Download - ekskursi FIX kelompok 4 geomagnet
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Salah satu cara untuk mengetahui kandungan ekonomis yang terdapat di bawah
permukaan dari bumi adalah menggunakan metode survei geofisika. Metode
Geofisika merupakan ilmu yang mempelajari tentang bumi dengan menggunakan
pengukuran fisis pada atau di atas permukaan. Dari sisi lain, geofisika mempelajari
semua isi bumi baik yang terlihat maupun tidak terlihat langsung oleh pengukuran
sifat fisis dengan penyesuaian pada umumnya pada permukaan (Dobrin dan Savit,
1988). Secara umum, metode geofisika dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
Metode pasif dilakukan dengan mengukur medan alami yang dipancarkan
oleh bumi.
Metode aktif dilakukan dengan membuat medan gangguan kemudian
mengukur respon yang dilakukan oleh bumi.
Metode magnetik merupakan salah satu metode digunakan dalam teknik
geofisika. Pengukuran dengan menggunakan metode magnetik yang paling banyak
dilakukan adalah dengan menggunakan alat PPM (Proton Precession
Magnetometer). Metode ini pada dasarnya dilakukan berdasarkan pengukuran
anomali geomagnetik yang diakibatkan oleh perbedaan kontras suseptibilitas, atau
permeabilitas magnetik suatu jebakan dari daerah magnetik di sekelilingnya. Disini
perbedaan permeabilitas itu sendiri pada dasarnya diakibatkan oleh perbedaan
distribusi mineral yang bersifat ferromagnetik, paramagnetik, diamagnetik.
Kemampuan suatu batuan untuk dapat termagnetisasi sangat dipengaruhi oleh
oleh factor susceptibilitas batuan. Objek pengamatan dari metode ini adalah benda
yang bersifat mangnetik, dapat berupa gejala struktur bawah tanah permukaan
ataupun batuan tertentu. Metode ini dapat digunakan sebagai preliminary survey
untuk menentukan bentuk geometri dari bentuk basement,intrusi dan patahan.
Metode magnetic didasarkan pada pengukuran variasiintensitas medan magnetic di
permukaan bumi yang disebabkan oleh adanyavariasi distribusi benda
termagnetisasi dibawah permukaan bumi (suseptibilitas)
1
I.2 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian data magnetik pada daerah Berbah adalah:
Mahasiswa mampu memahami konsep dasar metode geomagnetic,
mampu mengambil mengoperasikan alat PPM (Proton Precession
Magnetometer) kemudian malakukan pengolahan data dan mampu
menginterpretasikan hasil yang didapat serta menjelaskan proses pengolahan
data secara umum. Kemudian hasil yang didapatkan berupa peta yang kita
interpretasi unsur-unsur penyusun struktur geologi yang berada di bawah
permukaan daerah tersebut dan menentukan nilai anomaly daerah tersebut,
mampu mengolah data looping dengan menggunakan software ( excel, magpick
surfer).
Tujuan dari praktikum acara pengolahan data magnetic adalah :
Memetakan persebaran kemagnetan berdasarkan nilai variasi harian dan
anomali dengan menggunakan data looping.
I.3 Batasan Masalah
1. Pengambilan data di daerah Pillow Lava Berbah.
2. Pengolahan data menggunakan software Magpick dan Surfer 9.0.
3. Interpretasi kualitatif peta H Anomali dan Upward Continuation.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Geologi Lokal
Daerah Berbah termasuk ke dalam Formasi Semilir. Formasi ini berlokasi di
G. Semilir, sebelah selatan Klaten. Litologi penyusunnya terdiri dari tuf, tuf
lapili, lapili batuapung, breksi batuapung dan serpih. Komposisi tuf dan
batuapung tersebut bervariasi dari andesit hingga dasit. Di bagian bawah satuan
batuan ini, yaitu di K. Opak, Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah,
Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran lava bantal (Bronto dan
Hartono, 2001). Penyebaran lateral Formasi Semilir ini memanjang dari ujung
barat Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Pleret-Imogiri, di sebelah barat G.
Sudimoro, Piyungan-Prambanan, di bagian tengah pada G. Baturagung dan
sekitarnya, hingga ujung timur pada tinggian G. Gajahmungkur, Wonogiri.
Ketebalan formasi ini diperkirakan lebih dari 460 meter.
Formasi ini menjemari dengan Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu,
namun tertindih secara tidak selaras oleh Formasi Oyo (Surono, dkk., 1992).
Dengan melimpahnya tuf dan batuapung dalam volume yang sangat besar, maka
secara vulkanologi Formasi Semilir ini dihasilkan oleh letusan gunungapi yang
sangat besar dan merusak, biasanya berasosiasi dengan pembentukan kaldera
letusan (Bronto dan hartono, 2001).
Keberadaan lava bantal akibat dari pelelehan magma yang keluar dan
langsung kontak dengan air. Proses pembekuan yang tiba-tiba akibat kontak
langsung dengan masa air laut ini, menyebabkan bentukan mineral-mineralnya
tidak terpilah dengan baik, namun tubuh lavanya membentuk geometri mirip
bantal sehingga disebut lava bantal (pillow lava). Proses terbentuknya lava
bantal adalah saat mengalir dan mengalami pendinginan serentak oleh air laut,
selanjutnya bagian kulitnya langsung membeku dan tertahan tekanan hidrostatis
sehingga membentuk batuan beku membulat atau melonjong. Bentuknya bulat
lonjong inilah yang disebut lava bantal dan pada umumnya berkomposisi basalt
yang bersifat asam.karena perbedaan suhu yang amat tinggi, akibatmnya magma
secara cepat membeku dan mineralnya tidak terbentuk secara baik. Batuan ini
berumur Oligosen – Formasi Semilir (36 – 30 juta tahun) dan menandai awal
3
dari pegunungan api purba (monogenesis volcanisme) sebelum berkembang
menjadi strato volcano composite (disebut himpunan batuannya sebagai OAF-
Old Andesite Formation), yang erupsinya eksplosif, dan dengan komposisi
umum andesitik. Jadi lava bantal Berbah ini representasi dari bentuk awal
volkanisme Pulau Jawa. Singkapan seperti ini tidak banyak dijumpai di
sepanjang Pegunungan Selatan Jawa, lava Berbah adalah yang terbaik.
Kelangkaan ini mempertegas bahwa lava ini merupakan fase awal mulai
munculnya gunungapi di Jawa. [C. Prasetyadi].
Gambar 2.1. Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa
II.2 Geologi Regional
Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian selatan-timur yang
meliputi kawasan Gunungapi Merapi, Yogyakarta, Surakarta dan Pegunungan
Selatan dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu Zona Solo dan Zona Pegunungan
Selatan (Bemmelen, 1949) (lihat Gambar 2.2). Zona Solo merupakan bagian
dari Zona Depresi Tengah (Central Depression Zone) Pulau Jawa. Zona ini
ditempati oleh kerucut G. Merapi (± 2.968 m). Kaki selatan-timur gunungapi
tersebut merupakan dataran Yogyakarta-Surakarta ( ± 100 m sampai 150 m)
yang tersusun oleh endapan aluvium asal G. Merapi. Di sebelah barat Zona
Pegunungan Selatan, dataran Yogyakarta menerus hingga pantai selatan Pulau
4
Jawa, yang melebar dari P. Parangtritis hingga K. Progo. Aliran sungai utama di
bagian barat adalah K. Progo dan K. Opak, sedangkan di sebelah timur ialah K.
Dengkeng yang merupakan anak sungai Bengawan Solo (Bronto dan Hartono,
2001).
Satuan perbukitan terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo.
Perbukitan ini mempunyai kelerengan antara 40 – 150 dan beda tinggi 125 – 264
m. Beberapa puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo adalah G. Jabalkat (± 264 m)
di Perbukitan Jiwo bagian barat dan G. Konang (lk. 257 m) di Perbukitan Jiwo
bagian timur. Kedua perbukitan tersebut dipisahkan oleh aliran K. Dengkeng.
Perbukitan Jiwo tersusun oleh batuan Pra-Tersier hingga Tersier (Surono dkk,
1992).
Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-Surakarta di
sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur,
Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara
Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak,
sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan
Selatan ini hampir membujur barat-timur sepanjang lk. 50 km dan ke arah utara-
selatan mempunyai lebar lk. 40 km (Bronto dan Hartono, 2001).
Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona
Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu (Harsolumekso
dkk., 1997 dalam Bronto dan Hartono, 2001). Subzona Baturagung terutama
terletak di bagian utara, namun membentang dari barat (tinggian G. Sudimoro, ±
507 m, antara Imogiri-Patuk), utara (G. Baturagung, ± 828 m), hingga ke
sebelah timur (G. Gajahmungkur, ± 737 m). Di bagian timur ini, Subzona
Baturagung membentuk tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung (± 706 m)
dan G. Gajahmungkur (± 737 m). Subzona Baturagung ini membentuk relief
paling kasar dengan sudut lereng antara 100 – 300 dan beda tinggi 200-700
meter serta hampir seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunungapi.
Subzona Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di
bagian tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan
sekitarnya. Dataran ini dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan
utara, sedangkan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Subzona
Gunung Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini adalah K. Oyo yang mengalir
ke barat dan menyatu dengan K. Opak (lihat Gambar 2.2). Sebagai endapan
5
permukaan di daerah ini adalah lempung hitam dan endapan danau purba,
sedangkan batuan dasarnya adalah batugamping.
Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts,
yaitu bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut
dengan ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai
telaga, luweng (sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping
serta aliran sungai bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai
Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di sebelah timur.
Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok
yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment
yang cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di
sebelah selatan Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km.
Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut
Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2
(Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh
batugamping (limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis
berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan dasit (Van
Bemmelen,1949).
Gambar 2.2. Sketsa peta fisiografi sebagian Pulau Jawa dan Madura
(modifikasi dari van Bemmelen, 1949).
6
Stratigrafi Pegunungan Selatan
Penamaan satuan litostratigrafi Pegunungan Selatan telah banyak
dikemukakan oleh beberapa peneliti yang membedakan stratigrafi wilayah
bagian barat (Parangtritis – Wonosari) dan wilayah bagian timur (Wonosari –
Pacitan). Urutan stratigrafi Pegunungan Selatan bagian barat telah diteliti antara
lain oleh Bothe (1929), van Bemmelen (1949), Sumarso dan Ismoyowati (1975),
Sartono (1964), Nahrowi, dkk (1978) dan Suyoto (1992) serta Wartono dan
Surono dengan perubahan (1994) .
Gambar 2.3. Tatanan Stratigrafi Pegunungan Selatan dari beberapa
penulis.
Secara stratigrafi, urutan satuan batuan dari tua ke muda menurut penamaan
litostratifrafi menurut Wartono dan Surono dengan perubahan (1994) adalah :
1. Formasi Wungkal-Gamping
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Wungkal dan G. Gamping, keduanya di
Perbukitan Jiwo. Satuan batuan Tersier tertua di daerah Pegunungan Selatan ini
di bagian bawah terdiri dari perselingan antara batupasir dan batulanau serta
lensa batugamping. Pada bagian atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan
7
lensa batugamping. Formasi ini tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G.
Wungkal, Desa Sekarbolo, Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter
(Bronto dan Hartono, 2001).
Di bagian bawah, Formasi Wungkal-Gamping mengandung fosil
foraminifera besar, yaitu Assilina sp., Nummulites javanus VERBEEK,
Nummulites bagelensis VERBEEK dan Discocyclina javana VERBEEK.
Kelompok fosil tersebut menunjukkan umur Eosen Tengah bagian bawah
sampai tengah. Sementara itu bagian atas formasi ini mengandung asosiasi fosil
foraminifera kecil yang menunjukkan umur Eosen Akhir. Jadi umur Formasi
Wungkal-Gamping ini adalah Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir
(Sumarso dan Ismoyowati, 1975).
Sebagian dari satuan batuan ini semula merupakan endapan laut dangkal
yang kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat di lereng bawah laut, formasi
ini kemudian meluncur ke bawah dan diendapkan kembali di laut dalam
sehingga merupakan exotic faunal assemblage (Rahardjo, 1980). Formasi ini
tersebar luas di Perbukitan Jiwo dan K. Oyo di utara G. Gede, menindih secara
tidak selaras batuan metamorf serta diterobos oleh Diorit Pendul dan di atasnya,
secara tidak selaras, ditutupi oleh batuan sedimen klastika gunungapi
(volcaniclastic sediments) yang dikelompokkan ke dalam Formasi Kebo-Butak,
Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu.
2. Formasi Kebo-Butak
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Kebo dan G. Butak yang terletak di
lereng dan kaki utara gawir Baturagung. Litologi penyusun formasi ini di bagian
bawah berupa batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan
aglomerat. Bagian atasnya berupa perselingan batupasir dan batulempung
dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di bagian tengahnya dijumpai retas
lempeng andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai breksi andesit.
Pada Formasi Kebo-Butak, Sumarso dan Ismoyowati (1975) menemukan
fosil Globorotalia opima BOLLI, Globorotalia angulisuturalis BOLLI,
Globorotalia kuqleri BOLLI, Globorotalia siakensis LEROY, Globigerina
binaiensis KOCH, Globigerinoides primordius BLOW dan BANNER,
Globigerinoides trilobus REUSS. Kumpulan fosil tersebut menunjukkan umur
Oligosen Akhir – Miosen Awal. Lingkungan pengendapannya adalah laut
terbuka yang dipengaruhi oleh arus turbid. Formasi ini tersebar di kaki utara
8
Pegunungan Baturagung, sebelah selatan Klaten dan diduga menindih secara
tidak selaras Formasi Wungkal-Gamping serta tertindih selaras oleh Formasi
Semilir. Ketebalan dari formasi ini lebih dari 650 meter.
3. Formasi Semilir
Formasi ini berlokasi tipe di G. Semilir, sebelah selatan Klaten. Litologi
penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung dan
serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit hingga
dasit.
Di bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di K. Opak, Dusun Watuadeg, Desa
Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran lava
bantal (Bronto dan Hartono, 2001). Penyebaran lateral Formasi Semilir ini
memanjang dari ujung barat Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Pleret-Imogiri,
di sebelah barat G. Sudimoro, Piyungan-Prambanan, di bagian tengah pada G.
Baturagung dan sekitarnya, hingga ujung timur pada tinggian G. Gajahmungkur,
Wonogiri. Ketebalan formasi ini diperkirakan lebih dari 460 meter.
Pada umumnya, formasi ini miskin akan fosil. Namun, Sumarso dan
Ismoyowati (1975) menemukan fosil Globigerina tripartita KOCH pada bagian
bawah formasi dan Orbulina pada bagian atasnya. Sedangkan pada bagian
tengah formasi ditemukan Globigerinoides primordius BLOW dan BANNER,
Globoquadrina altispira CUSHMAN dan JARVIS, Globigerina praebulloides
BLOW dan Globorotalia siakensis LE ROY. Berdasarkan hal tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Miosen Awal-Miosen Tengah
bagian bawah.
Formasi Semilir ini menindih secara selaras Formasi Kebo-Butak, namun
secara setempat tidak selaras (van Bemmelen, 1949). Formasi ini menjemari
dengan Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu, namun tertindih secara
tidak selaras oleh Formasi Oyo (Surono, dkk., 1992). Dengan melimpahnya tuf
dan batuapung dalam volume yang sangat besar, maka secara vulkanologi
Formasi Semilir ini dihasilkan oleh letusan gunungapi yang sangat besar dan
merusak, biasanya berasosiasi dengan pembentukan kaldera letusan (Bronto dan
hartono, 2001).
9
4. Formasi Nglanggran
Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah selatan Desa
Semilir. Batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat, tuf dan
aliran lava andesit-basal dan lava andesit. Breksi gunungapi dan aglomerat yang
mendominasi formasi ini umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari
andesit dan sedikit basal, berukuran 2 – 50 cm. Di bagian tengah formasi ini,
yaitu pada breksi gunungapi, ditemukan batugamping terumbu yang membentuk
lensa atau berupa kepingan. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh batupasir
gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis baik.
Pada umumnya Formasi Nglanggran ini juga miskin akan fosil. Sudarminto
(1982, dalam Bronto dan Hartono (2001)) menemukan fosil foraminifera
Globigerina praebulloides BLOW, Globigerinoides primordius BLOW dan
BANNER, Globigerinoides sacculifer BRADY, Globoquadrina dehiscens
CHAPMANN, PARR dan COLLINS pada sisipan batulempung yang
menunjukkan umur Miosen Awal. Sedangkan Saleh (1977, dalam Bronto dan
Hartono (2001)) menemukan fosil foraminifera Globorotalia praemenardiii
CUSHMAN dan ELLISOR, Globorotalia archeomenardii BOLLI, Orbulina
suturalis BRONNIMANN, Orbulina universa D’ORBIGNY dan
Globigerinoides trilobus REUSS pada sisipan batupasir yang menunjukkan
umur Miosen Tengah bagian bawah. Sehingga disimpulkan bahwa umur formasi
ini adalah Miosen Awal-Miosen Tengah bagian bawah.
Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di sebelah
barat hingga tinggian G. Panggung di sebelah timur. Ketebalan formasi ini di
dekat Nglipar sekitar 530 meter. Formasi ini menjemari dengan Formasi Semilir
dan Formasi Sambipitu dan secara tidak selaras ditindih oleh Formasi Oyo dan
Formasi Wonosari. Dengan banyaknya fragmen andesit dan batuan beku luar
berlubang serta mengalami oksidasi kuat berwarna merah bata maka
diperkirakan lingkungan asal batuan gunungapi ini adalah darat hingga laut
dangkal. Sementara itu, dengan ditemukannya fragmen batugamping terumbu,
maka lingkungan pengendapan Formasi Nglanggran ini diperkirakan di dalam
laut.
10
5. Formasi Sambipitu
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya
Yogyakarta-Patuk-Wonosari kilometer 27,8. Secara lateral, penyebaran formasi
ini sejajar di sebelah selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan Subzona
Baturagung, namun menyempit dan kemudian menghilang di sebelah timur.
Ketebalan Formasi Sambipitu ini mencapai 230 meter.
Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar,
kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-seling
dengan serpih, batulanau dan batulempung. Pada bagian bawah kelompok
batuan ini tidak mengandung bahan karbonat. Namun di bagian atasnya,
terutama batupasir, mengandung bahan karbonat. Formasi Sambipitu
mempunyai kedudukan menjemari dan selaras di atas Formasi Nglanggran.
Fosil yang ditemukan pada formasi ini diantaranya Lepidocyclina verbeeki
NEWTON dan HOLLAND, Lepidocyclina ferreroi PROVALE, Lepidocyclina
sumatrensis BRADY, Cycloclypeus comunis MARTIN, Miogypsina
polymorpha RUTTEN dan Miogypsina thecideaeformis RUTTEN yang
menunjukkan umur Miosen Tengah (Bothe, 1929). Namun Suyoto dan Santoso
(1986, dalam Bronto dan Hartono, 2001) menentukan umur formasi ini mulai
akhir Miosen Bawah sampai awal Miosen Tengah. Kandungan fosil
bentoniknya menunjukkan adanya percampuran antara endapan lingkungan laut
dangkal dan laut dalam.
Dengan hanya tersusun oleh batupasir tuf serta meningkatnya kandungan
karbonat di dalam Formasi Sambipitu ini diperkirakan sebagai fase penurunan
dari kegiatan gunungapi di Pegunungan Selatan pada waktu itu (Bronto dan
Hartono, 2001).
6. Formasi Oyo
Lokasi tipe formasi ini berada di K. Oyo. Batuan penyusunnya pada bagian
bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas secara berangsur
dikuasai oleh batugamping berlapis dengan sisipan batulempung karbonatan.
Batugamping berlapis tersebut umumnya kalkarenit, namun kadang-kadang
dijumpai kalsirudit yang mengandung fragmen andesit membulat. Formasi Oyo
tersebar luas di sepanjang K. Oyo. Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter
dan kedudukannya menindih secara tidak selaras di atas Formasi Semilir,
11
Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu serta menjemari dengan Formasi
Oyo.
Formasi Oyo umumnya berlapis baik. Sedangkan fosil yang dijumpai antara
lain Cycloclypeus annulatus MARTIN, Lepidocyclina rutteni VLERK,
Lepidocyclina ferreroi PROVALE, Miogypsina polymorpha RUTTEN dan
Miogypsina thecideaeformis RUTTEN yang menunjukkan umur Miosen Tengah
hingga Miosen Akhir (Bothe, 1929). Lingkungan pengendapannya pada laut
dangkal (zona neritik) yang dipengaruhi kegiatan gunungapi.
7. Formasi Wonosari
Formasi ini oleh Surono dkk., (1992) dijadikan satu dengan Formasi Punung
yang terletak di Pegunungan Selatan bagian timur karena di lapangan keduanya
sulit untuk dipisahkan, sehingga namanya Formasi Wonosari-Punung. Formasi
ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk bentang
alam Subzona Wonosari dan topografi karts Subzona Gunung Sewu. Ketebalan
formasi ini diduga lebih dari 800 meter. Kedudukan stratigrafinya di bagian
bawah menjemari dengan Formasi Oyo, sedangkan di bagian atas menjemari
dengan Formasi Kepek. Formasi ini didominasi oleh batuan karbonat yang
terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Sedangkan sebagai
sisipan adalah napal. Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.
Berdasarkan kandungan fosil foraminifera besar dan kecil yang melimpah,
diantaranya Lepidocyclina sp. dan Miogypsina sp., ditentukan umur formasi ini
adalah Miosen Tengah hingga Pliosen. Lingkungan pengendapannya adalah laut
dangkal (zona neritik) yang mendangkal ke arah selatan (Surono dkk, 1992).
8. Formasi Kepek
Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, sekitar 11 kilometer di
sebelah barat Wonosari. Formasi Kepek tersebar di hulu K. Rambatan sebelah
barat Wonosari yang membentuk sinklin. Batuan penyusunnya adalah napal dan
batugamping berlapis. Tebal satuan ini lebih kurang 200 meter.
Formasi Kepek umumnya berlapis baik dengan kemiringan kurang dari 10o
dan kaya akan fosil foraminifera kecil. Fosil yang terkandung di antaranya
Globorotalia plesiotumida BLOW dan BANNER, Globorotalia
12
merotumida, Globoquadrina dehiscens CHAPMAN, PARR dan COLLINS,
Amphistegina sp., Textularia sp., Cibicides sp., Cassidulina sp. dan Virgulina
sp. Berdasarkan kandungan fosil tersebut, maka umur Formasi Kepek adalah
Miosen Akhir hingga Pliosen. Formasi Kepek menjemari dengan bagian atas
dari Formasi Wonosari-Punung. Lingkungan pengendapannya adalah laut
dangkal (zona neritik) (Samodra, 1984, dalam Bronto dan Hartono, 2001).
9. Endapan Permukaan
Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang lebih
tua yang terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa kini. Terdiri dari bahan
lepas sampai padu lemah, berbutir lempung hingga kerakal. Surono dkk. (1992)
membagi endapan ini menjadi Formasi Baturetno (Qb), Aluvium Tua (Qt) dan
Aluvium (Qa). Sumber bahan rombakan berasal dari batuan Pra-Tersier
Perbukitan Jiwo, batuan Tersier Pegunungan Selatan dan batuan G. Merapi.
Endapan aluvium ini membentuk Dataran Yogyakarta-Surakarta dan dataran di
sekeliling Bayat. Satuan Lempung Hitam, secara tidak selaras menutupi satuan
di bawahnya. Tersusun oleh litologi lempung hitam, konglomerat, dan pasir,
dengan ketebalan satuan ± 10 m. Penyebarannya dari Ngawen, Semin, sampai
Selatan Wonogiri. Di Baturetno, satuan ini menunjukan ciri endapan danau,
pada Kala Pleistosen. Ciri lain yaitu: terdapat secara setempat laterit (warna
merah kecoklatan) merupakan endapan terarosa, yang umumnya menempati
uvala pada morfologi karst.
II. 3 Penelitian Terdahulu
Judul : Gunung Api purba Watuadeg: Sumber Erupsi dan Posisi
Stratigrafi
Peneliti : S. Bronto - PSG, Badan Geologi.
: S. Mulyaningsih - IST Akprind.
: G. Hartono - Jurusan Teknik Geologi, STTNAS.
: B. Astuti - Jurusan Teknik Geologi, STTNAS.
13
Gambar 2.4. Kolom stratigrafi regional daerah Pegunungan Selatan
(Rahardjo drr., 1977; Surono drr., 1992). Litologi di daerah penelitian
termasuk ke dalam Formasi Semilir.
Batuan gunung api Tersier banyak dijumpai di Pegunungan Selatan,
baik berupa batuan beku luar (ekstrusi/lava) dan intrusi maupun batuan klas-
tika gunung api fraksi kasar hingga halus. Secara litostratigrafis, batuan
gunung api tersebut dibagi menjadi beberapa satuan batuan, mulai dari Formasi
Kebo-Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggeran, dan Formasi Sambipitu
(Surono drr., 1992). Lava basal berstruktur bantal banyak dijumpai di
dalam Formasi Kebo-Butak, antara lain terdapat di Bayat, Tegalrejo, dan
Gunung Sepikul (Bronto drr., 2004a). Lava bantal di Watuadeg belum jelas
termasuk ke dalam formasi batuan yang mana karena tidak berasosiasi
14
dengan batuan sedimen Formasi Kebo-Butak dan langsung ditindih oleh
Formasi Semilir.
Aliran lava basal piroksen (50 % berat SiO2) berstruktur bantal
tersingkap di Kali Opak sebelah barat Dusun Watuadeg, Sleman - Yogyakarta.
Lava tersebut mempunyai panjang aliran 2 – 5 m, diameter 0,5 – 1,0 m dan
membentuk kulit kaca di permukaannya. Arah aliran berubah secara bertahap
dari U70oT di bagian utara menjadi U120oT di tengah dan U150oT di bagian
selatan. Lebih kurang 150 m di sebelah barat sungai terdapat sebuah bukit kecil
setinggi 15 m, yang mempunyai komposisi sama dengan aliran lava bantal.
Keduanya berupa basal piroksen berwarna abu-abu gelap, bertekstur vitrofir –
porfir, mengandung fenokris halus terdiri atas piroksen (10 %) dan plagioklas
(25 %) yang tertanam di dalam massa dasar gelas. Berdasarkan data tersebut
diperkirakan bahwa bukit kecil itu merupakan sumber erupsi aliran lava bantal
Watuadeg. Lava bantal itu ditindih oleh batuan klastika gunung api yang terdiri
atas tuf, batu lapili, dan breksi pumis yang merupakan bagian Formasi Semilir.
Di dekat kontak, batuan klastika gunung api tersebut mengandung fragmen basal
piroksen yang berkomposisi sama dengan aliran lava bantal. Hal ini, bersama
dengan analisis data petrologi, vulkanologi, dan umur radiometri menunjukkan
bahwa aliran lava bantal Watuadeg secara tidak selaras ditindih oleh Formasi
Semilir.
Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 3 September 2008: 117-128
15
BAB III
DASAR TEORI
II.1 Pengertian Metode Geomagnetik
Dalam metode geomagnetik ini, bumi diyakini sebagai batang magnet
raksasa dimana medan magnet utama bumi yang telah dihasilkan. Kerak bumi
menghasilkan medan magnet jauh lebih kecil daripada medan utama magnet
yang dihasilkan bumi secara keseluruhan. Teramatinya suatu medan magnet
pada bagian bumi tertentu, umunya disebut anomali magnetik yang dipengaruhi
suseptibilitas batuan tersebut dan remanen magnetiknya. Berdasarkan suatu
anomali magnetik batuan ini, maka pendugaan sebaran batuan yang dipetakan
baik secara lateral maupun vertikal.
Eksplorasi menggunakan metode magnetik, terdiri atas tiga tahap:
akuisisi data lapangan, processing data, interpretasi data. Setiap tahap terdiri
dari beberapa perlakuan atau kegiatan. Pada tahapan akuisisi, dilakukan
penentuan titik pengamatan dan pengukuran dengan satu atau dua alat. Untuk
mengkoreksi data pengukuran dilakukan pada tahap processing. Pada metode
magnetik terdiri atas koreksi harian (diurnal), koreksi topografi (terrain) dan
koreksi-koreksi lainnya. Sedangkan saat interpretasi dari hasil pengolahan data
dengan menggunakan software diperoleh peta anomali magnetik.
Metode magnetik didasarkan pada perbedaan tingkat magnetisasi suatu
batuan yang diinduksi oleh medan magnet bumi. Hal tersebut terjadi sebagai
akibat adanya perbedaan sifat kemagnetan suatu material. Kemampuan suatu
batuan untuk termagnetisasi tergantung dari suseptibilitas magnetik masing-
masing batuan. Nilai suseptibilitas suatu batuan sangat penting di dalam
pencarian benda anomali karena sifat yang khas untuk setiap jenis mineral atau
mineral logam. Nilainya akan semakin besar bila jumlah kandungan mineral
magnetik pada batuan semakin banyak.
Pengukuran dengan menggunakan metode magnetik yang paling banyak
dilakukan adalah dengan menggunakan alat PPM (Proton Precession
Magnetometer). Metode ini pada dasarnya dilakukan berdasarkan pengukuran
anomali geomagnetik yang diakibatkan oleh perbedaan kontras suseptibilitas,
atau permeabilitas magnetik suatu jebakan dari daerah magnetik di
sekelilingnya. Disini perbedaan permeabilitas itu sendiri pada dasarnya
16
diakibatkan oleh perbedaan distribusi mineral yang bersifat ferromagnetik,
paramagnetik, diamagnetik.
Pengukuran magnetik dilakukan pada lintasan ukur yang tersedia dengan
interval antar titik ukur 10 m dan jarak lintasan 40 m. Batuan yang memiliki
kandungan mineral-mineral tertentu dapat dikenali dengan baik dalam
eksplorasi geomagnet yang dimunculkan sebagai anomali yang diperoleh
merupakan hasil distorsi pada medan magnetik yang diakibatkan oleh material
magnetik kerak bumi atau mungkin juga bagian atas mantel. Kemampuan suatu
batuan untuk dapat termagnetisasi sangat dipengaruhi oleh oleh factor
susceptibilitas batuan. Objek pengamatan dari metode ini adalah benda yang
bersifat mangnetik, dapat berupa gejala struktur bawah tanah permukaan
ataupun batuan tertentu. Metode ini dapat digunakan sebagai preliminary survey
untuk menentukan bentuk geometri dari bentuk basement,intrusi dan patahan.
Metode magnetic didasarkan pada pengukuran variasiintensitas medan magnetic
di permukaan bumi yang disebabkan oleh adanyavariasi distribusi benda
termagnetisasi dibawah permukaan bumi (suseptibilitas)
Metode magnetik memiliki kesamaan latar belakang fisika denga metode
gravitasi, karena kedua metode sama-sama berdasarkan kepada teori potensial,
sehingga kedua metode ini sering disebut sebagai metode potensial. Dengan
demikian, ditinjau ari segi besaran fisika yang terlibat, kedua metode ini
mempunyai perbedaan yang mendasar. Dalam metode magnetik harus
mempertimbangkan variasi arah dan besaran vektor magnetisasi, sedangkan
dalam metode gravitasi hanya dapat ditinjau variasi besar vektor percepatan
gravitasi. Data dari pengamatan magnetik lebih menunjukkan sifat residual
kompleks. Namun demikian, metode magnetik memiliki variasi terhadap waktu
lebih besar. Pengukuran suatu intensitas medan magnetik bisa dilakukan
melalui darat, laut bahkan di udara. Metode magnetik sering digunakan dalam
eksplorasi pendahuluan panas bumi, minyak bumi, dan batuan mineral serta
bisa diterapkan pada pencarian prospek benda-benda arkeologi.
II.2. Konsep Dasar Metode Magnetik
Dalam fisika, magnetisme adalah salah satu fenomena dimana material
mengeluarkan gaya menarik atau menolak pada material lainnya. Beberapa
material yang memiliki sifat magnet adalah besi, dan beberapa baja, dan mineral
17
lodestone; namun, seluruh material pasti terpengaruh walaupun sedikit saja oleh
kehadiran medan magnet, meskipun dalam kebanyakan kasus pengaruhnya
sangat kecil untuk dideteksi tanpa alat khusus.
Istilah magnet berasal dari kata "Magnesia", Magnesia adalah sebuah
kota kecil di asia, disana tempat pertama kali menemukan batu yang dapat
menarik besi, lalu disebut magnet. Gaya magnet adalah gaya dasar yang terjadi
karena gerakan muatan listrik. Persamaan Maxwell menjelaskan awal dan sifat
dari medan yang mengatur gaya-gaya tersebut lihat hukum Biot-Savart. Oleh
karena itu, magnetisme terlihat ketika partikel bermuatan dalam gerak. Ini dapat
terjadi baik dari gerakan elektron dalam sebuah arus litrik, menghasilkan
"elektromagnetisme", atau dari gerakan orbital mekanika-kuantum tidak ada
gerakan orbital elektron sekitar nukleus seperti planet sekitar matahari, tetapi
ada kecepatan elektron efektive dan spin dari elektron, menghasilkan apa yang
dikenal sebagai magnet permanen.
II.3 Filter Pengolahan Data Magnetik
Untuk dapat menyelidiki keadaan bawah permukaan berdasarkan
perbedaan rapat masa cebakan mineral dari daerah sekeliling (r=gram/cm3).
Metode ini adalah metode geofisika yang sensitive terhadap perubahan vertikal,
oleh karena itu metode ini disukai untuk mempelajari kontak intrusi, batuan
dasar, struktur geologi, endapan sungai purba, lubang di dalam masa batuan,
shaff terpendam dan lain-lain. Eksplorasi biasanya dilakukan dalam bentuk kisi
atau lintasan penampang. Perpisahan anomali akibat rapat masa dari kedalaman
berbeda dilakukan dengan menggunakan filter matematis atau filter geofisika.
Di pasaran sekarang didapat alat gravimeter dengan ketelitian sangat tinggi
( mgal ), dengan demikian anomali kecil dapat dianalisa. Hanya saja metode
penguluran data, harus dilakukan dengan sangat teliti untuk mendapatkan hasil
yang akurat. Penggunaan filter matematis umum dilakukan untuk memisahkan
anomaly berdasarkan panjang gelombang maupun kedalaman sumber anomaly
magnetic yang ingin diselidiki. Di pasaran banyak ditawarkan alat geomagnet
dengan sensitifitas yang tinggi seperti potongan Proton Magnetometer dan lain-
lain. Perpisahan anomali akibat rapat masa dari kedalaman berbeda dilakukan
dengan menggunakan filter matematis atau filter geofisika. Di pasaran sekarang
didapat alat gravimeter dengan ketelitian sangat tinggi ( mgal ), dengan
18
demikian anomali kecil dapat dianalisa. Hanya saja metode penguluran data,
harus dilakukan dengan sangat teliti untuk mendapatkan hasil yang akurat.
Koreksi Data Magnetik
Beberapa hal yang harus dilakukan untuk memperoleh nilai anomali
medan magnetik yang diinginkan, maka dilakukan koreksi terhadap data medan
magnetik total hasil pengukuran pada setiap titik lokasi atau stasiun pengukuran,
yang mencakup koreksi harian, IGRF serta topografi.
1. Koreksi Harian
Koreksi harian (diurnal correction) merupakan penyimpangan nilai medan
magnetik bumi akibat adanya perbedaan waktu dan efek radiasi matahari dalam
satuhari. Waktu yang dimaksudkan harusmengacu atau sesuai dengan waktu
pengukuran data medan magnetik di setiaptitik lokasi (stasiun pengukuran) yang
akan dikoreksi. Apabila nilai variasi harian negatif, maka koreksi harian
dilakukan dengan cara menambahkan nilai variasi harian yang terekan pada
waktu tertentu terhadap data medan magnetik yang akan dikoreksi. Sebaliknya
apabila variasi harian bernilai positif, maka koreksinya dilakukan dengan cara
mengurangkan nilai variasi harian yang terekan pada waktu tertentu terhadap
data medan magnetic yang akan dikoreksi, datap dituliskandalam persamaan
ΔH = Htotal ± Δh harian
2. Koreksi IGRF
Data hasil pengukuran medan magnetik pada dasarnya adalah konstribusi
dari tiga komponen dasar, yaitu medan magnetik utama bumi, medan magnetik
luar dan medan anomali. Nilai medan magnetik utama tidak lain adalah niali
IGRF. Jika nilai medan magnetik utama dihilangkan dengan koreksi harian,
maka kontribusi medan magnetik utama dihilangkan dengan koreksi IGRF.
Koreksi IGRF dapat dilakukan dengan cara mengurangkan nilai IGRF terhadap
nilai medan magnetik total yang telah terkoreksi harian pada setiap titik
pengukuran pada posisi geografis yang sesuai. Persamaan koreksinya (setelah
dikoreksi harian) dapat dituliskan sebagai berikut :
ΔH = Htotal ± ΔHharian ± H0
Dimana H0 = IGRF
19
3. Koreksi Topografi
Koreksi topografi dilakukan jika pengaruh topografi dalam survei megnetik
sangat kuat. Koreksi topografi dalam survei geomagnetik tidak mempunyai
aturan yang jelas. Salah satu metode untuk menentukan nilai koreksinya adalah
dengan membangun suatu model topografi menggunakan pemodelan beberapa
prisma segiempat (Suryanto, 1988). Ketika melakukan pemodelan, nilai
suseptibilitas magnetik (k) batuan topografi harus diketahui, sehingga model
topografi yangdibuat, menghasilkan nilai anomali medan magnetik (ΔHtop)
sesuai dengan fakta.
Selanjutnya persamaan koreksinya (setelahdilakukan koreski harian dan
IGRF) dapat dituliskan sebagai :
ΔH = Htotal ± ΔHharian – H0 – Δhtop.
Setelah semua koreksi dikenakan padadata-data medan magnetik yang
terukurdilapangan, maka diperoleh data anomaly medan magnetik total di
topogafi. Untuk mengetahui pola anomali yang diperoleh,yang akan digunakan
sebagai dasar dalam pendugaan model struktur geologi bawah permukaan yang
mungkin, maka data anomali harus disajikan dalam bentuk peta kontur. Peta
kontur terdiri dari garis-garis kontur yang menghubungkan titik-titik yang
memiliki nilai anomali sama, yang diukur dar suatu bidang pembanding tertentu.
20
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
IV.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian terdapat di bawah jembatan Kali Opak Dusun Watuadeg,
Karongan, Jogotirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta. 30 menit dari Kampus UPN
V Yogyakarta. Penelitian dilakukan pada hari Sabtu 18 Mei 2013 pada pukul
08.30 – 10.30.
Gambar 2.1. Denah lokasi pengamatan.
Keterangan :
: Kampus UPN Condong Catur
: : Jogja Expo Center
: Pom Bensin
21
A1
B1
Q1
IV.2 Instrumentasi
1. Proton Precession Magnetometer
Gambar 2.2. Proton Precession Magnetometer dan kelengkapannya.
Prinsip kerja Proton Procession Magnetometer adalah dengan
menggunakan presesi proton. Medan magnet yg cukup kuat akan menginduksi
proton (yg terdapat dalam cairan kaya hidrogen) sumbu putar proton akan
mengikuti sumbu dari magnet, medan magnet yg kuat dihilangkan sumbu putar
proton akan berubah mengikuti sumbu medan magnet bumi. Perubahan arah
sumbu putar dari proton ini (dari medan yg kuat ke medan magnet bumi) disebut
dengan presesi. Normalnya, proton cenderung untuk sejajar dengan medan
magnet Bumi. Ketika subjek diinduksi medan magnet (dibuat sedemikian),
maka proton dengan sendirinya akan menyesuaikan dengan medan yang baru.
Dan ketika medan baru itu dihentikan maka proton akan kembali seperti semula
yang sejajar dengan medan magnet Bumi. Saat terjadi perubahan kesejajaran,
perputaran proton berpresesi, dan putarannya semakin melambat. Perubahan
arah sumbu putar ini yang kemudian diterjemahkan oleh alat menjadi
pembacaan besarnya medan magnet bumi di lokasi tersebut.
22
2. GPS
Gambar 2. GPS
GPS berfungsi untuk mengetahui koordinat titik lintasan dan ketinggian
dimulai dari titik base sampai titik terakhir dan kembali ke base lagi.
3. Kompas Geologi
Gambar 3. Kompas Geologi
Kompas Geologi digunakan untuk mengetahui azimuth lintasan yang
dilalui oleh base dan titik-titik telitian.
23
4. Meteran
Gambar 4. Meteran
Meteran digunakan untuk mengukur panjang lintasan dari base dan titik-
titik telitian.
IV.3 Diagram Alir Pengambilan Data
24
Menyiapkan alat yang Dibutuhkan & cek
Menentukan Arah Lintasan
Melakukan Pengukuran Pada Titik Base
Melakukan Pencatatan Koordinat Titik Base,
Waktu dan Nilai Resistiviti
Menentukan Titik 1Melakukan hal seperti
sebelumnya
Melakukan Pengukuran Setiap Jarak 10 m Pada
Lintasan
Penjelasan :
Pertama – tama kita persiapkan peralatan yang dibutuhkan, kemudian cek alat
apakah dalam kondisi yang baik, setelah dipastikan dalam kondisi baik lalu kita siap
melakukan penelitian. Kemudian tentukan lintasan yang akan digunakan serta jarak
lintasan, lalu menentukan base point dan mengukur koordinat serta nilai Intensitas
Magnetik. Lalu menentukan azimuth lintasan untuk titik pertama dengan jarak 10
meter pada tiap titik. Lakukan hal yang sama hingga titik terakhir dan kembali pada
titik base point.
IV.3 Diagram Alir Pengambilan Data
25
Melakukan Pengukuran Kembali Pada Titik Base
Catat Data Lapangan Koordinat, elevasi, waktu dan Intensitas Kemagnetan
Pengolahan Data Menggunakan Ms. Excel
Anomali Medan Magnetik Total
Pengolahan data menggunakan Suffer dan Magpick
Pembuatan peta H Anomali, Upward Continuation Regional dan Lokal
Interpretasi Kuantitatif dan Interpretasi Kualitatif
Koreksi Variasi Harian dan Koreksi IGRF
Pembahasan :
Pertama – tama yang dilakukan dalam pengambilan data mencatat data
koordinat X dan Koordinat Y, Ha dan Line. Kemudian mengolah data
menggunakan Ms Excel. Memasukan data Koordinat X,Y serta delta H pada
software SURFER dan mengolah mengunakan Mag Pick. Hasil olahan dari Surfer
berupa peta Anomali Kemagnetan Ha serta Peta Upward Continouation Regional
dan Lokal. Lalu melakukan analisis dengan mengintrepetasi secara kualitatif dan
kuantitatif data yang telah didapatkan. Langkah terakhir adalah menarik
kesimpulan.
IV.4 Desain Survey
Gambar. Daerah Berbah
26
BAB VHASIL PEMBAHASAN
V. I Grafik Gradien Intensitas Medan Magnet Total Semua Line
0 20 40 60 80 100 120 140 1600
50100150200250300350400450
Delta H vs Posisi
Line 5
Offset (m)
Delta
H (n
T)
Pada gambar grafik line 5 diatas terlihat jelas bahwa daerah yang memiliki potensi dengan daya magnet maksimum terletak pada posisi posisi 40m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi 430nT. Daerah dengan potensi daya magnet sedang terletak pada posisi 105m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi 300 nT. Sedangkan daerah dengan potensi daya magnet minimum terletak pada posisi 150m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi 100nT.
0 20 40 60 80 100 120 140 160
-1000-800-600-400-200
0200400600800
Delta H vs Posisi
Line 4
Offset (m)
Delta
H (n
T)
Pada gambar grafik line 4 diatas terlihat jelas bahwa daerah yang memiliki potensi dengan daya magnet maksimum terletak pada posisi posisi 150m dengan
27
selisih ketinggian yang sudah dikoreksi 700nT. Daerah dengan potensi daya magnet sedang terletak pada posisi 40m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi 100 nT. Sedangkan daerah dengan potensi daya magnet minimum terletak pada posisi 70m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi -810nT.
0 20 40 60 80 100 120 140 160
-600-400-200
0200400600800
10001200
Delta H vs Posisi
Line 7
Offset (m)
Delta
H (n
T)
Pada gambar grafik line 7 diatas terlihat jelas bahwa daerah yang memiliki potensi dengan daya magnet maksimum terletak pada posisi posisi 45m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi 1040nT. Daerah dengan potensi daya magnet sedang terletak pada posisi 95m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi 200 nT. Sedangkan daerah dengan potensi daya magnet minimum terletak pada posisi 120m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi -420nT.
0 20 40 60 80 100 120 140 1600
100
200
300
400
500
600
Delta H vs Posisi
Line 9
Offset (m)
Delta
H (n
T)
28
Pada gambar grafik line 9 diatas terlihat jelas bahwa daerah yang memiliki potensi dengan daya magnet maksimum terletak pada posisi posisi 40m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi 550nT. Daerah dengan potensi daya magnet sedang terletak pada posisi 50m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi 320nT. Sedangkan daerah dengan potensi daya magnet minimum terletak pada posisi 0m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi 20nT.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 900
200
400
600
800
1000
1200
Delta H vs Posisi
Line 11
Offset (m)
Delta
H (n
T)
Pada gambar grafik line 11 diatas terlihat jelas bahwa daerah yang memiliki potensi dengan daya magnet maksimum terletak pada posisi posisi 40m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi 960nT. Daerah dengan potensi daya magnet sedang terletak pada posisi 30m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi 600nT. Sedangkan daerah dengan potensi daya magnet minimum terletak pada posisi 10m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi 430nT.
0 20 40 60 80 100 120 140 160
-2000
-1500
-1000
-500
0
500
1000
Delta H vs Posisi
Line 13
Offset (m)
Delta
H (n
T)
29
Pada gambar grafik line 13 diatas terlihat jelas bahwa daerah yang memiliki potensi dengan daya magnet maksimum terletak pada posisi posisi 145m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi 490nT. Daerah dengan potensi daya magnet sedang terletak pada posisi 90m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi -600 nT. Sedangkan daerah dengan potensi daya magnet minimum terletak pada posisi 65m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi -1700nT.
0 20 40 60 80 100 120 140 160
-1400-1200-1000
-800-600-400-200
0200400
Delta H vs Posisi
Line 14
Offset (m)
Delta
H (n
T)
Pada gambar grafik line 14 diatas terlihat jelas bahwa daerah yang memiliki potensi dengan daya magnet maksimum terletak pada posisi posisi 150m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi 190nT. Daerah dengan potensi daya magnet sedang terletak pada posisi 15m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi -500nT. Sedangkan daerah dengan potensi daya magnet minimum terletak pada posisi 70m dengan selisih ketinggian yang sudah dikoreksi -1360nT.
30
V.2 Peta H Anomali
440250 440300 440350 440400 440450 440500
9136600
9136650
9136700
9136750
9136800
9136850
9136900
9136950
-1800
-1600
-1400
-1200
-1000
-800
-600
-400
-200
0
200
400
600
800
10005
5
4
4
7
7
9
9
11
11
13
13
14
14
440250 440300 440350 440400 440450 440500
9136600
9136650
9136700
9136750
9136800
9136850
9136900
9136950
PETA HA
nT
0 50 100 150 200 m
Pembahasan :Berdasarkan pengolahan data melalui Magpick dan Surfer, maka
didapatkan peta Ha sebaran intensitas medan magnet daerah diatas. Dapat
diperhatikan juga bahwa peta intensitas medan magnet tersebut juga terbagi
menjadi tiga kategori utama, yaitu intensitas besar, sedang, dan kecil. Daerah
dengan intensitas besar diwakili warna merah sampai orange dengan range
intensitas mulai dari 0 nT sampai 1200 nT, mewakili sekitar 45 % dari luas peta.
Kemudian daerah dengan intensitas sedang diwakili oleh warna kuning sampai
hijau dengan range intensitas sebesar -800 nT sampai 0 nT mewakili sekitar
45% dari luasan pada peta. Sedangkan daerah dengan intensitas kecil diwakili
oleh warna biru sampai ungu muda, dengan range intensitas (-1800 - ) nT
sampai (-800) nT mewakili sekitar 10%.
31
V.3 Peta Upward Continuation Local
-1100-1000-900-800-700-600-500-400-300-200-1000100200300400500600700800900
-1200-1100-1000-900-800-700-600-500-400-300-200-1000100200300400500600700800900
-1200-1100-1000-900-800-700-600-500-400-300-200-10001002003004005006007008009001000
PETA UPWARD CONTINUATION LOCAL
0 50 100 150 200
nT
m
Gambar . Peta Upward Continuation (Lokal)
Peta Upward Continuation (Lokal) pada telitian memiliki koordinat X : 440250 - 440500 dan Y : 9136600 – 9136950 . yang mana peta tersebut merupakan hasil pengangkatan peta pada ketinggian tertentu dengan tujuan yaitu untuk melihat target pengamatan terlihat lebih jelas tanpa tergabung dengan noise noise ataupun gangguan yang di pengaruhi oleh benda di daerah permukaan .
Peta ini yang mana menggunakan tahap tahap perlapisan yang setiap perlapisan menunjukan ketinggian – ketinggian yang berbeda- beda yaitu 10 sd 50. Pada Peta ini memperlihatkan keadaan daerah penelitian secara lokal.
Pada ketinggian 10 didomonasi daerah dengan intensitas rendah dengan nilai berkisar -300 nT sampai 100 nT. Dan ketika mencapai pengangkatan pada lapisan menuju ketinggian yang lebih tinggi yaitu 50 maka terihat terjadi perubahan kenampakan internsitas yang mana menjadi lebih tinggi yaitu dengan nilai berkisar -500 nT sampai 600 nT.
32
V.4 Peta Upward Continuation Regional
-1100
-1000
-900
-800
-700
-600
-500
-400
-300
-200
-100
0
100
200
300
400
500
600
700
-950
-850
-750
-650
-550
-450
-350
-250
-150
-50
50
150
250
350
450
550
0 50 100 150 200
nT
m
Gambar . Peta Upward Continuation (Regional)
Seerti halnya dengan Peta Upward Continuation (Lokal), pada Peta Upward Continuation (Regional), juga bertempat pada telitian yang memiliki koordinat X : 440250 - 440500 dan Y : 9136600 – 9136950 . yang mana peta tersebut merupakan hasil pengangkatan peta pada ketinggian tertentu dengan tujuan yaitu untuk melihat target pengamatan terlihat lebih jelas tanpa tergabung dengan noise noise ataupun gangguan yang di pengaruhi oleh benda di daerah permukaan . Peta memperlihatkan daerah penelitian secara regional.
Pada ketinggian 10 terlihat dibagian barat daya daerah telitian di dominasi oleh daerah dengan intersitas rendah dengan nilai berkisar -1200 nT hingga -600 nT. Yang pada warna menunjukan warna abu – abu sampai biru tua, yang mana dapat di interpretasikan bahwa daerah tersebut di dominasi oleh material lepas (Alluvial). Dan ketika mencapai pengangkatan pada lapisan menuju ketinggian yang lebih tinggi yaitu 50pada daerah timur laut maka terihat terjadi perubahan kenampakan internsitas yang lebih tinggi pada daerah tersebut yaitu dengan intersitas tinggi dengan nilai berkisar – 50 nT hingga 550 nT. Yang pada kenampakan warna menunjukan warna orange sampi merah tua, yang mana dapat di interpretasikan bahwa daerah tersebut memiliki internsitas besi (Fe) yang cukup ringgi. Sehingga dapat di simpulkn bahwa kepenerusan dari lava bantal (pillow lava) sampai ke atas / bibir sungai .
33
BAB VIPENUTUP
VI.1 Kesimpulan
Pada peta terdapat 4 perbedaan warna yaitu merah, kuning, hijau dan biru. Nilai
delta H tertinggi ditunjukkan dengan warna merah dan seterusnya sampai dengan nilai
delta H terendah ditunjukkan dengan warna biru.
Nilai magnetik tertinggi berada pada titik diatas pillow lava dikarenakan pillow
lava adalah batuan beku yang mengandung banyak unsur besi (Fe), yang paling lemah
berada pada daerah yang banyak terdapat vegetasi.
Nilai maksimum delta H adalah 1050,696 nT dan nilai minimum delta H adalah -
1777,36 nT. Nilai delta H tinggi berarti mengandung unsur Fe yang tinggi sedangkan
nilai delta H yang rendah berarti mengandung unsur Fe yang rendah.
VI.2 Saran
Pemahaman pengetahuan alat dan komputasi sangat diperlukan dalam
peningkatan kinerja analisis dan pengolahan data.
34
Daftar Pustaka
http://geofisika.upnyk.ac.id/?p=272http://wingmanarrows.wordpress.com/2009/10/07/sejarah-geologi-zona-pegunungan-selatan-jawa-timur/http://www.bgl.esdm.go.id/publication/index.php/dir/article_download/225
35
LAMPIRAN
1. Tabel data pengolahan semua kelompok
36
37
38
2. Tabel data analitik signal3. Peta HA, Peta RTP, Peta Upward continuation
440250 440300 440350 440400 440450 440500
9136600
9136650
9136700
9136750
9136800
9136850
9136900
9136950
-1800
-1600
-1400
-1200
-1000
-800
-600
-400
-200
0
200
400
600
800
10005
5
4
4
7
7
9
9
11
11
13
13
14
14
440250 440300 440350 440400 440450 440500
9136600
9136650
9136700
9136750
9136800
9136850
9136900
9136950
PETA HA
nT
0 50 100 150 200 m
39
-1100-1000-900-800-700-600-500-400-300-200-1000100200300400500600700800900
-1200-1100-1000-900-800-700-600-500-400-300-200-1000100200300400500600700800900
-1200-1100-1000-900-800-700-600-500-400-300-200-10001002003004005006007008009001000
PETA UPWARD CONTINUATION LOCAL
0 50 100 150 200
nT
m
-1100
-1000
-900
-800
-700
-600
-500
-400
-300
-200
-100
0
100
200
300
400
500
600
700
-950
-850
-750
-650
-550
-450
-350
-250
-150
-50
50
150
250
350
450
550
0 50 100 150 200
nT
m
40
4. Grafik semua lintasan
0 20 40 60 80 100 120 140 1600
50100150200250300350400450
Delta H vs Posisi
Line 5
Offset (m)
Delta
H (n
T)
0 20 40 60 80 100 120 140 160
-1000-800-600-400-200
0200400600800
Delta H vs Posisi
Line 4
Offset (m)
Delta
H (n
T)
0 20 40 60 80 100 120 140 160
-600-400-200
0200400600800
10001200
Delta H vs Posisi
Line 7
Offset (m)
Delta
H (n
T)
41
0 20 40 60 80 100 120 140 1600
100
200
300
400
500
600
Delta H vs Posisi
Line 9
Offset (m)
Delta
H (n
T)
0 10 20 30 40 50 60 70 80 900
200
400
600
800
1000
1200
Delta H vs Posisi
Line 11
Offset (m)
Delta
H (n
T)
0 20 40 60 80 100 120 140 160
-2000
-1500
-1000
-500
0
500
1000
Delta H vs Posisi
Line 13
Offset (m)
Delta
H (n
T)
42
0 20 40 60 80 100 120 140 160
-1400-1200-1000
-800-600-400-200
0200400
Delta H vs Posisi
Line 14
Offset (m)
Delta
H (n
T)
43