Download - Phacoemulsification Catarac Surgery
REFERAT
PHACOEMULPHACOEMULSIFICATION CATARACT SURGERYSIFICATION CATARACT SURGERY
disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik madya
LAB/SMF Ilmu Kesehatan Mata RSUD dr. Soebandi Jember
Pembimbing :dr. Bagas Kumoro, Sp.M
Oleh :Chandra Permana, S. Ked (102011101066)
Irwan Prasetyo, S. Ked (082011101078)
LAB/SMF ILMU KESEHATAN MATA RSD dr. SOEBANDIFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2014i
DAFTAR ISI
Halaman
BAB 1. PENDAHULUAN............................................................................. 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 4
2.1 Anatomi dan Fisiologi Lensa.................................................... 4
2.1.1 Struktur Anatomi Lensa................................................... 4
2.1.2 Komposisi Kimia Lensa.................................................. 6
2.1.3 Fisiologi Lensa................................................................ 7
2.2 Katarak Senilis.......................................................................... 8
2.2.1 Definisi dan Epidemiologi Katarak Senilis..................... 8
2.2.2 Etiologi dan Patofisiologi Katarak Senilis....................... 8
2.2.3 Stadium dan Gradasi Katarak Senilis.............................. 9
2.3 Fakoemulsifikasi....................................................................... 11
2.3.1 Definisi Fakoemulsifikasi................................................ 12
2.3.2 Cara Kerja Fakoemulsifikasi........................................... 12
2.3.3 Indikasi dan Kontraindikasi Fakoemulsifikasi................ 13
2.3.4 Keuntungan Teknik Operasi Fakoemulsifikasi............... 13
2.3.5 Persiapan Pre - Operasi Fakoemulsifikasi....................... 14
2.3.6 Prosedur Tindakan Teknik Operasi Fakoemulsifikasi..... 15
2.3.7 Inflamasi Pasca Bedah Fakoemulsifikasi........................ 20
BAB 3. PENUTUP ........................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 24
ii
BAB I PENDAHULUAN
Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di
seluruh dunia, oleh karena itu bedah katarak menjadi tindakan bedah yang paling
banyak dilakukan oleh dokter spesialis mata. Sejalan perkembangan ilmu kedokteran
dan teknologi, maka terjadi pula perubahan yang evolutif maupun revolusioner dalam
pembedahan katarak. Hal itu sejalan dengan perubahan paradigma oftalmologi dari
rehabilitasi kebutaan menjadi optimalisasi fungsi penglihatan. Optimalisasi fungsi
penglihatan akan meningkatkan kualitas kehidupan karena mata merupakan jalur
utama informasi sehari-hari.(1,2)
Katarak merupakan suatu kelainan mata berupa kekeruhan pada lensa,
disebabkan oleh pemecahan protein oleh proses oksidasi dan foto-oksidasi.(3)
Klasifikasi katarak berdasarkan onset usia terjadinya dibagi menjadi katarak
kongenital, katarak juvenil, dan katarak senilis.(4) Katarak senilis merupakan jenis
katarak yang paling banyak ditemukan. Pasien katarak senilis diperkirakan mencapai
90% dari seluruh kasus katarak.(4) Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terjadi
karena proses degenerasi dan biasanya mulai timbul pada usia diatas 40 tahun.(2,3)
Berdasarkan maturitasnya katarak senilis dibagi menjadi 4 stadium yaitu stadium
insipien, stadium imatur, stadium matur dan stadium hipermatur.(2)
Angka kebutaan di Indonesia adalah yang tertinggi yaitu 1,5% dari jumlah
penduduk dibandingkan dengan angka kebutaan negara-negara di Regional Asia
Tenggara (Bangladesh 1%, India 0,7%, Thailand 0,3%). Penyebab utamanya adalah
katarak yakni sebanyak 2 juta orang dan setiap tahun bertambah sekira 240 ribu
penderita katarak baru. Menurut data survei kesehatan rumah tangga kesehatan
nasional (SKTR-SUSKERNAS), prevalensi katarak di Indonesia sebesar 4,99%,
prevalensi katarak di Jawa dan Bali sebesar 5,48% lebih tinggi dibandingkan dengan
daerah lainnya.(5,6)
1
Tindakan bedah katarak bertujuan untuk menghasilkan optimalisasi fungsi
penglihatan bercirikan pemulihan yang cepat, terukur dengan efek samping yang
minimal, stabilitas jangka panjang, serta memberikan kepuasan pada penderita . (7)
Tidak semua bedah katarak mencapai tujuan, banyak faktor yang mempengaruhinya
termasuk komplikasi pembedahan. Komplikasi operasi katarak sangat bervariasi
tergantung waktu serta ruang lingkupnya.(1,8) Komplikasi dapat terjadi pada periode
intraoperatif diantaranya iris prolaps, trauma iris, hifema, robek kapsul posterior dan
vitreous loss. Komplikasi pasca operasi diantaranya edema kornea dan endoftalmitis,
bullous keratopathy, malposisi/ dislokasi lensa intra okular (LIO), cystoid macular
edema (CME), ablasio retina, uveitis, peningkatan tekanan intra okular dan posterior
capsular opacification.(9)
Bedah katarak telah mengalami perubahan dramatis selama 30 tahun terakhir
ini dengan diperkenalkannya mikroskop operasi dan peralatan bedah mikro,
perkembangan lensa intraokular, dan perubahan-perubahan tekhnik anestesi lokal.
Perbaikan lanjutan terus berjalan, dengan peralatan otomatis dan berbagai modifikasi
lensa intraokular yang memungkinkan dilakukannya operasi melalui insisi kecil.(10)
Metode operasi yang umum dipakai untuk katarak dewasa atau anak-anak
adalah meninggalkan bagian posterior kapsul lensa sehingga dikenal sebagai ektraksi
katarak ekstrakapsular. Penanaman lensa intraokular merupakan bagian dari prosedur
ini. Insisi dibuat pada limbus atau kornea perifer, bagian superior atau temporal. Pada
ekstraksi katarak ekstrakapsular bentuk ekspresi nukleus, nukleus lensa dikeluarkan
dalam keadaan utuh, tetapi prosedur ini memerulukan insisi yang relatif besar.
Dengan berkembangnya tekhnologi yang semakin cepat, ditemukanlah tekhnik
dengan menggunakan fakoemulsifikasi dan mengalami perkembangan yang cepat dan
telah mencapai taraf bedah refraktif oleh karena mempunyai beberapa kelebihan,yaitu
rehabilitasi visus yang cepat, komplikasi post operasi yang ringan, dan astigmat
akibat operasi yang ringan. Teknik ini bermanfaat pada katarak kongenital, traumatik,
dan kebanyakan katarak senilis. Teknik ini kurang efektif pada katarak senilis padat,
2
dan keuntungan incisi limbus yang kecil agak kurang kalau akan dimasukkan lensa
intraokuler, meskipun sekarang lebih sering digunakan lensa intra okular fleksibel
yang dapat dimasukkan melalui incisi kecil seperti itu.(10)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Lensa
2.1.1 Struktur Anatomi Lensa
Lensa merupakan bagian dari sistem optik yang mempunyai sifat transparan,
avaskuler, dan tidak berwarna. Bersama dengan kornea, lensa berfungsi untuk
menfokuskan cahaya ke elemen sensoris retina. Untuk dapat melaksanakan fungsinya
tersebut, diperlukan sifat transparan dari lensa dan juga indek refraksi yang lebih
tinggi dari cairan disekelilingnya. Transparansi tergantung pada organisasi struktur
seluler dari lensa dan matrik protein pada serat sitoplasma lensa. Lensa mempunyai
kekuatan refraksi 15-20 dioptri dan mempunyai kemampuan untuk berubah bentuk
saat akomodasi karena bantuan otot-otot siliaris. Indek refraksi yang tinggi terjadi
karena adanya konsentrasi yang sangat tinggi dari protein lensa terutama protein larut
air (water soluble protein) yang disebut kristalin. Kemampuan akomodasi lensa akan
berkurang seiring bertambahnya usia.(11,12)
Secara umum lensa dapat dibagi menjadi beberapa komponen yaitu kapsul
lensa, sel epitel lensa, korteks, dan nukleus (Gambar 2.1). Lensa di bungkus oleh
kapsul lensa pada bagian luar dan berbentuk bikonvek. Kapsul lensa merupakan
membran elastis dan aseluler yang melapisi lensa. Kapsul tersusun dari serat-serat
kolagen tipe IV, beberapa serat kolagen lain dan komponen matriks ekstraseluler
seperti glikosaminoglikan, laminin, fibronektin dan proteoglikan. Kapsul lensa
merupakan membran halus, homogen dan tidak mengandung pembuluh darah serta
bersifat semipermeabel sehingga dapat dilalui oleh air dan elektrolit. Kapsul lensa
terdiri dari kapsul anterior dan kapsul posterior. Kapsul anterior melapisi bagian
epitel lensa anterior dan berukuran lebih tebal dibandingkan bagian posterior.
Ketebalan kapsul lensa bervariasi dimana yang paling tebal terdapat di daerah ekuator
dan yang paling tipis di daerah polus posterior. Kelengkungan bagian anterior lensa
berbeda dengan kelengkungan bagian posterior dimana kelengkungan bagian
4
posterior dengan radius kurvatura 10.0 mm sedangkan kelengkungan anterior dengan
radius kurvatura 6.0 mm.(11)
Gambar 2.1 Anatomi Lensa(Sumber: American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b)
Gambar 2.2 Histologi Lensa(Sumber: http://duniamata.blogspot.com/2010/05/struktur-lainnya-lensa-kristalina.html&usg)
Lapisan epitel hanya terdapat pada bagian anterior lensa yang terdiri dari
selapis sel epitel kuboid yang tersusun ireguler. Di sinilah terjadinya aktivitas
metabolisme dan transport aktif yang membawa keluar seluruh hasil aktivitas sel
normal termasuk Deoxyribonucleic Acid (DNA), Ribonucleic Acid (RNA), protein
dan sintesis lipid. Di sini pula terbentuk Adenosine Triphosphate (ATP) yang
dibutuhkan oleh lensa untuk transport nutrisi karena lensa merupakan organ
avaskuler.(4,11)
5
Korteks lensa merupakan bagian yang lebih lunak daripada nukleus lensa.
Nukleus merupakan serat massa lensa yang terbentuk sejak lahir dan korteks
merupakan serat baru yang terbentuk setelah lahir. Sesuai dengan bertambahnya usia,
serat-serat lamelar subepitel terus berproduksi, sehingga lama kelamaan lensa
menjadi lebih besar dan kurang elastis. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamela
konsentris yang panjang. Tempat bertemunya lamela-lamela ini berbentuk Y yang
dapat dilihat dengan menggunakan slit lamp dengan bagian tegak di anterior dan
terbalik di posterior. Lensa secara terus menerus membentuk serat-serat baru dimana
serat yang lebih dulu dibentuk akan tergeser dan tertekan ke bagian tengah lensa
sehingga menjadi bagian dari nukleus lensa yang tidak elastis, oleh karena itu ukuran
nukleus lensa yang tidak elastis akan bertambah besar.(11,12)
2.1.2 Komposisi Kimia Lensa
Komposisi kimia lensa terdiri dari membran dan protein lensa. Komposisi
membran sel serat lensa sangat stabil dan rigid. Mengandung konsentrasi tinggi
fosfolipid terutama dihidrospingomyelin dan kolesterol dimana semuanya berperan
dalam memberikan kekuatan membran sel lensa (Gambar 2.3). Walaupun lipid pada
lensa hanya 1% dari total massa lensa, namun merupakan 55% dari berat kering
membran sel lensa. Seiring bertambahnya umur, rasio protein berbanding lipid dan
rasio kolesterol berbanding fosfolipid meningkat terutama pada nukleus.(11,13)
Gambar 2.2 Komposisi Lipid Membran Sel Lensa(Sumber: Borchman dan Yappert, 2011)
6
Lensa mempunyai kadar protein yang tinggi yaitu 35% dari berat lensa.
Terdapat 2 bentuk protein lensa yaitu protein larut air (water soluble protein) dan
protein tidak larut air (water insoluble protein). Protein larut air terdiri dari kristalin
ά, ß, γ yang dibedakan berdasarkan titik isoelektrik dan berat molekulnya. Kristalin
merupakan protein spesifik yang terdapat pada lensa. Pembentukannya di mulai pada
saat awal diferensiasi lensa dan selanjutnya pembentukannya terbatas. Dengan
demikian protein lensa adalah protein tertua yang masih berada di dalam tubuh.
Fungsi kristalin antara lain sebagai penentu tingginya indek refraksi lensa, penentu
faktor genetik dan juga sebagai antioksidan. Sedangkan protein tidak larut air terdiri
dari albuminoid, protein membran, yang berfungsi sebagai media transport melalui
membran dan sitoskeletal protein yang merupakan elemen protein pada kapsul lensa
dan berfungsi pada saat akomodasi.(11,14)
2.1.3 Fisiologi Lensa
Energi yang dibutuhkan lensa terutama dihasilkan melalui jalur metabolisme
glikolisis anaerob. Hal ini adalah konsekuensi lensa sebagai jaringan avaskuler,
dimana kadar oksigen di dalam lensa lebih rendah dibandingkan jaringan tubuh
lainnya. Glukosa sebagai sumber utama energi lensa berasal dari aqueous humor dan
masuk ke dalam lensa secara difusi. Selain glikolisis anaerob, lensa memiliki jalur
metabolisme glukosa alternatif yaitu jalur sorbitol dan hexose monophosphat (HMP)
shunt. Kedua jalur ini akan teraktivasi pada kondisi stres oksidatif yang akan timbul
pada keadaan glukosa yang berlebihan. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa
jalur HMP shunt yang teraktivasi akan menghasilkan nicotinamide-adenine
dinucleotide phosphate (NADPH) tereduksi. Senyawa ini diperlukan untuk
menghasilkan glutation reduktase, suatu enzim yang berperan pada sistem reduksi-
oksidasi di lensa. Enzim ini memiliki fungsi menetralisir radikal bebas yang terbentuk
pada kondisi stres oksidatif dengan cara mengkatalis reaksi antara radikal bebas dan
glutation. Sebagian kecil glukosa juga akan mengalami metabolisme aerob melalui
siklus krebs. Proses ini terutama berlangsung di sel epitel lensa dan sel serat lensa
7
superfisial. Metabolisme aerob ini akan menghasilkan radikal bebas endogen yang
dapat mengganggu fungsi fisiologi lensa.(4,15)
2.2 Katarak Senilis
2.2.1 Definisi dan Epidemiologi Katarak Senilis
Katarak merupakan kekeruhan pada lensa mata yang mengenai satu atau
kedua mata dan dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, metabolik, traumatik dan
proses degenerasi.(16) World Health Organization (WHO) melaporkan kurang lebih 37
juta penduduk dunia mengalami kebutaan, dan 47,8% dari jumlah tersebut
disebabkan oleh katarak.(4,17) Berdasarkan survei nasional pada tahun 1993-1996,
angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5% dari total jumlah penduduk dan
merupakan angka kebutaan tertinggi di Asia Tenggara. Dari hasil survei tersebut,
katarak merupakan penyebab kebutaan yang terbanyak di Indonesia yaitu sebanyak
0,78%.(18)
Katarak senilis merupakan jenis katarak yang paling banyak ditemukan.
Pasien katarak senilis diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus katarak.(4)
Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terjadi karena proses degenerasi dan
biasanya mulai timbul pada usia di atas 50 tahun.(3,16)
2.2.2 Etiologi dan Patofisiologi Katarak Senilis
Etiologi katarak bersifat multifaktorial dan sampai saat ini belum sepenuhnya
diketahui secara pasti. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap terjadinya
katarak antara lain umur, genetik, diabetes melitus, kekurangan gizi antara lain
defisiensi vitamin A,C,E, pemakaian obat-obatan tertentu serta faktor lingkungan
seperti paparan sinar ultraviolet dan merokok. Faktor terpenting yang mempengaruhi
terjadinya kekeruhan lensa pada katarak senilis adalah usia.(3) Namun secara spesifik
sangat sulit menentukan faktor yang paling berperan dalam etiologi katarak.(14,19)
Kejernihan lensa dihasilkan dan dipertahankan oleh struktur sel serat lensa
yang teratur, kadar protein kristalin yang tinggi, keseimbangan cairan dan elektrolit,
8
metabolisme aerob yang minimal dan sistem reduksi oksidasi untuk mengatasi stres
oksidatif dalam lensa. Katarak dapat terjadi karena disorganisasi struktur seluler serat
lensa dan protein lensa, serta terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga terjadi peningkatan volume air pada lensa yang menyebabkan kekeruhan
lensa.(3,4) Proses terbentuknya katarak ditandai dengan terjadinya hidrasi akibat
perubahan tekanan osmotik atau perubahan permeabilitas kapsul lensa serta
denaturasi protein yang ditandai dengan peningkatan protein tidak larut air sehingga
terjadi kekeruhan lensa.(3)
Salah satu teori tentang etiologi katarak senilis yang banyak berkembang
belakangan ini adalah mekanisme stres oksidatif. Lensa mata sangat sensitif terhadap
terjadinya stres oksidatif. Seiring bertambahnya usia dan adanya paparan yang terus-
menerus oleh agen dari luar, akan menyebabkan gangguan mekanisme proteksi
antioksidan lensa mata. Namun tidak dapat ditentukan secara pasti pada umur berapa
mulai timbulnya katarak dalam hubungannya dengan stres oksidatif karena banyak
faktor yang berpengaruh dan berbeda-beda pada masing-masing individu.(20,21,22) Hasil
akumulasi dari stres oksidatif menyebabkan gangguan fungsi metabolisme lensa,
agregasi protein lensa, peningkatan protein tidak larut air (water insoluble protein)
sehingga menyebabkan gangguan transparansi lensa dan terjadi katarak.(4,21,23)
2.2.3 Stadium dan Gradasi Katarak Senilis
Katarak senilis secara klinis dapat dibagi menjadi empat stadium berdasarkan
maturitasnya yaitu stadium insipien, imatur, matur dan hipermatur. Pada katarak
senilis stadium insipien kekeruhan terjadi pada permulaan dan hanya tampak bila
pupil dilebarkan. Kekeruhan tidak teratur seperti bercak-bercak yang membentuk
gerigi dengan dasar di perifer dan daerah jernih diantaranya. Pada stadium ini
terdapat keluhan poliopia karena indek refraksi yang tidak sama pada semua lensa.
Pasien dengan katarak senilis stadium insipien biasanya tanpa keluhan dan sering
ditemukan pada pemeriksaan rutin mata. Visus dengan koreksi masih bisa mencapai
6/6. Stadium selanjutnya adalah imatur. Pada katarak senilis stadium imatur terjadi
9
kekeruhan yang lebih tebal tetapi tidak atau belum mengenai seluruh bagian lensa
sehingga masih terdapat bagian-bagian yang jernih pada lensa. Pada stadium ini
terjadi hidrasi korteks karena meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang
degeneratif, mengakibatkan lensa menjadi bertambah cembung. Pencembungan lensa
ini akan memberikan perubahan indek refraksi dimana mata akan cenderung menjadi
lebih miopia dan juga mengakibatkan pendorongan iris ke depan sehingga sudut bilik
mata depan akan lebih sempit. Tes bayangan iris serta reflek fundus pada keadaan ini
positif. Pada katarak senilis stadium matur, kekeruhan telah mengenai seluruh masa
lensa. Hal ini terjadi karena proses degenerasi berjalan terus sehingga terjadi
pengeluaran air bersama hasil disintegritas melalui kapsul lensa. Dalam stadium ini,
lensa akan berukuran normal kembali. Bila dilakukan tes bayangan iris dan reflek
fundus akan terlihat hasil negatif. Stadium terakhir adalah stadium hipermatur,
dimana terjadi proses degenerasi lanjut lensa sehingga korteks lensa mencair dan
dapat keluar melalui kapsul lensa. Lensa mengeriput dan berwarna kuning. Akibat
pengeriputan lensa dan mencairnya korteks, maka korteks memperlihatkan bentuk
sebagai sekantong susu disertai nukleus lensa tenggelam disebut katarak morgagnian.
Lensa yang mengecil menyebabkan bilik mata depan menjadi dalam. Tes bayangan
iris memberikan gambaran pseudopositif.(3,16)
Tingkat kekeruhan lensa pada katarak senilis dapat dibagi menjadi lima
gradasi berdasarkan klasifikasi Buratto. Gradasi 1 biasanya ditandai dengan visus
yang masih lebih baik dari 6/12, lensa tampak sedikit keruh dengan warna agak
keputihan, dan refleks fundus masih dengan mudah dapat dilihat. Gradasi 2 ditandai
dengan nukleus yang mulai sedikit berwarna kekuningan, visus antara 6/12 sampai
6/30, dan refleks fundus juga masih mudah diperoleh. Katarak Gradasi 3 ditandai
dengan nukleus berwarna kuning dan korteks yang berwarna keabu-abuan, visus
antara 3/60 sampai 6/30. Gradasi 4 ditandai dengan nukleus yang sudah berwarna
kuning kecoklatan, dengan usia pasien biasanya sudah lebih dari 65 tahun, dan visus
10
biasanya antara 3/60 sampai 1/60. Gradasi 5 ditandai dengan nukleus berwarna coklat
hingga kehitaman, visus biasanya 1/60 atau lebih jelek.(3)
2.3 Fakoemulsifikasi
Popularitas fakoemulsifikasi dapat dilihat dari jumlah operasi katarak dengan
teknik fakoemulsifikasi yang meningkat sangat pesat di berbagai belahan dunia.
Tahun 1985, perbandingan operasi katarak adalah 90% Extra Capsular Cataract
Extraction (ECCE) dan hanya 10% dengan teknik fakoemulsifikasi. Perbandingan
tersebut menjadi terbalik dalam waktu 10 tahun yaitu pada tahun 1995, dimana
operasi katarak dengan fakoemulsifikasi mencapai 85% dan ECCE hanya 15%
sisanya.(1)
Gambar 2.4 Fakoemulsifikasi(Sumber: Ophtalmology - A Pocket Textbook Atlas 2nd Ed.)
11
2.3.1 Definisi Fakoemulsifikasi
Fakoemulsifikasi berasal dari 2 kata, yaitu phaco (lensa) dan emulsification
(menghancurkan menjadi bentuk yang lebih lunak). Fakoemulsifikasi adalah teknik
operasi pembedahan katarak dengan menggunakan peralatan ultrasonic yang akan
bergetar dan menghancurkan lensa mata yang mengeruh, kemudian lensa yang telah
hancur berkeping-keping akan dikeluarkan dengan menggunakan alat phaco, diikuti
dengan insersi lensa buatan intraocular pada posisi yang sama dengan posisi lensa
mata sebelumnya.(24) Fakoemulsifikasi merupakan salah satu teknik ekstraksi katarak
ekstrakapsular yang berbeda dengan ekstraksi katarak ekstrakapsular standar (dengan
ekspresi dan pengangkatan nukleus dengan insisi yang lebar).
Gambar 2.5 Sistem Fakoemulsifikasi Modern(Sumber: http://www.surgeryencyclopedia.com/Pa-St/Phacoemulsification-for-
Cataracts.html#ixzz2YJAR1Pl8.)
2.3.2 Cara Kerja Fakoemulsifikasi
Fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak menggunakan sayatan kecil
sekitar 1,5 mm sampai 3 mm dengan implantasi lensa intra okular lipat (foldable)
sehingga penutupan luka dapat tanpa jahitan. Cara kerja sistem fakoemulsifikasi
adalah menghancurkan lensa melalui ultrasonic probe yang mempunyai tip needle
yang mampu bergetar dengan frekuensi yang sangat tinggi yaitu setara dengan 12
frekuensi gelombang ultrasound.(4) Massa lensa yang sudah dihancurkan akan
diaspirasi melalui rongga pada tip fakoemulsifikasi untuk kemudian dikeluarkan dari
dalam mata melalui selang aspirasi pada mesin fakoemulsifikasi.(7,25) Teknologi mesin
fakoemulsifikasi saat ini sudah memungkinkan mengeluarkan lensa dengan teknik
fako bimanual, sehingga insisi kornea hanya sebesar 1,5 mm saja.(1)
2.3.3 Indikasi dan Kontraindikasi Fakoemulsifikasi
Indikasi pembedahan katarak dengan menggunakan teknik fakoemulsifikasi
adalah sebagai berikut:
a) Pasien tidak memiliki riwayat penyakit endotel,
b) Pada pemeriksaan dijumpai bilik mata yang dalam,
c) Pupil pasien dapat dilebarkan hingga 7 mm.
Sedangkan kontraindikasi untuk dilakukannya teknik fakoemulsifikasi adalah
a) Dijumpai adanya tanda-tanda infeksi,
b) Adanya luksasi atau subluksasi lensa.
2.3.4 Keuntungan Teknik Operasi Fakoemulsifikasi
Secara teori operasi katarak dengan teknik Fakoemulsifikasi mengalami
perkembangan yang cepat dan telah mencapai taraf bedah refraktif oleh karena
mempunyai beberapa kelebihan yaitu rehabilitasi visus yang cepat, komplikasi
setelah operasi yang ringan, astigmat akibat operasi yang minimal dan penyembuhan
luka yang cepat.
Kelebihan penggunaan teknik fakoemulsifikasi pada operasi katarak menurut
Kanski dan Bowling dalam Clinical Ophtalmology A Systemic Approach adalah
sebagai berikut:(24)
a) Kinder cut, pemotongan yang lebih nyaman untuk pasien.
b) Smaller incision, insisi terdahulu biasanya 2.7 mm, dengan MICS hanya 1.8
mm. Implikasinya adalah insisi tersebut terlalu kecil untuk dapat menyebabkan
13
kornea melengkung dengan abnormal, dan menyebabkan astigmatisme (efek
samping yang biasa terjadi pada operasi katarak) serta kecilnya insisi tersebut
juga sangat menekan resiko terhadap terjadinya infeksi.
c) Easy to operate, karena sedikit sekali cairan yang mungkin keluar dari insisi
mikro tersebut maka tekanan pada mata cenderung stabil, sehingga
memudahkan para dokter melakukan tindakan operasi.
d) Heals faster, setelah 1-2 hari tindakan, pasien sudah bisa kembali beraktivitas.
Rasa tidak nyaman setelah operasi, hilang dalam 3 hari.
Tujuan dari teknik operasi ini adalah agar penderita katarak dapat memperoleh
tajam penglihatan terbaik tanpa koreksi dengan cara membuat sayatan sekecil
mungkin untuk mengurangi induksi astigmatisme pasca operasi.(7) Prosedur ini
efisien, terutama jika operasi yang lancar umumnya dikaitkan dengan hasil
penglihatan yang baik. Insiden CME pada teknik fakoemulsifikasi yang mengalami
komplikasi intra operatif lebih rendah karena konstruksi insisi luka yang kecil dan
stabilitas yang lebih besar dibandingkan dengan teknik bedah katarak lain.(26)
Kelemahan fakoemulsifikasi diantaranya mesin yang mahal, learning curve lebih
lama, dan biaya pembedahan yang tinggi.(25)
2.3.5 Persiapan Pre - Operasi Fakoemulsifikasi
Persiapan yang harus dilakukan sebelum dilakukannya operasi menggunakan
teknik Fakoemulsifikasi adalah sebagai berikut:
a) Pasien sebaiknya di rawat di rumah sakit semalam sebelum operasi,
b) Pemberian informed consent,
c) Bulu mata dipotong dan dibersihkan dengan povidone-iodine 5%,
d) Pemberian tetes antibiotik tiap 6 jam,
e) Pemberian sedatif ringan (Diazepam 5 mg) pada malam harinya bila pasien
cemas,
f) Pada hari operasi pasien dipuasakan,
14
g) Pupil dilebarkan dengan midriatika tetes sekitar 2 jam sebelum operasi.
2.3.6 Prosedur Tindakan Teknik Operasi Fakoemulsifikasi
Terdapat beberapa hal penting pada bedah katarak fakoemulsifikasi dengan
penanaman lensa intraokuler, yang sangat erat kaitanya dengan reaksi inflamasi pasca
bedah. Adapun beberapa hal tersebut adalah: (27)
a) Pemberian Asam mefenamat 500 mg atau Indometasin 50 mg per oral 1 – 2
jam sebelum operasi.
b) Anastesi lokal pada mata yang akan dioperasi dengan cara menyuntikkan
langsung melalui palpebra bagian atas dan bawah.
c) Operator kemudian menekan bola mata dengan tangannya untuk melihat
apakah ada kemungkinan perdarahan, dan juga dapat merendahkan tekanan
intraokuler.
d) Operator melihat melalui sebuah mikroskip dan membuat insisi sepanjang
kira-kira 3 mm pada sisi kornea yang teranestesi.
e) Kapsulotomi anterior dengan menggunakan jarum kapsulotomi melalui insisi
kecil pada kornea.
f) Setelah insisi dilakukan, suatu cairan viscoelastik dimasukan untuk
mengurangi getaran pada jaringan intraokuler.
g) Dilakukan hidrodiseksi dan hidrodilemenesi untuk memisahkan inti lensa dari
korteks kemudian dilakukan fakoemulsifikasi dengan teknik horizontal choop
menggunakan mesin fako unit.
h) Korteks lensa dikeluarkan dengan cara irigasi aspirasi menggunakan mesin
fako unit .
i) Insersi lensa intraokuler foldauble pada bilik mata belakang dilakukan secara
in the bag, setelah sebelumnya diberikan bahan viskoelastik untuk
mengurangi komplikasi.
15
j) Bahan viskoelastik dikeluarkan dengan cara irigasi aspirasi menggunakan
mesin fako unit.
k) Luka operasi ditutup tanpa jahitan.
l) Diberikan suntikan antibiotika (Gentamisin) 0,5 ml dan kortikostroid
(Kortison Asetat) 0,5 ml, subkonjungtiva.
m) Pasca bedah diberikan tetes mata antibiotika (Neomycin-Polymixin B) dan
anti-inflamasi (Deksametason) 0,1 ml., setiap 8 jam sekali.
Insisi katarak yang paling sering digunakan berukuran 3 mm (hanya
seperdelapan inchi) . Karena konstruksi insisi yang teliti dan ukurannya yang kecil,
insisi ini biasanya menutup sendiri. Disebut juga operasi tipe ‘ no-stitch ’
16
Operator kemudian membuat pembukaan pada kapsul anterior. Prosedur ini
yang disebut capsulorhexis, memerlukan ketepatan yang tinggi karena kapsul ini
tebalnya hanya 0,004 mm. Membrane ini sebenarnya lebih tipis dari sel darah merah
dan operator harus dengan lembut mengeluarkan kapsul ketika menggunakan
instrument pada bilik mata depan (yang kedalamannya hanya 3 mm).
Fakoemulsifikasi adalah prosedur dimana vibrasi ultrasonik digunakan untuk
memecahkan katarak menjadi bagian-bagian kecil. Fragmen-fragmen ini kemudian
diaspirasi keluar menggunakan alat yang sama.
17
Operator membuat groove pada katarak kemudian selanjutnya memecahkan
katarak tersebut menjadi bagian-bagian kecil menggunakan ujung fakoemulsifikasi
dan alat yang kedua dimasukkan melalui insisi yang lebih kecil di tepi yang lain ‘side
port’.
Prosedur pada pandangan lateral menunjukkan tip fakoemulsifikasi diletakkan
pada substansi katarak oleh operator. Aspek ‘Fako’ digunakan untuk mengeluarkan
inti lensa katarak.
18
Setelah inti lensa katarak tersebut telah dikeluarkan, kortek perifer yang lebih
lunak dikeluarkan menggunakan alat irigasi/ aspirasi. Kapsul posterior ditinggalkan
untuk menyokong lensa tanam intraokular (IOL).
Lensa intraokular dilipat dan dimasukan ke dalam insisi kecil dimana lensa
ditanam di kantong kapsular. Pada ilustrasi ini lensa dimasukan lewat ‘injektor’ yang
merupakan alat yang dirancang untuk tetap mempertahankan ukuran insisi tetap kecil
ketika memasukkan lensa yang berukuran 6 mm melalui insisi 3 mm.
19
Lensa intraokular yang terlihat disini telah berada di dalam kantong kapsular.
Kaki-kaki lensa intraokular ini yang disebut juga haptik, memegang lensa ini agar
tetap berada dalam kantong kapsular.
Pandangan lateral dari lensa intraokular memperlihatkan lensa dalam kantong
kapsular. Posisi ini sama seperti lensa sebelumnya yang mengalami katarak dan
karenanya akan menghasilkan hasil penglihatan optimal. Pada tahap ini operasi
katarak dengan lensa intraokular telah berhasil.
20
2.3.7 Inflamasi Pasca Bedah Fakoemulsifikasi
Pada dasarnya, suatu tindakan bedah akan menimbulkan trauma yang
memberi akibat kerusakan jaringan dari organ yang dioperasi. Secara normal tubuh
akan mengadakan reaksi dengan tujuan mengadakan proses penyembuhan pada
jaringan yang mengalami kerusakan tersebut. Reaksi tersebut secara umum dikenal
sebagai keradangan atau reaksi inflamasi.
Pada kerusakan jaringan terjadi robekan membran sel yang dengan aktivasi
oleh enzim fosfolipase A2 akan terbentuk asam arakidonat. Melalui jalur siklo-
oksigenase, arakidonat akan mengalami transformasi membentuk prostaglandin.
Adanya prostaglandin pada jaringan akan menimbulkan tanda-tanda klasik dari
inflamasi yaitu dolor, rubor dan vasodilatasi.
Selain itu, melalui jalur lipoksigenase, asam arakidonat akan membentuk
leukotrien yang kemudian akan menimbulkan peningkatan juga permeabilitas
vaskuler dan edema. Leukotrien juga mengaktifkan sistem komplemen jaringan serta
melibatkan faktor-faktor khemotaktik pada tempat terjadinya trauma dan memberikan
reaksi inflamasi pada jaringan.
Neufeld dan Sears pertama kali menemukan prostaglandin yang dapat
diisolasi dari jaringan iris dan menyebutkan sebagai irin. Ambache (1957)
menemukan bahwa rangsangan mekanis terhadap iris dan pada tindakan parasintesis
akan dilepaskan suatu substansi yang disebut irin ke bilik mata depan. Meningkatnya
konsentrasi irin atau prostaglandin akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas
epitel badan silier sehingga menimbulkan perubahan respon peradangan.
21
Gambar 2.6 Diagram Repon Molekuler Rantai Inflamasi pada Trauma Jaringan(Sumber : Shlevin, HH The Pharmacology of the Nonsteroidal Agents, Proceding of the
Ophthalmic NSAID Roundtable, 1996, p21)
Sama halnya dengan tindakan operasi yang lain, pada pasca bedah ekstraksi
katarak juga akan terjadi reaksi inflamasi yaitu berupa iritis atau iridosiklitis. Pada
setiap tindakan bedah katarak fakoemulsifikasi, bahkan pada pembedahan yang
sangat hati-hati sekalipun, akan selalu diikuti oleh iritis atau iridosiklitis. Hal ini
terjadi akibat adanya manipulasi iris, lisis dari zonula, adanya tindakan irigasi pada
bilik mata depan, serta adanya kemungkinan sisa materi lensa yang tertinggal.
Biasanya iritis terjadi minimal dan dapat menghilang dengan sendirinya, tanpa
meninggalkan bekas yang permanen. Tetapi pada beberapa kasus dapat terjadi
dimana reaksi tersebut tidak cepat menghilang dan cendrung menjadi kronis atau
22
bertambah berat, sehingga dapat menimbulkan berbagai penyulit yang lain seperti
penurunan tajam penglihatan, pembentukan membrane pada pupil, terjadinya sinekia
anterior atau posterior, glaukoma skunder dan lain-lain.
Inflamasi pasca bedah katarak fakoemulsifikasi ditandai dengan rasa tidak
nyaman (discomfort) pada mata hingga rasa nyeri, hiperemi konjungtiva dan
perikornea, serta adanya flare dan sel pada bilik mata depan. Kimura, Thygeson dan
Hogan (1959) membuat gradasi flare dan sel radang pada bilik mata depan sebagai
berikut:
BAB III PENUTUP
Metode operasi yang umum dipakai untuk katarak dewasa atau anak-anak
adalah meninggalkan bagian posterior kapsul lensa sehingga dikenal sebagai ektraksi
katarak ekstrakapsular. Penanaman lensa intraokular merupakan bagian dari prosedur
ini. Insisi dibuat pada limbus atau kornea perifer, bagian superior atau temporal.
Dibuat sebuah saluran pada kapsul anterior, dan nukleus serta korteks lensanya
diangkat. Kemudian lensa intraokular ditempatkan pada :kantung kapsular” yang
sudah kosong, disangga oleh kapsul posterior yang utuh. Pada ekstraksi katarak
ekstrakapsular bentuk ekspresi nukleus, nukleus lensa dikeluarkan dalam keadaan
23
utuh, tetapi prosedur ini memerulukan insisi yang relatif besar. Korteks lensa
disingkirkan dengan penghisapan manual atau otomatis. Saat ini, Phacoemulsifikasi
adalah tekhnik ekstraksi katarak ekstrakapsular yang paling sering digunakan.
Tekhnik ini menggukanan vibrator ultrasonic genggam untuk menghancurkan
nukleus yang keras hingga substansi nukleus dan korteks dapat diaspirasi melalui
suatu insisi berukuran sekitar 3 mm. Ukuran insisi tersebut cukup untuk
memasukkan lensa intraokular yang dapat dilipat (foldable intraocular lens). Jika
digunakan lensa intraokular yang kaku, insisi perlu dilebarkan hingga kira-kira 5mm.
Keuntungan-keuntungan yaang didapat dari tindakan bedah insisi kecil adalah kondisi
intraoperasi lebih terkendali, menghindari penjahitan, perbaikan luka yang lebih cepat
dengan derajat distorsi kornea yang lebih rendah, dan mengurangi peradangan
intraokular pasca operasi yang semua berakibat pada rehabilitasi penglihatan yang
lebih singkat. Walaupun demikian, tekhnik fakoemulsifikasi menimbulkan resiko
yang lebih tinggi terjadinya pergeseran materi nukleus ke posterior melalui suatu
robekan kapsul posterior, kejadian ini membutuhkan tindakan bedah vitreoretina yang
kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
1. Purba D.M., Hutauruk J.A., Riyanto S.B., Istiantoro D.V. dan Manurung F.M.
2010. A sampai Z Seputar Fakoemulsifikasi. Jakarta: Info JEC. p. 17-51.
2. Ilyas S. 2004. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.
p. 205-8.
3. Sihota R. dan Tandan R. 2007. Parson’s Diseases of The Eye. Indian:
Elsevier. p. 247-69.
24
4. American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012a. Fundamental and
Principles of Ophthalmology. United State of America: American Academy of
Ophthalmology. p. 79-81.
5. Departemen Kesehatan RI. 2009. Data Penduduk Sasaran Program Kesehatan
Tahun 2007-2011. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI.
Jakarta.
6. Kementerian Kesehatan RI. 2005. Rencana Strategi Nasional Penanggulangan
Gangguan Penglihatan dan Kebutaan Untuk Mencapai Vision 2020.
Keputusan Menteri Kesehatan. Jakarta.
7. Soekardi I. dan Hutauruk J.A. 2004. Transisi Menuju Fakoemulsifikasi,
Langkah-Langkah Menguasai Teknik & Menghindari Komplikasi. Edisi 1.
Jakarta. Kelompok Yayasan Obor Indonesia. p 1-7.
8. Henderson B.A., Kim J.Y., Ament C.S., Ponce Z.K.F., Grabowska A. Dan
Cremers S.L. 2007. Clinical Pseudophakic Cystoid Macular Edema: Risk
Factors for Development and Duration After Treatment, J Cataract Refract
Surg, 33:1550-1558.
9. American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012c. Lens and Cataract.
United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 193- 195
10. Riordan-Eva P, Whitcher J P. Vaughan & Asbury – Oftalmologi Umum; Alih
Bahasa: Brahm U Pendit. Edisi 17. Jakarta: EGC; 2009.
11. American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012b. Retina and
Vitreous. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p.
167- 169.
12. Andley U.P., Liang J.J.N., dan Lou M.F. 2003. Biochemical Mechanism of
Age-Related Cataract. In: Albert D.M., Jakobiec F.A., editors. Principles and
Practice of Ophthalmology. 3th ed. Philadelphia: Saunder. p. 1428-49.
13. Borchman D. dan Yappert M.C. 2011. Lipid and Ocular Disease. Journal of
Lipid Research, 20: 1-55.
25
14. Beebe D.C. 2003. Lens. In: Koufman P.L., Alm A., Editors. Adler’s
Physiology of The Eye. St Louis: Mosby. p. 117-57.
15. Berthoud V.M. dan Beyer E.C. 2009. Oxidative Stress, Lens Gap Junction
and Cataract. Antioxid Redox Signal, 11 (2): 339-53.
16. Ilyas S. 2001. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. p. 212-4.
17. Tabin G., Chen M., dan Espandar L. 2008. Cataract Surgery for the
Developing World. Curr Opin Ophthalmol, 19: 55-9.
18. Gsianturi. 2004. Angka Kebutaan di Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara.
Available from:
http://www.AngkakebutaandiIndonesiatertinggidiAsiaTenggara.htm. Last
update: 15 Mei 2004.
19. Beebe D.C., Shui Y.B., dan Holekamp N.M. 2010. Biochemical Mechanism
of Age-Related Cataract. In: Levin L.A., Albert D.M. editors. Ocular Disease
Mechanisms and Management. Philadelphia: Saunders.p. 231-7.
20. Ates O., Hamit H., Kocer I., Baykal O., dan Salman I.A. 2010. Oxidative
DNA Damage in Patients with Cataract. Acta Ophthalmologica, 88:891-5.
21. Cekic S., Zlatanovic G., Cvetkovic T., dan Petrovic B. 2010. Oxidative Stress
in Cataractogenesis. Bosnian Journal of Basic Medical Sciences, 3: 265-9.
22. Spector A. 1995. Oxidative Stress-Induced Cataract: Mechanism of Action.
FASEB J, 9:1173-82.
23. El-Ghaffar A.A., Aziz M.A., Mahmoud A.M., dan Al-Balkini S.M. 2007.
Elevation of Plasma Nitrate and Malondialdehyde in Patient with Age-
Related cataract. Middle East Journal of Ophthalmology, 14: 13-5.
24. Kanski JJ. Bowling B. Clinical Ophtalmology A Systemic Approach. 7th
edition. Elsevier Saunders. P.281-9.
25. Khurana A.K. 2007. Comprehensive Ophthalmology. Fourth edition. New
Delhi: New Age International. p. 89-202.
26
26. Nishino M., Eguchi H., Iwata A., Shiota H., Tanaka M. dan Tanaka T. 2008.
Are Topical Essential After An Uneventful Cataract Surgery?. The Journal of
Medical Investigation, 56:11-15.
27. Phacoemulsification With Intraocular Lens Implantation. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1844198-overview. 28 Juli 2014
28. Phacoemulsification for cataracts. Diunduh dari
http://www.surgeryencyclopedia.com/Pa-St/Phacoemulsification-for-
Cataracts.html#ixzz2YJAR1Pl8. 28 Juli 2014
29. Tim Dokter Mata RSU dr. Soetomo. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Mata. Surabaya: RSU dr. Soetomo/FK Unair. 2006
30. Guyton and Hall. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 1997.
31. Ilyas, Sidharta. Katarak Lensa Mata Keruh. Glosari Sinopsis. Cetakan Kedua.
Balai Penerbitan FKUI. Jakarta. 2007.
32. James B, Chew C, Bron A. Lensa dan Katarak. Dalam: Lecture Notes
Ophtalmology. Edisi 9. Jakarta: Erlangga. 2006.
33. Lang GK. Lens. In: Ophthalmology-A Pocket Textbook Atlas. 2nd Edition.
Wemding: Appl Aprinta Druck. 2007. p 169-184.
34. Ming ALS, Ian J.C. Lens and Glaukoma. In: Color Atlas Ophthalmology. 3rd
Edition.
35. Moore K.L. In: Clinically Oriented Anatomy. 5th ed. Philadelphia: Lippincoot
William & Wilkins Baltimore. 2006. p 957-976.
27