Download - Referat Terapi Insulin Pada Dm
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Diabetes Melitus merupakan penyakit menahun yang ditandai oleh kadar gula darah yang
tinggi dan gangguan metabolisme pada umumnya, yang pada perjalanannya bila tidak dikendalikan
dengan baik akan menimbulkan berbagai komplikasi baik yang akut maupun yang menahun.
Kelainan dasar dari penyakit ini ialah kekurangan hormon insulin yang dihasilkan oleh pankreas,
yaitu kekurangan jumlah dan atau dalam kerjanya. Jumlah penderita di seluruh dunia tahun 1998
yaitu ± 150 juta, tahun 2000 yaitu ± 175,4 juta diperkirakan tahun 2010 yaitu ± 279 juta.
Berdasarkan Riskesdas 2007 , Prevalensi penyakit DM di Indonesia berdasarkan diagnosis
oleh tenaga kesehatan adalah 0,7% sedangkan prevalensi DM (D/G) sebesar 1,1%. Data ini
menunjukkan cakupan diagnosis DM oleh tenaga kesehatan mencapai 63,6%, lebih tinggi
dibandingkan cakupan penyakit asma maupun penyakit jantung. Prevalensi nasional Penyakit
Diabetes Melitus adalah 1,1% (berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala).
Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit progresif dengan karakteristik
peningkatan HbA1C dan penurunan fungsi sel beta pankreas. Epidemi DMT2 yang makin meluas
dan pengakuan bahwa pencapaian glukosa darah sesuai target secara substansial dapat mengurangi
angka morbiditas membuat pengendalian glukosa yang efektif menjadi prioritas utama dalam
manajemen DMT2. Seiring meningkatnya angka kejadian DMT2, terutama pada orang berusia
relatif muda dan kemungkinan usia hidup masih panjang, maka semakin banyak pasien DMT2
dengan defisiensi insulin. Pada kasus-kasus tersebut, akan dibutuhkan insulin dalam
penatalaksanaannya.
Mempertahankan glukosa darah sedekat mungkin dengan kisaran nilai normal telah terbukti
bermanfaat dalam menurunkan kejadian komplikasi mikrovaskular berupa retinopati, nefropati dan
neuropati, baik pada DM tipe 1 maupun tipe 2. Manajemen hiperglikemia secara intensif dengan
menurunkan kadar HbA1C juga telah terbukti bermanfaat mencegah kejadian kardiovaskular pada
DM tipe 1, namun studi-studi lain gagal membuktikan manfaat tersebut terhadap kejadian
kardiovaskular pada DM tipe 2. Walaupun upaya mempertahankan kadar glukosa darah dapat
mengurangi risiko berbagai komplikasi diabetes, hal tersebut sulit dicapai dengan peningkatan dosis
obat-obat hipoglikemik oral seperti metformin, sulfonilurea dan tiazolidinedion. Kebanyakan
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 1
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
pasien pada akhirnya akan memerlukan insulin, yang biasanya ditambahkan bila pengendalian
glukosa darah dengan obat-obat oral tersebut belum optimal.
Penemuan insulin lebih dari 80 tahun yang lalu merupakan salah satu penemuan terbesar
dalam dunia kedokteran pada abad ke-20. Saat ini, penggunaan insulin mengalami kemajuan yang
pesat. Beberapa kemajuan itu antara lain dalam hal jumlah penggunaan insulin per pasien,
perbaikan mutu insulin, dan cara penggunaan insulin. Penemuan insulin dimulai dari jenis yang
belum dapat dibuat dengan murni, kemudian insulin manusia yang dibuat dengan rekayasa
genetika, sampai insulin analog dengan farmakokinetik menyerupai insulin endogen.
Keuntungan yang mendasar dari penggunaan insulin dibandingkan obat antidiabetik oral
dalam pengobatan diabetes melitus adalah insulin terdapat di dalam tubuh secara alamiah. Selain
itu, pengobatan dengan insulin dapat diberikan sesuai dengan pola sekresi insulin endogen.
Sementara itu, kendala utama dalam penggunaan insulin adalah pemakaiannya dengan cara
menyuntik dan harganya yang relatif mahal. Namun demikian, para ahli dan peneliti terus
mengusahakan penemuan sediaan insulin dalam bentuk bukan suntikan, seperti inhalan sampai
bentuk oral agar penggunaannya dapat lebih sederhana dan menyenangkan bagi para pasien.
B. TUJUAN
Referat ini bertujuan menggali lebih lanjut dan membahas tentang terapi insulin pada
Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2), sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan tentang
penanganannya.
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 2
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes Mellitus (DM) merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa
diabetes mellitus merupakan sesuatau yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas
dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan
kimiawi yang merepakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan gangguan fungsi insulin.
B. KLASIFIKASI DIABETES MELLITUS
Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Klasifikasi etiologis DM
Tipe 1 destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut
Autoimun
Idiopatik
Tipe 2 bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai insulin relatif
sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
Tipe lain Defek genetik fungsi sel beta
Defek genetik kerja insulin
Penyakit eksokrin pankreas
Endokrinopati
Karena obat atau zat kimia
Infeksi
Sebab imunologi yang jarang
Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
Diabetes mellitus
gestasional
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 3
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
C. PATOFISIOLOGI DIABETES MELLITUS TIPE 2
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang terjadi dalam 3-10 menit
pertama setelah makan yaitu insulin yang disekresi pada fase ini adalah insulin yang disimpan
dalam sel beta (siap pakai) tidak dapat menurunkan glukosa darah sehingga merangsang fase 2
adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih
banyak, tetapi sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal.
Gangguan sekresi sel beta menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam
darah turun menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah
puasa meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk menghasilkan insulin akan
menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang
menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi hiperinsulinemi
akan tetapi gangguan sel beta.
Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kadar glukosa darah puasa dengan kadar
insulin puasa. Pada kadar glukosa darah puasa 80-140 mg/dl, kadar insulin puasa meningkat tajam,
akan tetapi jika kadar glukosa darah puasa melebihi 140 mg/dl maka kadar insulin tidak mampu
meningkat lebih tinggi lagi; pada tahap ini mulai terjadi kelelahan sel beta menyebabkan fungsinya
menurun. Pada saat kadar insulin puasa dalam darah mulai menurun maka efek penekanan insulin
terhadap produksi glukosa hati khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga produksi
glukosa hati makin meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada puasa. Faktor-faktor yang
dapat menurunkan fungsi sel beta diduga merupakan faktor yang didapat (acquired) antara lain
menurunnya massa sel beta, malnutrisi masa kandungan dan bayi, adanya deposit amilyn dalam sel
beta dan efek toksik glukosa (glucose toxicity).
Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat dipertahankan
sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi resistensi insulin dalam beberapa tingkatan. Pada
seorang penderita dapat terjadi respons metabolik terhadap kerja insulin tertentu tetap normal,
sementara terhadap satu atau lebih kerja insulin yang lain sudah terjadi gangguan. Resistensi insulin
merupakan sindrom yang heterogen, dengan faktor genetik dan lingkungan berperan penting pada
perkembangannya. Selain resistensi insulin berkaitan dengan kegemukan, terutama gemuk di perut,
sindrom ini juga ternyata dapat terjadi pada orang yang tidak gemuk. Faktor lain seperti kurangnya
aktifitas fisik, makanan mengandung lemak, juga dinyatakan berkaitan dengan perkembangan
terjadinya kegemukan dan resistensi insulin.
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 4
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
D. FAKTOR RESIKO DIABETES MELLITUS TIPE 2
Adapun faktor resikonya yaitu:
Unchangeable Risk Factor
1. Kelainan Genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes mellitus,
karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya tak dapat menghasilkan insulin
dengan baik.
2. Usia
Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara drastis menurun
dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes sering muncul setelah seseorang
memasuki usia rawan tersebut, terutama setelah usia 45 tahun pada mereka yang
berat badannya berlebih, sehingga tubuhnya tidak peka lagi terhadap insulin.
Changeable risk factor
1. Stress
Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang manis-manis
dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar serotonin otak. Serotonin ini
memiliki efek penenang sementara untuk meredakan stress, tetapi gula dan lemak
itulah yang berbahaya bagi mereka yang beresiko terkena diabetes mellitus.
2. Pola Makan yang Salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan keduanya meningkatkan resiko terkena
diabetes mellitus. Kurang gizi (malnutrisi) dapat merusak pankreas, sedangkan berat
badan lebih (obesitas) mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin).
3. Minimnya Aktivitas Fisik
Setiap gerakan tubuh dengan tujuan meningkatkan dan mengeluarkan tenaga dan
energi, yang biasa dilakukan atau aktivitas sehari-hari sesuai profesi atau pekerjaan.
Sedangkan faktor resiko penderita DM adalah mereka yang memiliki aktivitas
minim, sehingga pengeluaran tenaga dan energi hanya sedikit.
4. Obesitas
5. Merokok
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 5
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
Sebuah universitas di Swiss membuat suatu analisis 25 kajian yang menyelidiki
hubungan antara merokok dan diabetes yang disiarkan antara 1992 dan 2006, dengan
sebanyak 1,2 juta peserta yang ditelusuri selama 30 tahun. Mereka mendapati resiko
bahkan lebih tinggi bagi perokok berat. Mereka yang menghabiskan sedikitnya 20
batang rokok sehari memiliki resiko terserang diabetes 62% lebih tinggi
dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Merokok dapat mengakibatkan
kondisi yang tahan terhadap insulin, kata para peneliti tersebut. Itu berarti merokok
dapat mencampuri cara tubuh memanfaatkan insulin. Kekebalan tubuh terhadap
insulin biasanya mengawali terbentuknya Diabetes tipe 2.
6. Hipertensi
Pada orang dengan diabetes mellitus, hipertensi berhubungan dengan resistensi
insulin dan abnormalitas pada sistem renin-angiotensin dan konsekuensi metabolik
yang meningkatkan morbiditas. Abnormalitas metabolik berhubungan dengan
peningkatan diabetes mellitus pada kelainan fungsi tubuh/disfungsi endotelial. Sel
endotelial mensintesis beberapa substansi bioaktif kuat yang mengatur struktur
fungsi pembuluh darah.
E. GAMBARAN KLINIS
Beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat perhatian ialah:
1. Keluhan Klasik
a. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan yang berlangsung dalam waktu relatif singkat harus menimbulkan
kecurigaan. Hal ini disebabkan glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel,
sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan
hidup, sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain yaitu sel lemak dan otot.
Akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga menjadi kurus.
b. Poliuri
Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak kencing.
Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu penderita, terutama
pada waktu malam hari.
c. Polidipsi
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 6
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
Rasa haus sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang keluar melalui
kencing. Keadaan ini justru sering disalah tafsirkan. Dikira sebab rasa haus ialah udara yang
panas atau beban kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus itu penderita minum
banyak.
d. Polifagi
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisme menjadi glukosa dalam darah
tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan sehingga penderita selalu merasa lapar.
2. Keluhan lain
a. Gangguan saraf tepi / Kesemutan
Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki di waktu malam,
sehingga mengganggu tidur. Gangguan penglihatan Pada fase awal penyakit Diabetes
sering dijumpai gangguan penglihatan yang mendorong penderita untuk mengganti
kacamatanya berulang kali agar ia tetap dapat melihat dengan baik.
b. Gatal / Bisul
Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluan atau daerah lipatan kulit
seperti ketiak dan di bawah payudara. Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul dan luka
yang lama sembuhnya. Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele seperti luka lecet
karena sepatu atau tertusuk peniti.
c. Gangguan Ereksi
Gangguan ereksi ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak secara terus terang
dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat yang masih merasa
tabu membicarakan masalah seks, apalagi menyangkut kemampuan atau kejantanan
seseorang.
d. Keputihan
Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering ditemukan dan kadang-
kadang merupakan satu-satunya gejala yang dirasakan.
F. DIAGNOSA DIABETES MELITUS TIPE 2
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 7
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
Dalam menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai:
a. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu faktor risiko untuk
DM, yaitu:
1) Kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )
2) Kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 (kg/m2)}
3) Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmhg)
4) Riwayat keluarga DM
5) Riwayat kehamilan dengan bb lahir bayi > 4000 gram
6) Riwayat dm pada kehamilan
7) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl
8) Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa darah puasa terganggu)
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan penyaring dan diagnosis
DM (mg/dl)
Kadar glukosa darah sewaktu
Bukan DM Belum pasti DM DM
Plasma Vena < 110 110 – 199 ≥200
Darah Kapiler < 90 90 - 199 ≥200
Kadar glukosa darah puasa
Bukan DM Belum pasti DM DM
Plasma Vena < 110 110 – 125 ≥126
Darah Kapiler < 90 90 - 109 ≥110
Sumber : PERKENI, 2006
Keterangan: *metode enzimatik
b. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis Diabetes Mellitus
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 8
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata
kabur dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan
khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan
untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan
glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan
diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan menddapatkan sekali lagi
angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu
200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang
abnormal.
Cara pelaksanaan TTGO menurut WHO 1985:
1) 3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa
2) Kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan
3) Puasa semalam, selama 10-12 jam
4) Kadar glukosa darah puasa diperiksa
5) Diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgbb, dilarutkan dalam air 250 ml dan
diminum selama/dalam waktu 5 menit
6) Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa; selama pemeriksaan
subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
Kriteria diagnostik Diabetes Melitus*
1) Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl, atau
2) Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl (puasa berarti tidak ada masukan
kalori sejak 10 jam terakhir) atau
3) Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada
TTGO**
* Kriteria diagnostik tsb harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk keadaan
khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis atau berat
badan yang menurun cepat.
** Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 9
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
G. PENATALAKSANAAN DIABETES MELLITUS
Pilar Pengelolaan DM yaitu (Perkeni, 2006):
a. Edukasi
Diabetes tipe II umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi
aktif pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif, pengembangan keterampilan dan motivasi. Edukasi tersebut
meliputi pemahaman tentang:
1) Penyakit DM.
2) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM.
3) Penyulit DM.
4) Intervensi farmakologis dan non farmakologis.
5) Hipoglikemia.
6) Masalah khusus yang dihadapi.
7) Perawatan kaki pada diabetes.
8) Cara pengembangan sistem pendukung dan pengajaran keterampilan.
9) Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
Edukasi secara individual atau pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah
merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan Perilaku hampir sama dengan
proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan
evaluasi.
b. Perencanaan makanan
Biasanya pasien DM yang berusia lanjut terutama yang gemuk dapat dikendalikan
hanya dengan pengaturan diet saja serta gerak badan ringan dan teratur. Perencanaan makan
merupakan salah satu pilar pengelolan diabetes, meski sampai saat ini tidak ada satu pun
perencanaan makan yang sesuai untuk semua pasien. Perencanaan makan harus disesuaikan
menurut kebiasaan masing-masing individu. Yang dimaksud dengan karbohidrat adalah gula,
tepung, serat.
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 10
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
Faktor yang berpengaruh pada respon glikemik makanan adalah cara memasak,
proses penyiapan makanan, dan bentuk makan serta komposisi makanan (karbohidrat, lemak,
dan protein). Jumlah masukan kalori makanan yang berasal dari karbohidrat lebih penting
daripada sumber atau macam karbohidratnya. Gula pasir sebagai bumbu masakan tetap
diijinkan. Pada keadaan glukosa darah terkendali, masih diperbolehkan untuk mengkonsumsi
sukrosa (gula pasir) sampai 5 % kebutuhan kalori.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:
1) Karbohidrat 45 – 65%
2) Protein 10 – 20 %
3) Lemak 20 – 25 %
Makanan dengan komposisi sampai 70 – 75% masih memberikan hasil yang baik.
Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari, diusahakan lemak berasal dari sumber
asam lemak tidak jenuh MUFA (Mono Unsurated Fatty Acid), dan membatasi PUFA (Poli
Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat ± 25 g / hari,
diutamakan serat larut.
Jumlah kalori disesuaikan dengan status gizi,umur , ada tidaknya stress akut, kegiatan
jasmani. Untuk penentuan status gizi, dapat dipakai Indeks Massa tubuh (IMT) dan rumus
Broca.
Petunjuk Umum untuk Asupan Diet bagi Diabetes:
1) Hindari biskuit, cake, produk lain sebagai cemilan pada waktu makan.
2) Minum air dalam jumlah banyak, susu skim dan minuman berkalori rendah lainnya
pada waktu makan.
3) Makanlah dengan waktu yang teratur.
4) Hindari makan makanan manis dan gorengan.
5) Tingkatkan asupan sayuran dua kali tiap makan.
6) Jadikan nasi, roti, kentang, atau sereal sebagai menu utama setiap makan.
7) Minum air atau minuman bebas gula setiap anda haus.
8) Makanlah daging atau telor dengan porsi lebih kecil.
9) Makan kacang-kacangan dengan porsi lebih kecil
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 11
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
Tabel 3. Klasifikasi IMT (Asia Pasific)
Klasifikasi IMT (Asia Pasific)
Lingkar Perut
<90cm (Pria)
<80cm (Wanita)
>90cm (Pria)
>80cm (Wanita)
Risk of co-morbidities
BB Kurang <18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih >23,0 :
- Dengan risiko : 23,0-24,9
- Obes I : 25,0-29,9
- Obes II : ≥ 30
Rendah
Rata-rata
Meningkat
Sedang
Berat
Rata-rata
Meningkat
Sedang
Berat
Sangat berat
Sumber :Perkeni, 2006
c. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan jasmani teratur (3 – 4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes tipe II.
Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dimaksud ialahjalan,
bersepeda santai, jogging, berenang. Prinsip latihan jasmani yang dilakukan:
1) Continous:
Latihan jasmani harus berkesinambungan dan dilakukan terus menerus tanpa berhenti.
Contoh: Jogging 30 menit, maka pasien harus melakukannya selama 30 menit tanpa
henti.
2) Rhytmical:
Latihan olah raga dipilih yang berirama yaitu otot-otot berkontraksi dan relaksasi
secara teratur, contoh berlari, berenang, jalan kaki.
3) Interval:
Latihan dilakukan selang-seling antar gerak cepat dan lambat. Contoh: jalan cepat
diselingi jalan lambat, jogging diselangi jalan.
4) Progresive:
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 12
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
a. Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan, dari intensitas ringan
sampi sedang selama mencapai 30 – 60 menit.
b. Sasaran HR = 75 – 85 % dari maksimal HR.
c. Maksimal HR = 220 – (umur).
5). Endurance:
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi, seperti jalan
jogging dan sebagainya. Latihan dengan prinsip seperti di atas minimal dilakukan 3
hari dalam seminggu, sedang 2 hari yang lain dapat digunakan untuk melakukan olah
raga kesenangannya. Olah raga yang teratur memainkan peran yang sangat penting
dalam menangani diabetes, manfaat – manfaat utamanya sebagai berikut:
a) Olah raga membantu membakar kalori karena dapat mengurangi berat badan.
b) Olah raga teratur dapat meningkatkan jumlah reseptor pada dinding sel tempat
insulin bisa melekatkan diri.
c) Olah raga memperbaiki sirkulasi darah dan menguatkan otot jantung.
d) Olah raga meningkatkan kadar kolesterol “baik” dan mengurangi kadar kolesterol
“jahat”.
e) Olah raga teratur bisa membantu melepaskan kecemasan stress, dan ketegangan,
sehingga memberikan rasa sehat dan bugar.
c. Intervensi Farmakologis
1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan :
a) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid
b) Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion.
c) Penghambat glukoneogenesis : metformin
d) Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa.
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 13
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
Tabel 4. Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh terhadap penurunan A1C (Hb-
glikosilat)
2. Terapi Insulin (dibahas pada sub-bab selanjutnya)
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan
pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi,
harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda.
Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga
OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang
disertai dengan alasan klinik di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai dipilih
terapi dengan kombinasi tiga OHO.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 14
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja.
H. TERAPI INSULIN
Insulin adalah obat tertua dengan pengalaman klinis paling banyak yang hingga saat ini
masih digunakan untuk pengendalian hiperglikemia. Salah satu kelebihan insulin adalah
kemampuannya dalam menekan mediator inflamasi lebih banyak dibandingkan dengan obat-obat
hipoglikemik oral. Insulin juga paling efektif dalam menurunkan glukosa darah dan bila digunakan
dengan dosis yang adekuat dapat menurunkan kadar HbA1C sesuai dengan target yang diinginkan.
Tidak seperti obat-obat hipoglikemik oral, insulin tidak mempunyai dosis maksimum untuk
mencapai terapi. Dosis insulin relatif besar (> 1 unit/kgBB) dibandingkan yang diperlukan untuk
pengobatan DM tipe 1, mungkin penting untuk mengatasi resistensi insulin pada DM tipe 2 dan
menurunkan HbA1C sesuai dengan target yang diinginkan.
I. JENIS DAN LAMA KERJA INSULIN
Berdasar lama kerja , insulin terbagi menjadi 4 jenis, yakni :
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek, dan menengah (premixed insulin)
Walaupun terapi insulin inisial ditujukan untuk meningkatkan suplai insulin basal, biasanya
dengan insulin kerja menengah atau panjang, pasien-pasien dapat juga memerlukan terapi insulin
prandial dengan insulin kerja singkat atau insulin kerja cepat. Terapi insulin bermanfaat dalam
menurunkan kadar triasilgliserol dan meningkatkan kadar kolesterol HDL, khususnya pada pasien-
pasien dengan kendali glukosa darah yang buruk, namun dihubungkan dengan peningkatan berat
badan. Terapi insulin juga dihubungkan dengan hipoglikemia. Insulin analog kerja panjang dan
peak less dapat menurunkan risiko hipoglikemia lebih baik dibandingkan dengan insulin NPH
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 15
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
kerja menengah. Insulin analog kerja singkat dan cepat mempunyai risiko hipoglikemia lebih
rendah dibandingkan dengan insulin regular.
J. INDIKASI PEMBERIAN TERAPI INSULIN
Terapi insulin secara klasik diindikasikan pada kondisi-kondisi seperti DM tipe 1,
hiperglikemia pada critically ill, infeksi, berat badan kurang, DM gestasional dan kendali glukosa
darah buruk. Tulisan ini selanjutnya membahas tentang penggunaan insulin pada kondisi glukosa
darah yang tidak terkendali dengan modifikasi gaya hidup dan obat-obat oral atau pada kasus
dengan kendali glukosa darah sangat buruk.
Menurut panduan pengobatan DM tipe 2 dari American Diabetes Association, terapi insulin
merupakan salah satu opsi tambahan bila langkah pertama pengobatan dengan kombinasi
modifikasi gaya hidup dan metformin gagal mencapai target HbA1C yang diinginkan, yaitu < 7%.
Insulin pertama yang digunakan adalah insulin basal kerja menengah yang diberikan sebelum tidur
malam atau insulin basal kerja panjang pagi atau sebelum tidur malam, dengan dosis inisial 10 unit
atau 0,2 unit/kgBB. Dosis dapat ditingkatkan 2-4 unit setiap 3-4 hari bila glukosa darah puasa
belum mencapai target yang dinginkan (70-130 mg/dL). Bila terjadi hipoglikemia atau kadar
glukosa darah <70mg/dL, dosis insulin basal malam dikurangi 4 unit atau lebih kurang 10% dari
dosis sebelumnya.
Bila target HbA1C tercapai (<7%) setelah terapi selama 3 bulan maka terapi dapat
diteruskan dan HbA1C sebaiknya diperiksa setiap 3 bulan. Namun sebaliknya, bila target HbA1C
tidak tercapai (>7%) setelah terapi selama 3 bulan maka perlu dilakukan beberapa langkah sebagai
berikut. Jika glukosa darah puasa dalam kisaran target (70-130 mg/dL), maka harus dilakukan
pemeriksaan glukosa darah sebelum makan siang, sebelum makan malam dan sebelum tidur
malam. Jika glukosa darah sebelum makan siang, makan malam dan tidur malam di luar kisaran
target maka perlu ditambahkan insulin kerja cepat masing-masing pada saat makan pagi, makan
siang dan makan malam, biasanya dapat dimulai dengan dosis 4 unit dan dapat dinaikkan sebesar 2
unit tiap 3 hari hingga target glukosa darah tercapai. Jika dalam waktu 3 bulan target tercapai
(HbA1C <7%) maka terapi dapat dilanjutkan dan HbA1C diperiksa tiap 3 bulan. Namun jika dalam
waktu 3 bulan target tetap tidak tercapai, maka glukosa darah sebelum makan (pre-meal) perlu
dicek kembali dan jika hasilnya tetap di luar kisaran target maka diperlukan injeksi tambahan. Jika
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 16
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
target HbA1C tetap tidak tercapai maka periksa glukosa darah 2 jam post-prandial dan dosis insulin
pre-prandial dapat dinaikkan.
Inisiasi insulin juga dapat langsung diberikan pada penyandang DM tipe 2 naif dengan
kadar HbA1C >9% dengan gejala dekompensasi metabolik yang nyata. Menurut American
Association of Clinical Endocrinologist, pada kondisi ini dapat langsung diberikan insulin prandial
dengan atau tanpa obat lain seperti pramlintide. Pada saat pemberian insulin prandial dosis multipel
ini maka obat-obat oral berupa insulin secretagogue harus dihentikan.
K. CARA PENYUNTIKAN INSULIN
- Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan arah alat
suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
- Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.
- Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antarainsulin kerja pendek dan kerja
menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak terdapat sediaan insulin
campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan
pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut.
- Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara penyimpanan insulin harus dilakukan
dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
- Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin,semprit insulin dan jarumnya
dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama.
- Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin (jumlah unit/mL) dengan semprit yang
dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan dipakai konsentrasi yang tetap. Saat ini
yang tersedia hanya U100.
L. EFEK SAMPING TERAPI INSULIN
a. Hipoglikemia
Komplikasi terapi insulin yang paling penting adalah hipoglikemia. Terapi insulin intensif
untuk mencapai sasaran kendali glukosa darah yang normal atau mendekati normal
cenderung meningkatkan risiko hipoglikemia. Edukasi terhadap pasien dan penggunaan
rejimen terapi insulin yang mendekati fisiologis dapat mengurangi frekuensi hipoglikemia.
b. Peningkatan berat badan
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 17
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
Pada pasien dengan kendali glukosa yang buruk, peningkatan berat badan tidak dapat
dihindari karena terapi insulin memulihkan massa otot dan lemak (pengaruh anabolik
insulin). Penyebab peningkatan berat badan yang lain adalah makan yang berlebihan serta
kebiasaan mengudap untuk menghindari hipoglikemia. Pasien yang menjalani terapi insulin
umumnya melakukan diet yang lebih longgar dibandingkan dengan diet ketat saat terapi
dengan obat antidiabetik oral. Hal tersebut juga dapat menyebabkan peningkatan berat
badan.
c. Edema insulin
Edema dapat muncul pada pasien yang memiliki kendali glukosa darah buruk (termasuk
pasien KAD) akibat retensi garam dan air yang akut. Edema dapat menghilang secara
spontan dalam beberapa hari. Kadang-kadang dibutuhkan terapi diuretika untuk
menatalaksana hal tersebut.
d. Reaksi lokal terhadap suntikan insulin
Lipohipertrofi merupakan pertumbuhan jaringan lemak yang berlebihan akibat pengaruh
lipogenik dan growth-promoting dari kadar insulin yang tinggi di tempat penyuntikan. Hal
itu dapat muncul pada pasien yang menjalani beberapa kali penyuntikan dalam sehari dan
tidak melakukan rotasi tempat penyuntikan. Lipoatrofi adalah hilangnya jaringan lemak
pada tempat penyuntikan. Saat ini, dengan penggunaan sediaan insulin yang sangat murni,
lipoatrofi sudah sangat jarang terjadi.
e. Alergi
Saat ini, dengan penggunaan sediaan insulin yang sangat murni, alergi insulin sudah sangat
jarang terjadi.
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 18
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
BAB III
KESIMPULAN
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah pankreas dapat menghasilkan cukup jumlah insulin untuk
metabolisme glukosa (gula), tetapi tubuh tidak mampu untuk memanfaatkan secara efisien. Seiring
waktu, penurunan produksi insulin dan kadar glukosa darah meningkat.
Gambaran klinis terjadinya DM tipe 2 ini yaitu melalui keluhan klasik seperti penurunan berat badan,
banyak kencing, banyak minum, banyak makan. adapun keluhan lain yang terjadi yaitu gangguan saraf
tepi / kesemutan, gatal / bisul, gangguan ereksi dan keputihan. Faktor risiko DM tipe 2 seperti genetik,
usia, stres, minim gerak, pola makan yang salah, dan obesitas.
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 yaitu melalui Edukasi, Perencanaan Makan, Aktivitas
fisik dan Pengobatan (OHO dan terapi insulin).
Kelebihan terapi insulin adalah kemampuannya dalam menekan mediator inflamasi lebih
banyak dibandingkan dengan obat-obat hipoglikemik oral. Insulin juga paling efektif dalam
menurunkan glukosa darah dan bila digunakan dengan dosis yang adekuat dapat menurunkan kadar
HbA1C sesuai dengan target yang diinginkan. Tidak seperti obat-obat hipoglikemik oral, insulin tidak
mempunyai dosis maksimum untuk mencapai terapi. Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di
bawah kulit (subkutan), dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
Efek samping insulin antara lain hipoglikemi, peningkatan berat badan, edema insulin, reaksi
lokal terhadap suntikan insulin, alergi.
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 19
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014
REFERAT – ILMU PENYAKIT DALAM
DAFTAR PUSTAKA
1. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006.
http://penyakitdalam.files.wordpress.com/2014/01/konsensus-pengelolaan-dan-pencegahan-
diabetes-melitus-tipe-2-di-indonesia-2006.pdf
2. Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes Melitus.
3. Shahab, Alwi, 2006. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus (Disarikan Dari Konsensus
Pengelolaan Diabetes Melitus Di Indonesia : Perkeni 2006). Subbagian Endokrinologi Metabolik,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fk Unsri/ Rsmh Palembang, Palembang.
4. Kusnadi, Y. 2010. Inisiasi dini dan Intensifikasi Terapi Insulin dalam Manajemen Diabetes Melitus
Tipe 2. Subbagian Endokrin Metabolik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Muhammad Hoesin Palembang.
5. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi I., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, FK UI:
Jakarta.
6. Perkeni. 2011. Empat Pilar Pengelolaan Diabetes.[online]. (diupdate 11 November 2011).
http://www.smallcrab.com/ .[diakses 03 Januari 2014].
TERAPI INSULIN PADA DM TIPE 2, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Wates 20