edisi5e

Upload: muhymeen-azeez

Post on 06-Mar-2016

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sejarah

TRANSCRIPT

  • Upaya Memahami Sejarah Perkembangan Kota dalam Peradaban Masa Lampau untuk

    Penerapan Masa Kini di Kota Pusaka Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

    Oleh:

    Catrini Pratihari Kubontubuh

    Direktur Eksekutif BPPI dan Executive Committee for International of National Trusts

    Organisation Asian Region serta bekerja di Bank Dunia - Jakarta sebagai tim Social Safeguard

    Ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang telah berkembang

    menuntut adanya penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif

    agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan

    (Undang Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang)

    I. Pendahuluan

    Tantangan dalam melakukan penataan ruang

    sebuah Kota Pusaka saat ini adalah bagaimana

    merumuskan langkah strategi penataan ruang

    kota dalam sinergi kegiatan pelestarian yang

    tepat. Tidak hanya melibatkan

    kebijakan/keputusan dan berbagai bentuk

    advokasi maupun mitigasi terkini, namun

    penting mempertimbangkan kota dalam

    peradabannya di masa lampau.

    Salah satunya adalah dengan mempelajari

    tipologi perkembangan sebuah kota, yang tentunya akan memberikan gambaran tentang

    pengaruh-pengaruh bentuk tata ruang kota, perbedaan-perbedaannya serta menemukenali

    kearifan lokal yang bisa diterapkan di masa kini.

    Kota Pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang besar yang terwujud dan

    berisikan keragaman pusaka alam, budaya baik ragawi dan tak ragawi, serta saujana (Adishakti,

    2008). Walau kota-kota di Indonesia banyak yang memiliki kelimpahan keragaman pusaka,

    tetapi klasifikasi sebagai kota pusaka (atau sebutan lain kota bersejarah, kota warisan, ataupun

    kota cagar budaya) baru mulai dipakai setelah Konferensi Organisasi Kota-kota Pusaka Dunia

    di Surakarta bulan Oktober 2008 yang berhasil membentuk Jaringan Kota Pusaka Indonesia

    (JKPI/Indonesian Heritage Cities Network).

    Terminologi Kota Pusaka dipakai untuk mendefinisikan sebuah bentuk kota yang

    menempatkan penerapan kegiatan pelestarian pusaka (heritage) sebagai strategi utama

  • pengembangan kotanya. JKPI hingga kini telah beranggotakan 33 kota pusaka, termasuk DI

    Yogyakarta. Inisiatif pembentukan jaringan ini merupakan sebuah upaya strategis untuk

    membantu penataan ruang kota berbasis pelestarian dalam berbagai kota yang sarat dengan

    kekentalan tradisi dan keragaman pusaka yang dimilikinya.

    II. Pemahaman Sejarah Perkembangan Kota

    Pemahaman sejarah memiliki kandungan akan sesuatu yang tetap yang perlu dipertahankan, bukan berarti tidak bisa menerima perubahan, walau memang ada yang tidak boleh diubah

    sama sekali. Pembangunan masa depan secara berkelanjutan hendaknya mampu

    menyinambungkan berbagai peninggalan yang bernilai dengan dinamika zaman secara

    terseleksi. Termasuk menjadi alat dan modal untuk pengembangan budaya dan ekonomi.

    Apresiasi dan rasa yang dimiliki insan di bumi terhadap pusaka yang ada menjadi kekuatan

    utama mencapai tujuan tersebut. Sehingga perkembangan kota merupakan manifestasi dari

    upaya manusia mengembangkan peradaban yang dimilikinya di masa lalu.

    Studi sejarah kota di Indonesia meliputi pengenalan konsepsi, struktur dan bentuk kota

    sebelum zaman kolonial yang didominasi oleh sistem kerajaan. Kota Daerah Istimewa

    Yogyakarta (DIY) merupakan kota yang berperan penting dalam menentukan perkembangan

    sejarah Jawa. Pusat kerajaan di masa lampau merupakan tempat pemusatan hampir seluruh

    aspek kehidupan kota baik tata ruang, arsitektur dan aktivitas masyarakatnya. Dalam hal ini

    pusat kerajaan berarti sebuah wilayah kota yang melingkupi keraton serta kompleksnya yang

    berada di dalam tembok benteng yang mengelilinginya (Santoso, 2008). Dimensi ruang kota

    sudah terbentuk di masa tersebut dengan pola catur pathus yaitu pusat kota berupa alun-alun

    dengan bagian sebelah utara adalah lapangan bubat, sebelah timur adalah tempat

    persembahyangan, sebelah selatan adalah keraton, dan sebelah barat adalah kompleks

    pemukiman. Salah satu instrumen yang kuat dalam sejarah perkotaaan adalah pengaturan

    teritorial, ruang dan bangunan berdasarkan konsepsi kosmografis serta kaidah penataannya.

  • III. Pengembangan Kota di Masa Lampau dan Masa Kini

    Salah satu bentuk penanganan pengelolaan Kota Pusaka adalah dengan pelaksanaan revitalisasi

    kawasan-kawasan pusaka yang berada di kota-kota tersebut. Revitalisasi kawasan pusaka

    adalah upaya mengembalikan dan meningkatan vitalitas kawasan yang memiliki nilai sejarah

    yang sangat tinggi. Walau seringkali revitalisasi masih diartikan dengan tidak tepat sebagai

    memperindah fisik kawasan semata, tanpa memikirkan pemanfaatan baik dari segi sosial,

    budaya dan ekonomi.

    Langkah awal untuk menunjang upaya revitalisasi adalah registrasi dan dokumentasi semua

    pusaka yang dimiliki sebuah kota baik alam, budaya maupun saujana, adi pusaka maupun

    pusaka rakyat. Berbagai sektor perlu diajak bersama-sama memahami, mengamati, mengkaji

    berbagai aset pusaka di daerahnya, serta mendalami potensi dan hambatan yang dihadapinya.

    Selain itu, berbagai sektor dalam pemerintah kota perlu diajak menggarap kawasan pusaka di

    daerahnya, meninjaunya dari berbagai aspek, dan mencoba menyepakati kebijakan dan

    program yang optimal serta langkah apa yang perlu diambil.

    Dalam hal ini dibutuhkan kreativitas dan pemahaman realistik dalam mengembangkan

    program dan pencapaiannya. Termasuk perencanaan mengenai peraturan/panduan serta sarana

    yang diperlukan misalnya, pengembangan organisasi, penyediaan SDM, perlengkapan

    operasional, anggaran, promosi dan sebagainya. Pemerintah kota juga perlu mengembangkan

    kerjasama antar kota/kabupaten, dalam sinkronisasi kebijakan dan pengembangan program

    bersama terutama diantara para anggota JKPI.

    Dalam kenyataan, mengelola suatu lingkungan pusaka, apapun bentuknya saujana, kota,

    desa, kawasan, area akan menyangkut persoalan kepekaan, selera dan kreasi pengelolanya

    terhadap pusaka-pusaka yang dimiliki wilayahnya (Adishakti, 2008). Bila ditelaah, persoalan

    kepekaan menjadi dasar penting dalam prinsip tersebut. Ketika melakukan inventarisasi

    berbagai pusaka yang ada diperlukan kepekaan dalam menelaah dan menetapkan apa saja yang

    masuk dalam klasifikasi pusaka. Demikian pula dalam proses yang sistematik untuk

    inventarisasi, penelitian, dan penilaian suatu aset pelestarian, termasuk dalam mengelola

    keterlibatan masyarakat. Kemudian juga dengan prinsip bahwa pelestarian pusaka itu unik.

    Untuk dapat memahami keunikan ini kepekaan adalah kuncinya.

    Selera dan kreasi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkah ketika menindak lanjuti hasil

    identifikasi dan melaksanakan proses sistimatik pelestarian beserta perencanaan selanjutnya.

    Memadukan antara pelestarian pusaka dan pembangunan ekonomi sebenarnya adalah pilihan

    dari pengelola kota dan daerah. Bila memiliki selera memadukannya dan mampu berkreasi,

    prinsip universal tujuan pelestarian terpadu dapat diikuti. Demikian pula dalam kewenangan

    penentu kebijakan dalam menata keuangan dan peraturan yang menunjukkan keberpihakan

    pada pelestarian pusaka yang komprehensif.

    Arsitektur pusaka memang sangat dominan dalam menentukan eksistensi kawasan pusaka.

    Dalam hal ini aspek legal yaitu UU No. 5 tahun 1992 dan revisinya belum secara optimal dapat

    mengakomodasi pemanfaatan kembali dan olah disain arsitektur pusaka. Demikian pula

  • undang-undang yang lain yaitu UU no.28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Di dalamnya

    berisikan pula peraturan untuk pelestarian bangunan gedung, namun pedoman teknis

    pelaksanaan untuk pelestarian bangunan gedung itu sendiri hingga kini belum diterbitkan.

    Undang Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang telah menyertakan Perencanaan Persiapan

    Resiko Bencana untuk Pusaka. DI Yogyakarta sangat rentan terhadap bencana alam. Sudah

    saatnya perencanaan tata ruang dan bangunan kota pusaka mengantisipasi pula persoalan

    resiko bencana untuk pusaka.

    .

    IV. Pengembangan Yogyakarta sebagai Kota Pusaka

    Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa persoalan lingkungan pusaka masih merupakan

    hal yang relatif baru. Konsentrasi yang sudah dijalankan lebih pada persoalan pusaka tunggal

    atau beberapa pusaka dengan perwujudan yang sama.

    Di Indonesia, indikator kota pusaka apakah dikelola dengan benar, dapat dicermati dari sistem

    pengelolaan dan aspek legal yang melindunginya. Sistem pengelolaan ini dapat ditunjukkan

    dengan:

    - Apakah daftar pusaka kota yang telah ditetapkan oleh kota itu sendiri telah dimiliki? - Adakah dinas khusus pemerintah kota yang menangani pusaka kota baik fisik maupun non

    fisik?

    - Adakah kebijakan untuk investasi pusaka, karena pada dasarnya banyak komponen kota pusaka yang membutuhkan investasi bagi pengembangannya yang tepat?

    Dengan adanya undang-undang otonomi daerah, sebenarnya pengelola kota memiliki

    kewenangan untuk mengembangkan aset pusakanya secara mandiri. Hal ini juga menjadi

    indikator yang kuat akan ada dan tidaknya kepedulian kota terhadap pusakanya. Termasuk

    selera dan tingkat kreasi pengelola kota tercermin dengan langkah-langkah pengelolaannya.

    Beberapa penanganan pelestarian kawasan menunjukkan bahwa kepekaan dan kreativitas

    terhadap pusaka tunggal tidaklah cukup. Perlu dikembangkan kerjasama dalam menangani

    keragaman pusaka dalam kawasan secara komprehensif. Pendekatan holistik dalam pelestarian

    kawasan ini sangat diperlukan, bahkan di dalam menghadapi kegiatan pemulihan kawasan

    akibat bencana sekalipun.

    Bencana yang merupakan ancaman dapat menjadi sebuah peluang. Namun peluang tersebut

    memerlukan kreativitas. Dan, kreasi ini perlu kolaborasi. Contoh pemulihan Kawasan Pusaka

    Kotagede pasca gempa 2006 yang sedang dilakukan dan hasilnya masih belum dapat dilihat.

    Menangani bangunan tradisional saja di kawasan yang memiliki keragaman pusaka tidak akan

    memberikan dampak yang berarti. Ekonomi lokal yang tergantung pada pengembangan pusaka

    budaya non-tangible seperti makanan, kerajinan perlu dihidupkan bersamaan dengan wadah

    fisiknya. Kenyataan menunjukkan kawasan pusaka di Daerah Istimewa Yogyakarta dan

    umumnya di Indonesia masih belum menjadi bagian dari pembangunan daerah.

  • Menurut Adishakti, ada beberapa indikator yang mendukung kesimpulan ini. Pertama, belum

    ada aspek legal yang tepat untuk melindunginya. Revisi Undang-undang No. 5 tahun 1992

    tentang Benda Cagar Budaya yaitu UU no. 12 tahun 2010 diharapkan mulai mengakomodasi

    persoalan kawasan. Di sisi lain pengelolaan pelestarian kawasan pusaka bukanlah bertujuan

    untuk mengawetkan/preservasi kawasan tersebut. Kawasan pusaka perlu dapat terus tumbuh

    dan berkembang mengikuti zaman, namun tetap harus memperhatikan proteksi dan

    kesinambungan pusaka-pusaka di dalam teritori kawasan. Perlu kita cermati. Perda Propinsi

    DIY No. 11 tahun 2005 tentang Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya. Tepatkah penggunaan

    terminologi Kawasan Cagar Budaya?

    Kedua, tentang aspek kelembagaan yang perlu mengakomodasi berbagai persoalan pelestarian

    pusaka maupun umum secara komprehensif dan sistematik dalam mengelolanya. Suatu

    kawasan perlu pengelolaan dari banyak sektor. Sementara pusaka di dalam kawasan yang

    kemudian membentuk kawasan pusaka juga terdiri banyak aset mulai dari pusaka alam, pusaka

    budaya tangible dan intangible, serta pusaka saujana. Sudahkah kelembagaan di DIY

    mencerminkan hal tersebut?

    Ketiga, pengelolaan pelestarian kawasan pusaka mensyaratkan adanya regristasi dan

    dokumentasi semua pusaka yang dimilikinya baik alam, budaya maupun saujana, adi pusaka

    maupun pusaka rakyat. Registrasi ini harus terus diperbaharui dan menjadi acuan dalam

    perencanaan pembangunan daerah maupun informasi terbuka kepada publik luas dan

    masyarakat. Sudahkah registriasi yang selalu diperbaharui dilakukan? Dimanakah di DIY

    lembaga yang secara terpadu melakukan hal ini?

    Keempat, sudahkah ruang lingkup perencanaan kawasan menyertakan keseluruhan pusaka

    kawasan yang dimiliki sebagai bagian yang tidak terpisahkan baik dalam penataan ruang

    maupun bangunan, termasuk Perencanaan Persiapan Resiko Bencana untuk Pusaka.?

    Kenyataan menunjukkan pula bahwa pelestarian pusaka tidak terakomodasi dalam UU RI No.

    24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Gempa Jogja tahun 2006 dan pemulihan

    Kawasan Pusaka Kotagede justru telah membangunkan banyak pihak akan terpinggirkannya

    persoalan pusaka dalam pembangunan daerah.

    Kelima, arsitektur pusaka memang sangat dominan dalam menentukan eksistensi kawasan

    pusaka. Kembali di sini aspek legal untuk mengakomodasi pemanfaatan kembali dan olah

    disain arsitektur pusaka dipertanyakan. UU No. 12 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya sangat

    diharapkan dapat digunakan untuk melingkupi bangunan pusaka yang dalam upaya

    pelestariannya perlu seleksi mana yang harus diawetkan mana yang bisa dibongkar atau

    ditambah baru. Demikian pula undang-undang yang lain yaitu UU no.28 tahun 2002 tentang

    Bangunan Gedung. Di dalamnya berisikan pula peraturan untuk pelestarian bangunan gedung,

    namun pedoman teknis pelaksanaan untuk pelestarian bangunan gedung itu sendiri hingga kini

    belum diterbitkan.

  • Keenam, pelestarian pusaka pada dasarnya adalah pengelolaan perubahan. Kesuksesan

    pengelolaan perubahan selain didasari peraturan juga ditentukan oleh sumber daya manusia

    pengelolanya. Seberapa banyak eksekutif dan legislatif memiliki kompetensi di bidang

    pelestarian pusaka yang holistik dan komprehensif?