Download - Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat
E. LANGKAH – LANGKAH PENYELESAIAN
1. Langkah Pendahuluan.
a. Ukur Ulang.
Dugaan kuat yang telah menjadi pendapat umum adalah adanya
penyimpangan terhadap izin HGU dari perkebunan besar, hutan tanaman
industri. Penyimpangan tersebut mengenai luas dan batas-batas areal yang
melebihi ketentuan-ketentuan di dalam izin HGU yang bersangkutan. Dugaan
lain adalah terjadinya pembangunan perkebunan milik perorangan disekitar
dan berbatas langsung dengan perkebunan (HGU). Sepintas lalu perkebunan
tersebut adalah milih perusahaan dan termasuk HGUnya padahal kebun-kebun
tersebut adalah milik perorangan baik dari oknum pejabat perusahaan maupun
pihak lain. Oleh sebab itu seluruh HGU perkebunan dan HTI perlu diukur
ulang secara akurat.
b. Peninjauan HGU dan kerja sama.
Bagi suatu HGU baik perkebunan maupun HTI yang menggunakan hutan
tanah ulayat diperlukan suatu peninjauan kembali HGU yang telah
dimilikinya, hal tersebut bukan sama sekali untuk mencabut HGU perusahaan
tetapi untuk dapat mencari suatu modus yang tidak merugikan masing-masing
pihak. Dalam hubungan ini salah satu yang dapat disarankan adalah
diwujudkan suatu kerja sama antara masyarakat dengan pihak perusahaan.
Sehingga dengan demikian dapat menjadi sarana keseimbangan dan keadilan
dalam mengusahakan dan menikmati kekayaan sebagai suatu amanah Tuhan.
1
2
Bagi HGU yang telah habis masa berlakunya secara selektif dianjurkan
untuk tidak diperpanjang lagi paling sedikit luasnya dikurangi untuk dapat
memberi peluang bagi kepentingan masyarakat.
c. Bentuk Kerjasama yang ideal.
Sesuatu yang dianggap sangat ideal adalah apabila perusahaan pemegang
HGU bersedia membangun kerjasama dengan masyarakat melalui Perusahaan
Milik Desa (baca Undang-undang no. 32 tahun 2004 213 berbunyi sebagai
berikut :
1. Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan
dan potensi desa.
2. Badan usaha milik desa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
3. Badan usaha milik desa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
melakukan pinjaman sesuai peraturan perundang-undangan.
Pilihan ini dianggap ideal karena walaupun kerjasama tersebut bersifat
ekonomi namun diharapkan dapat menimbulkan motivasi untuk mengeratkan
hubungan sosial antara perusahaan dengan masyarakat setempat. Disamping
itu Desa sebagai unit pemerintahan diharapkan dapat membina
penyelenggaraan perusahaan dan dianggap representativ bagi suatu
pengawasan
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
3
d. Pemanfaatan Eks. HGU
Bagi perusahaan-perusahaan pemegang HGU yang sudah berakhir masa
berlakunya maka bekas HGU yang bersangkutan penggunaanya harus
disesuaikan dengan kebijaksanaan pemerintah dalam pemberdayaan
masyarakat pedesaan. Sehingga desa mempunyai potensi ekonomi dalam
mempersiapkan suatu otonomi desa dimasa mendatang. Prioritas penggunaan
eks. HGU diberikan kepada Badan Usaha Milik Desa dalam hal ini tentu saja
dapat melakukan kerjasama atau kemitraan dengan perusahaan-perusahaan
lain yang lebih berpengalaman dan memiliki modal yang memadai.
F. SUATU KONSEP PERATURAN DAERAH
a. Draft Rancangan Peraturan Daerah
Lembaga Adat Melayu Riau sadar akan tanggung jawabnya, baik
tanggung jawab sebagai suatu lembaga maupun tanggung jawab sebagai
pemegang amanah masyarakat hukum adat telah mempersiapkan Draft
Rancangan suatu Peraturan Daerah yang akan direkomendasikan kepada
Gubernur Propinsi Riau dan kepada DPRD Riau untuk dapat
dipertimbangkan. Harus diakui bahwa akan terdapat beberapa kekurangan dan
kelemahan dalam Draft Rancangan Peraturan Daerah ini, namun paling sedikit
dapatlah kiranya ditangkap jiwa yang terkandung didalamnya sebagai suatu
aspirasi, harapan, bahkan sebagai suatu jeritan penderitaan masyarakat.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
4
b. Dasar Kewenangan
Titik tolak pertama adalah suatu kewenangan formal yang ditetapkan
dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
Dalam konsideran menimbang pada undang-undang tersebut disebutkan
sebagai berikut :
1. Bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai
dengan amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan,
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2. Bahwa efesiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah
perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan
antara susunan pemerintahan dan antara pemerintahan daerah, potensi
keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global
dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah
disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan
otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
5
Selanjutnya kewenangan dan penetapan suatu peraturan daerah diatur
dalam BAB VI pasal 136, 137, 139 dan seterusnya.
Yang terpenting dalam hubungan ini adalah ketentuan dalam pasal 139
ayat (1) yang berbunyi : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan
Perda “.
c. Konsep Peraturan Daerah
Berikut ini kami disampaikan suatu konsep peraturan daerah Propinsi Riau
tentang Tentang Penyediaan Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa. Konsep
Rancangan Peraturan Daerah Propinsi Riau ini dimaksudkan terutama untuk
dapat menangkap aspirasi dari masyarakat yang telahh diserap oleh Lembaga
Adat Melayu Riau. Sebagaimana dikemukakan terdahulu diharapkan dapat
dijadikan bahan pertimbangan dalam kebijaksaan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat terutama di pedesaan.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
6
RANCANGAN
PERATURAN DAERAH PROPINSI RIAU
TENTANG PENYEDIAAN HUTAN TANAH
KAWASAN USAHA DESA
Menimbang: a. Bahwa untuk mendukung pengembangan dan
peningkatan otonomi Desa perlu diupayakan
peningkatan Pendapatan Asli Daerah dalam Propinsi
Riau melalui usaha ekonomi yang dilaksanakan oleh
Badan Usaha Milik Desa sebagaimana diatur dalam
Bab XI pasal 2013 Undang-undang No. 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah;
b. sesuai dengan potensi, kondisi dan lingkungan alam
Propinsi Riau usaha-usaha yang bersifat agrobisnis dan
agroindustri adalah jenis usaha ekonomi yang dapat
dikembangkan;
c. Guna Mendorong dan memotivasi program-program
Badan Usaha Milik Desa kepada masing2 desa propinsi
Riau dapat disediakan sebidang tanah atau lebih sesuai
dengan potensi dari wilayah pedesaan yang
bersangkutan.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
7
Meningat: 1. Undang-undang nomor 61 tahun 1958 tentang
pembentukan daerah swatantra tingkat I Sumatera
Barat, Jambi, dan Riau. (Lembaran Negara Tahun 1958
No. 112; tambahan lembaran negara Nomor 1646);
2. Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI tahun 2004
nomor 123);
3. Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Undang-
undang Pokok Agraria;
4. Undang-undang nomor 44 tahun 1991 tentang
kehutanan;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2000 Tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
Sebagai Daerah Otonom;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Peraturan
Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 70);
7. Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 10 Tahun 1994
Tentang RencanaUmum Tata Ruang Propinsi Daerah
Tingkat I Riau (Lembaran Daerah 1994 Nomor 07);
8. ......................
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
8
9. Dst.
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
PROPINSI RIAU
MEMUTUSKAN
Menetapkan: a. Peraturan Daerah Propinsi Riau Tentang Penyedia
Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa.
BAB I
KETENTUAN UMUM
PASAL 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Propinsi Riau sebagai daerah otonom;
2. Pemerintah Propinsi Riau adalah Pemerintahan Propinsi Riau;
3. Gubernur adalah Gubernur Riau;
4. Daerah Kabupaten/Kota adalah Daerah Kabupaten/Kota yang berada di
Propinsi Riau
5. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota yang
berada di Propinsi Riau;
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
9
6. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota yang berada di Propinsi Riau;
7. Desa adalah sebagaimana yang dimaksud pada pasal 1 ayat 12 Undang-
undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
8. Pemerintahan Desa adalah sebagaimana diatur dalam pasal 202 Undang-
undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
9. Badan Usaha Milik Desa adalah sebagaimana diatur dalam Bab VI pasal
213 Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
10. Hutan tanah kawasan usaha desa adalah areal tanah dengan ukuran luas
tertentu yang peruntukannya bagi kepentingan usaha ekonomi desa dan
dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Desa.
BAB II
PROSES DAN TATA CARA PENYEDIAAN HUTAN
TANAH KAWASAN USAHA DESA
PASAL 2
1. Dengan surat keputusan Gubernur kepada setiap desa dalam wilayah
Propinsi Riau dapat disediakan 1 (satu) bidang tanah atau lebih untuk
digunakan bagi kepentingan Badan Usaha Milik Desa yang bersangkutan
dan untuk selanjutnya disebut Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa;
2. Tata cara, persyaratan-persyaratan, serta proses untuk mendapatkan Hutan
Tanah Kawasan Desa sebagai dimaksud ayat 1 (satu) pasal ini, akan diatur
dan ditetapkan dalam suatu peraturan Bupati/Walikota yang bersangkutan.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
10
BAB III
PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN
TANAH KAWASAN USAHA DESA
PASAL 3
1. Penggunaan dan pemanfaatan Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa haruslah
direncanakan dan diupayakan sedemikian rupa yang diarahkan kepada
usaha-usaha ekonomi untuk dapat meningkatkan pendapatan asli desa;
membina kesadaran masyarakat dalam membina kerja sama, kesatuan dan
persatuan dengan tetap memelihara lingkungan hidup secara baik.
2. Pemerintah Desa menyerahkan pemakaian Hutan Tanah Kawasan Usaha
Desa kepada Badan Usaha Milik Desa mempersiapkan program tentang
penggunaan Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa tersebut.
3. Penyerahan Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa dari pemerintah Desa
kepada Badan Usaha Milik Desa ditetapkan dan diatur dalam suatu
peraturan desa.
4. Untuk kepentingan kepastian hukum kepada pemerintahan desa dapat
diberikan hak guna usaha atas Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Badan Usaha Milik Desa dalam melaksanakan pengelolaan dan
pemanfaatan Hutan Tanah Kawasan Usaha Desanya melalui pemerintahan
desa dapat meminta bantuan tekhnis dari instansi terkait;
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
11
6. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa
Badan Usaha Milik Desa dapat mengadakan kerjasama dengan pihak
ketiga seperti Badan-badan usaha yang bersifat koperasi atau badan usaha
lainnya. Ketentuan-ketentuan dan persyaratan tentang kerjasama tersebut
haruslah dituang dalam satu surat perjanjian yang menetapkan antara lain
tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak;
7. Perjanjian kerja sama sebagaimana pada ayat 6 pasal ini berlaku setelah
mendapat persetujuan dari Bupati/Walikota yang bersangkutan
BAB IV
KERJA SAMA ANTAR BADAN USAHA MILIK DESA
PASAL 4
1. Badan Usaha Milik Desa dalam pengelolaan dan pemanfaatan Hutan
Tanah Kawasan Usaha Desa dapat melakukan kerjasama dengan Badan
Usaha Milik Desa Lainnya;
2. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan pada pasal 3 ayat 6 dan 7
kerja sama antar Badan Usaha Milik Desa dalam satu kecamatan berlaku
setelah mendapat persetujuan dari Bupati/Walikota.
3. Kerja sama antar Badan Usaha Milik Desa antar Kabupaten berlaku
setelah mendapat persetujuan dari Gubernur.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
12
BAB V
HAPUSNYA HUTAN TANAH
KAWASAN USAHA DESA
PASAL 5
1. Hapusnya suatu Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa dapat terjadi
disebabkan:
a. Pencabutan hak atas Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa tersebut
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Oleh karena satu dan lain hal atau oleh adanya kejadian yang
mengakibatkan hilangnya sebagian atau seluruh Hutan Tanah Kawasan
Usaha Desa tersebut
2. Dalam hal terjadinya pemekaran desa atau perubahan batas wilayah desa
maka keberadaan Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa yang bersangkutan
diatur dengan peraturan Bupati/Walikota.
3. Apabila pemekaran desa atau perubahan batas wilayah desa tersebut
meliputi antar Kabupaten/Kota maka keberadaan Hutan Tanah Kawasan
Usaha Desa yang bersangkutan diatur dengan peraturan Gubernur.
BAB VI
KETENTUAN-KETENTUAN PENUTUP
PASAL 6
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
13
1. Sebelum terbentuknya Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud
pasal 1 ayat 9 Peraturan Daerah Propinsi ini, pemerintah desa
berkewajiban memelihara dan mengawasi Hutan Tanah Kawasan Usaha
Desa yang telah disediakan.
2. Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa yang telah disediakan haruslah segera
didaftarkan kepada Kantor Badan Pertanahan Kabupaten/Kota.
3. Segala biaya pendaftaran dan pemetaan Hutan Tanah Kawasan Usaha
Desa dibebankan kepada APBD Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
PASAL 7
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini lebih lanjut akan
diatur dalam peraturan Gubernur.
PASAL 8
Peraturan Daerah ini mulai berlaku semenjak tanggal diundangkan agar
setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dalam Lembaran daerah Propinsi Riau.
Ditetapkan : DI PEKANBARU
Pada tanggal : 2005
GUBERNUR RIAU
H.M. RUSLI ZAINAL
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
14
Diundangkan : DI PEKANBARU
Pada tanggal : 2005
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI RIAU
H.R. BAMBANG MIT
Pembinga Utama Madya
Nip. 070004045
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
15
LEMBARAN DAERAH PROVINSI RIAU TAHUN 2005
PENJELASAN ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU
NOMOR : ............................. TAHUN 2005
TENTANG
PENYEDIAAN HUTAN TANAH KAWASAN USAHA DESA
I. PENJELASAN UMUM
1. Penyelenggaraan otonomi desa untuk dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat hanya akan terwujud apabila didukung oleh suatu pendapatan
asli desa itu sendiri.
Adalah tidak mungkin suatu pembangunan desa dan peningkatan
kesejahteraan masyarakatnya semata-mata dibebankan kepadan Anggaran
Pemerintah (APBN) dan Pemerintah Daerah (APBD). Selama puluhan
tahun, pemerintah desa tidak pernah dapat meningkatkan pendapatan asli
daerahnya secara memadai. Padahal wilayah desa-desa tersebut
mempunyai sumber daya alam yang cukup dan seyogyanya dapat
menyumbang bagi peningkatan pendapatan asli desa tersebut.
2. Terbentuknya Badan Usaha Milik Desa sebagaimana diatur dalam pasal
213 Undang-undang nomor 32 tahun 2004, memberikan kesempatan
kepada desa-desa dalam Propinsi Riau untuk dapat ikut serta dalam usaha2
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
16
ekonomi sehingga pada gilirannya Badan Usaha Milik Desa mampu
menjadi sumber asli pendapatan asli desa.
3. Pengalaman selama ini dalam pengelolaan usaha-usaha ekonomi oleh
Koperasi Unit Desa (KUD) selalu terbentur pada kekurangan modal dan
manajemen usaha. Dengan penyediaan Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa
dalam wilayah desa tersebut diharapkan Badan Usaha Milik Desa dapat
berkembang sebagai suatu perusahaan yang modern. Ketentuan tentang
dapatnya dilakukan kerja sama Badan Usaha Milik Desa dengan pihak
ketiga diharapkan akan dapat membina suatu manajemen perusahaan dan
peningkatan sumber daya manusia baik secara kuantitatif maupun
kualitatif.
4. Sesuai dengan lingkungan dan sumber daya alam dikawasan pedesaan
maka jenis usaha ekonomi yang menjadi prioritas adalah jenis usaha yang
bersifat agraris dan argo industri. Walaupun tidak tertutup kemungkinan
untuk melaksanakan usaha-usaha ekonomi lainnya.
Untuk hal tersebut ketersediaan tanah sebagai lahan usaha adalah sesuatu
yang mutlak dan diharapkan dengan ditetapkannya Peraturan Daerah
Propinsi ini secara bertahap dapat diatasi.
5. Bila kepada perusahaan-perusahaan besar dan menengah termasuk BUMN
(PTPN) dapat diberikan HGU dalam skala besar maka wajarlah kepada
Badan Usaha Milik Desa melalui pemerintah desa diberikan pula
kesempatan, kendatipun perlu dalam suatu pembinaan dan pengawasan.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
17
G. PENUTUP
Pada bagian akhir dari pokok-pokok pikiran ini perlu kembali
dikemukakan bahwa suatu penyelesaian yang adil beradab berdaya guna dan
berhasil guna perlu segera dimulai secara sistematis. Penyelesaian yang
sedang dihadapi ini memang bagaikan suatu tantangan yang sangat berat.
Namun itu adalah suatu keharusan.
Kepada lembaga Adat Melayu Riau dikabupaten/kota dikecamatan
terutama di desa-desa diminta agar tetap menjaga kebersamaan, persatuan dan
kesatuan. Demikian pula kepada pimpinan perusahaan yang dalam pokok-
pokok pikiran ini mungkin banyak tersinggung diharapkan agar dapat berpikir
secara jernih dalam suatu kebersamaan.
Terhadap pemerintah diingatkan bahwa dari pengalaman selama ini baik
secara regional maupun lokal banyak yang dapat diambil hikmahnya.
Pemerintah harus berdiri paling depan dalam mengupayakan penyelesaian
yang adil beradab berdaya guna dan berhasil guna.
Tidak berkelibihan kiranya bahwa penyelesaian permasalahan Hutan
Tanah Ulayat Masyarakat Melayu Riau merupakan juga suatu panggilan
sejarah. Hanya kebersamaan, keikhlasan dan kemauan politik pemerintah yang
akan dapat menentukan tingkat keberhasilannya.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
18
BAGIAN 5
UPAYA STRATEGIS UNTUK MEMBINA
KEADILAN DAN KESEIMBANGAN
DALAM MASYARAKAT
Oleh : Drs Djoko Sidik Pramono, MM
A. PENDAHULUAN
Program transmigrasi sebagai sub sistem dari sistem Pembangunan
Nasional merupakan upaya strategis untuk dikembangkan dalam rangka
menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi pengangguran, mengurangi
penduduk miskin dan mendukung dan mendukung pembangunan daerah.
Program transmigrasi telah dilaksanakan sejak masa kolonial, yaitu sekitar
tahun 1905 dan pada masa setelah kemerdekaan Indonesia dimulai lagi sejak
tahun 1950. Setelah itu penyelenggaraan transmigrasi berlanjut terus dan
mencapai puncaknya pada masa Pelita III dimana berhasil memindahkan dan
menempatkan sejumlah 500.000 kepala keluarga. Hal ini dapat dianggap
sebagai prestasi yang dapat memberikan kontribusi pada pembangunan
nasional. Namun demikian harus diakui pula adanya beberapa Unit
Pemukiman Transmigrasi menghadapi permasalahan sehingga tidak dapat
berkembang seperti yang diharapkan. Salah satu permasalahan yang menonjol
adalah pertanahan.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
19
B. HAKEKAT TRANSMIGRASI
Pada hakekatnya penyelenggaraan Transmigrasi merupakan kombinasi
antara upaya pemanfaatan SDA dan SDM dengan bantuan IPTEK, yang
terdiri dari kegiatan-kegiatan :
1. Pemanfaatan Ruang
2. Pemindahan dan Penempatan
3. Pemberdayaan Kawasan
Sedangkan tujuan penyelenggaraan transmigrasi sepert yang
disebutkan dalam UU No. 15 tahun 1997 tentang ketransmigrasian adalah:
1. Meningkatkan kesejahteraan Masyarakat
2. Mendukung Pembangunan Daerah
3. Memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa
C. VISI DAN MISI
Sebagai langkah awal kebijakan pembangunan kawasan transmigrasi
dalam kerangka otonomi daerah telah dirumuskan visi dan misi
Pembangunan Kawasan Transmigrasi yaitu “Kawasan Transmigrasi
sebagai Pusat-Pusat Ekonomi didaerah sesuai kebutuhan pengembangan
daerah yang bersangkutan, secara berkesinambungan dan peduli
lingkungan”.
Sedangkan misinya adalah sebagai berikut :
1. Mewujudkan pelayanan dan administratif yang didukung tersedianya
data dan informasi yang akurat dan informative, personil yang handal
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
20
dan sarana/prasarana yang memadai serta unit kerja yang kolaboratif
guna mendorong terlaksanya pemberdayaan sumber daya kawasan
transmigrasi.
2. Mengidentifikasi potensi kawasan dan merencanakan pengembangan
kawasan strategis, cepat tumbuh, tertinggal dan perbatasan.
3. Menyediakan kebijakan peningkatan kualitas perencanaan dan
pembangunan kawasan yang memenuhi standar kelayakan untuk
pemukiman dan pengembangan usaha ekonomi yang berkelanjutan.
4. Mewujudkan pengembangan komoditas unggulan, kapasitas lahan dan
diversifikasi usaha dikawasan transmigrasi serta peningkatan kapasitas
masyarakat dalam pengembangan usaha ekonomi.
5. Mewujudkan investasi dan kemitraan usaha mempercepat
pembangunan kawasan transmigrasi.
6. Mengendalikan dan megelola fungsi lingkungan hidup dikawasan
transmigrasi.
D. KONSEP PENYELENGGARAAN TRANSMIGRASI
Penyelenggaraan transmigrasi dalam upaya pemanfaatan ruang kedepan
sama seperti yang selama ini dilaksanakan yaitu dengan pendekatan
kewilayahan, akan tetapi apabila pada PJP I perencanaan dan
pembinaan/pemberdayaan masyarakatnya dilaksanakan secara ekslusif,
kedepan baik perencanaan maupun pemberdayaan terintegrasi dengan desa
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
21
sekitar/penduduk sekitar yang membentuk satu kesatuan hamparan dalam
satu wilayah atau dapat disebut Kawasan Transmigrasi.
Secara ringkas Konsepsi Penyelenggaraan Transmigrasi dapat
divisualisasikan dalam tabel berikut :
URAIAN KBI KTI
A. Pembangunan
Kawasan Trans
Skala kecil Skala besar
B. Dalam Rangka
Membangun Pusat-
pusa pertumbuhan
Program transmigrasi
mendukung pusat-pusat
pertumbuhan yang sudah ada
Program transmigrasi
berfungsi untuk
mengembangkan pusat-
pusat pertumbuhan baru
c. Optimalisasi
pemanfaatan lahan
untuk pertanian
Program intensifikasi Program Ekstensifikasi
d. Jenis transmigrasi
yang dikembangkan
TSM > TSB, Sedangkan
TSB > TU
TU lebih besar dari TSB
dan TSM
e. Skala prioritas
komoditas yang
dikembangkan dalam
rangka perluasan areal
pertanian baru
Dengan urutan : Tan, pangan,
perkebunan, perikanan dan
peternakan
Dengan urutan :
Perikanan, kelautan,
peternakan dan Tan,
Pangan
f. Fasilitas penanaman
investasi
Kredit bunga komersial Subsidi dan tax holiday
g. Pemberian izin HGU 30-50 Tahun Lebih dari 50 tahun
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
22
E. PROSEDUR PENYELENGGARAAN TRANSMIGRASI
Dalam penyelenggaraan transmigrasi ada beberapa tahapan yang
ditempuh, adapun tahapan/prosedur pembangunan kawasan transmigrasi
yang harus dilalui adalah sebagai berikut :
1. Seleksi Kawasan
a. Identifikasi potensi kawasan (SDA, sosial, ekonomi dan budaya).
b. Delinasi struktur calon kawasan
c. Studi pra kelayakan
d. Pembentukan dan penetapan kawasan
2. Pelayanan investasi dan kemitraan
a. Promosi/sosialisasi
b. Pelayanan dan penetapan calon investor
c. Pencadangan/izin lokasi
3. Perencanaan detail
a. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana
Pemantauan Lingkungan (RPL)
b. Master Plan/RTPKT
c. RTUPT/Redesign RTSP dan Rentek sarana dan prasarana
4. Penyusunan program dan kegiatan pembangunan
a. Perencanaan detail sudah dilaksanakan
b. Program dari sejak pembangunan infrastruktur, penyiapan lahan
pemukiman, pembangunan rumah dan fasilitas umum, pengerahan
dan penempatan serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
23
c. Pendanaan melalui kontribusi budget antara APBD dan SAPBN
atau sumber dana lain.
5. Pembentukan Unit Pengelola Kawasan (UPK)
a. UPK adalah lembaga pemerintah, semi pemerintah atau swasta
yang dibentuk oleh Pemda
b. Pemerintah Pusat dapat memberikan bantuan dalam bentuk
pedoman bimbingan/arahan, pelatihan, supervisi dan pengawasan
6. Pengarahan Transmigran/Penduduk
a. Identifikasi potensi perpindahan
b. Komunikasi, informasi, edukasi (KIE)
c. Sosialisasi, penyuluhan dan motivasi
d. Registrasi/pendataan
7. Penyiapan pemukiman
a. Penyiapan dan pematangan lahan
b. Pembangunan prasarana
c. Pembangunan sarana (rumah dan fasilitas umum)
8. Penyerasian kompetensi calon transmigran
a. Pelayanan pendaftaran seleksi
b. Pelatihan
9. Perpindahan dan penempatan
10. Proses pembinaan/pemberdayaan kawasan dan masyarakat
transmigrasi
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
24
F. AREAL UNTUK PENYELENGGARAAN TRANSMIGRASI
1. Areal yang digunakan
Pemanfaatan areal yang digunakan dalam penyelenggaraan transmigrasi,
adalah sebagai berikut :
a. Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) dan Lokasi Permukiman
Transmigrasi (LPT) harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan
tidak harus dalam PERDA tersendiri namun dapat satu kesatuan
dengan Peraturan Daerah Rencana Umum Tata Ruang Wilayah
Provinsi/Kabupaten.
b. Calon lokasi transmigrasi yang berdekatan dengan kawasan hutan
lindung dan kawasan konservasi agar diberi jarak minimal sebagai
berikut :
1) Hutan Lindung = 500 Meter
2) Konservasi = 1-2 Km
c. Konservasi tanah, air dan lingkungan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku perlu dipertahankan keadaan vegetasi hutan serta pembukaan
hutan dan penyiapan lahan permukiman pada areal hutan sekurang-
kurangnya sebesar :
1) 100 meter dikiri kanan tepi sungai
2) 50 meter dikiri kanan tepi anak sungai
3) 200 meter disekeliling mata air
4) 200 meter disepanjang tepi pantai
5) 500 meter disepanjang tepi waduk
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
25
6) Dua kali dalamnya jurang ditepi jurang.
2. Ketentuan Pelepasan Areal
Dasar hukum Kebijakan Pertanahan Nasional tertuang pasal 33 ayat 3
UUD 1945 yang kemudian diwujudkan dalam UU Nomor 5 tahun 1960,
tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) yang selanjutnya
dirumuskan dalam Kebijakan dan strategi pertanahan Nasional melalui
Ketetapan MPR Nomor : IV/MPR/1978 yang menekankan perlunya
penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah
disamping menjaga kelestariannya. Tujuan dari penyiapan areal untuk
permukiman transmigrasi diarahkan adanya tersebut kemudian dituangkan
dalam “Catur Tertib pertanahan, yaitu :
- Tertib Administrasi Pertanahan
- Tertib Hukum Pertanahan
- Tertib Penggunaan Pertanahan, serta
- Tertib Pemeliharaan Tanah dengan Lingkungan Hidup
Sejalan dengan Kebijakan Pertanahan tersebut di atas, maka kebijakan
tanah tersebut dapat dituangkan dalam surat-surat Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, yang meliputi sebagai berikut :
a. Pencadangan tanah untuk lokasi permukiman transmigrasi
merupakan satu kawasan permukiman dengan daya tampung ±
2000 KK
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
26
b. Pencadangan tanah diprioritaskan pada tanah Negara atau tanah
masyarakat yang dapat dijadikan tanah Negara melalui pelepasan
hak.
c. Pencadangan tanah hendaknya memperhatikan asset pendukung
antara lain meliputi prasarana jalan dan irigasi
d. Luas pencadangan tanah yang diusulkan harus memperhatikan
ketentuan pertanahan, yaitu :
1) Pencadangan Areal transmigrasi dengan luas < 5.000 Ha
pelaksanaan SICA dilakukan oleh Kantor Dinas Nakertrans
setempat.
2) Pencadangan Areal Transmigrasi dengan Luas < 5.000 Ha
pelaksanaan SICA dilakukan oleh Pusat.
e. Terhadap usulan calon lokasi transmigrasi baru dan belum ada
surat keputusan pencadangan areal, maka perlu dilakukan SICA
areal transmigrasi.
f. SK pencadangan areal yang telah mencapai waktu dari 5 tahun,
agar diperbaharui dimana jangka waktu berlakunya disesuaikan
dengan instruksi Menteri yang berlaku.
g. Bagi calon lokasi transmigrasi yang telah ada rekomendasi Bupati,
agar dilakukan kegiatan penjajagan untuk kemudian dilakukan
SICA dan diproses menjadi SK. Pencadangan aral dari Gubernur
h. Pencadangan areal tanah yang tumpang tindih dengan kepentingan
suatu organisasi/badan hukum swasta, penyelesaiannya dilakukan
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
27
dengan melepaskan kepentingan badan tersebut atas areal tanah
tersebut dengan kompensasi melalui kesepakatan.
i. Pencadangan areal yang diberikan kepada investor (seperti
PIRTRANS) pelepasan kawasan hutan dan pembebasan tanahnya
menjadi tanggungjawab pihak swasta/investor.
3. Penyediaan Tanah untuk Penyelenggaraan Transmigrasi
a. Tanah yang dipergunakan untuk penyelenggaraan transmigrasi adalah
berasal dari tanah negara (yang dikuasai langsung oleh negara) dan
atau tanah hak, baik tanah hak adat, tanah perorangan, ataupun tanah
badan hukum. Perolehan dengan cara recognitie atau kompensasi.
b. Perolehan tanah yang berasal dari tanah hak adat atau tanah hak ulayat
harus memperhatikan ketentuan pasal 5 peraturan Menteri Negara
Agraria Nomor 5 Tahun 1999 yaitu harus dibuktikan bahwa tanah
tesebut merupakan tanah ulayat dengan dilakukan penelitian oleh
pemerintah daerah setempat dengan melibatkan pemuka masyarakat
setempat serta akademisi, yang hasilnya dituangkan dalam Peraturan
Daerah. Jika memang terbuka adanya hak ulayat yang bersangkutan
maka perolehan tanahnya dilakukan melalui acara pelepasan hak yang
dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan (diwakilkan
kepada adat/kepala desa) dengan pemberian ganti rugi yang sesuai
ketentuan/peraturan perundang-undangan yang berlaku (ganti rugi
dalam bentuk pembangunan fasilitas umum).
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
28
c. Perolehan tanah yang berasal dari kawasan hutan didahului dengan
pelepasan kawasan hutan didahului dengan pelepasan kawasan hutan
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Apabila tanah yang disediakan tersebut benar-benar clear and clean
maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan menerbitkan Sertifikat
Hak Pengelolaan (HPL) atas nama Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
Pemberian hak pengelolaan tersebut sekaligus memberikan
kewenangan kepada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
untuk merencanakan peruntukan dan menggunakannya untuk
penyelenggaraan program transmigrasi sesuai rencana tata ruang
wilayah/daerah.
e. Bagian-bagian dari bidang HPL diberikan kepada transmigran dalam
bentuk lahan pekarangan dan lahan usaha sesuai pola transmigran yang
dikembangkan. Lahan pekarangan dan lahan usaha tersebut, apabila
data fisik dan yuridis secara lengkap dan tidak ada tuntutan dari pihak
lain, maka didaftar dalam buku tanah BPN untuk diterbitkan Sertifikat
Hak Milik atas nama Transmigran.
4. Perencanaan Areal untuk Penyelenggaraan Transmigrasi
Pencadangan dan pengadaan tanah merupakan tahapan pertama yang
harus dilaksanakan dalam penyediaan areal untuk permukiman
transmigrasi. Dalam pencadangan dan pengadaan tanah untuk
pengembangan dan pembangunan permukiman lokasi transmigrasi
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
29
berpedoman pada Keputusan Bersama Menteri Transmigrasi dengan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor SKB.114 / MEN /1992 tentang
Pencadangan Tanah Pengurusan Sertifikasi SK.24 Tahun 1992
Hak Atas Tanah Lokasi Permukiman Transmigrasi, Kawasan yang
ditetapkan menjadi kaeasan Transmigrasi harus merupakan kawasan yang
clear and clean
- Kejelasan Areal (Clear) : Areal yang akan diprogramkan sebagai
pemukiman transmigrasi harus sudah jelas letak, luas, dan batas-batas
fisiknya serta sudah dipetakan.
- Areal Yang Bersih (Clean) : Areal yang dicadangkan untuk
pemukiman transmigrasi harus bebas dari hak-hak atas tanah, baik
perorangan, masyarakat maupun badan hukum serta tidak berada pada
kawasan hutan yang dipertahankan statusnya sebagai hutan tetap.
Dalam pelaksanaan program transmigrasi diharapkan dapat
mengikutsertakan dan memberdayakan masyarakat disekitar lokasi.
Dengan demikian dalam pencadangan dan pengadaan tanah untuk
pengembangan dan pembangunan lokasi permukiman transmigrasi,
rancangan prosedurnya sebagai berikut :
a. Calon lokasi permukiman transmigrasi merupakan usulan masyarakat
yang ditujukan kepada Bupati yang dilampiri Berita Acara Penyerahan
Tanah, pernyataan mendukung sepenuhnya program transmigrasi dan
pernyataan tidak akan menuntut ganti rugi tanah dan tanam tumbuh.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
30
b. Bupati mengeluarkan izin Prinsip Penetapan atas lokasi kawasan yang
diusulkan masyarakat.
c. Setelah keluar izin Prinsip Penetapan atas lokasi kawasan transmigrasi
tersebut dilakukan kegiatan Identifikasi yang melibatkan instansi
terkait di Kabupaten dan Propinsi untuk mendapatkan areal yang
potensial dengan memperhatikan :
a) Status kawasan hutan
b) Status peruntukan lahan
c) Kondisi fisik kawasan
d) Kondisi sosial, ekonomi dan budaya dari masyarakat disekitar
lokasi
d. Kawasan hutan yang dapat dikembangkan digunakan untuk program
transmigrasi adalah kawasan hutan yang tidak dipertahankan statusnya
sebagai kawasan hutan tetap. Pada dasarnya adalah Kawasan Hutan
yang dapat di Konversi (HPK). Untuk calon lokasi kawasan
transmigrasi yang berada dalam kawasan hutan, harus didahului
dengan pelepasan kawasan hutan, sesuai dengan mekanisme dan
prossedur yang terdapat dalam Kepututsan Bersama Menteri
Transmigrasi dan Pemukiman perambah Hutan dengan Menteri
Kehutanan Nomor : SKB.126/MEN/1994 tentang Pelepasan Areal
Hutan untuk 422/KPTS-II/1994 pemikiman Transmigrasi/
e. Calon lokasi yang sudah dilakukan identifikasi tersebut diproses
penerbitan Surat Keputusan Pencadangan Areal dari Gubernur
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
31
berdasarkan bahan-bahan yang dipersiapkan oleh Kanwil Badan
Pertanahan Nasional.
G. UPAYA STRATEGIS UNTUK MEMBINA KEADILAN DAN
KESEIMBANGAN
Sesuai dengan sarana pembangunan transmigrasi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4, UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian yaitu : (1)
meningkatkan kemampuan dan produktivitas transmigran dan masyarakat
sekitarnya, (2) membangun kemandirian, (3) mewujudkan integrasi
permukiman kawasan transmigrasi, (4) sosial, ekonomi, dan budaya
(sosekbud) mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan, maka
pembangunan kawasan transmigrasi didasarkan pada Rencana Kerangka
Satuan Kawasan Pengembangan (RKSKP) Rencana Teknis Satuan
Permukiman Transmigrasi (RTSP).
Guna mewujudkan hal tersebut maka dalam pembangunan permukiman
transmigrasi dilaksanakan dengan memperhatikan azas keadilan dan
keseimbangan dalam masyarakat.
Upaya-upaya strategis yang dilakukan meliputi pemberian kompensasi,
recognisi dan tanam tumbuh, Penggantian lokasi/lahan kepada penyedia tanah
untuk penyelenggaraan transmigrasi, pemanfaatan bersama fasilitas umum
antara umum antara transmigran dengan masyarakat sekitarnya, dan integrasi
antara permukiman baru (transmigrasi) dengan desa, serta penetapan
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
32
komposisi yang ideal transmigran yang berasal dari daerah pengirim dan
daerah penerima.
Upaya strategis untuk membina keadilan dan keseimbangan dalam
masyarakat adalah :
1. Penyediaan tanah yang dipergunakan untuk pembangunan
permukiman transmigrasi, baik pada tahap pengadaan tanahnya
maupun penanganan sengketa/tuntutan ganti rugi oleh masyarakat adat
maupun pribadi. Pelaksanaan azas keadilan dan kesimbangan
diwujudkan dengan kedudukan yang seimbang antara masyarakat
atau pribadi yang mcnycrahkan tanahnya untuk program transmigrasi
dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Pemerintah).
Pemerintah dan masyarakat adat bersama-sama bermusyawarah untuk
mencapai sepakat dalam penetapan recognitie (penghargaan), yang
diberikan tidak dalam bentuk uang tetapi dalam bentuk pembangunan
fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat masyarakat setempat.
(Pasal 14 Kepres Nomor. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) sedangkan
untuk tanah-tanah hak pribadi penetapan kompensasi juga
dimusyawarahkan untuk mencapai kesepakatan bersama.
2. Penanganan sengketa pertanahan, antara masyarakat atau pribadi
dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, mengutamakan
azas keadilan dan keseimbangan. Apabila musyawarah tidak
menemukan jalan keluar yang disepakati bersama maka penyelesaian
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
33
dilakukan melalui pengadilan yang berwenang. Hal tersebut Sebagai
wujud penegakan hukum (law enforcement).
3. Integrasi antara permukiman baru (transmigrasi) dengan desa
didasarkan pada rencana tata ruang permukiman kawasan transmigrasi
yang menselaraskan ruang lingkup dan ruang gerak antara transmigran
dengan masyarakat Sekitamya, sehingga permukiman transmigrasi
bukan merupakan permukiman yang ekslusif, tetapi menyatu dan
saling mendukung dengan desa. Hal ini diwujudkan dengan
pembangunan sarana fasilitas umum yang menjangkau permukiman
transmigrasi dan desa, sehingga dapat termanfaatkan secara optimal.
4. Pemanfaatan bersama fasilitas umum (pasar, rumah ibadah, sarana
pendidikan, sarana kesehatan, Sarana Olahraga, dermaga/sarana
perhubungan) antara transmigran dengan masyarakat sekitamya
merupakan upaya integrasi kehidupan, baik sosial, ekonomi, dan
budaya sebagai Wujud pembangunan manusia berdasarkan keadilan
dan keseimbangan dalam masyarakat.
5. Komposisi yang berimbang antara transmigran dari daerah pengirim
dengan transmigran dari daerah penerima, khususnya dari segi jumlah,
sehingga diharapkan dapat terjadi kerjasama yang saling
menguntungkan (simbiosa mutualisme) sesuai dengan latar belakang
keterampilan dan pengetahuannya khususnya dibidang pertanian.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
34
BAGIAN 6
PERLINDUNGAN HUTAN TANAH
ULAYAT
DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI
MANUSIA
Oleh: Dr. Safroedin Bahar
1. Pendahuluan.
Sebagai pembuka kata dapat saya sampaikan bahwa dari kasus-kasus
pertanahan yang diadukan kepada Komnas HAM, proporsi kasus-kasus yang
menyangkut masalah hak atas tanah ulayat yang bersifat kolektif dari
masyarakat hukum adat, selain semakin lama semakin banyak juga tidak
jarang semakin mencekam, karena tidak jarang-jarang kasus tersebut
beriringan dengan kekerasan yang memakan korban nyawa dan harta. Belum
terdapat tanda-tanda bahwa konflik masalah pertanahan ini akan menyurut
dalam waktu singkat.
Dalam tebaran geografisnya, sebagian besar kasus-kasus ini berada di
daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Besar kemungkinannya hal itu terkait
dengan struktur sosial masyarakat hukum adat-atau the indigenous peoples-
yang mendiami kawasan tersebut. Seperti kita ketahui, tatanan masyarakat di
luar Jawa selain didasarkan pada konsep kewilayahan seperti di Pulau Jawa,
juga atau terutama didasarkan pada extended family system dengan
kepemilikan kolektif terhadap tanah dengan segala kandungan isinya. Dalam
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
35
literatur hukum adat yang berkembang pada atau sejak zaman kolonial Hindia
Belanda dahulu masyarakat demikian disebut sebagai masyarakat yang
bersifat teritorial geneologis.
Hak atas tanah ulayat memang bersifat hak kolektif, bukan merupakan hak
yang bersifat individual yang bersifat seperti yang lazim kita kenal dalam
sistem hukum Barat. Adanya hubungan struktural yang amat erat antara
masyarakat yang bersangkutan dengan lingkungan yang menghidupinya
mempunyai implikasi bahwa masalah hak atas tanah ulayat tidak dapat dan
tidak boleh dipahami dan ditangani secara terpisah dari masyarakat hukum
adat itu sendiri.
Perlu kita perhatikan bahwa dalam stadium awalnya kasus-kasus
pelanggaran terhadap hak atas tanah ulayat ini bisa mengambil bentuk
(sekedar) pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya, yang sesungguhnya
relatif mudah diselesaikan, baik pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan
swasta maupun oleh instansi pemerintah. Namun dalam stadium lanjutan,
kasus-kasus tanah ulayat ini bisa berujung pada terjadinya pelanggaran hak
sipil dan politik, sehubungan dengan terjadinya kekerasan, yang tidak jarang
memakan korban nyawa dan harta benda. Bila tidak ditangani- dengan baik,
tidak jarang rangkaian kasus-kasus pelanggaran hak sipil dan polilik tersebut
akan berakumulasi dan berkembang menjadi pelanggaran hak asasi manusia
yang berat, khususnya bila pelanggaran tersebut dilakukan secara sistematis
atau meluas. Oleh karena itulah, untuk memperoleh gambaran menyeluruh
dari masalah perlindungan terhadap hutan tanah ulayat dari masyarakat hukum
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
36
adat ini kita perlu menelaahnya secara sistematis, holistik, komprehensif, dan
integral dalam konteks kenegaraan.
Harus kita akui, bahwa dalam tatanan yang bersifat sentralistik dan
berorientasi urban, yang pemah kita anut dalam bentuk yang sangat ekstrim
antara tahun 1959-1999, masyarakat hukum adat serta haknya atas hutan tanah
ulayat menempati posisi pinggiran (periferal). Seluruh keputusan yang
menyangkut masyarakat hokum adat serta tanah ulayatnya dirancang, dibuat,
ditetapkan dan dikendalikan dari ibukota, baik di ibukota negara, maupun di
ibukota propinsi dan kabupaten, tanpa melibatkan perwakilan dari
masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dalam pandangan para
pambuat keputusan yang secara pribadi hidup dalam sistem sosial dan dengan
pola berpikir yang amat berbeda dengan masyarakat hukum adat yang akan
diaturnya itu, warga masyarakat hukum adat dilihat sekedar sebagai massa
abstrak dan himpunan individu yang terlepas-lepas dan bukan sebagai suatu
kolektivitas dengan identitas tersendiri, dan dipandang dapat diperintah dari
jauh dengan cara remote control.
Seperti dapat diduga, dalam pembuatan keputusan yang bersifat non
partisipatif tersebut aspirasi dan kepentingan masyarakat hukum adat, yang
umumnya tidak mempunyai bargaining power yang memadai untuk
menghadapi kekuatan-kekuatan politik dan kekuatan-kekuatan ekonomi yang
berpusat di daerah urban, dalam kurun 40 tahun tersebut secara terus menerus
terdesak ke belakang dengan berbagai akibat negatifnya yang kita rasakan dan
kita saksikan bersama dewasa ini.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
37
Baru setelah berhasilnya gerakan Reformasi pada tahun 1998 mulai
terdapat momentum untuk menempatkan kembali posisi masyarakat hukum
adat pada tempatnya yang benar, yang dasar-dasamya sudah terdapat dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah yang
sekarang telah disempurnakan menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004. Dewasa ini, masalah yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat dan
tanah ulayatnya sudah dapat ditangani secara sistemik dalam kerangka
otonomi daerah, yang jelas bukan saja lebih paham tetapi juga akan lebih
committed kepada terpenuhinya kepentingan orang banyak. Lebih dari itu,
berdasar pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi, masyarakat hukum adat yang telah memenuhi syarat menurut
peraturan perundang-undangan, yang merasa hak-hak konstitusinya telah
dilanggar, dapat mengajukan pengaduan secara formal sebagai pemohon
kepada mahkamah tersebut. Dengan perkataan lain, secara formal dan diatas
kertas, posisi masyarakat hukum adat serta hak ulayatnya dewasa ini
sesungguhnya sudah jauh lebih kuat dibandingkan dengan dasawarsa-
dasawarsa yang lalu.
Namun, koreksi mendasar terhadap pelanggaran struktural dan sistemik
terhadap hak atas tanah ulayat, yang telah berlangsung demikian lama, masih
memerlukan waktu untuk dapat selesai secara tuntas. Salah satu agenda
penting yang harus diacarakan sebagai perioritas adalah sebagai melakukan
harmonisasi hukum, sehubungan dengan adanya inkonsistensi dan
inkoheresi, baik antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
38
lain, maupun antara norma yang terkandung dalam peraturan perundang-
undangan tersebut dengan kenyataaannya dalam praktek. Harmonisasi hukum
ini perlu dilakukan oleh lembaga legislatif, lembaga ekseksutif, maupun
lembaga yudikatif, dengan dorongan dan partisipasi dari unsur-unsur
masyarakat sendiri sebagai stake holders.
Sebagai state auxiliary agency yang setingkat dengan lembaga negara
lainnya dan dibentuk khusus untuk ikut menciptakan kondisi yang kondusif
untuk terlindunginya hak asasi manusia, sambil menangani kasus-kasus
pengaduan yang disampaikan, dalam dua tahun terakhir ini Komnas HAM
tclah mengadakan kajian menyeluruh terhadap masalah agraria ini,
bekerjasama dengan instansi-instansi Iainnya. Sebagai tindak lanjut dari kajian
yang komprehensif ini, secara formal Komnas HAM telah menyarankan
kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk membentuk sebuah badan
khusus yang bersifat terpadu tetapi temporer, yang dinamakan Komisi
Nasional Untuk Penyelesaian Kanflik Agraria (KNuPKA).
Pembentukan badan khusus ini diperlukan sehubungan dengan demikian
besarnya magnitude dan kompleksnya masalah sengkata pertanahan ini, yang
diperkirakan mustahil dapat diselesaikan secara mendasar bersamaan dengan
demikian banyak masalah pelanggaran hak asasi manusia yang harus ditangani
oleh Komnas HAM. Sehubungan dengan terjadinya pergantian presiden,
Komnas HAM merencanakan untuk mengajukan kembali pembentukan
komisi nasional ini bersama dengan berbagai saran lain mengenai hak asasi
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
39
manusia yang memerlukan perhatian dan penanganan oleh presiden yang baru
beserta kabinet beliau.
Dalam makalah ini diusahakan menyajikan pandangan menyeluruh, walau
secara singkat saja, terhadap latar belakang masalah serta kerangka solusi
yang telah dan sedang dikembangkan Komnas HAM untuk ikut melindungi
hak masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya.
2. Posisi Konstitusional Masyarakat Hukum Adat Serta Tanah
Ulayatnya
a. Dinamika Wawasan tentang Masyarakat Hukum Adat.
Kelihatannya ada perkembangan atau perubahan dalam wawasan bangsa
kita terhadap masyarakat hokum adat Dalam merencanakan format negara
baru yang akan dibentuk pasca Perang Dunia Kedua, patut dicatat bahwa para
Pendiri Negara dalam tahun 1945 dahulu menerima keberadaan masyarakat
hukum adat ini seperti apa adanya tanpa memberikan kondisionalitas apapun
juga. Dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945 masyarakat hukum adat
ini disebut dengan berbagai istilah seperti streak en looale
rechisgemeenschappen, zelfhasturande landschappen en
volksgemeenschappen, yang dalam istilah asli disebut dengan berbagai nama
seperti desa, marga, nagari dan yang sejenis dengan itu.
Dapat diduga bahwa sebagai generasi yang menguasai literatur hukum
adat yang berkembang dalam zaman kolonial, para Pendiri Negara tersebut
mempunyai pemahaman yang lumayan mendalam terhadap masyarakat
hukum adat dan tanah ulayat Tentang masyarakat hukum adat Penjelasan
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
40
undang-Undang Dasar 1945 yang sekarang sudah dihapuskan itu menjelaskan
”Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia
menghormati daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara
yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak-hak asal usul daerah
tersebut. Penghormatan terhadap masyarakat hukum adat serta haknya atas
tanah ulayat masih kita dapati dalam Undang-undang N 0. 5 Tahun 1960
Tentang Pokok-pokok Agraria, yang dipersiapkan sejak tahun 1948.
Namun karena berbagai faktor terlihat terjadi semacam pengikisan
pengakuan terhadap masyarakat hukum adat ini, baik secara formal dalam
bentuk diundangkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengabaikan eksistensi masyarakat hukum adat serta haknya atas tanah ulayat
itu, maupun secara mendasar terhadap status dan posisi kenegaraan dari
masyarakat hukum adat itu sendiri. Hal yang terakhir ini terlihat pada
klausula yang bersifat kondisional, yang terdapat pada Pasal 18 B Undang-
undang Dasar 1945, yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya
"sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan undang-
undang " Anak kalimat yang terakhir ini tidak terdapat dalam Undang-undang
Dasar 1945 sebelum diamandemen.
Terkandung dalam klausula baru ini adalah implikasi normatif bahwa
tidak dengan sendirinya suatu masyarakat hukum adat yang ada secara de
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
41
facto akan diakui coute que coute sebagai masyarakat hukum adat secara de
iure menurut Undang-Undang Dasar ini. Banyak masalah ikutan dapat muncul
dari adanya kondisionalitas terhadap masyarakat hukum adat ini, yang harus
kita bedah secara amat kritis karena menyangkut kepentingan orang banyak.
Pertama, sebagai masyarakat yang didasarkan pada konsep teritorial-
geneologis, secara teoretikal dan faktual sungguh sangat kecil kemungkinan
tidak ’hidup’-nya lagi suatu masyarakat hukum adat, karena teorinya akan
selalu ada, dan walaupun jumlah warga suatu suku bisa menyusut dan
berkembang, pasti ada keturunan mereka yang masih hidup. Sudah barang
tentu dalam keadaan yang amat sangat luar biasa hal itu bisa saja terjadi
seperti jika seluruh kampung halaman masyarakat hukum adat tersebut hancur
luluh dilantak bencana alam yang dahsyat, atau dihancurkannya masyarakat
hukum adat tersebut secara sistematis dan meluas sampai punah, dengan
catatan bahwa yang terakhir ini merupakan suatu genosida, salah satu bentuk
pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Adalah sangat aneh kalau hal yang
luar biasa ini dijadikan sebagai salah satu tolok ukur dalam mengakui
eksistensi masyarakat hukum adat.
Kedua, apa persisnya yang dimaksud dengan sesuai dengan perkembangan
masyarakat? Perkembangan masyarakat mana yang dimaksudkan untuk
dijadikan tolok ukur? Masyarakat urban ? Seandainya memang itu yang
dimaksudkan, apakah adil dan tepat ukuran tersebut diterapkan dalam
konteks bangsa Indonesia yang bermasyarakat majemuk dan hidup dalam
berbagai taraf perkembangan budaya, sejak dari masyarakat yang praktis
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
42
masih hidup dalam zaman batu ini sampai pada yang sudah sepenuhnya hidup
dalam era tekhnologi informasi generasi ke tiga? Apakah suatu masyarakat
hukum adat yang dinilai sesuai atau belum sesuai dengan perkembangan,
lantas secara otomatis tidak lagi merupakan suatu masyarakat hukum adat
menurut undang-undang, dan oleh karena itu gugur seluruh haknya? sudahkan
kita pikirkan baik-baik reaksi dari warga masyarakat hukum adat yang
terancam kehilangan eksistensi, identitas kultural, dan haknya atas
kepemilikan, yang secara langsung atau tidak langsung akan merupakan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat?
Ketiga, apakah persisnya yang dimaksud ”sesuai dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia", sehubungan dengan adanya perubahan
mendasar paradigma politik dalam kurun pasca Reformasi? Apakah Negara
Kesatuan Republik yang ditata secara sangat sentralistik, seperti yang terdapat
antara tahun 1959-1998, ataukah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
dioperasikan dengan otonomi daerah yang Iuas, rill, dan bertanggung jawab
seperti yang ditata sejak tahun 1999?
Keempat, apakah untuk meperoleh pengakuan sebagai masyarakat hukum
adat itu diperlukan suatu Undang-undang yang khusus mengatur eksistensi
dan hak masyarakat hukum adat ini, seperti yang dilakukan di Republik
Filipina dengan The Indigenous People, Righth Act (IPRA), 1997, ataukah
cukup dengan melaksanakan norma-norma yang tercantum dalam undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah? Bagaimana
caranya mengatasi inkoherensi dan inkoherensi yang terdapat pada berbagai
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
43
undang-undang sektoral lainnya, yang secara sistematik menjadi dasar dari
telanggarnya hak-hak masyarakat hukum adat ini terhadap tanah ulayat ?
Keseluruhan masalah ikutan ini masih beIum terjawab secara mendasar
sampai saat ini, yang perlu-bahkan sangat perlu-kita renungkan, kita bahas,
kita carikan dan kita sepakati solusinya yang terbaik, untuk selanjutnya kita
laksanakan secara terencana dan berkelanjutan.
b. Dinamika Wawasan tentang Masyarakat Hukum Adat.
Jika kita telaah baik-baik berbagai kasus pelanggaran berkepanjangan
terhadap hak atas tanah ulayat masyarakat hukum adat ini, cepat atau lambat
kita akan menyadari bahwa akar masalahnya terletak pada perbedaan Visi dan
Persepsi terhadap tanah pada khususnya dan terhadap masyarakat hukum adat
pada umumnya, antara tataran elite pengambil keputusan yang berkiprah pada
suprastruktur politik, dengan rakyat yang berada pada tataran infrastruktur
politik.
Bagi instansi pemerintah pusat dan dunia usaha, sebagai institusi modern
yang dirancang dan dioperasikan secara rasional dan berkerja secara abstrak
dari kejauhan, dengan nama apapun juga tanah atau lahan tidak lebih dan
tidak kurang dari sekedar asset ekonomi, yang boleh dikapling, dibeli dan
dijual tanpa ada kaitan dengan berbagai sisi psikologis, sisi sosial, apalagi sisi
mistisnya yang akan dipandang sekedar sebagai tetek bengek belaka. Visi dan
persepsi tersebut terlihat jelas baik dalam berbagai peraturan perundang-
undangan maupun dalam kebijakan pemerintahan sejak tahun 1967, yang
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
44
diadakan untuk memfasilitasi investasi yang diperlukan untuk pembangunan
ekonomi. Para pejabat pemerintah yang menganut visi dan persepsi ini tidak
akan dapat mengerti visi dan persepsi yang bukan saja bersifat non-ekonomis,
tetapi juga bisa bersifat mistis dan religius, yang dianut oleh Warga
masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya.
Warga masyarakat hukum adat tidak berfikir seperti, tataran elite itu. Di
Papua, misalnya penduduk setempat memandang tanah ulayatnya sebagai
”ibu" yang harus dihormati dan dipelihara. Di Kalimantan, masyarakat
pendukung budaya Dayak menyatakan bahwa hutan merupakan bagian
menyeluruh dari keseluruhan budayanya. Bisa dibayangkan bagaimana reaksi
penduduk terhadap tanah ulayatnya yang dirampas dengan sewenang-wenang,
baik atas nama ’pembangunan nasional’ atau atas nama lainnya. Suatu kasus
pelanggaran hak masyarakat hukum adat dan tanah ulayatnya yang cukup
menyolok, yang dapat menunjukkan betapa seriusnya hal ini dapat kita baca
dimedia massa adalah kasus pelanggaran hak masyarakat hukum adat Kajang
di kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan pada tahun 2003, atau yang
dialami oleh masyarakat hukum adat Colol di Manggarai pada tahun 2004.
Kesewenang-wenangan tersebut bisa dan sudah terjadi sejak dari
penyusunan naskah akademis suatu rancangan undang-undang,
pembahasannya didewan perwakilan rakyat, dan pelaksanaannya oleh cabang
eksekutif dan cabang yudikatif pemerintahan. Kesewenang-wenangan tersebut
akan terlihat secara amat telanjang sewaktu perusahaan-perusahaan swasta
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
45
mengerahkan ’satpam’-nya untuk menguasai tanah ulayat masyarakat adat,
atau pada saat pemerintah mengerahkan aparat keamanan untuk meredam
kemarahan masyarakat hukum adat yang merasa tanah ulayatnya telah
dirampas dengan sewenang-wenang.
Demikianlah, agak sukar bagi kita untuk membantah kenyataan bahwa
baik sadar maupun tidak sadar cepat atau lambat, kebijakan negara cq
kebijakan pemerintahan yang tidak bersahabat dengan aspirasi dan
kepentingan rakyatnya ini bersumber dari fonomena yang dalam konteks yang
lebih besar disebut Samuel P. Huntington sebagai clash of civilizations,
sebagai benturan kebudayaan, hanya dalam ukuran mini. Benturan
kebudayaan yang bersifat mendasar tersebut terjadi antara jajaran pemerintah
pusat dan dunia bisnis yang berorientasi urban dan kosmopolitan pada sisi
yang satu dengan masyarakat hukum adat, yang bagaimanapun juga akan
berorientasi rural dan lokal pada sisi yang lain. Hal tersebut jelas tidak sehat
bagi suatu negara nasional yang sejak awalnya memilih format negara
kesatuan.
Ringkasnya, akar masalah pelanggaran terhadap hak tradisional
masyarakat hukum adat ini merupakan salah satu aspek saja dari kompleksitas
masalah struktural dan sistemik yang lebih besar, yang mungkin bisa kita
pandang sebagai suatu dalil yaitu hukum alienasi - atau keterasingan
structural - antara kelompok elite dengan massa dalam proses integrasi
nasional, yang sudah tentu tidak akan kita bahas dalam kesempatan ini. Yang
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
46
perlu kita bahas dalam kesempatan ini adalah landasan dan mekanisme
perlindungan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya.
3. Mekanisme Perlindungan terhadap Masyarakat , Hukum Adat dan
Hak atas Tanah Ulayatnya dari Perspektif Hak Asasi Manusia
a. Makna Perspektif Hak Asasi Manusia
Mungkin besar manfaatnya jika kita menyamakan pengertian terhadap apa
yang kita maksud dengan ‘hak asasi manusia’ dan perspektif hak asasi
manusia ini.
Hak asasi manusia bisa dipandang sebagai suatu credo, aksioma, atau
evidensi yang dianut oleh dunia beradab bahwa seluruh manusia mempunyai
seperangkat hak yang melekat dengan dirinya sebagai manusia, terlepas dari
suku, agama, ras, etnik, jenis kelamin atau faktor-faktor pembeda lainnya.
Deklarasi Universal Hak Asasi manusia tersebut sebagai common standards of
achievement for all peoples and all nations. Tidaklah berkelebihan jika
dikatakan bahwa dalam wacana hak asasi manusia ini seluruh umat manusia
dipandang sabagai manusia yang utuh dan bermartabat, tanpa diskriminasi
apapun juga.
Sudah barang tentu, agar dapat diwujudkan secara efektif kedalam
kenyataan, idealisme yang muncul dari kenegerian yang timbul dari
kebrutalan Perang Dunia Kedua di benua Eropa itu perlu dituangkan kedalam
berbagai instrumen hukum internasional maupun – atau terlebih-lebih - hukum
nasional. Keseluruhannya itu memerlukan rangkaian negosiasi yang
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
47
mendalam, yang tidak jarang memerlukan waktu yang panjang. Khususnya
oleh karena adanya perbedaan latar belakang ideologi, sejarah, serta
kebudayaan dari negara-negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa itu.
Walaupun demikian, dalam kurun waktu 60 tahun setelah terbentuknya
Perserikatan Bangsa-Bangsa paela saat ini telah dapat dihasilkan rangkaian
instrumen hukum internasional hak asasi manusia, sebagian lagi mengikat
secara hukum. Produk hukum internasional hak asasi manusia ini berkembang
secara terus menerus, yang mengharuskan kita untuk mempelajarinya secara
berkelanjutan.
Dalam perlindungan hak asasi manusia ini ada suatu perkembangan
penting yang perlu kita perhatikan, yaitu tentang peranan negara serta
pemerintah. Dalam babak awal perkembangannya sampai sekitar tahun 1986,
asumsi yang melekat dalam hukum internasional hak asasi manusia ini
khususnya hak sipil dan politik - adalah bahwa negara serta pemerintah secara
otomatis (berpotensi) menjadi pelanggar, atau perpetator, terhadap hak asasi
manusia itu, karena itu harus diwaspadai. Bahwa negara dan pemerintahnya
memang berpotensi menjadi pelanggar hak asasi manusia tidaklah dapat
dibantah. Namun secara perlahan-lahan disadari bahwa negara serta
pemerintahnya juga berpotensi untuk melindungi dan memenuhi hak azasi
manusia juga sama tidak dapat dibantahnya. Peran negara yang lebih
konstruktif ini terutama penting dalam perlindungan dan pemenuhan hak
ekonomi, sosial dan budaya. Perlu kita ingat bahwa secara konseptual negara
dan pemerintah itu memang dibentuk selain untuk memberikan jaminan
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
48
keamanan, juga untuk memberi peluang guna terwujudnya kesejahteraan bagi
rakyatnya.
Sejak tahun 1993, khususnya dalam Deklarasi Wina dan Program Aksi
1993, peran konstruktif negara dan pemerintah dalam melindungi dan
memenuhi hak asasi manusia semakin mengemuka dan semakin penting.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia juga
menganut pendirian bahwa negara serta pemerintahnya - baik ditingkat pusat
maupun ditingkat daerah - memiliki tanggung jawab utama untuk
terlindungnya hak asasi manusia tersebut. Sehubung dengan itu, dalam
makalah ini akan kita bahas perlindungan tanah ulayat serta masyarakat
hukum adat ini dari perspektif hak asasi manusia dalam konteks kenegaraan
ini, khususnya peran Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Daerah, Komnas
HAM dan Perwakilan Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi, serta lembaga-
lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa.
b. Pemerintah Daerah
Tidaklah berkelebihan jika dikatakan bahwa pemerintah - terutama
pemerintah daerah kabupaten/kota serta desa - merupakan lini pertama untuk
melindungi hak masyarakat hukum adat serta tanah ulayat. Jajaran pemerintah
daerah ini mempunyai kewenangan yang amat luas untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Sudah barang tentu asuransi tersebut
hanya akan terwujud jika potensi benturan kebudayaan antara tataran elite dan
masa rakyatnya dapat diperkecil, dalam arti para pembuat keputusan di Ibu
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
49
Kota Provinsi, Kabupaten dan Kota selain mampu memahami juga mampu
mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat hukum adat tersebut.
Namun, mengigat adanya ’hukum keterasingan elite dari masa' yang saya
tegarai di depan, agar dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
kolektifnya secara efektif dan efisien dalam wacana lembaga legislatif dan
lembaga eksekutif dalam pemerintah daerah, kelihatannya ada kebutuhan bagi
masyarakat hukum data untuk mendayagunakan hak sipil dan politiknya
dengan secara formal dan modern menata dan mengorganisasikan dirinya
secara lebih melembaga. Hanya dengan cara seperti itu masyarakat hukum
adat ini akan kelihatan dan terdengar oleh para pengambil keputusan di ibu
kota. Perjuangan masyarakat untuk secara efektif memperoleh pengakuan
terhadap eksistensi, identitas kultural dan hak-haknya itu akan amat sulit
untuk berhasil selama masyarakat hukum adat yang bersekala relatif kecil itu
masih berkiprah secara informal dan secara sendiri-sendiri.
Dalam konteks inilah bisa kita pahami tumbuh dan berkembangnya
berbagai organisasi warga masyarakat hukum adat yang berskala Provinsi,
seperti Lembaga Adat Melayu Riau di Provinsi Riau, Lembaga Kerapatan
Adat Alam Minangkabau di Provinsi Sumatera Barat, Majelis Rakyat Papua di
Provinsi Papua, lembaga-lembaga sejenis yang telah atau akan terbentuk di
provinsi-provinsi lainnya. Seiring dengan itu secara perlahan-lahan dewasa ini
ditingkat nasional sudah tumbuh dan mulai berkembang sebuah lembaga
swadaya masyarakat yang mengabdikan diri untuk masyarakat hukum adat ini,
yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang sampai tahun lalu
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
50
berhasil membangun jaringan dengan sekitar 900 buah masyarakat hukum
adat di seluruh Indonesia. Jumlah ini relatif kecil, namun keberadaan lembaga
ini sudah lumayan bermanfaat.
c. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Secara pribadi saya menilai, keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
berdasar Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD merupakan suatu babak penting
dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan kita. Setelah demikian lama
hidup dalam tatanan kenegaraan yang sangat sentralistik, yang membuka
peluang bagi tumbuh dan berkembangnya pemerintahan yang bercorak
oteritarian, akhirnya telah dapat dibentuk sebuah lembaga negara yang
mempunyai kewenangan penuh untuk membela dan memperjuangkan
kepentingan masyarakat didaerah-daerah.
Salah satu misi yang dapat dibebankan kepada anggota DPD ini adalah
untuk memperjuangkan agenda hukum dalam rangka pembaruan agraria
kedalam Badan Legislatif DPR-RI, khususnya agar berbagai undang-undang
yang selama ini ditegarai sebagai pangkal bala yang merugikan kepentingan
masyarakat hukum adat dapat diamandemen dalam waktu yang tidak terlalu
lama, khususnya undang-undang dalam bidang kehutanan, perkebunan, dan
pertambangan, yang langsung atau tidak langsung telah menjadi alas baik dari
terjadinya konflik dan kekerasan yang telah demikian banyak memakan
korban.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
51
Sekedar sebagai catatan kecil, mengingat kecenderungan keterasingan elite
dan massa rakyat yang terlihat sebagai faktor konstan dalam kehidupan
kenegaraan di Indonesia, perlu diupayakan agar para anggota DPD yang
dipilih secara perseorangan ini selain benar-benar berpeduli dengan aspirasi
dan kepentingan masyarakat daerah yang diwakilinya, juga secara struktural
selalu mempunyai hubungan dengan konstituennya didaerah, termasuk dengan
masyarakat hukum adat. Sampai sedemikian jauh belum terlalu jelas
bagaimana caranya hal itu akan terlaksana. Bila hal itu tidak dibenahi, tidak
mustahil terjadi para anggota DPD yang bersidang dikompleks Senayan yang
nyaman itu akan lupa dengan masalah yang dihadapi masyarakat yang
diwakilinya.
Oleh karena itu akan sangat bermanfaat jika para anggota DPD ini selain
mengangkat sebuah staf kecil didaerah pemilihannya juga membuat sebuah
website sebagai sarana untuk menginformasikan kegiatannya serta untuk
menampung keluhan dan pengaduan dari konstituennya. Dengan demikian
komunikasi berlanjut akan dapat dipelihara dengan baik.
d. Komnas HAM dan Perwakilan Komnas HAM
Dalam organisasi Komnas HAM yang baru, perlindungan terhadap
masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya ini menjadi bidang tugas dari
dua sub komisi, yaitu Sub Komisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang
memusatkan perhatian pada pengkajian perangkat lunak yang terkait dengan
hak masyarakat hukum adat, termasuk tanah ulayatnya, dan Sub Komisi
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
52
Perlindungan Kelompok Khusus, yang memusatkan perhatian pada
pamantauan dilapangan dan kasus-kasus pelanggaran hak masyarakat hukum
adat.
Sesuai dengan mandat pembentukannya, dalam menangani pengaduan
terhadap kasus-kasus yang menyangkut hak masyarakat hukum adat Komnas
HAM berfungsi dan berwenang untuk mengadakan pengkajian, pendidikan
dan penyuluhan, pemantauan, dan mediasi. Akhir tahun 2004 dan awal tahun
2005 ini Komnas HAM telah mengadakan serangkaian pengkajian mendasar
mengenai masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya, baik untuk
menyusun dan merumuskan kertas posisi yang akan dipargunakan dalam
menangani hak masyarakat hukum adat ini, maupun sebagai masukan bagi
instansi lain yang terkait. Sekedar sebagai catatan kecil dapat saya
informasikan bahwa selain dengan datang sendiri atau mengirimkan surat
pengaduan ke Komnas HAM, dalam bulan-bulan mendatang Komnas HAM
membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menyampaikan pengaduannya
melalui electronic complaint handling system yang sekarang ini sedang
dikembangkan dan hampir mendekati penyelesaiannya.
Dalam keseluruhan kegiatan ini, Kornnas HAM ada kalanya dapat bahkan
perlu berkerjasama dengan instansi lainnya pemerintahan maupun instansi non
pemerintahan. Iika terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Komnas
HAM berwenang untuk mengadakan penyelidikan pro justica, yang akan
berujung pada penyerahan berkas kepada Jaksa Agung.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
53
Mengingat luasnya wilayah Indonesia, Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia memberi mandat kepada Komnas HAM
untuk membentuk perwakilan di daerah-daerah, baik atas permintaan daerah
yang bersangkutan maupun atas pertimbangan sendiri. Pada saat ini sudah ada
empat buah perwakilan Komnas HAM, yaitu di Provinsi Sumatera Barat,
Kalimantan Barat, Maluku, dan Papua dan sedang dipertimbangkan untuk
membentuk perwakilan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta,
dan Nusa Tenggara Timur.
Sampai saat ini belmn demikian banyak pengaduan yang diterima oleh
Komnas HAM dari masyarakat di Provinsi Riau, baik tentang kasus-kasus
pelanggaran eksistensi, identitas kultural, serta hak masyarakat hukum adat
pada umumnya, maupun tentang hak atas tanah ulayat pada khususnya. Hal ini
bisa mempunyai beberapa arti, antara lain karena memang tidak ada masalah
pelanggaran hak asasi manusia yang perlu dilaporkan kepada Komnas HAM,
atau masalahnya sudah dapat diselesaikan sendiri oleh jajaran pemerintah
daerah, atau masyarakat Riau memutuskan untuk memendam rasa.
Namun, seandainya untuk melindungi hak-haknya masyarakat hukum adat
Melayu Riau memandang perlu untuk dibentuknya Perwakilan Komnas HAM
di propinsi ini, kehendak tersebut dalam diajukan kepada Gubernur serta
DPRD Propinsi Riau untuk selanjutnya diusulkan kepada Komnas HAM di
Jakarta. Saya telah melaporkan kepada Sidang Paripurna Komnas HAM apa
yang saya dan saya dengar dalam kunjungan saya bulan Desember 2004 dan
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
54
bulan januari 2005 yang lalu, dan pada dasamya Komnas HAM membuka
peluang untuk itu.
e. Mahkamah Konstitusi.
Lembaga negara yang dibentuk dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 berdasar Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 ini merupakan wahana
lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat hokum adat dalam
membela hak-haknya, tentunya termasuk hak atas tanah ulayat. Seperti kita
ketahui bersama, berdasar Pasal 51 Undang-Undang tersebut masyarakat
hukum adat diakui secara formal sebagai pemohon, seandainya mereka
menilai hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar. Kelihatannya belum
banyak masyarakat hukum adat yang memanfaatkan peluang ini.
f. Lembaga-lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa
Bersisian dengan empat lembaga nasional tersebut diatas, bersama dengan
demikian banyak indigenous peoples lainnya didunia masyarakat hukum adat
di Indonesia berhak dan berpeluang untuk memanfaatkan pelayanan berbagai
lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa, yang sejak tahun 1994 memberikan
perhatian yang lebih besar terhadap masyarakat hukum adat ini. Pada saat
bahkan sudah ada suatu Working Group khusus untuk menangani masalah
yang diajukan oleh masyarakat hukum adat ini, termasuk masalah communal
land rights. Dasawarsa 1994-2004 yang lalu bahkan ditetapkan sebagai
Dasawarsa Masyarakat Hukum Adat atau The Decade of Indigenous Peoples.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
55
Berbagai instrument Perserikatan Bangsa-Bangsa telah dikembangkan untuk
melindungi masyarakat hukum adat serta hak-haknya, antara lain Konvensi
ILO Nomor 169 Tahun 1989 dan Draft Declaration on the Rights of
Indigenous Peoples.
Naskah yang terakhir ini mcmuat ringkasan dari seluruh wawasan dan
pengalaman yang berkembang ditingkat antar bangsa dalam upaya melindungi
masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya. Akan besar manfaatnya bagi
kita jika kita kutip kandungan Bab 2 Pasal 7 dari naskah tersebut, tentang hal-
hal yang dapat menyebabkan terjadinya pemusnahan etnis dan penghancuran
etnis tentunya termasuk masyarakat hukum adat yang merupakan bagian dari
etnis tersebut sebagai berikut :
1. Setiap tindakan yang mempunyai tujuan atau akibat yang mencabut
masyarakat hukum adat dan integritas mereka sebagai masyarakat yang
khas atau dari identitas atau dari nilai-nilai budaya mereka.
2. Setiap tindakan yang mempunyai tujuan atau akibat yang merampas tanah,
wilayah, atau sumber daya yang mereka kuasai.
3. Setiap béntuk pemindahan penduduk yang mempunyai tujuan atau akibat
yang melanggar atau mengancam hak-hak mereka.
4. Setiap bentuk asimilasi atau percampuran oleh melalui mekanisme
legislatif, administratif, atau yang lainnya.
5. Setiap bentuk propaganda yang diarahkan kepada masyarakat hukum adat.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
56
4. Sekedar Tanggapan terhadap Prakara Lembaga Adat Melayu.
Riau untuk Menyelesaikan Masalah Hak Tanah Ulayat. Saya telah
membaca dengan cermat dan dengan penuh minat keseluruhan persiapan
Seminar Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Melayu Riau tentang Hutan
Tanah Ulayat yang kita selenggarakan dalam dua hari ini, termasuk
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Riau Tentang Penyediaan Hutan Tanah
Kawasan Usaha Desa. Secara umum saya memperoleh kesan bahwa langkah-
langkah yang telah diambil telah sesuai dengan apa yang memang seyogyanya
diambil, sebagai berikut:
a. Baik masalah yang dihadapi mengenai hak tanah ulayat maupun gagasan
solusi yang dipilih telah ditempatkan dalam konteks hukum positif yang
tepat, yaitu dalam konteks otonomi daerah berdasar Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
b. Empat prinsip penyelesaian yang dikembangkan untuk menyelesaikan
masalah yaitu berwawasan nasional, kebersamaan, berhasil guna dan
berdaya guna, dan berkekuatan hukum tidak hanya relevan dalam
menyelesaikan masalah hak masyarakat adat di Provinsi Riau, tetapi juga
dapat dimanfaatkan dalam penyelesaian kasus-kasus sejenis di provinsi
lainnya.
c. Konsep langkah-langkah penyelesaian yang terdiri dari mengadakan ukur
ulang, peninjauan HGU dan kerjasama, mengadakan kerjasama yang ideal
antara pemegang HGU dengan masyarakat desa berdasar Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, serta pemanfaatan lahan-lahan eks HGU untuk
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat
57
memberdayakan masyarakat hukum adat dipedesaan merupakan langkah
langkah yang selain rasional juga dapat dilaksanakan.
d. Gagasan mcmbentuk badan usaha milik desa sekaligus mempersiapkan
scbuah rancangan peraturan daerah yang diperlukan untuk itu jelas
merupakan suatu langkah terobosan, bukan saja untuk memelihara watak
kolektif dari masyarakat hukum adat, tetapi juga untuk menempatkannya
sebagai bagian Menyeluruh dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasal
53 dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang- undangan memang memberi peluang untuk
partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses penyusunan peraturan
perundang-undangan ini, bukan hanya ditingkat pusat, tetapi juga ditingkat
daerah dan desa.
e. Pemrakarsa seluruh kegiatan ini telah mengadakan pendekatan yang baik
dengan seluruh pihak yang terkait, sehingga besar kemungkinannya solusi
yang dipilih akan dapat dilaksanakan dengan baik.
Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat