BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Budaya Organisasi
Budaya organisasi menurut McShane dan Von Glinow (2008)
“organizational culture is the basic pattern of shared values and assumptions
governing the way employees within an organization think about and act on
problems and opportunities”. McShane dan Von Glinow (2008) juga mengatakan,
bahwa budaya organisasi yang kuat memiliki potensi meningkatkan kinerja. Budaya
organisasi memiliki tiga fungsi penting yaitu sebagai sistem pengawasan, perekat
hubungan sosial, dan saling memahami. Kepemimpinan berperan dalam memperkuat
dan mengubah budaya organisasi, oleh karena pertama, pendiri dan pemimpin
menjadi teladan dalam menjaga budaya organisasi. Pengaruh pendiri dan pemimpin
melalui keteladannya akan memperkuat budaya organisasi. Kedua, sistem reward
(pemberian penghargaan) disesuaikan dengan nilai-nilai budaya organisasi. Dengan
demikian setiap nggota organisasi mengetahui dengan jelas perilaku yang
mendatangkan penghargaan. Ketiga, artifaknya sesuai atau sejalan dengan kemajuan
budaya yang berlaku di masyarakat. Keempat, proses seleksi dan sosialisasi mengacu
pada kebutuhan organisasi.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan budaya
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran berupa pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, nilai-nilai, dan moral yang kemudian dilakukan dalam
kehidupan baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat dimana
11
12
segala hasil pemikiran tersebut didapatkan melalui interaksi manusia dengan manusia
yang lain di dalam kehidupan bermasyarakat maupun interaksi manusia dengan alam.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mangkunegara (2005) yang menyatakan
bahwa budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-
nilai, dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman
tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal
dan internal.
Calon pekerja yang dipilih adalah mereka yang memiliki nilai-nilai yang
sejalan dengan budaya organisasi yang dikatakan McShane dan Von Glinow (2008)
Budaya organisasi menurut Jones dan Goerge (2008) “organizational culture is the
shared set of beliefs, expectations, values, norms, and work routines that influence
the ways in which individuals, groups, and teams intreract with one another and
cooperate to achieve organizational goals”. Jones dan Goerge juga mengatakan,
bahwa ketika para anggota organisasi memiliki komitmen yang kuat terhadap
keyakinan, harapan, nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang
digunakannya dalam mencapai tujuan, menunjukkan budaya organisasi yang kuat.
Sebaliknya bila para anggota organisasi tidak memiliki komitmen yang kuat,
menunjukkan budaya organisasinya lemah. Setiap organisasi memiliki budaya, tetapi
budaya organisasi yang satu dengan organisasi yang lain belum tentu sama. Budaya
organisasi dibentuk melalui interaksi 4 (empat) faktor utama, yaitu: Personal and
professional characteristics of people within the organization (characteristics of
organizational members), organizational ethics, the employment relationship, and
organizational structure (Jones dan George, 2008).
Budaya organisasi menurut Robbins (2007) adalah budaya organisasi
mengacu pada suatu sistem makna bersama yang diselenggarakan oleh anggota yang
13
membedakan organisasi dari organisasi lain. Karakteristik Budaya menurut Robbins
(2007) dikemukakan tujuh karakteristik primer yang secara bersama-sama
menangkap hakikat budaya organisasi. Ketujuh karakter tersebut yaitu: inovasi dan
mengambil risiko, perhatian pada rincian, orientasi hasil, orientasi manusia, orientasi
tim, agresivitas, dan stabilitas. Inovasi dan pengambilan risiko berkaitan dengan
sejauh mana para anggota organisasi didorong untuk inovatif dan berani mengambil
risiko. Perhatian ke hal yang rinci berkaitan dengan sejauh mana para anggota
organisasi/pegawai diharapkan mau memperlihatkan kecermatan (presisi), analisis,
dan perhatian kepada rincian. Orientasi hasil mendiskripsikan sejauh mana
manajemen fokus pada hasil bukan pada teknik dan proses yang digunakan untuk
mendapatkan hasil tersebut. Orientasi orang menjelaskan sejauh mana keputusan
manajemen memperhitungkan efek hasil kepada orang-orang di dalam organisasi
tersebut. Orientasi tim berkaitan dengan sejauh mana kegiatan kerja organisasi
dilaksanakan dalam tim kerja, bukan pada individu. Keagresifan menjelaskan sejauh
mana orang-orang dalam organisasi menunjukkan keagresifan dan kompetitif, bukan
bersantai. Stabilitas adalah sejauh mana kegiatan organisasi menekankan
dipertahankannya status quo sebagai lawan dari pertumbuhan atau inovasi.
Menurut Robbins (2007) ada empat cara bagi anggota organisasi mempelajari
budaya organisasi, yaitu: Pertama, melalui cerita mengenai kegigihan pendiri
organisasi atau orang-orang yang dianggap sukses di organisasi tersebut. Kedua,
melalui ritual deretan kegiatan berulang yang mengungkapkan dan memperkuat
nilai-nilai utama organisasi, misalnya apakah yang paling penting, orang-orang
manakah yang penting, dan mana yang dapat dikorbankan. Ketiga, melalui lambang
dan kebendaan. Keempat, melalui bahasa. Jika suatu organisasi menerapkan budaya
kuat maka itu akan mendorong terjadinya peningkatan keefektifan pada organisasi
14
tersebut, menurut Robbins (2003), budaya yang kuat dicirikan oleh nilai inti dari
organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik, dan dirasakan bersama-sama
secara luas. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai karateristik yang merupakan nilai
inti dari organisasi yang dapat membantu terciptanya budaya yang kuat. Dimana
karateristik tersebutlah yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi
lainnya. Menurut Robbins (2003) dalam Umar (2010), untuk menilai kualitas budaya
suatu organisasi dapat dilihat dari sepuluh faktor utama, yaitu sebagai berikut:
1) Inisiatif individu, yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan dan independensi
yang dipunyai individu.
2) Toleransi terhadap tindakan beresiko, yaitu sejauh mana para pegawai
dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif dan berani mengambil resiko
3) Arah, yaitu sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas sasaran
dan harapan mengenai organisasi.
4) Integrasi, yaitu tingkat sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong
untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi.
5) Dukungan manajemen, yaitu tingkat sejauh mana para manajer memberi
komunikasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap bawahan mereka.
6) Kontrol, yaitu jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan
untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai.
7) Indentitas, yaitu tingkat sejauh mana para anggota teridentifikasi dirinya
secara keseluruhan dengan organisasinya daripada dengan kelompok kerja
tertentu atau dengan bidang keahlian professional.
8) Sistem imbalan, yaitu tingkat sejauh mana alokasi imbalan (kenaikan gaji,
promosi) didasarkan atas criteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari
senioritas, pilih kasih, dan sebagainya.
15
9) Toleransi terhadap konflik, yaitu tingkat sejauh mana para pegawai diberikan
kebebasan untuk mengemukakan masalah yang ada dan memberikan kritik
secara terbuka.
10) Pola-pola komunikasi, yaitu tingkat sejauh mana komunikasi organisasi
dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal.
2.1.2 Motivasi
Herzberg (1966) dalam Robbins (2006) memperkenalkan teori motivasi
higiene atau yang sering disebut dengan teori dua faktor, yang berpendapat bahwa
hubungan individu dengan pekerjaannya merupakan hubungan dasar dan bahwa
sikap seseorang terhadap kerja sangat menentukan kesuksesan atau kegagalan
individu tersebut. Herzberg (1966) dalam Robbins (2006) juga menyatakan bahwa
terdapat faktor yang diinginkan seseorang terhadap pekerjaan mereka. Dari respon
yang dikategorikan, diketahui bahwa respon mereka yang merasa senang berbeda
dengan respon mereka yang tidak merasa senang. Beberapa faktor tertentu
cenderung secara konsisten terkait dengan kepuasan kerja dan yang lain terkait
dengan kerja. Menurut Jones dan Goerge (2008) Motivasi adalah kekuatan
psikologis yang menentukan arah tingkat seseorang usaha, dan tingkat seseorang
ketekunan . Jones dan George juga mengatakan, bahwa motivasi merupakan sentral
manajemen, sebab menjelaskan bagaimana orang berperilaku dan cara mereka
melakukan pekerjaan di dalam organisasi. Motivasi ada yang berasal dari dalam
(intrinsic) dan ada yang berasal dari luar (extrinsic). Perilaku dengan motivasi
intrinsik adalah perilaku yang ditunjukkan untuk kepentingannya sendiri, dengan
kata lain sumber motivasi biasanya datang dari penunjukkan perilaku itu sendiri.
Sedangkan perilaku dengan motivasi ekstrinsik adalah perilaku yang ditunjukkan
16
untuk memperoleh materi atau penghargaan sosial atau untuk menghindari hukuman.
Perilaku tersebut ditunjukkan bukan untuk kepentingannya sendiri tetapi lebih
kepada konsekuensinya. Contoh dari motivasi ekstrinsik termasuk bayaran, pujian,
status. (Jones dan George, 2008).
Menurut Mc.Shane dan Von Glinow (2008), motivation refers to the forces
within a person that affect the direction, intensity, and persistence of voluntary
behavior. McShane dan Von Glinow juga mengatakan, bahwa motivasi merupakan
salah satu dari empat faktor yang menggerakkan seseorang berperilaku dan
menunjukan kinerjanya. Empat faktor tersebut adalah: motivation, ability, role
perception, and situational factors of individual behavior and results (MARS
model). Menurut hasil penelitian McClelland dalam McShane, Von Glinow dan
Mary Ann (2008) terdapat tiga kebutuhan yang mendorong motivasi, yaitu: Need for
achievement, need for affiliation, dan need for power. Bila kebutuhan-kebutuhan
tersebut dapat dipenuhi akan berakibat meningkatkan kinerja.
Menurut Malayu S.P Hasibuan (2006) “bahwa motivasi adalah pemberian
daya pengerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau
bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk
mencapai kepuasan”.
Dimensi motivasi menurut Sutrisno Edy (2009) dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Faktor Intern : keinginan untuk hidup, penghargaan, pengakuan.
2. Faktor Ekstern : kondisi lingkungan kerja (cahaya yang cukup, bersih,
strategis) dan adanya jaminan pekerjaan.
17
2.1.2.1 Teori Motivasi
Untuk mencapai keefektivan motivasi, maka diperlukan teori-teori motivasi
dari para ahli sebagai pendukungnya. Teori-teori motivasi dalam Malayu S.P
Hasibuan (2005) adalah sebagai berikut :
a) Teori Motivasi Mc Cleland
Menurut David Mc Cleland terdapat tiga macam kebutuhan yang perlu
diperhatikan pegawai yaitu : Kebutuhan akan prestasi (needs for achievement
= nAch), kebutuhan akan kelompok pertemanan (needs for affliliation =
nAff) dan kebutuhan akan kekuasaan (needs for power = nPower), dimana
apabila kebutuhan seseorang terasa sangat mendesak, maka kebutuhan itu
akan memotivasi orang tersebut untuk berusaha keras memenuhinya.
Berdasarkan teori ini kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dibangun dan
dikembangkan melalui pengalaman dan pelatihan. Orang yang tinggi dalam
nAch akan lebih menyukai pekerjaan dengan tanggung jawab individu,
umpan balik dari kinerja, dan tujuan yang menantang.
b) Teori Herzberg
Teori Dua Faktor (Two-Factor Theory) yang dikemukakan oleh Frederick
Herzberg merupakan kerangka kerja lain untuk memahami implikasi
motivasional dari lingkungan kerja dan ada dua faktor di dalam teori ini yaitu
faktor-faktor higienis (sumber ketidakpuasan) dan faktor-faktor pemuas
(sumber kepuasan) dalam teorinya Herzberg menyakini bahwa kepuasan
kerja memotivasi pada kinerja yang lebih baik. Faktor higienis seperti
kebijakan organisasi, supervisi dan gaji dapat menghilangkan ketidakpuasan.
Faktor ini berhubungan erat dengan pekerjaan. Perbaikan hubungan pekerjaan
tidak mengarah pada kepuasan yang lebih besar, tetapi diharapkan akan
18
mengurangi ketidakpuasan. Dilain pihak, motivator atau pemuas seperti
pencapaian, tanggung jawab dan penghargaan mendukung pada kepuasan
kerja. Motivator berhubungan erat dengan kerja itu sendiri atau hasil langsung
yang diakibatkannya, seperti peluang promosi, peluang pertumbuhan
personal, pengakuan tanggung jawab dan prestasi. Perbaikan dalam isi
pekerjaan mendorong pada peningkatan kepuasan dan motivasi untuk bekerja
lebih baik.
2.1.2.2 Tujuan Motivasi
Motivasi mempunyai tujuan sebagaimana dalam Hasibuan (2005)
mengungkapkan bahwa :
1) Mendorong gairah dan semangat kerja pegawai
2) Meningkatkan moral dan kepuasan kerja pegawai
3) Meningkatkan produktivitas kerja pegawai
4) Mempertahankan loyalitas dan kestabilan pegawai perusahaan
5) Meningkatkan kedisiplinan dan menurunkan tingkat absensi Pegawai
6) Mengefektifkan pengadaan pegawai
7) Menciptakan suasanan dan hubungan kerja yang baik
8) Meningkatkan kreatifitas dan partisipasi pegawai
9) Meningkatkan tingkat kesejahteraan pegawai
10) Mempertinggi rasa tanggung jawab pegawai terhadap tugas-tugasnya
11) Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku
19
2.1.2.3 Jenis Motivasi
Jenis-jenis motivasi dapat dikelompokan menjadi dua jenis menurut Hasibuan
(2005), yaitu :
1) Motivasi Positif (Insentif positif), manajer memotivasi bawahan dengan
memberikan hadiah kepada mereka yang berprestasi baik. Dengan motivasi
positif ini semangat kerja bawahan akan meningkat, karena manusia pada
umumnya senang menerima yang baik-baik saja.
2) Motivasi Negatif (Insentif negatif), manajer memotivasi bawahannya dengan
memberikan hukuman kepada mereka yang pekerjaannya kurang baik
(prestasi rendah). Dengan memotivasi negatif ini semangat kerja bawahan
dalam waktu pendek akan meningkat, karena takut hukuman. Penggunaan
kedua motivasi tersebut haruslah diterapkan kepada siapa dan kapan agar
berjalan efektif merangsang gairah bawahan dalam bekerja.
2.1.3 Komitmen Organisasi
Cut Zurnali (2010) menyatakan bahwa perhatian umum dan tujuan kunci dari
unit organisasi SDM adalah untuk mencari pengukuran yang dapat mengestimasikan
secara akurat komitmen para pekerjanya dan mengembangkan program-program dan
kegiatan-kegiatan yang meningkatkan komitmen pada organisasi. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa kajian penelitian yang luas dalam ilmu psikologi dan
manajemen adalah tentang konsep dan peranan komitmen organisasional. Dimensi-
dimensi komitmen organisasional menurut Porter et.al. dalam Ik-Whan dan Banks
(2004) yang dirangkum Cut Zurnali (2010) dalam bukunya menyatakan bahwa telah
dikembangkan tiga bagian dari definisi komitmen organisasional :
1. Keyakinan dan penerimaan yang kuat dari tujuan dan nilai organisasi
20
2. Kesediaan untuk bekerja keras sebagai bagian dari organisasi, dan
3. Keinginan yang kuat untuk mengingat organisasi
Sedangkan Komitmen menurut Mayer dan Allen (1991) dalam Soekidjan
(2009) dapat juga berarti penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan nilai-
nilai organisasi, dan individu berupaya serta berkarya dan memiliki hasrat yang kuat
untuk tetap bertahan di organisasi tersebut. Mayer dan Allen (1991) dalam Soekidjan
(2009) membagi komitmen organisasi menjadi tiga macam atas dasar sumbernya :
1) Komitmen Afektif (affective commitment), Berkaitan dengan keinginan
secara emosional terikat dengan organisasi, identifikasi serta keterlibatan
berdasarkan atas nilai-nilai yang sama.
2) Komitmen Kontinu (continuance commitment), Komitmen yang didasari oleh
kesadaran akan biaya-biaya yang akan ditanggung jika tidak bergabung
dengan organisasi. Disini juga didasari oleh tidak adanya alternatif lain.
3) Komitmen normatif (Normative Commitment), Komitmen berdasarkan
perasaan wajib sebagai anggota/pegawai untuk tetap tinggal karena perasaan
hutang budi. Disini terjadi juga internalisasi norma-norma.
Menurut Dyne dan Graham (2005) dalam Soekidjan (2009) faktor-faktor yang
mempengaruhi komitmen adalah : Personal, Situasional dan Posisi :
1) Personal.
a) Ciri-ciri kepribadian tertentu yaitu, teliti, ekstrovert, berpandangan positif
(optimis), cenderung lebih komitmen. Demikian juga individu yang lebih
berorientasi kepada tim dan menempatkan tujuan kelompok diatas tujuan
21
sendiri serta individu yang altruistik (senang membantu) akan cenderung
lebih komitment.
b) Usia dan masa kerja, berhubungan positif dengan komitmen organisasi.
c) Tingkat pendidikan, makin tinggi semakin banyak harapan yang mungkin
tidak dapat di akomodir, sehingga komitmennya semakin rendah.
d) Jenis kelamin, wanita pada umumnya menghadapi tantangan lebih besar
dalam mencapai kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi.
e) Status perkawinan, yang menikah lebih terikat dengan organisasinya.
f) Keterlibatan kerja (job involvement), tingkat keterlibatan kerja individu
berhubungan positif dengan komitmen organisasi.
2) Situasional.
a) Nilai (Value) Tempat kerja. Nilai-nilai yang dapat dibagikan adalah
suatu komponen kritis dari hubungan saling keterikatan. Nilai-nilai
kualitas, Inovasi, kooperasi, partisipasi dan kepercayaan akan
mempermudah setiap anggota/pegawai untuk saling berbagi dan
membangun hubungan erat. Jika para anggota/pegawai percaya bahwa
nilai organisasinya adalah kualitas produk jasa, para anggota/ pegawai
akan terlibat dalam perilaku yang memberikan kontribusi untuk
mewujudkan hal itu.
b) Keadilan organisasi. Keadilan organisasi meliputi: keadilan yang
berkaitan dengan kewajaran alokasi sumber daya, keadilan dalam
proses pengambilan keputusan, serta keadilan dalam persepsi kewajaran
atas pemeliharaan hubungan antar pribadi.
c) Karakteristik pekerjaan. Meliputi pekerjaan yang penuh makna,
otonomi dan umpan balik dapat merupakan motivasi kerja yang
22
internal. Jerigan dan Beggs dalam dalam Soekidjan (2009) menyatakan
kepuasan atas otonomi, status dan kebijakan merupakan prediktor
penting dari komitmen. Karakteristik spesifik dari pekerjaan dapat
meningkatkan rasa tanggung jawab, serta rasa keterikatan terhadap
organisasi.
d) Dukungan organisasi. Dukungan organisasi mempunyai hubungan yang
positif dengan komitmen organisasi. Hubungan ini didefinisikan
sebagai sejauh mana anggota/ pegawai mempersepsi bahwa organisasi
(lembaga, atasan, rekan) memberi dorongan, respek, menghargai
kontribusi dan memberi apresiasi bagi individu dalam pekerjaannya.
Hal ini berarti jika organisasi peduli dengan keberadaan dan
kesejahteraan personal anggota/pegawai dan juga menghargai
kontribusinya, maka anggota/pegawai akan menjadi berkomitmen.
3) Posisi
a) Masa kerja. Masa kerja yang lama akan semakin membuat
anggota/pegawai berkomitmen, hal ini disebabkan oleh karena: semakin
memberi peluang anggota/pegawai untuk menerima tugas menantang,
otonomi semakin besar, serta peluang promosi yang lebih tinggi. Serta
peluang investasi pribadi berupa pikiran, tenaga dan waktu yang
semakin besar, hubungan sosial lebih bermakna, serta akses untuk
mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang.
b) Tingkat pekerjaan. Berbagai penelitian menyebutkan status
sosioekonomi sebagai prediktor komitmen paling kuat. Status yang
tinggi cenderung meningkatkan motivasi maupun kemampun aktif
terlibat.
23
c) Komitmen Normatif (normative commitment), Komitmen berdasarkan
perasaan wajib sebagai anggota/pegawai untuk tetap tinggal karena
perasaan hutang budi. Jadi pegawai tersebut tinggal di organisasi itu
karena dia merasa berkewajiban untuk itu.
2.1.4 Kinerja
Menurut Hasibuan (2006) menjelaskan bahwa kinerja merupakan hasil kerja
yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta waktu.
Sedangkan kinerja menurut Mangkunegara (2006), Kinerja adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
2.1.4.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Kinerja setiap individu atau pegawai dipengaruhi oleh banyak faktor yang
dapat digolongkan pada tiga kelompok, yaitu kompetisi individu orang yang
bersangkutan, dukungan organisasi dan dukungan manajemen (Simanjuntak, 2005).
Dan Menurut Hasibuan (2006) mengungkapkan bahwa kinerja merupakan gabungan
tiga faktor penting, yaitu kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan
penerimaan atas penjelasan delegasi tugas dan peran serta tingkat motivasi pekerja.
Apabila kinerja tiap individu atau pegawai baik, maka diharapkan kinerja perusahaan
akan baik pula. Sedangkan menurut Mangkunegara (2006), faktor yang
mempengaruhi pencapaian kinerja yang baik faktor individu dan faktor lingkungan
kerja organisasi, yaitu :
1) Faktor Individu
24
Secara psikologis, individu yang normal yang memiliki integritas yang
tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan
adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka
inidividu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang
baik ini merupakan modal utama individu manusia untuk mampu
mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam
melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai
tujuan organisasi. Dimana jika diuraikan, faktor individu dapat dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu:
a) Pengetahuan (Knowledge)
Yaitu kemampuan yang dimilki pegawai yang lebih berorientasi
pada intelegensi dan daya pikir serta penguasaan ilmu yang luas
yang dimiliki pegawai.Pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan, media dan informasi yang diterima.
b) Keterampilan (Skill)
Kemampuan dan penguasaan teknis operasional dibidang tertentu
yang dimiliki pegawai. Seperti keterampilan konseptual
(Conseptual Skill), keterampilan manusia (Human Skill), dan
keterampilan teknik (Technical Skill)
c) Faktor motivasi (Motivation)
Motivasi diartikan sebagai suatu sikap pimpinan dan pegawai
terhadap situasi kerja dilingkungan perusahaannya. Mereka yang
bersikap positif terhadap situasi kerjanya akan menunjukan
motivasi kerja yang tinggi, sebaliknya jika mereka bersifat negatif
terhadap situasi kerjanya akan menunjukan motivasi kerja yang
25
rendah. Situasi kerja yang dimaksud mencakup antara lain
hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pemimpin,
pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja.
2) Faktor Lingkungan Organisasi
Faktor lingkungan organisasi yang mempengaruhi prestasi kerja individu
yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas yang
memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif,
hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang
berkarir dan fasilitas kerja yang relatif memadai.
2.1.4.2 Elemen-Elemen Pengukuran kinerja
Menurut Mathis dan Jackson (2006), kinerja pada dasarnya adalah apa yang
dilakukan atau tidak dilakukan oleh pegawai. Kinerja pegawai yang umum untuk
kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut :
1) Kuantitas dari hasil
Jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif
melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan.
Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan.
2) Kualitas dari hasil
Mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif
keluaran mencerminkan pengukuran “tingkat kepuasan”, yaitu seberapa
baik penyelesaiannya. Ini berkaitan dengan bentuk keluaran.
3) Ketepatan waktu dari hasil
26
Waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin dan secara optimal.
Penundaan penggunaan waktu dapat menimbulkan berbagai konsekuensi
biaya besar dan kerugian.
4) Kehadiran atau absensi
Tingkat kehadiran merupakan sesuatu yang menjadi tolak ukur sebuah
perusahaan dalam mengetahui tingkat partisipasi pegawai pada
perusahaan.
5) Kemampuan bekerja sama
Kemampuan bekerja sama dapat menciptakan kekompakan sehingga
dapat meningkatkan rasa kerja sama antar pegawai.
2.1.5 Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai
Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Sartika, Swasto, dan Susilo : 2008)
yang berjudul “Pengaruh Budaya Organisasi dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja
Pegawai Dinas Pekerjaan Umun di Sumatera Selatan”, dimana berdasarkan analisis
statistik inferensial memakai analisis jalur dan anlisis regresi linear berganda yang
distandarisasi hipotesis kedua yang menyatakan ada pengaruh yang signifikan antara
variabel budaya organisasi terhadap variabel kinerja pegawai, terbukti dan hipotesis
diterima. Hal tersebut ditunjukkan dengan pengaruh variabel budaya terhadap
variabel kinerja pegawai senilai 0,324. Budaya yang telah ada pada organisasi
pemerintah dapat dikatakan sudah baik, tetapi hal tersebut perlu ditingkatkan,
mengingat budaya yang ada dapat memberikan dampak yang sangat positif terhadap
kinerja pegawai. Hal ini sesuai dengan riset sebelumnya yang dilakukan oleh Usman
(2009) bahwa variabel budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja, artinya
budaya organisasi secara positif dan searah terhadap kinerja.
27
2.1.6 Pengaruh Motivasi Terhadap Kinerja Pegawai
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Susilaningsih (2008) yang berjudul,
“Pengaruh Kepemimpinan, Disiplin, Motivasi, Pengawasan, dan Lingkungan Kerja
Terhadap Kinerja Pegawai”, dimana didapat kesimpulan bahwa variabel motivasi
kerja secara parsial/individual berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai, hal
ini dapat ditunjukkan melalui hasil pengujian nilai t hitung = 4,138 > t tabel = 2.000,
dan nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,025. Artinya Ho ditolak.
Sejalan dengan itu, M. Harlie (2010) dalam penelitian nya yang berjudul
“Pengaruh Disiplin Kerja, Motivasi, dan Pengembangan Karier terhadap Kinerja
Pegawai Negeri Sipil Pada Pemerintah Kabupaten Tabalong di Tanjung Kalimantan
Selatan” menyatakan bahwa pada uji t dan uji F diketahui bahwa variabel motivasi
baik secara parsial maupun secara bersama berpengaruh nyata terhadap kinerja
pegawai. Dengan t hitung motivasi sebesar 6,155 dan nilai korelasi parsial sebesar
0,872.
2.1.7 Pengaruh Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai
Dalam jurnal ilmiah Ifa Susilowati Vol. 1 No. 5 Juli 2012 menyebutkan
bahwa komitmen organisasi berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja pegawai.
Hal ini dibuktikan dengan hasil uji - t yang diperoleh dengan nilai yang positif,
dimana t hitung > t tabel yaitu sebesar 2,770 dan sig. 0,000 < 0,05.
Sejalan dengan jurnal ilmiah Ifa Susilowati, dalam penelitian Chan et al.
(2010) menyatakan bahwa komitmen organisasi terhadap kinerja pegawai
menunjukkan adanya pengaruh positif dan dampak yang signifikan.
28
2.2 Rerangka Pemikiran
Berdasarkan penjelasan diatas , dapat digambarkan kerangka pemikiran
mengenai hubungan antara Budaya Organisasi dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja
adalah sebagai berikut :
Sumber : Penulis, 2013
Gambar 2.1 Rerangka Pemikiran
2.3 Hipotesis
X1 mewakili Budaya Organisasi, X2 yang mewakili Motivasi, X3 mewakili
Komitmen Organisasi dan Y mewakili Kinerja Pegawai. X1, X2, X3 sebagai variabel
independen. Maka dapat dirumuskan Hipotesis Uji sebagai berikut.
Budaya
Organisasi
(X1)
Motivasi
(X2)Kinerja (Y)
Komitmen organisasi
(X3)
Budaya Organisasi (X1)
Motivasi (X2)
Komitmen Organisasi (X3)
29
Hipotesis 1
Ho : Tidak ada pengaruh secara signifikan antara budaya organisasi (X1) terhadap
kinerja pegawai (Y) biro kepegawaian Badan Kependudukan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, Jakarta.
Ha : Ada pengaruh secara signifikan antara budaya organisasi (X1) terhadap
kinerja pegawai (Y) biro kepegawaian Badan Kependudukan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, Jakarta.
Hipotesis 2
Ho : Tidak ada pengaruh secara signifikan antara motivasi (X2) terhadap kinerja
pegawai (Y) biro kepegawaian Badan Kependudukan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) Pusat, Jakarta.
Ha : Ada pengaruh secara signifikan antara budaya organisasi (X2) terhadap
kinerja pegawai (Y) biro kepegawaian Badan Kependudukan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, Jakarta.
Hipotesis 3
Ho : Tidak ada pengaruh secara signifikan antara komitmen organisasi (X3)
terhadap kinerja pegawai (Y) biro kepegawaian Badan Kependudukan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, Jakarta.
Ha : Ada pengaruh secara signifikan antara budaya organisasi (X1) terhadap
kinerja pegawai (Y) biro kepegawaian Badan Kependudukan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, Jakarta.
Hipotesis 4
Ho : Tidak ada pengaruh secara signifikan antara budaya organisasi (X1), motivasi
(X2), komitmen organisasi (X3) terhadap kinerja pegawai (Y) biro
30
kepegawaian Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
Pusat, Jakarta.
Ha : Ada pengaruh secara signifikan antara budaya organisasi (X1), motivasi (X2),
komitmen organisasi (X3) terhadap kinerja pegawai (Y) biro kepegawaian
Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat,
Jakarta.