.
Selama pelaksanaan kegiatan ditiap tahapan mulai dari feel, image, do sampai share anak
sangat antusias nampak dari setiap langkah dari kegiatan dapat dilalui dengan baik. Hal ini sesuai
dengan kaidah dari penerapan DFC di lingkungan pendidikan, memang diharapkan dalam proses
pembelajarannya berfokus pada bagaimana mengajarkan anak untuk memiliki sifat antusiasme, kasih
sayang, konten, karakter dan berbuat baik (Eka,2015). Pemilihan desain ini dirasa tepat dalam
pembelajaran untuk anak usia dini khususnya pengembangan kreativitas entrepreneurial leadership.
Kegiatan awal sebagai permulaan, anak diperkenalkan tentang apa itu berwirausaha terlebih
dahulu lalu diperkenalkan tentang karakter seorang pengusaha. Dalam prosesnya membutuhkan
bantuan dari orang lain berupa stimulasi. Menurut Hurlock, 2007 dalam memberikan stimulasi harus
tepat sesuai tahapan usianya. Ada dua karakter seorang entrepreneur yakni Pertama sebagai creator
dalam menciptakan usaha atau bisnis yang benar-benar baru yang dalam hal ini mengarah ke
pengembangan kreativitas. Kedua, sebagai innovator, menggagas pembaruan baik dalam produksi,
pemasaran, maupun pengelola dari usaha yang sudah ada sehingga menjadi lebih baik mengarah
pada jiwa kepemimpinan. Dalam pembentukan karakter tersebut nampak bahwa sudah mampu
mengembangkan gagasan sekaligus menghasilkan gagasan yang bervariasi hingga sampai pada hasil
karya yang berbeda. Sehingga anak sudah dapat dikatakan memiliki kreativitas dalam berwirausaha
dimana mampu berfikir lancar, luwes dan orisinil. Hal ini senada dengan pengungkapan dari
Williams dalam Munandar (2009) yang menyatakan bahwa kreativitas berhubungan dengan aspek
Kognitif yakni kemampuan berfikir kreatif meliputi keterampilan berfikir lancar, keterampilan
berfikir luwes dan keterampilan berfikir orisinil.
Efektifitas penerapan metode pembelajaran menggunakan pendekatan Design For Change
(DFC) dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership nampak pada beberapa
langkah penerapan DFC yakni feel, image, do dan share. Jadi dapat dikatakan bahwa penerapan
metode pembelajaran menggunakan pendekatan Design For Change (DFC) sesuai atau dapat
dikembangkan dalam pembelajaran anak usia dini. Namun dari keberhasilan DFC, adapun beberapa
hambatan yang perlu diperhatikan agar dapat dikurangi sehingga jalannya pembelajaran dapat
maksimal.
Adapun hambatan yang dialami oleh guru dalam mengembangkan kreativitas entrepreneurial
leadership anak usia dini saat penerapan metode pembelajaran mengunakan pendekatan Design For
Change (DFC) antara lain adalah:
1. Perkembangan anak
Dalam hal ini tahapan perkembangan dirasakan sangat penting untuk diperhatikan
karena disaat tahapan-tahapan belum maksimal sangat berdampak dalam penerapan
kegiatan. Didalam tahapan perkembangan anak menurut PERMENDIKNAS No 58 Tahun
2009 saat proses pembelajaran harusnya menyesuaikan dengan standar PAUD yang
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 811
digambarkan dalam Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak (STPPA). Selain itu
sifat perkembangan saling berpengaruh, dimana saat anak belum berhasil mencapai tahap
sebelumnya maka akan mengalami kesulitan ditahap selanjutnya (Hurlock, 2007). Dalam
hal ini anak usia 5-6 seharusnya sudah berkembang dengan baik ditahap motorik baik halus
maupun kasar serta dalam perkembangan sosial-emosi. Disaat dua perkembangan tersebut
maksimal maka pada tingkatan perkembangan berikutnya akan dirasa mudah yakni
perkembangan Kognitif dan Bahasa. Tingkat pemahaman anak pun akan dirasa mudah saat
pelaksanaan kegiatan.
2. Mengenal Karakteristik kepribadian anak
Dalam hal ini memahami karakteristik kepribadian anak dirasa sangat penting karena
saat proses kegiatan belajar dan mengajar dapat berlangsung maksimal. Jika berbicara
tentang kepribadian anak memang belum sepenuhnya terbentuk seperti orang dewasa. Hal
ini diungkapkan oleh Wijaya (2000) yang menyatakan bahwa kepribadian anak masih
dalam proses pengembangan, sehingga dalam hal ini yang terpenting adalah mengenali
karakteristik anak secara sederhana, dikelompokkan menjadi 3 yakni ; a) kelompok anak
yang mudah dan menyenangkan; b) anak yang biasa-biasa saja; c) anak yang sulit dalam
penyesuaian diri dan sosial, khususnya dalam melakukan kegiatan pembelajaran di
sekolah. Saat karakteristik diatas dapat diketahui diawal maka pemberian stimulasi dan
kesesuaian pemilihan kegiatan bisa ditentukan dengan tepat
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa penerapan metode pembelajaran
pendekatan Design for Change (DFC) sangat efektif dalam mengembangkan kreativitas
entrepreneurial leadership, nampak pada setiap langkah pelaksanaan DFC mulai dari feel, image,
do dan share subyek mengalami peningkatan, sehingga dapat dikatakan bahwa subyek berhasil
memiliki FIDS dalam pembelajaran sehingga kreativitas entrepreneurial leadership dapat dicapai .
Selain itu adapun evaluasi yang diperoleh yakni hambatan yang dialami oleh guru dalam
mengembangkan kreativitas entrepreneurial leadership melalui penerapan metode pembelajaran
pendekatan Design for Change (DFC). Terdapat dua hambatan yakni 1) guru harus memperhatikan
dan memastikan bahwa anak yang akan menerima pembelajaran DFC dalam pengembangan
kreativitas entrepreneurial leadership sudah dinyatakan siap dalam tahapan perkembangan baik
motorik, sosial-emosi maupun bahasa, sehingga ditahap kognitif dalam mengembangkan
kreativitasnya dapat maksimal ; 2) guru harus mengenal dekat karakteristik kepribadian anak,
sehingga dapat mudah melihat mood anak selama pelaksanaan pembelajaran, sehingga anak tidak
mudah terpengaruh diluar stimulasi yang diberikan sehingga memperoleh hasil yang memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Dajamarah, S., B. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rieneka Cipta
[2] Eka, S., N. 2015. Aku Bisa! Inspirasi dari Gerakan Design for Change oleh Kiran Bir Sethi.
Jakarta: Noura Books.
[3] Endang P & Nur W. 2005. Perkembangan Peserta Didik. Malang: Universitas
Muhamadiyah Malang Press.
[4] Hartati, S. 2005. Perkembangan Belajar Pada Anak Usia Dini. Depdiknas.
[5] Hibama, S., R. 2002. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Galah
[6] Hidayah, C. 2014. Pengembangan Kreativitas Anak Usia Dini Berbasis Pendidikan Tauhid
Dan Entrepreneurship (Penelitian di TK Khalifah Gedong Kuning Yogyakarta). Tesis.
Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
[7] Hurlock, E., B. 2007. Perkembangan Anak Jilid I. Yogyakarta: Erlangga.
[8] Mansur. 2005. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[9] Munandar, U. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
[10] Nurhayati. 2011. Peningkatan Kreativitas Anak Usia Dini Dengan Bereksplorasi Melalui
Koran Bekas Di Taman Kanak-Kanak Aisyiyah 2 Duri. Jurnal Pesona PAUD. Vol 1 (1),
Hal 1-10.
[11] Roestiyah. 2008. Strategi Belajar Mengajar dalam CBSA. Jakarta: Rineka Cipta
812 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
[12] Santrock, J., W. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
[13] Sugianto., E., Y & Sutanto., E., M. 2013. Pengaruh Entrepreneurial Leadership Terhadap
Iklim Organisasional, Kreativitas, Dan Inovasi Karyawan Bagian Produksi Pada Sbo TV.
Jurnal AGORA, Vol 1 (2) Hal 1-9.
[14] Yulianti, D. 2010. Bermain Sambil Belajar Sains di Taman Kanak-kanak. Jakarta: PT
Indeks.