Download - Keamanan Uni Eropa Pasca Perang Dingin
Keamanan Uni Eropa Pasca Perang Dingin
Oleh : Gigih AL Islami
Abstraksi
European was estabilish trough existence of United State for decade, this was made by NATO as one of US tool to estabilish European stability. US had been being an hegmon benevoleign at Europena region, to estabilish from any treat as long as cold war did. By the end of cold war, NATO and US at Europe have been irelevan. Some plitical intervence of US interest to the European Countries trough NATO was delegitimate US in Europe. Europe is growing to build it’s independence of security by European Security ang Defence Policy. Curent ESDP has been going to be next capter of Europe stability. What is the next chalanges and oportunities to face the next estabilishment of Europe.
Key word: EU, ESDP, US, NATO
Pendahuluan
Usaha Masyarakat Batubara dan Baja Eropa (ECSC) sebagai cikal bakal integrasi eropa1
menkgawali usaha pembentukan kerjasama mengenai keamanan dalam wadah Komunitas
Pertahanan Eropa (EDP). Diusung oleh Jean Monet, ia mempromosikan ide tentang usaha
kolektif enam Negara anggota ECSC untuk membentuk suatu usaha kolektif menangkal
ancaman Uni Soviet sebagai usaha memperkuat potensi militer dan membentuk tentara Eropa
yang beranggotakan enam Negara anggota ECSC. Usaha ini mengalami kegagalan setelah
Prancis menolak proposal Monnet dengan alasan ketidaksetujuan pola federalisme kinerja
EDC.2
Tidak lama setelah kegagalan perencanan ini, dilanjutkan dengan pengajuan perencanan
Prancis untuk integrasi eropa. Dikenal dengan Fouchet Plan, rancangan yang diajukan
Prancis ini bertumpu atas identitas Negara anggota. Hingga mencapai kerjasama yang
bertujuan membentuk koordinasi kebijakan luar negri, kebijakan keamanan bersama dan
memperkuat keamanan Negara anggota dari agresi militer. Kerjasama politik Eropa terbentuk
dua tahun kemudian melalui penandatanganan Akta Tunggal Eropa (SEA) yang secara resmi
menyertakan Kerjasama Politik Eropa (EPC) sebagai bagian dari Masyarakat Eropa (ME).
SEA memiliki tiga sasaran utama di dalamnya; pembentukan pasar tunggal eropa, merancang
1 European intergrations after world war II dalam artikel J. Sucheck dipublikasikan melalui http://www.kakanien.ac.at/beitr/fallstudie/JSuchacek1.pdf diakses pada 4/2/12 12 : 50 pm2 CFSP dan Integrasi Uni Eropa oleh Zalvin Prakoso diakses melalui http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/4108118138.pdf 21/042012 8:02 pm
kebijakan luar negri dan keamanan bersama, dan memperluas ruang gerak Me ke bidang yang
belum tersentun (bidang keamanan).3
Setelah berjalan SEA segera dihadapkan pada tantangan eksternal di daratan Eropa. Selain
akibat unifikasi Jerman menjadi satu kesatuan, runtuknya Uni Soviet menumbuhkan suasana
baru Eropa Kala itu. Mundurnya Uni Soviet dari perang dingin dengan AS memunculkan
gelombang kemerdekaan Negara – Negara baru ekswilayah Soviet di Eropa Tengah dan
Timur (ETT). EPC mengalami kelemahan menghadapi situasi ini, Eropa kurang mampu
beradaptasi terhadap perkembangan dan perubahan situasi keamanan internasional masa itu.
Mula keadaan ini yang melatar belakangi kebutuhan EU untuk menjamin keberlanjutan Pasar
Tunggal Eropa (PTE) dan Uni Moneter Eropa (UME) untuk mampu mempenetrasikan
perluasan kepentingan Masyarakat Eropa menuju ranah internasional. Walaupun NATO telah
menjadi salah satu elemen keamanan Eropa Barat melalui eksistensi AS dalam hal penyelaras
keamanan Eropa, namun keadaan internasional yang berubah seiring perubahan konteks
perna g dingin, merubah pula persepsi keamanan eropa. Keberadaan NATO sebagai wadah
penangkal ancaman terbesar Eropa saat itu (Uni Soviet) berubah dengan runtuhnya Uni
Soviet. Sementara itu alasan kehawatiran akan agresivitas Jerman segera terbantahkan
dengan penyegeraan diri integrasi Jerman kedalam Eropa dengan pengorbanannya atas mata
uang “Deutsch Mark” menyatukan diri kedalam UME. NATO disisi lain terlihat sebagai
usaha AS melakukan Penetrasi kepentingan politiknya di daratan Eropa Barat melalui
berbagai oprasi militernya. Sementara itu di sisi lain Jerman juga segera mendukung
pembentukan “European rapid-response force”.4
Pnetrasi kepentingan AS melalui NATO dapat segera terlihat setelah program agresi milter
AS ke Irak melalui Nato pada tahun 2003. Kondisi ini memicu berbagai pertentangan
ekonomi maupun politik. Seketika itu pula legitimasi atas kepemimpinan AS di Eropa
memudar, hal lain adalah semakin terlihatnya kekeroposan AS setelah mengalami krisis
Ekonomi akibat kebijakan yang offensive dalam kebijakan luar negrinya. Mengantisipasi hal
ini, pula yang akhirnya merelevansikan uasaha keamanan Ekonomi ME membentuk mata
uang tunggal Euro sebagai mata uang mereka. Tanda – tanda ini melatarbekangi kepercayaan
diri UE untuk teruk mengutamakan independensi setelah lama mngenatungkan keamanan
melalui eksistensi AS.
3 Duke, S. 2000, The Elusive Quest for European Security, St. Anthony’s Series, MacMillan Press dalam Zalvin Prakoso ibid.4 Ibid.
Landasan Teoritis
Regional security complex/kompleksitas keamanan regional merupakan hasil interkasi unsur
– unsur geografis, entitas dan budaya dalam satu wiayah, dimana keadaan ini akan
mengakibatkan kesaling tergantungan antar aktor Negara yang akhirnya memicu
terbentuknya keompleksitas keamanan regional. Regional scurity compleks dipahami sebagi
suatu kedekatan yang muncul diantara sekumpulan negra dikarenakan satu dan lain hal, yang
mengakibatkan keamanan dasar Negara – Negara tersebut tergabung dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain5. Dalam hal ini, keamana satu Negara sangat berhubungan erat
dengan Negara yang lain, sehingga keamanan nasional tidak mungkin ada tanpa
memperhatikan keamanan wilayah. Meski demikian, tidak berati hubungan antar Negara
dalam kawasan ini akan berlangsung harmonis, tetap terjadi persaingan dan perimbangan
kekuasaan serta serta bentuk aliansi yang mungkin muncul di dalam kawasan, selain itu juga
bermuara pada masuknya faktor eksternal kedalam kawasan dalam membentuk pola tertentu
dalam regional.
Buzan dan Waefer juga menyebutkan empat variabel penyusun struktur esensial RSC6, yaitu:
batas wilayah (yang membedakan RSC dengan Negara sekitarnya),
struktur anarkis (RSC harus terdiri dari dua atau lebih unit-unit otonom),
polaritas (adanya penyebaran kekuasaan antar unit), dan
konstruksi sosial (yang meliputi pola persepsi amity dan enmity antar unit).
Dalam analisa regional security complex dapat dilakukan melalui pengamatan pola amity and
enmity dan melalui pengamatan atas pola distribusi kekuasaan Negara – Negara
utama/penting di kawasan.7 Yang dimaksud dengan amity oleh Buzan adalah hubungan antar
Negara yang terjalin berdasarkan mulai dari rasa persahabatan sampai pada ekspektasi
(expectation) akan mendapatkan dukungan (support) atau perlindungan satu sama lain.
Enmity itu sendiri adalah digambarkan sebagai suatu hubungan antar Negara yang terjalin
atas dasar kecurigaan (suspicion) dan rasa takut (fear) satu sama lain.
5 Barry Buzan dan Ole Waefer, ( 2003), Regions and Power : The Structure of International Security, Oxford, Cambridge University Press6 Ibid. p: 45 – 507 Barry Buzan, (1991), People, States, and Fear, London: Harvester Wheatsheaf p: 186 – 226
Pattern of amity/enmity dapat muncul dan berkembang akibat dari berbagai hal yang bersifat
spesifik seperti sengketa perbatasan, kepentingan yang berkaitan dengan etnik tertentu,
pengelompokan ideologi dan warisan sejarah lama, baik yang bersifat negatif maupun yang
bersifat positif. Selain itu terdapat pula pola distribusi kekuasan di dalam kawasan yang dapat
berupa pengaruh faktor internal mauun eksternal.
Dalam bentuk faktor internal, pergeseran kekuasaan dapat dipicu oleh peningkatan
keberhasilan pembangunan oleh satu Negara. Sedangkan dalam bentuk faktor eksternal, pola
arus kekuasaan dapat tercipta melalui tiga suasana. Yang pertama adalah dengan ikut
bergabung langsung di dalam kawasan, bentuknya dapat berupa bantuan langsung militer
terhadap Negara – Negara di dalam kawasan atau pun dengan menempatkan kekuatan
militernya di dalam kawasan. Yang kedua, dapat dilakukan dengan pembentukan aliansi
dengan Negara di dalam kawasasn. Dan yang terakhir adalah melalui penarikan diri dari
dalam satu kawasan.
Teori ini akhirnya berimplikasi pada pembentukan pengaturan keamanan sebagai usaha
regionalisasi yang berbasis keamanan kawasan. Terdapat lima model dalam pengaturan
keamanan, integrasi, model pluralistik, kolektif, great power concert, dan power restraining
power.
Model integrasi merupakan bentuk dimana kawasan akan membentuk lembaga supra-state
yang memegang otonomi kusus untuk membentuk badan pertahanan kawasan, saat terjadi
konflik, Negara tidak lagi bertindak atas nama Negara, melainkan atasnama badan supra state
yang menaunginya. Model ini tercermin dalam uni eropa.
Kedua adalah pluralistic security community yang mencapai keamanan melalui integrasi
Negara – Negara di dalamnya berdasarkan komitmen untuk menjaga keamanan bersama,
tetapi Negara masih memiliki otoritas atas badan pertahanannya. ASEAN mencerminkan
model ini. Selanjutnya model great-power concert yang menegaskan pencapaian stabilitas
regional melalui penciptaan pengaturan keamanan pada satu kekuatan besar dalam kawasan,
dimana Negara dengan powerful dalam kawasan yang bertindak sebagai hegemon sekaligus
penanggungjawab atas keamanan regional.
Terkahir adalah bentuk power restraining power, dimana keamanan regional merupakan hasil
usaha pencapaian distribusi power di kawasan, konsep ini mengedepankan faktor
penyeimbang dalam kawasan guna menghindari hegemon di kawasan tersebut.
Pembahasan
Eropa sempat diwarnai oleh dinamika peperangan antar Negara modern selepas perjanjian
Westphalia. Perselisihan yang dapat terekam dalam sejarah adalah Perang Dunia. Terdapat
tiga Peranng Dunia yang memiliki dampak yang besar dalam sejarah Eropa. Pertama adalah
Perang Dunia I, sejarah mencatat masa ini merupakan masa yang kelam bagi Eropa. Banyak
masyarakat sipil yang menjadi korban serta infrastruktur yang rusak berat.
Aktor dibalik kekacauan dunia masa itu adalah neagra, diawali dengan agresivitas Austria –
Hungaria atas Bosnia, mengundang solidaritas Russia atas Bosnia. Masih atas dasar yang
sama, Jerman mendukung Hungaria – Austria menghadapi Rusia. Secara serentak, Prancis
menyertakan diri menghadapi Jerman bersama Rusia yang turut mengundang simpati UK
melihat perilaku Jerman atas Belgium. Situasi ini mengawali pola persaingan antara Jerman
dengan Negara – Negara adikuasa di Eropa.
Persaingan yang menyeret Jerman menghadapi Inggris dan Prancis ini menjadi awal pola
hubungan Negara Eropa sebelum perang dingin. Hal ini terlihat tidak lama stelah PD I
berakhir. Kembali Jerman dibawah Adolf Hitler menunjukan agresifitasnya, kali ini Jerman
berniat menyatukan dunia di bawah kekuasaan Jerman mlalui fasisme. Dengan segera Jerman
menduduki sebagian besar daratan Eropa. Kondisi ini langsung memicu respon aktif negar
lain di kaawasan kala itu, berbekal persaingan masa silam, Rusia yang kala itu segera menjadi
sasran agresivitas Jerman; mengundang UK, Prancis dan AS untuk bergabung kembali
menghadapi Jerman. Di fihak lain, Jerman menyertakan Italia dan Jepang atar landasan
kesamaan tujuan dan fasisme.
Gambaran singkat situasi sejarah hubungan Prancis bersama Ingsris dan Jerman bersama
Italia sebagai bagian dari daratan Eropa menunjukan persaingan yang mendalam atas dasar
keamanan masing – masing. Situasi ini melatri pola interaksi Negara Eropa pasca PD II,
antara Ingris dan Prancis bersama memiliki kehawatiran tinggi atas Jerman. Situasi ini yang
mewarnai definisi keamanan Eropa pasca PD II.
Berakhirnya PD II menghadirkan kembali masa perang yang dikenal dengan istilah Perang
dingin. Dilatari oleh persaingan ideologis antara AS dan Uni Soviet, menjamah daratan
Eropa. Pada situasi ini, muncul gagasan mengenai usaha keamanan Eropa menghindari
pecahnya perang. Melalui kerjasama batu bara dan baja (ECSC) melatari usaha ini, hingga
akhirnya mulai muncul gagasan integrasi Eropa. Setelah kegagalan usaha pembentukan
komunitas Pertahanan Eropa akibat penolakan Prancis, Prancis menggagas kembali
pembentukan akta tunggal Eropa sebagai landasan integrasi Masyarakat Eropa (ME). Baik
Inggris maupun Prancis masih menunjukan sisi sensitifitas atas segi politik (persoalan
keamana) dalam kerjasama ini, meskipun telah terbentuk Pasar tunggal Eropa dan Uni
Moneter Eropa yang menunjukan keberhasilan yang signifikan. Faktor keterpurukan masa
silam atas perilaku Jerman mempengaruhi kekhawatiran Eropa untuk menyertakan Jerman
dalam urusan keamanan mereka dalam bentuk integrasi keamanan.
Akhir perang dingin membawa dampak baru bagi hubunga Negara – Negara Eropa, terutama
tanggapan atas Jerman. Setelah Jerman bersatu kembali akibat perselisihan ideologis semasa
perang dingin, segera Jerman menunjukan itikad yang baik dalam mendukung integrasi
Eropa. Setelah menyerahkan perubahan mata uangnya mengikuti aturan bersama Eropa,
Jerman menyatakan dukungannya dalam perencanaan pembentukan pasukan pertahanan
Eropa.
Situasi ini yang melatarbelakangi kelonggaran sikap Inggris dan Prancis menghadapi
kerjasama politik, faktor lain adalah ketidak sesuaian identitas Eropa dengan NATO yang
cenderung mengimplementasikan kepentingan politik AS atas Eropa. Hal ini jelas terlihat
stelah agresi NATO atas Irak yang kala itu mendapat tentangan keras Negara – Negara Eropa
Barat termasuk Inggris dan Prancis yang akhirnya harus turut serta dengan tanpa suka rela.
Keterbukaan atas hubungan keamanan bersama Jerman ditunjukan melalui penandatanganan
kerjasama dalam deklarasi St. Paulo 1998. Perjanjian ini berisi tentang kebutuhan Eropa
untuk memiliki kemampuan ayng otonom dalam berbagai tindakannya yang didukung
dengan kemampuan militer yang memadai.8 Keberhasilan kerjasama yang ditunjukan Negara
– Negara Eropa Barat pasca perang dunia kedua merubah pola hubungan di antara mereka.
Keberhasilan ini telah mapu mebawa integrasi di antara mereka untuk membentuk satu
lembaga yang cenrung supra state untuk mengatur dan menjaga kstabilan hubungan di antara
mereka. Situasi ini memunculkan pola amity yang cukup kuat di antara Negara anggota Uni
Eroap.
Berakhirnya perang dingin disisi lain, merubah pola hubunga politik internasional. Isu
keamanan mulai meluas bukan hanya terbatas akan masalah perang dan damai, kondisi ini
memunclkan inisiatif baru Uni Eropa untuk menjalankan fungsinya lebih mendalam. Setelah
menyandarkan urusan keamanan militer kepada AS melalui NATO, kini tuntutan akan
8 Zalvin Opcit.
keadaan yang berubah mendorong EU untuk cepat melakukan langkah adaptif. Berbagai
kebutuhan akan independensi demi efektifitas peranan EU kedepan menjaga stabilitas dan
keamanan kawasan berdasarkan interpretasi mandiri melatari EU untuk memiliki kemampuan
pengamanan secara mandiri.
Salah satu gagasan yang muncul adalah Kebijakan Keamanan dan Pertahanan Eropa (ESDP).
Institusi ini dicanangkan sebagai wadah bagi integrasi keamanan bersama egara Uni Eropa,
situasi integrasi ekonomi yang telah terbentuk akan melatari pola kerjasama ini menuju
integrasi selanjutnya. Intergrasi Eropa dalam hal politik, menyandarkan kembali persoalan
politik kepada NATO pasca Perang Dingin menjadi sedikit kurang relevan.
Beberapa yang melatari pandangan ini adalah perubahan yang signifikan di Eropa, NATO
sebagai penangkal Russia telah kehilangan lawannya. Disisi lain fungsinya menjaga Eropa
atas kehawatiran agresifitas Jerman talah tebantahkan dengan bergabungnya Jerman
terintegrasi bersama kedalam EU. Faktor penetrasi AS atas NATO memunculkan skeptisme
tersendiri atas NATO.
Perilaku AS yang tidak mencerminkan identitas Eropa sekarang ini menjadi penghalang bagi
keberlanjutan fungsi EU. AS di satu sisi mengedepankan unipolaritas, penggunaan military
power dalam urusan keamanan dan perang adalah alasan membela diri. Di sisi lain EU
berpegang teguh dengan pengutamaan jalan damai dan diplomatik dalam penyelsaian
sengketa, penegakan aturan dan norma dalam melakukan aksi politik luar negri dan
mengagungkankan multipolaritas.9 Situasi ini memberkan peluang bagi perjalanan ESDP
kedepan untuk mendapat dujungan penuh identitas EU.
Tantangan yang menghadapi EU menuju stabilitas keamanan melaui ESDP dapat dilihat
melalui kacamata realisme. Keberhasilan Ekonomi yang dicapai Eropa sekarang ini tidak
terlepas dari ketiadaan kebutuhan akan masalah militer karena kehadiran AS dan NATO. AS
telah mampu menjadi stabilitas hegemon yang menjalankan peran dengan sangat baik di
antara negara – negara Eropa. Sehingga jika EU eutuskan untuk berjalan mandiri daam
persoalan keamanan, akan dihadapkan dengan masalah kebutuhan akan kemampuan militer
ini. Sementara itu di sisi lain, untuk urusan militer tidak dibutuhkan dana yang sedikit, krisis
ekonomi yang sempat melanda Yunai menjadi warning tersendiri bagi usaha ini. Dibutuhkan
hegemon lain yang mampu mengantikan posisi AS untuk menanganni persoalan keamanan.
9 Opcit.
Jika diusahakan penggunaan integrasi untuk urusan keamanan, bagi EU masih belum
menunjukan signifikansi yang cukup baik. Dalam penanganan politki, EU masih belum
meiliki cukup latar belakang menuju integrasi keamanan. Penanganan keamanan seringkali
merepresentasikan kebutuhan yang berbeda, wilayah politik masih menjadi isu yang sensitif
sejauh ini. Kondisi ini akan memicu kesulitan perumusan keamanan bagi EU.
Kesimpulan
Kesimpulan tulisan ini adalah NATO sudah tidak relevan dijadikan sebagai sandaran
keamanan bagi EU. Melalui perilaku ini akhirnya EU ecap mendapati situasi yang
memberatkan dirinya, perbedaan arah poltik antara EU dan NATO menjadi dualisme Eropa
pada satu sisi. Kondisi ini memberikan peluang pencapaian usaha menuju integrasi melaui
ESDP, terlihat melalui ketersediaan Ingris dan Prancis yang semula begitu enggan untuk turut
campur dalam urusan politik wilayah EU. Disisi lain, ketiadaan pengalaman integrasi
keamanan Negara anggota EU dalam masalah perumusan isu keamana, menjadi tantangan
tersendiri. Besarnya biaya yang dibutuhkan ntuk menopang perncanaan ini menjadi maslah
tersendiri bagi EU, krisis Yunani menjadi peringatan tersendiri untuk EU berusaha
menghendel secara mandiri masalah keamanan. Ketiadaan Negara eropa sebagai Hegrmon
penggati AS akan memicu persoalan tersendiri menuju independensi penanganan keamanan
EU.
Next Questuions:
Bukti gerakan EU menuju ini
Kasusnya apa?