Dr. H. Jawade Hafidz Arsyad, S.H., M.H.Dian Karisma, S.H., M.H.
SENTRALISASI BIROKRASI
&PENGADAAN BARANG
JASA PEMERINTAH
SG. 02.16.1219
SENTRALISASI BIROKRASI PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH
Oleh: Dr. H. Jawade Hafidz Arsyad, S.H., M.H.
Dian Karisma, S.H., M.H.
Editor: Maya Sari
Diterbitkan oleh Sinar Grafika
Jl. Aren III No. 25, RawamangunJakarta Timur-13220
Telp: 021-4895803
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyakbuku ini sebagian atau seluruhnya, dalam bentuk dan dengan
cara apa pun juga, baik secara mekanis maupun elektronis, termasuk fotokopi, rekaman, dan lain-lain tanpa izin tertulis
dari penerbit.
Cetakan pertama, April 2018Perancang kulit, Risqiani Nur Badria
Layouter, Surya Ely S.Dicetak oleh Sinar Grafika Offset
ISBN 978-979-007-770-6
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Jawade Hafidz Arsyad Haji Sentralisasi birokrasi pengadaan barang dan jasa pemerintah/ H. Jawade Hafidz Arsyad, Dian Karisma; editor, Maya Sari. -- Jakarta: Sinar Grafika, 2018. xiv, 520 hlm.; 23 cm Bibliografi: hlm. 497 ISBN 978-979-007-770-6
1. Pengadaan barang I. Judul. II. Dian Karisma. III. Maya Sari.
352.53
Prakata v
Assalamu ‘alaikum Wr.Wb.
Puji syukur ke hadirat Allah Ø karena atas limpahan rahmat, karunia, dan pengetahuan-Nya penyusunan buku ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad sebagai junjungan dan suri tauladan.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih belum sempurna, sehingga penulis membutuhkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca untuk penyem-purnaan di masa mendatang. Buku ini berasal dari disertasi penulis yang berjudul “Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah”.
Dalam penyusunan buku ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum., Dr. Eko Soponyono, S.H., M.H., Dr. RB. Sularto, S.H., M.Hum., Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum., Dr. Retno Mawarini, S.H., M.Hum., Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H., Prof. Dr. Esmi Warrasih Pujirahayu, S.H., M.S., dan Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Prof. Dr. Benny Riyanto, S.H., C.N., M.Hum., dan Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S., serta Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. dan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. (almarhum) atas segala motivasi dan nasihatnya.
Setelah penulis melakukan penelitian di instansi yang mendukung penulisan buku ini, yakni mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah ditemu kan banyak penyimpangan dalam tiap-tiap tahapan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Prakata
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintahvi
Penyimpangan dalam tahapan pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut meng-indikasikan adanya tindak pidana korupsi. Oknum panitia pengadaan barang/jasa yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pengadaan barang/jasa pemerintah, menyelewengkan kewenangan yang ada padanya untuk mengambil keuntungan untuk diri pribadi maupun rekanan. Akibat yang ditimbulkan dari adanya penyimpangan tersebut, negara sangat dirugikan.
Selain kelemahan dalam substansi hukum, yakni panjangnya tahapan pengadaan barang/jasa pemerintah yang harus dilalui sebagaimana diatur di dalam Perpres Nomor 4 Tahun 2015 jo. Perpres Nomor 70 Tahun 2012 jo. Perpres Nomor 54 Tahun 2010, sistem birokrasi yang buruk semakin memperparah dan memperbanyak terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Terlebih budaya korup yang sudah semakin merusak tatanan hidup masyarakat, sehingga mempersulit penegak hukum untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang sekarang ini sudah meluas dalam semua bidang pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kasus-kasus yang menjadi temuan dan ditangani oleh KPK, Kejaksaan, dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi paling banyak berasal dari kasus pengadaan barang/jasa pemerintah. Misalnya adalah kasus korupsi Wisma Atlet, kasus korupsi Alquran, dan lain-lain. Sadar atau tidak sadar bahwa uang yang dikorupsi berasal dari uang rakyat, yang mana diambil dari APBN/APBD, yang semestinya untuk pengeluarannya harus dipertanggungjawabkan.
Korupsi sudah menjadi virus yang harus diberantas hingga ke akar-akarnya, tentunya dengan melakukan reformasi di berbagai bidang. Untuk peng-adaan barang/jasa pemerintah, reformasi ini dilakukan baik dari segi substansi, struktur, maupun budaya hukumnya. Dari reformasi kebijakan hukum biro-krasi pengadaan barang/jasa pemerintah maka akan ditemukan model ideal sentralisasi birokrasi pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
Tentunya apa yang dikemukakan oleh penulis, akan mengundang polemik di kalangan akademisi dan juga praktisi hukum, karena memang sulit untuk menemukan model ideal yang pasti mengenai kebijakan hukum birokrasi untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Prakata vii
Dengan berbagai referensi yang relevan dan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis terhadap kasus korupsi yang terjadi di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah ini, penulis sangat berharap akan semakin banyak perhatian terhadap upaya untuk melakukan reformasi tidak hanya di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah, tetapi juga bidang-bidang lainnya yang menjadi lahan kejahatan korupsi.
Buku ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan seseorang atau lembaga-lembaga tertentu, karena kajian dalam buku ini bersifat akademik. Contoh peristiwa yang digambarkan di dalam buku ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi para pembaca.
Melalui buku ini, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. dr. H. M. Rofiq Anwar, Sp. PA., Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin, M.Sc., M.Eng., H. Anis Malik Thoha, MA., Ph.D., Dr. H. Hamidun Qosim, H. Hasan Toha Putra, M.BA., Dr. H. Ahmad Daroji, M.Si., Drs. H. Tjuk Subhan Sulchan, K.H. Muh. Choir, Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E.Akt., M.Hum., Prof. Dr. Marwan Effendy, S.H., Dr. Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum., Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.Hum., Prof. Dr. M. Ali Mansyur, S.H., C.N., M.Hum., Dr. Choirul Huda, S.H., M.H., Dr. Adi Ekopriyono, M.Si., H. Amir Machmud N.S., S.H., M.H., Dr. Djauhari, S.H., M.Hum., Dr. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.Hum., H.M. Mawardi Muzammil, SH., M.M., Sp.N., H. Thobari H.R., Drs. H.M. Say’bani Dahlan, Hasanudin Nasution, S.H., H.D. Djunaidi, S.H., Sp.N., Hj. Marsiyem, S.H., M.H., H. Ngadino, S.H., M.H., Not., Drs. Munsharif Abdul Chalim, S.H., M.H., Maryanto, S.H., M.H., Nuriddin, S.Pd., M.Pd., Bambang Tri Bawono, S.H., M.H., dan Lathifah Hanim, S.H., M.Kn., M.Hum.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang selama ini telah memberikan nasihat dan bimbingan. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada istri penulis Dahlia Andayani, S.E. atas pengorbanan, keber-samaan, dan kesetiaannya mendampingi penulis selama ini, serta putri dan putra penulis, Ainun Nadzifatul Amaliah Hafidz dan Adli Ilham Akbar Hafidz yang memberikan dorongan dan motivasi bagi penulis untuk lebih bersemangat. Serta kepada semua pihak yang telah membantu dan tidak bisa penulis sebutkan namanya satu per satu, penulis mengucapkan terima kasih.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintahviii
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya penulis ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat berharap masukan, saran, dan kritik konstruktif dari semua pihak. Penulis berpendapat bahwa kebenaran ilmu pengetahuan tidak pernah berhenti sedetikpun walaupun badai menghadang, melainkan selalu berproses seiring dengan perkembangan alam berpikir manusia dari waktu ke waktu dalam mencari dan menemukan kebenaran itu sendiri. Penca rian ilmu adalah sebuah proses yang dilalui dengan jatuh bangun tanpa mengenal lelah diliputi oleh ruang dan waktu untuk menemukan kebenaran, ber sandarkan pada nilai-nilai etik dan moral yang menjiwai seluruh aktifitas kehidupan manusia dalam jagat raya. Semoga Allah Ø senantiasa meridhoi dan memberikan petunjuk, kemudahan serta keberkahan kepada penulis dalam kerangka Rahmatan lil alamin. Aamiin.
Semoga buku ini semakin menambah khasanah pengetahuan dan bermakna serta disambut baik oleh seluruh kalangan pembaca yang budiman. Penulis memohon maaf atas segala kesalahan, kekurangan, dan kekhilafan dalam buku ini.
Wassalamu ’alaikum Wr.Wb.
Semarang, Februari 2018
Penulis
Daftar Isi ix
PRAKATA .................................................................................... vDAFTAR TABEL DAN GAMBAR ................................................. xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................. 1 A. Latar Belakang ................................................................... 1 B. Akar Permasalahan .......................................................... 17 C. Kerangka Teori .................................................................. 20
BAB 2 LANDASAN TEORI ......................................................... 40 A. Reformasi Birokrasi .......................................................... 40 1. Pengertian Reformasi dan Birokrasi ...................... 40 2. Reformasi Birokrasi dan Akuntabilitas Pelayanan Publik ......................................................................... 44 3. Ciri Birokrasi ............................................................. 48 4. Konsep dan Teori Birokrasi ..................................... 48 5. Manajemen Birokrasi ............................................... 50 B. Kebijakan Hukum Birokrasi ............................................ 54 1. Pengertian Kebijakan Hukum Birokrasi ................. 54 2. Pengertian, Fungsi, dan Tujuan Hukum Birokrasi ...... 63
3. Hubungan Hukum Birokrasi dan Kebijakan Publik 67
Daftar Isi
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintahx
4. Pembentukan Hukum dan Formulasi Kebijakan
Hukum Birokrasi ....................................................... 69
5. Penerapan Hukum Birokrasi dan Kebijakan Publik 84
C. Keuangan Negara .............................................................. 88
1. Pengertian Keuangan Negara .................................. 88
2. Ruang Lingkup Keuangan Negara ........................... 103
3. Landasan Hukum Pengelolaan Keuangan Negara 105
4. Historisasi Pengaturan Keuangan Negara .............. 106
D. Pengadaan Barang dan Jasa .............................................. 109
1. Pengertian Pengadaan Barang dan Jasa .................. 109
2. Aktivitas Pengadaan Barang dan Jasa ..................... 112
3. Para Pihak Terkait dalam Pengadaan Barang/Jasa 118
4. Prinsip dan Etika Pengadaan Barang/Jasa .............. 119
E. Tindak Pidana Korupsi ..................................................... 122
1. Definisi Korupsi ......................................................... 122
2. Tipologi Korupsi ........................................................ 131
3. Modus Operandi Korupsi dalam Pengadaan Barang/
Jasa Pemerintah .......................................................... 136
BAB 3 PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH DI
INDONESIA ..................................................................... 142
A. Dasar Hukum Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 142
B. Tahapan dan Modus Penyimpangan Kegiatan Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah ............................................. 158
C. Akibat Hukum Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 230
1. Munculnya Tindak Pidana Korupsi ........................ 231
2. Munculnya Pelanggaran Administrasi dalam Barang/
Jasa ............................................................................... 237
3. Munculnya Tindak Pidana Administrasi ............... 278
Daftar Isi xi
BAB 4 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERLUNYA
SENTRALISASI PENGADAAN BARANG DAN JASA
PEMERINTAH ................................................................. 287
A. Alasan Substansi: Kelemahan Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ........................................................................ 287
B. Alasan Struktur: Kelemahan Struktur Birokrasi Peng-
adaan Barang dan Jasa Pemerintah yang Berpotensi
Menimbulkan Korupsi ..................................................... 329
C. Alasan Budaya: Lemahnya Integritas dan Kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) ....................................................... 349
BAB 5 MODEL SENTRALISASI BIROKRASI PENGADAAN
BARANG DAN JASA PEMERINTAH ............................. 394
A. Model Ideal Sentralisasi Kebijakan Substansi Hukum ... 394
1. Penguatan Peraturan Perundang-undangan ......... 402
2. Penguatan Akuntabilitas Sistem Pengelolaan Ke-
uangan Negara .......................................................... 410
B. Model Ideal Sentralisasi Kebijakan Struktur Hukum ... 419
1. Debirokratisasi dan Restrukturisasi Pengaturan
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ................. 419
2. Pengaturan Kewenangan dalam Pengadaan Barang
dan Jasa ....................................................................... 426
3. Pembentukan Badan/Lembaga Khusus Pelaksana
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ................ 435
C. Model Ideal Sentralisasi Kebijakan Budaya Hukum ..... 449
1. Penguatan Prinsip dan Etika Pengadaan Barang/Jasa 449
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintahxii
2. Pengaturan Sistem Pertanggungjawaban Pengadaan Barang/Jasa ................................................................. 454 3. Upaya Pencegahan Kerugian Keuangan Negara dalam Pengadaan Barang/Jasa ................................. 464 4. Penguatan Fungsi Pengawasan Pengadaan Barang/ Jasa .............................................................................. 467 D. Perbandingan Pengadaan Barang dan Jasa dengan Negara Lain ...................................................................................... 481
BAB 6 PENUTUP ........................................................................ 493
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 497PROFIL PENULIS .......................................................................... 517
Daftar Tabel dan Gambar xiii
DAFTAR TABELTabel 1.1 Temuan BPK Terkait Ketidakhematan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ........................................................... 3Tabel 2.1 Tahap Pembuatan Kebijakan Menurut Dunn ....................... 80Tabel 3.1 Perkara TPK Berdasarkan Jenis Perkara Tahun 2012 .......... 283Tabel 3.2 Tersangka/Terdakwa Berdasarkan Tingkatan Jabatan Tahun 2012 ............................................................................................. 284Tabel 4.1 Data Rekapitulasi Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2012 ................................................................................ 353Tabel 4.2 Temuan Kasus Pengadaan Barang/Jasa .................................. 354Tabel 4.3 Temuan BPK Pada Pengadaan Barang/Jasa yang Berpotensi Merugikan Negara .................................................................... 356Tabel 4.4 Temuan BPK yang Melanggar Ketentuan Administratif ........... 357Tabel 4.5 Temuan BPK Terkait Ketidakhematan dalam Pengadaan Barang/Jasa ................................................................................ 358Tabel 4.6 Ketidakefektifan Hasil Pengadaan Barang/Jasa .................... 360Tabel 4.7 Data Base Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahap Penyidikan di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Tahun 2012 Terkait Peng- adaan Barang/Jasa Pemerintah ............................................... 361Tabel 4.8 Data Base Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahap Penyidikan di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Tahun 2013 Terkait Peng- adaan Barang/Jasa Pemerintah ............................................... 361
Daftar Tabel dan Gambar
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintahxiv
Tabel 4.9 Data Base Perkara Tindak Pidana Korupsi yang Diputus di Pengadilan Tipikor Semarang Tahun 2012 Terkait Peng- adaan Barang/Jasa Pemerintah ............................................... 362Tabel 4.10 Data Base Perkara Tindak Pidana Korupsi yang Diputus di Pengadilan Tipikor Semarang Tahun 2013 Terkait Peng- adaan Barang/Jasa Pemerintah ............................................... 363Tabel 5.1 Perbedaan dan Sifat Pengadaan Barang ................................. 403Tabel 5.2 Kejahatan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ................................................................................. 407Tabel 5.3 Perbedaan Cara Perolehan dan Tanggung Jawab Wewenang Pemerintahan (Philiphus M. Hadjon) .................................... 429Tabel 5.4 Benchmark Sistem Pengadaan Barang dan Jasa .................... 492
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pembentukan Hukum .............................................................. 78Gambar 2.2 Kedekatan Prosedur Analisis Kebijakan dengan Tipe-Tipe Pembuatan Kebijakan oleh Dunn ........................................... 81Gambar 2.3 Aktivitas Pengadaan Barang dan Jasa .................................... 114Gambar 5.1 Penguatan Peraturan Perundang-undangan ......................... 404Gambar 5.2 Pengurusan Keuangan Negara Pra Reformasi ...................... 414Gambar 5.3 Pengurusan Keuangan Negara Pasca Reformasi .................. 415Gambar 5.4 Cakupan Aktivitas Pengadaan ................................................ 456Gambar 5.5 Reformasi Tata Kelola Pemerintah dalam Pengadaan Barang dan Jasa ...................................................................................... 465Gambar 5.6 Prinsip Efisiensi Pengadaan Barang dan Jasa ........................ 470Gambar 5.7 Alur Pikir Pembentukan UU dan Badan Khusus Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Mencegah Terjadinya Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ................................................... 477Gambar 5.8 Model Ideal Sentralisasi Pengadaan Barang dan Jasa Peme- rintah .......................................................................................... 480Gambar 5.9 Alur Penindakan Kasus Mal Administrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ................................................................. 480
Bab 1 Pendahuluan 1
A. LATAR BELAKANGBerbicara mengenai birokrasi dalam sistem pemerintahan, maka tidak dapat dipisahkan dengan institusi dan kinerja pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam mengelola suatu negara berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku untuk mencapai tujuan negara, salah satu di antaranya adalah kesejahteraan masyarakat. Dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dinyatakan secara tegas untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan negara sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangundangan mulai dari UndangUndang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, Keputusan Menteri, dan seterusnya. Dalam penyelenggaraan negara tersebut, pemerintah wajib berpegang teguh pada peraturan perundangundangan untuk bertindak atas nama negara dalam memberikan pelayanan kepada warga negara dengan sebaikbaiknya.
Kewajiban pemerintah dalam bertindak mematuhi peraturan perundangundangan, melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai yang telah ditentukan
Bab 1Pendahuluan
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah2
dalam tugas pokok dan fungsi, demikian pula keharusan pemerintah mematuhi mekanisme atau prosedur yang berlaku merupakan bagian dari birokrasi. Pada dasarnya birokrasi pemerintahan merupakan sebuah sistem, mekanisme, atau pola dalam penyelenggaraan pemerintahan mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat kelurahan atau desa, dengan maksud agar fungsi pelayanan publik dari peme rintah kepada masyarakat dapat berjalan dengan baik, efektif, dan efisien. Akan tetapi dalam implementasinya tidak jarang dijumpai adanya penyimpangan yang dilakukan oleh birokrat, melakukan tindakantindakan yang tidak sesuai dengan tugas pokok serta fungsinya karena mengabaikan sistem dan mekanisme yang berlaku dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jika penyimpangan tersebut dibiarkan, maka akan semakin banyak penyimpangan yang terjadi yang berakibat kredibilitas pemerintah terus menurun di mata masyarakat.
Kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilaksanakan saat ini dimaksudkan agar pemerintah dapat melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi saranaprasarana publik, juga dalam rangka melengkapi saranaprasarana pemerintah sehingga fungsi pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan dengan sebaikbaiknya, dan penggunaan keuangan negara dapat terkontrol dan dipertanggungjawabkan sesuai mekanisme yang berlaku, tetapi dalam pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah ditemukan adanya penyimpanganpenyimpangan dengan berbagai modus sebagai akibat dari panjangnya birokrasi atau tahapan yang harus ditempuh untuk menyelesaikan satu paket kegiatan pengadaan barang/jasa, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara.
Mengenai kerugian keuangan negara dikarenakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) telah melakukan pemeriksaan pertanggungjawaban penggunaan keuangan negara, dan hasilnya ditemukan dugaan penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang bermuara pada transparansi dan akuntabilitas peng gunaan anggaran negara.
Menurut hasil temuan BPK, kasus pengadaan barang/jasa pemerintah yang menimbulkan kerugian keuangan negara diakibatkan karena adanya ketidakhematan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, melanggar ketentuan administratif, ketidakefektifan hasil pengadaan barang. Temuan tersebut mengungkap adanya tiga bentuk kasus berupa pengadaan barang/jasa melebihi kebutuhan, penetapan kualitas dan kuantitas barang/jasa yang digunakan tidak sesuai standar, dan kemahalan harga. Bentuk kasus “kemahalan harga” merupakan
Bab 1 Pendahuluan 3
kasus di mana harga barang/jasa lebih mahal dibandingkan dengan pengadaan serupa pada waktu yang sama.1 Hal tersebut berdampak pada pemborosan keuangan daerah/negara. Padahal dalam Pasal 6 huruf f Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 telah dengan jelas dinyatakan bahwa: “Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa”.
Tabel 1.1 Temuan BPK Terkait Ketidakhematan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
No. Bentuk Temuan
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah
BUMN (6 Entitas) BUMD
PDTT (Banyak Kasus)
Jumlah (Dalam
Juta Rupiah)
LKPDPDTT
(Banyak Kasus)
Jumlah (Dalam
Juta Rupiah)
1. Pengadaan barang/jasa melebihi kebutuhan
3 165,73 14
131,0334,42
– –
2. Penetapan kualitas dan kuantitas barang/jasa yang digunakan tidak sesuai standar
– – 49
4.110,003.660,00
– 1 kasus senilai 70,47
3. Kemahalan harga
45 240.220,000
69106
91.020,0026.670,00
1 kasus senilai 56,052
28 kasus senilai
46.809,14
38 kasus senilai
49.939,1
Total 48 240.385,73
193 125.625,45
29 kasus senilai
46.865,192
39 kasus senilai
50.009,5
Total kasus 309 kasus Total ketidakhematan 462.885,942
Sumber: Jurnal LKPP Vol. 1 No. 1
1 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jurnal Pengadaan (Senarai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Vol. 1 No. 1, Jakarta, 2011, hlm. 98.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah4
Temuan BPK RI tidak hanya dalam kasus ketidakhematan, melainkan ada berbagai penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi negara juga ditemukan oleh BPK. Dalam data sebelumnya, diketahui kasus kemahalan harga yang paling banyak menimbulkan kerugian bagi keuangan negara. Sepertinya penyimpangan ini harusnya tidak terjadi. Mengingat regulasi yang dibuat seharusnya dapat menutup adanya celahcelah yang dapat digunakan untuk melakukan penyimpangan, termasuk di dalamnya adalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Secara yuridis, karena regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah berupa Keputusan Presiden (Keppres) dan sekarang diubah menjadi Peraturan Presiden (Perpres) yang telah mengalami perubahan sebanyak enam kali, masih terdapat peluang terjadinya penyimpangan. Sebagaimana diketahui, di dalam Perpres No. 4 Tahun 2015 jis. Perpres No. 172 Tahun 2014 jis. Perpres No. 70 Tahun 2012 jis. Perpres No. 54 Tahun 2010 jis. Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah terdapat masalahmasalah yuridis, yakni birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah wajib ditempuh dalam lima belas tahapan dengan rentang waktu yang disediakan sangat singkat, sehingga membuka peluang terjadinya penyimpangan yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh dua item, yakni:1. penggelembungan anggaran;2. rencana pengadaan yang diarahkan;3. rekayasa pemaketan untuk KKN;4. panitia tidak transparan;5. integritas panitia lelang lemah;6. panitia lelang yang memihak;7. panitia lelang tidak independent;8. dokumen administratif yang tidak memenuhi syarat;9. dokumen administratif “aspal”;10. legalisasi dokumen tidak dilakukan;11. evaluasi tidak sesuai kriteria;12. spesifikasi yang diarahkan;13. rekayasa kriteria evaluasi;14. dokumen lelang nonstandar;15. dokumen lelang yang tidak lengkap;16. pengumuman lelang yang semu atau fiktif;
Bab 1 Pendahuluan 5
17. pengumuman lelang tidak lengkap;18. jangka waktu pengumuman terlalu singkat;19. dokumen lelang yang diserahkan tidak sama (inkonsisten);20. waktu pendistribusian dokumen terbatas;21. lokasi pengambilan dokumen sulit dicari;22. gambaran nilai harga perkiraan sendiri ditutuptutupi;23. penggelembungan (mark up) untuk keperluan KKN;24. harga dasar yang tidak standar (dalam KKN);25. penentuan estimasi harga tidak sesuai aturan;26. pree-bid meeting yang terbatas;27. informasi dan deskripsi terbatas;28. penjelasan yang kontroversial;29. relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran;30. penerimaan dokumen penawaran yang terlambat;31. penyerahan dokumen fiktif;32. kriteria evaluasi yang cacat;33. penggantian dokumen penawaran;34. evaluasi tertutup dan tersembunyi;35. peserta lelang terpola dalam rangka berkolusi;36. pengumuman yang terbatas;37. tanggal pengumuman ditunda;38. pengumuman yang tidak sesuai dengan kaidah pengumuman;39. tidak seluruh sanggahan ditanggapi;40. substansi sanggahan tidak ditanggapi;41. sanggahan performa untuk menghindari tuduhan tender diatur;42. surat penunjukan yang tidak lengkap;43. surat penunjukan yang sengaja ditunda pengeluarannya;44. surat penunjukan yang dikeluarkan dengan terburuburu;45. surat penunjukan yang tidak sah;46. penandatanganan kontrak yang ditundatunda;47. penandatanganan kontrak secara tertutup;48. penandatanganan kontrak tidak sah; 49. volume yang tidak sama;
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah6
50. mutu atau kualitas pekerjaan yang lebih rendah dari ketentuan dalam spesifikasi teknik;
51. mutu/kualitas pekerjaan yang tidak sama dengan spesifikasi teknik;52. contract change order.
Lima belas tahapan yang wajib ditempuh dalam setiap kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah dan tidak kurang dari lima puluh dua item potensi penyimpangan yang diatur dalam Perpres memunculkan masalah struktural, yakni sistem birokrasi dan desentralisasi penyelenggaraan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang diberikan kepada setiap instansi pemerintah di pusat dan daerah dengan kewenangan yang luas dan mandiri (otonom) diikuti lemahnya kualitas sumber daya manusia karena tidak memenuhi standar kompetensi yang dipersyaratkan, dan pada akhirnya akan melahirkan praktik pengadaan barang/jasa pemerintah yang kurang akuntabel.
Masalahmasalah yang terjadi dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah tidak lepas dari persoalan fungsi birokrasi sebagai cara untuk mengelola kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang terencana, terarah pada tujuan yang telah ditetapkan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mardiasmo, dalam bukunya berjudul “Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah”, sebagai berikut. Birokrasi berasal dari bahasa Perancis bureau yang berarti kantor. Konsep
birokrasi mengaplikasikan prinsipprinsip organisasi yang dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi administrasi, meskipun masih ada juga birokrasi yang seringkali keterlaluan dan menimbulkan efek yang tidak baik, misalnya dalam masalah administrasi yang kompleks dan ruwet pada organisasi besar seperti organisasi pemerintahan.2
Pada dasarnya birokrasi pemerintahan tidak dapat dipisahkan dari sebuah kekuasaan karena birokrasi dapat dimaknai sebagai mekanisme penye lenggaraan administrasi kekuasaan. Birokrasi kekuasaan yang kuat, yang akan menentukan segalagalanya. Tidak jarang dengan birokrasi yang demikian, terjadi banyak penyimpangan, terutama dalam hal pelayanan publik. Apa yang belum ada di dalam birokrasi dengan berbagai alasan diciptakanlah birokrasi baru untuk memperpanjang jalannya sistem birokrasi yang harus ditempuh dalam pelayanan publik. Kondisi demikian tentu tidak mengherankan jika publik merasa dipermainkan dengan sistem birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah yang ada sekarang ini.
2 Mardiasmo, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, ANDI, Yogyakarta, 2004, hlm. 13.
Bab 1 Pendahuluan 7
Penyimpangan yang terjadi saat ini semakin banyak, sehingga menim bulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem birokrasi. Sektor publik (pemerintah dan perusahaan milik pemerintah) sering mendapat serangan dan kritikan dari berbagai pihak. Birokrasi dianggap sebagai penyebab inefisiensi dan penghambat pembangunan, dan akhirnya birokrasi dicemooh di sanasini. Keadaan tersebut dapat dipandang sebagai kegagalan birokrasi, padahal tujuan birokrasi pada awalnya adalah untuk menciptakan efisiensi organisasi dan memfasilitasi pembangunan.3
Selama tahun 1930an hingga 1960an, birokrasi memainkan peran utama dalam pembangunan. Namun, birokrasi yang semakin kuat tersebut kemudian menunjukkan kecenderungankecenderungan yang kurang baik, di antaranya adalah birokrasi menjadi sulit untuk ditembus, sentralistis, top down, dan hierarki yang sangat panjang. Birokrasi justru menyebabkan kelambanan, terlalu berbelitbelit, dan mematikan kreativitas. Masyarakat diharuskan mengikuti prosedur dan mengikuti keinginan para pejabat untuk mendapatkan pelayanan publik. Birokrasi juga dipandang mengganggu mekanisme pasar karena menciptakan distorsi ekonomi, yang pada akhirnya birokrasi justru menyebabkan inefisiensi organisasi.4
Birokrasi sebagai sistem administrasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah birokrasi membuka peluang efisiensi, aturanaturan yang rasional, hubungan antarmanusia yang tidak personal, pembagian tugas yang jelas, administrasi yang didasarkan pada dokumendokumen tertulis, serta pemisahan antara income pribadi dan jabatan. Kekurangannya adalah struktur birokrasi dapat dengan mudah dimanipulasi untuk kepentingankepentingan beberapa orang yang berada pada hierarki puncak kepemimpinan. Terlebih lagi, masyarakat yang tidak pernah mempermasalahkan berbagai penyalahgunaan yang dilakukan di lingkaran birokrasi kekuasaan pemerintah.5 Mungkin sebenarnya sebagian masyarakat terlalu keberatan dengan sistem
birokrasi yang demikian, namun rakyat tidak bisa berbuat apaapa. Pegawai birokrasi yang berada di level rendah, hanya dapat mengikuti aturan dari pimpinan. Kreativitas mereka dibatasi untuk memberikan pelayanan yang lebih efisien dan efektif bagi publik.
3 Ibid., hlm. 15.4 Ibid., hlm. 16.5 Ahmad Gunaryo (Ed.), Hukum Birokrasi & Kekuasaan di Indonesia, Walisongo Research
Institute (WRI), Semarang, 2001, hlm. 16 dan 17.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah8
Dari uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa terjadinya inefisiensi dalam birokrasi disebabkan panjangnya jalur birokrasi yang harus dilalui dalam melakukan kegiatan atau menyelesaikan pekerjaan atau memberikan pelayanan kepada masyarakat, inefisiensi akan berdampak pada lamanya waktu dan tingginya biaya yang diperlukan serta prosesnya berbelitbelit.
Akibat terjadinya inefisiensi dalam birokrasi selain disebabkan panjangnya birokrasi juga dikarenakan penggunaan wewenang yang melampaui batas, bahkan tidak jarang ditemukan adanya penyalahgunaan wewenang dalam kegiatan peng adaan barang/jasa pemerintah. Oleh karena itu, untuk mening katkan efektivitas, efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan memenuhi rasa ke adilan dalam pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah perlu ditegaskan pentingnya penggunaan wewenang dikaitkan dengan sistem pertang gungjawaban dan tanggung gugat terhadap panitia pengadaan mulai dari pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, dan panitia pengadaan secara proporsional dan profesional menurut peraturan perundangundangan.
Perlu disadari bahwa kondisi birokrasi Indonesia saat ini masih banyak kekurangannya. Hal tersebut terkait dengan adanya praktik manajemen dan administrasi publik yang memang belum dapat dikatakan baik, ditandai dengan:a. pelayanan publik (public service) yang buruk;b. ekonomi yang sangat birokratis;c. kebocoran anggaran;d. membudayanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Hal tersebut mengakibatkan sistem manajemen keuangan publik (negara) menjadi tidak terkendali. Akibat dari terjadinya kondisi yang buruk tersebut membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan perhatian serius terhadap penggunaan uang negara dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah guna mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Keadaan ini berlangsung sangat lama hingga kini, dan pada saat ini pun manajemen dan administrasi publik semakin menambah panjang daftar kebobrokan birokrasi di Indonesia.
Birokrasi pada hakikatnya berfungsi untuk melayani kepentingan masyarakat. Namun di dalam praktiknya memperlihatkan perilaku yang sebaliknya, bukan melayani masyarakat melainkan minta dilayani, bahkan melakukan tindakantindakan maupun membuat keputusankeputusan yang tidak terpuji, yang pada akhirnya merugikan dan merusak tatanan dalam kehidupan bermasyarakat,
Bab 1 Pendahuluan 9
berbangsa, dan bernegara. Keadaan ini kemudian diperparah lagi dengan kenyataan adanya kesenjangan sosial dan ekonomi yang begitu mencolok antara elit birokrasi (pejabat) dan kronikroninya dengan para pegawai biasa, buruh, dan rakyat kecil, atau dengan sebagian besar rakyat Indonesia. Birokrasi telah mengalami disfungsi dan menuntut biayabiaya sosial maupun materiil yang sangat besar, serta biaya tinggi yang semuanya harus ditanggung oleh rakyat, sehingga menambah beban rakyat.
Birokrasi bertujuan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi rakyat, namun penyimpangan yang terjadi lebih banyak dilakukan dengan mengatasnamakan untuk kesejahteraan, kemakmuran, dan kepentingan rakyat serta kemajuan bangsa dan negara. Sebagai contoh adalah penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) untuk kunjungan atau studi banding ke luar negeri, dengan alasan untuk mencontoh sistem birokrasi dan upaya pencegahan tindak pidana korupsi di negara yang dikunjungi. Hal dari kunjungan tersebut tidak dipublikasikan dan bahkan tidak ada hasilnya sama sekali. Alihalih ada perubahan dalam sistem birokrasi, kian hari birokrasi yang ditempuh dalam pemberian pelayanan publik semakin panjang dan mengha biskan banyak waktu. Begitu juga dengan kunjungan di negara lain untuk mempelajari cara pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, bukan mencegah dan memberantas tetapi malah semakin banyak tindak pidana korupsi yang akhirnya muncul ke permukaan. Penyelewengan keuangan negara saat ini semakin menjadi terutama karena
korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Pengadaan barang/jasa ini identik dengan adanya berbagai fasilitas baru, berbagai bangunan, jalan, rumah sakit, gedung perkantoran, alat tulis, sampai dengan kursus bahasa Inggris yang dilaksanakan di sebuah instansi pemerintah. Pengadaan barang/jasa yang sering disebut tender ini bukan hanya terjadi di instansi pemerintah, namun bisa terjadi di BUMN dan perusahaan swasta nasional maupun internasional. Pada intinya, pengadaan barang/jasa dibuat untuk memenuhi kebutuhan perusahaan atau instansi pemerintah akan barang/jasa yang dapat menunjang kinerja dan performance mereka.6
Selain itu, kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dikelola dan dilaksanakan oleh setiap instansi pemerintah kerap kali dijadikan sebagai
6 Marzuqi Yahya dan Endah Fitri Susanti, Buku Pintar Pengadaan Barang & Jasa Pemerintah, Sesuai dengan Perpres, Laskar Aksara, Jakarta, 2012, hlm. 3.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah10
momentum untuk mendapatkan keuntungan dengan modus menyalahgunakan wewenang (detounement de pouovoir), jabatan, atau kedudukan yang dimiliki oleh pejabat, panitia selaku penyelenggara negara yang berujung pada korupsi, mereka dengan sengaja melakukan mark up dan memanipulasi anggaran dengan berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan dengan cara melawan hukum. Sebagai penyelenggara negara yang melayani kepentingan masyarakat, pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa wajib mengutamakan profesionalisme, transparansi, akuntabilitas, dan penuh kehatihatian sehingga kebutuhan masyarakat dapat terlayani secara cepat, adil, dan bertanggung jawab.
Pengadaan barang/jasa pemerintah ini merupakan lahan korupsi yang subur bagi para birokrat, karena di sinilah mereka dapat memanipulasi anggaran dengan berbagai cara untuk memperkaya diri sendiri. Sebagai pihak yang melayani kepentingan masyarakat, pemerintah semestinya melaksanakan pengadaan barang/jasa yang kredibel. Namun, pada kenyataannya hasilnya pun tidak sesuai dengan yang diharapkan, malah masyarakat disuguhkan dengan berita korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Bisa dilihat setiap hari, tidak pernah absen dari pemberitaan media tentang korupsi baik pusat maupun daerah. Upaya pemberantasan telah dilakukan, bukan semakin berkurang justru semakin bertambah. Pemerintah yang menjadi tumpuan harapan rakyat juga tidak mampu mengatasi, bahkan terkesan ikut arus untuk bermain dengan uang rakyat, dan ada pula di antara para pejabat pemerintah yang mengelola keuangan negara tersangkut dalam tindak pidana korupsi. Penyelewengan penggunaan keuangan negara dengan memanfaatkan kekua
saan yang dimiliki pejabat telah menghambat tujuan negara dalam menyejahterakan rakyatnya, sehingga menyebabkan ketidakadilan. Padahal tujuan negara Republik Indonesia dalam UUD NRI Tahun 1945, kaitannya dalam upaya untuk menyejahterakan rakyatnya adalah negara mempunyai fungsi atau tugas kesejahteraan (welfare function). Tugas ini dalam artian yang seluasluasnya, termasuk di dalamnya adalah social service dan social welfare, seperti bantuan bencana alam, kemiskinan, pengangguran, penentuan upah minimum, bantuan kesehatan, panti asuhan, dan lainlain. Seluruh kegiatan tersebut ditujukan untuk terwujudnya kesejahteraan masyarakat serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.7
7 Muchsan, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992, hlm. 8.
Bab 1 Pendahuluan 11
Semua biaya yang akan digunakan untuk mencapai tujuan negara tersebut tidak lain dari uang negara yang merupakan uang milik rakyat. Hal yang mendasar dan sering dilupakan oleh para pejabat birokrasi ialah bahwa sistem keuangan negara (public finance) adalah menyangkut sejumlah uang yang harus dikelola di bawah mandat rakyat. Dalam arti, rakyat memberikan kekuasaan penuh kepada pejabat negara untuk mengelola uang milik rakyat, yang tentunya digunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Uang negara adalah uang rakyat, public money is public consent. Setiap sen dan setiap rupiah, sedikit atau banyaknya dari uang negara itu diperoleh dari keringat dan hasil kerja keras rakyat, yang harusnya dapat dinikmati oleh seluruh rakyat, tanpa terkecuali. Uang negara berasal dari berbagai macam pajak, retribusi, denda, penjualan aset hingga berbagai pungutan yang dilakukan oleh aparat birokrasi publik kepada rakyat. Uang rakyat itu digunakan untuk membiayai semua kegiatan pemerintah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui pembangunan nasional.
Salah satu kegiatan pemerintah yang dibiayai dengan uang negara tersebut adalah pengadaan barang/jasa pemerintah. Mengingat kegiatan tersebut dibiayai dengan uang negara, maka diperlukan upaya untuk menciptakan keterbukaan, transparansi, akuntabilitas, serta prinsip persaingan atau kompetisi yang sehat, sehingga diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat. Pengelolaan keuangan yang menjadi anggaran pengadaan barang/jasa
pemerintah merupakan salah satu sektor yang rawan terhadap terjadinya penyimpangan, dan apabila diketemukan atau didapatkan berimbas terhadap para penggunanya tidak terkecuali para penyedia barang/jasa yang melayani kebutuhan dalam proyek pemerintahan, walaupun di dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 mengharuskan pelaksanaan e-procurement yang mempunyai kelebihan cepat, murah, transparan, serta bebas intervensi, mutatis mutandis tetap saja rawan akan korupsi.8
Dalam praktik pengadaan barang/jasa pemerintah, berbagai modus dan indikasi terjadinya penyimpangan dalam penggunaan anggaran sering terjadi, seperti penggelembungan harga (mark-up), pelanggaran prosedur tender,
8 Marwan Effendy, Kapita Selekta Hukum Pidana, Perkembangan dan IsuIsu Aktual dalam Kejahatan Finansial dan Korupsi, Cetakan Kedua, Jakarta, Referensi, 2012, hlm. 118–119.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah12
manipulasi data/dokumen tender, perubahan spesifikasi barang, merekayasa penun jukan langsung, evaluasi yang tidak memadai, sanggahan yang tidak ditanggapi, dan lain sebagainya. Proyek pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut digunakan oleh oknum pejabat pemerintah dengan berbagai motif untuk kepentingan beberapa pihak, mulai dari manifestasi perilaku korup untuk mendapatkan keun tungan pribadi atau kelompok sampai dengan cara birokrasi untuk dapat menjalankan kegiatannya di dalam institusi dan “menghidupi” para pegawainya dan bahkan induk partai pengusung kepala daerah atau pejabat tersebut.
Dampak dari buruknya birokrasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah tidak hanya bersifat mikro tetapi juga makro, karena berkaitan dengan kualitas pembangunan itu sendiri, dan sangat terkait dengan masalah kesejahteraan rakyat. Untuk itu, sangat keliru apabila persoalan pengadaan barang/jasa pemerintah justru disikapi oleh sebagian pejabat pemerintah sebagai sekadar masalah internal alokasi untuk membiayai berjalannya institusiinstitusi negara dan partai semata tanpa melihat keterkaitannya dengan kesejahteraan rakyat pada umum nya, dan dalam birokrasi publik ini, kepentingan para pejabat seringkali lebih dominan dibandingkan dengan kepentingan rakyat.
Dalam sejarah pengadaan barang dan jasa pemerintah, semenjak reformasi bergulir berbagai pengaturan telah dilakukan sebagaimana diatur dalam beberapa ketentuan perundangan berikut.1. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah.2. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Peng adaan Barang/Jasa Pemerintah (dicabut dengan Perpres No. 54 Tahun 2010).
3. Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Peraturan Presiden 157 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Perpres No. 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebi jakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
4. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.
5. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
6. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Bab 1 Pendahuluan 13
7. Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
8. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.Semua ketentuan perundangan tentang pengadaan barang/jasa di atas
berusaha agar pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat berjalan baik, serta menghasilkan barang dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dengan pembiayaan sehemat mungkin, dan tentu saja semua ketentuan di atas berusaha mencegah agar tidak terjadi tindak pidana korupsi di dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah.
Terkait dengan kasus korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, maka muncul pula korbankorban para pegawai atau staf di lingkungan instansi pemerintahan yang sesungguhnya tidak ikut menikmati hasil korupsi, tetapi karena kurangnya pemahaman terhadap teknis pengadaan barang dan jasa ikut menjadi tersangka atau bahkan terpidana dalam kasus korupsi. Praktik menunjukkan bahwa pejabat pembuat komitmen bahkan kuasa pengguna anggaran terkadang tidak begitu memahami mengenai teknis barang atau jasa yang sedang diadakan, misalnya seorang kepala sekolah tentu tidak mempunyai pengetahuan banyak mengenai konstruksi gedung, sehingga sangat mungkin yang bersangkutan menjadi rawan terhadap kasus korupsi, sebab sangat mungkin kepala sekolah tersebut ditipu oleh kerja sama antara pelaksana dengan pengawas.
Pada tataran mikro, setiap kali akan dilakukan pengadaan barang/jasa pemerintah di suatu instansi, muncul kondisi saling lempar antar para staf apabila akan ditunjuk menjadi pimpinan proyek pengadaan barang dan jasa. Hal ini tak lain karena rasa khawatir dan ketakutan akan terjadinya kasus pelang garan hukum yang dapat menyeretnya menjadi tersangka. Hal tersebut diperparah dengan kondisi politik di daerah yang sering memunculkan intervensi kepala daerah dengan maksud ekonomi kepada tim pelaksana, yang pada akhirnya bermuara kepada kasus korupsi, sebagai contoh kegiatan pengadaan penggemukan sapi dan kambing diketahui bermasalah diproses oleh Kejaksaan Negeri Tegal yang dijadikan terdakwa dan diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Tegal hanya satu orang. Akibat dari peristiwa tersebut Pegawai Negeri Sipil menolak ditunjuk sebagai panitia pengadaan barang/jasa pemerintah untuk tahun berikutnya karena ketidakadilan dalam sistem pertanggungjawaban.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah14
Akhirnya pada tataran makro, negara mendapatkan kerugian berkalikali karena tidak hanya uang negara yang diselewengkan, bangunan dan jasa yang tidak sesuai dengan perencanaan, dan kehilangan staf yang sudah memiliki pengalaman dan pendidikan yang panjang. Di samping kerugian negara, maka dari sudut kinerja kepegawaian, ternyata kesibukan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah telah menyita waktu dan perhatian pada tim pengadaan barang dan jasa tersebut, dan hal tersebut sangat boleh jadi justru mengesampingkan atau mengurangi waktu dan perhatian pelaksanaan tugas utamanya.
Salah satu permasalahan dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah, adalah masalah pertanggungjawaban kegiatan. Hal ini terjadi karena dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah, tidak adanya ketegasan sifat pemberian kewenangan antara atasan dengan bawahan apakah bersifat mandat atau delegasi. Akibatnya sistem pertanggungjawaban dan tanggung gugat lebih banyak dibebankan kepada pelaksana kegiatan.
Permasalahan yang lain adalah karena kurangnya pengawasan oleh pemerintah. Sebagaimana diketahui bahwa selama ini penyelenggaraan pengadaan/barang jasa pemerintah dilaksanakan oleh instansi masingmasing. Apabila instansi pemerintah tersebut berada di daerah yang jauh dari pusat, tentunya akan kesulitan dalam hal pengawasannya. Selain itu, instansi pemerintah yang menyelenggarakan pengadaan barang/jasa tidak memahami pedoman penyelenggaraan pengadaan barang/jasa, sehingga penyelenggara karena ketidaktahuannya membawa mereka dalam permasalahan hukum.
Di dalam khazanah Hukum Administrasi Negara dikenal istilah norma wewenang yang menjadi dasar hukum pemerintah selaku penyelenggara negara melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan undangundang. Oleh karena itu, pelaksanaan wewenang berdasarkan undangundang merupakan konsekuensi dari asas legalitas sebagai negara hukum. Asas legalitas merupakan prinsip utama dalam mengelola dan menyelenggarakan tata pemerintahan termasuk dalam pemerintah melakukan kebijakan.
Dalam pengelolaan keuangan atau kekayaan negara jika nyatanyata telah merugikan negara atau berpotensi merugikan negara seperti penyimpangan yang terjadi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, yang dilakukan baik secara melawan hukum atau dengan cara menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan yang ada pada kedudukan dan jabatannya,9 maka pelaku
9 Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance, Cetakan Pertama, Timpani Publishing, Jakarta, 2010, hlm. 121.
Bab 1 Pendahuluan 15
dapat dikenai sanksi hukum. Sanksi hukum tersebut telah tercantum dalam peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah. Meskipun sudah ada peraturan perundangundangan yang mengatur sanksi hukum terhadap penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, penyimpangan masih saja terjadi dan kerugian negara yang diakibatkan penyimpangan tersebut semakin besar.
Kondisi birokrasi sistem hukum pengadaan barang dan jasa yang tidak sehat serta menimbulkan dampak yang besar ini, tentu perlu dilakukan perbaikan baik di dalam kebijakan sistem hukumnya baik di tingkat makro maupun di tingkat mikro, tidak hanya untuk menekan terjadinya korupsi di lingkungan pengadaan barang dan jasa, tetapi juga untuk dapat menekan sekecilnya dampak dari kebijakan hukum di bidang pengadaan barang dan jasa yang dirasakan tidak baik pada saat ini.
Penyelenggaraan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilakukan oleh masingmasing instansi, tentunya tidak efektif dan efisien. Selain kurang memahami pedoman pengadaan barang/jasa pemerintah, penyelenggara yang merupakan pegawai di instansi terkait tidak dapat melaksanakan tugas rutin dengan baik, karena juga harus ikut serta dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Faktor pengawasan juga sangat penting. Kurangnya pengawasan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, memudahkan oknum penyelenggara melakukan penyimpangan. Sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pengadaan barang/jasa pemerintah dilaksanakan oleh lembaga khusus yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Lembaga baru ini berkedudukan di pusat, yang bertanggung jawab kepada presiden, yang kemudian akan dibentuk pula di setiap propinsi yang bertanggung jawab kepada gubernur, begitu pula di kabupaten/kota. Jadi, lembaga baru ini bersifat sentralistik untuk memudahkan penyelenggaraan pengadaan barang/jasa dan pengawasannya.
Dalam lembaga juga dibentuk dewan pengawas, dan selain itu setiap institusi yang menyelenggarakan pengadaan barang/jasa juga bertindak sebagai pengawas. Apabila dalam pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan oleh lembaga baru tersebut terdapat indikasi penyimpangan, maka instansi terkait dapat membatalkan pengadaan barang/jasa tersebut, sehingga tercipta checks and balances serta dengan sentralisasi pengadaan barang/jasa pemerintah akan tercipta akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah16
Indonesia dapat pula mencontoh pengadaan barang/jasa di Korea Selatan yang telah sukses dalam menerapkan e-procurement. Di Korea Selatan, e-procurement dikenal dengan Korea On-line E-Procurement System (KONEPS). Lembaga yang mewadahi pelayanan e-procurement di Korea adalah Public Procurement Service (PPS). Memang dibutuhkan komitmen yang tinggi untuk dapat melaksanakan e-procurement sebagaimana KONEPS di Korea Selatan.
Di negara Singapura, pelayanan publik menggunakan sistem online satu atap, termasuk juga di dalamnya adalah program pengadaan barang dan jasa secara online bernama GeBIZ (Government Electronic Business). GeBIZ dibangun sejak tahun 2000 yang merupakan portal public e-procurement. Para penyedia barang dan jasa dapat melakukan kegiatan e-commerce dengan pemerintah Singapura. Semua penawaran tender hingga pengumuman pemenang tercantum di GeBIZ, sehingga penyedia dapat mencari informasi penawaran tender pemerintah, mengunduh dokumen procurement, dan memberikan penawaran mereka secara online.
Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan komponen fundamental dari tata kelola pemerintahan yang baik. Pengadaan barang dan jasa pemerintah memiliki tujuan, antara lain adalah memperoleh barang/jasa dengan harga yang dapat dipertanggungjawabkan dengan jumlah dan mutu sesuai, serta tepat pada waktunya.
Seiring reformasi yang bergulir di Indonesia, muncul harapan agar pengadaan barang atau jasa perintah yang dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) dapat dilaksanakan lebih efektif dan efisien, mengutamakan penerapan prinsipprin sip persaingan usaha yang sehat, transparan, terbuka, dan berlaku adil bagi semua pihak.
Selain lingkup dan cakupan pengadaan barang/jasa pemerintah yang luas, bersifat lintas institusi dan lintas sektor, juga berdampak langsung bagi pengembangan usaha kecil, peningkatan produksi dalam negeri, dan pengembangan iklim dan dunia usaha pada umumnya.
Pada praktiknya, pengaturan mengenai tata cara atau pedoman dasar melakukan pengadaan barang/jasa pemerintah seringkali tidak dilakukan sesuai prosedur oleh para penyedia barang/jasa dan juga pengguna barang/jasa yang akibatnya banyak terjadi penyimpanganpenyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Bab 1 Pendahuluan 17
Sentralisasi pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah pada dasarnya bertujuan untuk menghindari prosesproses yang mengarah pada perilaku koruptif. Selain hal tersebut, sentralisasi pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah dapat membatasi instansiinstansi pemerintah di dalam melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan/atau jasa yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sehingga tidak terjadi penyelewengan keuangan negara.
B. AKAR PERMASALAHANPeran Hukum Administrasi Negara sangat penting di dalam mewujudkan tujuan bangsa Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam Alinea Keempat Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat ....
Peran penting tersebut, yakni berkaitan dengan pembatasan terhadap tindakantindakan pemerintah agar tidak menyimpang dari peraturan per undangundangan. Demikian pula dalam kebijakan hukum birokrasi dan pengaturan kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam rangka mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak hanya Hukum Administrasi Negara yang berperan tetapi juga Hukum Pidana, Hukum Perdata, dan lainnya.
Hukum Administrasi Negara, salah satunya mengatur mengenai kewenangan yang diberikan pejabat untuk melakukan tindakantindakan hukum tertentu. Kewenangan tersebut tidak boleh diselewengkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadinya, karena kewenangan yang disalahgunakan akan menimbulkan kerugian bagi negara, dan tentunya setiap pelanggaran akan dikenakan hukuman atau sanksi. Sebagaimana diketahui bahwa setiap penyelenggaraan kenegaraan dan peme
rintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undangundang. Dengan kata lain, untuk melakukan tindakantindakan
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah18
hukum tertentu, maka penyelenggara negara harus mempunyai kewenangan. Kewenangan pemerintah merupakan kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.10
Begitupun dalam pengadaan barang/jasa, pemerintah diberikan kewenangan oleh peraturan perundangundangan untuk itu, yakni Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015. Mekanisme pengadaan barang/jasa juga harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Atas dasar itu, penulis mengkritisi Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres No. 54 Tahun 2010 sebagai dasar hukum melaksana kan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang di dalam pelaksanaannya terdapat banyak modus penyimpangan, penyalahgunaan wewenang oleh panitia selaku pengguna barang/jasa maupun rekanan selaku penyedia barang dan jasa. Penulis juga mengkritisi tentang ruang lingkup dan sifat kewenangan yang dimiliki pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, serta panitia pengadaan barang dan jasa, apakah kewenangan yang dimiliki tersebut bersifat delegasi, mandat, ataupun atribusi sebagaimana dikenal dalam istilah Hukum Administrasi Negara. Hal ini berkaitan dengan mekanisme pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/ jasa pemerintah.
Pembentukan panitia pengadaan barang/jasa merupakan langkah awal yang strategis dan harus diwaspadai dalam proses pengadaaan barang/jasa pemerintah, sebab berkembangnya penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah sangat tergantung pada komitmen panitia lelang yang berpengaruh terhadap bersih atau tidaknya proses pengadaan barang/jasa di suatu unit kerja pemerintah.
Beberapa masalah yang terkait dengan tahap ini adalah panitia tidak transparan, integritas panitia lemah, panitia memihak atau tidak independen dengan cara menambah persyaratan untuk membatasi jumlah peserta, dan berbagai bentuk kecurangan lainnya.
Adanya penyalahgunaan kekuasaan/wewenang oleh pimpinan sangatlah terlihat, baik pada level eksekutif maupun legislatif, modusnya bisa berupa rekomen dasi lisan dari pimpinan, rencana pengadaan yang diarahkan, adanya lelang
10 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kedua, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 70 dan 71.
Bab 1 Pendahuluan 19
tanpa tender, adanya pendelegasian lelang yang tendensius, ataupun rencana pengadaan yang digagalkan. Hal tersebut menunjukkan intervensi penguasa atau pimpinan pada pelaksanaan lelang sangat kuat. Terlebih jika pimpinan memiliki rangkap jabatan sebagai pejabat publik sekaligus merangkap sebagai pimpinan partai tertentu, sehingga kadang muncul adanya kecenderungan kualifikasi yang mengarahkan pada perusahaan tertentu yang sudah bekerja sama dengan partai tersebut.
Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan negara serta mencegah adanya kebocoran keuangan negara yang berindikasi tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, diperlukan adanya peningkatan kualitas pelayanan publik oleh birokrasi pemerintah melalui penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, dengan melaksanakan prinsip good governance dan clean government yang didukung dengan pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Tidak ada jaminan bahwa perbaikanperbaikan dalam sistem peraturan yang ada akan menunjang akuntabilitas para pejabat jika pola perilaku para elit politik dan para birokrat masih tetap dipengaruhi oleh nilainilai lama yang cenderung koruptif. Kondisi yang mengungkung para birokrat yang sekian lama selalu tunduk kepada pimpinan politis dan kurang mengutamakan pelayanan publik jelas sangat memengaruhi akuntabilitas dalam birokrasi publik.
Nilainilai koruptif yang seolah melembaga tersebut muncul dalam ber bagai bentuk dan variasinya. Dalam hubungannya dengan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah, birokrasi paternalistis di mana jabatan dilihat sebagai sekumpulan kekuasaan atasan tentu menjadi penyebab ketidakadilan dan cenderung koruptif. Pola dari perilaku koruptif ini akhirnya dapat pula mewujud dalam bentuk pemberian perlakuan yang berbeda oleh birokrasi kepada pengguna layanan, bawahan, atau rekanan dalam kegiatan bisnis pemerintah atau pengadaan barang/ jasa pemerintah ini sangat merugikan banyak pihak.
Pejabat birokrasi publik seringkali memberikan hakhak istimewa kepada pengusaha (calon rekanan) yang memiliki hubungan dekat dengannya. Akibatnya, dalam pelaksanaan tender pekerjaan pemerintah, para pengusaha yang dekat dengan penguasa cenderung selalu dimenangkan. Akses mereka untuk memperoleh proyek dan pekerjaan dari pemerintah sangat besar, dan mereka bisa memenangkan tender bahkan tanpa harus memiliki profesionalitas yang tinggi, asalkan mereka memiliki hubungan dekat dengan elite birokrasi dan politik.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah20
Selain itu, penyakit lain yang bersumber kepada nilai koruptif lainnya yang menggejala di dalam birokrasi Indonesia adalah kecenderungan untuk membengkakkan atau menggelembungkan anggaran (mark up). Dalam perencanaan anggaran, para pejabat birokrasi cenderung mengusulkan anggaran yang jauh melebihi kebutuhan nyata yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan. Hal itu dikarenakan semakin besar anggaran yang dialokasikan untuk melaksanakan sebuah kegiatan, akan semakin besar pula insentif atau keuntungan yang diperoleh pelaksana. Semua ini didorong oleh sikap yang mementingkan diri sendiri untuk memperoleh keuntungan dengan jalan yang tidak benar, yakni korupsi.
Reformasi kebijakan hukum birokrasi pengadaan barang dan jasa pemerintah sangatlah diperlukan, selain itu juga adalah implementasi perundangundangan yang konsisten dan reorientasi dari para pejabat birokrasi agar benarbenar menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat juga sangat penting dalam rangka mencegah tindak pidana korupsi, sehingga mewujudkan rasa keadilan bagi rakyat.
C. KERANGKA TEORI1. Reformasi BirokrasiBirokrasi merupakan alat atau mekanisme dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ada saat ini dinilai belum mampu memenuhi harapan masyarakat dengan sebaikbaiknya sehingga perlu dilakukan reformasi. Reformasi merupakan proses upaya sistematis, terpadu, dan komprehensif,
ditujukan untuk merealisasikan tata kepemerintahan yang baik (good governance). Good governance (tata kepemerintahan yang baik) adalah sistem yang memungkinkan terjadinya mekanisme penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif dan efisien dengan menjaga sinergi yang konstruktif di antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.11
Birokrasi merupakan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dija lankan pegawai negeri berdasarkan peraturan perundangundangan, maka birokrasi merupakan struktur organisasi yang digambarkan dengan hierarki yang pejabatnya diangkat atau ditunjuk, garis tanggung jawab dan kewenangannya diatur oleh peraturan yang diketahui (termasuk sebelumnya), dan justifikasi setiap keputusan
11 Sedarmayanti, Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik), Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 67.
Bab 1 Pendahuluan 21
membutuhkan referensi untuk mengetahui kebijakan yang pengesahannya ditentukan oleh pemberi mandat di luar struktur organisasi itu sendiri.
Birokrasi adalah organisasi yang memiliki jenjang, setiap jenjang diduduki oleh pejabat yang ditunjuk/diangkat, disertai aturan tentang kewenangan dan tanggung jawabnya, serta setiap kebijakan yang dibuat harus diketahui oleh pemberi mandat. Pemberi mandat pada sektor swasta adalah para pemegang saham, dan pada sektor publik adalah rakyat.
Birokrasi adalah suatu organisasi formal yang diselenggarakan berdasarkan aturan, bagian, unsur, yang terdiri dari pakar yang terlatih. Biasanya organisasi yang memiliki pemusatan kewibawaan yang menekankan unsur tata susila, pengetahuan teknis, dan tata cara impersonal. Birokrasi juga berarti alat kontrol yang memiliki hierarki yang berbeda dengan organisasi. Wujud birokrasi berupa organisasi formal yang besar merupakan ciri nyata
masyarakat modern dan bertujuan menjalankan tugas pemerintahan serta mencapai keterampilan dalam bidang kehidupan. Konsep birokrasi pertama kali dikemukakan Vincent de Gournay (1712–1759) ahli ekonomi, John Stuart Mill, dan Gaetano Mosca, kemudian Max Weber yang menyatakan ciri birokrasi antara lain: 12
a. pembagian tugas menurut aturan dan tata cara formal;b. sistem peraturan, ditetapkan terlebih dahulu untuk segala tugas yang
dijalankan pegawai, untuk memastikan keseragaman pelaksanaan tugas dan menye suaikan berbagai tugas;
c. kewibawaan tersusun berdasarkan hierarki, seperti bawahan diawasi atasan, hubungan subordinat ditentukan aturan tertentu;
d. tata cara impersonal, seorang pegawai melaksanakan tugasnya secara formal dan impersonal, artinya berdasarkan aturan tertentu tanpa diikuti emosi, kemarahan/kegairahan;
e. penentuan pegawai didasarkan kelayakan seseorang dan tidak boleh dihentikan sewenangwenang, penghasilan dan kenaikan pangkat ditetapkan organisasi kinerjanya.
Birokrasi menurut Weber adalah suatu tipe ideal, karena itu dalam bentuk yang murni memang tak berwujud dalam suatu masyarakat, karena organisasi formal yang terwujud dalam masyarakat hanya mendekati tipe ideal dalam derajat berlainan satu sama lain.
12 Ibid., hlm. 68.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah22
Reformasi birokrasi pada hakikatnya bertujuan untuk terselenggaranya sistem birokrasi yang efektif, bersih, kompetitif, dan responsif terhadap perubahan serta berpihak kepada rakyat. Reformasi birokrasi diperlukan karena penghematan anggaran negara, optimalisasi alokasi sumber daya, optimalisasi kinerja, peningkatan mutu pelayanan, pencegahan korupsi, dan perbaikan sistem.
2. Kebijakan HukumSebagai negara hukum, pemerintah dalam kebijakan perlu mempertimbangkan aspekaspek filosofis, yuridis, dan sosiologisnya agar kebijakan yang diambil tersebut tidak melanggar hukum dan sesuai dengan kebutuhan publik. Menurut Samodra Wibawa bahwa kebijakan publik adalah keputusan suatu
sistem politik untuk/dalam/guna mengelola suatu masalah atau memenuhi suatu kepentingan, di mana pelaksanaan keputusan tersebut membutuhkan dikerahkannya sumber daya milik (semua warga) sistem politik tersebut. Bentukbentuk kebijakan publik di Indonesia beraneka ragam, mulai dari UUD, Keppres, Permen, hingga Perdes (peraturan desa) ataupun peraturan RT (rukun tetangga). Jadi, kebijakan publik itu sangat beragam, sebanyak jumlah level pemerintahan dikalikan jumlah policy makers-nya dikalikan jenis masalah yang hendak ditangani oleh kebijakan tersebut.13
Oleh karena itu, menurut penulis bahwa dalam membuat kebijakan publik tidak terlepas dari persoalan kepentingan publik bahkan bisa dikatakan produk utama dari sebuah sistem dan proses politik adalah kebijakan publik. Kebijakan publik menurut Mustopodidjaja adalah suatu keputusan yang di
maksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu, yang dilaksanakan oleh instansi yang berkewenangan dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan negara dan pem bangunan. Dalam kehidupan administrasi publik, secara formal keputusan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk perundangundangan.14
Kebijakan publik sebagai suatu keputusan yang dibuat oleh instansi yang berwenang, tentunya sarat akan berbagai kepentingan di dalamnya karena
13 Samodra Wibawa, Politik Perumusan Kebijakan Publik, Edisi Pertama, Graha Ilmu, Yog yakarta, 2011, hlm. 1.
14 Muhlis Madani, Dimensi Interaksi Aktor dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, hlm. 18.
Bab 1 Pendahuluan 23
kebijakan publik ini merupakan sebuah produk politik. Tentunya kebijakan yang dibuat tersebut harus dilaksanakan oleh semua warga negara tidak terkecuali, meskipun menimbulkan pro dan kontra dalam implementasinya.
Bentuk instrumen kebijakan yang dipilih tergantung pada substansi dan lingkup permasalahan, sifat kebijakan, dan cakupan dampak kebijakan. Menurut Keban, pada umumnya bentuk kebijakan dapat dibedakan atas:15
a. regulatory, yaitu mengatur perilaku orang;b. redistributive, yaitu mendistribusikan kembali kekayaan yang ada;c. distributive, yaitu melakukan distribusi atau memberikan akses yang sama
terhadap sumber daya tertentu; dand. constituent, yaitu sebuah kebijakan yang ditujukan untuk melindungi
negara.Pembuatan kebijakan publik harus didasarkan pada hukum karena dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, ditentukan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Menurut Immanuel Kant, negara hukum merupakan salah satu tujuan negara, maksudnya:16
Negara harus menjamin tata tertib dari perseorangan yang menjadi rakyatnya. Ketertiban hukum perseorangan ialah syarat utama dari tujuan suatu negara. Tujuan negara ialah pembentukan dan pemeliharaan hukum di samping dijamin daripada kebebasan dan hakhak warganya. Rakyat harus menaati undangundang yang dibuat dengan persetujuannya sendiri. Lain daripada itu, perseorangan dilihat oleh Kant sebagai pihak yang sama derajatnya dengan negara sendiri. Baik negara maupun perseorangan adalah subjeksubjek hukum, yang harus memandang satu dengan lain sebagai sesamanya, sebagai pihakpihak yang memegang hakhak dan kewajiban. Hal ini berarti bahwa negara tidak dapat memandang perseorangan sebagai objek yang tak bernyawa dan tak mempunyai hak apaapa.Dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka tindakan yang dilakukan baik
oleh pemerintah maupun warga masyarakatnya harus didasarkan pada hukum. Jadi, menaati hukum merupakan kewajiban demi terciptanya keamanan dan ketertiban.
15 Ibid.16 I Wayan Suandi, Eksistensi Kebijakan Publik dan Hukum dalam Penyelenggaraan Peme
rintahan Daerah, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Vol. 1 No. 01, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, Bali, 2010, hlm. 14.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah24
Dasar hukum bagi pemerintah dalam melakukan tindakannya ini dapat dilihat dari dua sisi, yakni pada satu sisi memberikan keabsahan bagi tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang sekaligus memberikan perlindungan hukum jika terjadi gugatan yang dilakukan oleh warga masyarakat. Oleh karena itu, menurut Sjachran Basah, salah satu inti hakikat hukum administrasi adalah “melindungi administrasi negara itu sendiri. Maksudnya, kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah akan mendapat perlindungan hukum jika kebijakan itu dibuat berdasarkan pada peraturan perundangundangan. Pada sisi lain, melalui dasar hukum dilakukan pembatasan terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh peme rintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan.17
Kaitannya dengan pendapat Immanuel Kant dengan bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, penulis berpendapat bahwa untuk menjamin kelangsungan hidup suatu negara harus dikelola atas dasar konstitusi negara sebagai landasan konstitusional dalam menyelenggarakan roda pemerintahan, artinya adalah setiap tindakan pemerintah dalam memimpin, mengatur, serta mengelola seluruh elemen dan sumber daya yang dimiliki oleh suatu bangsa harus didasarkan pada ketentuan perundangundangan yang berlaku. Demikian pula terhadap kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang menggunakan uang negara wajib mendasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku yang mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
Dapat dikatakan pula bahwa ketentuan peraturan perundangundangan ditujukan untuk membatasi dan mengatur kekuasaan pemerintah agar tidak di gunakan sewenangwenang yang pada akhirnya dapat menyengsarakan rakyat. Menurut Cornelis Lay, pembatasan ini perlu dilakukan karena “sekecil
apa pun kekuasaan yang digenggam satu lembaga atau seseorang, seperti yang sudah dibuktikan dalam keseharian kita, ia tetap problematik ketika tidak diatur”.18 Seperti diketahui, hukum tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan keberadaannya bukan sebagai suatu lembaga yang ber diri sendiri namun sebagai lembaga yang bekerja sama dengan lembagalembaga lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan publik.
17 Ibid., hlm. 15.18 Ibid.
Bab 1 Pendahuluan 25
Bambang Sunggono berpendapat bahwa untuk menghindari terjadinya penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka hukum dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut karena secara teknis hukum dapat melakukan halhal sebagai berikut.19
a. Hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan memberikan prediktabilitas di dalam kehidupan masyarakat.
b. Hukum merupakan sarana pemerintah untuk menerapkan sanksi. c. Hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melin
dungi melawan kritik.d. Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan
sumbersumber daya.
Penulis berpendapat bahwa hukum sebagai landasan yuridis bagi penyelenggara negara dan masyarakat dalam melakukan tindakan atau perbuatan agar interaksi antara pemerintah dengan warga masyarakat dapat berjalan dengan tertib, aman dan lancar, karena hukum pada hakikatnya dibuat dan diberlakukan untuk mengatur tata kehidupan dalam masyarakat. Bila hukum tidak ditempatkan sebagai landasan yuridis dalam bertindak dalam suatu negara, maka suasana kehidupan dalam masyarakat tentu akan menjadi kacau bahkan bisa terjadi konflik di antara mereka. Menurut Jhering, hukum itu dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk
mencapai hasilhasil tertentu yang diinginkan, maka menurut Sudarto ada tiga pandangan tentang hukum, yaitu sebagai berikut.20
a. Legalistis Hukum dipandang sebagai suatu struktur tertutup yang logis, tidak
bertentangan satu sama lain, hukum sebagai perangkat aturanaturan yang diharapkan agar ditaati oleh para anggota masyarakat. Pandangan ini bertumpu kepada kepastian hukum (prediktabilitas atau rechtszekerheid).
b. Fungsional Hukum dipandang sebagai instrumen untuk pengaturan masyarakat
yang menghendaki pengukuran normanorma, doktrindoktrin, dan lembagalembaga hukum sampai berapa jauh ketiganya ini dapat
19 Ibid.20 Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi ..., op.cit., hlm. 2.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah26
sampai ke tujuan yang hendak dicapai. Pandangan ini bertumpu kepada kegunaan dan kemanfaatan hukum (utility atau doelmatigheid).
c. Kritis Hukum sebagai bagian dari masyarakat dengan mengkaji hukum
dengan ukuranukuran yang dipergunakan oleh hukum itu sendiri. Pandangan ini bertumpu kepada keadilan (justice atau gerechtigheid).
Menurut penulis, hukum harus dipandang sebagai normanorma yuridis yang secara sosiologis berfungsi untuk mengatur tata perilaku dan bertindak bagi setiap warga negara agar tercipta suasana kehidupan dalam masyarakat yang lebih tertib dan teratur. Oleh karena itu, hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem dapat berperan di tengah masyarakat dengan baik dan benar jika ditegakkan secara konsisten dan konsekuen. Sebaliknya hukum yang dibuat sebaik apapun jika tidak dipatuhi oleh pemerintah dan warga masyarakat, maka hukum tersebut menjadi tidak bermanfaat bagi kepentingan negara maupun warga negara.
Menurut Jay A. Sigler, et.al., bahwa hukum dapat digunakan sebagai sarana bagi kebijakan publik untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan melalui proses politik. Hasil utama dari sistem politik adalah hukum. Oleh karena itu, maka “constitution, statutes, administrative orders and executive orders are indicators of policy. Law also sets the framework for public policy”. Dengan demikian, dasar bagi suatu pembuatan kebijakan publik oleh pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan pada hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.21
Dari kalimat di atas, dapat dipahami bahwa konsekuensi hukum yang muncul sebagai akibat diterbitkannya kebijakan merupakan tanggung jawab dari pengambil kebijakan, sedangkan bagi pelaksana kebijakan, selama dalam pelaksanaannya tidak menyimpang dari kebijakan yang ada, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atas akibat dari pelaksanaan kebijakan. Namun apabila dalam pelaksanaan kebijakan ada penyimpangan dan berdampak hukum, maka pelaksana kebijakan yang menyimpang bertanggung jawab secara pribadi (ultra vires) atas dampak yang muncul.
21 I Wayan Suandi, loc.cit., hlm. 15.
Bab 1 Pendahuluan 27
Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hukum adalah keseluruhan daripada normanorma yang secara mengikat dan mengatur hubungan antara manusia dalam masyarakat. Hukum berurusan dengan hakhak dan kewajibankewajiban.22
Bagi penulis, sifat dasar dari hukum adalah mengikat, mengatur, bahkan memaksa siapa saja yang berada dalam ruang lingkup wilayah berlakunya hukum itu sendiri, karena di dalam hukum mengatur tentang hak dan kewajiban bagi setiap warga negara. Hak artinya hukum menjamin dan melindungi hakhak setiap warga negara, dan kewajiban artinya mengikat setiap warga negara untuk mematuhi atau melaksanakan apa yang diperintahkan oleh hukum dan menjauhi atau menghindari apa yang dilarang oleh hukum. Jika apa yang dilarang oleh hukum itu dilanggar, maka kepada yang melanggar hukum akan dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggarannya, yang penerapannya tentu dilakukan secara profesional dan proporsional untuk mewujudkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi setiap warga negara termasuk di dalamnya dalam hal kewajiban pemerintah dalam mengelola keuangan negara secara profesional, proporsional, transparan, akuntabel, dan penuh kehatihatian.
3. Keuangan NegaraMenurut UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah:
Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang termasuk ke bijakan di bidang fiskal, moneter, pengelolaan negara, dan badan lain dalam rangka penyelenggaraan negara. Selain itu adalah sesuatu baik berupa barang maupun uang yang dapat dijadikan milik negara sehu bungan dengan pelaksanaan hak dan kewajibannya.
Pengertian keuangan negara menurut Suparmoko adalah:
Bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari mengenai kegiatankegiatan pemerintah dalam bidang ekonomi, terutama mengenai penerimaan dan pengeluarannya dalam bidang perekonomian tersebut. Keuangan negara merupakan studi mengenai pengaruh dari anggaran penerimaan dan belanja negara terhadap perekonomian terutama pengaruhpengaruhnya
22 Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi ..., op.cit., hlm. 1.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah28
terhadap pencapaian tujuan kegiatan ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas hargaharga, distribusi penghasilan yang lebih merata dan juga peningkatan efisiensi serta penciptaan kesempatan kerja.23 Atas kalimat tersebut, penulis berpendapat bahwa keuangan negara adalah
segala hal yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran yang dikelola dan dioperasionalkan dari, oleh, dan untuk kepentingan institusi negara, baik yang dilaksanakan secara individu pegawai negeri sipil maupun yang dilaksanakan secara kolektif atau kelembagaan oleh pemerintah selaku penyelenggara negara. Oleh karena pengaturan dalam pengelolaan keuangan negara menjadi kewajiban pemerintah. Mamesah mengemukakan bahwa keuangan negara adalah hak dan kewajiban
yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.24
Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa dalam rangka upaya menciptakan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, wajib mengutamakan prinsip profesionalisme, transparan, serta kehatihatian. Selain itu, pengelolaan keuangan negara harus dibedakan, yaitu ada keuangan negara yang berupa uang dalam bentuk tunai, dan ada keuangan negara dalam bentuk barang. Keduanya menjadi hak dan kewajiban negara untuk mengelola dan menggunakannya untuk dan atas nama kepentingan negara. Berikut adalah hakhak negara untuk mengelola dan mempergunakan
keuangan negara antara lain:25
a. hak monopoli mencetak dan pengeluaran uang;b. hak untuk memungut sumbersumber keuangan seperti pajak, bea,
dan cukai;c. hak untuk memproduksi barang dan jasanya yang dapat dinikmati
oleh khalayak ramai, yang dalam hal ini pemerintah memperoleh jasa (kontra prestasi) sebagai sumber penerimaan negara.
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa kewajibankewajiban negara adalah berupa pelaksanaan tugastugas pemerintah, yakni yang sesuai
23 Suparmoko dalam Dasril Munir, Henry Arys Djuanda, dan Hiessel Nogi S. Tangkilisan, Kebijakan & Manajemen Keuangan Daerah, YPAPI, Yogyakarta, 2004, hlm. 162.
24 Ibid., hlm. 163.25 Ibid.
Bab 1 Pendahuluan 29
dengan pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Atas pelaksanaan kewajiban dan tugastugas pemerintah tersebut, peme
rintah dapat melaksanakan pemungutan sumbersumber keuangan negara untuk menunjang pengeluaranpengeluaran sebagai belanja negara, maka setiap tahun ditetapkan undangundang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan Belanja Daerah di mana keduanya saling terkait.26
Pemungutan sumbersumber keuangan negara itu dilakukan melalui pajak, restribusi, denda, dan sebagainya. Pemungutan itu ditujukan kepada rakyat, dan hasilnya adalah pembangunan yang akan dinikmati oleh rakyat pula. Pungutanpungutan dari rakyat tersebut merupakan sumber utama pemasukan uang kas bagi pemerintah. Rakyat memberikan kepercayaan penuh terhadap pemerintah untuk mengelola dan menggunakan dengan sebaikbaiknya.
Pengertian keuangan negara tidak hanya berbentuk uang tetapi segala bentuk dalam wujud apa pun yang dapat diukur dengan nilai uang. Pengelolaan dan penggunaan keuangan negara harus dapat dipertanggungjawabkan oleh pemerintah dengan sebaikbaiknya, sehingga tidak akan menimbulkan kerugian keuangan negara. Kerugian keuangan negara adalah berkurangnya kekayaan negara yang disebabkan oleh penyalahgunaan wewenang/kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan dan kedudukannya. Selain itu, diartikan juga sebagai kelalaian seseorang dan atau sesuatu yang disebabkan oleh keadaan di luar kemampuan manusia (force majeur).
Keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD, keuangan negara pada Perjan, Perum, PNPN, dan sebagainya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya. Keuangan negara merupakan urat nadi dalam pembangunan suatu negara dan sangat menentukan kelangsungan perekonomian, baik sekarang maupun yang akan datang. Perumusan keuangan negara dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun
2003 di atas menggunakan beberapa pendekatan, yaitu:27
26 Ibid.27 Adrian Sutedi, Hukum Keuangan Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 11.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah30
a. Pendekatan dari sisi objek Keuangan negara meliputi seluruh hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, di dalamnya termasuk berbagai kebijakan dan kegiatan yang terselenggara dalam bidang fiskal, moneter, dan/atau pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu, segala sesuatu dapat berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
b. Pendekatan dari sisi subjek Keuangan negara meliputi negara dan/atau pemerintah pusat, peme
rintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
c. Pendekatan dari sisi proses Seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek
di atas mulai dari proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
d. Pendekatan dari sisi tujuan Keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan
hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan peme rintahan negara.
Oleh karena itu, tentang keuangan negara yang dirumuskan dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 dapat dijelaskan bahwa keuangan negara dalam perspektif pendekatan objek meliputi keseluruhan hakhak dan kewajiban yang dimiliki oleh negara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya adanya kebijakankebijakan yang dilakukan di bidang fiskal, moneter, demikian pula terhadap pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Selain itu, segala sesuatu dapat berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sedangkan dalam perspektif pendekatan dari sisi tujuan dapat dijabarkan bahwa keuangan negara terdiri dari segala aset yang dimiliki oleh negara baik pusat maupun daerah provinsi, kabupaten/kota termasuk di dalamnya segala aset berupa BUMN/BUMD, perusahaan milik negara di pusat dan daerah ataupun badanbadan usaha lainnya yang berkaitan dengan keuangan negara.
Bab 1 Pendahuluan 31
Demikian pula terhadap keuangan negara yang dilihat dari perspektif proses, dimaksudkan sebagai seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek di atas mulai dari proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Keuangan negara dilihat dari perspektif tujuan meliputi seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
4. KorupsiMenurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus.28 Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa, seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Dari bahasa Belanda inilah, kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi.
Arti harfiah dari kata korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, katakata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Kehidupan buruk di dalam penjara misalnya, sering disebut sebagai kehidupan yang korup, di mana segala macam kejahatan terjadi di sana.
Meskipun kata corruptio itu luas sekali artinya, namun sering corruptio dipersamakan artinya dengan penyuapan. Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia: “Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, pene
rimaan uang sogok, dan sebagainya”.
Berbicara tentang korupsi perlu dipahami secara benar terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan korupsi, mengapa orang dikatakan melakukan perbuatan korupsi, apa saja unsurunsur korupsi serta apa akibat hukumnya jika sesorang melakukan korupsi. Dalam hal ini, Lubis dan Scott mengemukakan pandangannya tentang
korupsi yang disebutkan bahwa dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan
28 Fockema Andreae dalam Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 4.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah32
orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batasbatas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut normanorma pemerintah dapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela.29 Korupsi adalah serangkaian tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan
oleh seseorang atau beberapa orang, di balik perbuatannya memiliki motivasi untuk meraih keuntungan bagi diri sendiri atau kelompoknya sendiri yang meng akibat kan pihak lain (individu, kelompok, lembaga, maupun institusi) menderita kerugian. Ciriciri korupsi adalah tidak jujur, bermotif curang, mencari keuntungan sepihak, tertutup, dan merugikan pihak lain.
Alatas mengembangkan 7 (tujuh) tipologi korupsi sebagai berikut.30
a. Korupsi transaktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan di antara seorang donor dengan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak.
b. Korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orangorang yang dekat dengan pelaku korupsi.
c. Korupsi investif, yaitu korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan investasi untuk mengantsipasi adanya keuntungan di masa datang.
d. Korupsi nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus, baik dalam pengangkatan kantor publik maupun pemberian proyekproyek bagi keluarga dekat.
e. Korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insiders information) tentang berbagai kebijakan publik yang seharusnya dirahasiakan.
f. Korupsi supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.
g. Korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka memper tahankan diri dan pemerasan.
29 I.G.M. Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi “Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum”, Cetakan Kesatu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 16.
30 Alatas dalam Chaerudin, dkk., Strategi Pencegahan & Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 3.
Bab 1 Pendahuluan 33
Mencermati pemikiran Alatas tentang tujuh tipologi korupsi sebagaimana dikemukakan sebelumnya, secara yuridis korupsi merupakan bentuk tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh lebih dari satu orang atau korporasi melalui proses administratif yang melanggar asasasas dan normanorma hukum yang berlaku untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan materi yang mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara.
5. Kebijakan KriminalKejahatan merupakan suatu perbuatan yang secara yuridis melanggar kaidahkaidah atau normanorma hukum, secara sosiologis melanggar normanorma kesusilaan dan secara kultural melanggar normanorma adat yang berlaku dalam masyarakat. Terjadinya peristiwa kejahatan dalam masyarakat baik disengaja maupun tidak disengaja, tidak dapat dipisahkan dengan sikap dan perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi masyarakat, maka akan berpotensi besar untuk terjadinya konflik kepentingan yang berakibat terjadinya gesekangesekan yang berujung pada tindakan kriminal.
Disadari sepenuhnya bahwa tindakan kriminal akan berakibat terganggunya ketertiban dan keamanan lingkungan. Oleh karena itu, peristiwa kriminal yang terjadi harus segera dihentikan untuk menghindari timbulnya korban yang lebih luas sekaligus sebagai upaya mengembalikan suasana ketertiban dan keamanan lingkungan agar tercipta keharmonisan dalam masyarakat. Upaya menghentikan tindakan kejahatan guna menciptakan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat diperlukan adanya political will pemerintah bersamasama warga masyarakat melalui sebuah kebijakan kriminal.
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) men jadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi, pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu, termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy).31
31 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 254.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah34
Mendasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa criminal policy adalah suatu kebijakan yang dengan sengaja dilakukan untuk mencari jalan keluar guna menyelesaikan suatu perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau korporasi dengan memerhatikan hak dan kepentingan pelaku dan korban sebagai warga negara. Dalam buku yang ditulis oleh Barda Nawawi Arief, yang pernah dike
mukakan oleh Sudarto, ada tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu: 32
a. dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. dalam arti luas ialah keseluruhan fungsi dari aparatur pene gak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; dan
c. dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen) ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perun dangundangan dan badanbadan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan normanorma sentral dari masyarakat.
Penulis sependapat dengan pengertian kebijakan kriminal seperti yang dikemukakan oleh Sudarto yang ditulis oleh Barda Nawawi Arief tersebut karena kebijakan kriminal harus dilakukan dengan penuh kehatihatian memerhatikan aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis agar dapat dipertanggungjawabkan secara proporsional, profesional, dan transparan. Dalam kesempatan lain, Barda Nawawi Arief mengemukakan definisi
singkat, bahwa politik kriminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. Definisi ini diambil dari definisi Marc Ancel yang merumuskan sebagai “the rational organization of the control of crime by society”.
Bertolak dari pengertian yang dikemukakan Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal policy is the rational organi-zation of the social reaction to crime”. Berbagai definisi lainnya yang dikemukakan G. Peter Hoefnagels ialah:33
a. criminal policy is the science of responses;b. criminal policy is the science of crime prevention;
32 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008, hlm. 1.
33 Ibid., hlm. 2.
Bab 1 Pendahuluan 35
c. criminal policy is a policy of designating human behavior as crime;d. criminal policy is a rational total of the responses to crime.Secara objektif dipahami bahwa tindakan kejahatan akan berujung pada
adanya hakhak dan kepentingan pihak lain yang terganggu ataupun dirugikan, berapapun besar kecilnya kerugian baik kerugian materil maupun kerugian moril. Oleh karena itu, kejahatan yang berujung pada timbulnya kerugian wajib diperangi dan dihentikan dengan menggunakan caracara yang elegan, terencana, terkoordinir, terarah melalui sebuah kebijakan.
Suatu perbuatan dijadikan perbuatan pidana karena alasanalasan:a. perbuatan itu merugikan masyarakat;b. sudah berulangulang dilakukan;c. ada reaksi sosial atas perbuatan itu;d. ada unsur bukti.
Berdasarkan keempat parameter ini, maka tidak sertamerta perbuatan yang merugikan dapat dirumuskan secara formal sebagai perbuatan pidana (tindak pidana).
Sebagaimana disebutkan di atas, kriminalisasi merupakan upaya menjadikan suatu perbuatan menjadi tindak pidana. Proses kriminalisasi ini pada akhirnya akan berujung pada perumusan hukum pidana. Dengan demikian, proses kriminalisasi akan berkaitan erat dengan mekanisme penyelenggaraan hukum pidana.
Dalam upaya kriminalisasi juga harus mempertimbangkan halhal yang berkaitan dengan efektivitas dari suatu peraturan perundangundangan yang telah dibuat. Harus diperhatikan mekanisme penyelenggaraan hukum pidana, yang meliputi kemampuan pihakpihak yang terlibat mulai dari kemampuan pihak penyidik (polisi), penuntut umum (kejaksaan), dan hakim (pengadilan) jangan sampai suatu undangundang yang telah dibuat tidak dapat dijalankan.
Sebagaimana dikemukakan di atas, apakah kriminalisasi sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat atau tidak? Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa dalam melakukan kriminalisasi terhadap pelaku kejahatan perlu memperhatikan kebutuhan hukum masyarakat agar suasana tenang, harmonis, dan kondusif dalam kehidupan masyarakat dapat tercipta, karena pada hakikatnya tujuan hukum dibuat dan diberlakukan adalah untuk menjamin terciptanya suasana ketertiban, keamanan, keharmonisan, dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah36
Kriminalisasi tidak boleh sematamata berdasarkan keinginan untuk mengenakan sikap moral khusus terhadap tipe perilaku tertentu, tidak boleh memperlakukan pelanggar potensial menurut kepentingannya sendiri, melainkan harus menurut kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, tidak boleh dimaknai sebagai kelebihan kapasitas mesin hukum pidana, dan tidak boleh difungsikan terhadap apa yang tampak saja sebagai solusi masalah melainkan harus pula difungsikan sebagai solusi masalah terhadap apa yang tidak tampak atau di balik layar. Berkaitan dengan kriminalisasi, De Ross mengemukakan beberapa asas,
yaitu:34
a. masuk akalnya kerugian yang digambarkan;b. adanya toleransi yang didasarkan pada penghormatan atas kebebasan
dan tanggung jawab individu;c. apakah kepentingan yang dilanggar masih dapat dilindungi dengan
cara lain (asas subsidiaritas);d. ada keseimbangan antara kerugian, toleransi dan pidana yang dian
camkan (asas proporsionalitas);e. apakah kita dapat merumuskan dengan baik, sehingga kepentingan
hukum yang akan dilindungi, tercermin dan jelas hubungannya dengan asas kesalahan, sendi utama hukum pidana;
f. kemungkinan penegakannya secara praktis dan efektif serta dampaknya pada prevensi umum.
Dari pendapat De Ross ini, kriminalisasi adalah suatu perbuatan harus memenuhi unsur adanya kerugian yang dialami oleh korban; adanya aspek pertanggungjawaban atau kesengajaan dari individu/pelaku; upaya penyelesaian yang lain sebelum menuju ke ranah hukum, misalnya dilakukan secara musyawarah atau ganti rugi jika kerugian yang diderita oleh korban dapat diganti atau diperbaiki; antara kerugian, sifat perbuatan yang dilakukan, dan hukuman yang akan diberikan apakah pantas diberikan bagi pelaku; adanya unsur kesalahan, kesengajaan, dan kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum akibat perbuatan pelaku; serta penegakannya harus bersifat praktis yang dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku dan hukuman yang diberikan tepat dan mengena yang akan memberikan akibat bagi masyarakat pada umumnya, sehingga tidak dapat semua perbuatan dikriminalisasikan.
34 Ibid., hlm. 15.
Bab 1 Pendahuluan 37
6. Pengadaan Barang dan Jasa PemerintahDalam kegiatan publik, khususnya pemerintahan maupun privat (usaha swasta) selalu diperlukan barang/jasa, baik untuk keperluan operasional yang bersifat rutin seperti bahan baku, bahan penolong (supplies), suku cadang, barang jadi, dan barang modal (kapital) seperti bangunan, mesin, dan peralatan lainnya. Kebutuhan barang/jasa tidak dapat dihindarkan untuk menjaga kelancaran
operasional dan untuk menjamin pertumbuhan sektor publik, di mana untuk mendapatkannya tidak dapat diperoleh secara instan, tetapi diperlukan tenggang waktu. Tenggang waktu tersebut dimulai dari saat melakukan pemesanan, waktu untuk memproduksinya, waktu untuk mengantarkan barang, bahkan sampai dengan waktu untuk memproses barang di gudang hingga siap digunakan oleh pemakainya.35
Sistem pengadaan publik atau barang/jasa pemerintah yang transparan, nondiskriminasi, berkeadilan, efektif, dan efisien sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Salah satu isu dan permasalahan pokok dalam penyelenggaraan pengadaan publik yang diakui oleh berbagai kalangan baik dari masyarakat bahkan dari pemerintah adalah praktik diskriminatif, kecurangan, dan korupsi yang terjadi tidak hanya di negara berkembang seperti di dalam pengadaan pemerintah di Indonesia, tetapi juga diberbagai negara maju.
Sebagaimana diketahui bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah yang dikelola dan dilaksanakan oleh setiap instansi pemerintah mulai dari tingkat pusat sampai tingkat provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia dibiayai oleh APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa. Sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah saat ini, mengacu pada Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Sesuai dengan rumusan dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang dimaksud dengan barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh pengguna barang,
35 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, op.cit., hlm. 10.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah38
sedangkan pengertian jasa dalam Perpres tersebut meliputi jasa konsultansi, yaitu jasa layanan profesional yang membutuhkan keahlian tertentu di berbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya olah pikir (brainware), dan jasa lainnya adalah jasa yang membutuhkan kemampuan tertentu yang mengutamakan keterampilan (skillware) dalam suatu sistem tata kelola yang telah dikenal luas di dunia usaha untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau segala pekerjaan dan/atau penyediaan jasa selain jasa konsultansi, pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan pengadaan barang. Sedangkan pekerjaan konstruksi adalah seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya. Pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruh pembiayaannya dibebankan kepada APBN/APBD, pinjaman/hibah luar negeri, atau pengadaan barang/jasa untuk inventaris di lingkungan BI, BHMN, dan BHMD yang sebagian atau seluruh biayanya dibebankan kepada APBN/APBD. Pengadaan barang/jasa dilaksanakan dengan menggunakan prinsip dasar
sebagai berikut.36
a. Transparan.b. Adil.c. Bertanggung jawab.d. Efektif.e. Efisien.f. Kehatihatian.g. Kemandirian.h. Integritas.i. Good corporate governance.Dari ketujuh prinsip dasar dalam kegiatan pengadaan barang/jasa
pemerintah sebagaimana dirumuskan di atas menjadi sarana kontrol sekaligus sebagai sarana bagi setiap panitia pengadaan barang/jasa pemerintah untuk bersungguhsungguh dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Berdasarkan hal tersebut, semua ketentuan dan informasi, baik teknis maupun administratif termasuk tata cara peninjauan, hasil peninjauan, dan penetapan penyedia barang/jasa harus bersifat terbuka bagi penyedia barang/jasa yang berminat, tidak boleh bertindak diskriminasi dalam memberikan pelayanan
36 Ibid., hlm. 22–23.
Bab 1 Pendahuluan 39
kepada para penyedia barang/jasa serta harus menghindari adanya upayaupaya KKN dari pihakpihak lain dengan maksud untuk memberikan sesuatu baik langsung ataupun tidak langsung yang dapat memengaruhi integritas, netralitas, objektivitas, profesionalitas panitia pengadaan barang/jasa pemerintah yang dapat berakibat terjadinya kerugian keuangan negara.
Tujuan akhir dari kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilak sanakan oleh panitia adalah selesainya pekerjaan tepat waktu dengan hasil pekerjaan yang berkualitas, memiliki daya tahan yang cukup lama sesuai spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya, sehingga dapat dimanfaatkan oleh pengguna barang/jasa pemerintah dan masyarakat secara luas.
Seperti diketahui bahwa hakikat kegiatan pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah barang/jasa yang memiliki kualitas terukur, harga sesuai dengan pagu anggaran, dan menguntungkan negara. Memang disadari bahwa panitia pengadaan barang/jasa yang tidak memiliki kualitas, kapasitas, dan kompetensi dengan spesifikasi tertentu akan mengalami kesulitan bahkan ditemukan ada kegiatan pengadaan barang/jasa yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan, misalnya pengadaan barang/jasa di Tegal, pengadaan barang/jasa di Dinas Perkebunan Jawa Tengah, pengadaan barang/jasa di Jepara, dan pengadaan barang/jasa di Magelang yang akibatnya kegiatan pengadaan barang/jasa tersebut mengalami kerugian.
Mencermati prinsip dasar pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengembangan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), penulis juga sependapat sebagai upaya mencegah terjadinya KKN yang berujung pada korupsi. Faktanya kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilaksanakan saat ini berada di bawah payung hukum Perpres, setelah dilakukan kajian dan analisis terhadap Perpres tersebut diketahui masih menimbulkan masalah hukum, yakni berlakunya sistem desentralisasi dengan kualitas sumber daya manusia yang terbatas dan panjangnya birokrasi yang harus dilalui untuk menyelesaikan satu paket pekerjaan pengadaan mulai dari proses perencanaan sampai dengan penyerahan barang/jasa yang membuka potensi terjadinya penyimpangan, penyalahgu naan wewenang yang dilakukan oleh panitia maupun penyedia barang/jasa pemerintah. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkahlangkah strategis yang efektif dan efisien guna mencegah terjadinya korupsi berupa penyalahgunaan wewenang, suap, penggelapan, dan seterusnya untuk masa yang akan datang.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah40
A. REFORMASI BIROKRASI1. Pengertian Reformasi dan BirokrasiDari ensiklopedi Wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa reformasi merupakan suatu perubahan menuju perbaikan suatu sistem dalam masyarakat atau negara. Menurut arti kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Orangorang yang melakukan atau memikirkan reformasi itu disebut reformis yang tak lain adalah orang yang menganjurkan adanya usaha perbaikan tersebut tanpa kekerasan.
Pada intinya, reformasi adalah perubahan menuju ke arah yang lebih baik dalam berbagai bidang. Halhal yang buruk diperbaiki untuk menjadi lebih baik, seperti sikap, perbuatan, bahkan sistem birokrasi harus sesuai dengan aturan dan tatanan yang diharapkan. Reformasi sering disalahgunakan pihakpihak tertentu yang mengatas
namakan kebebasan dan keterbukaan. Akibatnya, perjalanan reformasi menjadi tidak mudah, terlebih lagi dengan pengaruh globalisasi yang semakin kuat. Reformasi seolah menjadi berjalan di tempat dan belum menunjukkan hasil yang optimal.1
1 Taufiq Effendi, Permasalahan dan Peningkatan Kinerja SDM Aparatur Negara Menghadapi Persaingan Global, Men PAN, Jakarta, 2008, hlm. 8.
Bab 2Landasan Teori
Bab 2 Landasan Teori 41
Penyalahgunaan atas nama reformasi ini misalnya adalah demonstrasi yang dilakukan tanpa mengindahkan aturan dengan merusak fasilitas negara. Kerusakan akibat demonstrasi tersebut sudah pasti merugikan negara. Tujuan dari gerakan reformasi yang didasari semangat demokrasi di berbagai bidang ini adalah untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Definisi reformasi berbedabeda bagi tiap orang, terutama lebih disesuaikan dengan kepentingankepentingan yang mengikutinya. Reformasi merupakan proses upaya sistematis, terpadu, dan komprehensif,
ditujukan untuk merealisasikan tata kepemerintahan yang baik (good governance). Good governance (tata kepemerintahan yang baik) adalah sistem yang memungkinkan terjadinya mekanisme penyelenggaraan peme rin tahan negara yang efektif dan efisien dengan menjaga sinergi yang konstruktif di antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.2
Penataan regulasi dan sistem birokrasi yang efektif perlu dilakukan secara cermat dan proporsional dengan dimaksudkan untuk mewujudkan penyeleng garaan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, sedangkan efisien berarti penyelenggaraan negara tepat pada sasarannya, sehingga tidak membuangbuang waktu, tenaga, dan biaya guna pencapaian hasil yang optimal.
Aktivitas reformasi sebagai padanan lain dari perubahan (change), perbaikan (improvement), atau modernisasi (modernization). Ruang lingkup reformasi tidak hanya tertuju pada proses dan prosedur, tetapi berbagai perubahan di semua tingkatan struktur dan sikap tingkah laku (the ethics being). Arah yang akan dicapai reformasi antara lain adalah tercapainya pelayanan publik secara efektif dan efisien. Reformasi ini berusaha untuk mengubah, memperbaiki, dan melakukan modernisasi dalam sistem di semua struktur secara terusmenerus ke arah pembangunan bangsa yang selama ini telah jauh menyimpang untuk kembali ke citacita Proklamasi Kemerdekaan.
Dalam melakukan reformasi, ada beberapa hal yang wajib diperhatikan, antara lain sebagai berikut.a. Adanya peristiwa berupa kesalahan, kelalaian, penyimpangan dan penyele
wengan dalam pelaksanaan kehidupan di bidang ketatanegaraan, termasuk bidang perundangundangan dan hukum.
2 Sedarmayanti, Reformasi Administrasi Publik ..., loc.cit., hlm. 67.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah42
b. Pemerintah selaku penyelenggara negara diketahui telah menggunakan kewenangannya secara semenamena/otoriter di luar etika kenegaraan melalui tindakantindakan yang merugikan dan menekan hakhak dan kepentingan pihak lain secara melawan hukum.
c. Lemahnya kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan bangsa sebagai akibat krisis multidimensi yang berkepanjangan dan terusmenerus.
d. Melakukan langkahlangkah penyelamatan dalam segenap bidang kehidupan, khususnya yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak.
e. Menggunakan landasan kerohanian berupa falsafah dasar negara Indonesia. Secara etimologis, birokrasi berasal dari kata bureaucracy (dalam bahasa
Inggris, yakni bureau dan cracy), yang diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, di mana lebih banyak orang berada di tingkat bawah daripada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer. Ditinjau dari segi bahasa, birokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu kratein yang berarti mengatur. Dalam bahasa Perancis, kata birokrasi disinonimkan dengan kata bureau yang berarti kantor.
Arti kata birokrasi di berbagai bahasa berbedabeda, namun dapat disimpulkan dari katakata tersebut bahwa birokrasi merupakan hierarki kekuasaan dalam suatu organisasi, di mana orang yang berada di tingkat atas bertugas mengatur, dan yang berada di tingkat bawah mematuhi aturan orang yang berada di atas (pimpinan). Birokrasi adalah suatu tipe atau bentuk organisasi, yang dapat ditinjau
dari tiga sudut yang berbeda, yakni biro yang berarti suatu lembaga; pengalokasian nilai dan sumber organisasi yang berskala luas misalnya pengambilan keputusan; dan bureauness yang menunjukkan suatu kualitas yang membedakan biro dengan tipe organisasi lainnya yang bukan birokrasi.
Adapun birokrat adalah orang yang pekerjaannya bercirikan:3
a. bekerja untuk organisasi yang berskala luas;b. dipekerjakan secara penuh oleh organisasi dan sebagian besar pen
dapatannya berasal dari pekerjaannya;
3 Anthony Down dalam Mirian S. Arif, Organisasi dan Manajemen, Karunika, Jakarta, 1985, hlm. 57, sebagaimana dikutip oleh Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, Teori, Kebijakan, dan Implementasi, Cetakan Keempat, Bumi Aksara, Jakarta, 2008, hlm. 142.
Bab 2 Landasan Teori 43
c. kebijaksanaan organisasi kepegawaian seperti pengangkatan, promosi, didasarkan pada kecakapannya bekerja;
d. hasil pekerjaannya tidak dapat dinilai dengan uang atau pasar, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Dikaitkan dengan tatanan kenegaraan, birokrasi merupakan sebuah lembaga/institusi/departemen, yang di dalamnya terdapat pegawai yang dipekerjakan dan digaji sesuai dengan pekerjaannya, adanya tingkatan jabatan berdasarkan kecakapan bekerja, dan semua tata cara bekerjanya telah diatur dengan peraturan.
Di dalam birokrasi sebaga organisasi yang bebas, pimpinan akan diangkat atau ditunjuk, dan memiliki kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundangundangan, setiap keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan yang nantinya akan mendapatkan pengesahan dari pemberi mandat di luar struktur organisasi itu sendiri.
Birokrasi adalah organisasi besar yang memiliki jenjang atau tingkatan, setiap jenjang atau tingkatan tersebut diduduki oleh pejabat yang ditunjuk/ diangkat, yang diberikan kewenangan dan tanggungjawabnya yang telah diatur dalam peraturan perundangundangan, dan setiap kebijakan yang dibuat oleh pejabat tersebut, harus diketahui oleh pemberi mandat. Pemberi mandat bagi pejabat publik adalah rakyat, sedangkan pemberi mandat pada sektor swasta adalah para pemegang saham. Secara terminologi, dalam istilah birokrasi terdapat paling tidak tujuh
pengertian yang menurut istilah Martin Albrow, yaitu:4
a. organisasi yang rasional;b. ketidakefisienan organisasi;c. pemerintahan oleh para pejabat;d. administrasi negara;e. administrasi oleh pejabat;f. bentuk organisasi dengan ciriciri dan kualitas tertentu seperti hierarki
dan peraturanperaturan; dang. salah satu ciri esensial dari masyarakat modern. Birokrasi di Indonesia saat ini mempunyai sifat red tape, yakni berbelitbelit,
prosedur panjang, dan tidak ada kepastian waktu jika tidak ada imbalan. Pejabat
4 Ibid., hlm. 28.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah44
pemerintahan mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang besar untuk mengatur dan memengaruhi sistem pelayanan publik serta organisasinya. Birokrasi ini melakukan kegiatan yang dilaksanakan oleh semua aparatur pe merintah untuk mencapai tujuan negara, yakni kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Akan tetapi sekarang ini, kesejahteraan dan kemakmuran hanya untuk pejabat dan kronikroninya. Pejabat bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan dalam organisasi. Di dalam birokrasi dibagi menjadi beberapa bagian untuk melaksanakan tugas yang berbeda, tugas tersebut diberikan sesuai dengan peraturan yang ada, terkadang pekerjaan yang dilakukan menyimpang dari aturan. Ini merupakan ciri dari birokrasi yang ada di masyarakat modern, termasuk Indonesia.
2. Reformasi Birokrasi dan Akuntabilitas Pelayanan PublikPada umumya dalam birokrasi berpotensi terjadinya tindakan yang sewenangwenang, kesewenangwenangan tersebut berakibat pada terabaikannya kewajiban birokrat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Atas kejadian tersebut, perlu dilakukan langkahlangkah pencegahan dengan melakukan reformasi birokrasi.
Perbaikan birokrasi ini dilakukan di semua tingkat, dari tingkat pusat sampai tingkat bawah. Reformasi birokrasi ini dilakukan dengan memperbaiki kualitas SDM, kebijakan hukum, mekanisme atau prosedur pelayanan publik yang sesuai dengan peraturan dan tujuan yang hendak dicapai, tepat waktu dan tidak membuangbuang biaya, serta dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan tugas dan kewenangannya masingmasing.
Reformasi birokrasi yang bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih, transparan, dan profesional, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dilakukan melalui:a. penataan kelembagaan, perampingan struktur organisasi dan flat (tidak
banyak jenjang hierarkis dan struktur organisasi lebih dominan pemegang jabatan profesional atau fungsional daripada jabatan struktural), sehingga semua pegawai adalah orangorang pilihan yang profesional secara teknis dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik;
b. penataan ketatalaksanaan, mekanisme, sistem, dan prosedur sederhana/ ringkas, simpel, mudah dan akurat melalui optimalisasi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, serta memiliki kantor, sarana dan prasarana kerja memadai. Tidak ada efek red tape dalam pelayanan publik, sehingga efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas dapat tercapai;
Bab 2 Landasan Teori 45
c. penataan aparatur pelaksana, agar memiliki sumber daya manusia yang berkualitas sesuai kebutuhan organisasi, profesional, kompeten, beretika, berkinerja tinggi, akuntabel dan sejahtera;
d. pelayanan dan kualitas pelayanan, pelayanan prima (cepat, tepat, adil, konsisten, transparan, dan lainlain), memuaskan pelanggan dan mewujudkan good governance (kepemerintahan yang baik), karena kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah adalah mandat dari rakyat, sudah sewajarnya mereka melayani rakyat dengan baik, bukan meminta untuk dilayani oleh rakyat.Reformasi birokrasi penting dilakukan agar bangsa ini tidak termarginalisasi
oleh arus globalisasi. Tidak ada salahnya jika reformasi birokrasi menyesuaikan dengan perkembangan dunia saat ini, namun tetap harus berpegang teguh dengan nilainilai bangsa. Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi, seperti presiden dalam suatu negara atau menteri/kepala lembaga pada suatu departemen dan kementerian negara/lembaga negara, sebagai motor penggerak utama. Jika pimpinan memberikan contoh yang baik, pastinya bawahan atau pegawainya akan mengikutinya. Sebagaimana ajaran dari Ki Hajar Dewantara, yakni sebagai berikut.a. Ing ngarso sung tulodo. Ing ngarso artinya itu di depan atau di muka. Sung berasal dari kata ingsun
yang artinya saya. Tulodo berarti tauladan. Jadi makna dari ing ngarso sung tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orangorang di sekitarnya.
b. Ing madyo mangun karso. Ing madyo artinya di tengahtengah. Mangun berarti membangkitkan, mem
bangun, atau menggugah. Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi makna dari ing madyo mangun karso adalah meskipun berada di tengah kesibukan, harus mampu membangkitkan atau menggugah dan memberikan semangat bagi orang lain.
c. Tut wuri handayani. Tut wuri artinya mengikuti dari belakang. Handayani berarti memberikan
dorongan moral atau dorongan semangat. Tut wuri handayani diartikan seseorang harus dapat menjadi pendorong bagi orang lain, dengan memberikan semangat kerja dan moral yang baik, sehingga menumbuhkan motivasi dan semangat.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah46
Jadi, arti dari ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani berarti figur seseorang yang dapat menjadi pemimpin yang baik adalah di samping menjadi suri tauladan atau panutan, juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral bagi orangorang di sekitarnya untuk menjadi lebih baik, sehingga menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama dan masyarakat pada umumnya. Feisal Tamin memberikan pengertian dari reformasi birokrasi yang
merupakan upaya yang sangat strategis karena birokrasi pemerintah adalah tulang punggung eksistensi dan kejayaan bangsa. Reformasi birokrasi yang dilakukan harus benarbenar atas kehendak bersama, sehingga tidak ada satu warga negara pun yang secara laten maupun termanifestasikan menentang.5
Menurut penulis, pemaknaan reformasi seperti dikemukakan oleh Feisal Tamin di atas perlu disinergikan dengan pengertian reformasi yang dikemukakan oleh Sedarmayanti di bawah ini, karena dalam melakukan reformasi harus didasarkan pada adanya visi, misi, tujuan, prinsip, dan sasaran yang hendak dicapai dengan merumuskan rencana strategis untuk pencapaiannya. Berikut adalah visi, misi, tujuan, prinsip, dan sasaran reformasi birokrasi
menurut Sedarmayanti, yaitu sebagai berikut.6
a. Visi Terwujudnya pemerintahan yang amanah atau terwujudnya tata ke pe
merintahan yang baik. b. Misi
Mengembalikan cita dan citra birokrasi pemerintahan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat serta dapat menjadi suri tauladan dan panutan masyarakat dalam menjalani kehidupan seharihari.
c. Tujuan 1) Umum:
Mewujudkan kepemerintahan yang baik, didukung oleh penyelenggara negara yang profesional, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga tercapai pelayanan prima.
5 Feisal Tamin, Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara, Blantika Jakarta, 2004, hlm. 76 dan 79.
6 Sedarmayanti, Reformasi Administrasi Publik ..., op.cit., hlm. 74–76.
Bab 2 Landasan Teori 47
2) Khusus:a) birokrasi bersih, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN);b) birokrasi efisien, tidak boros atau hemat dalam penggunaan
sumber daya;c) birokrasi efektif, mampu mengemban tanggung jawab, dan
mencapai tujuan organisasi yang telah ditentukan;d) birokrasi produktif, mampu mengeluarkan keluaran yang
sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat;e) birokrasi sejahtera, digaji sesuai beban tugas, bobot, dan
tanggung jawab jabatan serta status sosial Pegawai Negeri Sipil, dihargai masyarakat.
d. Prinsip:1) Peningkatan kinerja ditunjang profesionalisme sumber daya
manusia.2) Penghematan sumber daya organisasi: 5 M + 1 T (Man, Money,
Material, Methode, Machine, Time = manusia, uang, material, metode, mesin, waktu) dan lainlain.
3) Bukan sekedar menaikkan gaji.4) Remunerasi, bersifat nasional akan mengalami perbaikan secara
menyeluruh.5) Tunjangan kinerja:
a) Diberikan kepada yang berprestasi.b) Sebagai proyek percontohan ditentukan beberapa unit kerja
yang langsung melayani masyarakat.6) Mengakhiri (tolak ukur penilaian hasil reformasi birokrasi).
a) Perilaku koruptif (suap, menunda pelayanan, tidak disiplin, dan lainnya).
b) Pintar bodoh, penghasilan sama.c) 802 (datang jam 8.00, pekerjaan kosong, pulang jam 2.00).d) Pengangguran terselubung.
e. Sasaran.1) Terwujudnya birokrasi profesional, netral, dan sejahtera, mampu
menempatkan diri sebagai abdi negara dan abdi masyarakat guna mewujudkan pelayanan masyarakat yang lebih baik.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah48
2) Terwujudnya kelembagaan pemerintah yang proporsional, fleksibel, efektif, serta efisien di lingkungan pemerintah pusat dan daerah.
3) Terwujudnya ketatalaksanaan (pelayanan publik) yang lebih cepat, tidak berbelit, mudah, dan sesuai kebutuhan masyarakat.
Dengan tetap berpedoman pada visi, misi, dan tujuan, serta dilaksanakan berdasarkan prinsip yang benar dan kuat untuk mencapai sasaran, maka reformasi birokrasi bukanlah hanya impian dan harapan belaka, tetapi sebuah komitmen untuk dapat diwujudkan.
3. Ciri BirokrasiDalam sistem birokrasi selalu menggunakan pendekatan formalitas sebagai dasar untuk menertibkan pelaksanaan fungsifungsi pelayanan pemerintah kepada publik mulai dari pusat sampai ke daerah, yakni melalui peraturanperaturan yang nantinya dilaksanakan oleh para pegawai. Secara normatif, dalam birokrasi diatur mengenai adanya pembagian tugas masingmasing bagian atau seksi atau bidang, tujuannya adalah untuk memudahkan para birokrat dalam melaksanakan pekerjaannya dan menghindari terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan pekerjaan. Birokrasi pemerintahan disebut juga sebagai organisasi pemerintah yang diberi kewenangan oleh undangundang untuk membuat regulasi, membuat kebijakan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaikbaiknya. Diharapkan segala peraturan tersebut dilaksanakan sebaikbaiknya untuk dapat mencapai birokrasi yang ideal.
Berdasarkan pengertian birokrasi sebagaimana dikemukakan di atas, maka penulis berpendapat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi yang legal, rasional, berstruktur yang dirancang untuk mengelola dan melaksanakan tugastugas secara cermat, tepat, efektif dan efisien yang berlandaskan pada visi, misi, tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, dengan fungsi utamanya memberikan pelayanan administrasi kepada masyarakat dan berorientasi ke masa depan yang lebih baik.
4. Konsep dan Teori BirokrasiBirokrasi tidak bisa dikatakan sebagai yang me wakili kepentingan dirinya sendiri dengan alasan apa pun, karena birokrasi pada hakikatnya bertujuan untuk mela yani kepentingan negara/rakyat. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu
Bab 2 Landasan Teori 49
mengenai birokrasi yang merupakan negara atau pemerintah itu sendiri. Selain itu, birokrasi juga merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelaskelas sosial lainnya. Jadi, birokrasi mempunyai pengaruh yang besar.
Desain organisasi melibat kan dominasi atau kelompok yang mempunyai dukungan paling kuat dan berkuasa, dalam arti bahwa kewenangan melibatkan hak yang sah untuk meminta kepatuhan dari orang lain. Pencariannya terhadap bentukbentuk dominasi dalam masyarakat menuntunnya pada penelitian tentang struktur organisasi yang dikenal dengan hierarki birokrasi.
Struktur birokrasi adalah struktur yang lebih unggul dari berbagai aspek misalnya dalam hal ketepatan, stabilitas, keketatan, kedisiplinan, dan kehandalannya. Sebagai organisasi yang menekankan disiplin, birokrasi merupakan organisasi atau sarana yang dapat digunakan untuk melakukan fungsi kontrol atas pekerjaan manusia. Menurut Weber bahwa kepercayaan bawahan terhadap legitimasi akan
menghasilkan kestabilan pola kepatuhan dan perbedaan sumber perintah dalam sistem organisasi. Otorita tidak tergantung pada ajakan kepada kepentingan bawahan dan perhitungan untung rugi pribadi, atau pada motif suka atau tidak suka, itulah sebabnya tidak ada otorita yang tergantung pada motifmotif ideal. Weber mengemukakan tiga tipe ideal dari otorita, yaitu:7
a. otorita tradisional; b. otorita kharismatik;c. otorita legalrasional.
Ketiga tipe ideal otorita di atas dapat diuraikan bahwa otorita tradisional pada hakikatnya ia meletakkan prinsipprinsip legitimasi pola pengawasan sebagaimana diberlakukan di masa lampau dan yang kini masih berlaku. Hal ini dikaitkan dengan kewajiban penduduk untuk menuangkan loyalitas pribadinya kepada siapa yang menjadi kepalanya, yakni bawahan harus taat pada pimpinan. Hal ini terjadi pada birokrasi saat ini. Apa pun perintah atasan, bawahan harus melaksanakan sebagai bentuk kesetiaan pada atasan. Para pemegang otorita merasa takut untuk merenggangkan cara pengerjaan tradisional, karena perubahan berikutnya akan menggerogoti sumbersumber legitimasinya.
7 Lijan Poltak Sinambela, op.cit., hlm. 55.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah50
Otorita kharismatik timbul karena penghambaan seseorang kepada individu yang memiliki halhal yang tidak biasa. Pimpinan dianggap sebagai orang yang memiliki kemampuan jauh melebihi orang lain. Individu yang dipatuhi tersebut misalnya mempunyai sikap heroik, ciri, dan sifat pribadi lainnya yang amat menonjol. Kedudukan seseorang pemimpin kharismatik tidaklah diancam oleh kriteria tradisional, seorang pemimpin kharismatik tidaklah dibelenggu oleh aturan tradisional. Pemimpin seperti ini dan segala komandonya selalu dipatuhi oleh para pengikutnya yang dipandang dapat memimpinnya ke arah pencapaian tujuannya. Para pengikut mematuhinya karena penghambaan diri, bukan karena hukum yang memaksanya untuk patuh. Mereka tidak takut jika sewaktuwaktu terjadi perubahan yang nantinya akan merenggut kekuasaannya.
Otorita legalrasional didasarkan atas aturan yang bersifat tidak pribadi impersonal yang ditetapkan secara legal. Kesetiaan atau kepatuhan adalah manakala seseorang melaksanakan otorita kantornya hanya dengan loyalitas formal dari pimpinannya dan hanya dalam jangkauan otorita kantornya. Pada otorita ini kekuasaan yang diberikan karena mandat atau peraturan perundangundangan. Pimpinan mempunyai kekuasaan atau kewenangan karena undangundang yang memberikan. Otorita legalrasional memang didasarkan atas aturanaturan yang pasti. Aturan bisa saja terdapat perubahan untuk dapat mengikuti perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya secara sistematis, dan mengandung perkiraan masa mendatang.
5. Manajemen BirokrasiManajemen merupakan suatu proses dalam rangka mencapai sasaran yang efektif dan efisien, dengan cara bekerja sama dengan orang lain maupun organisasi lainnya. Dalam manajemen birokrasi ditujukan pada sistem birokrasi terutama dalam lingkup internal birokrasi untuk melaksanakan pekerjaan.
Di Indonesia, pengertian manajemen pegawai negeri sipil/aparatur sipil negara diatur di dalam Pasal 1 angka 5 UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang menyatakan bahwa: “Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme”.
Manajemen PNS meliputi penyusunan dan penetapan kebutuhan, pengadaan, pangkat dan jabatan, pengembangan karier, pola karier, promosi, mutasi, penilaian kinerja, penggajian dan tunjangan, penghargaan, disiplin, pemberhen
Bab 2 Landasan Teori 51
tian, jaminan pensiun dan jaminan hari tua, serta perlindungan. Manajemen PNS ini diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna. Oleh karena itu, dibutuhkan PNS yang profesional, bertanggung jawab, jujur, dan adil melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja.
Merujuk pada UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 jo. UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dapat dijelaskan bahwa manajemen kepegawaian diarahkan pada pembinaan manajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah yang meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengen dalian jumlah pegawai dilakukan oleh pemerintah pusat.
Manajemen kepegawaian telah diatur sedemikian rupa untuk menjalankan tugastugas yang telah ditetapkan di dalam peraturan perundangundangan, terutama dalam hal pelayanan publik yang baik bagi masyarakat. Untuk mencapai pelayanan publik yang baik oleh birokrasi, tidak salah jika
mencontoh konsep New Public Management untuk diterapkan di dalam birokrasi pemerintahan. Konsep New Public Management ini dapat dipandang sebagai suatu konsep baru yang ingin menghilangkan monopoli pelayanan yang tidak efisien yang dilakukan oleh instansi dan pejabatpejabat pemerintah. Untuk lebih mewujudkan konsep New Public Mangement dalam birokrasi publik, maka diupayakan agar para pemimpin birokrasi mening katkan produktivitasnya dan menemukan alternatif caracara pelayanan publik berdasarkan perspektif ekonomi. Mereka didorong untuk memperbaiki dan mewujudkan akuntabilitas publik kepada pe langgan, meningkatkan kinerja, restrukturisasi lembaga birokrasi publik, merumuskan kembali misi organisasi, melakukan streamlining proses dan prosedur birokrasi, dan melakukan desentralisasi proses pengambilan kebijakan. 8
New Publik Management ini sama dengan upaya melakukan reformasi terhadap birokrasi. Pada manajemen ini, para pemimpin birokrasi tidak hanya terpacu pada aturan, namun juga harus memiliki kreativitas untuk mencari cara agar dapat melakukan pelayanan publik dengan baik. Pemerintah dapat memotong
8 Miftah Thoha, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 75.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah52
panjangnya proses birokrasi agar lebih efektif dan efisien. Untuk setiap pelayanan publik, lebih ditata secara apik, sehingga tidak terpusat pada satu instansi dan tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan pekerjaan. Untuk meningkatkan kinerja pegawai bisa digunakan sistem reward and punishment. Dalam upaya melakukan reformasi birokrasi pemerintahan, seringkali di
dengar istilah reinventing government. Dalam reinventing government ini, ada upaya para pejabat disertai komponen instansi publik untuk senantiasa bekerja keras dalam meningkatkan sumbersumber yang berpotensi ekonomi yang dipunyai oleh instansi pemerintah dari yang tidak produktif bisa menjadi produktif, dari yang produksinya rendah ditingkatkan ke produksi yang lebih tinggi.9
Di sini pemerintah berusaha mengubah kinerja dalam sistem birokrasinya untuk menjadi lebih efektif dan efisien. Meningkatkan sumbersumber yang berpotensi ekonomi bukan berarti meminta pungutan dari masyarakat dalam pelayanan publik, namun usaha yang dimiliki pemerintah seperti BUMN/BUMD harus lebih diupayakan untuk kepentingan masyarakat. Dengan memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat, jika pun masyarakat harus membayar lebih kepada pemerintah untuk kemajuan usaha milik pemerintah, masyarakat pun sepertinya tidak berkeberatan. Namun, jika pelayanan kepada pelanggan tidak memuaskan, namun pembayaran terus dinaikkan, masyarakat tentunya akan kecewa dan akan mencari alternatif lain daripada menggunakan jasa/layanan pemerintah.
Sebagai katalis, pemerintah bertugas untuk membuat kebijakan dan pelaksana. Antara tugas tersebut harus konsisten, pelaksanaan harus sesuai dengan kebijakan yang dibuat. Perlu juga metode seperti memberikan hadiah, insentif, dan sebagainya bagi organisasi publik sehingga dapat meningkatkan motivasi kerja nya. Pemerintahan milik masyarakat berarti semua kinerja aparat pemerintahan itu diawasi oleh rakyat. Mereka harus mau menerima saran dan kritik demi kemajuan bangsa. Arti kompetitif ini, yakni adanya persaingan yang adil bagi para pegawainya. Tidak ada sifat kolusi dan nepotisme dalam organisasi. Dalam hal pemerintah berorientasi ke misi, pemerintah dapat menyederhanakan sistem administrasi yang dapat menghambat tercapainya tujuan, menghapus peraturanperaturan yang tidak jelas dan tidak bermanfaat, serta menemukan cara terbaik untuk mewujudkan misi tersebut.
9 Ibid., hlm. 77.
Bab 2 Landasan Teori 53
Pemerintah yang berorientasi pada hasil, yakni mengubah fokus dari input ke ouput. Setiap pekerjaan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundangundangan dan membelanjakan anggaran sesuai dengan ketentuan, fokusnya diganti menjadi melaksanakan pekerjaan dengan prinsip akuntabilitas dengan hasil yang baik dan optimal. Dalam hal ini, bisa juga memberikan reward bagi instansi yang dapat bekerja dengan baik.
Pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada publik harus memperlakukan masyarakat dengan baik. Waktu yang digunakan untuk melayani dapat diselesaikan dengan cepat, dan tanpa meminta imbalan apa pun. Dengan demikian, pelayanan publik yang berorientasi pada pelanggan dapat tercapai. Dalam hal pemerintah berwiraswasta ini, maksudnya pemerintah tidak hanya menggunakan anggaran untuk memenuhi kebutuhan instansi/lembaganya, namun juga harus menghasilkan uang. Misalnya saja pemerintah bisa meminta masyarakat untuk membayar jasa pelayanan sekadarnya saja, dan tidak ditentukan sehingga tidak membebani masyarakat.
Pemerintah yang antisipatif berarti pemerintah mempunyai visi dan misi ke depan. Pemerintah harus juga memikirkan upaya pencegahan apabila halhal yang dilakukan akan menimbulkan masalah. Misalnya pembuatan kebijakan yang menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat. Sebelum kebijakan tersebut diterapkan, pemerintah dapat melakukan penelitian di lapangan jika kebijakan tersebut diterapkan, apakah dapat diterima masyarakat atau tidak, apa konsekuensinya, dan semua itu harus sudah dipikirkan sebelum kebijakan diterapkan dalam masyarakat.
Pemerintah desentralisasi berarti pemerintah pusat memberikan dorongan dan motivasi kepada pemerintah ke daerah dengan pelimpahan wewenang yang diberikan untuk langsung memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, sehingga pekerjaan pemerintah pusat tidak menumpuk dan cepat terselesaikan.
Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang telah diambil, dapat pula memanfaatkan struktur pasar swasta dalam memecahkan permasalahan, atau mencontoh manajemen yang berorientasi pasar sehingga terjadi interaksi antara pemerintah dan masyarakat. Misalnya pemerintah mengadakan penghijauan di suatu kota, maka pemerintah bisa meminta masyarakat untuk turut serta melaksanakan penghijauan tersebut. Mungkin untuk ikut menanam pohon, warga masyarakat masih enggan, maka bisa saja pemerintah menerapkan pajak sebagai dana untuk melakukan penghijauan kota.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah54
B. KEBIJAKAN HUKUM BIROKRASIIlmu hukum memperoleh fokus dan kedalaman ketika ia secara sadar mempertimbangkan implikasiimplikasi yang dimilikinya untuk tindakan peren canaan kelembagaan. Oleh karena itu, ilmu hukum yang dibangun berdasarkan teoriteori hukum bersifat implisit mengenai otoritas penerapan hukumnya. Dalam konteks pencarian hukum responsif yang menjadi kegiatan teori
hukum modern secara terusmenerus dilakukan, sebagaimana dike mukakan oleh Jerome Frank bahwa tujuan utama penganut realisme hukum (legal realism) adalah untuk membuat hukum lebih responsif terhadap kebutuhan sosial.10
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa untuk melakukan reformasi kebijakan substansi hukum terhadap pengadaan barang dan jasa pemerintah hendaknya dilakukan dengan memerhatikan realitas kebutuhan sosial dan normanorma hukum yang berlaku agar kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi pada lahirnya tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara.
Tipe hukum responsif berusaha mengatasi ketegangan antara kepentingan yuridis dengan kepentingan sosial dalam menyelesaikan persoalan hukum yang ada, karena hukum responsif lebih menekankan pada sifat keterbukaan dan akuntabilitas yang melahirkan integritas untuk menjembatani konflik yuridis dan konflik sosial.
1. Pengertian Kebijakan Hukum BirokrasiKebijakan publik merupakan suatu jawaban terhadap permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat. Kebijakan tersebut dimulai dari tahap perencanaan sampai pengawasan melibatkan masyarakat yang menjadi subjek dan juga menjadi objek dari kebijakan. Ide kebijakan publik mengandung anggapan bahwa ada suatu ruang atau
domain dalam kehidupan yang bukan privat atau bukan milik individual, tetapi milik bersama atau milik umum. Kata publik berasal dari bahasa Yunani dan Romawi. Dari bangsa Romawi diambil konsep publik dan
10 Philippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif, Cetakan I, Ford Fondation HUMA, Jakarta, 2003, hlm. 59.
Bab 2 Landasan Teori 55
privat. Bangsa Romawi mendefinisikan kedua istilah tersebut dalam term res publica dan res priva. Gagasan publik dan privat pada masa Yunani Kuno diekspresikan dalam istilah konion (yang dapat diartikan publik) dan idion (yang bisa diartikan privat).11
Penggunaan istilah kebijakan ataupun kebijaksanaan tidak menimbulkan permasalahan dalam berbagai literatur. Beberapa ahli pun juga menggunakan kebijaksanaan untuk menyebutkan kebijakan, begitu pula sebaliknya. Hal ini tidaklah terlalu dipermasalahkan, karena pada dasarnya baik kebijaksanaan dan kebijakan memiliki pengertian yang sama.
Berikut pengertian kebijakan atau kebijaksanaan yang dikemukakan oleh para ahli.
a. Kebijakan sebagai Keputusan
1) Eulau dan PrewittKebijakan adalah keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut.12
Pengertian yang diberikan oleh Eulau dan Prewitt ini menyatakan bahwa kebijakan adalah keputusan yang bersifat tetap, baik pembuat atau pelaksana harus melaksanakan secara terusmenerus dan tidak boleh menyimpang dari kebijakan tersebut.
2) Perserikatan Bangsa-BangsaKebijaksanaan diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. 13
Pengertian kebijakan dari PBB tersebut, lebih luas artinya. Kebijakan yang dimaksud hanya sebagai pedoman atau rujukan dalam bertingkah laku, berbuat, atau bertindak. Dengan adanya pedoman ini, diharapkan tindakan
11 Surya Fermana, Kebijakan Publik, Sebuah Tinjauan Filosofis, Cetakan I, Ar Ruzz Media, Yogyakarta, 2009, hlm. 31.
12 Ibid., hlm. 11 dan 12.13 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan, Dari Formulasi ke Implementasi Kebi jak
sanaan Negara, Cetakan Keempat, Bumi Aksara, Jakarta, 2004, hlm. 2.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah56
yang dilakukan tidak merugikan, meskipun pedoman tersebut bersifat tidak tetap. Jadi, sangat berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh Eulau dan Prewitt. Kalau PBB kebijakan hanya sebagai pedoman, tetapi Eulau dan Prewitt mengartikan kebijakan sebagai keputusan yang tetap. Keputusan tetap di sini bersifat kaku dan harus dilakukan.
3) Edi SuhartoKebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan.14
Pengertian kebijakan menurut Edi Suharto dapat diartikan sebagai prinsip atau pedoman untuk melakukan sesuatu, yakni mengambil keputusan. Jadi menurut pengertian ini, kebijakan merupakan caracara untuk mengambil kepu tusan, bukan kebijakan sebagai sebuah keputusan sebagaimana pengertian dari Eulau dan Prewitt.
Dari pendapat beberapa pakar di atas, penulis berpendapat bahwa kebijakan dipandang sebagai keputusan merupakan suatu sikap atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah atau oleh pimpinan lembaga pemerintah atau swasta untuk melakukan atau tidak melakukan terhadap suatu hal terhadap suatu peristiwa guna menyelesaikan persoalanpersoalan publik secara profesional, proporsional, transparan, dan penuh kehatihatian. Hakikat dilakukannya sebuah kebijakan adalah untuk mengatasi kebuntuan dari suatu peristiwa publik karena belum ada payung hukum yang bisa digunakan untuk menyelesaikan peristiwa publik tersebut.
b. Kebijakan sebagai Proses Manajemen
1) Carl J. FredrichKebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatanhambatan tertentu sambil mencari peluangpeluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.15
Kebijakan di sini diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan untuk menghadapi permasalahan, serta melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan
14 Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Cetakan Pertama, Alfabeta, Bandung, 2005, hlm. 7.
15 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan, Bumi Aksara, Bandung, 1991, hlm. 3.
Bab 2 Landasan Teori 57
yang diinginkan. Kebijakan merupakan proses dalam mencapai suatu tujuan, yang dilakukan terusmenerus dengan berbagai cara agar tujuan yang diinginkan tercapai.
2) Hofferbert
Kebijakan publik adalah pernyataanpernyataan yang dilakukan oleh eksekutif, penggunaan anggaran negara dan juga kegiatan apa pun yang dilakukan oleh siapapun yang menjadikan masyarakat sebagai sasarannya, maka pada hakikatnya tujuan dari kebijakan publik adalah menyelesaikan berbagai masalah publik.16
Kebijakan berupa keputusan yang ditindaklanjuti dengan melakukan suatu upaya yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat, misalnya pembangunan jalan tol, ruang publik, dan sebagainya.
3) Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan17
Kebijaksanaan adalah: “A projected program of goals, values and practices” (Kebijakan publik adalah suatu program pencapaian tujuan, nilainilai, dan praktikpraktik yang terarah).
Kebijakan yang dimaksudkan di sini merupakan rencana untuk mencapai suatu tujuan dan dilakukan dengan tindakantindakan yang sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kebijakan sebagai proses, penulis berpendapat bahwa untuk melakukan suatu kebijakan, harus dipahami terlebih dahulu secara cermat pokok peristiwa dengan mempelajari latar belakang terjadinya peristiwa, fakta yang terjadi dan tujuan yang hendak dicapai agar kebijakan yang dilahirkan benarbenar dapat memecahkan persoalan publik.
Dengan memahami latar belakang, memastikan fakta yang ada dan menetapkan tujuan yang hendak dicapai, maka di situlah diperlukannya sebuah proses dalam pengambilan kebijakan. Proses merupakan suatu bentuk kehatihatian dari pejabat publik yang harus dilakukan agar kebijakan publik yang diambil sesuai dengan tujuan dari kebijakan itu sendiri.
16 Endarti Budi Setyawati dan Hessel Nogi S. Tangkilisan, Responsivitas Kebijakan Publik, Wonderful Publishing Company, Yogyakarta, Tanpa Tahun, hlm. 12.
17 M. Irfan Islamy, PrinsipPrinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Cetakan Ketiga Belas, Bumi Aksara, Jakarta, 2004, hlm. 15 dan 17.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah58
c. Kebijakan sebagai Intervensi Pemerintah
1) James AndersonKebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai intervensi pemerintah (intervensi sosio kultural), yaitu dengan mendayagunakan berbagai instrumen untuk mengatasi persoalan publik.18
Kebijakan di sini sebagai pedoman untuk bertindak yang ditetapkan oleh pemerintah untuk memecahkan persoalan publik, misalnya dalam penyelesaian konflik di daerah, pemerintah juga berusaha ikut mengatasi konflik yang terjadi.
2) Chandler and PlanoKebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber dayasumber daya yang ada untuk memecahkan masalahmasalah publik atau peme rintah.19
Kebijakan yang dibuat pemerintah ini menyangkut sumber daya yang dimiliki oleh negara, yang dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat banyak. Misalnya penggunaan BBM, pemerintah memberikan subsidi bagi rakyat kecil, sehingga bagi masyarakat yang mampu dapat membantu memberikan hak bagi mereka yang kurang mampu.
Kebijakan publik sebagai intervensi pemerintah, menurut penulis adalah kebijakan publik yang objek persoalannya menyangkut masalahmasalah strategis dalam penyelenggaraan negara yang di dalamnya berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara. Tujuan perlunya intervensi pemerintah dalam pengambilan kebijakan atas pengelolaan keuangan negara sematamata untuk mencegah ter jadinya penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan keuangan negara yang berujung pada bentuk perbuatan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. Salah satu yang berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan keuangan negara adalah kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai oleh APBN/APBD. Dalam kaitan itulah kebijakan publik perlu melibatkan adanya intervensi pemerintah.
18 Budi Winarno, “Apakah Kebijakan Publik?”, Dalam Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, Yogyakarta, 2002, hlm. 16.
19 Hessel Nogi S. Tangkilisan, Kebijakan Publik yang Membumi, Lukman Offset YPAPI, Yogyakarta, 2003, hlm. 1.
Bab 2 Landasan Teori 59
d. Kebijakan sebagai Democratic Governance
1) Robert EyestoneKebijakan publik sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan ling kungannya. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai democratic governance, di mana di dalamnya terdapat interaksi negara dengan rakyatnya dalam rangka mengatasi persoalan publik.20
Kebijakan publik tidak hanya dibuat oleh pemerintah saja, tetapi juga melibatkan rakyat yang juga sebagai sasarannya. Pembuatan kebijakan ini dipengaruhi oleh faktor eksternal, dengan melibatkan masyarakat, diharapkan kebijakan yang dibuat tidak menimbulkan pertentangan dan hambatan dalam implementasinya.
2) RoseKebijakan publik merupakan serangkaian pilihan tindakan pemerintah (termasuk pilihan untuk tidak bertindak) guna menjawab tantangantantangan yang menyangkut kehidupan masyarakat.21
Pemerintah membuat berbagai pilihan atau merumuskan berbagai cara untuk bertindak dalam rangka penyelesaian persoalan publik. Serangkaian pilihan ini, dapat diartikan penulis sebagai banyaknya pilihan yang dibuat berdasarkan penelitian dan melibatkan pendapat masyarakat untuk dicari solusi yang baik untuk memecahkan suatu persoalan yang sedang dihadapi.
3) David G. SmithKebijakan publik merupakan agenda yang dirumuskan oleh pemerintah yang merupakan tanggapan/respon (responsivenees) terhadap lingkungan atau masalah publik.22
Menurut David G. Smith, kebijakan publik dirumuskan setelah pemerintah mengadakan interaksi dengan masyarakat terkait masalah yang sedang dihadapi. Atas tanggapan dan respon dari masyarakat, pemerintah mengeluarkan kebijakan sebagai solusi pemecahannya.
Dari pengertian kebijakan tersebut, penulis berkesimpulan bahwa kebijak sanaan publik adalah serangkaian tindakan/kebijakan yang dilakukan
20 Budi Winarno, op.cit., hlm. 15.21 Endarti Budi Setyawati dan Hessel Nogi S. Tangkilisan, loc.cit., hlm. 12.22 Ibid., hlm. 13.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah60
secara sadar menurut peraturan perundangundangan yang berlaku karena kewenangannya untuk mengabdi pada kepentingan masyarakat. Dalam melakukan kebijakan publik wajib memerhatikan asasasas kepentingan umum, terukur, mempunyai sasaran yang jelas dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Sebagai negara modern dengan banyaknya persoalan yang semakin kompleks yang dihadapi oleh masyarakat, pemerintah selaku pemegang otoritas dalam pengelolaan negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk membuat kebijakankebijakan strategis dengan prioritas kepada pemberian kemudahan, keleluasaan, dan kenyamanan kepada rakyatnya untuk melakukan berbagai aktivitas baik di bidang ekonomi, politik, pendidikan, hukum, dan sosial budaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya, salah satu di antaranya adalah pentingnya kesungguhan pemerintah dalam menyelesaikan masalahmasalah yuridis yang terkandung dalam regulasi Perpres tentang pengadaan barang/jasa pemerintah yang ada saat ini agar upaya mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dapat terwujud. Pemegang kekuasaan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
atau kekuasaan administrasi berada di tangan para aparat pemerintahan. Dalam hal penerapan undangundang ke dalam praktik kehidupan masyarakat, aparat pemerintah melaksanakannya dalam bentuk keputusan pemerintah yang bersifat tertulis, konkret, individual, dan final. Oleh karena itu, diperlukan diskresi. 23
Penggunaan diskresi ini oleh pemerintah harus mendapatkan pengawasan yang ketat. Hal ini dikarenakan sejumlah kasus korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah terjadi karena adanya pemberian kewenangan diskresi yang sangat besar. Diskresi yang digunakan sebebasbebasnya akan menimbulkan penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan. Diskresi ini menimbulkan pertumbuhan kekuasaan administrasi negara. Salah satu alasan nyata bagi pertumbuhan kekuasaan administrasi negara di
negaranegara demokrasi modern adalah dengan pudarnya falsafah laissez faire dan meningkatnya peranan negara dalam bidang sosial ekonomi. Seperti diketahui, laissez faire menginginkan sedikitnya peranan negara dalam mengontrol usahausaha pribadi dalam masyarakat dan besarnya peranan
23 S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi VII, Edisi Revisi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 95.
Bab 2 Landasan Teori 61
individu dalam melakukan kebebasan berkontrak. Falsafah ini ternyata justru menimbulkan penderitaan bagi manusia, karena ia mengakibatkan terjadinya eksploitasi oleh yang kuat terhadap kelompok orangorang yang lemah. Berdasarkan hal tersebut, maka timbul pemikiranpemikiran mengenai konsep negara kesejahteraan.24
Falsafah laissez faire atau negara penjaga malam jika diterapkan dalam kondisi negara saat ini sudah tidak tepat, karena perkembangan kehidupan masyarakat semakin pesat terlebih dengan adanya era globalisasi yang membutuhkan perlindungan dan pengaturan terhadap kepentingankepentingan masyarakat agar dapat berjalan dengan adil. Dengan demikian, maka peran pemerintah menjadi sangat luas dalam rangka untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya, sehingga muncul apa yang dinamakan welfare state atau negara kesejahteraan. Konsep negara kesejahteraan menjadi landasan kedudukan dan fungsi
pemerintah (bestuursfunctie) dalam negaranegara modern. Negara kesejahteraan merupakan antitesis dari konsep negara hukum formal (klasik) yang didasari oleh pemikiran untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap penyelenggaraan kekuasaan negara, khususnya eksekutif, yang pada monarki absolut telah terbukti banyak melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Pada zamannya, paham negara hukum formal/klasik sebenarnya juga merupakan suatu antitesis terhadap absolutisme kekuasaan yang antara lain terjadi di Perancis oleh rezim monarki absolut Raja Louis XIV dan di Inggris oleh kekuasaan Raja Charles II yang bersifat menindas rakyat dan penuh penyalahgunaan kekuasaan. Disebabkan oleh keinginan untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap pemerintahan yang dibentuk pascaRevolusi Perancis, maka perlu dilakukan pemisahan kekuasaan secara tegas, agar dapat terbentuk adanya checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan.25
Pada welfare state, negara aktif terlibat dan campur tangan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, baik di bidang ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Melihat luasnya aspek kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat,
24 Saut P. Panjaitan, Makna dan Peranan Freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara, S2 Unpad, Bandung, 1988, dalam S.F. Marbun, dkk., PokokPokok Hukum Admi nistrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 1987, hlm. 105 dan 106.
25 W. Riawan Tjandra, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2008, hlm. 1.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah62
tidak setiap permasalahan yang dihadapi dan tindakan yang akan diambil oleh administrasi negara telah tersedia aturannya. Setiap waktu kehidupan masyarakat semakin berkembang dengan dinamikanya. Dalam keadaan seperti ini, jika terdapat permasalahan akan sering muncul, dan peraturan yang ada belum tentu sesuai dengan perkembangan masyarakat saat ini. Oleh karena hal tersebut, administrasi negara memerlukan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijak sa naannya sendiri, terutama dalam penyelesaian soalsoal yang memerlukan penyelesaian secara tepat dan cepat. Kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaan sendiri ini, dalam Hukum Administrasi Negara disebut dengan pouvoir discretionnaire atau freies Ermessen. Hans J. Wolf dalam bukunya Verwaltungsrecht Jilid 1 mengatakan bahwa
freies Ermessen tidak boleh diartikan secara berlebihan seakanakan badan atau pejabat administrasi negara boleh bertindak sewenangwenang atau tanpa dasar dan dengan dasardasar yang tidak jelas ataupun dengan pertimbangan yang subjektifindividual. Oleh karena itu, menurut Wolf, lebih baik jika dikatakan mereka bertindak berdasarkan kebijaksanaan. Berdasarkan hal tersebut, A.A. de Smith memberikan pengertian freies Ermessen sebagai “... power to choose between alternative courses of action”. Sebagai konsekuensi diberikannya freies Ermessen kepada administrasi negara, maka administrasi negara memiliki pouvoir discretionnaire dan oleh karena itu, dapat bertindak sebagai vrijbestuur. 26
Dalam hal inilah yang sering disalahgunakan oleh pejabat dalam memanfaatkan kewenangan yang diberikan. Mereka seakan lupa bahwa kewenangan yang diberikan tersebut memiliki batasbatas sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundangundangan. Dengan demikian, meskipun kepada pemerintah diberikan kewenangan
bebas freies Ermessen, dalam suatu negara hukum penggunaan freies Ermessen harus dalam batasbatas yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku. Penggunaan freies Ermessen tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Menurut Muchsan, pembatasan penggunaan freies Ermessen adalah sebagai berikut.27
26 Ibid., hlm. 107.27 Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi
di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 27 dan 28.
Bab 2 Landasan Teori 63
a. Penggunaan freies ermessen tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaidah hukum positif).
b. Penggunaan freies ermessen hanya ditujukan demi kepentingan umum.Jadi, sudah sangat jelas batasanbatasan kewenangan diskresi atau freies
Ermessen yang diberikan oleh undangundang, dan hal itu harus ditaati oleh pejabat yang bersangkutan. Dalam negara hukum, wewenang yang diberikan oleh pemerintah berasal
dari peraturan perundangundangan yang berlaku. Secara teoretik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangundangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat ini, H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikannya sebagai berikut.28
a. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undangundang kepada organ pemerintahan.
b. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemeritahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
c. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Penggunaan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah harus sesuai dengan hukum yang berlaku saat ini, dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa dan untuk kepentingan bersama demi kesejahteraan rakyat. Penggunaan freies Ermessen atau diskresi oleh pemerintah ini harus diawasi dan dikontrol, karena penggunaan diskresi yang berlebihan akan membawa dampak yang tidak baik, yakni adanya penyalahgunaan kewenangan. Baik freies Ermessen maupun pouvoir discretionnaire merupakan istilah yang sepadan, yang artinya menurut kebijaksanaan dan sebagai kata sifat berarti menurut wewenang atau kekuasaan.
2. Pengertian, Fungsi, dan Tujuan Hukum BirokrasiSecara umum, masyarakat mengenal hukum sebagai aturan, norma, pedoman tingkah laku, atau peraturan perundangundangan, yang jika dilanggar akan dikenai sanksi. Pengertian ini sangat mudah dipahami oleh masyarakat, karena bagi masyarakat yang salah atau melanggar aturan harus dihukum.
28 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, op.cit., hlm. 74.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah64
Menurut Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum merupakan keseluruhan asasasas dan kaidahkaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, yang juga mencakup lembagalembaga dan prosesproses yang mewujudkan berlakunya kaidahkaidah itu di dalam kenyataan.29
Dalam tatanan masyarakat, setiap individu harus melaksanakan dan mengerti hak akan kewajibannya. Pelanggaran akan hak dan kewajiban tersebut akan menimbulkan persoalan. Setiap orang mempunyai kepentingan, tentunya jika kepentingannya diganggu, orang tersebut akan bereaksi.
Kehadiran hukum dalam masyarakat salah satunya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan organisasi dalam masyarakat. Kepentingankepentingan tersebut oleh hukum diintegrasikan sedemikian rupa, sehingga dapat meminimalkan benturanbenturan yang sekecilkecilnya. Jadi, di sini hukum berfungsi pula untuk menghindari benturanbenturan dan mengantisipasi kejadiankejadian yang tidak diinginkan di dalam masyarakat. Pengintegrasian kepentingan oleh hukum, dilakukan dengan cara membatasi kepentingan pihak lain.
Secara filosofis hukum merupakan suatu alat atau sarana atau dasar untuk mengatur dan menjaga ketertiban dalam masyarakat suatu negara guna mencapai suatu masyarakat yang berkemakmuran dan berkeadilan sosial yang tunduk pada serangkaian peraturanperaturan yang bersifat memaksa dan memberikan sanksi bagi yang melanggarnya, baik itu untuk mengatur masyarakat ataupun aparat pemerintah sebagai penguasa.
Hukum dan masyarakat bagaikan dua sisi mata uang, ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat di sana ada hukum), keduanya tidak dapat dipisahkan. Seperti halnya istilah yang menyatakan di situ ada masyarakat, di situ ada kejahatan. Hukum yang tidak dikenal dan tidak sesuai dengan konteks sosialnya serta tidak ada komunikasi yang efektif tentang tuntutan dan pembaharuannya bagi warga negara tidak akan bekerja secara efektif, terutama dalam menangani kejahatan yang timbul dan terjadi di dalam masyarakat. Berlakunya hukum di masyarakat akan berakibat terjadinya perubahan
sosial pada masyarakat itu sendiri, sedangkan fungsi hukum bagi kehidupan masyarakat menurut Soejono Dirdjosisworo ada empat, yaitu:30
29 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa, Hukum sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 20.
30 Soejono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali, Jakarta, 1999, hlm. 154 dan 155.
Bab 2 Landasan Teori 65
a. Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberi pedoman dan petunjuk tentang bagaimana berperilaku di dalam masyarakat, sehingga masingmasing anggota masyarakat telah jelas apa yang harus diperbuat dan apa yang tidak boleh diperbuat.
b. Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin. Hal ini dimungkinkan karena sifat hukum yang mengikat, baik fisik maupun psikologis.
c. Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan. Hukum merupakan alat bagi otoritas untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
d. Fungsi kritis dan hukum. Dewasa ini sedang berkembang suatu pandangan bahwa hukum mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak sematamata melakukan pengawasan pada aparatur peng awas, pada aparatur pemerintah (petugas) dan aparatur penegak hukum termasuk di dalamnya.
Menurut penulis, keempat fungsi hukum yang telah dikemukakan oleh Soejono Dirjosisworo di atas perlu ditambahkan satu fungsi lagi, yaitu sebagai alat kontrol dan pengendali pemerintah yang diikuti dengan sistem reward dan punishment agar tidak bertindak sewenangwenang dalam mengelola negara, karena tindakan sewenangwenang dalam mengelola negara akan melahirkan bentuk pemerintahan otoriter yang akan mengabaikan hakhak dan kepentingan rakyat secara luas. Sebagai contoh dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah dengan regulasi yang ada saat ini ternyata menimbulkan masalahmasalah yuridis, struktural, dan budaya. Hal ini dikarenakan tidak efektifnya penerapan fungsi hukum sebagai alat pengendali atau alat kontrol, akibatnya kegiatan pengadaan barang/jasa melahirkan penyalahgunaan wewenang yang berujung pada tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. Bahkan dalam rumusan hasil Seminar Hukum Nasional keIV justru merumuskan ada enam fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan.
Keenam fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan, yaitu:31
a. pengatur, penertib, dan pengawas kehidupan masyarakat;b. penegak keadilan dan pengayom warga masyarakat terutama yang mem
punyai kedudukan sosial ekonomi lemah;
31 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Hasil Seminar Hukum Nasional, Jakarta, 1980, hlm. 61.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah66
c. penggerak dan pendorong pembangunan dan perubahan menuju masyarakat yang dicitacitakan;
d. pengaruh masyarakat pada nilainilai yang mendukung usaha pembangunan;e. faktor penjamin keseimbangan dan keserasian yang dinamis dalam
masyarakat yang mengalami perubahan cepat;f. faktor integrasi antara berbagai subsistem budaya bangsa.
Memerhatikan hasil rumusan Seminar Hukum Nasional keIV yang dise lenggarakan oleh Badan Hukum Nasional tersebut, dalam hal ini penulis setuju karena hasil Seminar Hukum Nasional tersebut menunjukkan adanya kesungguhan dari Badan Hukum Nasional untuk meningkatkan fungsi dan peranan hukum sebagai alat kontrol dan alat pengendali dari bekerjanya aparatur pemerintah dalam mengatur, menertibkan, mengawasi, menegakkan, menggerakkan, dan meng ayomi masyarakat dalam melaksanakan kegiatannya seharihari sebagai warga negara. Terkait dengan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan perbuatan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, menjadi penting kehadiran hukum yang berperan sebagai alat kontrol dan pengendali.
Sementara keberadaan regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah yang ada saat ini berupa Perpres telah diketahui di dalamnya terdapat masalahmasalah yuridis seperti ketentuan birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah wajib ditempuh dalam lima belas tahapan dan setiap tahapan di dalamnya mengandung potensi penyimpangan, diikuti dengan sifat desentralisasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang diberikan kepada setiap instansi yang tidak didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki standar kompetensi yang berkualitas dan profesional. Dari masalahmasalah yuridis mengakibatkan terjadinya masalah struktur, yakni tidak adanya lembaga/badan yang diberi otoritas penuh untuk mengatur, mengelola, dan melaksanakan kegiatan peng adaan barang/jasa mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap penyerahan barang/jasa yang tepat waktu sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan akhirnya sampai kepada terjadinya masalah budaya yang berkaitan dengan kedisiplinan waktu, kejujuran, keterbukaan, kesungguhan dalam pelaksanaan pekerjaan sampai dengan pertanggungjawaban pekerjaan. Oleh karena itu, memenuhi alasan untuk dilakukan reformasi kebijakan dalam substansi hukum birokrasi dengan perlunya dibuat undangundang tentang pengadaan barang/jasa pemerintah.
Bab 2 Landasan Teori 67
3. Hubungan Hukum Birokrasi dan Kebijakan PublikKonsep dasar hukum itu sesungguhnya berbicara pada dua konteks persoalan, yakni keadilan dan legalitas. Hukum didaulat untuk melawan ketidakadilan yang terjadi di dalam masyarakat. Rasa adil ini merupakan kebutuhan masyarakat di tengah banyaknya konflik di tengah masyarakat. Aspek legalitas menyangkut apa yang disebut dengan hukum positif atau hukum formal. Namun dari kedua konteks persoalan tersebut, seringkali terjadi perbenturan dan tidak berjalan seirama. Hukum positif belum tentu menjamin terpenuhinya rasa keadilan, dan sebaliknya rasa keadilan seringkali tidak memiliki kepastian hukum. Setiap tercipta ketidakadilan dalam suatu masyarakat, orang akan selalu
cenderung menyalahkan pemerintah sebagai biang keladi ketidakadilan karena kebijakannya terhadap publik dianggap tidak berpihak terhadap mereka yang mengalami ketidakadilan. Tuduhan tersebut menurut Charles L. Cocran sangat beralasan karena memang inti dari arti kebijakan publik adalah studi tentang keputusan (decicion) dan tindakan (action) pemerintah dalam fokustrasinya terhadap kebutuhan publik.32
Bila tidak tercipta ketidakadilan dalam kebijakan pemerintah yang telah diimplementasikan, maka rakyat mempunyai hak untuk menolak. Akan tetapi, alihalih memenuhi keinginan masyarakat, pemerintah hanya sibuk mengurusi konflik kepentingan antar elit politik. Sebagaimana dikemukakan oleh Charles L. Cocran bahwa kebijakan publik
lebih menekankan pada keputusan dan tindakan pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan. Keputusan yang tidak memiliki kekuatan legalitas yang mengikat, dapat menimbulkan kerawanan akan terjadinya pelanggaranpelanggaran oleh beberapa pihak atas kesepakatan dan keputusan yang telah dicapai dalam proses kebijakan publik, sehingga kebijakan publik harus dilegalisasikan dalam bentuk hukum formal.
Sally FarkMoore memberikan pendapatnya bahwa harus diakui secara formal, tatanan hukum formal memang menikmati monopoli legalitas dan memiliki kekuasaan menggunakan paksaan secara sah. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa secara otomatis ia mempunyai monopoli kebenaran dan signifikansi sosial. Tatanan hukum formal, tidak dapat dikatakan mempunyai monopoli jenis apa pun terhadap aneka bentuk kepatuhan dan ketaatan sosial di masyarakat.33
32 Surya Fermana, op.cit., hlm. 11. 33 Bernard L. Tanya, Hukum dalam Ruang Sosial, Cetakan Kedua, Genta Publishing, Yogya karta,
2011, hlm. 19.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah68
Hukum lebih banyak berbicara pada sekian banyak rentetan peraturanperaturan yang sah dan legal. Masyarakat lebih banyak diatur dan dikendalikan dinamika sosialnya oleh peraturanperaturan ini. Atas dasar hal tersebut, muncul gagasan tentang kebijakan publik sebagai sebuah instrumen untuk mengendalikan masyarakat, dan yang paling utama dalam menilai hubungan antara hukum dengan kebijakan publik adalah dilegalkan secara formal dalam bentuk hukum, karena hukum merupakan produk dari kebijakan publik. Antara hukum dan kebijakan publik dalam tataran praktik tidak dapat
dipisahpisahkan. Keduanya berjalan seiring sejalan dengan prinsip saling mengisi, sebab logikanya sebuah produk hukum tanpa ada proses kebijakan publik di dalamnya, maka produk hukum itu akan kehilangan makna substansinya. Demikian pula sebaliknya, sebuah proses kebijakan publik tanpa adanya legalisasi dari hukum tentu akan sangat lemah dimensi operasionalisasi dari kebijakan publik tersebut.34
Pengertian bahwa pada semua kebijakan publik umumnya harus dilegalisasikan dalam bentuk ketetapan hukum adalah untuk menjamin legalitas atau kepastian hukumnya di lapangan. Kebijakan publik yang merupakan solusi dari persoalan masyarakat, akan dapat diterapkan dengan baik oleh masyarakat, terutama pihak yang berkepentingan jika sudah dalam bentuk ketetapan hukum, karena hukum ini mempunyai kekuatan memaksa dan sanksi bagi yang melanggar ketentuan hukum tersebut. Sebagai contoh adalah kebijakan publik pembangunan ruang hijau untuk
publik. Banyak proses yang harus dilalui dalam membuat kebijakan tersebut, dimulai dari perhitunganperhitungan yang bersifat ekonomis sampai pada perhitunganperhitungan yang bersifat politis, pemerintah juga harus mengumpulkan semua pihak yang berkepentingan. Setelah dicapai kesepakatan, maka proses perumusan dan pembuatan kebijakan publik itu telah selesai dan siap diimplementasikan. Untuk keperluan tersebut tentu pemerintah harus menetapkannya secara formal dalam bentuk Perda (Peraturan Daerah). Peraturan Daerah (Perda) adalah sebuah ketetapan hukum, sedang materi dalam perda tersebut adalah produk kebijakan publik, dan penetapan hukum ini perlu agar masingmasing stakeholders yang kemungkinan di kemudian hari melanggar kesepakatan tersebut dapat dikenai sanksi, dan konsistensi para stakeholders dapat dijaga keutuhannya.35
34 Eddi Wibowo, dkk., op.cit., hlm. 32.35 Ibid., hlm. 32–33.
Bab 2 Landasan Teori 69
Antara kebijakan dan hukum ini sangat terkait satu dengan yang lainnya, terutama akan terlihat ketika implementasi atau pelaksanaannya di dalam kehidupan masyarakat.
4. Pembentukan Hukum dan Formulasi Kebijakan Hukum BirokrasiDalam konteks pembentukan hukum dan formulasi kebijakan publik, di antara keduanya saling mengisi dan memperkuat satu sama lain agar kegiatan pembentukan hukum dan formulasi kebijakan publik dapat berjalan seiring dan seirama dengan memerhatikan nilainilai keseimbangan, kemanfaatan, dan kesetaraan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya masingmasing. Terkait dengan regulasi berupa Perpres tentang kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang di dalamnya diketahui terdapat masalahmasalah yuridis, yakni panjangnya birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah, banyaknya instansi pemerintah yang melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa melahirkan munculnya masalah struktural karena tidak ada lembaga/badan khusus yang diberi kewenangan penuh untuk mengatur, mengelola, dan melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah secara profesional, transparan, dan akuntabel akibatnya melahirkan masalah budaya atau kebiasaan panitia dalam menyelesaikan pekerjaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang tidak tepat waktu dengan kualitas pekerjaan yang sering tidak sesuai dengan spesifikasi. Masalah budaya merupakan realitas dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Prinsip tata kelola pemerintah yang baik (good governance) merupakan prinsip
pokok bagi pemerintahan suatu negara, tidak terkecuali di Indonesia. Untuk mewujudkannya diperlukan usahausaha untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap bentuk penyelenggaraan pemerintahan. Untuk menuju ke arah tersebut, perlu pula pembentukan per aturan perundangundangan yang kredibel, yang dapat menguatkan standar, sistem, sumber daya aparatur dan kelembagaan.36
Proses pembentukan hukum atau peraturan perundangundangan di tiaptiap negara memiliki ciri khasnya sendirisendiri. Untuk Indonesia dalam proses pembentukan hukum merujuk pada UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011
36 Yudha Pandu (Ed.), Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Standar Akuntansi Pemerintahan, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006, Pelaporan Keuangan & Kinerja Instansi Pemerintahan, Cetakan Kedua, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2009, hlm. v.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah70
tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Dalam Pasal 1 angka 1 undangundang tersebut, yang dimaksud dengan pembentukan peraturan perundangundangan adalah: “Pembuatan peraturan perundangundangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan”.
Dalam Pasal 5 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011, disebutkan bahwa dalam membentuk peraturan perundangundangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik, yang meliputi kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.
Berikut adalah uraian proses pembentukan hukum atau undangundang menurut UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011.
a. PerencanaanMengenai perencanaan perundangundangan ini diatur di dalam Pasal 16–Pasal 23 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011. Proses perencanaan perundangundangan menurut UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 adalah sebagai berikut.
Perencanaan penyusunan undangundang dilakukan dalam Prolegnas. Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan undangundang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Dalam penyusunan Prolegnas, penyusunan daftar RUU didasarkan atas:1) perintah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;2) perintah Ketetapan MPR;3) perintah undangundang lainnya;4) sistem perencanaan pembangunan nasional;5) rencana pembangunan jangka panjang nasional;6) rencana pembangunan jangka menengah;7) rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR;8) aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
Prolegnas memuat program pembentukan undangundang dengan judul RUU, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan peraturan perundangundangan lainnya. Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan
Bab 2 Landasan Teori 71
perundangundangan lainnya merupakan keterangan mengenai konsepsi rancangan undangundang yang meliputi:1) latar belakang dan tujuan penyusunan;2) sasaran yang ingin diwujudkan;3) jangkauan dan arah pengaturan.
Materi yang diatur, yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam naskah akademik. Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan pemerintah. Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan RUU. Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan. Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan RUU tentang APBN.
Penyusunan Prolegnas antara DPR dan pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR Dilakukan dengan memper timbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat. Penyusunan Prolegnas di lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Prolegnas diatur dengan peraturan DPR, sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas di lingkungan pemerintah diatur dengan Perpres.
Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan pemerintah disepakati menjadi Prolegnas, dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Prolegnas dite tapkan dengan keputusan DPR. Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:1) pengesahan perjanjian internasional tertentu;2) akibat putusan Mahkamah Konstitusi;3) anggaran pendapatan dan belanja negara;4) pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah provinsi dan/atau
kabupaten/kota;5) penetapan/pencabutan Perppu.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah72
Dalam keadaan tertentu, DPR atau presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas yang mencakup:1) untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana
alam; 2) keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas
suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
b. PenyusunanMengenai penyusunan perundangundangan ini diatur di dalam Pasal 43–Pasal 51 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011. Proses penyusunan perundangundangan menurut UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 adalah sebagai berikut.
RUU dapat berasal dari DPR atau presiden dan berasal dari DPD. RUU yang berasal dari DPR, presiden, atau DPD harus disertai naskah akademik. RUU yang berasal dari DPR, presiden, atau DPD tidak harus disertai naskah akademik bagi RUU mengenai:1) anggaran pendapatan dan belanja negara;2) penetapan Perppu menjadi undangundang;3) pencabutan undangundang atau pencabutan Perppu.
RUU sebagaimana dimaksud di atas, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.
Penyusunan naskah akademik RUU dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan naskah akademik. RUU, baik yang berasal dari DPR maupun presiden serta RUU yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas. RUU yang diajukan oleh DPD adalah RUU yang berkaitan dengan:1) otonomi daerah;2) hubungan pusat dan daerah;3) pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;4) pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;5) perimbangan keuangan pusat dan daerah.
RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD.
Bab 2 Landasan Teori 73
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan RUU diatur dengan peraturan DPR.
RUU yang diajukan oleh presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Dalam penyusunan RUU, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait membentuk panitia antar kementerian dan/atau antar nonkementerian.
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU yang berasal dari presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan RUU diatur dengan Perpres.
RUU dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai naskah akademik. Usul RUU disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU. Alat kelengkapan tersebut dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan undangundang untuk membahas usul RUU. Alat kelengkapan tersebut menyampaikan laporan tertulis mengenai hasil pengharmonisasian kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna.
RUU dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada presiden. Presiden memberi tugas kepada menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima. Menteri mengkoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. RUU dari presiden diajukan dengan surat presiden kepada pimpinan DPR. Surat presiden memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili presiden dalam melakukan pembahasan RUU bersama DPR.
DPR mulai membahas RUU dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat presiden diterima. Untuk keperluan pembahasan RUU di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah RUU tersebut dalam jumlah yang diperlukan. Apabila dalam satu
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah74
masa sidang DPR dan presiden menyampaikan RUU mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah RUU yang disampaikan oleh DPR dan RUU yang disampaikan presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
c. PembahasanMengenai pembahasan perundangundangan ini diatur di dalam Pasal 65–Pasal 71 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011. Proses pembahasan perundangundangan menurut UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 adalah sebagai berikut.
Pembahasan RUU dilakukan oleh DPR bersama presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan RUU yang dilakukan oleh DPR bersama presiden atau menteri yang ditugasi berkaitan dengan:1) otonomi daerah;2) hubungan pusat dan daerah;3) pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;4) pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;5) perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikut
sertakan DPD.Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU dilakukan hanya pada
pembicaraan tingkat I. Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan RUU yang dibahas. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Pembahasan RUU dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan. Dua tingkat pembicaraan terdiri atas sebagai berikut.1) Pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat
Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus. 2) Pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.
Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut.1) Pengantar musyawarah. Dalam pengantar musyawarah, halhal yang dilakukan adalah sebagai berikut.
a) DPR memberikan penjelasan dan presiden menyampaikan pandangan jika RUU berasal dari DPR.
Bab 2 Landasan Teori 75
b) DPR memberikan penjelasan serta presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari DPR.
c) Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika RUU berasal dari presiden.
d) Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari presiden.
2) Pembahasan daftar inventarisasi masalah. Daftar inventarisasi masalah diajukan oleh:
a) Presiden jika RUU berasal dari DPR;b) DPR jika RUU berasal dari presiden dengan mempertimbangkan usul
dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD.3) Penyampaian pendapat mini. Penyampaian pendapat mini disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat
I oleh:a) Fraksi;b) DPD, jika RUU berkaitan dengan kewenangan DPD;c) Presiden.
Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandanganpandangan jika RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari DPR dan presiden, dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini maka pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan. Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika materi RUU berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.
Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan:1) penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat
mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;2) pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiaptiap fraksi dan anggota
secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna;3) penyampaian pendapat akhir presiden yang dilakukan oleh menteri yang
ditugasi.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah76
Dalam hal persetujuan dari tiaptiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Dalam hal RUU tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan presiden, RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
RUU dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan presiden. RUU yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan presiden. Ketentuan mengenai tata cara penarikan kembali RUU diatur dengan peraturan DPR.
Pembahasan RUU tentang penetapan Perppu dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU. Pembahasan RUU tentang pencabutan Perppu dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan RUU. Ketentuan mengenai mekanisme khusus dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut.1) RUU tentang pencabutan Perppu diajukan oleh DPR atau presiden.2) RUU tentang pencabutan Perppu diajukan oleh DPR atau presiden diajukan
pada saat rapat paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Perppu yang diajukan oleh presiden.
3) Pengambilan keputusan persetujuan terhadap RUU tentang pencabutan Perppu diajukan oleh DPR atau presiden dilaksanakan dalam rapat paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Perppu tersebut.
d. Pengesahan atau PenetapanMengenai pengesahan dan penetapan perundangundangan ini diatur di dalam Pasal 72–Pasal 74 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011. Proses pengesahan dan penetapan perundangundangan menurut UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 adalah sebagai berikut. RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada presiden untuk disahkan menjadi undangundang. Penyampaian RUU dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Selanjutnya RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada presiden untuk disahkan oleh presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
Bab 2 Landasan Teori 77
RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan presiden. Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undangundang dan wajib diundangkan.
Dalam hal sahnya RUU, kalimat pengesahannya berbunyi: “UndangUndang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud di atas harus dibubuhkan pada halaman terakhir undangundang sebelum pengundangan naskah undangundang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
e. PengundanganMengenai pengundangan ini diatur di dalam Pasal 81–Pasal 87 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011. Agar setiap orang mengetahuinya, peraturan perundangundangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam:1) Lembaran Negara Republik Indonesia;2) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;3) Berita Negara Republik Indonesia;4) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;5) Lembaran Daerah;6) Tambahan Lembaran Daerah;7) Berita Daerah.
Peraturan perundangundangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi undangundang/Perppu, PP, Perpres, dan peraturan perundangundangan lain yang menurut peraturan perundangundangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan peraturan perundangundangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan peraturan perundangundangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pengundangan peraturan perundangundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah78
Peraturan perundangundangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/ kota. Peraturan gubernur dan peraturan bupati/walikota diundangkan dalam Berita Daerah. Pengundangan peraturan perundangundangan dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah dilaksanakan oleh sekretaris daerah. Eddi Wibowo memberikan pendapatan mengenai alur pembentukan hukum atau peraturan perundangundangan sebagaimana dapat dilihat dalam gambar berikut ini.
Aspirasi dan kebutuhan masyarakat
Kenyataan alamiah dan kemasyarakatan
Momen idiil:Pandangan hidup dan filsafat hukum
Momen normatif:Citacita, nilai, dan asas hukum
Momen politikal:Kepentingan dan tujuan
politik
Momen teknikal: Teknik perundangundangan
Tidak mungkin mengantisipasi semua kemungkinan atau kejadian konkret individual
Penemuan hukum:Mengindividualisasi aturan hukum
Proses interaksi
Dialektikal
Diolah Bersaranakan
Umpan balik
Konkretisasi
Peristiwa konkret
● Bersifat abstrak● Bermuatan
Tatanan politik, sosial, ekonomi, budaya,
dan hukum
Standardisasipenyelesaian konflik
Aturan umum:(Perundangundangan)
Model perilaku: Tipe konflik
Penyelesaian dan
putusan hukumKonflik
Masalah hukum
Yurisprudensi berkecenderungan mengobjektifkan putusan individual
Gambar 2.1 Pembentukan Hukum
Dari gambar tersebut dapat disaksikan bagaimana sebuah ketetapan aturan umum dalam bentuk undangundang itu dibuat. Proses yang mendahuluinya
Bab 2 Landasan Teori 79
adalah dengan melihat aspirasi apa yang berkembang di masyarakat, dari aspirasi itu maka akan diperoleh perbandingannya dengan kenyataan alamiah yang ada di dalam masyarakat. Dengan kata lain, aspirasi masyarakat ini merupakan semua permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat, dan masyarakat memberikan solusinya dengan ikut serta dalam pembuatan kebijakan, karena pada dasarnya yang mengetahui apa yang terjadi di dalam masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. Dari proses tersebut kemudian berlanjut ke proses limitasi dan fasilitasi, sehingga konstruksi atas kenyataan alamiah atas aspirasi masyarakat itu akan terbentuk dengan utuh.37
Dalam proses pembentukan hukum, tetap melihat pada beberapa aspek atau momen. Pada gambar tersebut, yakni momen idiil, momen normatif, dan momen politik. Ketiga momen tersebut menjadi alat untuk mengevaluasi berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat serta kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Tahap selanjutnya adalah tahap pembentukan hukum atau perundangundangan sebagaimana diatur di dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 di atas. Dalam Pasal 10 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 disebutkan bahwa:
Materi muatan yang harus diatur dengan undangundang berisi:a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UndangUndang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;b. perintah suatu undangundang untuk diatur dengan undang
undang;c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/ataue. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.Jadi, untuk sebuah kebijakan yang merupakan upaya pemerintah dalam
menanggapi permasalahan dan kebutuhan masyarakat, perlu dilegalisasikan dalam bentuk peraturan perundangundangan. Bentukbentuk kebijakan publik di Indonesia beraneka ragam, mulai dari UUD, Keppres, Permen, hingga Perdes ataupun peraturan RT. Jadi kebijakan publik itu sangat beragam, sebabnya jumlah level pemerintahan dikalikan jumlah policy makersnya, dikalikan jenis masalah yang hendak ditangani oleh kebijakan tersebut.38
37 Eddy Wibowo, dkk., op.cit., hlm. 56.38 Samodra Wibawa, loc.cit., hlm. 1.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah80
Proses pembuatan kebijakan publik tidak jauh berbeda dengan proses pembentukan hukum. Dunn mengemukakan serangkaian proses pembuatan kebijakan yang diatur menurut aturan waktu, yakni sebagai berikut.39
a. Penyusunan agenda.b. Formulasi kebijakan.c. Adopsi kebijakan.d. Implementasi kebijakan.e. Penilaian kebijakan.Setiap tahap tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Berikut
dapat dijelaskan tahaptahap pembuatan kebijakan menurut Dunn.
Tabel 2.1 Tahap Pembuatan Kebijakan Menurut Dunn
Fase Karakteristik Ilustrasi
Penyusunan agenda.
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah
pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali,
sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan
undangundang mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan
Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di
komite dan tidak terpilih.
Formulasi kebijakan.
Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya
membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan
legislatif.
Peradilan Negara Bagian mempertimbangkan pelarangan
penggunaan tes kemampuan standar seperti SAT dengan alasan bahwa tes tersebut cenderung bias terhadap perempuan dan minoritas.
Adopsi kebijakan. Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas
legislatif, konsensus di antara direktur lembaga, atau keputusan
peradilan.
Dalam keputusan Mahkamah Agung pada kasus Roe v. Wade tercapai
keputusan mayoritas bahwa wanita mempunyai hak untuk mengakhiri
kehamilan melalui aborsi.
Implementasi kebijakan.
Kebijakan yang telah diambil, dilaksanakan oleh unitunit
administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.
Bagian Keuangan Kota mengangkat pegawai untuk mendukung
peraturan baru tentang penarikan pajak kepada rumah sakit yang tidak
lagi memiliki status pengecualian pajak.
39 William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Penerjemah Samodra Wibawa dkk., Edisi Kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 22.
Bab 2 Landasan Teori 81
Fase Karakteristik Ilustrasi
Penilaian kebijakan.
Unitunit pemeriksaan dan akuntansi dalam pemerintahan menentukan apakah badanbadan eksekutif,
legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undangundang
dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.
Kantor akuntasi publik memantau programprogram kesejahteraan
sosial seperti bantuan untuk keluarga dengan anak tanggungan (AFDC) untuk menentukan luasnya
penyimpangan/korupsi.
Perumusan Masalah
PenyusunanAgenda
PeramalanFormulasiKebijakan
RekomendasiAdopsi Kebijakan
Pemantauan ImplementasiKebijakan
PenilaianPenilaian Kebijakan
Gambar 2.2 Kedekatan Prosedur Analisis Kebijakan dengan TipeTipe Pembuatan Kebijakan oleh Dunn
Perumusan masalah ini mengumpulkan segala jenis pengetahuan, mengumpulkan segala permasalahan yang terjadi, dicari penyebabnya, merumuskan tujuan yang ingin dicapai, memadukan berbagai pendapat yang pro dan kontra, dan merancang adanya peluang untuk membuat kebijakan baru. Di sini sudah memasuki proses penyusunan agenda kebijakan.
Peramalan merupakan bentuk penyediaan pengetahuan yang sesuai dengan dasar dari permasalahan yang diangkat atau sebagai dasar untuk membuat kebijakan, sebagai bentuk telah dipilihnya alternatif solusi untuk menyelesaikan permasalahan, termasuk alternatif untuk tidak melakukan sesuatu. Peramalan ini dilakukan pada tahap formulasi kebijakan.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah82
Rekomendasi ini dimaksudkan sebagai penyampaian pengetahuan yang relevan dengan kebijakan terkait dengan manfaat kebijakan yang akan dibuat berikut segala estimasi biaya dalam pembuatan hingga implementasinya, serta akibat yang akan terjadi di masa mendatang dari diberlakukannya kebijakan tersebut. Rekomendasi ini dilakukan pada tahap adopsi kebijakan.
Pemantauan, yakni monitoring terhadap pemberlakuan kebijakan beserta akibatnya. Pemantauan ini dapat membantu untuk mengetahui tingkat kepatuhan, akibat yang tidak diinginkan, mengidentifikasi hambatan serta rintangan yang terjadi, dan sebagainya. Pemantauan ini dilakukan dalam tahap implementasi kebijakan.
Penilaian menghasilkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan, mengetahui ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dan yang dihasilkan. Penilaian ini akan menghasilkan kesimpulan dari implementasi kebijakan. Tahap ini terjadi dalam penilaian kebijakan. Dalam tahap ini akan dihasilkan berbagai kritik dan saran terhadap kebijakan.
Tahap dari proses pembuatan kebijakan tersebut, berangkat dari realitas yang ada di dalam masyarakat, yakni adanya berbagai tuntutan dan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat yang membutuhkan upaya penyelesaian. Pada saat inilah dapat dipastikan kembali bahwa sesungguhnya antara
hukum dan kebijakan publik itu memiliki keterkaitan yang sangat erat. Bahkan sesungguhnya tidak sekadar keterkaitan saja yang ada di antara keduanya, pada banyak sisi justru melihat adanya kesamaan. Antara proses pembentukan hukum dan proses formulasi kebijakan publik, keduanya berangkat pada fokus yang sama dan berakhir pada muara yang sama pula. Hanya saja pada proses pembentukan hukum hasil akhirnya lebih difokuskan pada terbentuknya sebuah aturan dalam bentuk undangundang, sedangkan pada proses formulasi kebijakan publik hasil akhirnya ada terpilihnya sebuah alternatif solusi bagi penyelesaian masalah masalah publik tertentu.40
Antara hukum dan kebijakan saling berhubungan dan saling bantumembantu satu sama lain. Proses pembentukan hukum hasilnya adalah terbentuknya sebuah undangundang yang akan dijadikan alat untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat sehingga dalam sebuah produk hukum harus memenuhi kelayakan, yakni dari segi struktur, substansi, dan kultur hukum.
40 Eddi Wibowo, dkk., op.cit., hlm. 57–58.
Bab 2 Landasan Teori 83
Sifat hukum adalah memaksa dalam penerapannya, sehingga ada sanksi. Adanya kandungan kelayakan seperti di atas, diharapkan agar dalam penerapannya tidak merugikan masyarakat, tapi diharapkan dengan adanya sifat hukum yang memaksa tersebut dapat tercipta keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat. Menurut Eddi Wibowo, dkk., dapat diketahui bahwa antara hukum dan
kebijakan publik ada dua keterkaitan, yaitu:41
a. Antara hukum dan kebijakan publik memiliki kesamaan. Keterkaitan ini terutama dapat terlihat ketika kita melihat antara proses
pembentukan hukum dengan proses formulasi kebijakan publik, sesungguhnya memiliki banyak kesamaan, yaitu duaduanya sama berangkat dari realitas yang ada di tengah masyarakat dan berakhir pada penetapan sebuah solusi atas realitas tersebut.
b. Produk hukum (undangundang) memerlukan sebuah kekuatan dan kemapanan dari kandungannya.
Hukum dan kebijakan merupakan hasil dari upaya untuk mencari solusi atau alternatif pemecahan masalah yang terjadi di dalam masyarakat. Kebijakan publik diproses dengan tahapantahapan sede mikian rupa dan berakhir dalam memberikan berbagai alternatif pemecahan permasalahan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan kemapanan hasil atau produk hukum (undangundang) tersebut.
Kebijakan pada praktiknya lebih tertuju pada hasil dari sebuah kesepakatan. Untuk mendapatkan landasan yang kuat bagi hasil dari kebijakan dan dapat terimplementasi dengan baik di lapangan, maka kebijakan memerlukan hukum sebagai alat yang dapat menjamin kepatuhan dan kepastian dalam pelaksanaan kebijakan yang telah didapat tersebut. Hukum yang dimaksud seringkali yang berperan adalah hukum administrasi atau peradilan administrasi.
Tanpa adanya legalisasi dari hukum, kemungkinan kebijakan yang dihasilkan tidak dapat terlaksana dengan baik. Jadi, sangat disayangkan jika hasil kesepakatan itu akan siasia, dan akan mudah untuk dilanggar. Oleh karena itu, dengan adanya hukum, maka hasil kebijakan dapat dipaksakan dalam penerapannya. Hal ini tidak lain adalah jawaban dari tuntutan dan penyelesaian permasalahan yang diinginkan oleh masyarakat, sehingga mau tidak mau masya rakat harus menerimanya.
41 Ibid., hlm. 62.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah84
5. Penerapan Hukum Birokrasi dan Kebijakan PublikSebagaimana disebutkan di atas bahwa hukum dan kebijakan saling terkait satu dengan yang lainnya. Keduanya saling mengisi dan melengkapi, serta saling tergantung satu sama lain. Penerapan hukum sangat memerlukan kehadiran kebijakan publik untuk mengaktualisasikan hukum di masyarakat. Demikian pula dengan implementasi kebijakan yang tidak dapat terlaksana dengan baik apabila kebijakan tidak dilandasi dasardasar hukum yang kuat. Dalam kebijakan publik itu terdapat tarikmenarik antara kepentingan politik. Bisa saja kebijakan itu oleh sebagian pembuat kebijakan tidak dilaksanakan. Untuk menjamin kelancaran implementasi kebijakan di tengah tarikmenarik kepentingan politik, maka hukum sangat diperlukan sebagai landasan bagi para pihak yang terkait untuk mengimplementasi kebijakan yang dimaksud. Kebijakan publik merupakan hasil karya policy makers bersama dengan
orangorang kepercayaan mereka di dalam lingkaran kekuasaan, dengan tahaptahap atau langkahlangkah yang harus atau biasanya dilalui oleh policy makers untuk menghasilkan suatu kebijakan serta peristiwa atau tindakan yang mengikutinya.42
Sehingga dapat dipastikan terdapat tarik ulur antar kepentingan politik dalam pembuatan kebijakan itu. Jika salah satu alternatif solusi telah diputuskan, belum tentu pihak lain setuju, sehingga menimbulkan pro dan kontra. Akhirnya, tidak semua pembuat kebijakan mau melaksanakan hasil keputusan tersebut.
Dalam melakukan penerapan hukum dibutuhkan kebijakan sebagai sarana yang mampu menyesuaikan hukum dengan kebutuhan dan kondisi nyata yang ada di dalam masyarakat. Jika hukum dijalankan begitu saja di dalam masyarakat, maka akan terjadi pemaksaanpemaksaan, sehingga apa yang sebelumnya dicitacitakan tidak akan tercapai, dan yang terjadi adalah serangkaian ketidakadilan di dalam masyarakat. Hukum menghendaki agar warga masyarakat bertingkah laku sesuai
dengan harapan masyarakat atau berfungsi sebagai kontrol sosial. Demikian pula hukum berfungsi sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial, yaitu dengan memandang hukum sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum dan beroperasi secara merata di hampir seluruh sektor kehidupan masyarakat.43
42 Samodra Wibawa, op.cit., hlm. 7 dan 8.43 Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, Cetakan I, Suryandaru Utama,
Semarang, 2005, hlm. 27.
Bab 2 Landasan Teori 85
Pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan dan kepentingan yang tidak sama, sehingga tidak jarang terjadi konflik di dalam masyarakat. Agar semua pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masyarakat terpenuhi, maka hukum sangat berperan dalam penyelenggaraan suasana kehidupan masyarakat yang tertib dan aman.
Untuk menjalankan fungsifungsinya dan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, hukum harus dilihat sebagai subsistem dari suatu sistem yang besar, yaitu masyarakat atau lingkungannya. Penerapan hukum dalam masyarakat harus memerhatikan komponenkomponen dalam sistem hukum sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman yang menyatakan bahwa hukum itu merupakan gabungan antara komponen struktur, substansi, dan kultur. Komponen struktur adalah salah satu dasar dan elemen nyata dari sistem
hukum. Substansi (peraturanperaturan) adalah elemen lainnya. Ketika seorang pengamat mencoba untuk menjelaskan sebuah sistem hukum secara menyilang, kemungkinan ia akan berbicara tentang dua elemen ini. Struktur sebuah sistem adalah kerangka badannya. Ia adalah bentuk permanennya, tubuh institusional dari sistem tersebut, tulangtulang keras yang kaku yang menjaga agar proses mengalir dalam batasbatasnya. Struktur sebuah sistem yudisial terbayang ketika kita berbicara tentang jumlah para hakim, yurisdiksi pengadilan, bagaimana pengadilan yang lebih tinggi berada di atas pengadilan yang lebih rendah, dan orangorang yang terkait dengan berbagai jenis pengadilan. Substansi tersusun dari peraturanperaturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusiinstitusi itu harus berperilaku. Kultur hukum adalah elemen sikap dan nilai sosial. 44
Struktur dan substansi bersifat tetap dan formal. Sistem hukum ini akan berjalan dengan baik kalau ada kekuatan yang menggerakkannya, yakni kultur hukum. Sebagai contoh pengadilan tidak akan berjalan jika tidak ada masalah yang disengketakan. Masyarakat yang berkonflik ini, akan membawa permasalahan yang dihadapi ke pengadilan. Hakim di pengadilan yang akan menyelesaikan dan memberikan putusan terhadap permasalahan tersebut, tentunya sesuai dengan peraturanperaturan yang telah ditetapkan.
Jadi, dapat disimpulkan di sini bahwa komponen struktur hukum berupa lembaga atau institusi yang memberikan pelayanan hukum, komponen substantif
44 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial, The Legal System, A Social Science Perspective, Cetakan I, Nusa Media, Bandung, 2009, hlm. 16 dan 17.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah86
berupa peraturan perundangundangan, dan komponen kultur adalah nilainilai atau sikap masyarakat yang memengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat.
Begitu banyak dan kompleksnya bidang kehidupan yang harus diatur oleh pemerintah serta tuntutan masyarakat yang semakin banyak, maka hukum juga berperan dalam membantu untuk menemukan alternatif kebijakan yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Di sini hukum tergantung pada kebijakan publik. Dalam penerapan hukum, kondisi masyarakat yang akan diberlakukan dengan adanya produk hukum tersebut harus benarbenar stabil. Oleh karena itu, harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada. Apa yang diinginkan oleh masyarakat semua tertuang pada kebijakan publik. Penerapan hukum (rechtstoepassing), dengan demikian menjadi sangat
tergantung pada kebijakan publik sebagai sarana yang dapat mensukseskan berjalannya penerapan hukum itu sendiri. Sebab dengan adanya kebijakan publik, maka pemerintah pada level yang terdekat dengan masyarakat setempat akan mampu merumuskan apaapa saja yang harus dilakukan agar penerapan hukum (rechtstoepassing) yang ada pada suatu saat dapat berjalan dengan baik.45
Hukum memberikan legitimasi bagi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu, yakni sebagai peraturan perundangundangan. Untuk mendapatkan kepastian dalam pelaksanaannya, maka kebijakan harus mendapatkan kekuatan atau status yang formal atau mendapatkan dasar hukum yang kuat untuk dapat dilaksanakan dengan baik. Kebijakan membantu hukum agar aturan hukum dapat terselenggara dengan
baik. Sehingga diperlukan penyesuaianpenyesuaian dengan keadaan dan kondisi masyarakat. Pada dasarnya, di dalam penerapan hukum, secara teoretik tergantung pada adanya empat unsur, yaitu unsurunsur hukum, unsurunsur struktural, unsurunsur masyarakat, dan unsurunsur budaya. Keempat unsur tersebut merupakan kenyataankenyataan yang harus dicermati dalam melakukan penerapan hukum (rechtstoepassing). Sebab pada dasarnya, sukses tidaknya sebuah penerapan hukum (rechtstoepassing) sangat tergantung pada bagaimana keempat unsur tersebut di atas terkondisikan dengan baik. Satu saja dari keempat unsur di atas tidak berjalan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya, maka penerapan hukum (rechtstoepassing) yang ada bisa dipastikan tidak dapat berjalan dengan baik.46
45 Eddi Wibowo, dkk., op.cit., hlm. 73.46 Ibid., hlm. 74.
Bab 2 Landasan Teori 87
Atas dasar itulah, maka hukum memiliki sifat memberikan kepas tian, keadilan, dan kemanfaatan yang menuntut masyarakat maupun aparatur hukum untuk selalu tunduk dan patuh kepada aturan hukum. Hukum tidak boleh dilanggar ataupun ditafsirkan seenaknya saja. Unsur hukum ini menjadi acuan dasar yang kuat bagi pihakpihak yang terkait dengan hukum yang sedang diterapkan. Jika unsur hukum tidak dapat diterapkan sesuai dengan yang diinginkan bersama dalam masyarakat, maka kebijakan diharapkan mampu memberikan tindakantindakan yang sesuai dengan kondisi riil yang ada di dalam masyarakat, dan kebijakan publik melakukan hal itu berangkat dari unsur hukum yang dimaksud.
Unsurunsur struktural dalam penerapan hukum adalah terkait dengan lembagalembaga atau organisasiorganisasi yang diperlukan dalam penerapan hukum atau aparatur hukum. Sebaik apa pun substansi atau isi dari produk hukum yang dibuat, tetapi jika tidak memiliki dukungan dari organisasiorganisasi atau lembagalembaga pelaksana di lapangan, maka mustahil produk hukum itu dapat berjalan dengan baik. Kebijakan publik mempunyai peran dalam hal menata tugastugas yang dibebankan hukum kepada lembaga agar dapat dijalankan dengan baik, sehingga di sini kebijakan publik lebih dilekatkan pada para aktor yang ada dalam organisasi atau institusi pelaksana hukum atau undangundang tersebut.
Unsur masyarakat juga berperan penting dalam menentukan sukses tidaknya penerapan hukum, karena sebaik dan sebagus apapun unsur hukum yang ada, dan sebaik apa pun kinerja aparatur hukum atau institusi pelaksana, bila kondisi masyarakatnya sedang dalam kondisi yang tidak baik, maka hukum tidak akan dapat berjalan seperti yang diharapkan. Hukum itu ditujukan untuk mengadakan ketertiban dan keteraturan di dalam masyarakat, dan masyarakatlah yang akan memberikan respon atas pelaksanaan suatu undangundang atau aturan hukum. Jika responnya baik, maka implementasinya ke tahap selanjutnya akan berjalan dengan baik pula. Jika tidak, maka proses penerapan hukum di dalam masyarakat akan mengalami kegagalan.
Unsur yang terakhir adalah unsur budaya yang terkait dengan implementasi produk hukum dengan pola pikir, pola perilaku, normanorma, nilainilai, dan kebiasaankebiasaan yang ada di dalam masyarakat. Sebagaimana diketahui, masyarakat tidak bisa lepas dari budaya hukum yang melingkupinya. Jika sebuah undangundang ternyata tidak sesuai dengan budaya yang dianut oleh masyarakat, maka penerapan hukum akan mengalami hambatan.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah88
Ada dua hal yang harus dipikirkan oleh para pelaku yang ada dalam lingkup hukum, yaitu:47
a. sedapat mungkin diupayakan bagaimana agar produk hukum atau undangundang yang akan dibuat itu dapat sesuai dengan unsur budaya yang ada di dalam masyarakat, sehingga dengan demikian ketika pada saat undangundang ini diterapkan tidak akan ada penolakan budaya dari masyarakat atas produk hukum tersebut;
b. bagaimana produk hukum yang pada dasarnya tidak sesuai dengan unsur budaya dalam masyarakat ini dapat diterima oleh masyarakat, sehingga dalam hal ini pemerintah harus membentuk budaya baru dalam masyarakat yang nantinya akan sesuai dengan nilainilai yang ada dalam sebuah undangundang yang hendak diterapkan.
Kebijakan berperan dalam membentuk budaya masyarakat, karena dalam kebijakan merupakan bentuk interaksi antara negara dengan rakyat. Pembuat kebijakan harus berusaha menata kebijakan yang dibuat, sehingga mencerminkan nilai budaya masyarakat, dan nilai budaya tersebut nantinya akan terinternalisir dan menjadi bagian dari sistem nilai budaya dan masyarakat. Ketika budaya baru itu terjadi, dan sesuai dengan nilai dari sebuah produk hukum, maka penerapan hukum akan dapat berjalan dengan baik.
C. KEUANGAN NEGARA 1. Pengertian Keuangan NegaraKeberhasilan negara dalam mencapai tujuannya tersebut tergantung pada bagaimana negara itu menghimpun dana masyarakat, terutama pajak guna menyelenggarakan fungsifungsinya, antara lain keamanan, ketertiban, dan hubungan internasional. Untuk menjalankan roda pemerintahan, negara membutuhkan dukungan dana yang sangat besar yang bersumber dari pendapatan negara yang potensial, antara lain pajak melalui kebijaksanaan fiskal. Keuangan negara (public finance) diinterpretasikan dalam arti sempit,
yakni keuangan pemerintah (government finance), sedangkan makna “finance” (keuangan) sudah ada kata sepakat, yakni menggambarkan segala kegiatan (pemerintah) di dalam mencari sumbersumber dana (sources of fund) dan kemudian bagaimana dana dana tersebut digunakan (use of
47 Ibid., hlm. 83–84.
Bab 2 Landasan Teori 89
fund) untuk mencapai tujuantujuan pemerintah tertentu. Jadi, keuangan negara mencerminkan kegiatan kegiatan pemerintah, sedangkan kegiatan pemerintah itu sendiri berada dalam sektor publik (public sector), bukan berada dalam sektor swasta (private sector).48
Menurut penulis bahwa keuangan negara merupakan segala kegiatan yang dilakukan pemerintah untuk mengumpulkan sumber dana untuk kepentingan negara, penggunaan danadana yang terkumpul dari berbagai pungutan dan pajak yang berasal dari rakyat, dan digunakan untuk mencapai tujuan, yakni kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Keuangan negara adalah kekayaan yang dikelola oleh pemerintah berupa uang dan barang; kertas berharga yang bernilai uang; hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang; serta danadana pihak ketiga yang terkumpul atas dasar potensi yang dimiliki dan/atau yang dijamin baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, badanbadan usaha, yayasan, maupun institusi lainnya. Menurut Adrian Sutedi bahwa keuangan negara dalam arti luas meliputi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), keuangan negara pada Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum, PNPN, dan sebagainya. Definisi keuangan negara dalam arti sempit hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya.49
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa keuangan negara dalam arti luas adalah keuangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan keuangan yang dimiliki oleh badan usaha milik negara, yang dikelola oleh pemerintah untuk kesejahteraan rakyat. Sedangkan dalam arti sempit hanya merupakan keuangan yang dimiliki dan dikelola oleh badan hukum milik negara.
Istilah keuangan negara secara formal dapat dijumpai dalam UndangUndang Dasar 1945 (UUD 1945) sebelum amandemen, yang diatur dalam Bab VIII, tentang hal Keuangan Pasal 23 yang berbunyi:
(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiaptiap tahun dengan undangundang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.
48 Bambang Kusmanto, dkk., Keuangan Negara, Intermedia, Yogyakarta, 1992, hlm. 2.49 Adrian Sutedi, Hukum Keuangan Negara ..., op.cit., hlm. 10.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah90
(2) Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undangundang.(3) Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undangundang.(4) Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undangundang.(5) Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan
suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undangundang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Jadi, menurut UUD 1945, definisi keuangan negara adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang pengelolaannya dilakukan oleh aparatur pemerintah.
Setelah UUD 1945 diamandemen, istilah keuangan negara dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23C, dan Pasal 23E ayat (1) dan ayat (2). ■ Pasal 23 ayat (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undangundang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
■ Pasal 23C Halhal lain mengenai keuangan negara ditetapkan dengan undang
undang.■ Pasal 23E
(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri;
(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Melihat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, pengertian keuangan negara diartikan secara luas, yakni APBN yang dikelola setiap tahunnya dengan undangundang. Pelaksanaannya dipertanggungjawabkan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Dalam Pasal 23C UUD 1945, pengaturan yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara diatur dengan undangundang. Pasal 23E UUD 1945 dapat diartikan bahwa untuk pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab penggunaan keuangan negara dilakukan oleh BPK, dan hasil
Bab 2 Landasan Teori 91
pemeriksaan tersebut diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD. Jadi, masalah keuangan negara ini sangat penting terkait dengan penggunaan uang rakyat, yang pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah dengan mandat yang diberikan oleh rakyat.
Secara konsepsional, definisi keuangan negara bersifat plastis dan tergantung pada berbagai macam sudut pandang. Berikut disebutkan mengenai beberapa definisi atau pengertian dari keuangan negara.
a. M. IchwanKeuangan negara adalah rencana kegiatan secara kuantitatif (dengan angkaangka di antaranya diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya satu tahun mendatang.50
Di sini, keuangan negara merupakan rencana kegiatan penggunaan keuangan negara yang akan dikeluarkan oleh pemerintah untuk satu tahun mendatang, yang ditulis dalam bentuk angka yang berarti jumlah uang yang akan dikeluarkan untuk kegiatan pemerintah tersebut.
b. GildenhuysMenurut Gildenhuys, anggaran memiliki enam fungsi, antara lain sebagai berikut.51
1) Sebagai kebijakan yang menggambarkan tujuan dan sasaran khusus yang hendak dicapai melalui suatu pengeluaran dalam anggaran (a policy statement declaring the goals and specific objectives an authority wishes to achieve by means of the expenditur concerned).
2) Sebagai sarana redistribusi kekayaan sebagai salah satu fungsi publik yang paling utama dari anggaran (redistribution of wealth is one of the most important functions of a public budget).
3) Sebagai program kerja pemerintah (a work program).4) Sebagai sumber informasi (as a source of information).5) Sebagai sarana koordinasi kegiatan pemerintahan (as a coordinating
instrument).
50 W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 1–6.
51 Alfin Sulaiman, Keuangan Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dalam Perspektif Ilmu Hukum, Cetakan Kesatu, Alumni, Bandung, 2011, hlm. 21.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah92
6) Sebagai alat pengawasan legislatif terhadap eksekutif (a control instrument to be used by the legislative authority over the executive authority and by the executive authority over the administrative authority and even for internal control within a single component of the administrative authority). Gildenhuys menyebut keuangan negara sebagai anggaran. Anggaran tersebut
merupakan rencana pengeluaran keuangan untuk melaksanakan kegiatan tertentu, digunakan untuk memeratakan hasil pendapatan bagi semua lapisan masyarakat, merupakan rencana pemerintah untuk melakukan kegiatan dengan menggunakan uang negara, sebagai sumber informasi bagi rakyat terkait dengan pengelolaan keuangan negara oleh pemerintah, sarana untuk mengatur kegiatan dengan sebaikbaiknya sehingga tidak saling bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai, serta merupakan bentuk pengawasan dari lembaga legislatif terhadap lembaga eksekutif dalam penggunaan dan pengelolaan uang negara.
c. M. Hadi52
Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu, baik uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara, berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban dimaksud.
Hak adalah sesuatu yang mutlak menjadi milik diri kita, sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan rasa penuh tanggung jawab. Terkait dengan keuangan negara, hak yang berarti sesuatu di sini baik berupa uang maupun barang milik negara, yang penggunaannya terkait dengan hak dan kewajiban dimaksud. Hak di sini adalah uang yang sepenuhnya milik rakyat, dan kewajiban merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengelola dan menggunakan uang rakyat tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab.
d. M. Soebagio53
Keuangan negara adalah hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Hak negara meliputi hak menciptakan uang, hak mendatangkan hasil, hak melakukan pungutan, hak meminjam, dan hak memaksa. Kewajiban negara meliputi kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat, dan kewajiban membayar hakhak tagihan pihak ketiga.
52 M. Hadi, Administrasi Keuangan Negara RI, Tanpa Penerbit, Jakarta, 1980, hlm. 2.53 M. Soebagio, Hukum Keuangan Negara Republik Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1987,
hlm. 11.
Bab 2 Landasan Teori 93
Sebagaimana pengertian hak dan kewajiban tersebut, hak dan kewajiban di sini adalah milik negara. Setelah negara mendapatkan hakhak tersebut, maka negara harus menjalankan kewajiban, yang salah satunya menjalankan kewajiban dengan menggunakan hak yang telah diperoleh.
e. Ateng SyafrudinKeuangan negara dapat berupa uang dan juga tindakan atau kebijakan atau program, atau perencanaan negara yang dapat berakibat mendatangkan uang atau dapat dinilai dengan uang.54
Dalam pengertian ini, keuangan dinilai dalam bentuk uang dan tindakan, kebijakan, atau rencana pemerintah untuk mendapatkan sumbersumber dana untuk negara. Kata mendatangkan berarti hanya untuk mengumpulkan bukan untuk digunakan atau dikelola untuk tujuan tertentu.
f. Arifin P. Soeria AtmadjaMendefinisikan keuangan negara dari segi pertanggungjawaban pemerintah, bahwa keuangan negara yang harus dipertanggung jawabkan oleh pemerintah adalah keuangan negara yang hanya berasal dari APBN, sehingga yang dimaksud dengan keuangan negara adalah keuangan negara yang berasal dari APBN.
Menurut Arifin P. Soeria Atmadja, pengertian anggaran negara adalah perkiraan atau perhitungan jumlah pengeluaran atau belanja yang akan dikeluarkan oleh negara.55 Pengertian anggaran negara di Indonesia disebut Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang disingkat dengan istilah APBN. Selanjutnya, keuangan negara akan dituangkan adalam APBN tersebut.56
Arifin P. Soeria Atmadja memberikan definisi yang berbeda antara keuangan negara dengan anggaran negara. Keuangan negara dalam pengertian ini berupa tanggung jawab pemerintah dalam menggunakan keuangan yang hanya berasal dari APBN saja, bukan dari APBD dan badan usaha negara lainnya. Sedangkan anggaran negara adalah rencana pengeluaran dengan menggunakan keuangan negara atau APBN.
54 Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, Cetakan Pertama, PKHKD FH UNSOED dan UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 96.
55 Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Suatu Tinjauan Yuridis, Gramedia, Jakarta, 1986, hlm. 9.
56 Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum Praktik dan Kritik, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 54.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah94
g. Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dalam UndangUndang Keuangan Negara, pengertian keuangan negara meliputi sesuatu yang dimiliki oleh negara, baik berupa uang maupun barang dan tanggung jawab dalam pengelolaan keuangan negara tersebut. Pengertian keuangan negara di sini sangat luas.
Penjelasan Pasal 2 UndangUndang Keuangan Negara ditekankan pada huruf i yang berbunyi: Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf i meliputi kekayaan
yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasanyayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.Pendekatan yang digunakan untuk merumuskan definisi stipulatif keuangan
negara dalam UndangUndang Keuangan Negara adalah dari sisi berikut.57
1) Objek Keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu, baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
2) Subjek Keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas,
yang dimiliki negara dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
3) Proses Keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas, mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
57 W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan ..., op.cit., hlm. 3–4.
Bab 2 Landasan Teori 95
4) Tujuan Keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan
hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut sebelumnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam Penjelasan Umum yang lain dalam UndangUndang Keuangan Negara
juga dikatakan: ... Dalam hubungan antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan
daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat ditetapkan bahwa pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal ke pada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.Dari definisi keuangan negara tersebut, maka yang menjadi hak dan
kewajiban negara adalah sebagai berikut.1) Hakhak negara Hakhak negara yang dapat dinilai dengan uang, antara lain:
a) hak menarik sejumlah uang atau barang tertentu dari penduduk yang dapat dipaksakan dengan bentuk peraturan perundangundangan, tanpa memberi imbalan secara langsung kepada orang yang bersangkutan. contoh bentuk penarikan dana ini adalah pajak, bea cukai, retribusi, dan sebagainya. Dengan demikian, negara akan memperoleh penerimaan yang menjadi haknya untuk membiayai tugas negara;
b) hak monopoli mencetak uang dan menentukan mata uang sebagai alat tukar dalam masyarakat;
c) hak untuk mengadakan pinjaman paksa kepada warga negara (obligasi, sanering uang, dan devaluasi nilai mata uang);
d) hak teritorial darat, laut, dan udara serta segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, yang merupakan sumber yang besar dalam penggunaannya yang dapat dinilai dengan uang.
2) Kewajiban negara Kewajibankewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, antara lain
sebagai berikut.a) Kewajiban menyelenggarakan tugas negara untuk kepentingan umum
(masyarakat), antara lain meliputi:
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah96
■ pemeliharaan keamanan dan ketertiban;■ pembuatan, pemeliharaan jalanjalan raya, pelabuhan, dan
pangkalan udara;■ pembangunan gedunggedung sekolah dan rumah sakit;■ pembuatan dan pemeliharaan pengairan;■ pembangunan pemeliharaan alat perhubungan (pos, telepon, dan
sebagainya).b) Kewajiban membayar hak tagihan dari pihakpihak yang melaku
kan sesuatu atau perjanjian dengan pemerintah, misalnya pembelian barangbarang untuk keperluan pemerintah, pembangunan gedung pemerintah, dan sebagainya.
h. Seminar ICW Tanggal 30 Agustus–5 September 1970
Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu, baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
i. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah undangundang yang mengatur soal pidana korupsi. Walaupun kedua undangundang tersebut mengatur soal pidana korupsi, perihal keuangan negara juga diatur di dalamnya, karena tindak pidana korupsi ini dikategorikan sebagai perbuatan yang secara melawan hukum dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.58
Dalam Penjelasan Umum disebutkan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
58 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 27.
Bab 2 Landasan Teori 97
a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; dan
b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
j. Pasal 23 UUD NRI 1945Perihal mengenai keuangan negara diatur dalam Bab VIII Hal Keuangan Pasal 23 UUD NRI 1945. Bunyi ketentuan Bab VIII Hal Keuangan Pasal 23 sebelum dilakukannya amandemen ialah sebagai berikut.(1) Anggaran pendapatan belanja ditetapkan tiaptiap tahun dengan undang
undang. Apabila Dewan Per wakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.
(2) Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undangundang.(3) Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undangundang.(4) Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undangundang.(5) Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan
suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undangundang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.Bunyi Ketentuan Bab VIII Hal Keuangan Pasal 23 tersebut kemudian
mengalami perubahan pada amandemen ketiga UUD NRI 1945 yang pada akhirnya berbunyi sebagai berikut.(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undangundang dan d ilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
(2) Rancangan undangundang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memerhatikan Dewan Perwakilan Daerah.
(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh presiden, pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah98
Selanjutnya, Pasal 23 Bab VIII Hak Keuangan dalam UUD 1945 tersebut dilakukan penambahan pasal pasal, yakni Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23C, Pasal 23D, serta tiga Pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G yang diatur dalam Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Bunyi penambahan Pasal 23 Bab VIII dan Bab VIIIA tersebut ialah sebagai berikut.
■ Pasal 23A
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang.
■ Pasal 23B
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang undang.
■ Pasal 23C
Halhal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undangundang.
■ Pasal 23D
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedu dukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undangundang.
Ketentuan pasalpasal dalam Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan berbunyi sebagai berikut.
■ Pasal 23E(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
(2) Hasil pemeriksa keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lem baga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undangundang.
■ Pasal 23F(1) Anggaran Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmi kan oleh presiden.
(2) Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.
Bab 2 Landasan Teori 99
■ Pasal 23G(1) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibukota negara, dan
memiliki perwakilan di setiap provinsi.(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur
dengan undangundang.
Apabila melihat bunyi ketentuan Pasal 23 UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah dilakukannya amandemen perubahan ketiga, sepertinya tidak dimuat secara tegas mengenai pengertian maupun definisi menyangkut soal keuangan negara. Namun, berdasarkan pendapatpendapat para ahli sebagaimana dikemukakan sebelumnya, gambaran pengertian keuangan negara dapat ditemukan dengan menggunakan penafsiran oleh para ahli tersebut menurut pendapat dan cara pandangnya masingmasing.
Berikut adalah penafsiran mengenai pengertian keuangan negara terhadap ketentuan Pasal 23 UUD 1945 sebelum amandemen UUD 1945.
1) Harun Al Rasjid
Harun Al Rasjid memberikan penafsiran mengenai pengertian keuangan negara terhadap ketentuan Pasal 23 UUD 1945 sebelum amandemen yang menghubungkan isi ketentuan ayat (5) dengan ayat (1) dalam Pasal 23 UUD 1945:59
Kalau saya melakukan penafsiran menurut susunan pasal tersebut (systematische interpretatie), yaitu menghubung kan ayat (5) dengan ayat (1) yang mengatur soal anggaran negara, saya dapat menarik kesimpulan yang diperiksa oleh BPK ialah pelaksanaan keuangan negara seperti yang diuraikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pengertian keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 23 UUD 1945 sebelum amandemen ketiga menurut pendapat Harun Al Rasjid, yaitu APBN. Harun Al Rasjid memberikan keuangan negara dalam arti yang sempit.
2) Mohamad Yamin
Pendapat Mohamad Yamin di dalam Naskah Persiapan UUD 1945 adalah sebagai berikut.60
59 Alfin Sulaiman, op.cit., hlm. 3060 Ibid., hlm. 34.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah100
Hal keuangan negara menurut Pasal 23 ayat (4) meliputi segala hal yang berhubungan dengan keadaan dan keten tuanketentuan mengenai garisgaris besar kebijaksanaan moneter dan mengenai kedudukan serta tugas bankbank ditetapkan dengan undangundang. Comptabiliteitswet (wet 23 April 1864) dan peraturanperaturan devisen (devizen ordonantie 1940 = K.B Juli 1943 dengan perubahan) sampai sekarang masih berlaku.
Mohamad Yamin pengertian keuangan negara hanya mencakup garisgaris besar kebijaksanaan moneter dan mengenai kedudukan serta tugas bankbank ditetapkan dengan undangundang. Pengertian keuangan negara menurut Mohamad Yamin dalam arti sempit.
3) Jimly Asshiddiqie Pengertian keuangan negara secara sempit, yakni hanya terbatas pada
APBN dalam Pasal 23 UUD 1945 pra amandemen ketiga, juga dipertegas oleh pendapat Jimly Asshiddiqie yang mengatakan:61
Pengertian anggaran pendapatan dan belanja yang dimak sud dalam UUD 1945 hanya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di tingkat pusat, sehingga tidak tercakup Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sama sekali tidak berkaitan dengan tugas dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan.
Menurut Jimly Asshiddiqie, pengertian keuangan negara dengan menaf sirkan ketentuan ayatayat dalam Pasal 23 UUD 1945 beserta Penjelasannya, membedakan secara jelas antara pengertian keuangan negara dan keuangan daerah.
Sebagaimana diketahui bahwa pada saat ini ketentuan Bab VIII Hal Keuangan Pasal 23 UUD 1945 kemudian mengalami perubahan pada amandemen ketiga UUD 1945. Ketentuan menyangkut keuangan negara dan pengelolaan keuangan negara serta struktur organisasi dan kewenangan BPK berubah secara mendasar.
Pengertian keuangan negara menurut Pasal 23 pasca amandemen ketiga UUD 1945 tidak hanya terbatas pada pengertian APBN saja, tetapi juga termasuk APBD. Oleh karena itu, hasil pemeriksaan keuangan negara oleh BPK menurut Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 menjadi: “... diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD, sesuai dengan kewenangannya”.
61 Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 114.
Bab 2 Landasan Teori 101
Pengertian keuangan negara dalam perubahan ketiga UUD 1945 menjadi ditafsirkan secara luas, yakni tidak hanya terbatas pada APBN. Di mana sebelum dilakukannya perubahan ketiga UUD 1945, tanggung jawab pemeriksaan keuangan negara oleh BPK hanya sebatas diberitahukan kepada DPR (Pasal 23 ayat (5)).
Menurut pendapat para ahli bidang hukum keuangan negara di atas, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi dualisme pendapat menyangkut pengertian mengenai keuangan negara, yakni keuangan negara dalam arti yang luas dan keuangan dalam arti yang sempit.
Berdasarkan kajian dari berbagai literatur dan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang keuangan negara, dapat dikemukakan bahwa definisi keuangan negara di atas dapat dipahami atas tiga interpretasi atau penafsiran terhadap Pasal 23 UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional keuangan negara, yaitu sebagai berikut.62
1) Penafsiran PertamaPengertian keuangan negara diartikan secara sempit, dan untuk itu dapat disebutkan sebagai keuangan negara dalam arti sempit, yang hanya meliputi keuangan negara yang bersumber pada APBN sebagai subsistem keuangan negara dalam arti sempit.
Jika didasarkan pada rumusan tersebut, maka keuangan negara adalah semua aspek yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR setiap tahunnya. Dengan kata lain, APBN merupakan deskripsi dari keuangan negara dalam arti sempit, sehingga pengawasan terhadap APBN juga merupakan pengawasan terhadap keuangan negara. Harun Al Rasjid berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan keuangan
negara dalam Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 adalah keuangan negara dalam arti sempit. Sebagai alasan dari pendapatnya tersebut, ia menerapkan penafsiran sistematis, yaitu menghubungkan ayat (5) dengan ayat (1) Pasal 23 UUD 1945 yang mengatur soal APBN. Selanjutnya, ia mengatakan pula:63
Cara pemerintah mempergunakan uang belanja yang sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat harus sepadan dengan keputusan tersebut.
62 A.Y. Suryanajaya, Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dalam Pengelolaan Keuangan Negara, Cetakan Pertama, Eko Jaya, Jakarta, 2012, hlm. 59–60.
63 Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban ... loc.cit., hlm. 50.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah102
Untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah itu, perlu ada suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah. Suatu badan yang tunduk kepada pemerintah tidak dapat melakukan kewajiban yang seberat itu. Sebaliknya, badan ini bukanlah pula badan yang berdiri di atas pemerintah. Sebab itu kekuasaan dan kewajiban badan itu ditetapkan dengan undangundang.Dari uraian yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan keuangan negara dalam Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 adalah dalam pengertian sempit, yakni keuangan negara yang bersumber pada APBN, yang penggunaan uang belanja tersebut harus mendapatkan persetujuan oleh DPR, dan pengawasannya dilakukan oleh suatu badan khusus yang ditetapkan oleh undangundang.
2) Penafsiran KeduaBerkaitan dengan metode sistematik dan historis yang menyatakan: “Keuangan negara dalam arti luas yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara sebagai suatu sistem keuangan negara”.
Dalam pengertian di atas, keuangan negara diartikan secara luas, yakni meliputi APBN, APBD, BUMN, BUMD, serta seluruh harta kekayaan negara lainnya. Hasan Akman dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban keuangan
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 sebelum amandemen, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan keuangan negara dalam pasal tersebut adalah keuangan negara dalam arti luas.64
Pengertian keuangan negara menurut Hasan Akmal, berarti pelaksanaan penggunaan dan pengelolaan keuangan negara yang meliputi APBN, APBD, BUMN, BUMD, serta seluruh harta kekayaan negara lainnya.
3) Penafsiran KetigaDilakukan melalui pendekatan sistematik dan teleologis atas sosiologis terhadap keuangan negara yang dapat memberikan penafsiran yang relatif lebih akurat sesuai dengan tujuannya. Maksudnya adalah apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sistem pengurusan,
64 Ibid., hlm. 50.
Bab 2 Landasan Teori 103
dan pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara tersebut adalah sempit. Selanjutnya pengertian keuangan negara apabila pendekatannya dilakukan dengan menggunakan cara penafsiran sistematik dan teleologis untuk mengetahui sistem pengawasan atau pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian keuangan negara itu adalah pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni termaksud di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN, APBD, BUMN/D, dan pada hakikatnya seluruh kekayaan negara merupakan objek pemeriksaan dan pengawasan.
Dari penafsiran tersebut, maka yang membedakan pengertian keuangan negara dalam arti sempit dan luas adalah terkait dengan pengelolaan dan pengawasan keuangan negara. Jika terkait sistem pengurusan dan pertanggungjawaban, maka termasuk dalam arti sempit. Sedangkan jika terkait sistem pengawasan atau pemeriksaan pertanggungjawaban, maka termasuk pengertian dalam arti luas.
2. Ruang Lingkup Keuangan NegaraDalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penye lenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945.
Sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945 tersebut, UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 menjabarkannya ke dalam asas asas umum yang telah lama dikenal dalam pengelolaan kekayaan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asasasas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidahkaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain asas akuntabilitas berorientasi pada hasil, asas profesionalitas, asas proporsionalitas, asas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Ruang lingkup keuangan negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 2
UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003, keuangan negara meliputi:65
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan, dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
65 Adrian Sutedi, Hukum Keuangan Negara ..., op.cit., hlm. 51.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah104
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. penerimaan negara;d. pengeluaran negara;e. penerimaan daerah;f. pengeluaran daerah;g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak.
kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf i, meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain ber dasarkan kebijakan pemerintah, yayasanyayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah;
h. lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hakhak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
i. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
j. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Asas tahunan artinya membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu. Asas universalitas mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan utuh dalam dokumen anggaran. Asas spesialitas mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya. Asas kesatuan menghendaki agar semua pendapatan dan belanja negara/daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran.
Selanjutnya pengelolaan keuangan negara/daerah juga mengadopsi asasasas baru yang berasal dari best practises yang telah diterapkan di berbagai negara untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan keuangan negara/daerah secara akuntabel dan transparan. Asasasas dimaksud terdiri atas sebagai berikut.66
a. Akuntabilitas berorientasi pada hasil
Pemerintah wajib mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan negara, baik pertanggungjawaban keuangan (financial accountability) maupun pertanggungjawaban kinerja (performance accountability).
66 A.Y. Suryanajaya, Sistem Pengendalian Intern ..., op.cit., hlm. 61–62.
Bab 2 Landasan Teori 105
b. Profesionalitas Keuangan negara harus dikelola secara profesional. Oleh karena itu, sumber
daya manusia di bidang keuangan harus profesional, baik di lingkungan bendahara umum negara/daerah maupun di lingkungan pengguna anggaran/ barang.
c. Proporsionalitas Sumber daya yang tersedia dialokasikan secara proporsional terhadap hasil
yang akan dicapai. Hal ini diakomodasi dengan diterapkannya prinsip penganggaran berbasis kinerja.
d. Keterbukaan Pengelolaan keuangan dilaksanakan secara transparan, baik dalam peren
canaan dan penganggaran, pelaksanaan anggaran, pertanggung jawaban, maupun hasil pemeriksaan.
e. Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri Pemeriksaan atas tanggung jawab dan pengelolaan keuangan negara/daerah
dilakukan oleh badan pemeriksa yang independen, dalam hal ini adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pemeriksaan oleh BPK dilaksanakan sesuai dengan amanat undangundang dan hasil pemeriksaan disampaikan langsung kepada parlemen. Kedudukan BPK terhadap pemerintah adalah independen, dengan kata lain BPK merupakan eksternal auditor pemerintah.
3. Landasan Hukum Pengelolaan Keuangan NegaraKeuangan negara merupakan urat nadi bagi pembangunan suatu negara dan sangat menentukan kelangsungan perekonomian pada saat sekarang maupun di masa yang akan datang. Keuangan negara berasal dari pajak maupun pungutan yang wajib dibayar oleh rakyat, jadi penggunaannya pun harus ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Keuangan negara merupakan instrumen yang sangat vital untuk menggerakkan roda organisasi pemerintahan. Penyelenggaraan fungsifungsi pemerintahan tidak akan bisa dilaksanakan secara efektif tanpa didukung oleh sarana keuangan negara, seperti untuk mencukupi kebutuhan akan bendabenda atau barangbarang bagi institusi pemerintah dengan mengadakan pengadaan barang/jasa pemerintah, sehingga institusi tersebut dapat melaksanakan fungsi pelayanan publik dengan baik.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah106
Demikian pentingnya arti sarana keuangan negara, sehingga diperlukan suatu aturan khusus di bidang pengelolaan keuangan negara ini. Berikut beberapa peraturan sebagai landasan hukum pengelolaan keuangan negara.67
a. Pusat1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.2) UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.3) UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.4) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Penge
lolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.5) UndangUndang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.6) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja
Pemerintah.7) Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga. b. Daerah
1) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.2) UndangUndang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.3) Peraturan Daerah (Perda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Peraturanperaturan tersebut merupakan legal framework yang dimaksudkan sebagai acuan bagi pemerintah untuk mengelola keuangan negara, sehingga diharapkan penggunaan dan pengelolaan keuangan negara tersebut berorientasi pada efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas.
4. Historisasi Pengaturan Keuangan NegaraDari sejarahnya, pengaturan keuangan negara mendapatkan pengaruh dari pengaruh hukum pemerintah Hindia Belanda, karena pada waktu itu Indonesia berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, sehingga dengan asas konkordansi, pemerintah Hindia Belanda menerapkan peraturan yang sama di negara jajahannya.
67 W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan ..., op.cit., hlm. 35 dan 36.
Bab 2 Landasan Teori 107
Perkembangan sistem perekonomian di Indonesia di zaman penjajahan Belanda tidak lepas dari perubahan sistem politik yang terjadi di negeri Belanda. Sebelum tahun 1870, di Hindia Belanda diterapkan sistem tanam paksa, sistem tanam paksa ini sangat merugikan rakyat Indonesia karena mereka dipaksa menanam tanaman yang dapat memberikan keuntungan bagi pemerintah Hindia Belanda dengan menggunakan tanah milik rakyat, dan rakyat hanya dapat menanam tanaman untuk kebutuhannya seharihari dengan sedikit bagian tanah dari tanah yang harus ditanami tanaman yang diinginkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sistem tanam paksa ini mendapatkan banyak tantangan, tidak hanya dari Indonesia tetapi juga dari tokohtokoh di negeri Belanda sendiri, terutama kaum liberal. Kemudian sistem tanam paksa diubah menjadi sistem ekonomi politik pintu terbuka atau sistem ekonomi liberal, di mana pihak swasta yang akan mengurusi perkebunan dan pemerintah hanya sebagai pengawas. Dari politik pintu terbuka ini, kemudian dikeluarkan beberapa peraturan
yang salah satunya adalah Indonesische Comptabiliteit Wet. Secara historis yuridis, pengaturan keuangan negara dimulai pada tahun 1864, yakni pada saat ditetapkannya Indonesische Comptabiliteit Wet (ICW), yang berlaku pertama kali pada tanggal 1 Januari 1967. Riwayat ICW tersebut, terkait dengan perubahan paradigma Grondwet Nederland 1848, yang memberikan kewenangan lebih kuat kepada parlemen untuk melakukan fungsi kontrol keuangan negara.68
Indonesische Comptabiliteit Wet merupakan undangundang perbendaharaan Hindia Belanda yang menyatakan bahwa anggaran belanja Hindia Belanda harus ditetapkan dengan undangundang dengan persetujuan parlemen Belanda. Dapat dikatakan bahwa ICW merupakan ketentuan yang mengatur tentang tata cara pembukuan yang dilakukan oleh pejabat untuk melakukan pengurusan dan pengelolaan keuangan negara. Pencatatan atau pembukuan tersebut mempunyai tujuan untuk menghindari terjadinya penipuan dan pemalsuan, kalau sekarang ini adalah korupsi. Di Hindia Belanda, pada tahun 1917 gubernur jenderal memiliki ke
wenangan menetapkan sementara anggaran. Setelah dibentuk volksraad mulai dilakukan perintisan ke arah fungsi kontrol parlemen meskipun
68 Ibid., hlm. 30.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah108
sampai dengan tahun 1925 kewenangan dalam hal financiele beleid masih berada di tangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.69
Setelah Indonesia merdeka, pelaksanaan pengelolaan keuangan negara masih menggunakan ketentuan peraturan perundangundangan yang disusun pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang berlaku berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945. Peraturan tersebut antara lain adalah Indische Comptabiliteits Wet (Stbl. 1925 Nomor 448) tersebut, yang diubah dan diundangkan dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 6, 1955 Nomor 49, dan terakhir UndangUndang Nomor 9 Tahun 1968 diubah menjadi UndangUndang Perbendaharaan Negara (UPI), yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai pada tahun 1867, Indische Bedrijvenwet (IBW) [Stbl. 1927 Nomor 419 jo. Stbl. 1936 Nomor 445] dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) [Stbl. 1933 Nomor 381]. Dalam pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara, digunakan Instructie en verdure bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 Nomor 320. Peraturanperaturan seperti ICW, IAR, IBW, dan RAB diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda hanya untuk menjaga kepentingan mereka di negara jajahan.70
Pada masa Indonesia Merdeka, pengaturan keuangan negara dapat dilihat dalam dua periode, yakni pada periode Konstitusi RIS dan UUDS 1950, serta periode UUD 1945. Dalam Pasal 166 ayat (2) Konstitusi RIS mengatakan bahwa: “Keuangan negara diurus dan dipertanggungjawabkan menurut ketentuan yang akan ditetapkan dengan UndangUndang Federal”. Selanjutnya dalam Pasal 170 Konstitusi RIS disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan mengajukan perhitungan yang disetujui oleh Algemene Rekenkamer (Dewan Pengawas Keuangan). Ketentuan yang sama ditemukan dalam Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 166 UUDS 1950. Undangundang yang mengatur tentang pengurusan dan pertanggungjawaban keuangan yang dibuat berdasarkan Konstitusi RIS dan UUDS tersebut tidak pernah ada, yang berlaku adalah ICW.71
Ketentuan Algemene Rekenkamer ini juga terdapat dalam UndangUndang Dasar Hindia Belanda, yakni Indische Staatsregeling, di mana pada Pasal 117 ayat
69 Ibid.70 Ibid., hlm. 11.71 Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik ..., op.cit., hlm. 25.
Bab 2 Landasan Teori 109
(1) menetapkan bahwa Algemene Rekenkamer ini melakukan tugas pengawasan atas penguasaan administratif dan keuangan negara. Justifikasi pemberlakuan ICW semula didasarkan atas Pasal II, Aturan
Peralihan (UUD 1945 sebelum diamandemen) sebagai suatu transition clausule untuk mencegah vakum dalam pengaturan dan sistem kekuasaan pasca kemerdekaan. UPI dapat dinilai sebagai sekadar “polesan” dari ICW, meng ingat proses revisi yang dilakukan terhadap ICW hanya menjangkau pada ranah sistem dan struktur formal dari ICW. Pada tahun 1945–1963 masih dipergunakan anggaran perang (war budgetting) dengan mempergunakan ICW sebagai dasar penganggaran APBN dan Beheersvoorschriften sebagai dasar penganggaran APBD.72 ICW merupakan warisan kolonial penjajah Belanda, yang tentunya sangat
jauh dari semangat kemerdekaan RI, dan sudah seharusnya ICW dihapus dan digantikan dengan peraturan perundangundang yang mengatur keuangan negara sesuai dengan semangat proklamasi kemerdekaan RI dan semangat reformasi sekarang ini.
Secara garis besar, baik ICW maupun UPI mengatur mengenai tiga hal pokok dalam pengelolaan keuangan negara, yaitu:73
a. aspek pengelolaan keuangan negara;b. aspek perbendaharaan negara; danc. aspek pengawasan keuangan negara.Ketiga aspek tersebut selanjutnya diatur secara terpisah melalui paket
UndangUndang Keuangan setelah reformasi, yaitu UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
D. PENGADAAN BARANG DAN JASA 1. Pengertian Pengadaan Barang dan JasaDalam melaksanakan pelayanan publik, tentunya lembaga/institusi memerlukan barangbarang untuk operasional, sehingga pelayanan publik yang diberikan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Bila pelayanan publik berjalan dengan
72 W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan ..., op.cit., hlm. 51 dan 52.73 W. Riawan Tjandra, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2008,
hlm. 176.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah110
baik dan lancar, maka tingkat kepuasan masyarakat akan meningkat. Barang/jasa publik adalah barang yang pengunaannya terkait dengan kepentingan masyarakat banyak, baik secara berkelompok maupun secara umum, sedangkan barang/jasa privat merupakan barang yang hanya digunakan secara individual atau kelompok tertentu. Berdasarkan atas penggolongan ini, maka suatu barang atau jasa dapat saja dikategorikan atas barang publik tetapi dapat juga dikategorikan atas barang privat tergantung pada penggunaannya.74
Sebagai contoh barang publik adalah komputer dan peralatan tulis yang digunakan di instansi atau lembaga pemerintah yang digunakan dalam operasional pelayanan publik, maka dikategorikan sebagai barang publik, tapi bila digunakan untuk kepentingan pribadi maka dikategorikan sebagai barang privat.
Untuk pengadaan barang/jasa bagi instansi/lembaga maka dilaksanakan pengadaan barang/jasa pemerintah, yang dikenal dengan public procurement. Public procurement adalah pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh pemerintah. Definisi pengadaan barang dan jasa menurut kamus hukum berarti mem
borong pekerjaan/menyuruh pihak lain untuk mengerjakan atau mem borong pekerjaan seluruhnya atau sebagian pekerjaan sesuai dengan pekerjaan atau kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak sebelum pekerjaan pemborongan itu dilakukan.75
Maksud dari memborong pekerjaan adalah melimpahkan, menyediakan, atau memberikan kepada pihak lain untuk mengerjakan semua atau sebagian pekerjaan sesuai, tentunya dengan persyaratan tertentu sesuai dengan perjanjian atau kontrak yang dibuat sebelum pekerjaan dilaksanakan. Pihak lain yang diserahi tugas untuk melaksanakan pekerjaan haruslah mengerti dan ahli dalam pekerjaan tersebut. Berbagai rumusan tentang definisi pengadaan telah banyak dikemukakan
oleh para pakar, di antaranya Arrowsmith, Nur Bahagia, Christopher dan Schooner, dan sebagainya. Pada prinsipnya, pengadaan adalah kegiatan untuk mendapatkan barang, atau jasa secara transparan, efektif, dan efisien sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penggunanya. Maksud barang di sini meliputi peralatan dan juga bangunan, baik untuk kepentingan publik maupun privat.76
74 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, op.cit., hlm. 11 dan 12.75 Marzuqi Yahya dan Endah Fitri Susanti, op.cit., hlm. 3 dan 4.76 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, loc.cit., hlm. 10.
Bab 2 Landasan Teori 111
Dalam pengertian tersebut, pengadaan dilakukan secara terbuka, dalam waktu yang cepat, serta mendapatkan hasil yang tepat dan sesuai dengan kualifikasi barang/jasa yang dibutuhkan. Barang di sini merupakan benda yang berwujud, tidak berwujud, bergerak atau tidak bergerak yang dapat diperdagangkan, digunakan, dan dimanfaatkan oleh pengguna barang. Dalam konteks pengadaan barang/jasa pemerintah, barang meliputi bahan baku, barang setengah jadi, barang jadi atau peralatan, dan makhluk hidup. Menurut Edquist et.al., pada prinsipnya, pengadaan publik (public pro-
curement) adalah proses akuisisi yang dilakukan oleh pemerintah dan institusi publik untuk mendapatkan barang (goods), bangunan (works), dan jasa (services) secara transparan, efektif, dan efisien sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penggunanya. Dalam hal ini, pengguna bisa individu (pejabat), unit organisasi (dinas, fakultas, dan sebagainya), atau kelompok masyarakat luas. Bila dilakukan oleh pemerintah dan institusi publik maka dikategorikan sebagai public procurement, namun jika dilakukan oleh institusi privat (swasta) maka dikategorikan sebagai private procurement.77
Jadi yang membedakan antara public procurement dan private procurement adalah pelaksana dan penggunanya. Jika pengadaan publik maka dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum atau institusi/lembaga pemerintah. Jika pengadaan privat, maka pelaksananya adalah badan hukum swasta atau institusi privat. Berdasarkan atas penggunanya, Edquist et.al., membedakan public pro-
curement atas direct procurement dan catalic procurement. Pada direct public procurement, institusi publik menjadi pelaksana pengadaan sekaligus merupakan pengguna dari barang/jasa yang diadakan. Oleh sebab itu, secara intrinsik motivasi kebutuhan dan pengusulan pengadaan berasal dari pelaksana pengadaan yang sekaligus juga penggunanya. Pada catalic procurement, pelaksana pengadaan melakukan pengadaan atas nama dan untuk pengguna barang/jasa, namun motivasi kebutuhan dan pengusulan pengadaan berasal dari pelaksana pengadaan bukan dari penggunanya. Selain kedua tipe pengadaan tersebut, dikenal pula tipe campuran yang disebut cooperative public procurement, di mana pelaksana pengadaan melakukan pengadaan atas nama dan untuk pengguna barang/jasa, namun
77 Ibid., hlm. 12.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah112
motivasi kebutuhan dan pengusulan pengadaan berasal dari pengguna atau motivasi kebutuhan dari pengguna dan pengusulan pengadaan dan pelaksanaan pengadaan dilakukan oleh pelaksana pengadaan. Sebagai contoh tipe cooperatif adalah pembangunan pasar, usulan pembangunan dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota (dinas pasar), bukan oleh penggunanya (pedagang pasar dan masyarakat konsumen), dan pelak sanaannya dapat dilakukan oleh pemerintah provinsi.78
Menurut pendapat Edquist et.al., tersebut, maka ada tiga jenis pengadaan, yaitu public procurement atas direct procurement, catalic procurement, dan cooperative public procurement, di mana yang membedakan antara ketiga jenis pengadaan ini adalah pelaksana dan penggunanya. Meskipun banyak jenis dalam peng adaan barang/jasa pemerintah, tujuan pengadaan tersebut tetap untuk kepentingan umum dengan sumber dana yang berasal dari uang negara, sehingga pelaksanaannya harus sesuai dengan prinsipprinsip dan etika dalam peng adaan barang/jasa pemerintah.
Semua pengadaan barang/jasa pemerintah, entah sumber dananya berasal dari APBN atau APBD maupun dana masyarakat yang dikelola oleh institusi pemerintah, maka seluruh kegiatan dan proses pengadaannya harus mengacu dan mengikuti Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015.
2. Aktivitas Pengadaan Barang dan JasaTahapan proses pengadaan barang/jasa pemerintah terdiri atas tiga tahap global, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.79 Cakupan aktivitas pengadaan meliputi lima kegiatan utama, yaitu rencana pengadaan, proses pengadaan, penerimaan dan penyimpanan, serta pemakaian dan manajemen aset, dan tiga transaksi, yaitu transaksi pembelian barang/jasa (kontrak), transaksi penerimaan barang/jasa, dan transaksi pengeluaran atau penggunaan barang/jasa.
Pengadaan barang/jasa pemerintah ini sebenarnya tidak harus diadakan dalam bentuk lelang atau dikerjakan oleh pihak lain atau di luar sistem pemerintahan. Pengadaan barang/jasa tersebut dibagi menjadi dua bagian yang samasama krusial, yakni sebagai berikut.80
78 Ibid., hlm. 12–13.79 Marzuqi Yahya dan Endah Fitri Susanti, op.cit., hlm. 12.80 Ibid.
Bab 2 Landasan Teori 113
a. Bagian yang bisa ditangani sendiri oleh instansi terkait, sehingga tidak perlu mengadakan lelang kepada pihak luar untuk menangani pengadaan barang dan jasa tersebut.
b. Bagian yang memang harus dilelang atau ditawarkan kepada pihak luar pemerintah agar turut melaksanakan pengadaan barang dan jasa tersebut. Ada kompensasi nilai pengadaan barang dan jasa tersendiri jika dikerjakan oleh pihak luar melalui lelang.
Melihat pembagian di atas, pengadaan barang/jasa yang dapat ditangani oleh instansi itu sendiri dapat menghemat anggaran dan tidak perlu menempuh proses lelang yang sangat panjang dan berbelitbelit. Adakalanya instansi tidak dapat melaksanakan pengadaan barang/jasa sendiri karena ketidaktahuan mengenai barang/jasa yang dibutuhkan, sehingga memerlukan bantuan pihak luar yang lebih ahli dan profesional mengenai barang/jasa yang dibutuhkan. Tentunya melalui proses lelang untuk memberikan pekerjaan kepada pihak luar yang berkompeten di bidangnya, dan memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk meningkatkan usaha dan berpartisipasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Pengadaan barang/jasa pemerintah juga dapat dilakukan secara swakelola. Pekerjaan yang dapat diswakelola di antaranya pekerjaan yang bersifat rahasia, pekerjaan yang secara rinci tidak dapat dihitung/ditentukan terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa akan menanggung risiko besar. Pekerjaan tersebut dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi dan pembiayaan nya tidak perlu dilakukan dengan cara pelelangan, pemilihan langsung dan penunjukan langsung, atau pengadaan langsung dan/atau tidak diminati oleh penyedia barang/jasa, dan pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) yang bersifat khusus untuk pengembangan teknologi/metode kerja yang belum dapat dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa.
Pengadaan barang/jasa dengan menggunakan model penunjukan langsung dapat dilakukan karena memenuhi alasan dan syaratsyaratnya untuk dilakukan penunjukan langsung, misalnya pekerjaan yang bersifat mendesak, pekerjaan lanjutan dari pekerjaan yang sedang dilaksanakan berdasarkan kontrak yang telah ada harga satuan tetap dan secara teknis merupakan satu kesatuan kegiatan yang tidak dapat dipecahpecahkan dari pekerjaan sebelumnya, dan pekerjaan tambahan yang tidak dapat dielakkan dalam rangka penyelesaian pengadaan barang/jasa yang dapat dipertanggungjawabkan secara profesional dengan standar harga yang tidak berubah.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah114
Harga
Rencana Pengadaan
Proses Pengadaan
Inspeksi & Penerimaan Pembayaran
Harga
Pengumuman Penawaran
Evaluasi Kontrak
Monitoring
Simpan
Pemakaian Manajemen Aset
Kuantitas Katalog Kualifikasi Pemasok
Sistem Manajemen Pemasok
Sumber: LKPP
Gambar 2.3 Aktivitas Pengadaan Barang dan Jasa
Aktivitas pengadaan barang/jasa dibagi ke dalam empat bagian yang meliputi:81
a. perencanaan pengadaan; b. proses pengadaan; c. penyimpanan barang; d. penggunaan barang dan manajemen aset.
Pada bagian perencanaan pengadaan, diawali dengan adanya sejumlah per mintaan/kebutuhan akan barang/jasa yang berasal dari instansi/lembaga pemerintah selaku pengguna (user) kepada pelaksana pengadaan atau pengelola. Untuk memastikan adanya permintaan tersebut dan diyakini dapat dilaksanakan karena tersedianya anggaran, mulailah dilakukan langkahlangkah untuk
81 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, op.cit., hlm. 16.
Bab 2 Landasan Teori 115
mempersiapkan segala sesuatunya dengan mengindentifikasi dan memastikan jumlah, jenis, dan volume barang/jasa yang dibutuhkan oleh instansi/lembaga. Beberapa hal yang perlu diidentifikasi berkaitan dengan kebutuhan akan barang/jasa meliputi informasi yang berkaitan dengan jenis barang, spesifikasi barang, harga, jumlah barang yang diperlukan, dan lokasi penggunaan barang. Sumber informasi untuk keperluan ini adalah pengguna itu sendiri, sebab penggunalah yang paling tahu akan kebutuhannya.
Untuk memperoleh berbagai jenis, tipe, dan jumlah barang/jasa biasanya diperoleh melalui pembelian atau pembuat. Suatu barang/jasa dapat diperoleh dengan cara pembelian jika barang tersebut sudah ada dan biasanya dipamerkan di show room atau tempattempat penjualan barang agar konsumen/pengguna melihat langsung dan dapat memilih jenis dan kualitas barang yang dibutuhkan.
Sebagai contoh adalah kebutuhan alat berat berupa mesin, atau ATK dan seterusnya bisa diperoleh dengan cara melakukan transaksi pembelian, dan tidak perlu melalui proses lelang, dan pembelian ini dapat dilakukan sendiri oleh instansi terkait yang membutuhkan.
Pengadaan barang/jasa diawali dari perencanaan. Dari proses perencanaan, kemudian pengadaan barang/jasa dilanjutkan dengan proses pelaksanaan dan pengawasan selanjutnya dikerjakan dan diawasi sendiri dengan menggunakan tenaga dan alat sendiri, walaupun dimungkinkan mengunakan sumber daya dari luar.
Perencanaan dilakukan agar aktivitas pengadaan barang/jasa yang nanti akan dilaksanakan tidak menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan, sehingga diperlukan perencanaan yang matang dan efisien untuk melangkah ke tahap selanjutnya. PA dan KPA yang bertugas menangani perencanaan pengadaan barang/jasa. Rencana pengadaan tersebut harus melihat pada kebutuhan barang/jasa dalam instansi yang membutuhkan. Susunan rencana umum pengadaan barang dan jasa pemerintah ini dilakukan dengan mengidentifikasi kebutuhan, menyusun dan menetapkan rencana anggaran, menetapkan kebijakan umum, penyusunan KAK, serta pengumuman rencana umum pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Setelah tahap perencanaan, dilanjutkan dengan pemilihan metode dan evaluasi penawaran. Metode pemilihan rekanan ini terdiri atas 10 (sepuluh jenis), yakni kontes, sayembara, penunjukan langsung, pengadaan langsung, pemilihan langsung, seleksi sederhana, pelelangan sederhana, pelelangan terbatas, seleksi umum, dan pelelangan umum.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah116
Metode pemilihan digunakan bila terbatas jumlah penyedia barang/jasa yang sesuai dengan kualifikasi atau klasifikasinya. Pemilihan dilakukan dengan mengundang lebih dari 1 (satu) penyedia barang/jasa melalui permintaan penawaran dan negosiasi secara bersaing, sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, dilihat dari segi kepraktisan pemilihan dapat juga dilakukan sebagai proses lebih lanjut atas pelelangan ulang yang mengalami kegagalan.
Metode pelelangan (tender) digunakan bila terdapat tak terbatas jumlah penyedia barang/jasa yang sesuai dengan kualifikasi atau klasifikasinya. Pelelangan dimaksudkan untuk menciptakan persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat berdasarkan tata cara lelang yang transparan dan berkeadilan, sehingga terpilih penyedia barang/jasa terbaik.
Pelelangan secara luas dan terbuka melalui papan pengumuman resmi, dan/atau media cetak/elektronik. Selain itu, dimungkinkan pula pembelian langsung yang merupakan pengadaan barang/jasa yang dilakukan secara langsung kepada penyedia barang/jasa tanpa melalui proses pelelangan atau pemilihan langsung.
Pengadaan barang/jasa tertentu dapat dilakukan dengan cara pembelian langsung karena harganya standar dan tetap misalnya BBM, nilainya kecil, atau karena alasan situasional misalnya pekerjaan yang tidak dapat ditundatunda lagi karena telah terjadi keadaan kahar.
Barang yang dibeli diharapkan akan datang di gudang dari penyedia sesuai dengan apa yang tertera dalam transaksi pembelian (kontrak), baik jenis barang, spesifikasi, jumlah, dan waktunya. Sebelum barang disimpan di dalam gudang, perlu diperhatikan transaksi penerimaan barang antara penyedia dengan pengelola.
Setelah menentukan metode yang akan digunakan untuk memilih rekanan, dilanjutkan dengan menentukan metode kualifikasinya. Ada dua metode kualifikasi, yakni prakualifikasi dan pascakualifikasi. Jika penilaian kualifikasi, baik menggunakan metode prakualifikasi dan pascakualifikasi sudah dilalui, kemudian dilanjutkan dengan penetapan metode penyampaian dokumen. Penyampaian dokumen tersebut terdiri atas metode satu sampul dan metode dua sampul.
Tahap selanjutnya adalah penetapan metode evaluasi penawaran oleh pejabat yang bersangkutan. Metode atau tahapan evaluasi penawaran yang digunakan oleh ULP atau pejabat pengadaan terdiri dari tiga tahap, yakni evaluasi administrasi, evaluasi teknis, dan evaluasi harga. Untuk evaluasi
Bab 2 Landasan Teori 117
penawaran harga, ULP dan pejabat pengadaan dapat memilih salah satu metode dalam pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya, yakni sistem gugur, sistem nilai, atau sistem penilaian biaya selama umur ekonomis.
Tahap selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah penetapan jenis kontrak serta perjanjian. Kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah yang dila kukan oleh ULP atau pejabat pengadaan terdiri dari beberapa jenis, yaitu sebagai berikut.a. Kontrak berdasarkan cara pembayaran yang dilakukan oleh pihak peme
rintah:1) kontrak lump sum;2) kontrak harga satuan;3) kontrak gabungan;4) kontrak persentase;5) kontrak terima jadi atau turn key.
b. Kontrak berdasarkan pembebanan tahunan anggaran:1) kontrak tahun tunggal;2) kontrak tahun jamak.
c. Kontrak berdasarkan sumber pendanaan:1) kontrak pendanaan tunggal;2) kontrak pengadaan bersama;3) kontrak payung.
d. Kontrak berdasarkan jenis pekerjaan:1) kontrak pengadaan pekerjaan tunggal;2) kontrak pengadaan pekerjaan terintegrasi.Untuk kelengkapan pencalonan diri atau badan usaha sebagai rekanan
dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, maka calon rekanan harus menyusun dokumen dan jaminan atas pengadaan barang/jasa. Dokumen ini disebut dokumen penawaran, yang nantinya akan dievaluasi oleh panitia pengadaan. Setelah melakukan evaluasi dokumen penawaran dari rekanan, maka akan dibuat BAHP dan dilanjutkan dengan penetapan pemenang lelang. Setelah panitia pengadaan menetapkan pemenang lelang, lalu nama pemenang diumumkan. Selain nama pemenang lelang, pengumuman tersebut juga harus memuat nama paket pekerjaan pengadaan barang/jasa dan nilai HPSnya, alamat pemenang, NPWP, serta hasil evaluasi sampul 1 dan sampul 2.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah118
Bila transaksi penerimaan barang semuanya sudah selesai, selanjutnya bagian keuangan akan melakukan pembayaran kepada rekanan, dan pengelola gudang akan menyimpan barang yang diserahkan di gudang, yang tentunya diperiksa terlebih dahulu apakah barang yang diserahkan sesuai dengan kualifikasi dan kontrak. Pengelola gudang akan mengisi kartu stok agar penambahan barang dan status pengadaan tercatat sebagaimana mestinya. Bagian gudang bertanggung jawab atas barang yang ada di dalam gudang.
Kegiatan ini merupakan bagian akhir dari kegiatan pengadaan, dan di sinilah terjadi interaksi antara pengelola dengan pengguna. Interaksi penggunaan barang dimulai dengan adanya permintaan barang dari pengguna yang ditandai dengan adanya nota permintaan barang (order dari pengguna). Berdasarkan nota ini, bagian gudang akan memverifikasi apakah barang yang diminta pengguna dapat dipenuhi atau tidak. Jika tidak, proses pembelian perlu dilakukan. Jika barang tersedia, akan dilakukan transaksi pengeluaran barang dari gudang.
Pengeluaran barang dari gudang harus ada nota permintaan barang yang berasal dari pengguna, dan transaksi pengeluaran barang harus ditandatangani bersama antara penerima dan pemberi barang. Setiap transaksi pengeluaran barang dicatat pada kartu stok barang. Untuk barang modal (kapital), maka akan dilakukan pencatatan barang sebagai aset.
Dalam praktiknya, aspek operasional sangat terkait dengan kelancaran dan keefisienan sistem pengadaan, bahkan kinerja sistem pengadaan sangat bergantung pada kinerja aspek operasional ini. Kebijakan pengadaan yang optimal tidak mungkin bisa dicapai tanpa didukung oleh berjalannya aspek operasional ini dengan baik. Oleh sebab itu, perlu kiranya untuk memahami dan mengelola pengadaan sesuai dengan urutan siklus pengadaannya.
3. Para Pihak Terkait dalam Pengadaan Barang/JasaDalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah ada beberapa pihak yang saling terkait. Para pihak yang terkait dalam pengadaan barang/jasa pemerintah harus memahami hak dan kewajibannya masingmasing, dan memenuhi serta menjalankan peraturan. Perlu adanya sikap keterbukaan dan saling memberikan masukan agar selama proses pengadaan barang/jasa dapat berjalan dengan baik dan lancar, serta tidak merugikan para pihak. Meskipun para pihak disyaratkan saling mengenal dan bekerja sama dengan baik, akan tetapi tidak boleh
Bab 2 Landasan Teori 119
menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki masingmasing dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan yang dapat merugikan keuangan negara. Aktivitas pengadaan dilakukan oleh berbagai pihak terkait yang dapat
diklasifikasikan atas tiga pelaku utama, yaitu pengguna/pengusul, penyedia barang/jasa, dan pelaksana pengadaan. Pengguna/pengusul pengadaan barang/jasa adalah individu (pejabat) atau unit organisasi yang diberikan kewenangan untuk mengusulkan pengadaan barang/jasa.82
Pengusul atau pengguna barang merupakan unit organisasi yang merepre sentasikan pengguna dan mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pengadaan barang/jasa. Penyedia barang/jasa adalah individu atau badan usaha yang menjadi peserta penyedia barang/jasa dan pihak lain yang secara hukum mempunyai kapasitas untuk mengadakan ikatan perjanjian. Penyedia barang/jasa harus profesional, mempunyai kemampuan teknis dan manajerial, berpengalaman, SDM yang memadai, modal yang cukup, peralatan, dan fasilitas lain yang memenuhi persyaratan yang diajukan oleh panitia pengadaan. Pelaksana pengadaan adalah pihak yang melakukan pengadaan yang dimulai dari proses permintaan barang/jasa sampai dengan penunjukan pemenang pengadaan dan tersedianya barang/jasa siap digunakan oleh penggunanya.
Beberapa pihak yang terkait dengan pengadaan, yaitu sebagai berikut.a. PA (Pengguna Anggaran) dan KPA (Kuasa Pengguna Anggaran).b. PPK (Pejabat Pembuat Komitmen).c. ULP (Unit Layanan Pengadaan).d. Panitia atau pejabat penerima hasil pekerjaan.e. Penyedia barang dan/atau jasa (rekanan/kontraktor).
Pengadaan barang/jasa pemerintah harus dilaksanakan sesuai prinsipprinsip dasar pengadaan, yakni efektif, efisien, transparan, kompetitif, adil, dan akuntabel.
4. Prinsip dan Etika Pengadaan Barang/JasaAgar pengadaan barang/jasa mencapai tujuan sesuai dengan kriteria kinerja yang diharapkan, maka pengadaan barang/jasa pemerintah harus sesuai dengan prinsip dasar, etika pengadaan, dan ketentuan umum pengadaan barang/jasa berikut ini.
82 Ibid., hlm. 21.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah120
a. Prinsip Dasar PengadaanPengadaan barang/jasa dilaksanakan dengan menggunakan prinsip dasar sebagai berikut.83
1) Transparan.2) Adil.3) Bertanggung jawab. 4) Efektif.5) Efisien.6) Kehatihatian.7) Kemandirian.8) Integritas. 9) Good corporate governance.
Untuk menjamin terselenggaranya akuntabilitas terhadap kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah disyaratkan adanya keterbukaan dengan memberikan perlakuan yang sama terhadap semua penyedia barang/jasa sebagai bentuk kesungguhan dan tanggung jawab panitia dalam melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah agar dapat berjalan efektif dan efisien. Untuk mencegah adanya permasalahan hukum di kemudian hari, maka panitia wajib menggunakan prinsip kehatihatian, memperteguh kemandirian dengan cara menghindari adanya upayaupaya pihak lain untuk memengaruhi arah keputusan panitia dalam memutuskan pemenang lelang. Hal ini sebagai wujud adanya integritas panitia selaku aparat birokrat dalam menciptakan suasana good corporate governance.
Untuk melaksanakan sembilan prinsip yang disebutkan di atas, bila kita kaitkan dengan regulasi Perpres tentang pengadaan barang/jasa pemerintah yang ada saat ini tampaknya masih mengalami kendalakendala yang cukup signifikan, karena di dalam Perpres tersebut ditemukan adanya masalahmasalah yuridis diikuti dengan masalah struktur dan masalah budaya. Oleh karena itu, penulis memandang perlu dilakukan reformasi kebijakan hukum birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah dengan menawarkan tiga model ideal pengadaan barang/jasa pemerintah, yaitu model ideal kebijakan dalam substansi hukum, model ideal dalam struktur hukum, dan model ideal dalam budaya hukum.
83 Ibid., hlm. 22–23.
Bab 2 Landasan Teori 121
Pelaksana pengadaan barang atau jasa harus berkomitmen penuh untuk meme nuhi etika pengadaan dengan cara memenuhi prinsipprinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
b. Etika PengadaanBicara tentang etika dalam kegiatan pengadaan barang/jasa, pemerintah tentu harus didekatkan dengan prinsipprinsip yang wajib diperhatikan dan dilaksanakan agar tidak terjadi permasalahan hukum di kemudian hari, baik yang berkaitan dengan kepentingan pengguna barang/jasa maupun yang berkaitan dengan kepentingan penyedia barang/jasa pemerintah. Oleh karena itu, panitia pengadaan barang/jasa pemerintah dalam melaksanakan kegiatannya perlu memerhatikan langkahlangkah yang uraikan di bawah ini.
Hal berikut akan membantu dalam mencapai tujuan pengadaan barang/jasa, di antaranya adalah:84
1) memastikan bahwa proses pengadaan barang/jasa dilaksanakan dengan mengikuti prinsip dasar dan etika pengadaan barang/jasa;
2) memastikan bahwa proses pengadaan barang/jasa mengikuti pedoman kebijakan dan prosedur pengadaan barang/jasa dan tidak bertentangan dengan ketentuan lainnya yang lebih tinggi;
3) memastikan bahwa pengadaan barang/jasa oleh penyedia barang/jasa telah dilakukan peninjauan secara administratif, teknikal, dan finansial serta dapat dipertanggungjawabkan dalam hal biaya dan kualitas;
4) memastikan proses pengadaan barang/jasa dilaksanakan secara kompetitif dengan tetap memerhatikan aspek perekonomian dan efisiensi pelaksanaannya;
5) menggunakan standar kontrak (term and condition) yang telah ditetapkan;6) memastikan pengadaan barang/jasa dilaksanakan sesuai dengan perjanjian
(kontrak/PO) yang disetujui antara pelaksana pengadaan dengan penyedia barang/jasa;
7) dilarang melakukan pengadaan barang/jasa yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Jika pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah dalam setiap tahap prosesnya mengikuti aturan yang telah ditetapkan, disertai dengan sikap
84 Ibid., hlm. 24–25.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah122
yang konsisten dalam melaksanakan prinsip dan etika pengadaan, alhasil penyimpangan yang terjadi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah tidak akan terjadi.
E. TINDAK PIDANA KORUPSI 1. Definisi KorupsiDalam bahasa Sansekerta yang tertuang dalam Naskah Kuno Negara Kertagama arti harfiah corrupt menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan.85 Jadi, zaman kerajaan di Indonesia pun sudah mengenal adanya korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang bermaksud tidak baik terhadap keuangan, entah itu keuangan milik negara maupun orang pribadi.
Menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa, seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”. Arti harfiah dari kata korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, katakata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.86
Banyaknya asal kata dari kata korupsi ini, berarti di berbagai negara di dunia tidak terlepas dari masalah korupsi. Secara umum korupsi ini merupakan suatu perbuatan yang tidak baik dan sangat tercela dan merugikan orang lain atau pihak lain yang hanya ingin menguntungkan dirinya sendiri.
Dalam pengertian lain, korupsi dapat pula dilihat sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip, artinya dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, baik dilakukan oleh perorangan di sektor swasta maupun pejabat publik menyimpang dari aturan yang berlaku.87
85 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Cetakan Keempat, Alumni, Bandung, 1996, hlm. 115. 86 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1991, hlm. 4.87 Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan
Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Referensi, Jakarta, 2012, hlm. 83.
Bab 2 Landasan Teori 123
Dari pengertian korupsi tersebut, menurut penulis tindakan korupsi yang dimaksud sebagai perbuatan atau tindakan sewenangwenang dan melanggar peraturan. Jadi korupsi tidak hanya ditujukan untuk mengambil keuntungan yang dinilai dengan uang, namun lebih dari itu. Dwi Saputra memberikan pengertian bahwa korupsi juga dipahami sebagai
suatu tindakan pejabat publik yang menyelewengkan kewenangan untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan kelompok yang mengakibatkan kerugian negara.88 Dalam pengertian ini korupsi terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh pejabat publik untuk mengambil keuntungan dengan jabatan yang didudukinya.
Pengertian korupsi yang dikemukakan oleh Dwi Saputra tersebut senada dengan definisi korupsi yang dinyatakan oleh Jeremy Pope, yaitu: ”Penyalah gunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Korupsi mencakup perilaku pejabatpejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orangorang yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada mereka”.89
Definisi lain korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugastugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau melanggar aturanaturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.90
Robert Klitgaard mendefinisikan korupsi sebagai tindakan memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja.91 Maksudnya adalah pejabat atau PNS meminta uang jasa dari pengguna layanan dan menyalahgunakan kewenangan yang diberikan untuk maksud mencari keuntungan pribadi, atau sengaja tidak melaksanakan tugas yang diberikan sehingga mengakibatkan kekacauan dan kerugian bagi pihak lain atau instansi.
88 Dwi Saputra dkk., Tiada Ruang Tanpa Korupsi, Cetakan Pertama, KP2KKN Jawa Tengah, Semarang, 2004, hlm. 27.
89 Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional, Edisi Kesatu, Transparency Internasional Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 6 dan 7.
90 Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 31.91 Robert Klitgaard dkk., Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Alih
Bahasa Masri Maris, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 3.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah124
Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. Secara umum, korupsi dipahami sebagai suatu tindakan pejabat publik yang menyelewengkan kewenangan untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan kelompok yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Robert Klitgaard merumuskan korupsi dalam sebuah proposisi matematis, yaitu dengan rumusan berikut.92
Rumus Matematis Korupsi:
C = M + D – ACorruption = Monopoly Power + Discretion by Official – Accountability
Dari rumus matematis korupsi yang dikemukakan oleh Robert Klitgaard tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa korupsi terjadi di mana terdapat mono poli atas kekuasaan dan diskresi (hak untuk melakukan penyimpangan kepada suatu kebijakan), tetapi dalam kondisi tidak adanya akuntabilitas atau tidak bertanggung jawab.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendefinisikan korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.93 Pengertian korupsi sebagaimana dikemukakan oleh BPKP sangat luas artinya, tidak hanya menyangkut perbuatan yang merugikan keuangan negara tetapi perbuatanperbuatan yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas, seperti penipuan, pemalsuan, dan sebagainya. Lubis dan Scott dalam pandangannya tentang korupsi disebutkan bahwa
dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batasbatas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut normanorma pemerintah dapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela.94
92 Ibid.93 Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, Pena Mukti Media,
Cimanggis Depok, 2008, hlm. 2.94 I.G.M. Nurdjana, Sistem Hukum Pidana … loc.cit., hlm. 16.
Bab 2 Landasan Teori 125
Definisi korupsi menurut Lubis dan Scott ini hampir sama dengan definisi korupsi yang diberikan oleh BPKP. Definisi korupsi menurut Lubis dan Scott ini dibedakan menjadi dua, yakni dalam arti korupsi yang merupakan tingkah laku pejabat pemerintah yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain. Dalam arti norma, korupsi berarti tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan tersebut merupakan perbuatan tercela. Jadi, definisi korupsi ini tidak hanya terpusat pada kerugian keuangan negara, tetapi lebih dari itu, yakni sebagai perbuatan yang merugikan orang lain.
Beberapa pengertian korupsi lainnya, antara lain sebagai berikut.95
a. Rumusan korupsi dari sisi pandang teori pasar.
Jacob van Klaveren mengatakan bahwa seorang pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor/instansinya sebagai perusahaan dagang, sehingga dalam pekerjaannya akan diusahakan memperoleh pendapatan sebanyak mungkin.
Dalam teori ini, pelaku memandang untungrugi. Tentunya untunglah yang diinginkan. Pelaku menjual jasanya kepada pihak lain, misalnya dalam pelayanan publik, pelaku meminta uang jasa yang lebih banyak daripada biaya pelayanan yang seharusnya diberikan. Pelaku akan bermain dengan lama waktu pelayanan, jika uang imbalan yang diberikan banyak, tentunya pelayanan akan dipercepat. Jika uang imbalan yang diberikan sedikit, jangan harap pengguna layanan akan diberikan kemudahan.
b. Rumusan yang menekankan titik berat jabatan pemerintahan.
M. Mc. Mullan mengatakan bahwa seorang pejabat pemerintahan dikatakan korup apabila menerima uang sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan dalam tugas dan jabatannya, padahal ia tidak diperbolehkan melakukan hal seperti itu selama menjalankan tugasnya.
J.S. Nye berpendapat bahwa korupsi adalah perilaku yang menyimpang dari atau melanggar peraturan kewajibankewajiban normal peran instansi pemerintah dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh, status, dan gengsi untuk kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan, atau teman).
95 I.G.M. Nurdjana, Korupsi dalam Praktik Bisnis, Pemberdayaan Penegakan Hukum, Program Aksi dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 8–10.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah126
Dari kedua definisi tersebut, maka korupsi ini dilakukan oleh pejabat pemerintahan dengan menerima suap dari pengguna layanan yang seharusnya hal itu tidak boleh dilakukan oleh pejabat pemerintah karena menyimpang dari peraturan. Pejabat ini memanfaatkan status dan pengaruhnya sebagai pejabat hanya untuk mencari keuntungan pribadi.
c. Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum.
Carl J. Friederich menyatakan bahwa apabila seseorang yang memegang kekuasaan atau yang berwenang untuk melakukan halhal tertentu meng harapkan imbalan uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undangundang, membujuk untuk mengambil langkah atau menolong siapa saja yang menyediakan hadiah sehingga benarbenar membahayakan kepentingan umum.
Definisi korupsi tersebut terpusat pada kerugian yang diakibatkan oleh tindakan pelaku terhadap kepentingan umum. Pelaku menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangannya untuk memperoleh imbalan dan keuntungan. Pelaku bersedia membantu pengguna layanan, jika pengguna layanan mau memberikan imbalan lebih kepada pelaku. Pengguna layanan yang tidak mau memberikan imbalan akan dipersulit, sehingga hal ini sangat merugikan kepentingan umum.
d. Rumusan korupsi dari sisi pandang sosiologi.
Syeh Hussein Alatas mengatakan bahwa terjadinya korupsi adalah apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seseorang dengan maksud memengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingankepentingan si pemberi. Kadangkadang juga berupa perbuatan menawarkan pemberian uang hadiah lain yang dapat menggoda pejabat. Termasuk dalam pengertian ini juga pemerasan, yakni permintaan pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugastugas publik yang mereka urus bagi keuntungan mereka sendiri.
Korupsi dalam pengertian ini terkait dengan tugastugas yang diberikan pejabat untuk memberikan pelayanan kepada publik. Dalam tugastugas tersebut, misalnya dalam hal perizinan jika persyaratan sudah dipenuhi maka pejabat dapat mengeluarkan izin tersebut. Kadang persyaratan yang kurang dalam hal pembuatan perizinan tersebut dijadikan kesempatan untuk mencari keuntungan, atau pengguna layanan memengaruhi pejabat
Bab 2 Landasan Teori 127
agar mengeluarkan izin yang diminta dengan imbalan hadiah. Tugastugas publik tersebut dijadikan objekan bagi pejabat untuk mendapatkan keuntungan.
Dari beberapa pendapat para ahli yang diuraikan tersebut, penulis berpendapat bahwa korupsi pada hakikatnya merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang atau suatu korporasi yang secara yuridis bertentangan dengan asasasas hukum dan secara sosiologis melanggar etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat mengakibatkan terjadinya kerugian negara baik berupa uang maupun berupa barang.
Menurut hemat penulis, korupsi itu terjadi berulangulang karena telah menjadi suatu kebiasaan dalam masyarakat untuk mempermudah dalam mendapatkan pelayanan dari pemerintah, dan sebaliknya pejabat pemerintah menggunakan kesempatan itu untuk memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya. Jadi hal ini terkait dengan perilaku dari anggota masyarakat dan pejabat pemerintah yang korup, karena dalam kenyataannya masih ada masyarakat yang tidak mau melakukan korupsi.
Korupsi terjadi bila ada niat dan kesempatan. Apabila manajemen terkontrol dengan baik, maka keluar masuknya aliran dana dapat terdeteksi. Namun demikian, tidak dapat menyalahkan manajemen begitu saja, moral yang ada pada diri manusialah yang dapat membentengi seseorang dari setiap perbuatan tercela.
Modernisasi juga merupakan salah satu penyebab yang mengembangbiakkan korupsi. Huntington menyatakan sebagai berikut ini.96
a. Modernisasi membawa perubahanperubahan pada nilai dasar atas masyarakat.
b. Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena modernisasi membuka sumbersumber kekayaan dan kekuasaan baru. Hubungan sumbersumber ini dengan kehidupan politik tidak diatur oleh normanorma tradisional yang terpenting dalam masyarakat, sedangkan normanorma baru dalam hal ini belum dapat diterima oleh golongangolongan berpengaruh dalam masyarakat.
96 Samuel P. Huntington, Modernisasi dan Korupsi, karangan dalam buku Mochtar Lubis dan James C. Scott, Bunga Rampai KaranganKarangan Mengenai Etika Pegawai Negeri (Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1977, hlm. 133) sebagaimana dikutip Andi Hamzah, op.cit., hlm. 20.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah128
c. Modernisasi merangsang korupsi karena perubahanperubahan yang diakibatkannya dalam bidang kegiatan sistem politik. Modernisasi terutama di negaranegara yang memulai modernisasi lebih kemudian, memperbesar kekuasaan pemerintah dan melipatgandakan kegiatankegiatan yang diatur oleh peraturanperaturan pemerintah.
Modernisasi ini membawa perubahan di berbagai bidang. Modernisasi juga memengaruhi sistem politik. Dengan adanya modernisasi terjadi banyak perkembangan, tidak hanya dalam gaya hidup tetapi juga kekuasaan. Normanorma yang ada dan masih menggunakan norma tradisional belum mampu membendung efek negatif dari modernisasi.
Dengan alasan modernisasi, pejabat dengan dalih untuk mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain mulai berupaya melakukan kegiatankegiatan yang dinilai sebagai dapat memajukan kehidupan masyarakat dengan meniru gaya hidup negara lain, misalnya studi banding ke luar negeri, yang biayanya dibebankan pada APBN/APBD yang tentunya tidak sedikit.
Modernisasi juga memberikan dampak perluasan kekuasaan, siapa yang mempunyai kekuasaan yang besar dialah yang dihormati. Inilah yang terjadi saat ini, sehingga pegawai di tingkat bawah harus tunduk pada penguasa.
Demikian pula terhadap kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah dengan model kebijakan yang ada saat ini, di bawah payung Peraturan Presiden ternyata belum mampu mencegah terjadinya tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara. Abdul Rahman Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip oleh Rohim menyatakan
bahwa sebab utama korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah dalam kelompok yang memerintah. Korupsi pada kelompok penguasa menyebabkan kesulitankesulitan ekonomi, dan kesulitan ini pada akhirnya akan menimbulkan korupsi baru.97
Jika melihat definisi yang dikemukakan oleh Abdul Rahman Ibnu Khaldun, korupsi itu bersumber dari jiwa yang kotor, atau keinginan yang tidak baik dari sekelompok orang yang duduk dalam pemerintahan dengan menyalahgunakan kekuasaan yang diamanatkan kepadanya. Jadi, korupsi ini berangkat dari kemauan atau keinginan dari seseorang. Apabila seseorang tidak mempunyai kemauan atau keinginan untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, niscaya perbuatan korupsi tidak akan terjadi.
97 Rohim, op.cit., hlm. 6.
Bab 2 Landasan Teori 129
Korupsi itu tidak pernah membawa akibat positif, Gunnar Myrdal memberikan pendapat sebagai berikut.98
a. Korupsi memantapkan dan memperbesar masalahmasalah yang menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan mengenai kurang tumbuhnya pasaran nasional.
b. Korupsi mempertajam permasalahan masyarakat plural, sedang bersamaan dengan itu kesatuan negara bertambah lemah. Juga karena turunnya martabat pemerintah, tendensitendensi itu membahayakan stabilitas politik.
c. Korupsi mengatakan turunnya disiplin sosial. Uang suap itu tidak hanya dapat memperlancar prosedur administrasi, tetapi biasanya juga berakibat adanya kesengajaan untuk memperlambat proses admi nistrasi agar dengan demikian dapat menerima uang suap. Di samping itu, pelaksanaan rencanarencana pembangunan yang sudah diputuskan, dipersulit, atau diperlambat karena alasanalasan yang sama. Dalam hal itu Myrdal bertentangan dengan pendapat yang lazim, bahwa korupsi itu harus dianggap sebagai semir pelicin.
Dari pendapat Gunnar Myrdal di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa korupsi lebih banyak menimbulkan kerugian. Selama ini masyarakat berpikir, menjadi seorang PNS memberikan jaminan untuk masa depan, hal itu dikarenakan PNS mempunyai banyak “sampingan”. Masyarakat lebih senang mengikuti seleksi CPNS daripada membuka peluang usaha. Padahal sudah menjadi rahasia umum, untuk menjadi PNS modal yang dikeluarkan sangat besar, yakni “uang masuk” yang harus dibayar oleh CPNS. Menjadi PNS, pekerjaannya mudah, cukup datang, absen, dan pulang. Pekerjaan yang monoton menjadikan PNS tidak kreatif. Korupsi membuka masalah baru dalam masyarakat. Kesenjangan antara pejabat dan rakyat kecil semakin curam. Pejabat yang korupsi semakin kaya, sedangkan rakyat kecil semakin miskin. Pajak dan pungutan yang diberlakukan oleh pemerintah ternyata dihabiskan oleh oknum pejabat yang tidak bertanggung jawab. Tidak salah jika ada yang mengatakan “untuk apa membayar pajak, pejabat yang menikmati, rakyat yang membayar tetapi tidak pernah menikmati”. Korupsi tidak hanya merusak disiplin sosial tetapi juga moral. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa PNS mempunyai “pekerjaan sampingan”, di sini oknum PNS akan meminta sejumlah
98 Gunnar Myrdal, Asian Drama, An Inquiry into the Property of Nations, Penguin Books, Australia Ltd., hlm. 166–167 dan 170, dalam Andi Hamzah, op.cit., hlm. 22.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah130
uang imbalan bagi pengguna layanan untuk mempercepat proses administrasi. Banyak sedikitnya uang imbalan sangat berpengaruh terhadap proses pelayanan publik.
Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Jamal Wiwoho bahwa yang dapat menemukan ada atau tidak adanya korupsi dalam kegiatan pengadaan barang/ jasa pemerintah adalah Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terkait dengan ini penulis sependapat karena undangundang memberi kewenangan kepada Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik dalam perkara tindak pidana korupsi, Kejaksaan diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi.
Jelas bahwa banyak yang masih harus kita ubah kalau kita hendak mengatasi penyakitpenyakit sosial budaya yang parah seperti krisis otoritas, kemacetan administrasi, dan korupsi menyeluruh yang sekarang mengganas dalam masyarakat kita itu. Bagaimana caranya mengubah mentalitas lemah itu dan membina mentalitas yang berjiwa pembangunan? Menurut hemat penulis, ada empat jalan, yaitu: a. dengan memberi contoh yang baik;b. dengan memberi perangsangperangsang yang cocok;c. dengan persuasi dan penerangan; sertad. dengan pembinaan dan pengasuhan suatu generasi yang baru untuk masa
yang akan datang sejak kecil dalam kalangan keluarga.Persoalan korupsi yang sekarang terjadi telah menjadi gurita dan sudah
membudaya dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Hal ini merupakan gambaran dari bobroknya tata pemerintahan di negara ini. Fenomena ini telah menghasilkan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, serta buruknya pelayanan publik. Akibat dari korupsi, penderitaan akan selalu dialami oleh masyarakat, terutama yang berada di bawah garis kemiskinan. Di beberapa daerah terjadi banjir, longsor, infrastruktur hancur, transportasi terganggu, distribusi barang terhambat merupakan efek dari perbuatan korupsi, yang mau tidak mau dirasakan oleh masyarakat yang tidak berdosa yang seharusnya mereka mendapatkan manfaat dari hasil pembangunan yang selama ini rencananya digembargemborkan oleh pemerintah.
Bab 2 Landasan Teori 131
2. Tipologi KorupsiKorupsi dapat terjadi bila ada peluang dan keinginan dalam waktu yang bersamaan. Korupsi dapat dimulai dari sebelah mana saja. Misalnya, suap yang ditawarkan pada seorang pejabat atau seorang pejabat meminta (atau bahkan memeras) uang pelicin. Orang yang menawarkan suap melakukannya karena ia menginginkan sesuatu yang bukan haknya, dan ia menyuap pejabat bersangkutan supaya pejabat itu mau mengabaikan peraturan, atau karena ia yakin pejabat bersangkutan tidak akan mau memberikan kepadanya apa yang sebenarnya menjadi haknya tanpa imbalan uang.
Korupsi terjadi di setiap lapisan masyarakat, tidak saja pejabat yang duduk di pemerintahan, tetapi setiap kelas dalam masyarakat tidak lepas dari apa yang dinamakan dengan korupsi. Berikut adalah klasifikasi KKN yang terjadi di dalam masyarakat, yang secara garis besar dapat digolongkan sebagai berikut. 99
a. Kelas bawah adalah KKN yang dilakukan secara kecilkecilan yang berdampak luas karena menyangkut ujung tombak dari pelaksanaan birokrasi.
b. Kelas menengah adalah KKN yang dilakukan oleh pegawai negeri dan awak birokrasi lainnya, dengan mempergunakan kekuasaan/kewenangan yang ada padanya, karena kedudukannya yang strategis, walaupun tidak memegang kunci kebijakan.
c. Kelas atas adalah KKN yang dilakukan oleh para penentu kebijaksanaan, yang dalam pelaksanaannya bekerja sama dengan para konglomerat atau para pelaku bisnis multi nasional, dengan caracara yang sukar untuk dideteksi.
Mencermati uraian di atas mengenai klasifikasi KKN, penulis berpendapat bahwa masalah KKN dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah dapat terjadi pada semua tingkatan dari tingkat bawah, menengah sampai tingkat atas. Korupsi pada tingkat bawah menjadi persoalan besar karena jumlah pelakunya cukup banyak meskipun jumlah yang dikorupsi relatif kecil, sedangkan korupsi pada tingkat atas menjadi persoalan besar karena nilai uang negara yang dikorupsi jumlahnya cukup besar. Pada umumnya Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK mengetahui telah terjadi tindak pidana korupsi karena ada laporan dari masyarakat.
99 Zakaris Poerba, Kendala dalam Penanganan KasusKasus KKN, dalam Ahmad Gunaryo (Ed.), op.cit., hlm. 201 dan 202.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah132
Menurut Prof. Jamal Wiwoho, laporan yang tersulit tentang korupsi adalah laporan yang disampaikan oleh rekanan kepada Kepolisian, Kejaksaan, serta KPK.
Choesnon sebagaimana dikutip oleh Artidjo Alkostar membedakan macammacam atau jenis perbuatan korupsi sebagai berikut.100
a. Korupsi jenis halus. Korupsi jenis ini lazim disebut uang siluman, uang jasa gelap, komisi gelap,
macammacam pungutan liar, dan sebagainya. Tindak kejahatan seperti ini boleh dikatakan tak tergolong oleh sanksi hukum positif.
b. Korupsi jenis kasar. Korupsi jenis ini kadangkadang masih dapat dijerat oleh hukum kalau
kebetulan kepergok alias tertangkap basah. Beberapa contoh umpamanya meng gelapkan uang negara yang dipercayakan kepada seorang bendaharawan, mempribadikan benda milik negara, mempribadikan bendabenda milik ahli waris (yang notabene tak berdosa) dari oknumoknum yang terjerat oleh hukum karena politik dan lainlainnya. Korupsi kasar semacam ini pun seringsering masih juga bisa luput dari jeratan hukum karena ruparupa faktor “ada main” (hubungan tahu sama tahu yang saling menguntungkan) dan sebagainya.
c. Korupsi yang sifatnya administratif manipulatif. Korupsi semacam ini agak lebih sukar untuk diteliti, kalaupun memang ada
dilakukan penelitian oleh yang berwenang. Umpamanya adalah ongkosongkos perjalanan dinas yang sebenarnya sebagian atau seluruhnya tidak pernah dijalani, ongkos pemeliharaan kendaraan milik negara yang cepat rusak karena terlalu sering dipakai untuk keperluan pribadi, ongkos perbaikan bangunan pemerintah dengan biaya yang sengaja dilebihlebihkan (over begroot), ongkos pemugaran rumah pribadi, dan sebagainya.
Terkait dengan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah, ketiga jenis korupsi yang dikemukakan di atas dapat saja terjadi, misalnya korupsi jenis halus umumnya berupa uang komisi dari rekanan kepada panitia yang telah bekerja sama dalam proses pengadaan barang/jasa; korupsi jenis kasar ini oknum panitia pengadaan barang/jasa dan calon rekanan tertangkap tangan akan
100 Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 74 dan 75.
Bab 2 Landasan Teori 133
melakukan transaksi dan sebagainya; dan yang terakhir adalah korupsi yang bersifat administratif dan manipulatif misalnya mark up atau penggelembungan harga dalam penentuan HPS, pemalsuan dokumen lelang, dan sebagainya.
Alatas sebagaimana dikutip Chaerudin, mengembangkan 7 (tujuh) tipologi korupsi sebagai berikut.101
a. Korupsi transaktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan di antara seorang donor dengan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak.
b. Korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orangorang yang dekat dengan pelaku korupsi.
c. Korupsi investif, yaitu korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa datang.
d. Korupsi nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus, baik dalam pengangkatan kantor publik maupun pemberian proyekproyek bagi keluarga dekat.
e. Korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insiders information) tentang berbagai kebijakan publik yang seharusnya dirahasiakan.
f. Korupsi supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.
g. Korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka memper tahankan diri dan pemerasan.
Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, korupsi menurut tipologi yang dikemukakan oleh Alatas ditemukan dalam halhal berikut ini.a. Korupsi transaktif, misalnya telah terjadi kesepakatan antara calon rekanan
dan oknum panitia pengadaan barang/jasa pemerintah atas pembagian keuntungan yang nantinya akan diperoleh setelah pengadaan barang/jasa selesai dilaksanakan.
b. Korupsi ekstortif, misalnya oknum panitia pengadaan merelokasi tempat penyerahan dokumen penawaran, jika peserta lelang ingin mengetahui secara pasti alamat penyerahan dokumen, oknum panitia akan meminta peserta memberikan “imbalan” atas informasi yang akan diberikan, dengan syarat
101 Chaerudin, dkk., loc.cit., hlm. 3.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah134
agar informasi tersebut tidak disebarluaskan kepada peserta lain atau melaporkannya kepada anggota panitia yang lain. Jika peserta tersebut tidak mau, maka akan dimasukkan daftar hitam peserta lelang yang nantinya perusa haan peserta tidak dapat mengikuti lelang yang akan diadakan pemerintah selanjutnya.
c. Korupsi investif, calon peserta lelang memberikan tawaran kepada panitia lelang agar mau memenangkan peserta lelang dengan memberikan sejumlah imbalan.
d. Korupsi nepotistik, misalnya oknum panitia pengadaan atau pejabat pemerintah hanya akan memberikan proyek pengadaan barang/jasa kepada orangorang terdekatnya. Jalan apa pun akan ditempuh agar orangorang terdekatnya yang memenangkan tender pemerintah.
e. Korupsi otogenik, misalnya oknum panitia pengadaan memberikan informasi yang seharusnya tidak boleh disebarluaskan kepada publik sebelum waktu yang ditentukan. Oknum panitia memberikan bocoran informasi kepada calon peserta yang telah berkolusi dengan oknum panitia terkait dengan proses lelang.
f. Korupsi supportif, misalnya oknum panitia memberikan kemudahan bagi peserta yang telah diajak bekerja sama untuk mendapatkan kemudahankemudahan dalam proses lelang. Persyaratan yang tidak lengkap, namun peserta lolos dalam kualifikasi merupakan bentuk perlindungan dari oknum panitia pengadaan kepada peserta lelang yang telah berkolusi.
g. Korupsi defensif, misalnya oknum panitia meminta sejumlah uang kepada peserta lelang dengan menyatakan merupakan bagian dari proses lelang. Hal ini termasuk dalam penipuan dan pemerasan yang dilakukan secara halus oleh oknum panitia pengadaan barang/jasa.
Maraknya korupsi telah terjadi dari birokrasi tingkat atas sampai tingkat paling bawah, dari tingkat departemen sampai tingkat kelurahan, Hartiwiningsih menyebutkan jenis korupsi yang melanda birokrasi, yakni sebagai berikut.102
a. Discretionery corruption Korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan ke
bi jaksanaan, sekalipun tampaknya bersifat sah, bukanlah praktikpraktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. Misalnya petugas
102 Hartiwiningsih, Perilaku Menyimpang Birokrasi serta Upaya Pertanggungjawabannya, dalam Ahmad Gunaryo, op.cit., hlm. 354 dan 355.
Bab 2 Landasan Teori 135
pengawas yang seolaholah melakukan pengawasan tanpa benarbenar berbuat yang sesungguhnya. Di sini tidak ada peraturan yang dilanggar karenanya risiko pun dapat diperkecil. Jenis korupsi seperti ini sangat sulit, kalau bukan tidak mungkin dideteksi, karena tidak dapat dengan mudah memastikan di mana dan kapan ia berlangsung.
b. Illegal corruption Suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa ataupun
maksudmaksud hukum, peraturan, dan regulasi tertentu. Dalam hal terjadinya aksiaksi seperti ini, risiko yang akan terjadi cukup implisit. Jenis korupsi seperti ini bisa saja dilakukan seseorang dengan tingkat efektivitas tertentu, namun sebaliknya, ia jauh lebih mungkin untuk dikendalikan. Untuk melakukannya diperlukan tingkat kerahasiaan yang cermat.
c. Mercenery corruption Satu jenis korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Ia meliputi kegiatan pemberian uang sogok dan uang semir. Korupsi seperti ini dapat disebut sebagai suatu tindakan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan material dan politis. Ia bisa bersifat ilegal maupun terjadi karena adanya kekuasaan untuk mengeluarkan kebijaksanaan. Misalnya, petugas pengawas yang menerima uang dari suatu perusahaan industri yang menghasilkan limbah sebagai uang semir agar hasil olahan limbah dinyatakan baik, meskipun faktanya tidak memenuhi standar.
d. Ideological corruption Jenis korupsi, baik yang bersifat ilegal maupun diskresioneri yang dimak
sudkan untuk mengejar tujuantujuan kelompok. Misalnya, kasus KKN mantan Presiden Soeharto, yaitu suatu skandal yang dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan kroninya, di mana aparat penegak hukum, khususnya kejaksaan lebih memberikan komitmen ideologis mereka kepada mantan Presiden Soeharto dan kroninya ketimbang kepada undangundang dan hukum.Terkait dengan jenis korupsi yang dikemukakan oleh Hartiwiningsih tersebut,
juga dapat terjadi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, dalam discretionery corruption dalam pengadaan barang/jasa misalnya pengawas penyerahan barangbarang keperluan TNI yang membiarkan begitu saja atau sengaja tanpa diawasi apakah barangbarang tersebut sesuai dengan kualifikasi atau
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah136
tidak; illegal corruption misalnya penjelasan dalam pengadaan barang/jasa yang tidak jelas atau kontroversial; mercenery corruption misalnya calon peserta yang memberikan “uang imbalan” jika nantinya dimenangkan dalam tender oleh panitia; serta ideological corruption, misalnya pemberian hukuman pada koruptor yang lebih ringan dikarenakan para koruptor adalah anggota dewan yang terhormat, sebagai contoh adalah kasus proyek Wisma Atlet yang hukuman bagi para koruptor lebih rendah daripada hukuman bagi pencuri sandal.
3. Modus Operandi Korupsi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Modus operandi korupsi dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah semakin canggih yang dikemas dalam berbagai istilah di antaranya dengan menggunakan istilah pemberian, balas jasa, kenangkenangan, tanda mata, sehingga seolaholah bukan merupakan perbuatan korupsi yang kesemua itu bisa dimaknai sebagai bentuk nepotisme. Nepotisme biasanya dipakai sebagai istilah untuk menggambarkan perbuatan yang mengutamakan saudara atau keluarga, teman sejawat, relasi, serta anggota partai politik yang sepaham, tanpa memerhatikan persyaratan yang ditentukan.
Meski sudah diatur dalam Perpres tentang pengadaan barang/jasa pemerintah, tetap saja ditemukan adanya celah yang bisa digunakan oleh sebagian oknum pejabat, panitia, atau penyedia barang/jasa untuk melakukan kejahatan lewat berbagai macam modus.
Berikut ini adalah lima belas tahapan pengadaan barang/jasa pemerintah berdasarkan Perpres No. 4 Tahun 2015 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta sejumlah potensi penyimpangannya, yaitu: a. tahapan perencanaan pengadaan modus penyimpangannya:
1) penggelembungan anggaran;2) rencana pengadaan yang diarahkan;3) rekayasa pemaketan untuk KKN.
b. tahapan pembentukan panitia lelang: 1) panitia tidak transparan;2) integritas panitia lelang lemah;3) panitia lelang yang memihak;4) panitia lelang tidak independent.
Bab 2 Landasan Teori 137
c. tahapan prakualifikasi perusahaan: 1) dokumen administratif yang tidak memenuhi syarat;2) dokumen administratif “aspal”;3) legalisasi dokumen tidak dilakukan;4) evaluasi tidak sesuai kriteria.
d. tahapan penyusunan dokumen lelang: 1) spesifikasi yang diarahkan;2) rekayasa kriteria evaluasi;3) dokumen lelang nonstandar;4) dokumen lelang yang tidak lengkap.
e. tahapan pengumuman lelang: 1) pengumuman lelang yang semu atau fiktif;2) pengumuman lelang tidak lengkap;3) jangka waktu pengumuman terlalu singkat.
f. tahapan pengambilan dokumen lelang: 1) dokumen lelang yang diserahkan tidak sama (inkonsisten);2) waktu pendistribusian dokumen terbatas;3) lokasi pengambilan dokumen sulit dicari.
g. tahapan penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS): 1) gambaran nilai harga perkiraan sendiri ditutuptutupi;2) penggelembungan (mark up) untuk keperluan KKN;3) harga dasar yang tidak standar (dalam KKN);4) penentuan estimasi harga tidak sesuai aturan.
h. tahapan penjelasan/aanwijzing: 1) pree-bid meeting yang terbatas;2) informasi dan deskripsi terbatas;3) penjelasan yang kontroversial.
i. tahapan penyerahan dan pembukaan penawaran; 1) relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran;2) penerimaan dokumen penawaran yang terlambat;3) penyerahan dokumen fiktif.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah138
j. tahapan evaluasi penawaran: 1) kriteria evaluasi yang cacat;2) penggantian dokumen penawaran;3) evaluasi tertutup dan tersembunyi;4) peserta lelang terpola dalam rangka berkolusi.
k. tahapan pengumuman calon pemenang: 1) pengumuman yang terbatas;2) tanggal pengumuman ditunda;3) pengumuman yang tidak sesuai dengan kaidah pengumuman.
l. tahapan sanggahan peserta lelang: 1) tidak seluruh sanggahan ditanggapi;2) substansi sanggahan tidak ditanggapi;3) sanggahan performa untuk menghindari tuduhan tender diatur.
m. tahapan penunjukan pemenang lelang: 1) surat penunjukan yang tidak lengkap;2) surat penunjukan yang sengaja ditunda pengeluarannya;3) surat penunjukan yang dikeluarkan dengan terburuburu;4) surat penunjukan yang tidak sah.
n. tahapan penandatanganan kontrak: 1) penandatanganan kontrak yang ditundatunda;2) penandatanganan kontrak secara tertutup;3) penandatanganan kontrak tidak sah.
o. tahapan penyerahan barang/jasa:1) volume yang tidak sama;2) mutu atau kualitas pekerjaan yang lebih rendah dari ketentuan dalam
spesifikasi teknik;3) mutu atau kualitas pekerjaan yang tidak sama dengan spesifikasi teknik;4) contract change order.Dari tahapan birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah yang diuraikan di
atas diketahui ada potensi penyimpangan yang dapat mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana korupsi. Potensi penyimpangan dari tahapan birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah oleh penulis disebut
Bab 2 Landasan Teori 139
sebagai masalahmasalah yuridis dalam Perpres yang efeknya berkelanjutan berupa timbulnya masalah struktur terhadap keberadaan lembaga/instansi sebagai sarana melakukan kegiatan pengadaan barang/jasa serta masalah budaya yang berkaitan dengan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa.
Pada hakikatnya kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilaksanakan oleh setiap instansi dan dibiayai oleh APBN/APBD terkandung maksud untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Semakin majunya suatu negara itu berarti negara memiliki kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya atau disebut dengan istilah negara kesejahteraan.
Dalam negara modern dewasa ini, yang dikenal dengan istilah welfare state atau negara kesejahteraan, mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian, pemerintah dituntut untuk bertindak menyelesaikan segala aspek atau persoalan yang menyangkut kehidupan warga negaranya, walaupun belum ada dasar aturan yang mengaturnya.
Dalam negara welfare state atau negara kesejahteraan, tugas administrasi negara menjadi sangat luas dan beraneka ragam corak dan bentuknya guna tercapainya suatu masyarakat yang sejahtera oleh karena itu, pemerintah ikut serta/campur tangan dalam segala lapangan kehidupan masyarakat. Konsep negara kesejahteraan (welfare state) ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep legal state atau negara penjaga malam (nachtwakerstaat). Dalam konsepsi legal state terdapat prinsip staatsonthouding atau pembatasan peran negara dan pemerintah dalam bidang politik yang melahirkan dalil “the least government is the best government”, dan terdapat prinsip atau falsafah “laissez faire, laissez aller” sebagaimana disebutkan di atas, dalam bidang ekonomi yang melarang negara dan pemerintah mencampuri kehidupan ekonomi masyarakat (staatsbemoeienis). Pendeknya, “the state should intervene as little as possible in people’s live and businesses”.103
Atas dasar ini, maka pemerintah diberikan kebebasan untuk dapat melakukan/bertindak dengan suatu inisiatif sendiri untuk menyelesaikan segala persoalan atau permasalahan guna kepentingan umum. Kebebasan untuk dapat bertindak sendiri atas inisiatif sendiri itu disebut dengan istilah freis ermessen.
103 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara ..., op.cit., hlm. 11.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah140
Di Indonesia, hal ini sebagaimana konsekuensi dari Pasal 33 UUD Negara Kesatuan RI. Pemerintah ikut campur dalam kehidupan masyarakat untuk menjaga kepentingan masyarakat agar adil dan seimbang. Freies ermessen juga diartikan sebagai kebebasan bertindak dalam batasbatas
tertentu atau keleluasaan dalam menentukan kebijakankebijakan melalui sikap tindak administrasi negara yang harus dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan Amrah Muslimin mengartikan freies ermessen sebagai lapangan bergerak selaku kebijaksanaannya atau kebebasan kebijaksanaannya.104
Pemerintah diberikan kebebasan untuk bertindak, tentunya disertai dengan pertanggungjawaban. Kebijakan ini dilakukan dikarenakan adanya per ma salahan yang mendesak dan membutuhkan penyelesaian dalam waktu yang relatif cepat. Oleh karena itu, pemerintah diberikan kebebasan untuk bertindak yang secara bahasa disebut freies ermessen. Frei artinya: bebas, merdeka, tidak terikat dan ermessen artinya: menilai, mempertimbangkan sesuatu. Freies ermessen ini bertujuan untuk kesejahteraan umum yang merupakan keputusan administrasi negara untuk tercapainya suatu tujuan/sasaran.
Pemberian freies ermessen kepada administrasi negara untuk kesejahteraan umum, tapi dalam kerangka negara hukum. Freies ermessen ini tidak boleh digunakan tanpa batas dan tidak boleh disalahgunakan. Atas dasar itu, Sjahran Basah mengemukakan unsurunsur freies ermessen dalam suatu negara hukum, yaitu: 105
a. ditujukan untuk menjalankan tugastugas servis publik;b. merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara;c. sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;d. sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;e. sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalanpersoalan
penting yang timbul secara tibatiba;f. sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada
Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum.Sebagai contoh adalah metode penunjukan langsung dalam proses peng
adaan barang/jasa pemerintah adalah salah satu bentuk freies ermessen atau diskresi pemerintah. Hal itu dilakukan jika kebutuhan akan barang/jasa tersebut sangat mendesak.
104 Saut P. Panjaitan dalam S.F. Marbun, dkk., op.cit., hlm. 106–107.105 Yopie Morya Immanuel Patiro, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan
Pertama, Keni Media, Bandung, 2012, hlm. 111.
Bab 2 Landasan Teori 141
Sebagaimana tertuang dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003, maka dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, Indonesia telah bekerja sama dengan dunia internasional terutama dalam hal pengembalian hasil tindak pidana korupsi. Dalam isi pokok UNCAC 2003 tersebut berupa tindakantindakan pencegahan korupsi dan kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah142
A. DASAR HUKUM PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH
Birokrasi Indonesia selama ini terusmenerus mendapatkan kritik yang tajam dari masyarakat. Hal itu dikarenakan ketidakefisienan, terlalu lamban dan berbelitbelit, dan banyaknya pungutan bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan publik. Pungutanpungutan liar dapat dijumpai dari pemberian pelayanan di tingkat kelurahan seperti pembuatan KTP. Besarnya pungutan yang dapat dikantongi oleh pegawai, akan menentukan kualitas pelayanan. Misalnya jika masyarakat memberikan Rp10.000,00 sebagai uang “tips”, maka pegawai akan memberikan kualitas yang baik. Mungkin seminggu KTP sudah bisa diambil. Berbeda jika memberikan Rp20.000,00, besok KTP sudah bisa diambil. Pelayanan publik saat ini orientasinya ditujukan untuk mendapatkan keuntungan semata oleh beberapa oknum pegawai. Birokrasi merupakan alat kekuasaan politik untuk menjalankan keputusan
keputusan politik. Birokrasi dapat dimaknai sebagai alat kekuasaan bagi yang menguasainya (kekuasaan politik), di mana para pejabatnya secara bersamasama berkepentingan menjalankan roda pemerintahan. Negara diatur dan dikendalikan oleh kekuasaan hukum, namun dijalankan oleh kekuasaan politik. Birokrasi telah menjelma menjadi kekuatan kekuasaan negara. Birokrasi memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksa naan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik.1
1 Abdilla Fauzi Achmad, Tata Kelola Bernegara dalam Perspektif Politik, Cetakan Pertama, Golden Terayon Press, Jakarta, 2012, hlm. 74.
Bab 3Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah di Indonesia
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 143
Birokrasi Indonesia selalu mengalami pertumbuhan jumlah personil, hal ini ditandai dengan diadakannya CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) setiap tahun, namun pengadaan CPNS ini tidak lepas dari unsur KKN. Dapat dikatakan bahwa pengadaan CPNS termasuk lahan yang baik bagi para oknum pejabat birokrasi untuk mendapatkan keuntungan yang sangat banyak. Contoh unsur KKN dalam perekrutan CPNS, yaitu korupsi dilakukan dengan meminta bayaran kepada orang yang akan mendaftar menjadi CPNS, dengan “imingiming” dapat dimasukkan menjadi PNS jika orang tersebut mau membayar seharga sekian. Uang itu akan dibagikan, termasuk pada pimpinan, dalam hal ini telah terjadi penyuapan. Jika orang tersebut tidak diterima, maka oknum pegawai akan memberikan alasan, uangnya kurang dan ada yang membayar lebih tinggi. Permasalahan selesai, orang yang mendaftar tidak bisa berbuat apaapa.
Birokrasi Indonesia termasuk birokrasi patrimonial, di mana para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi, jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan, para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi, serta setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik. Jabatan merupakan segalagalanya. Semakin tinggi jabatan, semakin besar pula kekuasaan, dan semakin banyak penyimpangan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kroninya. Sehingga tidak jarang, orang mau melakukan apa saja untuk mendapatkan kekuasaan termasuk berperilaku ABS alias “asal bapak senang”.
Jadi, birokrasi publik Indonesia yang bersifat patrimonial tersebut cenderung mendorong para pegawai untuk mengembangkan perilaku “asal bapak senang” atau istilah lainnya “cari muka” dengan atasan untuk mendapatkan keistimewaan dari atasan. Dikarenakan perlakuan yang demikian, tak heran para pejabat menjadi arogan dan menjadi “gila hormat”. Mereka yang harusnya melayani masyarakat, menjadi masyarakat yang harus melayani mereka. Warga yang datang pada pejabat karena suatu kepentingan dan tidak dapat memberikan kesenangan yang diinginkan menurut pejabat, maka mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Masyarakat diharuskan menyapa terlebih dahulu, dan bersikap baik pada mereka karena mereka merasa masyarakat sangat membutuhkan mereka, jadi mereka bisa berbuat sewenangwenang. Birokrasi Indonesia saat ini masih sangat rapuh, banyak faktor yang dapat
memengaruhi efektivitas dan efisiensi birokrasi. Padahal birokrasi yang kuat dan sehat adalah tulang punggung administrasi negara yang baik, dan faktor terpenting untuk mencapai dan mempertahankan kestabilan politik
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah144
dan ekonomi, seperti terbukti di negara Singapura, Malaysia, Jepang, dan negaranegara Eropa Barat. Bahkan India mempunyai birokrasi yang kuat (the Indian Civil Service yang merupakan salah satu kebanggaan nasional mereka), sehingga pergolakanpergolakan politik, sosial, dan ekonomi dapat dikendalikan dan ditampung dengan baik oleh karena policy-policy dan perintahperintah pemerintahannya dilaksanakan secara efektif.2
Dalam birokrasi di Indonesia, para birokrat dan para pegawai itu lupa, dari mana gaji mereka diperoleh. Gaji mereka diperoleh tidak lain dari APBN/APBD yang merupakan uang milik rakyat. APBN/APBD tersebut berasal dari berbagai pungutan, pajak, dan lainlainnya yang harus dibayar oleh rakyat kepada negara. Namun, perlakuan mereka terhadap rakyat yang memerlukan pelayanan jauh dari kata baik. Perlakuan berbeda juga ditunjukkan oleh para pejabat. Bagi yang mempunyai hubungan baik dengan mereka, akan men dapatkan prioritas dibandingkan dengan orang yang tidak mereka kenal.
Berbagai kegiatan pemerintah, hasil dan akibatnya merupakan bagian penting dalam pelayanan publik. Seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat disertai dengan pengembangan otonomi daerah, kebutuhan pemerintah akan penyelenggaraan pemerintahan turut meningkat pula. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, selalu diperlukan kebutuhan akan barang/jasa, baik untuk keperluan operasional yang bersifat rutin seperti bahan baku, bahan penolong (supplies), suku cadang, barang jadi, dan barang modal (kapital) seperti bangunan, mesin, dan peralatan lainnya.
Untuk menyediakan berbagai keperluan pemerintah demi kelancaran pelayanan publik, dibutuhkan dana yang cukup besar. Besarnya anggaran belanja pemerintah mengakibatkan pengadaan publik menjadi motor penggerak diterbitkannya berbagai kebijakan ekonomi, yakni Keppres No. 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, diubah menjadi Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan terakhir
2 S. Prajudi Atmosudirjo, op.cit., hlm. 31.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 145
diubah menjadi Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, serta Perpres No. 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diubah menjadi Perpres No. 157 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Perpres No. 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang merupakan satu bentuk kebijakan terkait pengadaan publik dalam upaya mengurangi ekonomi biaya tinggi, mendorong terjadinya persaingan usaha yang sehat, meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dan keberpihakan kepada pengusaha kecil.
Saat ini, pengadaan barang dan jasa pemerintah diatur berdasarkan Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Perpres No. 172 Tahun 2014 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015. Dilihat dari sejarah perkembangan pengadaan barang/jasa pemerintah dimulai dengan keluarnya Keppres Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, diubah menjadi Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan terakhir diubah menjadi Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, serta Perpres No. 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diubah menjadi Perpres No. 157 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Perpres No. 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Melihat dasar hukum kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah dalam kurun waktu dua belas tahun telah mengalami perubahan sebanyak tujuh kali, ini menunjukkan bahwa regulasi Perpres yang mengatur tentang pengadaan barang/jasa pemerintah masih lemah, sehingga tidak mampu mencegah terjadinya perbuatan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Atas dasar itulah, maka penulis berpendapat bahwa keberadaan Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Perpres No. 172 Tahun 2014 jo. Perpres
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah146
No. 4 Tahun 2015 perlu dievaluasi dan dibuatkan regulasi baru, yaitu berupa UndangUndang tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sedangkan Perpres yang ada dilakukan penyempurnaan yang isinya merupakan penjabaran UndangUndang tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam UndangUndang tersebut perlu diatur mengenai pentingnya sebuah lembaga atau badan khusus yang diberi kewenangan untuk mengatur, mengelola, dan melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah, selain itu perlu juga diatur mengenai sistem pertanggungjawaban panitia pengadaan barang/jasa pemerintah antara Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Konsultan Pengawas, Konsultan Perencana, dan panitia pelaksana kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah. Pengadaan barang/jasa pemerintah untuk keperluan pelayanan publik
merupakan salah satu bentuk dari public management. Manajemen atau kepemimpinan (dalam arti fungsional, manajemen sebagai aktivitas khas), atau ketatalaksanaan (dalam arti pelaksanaan policy) adalah kegiatankegiatan yang dilakukan oleh pejabatpejabat pimpinan dalam dinas administrasi negara guna menyelenggarakan apa yang ditetapkan oleh pemerintah dengan jalan menggerakkan pejabatpejabat negeri bawahannya secara efektif dan seefisienefisiennya.3
Pemerintah dalam melakukan belanja rutin maupun biaya pembangunan, dilakukan melalui proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Pembelanjaan negara yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa meliputi jumlah yang sangat besar, tidak hanya biaya yang besar, risiko yang harus dihadapi juga besar. Selain itu ada keterlibatan dunia usaha dan birokrat publik, sehingga pengadaan barang/jasa pemerintah harus benarbenar dilaksanakan secara transparan agar tidak terjadi penyimpangan dan menimbulkan kerugian bagi negara. Ini menjadi salah satu alasan penting bagi setiap pemerintah dalam me
nata perekonomian nasional, khususnya penyusunan sistem pengadaan nasional. Dalam kaitan inilah dibutuhkan landasan untuk membangun aturan dan prosedur yang diperlukan dalam rangka menciptakan sistem pengadaan barang/jasa yang tidak saja efisien tetapi juga berorientasi pada perlindungan keamanan publik (public safety). Besarnya anggaran belanja pemerintah mengakibatkan pengadaan publik menjadi motor penggerak diterbitkannya berbagai kebijakan ekonomi, salah satunya adalah Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
3 Ibid., hlm. 75.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 147
untuk menggantikan Keputusan Presiden (Keppres) No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang merupakan satu bentuk kebijakan terkait pengadaan publik dalam upaya mengurangi ekonomi biaya tinggi, mendorong terjadinya persaingan usaha yang sehat, meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dan keberpihakan kepada pengusaha kecil.4
Terkait dengan pentingnya kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilaksanakan oleh panitia pengadaan barang/jasa yang dibentuk oleh pimpinan lembaga/kepala instansi, wajib memerhatikan batasan kewenangan yang dimiliki oleh panitia pada berbagai tingkatan karena pertanggungjawaban panitia pengadaan barang/jasa haruslah dilakukan secara proporsional sesuai dengan tingkat kewenangannya masingmasing. Perlu diketahui bahwa kewenangan merupakan bagian terpenting dari setiap penyelenggara kegiatan pengadaan barang/jasa mulai dari proses awal sampai dengan akhir kegiatan, yang diwujudkan dalam bentuk penyerahan barang/jasa dari penyedia barang kepada panitia pengadaan selaku pengguna barang/jasa. Dalam perspektif hukum administrasi negara, pemerintah selaku pengguna barang/jasa yang di dalamnya termasuk panitia pengadaan yang telah dibentuk menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, artinya adalah tindakan panitia pengadaan/jasa harus didasarkan pada kewenangan yang dimiliki sebagaimana di atur dalam peraturan perundangundangan. Mengutip pendapat S.F. Marbun mengatakan bahwa wewenang mengandung
arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau dengan kata lain secara yuridis kewenangan adalah kemampuan bertindak yang diberikan undangundang yang berlaku untuk melakukan hubunganhubungan hukum.5
Mendasarkan pada pendapat di atas, penulis mengemukakan bahwa kewenangan adalah suatu hak yang dimiliki secara merdeka oleh setiap orang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara proporsional dan ber tanggung jawab menurut kaidahkaidah dan normanorma hukum yang berlaku. Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa kewenangan merupakan suatu konsep dalam sistem hukum administrasi negara, karena di dalamnya mengandung makna hak dan kewajiban atas suatu pekerjaan.
4 Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian, Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Jilid I, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2009, hlm. 107.
5 Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2012, hlm. 87.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah148
Dalam hukum administrasi negara, wewenang pemerintahan berdasarkan sifatnya terdiri atas sebagai berikut.6
1. Wewenang yang bersifat terikat, yaitu wewenang yang harus sesuai dengan normanorma hukum/aturan dasar yang menentukan waktu dan keadaan wewenang bisa dilaksanakan, termasuk di dalamnya berupa rumusan isi dan keputusan yang harus diambil. Sebagai contoh: wewenang pejabat pembuat komitmen untuk menghentikan atau melanjutkan perjanjian kontrak pengadaan barang dan jasa.
2. Wewenang bersifat fakultatif, yaitu wewenang yang dimiliki badan atau pejabat administrasi, tetapi tidak mempunyai kewajiban untuk menggunakan kewenangan tersebut jika terdapat alternatif lain dalam keadaan tertentu. Sebagai contoh: kewenangan polisi untuk tidak menghentikan pengendara yang melanggar ramburambu lalu lintas.
3. Kewenangan bersifat bebas, yaitu kewenangan yang dimiliki oleh badan atau pejabat administrasi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara bebas berkaitan dengan isi dan keputusan yang akan dikeluarkan karena peraturan dasarnya memberikan hak kepada yang bersangkutan untuk melaksanakan kewenangannya. Sebagai contoh: pengguna anggaran berwenang menentu kan pekerjaan pengadaan barang dan jasa dibayar 100% atau tidak. Kewenangan bebas ini dibagi menjadi dua kategori, yakni kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid).Walaupun melekat adanya wewenang bebas, namun demikian pemerintahan
tidak dapat menggunakan wewenang bebas tersebut sebebasbebasnya, karena di dalam negara hukum tidak ada wewenang dalam arti yang sebebasbebasnya atau kebebasan tanpa batas. Wewenang selalu dijalankan dalam batasanbatasan hukum, mengingat wewenang hanya diberikan oleh peraturan perundangundangan dan wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundangundangan yang berlaku. Oleh karena itu, legitimasi penyelenggaraan pemerintahan adalah wewenang yang diberikan oleh undangundang (norma wewenang) dan substansi, serta asas legalitas (legalitiet beginselen) dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah wewenang.7
Atas uraian tersebut, penulis sependapat bahwa kewenangan yang diperoleh untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam pemerintahan haruslah dilaksana kan berdasarkan normanorma hukum yang berlaku agar tidak melahirkan
6 Ibid., hlm. 89.7 Ibid., hlm. 91.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 149
tindakan kesewenangwenangan, karena tindakan kesewenangwenangan dalam penyeleng garaan negara akan melahirkan otoritarianisme yang sangat berpotensi merugikan hakhak dan kepentingan masyarakat. Mengutip pendapat F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbak mengatakan bahwa
secara substansi ada dua cara organ pemerintahan dalam memperoleh wewenang, yaitu wewenang atribusi dan wewenang delegasi, sedangkan wewenang mandat dapat dimaknai sebagai sesuatu yang hubungannya bersifat internal dan tidak melahirkan wewenang apa pun.
Wewenang atribusi (atributie bevoegdheid) adalah wewenang pemerintah yang diperoleh berdasarkan peraturan perundangundangan atau disebut juga asas legalitas. Wewenang atribusi dapat didelegasikan maupun dimandatkan. Wewenang delegasi (delegatie bevoegdheid) adalah wewenang yang diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari badan atau pemerintahan yang lain. Akibat hukum wewenang delegasi yang dijalankan menjadi tanggung jawab penerima delegasi (delegataris). Wewenang delegasi tidak dapat digunakan kembali oleh pemberi wewenang, kecuali pemberi wewenang (delegans) menilai telah terjadi penyimpangan dalam menjalankan wewenang tersebut sehingga wewenang dapat dicabut kembali oleh pemberi delegasi (mandans). Wewenang mandat (mandaat bevoegdheid) adalah pelimpahan wewenang antara bawahan dengan atasan, kecuali yang dilarang secara tegas oleh peraturan perundangundangan, sifat wewenang mandat adalah tanggung jawab dan tanggung gugat berada pada pemberi mandat (mandans), sedangkan penerima mandat (mandataris) tidak dibebani tanggung jawab dan tanggung gugat atas wewenang yang dijalankan.8
Merujuk pada uraian di atas, untuk memberikan rasa keadilan dalam sistem pertanggungjawaban dan tanggung gugat bagi panitia pengadaan barang dan jasa, penulis berpendapat bahwa sistem pertanggungjawaban dan tanggung gugat terkait dengan pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan oleh panitia pengadaan berdasarkan keputusan pimpinan lembaga atau instansi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah hendaknya menggunakan sistem pertanggungjawaban yang bersifat tanggung renteng antara pemberi delegasi dan penerima delegasi, karena lahirnya delegasi didasarkan pada kewenangan mandat yang diberikan oleh pimpinan lembaga atau instansi selaku pemberi mandat kepada panitia pengadaan barang dan jasa selaku penerima mandat.
8 Ibid., hlm. 94.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah150
Pengadaan barang/jasa pemerintah ini memiliki potensi untuk disalahgunakan oleh oknumoknum tertentu. Praktik korupsi terbesar dan paling merajalela terjadi dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah (public procurement) yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Negara yang berdaulat memiliki keuangan yang dijalankan untuk
menyelenggarakan pemerintahan. Negara yang tidak memiliki uang, baik dalam bentuk anggaran dan belanja negara akan kesulitan untuk menyelenggarakan pemerintahan. Keuangan negara diatur dan dikelola berdasarkan prinsipprinsip kesejahteraan rakyat. Dalam konsepsi ini, keuangan negara diatur dan dikelola dengan baik agar penyelenggara negara dapat terkendali dan terarah berdasarkan citacita negara. Kekeliruan dalam mengatur sistem keuangan negara akan menimbulkan kerumitan dalam mengelola keuangan untuk kepentingan sirkulasi penyelenggaraan negara.9
Penggunaan keuangan negara yang dibelanjakan melalui proses pengadaan barang/jasa pemerintah harus dikelola secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel, sehingga mendapatkan barang/jasa pemerintah yang dibiayai APBN/APBD yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi fisik maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pela yanan masyarakat.
Tujuan pengaturan atau pengelolaan pengadaan barang/jasa pemerintah antara lain:10
1. meningkatkan iklim investasi yang kondusif, efisiensi belanja negara, dan percepatan pelaksanaan APBN/APBD;
2. meningkatkan keberpihakan terhadap industri nasional dan usaha kecil, serta menumbuhkan industri kreatif, inovasi, dan kemandirian bangsa dengan mengutamakan penggunaan industri strategis dalam negeri;
3. meningkatkan ownership pemerintah daerah terhadap proyek/kegiatan yang dilakukan melalui skema pembiayaan bersama (cofinancing) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
9 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih Siyasah, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 218.
10 Tim Redaksi Forum Sahabat, Buku Pintar Pengadaan Barang & Jasa Pemerintah, Disusun Berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010 & Peraturan Terkait Lainnya, Cetakan Pertama, Forum Sahabat, Jakarta, 2011, hlm. 1 dan 2.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 151
Penggunaan anggaran keuangan negara yang cukup besar dalam pengadaan barang/jasa pemerintah memerlukan kebijakan untuk mengaturnya. Jika aspek regulasi suatu negara terbangun dengan baik, maka akan menciptakan birokrasi yang baik, dan birokrasi yang baik akan membawa pada pelayanan publik yang efektif dan efisien.
Dari uraian tersebut dengan diketahui besarnya anggaran belanja peme rintah mengakibatkan pengadaan publik menjadi motor penggerak diterbitkannya berbagai kebijakan ekonomi, salah satunya adalah Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk menggantikan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan kemudian diubah menjadi Perpres 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 172 Tahun 2014 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 yang merupakan satu bentuk kebijakan terkait pengadaan publik dalam upaya mengurangi ekonomi biaya tinggi, mendorong terjadinya persaingan usaha yang sehat, meningkatkan peng gunaan produk dalam negeri dan keberpihakan kepada pengusaha kecil.
Di era reformasi dan keterbukaan seperti sekarang, birokrasi patrimonial yang ditandai dengan sikap arogan atasan terhadap bawahan perlahanlahan sudah mulai ditinggalkan, karena masyarakat sudah semakin kritis dalam melakukan pengawasan terhadap keputusankeputusan ataupun kebijakankebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam kegiatan pembangunan termasuk dalam hal kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Menurut pendapat Humas BPK RI di Jakarta, mengatakan bahwa dalam sisi ketatanegaraan, pengambilan kebijakan terkait pengadaan barang/jasa dilakukan oleh lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah, dan dari sisi administrasi kebijakan hukum dalam pengadaan barang/jasa pemerintah saat ini diatur dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 54 Tahun 2010 sebagai penggganti Keppres No. 80 Tahun 2003 sebagaimana diubah terakhir dengan Perpres No. 4 Tahun 2015. Pengaturan yang dilakukan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut secara sistem telah mendukung pengendalian dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah, apabila dilaksanakan secara benar. Perpres tersebut telah mengatur segi pengawasan atas proses pengadaan barang/jasa pemerintah, di mana dalam hal ini memberikan petunjuk dan pedoman bagi pemeriksa dalam menilai ada/tidaknya suatu penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah152
Perlu disadari oleh pemerintah bahwa mereka sesungguhnya adalah abdi negara yang digaji oleh negara melalui APBN/APBD, kebutuhan pemerintahan kemampuan APBN/APBD untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan terus meningkat, demikian pula terhadap kebutuhan akan peningkatan pe la yanan publik melalui kegiatan pengadaan barang/jasa memerlukan biaya operasional yang rutin seperti bahan baku, bahan penolong (supplies), suku cadang, barang jadi, dan barang modal (kapital) seperti bangunan, mesin, dan peralatan lainnya. Pembelanjaan negara tersebut mengaitkan modal yang besar dan diambil dari keuangan negara, sehingga tanggung jawab yang dipikul oleh panitia pengadaan juga sangat besar. Kebijakankebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mempunyai tujuan agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, dan terbebas dari berbagai bentuk penyimpangan.
Kebijakankebijakan yang ditempuh pemerintah dalam pengadaan barang/ jasa, antara lain:11
1. meningkatkan penggunaan produksi barang/jasa dalam negeri yang sasarannya untuk memperluas kesempatan kerja dan basis industri dalam negeri dalam rangka meningkatkan ketahanan ekonomi dan daya saing nasional;
2. menciptakan kemandirian industri pertahanan, industri alat utama sistem senjata (alutsita) dan industri alat material khusus (Almatsus) dalam negeri;
3. meningkatkan peran serta usaha mikro, usaha kecil, koperasi kecil, dan kelompok masyarakat;
4. memerhatikan aspek pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup secara arif;
5. mendorong peningkatan penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik;
6. menyederhanakan ketentuan dan tata cara untuk mempercepat proses pengambilan keputusan;
7. peningkatan profesionalisme, kemandirian, dan tanggung jawab para pihak yang terlibat dalam perencanaan dan proses pengadaan barang/ jasa;
11 Ibid., hlm. 12.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 153
8. meningkatkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan;9. menumbuhkembangkan peran usaha nasional;10. menumbuhkembangkan industri kreatif inovatif, budaya, dan hasil pene
litian laboratorium atau institusi pendidikan dalam negeri;11. memanfaatkan sarana/prasarana penelitian dan pengembangan dalam negeri;12. melaksanakan pengadaan barang/jasa di dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, termasuk di Kantor Perwakilan Republik Indonesia;13. mengumumkan secara terbuka rencana dan pelaksanaan pengadaan
barang/jasa di masingmasing kementerian/lembaga/satuan kerja pemerintah daerah/institusi lainnya kepada masyarakat luas. Menurut penulis, dibuatnya regulasi sebagai dasar hukum dalam melak
sanakan kegiatan pengadaan barang/jasa sebagai upaya untuk mengatur dan mengefektifkan pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah agar berjalan secara tertib, profesional, transparan, akuntabel sehingga diharapkan dapat mengefisienkan penggunaan uang negara dan terhindar dari perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan keuangan negara. Akan tetapi kenyataannya, di lapangan masih saja ditemukan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang berakibat kerugian keuangan negara. Kebijakan untuk mengatur pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana sudah dibentuk, sebagaimana disebutkan di atas dalam bentuk Perpres memang mempunyai tujuan, yang pada akhirnya dapat memberikan hasil akhir yang sesuai dengan harapan para pihak. Pengaturan tersebut diharapkan agar pelaksanaan pengadaan barang/
jasa pemerintah dapat berjalan dengan baik. Namun, pada kenyataannya masih saja terdapat penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Kebijakan hukum yang dibuat masih terdapat celah yang dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan sejumlah uang. Selain kebijakan hukum yang dibentuk masih rapuh, manajemen dalam setiap tingkatan lembaga juga masih lemah dan tidak diterapkannya prinsip good governance dalam memberikan pelayanan publik, yang menyebabkan dan membuka peluang terjadinya berbagai jenis penyimpangan.12
12 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Kebijakan Reformasi Hukum (Suatu Rekomendasi), Cetakan Pertama, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, hlm. vi.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah154
Atas kalimat tersebut, penulis berpendapat bahwa dalam hal pemerintah membuat kebijakan harus disadari adanya potensi kelemahan yang dapat berpengaruh terhadap efektivitas dan manfaat lahirnya kebijakan hukum bagi pemerintah dan masyarakat. Kebijakan hukum yang dilakukan pemerintah sebagai public service yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah wajib memerhatikan aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis dikaitkan dengan realitas sosial dalam masyarakat agar kebijakan hukum yang dilahirkan tidak menjadi kontra produktif bagi pemerintah.
Kebijakan pemerintah melakukan beberapa kali perubahan Perpres tentang pengadaan barang/jasa pemerintah yang ada saat ini kenyataannya masih memiliki beberapa kelemahan terbukti belum mampu mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia. Oleh karena itu, penulis berpendapat perlu dilakukan reformasi kebijakan hukum birokrasi.
Pengadaan barang dan jasa pemerintah kemungkinan dapat menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara. Hal ini merupakan risiko yang harus dihadapi oleh pemerintah dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Risiko yang harus dihadapi oleh pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa dika renakan karena suatu keadaan atau kondisi (hazard), antara lain: 13
1. Physical hazard.
Suatu kondisi yang bersumber pada karakteristik fisik dari objek yang dapat memperbesar terjadinya kerugian.
2. Moral hazard.
Suatu kondisi yang bersumber dari orang dan berkaitan dengan sikap mental, pandangan hidup, maupun kebiasaan yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya peril.
3. Morale hazard.
Suatu kondisi dari orang yang merasa sudah memperoleh jaminan dan menimbulkan kecerobohan, sehingga memungkinkan timbulnya peril.
4. Legal hazard.
Suatu kondisi pengabaian atas peraturan atau perundangundangan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat, sehingga memperbesar ter ja dinya peril.
13 Suswinarno, loc.cit., hlm. 16.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 155
Peril adalah suatu peristiwa yang dapat menimbulkan terjadinya suatu kerugian. Peril ini merupakan risiko yang terjadi dalam suatu kegiatan yang direncanakan untuk mencapai suatu tujuan. Risiko yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain kejadian alam, operasional, manusia, politik, teknologi, pegawai, keuangan, hukum, dan manajemen organisasi.14
Pengaturan kegiatan pengadaan barang atau jasa yang didasarkan pada Perpres yang ada saat ini dalam kenyataannya masih memunculkan kasuskasus korupsi. Hal ini disebabkan tidak dikelola secara profesional, transparan, dan penuh kehatihatian sehingga akan berakibat terjadinya risiko yang tidak kecil, yang berdampak pada kerugian negara, dan yang bertanggung jawab adalah panitia pengadaan barang/jasa. Hanya saja dari fakta yang ada di lapangan jika terjadi penyimpangan dalam kegiatan pengadaan barang/jasa yang dilakukan atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pengguna anggaran, atau pejabat pembuat komitmen selaku atasan, maka biasanya yang terlebih dahulu terkena dampaknya dan harus bertanggung jawab adalah panitia pelaksana selaku bawahan.
Dapat diberikan contoh dari bentuk physical hazard yang dapat menimbulkan kerugian bagi keuangan negara, misalnya adalah dalam pengadaan barang/jasa pembangunan gedung instansi pemerintah. Penggunaan bahanbahan material yang digunakan untuk membangun gedung dapat dikurangi kualitas maupun kuantitasnya. Moral hazard ini berasal dari dalam diri seseorang, misalnya pejabat yang korup tentunya selalu berusaha ingin mendapatkan keuntungan di setiap kesempatan yang ada, termasuk dalam pengadaan barang/jasa pemerintah ini, oknum pejabat dapat menentukan HPS yang tidak wajar. Morale hazard, misalnya pejabat yang diberikan kewenangan untuk mengadakan lelang merasa kebijakan yang dikeluarkannya sudah sesuai dengan aturan yang ada, dan tidak akan ada permasalahan di kemudian hari. Sebagai contoh dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah dapat dilakukan jika ada anggaran yang telah ditetapkan dalam APBN/APBD. Oleh karena keperluan yang mendesak, pemerintah melakukan penunjukan langsung, tetapi anggaran untuk pengadaan barang/jasa tersebut tidak ada. Pemerintah tidak melanggar ketentuan untuk melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan barang/jasa dalam keadaan yang terdesak, tetapi anggaran
14 Ibid., hlm. 3.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah156
yang digunakan tidak ada, akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari ketika pekerjaan telah selesai dilakukan. Bentuk legal hazard ini yang sering terjadi, di mana banyaknya penyimpangan terhadap ketentuan dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 maupun ketentuanketentuan sebelum adanya Perpres ini yang dilakukan oleh oknum panitia dan rekanan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Dapat dilihat, semakin banyaknya kasus korupsi yang terjadi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang tidak hanya melibatkan eksekutif, tetapi juga legislatif.
Risiko pada peng adaan barang/jasa pemerintah salah satunya adalah risiko yang berakibat tindak pidana. Risiko tindak pidana pada pengadaan barang/jasa peme rintah dapat terjadi karena beberapa sebab, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian. Kerugian yang dapat diidentifikasi akibat terjadinya tindak pidana dalam pengadaan barang/jasa pemerintah antara lain:15
1. rusaknya reputasi (nama baik) perusahaan dan/atau pelaku;2. kerugian fisik dan mental karena ditahan (apabila ter bukti);3. kerugian finansial untuk membiayai pengacara dan adanya tuntutan ganti
rugi;4. keuntungan yang diharapkan dengan mengatur tender pun akan berubah
menjadi bencana.Tindak pidana korupsi pada pengadaan barang/jasa pemerintah, potensial
dilakukan oleh rekanan ataupun pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa (PA/KPA, PPK, ULP, maupun Panitia Penerima Barang/Jasa). Biasanya, risiko tindak pidana pada pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan secara bersamasama atau yang dikenal dengan “korupsi berjamaah”. Akibat dari tindakan tersebut bagi pelaku, yakni oknum panitia dan rekanan adalah rusaknya reputasi. Pejabat yang terbukti melakukan korupsi, tentunya tidak akan mendapatkan kepercayaan dari rakyat, namanya akan tercoreng, serta akan mendapatkan sanksi baik administrasi maupun pidana. Bagi rekanan, jika terbukti melakukan korupsi maka nama perusahaan juga akan tercoreng, akan masuk daftar hitam sehingga tidak dapat mengikuti tender yang akan diadakan oleh pemerintah lagi, dan tentunya sanksi pidana juga sudah siap menunggu. Pelaku korupsi juga harus mengganti kerugian akibat dari perbuatannya.
Sebagian dari pelaku tidak menyadari bahwa risiko tindak pidana itu sangat berat. Biaya atau kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana pada
15 Ibid., hlm. 20.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 157
pengadaan barang/jasa tidak seimbang dibandingkan dengan keuntungan yang diharapkan (lebih banyak kerugian dibandingkan dengan keuntungan yang didapat).
Kondisi yang membuka kesempatan untuk melakukan korupsi tersebut, baik dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja. Jika panitia dan rekanan dalam pengadaan barang/jasa mematuhi peraturan yang ada, maka segala bentuk penyimpangan tidak akan terjadi. Pengabaian dan/atau ketidakmampuan dalam memahami peraturan perundangundangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah serta kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat, menjadikan pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai lahan untuk mencari keuntungan. Di sini Perpres No. 54 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana diubah dengan Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana diubah dengan Perpres No. 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana diubah dengan Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagai pedoman dasar untuk melaksanakan tender/lelang pengadaan barang/jasa pemerintah diabaikan.
Terkadang oknum panitia atau rekanan tidak mampu memahami aturan tersebut. Katakata yang digunakan bersifat multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian. Terlebih lagi, panitia pengadaan barang/jasa dilakukan oleh instansi yang memerlukan barang/jasa tersebut, bukan oleh lembaga khusus yang menangani pengadaan barang/jasa pemerintah. Kondisi inilah yang mendorong terjadinya penyimpanganpenyimpangan terhadap peraturan perundangundangan.
Pengadaan barang dan jasa pemerintah selama ini, dijadikan oleh beberapa oknum birokrat sebagai kesempatan untuk dapat memperoleh uang. Dapat dilihat, sebagian besar kasus korupsi yang terjadi di Indonesia berasal dari pengadaan barang dan jasa pemerintah. Sebagai contoh adalah kasus korupsi Wisma Atlet yang melibatkan beberapa anggota DPR. Pelaku melakukan penyimpangan dan pengabaian terhadap peraturan perundangundangan yang telah jelas mengatur mengenai pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Mengenai pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam Perpres No. 70 Tahun
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah158
2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 terdapat celah bagi sebagian oknum pejabat dan rekanan dalam pengadaan barang/jasa untuk melakukan kejahatan lewat berbagai modus operandinya.
Dalam penindakannya masih dilakukan secara tebang pilih, dan yang sering menjadi korban dalam model tebang pilih adalah mereka yang potensinya sangat sedikit melakukan penyalahgunaan wewenang atau bahkan tidak melakukan pelanggaran apaapa, sementara mereka yang berpotensi besar melakukan penyalahgunaan wewenang mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara justru jarang yang disentuh atau diproses hukum. Model tebang pilih semacam inilah yang disebut dengan ketidakadilan dalam sistem pertanggungjawaban. Hal ini dikarenakan lemahnya regulasi yang mengatur pengadaan barang/jasa pemerintah yang ada saat ini sebagai masalah yuridis. Melihat banyaknya penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah, yang selama ini sarat akan korupsi, korupsi, dan nepotisme maka perlu dilakukan reformasi kebijakan hukum.
B. TAHAPAN DAN MODUS PENYIMPANGAN KEGIATAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH
Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 sebagaimana diubah menjadi Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan terakhir diubah menjadi Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta Perpres No. 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang diubah menjadi Perpres No. 157 Tahun 2014 dilakukan melalui beberapa tahapan. Dari keseluruhan tahapan ditemukan modus penyimpangan yang sering digunakan oleh rekanan ataupun oknum pejabat dinas/instansi dalam proses pengadaan barang dan jasa konstruksi. Berikut akan dituangkan modus operandi penyimpangannya dalam tahapan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah, yaitu sebagai berikut.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 159
1. Tahapan Perencanaan Umum Pengadaan Barang/Jasa
a. Penyimpangan dalam Identifikasi dan Analisis Kebutuhan Barang/JasaPada tahap perencanaan ini, pengguna anggaran (PA) menyusun dokumen rencana pengadaan barang/jasa, yang tentunya kegiatan pengadaan barang/jasa tersebut dibiayai oleh uang negara. Dalam tahapan ini akan diidentifikasi dan dianalisis pula kebutuhan akan barang/jasa yang diperlukan oleh instansi terkait. Oleh oknum, kebutuhan yang tidak diperlukan, lalu diadaadakan, sehingga akan menambah pengeluaran keuangan negara. Dalam hal ini pengadaan barang/jasa sengaja diadakan dengan motif tertentu, padahal barang/jasa yang ada masih bisa atau layak digunakan. Hal ini hanya menghamburhamburkan uang negara, yang akibatnya menimbulkan kerugian yang sangat besar.
b. Penyusunan dan Penetapan Rencana Penganggaran yang Dimark UpPA menyusun dan menetapkan rencana penganggaran pengadaan barang/jasa, yang terdiri atas biaya barang/jasa tersebut, biaya pendukung dan biaya administrasi yang diperlukan untuk proses pengadaan. Biayabiaya tersebut sangat banyak jumlahnya. Penggelembungan anggaran ini, gejalanya dapat terlihat dari unit price yang tidak realistis.
Biaya pendukung saja dapat terdiri dari biaya pemasangan, biaya pengangkutan, biaya pelatihan, dan lainlain. Belum biaya administrasi yang terdiri dari:16
1) biaya pengumuman pengadaan;2) honorarium pejabat pelaksana pengadaan, misalnya PA/KPA, PPK, ULP,
pejabat pengadaan, panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan, dan pejabat/tim lain yang diperlukan;
3) biaya survei lapangan/pasar;4) biaya penggandaan dokumen pengadaan barang/jasa; dan
16 Lihat Bab I Perencanaan Umum Pengadaan Barang/Jasa, Ketentuan Umum Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 6 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah160
5) biaya lainnya yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pengadaan barang/jasa, antara lain biaya pendapat ahli hukum, kontrak, biaya uji coba pada saat proses evaluasi dilakukan dan/atau biaya uji coba sebelum dilakukan penerimaan hasil pekerjaan.
Dalam perencanaan anggaran, bagi oknum yang memang mempunyai niat untuk mencari keuntungan dalam proses lelang, akan melakukan mark up atau penggelembungan anggaran. Penggelembungan anggaran ini dilakukan dengan menambah besarnya anggaran yang akan diajukan dalam pengerjaan sebuah tender pengadaan. Sebagai contoh misalnya dalam tender pembelian seperangkat komputer untuk sebuah sekolah. Pihak kepala sekolah dan kepala dinas telah bekerja sama untuk menggelembungkan harga atau melakukan mark up, sehingga harga menjadi tidak wajar dan jauh di atas harga ratarata di pasaran. Semisal harga per unit komputer adalah Rp5.000.000,00 namun oleh oknum telah diatur menjadi Rp6.000.000,00 per unit. Selisihnya adalah Rp1.000.000,00. Jika satu sekolah membutuhkan kurang lebih 70 unit komputer, berapa keuntungan yang diperoleh oknum tersebut.
Tidak hanya biaya pengadaan barang/jasa yang dimark up, biayabiaya lain juga dimark up untuk mendapatkan keuntungan. Meskipun harga yang dimark up tidak begitu besar, tapi tetap saja merugikan negara, apalagi jumlah barang yang dibutuhkan sangat banyak. Taktik semacam ini jelas merugikan negara. Apalagi jika nilai mark upnya sangat besar dibanding harga ratarata di pasaran. Banyak kasus korupsi dengan modus seperti ini yang dilakukan oleh aparat pemerintah, baik pemerintah di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Kasus ini jelas melanggar etika pengadaan barang dan jasa, yakni telah terjadinya pemborosan anggaran dan kebocoran keuangan negara.
c. Rencana Pengadaan atau Spesifikasi Teknis dengan Kriteria yang Diarahkan
Cara lain yang biasanya dilakukan oleh oknum panitia dan rekanan, yakni dengan merencanakan pengadaan yang spesifikasinya telah ditentukan yang sematamata diarahkan kepada rekanan tertentu yang sebelumnya sudah bekerja sama. Temuan yang diperoleh KPPU bahwa persekongkolan dalam tender
sudah terjadi semenjak perencanaan pengadaan, yaitu tahap awal dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Perencanaan pengadaan
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 161
mempersiapkan dan mencantumkan secara rinci mengenai target, lingkup kerja, SDM, waktu, mutu, biaya, dan manfaat yang akan menjadi acuan utama dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam bentuk paket pekerjaan yang dibiayai dari dana APBN/APBD maupun Bantuan Luar Negeri. Persekongkolan bisa terjadi antara pelaku usaha dengan sesama pelaku usaha (penyedia barang dan jasa pesaing), yaitu dengan menciptakan persaingan semu di antara peserta tender. Ini lebih dikenal dengan tender arisan di mana pemenangnya sudah ditentukan terlebih dahulu. Persekongkolan juga dapat terjadi antara satu atau beberapa pelaku usaha dengan panitia tender atau panitia lelang, misalnya rencana pengadaan yang diarahkan untuk pelaku usaha tertentu dengan menentukan persyaratan kualifikasi dan spesifikasi teknis yang mengarah pada suatu merek sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut tender. 17
Selain kompetisi yang dilakukan tidak fair, juga rencana pengadaan yang diarahkan ini tidak memberikan kesempatan bagi perusahaan lain untuk ikut serta dalam tender. Sudah terjadi rekayasa sejak awal akan dilakukannya tender pengadaan barang/jasa. Banyak pihak yang terlibat dalam tender ini, dan semua pihak telah diarahkan agar tercapai tujuan yang diinginkan, yakni korupsi untuk mendapatkan keuntungan dari pengadaan barang/jasa pemerintah. Dari penetapan, pelaksanaan, hingga pemenang tender sudah dipersiapkan. Tidak ada penawaran yang menguntungkan di sini. Harga yang dibuat sudah ditetapkan berikut biayabiaya yang dikeluarkan. Hanya satu harga yang disepakati, yakni penawaran dari peserta tender yang sudah ditunjuk sebelumnya.
Sebagai contoh adalah pengadaan komputer untuk sekolah. Untuk pengadaan barang/jasa pemerintah ini memang tidak banyak orang yang tahu, terlebih masyarakat umum. Awalnya sekolah mengajukan proposal pengajuan dana untuk pengadaan komputer kepada dinas pendidikan. Dari dinas pendidikan akan meminta DPR untuk melancarkan dana bagi pengadaan ini. Perusahaan yang akan dijadikan rekanan sebelumnya dapat dibuat sendiri atau diberikan kepada perusahaan orang lain yang mempunyai koneksi dan yang mau bekerja sama dengan anggota DPR, tentunya yang mau berbagi keuntungan.
17 Rohim, op.cit., hlm. 39.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah162
Bagi sekolah yang mau berbagi keuntungan yang akan mendapatkan bantuan. Jika sekolah tidak mau berbagi keuntungan, maka tidak akan diberikan kemudahan dan bantuan. Mereka juga mengatur, sekolah mana saja yang akan diberikan bantuan. Keuntungan yang diminta juga tidak sedikit. Tentu saja keuntungan dari pengadaan ini hanya dapat dinikmati oleh sebagian orang saja, dan yang jelasjelas sangat dirugikan adalah negara atau rakyat. Hal ini telah membuktikan bahwa kekuasaan dapat digunakan untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri.
d. Tidak Mengumumkan Secara Terbuka Rencana Pengadaan Barang/Jasa Pada Awal Tahun Anggaran
Dalam Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 6 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, ditentukan antara lain bahwa:1) PA mengumumkan rencana umum pengadaan barang/jasa di masing
masing K/L/D/I secara terbuka kepada masyarakat luas setelah rencana kerja dan anggaran K/L/D/I disetujui oleh DPR/DPRD sebelum peng umuman pelaksanaan Pengadaan barang/jasa oleh ULP.
2) K/L/D/I mengumumkan rencana umum pengadaan barang/jasa pada tahun anggaran berjalan yang kontraknya akan dilaksanakan pada tahun anggaran yang akan datang.
3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 di atas, paling kurang berisi: a) nama dan alamat PA; b) paket pekerjaan yang akan dilaksanakan; c) lokasi pekerjaan; dan d) perkiraan nilai pekerjaan.
4) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada angka 3 di atas dilakukan di website K/L/D/I masingmasing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE, dan mengundang/memberitahukan kepada penyedia yang diyakini mampu mengerjakan.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 163
5) Pengumuman pengadaan dapat dilakukan di website komunitas internasional, jika dari hasil identifikasi sebagaimana tertuang dalam KAK ternyata tidak ada Penyedia dalam negeri yang mampu mengerjakan atau pada pelelangan/seleksi internasional.
Pengumuman rencana pengadaan barang/jasa yang dilakukan secara tidak terbuka menjadi salah satu modus tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Tindakan ini dilakukan untuk menyingkirkan kompetitor yang lain, karena pemenang lelang sudah ditunjuk sebelumnya oleh panitia pengadaan.
Pengumuman rencana pengadaan barang/jasa yang dilakukan tidak pada awal tahun anggaran, dikhawatirkan dapat digunakan untuk melakukan korupsi. Jika tidak diumumkan pada awal tahun anggaran, otomatis tidak ada anggaran untuk melakukan pengadaan barang/jasa dalam tahun tersebut. Akan tetapi hal ini dimanfaatkan misalnya dengan melakukan pengadaan barang/jasa yang direkayasa karena keadaan darurat dengan metode penunjukan langsung. Anggaran yang digunakan untuk pengadaan barang/jasa tersebut di ambilkan dari anggaran di tahun berikutnya.
Pasang surut harga barang dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan, kesulitan dialami ketika biaya pengadaan tahun ini diambilkan dari anggaran tahun berikutnya. Jika harga barang tahun ini lebih murah, karena biaya pengadaan diambil dari anggaran tahun berikutnya, bisa saja harga disesuaikan dengan harga barang di tahun berikutnya, yang mungkin lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Dengan demikian, akan terjadi pembengkakan anggaran dan kerugian keuangan negara.
e. Tanggal Pengumuman Sengaja DitundaPengumuman paling sedikit harus memuat halhal sebagai berikut.1) Nama dan alamat Kelompok Kerja ULP yang akan mengadakan pele
langan.2) Uraian singkat mengenai pekerjaan yang akan dilaksanakan.3) Nilai total Harga Perkiraan Sendiri (HPS).4) Syaratsyarat peserta pelelangan.5) Tempat, tanggal, hari, serta waktu untuk mengambil dokumen peng
adaan.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah164
Dalam pengumuman dilarang untuk mencantumkan persyaratan sebagai berikut.1) Peserta harus berasal dari provinsi/kabupaten/kota tempat lokasi pelelangan.2) Pendaftaran harus dilakukan oleh:
a) direktur utama/pimpinan perusahaan;b) penerima kuasa dari direktur utama/pimpinan perusahaan/kepala
cabang yang nama penerima kuasanya tercantum dalam akte pendirian atau perubahannya;
c) kepala cabang perusahaan yang diangkat oleh kantor pusat yang dibuktikan dengan dokumen autentik; atau
d) pejabat yang menurut perjanjian kerja sama berhak mewakili perusahaan yang bekerja sama.
3) Pendaftaran harus membawa asli dan/atau salinan/fotocopy/legalisir akta pendirian, izin usaha, Tanda Daftar Perusahaan (TDP), kontrak kerja sejenis, Sertifikat Badan Usaha (SBU) dan/atau dokumendokumen lain yang sejenis.
4) Persyaratan lainnya yang sifatnya diskriminatif.5) Persyaratan di luar yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor
54 Tahun 2010 yang terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 beserta petunjuk teknisnya kecuali diperintahkan oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.
Tanggal pengumuman harus tertulis dengan jelas, dan jika ada penundaan harus diberitahukan kepada semua calon peserta, jadi tidak ada kesimpangsiuran. Penundaan tanggal pengumuman ini sengaja untuk mengaburkan waktu dilaksanakannya pengadaan barang/jasa pemerintah. Dengan demikian, penundaan tanggal yang tidak menentu, akan membuat calon peserta enggan mengikuti tender, dan hanya peserta tertentu yang mempunyai kerja sama dengan panitia yang dapat mengikutinya.
f. Jangka Waktu Pengumuman Tidak Sesuai AturanPA mengumumkan rencana umum pengadaan barang/jasa di masingmasing K/L/D/I secara terbuka kepada masyarakat luas setelah rencana kerja dan anggaran K/L/D/I disetujui oleh DPR/DPRD sebelum pengumuman pelaksanaan pengadaan barang/jasa oleh ULP.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 165
K/L/D/I mengumumkan rencana umum pengadaan barang/jasa pada tahun anggaran berjalan yang kontraknya akan dilaksanakan pada tahun anggaran yang akan datang.
g. Syarat Kualifikasi dalam Pengumuman Tidak LengkapPengumuman rencana umum pengadaan barang/jasa, paling kurang berisi:1) nama dan alamat PA;2) paket pekerjaan yang akan dilaksanakan;3) lokasi pekerjaan;4) perkiraan nilai pekerjaan.
h. Tidak Melalui LPSE dan Menghindari Menggunakan E-ProcurementPengumuman sebagaimana dimaksud pada angka 3 dilakukan di website K/L/D/I masingmasing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE, dan mengundang/memberitahukan kepada penyedia yang diyakini mampu mengerjakan.
Pengumuman pengadaan dapat dilakukan di website komunitas internasional, jika dari hasil identifikasi sebagaimana tertuang dalam KAK ternyata tidak ada penyedia dalam negeri yang mampu mengerjakan atau pada pelelangan/seleksi internasional.
i. Pengumuman yang Tidak InformatifPengumuman harus memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Panitia tidak membuat pengumuman yang detail sehingga menyulitkan calon peserta yang akan mengikuti tender, misalnya waktu dan tempat yang tidak pasti. Calon peserta akan berpikir berulang kali jika mengikuti tender semacam ini, karena sudah tidak ada iktikad baik dari panitia pengadaan yang tidak dilakukan secara terbuka dan transparan.
j. Pemilihan Metode Pengadaan, Metode Dokumen, Metode Kualifikasi, dan Metode Evaluasi yang Tidak Tepat
Dalam Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 6 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah166
Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, mengenai metode pengadaan, metode dokumen, metode kualifikasi, dan metode evaluasi ditentukan sebagai berikut.
1) Metode Pengadaana) Pelelangan:
(1) Kelompok Kerja ULP memilih metode pemilihan penyedia.(2) Untuk pengadaan yang dilakukan melalui pelelangan, pemi lihan
dibedakan menjadi 3 (tiga) metode berikut. ■ Pelelangan umum.■ Pelelangan sederhana. ■ Pelelangan terbatas.
(3) Pada prinsipnya pengadaan menggunakan metode pelelangan umum.(4) Pelelangan sederhana dapat digunakan untuk pengadaan yang tidak
kompleks dan bernilai sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(5) Pelelangan terbatas dapat digunakan untuk pengadaan dengan jumlah penyedia yang mampu melaksanakan diyakini terbatas dan pekerjaan kompleks.
b) Penunjukan langsung:(1) Kelompok Kerja ULP/pejabat pengadaan menetapkan metode pe
nunjukan langsung sesuai kriteria yang ditetapkan dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 yang terakhir diubah dengan Perpres No. 70 Tahun 2012 beserta petunjuk teknisnya.
(2) Pemasukan dokumen penawaran menggunakan metode 1 (satu) sampul.
(3) Evaluasi kualifikasi dilakukan dengan sistem gugur dan dilanjutkan dengan klarifikasi teknis dan negosiasi harga.
c) Pengadaan langsung:(1) Pengadaan langsung dapat dilakukan terhadap pengadaan yang ber
nilai sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan:■ merupakan kebutuhan operasional K/L/D/I,■ teknologi sederhana,
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 167
■ risiko kecil, dan/atau■ dilaksanakan oleh penyedia orang perseorangan dan/atau badan
usaha mikro dan usaha kecil serta koperasi kecil.(2) Pengadaan langsung dilaksanakan berdasarkan harga yang berlaku
di pasar kepada penyedia yang memenuhi kualifikasi.(3) Penyedia tidak diwajibkan untuk menyampaikan formulir isian kuali
fikasi, apabila menurut pertimbangan pejabat pengadaan, penyedia dimaksud memiliki kompetensi atau untuk pengadaan langsung yang menggunakan tanda bukti perjanjian berupa bukti pembelian/kuitansi.
(4) Pengadaan Langsung dilaksanakan oleh 1 (satu) orang pejabat pengadaan.
d) Kontes:(1) Kontes dilakukan untuk pengadaan yang memiliki karakteristik:
■ tidak mempunyai harga pasar; dan ■ tidak dapat ditetapkan berdasarkan harga satuan.
(2) Metode penyampaian dokumen adalah 1 (satu) sampul.(3) Evaluasi administrasi dilakukan oleh Kelompok Kerja ULP/ pejabat
pengadaan dan evaluasi teknis dilakukan oleh tim juri/tim ahli dengan memberi nilai terhadap kriteria yang telah ditetapkan dalam dokumen kontes.
2) Metode DokumenKelompok Kerja ULP memilih satu dari tiga metode pemasukan dokumen penawaran berikut.a) Metode satu sampul. Metode satu sampul digunakan untuk pengadaan barang/jasa, di mana
evaluasi teknis tidak dipengaruhi oleh penawaran harga.b) Metode dua sampul. Metode dua sampul digunakan untuk pengadaan barang/jasa, di mana
evaluasi teknis dipengaruhi oleh penawaran harga.c) Metode dua tahap. Metode dua tahap digunakan untuk pemilihan penyedia yang berkaitan
dengan:
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah168
(1) pekerjaan bersifat kompleks;(2) tercapainya pemenuhan kriteria kinerja dari keseluruhan sistem,(3) termasuk pertimbangan kemudahan atau efisiensi pengoperasian dan
pemeliharaan peralatannya;(4) mempunyai beberapa alternatif penggunaan sistem dan desain pene
rapan teknologi yang berbeda;(5) membutuhkan waktu evaluasi teknis yang lama; dan/atau(6) membutuhkan penyetaraan teknis.
3) Metode Kualifikasia) Kualifikasi merupakan proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha
serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari penyedia.
b) Kualifikasi dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu prakualifikasi atau pascakualifikasi.
c) Prakualifikasi merupakan proses penilaian kualifikasi yang dilakukan sebelum pemasukan penawaran.
d) Prakualifikasi dilaksanakan untuk pemilihan penyedia:■ pekerjaan yang bersifat kompleks melalui pelelangan umum;■ yang menggunakan pelelangan terbatas; atau■ yang menggunakan penunjukan langsung, kecuali untuk penanganan
darurat.
e) Proses prakualifikasi menghasilkan daftar calon penyedia.
f) Pascakualifikasi merupakan proses penilaian kualifikasi setelah pemasukan penawaran.
g) Pascakualifikasi dilaksanakan untuk pengadaan:■ melalui pelelangan umum kecuali untuk pekerjaan kompleks; atau■ yang menggunakan pelelangan sederhana.
h) Dilarang menambah persyaratan kualifikasi yang:■ bertujuan diskriminatif; dan■ menghambat dan membatasi keikutsertaan calon penyedia dari luar
provinsi/kabupaten/kota/lokasi pengadaan.
i) Kelompok Kerja ULP/pejabat pengadaan wajib menyederhanakan proses kualifikasi dengan meminta penyedia mengisi formulir isian kualifikasi
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 169
dan tidak meminta seluruh dokumen yang disyaratkan, kecuali pada tahap pembuktian kualifikasi.
j) Penilaian persyaratan kualifikasi penyedia dapat tidak dilakukan untuk pengadaan langsung.
4) Metode Evaluasi
a) Kriteria dan tata cara evaluasi:(1) kriteria dan tata cara evaluasi harus ditetapkan dalam dokumen
pengadaan dan dijelaskan pada waktu pemberian penjelasan. Perubahan kriteria dan tata cara evaluasi dapat dilakukan dan disampaikan secara tertulis kepada seluruh peserta dalam waktu memadai sebelum pemasukan penawaran;
(2) kelompok kerja ULP/pejabat pengadaan tidak diperbolehkan menambah, mengurangi, atau mengubah dokumen pengadaan setelah batas akhir pemasukan penawaran (post bidding);
(3) peserta tidak diperbolehkan menambah, mengurangi, atau mengubah penawarannya setelah batas akhir pemasukan penawaran (post bidding);
(4) dalam mengevaluasi penawaran, kelompok kerja ULP atau pejabat pengadaan berpedoman pada kriteria dan tata cara evaluasi yang dite tapkan dalam dokumen pengadaan, bila terdapat halhal yang kurang jelas dalam suatu penawaran, kelompok kerja ULP atau pejabat pengadaan dapat melakukan klarifikasi dengan peserta yang bersangkutan;
(5) dalam klarifikasi, peserta hanya diminta untuk menjelaskan halhal yang menurut kelompok kerja ULP/pejabat pengadaan kurang jelas, namun tidak diperkenankan mengubah substansi penawaran;
(6) pengertian/batasan tentang substansi penawaran harus dicantumkan dengan jelas dalam dokumen pengadaan dan dijelaskan kepada peserta sebelum batas akhir pemasukan penawaran;
(7) untuk halhal tertentu, peserta dapat diminta konfirmasi untuk membuat pernyataan kesanggupan untuk menyelesaikan pekerjaan (misalnya apabila masa berlakunya surat jaminan penawaran telah habis, peserta diminta konfirmasi mengenai kesanggupan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut berdasarkan harga yang ditawarkan);
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah170
(8) dalam evaluasi penawaran harga:■ HPS merupakan acuan untuk menilai kewajaran harga terhadap
penawaran yang masuk;■ nilai total HPS merupakan batas tertinggi penawaran yang sah; ■ penerapan preferensi harga penggunaan produksi dalam negeri
dilakukan untuk menentukan harga evaluasi akhir guna menetapkan urutan calon pemenang;
■ preferensi harga untuk barang/jasa dalam negeri diberlakukan untuk pengadaan barang/jasa yang dibiayai rupiah murni, dengan ketentuan sebagai berikut: – sampai dengan 31 Desember 2013, untuk pengadaan barang/
jasa bernilai di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); – mulai 1 Januari 2014, untuk pengadaan barang/jasa bernilai
di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
b) Kelompok Kerja ULP memilih satu metode evaluasi yang paling tepat, yaitu sebagai berikut.(1) Metode evaluasi sistem gugur. Evaluasi penawaran dengan sistem gugur dapat dilakukan untuk
hampir seluruh pemilihan penyedia dengan urutan proses berikut.■ Evaluasi administrasi:
– dilakukan terhadap penawaran yang tidak terlambat; – dilakukan terhadap kelengkapan dan keabsahan syarat admi
nistrasi yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan (tidak dikurangi, ditambah dan/atau diubah);
– menghasilkan dua kesimpulan, yaitu memenuhi syarat administrasi atau tidak memenuhi syarat administrasi.
■ Evaluasi teknis: – dilakukan terhadap penawaran yang dinyatakan memenuhi
persyaratan administrasi; – dilakukan terhadap pemenuhan syarat teknis yang ditetapkan
dalam dokumen pengadaan (tidak dikurangi, ditambah dan/atau diubah);
– bila menggunakan nilai ambang batas lulus, dilakukan dengan memberikan penilaian (skor) terhadap unsurunsur teknis
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 171
sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam do kumen pengadaan;
– menghasilkan dua kesimpulan, yaitu memenuhi syarat teknis atau tidak memenuhi syarat teknis.
■ Evaluasi harga: – hanya dilakukan terhadap penawaran yang dinyatakan me
me nuhi syarat administrasi dan teknis;– berdasarkan hasil evaluasi harga, Kelompok Kerja ULP mem
buat daftar urutan penawaran yang dimulai dari urutan harga penawaran terendah dan mengusulkan penawar terendah yang responsif sebagai calon pemenang.
(2) Metode evaluasi sistem nilai. Evaluasi penawaran dengan sistem nilai digunakan untuk pekerjaan
kompleks yang memperhitungkan keunggulan teknis sepadan dengan harganya, mengingat penawaran sangat dipengaruhi oleh kualitas teknis.
Urutan proses penilaian dengan sistem ini adalah sebagai berikut.■ Evaluasi administrasi:
– dilakukan terhadap penawaran yang tidak terlambat;– dilakukan terhadap kelengkapan dan keabsahan syarat admi
nistrasi yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan (tidak dikurangi, ditambah, dan/atau diubah);
– menghasilkan dua kesimpulan, yaitu memenuhi syarat administrasi atau tidak memenuhi syarat administrasi.
■ Evaluasi teknis dan harga: – dilakukan terhadap penawaran yang dinyatakan memenuhi
persyaratan administrasi, dengan memberikan penilaian (skor) terhadap unsurunsur teknis dan harga penawaran sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan;
– bila menggunakan nilai ambang batas lulus, hal ini harus dicantumkan dalam dokumen pengadaan. Kelompok Kerja ULP membuat daftar urutan yang dimulai dari penawaran harga terendah untuk semua penawaran yang memperoleh nilai di atas atau sama dengan nilai ambang batas lulus;
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah172
– besaran bobot teknis antara 10% (sepuluh perseratus) sampai dengan 30% (tiga puluh perseratus) dari total bobot ke seluruhan;
– besaran bobot harga antara 70% (tujuh puluh perseratus) sampai dengan 90% (sembilan puluh perseratus) dari total bobot keseluruhan;
– rincian unsur dan sub unsur berserta besaran bobot teknis dan harga, tata cara, kriteria serta formula perhitungan harus dijelaskan dan dicantumkan dalam dokumen pengadaan sebagai dasar Kelompok Kerja ULP untuk melakukan evaluasi penawaran;
– berdasarkan hasil evaluasi harga, Kelompok Kerja ULP mem buat daftar urutan penawaran, yang dimulai dari urutan penawaran yang memiliki nilai kombinasi bobot teknis dan harga tertinggi;
– kelompok kerja ULP menetapkan calon pemenang berdasarkan urutan penawaran yang memiliki nilai kombinasi bobot teknis dan harga tertinggi.
(3) Metode evaluasi sistem penilaian biaya selama umur ekonomis. Evaluasi penawaran dengan sistem penilaian biaya selama umur
ekonomis dilakukan untuk pemilihan penyedia yang memper hitungkan faktorfaktor: umur ekonomis, harga, serta biaya operasi dan pemeliharaan, dalam jangka waktu operasi tertentu.
Urutan proses penilaian dengan sistem ini adalah sebagai berikut.
■ Evaluasi administrasi: – dilakukan terhadap penawaran yang tidak terlambat;– dilakukan terhadap kelengkapan dan keabsahan syarat admi
nistrasi yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan (tidak dikurangi, ditambah dan/atau diubah);
– menghasilkan dua kesimpulan, yaitu memenuhi syarat administrasi atau tidak memenuhi syarat administrasi.
■ Evaluasi teknis: – dilakukan terhadap penawaran yang dinyatakan memenuhi
persyaratan administrasi;
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 173
– dilakukan terhadap pemenuhan syarat teknis yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan (tidak dikurangi, ditambah dan/atau diubah);
– bila menggunakan nilai ambang batas lulus, evaluasi teknis dilakukan dengan memberikan penilaian (skor) terhadap unsurunsur teknis sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan;
– menghasilkan dua kesimpulan, yaitu memenuhi syarat teknis atau tidak memenuhi syarat teknis.
■ Evaluasi harga: – hanya dilakukan terhadap penawaran yang dinyatakan me
menuhi syarat administrasi dan teknis;– unsur harga yang dinilai telah ditetapkan dalam dokumen
pengadaan;– unsur harga tersebut dikonversikan ke dalam mata uang
tunggal berdasarkan perhitungan secara profesional;– berdasarkan hasil evaluasi harga, Kelompok Kerja ULP mem
buat daftar urutan penawaran yang dimulai dari urutan harga evaluasi terendah dan mengusulkan penawar dengan harga evaluasi terendah yang responsif sebagai calon pemenang;
– biayabiaya yang dihitung dalam evaluasi, kecuali harga penawaran yang terkoreksi, tidak dimasukkan dalam harga yang tercantum dalam kontrak (hanya berfungsi sebagai alat pembanding saja).
c) Pada prinsipnya pelelangan untuk pemilihan penyedia menggunakan metode evaluasi sistem gugur.
d) Khusus untuk pengadaan langsung yang dilakukan oleh pejabat pengadaan menggunakan metode evaluasi sistem gugur.
k. Kegiatan yang Seharusnya Swakelola Diganti Menjadi Kontraktual
Pengertian swakelola dalam Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 6 Tahun 2012 jo. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 adalah sebagai berikut.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah174
Kegiatan pengadaan barang/jasa yang direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat pelaksana swakelola dengan menggunakan tenaga sendiri dan/atau tenaga dari luar.Menurut Pasal 1 angka 20, pengertian swakelola adalah pengadaan barang/
jasa di mana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan, dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain, dan/atau kelompok masyarakat.
Pengadaan barang/jasa pemerintah secara swakelola ini dapat menghemat anggaran, sehingga tidak mengeluarkan biayabiaya lain untuk mengada kan lelang. Akan tetapi, oknum panitia melakukan pengadaan barang/jasa yang seharusnya dapat dilaksanakan secara swakelola menjadi kontraktual dengan mengadakan lelang. Banyaknya tahap dalam proses lelang dan biaya yang dikeluarkan, menjadi celah bagi oknum panitia untuk mendapatkan keuntungan dari pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut.
l. Anggaran untuk Proses Pengadaan Tidak TersediaSebagaimana disebutkan sebelumnya, anggaran yang tidak tersedia untuk mengadakan tender juga menjadi celah untuk melakukan korupsi. Hal ini sama dengan melakukan rekayasa pengadaan barang/jasa. Anggaran yang tidak tersedia, biasanya akan dibebankan pada anggaran tahun berikutnya, sehingga akan menambah beban anggaran. Larangan mengadakan pengadaan barang/jasa tanpa tersedianya anggaran diatur di dalam Pasal 13 Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, yang menyatakan bahwa: PPK dilarang mengadakan ikatan perjanjian atau menandatangani kontrak
dengan penyedia barang/jasa apabila belum tersedia anggaran atau tidak cukup tersedia anggaran yang dapat mengakibatkan dilampauinya batas anggaran yang tersedia untuk kegiatan yang dibiayai dari APBN/APBD.
m. Rekayasa Pemaketan untuk KKNPada saat penetapan kebijakan umum mengenai pemaketan pekerjaan, terdapat ketentuanketentuan yang harus diikuti. Dalam menetapkan kebijakan umum tentang pemaketan, PA wajib memerhatikan ketentuan sebagai berikut.18
18 Lihat Bab I Perencanaan Umum Pengadaan Barang/Jasa, Penetapan Kebijakan Umum, Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 6
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 175
1) Pemaketan pengadaan barang/jasa wajib memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri dan perluasan kesempatan bagi usaha mikro dan usaha kecil serta koperasi kecil.
2) Nilai paket pekerjaan pengadaan barang atau jasa sampai dengan Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) diperuntukkan bagi usaha mikro dan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pengadaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh usaha mikro dan usaha kecil serta koperasi kecil.
3) Menetapkan sebanyakbanyaknya paket pengadaan barang/jasa untuk usaha mikro dan usaha kecil serta koperasi kecil tanpa mengabaikan prinsip efisiensi, persaingan sehat, kesatuan sistem, kualitas dan kemam puan teknis usaha mikro dan usaha kecil serta koperasi kecil.
4) Menetapkan paket pengadaan barang yang hanya ditujukan untuk produksi dalam negeri dengan mengacu kepada daftar inventarisasi barang/jasa produksi dalam negeri yang diterbitkan oleh kementerian yang membidangi urusan perindustrian.
5) Penggabungan dan pemecahan paket harus memerhatikan efisiensi, efektivitas, persaingan sehat dengan ketentuan antara lain: a) dilarang menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar
di beberapa daerah/lokasi yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di daerah/lokasi masingmasing;
b) dilarang menyatukan atau menggabungkan beberapa paket pengadaan menurut sifat dan jenis pekerjaannya, misalnya menggabungkan pengadaan beberapa jenis yang memiliki target penyedia yang berbeda, dan penggabungan pekerjaan pengadaan barang dengan pekerjaan konstruksi yang tidak memiliki satu kesatuan tanggung jawab;
c) dilarang menyatukan/menggabungkan beberapa paket pengadaan menurut besaran nilainya yang seharusnya dilakukan oleh usaha mikro dan usaha kecil serta koperasi kecil;
d) dilarang memecah suatu paket pengadaan barang/jasa yang memiliki sifat dan ruang lingkup pekerjaan yang sama menjadi beberapa paket,
Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah176
baik pada saat penyusunan anggaran, penyusunan rencana umum pengadaan, maupun pada saat persiapan pemilihan penyedia dengan maksud untuk menghindari pelelangan;
e) dilarang menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak objektif.
Sama seperti di atas, dalam tahap rencana sudah dibuat paket siapa saja yang bakal menerima proyek pengadaan ini. Sebagai contoh pemaketan pengadaan yang harusnya dapat diselesaikan dalam waktu satu tahun, dipecah menjadi beberapa paket, sehingga menambah banyak waktu dan biaya. Biaya untuk melakukan pengadaan barang/jasa tidak sedikit, jadi untuk pengadaan barang dengan spesifikasi yang sama dan dapat dilakukan dalam satu kali lelang tidak harus dipecahpecah. Tujuan sudah jelas dan pasti, yakni untuk melakukan korupsi dan mengambil keuntungan dari tender. Oknum hanya mencari pihak penerima yang mau diajak untuk melakukan kerja sama. Sejak awal memang telah direncanakan untuk melempar dana pengadaan ini hanya terbatas kepada mereka yang memiliki hubungan khusus dengan panitia pengadaan. Jadi, tidak hanya korupsi, kolusi dan nepotisme juga ada dalam pelaksanaan tender ini. Pengadaan yang tidak ada atau tidak perlu, diadaadakan karena tujuan tertentu. Dengan ini terjadi pemborosan terhadap uang negara, yang mungkin bisa dialokasikan untuk bidang lain, tetapi dianggarkan untuk tender yang tidak ada gunanya.
n. Penentuan Jadwal yang Tidak RealistisDalam rangka untuk mendukung pelaksanaaan kegiatan/pekerjaan, PA menyusun KAK yang paling kurang memuat:19
1) uraian kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi latar belakang, maksud dan tujuan, lokasi kegiatan, sumber pendanaan, serta jumlah tenaga yang diperlukan;
19 Lihat Bab I Perencanaan Umum Pengadaan Barang/Jasa, Penyusunan KAK, Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 6 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 177
2) waktu yang diperlukan dalam melaksanakan kegiatan/pekerjaan tersebut mulai dari pengumuman, rencana pengadaan sampai dengan penyerahan barang/jasa;
3) spesifikasi teknis barang/jasa yang akan diadakan;4) besarnya total perkiraan biaya pekerjaan termasuk kewajiban pajak yang
harus dibebankan pada kegiatan tersebut. Jadwal harus dibuat dengan mempertimbangkan jarak, waktu, dan tempat
serta kesulitankesulitan lain yang akan dihadapi oleh calon peserta lelang. Jadi, tidak terburuburu dan dipersiapkan dengan matang. Oleh oknum panitia, jadwal dibuat tidak realistis, misalnya waktu yang diberikan sangat singkat, sehingga tidak semua calon peserta lelang dapat memenuhi segala persyaratan yang diajukan. Pengumuman pengadaan harus memenuhi ketentuan berikut.20
1) PA mengumumkan rencana umum pengadaan barang/jasa di masingmasing K/L/D/I secara terbuka kepada masyarakat luas setelah rencana kerja dan anggaran K/L/D/I disetujui oleh DPR/DPRD sebelum peng umuman pelaksanaan pengadaan barang/jasa oleh ULP.
2) K/L/D/I mengumumkan rencana umum pengadaan barang/jasa pada tahun anggaran berjalan yang kontraknya akan dilaksanakan pada tahun anggaran yang akan datang.
3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 di atas, paling kurang berisi:a) nama dan alamat PA;b) paket pekerjaan yang akan dilaksanakan;c) lokasi pekerjaan;d) perkiraan nilai pekerjaan.
4) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada angka 3 tersebut dilakukan di website K/L/D/I masingmasing dan papan pengumuman resmi untuk ma syarakat serta portal pengadaan nasional melalui LPSE, dan mengundang/memberitahukan kepada penyedia yang diyakini mampu mengerjakan.
20 Lihat Bab I Perencanaan Umum Pengadaan Barang/Jasa, Pengumuman Rencana Umum Pengadaan, Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 6 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah178
5) Pengumuman pengadaan dapat dilakukan di website komunitas internasional, jika dari hasil identifikasi sebagaimana yang tertuang dalam KAK ternyata tidak ada penyedia dalam negeri yang mampu mengerjakan atau pada pelelangan/seleksi internasional.
2. Tahapan Pembentukan Panitia Lelang1) Panitia tidak transparan. Panitia memang sengaja membuat peraturan yang tidak transparan dan
memberikan penjelasan yang berbelitbelit untuk mempersulit peserta tender, sehingga peserta lelang tidak bisa memiliki kepastian mengenai persyaratan seperti apakah yang sebenarnya dijadikan pedoman agar bisa memenangkan tender.
Panitia tidak transparan seperti ini biasanya memiliki maksud tertentu, yakni agar peserta meminta penjelasan dan dengan meminta penjelasan memungkinkan adanya kesempatan untuk melakukan negosiasi, persyaratan apa yang mesti dipenuhi sehingga bisa memenangkan lelang.21
Karena keinginan peserta untuk memenangkan tender sangat besar, maka dengan terpaksa mereka memenuhi persyaratan yang diajukan oleh panitia, tentunya dengan harga yang tidak sedikit. Panitia pun juga bisa mengatur, peserta yang dapat memenangkan tender ini.
2) Integritas panitia lemah. Integritas merupakan mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan
yang utuh, sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran.22 Ini sangat terkait dengan moral dan etika seseorang. Harusnya, panitia memiliki sikap integritas ini. Jika panitia memiliki sikap yang demikian, penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah tidak akan terjadi. Kelemahan yang dimiliki panitia dapat dimanfaatkan oleh pihak lain untuk melakukan penyimpangan. Alhasil, negaralah yang dirugikan.
Disebutkan dalam Pasal 12 ayat (2) Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 bahwa persyaratan panitia/pejabat pelaksana pengadaan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut.
21 Rohim, op.cit., hlm. 43.22 Dalam http://www.artikata.com/arti330870integritas.html, diakses pada tanggal 21 Agustus
2013, pukul. 13.56 WIB.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 179
a. Memiliki integritas moral, disiplin, dan tanggung jawab dalam melak sanakan tugas.
b. Memahami keseluruhan pekerjaan yang akan diadakan.c. Memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas panitia/pejabat
pengadaan yang bersangkutan.d. Memahami isi dokumen pengadaan/metode dan prosedur pengadaan
berdasarkan Keputusan Presiden ini.e. Tidak mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat yang meng
angkat dan menetapkannya sebagai panitia/pejabat pengadaan.f. Memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah.
Namun dalam praktiknya, panitia sering tidak memenuhi kualitas seperti tercantum dalam persyaratan ini. Soal integritas moral sering menjadi masalah yang menghambat terjadinya lelang yang transparan ataupun tidak memihak. Dalam banyak kasus, justru panitia lelang yang mencaricari pihak peserta lelang untuk bisa dimenangkan tendernya asalkan berani memberikan kompensasi dalam jumlah tertentu. Di sinilah celah yang sering digunakan oleh panitia lelang yang memiliki integritas moral yang rendah.23
3) Anggota Pokja tidak memenuhi kualifikasi/persyaratan. Kualifikasi/persyaratan PPK diatur di dalam Pasal 12 Perpres No. 70 Tahun
2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 menyebutkan sebagai berikut.(1) PPK merupakan pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA untuk melak
sanakan pengadaan barang/jasa.(2) Untuk ditetapkan sebagai PPK harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut. a. Memiliki integritas. b. Memiliki disiplin tinggi. c. Memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial
untuk melaksanakan tugas. d. Mampu mengambil keputusan, bertindak tegas dan memiliki
kete ladanan dalam sikap perilaku serta tidak pernah terlibat KKN.
e. Menandatangani pakta integritas.
23 Rohim, op.cit., hlm. 44 dan 45.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah180
f. Tidak menjabat sebagai Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) atau bendahara.
g. Memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa.(2a) Persyaratan tidak menjabat sebagai PPSPM sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf f, dikecualikan untuk PA/KPA yang bertindak sebagai PPK.
(2b) Dalam hal tidak ada personil yang memenuhi persyaratan untuk ditunjuk sebagai PPK, persyaratan pada ayat (2) huruf g dikecualikan untuk: a. PPK yang dijabat oleh pejabat eselon I dan II di K/L/D/I; dan/atau b. PA/KPA yang bertindak sebagai PPK.
(3) Persyaratan manajerial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah sebagai berikut. a. Berpendidikan paling kurang Sarjana Strata Satu (S1) dengan
bidang keahlian yang sedapat mungkin sesuai dengan tuntutan pekerjaan.
b. Memiliki pengalaman paling kurang 2 (dua) tahun terlibat secara aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.
c. Memiliki kemampuan kerja secara berkelompok dalam melaksa nakan setiap tugas/pekerjaannya.
(4) Dalam hal jumlah pegawai negeri yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terbatas, persyaratan pada ayat (3) huruf a dapat diganti dengan paling kurang golongan IIIa atau disetarakan dengan golongan IIIa.
Untuk Kepala ULP/Anggota Kelompok Kerja ULP/pejabat pengadaan, persyaratan yang harus dimiliki diatur di dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (1a) Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, yang menyatakan:(1) Kepala ULP/Anggota Kelompok Kerja ULP/pejabat pengadaan me
me nuhi persyaratan: a. memiliki integritas, disiplin, dan tanggung jawab dalam melak
sanakan tugas;b. memahami pekerjaan yang akan diadakan;
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 181
c. memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas ULP/Kelompok Kerja ULP/pejabat pengadaan yang bersangkutan;
d. memahami isi dokumen, metode dan prosedur pengadaan;e. memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa sesuai dengan
kompetensi yang dipersyaratkan; danf. menandatangani pakta integritas.
(1a) Persyaratan sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa pada ayat (1) huruf e dapat dikecualikan untuk Kepala ULP.
Persyaratan untuk panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan, diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, yang menyatakan bahwa:
Panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:a. memiliki integritas, disiplin, dan tanggung jawab dalam melak sa
nakan tugas;b. memahami isi kontrak;c. memiliki kualifikasi teknis;d. menandatangani pakta integritas; dane. tidak menjabat sebagai Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah
Membayar (PPSPM) atau bendahara.
Untuk penyedia barang/jasa dalam pengadaan barang/jasa pemerintah harus memenuhi kriteria yang diatur di dalam Pasal 19 Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, yakni sebagai berikut.(1) Penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa wajib
memenuhi persyaratan:a. memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan untuk
men jalankan kegiatan/usaha;b. memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan mana jerial
untuk menyediakan barang/jasa;c. memperoleh paling kurang 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia
barang/jasa dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, termasuk pengalaman subkontrak;
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah182
d. ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf c, dikecualikan bagi penyedia barang/jasa yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun;
e. memiliki sumber daya manusia, modal, peralatan, dan fasilitas lain yang diperlukan dalam pengadaan barang/jasa;
f. dalam hal penyedia barang/jasa akan melakukan kemitraan, penyedia barang/jasa harus mempunyai perjanjian kerja sama operasi/kemitraan yang memuat persentase kemitraan dan perusahaan yang mewakili kemitraan tersebut;
g. memiliki kemampuan pada bidang pekerjaan yang sesuai untuk usaha mikro, usaha kecil, dan koperasi kecil serta kemampuan pada subbidang pekerjaan yang sesuai untuk usaha nonkecil;
h. memiliki Kemampuan Dasar (KD) untuk usaha nonkecil, kecuali untuk pengadaan barang dan jasa konsultansi;
i. khusus untuk pelelangan dan pemilihan langsung pengadaan pekerjaan konstruksi memiliki dukungan keuangan dari bank;
j. khusus untuk pengadaan pekerjaan konstruksi dan jasa lainnya, harus memperhitungkan Sisa Kemampuan Paket (SKP) sebagai berikut:SKP = KP – PKP = nilai Kemampuan Paket, dengan ketentuan:a) untuk usaha kecil, nilai Kemampuan Paket (KP) ditentukan
sebanyak 5 (lima) paket pekerjaan;b) untuk usaha nonkecil, nilai Kemampuan Paket (KP) diten
tukan sebanyak 6 (enam) atau 1,2 (satu koma dua) N;P = jumlah paket yang sedang dikerjakan;N = jumlah paket pekerjaan terbanyak yang dapat ditangani
pada saat bersamaan selama kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir;
k. tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan dan/atau direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana, yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani penyedia barang/jasa;
l. sebagai wajib pajak sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 183
(PPTK Tahunan) serta memiliki laporan bulanan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 (bila ada transaksi), PPh Pasal 25/Pasal 29 dan PPN (bagi Pengusaha Kena Pajak) paling kurang 3 (tiga) bulan terakhir dalam tahun berjalan;
m. secara hukum mempunyai kapasitas untuk mengikatkan diri pada kontrak;
n. tidak masuk dalam daftar hitam;o. memiliki alamat tetap dan jelas serta dapat dijangkau dengan jasa
pengiriman; danp. menandatangani pakta integritas.
(1a) Dengan tetap mengedepankan prinsipprinsip pengadaan dan kaidah bisnis yang baik, persyaratan bagi penyedia barang/jasa asing dikecualikan dari ketentuan ayat (1) huruf d, huruf j, dan huruf l.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, huruf h, dan huruf i, dikecualikan bagi penyedia barang/jasa orang perorangan.
(3) Pegawai K/L/D/I dilarang menjadi penyedia barang/jasa, kecuali yang bersangkutan mengambil cuti di luar tanggungan K/L/D/I.
(4) Penyedia barang/jasa yang keikutsertaannya menimbulkan perten tangan kepentingan dilarang menjadi penyedia barang/ jasa.
4) Adanya rangkap jabatan. Larangan adanya rangkap jabatan ini, telah diatur di dalam Perpres No. 70
Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, antara lain sebagai berikut.a) PPK. Pasal 12 ayat (2) huruf f Perpres No. 70 Tahun 2012, yang menyatakan
bahwa: “Tidak menjabat sebagai Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) atau Bendahara”.
b) Kepala/Anggota Kelompok Kerja ULP. Pasal 17 ayat (7) Perpres No. 70 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa: Kepala ULP dan Anggota Kelompok Kerja ULP dilarang duduk
sebagai:a. PPK;b. Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar (PPSPM);c. Bendahara; dan
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah184
d. APIP, terkecuali menjadi pejabat pengadaan/anggota ULP untuk pengadaan barang/jasa yang dibutuhkan instansinya.
c) Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan. Pasal 18 ayat (4) huruf e Perpres No. 70 Tahun 2012, yang menyata kan
bahwa: “Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan tidak menjabat sebagai Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) atau bendahara”.
5) Panitia yang memihak. Ini merupakan bentuk ketidakadilan. Panitia hanya memihak pada salah
satu peserta tender yang nantinya akan dimenangkan. Keberpihakan panitia kepada salah satu peserta, dimungkinkan karena penyuapan yang dilakukan oleh peserta, sehingga peserta mendapatkan perlakuan istimewa dari panitia. Tentunya hal ini sangat merugikan bagi peserta lainnya. Keberpihakan panitia akan menghilangkan kesempatan bagi peserta lain untuk memenangkan tender. Peserta yang telah memberikan suap kepada panitia, meskipun tidak memenuhi persyaratan akan tetap dimenangkan, namun bagi peserta lain yang telah memenuhi persyaratan akan kalah begitu saja, karena pemenang tender sudah ditentukan sejak awal.
6) Panitia tidak independen. Independen diartikan sebagai kondisi yang merdeka, berdiri sendiri, secara
bebas, tidak tunduk pada orang lain, dan mengikuti pilihan sendiri. Terkait dengan independen ini, maka panitia pengadaan harus bisa menentukan sendiri, siapakah yang berhak menjadi panitia lelang, sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku.
Namun, sangat mungkin terjadi panitia lelang tidak independent, yakni mereka tidak bisa memiliki keputusan final terhadap siapa yang seharusnya menjadi pemenang lelang. Bisa jadi panitia ini dibentuk hanya sekadar formalitas. Sementara penentu pemenangnya tetap berada pada pejabat yang lebih tinggi dari panitia lelang.24
Memang untuk kasus ini, peserta sudah bisa menyadarinya ketika panitia bersikap tidak terbuka dan lebih cenderung mengutamakan salah satu peserta. Sebaiknya peserta tidak meneruskan pengadaan tersebut, atau peserta yang merasa dirugikan bisa mengadukan hal tersebut pada
24 Ibid., hlm. 46.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 185
pihak yang berwenang bahwa telah terjadi penyimpangan. Terkadang keputusan pemenang tender tidak hanya sudah diatur, tetapi panitia tidak dapat memberikan keputusan yang adil karena adanya permainan yang melibatkan pejabat tinggi didalamnya, sehingga keputusan akhir tidak ada pada panitia tetapi di luar panitia.
Salah satu cara agar panitia bisa independent, maka sesuai Pasal 10 ayat (8) Keppres No. 80 Tahun 2003 jo. Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 disebutkan:
Dilarang duduk sebagai panitia/pejabat pengadaan: a) Pengguna barang/jasa dan bendaharawan;b) Pegawai pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)/
Inspektorat Jenderal Departemen/Inspektorat Jenderal Depar temen/Inspektorat Utama Lembaga;
c) Pemerintah Nondepartemen/Badan Pengawas Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota, Pengawasan Internal BI/BHMN/BUMN/BUMD, kecuali menjadi panitia/pejabat pengadaan untuk pengadaan barang/jasa yang dibutuhkan instansinya.
Adanya pelarangan tersebut diharapkan akan memperkecil kemungkinan terjadinya pembentukan panitia yang tidak independen.
3. Tahapan Prakualifikasi Perusahaan
a. Dokumen Administratif Tidak Memenuhi Syarat
Prakualifikasi adalah proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari penyedia barang/jasa sebelum memasukkan penawaran.
Untuk bisa mengikuti sebuah lelang, peserta harus memenuhi semua persyaratan. Peserta memenuhi atau tidak memenuhi persyaratan hanya panitia lelang yang mengetahuinya. Jadi, bisa saja panitia meloloskan peserta yang tidak memenuhi persyaratan asalkan ada kompensasi yang bisa diterima oleh panitia.
Terkadang persyaratan lelang dibuat sulit oleh panitia. Hanya kepada peserta yang memiliki kedekatan dengan panitia yang dapat memenuhinya karena panitia memang sejak awal sudah memberitahukannya. Sebagai contoh adalah peserta diharuskan memiliki rekening koran bank dengan transaksi
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah186
aktif dalam jumlah tertentu. Padahal bisa saja perusahaan yang dimiliki oleh peserta lelang tidak memiliki persyaratan seperti itu. Karena keinginan yang kuat menjadi pemenang lelang, maka peserta lelang mencari cara agar tetap lolos dalam proses lelang tersebut, yakni dengan memberikan kompensasi kepada panitia lelang untuk mau diajak bekerja sama, misalnya dengan cara menyuap panitia untuk dimenangkan sebagai pemenang lelang.
b. Dokumen Administratif “Aspal”Untuk hal ini tidak hanya dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dapat terjadi. Dalam pengadaan barang/jasa dapat diambil contoh adalah dalam persyaratan dokumen mengharuskan peserta yang mengikuti sebuah tender pengadaan barang/jasa adalah perusahaan yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun, dan usahanya harus sesuai dengan yang diminta panitia. Dikarenakan perusahaan tersebut belum berjalan sampai 10 tahun lebih, maka perusahaan membuat dokumen palsu yang menyatakan bahwa perusahaannya telah berjalan 10 tahun lebih.
Baik panitia dan peserta lelang sudah mengetahui hal tersebut, sehingga peserta dapat lolos menjadi pemenang. Jadi, persyaratan ini hanya formalitas saja bagi peserta dan panitia. Tentunya peserta harus memberikan imbalan bagi panitia lelang untuk menutup rapat “rahasia”nya tersebut.
c. Legalisasi Dokumen Tidak DilakukanMengenai hal ini memang sudah terjalin kerja sama, baik antara peserta lelang dan panitia pengadaan. Meskipun peserta lelang sudah memenuhi kualifikasi dan semua persyaratan sudah terpenuhi, namun jika hasil prakualifikasi tidak disahkan oleh pengguna barang atau jasa, tetap saja peserta tidak bisa melanjutkan ke proses selanjutnya. Peserta dipersulit dengan berbagai macam alasan yang tidak jelas dan tidak masuk akal.
d. Evaluasi Tidak Sesuai KriteriaDalam pengadaan barang/jasa pemerintah, panitia menentukan kriteria yang harus dipenuhi oleh para peserta lelang. Kemudian panitia lelang, mengevaluasi dokumen penawaran yang diserahkan oleh peserta lelang. Panitia tidak diperbolehkan mengubah, menambah, dan mengurangi kriteria dan tata cara evaluasi dengan alasan apa pun dan/atau melakukan tindakan lain yang bersifat post bidding. Namun di sini, panitia berbuat curang dengan
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 187
cara mengubah, mengurangi, menambah kriteria dan tata cara pelaksanaan evaluasi dengan tujuan untuk meloloskan salah satu peserta lelang.
Ketika mengevaluasi penawaran, panitia/pejabat pengadaan berpedoman pada kriteria dan tata cara evaluasi yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan dan penjelasan sebelumnya. Bila terdapat halhal yang kurang jelas dalam suatu penawaran, panitia/pejabat pengadaan dapat melakukan klarifikasi dengan calon penyedia barang/jasa yang bersangkutan. Masalahnya, panitia justru sering tidak bersedia melakukan klarifikasi dalam soal yang dianggap oleh peserta lelang tidak jelas. Sebab di sini terdapat celah untuk bisa mengambil kesempatan agar hanya peserta yang benarbenar telah memiliki komitmen saja yang diberikan klarifikasi.25
4. Tahapan Penyusunan Dokumen Lelang
a. Spesifikasi yang DiarahkanPanitia memberitahukan kepada peserta lelang mengenai spesifikasi barang yang dibutuhkan. Panitia akan menyesuaikan pada perusahaan tertentu yang diajak bekerja sama. Jadi, hanya perusahaan tersebut yang dapat memenuhi barang yang dibutuhkan oleh panitia. Tidak semua perusahaan dapat mengikuti lelang ini, karena spesifikasi sudah diarahkan oleh panitia pada peserta lelang sebelumnya maka hal ini akan memengaruhi penawaran. Hal ini tidak lain adalah untuk mencari keuntungan semata antara panitia dan peserta lelang. Alhasil negara yang mendapatkan kerugian.
b. Rekayasa Kriteria EvaluasiKriteria dan persyaratan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sangat mudah direkayasa. Bagi oknum tertentu, banyak celah yang dapat digunakan untuk mengambil keuntungan. Panitia bisa saja mengubahubah kriteria evaluasi yang telah ditetapkan sebelumnya, yang pada akhirnya akan mem persulit para peserta. Hanya peserta yang sudah melakukan “deal” dengan panitia yang dapat memenuhi kriteria evaluasi tersebut.
c. Dokumen Lelang NonstandarPanitia membuat dokumen yang sulit dipenuhi oleh para peserta lelang. Ini merupakan suatu bentuk kecurangan. Karena sulitnya dokumen tersebut, tidak semua peserta lelang dapat lolos. Modus seperti ini biasa digunakan untuk mem
25 Ibid., hlm. 51.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah188
perkecil jumlah peserta lelang yang ikut. Jika peserta lelang sudah sedikit, maka panitia dapat dengan mudah melancarkan aksi selanjutnya, dengan mencari peserta untuk diajak kerja sama. Selanjutnya panitia akan memberitahukan dokumen lelang nonstandar tersebut pada peserta yang sudah ditunjuk nantinya sebagai pemenang lelang. Ini akan lebih mempersingkat waktu.
d. Dokumen Lelang yang Tidak LengkapDalam pengadaan barang/jasa pemerintah, peserta lelang harus melengkapi dokumendokumen yang disyaratkan. Ketidaklengkapan dokumen, dapat dijadikan celah oleh oknum panitia untuk mendapatkan keuntungan. Misalkan, ada peserta yang dokumennya tidak lengkap, maka oknum panitia akan memberikan kemudahan asalkan peserta memberikan imbalan yang sesuai. Jadi, meskipun tidak lengkap, panitia tetap akan memenangkan peserta lelang yang mau berbagi keuntungan dengan oknum panitia.
5. Tahapan Pengumuman Lelang
a. Pengumuman Lelang yang Semu atau FiktifPengumuman lelang yang semu dan fiktif dilakukan oleh oknum panitia agar calon peserta ragu untuk mengikuti proses lelang. Sebagai contoh oknum panitia lelang mengiklankan pengumuman lelang di koran. Tentunya bagi calon peserta yang tertarik akan menghubungi panitia lelang, namun setelah dihubungi bisa saja dijawab tidak ada lelang, sehingga ketika ada pengumuman lelang yang asli, calon peserta lelang sudah malas untuk mengikuti lelang. Hal ini dilakukan untuk membatasi jumlah peserta lelang, atau memang sudah ditentukan pemenang lelang sebelumnya.
Perbuatan ini merupakan modus korupsi yang sangat jahat. Pelaku tidak segansegan melakukan penipuan untuk melancarkan aksinya agar mendapatkan keuntungan. Tentunya hal ini merugikan keuangan negara, karena tidak akan ada penawaran dengan harga yang rendah, karena memang harga sudah ditetapkan sebelumnya oleh oknum panitia dan rekanan atau pemenang lelang yang sudah bekerja sama sebelumnya dalam proyek ini.
b. Pengumuman Lelang Tidak LengkapPengumuman lelang seharusnya lengkap, disampaikan pada papan pengumuman dan media elektronik, sehingga menggambarkan keterbukaan. Isi pengumuman tersebut memuat sekurangkurangnya:
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 189
1) nama dan alamat kantor pengguna barang/jasa yang akan mengadakan pelelangan umum;
2) uraian singkat mengenai pekerjaan yang akan dilaksanakan atau barang yang akan dibeli;
3) perkiraan nilai pekerjaan; 4) syaratsyarat peserta lelang umum; 5) tempat, tanggal, hari, dan waktu untuk mengambil dokumen pengadaan.
Namun, oknum panitia pengadaan barang/jasa dengan sengaja tidak mengumumkan secara lengkap, misalnya mencantumkan tempat, hari, atau waktu untuk mengambil dokumen. Hal ini akan merugikan pihakpihak yang berkepentingan, terutama untuk calon para peserta lelang. Dengan tidak dicantumkannya pengumuman secara jelas dan lengkap, bisa dijadikan celah bagi oknum panitia untuk mengambil keuntungan dari calon peserta. Padahal sudah jelas bagi siapapun yang terbukti melakukan kecurangan dalam pengumuman lelang maka kepada: 1) panitia atau pejabat pengadaan dikenakan sanksi administrasi, ganti rugi
dan/atau pidana sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;
2) penyedia barang/jasa yang terlibat dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti pengadaan barang/jasa pemerintah selama 2 (dua) tahun, dan sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
c. Jangka Waktu Pengumuman Terlalu SingkatJangka waktu pengumuman seharusnya dibuat cukup agar para peserta lelang dapat mempersiapkan dokumendokumen yang diperlukan untuk mengikuti tender. Jika waktu yang diberikan sangat singkat, maka calon peserta tidak akan dapat mempersiapkan dokumen yang dibutuhkan, dan akhirnya tidak akan dapat mengikuti lelang.
Hal ini dilakukan oleh oknum pengadaan barang/jasa pemerintah secara sengaja agar lelang tidak diikuti oleh banyak peserta, atau hanya perusahaan yang sudah ditunjuk saja yang dapat mengikuti lelang. Jadi, oknum panitia lelang sudah ada kerja sama dengan salah satu perusahaan yang nantinya akan ditunjuk sebagai pemenang lelang. Oknum panitia akan memberitahukan kepada perusahaan tersebut, dokumen apa saja yang dibutuhkan untuk mengikuti lelang, sehingga ketika pengumuman lelang diadakan, dengan waktu
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah190
yang sangat singkat, perusahaan tersebut dapat mengikuti lelang karena sudah diberitahukan dulu sebelumnya oleh oknum panitia bahwa akan ada lelang dengan persyaratan yang sudah diberitahukan sebelumnya. Dengan demikian, sangat mudah perusahaan tersebut mengikuti proses lelang.
Berbeda dengan calon peserta lelang yang tidak mengetahuinya. Singkatnya waktu menjadikan mereka batal atau tidak bisa mengikuti lelang. Sejak awal calon peserta harusnya sudah mengetahui bahwa mempersingkat pengumuman lelang merupakan modus bagi oknum panitia untuk berbuat kecurangan. Kalaupun ada peserta lain yang lolos dan dapat memenuhi persyaratan, oknum panitia akan mempergunakan berbagai cara agar perusahaan yang ditunjuk dapat menjadi pemenang lelang. Lagilagi negara yang mengalami kerugian karena perbuatan pihakpihak yang tidak bertanggung jawab.
6. Tahapan Pengambilan Dokumen Lelang
a. Dokumen Lelang yang Diserahkan Tidak Sama (Inkonsisten)Dokumen pengadaan disusun dan ditetapkan oleh Kelompok Kerja ULP/pejabat pengadaan. Dokumen pengadaan tersebut terdiri dari dokumen kuali fikasi, dokumen pemilihan, dan rancangan surat perjanjian. Dokumen yang diserahkan adalah dokumen yang tidak sesuai atau tidak standar. Hal ini merupakan kesengajaan yang dilakukan oleh panitia pengadaan. Jika dokumen yang diserahkan kepada calon peserta tidak sama antarpeserta, itu sama halnya dengan menjatuhkan peserta lain, dan akhirnya calon peserta akan di diskualifikasi, karena nantinya dokumen yang harus diserahkan oleh peserta akan dievaluasi kembali oleh panitia pengadaan.
b. Waktu Pendistribusian Dokumen TerbatasWaktu yang diberikan oleh panitia pengadaan barang/jasa sangat terbatas. Akibatnya, para peserta tidak mempunyai cukup waktu untuk mengumpulkan semua dokumen yang diperlukan. Panitia pengadaan barang/jasa harus memberikan waktu yang cukup tidak hanya untuk pengumuman, namun juga memberikan kesempatan para peserta lelang untuk mengambil, mempelajari, dan menyiapkan dokumen yang diperlukan.
Waktu yang singkat merupakan modus untuk mengambil manfaat untuk kepentingan tertentu, misalnya peserta sangat ingin memenangkan tender, namun karena dokumen yang belum lengkap, peserta meminta keringanan
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 191
kepada panitia, dan di sinilah akan terdapat celah bagi oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan keadaan demi keuntungan pribadi.
c. Menyatakan Bahwa Pendaftaran dan Pengambilan Dokumen Tidak Boleh Diwakilkan/Harus Membawa Dokumen Asli
Hal ini merupakan larangan dan tidak boleh dilakukan oleh panitia pengadaan. Larangan ini diatur di dalam Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 6 Tahun 2012 pada Bab II Tata Cara Pemilihan Penyedia Barang, yang menyatakan bahwa:
Pengumuman DILARANG mencantumkan persyaratan berikut.1) Peserta harus berasal dari provinsi/kabupaten/kota tempat lokasi pelelangan.2) Pendaftaran harus dilakukan oleh:
a) direktur utama/pimpinan perusahaan;b) penerima kuasa dari direktur utama/pimpinan;c) perusahaan/kepala cabang yang nama penerima kuasanya tercantum
dalam akta pendirian atau perubahannya;d) kepala cabang perusahaan yang diangkat oleh kantor pusat yang
dibuktikan dengan dokumen autentik;e) pejabat yang menurut perjanjian kerja sama berhak mewakili per
usahaan yang bekerja sama.3) Pendaftaran harus membawa asli dan/atau salinan/fotocopy/legalisir Akta
Pendirian, Izin Usaha, Tanda Daftar Perusahaan (TDP), kontrak kerja sejenis, Sertifikat Badan Usaha (SBU) dan/atau dokumendokumen lain yang sejenis.
4) Persyaratan lainnya yang sifatnya diskriminatif.5) Persyaratan di luar yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor
54 Tahun 2010 yang terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 beserta petunjuk teknisnya kecuali diperintahkan oleh peraturan per undangundangan yang lebih tinggi.
d. Kemungkinan Terjadi Pengaturan Kapasitas Up/Down Bandwith tetapi Tidak Bisa oleh Panitia, dan Panitia Berkolusi dengan LPSE
Pengertian LPSE menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Layanan Pengadaan secara Elektronik adalah sebagai berikut.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah192
Layanan Pengadaan Secara Elektronik yang selanjutnya disebut LPSE merupakan unit kerja yang dibentuk oleh K/L/D/I untuk menyelenggarakan sistem pelayanan pengadaan barang/jasa secara elektronik (SPSE) dan memfasilitasi K/L/D/I kepada Portal Pengadaan Nasional.Dalam Pasal 26 ayat (2) Perka tersebut, tugas LPSE adalah membuat peng
aturan bandwith internet dan pemantauan traffic. LPSE ini memberikan pelayanan kepada peserta lelang yang mengikuti tender via internet. Hanya LPSE yang bisa memberikan pelayanan pengadaan ini secara elektronik. LPSE bisa mengu rangi atau menambah volume data yang dapat ditransfer per unit waktu. Terkadang portal diakses sangat lambat, hal ini sudah diatur oleh LPSE yang berkolusi dengan panitia pengadaan untuk membatasi calon peserta yang masuk. Lamanya data transfer ini akan membuat peserta terlambat mengirimkan berkas tepat pada waktunya.
e. Lokasi Pengambilan Dokumen Sulit DicariBanyak cara yang digunakan jika orang mempunyai niat untuk melakukan kejahatan atau demi mendapatkan keuntungan. Hal yang seharusnya mudah, akan dipersulit untuk tujuan tertentu. Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, dengan sengaja oknum panitia lelang menetapkan lokasi yang sulit dicari dan ditemukan saat akan pengambilan dokumen oleh peserta lelang. Sementara itu, waktu yang diberikan juga terbatas, sehingga peserta tidak akan bisa mendapatkan dokumen yang dimaksud karena tidak cukup waktu untuk mencarinya, dan akhirnya mereka gagal untuk mengikuti tender.
Hal ini memang sengaja dilakukan agar peserta lain tidak mendapatkan dokumen yang dimaksud. Akan berbeda jika peserta itu memang sudah mempunyai koneksi dan sudah terjalin kerja sama dengan oknum panitia. Peserta tidak perlu susah mencari di mana dokumen itu berada, karena oknum panitia memang sudah memberitahukan sebelumnya, dan bahkan dokumen akan diantar langsung oleh oknum panitia.
7. Tahapan Penyusunan Harga Perkiraan Sendiria. Gambaran Nilai Harga Perkiraan Sendiri Ditutup-tutupiHPS disusun oleh PPK, yang dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. HPS digunakan sebagai:26
26 Tim Redaksi Forum Sahabat, op.cit., hlm. 25 dan 26.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 193
1) alat untuk menilai kewajaran penawaran, termasuk rinciannya;2) dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk peng
adaan;3) dasar untuk negosiasi harga dalam penunjukan langsung dan pengadaan
langsung;4) dasar untuk menetapkan besarnya nilai jaminan penawaran;5) dasar untuk menetapkan besarnya nilai jaminan pelaksanaan bagi pena
waran yang nilainya lebih rendah dari 80% nilai total HPS.
HPS ini sangat penting, terutama dalam hal menetapkan harga barang/jasa dalam tender pemerintah. Tentunya akan dipilih harga penawaran yang rendah dengan tetap memerhatikan kualitas barang/jasa. Harga yang dita warkan oleh peserta lelang harus sesuai dengan HPS, tidak boleh melebihi HPS.
Data yang digunakan untuk menyusun HPS berdasarkan pada data harga pasar setempat yang diperoleh berdasarkan hasil survei menjelang dilaksanakan pengadaan dengan mempertimbangkan informasi yang meliputi:27
1) informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS);
2) informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan;
3) daftar biaya/tarif yang dikeluarkan oleh pabrik/distributor tunggal;4) biaya kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan memper
timbangkan faktor perubahan biaya;5) inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan, dan/atau kurs tengah Bank
Indonesia;6) hasil perbandingan dengan kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan
instansi lain maupun pihak lain;7) norma indeks;8) informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam menyusun HPS telah memperhitungkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar bagi penyedia maksimal 15% (lima belas per seratus) tidak termasuk pajak. HPS tidak boleh memperhitungkan biaya tak terduga, biaya lainlain dan Pajak Penghasilan (PPh) penyedia. Nilai total HPS terbuka dan tidak rahasia dan riwayat HPS
27 Ibid.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah194
harus didokumentasikan secara baik. Di sisi lain, HPS tidak dapat digunakan sebagai dasar perhitungan kerugian negara. Dalam hal kontes, tim juri/tim ahli dapat memberikan masukan dalam penyusunan HPS.
Penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa banyak terjadi dalam tahap ini, begitu juga dengan kerugian keuangan negara diakibatkan pembuatan HPS yang direkayasa untuk kepentingan tertentu. HPS yang direncanakan dibuat lebih dari harga yang ada di pasaran. HPS ditutuptutupi agar pihak lain tidak dapat melihat perinciannya. HPS harus dipublikasikan secara transparan, agar jika terjadi penyimpangan dapat segera diketahui.
b. Penggelembungan (Mark Up) untuk Keperluan KKNSeperti disebutkan sebelumnya bahwa penentuan HPS harus berdasarkan harga pasar ataupun harga wajar dari informasi dari badanbadan resmi, dan sesuai dengan ketentuanketentuan yang telah ditetapkan. Namun penentuan HPS ini justru sering direkayasa dan digelembungkan, sehingga sudah pasti tidak sesuai dengan harga pasar pada umumnya. Tujuannya jelas, yakni agar ada kesempatan untuk meraih keuntungan. Misalnya dalam pembelian komputer, di mana harga per unit adalah Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) namun dalam HPS ditentukan Rp7.000.000,00 (tujuh juta rupiah).
c. Harga Dasar yang Tidak Standar (dalam KKN)Oknum panitia menetapkan harga dasar yang tidak standar, yang sulit diprediksi harga yang mendekati harga yang sebenarnya oleh peserta. Jika peserta tidak dapat menentukan harga penawaran yang mendekati harga standar, maka kemungkinan lolos untuk menjadi pemenang tender sangat sulit diprediksi.
Dalam evaluasi harga hanya unsurunsur pokok atau penting yang dievaluasi, dengan ketentuan:28
1) total harga penawaran melebihi nilai total HPS dinyatakan gugur dan semua harga penawaran di atas nilai total HPS pelelangan dinyatakan gagal;
2) harga satuan penawaran timpang yang nilainya lebih besar dari 110% dari HPS, dilakukan klarifikasi. Apabila setelah dilakukan klarifikasi ternyata harga satuan penawaran tersebut timpang, maka harga satuan penawaran timpang hanya berlaku untuk volume sesuai dengan dokumen pemilihan;
28 Ibid., hlm. 43.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 195
3) mata uang pembayaran yang harga satuannya nol atau tidak ditulis dilakukan klarifikasi dan kegiatan tersebut harus tetap dilaksanakan, harganya dianggap termasuk dalam harga satuan pekerjaan lainnya;
4) untuk kontrak lumpsum:a) jika ada perbedaan antara penulisan nilai harga penawaran antara
angka dan huruf, maka nilai yang diakui adalah nilai dalam tulisan huruf;
b) bila penawaran dalam angka tertulis dengan jelas, sedangkan dalam huruf tidak jelas maka nilai yang diakui adalah nilai dalam tulisan angka;
c) bila penawaran dalam angka dan huruf tidak jelas, maka penawaran dinyatakan gugur.
Dalam evaluasi kewajaran harga, dilakukan dengan ketentuan berikut.29
1) Klarifikasi dalam hal penawaran komponen dalam negeri berbeda dibandingkan dengan perkiraan ULP.
2) Klarifikasi kewajaran harga apabila harga penawaran di bawah 80% dari HPS dengan ketentuan:a) bila peserta tersebut ditunjuk sebagai pemenang lelang, harus bersedia
untuk menaikkan jaminan pelaksanaan menjadi 5% (lima per seratus) dari nilai total HPS;
b) jika peserta yang bersangkutan tidak bersedia menaikkan nilai jaminan pelaksanaan, maka penawarannya digugurkan dan jaminan penawaran disita untuk negara serta dimasukkan dalam daftar hitam.
Sangat sulit persyaratan yang harus dipenuhi oleh para peserta lelang. Peserta harus cekatan dalam menentukan harga yang mendekati harga standar, tentunya untuk menghindari kerugian bagi peserta. Dalam kasus KKN terkait hal ini, mungkin hanya kepada rekanan yang ada kerja sama dengan panitia saja yang mengetahui harga yang mendekati harga standar. Dengan demikian, hanya mereka pula yang kemungkinan bisa lolos memenangkan tender.
d. HPS Tidak AdaDalam Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 6 Tahun 2012 jo. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 disebutkan sebagai berikut.
29 Ibid., hlm. 44.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah196
Harga Perkiraan Sendiri (HPS):1) Digunakan untuk pengadaan dengan tanda bukti perjanjian berupa
kuitansi, SPK, dan surat perjanjian.2) Digunakan sebagai:
a) alat untuk menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya;b) dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk
pengadaan; c) dasar untuk negosiasi harga dalam pengadaan langsung dan penun
jukan langsung; d) dasar untuk menetapkan besaran nilai jaminan penawaran;e) dasar untuk menetapkan besaran nilai jaminan pelaksanaan bagi
penawaran yang nilainya lebih rendah dari 80% (delapan puluh perseratus) nilai total HPS.
3) Dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.
4) Data yang dipakai untuk menyusun HPS meliputi: a) harga pasar setempat, yaitu harga barang di lokasi barang diproduksi/di
serahkan/dilaksanakan, menjelang dilaksanakannya pengadaan barang; b) informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan
Pusat Statistik (BPS); c) informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi
terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggung jawabkan; d) daftar biaya/tarif barang yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor
tunggal; e) biaya kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mem
pertimbangkan faktor perubahan biaya; f) inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah
Bank Indonesia; g) hasil perbandingan dengan kontrak sejenis, baik yang dilakukan
dengan instansi lain maupun pihak lain; h) norma indeks; i) informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
5) Penyusunan HPS untuk pemilihan penyedia secara internasional menggunakan informasi harga barang/jasa yang berlaku di luar negeri.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 197
6) Dalam menyusun HPS telah memperhitungkan: a) Pajak Pertambahan Nilai (PPN); b) Keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar bagi penyedia
maksimal 15% (lima belas perseratus) dari total biaya tidak termasuk PPN.
7) HPS tidak boleh memperhitungkan biaya tak terduga, biaya lainlain, dan Pajak Penghasilan (PPh) Penyedia.
8) Nilai total HPS terbuka dan tidak rahasia.9) Riwayat HPS harus didokumentasikan secara baik.10) HPS tidak dapat digunakan sebagai dasar perhitungan kerugian negara.11) Tim Ahli dapat memberikan masukan dalam penyusunan HPS.12) HPS ditetapkan:
a) paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran untuk pemilihan dengan pascakualifikasi;
b) paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran ditambah dengan waktu lamanya prakualifikasi untuk pemilihan dengan prakualifikasi.
e. Mengarah Pada Merek Produk TertentuDalam Bab II tentang Tata Cara Pemilihan Penyedia Barang Perka LKPP No. 6 Tahun 2012 jo. Perka LKPP No. 14 Tahun 2012, disebutkan antara lain bahwa:
Kejelasan spesifikasi teknis barang meliputi:1) spesifikasi teknis benarbenar sesuai dengan kebutuhan pengguna/penerima
akhir;2) tidak mengarah kepada merek/produk tertentu, kecuali untuk pengadaan
suku cadang;3) memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri;4) memaksimalkan penggunaan Standar Nasional Indonesia (SNI).
f. Referensi Harga Tidak MemadaiReferensi harga ini digunakan untuk menyusun HPS. Datadata tersebut dapat diperoleh melalui:1) harga pasar setempat, yaitu harga barang di lokasi barang diproduksi/
diserahkan/dilaksanakan, menjelang dilaksanakannya pengadaan barang;
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah198
2) informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS);
3) informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan;
4) daftar biaya atau tarif barang yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal;
5) biaya kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya;
6) inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia;
7) hasil perbandingan dengan kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan instansi lain maupun pihak lain;
8) norma indeks; 9) informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
g. Penambahan Item Biaya yang Tidak Relevan
Besarnya biaya pekerjaan harus jelas, dan spesifikasi teknis harus sesuai dengan kebutuhan pengguna, sehingga tidak menghamburhamburkan uang negara. Penambahan item biaya yang tidak relevan merupakan salah satu bentuk penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Penambahan item biaya tersebut digunakan untuk mencari keuntungan dalam proses pengadaan barang/jasa.
h. Penentuan Estimasi Harga Tidak Andal atau Tidak Sesuai Aturan
Dalam penentuan estimasi harga, harus ada patokan harganya agar tidak melebihi harga pasaran. Untuk itu, perlu dilakukan survei oleh panitia di semua tempat, tidak hanya di satu tempat, sehingga jika ada penggelembungan harga akan dapat diketahui.
Apalagi jika tidak dilakukan survei dan panitia melakukan rekayasa terhadap estimasi harga, sudah pasti merupakan penyim pangan. Jika penentuan estimasi harga tidak sesuai dengan aturan, maka akan mudah dimanipulasi oleh pihakpihak yang tidak bertanggung jawab.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 199
8. Tahapan Penjelasan/Aanwijzing
a. Pree-bid Meeting yang TerbatasPree-bid meeting yang terbatas, yakni mengundang calon peserta tender terbatas hanya kepada pihakpihak tertentu saja, dan tidak melibatkan seluruh peserta tender untuk diberikan penjelasan secara detail. Terbatasnya jumlah peserta yang diundang mengikuti penjelasan ini jelas akan mempersempit peluang peserta lain untuk mengikuti proses pengadaan barang dan jasa berikutnya.30
Dalam pemberian penjelasan kepada peserta dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 6 Tahun 2012 jo. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 memberikan ketentuan sebagai berikut.1) Pemberian penjelasan dilakukan di tempat dan pada waktu yang ditentukan,
serta dihadiri oleh peserta yang terdaftar.2) Ketidakhadiran peserta pada saat pemberian penjelasan tidak dapat
dijadikan dasar untuk menolak/menggugurkan penawaran.3) Perwakilan peserta yang hadir pada saat pemberian penjelasan menunjuk
kan tanda pengenal dan surat tugas kepada Kelompok Kerja ULP.4) Bagi peserta perorangan yang hadir pada saat pemberian penjelasan tidak
boleh diwakilkan, dan menunjukkan tanda pengenal kepada Kelompok Kerja ULP.
5) Dalam pemberian penjelasan, harus dijelaskan kepada peserta mengenai: a) lingkup pekerjaan;b) metode pemilihan;c) cara penyampaian dokumen penawaran;d) kelengkapan yang harus dilampirkan bersama dokumen penawaran;e) jadwal batas akhir pemasukan dokumen penawaran dan pembukaan
dokumen penawaran;f) tata cara pembukaan dokumen penawaran;g) metode evaluasi;h) halhal yang menggugurkan penawaran;i) jenis kontrak yang akan digunakan;
30 Rohim, op.cit., hlm. 62 dan 63.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah200
j) ketentuan dan cara evaluasi berkenaan dengan preferensi harga atas penggunaan produksi dalam negeri (apabila diperlukan);
k) ketentuan tentang penyesuaian harga;l) ketentuan dan cara sub kontrak sebagian pekerjaan kepada usaha mikro
dan usaha kecil serta koperasi kecil;m) besaran, masa berlaku, dan penjamin yang dapat mengeluarkan jaminan; n) ketentuan tentang asuransi dan ketentuan lain yang dipersyaratkan.
6) Apabila dipandang perlu, Kelompok Kerja ULP dapat memberikan penjelasan lanjutan dengan cara melakukan peninjauan lapangan.
7) Pemberian penjelasan mengenai isi dokumen pengadaan, pertanyaan dari peserta, jawaban dari Kelompok Kerja ULP, perubahan substansi dokumen, hasil peninjauan lapangan, serta keterangan lainnya harus dituangkan dalam Berita Acara Pemberian Penjelasan (BAPP) yang ditandatangani oleh anggota Kelompok Kerja ULP dan minimal 1 (satu) wakil dari peserta yang hadir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen pengadaan.
8) Apabila tidak ada satupun peserta yang hadir atau yang bersedia menandatangani BAPP, maka BAPP cukup ditandatangani oleh anggota Kelompok Kerja ULP yang hadir.
9) Apabila dalam BAPP sebagaimana dimaksud pada angka 7) terdapat halhal/ketentuan baru atau perubahan penting yang perlu ditampung, maka Kelompok Kerja ULP menuangkan ke dalam adendum dokumen pengadaan yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari dokumen pengadaan.
10) Perubahan rancangan kontrak, spesifikasi teknis, gambar, dan/atau nilai total HPS, harus mendapatkan persetujuan PPK sebelum dituangkan dalam adendum dokumen pengadaan.
11) Apabila PPK tidak sependapat dengan usulan perubahan sebagaimana dimaksud pada angka 10), Kelompok Kerja ULP menyampaikan keberatan PPK kepada PA/KPA untuk diputuskan:a) apabila PA/KPA sependapat dengan PPK, tidak dilakukan perubahan; b) apabila PA/KPA sependapat dengan Kelompok Kerja ULP, PA/KPA
memutuskan perubahan dan bersifat final, serta memerintahkan Kelompok Kerja ULP untuk membuat dan mengesahkan adendum dokumen pengadaan.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 201
12) Apabila ketentuan baru atau perubahan penting tersebut tidak dituangkan dalam adendum dokumen pengadaan, maka ketentuan baru atau perubahan tersebut dianggap tidak ada dan ketentuan yang berlaku adalah dokumen pengadaan awal.
13) Dalam adendum dokumen pengadaan, Kelompok Kerja ULP dapat memberikan tambahan waktu untuk memasukkan dokumen penawaran.
14) Kelompok Kerja ULP memberitahukan kepada seluruh peserta untuk mengambil salinan BAPP dan adendum dokumen pengadaan (apabila ada).
15) Kelompok Kerja ULP diwajibkan untuk menyediakan salinan BAPP dan adendum dokumen pengadaan (apabila ada) dan dapat mengunggah dokumen tersebut melalui website Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi dan masingmasing yang dapat diunduh oleh peserta.
Dalam tahap pemberian penjelasan, selain melakukan pree-bid meeting yang terbatas, oknum juga menggunakan cara kotor yang lain, yang penjelasan yang diberikan bersifat mengambang atau sulit dimengerti dengan alasan waktu yang terbatas. Hal ini akan membuat peserta untuk bertanya lebih lanjut kepada panitia, dan celah ini yang digunakan oleh oknum panitia melakukan penyimpangan.
b. Informasi dan Deskripsi Terbatas
Panitia harus memberikan penjelasan sedetaildetailnya kepada peserta lelang, sehingga peserta paham dengan apa yang dikemukakan oleh panitia mengenai pengadaan barang/jasa yang akan dilaksanakan.
Halhal yang harus dijelaskan oleh panitia sebagaimana disebutkan di atas, yakni sebagai berikut.1) Lingkup pekerjaan.2) Metode pemilihan.3) Cara penyampaian dokumen penawaran.4) Kelengkapan yang harus dilampirkan bersama dokumen penawaran.5) Jadwal batas akhir pemasukan dokumen penawaran dan pembukaan
dokumen penawaran.6) Tata cara pembukaan dokumen penawaran.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah202
7) Metode evaluasi.8) Halhal yang menggugurkan penawaran.9) Jenis kontrak yang akan digunakan.10) Ketentuan dan cara evaluasi berkenaan dengan preferensi harga atas peng
gunaan produksi dalam negeri (apabila diperlukan).11) Ketentuan tentang penyesuaian harga.12) Ketentuan dan cara subkontrak sebagian pekerjaan kepada usaha mikro
dan usaha kecil serta koperasi kecil.13) Besaran, masa berlaku, dan penjamin yang dapat mengeluarkan jaminan. 14) Ketentuan tentang asuransi dan ketentuan lain yang dipersyaratkan.
Penjelasan yang detail dan informasi yang jelas dan terarah akan memper mudah peserta untuk menyusun dan mempersiapkan dokumen yang diperlukan serta memudahkan untuk menetapkan HPS. Pemberian penjelasan selengkaplengkapnya oleh panitia ini dapat menutup celah yang diguna kan oknum panitia untuk “berkomunikasi” lebih lanjut dengan peserta lelang.
c. Perubahan Penting Atas Dokumen Pemilihan Penyedia Tidak Dituangkan dalam Adendum Dokumen Pemilihan Penyedia
Pada Bab II bagian Pemberian Penjelasan dalam Perka LKPP No. 6 Tahun 2012 jo. Perka LKPP No. 14 Tahun 2012 disebutkan bahwa apabila dalam BAPP yang berisi pemberian penjelasan mengenai isi dokumen pengadaan, pertanyaan dari peserta, jawaban dari Kelompok Kerja ULP, perubahan substansi dokumen, hasil peninjauan lapangan, serta keterangan lainnya terdapat halhal/ketentuan baru atau perubahan penting yang perlu di tampung, maka Kelompok Kerja ULP menuangkan ke dalam adendum dokumen pengadaan yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari dokumen pengadaan.
Perubahan rancangan kontrak, spesifikasi teknis, gambar, dan/atau nilai total HPS, harus mendapatkan persetujuan PPK sebelum dituangkan dalam adendum dokumen pengadaan. Apabila PPK tidak sependapat dengan usulan perubahan pada rancangan kontrak, spesifikasi teknis, gambar, dan/atau nilai total HPS, maka Kelompok Kerja ULP menyampaikan keberatan PPK kepada PA/KPA untuk diputuskan sebagai berikut.
1) Apabila PA/KPA sependapat dengan PPK, tidak dilakukan perubahan.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 203
2) Apabila PA/KPA sependapat dengan Kelompok Kerja ULP, PA/KPA memutuskan perubahan dan bersifat final, serta memerintahkan Kelompok Kerja ULP untuk membuat dan mengesahkan adendum dokumen pengadaan.Apabila ketentuan baru atau perubahan penting tersebut tidak dituangkan
dalam adendum dokumen pengadaan, maka ketentuan baru atau perubahan tersebut dianggap tidak ada dan ketentuan yang berlaku adalah dokumen pengadaan awal.
d. Tidak Membuat Berita Acara PenjelasanPemberian penjelasan mengenai isi dokumen pengadaan, pertanyaan dari peserta, jawaban dari Kelompok Kerja ULP, perubahan substansi dokumen, hasil peninjauan lapangan, serta keterangan lainnya harus dituangkan dalam Berita Acara Pemberian Penjelasan (BAPP) yang ditandatangani oleh anggota Kelompok Kerja ULP dan minimal 1 (satu) wakil dari peserta yang hadir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen pengadaan.
e. Tidak Disebarluaskan/Tidak Ada Partisipasi MasyarakatKelompok Kerja ULP memberitahukan kepada seluruh peserta untuk mengambil salinan BAPP dan adendum dokumen pengadaan (apabila ada). Kelompok Kerja ULP diwajibkan untuk menyediakan salinan BAPP dan adendum dokumen pengadaan (apabila ada) dan dapat mengunggah dokumen tersebut melalui website kementerian/lembaga/pemerintah daerah/institusi dan masingmasing yang dapat diunduh oleh peserta.
f. Penjelasan yang KontroversialPenjelasan yang kontroversial ini adalah penjelasan yang berbelitbelit oleh panitia lelang, sehingga peserta bukan malah menjadi paham tetapi menjadi semakin tidak mengerti. Hal ini memang tujuan dari oknum panitia. Peserta lelang yang sudah menjalin kerja sama dengan oknum panitia, akan lebih mudah memahami karena oknum sudah memberikan penjelasan sebelumnya. Bagi peserta lelang yang tidak mempunyai kerja sama dengan panitia, pastinya akan dibuat bingung, sehingga peserta akan mengalami kesulitan dalam melengkapi persyaratan yang diajukan.
Dalam tahap ini, panitia bisa memberikan penjelasan lanjutan kepada peserta lelang dan melakukan peninjauan di lapangan. Pemberian penjelasan beserta
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah204
tahapan lainnya harus dituangkan dalam Berita Acara Pemberian Penjelasan (BAPP) yang ditandatangani oleh anggota Kelompok Kerja ULP dan minimal 1 (satu) wakil dari peserta yang hadir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen pengadaan. Apabila tidak ada satupun peserta yang hadir atau yang bersedia menandatangani BAPP, maka BAPP cukup ditandatangani oleh anggota Kelompok Kerja ULP yang hadir. Apabila dalam BAPP terdapat halhal/ketentuan baru atau perubahan penting yang perlu ditampung, maka Kelompok Kerja ULP menuangkan ke dalam adendum dokumen pengadaan yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari dokumen pengadaan.
9. Tahapan Penyerahan dan Pembukaan Penawaran
a. Relokasi Tempat Penyerahan Dokumen PenawaranLokasi tempat penyerahan dokumen seharusnya jelas dan pasti. Seperti alamat yang tercantum harus jelas, sehingga mempermudah peserta lelang untuk menyerahkan dokumen. Oleh oknum panitia, lokasi tempat penyerahan dokumen tersebut direlokasi. Oknum hanya memberitahukan alamat yang telah direlokasi tersebut kepada peserta tertentu. Untuk peserta lain yang tidak mengetahui relokasi tempat tersebut akan kehabisan waktu untuk mencarinya, dan alhasil mereka dinyatakan gugur karena tidak dapat menyerahkan dokumen tepat waktu.
b. Penerimaan Dokumen Penawaran yang TerlambatPara peserta menyampaikan langsung dokumen penawaran kepada Kelompok Kerja ULP sesuai jadwal yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan dan Kelompok Kerja ULP memasukkan ke dalam kotak/tempat pemasukan. Peserta diberikan batas waktu untuk menyampaikan dokumen penawaran. Kadang sengaja waktu yang diberikan kepada peserta lelang sangat singkat. Peserta dapat menyampaikan dokumen penawaran melalui pos/jasa pengiriman dengan ketentuan sudah diterima Kelompok Kerja ULP sebelum batas akhir pema sukan penawaran serta segala risiko keterlambatan dan kerusakan menjadi risiko peserta.
Keterlambatan peserta lelang ini dimanfaatkan oleh oknum panitia untuk memperoleh keuntungan. Oknum panitia akan memberikan keringanan kepada peserta yang terlambat menyerahkan dokumen penawaran, asalkan ada imbal annya. Dapat juga sebenarnya dokumen penawaran peserta yang di kirim tepat waktu oleh peserta tetapi dinyatakan terlambat oleh panitia. Hal ini memang disengaja agar oknum panitia dapat memperoleh keuntungan dari pelak sanaan pengadaan barang/saja pemerintah.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 205
c. Ketidaklengkapan Dokumen PenawaranDalam Perka LKPP No. 6 Tahun 2012 jo. Perka LKPP No. 14 Tahun 2012 disebutkan bahwa dokumen penawaran terdiri atas:1) surat penawaran yang di dalamnya tercantum masa berlaku penawaran,
dan mencantumkan harga penawaran;2) jaminan penawaran asli;3) rincian harga penawaran (daftar kuantitas dan harga), apabila diperlukan;4) surat kuasa dari pemimpin/direktur utama perusahaan kepada penerima
kuasa yang namanya tercantum dalam akta pendirian atau perubahannya (apabila dikuasakan);
5) surat perjanjian kemitraan/kerja sama operasi (apabila ada);6) dokumen penawaran teknis;7) formulir rekapitulasi perhitungan TKDN (apabila diperlukan);8) dokumen kualifikasi;9) dokumen lainnya yang dipersyaratkan dalam dokumen pengadaan (apabila
ada).
d. Perubahan Jadwal Pembukaan Dokumen Penawaran Tidak Disertai Alasan yang Logis
Dokumen penawaran dibuka di hadapan peserta pada waktu dan tempat sesuai ketentuan dalam dokumen pengadaan. Dalam hal terjadi penundaan waktu pembukaan penawaran, maka penyebab penundaan tersebut harus dimuat dengan jelas dalam berita acara pembukaan dokumen penawaran.
e. Penyimpanan Dokumen Penawaran Tidak Pada Kotak TerkunciPeserta menyampaikan langsung dokumen penawaran kepada Kelompok Kerja ULP sesuai jadwal yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan dan Kelompok Kerja ULP memasukkan ke dalam kotak/tempat pemasukan.
f. Pembukaan Dokumen Penawaran Dilakukan Pada Hari LiburDokumen penawaran dibuka di hadapan peserta pada waktu dan tempat sesuai ketentuan dalam dokumen pengadaan. Pembukaan dokumen penawaran dila kukan pada hari yang sama segera setelah batas akhir pemasukan penawaran, yang dihadiri paling kurang 2 (dua) peserta sebagai saksi.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah206
g. Penyerahan Dokumen Fiktif
Dokumen penawaran dibuka di hadapan peserta lelang pada waktu dan tempat sesuai dengan ketentuan dalam dokumen pengadaan. Kelompok Kerja ULP memeriksa dan menunjukkan di hadapan peserta mengenai kelengkapan dokumen penawaran yang meliputi:
1) surat penawaran yang didalamnya tercantum masa berlaku penawaran dan mencantumkan harga penawaran;
2) jaminan penawaran asli;
3) rincian harga penawaran (daftar kuantitas dan harga), apabila diperlukan;
4) surat kuasa dari direktur utama/pimpinan perusahaan kepada penerima kuasa yang namanya tercantum dalam akta pendirian atau perubahannya (apabila dikuasakan);
5) surat perjanjian kemitraan/kerja sama operasi (apabila ada);
6) dokumen penawaran teknis;
7) formulir rekapitulasi perhitungan TKDN (apabila dipersyaratkan untuk mendapatkan preferensi harga);
8) dokumen kualifikasi;
9) dokumen lainnya yang dipersyaratkan dalam dokumen pengadaan (apabila ada).
Seharusnya panitia memenuhi segala persyaratan dan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan dalam peraturan perundangundangan. Untuk mengambil keuntungan dari pengadaan barang/jasa ini, oknum memasukkan dokumen fiktif yang seolaholah itu berasal dari peserta lelang, sehingga peserta lelang dinyatakan gugur dan tidak memenuhi persyaratan, atau lelang akhirnya dibatalkan karena tidak ada yang memenuhi persyaratan.
Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi jumlah peserta dan memenangkan peserta yang telah diajak bekerja sama. Tindakan ini jelas sangat merugikan peserta lainnya. Peserta pun tidak dapat berbuat apaapa selain menerima perusaha annya tidak dapat mengikuti proses lelang selanjutnya.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 207
10. Tahapan Evaluasi Penawaran
a. Kriteria Evaluasi Cacat
Evaluasi penawaran yang dilakukan meliputi evaluasi administrasi, evaluasi teknis, dan evaluasi harga. Ketentuan umum dalam melakukan evaluasi adalah sebagai berikut.31
1) Kelompok Kerja ULP dilarang menambah, mengurangi, mengganti dan/atau mengubah kriteria dan persyaratan yang telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan.
2) Kelompok Kerja ULP dan/atau peserta dilarang menambah, mengurangi, mengganti dan/atau mengubah isi dokumen penawaran.
3) Penawaran yang memenuhi syarat adalah penawaran yang sesuai dengan ketentuan, syaratsyarat dan spesifikasi teknis yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan, tanpa ada penyimpangan yang bersifat penting/ pokok atau penawaran bersyarat.
4) Penyimpangan yang bersifat penting/pokok atau penawaran bersyarat adalah:a) penyimpangan dari dokumen pengadaan yang memengaruhi lingkup,
kualitas dan hasil/kinerja pekerjaan; dan/ataub) penawaran dari peserta dengan persyaratan tambahan di luar keten tuan
dokumen pengadaan yang akan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau tidak adil di antara peserta yang memenuhi syarat.
5) Kelompok Kerja ULP dilarang menggugurkan penawaran dengan alasan:a) ketidakhadiran dalam pemberian penjelasan dan/atau pembukaan
penawaran; dan/ataub) kesalahan yang tidak substansial, misalnya warna sampul dan/atau
surat penawaran tidak berkop perusahaan.
31 Lihat Bab II Tata Cara Pemilihan Penyedia Barang, Pelaksanaan Pelelangan Umum Secara Pascakualifikasi Metode Satu Sampul dengan Evaluasi Sistem Gugur Evaluasi Penawaran, Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 6 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah208
6) Para pihak dilarang memengaruhi atau melakukan intervensi kepada Kelompok Kerja ULP selama proses evaluasi.
7) Apabila dalam evaluasi ditemukan bukti adanya persaingan usaha yang tidak sehat dan/atau terjadi pengaturan bersama (kolusi/persekongkolan) antara peserta, ULP dan/atau PPK, dengan tujuan untuk memenangkan salah satu peserta, maka:a) Peserta yang ditunjuk sebagai calon pemenang dan peserta lain yang
terlibat dimasukkan ke dalam daftar hitam;b) ULP dan/atau PPK yang terlibat persekongkolan diganti, dikenakan
sanksi administrasi dan/atau pidana;c) Proses evaluasi tetap dilanjutkan dengan menetapkan peserta lainnya
yang tidak terlibat (bila ada); dan d) Apabila tidak ada peserta lain sebagaimana dimaksud pada angka
(3), maka pelelangan dinyatakan gagal.
Panitia dan peserta lelang harus memenuhi ketentuan tersebut. Hanya peserta yang memenuhi segala ketentuan dan persyaratan yang dinyatakan lolos. Penyimpangan dalam tahap ini terjadi meskipun semua persyaratan dan ketentuan sudah dilengkapi oleh peserta lelang, namun dinyatakan tidak lolos oleh panitia lelang, sedangkan peserta yang tidak lengkap persyaratannya dinyatakan lolos, tentu saja karena sudah ada kerja sama antara peserta dan oknum panitia.
b. Penggantian Dokumen
Penawaran dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi, apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut.
1) Syaratsyarat substansial yang diminta berdasarkan dokumen pengadaan dipenuhi atau dilengkapi, khusus untuk peserta yang tidak menyampaikan formulir TKDN, maka penawarannya tidak digugurkan dan nilai TKDNnya dianggap 0 (nol).
2) Surat penawaran:a) Ditandatangani oleh:
■ direktur utama/pimpinan perusahaan;■ penerima kuasa dari direktur utama/pimpinan perusahaan yang
nama penerima kuasanya tercantum dalam akta pendirian atau perubahannya;
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 209
■ kepala cabang perusahaan yang diangkat oleh kantor pusat yang dibuktikan dengan dokumen autentik pada saat pembuktian kualifikasi;
■ pejabat yang menurut perjanjian kerja sama berhak mewakili perusahaan yang bekerja sama; atau
■ peserta perorangan.b) Jangka waktu berlakunya surat penawaran tidak kurang dari waktu
yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan; danc) Bertanggal.Jika semua persyaratan sudah dipenuhi oleh peserta lelang, pastinya peserta
akan lolos seleksi menjadi peserta lelang. Penyimpangan dalam tahap ini dilakukan oleh oknum dengan mengganti dokumen yang diserahkan oleh peserta lelang, sehingga peserta lelang menjadi tidak lolos seleksi menjadi peserta lelang.
c. Evaluasi Tertutup dan TersembunyiEvaluasi penawaran dilakukan secara terbuka dan transparan di depan semua peserta dan pihak yang berkepentingan, sehingga dapat diketahui peserta yang memenuhi persyaratan dan siapa peserta yang tidak lengkap persyaratannya. Terkadang panitia pengadaan barang/jasa mengadakan evaluasi secara tetutup dan tersembunyi. Hal ini dilakukan untuk mengubah dokumen atau penyimpangan lain untuk memenangkan peserta tertentu. Tindakan oknum panitia ini meng indikasikan adanya KKN.
d. Dokumen Tidak Memenuhi Syarat tetapi LolosDalam pengadaan barang/jasa pemerintah, metode evaluasi harus ditetapkan secara tepat. Pada prinsipnya pelelangan untuk pemilihan penyedia menggunakan metode evaluasi sistem gugur. Evaluasi penawaran dengan sistem gugur dapat dilakukan untuk hampir seluruh pemilihan penyedia dengan urutan proses sebagai berikut.1) Evaluasi administrasi:
a) dilakukan terhadap penawaran yang tidak terlambat;b) dilakukan terhadap kelengkapan dan keabsahan syarat administrasi
yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan (tidak dikurangi, ditambah dan/atau diubah);
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah210
c) menghasilkan dua kesimpulan, yaitu memenuhi syarat administrasi atau tidak memenuhi syarat administrasi.
2) Evaluasi teknis:a) dilakukan terhadap penawaran yang dinyatakan memenuhi persya
ratan administrasi;b) dilakukan terhadap pemenuhan syarat teknis yang ditetapkan dalam
dokumen pengadaan (tidak dikurangi, ditambah dan/atau diubah);c) bila menggunakan nilai ambang batas lulus, dilakukan dengan mem
berikan penilaian (skor) terhadap unsurunsur teknis sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan;
d) menghasilkan dua kesimpulan, yaitu memenuhi syarat teknis atau tidak memenuhi syarat teknis.
3) Evaluasi harga:a) hanya dilakukan terhadap penawaran yang dinyatakan memenuhi
syarat administrasi dan teknis;b) berdasarkan hasil evaluasi harga, Kelompok Kerja ULP membuat
daftar urutan penawaran yang dimulai dari urutan harga penawaran terendah dan mengusulkan penawar terendah yang responsif sebagai calon pemenang.
e. Evaluasi Kualifikasi Tidak Memadai atau Tidak Sesuai KriteriaPeserta dinyatakan memenuhi persyaratan kualifikasi apabila:1) Formulir kualifikasi ditandatangani oleh:
a) direktur utama/pimpinan perusahaan;b) penerima kuasa dari direktur utama atau pimpinan perusahaan
yang nama penerima kuasanya tercantum dalam akta pendirian atau perubahannya;
c) kepala cabang perusahaan yang diangkat oleh kantor pusat yang dibuktikan dengan dokumen autentik;
d) pejabat yang menurut perjanjian kerja sama berhak mewakili perusahaan yang bekerja sama; atau
e) peserta perorangan.2) Memiliki izin usaha sesuai dengan peraturan perundangundangan, kecuali
peserta perorangan.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 211
3) Menyampaikan pernyataan/pengakuan tertulis bahwa perusahaan yang bersangkutan dan manajemennya tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak bangkrut dan tidak sedang dihentikan kegiatan usahanya.
4) Salah satu dan/atau semua pengurus dan badan usahanya atau peserta perorangan tidak masuk dalam daftar hitam.
5) Memiliki NPWP dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun pajak terakhir (SPT tahunan) serta memiliki laporan bulanan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 (bila ada transaksi), PPh Pasal 25/Pasal 29 dan PPN (bagi Pengusaha Kena Pajak) paling kurang 3 (tiga) bulan terakhir dalam tahun berjalan. Peserta dapat mengganti persyaratan ini dengan menyampaikan Surat Keterangan Fiskal (SKF).
6) Memperoleh paling sedikit 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta termasuk pengalaman subkontrak, kecuali bagi penyedia usaha mikro, usaha kecil, dan koperasi kecil yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun.
7) Memiliki kemampuan pada bidang pekerjaan yang sesuai untuk usaha mikro, usaha kecil serta koperasi kecil serta kemampuan pada subbidang pekerjaan yang sesuai untuk usaha nonkecil.
8) Dalam hal peserta akan melakukan kemitraan:a) Peserta wajib mempunyai perjanjian kerja sama operasi/kemitraan
yang memuat persentase kemitraan dan perusahaan yang mewakili kemitraan tersebut;
b) Untuk perusahaan yang melakukan kemitraan, evaluasi persyaratan pada huruf a) sampai dengan huruf g) dilakukan untuk setiap perusahaan yang melakukan kemitraan.
9) Memiliki Sertifikat Manajemen Mutu ISO, apabila diperlukan.
f. Dokumen Administrasi Bersifat “Aspal”Sebagai contoh dokumen administrasi adalah sebagai berikut.1) Surat penawaran:
a) ditandatangani oleh:■ direktur utama/pimpinan perusahaan;■ penerima kuasa dari direktur utama/pimpinan perusahaan yang
nama penerima kuasanya tercantum dalam akta pendirian atau perubahannya;
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah212
■ kepala cabang perusahaan yang diangkat oleh kantor pusat yang dibuktikan dengan dokumen autentik pada saat pembuktian kualifikasi;
■ pejabat yang menurut perjanjian kerja sama berhak mewakili perusahaan yang bekerja sama; atau
■ peserta perorangan.b) jangka waktu berlakunya surat penawaran tidak kurang dari waktu
yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan;c) bertanggal.
2) Surat jaminan penawaran memenuhi ketentuan sebagai berikut.a) Diterbitkan oleh Bank Umum, perusahaan penjaminan atau perusa
haan asuransi yang mempunyai program asuransi kerugian (suretyship) sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
b) Jaminan penawaran dimulai sejak tanggal terakhir pemasukan penawaran dan masa berlakunya tidak kurang dari waktu yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan.
c) Nama peserta sama dengan nama yang tercantum dalam surat jaminan penawaran.
d) Besaran nilai jaminan penawaran tidak kurang dari nilai jaminan yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan.
e) Besaran nilai jaminan penawaran dicantumkan dalam angka dan huruf.
f) Nama Kelompok Kerja ULP yang menerima jaminan penawaran sama dengan nama Kelompok Kerja ULP yang mengadakan pelelangan.
g) Paket pekerjaan yang dijamin sama dengan paket pekerjaan yang dilelangkan.
g. Dokumen Kualifikasi Tidak Didukung Data Autentik
Peserta dinyatakan memenuhi persyaratan kualifikasi apabila:
1) Formulir kualifikasi ditandatangani oleh:a) direktur utama/pimpinan perusahaan;b) penerima kuasa dari direktur utama atau pimpinan perusahaan
yang nama penerima kuasanya tercantum dalam akta pendirian atau perubahannya;
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 213
c) kepala cabang perusahaan yang diangkat oleh kantor pusat yang dibuktikan dengan dokumen autentik;
d) pejabat yang menurut perjanjian kerja sama berhak mewakili perusahaan yang bekerja sama;
e) peserta perorangan.2) Memiliki izin usaha sesuai dengan peraturan perundangundangan, kecuali
peserta perorangan.3) Menyampaikan pernyataan/pengakuan tertulis bahwa perusahaan yang
bersangkutan dan manajemennya tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak bangkrut dan tidak sedang dihentikan kegiatan usahanya.
4) Salah satu dan/atau semua pengurus dan badan usahanya atau peserta perorangan tidak masuk dalam daftar hitam.
5) Memiliki NPWP dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun pajak terakhir (SPT tahunan) serta memiliki laporan bulanan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 (bila ada transaksi), PPh Pasal 25/Pasal 29 dan PPN (bagi Pengusaha Kena Pajak) paling kurang 3 (tiga) bulan terakhir dalam tahun berjalan. Peserta dapat mengganti persyaratan ini dengan menyampaikan Surat Keterangan Fiskal (SKF).
6) Memperoleh paling sedikit 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta termasuk pengalaman subkontrak, kecuali bagi penyedia usaha mikro, usaha kecil dan koperasi kecil yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun.
7) Memiliki kemampuan pada bidang pekerjaan yang sesuai untuk usaha mikro, usaha kecil serta koperasi kecil serta kemampuan pada sub bidang pekerjaan yang sesuai untuk usaha nonkecil.
8) Dalam hal peserta akan melakukan kemitraan:a) peserta wajib mempunyai perjanjian kerja sama operasi/kemitraan
yang memuat persentase kemitraan dan perusahaan yang mewakili kemitraan tersebut;
b) untuk perusahaan yang melakukan kemitraan, evaluasi persyaratan pada huruf a) sampai dengan huruf g) dilakukan untuk setiap perusahaan yang melakukan kemitraan.
9) Memiliki Sertifikat Manajemen Mutu ISO, apabila diperlukan.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah214
h. Dokumen DisusulkanEvaluasi kualifikasi dalam proses pascakualifikasi sudah merupakan ajang kompetisi, maka data yang kurang tidak dapat dilengkapi.
i. Persyaratan Teknis Tidak Realistis dan Menambahkan Persyaratan yang Tidak Perlu
Evaluasi teknis dilakukan terhadap peserta yang dinyatakan memenuhi persya ratan administrasi. Unsurunsur yang dievaluasi teknis sesuai dengan yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan. Penawaran dinyatakan meme nuhi persyaratan teknis, apabila:1) spesifikasi teknis barang yang ditawarkan berdasarkan contoh, brosur, dan
gambargambar sesuai dengan yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan;2) jangka waktu pelaksanaan pekerjaan dan/atau jadwal serah terima pekerjaan
(dalam hal serah terima pekerjaan dilakukan per termin) yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan;
3) identitas (jenis, tipe, dan merek) yang ditawarkan tercantum dengan lengkap dan jelas (apabila diperlukan);
4) layanan purna jual sesuai dengan yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan (apabila dipersyaratkan);
5) tenaga teknis sesuai dengan yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan (apabila diperlukan);
6) bagian pekerjaan yang akan disubkontrakkan sesuai dengan yang dite tap kan dalam dokumen pengadaan.
j. Kriteria Kelulusan Evaluasi Tidak JelasKriteria kelulusan evaluasi sebagaimana disebutkan sebelumnya harus disebutkan secara jelas. Apabila ditemukan halhal dan/atau data yang kurang jelas maka dilakukan klarifikasi secara tertulis namun tidak boleh mengubah substansi formulir isian kualifikasi.
k. Dokumen Tidak Standar (Tidak Sesuai SDP) dan Tidak LengkapSebagaimana disebutkan di atas, dokumendokumen yang dibuat dan diserahkan kepada panitia harus sesuai dengan persyaratan. Akan tetapi, dokumen yang dibuat baik oleh panitia dan peserta tidak sesuai dengan ketentuan, begitu pula dokumen yang harus diserahkan oleh peserta kepada panitia. Peserta lelang
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 215
kadang menyerahkan dokumen yang tidak lengkap. Hal ini yang menjadi celah dilakukannya penyimpangan.
l. Penggantian Dokumen PenawaranPenarikan, penggantian, perubahan, atau penambahan dokumen penawaran harus disampaikan secara tertulis dan disampul serta diberikan tanda dengan penambahan pencantuman kata “PENARIKAN”, “PENGGANTIAN”, “PERUBAHAN” atau ”PENAMBAHAN”, sesuai dengan isi sampul tanpa mengambil dokumen penawaran yang sudah disampaikan sebelumnya.
Segera setelah batas akhir pemasukan penawaran, Kelompok Kerja ULP menyatakan kepada peserta bahwa saat pemasukan penawaran telah ditutup sesuai waktunya, menolak dokumen penawaran yang terlambat dan/atau sebagian tambahan dokumen penawaran, serta membuka dokumen penawaran yang masuk.
m. Peserta Lelang Terpola dalam Rangka Berkolusi dan Menurun Secara Mencolok
Indikasi adanya KKN dalam pengadaan barang dan jasa memang sudah menjadi risiko. Hal tersebut dapat dicegah apabila semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah mematuhi segala ketentuan dan etika pengadaan barang/jasa. Kolusi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah ini terjadi memang sudah direncanakan sebelumnya oleh oknum panitia dan peserta lelang. Mereka sudah menjalin kerja sama untuk berbagi keuntungan dalam tender pemerintah.
11. Tahapan Pengumuman Harga Penawarana. Pengumuman sangat terbatas. Pengumuman sangat terbatas di sini, dalam arti pengumuman tidak disebar
kan pada seluruh peserta, tetapi hanya peserta tertentu.b. Tanggal pengumuman sengaja ditunda. Tanggal pengumuman yang sengaja ditunda pada akhirnya tidak dapat
memberikan kepastian bagi peserta lelang.c. Pengumuman yang tidak informatif. Pengumuman yang diberikan tidak detail, sehingga banyak peserta yang
tidak mengerti. Hal ini dimanfaatkan oleh oknum panitia untuk mengambil keuntungan dari peserta.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah216
12. Tahapan Sanggahan Peserta Lelanga. Tidak Seluruh Sanggahan DitanggapiPeserta yang memasukkan penawaran dapat menyampaikan sanggahan secara tertulis atas penetapan pemenang kepada Kelompok Kerja ULP dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah pengumuman pemenang disertai bukti terjadinya penyimpangan, dengan tembusan kepada PPK, PA/KPA, dan APIP Kemen te rian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi yang bersangkutan. Sanggahan diajukan oleh peserta baik secara sendirisendiri maupun bersamasama dengan peserta lain apabila terjadi penyimpangan prosedur meliputi:1) penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang diatur dalam
Perpres No. 54 Tahun 2010 yang terakhir diubah dengan Perpres No. 4 Tahun 2015 beserta petunjuk teknisnya dan yang telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan;
2) rekayasa tertentu sehingga menghalangi terjadinya persaingan usaha yang sehat; dan/atau
3) penyalahgunaan wewenang oleh Kelompok Kerja ULP dan/atau pejabat yang berwenang lainnya.Kelompok Kerja ULP memberikan jawaban tertulis atas semua sanggahan
paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah menerima surat sanggahan. Apabila sanggahan dinyatakan benar, maka Kelompok Kerja ULP menyatakan pelelangan gagal. Sanggahan yang disampaikan kepada PA/KPA, PPK, atau disampaikan di luar masa sanggah, dianggap sebagai pengaduan dan tetap harus ditindaklanjuti. Peserta yang tidak puas dengan jawaban sanggahan dari Kelompok Kerja ULP dapat mengajukan sanggahan banding secara tertulis kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi atau kepada Pejabat yang menerima penugasan menjawab sanggahan banding paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah menerima jawaban sanggahan, dengan tembusan kepada PPK, Kelompok Kerja ULP, APIP Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi yang bersangkutan.
Kadang sanggahan yang diajukan oleh peserta tidak semua ditanggapi, atau bahkan tidak ditanggapi sama sekali oleh panitia pengadaan barang/jasa. Hal itu sengaja dilakukan memang sudah ada pemenang lelang yang sebenarnya sudah disiapkan sebelumnya sejak akan diadakannya pengadaan barang/jasa pemerintah. Jadi, peserta yang mengajukan sanggahan siasia saja dan hanya membuangbuang waktu untuk mengikuti tender yang tidak transparan.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 217
b. Substansi Sanggahan Tidak DitanggapiSanggahan banding yang disampaikan bukan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi atau Pejabat yang menerima penugasan menjawab sanggahan banding atau disampaikan di luar masa sanggah banding, dianggap sebagai pengaduan dan tetap harus ditindaklanjuti.
Meskipun sanggahan terlambat diterima, tetap saja sanggahan tetap ditindak lanjuti apalagi jika terjadi penyimpangan. Panitia tidak menanggapi, baik sanggahan yang diajukan dalam masa sanggah maupun di luar masa sanggah, sehingga sanggahan yang diajukan oleh peserta menjadi tidak berarti. Seharusnya, panitia harus mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan, agar pengadaan barang/jasa dapat berjalan dengan baik dan lancar, sehingga penyimpanganpenyimpangan yang terjadi dalam pengadaan barang/jasa, yang diketahui dari sanggahan peserta lelang dapat menjadi acuan atau pembelajaran untuk proses pengadaan barang/jasa selanjutnya.
c. Sanggahan Performa untuk Menghindari Tuduhan Tender DiaturPeserta bisa memberikan sanggahan karena menganggap tender yang dilakukan pemerintah sudah diatur atau tidak objektif dalam memilih rekanan. Pihak panitia akan memberikan jawaban dari sanggahan peserta, meskipun memang lelang yang diadakan tidak objektif. Hal ini untuk menghindari agar perbuatan oknum tidak diketahui, karena jika terbukti benar apa yang disanggah oleh peserta, maka panitia dan rekanan yang melakukan kerja sama akan mendapatkan sanksi.
d. Surat Sanggahan Tidak DitanggapiSebagaimana diketahui, pengajuan sanggahan oleh peserta lelang diberi kan jangka waktu maksimal 5 (lima) hari kerja sejak pengumuman lelang. Terkadang, surat sanggahan dari peserta lelang yang ditujukan kepada panitia dibiarkan begitu saja tidak mendapatkan tanggapan dari panitia.
e. Jawaban Sanggahan Ditunda-tundaSurat sanggahan dari peserta lelang telah diterima oleh panitia, tetapi panitia menundanunda jawaban terhadap sanggahan peserta. Oknum panitia dengan berbagai alasan sengaja untuk menunda memberikan jawaban kepada peserta lelang yang memberikan sanggahan sampai waktunya untuk memberikan sanggahan habis.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah218
13. Tahapan Pengumuman dan Penunjukan Pemenang
a. Perubahan Jadwal Pengumuman Pemenang Tanpa Alasan yang JelasSeharusnya jadwal pengumuman pemenang tender pengadaan barang/jasa pemerintah sudah ditentukan dan diberitahukan kepada seluruh peserta tender, tetapi oleh oknum panitia jadwal pengumuman diubah tanpa alasan yang jelas, sehingga peserta lelang tidak mengetahui kepastian jadwal peng umuman pemenang. Perubahan jadwal tanpa alasan yang jelas oleh oknum panitia merupakan modus yang digunakan untuk mengaburkan pemenang lelang yang seharusnya memang lolos sesuai dengan kriteria sebagai pemenang lelang, untuk kemudian diubah oleh oknum panitia agar pemenangnya adalah rekanan yang sebelumnya sudah ditunjuk.
b. Tidak Ada Pengumuman PemenangTender yang dilakukan oleh panitia hanya merupakan formalitas belaka, karena pada tender tersebut sudah ada rekanan yang ditunjuk oleh oknum panitia sebagai pemenang, sehingga dalam proses pengadaan tersebut, oknum panitia tidak mengumumkan pemenangnya, dan jika peserta tender ingin mengetahui pemenang tender, oknum panitia dapat berdalih bahwa pemenangnya sudah diumumkan dan sudah ditunjuk.
c. Pengumuman Pemenang Tidak Diberitahukan kepada Seluruh Peserta Lelang
Pengumuman lelang harus diberitahukan kepada seluruh peserta lelang, karena dengan diumumkannya pemenang lelang, jika ada peserta lelang yang tidak menerima keputusan maka dapat mengajukan sanggahan. Akan tetapi hal ini tidak dilakukan karena oknum panitia memang sengaja tidak memberitahukan kepada peserta lelang siapa pemenangnya, karena kemungkinan pemenang lelang adalah rekanan yang telah berkolusi dengan oknum panitia yang sebenarnya rekanan tersebut tidak memenuhi segala kriteria yang sudah ditetapkan.
d. Pengumuman Tidak Mengindahkan Aspek Publik atau Dilakukan Tersembunyi
Pengumuman dan penunjukan pemenang harus diketahui oleh publik sehingga menunjukkan bahwa pengadaan bersifat transparan. Akan tetapi, jika peng umuman
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 219
tersebut dilakukan secara sembunyisembunyi, maka hal ini mengindikasikan bahwa pengadaan tersebut sudah tidak sehat, dalam arti ada unsur KKN di dalamnya.
e. Pengumuman Tidak Sesuai Kaidah
Kelompok Kerja ULP mengumumkan pemenang dan pemenang cadangan 1 dan 2 (apabila ada) di website Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi masingmasing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat yang memuat paling kurang:
1) nama paket pekerjaan dan nilai total HPS;
2) nama, NPWP, dan alamat penyedia serta harga penawaran atau harga penawaran terkoreksi; dan
3) hasil evaluasi penawaran administrasi, teknis, dan biaya untuk seluruh peserta yang dievaluasi.
Penyimpangan yang terjadi dalam tahap ini, panitia membuat peng umuman yang terbatas agar peserta lain tidak memperoleh informasi lengkap perihal berbagai persyaratan ataupun evaluasi yang harus diketahui, sehingga peserta lain tidak dapat melakukan perbaikan dan memenuhi persyaratan lain nya. Apabila terbukti terjadi kecurangan dalam pengumuman, maka kepada:
1) panitia/pejabat pengadaan dikenakan sanksi administratif, ganti rugi, dan/atau pidana sesuai ketentuan peraturan perundangan berlaku; dan/atau
2) peserta yang terlibat dimasukkan ke dalam daftar hitam, dan/atau dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan peraturan perundangundangan.
f. Surat Penunjukan yang Tidak Lengkap
Jika tidak ada sanggahan dari peserta lelang, maka penunjukan dilakukan paling lambat 6 hari kerja. Jika ada sanggahan, waktunya menjadi paling lambat 6 hari kerja setelah sanggahan dijawab atau 2 hari kerja setelah adanya sanggahan banding dari pemimpin.
Kelompok Kerja ULP menyampaikan BAHP kepada PPK dengan tembusan kepada Kepala ULP sebagai dasar untuk menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ). PPK menerbitkan SPPBJ, dengan ketentuan apabila:
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah220
1) pernyataan peserta pada formulir isian kualifikasi masih berlaku;2) tidak ada sanggahan dari peserta;3) sanggahan dan/atau sanggahan banding terbukti tidak benar; dan4) masa sanggah dan/atau masa sanggah banding berakhir.
Penyimpangan dalam tahap ini, panitia membuat surat penunjukan yang tidak lengkap. Ketentuan yang diberikan tidak dilaksanakan oleh panitia, meskipun pemenang lelang telah memenuhi segala persyaratan dan kuali fikasinya. Panitia dapat menyingkirkan pemenang lelang dan memilih peserta lain yang telah menjalin kerja sama atau komitmen secara khusus dengan panitia, sehingga akan ditunjuk sebagai penyedia barang/jasa dalam tender pemerintah tersebut.
g. Surat Penunjukan yang Sengaja Ditunda PengeluarannyaSurat penunjukan harus diterbitkan paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah pengumuman penetapan pemenang, apabila tidak ada sanggahan. Jika ada sanggahan, maka surat penunjukan harus diterbitkan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah semua sanggahan dan sanggahan banding dijawab.
Untuk kepentingan tertentu, panitia sengaja membuat surat penunjukan ditunda penerbitannya. Maksudnya agar pemenang lelang terlambat untuk merespon pekerjaan yang diberikan. Jika pemenang lelang terlambat merespon pekerjaan yang diberikan, maka akan mendapatkan penilaian yang buruk dari panitia, dan dikemudian hari apabila ada tender dari pemerintah, perusahaan tersebut akan mengalami kesulitan untuk mengikuti tender lagi.
h. Surat Penunjukan Dibuat Terburu-buruPanitia menerbitkan surat penunjukan terburuburu, sehingga surat penunjukan menjadi tidak lengkap. Seperti disebutkan sebelumnya, surat penunjukan yang tidak lengkap merupakan modus oknum panitia untuk menggagalkan pemenang lelang untuk melakukan pekerjaan. Panitia sengaja berbuat demikian, agar mempunyai kesempatan untuk mengajukan peserta lelang yang sudah mempunyai kerja sama dengan oknum panitia sebelumnya.
i. Surat Penunjukan yang Tidak Sah
Salah satu tembusan dari surat penunjukan disampaikan kepada unit pengawasan internal. Dalam hal PPK tidak bersedia menerbitkan surat penunjukan karena
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 221
tidak sependapat atas penetapan pemenang, diberitahukan kepada PA/KPA untuk diputuskan dengan ketentuan:
1) apabila PA/KPA sependapat dengan PPK, dilakukan evaluasi ulang atau pelelangan dinyatakan gagal; atau
2) apabila PA/KPA sependapat dengan Kelompok Kerja ULP, PA/KPA me mutuskan penetapan pemenang oleh Kelompok Kerja ULP bersifat final, dan PA/KPA memerintahkan PPK untuk menerbitkan SPPBJ.
Surat penunjukan ini sah apabila ditandatangani oleh pejabat terkait dengan tender yang akan dilaksanakan. Oleh oknum panitia, surat penunjukkan itu tidak ditanda tangani oleh pejabat yang sah. Tentunya hal ini sengaja dilakukan oleh oknum panitia untuk maksud tertentu.
Hal ini jelas sangat merugikan bagi peserta yang menerima surat penunjukan tidak sah tersebut. Jika nanti dilakukan pemeriksaan, peserta yang menerima surat penunjukan tidak sah tersebut akan dinyatakan telah melakukan pemal suan, sehingga akan dimasukkan ke daftar hitam dan tidak dapat mengikuti tender kembali, bahkan bisa dipidana.
j. Tanggal Surat Penunjukan Dibuat Lebih Belakangan Dibandingkan Tanggal Kontrak
Sebagaimana disebutkan di atas, surat penunjukan diterbitkan paling lambat 6 hari kerja setelah pengumuman penetapan pemenang apabila tidak ada sanggahan. Akan tetapi bila ada sanggahan, surat penunjukan diterbitkan paling lambat 2 hari kerja setelah semua sanggahan dan sanggahan banding dijawab. Jadi, tanggal surat penunjukan dibuat setelah pengumuman penetapan tetapi oleh oknum panitia dibuat setelah kontrak, sehingga memang sudah ada unsur kesengajaan untuk menyerahkan pekerjaan kepada peserta yang diajak bekerja sama. Harusnya tanggal surat penunjukan dan tanggal kontrak harus dibuat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, tetapi untuk kepentingan tertentu, hal itu dibuat untuk menunjuk pada salah satu peserta yang telah berkolusi dengan panitia.
Tanggal kontrak menjelaskan hari, tanggal, bulan, dan tahun kontrak yang ditandatangani oleh para pihak. Kontrak ditandatangani paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterbitkannya surat penunjukan.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah222
14. Tahapan Penandatanganan Kontraka. Adanya Kejanggalan dalam KontrakIsi kontrak dibuat sesuai dengan ketentuan yang telah dipersyaratkan. Panitia tidak boleh membuat kontrak yang menyimpang dari ketentuan. Dalam kontrak tidak diperbolehkan ada katakata yang isinya memberikan penawaran, menjanjikan, atau menerima imbalan apa pun terkait dengan pengadaan barang/jasa. Panitia maupun peserta tidak boleh memberikan dokumen atau keterangan yang tidak benar, dan perbuatanperbuatan yang menyimpang lainnya.
b. Penandatanganan Kontrak yang Ditunda-tundaSetelah SPPBJ diterbitkan, PPK melakukan finalisasi terhadap rancangan kontrak, dan menandatangani kontrak pelaksanaan pekerjaan, apabila dananya telah cukup tersedia dalam dokumen anggaran. Penandatanganan kontrak dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterbitkan SPPBJ dan setelah penyedia menyerahkan jaminan pelaksanaan. Jika penandatanganan kontrak terlambat dan melebihi waktu 14 hari, maka sudah pasti tender akan dibatalkan.
c. Tidak Dilengkapi Surat Jaminan Pelaksanaan dari Bank (untuk Nilai Tertentu)
Penyedia menyerahkan jaminan pelaksanaan dengan ketentuan berikut.1) Nilai jaminan pelaksanaan untuk harga penawaran terkoreksi antara 80%
(delapan puluh perseratus) sampai dengan 100% (seratus perseratus) nilai total HPS adalah sebesar 5% (lima perseratus) dari nilai kontrak.
2) Nilai jaminan pelaksanaan untuk harga penawaran terkoreksi atau di bawah 80% (delapan puluh perseratus) nilai HPS adalah sebesar 5% (lima perseratus) dari nilai total HPS.
3) Masa berlaku jaminan pelaksanaan sejak tanggal penandatanganan kontrak sampai serah terima barang berdasarkan kontrak.Penjaminan ini dimaksudkan sebagai sarana menjamin keberlangsungan
kontrak pekerjaaan pengadaan barang/jasa apabila nanti rekanan memenangi tender atau lelang yang diadakan. Apabila setelah mendapatkan pekerjaan pengadaan tersebut rekanan mangkir, penjaminan dari bank atau dari perusahaan asuransi bisa dijadikan sarana penutup kerugian pengadaan seleksi dan pelelangan yang dilakukan oleh pemerintah. Nantinya jaminan tersebut akan digunakan sebagai dana untuk mengadakan seleksi atau pelelangan ulang.32
32 Marzuqi Yahya dan Endah Fitri Susanti, op.cit., hlm. 92 dan 93.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 223
Dalam hal tidak ada jaminan dari peserta lelang ini, adalah untuk mempermudah peserta yang berkolusi dengan oknum panitia untuk mem peroleh pekerjaan dan mendapatkan keuntungan dari pengadaan barang/jasa, meskipun rekanan tidak mangkir dari pekerjaan yang diberikan, tujuannya tetap pada keuntungan yang akan didapat.
d. Tanggal Surat Jaminan Pelaksanaan Lebih Belakangan Dibandingkan dengan Tanggal Kontrak
PPK dan penyedia tidak diperkenankan mengubah substansi dokumen pengadaan sampai dengan penandatanganan kontrak, kecuali mempersingkat waktu pelaksanaan pekerjaan dikarenakan jadwal pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan sebelumnya akan melewati batas tahun anggaran. Dalam hal perubahan waktu pelaksanaan pekerjaan melewati batas tahun anggaran, maka penandatanganan kontrak dilakukan setelah mendapat persetujuan kontrak tahun jamak.
Untuk surat jaminan penawaran diberikan pada saat calon peserta mengajukan surat penawaran. Jadi, surat jaminan penawaran dibuat sebelum pe nandatanganan kontrak. Untuk penyerahan jaminan pelaksanaan dilakukan sebelum penandatanganan kontrak, tidak lebih dari 14 hari setelah diterbitkannya surat penunjukan. Masa berlakunya jaminan pelaksanaan ini dimulai sejak tanggal penandatanganan kontrak sampai dengan serah terima pekerjaan berdasarkan kontrak. Jadi, jika tanggal surat jaminan pelaksanaan lebih belakangan dari tanggal kontrak, sudah pasti ada indikasi adanya penyimpangan dalam tender.
e. Penandatanganan Kontrak yang KolutifKontrak yang dibuat diatur sedemikian rupa dan lengkap, seolaholah tidak ada kejanggalan, namun apabila dikaji lebih mendalam, di dalam kontrak terdapat isi yang bersifat memberikan keuntungan pada beberapa pihak. Selain itu, jaminan pelaksanaan tidak ada, untuk mempermudah rekanan memperoleh pekerjaan tersebut. Kontrak yang dibuat banyak kekurangan, begitu juga dengan dokumen pendukungnya. Jadi, kontrak ini memang sengaja ditujukan untuk mendapatkan keuntungan antara oknum panitia dan rekanan yang memiliki kerja sama dengan oknum panitia.
f. Penandatanganan Kontrak secara TertutupPihak yang berwenang menandatangani kontrak atas nama penyedia adalah direksi yang disebutkan namanya dalam akta pendirian/anggaran dasar, yang
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah224
telah didaftarkan sesuai dengan peraturan perundangundangan atau penyedia perorangan. Pihak lain yang bukan direksi atau yang namanya tidak disebutkan dalam akta pendirian/anggaran dasar dapat menandatangani kontrak pengadaan barang/jasa, sepanjang pihak tersebut adalah pengurus/karyawan perusahaan yang berstatus sebagai tenaga kerja tetap dan mendapat kuasa atau pendelegasian wewenang yang sah dari direksi atau pihak yang sah berdasarkan akta pendirian/anggaran dasar untuk menandatangani kontrak pengadaan barang/jasa.
Penandatanganan kontrak dilakukan secara terbuka dan transparan, sehingga tidak ada kolusi dan nepotisme. Penandatanganan kontrak yang dilakukan secara terbuka memberikan kesan bahwa proses tender dilaksanakan secara fair dan sesuai prosedur. Bila penandatanganan kontrak dilakukan secara tertutup, dapat menimbulkan kecurigaan, dan memang ada hal yang sengaja ditutuptutupi oleh panitia atau pejabat pengadaan barang dan jasa atas pelaksanaan penandatanganan yang tertutup tersebut.
g. Penandatanganan Kontrak Tidak Sah
Penandatanganan kontrak dianggap tidak sah bila tidak memenuhi persyaratan yang berlaku, misalnya dalam kontrak terdapat salah satu hal yang tidak tercantum hal hal berikut.33
1) Memuat tanggal mulai berlakunya kontrak.
2) Nama dan alamat para pihak.
3) Nama paket pekerjaan yang diperjanjikan.
4) Harga kontrak dalam angka dan huruf.
5) Pernyataan bahwa kata dan ungkapan yang terdapat dalam syaratsyarat umum/khusus kontrak telah ditafsirkan sama bagi para pihak.
6) Kesanggupan penyedia barang/jasa untuk membayar kepada penyedia barang/jasa sesuai dengan jumlah harga kontrak.
7) Tanda tangan para pihak di atas meterai.
Halhal tersebut harus ada di dalam kontrak. Jika salah satu persyaratan di atas sengaja dihilangkan, maka kontrak yang ditandatangani menjadi tidak sah.
33 Rohim, op.cit., hlm. 75 dan 76.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 225
15. Tahapan Penyerahan Barang/Jasa
a. Volume yang Tidak Sama
Setelah pekerjaan selesai, penyedia mengajukan permintaan secara tertulis kepada PPK untuk penyerahan pekerjaan. Hasil pekerjaan penyedia akan dinilai oleh panitia atau Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan. Apabila terdapat ke kurangankekurangan dan/atau cacat hasil pekerjaan, penyedia wajib memperbaiki/menye lesaikannya. Misalnya adalah volume pekerjaan yang tidak sama dengan dokumen yang tertuang dalam berita acara.
Jika terjadi hal demikian, maka tidak dapat dilakukan proses selanjutnya, begitu juga dengan pembayaran. Volume yang tidak sama ini merupakan bentuk kesengajaan dari penyedia, dan apabila dilanjutkan proses selanjutnya berarti telah terjadi kolusi antara penyedia dengan panitia.
Pengguna barang berhak menolak karena volume barang tidak sesuai, penyedia barang harus menggantinya sesuai dengan yang tertera dalam dokumen pengadaan, dan biaya sepenuhnya ditanggung penyedia barang.
b. Mutu atau Kualitas Pekerjaan yang Lebih Rendah dari Ketentuan dalam Spesifikasi Teknik
PPK menerima penyerahan pekerjaan setelah:
1) seluruh hasil pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan kontrak dan diterima oleh panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan;
2) penyedia menyerahkan sertifikat garansi kepada PPK (apabila diperlukan).
Pembayaran akan dilakukan setelah barang dinyatakan diterima sesuai dengan berita acara serah terima barang dan bilamana dianggap perlu dileng kapi dengan berita acara hasil uji coba.
Mutu atau kualitas pekerjaan sangat penting dalam tender ini. Jika mutu atau kualitas pekerjaan lebih rendah dari ketentuan dalam spesifikasi teknik, tentu saja hal ini akan tidak hanya akan merugikan pengguna barang, tetapi juga keuangan negara. Oleh karena itu, sebelum hasil pekerjaan diserahkan, harus dilakukan pemeriksaan hasil pekerjaan sedetail mungkin oleh panitia, sehingga apabila terjadi ketidaksesuaian maka dapat mengajukan komplain kepada penyedia.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah226
c. Mutu/Kualitas Pekerjaan yang Tidak Sama dengan Spesifikasi TeknikSama dengan hal sebelumnya, mutu/kualitas yang tidak sama dengan spe sifikasi teknik sudah pasti akan merugikan pihak pengguna barang khususnya. Apabila barang tidak sesuai dengan spesifikasi, maka barang tidak dapat digunakan secara maksimal. Jika mutu atau kualitas pekerjaan tidak sama dengan yang tercantum dalam berita acara, maka pekerjaan tersebut dapat ditolak.
Mengubah mutu/kualitas pekerjaan menjadi tidak sesuai dengan spesi fikasi teknik ini dilakukan pihakpihak tertentu untuk memperoleh keuntungan. Mengurangi mutu/kualitas pekerjaan tentunya akan menggunakan bahan yang lebih murah, sehingga keuntungan yang didapat akan lebih banyak.
d. Jaminan Pasca Jual PalsuSeluruh hasil pekerjaan yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan kontrak akan diterima oleh panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan. Penyedia harus menyerahkan sertifikat garansi kepada PPK, apabila hal itu memang diperlukan. Garansi ini merupakan jaminan bagi pengguna barang apabila di kemudian hari terdapat kerusakan barang, yang bukan karena kesalahan pengguna, maka pengguna dapat mengajukan komplain kepada penyedia untuk perbaikan atau ganti kerugian karena barang yang rusak. Akan tetapi, kadang penyedia tidak memberikan garansi atau memberikan garansi palsu. Hal ini dilakukan penyedia agar penyedia tidak menderita kerugian mengganti barang yang rusak.
e. Keterlambatan Penyerahan Barang/Jasa
Keterlambatan penyerahan barang/jasa jelas sangat merugikan pengguna barang, karena kebutuhan terhadap barang tersebut tidak dapat ditunda. Keter lambatan penyerahan barang/jasa ini diberikan denda dan pengguna akan meminta ganti rugi kepada penyedia barang.
1) Denda merupakan sanksi finansial yang dikenakan kepada penyedia barang/jasa, sedangkan ganti rugi merupakan sanksi finansial yang dike nakan kepada PPK, karena terjadinya cidera janji/wanprestasi yang tercantum dalam kontrak.
2) Besarnya denda kepada penyedia atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan adalah:
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 227
a) 1/1000 (satu per seribu) dari harga bagian kontrak yang tercantum dalam kontrak dan belum dikerjakan, apabila bagian pekerjaan dimaksud sudah dilaksanakan dan dapat berfungsi; atau
b) 1/1000 (satu per seribu) dari harga kontrak, apabila bagian barang yang sudah dilaksanakan belum berfungsi.
3) Besarnya ganti rugi yang dibayar oleh PPK atas keterlambatan pembayaran adalah sebesar bunga terhadap nilai tagihan yang terlambat dibayar, berdasarkan tingkat suku bunga yang berlaku pada saat itu menurut ketetapan Bank Indonesia, atau dapat diberikan kompensasi sesuai ketentuan dalam dokumen kontrak.
4) Tata cara pembayaran denda dan/atau ganti rugi diatur di dalam dokumen kontrak.
f. Kriteria Penerimaan Barang/Jasa Bisa atau Tidak JelasPPK menerima seluruh hasil pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan kontrak dan telah dilakukan uji coba. Dalam tahap ini, penerimaan barang tidak dilakukan pengecekan dan pemeriksaan terlebih dahulu, apakah sesuai dengan kontrak atau tidak. Meskipun tidak sesuai dengan kontrak, proses tetap dilanjutkan. Hal ini menimbulkan kerugian bagi pengguna barang, dan jelas sekali terdapat penyimpangan terhadap prosedur, dan adanya KKN dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
g. Penyerahan Barang/Jasa di Lokasi yang Tidak TepatPenyerahan barang/jasa harus dilakukan sesuai dengan kontrak, jadwal, dan lokasinya sudah ditetapkan. Penyerahan barang/jasa di lokasi yang tidak tepat dapat menunjukkan bahwa sebenarnya pengadaan yang dilakukan itu tidak sesuai dengan regulasi yang sudah ada, barang/jasa tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sehingga harus disembunyikan agar jauh dari pengawasan, bisa juga sebenarnya pengadaan yang dilaksanakan adalah pengadaan fiktif yang memang pengadaan itu tidak diperlukan tetapi dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dari dilakukannya pengadaan barang/jasa.
h. Barang/Jasa yang Belum atau Tidak Dapat DimanfaatkanBarang/jasa yang disediakan oleh rekanan harus sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak dan sesuai dengan kebutuhan pengguna barang/jasa. Akan tetapi
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah228
ternyata pengguna barang/jasa belum benarbenar membutuhkan barang/jasa tersebut, sehingga barang/jasa belum atau tidak dimanfaatkan oleh pengguna anggaran atau siasia. Barang/jasa yang belum atau tidak dapat dimanfaatkan tersebut merupakan akibat dari adanya pengadaan yang direkayasa oleh oknum panitia yang maksud dari pengadaan itu sebenarnya hanyalah untuk mengambil keuntungan, tidak hanya untuk kepentingan oknum panitia tetapi juga rekanan, karena diketahui bahwa untuk pengadaan barang/jasa tersebut anggarannya besar, sehingga oknum panitia dan rekanan dapat memanfaatkan pengadaan tersebut.
i. Contract Change OrderContract change order (perubahan kegiatan pekerjaan) adalah perubahan yang terjadi pada saat pelaksanaan kontrak, di mana perubahan ini disebabkan oleh adanya perpanjangan waktu (time extension), penambahan ataupun pengurangan nilai kontrak sebagai akibat adanya revisi desain.34
Apabila terjadi perubahan kegiatan pekerjaan, maka:35
1) Untuk kepentingan pemeriksaan, PA/KPA dapat membentuk panitia/ Pejabat Peneliti Pelaksanaan Kontrak atas usul PPK.
2) Apabila terdapat perbedaan yang signifikan antara kondisi lokasi pekerjaan pada saat pelaksanaan dengan gambar dan spesifikasi yang ditentukan dalam dokumen kontrak, maka PPK bersama penyedia dapat melakukan perubahan kontrak yang meliputi antara lain: a) menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum
dalam kontrak;b) mengurangi atau menambah jenis pekerjaan;c) mengubah spesifikasi pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lokasi
peker jaan; dan/atau
34 Pengertian Contract Change Order dalam http://kfatrividhi.blogspot.com/2010/08/ pengertiancontractchangeother.html, diakses pada hari Kamis, tanggal 12 September 2013.
35 Lihat Bab II Tata Cara Pemilihan Penyedia Barang Penandatanganan dan Pelaksanaan Kontrak/SPK Pekerjaan, Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 6 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 229
d) melaksanakan pekerjaan tambah yang belum tercantum dalam kontrak yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan.
3) Pekerjaan tambahan harus mempertimbangkan tersedianya anggaran dan paling tinggi 10% (sepuluh perseratus) dari nilai kontrak awal.
4) Perintah perubahan pekerjaan dibuat oleh PPK secara tertulis kepada penyedia kemudian dilanjutkan dengan negosiasi teknis dan harga dengan tetap mengacu pada ketentuan yang tercantum dalam kontrak awal.
5) Hasil negosiasi tersebut dituangkan dalam berita acara sebagai dasar penyusunan adendum kontrak.
Meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan, oknum panitia bekerja sama dengan penyedia barang untuk melakukan perubahan kontrak dengan alasan tersebut, sehingga mereka akan mendapatkan tambahan 10% dari nilai kontrak awal.
j. Pembayaran yang Tidak Sesuai dengan Kemajuan Fisik
Pembayaran dapat dilakukan jika barang/jasa sudah diserahkan 100% oleh penyedia. Akan tetapi, meskipun belum 100% diserahkan sudah dilakukan pembayaran penuh. Adakalanya barang yang diserahkan tidak sesuai dengan spesifikasi baik volume maupun mutunya, tetapi tetap saja diterima dan dilakukan pembayaran penuh.
k. Pembayaran Fiktif
Pembayaran fiktif ini dilakukan oleh oknum yang sebenarnya harga barang itu rendah tetapi harga telah dimark up, dan pembayarannya dilakukan seolaholah harga barang itu rendah, dan oknum panitia mengambil keuntungan dari harga yang telah digelembungkan.
Selain itu, dalam pembayaran fiktif ini sebenarnya memang tidak pernah ada pengadaan barang/jasa, tetapi dila kukan untuk memperoleh bukti seolaholah pengadaan itu terjadi dan anggaran untuk pengadaan masuk ke kantong oknum panitia.
l. Kekurangan Pemungutan dan Penyetoran Pajak
Dalam pengadaan barang/jasa, penyedia barang akan dikenakan pajak penghasilan. Akan tetapi, bagi penyedia barang yang “nakal”, cenderung tidak mau
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah230
menyetorkan pajak tersebut atau menghindari penyetoran pajak atau penyedia menyetorkan pajak tetapi tidak sesuai dengan jumlah yang harus disetorkan karena takut keuntungan yang diperoleh menjadi berkurang. Penyedia barang menyuap petugas pajak agar penyedia seolaholeh sudah menyetorkan pajak.
m. Tidak Dibuat Berita Acara PembayaranTidak dibuatnya berita acara pembayaran ini dikarenakan untuk menghindari adanya kecurigaan bahwa pengadaan yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur, terutama dalam hal spesifikasi barang yang tidak sesuai dengan dokumen kontrak, dan harga yang sebenarnya sudah dimark up oleh oknum panitia.
n. Pelaporan Tidak Lengkap/Tidak Sesuai dengan AturanJalannya pengadaan barang/jasa harus dilaporkan secara detail dan cermat sebagai bentuk pertanggungjawaban panitia pengadaan. Akan tetapi, hal tersebut tidak dilakukan panitia pengadaan, bahkan panitia pengadaan mem buat laporan yang tidak sesuai dengan aturan atau laporan yang dibuat tidak lengkap, hal tersebut dilakukan untuk menyembunyikan ketidakberesan dalam pengadaan barang/jasa yang dilakukan, sehingga menyulitkan pihakpihak yang bertugas mengawasi jalannya pengadaan barang/jasa.
C. AKIBAT HUKUM PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH
Akibat hukum pengadaan barang dan jasa pemerintah ini, merupakan segala akibat atau hasil dari perbuatan hukum dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, yang dilakukan oleh para pihak, yang tentunya telah diatur di dalam peraturan perundangundangan. Akibat hukum ini merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut harus dilaksanakan oleh para pihak. Jika tidak dilakukan, maka salah satu pihak akan mengalami kerugian.
Dalam kaitannya dengan pengadaan barang/jasa pemerintah, dengan adanya tahapan yang panjang dan harus dilalui oleh panitia dan peserta lelang, tidak jarang timbul berbagai penyimpangan. Halhal yang sudah diatur dalam peraturan perundangundangan (Perpres), masih banyak yang dimanfaatkan oleh oknum panitia untuk melakukan penyimpangan, salah satunya melakukan korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 231
1. Munculnya Tindak Pidana KorupsiAda beberapa pendapat mengenai munculnya tindak pidana korupsi ini, termasuk pula adalah korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, salah satunya adalah Arya Maheka yang memberikan pendapat mengenai penyebab terjadinya korupsi.
Menurut Arya Maheka bahwa ada beberapa penyebab terjadinya korupsi, yaitu sebagai berikut.36
a. Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make-up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
b. Penyalahgunaan kekuasaan/wewenang, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
c. Langkanya lingkungan yang anti korup, sistem dan pedoman anti korupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
d. Rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
e. Kemiskinan dan keserakahan. Masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi, sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
f. Budaya memberi upeti, imbalan jasa, dan hadiah.
g. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya. Rumus: keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap.
h. Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila ada korupsi karena sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
i. Gagalnya pendidikan agama dan etika.
36 Arya Maheka, Mengenali & Memberantas Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Tanpa Tahun, hlm. 23 dan 24.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah232
Di masa sekarang ini, meskipun reformasi sudah didengungkan dan dilakukan di segala bidang, tetapi tidak menampakkan hasil yang memuaskan. Semakin maraknya tindak pidana korupsi, merupakan kegagalan bagi penegakan hukum yang dilaksanakan selama ini. Di setiap pergantian pemerintahan, penegakan hukum menjadi janjijanji yang diberikan oleh calon wakil rakyat dan calon pimpinan negara ini.
Pada akhirnya rakyat percaya, tetapi pelaksanaan penegakan hukum tidak sebagaimana mestinya. Korupsi menjadi semakin merebak, bukan semakin berkurang tetapi semakin bertambah banyak, terbukti wakil rakyat pun juga ikut serta dalam ajang korupsi ini.
Kekuasaan yang diberikan, banyak disalahgunakan terutama untuk memperkaya diri sendiri dan kronikroninya. Kesempatan untuk memperkaya diri sendiri hanya dapat dilakukan jika ada kekuasaan yang besar, dan itu hanya datang sekali, tidak berkalikali. Meskipun peraturan perundangundangan telah banyak dibentuk dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi ini, sepertinya masih ada celah bagi pelaku untuk melakukan tindak pidana korupsi. Untuk menjerat para koruptor sepertinya kian hari semakin sulit. Semua bidang pemerintahan sudah terjangkit korupsi, sehingga tidak ada lingkungan yang bebas akan korupsi.
Penulis tidak sependapat dengan alasan penyebab korupsi karena rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Buktinya meskipun dikatakan pendapatan penyelenggara negara itu rendah, tetapi masih saja banyak orang yang berlombalomba bersaing untuk duduk sebagai pimpinan atau wakil rakyat. Mereka tidak segansegan mengeluarkan banyak uang untuk itu. Jika kemiskinan menjadi alasan untuk berbuat korupsi, maka bagaimana orang itu dapat masuk menjadi birokrat atau pegawai pemerintah, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi birokrat atau pegawai pemerintah mereka harus membayar tidak sedikit. Jika keserakahan dijadikan alasan, ini adalah alasan yang paling tepat. Koruptor akan selalu merasa kekurangan meskipun diberikan gaji yang cukup besar.
Budaya memberi upeti, hadiah, dan lainlain bisa menjadi sebab timbulnya korupsi tetapi berbeda jika itu diberikan sebagai ucapan terima kasih, bukan untuk menyuap pejabat untuk memengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi memang ada benarnya, tetapi melihat kasus yang menimpa mantan wakil rakyat Angelina
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 233
Sondakh, sebaiknya calon koruptor berpikir lebih matang jika ingin melakukan korupsi. Selama ini yang penulis ketahui, pidana yang dijatuhkan kepada koruptor belum memberikan efek jera tetapi dengan melihat putusan kasasi MA atas kasus Angelina Sondakh, dengan menjatuhkan denda yang sangat besar bagi koruptor merupakan langkah yang baik untuk melakukan upaya pemiskinan bagi koruptor.
Budaya yang tidak baik seperti budaya permisif, tidak mau tahu, dan lainnya harus dihilangkan. Di sini peran serta masyarakat sangat diperlu kan. Masyarakat dapat mengadukan pejabat atau pegawai pemerintah yang memintaminta uang jasa dalam memberikan pelayanan. Selain itu, adanya korupsi dikarenakan gagalnya pendidikan agama yang selama ini diberikan. Jika orang mendalami agama, pastinya tahu bahwa korupsi itu tidak dapat dibenarkan. Korupsi itu sama halnya dengan mencuri, sehingga hukuman yang dapat diberikan adalah hukuman potong tangan. Pendidikan etika juga sepertinya sudah dilupakan. Jika orang mempunyai etika, dia akan tahu bagaimana cara bersikap dan bertingkah laku dengan baik. Dia akan tahu mana hal yang baik dilakukan atau yang tidak baik dilakukan.
Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah ternyata terdapat penyimpangan dalam pelaksanaannya, ada indikasi terjadinya korupsi dan merugikan negara, maka perbuatan itu termasuk dalam tindak pidana.
Tidak semua masalah kerugian negara menjadi tindak pidana. Suatu kerugian negara akan dinilai tindak pidana dalam pengadaan barang/jasa pemerintah jika ada unsur penipuan, ada unsur suap, dan ada unsur pemaksaan ke pihak lain. Bila tidak memenuhi unsur “tipuan, paksaan, dan suap”, maka hanya masalah mal administrasi atau perdata.37
Jika dalam pelaksanaan pengadaan barang/saja mengandung unsur penipuan, ada unsur suap, dan ada unsur pemaksaan ke pihak lain, serta merugikan keuangan negara maka perbuatan tersebut dapat dijerat dengan UndangUndang Tindak Pidana Korupsi.
Bentuk penyimpangan proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang diatur dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dapat dijadikan celah oleh rekanan ataupun oknum pejabat dinas/instansi, antara lain terdapat indikasi berikut.
37 Mudjisantosa, loc.cit., hlm. 170.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah234
a. Penyuapan
Penyuapan ini dilakukan untuk memengaruhi pejabat pemerintah (pengambil keputusan) agar mau melakukan tindakan tertentu atau supaya tidak melaku kan tindakan tertentu untuk kepentingan si penyuap, dengan memberikan sejumlah imbalan uang atau benda berharga lainnya. Penyuapan dalam peng adaan barang/jasa pemerintah ini dilakukan oleh rekanan atau calon rekanan kepada oknum pemberi tender.
Tujuan rekanan melakukan penyuapan adalah sebagai berikut. 38
1) Supaya pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa me nerima penawaran barang/jasa yang diajukan ke rekanan.
2) Supaya pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa meme nangkan perusahaan penyuap dalam tender/lelang.
3) Supaya pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa me nerima barang/jasa yang diserahkan oleh rekanan yang kualitasnya dan/atau kuantitas nya sebenarnya lebih ren dah dibandingkan dengan kualitas dan kuantitas barang/jasa yang diperjanjikan dalam kontrak.
Penyuapan yang dilakukan oleh calon rekanan maupun rekanan ini tidak lain untuk mendapatkan keuntungan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Tindakan penyuapan ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai integritas dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Tindakan seperti itu sangat dilarang dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam Pasal 6 Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diatur sebagai berikut. Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus
mematuhi etika sebagai berikut.a. Melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk
mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang/jasa.
b. Bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang/jasa yang menurut sifatnya harus diraha
38 Suswinarno, op.cit., hlm. 25 dan 26.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 235
siakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa.
c. Tidak saling memengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat.
d. Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak.
e. Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang/jasa.
f. Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa.
g. Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara.
h. Tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.
Bagi penyuap, ancaman hukumannya diatur di dalam Pasal 5 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa:(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah236
b. PenipuanTindakan penipuan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah ini dilakukan oleh oknum panitia dan rekanan penyedia barang/jasa yang telah menjalin kerja sama dalam berbagai bentuk, yang tentunya untuk mengambil keun tungan dari pengadaan barang/jasa tersebut.
Oknum panitia bekerja sama dengan calon rekanan atau calon rekanan Dengan caracara tertentu dan untuk tujuan tertentu melakukan penipuan dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Tindakan penipuan yang dilakukan oleh oknum panitia pengadaan dan rekanan tidak berhenti di situ. Setelah serangkaian perbuatan yang menyimpang dari ketentuan pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan, mereka akan berdalih jika tindakan tersebut sudah disetujui oleh pimpinan. Oknum panitia dan rekanan memakai “martabat palsu” untuk menyebutkan dirinya sebagai kuasa dari pejabat yang bersangkutan.
Oknum panitia dan rekanan memakai tipu muslihat dan mengguna kan kebohongan. Perbuatan itu dilakukan agar menimbulkan kepercayaan terhadap orang lain (yang ditipu). Dengan kebohongan, maka pelaku mem berikan kesan seolaholah apa yang dikatakan itu adalah benar adanya.
Menurut penulis rangkaian kebohongan tidak hanya berupa perkataan saja. Setelah berkata tentang sesuatu keadaan atau menjanjikan sesuatu, namun tidak dilakukan dapat disebut sebagai kebohongan. Jadi rangkaian kebohongan itu awalnya dilakukan dengan perkataan, dan tindakan yang tidak sesuai dengan katakatanya. Tindakan dengan melakukan tipu muslihat dan rangkaian kebohongan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah antara lain dilakukan dengan cara berikut.1) Mengaku sebagai kepala instansi yang akan melaksanakan pengadaan barang/
jasa yang meminta daftar calon peserta lelang. Modusnya, yakni untuk memperoleh data peserta lelang yang dapat diintimidasi dan diimingimingi agar dapat memenangkan tender, serta membuat daftar blacklist palsu yang “seakanakan” dikeluarkan oleh instansi yang meng adakan tender, sehingga jika calon peserta tersebut ikut dalam tender akan digugurkan oleh panitia. Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah peserta lelang, karena pemenang lelang sesungguhnya sudah ada.
2) Menghubungi semua peserta lelang dan meminta dana agar dapat dimenangkan.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 237
2. Munculnya Pelanggaran Administrasi dalam Barang/JasaMunculnya kasuskasus korupsi di Indonesia banyak ditemukan pada jenis kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilakukan oleh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah tanpa terkecuali termasuk BUMN dan BUMD. Beberapa kasus pengadaan barang dan jasa pemerintah yang menjadi sorotan masyarakat, antara lain kasus pengadaan sarana olah raga Hambalang, kasus pengadaan alatalat kesehatan, kasus pengadaan buku ajar, kasus pengadaan hewan ternak, kasus pengadaan alat berat, kasus pengadaan alat elektronik, kasus pengadaan alat pemadam kebakaran, kasus pengadaan mobil dan lainnya.
Berikut adalah bentukbentuk penyimpangan atau pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh pejabat atau panitia pengadaan barang/jasa pemerintah terkait dengan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.
a. Perbuatan atau Persaingan Curang
Pada perbuatan curang ini, pelaku melakukan tindakan yang bertujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri yang menimbulkan kerugian bagi orang lain. Persaingan curang, pelaku berbuat tidak adil pada rivalnya atau saingannya, sehingga merugikan saingannya, misalnya dalam pengadaan barang/jasa antara oknum panitia dan peserta yang sudah terjalin kolusi, berusaha agar peserta lain kalah dan tidak dapat mengikuti proses pengadaan barang/jasa, dengan cara merugikan peserta lainnya.
Perbuatan curang yang terjadi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah terkait dengan tindak pidana korupsi antara lain sebagai berikut.
1) Pemborong, Ahli Bangunan, Penjual Bahan Bangunan Melakukan Per buatan Curang
Perbuatan curang diartikan sebagai perbuatan yang bersifat tidak jujur dalam melakukan pekerjaan membangun atau menyerahkan bangunan. Wujud perbuatan curang ini bermacammacam, tergantung pada keadaankeadaan yang menyertainya, seperti keaslian bahan bangunan, mutu, ukuran, jumlah, kadar, dan lainlain.39
39 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 140.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah238
Misalnya dalam pengadaan gedung untuk instansi pemerintah pemborong, ahli bangunan, dan penjual bahan bangunan bekerja sama melakukan mark up bahanbahan bangunan yang akan digunakan untuk membangun gedung instansi pemerintah. Dengan melakukan tindakan demikian, tentunya akan membahayakan keselamatan dan keamanan orang lain atau pengguna barang/jasa.
Mengenai perbuatan curang ini diatur di dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 7 ayat (1) huruf (a) yang menyatakan bahwa: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):a. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan,
atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
Keaslian bahan bangunan, mutu, ukuran, jumlah, kadar, dan lainlain berbeda dengan dokumen penawaran, dengan perkataan lain mutu barang sangat rendah, jumlah dan kadar diganti dengan ukuran lebih kecil, dan sebagainya, sehingga pelaku mendapatkan keuntungan dari penurunan barangbarang tersebut. Untuk terjadinya delik dalam ketentuan UndangUndang Nomor 31 Tahun
1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 7 ayat (1) huruf a, beberapa hal yang harus dibuktikan antara lain:40
1) adanya pengetahuan pelaku bahwa dirinya itu merupakan seorang pemborong, ahli bangunan, atau seorang penjual bahan bangunan;
2) adanya kehendak pelaku untuk melakukan perbuatan curang pada waktu mengerjakan suatu bangunan atau pada waktu menyerahkan bahanbahan bangunan;
3) adanya pengetahuan pelaku bahwa perbuatan curang tersebut telah ia lakukan pada waktu mengerjakan suatu bangunan atau pada waktu menyerahkan bahanbahan bangunan;
40 Ibid., hlm. 140 dan 141.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 239
4) adanya pengetahuan pelaku bahwa karena perbuatan curang itu, keselamatan orangorang atau barangbarang ataupun negara dalam keadaan perang, mungkin akan mendapatkan bahaya.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa tindak pidana ini dilakukan oleh seorang pemborong atau ahli bangunan atau penjual bahan bangunan, dengan mengurangi takaran atau jumlah serta mutu bahan dari yang semestinya, dengan bahanbahan yang kurang atau tidak baik dan berkualitas rendah yang tidak sesuai dengan dokumen penawaran dan kontrak, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya. Pelaku adalah seorang yang ahli mengenai bangunan, sehingga kemungkinan besar pengguna barang tidak mengetahui kalau bahanbahan yang digunakan tidak sesuai dengan dokumen penawaran.
2) Pengawas Bangunan dan Penyerahan Bangunan yang Membiarkan Terjadinya Perbuatan Curang
Dalam pelaksanaan pembangunan gedung, pengawas mempunyai tugas yang sangat penting, yaitu mengawasi pelaksanaan pembangunan gedung agar berjalan dengan baik dan lancar. Selain pengawas bangunan yang tugasnya mengawasi jalannya kegiatan pembangunan, terdapat pengawas penyerahan bangunan yang mengawasi penerimaan bahanbahan oleh pemborong dari penjual agar bahanbahan yang dikirimkan sesuai mutu sebagaimana tertera dalam perjanjian.
Perbuatan curang yang dilakukan oleh pengawas ini diatur di dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 7 ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):b. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penye rahan
bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pengawas bangunan mengetahui bahwa bahanbahan yang akan digunakan untuk pembangunan gedung tidak sesuai dengan kualitas dan kriteria di dalam perjanjian. Pengawas membiarkan saja hal tersebut terjadi. Biasanya sudah ada kerja sama antara pemborong, ahli bangunan, penjual, maupun pengawas.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah240
3) Menyerahkan Barang Keperluan TNI dan Kepolisian Negara RI dengan Perbuatan Curang
Perbuatan curang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengancam keselamatan negara, hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi tetapi membahayakan nyawa banyak orang, jika itu terjadi peperangan.
Dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana tersebut diatur di dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c yang menyatakan bahwa: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.
Barangbarang yang diserahkan di sini adalah barangbarang untuk kepentingan pertahanan dan keamanan serta ketertiban masyarakat. Jika kualitas barang yang diserahkan tidak sesuai dengan kriteria dan kualitas, serta tidak terjamin sesuai dengan standar yang telah ditentukan, maka jika terjadi peperangan akan membahayakan keselamatan negara. Jika pun tidak terjadi peperangan, kerugian juga ditimbulkan karena perbuatan tersebut, yakni kerugian bagi keuangan negara.
4) Pengawas Penyerahan Barang Keperluan TNI dan Kepolisian Negara RI Membiarkan Perbuatan Curang
Pengawas membiarkan terjadinya kecurangan pada waktu penyerahan barang keperluan TNI dan Kepolisian Negara RI. Perbuatan itu dilakukan dengan sengaja, padahal telah diketahuinya bahwa barangbarang tersebut kualitasnya tidak sesuai dengan kontrak. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur tindak pidana ini dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d, yakni: “Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c”.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 241
5) Membiarkan Perbuatan Curang Pada Saat Menerima Penyerahan Barang Keperluan TNI dan Kepolisian Negara RI
Barang siapa yang menerima penyerahan barang ataupun bahan bangunan untuk keperluan TNI dan Kepolisian Negara RI membiarkan terjadinya perbuatan curang dalam penyerahan barang tersebut, meskipun dalam ketidaksengajaan. Hal ini diatur di dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan bahwa: Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/ atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
b. Persaingan CurangPersaingan curang ini sering terjadi di dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Contohnya adalah adanya kolusi antara oknum panitia dan calon rekanan, dengan melakukan berbagai cara untuk memperoleh tender. Persaingan curang ini terkait dengan integritas yang dimiliki oleh panitia. Kedekatan salah seorang anggota panitia akan membuka pintu KKN dengan calon peserta.
Berikut adalah beberapa perbuatan curang yang dilakukan oleh oknum panitia maupun rekanan untuk mendapatkan keuntungan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
1) Menggabungkan PekerjaanPasal 24 ayat (3) pada poin a dan b Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 menyebutkan bahwa:
Dalam melakukan pemaketan barang/jasa, PA dilarang:a. menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di
beberapa lokasi/daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di beberapa lokasi/daerah masingmasing;
b. menyatukan beberapa paket pengadaan yang menurut sifat dan jenis pekerjaannya bisa dipisahkan dan/atau besaran nilainya seharusnya dilakukan oleh usaha mikro dan usaha kecil serta koperasi kecil;
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah242
c. memecah pengadaan barang/jasa menjadi beberapa paket dengan maksud menghindari pelelangan; dan/atau
d. menentukan kriteria, persyaratan, atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak objektif.
Dapat diberikan penjelasan sebagai berikut.a) Menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di bebe
rapa lokasi/daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di beberapa lokasi atau daerah masingmasing, maksudnya adalah pengadaan barang tersebut dilakukan oleh masingmasing SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), tetapi digabungkan menjadi satu. Meskipun sama kebutuhannya, tetapi tetap tidak boleh dilakukan penggabungan atau pemusatan dan hanya dilakukan satu kali pengadaan.
b) Menyatukan beberapa paket pengadaan yang menurut sifat dan jenis pekerjaannya bisa dipisahkan dan/atau besaran nilainya seharusnya dila kukan oleh usaha mikro dan usaha kecil serta koperasi kecil merupa kan perbuatan yang dilarang, karena hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada para pengusaha kecil dan/atau menengah untuk mengembangkan usahanya dan mengikuti pengadaan barang/jasa peme rintah.
c) Memecah pengadaan barang/jasa menjadi beberapa paket dengan maksud menghindari pelelangan, maksudnya jika pengadaan tersebut bernilai besar dan tidak dipecah, maka akan dilakukan pelelangan. Namun, jika pengadaan barang/jasa tersebut dipecah menjadi beberapa paket maka dapat dilakukan penunjukan langsung, sehingga oknum panitia dapat menunjuk langsung rekanan yang sudah dipersiapkan untuk melakukan pekerjaan tersebut.
d) Menentukan kriteria, persyaratan, atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak objektif adalah hal yang juga dilarang dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Menentukan kriteria, persyaratan, atau prosedur pengadaan yang diskriminatif ini dimaksudkan untuk mempersulit peserta pengadaan, kecuali peserta yang memiliki kedekatan dengan oknum panitia.
Pertimbangan yang tidak objektif ini sangat tidak adil jika dilakukan dalam pengadaan barang/jasa. Misalnya, peserta yang telah berkolusi dengan oknum panitia tidak memenuhi beberapa persyaratan dalam pengadaan
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 243
barang/jasa pemerintah, namun dengan pertimbangan panitia yang tidak masuk akal, peserta yang harusnya tidak lolos tersebut, menjadi lolos ke proses selanjutnya.
2) Memecah Pekerjaan
Pasal 24 ayat (3) pada poin c Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 menyatakan bahwa:
“Dalam melakukan pemaketan barang/jasa, PA dilarang mengatur mengenai pemecahan pekerjaan memecah pengadaan barang/jasa menjadi beberapa paket dengan maksud menghin dari pelelangan”.
Kemudian disebutkan pula dalam Pasal 39 ayat (4) Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 menyatakan bahwa:
“PA/KPA dilarang menggunakan metode pengadaan langsung sebagai alasan untuk memecah paket pengadaan menjadi beberapa paket dengan maksud untuk menghindari pelelangan”.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa maksud dari “memecah pengadaan barang/jasa menjadi beberapa paket dengan maksud menghindari pelelangan” adalah pengadaan barang yang harusnya satu paket, kemudian dipecah menjadi beberapa paket. Apabila paket pengadaan tersebut tidak dipecah, maka pengadaan barang/jasa menggunakan prosedur pelelangan terbuka/umum.
Pelelangan umum adalah metode pemilihan penyedia barang, pekerjaan konstruksi atau jasa lainnya untuk semua pekerjaan yang dapat diikuti oleh semua penyedia barang/pekerjaan.41 Jika diadakan pelelangan umum, maka semua perusahaan dapat mengikuti, dan bagi rekanan yang telah menjalin kerja sama dengan panitia tidak atau hanya mempunyai kesempatan kecil untuk memenangkan tender.
Oknum panitia akan berusaha agar pengadaan itu dilakukan dengan penunjukan langsung, tentunya menghindari lelang umum, sehingga oknum panitia melakukan rekayasa seolaholah pelelangan tersebut terdiri dari beberapa paket. Dengan demikian, oknum panitia dapat menunjuk langsung rekanan penyedia barang melalui penunjukan langsung atau pengadaan langsung.
41 Tim Redaksi Forum Sahabat, op.cit., hlm. 5.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah244
Penunjukan langsung merupakan metode pemilihan penyedia barang/jasa dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) peyedia barang/jasa. Sementara pengadaan langsung adalah pengadaan barang/jasa langsung kepada penyedia barang/jasa, tanpa melalui pelelangan/seleksi/penunjukan langsung. Pemilihan langsung adalah metode pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi untuk pekerjaan yang bernilai paling tinggi Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).42
Hal ini dikhawatirkan akan mengakibatkan penggelembungan harga barang yang dibeli, dan akhirnya akan merugikan keuangan daerah/negara. Proses peng adaan langsung dapat dengan mudah untuk direkayasa, dan pemenang lelang (rekanan penyedia barang/jasa) dapat ditentukan sendiri sesuai dengan ke inginan dan kepentingan oknum panitia pengadaan barang/jasa.
Sebagai contoh adalah praktik pemecahan paket pengadaan yang dilarang sebagai berikut.a) Rekayasa pemecahan paket pengadaan. Dinas Pendidikan merencanakan pengadaan 100 unit komputer dengan
spesifikasi tertentu nilai anggarannya Rp600.000.000 (enam ratus juta rupiah) pada tahun 2010. Terhadap pengadaan komputer ini, seharusnya dilakukan satu kali (satu paket), dan prosedur pengadaannya melalui lelang terbuka. Namun, rekanan penyedia barang dan/atau pengelola pengadaan merekayasa menjadi 4 (empat) paket pengadaan. Untuk mengaburkan masalah, rekanan dan pengelola penga daan sepakat melaksanakan pengadaan ini menjadi empat paket sebagai berikut.– Triwulan I : 20 unit dengan nilai Rp120.000.000– Triwulan II : 25 unit dengan nilai Rp150.000.000– Triwulan III : 30 unit dengan nilai Rp180.000.000– Triwulan IV : 25 unit dengan nilai Rp150.000.000
Dengan nilai paket pengadaan masingmasing di bawah Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah), memungkinkan bagi pengelola pengadaan untuk melakukan pengadaan langsung untuk kepentingan rekanan, kelompok rekanan tertentu, maupun kepentingan pribadi pengelola pengadaan.43
42 Ibid., hlm. 6.43 Suswinarno, op.cit., hlm. 34.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 245
b) Pemecahan paket yang dilakukan oleh rekanan yang sama. Pengadaan dan implementasi suatu sistem informasi (software yang terdiri
dari:– pembangunan jaringan (network);– pengadaan barang hardware; dan– pengadaan software.
Apabila nilai masingmasing paket pengadaan di bawah Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah), dapat disimpulkan bahwa praktik tersebut merupakan pemecahan paket pengadaan. Apalagi jika dapat dibuktikan bahwa pelak sana ketiga paket pekerjaan tersebut ternyata rekanan atau kelompok rekanan yang sama. Hampir dapat dipastikan, pada praktik pemecahan pengadaan selalu diikuti dengan praktik peng gelembungan harga (mark up).44
3) Penunjukan LangsungSebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa penunjukan langsung adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa dengan cara menunjuk langsung satu penyedia barang/jasa secara langsung. Hal ini memang dimungkinkan karena sudah diatur di dalam Pasal 35 Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 yang menyatakan sebagai berikut.(1) Kelompok Kerja ULP/pejabat pengadaan menyusun dan menetapkan metode
pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya.(2) Pemilihan penyedia barang dilakukan dengan:
a. pelelangan umum;b. pelelangan terbatas;c. pelelangan sederhana;d. penunjukan langsung;e. pengadaan langsung; atauf. kontes.
(3) Pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi dilakukan dengan: a. pelelangan umum;b. pelelangan terbatas;c. pemilihan langsung;d. penunjukan langsung;e. pengadaan langsung.
44 Ibid., hlm. 34 dan 35.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah246
(3a) Pemilihan penyedia jasa lainnya dilakukan dengan: a. pelelangan umum;b. pelelangan sederhana;c. penunjukan langsung; d. pengadaan langsung; ataue. sayembara.
(4) Kontes/sayembara dilakukan khusus untuk pemilihan penyedia barang/jasa lainnya yang merupakan hasil industri kreatif, inovatif, dan budaya dalam negeri.
Kriteria dan aturan mengenai penunjukan langsung diatur dalam Pasal 38 Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 172 Tahun 2014 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, yang menyatakan bahwa:(1) Penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang/pekerjaan kons
truksi/jasa lainnya dapat dilakukan dalam hal: a. keadaan tertentu; dan/atau b. pengadaan barang khusus/pekerjaan konstruksi khusus/jasa lainnya
yang bersifat khusus.(2) Penunjukan langsung dilakukan dengan mengundang 1 (satu) penyedia
barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang dinilai mampu melak sanakan pekerjaan dan/atau memenuhi kualifikasi.
(3) Penunjukan langsung dilakukan dengan negosiasi baik teknis maupun harga, sehingga diperoleh harga yang sesuai dengan harga pasar yang berlaku dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.
(4) Kriteria keadaan tertentu yang memungkinkan dilakukan penunjukan langsung terhadap penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya seba gaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi: a. Penanganan darurat yang tidak bisa direncanakan sebelumnya dan
waktu penyelesaian pekerjaannya harus segera/tidak dapat ditunda untuk: 1) pertahanan negara; 2) keamanan dan ketertiban masyarakat;3) keselamatan/perlindungan masyarakat yang pelaksanaan peker
ja annya tidak dapat ditunda/harus dilakukan segera, termasuk: a) akibat bencana alam dan/atau bencana nonalam dan/atau
bencana sosial;
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 247
b) dalam rangka pencegahan bencana; dan/atau c) akibat kerusakan sarana/prasarana yang dapat menghen ti
kan kegiatan pelayanan publik. b. Pekerjaan penyelenggaraan penyiapan konferensi yang mendadak
untuk menindaklanjuti komitmen internasional dan dihadiri oleh presiden/wakil presiden.
c. Kegiatan menyangkut pertahanan negara yang ditetapkan oleh menteri pertahanan serta kegiatan yang menyangkut keamanan dan keter tiban masyarakat yang ditetapkan oleh kepala kepolisian negara Republik Indonesia.
c.1 Kegiatan bersifat rahasia untuk kepentingan intelijen dan/atau perlindungan saksi sesuai dengan tugas yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan.
d. Barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang spesifik dan hanya dapat dilaksanakan oleh 1 (satu) penyedia barang/jasa lainnya karena 1 (satu) pabrikan, 1 (satu) pemegang hak paten, atau pihak yang telah mendapat izin dari pemegang hak paten, atau pihak yang menjadi pemenang pelelangan untuk mendapatkan izin dari pemerintah.
(5) Kriteria barang khusus/pekerjaan konstruksi khusus/lainnya yang bersifat khusus yang memungkinkan dilakukan penunjukan langsung seba gaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:a. barang/jasa lainnya berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan peme
rintah;b. pekerjaan konstruksi bangunan yang merupakan satu kesatuan sistem
konstruksi dan satu kesatuan tanggung jawab atas risiko kegagalan bangunan yang secara keseluruhan tidak dapat direncanakan/diperhitungkan sebelumnya (unforeseen condition);
c. barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang bersifat kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan hanya ada 1 (satu) penyedia yang mampu;
d. pekerjaan pengadaan dan distribusi bahan obat, obat dan alat kesehatan habis pakai dalam rangka menjamin ketersediaan obat untuk pelak sanaan peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat yang jenis dan harganya telah ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan;
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah248
d.1. pekerjaan pengadaan dan penyaluran benih unggul yang meliputi benih padi, jagung, dan kedelai, seperti pupuk yang meliputi Urea, NPK, dan ZA kepada petani dalam rangka menjamin ketersediaan benih dan pupuk secara tepat dan cepat untuk pelaksanaan peningkatan ketahanan pangan;
e. pengadaan kendaraan bermotor dengan harga khusus untuk pemerintah yang telah dipublikasikan secara luas kepada masyarakat;
f. sewa penginapan/hotel/ruang rapat yang tarifnya terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat;
g. lanjutan sewa gedung/kantor dan lanjutan sewa ruang terbuka atau tertutup lainnya dengan ketentuan dan tata cara pembayaran serta penyesuaian harga yang dapat dipertanggung jawabkan; atau
h. pekerjaan pengadaan prasarana, sarana, dan utilitas umum di ling kungan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang dilaksanakan oleh pengembang/developer yang bersangkutan.
Penunjukan langsung untuk menunjuk satu penyedia jasa konsultansi diatur dalam Pasal 44 Perpres No. 35 Tahun 2011 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, yang menyatakan sebagai berikut.(1) Penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia jasa konsultansi dapat
dilakukan dalam keadaan tertentu.(2) Kriteria keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. Penanganan darurat yang tidak bisa direncanakan sebelumnya dan waktu penyelesaian pekerjaannya harus segera/tidak dapat ditunda untuk: 1) pertahanan negara;2) keamanan dan ketertiban masyarakat;3) keselamatan atau perlindungan masyarakat yang pelaksanaan
pekerja annya tidak dapat ditunda/harus dilakukan segera, termasuk: a) akibat bencana alam dan/atau bencana nonalam dan/atau
bencana sosial;b) dalam rangka pencegahan bencana; dan/atauc) akibat kerusakan sarana/prasarana yang dapat menghen
tikan kegiatan pelayanan publik.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 249
b. Kegiatan menyangkut pertahanan negara yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan serta kegiatan yang menyangkut keamanan dan ketertiban masyarakat yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
c. Pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh 1 (satu) penyedia jasa konsultansi.
d. Pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh 1 (satu) pemegang hak cipta yang telah terdaftar atau pihak yang telah mendapat izin pemegang hak cipta.
e. Pekerjaan jasa konsultansi di bidang hukum meliputi konsultan hukum/advokat atau pengadaan arbiter yang tidak direncanakan sebelumnya, untuk menghadapi gugatan dan/atau tuntutan hukum dari pihak tertentu kepada pemerintah, yang sifat pelaksanaan pekerjaan dan/atau pembelaannya harus segera dan tidak dapat ditunda.
(3) Penunjukan langsung dilakukan dengan melalui proses prakualifikasi terhadap 1 (satu) penyedia jasa konsultansi.
Prosedur penunjukan langsung diatur dalam Pasal 57 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 berikut.– Ayat (3): Pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya
untuk penanganan darurat dengan metode penunjukan langsung, meli puti tahapan sebagai berikut.a. PPK dapat menerbitkan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) kepada:
1) penyedia terdekat yang sedang melaksanakan pekerjaan sejenis; atau
2) penyedia lain yang dinilai mampu dan memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, bila tidak ada penyedia sebagaimana dimaksud pada angka 1).
b. Proses dan administrasi penunjukan langsung dilakukan secara simultan, yaitu: 1) opname pekerjaan di lapangan;2) penetapan jenis, spesifikasi teknis dan volume pekerjaan, serta
waktu penyelesaian pekerjaan;3) penyusunan dan penetapan HPS;4) penyusunan dokumen pengadaan;5) penyampaian dokumen pengadaan kepada penyedia;
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah250
6) pemasukan dokumen penawaran;7) pembukaan dokumen penawaran;8) klarifikasi dan negosiasi teknis dan harga;9) penyusunan Berita Acara Hasil Penunjukan Langsung;10) penetapan penyedia; dan11) pengumuman penyedia.
– Ayat (4): Pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya untuk bukan penanganan darurat dengan metode penunjukan langsung meliputi tahapan:a. undangan kepada peserta terpilih dilampiri dokumen pengadaan;b. pemasukan dokumen kualifikasi;c. evaluasi kualifikasi;d. pembuktian kualifikasi;e. pemberian penjelasan;f. pemasukan dokumen penawaran;g. evaluasi penawaran serta klarifikasi dan negosiasi teknis dan harga;h. penyusunan Berita Acara Hasil Penunjukan Langsung;i. penetapan penyedia; dan j. pengumuman penyedia.
– Ayat (5): Pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dengan metode pengadaan langsung dilakukan sebagai berikut.a. Pembelian/pembayaran langsung kepada penyedia untuk pengada
an barang/jasa lainnya yang menggunakan bukti pembelian dan kuitansi, serta pengadaan pekerjaan konstruksi yang menggunakan kuitansi.
b. Permintaan penawaran yang disertai dengan klarifikasi serta negosiasi teknis dan harga kepada penyedia untuk pengadaan langsung yang menggunakan SPK.
Pelaksanaan kontrak untuk pengadaan barang/jasa dalam keadaan tertentu diatur dalam Pasal 90 Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 sebagai berikut.
Dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 44, penunjukan langsung untuk pekerjaan penanggulangan bencana alam dilaksanakan sebagai berikut.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 251
a. PPK menerbitkan SPMK setelah mendapat persetujuan dari PA/KPA dan salinan pernyataan bencana alam dari pihak/instansi yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
b. Opname pekerjaan di lapangan dilakukan bersama antara PPK dan penyedia barang/jasa, sementara proses dan administrasi pengadaan dapat dilakukan secara simultan.
c. Penanganan darurat yang dananya berasal dari dana penanggulangan bencana alam adalah:1) penanganan darurat yang harus segera dilaksanakan dan diselesaikan
dalam waktu yang paling singkat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat dan/atau untuk menghindari kerugian negara atau masyarakat yang lebih besar;
2) konstruksi darurat yang harus segera dilaksanakan dan diselesaikan dalam waktu yang paling singkat, untuk keamanan dan keselamatan masyarakat dan/atau menghindari kerugian negara/masyarakat yang lebih besar;
3) bagi kejadian bencana alam yang masuk dalam cakupan wilayah suatu kontrak, pekerjaan penanganan darurat dapat dimasukkan ke dalam Contract Change Order (CCO) dan dapat melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari nilai awal kontrak;
4) penggunaan konstruksi permanen, jika penyerahan pekerjaan permanen masih dalam kurun waktu tanggap darurat atau penanganan darurat hanya dapat diatasi dengan konstruksi permanen untuk menghindari kerugian negara/masyarakat yang lebih besar.
Kriteria penunjukan langsung harus sesuai Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, jika tidak maka pengadaan barang/jasa tersebut tidak sah atau ilegal. Jadi, tidak begitu saja dapat dilakukan penunjukan langsung.
Pelanggaran yang terjadi meskipun hanya berupa pelanggaran kecil terhadap peraturan tetap berisiko menjadi tindak pidana, apabila dilakukan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, karena dalam pengadaan barang/jasa pemerintah ini, biaya yang digunakan untuk melakukan pengadaan atau tender adalah uang negara atau uang rakyat, yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, tidak hanya segelintir orang.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah252
4) KolusiMenurut Pasal 1 angka 4 UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepo tisme, pengertian kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan/atau negara.
Terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kolusi antara panitia dan calon rekanan, yang mengakibatkan ketidakadilan bagi calon peserta lainnya, ketidaktransparansian dalam pengadaan barang/jasa, serta merugikan negara, karena pada dasarnya tindakan kolusi ini bertujuan untuk mendapat kan keuntungan bagi kedua pihak, yakni oknum panitia dan rekanan.
Mengenai larangan untuk melakukan kolusi, begitu juga dengan korupsi dan nepotisme oleh penyelenggara negara diatur dalam Pasal 5 UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa:
Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk:1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum
memangku jabatannya;2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah men
jabat;3. melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah
menjabat;4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;5. melaksanakan tugas tanpa membedabedakan suku, agama, ras, dan
golongan;6. melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak
melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan
7. bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Larangan melakukan kolusi antara pengelola pengadaan barang/jasa dengan rekanan penyedia barang/jasa diatur dalam Pasal 24 Perpres No. 54 Tahun 2010 dan Pasal 56 Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 sebagai berikut.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 253
Pasal 24 Perpres No. 54 Tahun 2010:(1) PA melakukan pemaketan barang/jasa dalam rencana umum peng
adaan barang/jasa kegiatan dan anggaran K/L/D/I.(2) Pemaketan dilakukan dengan menetapkan sebanyakbanyaknya paket
usaha untuk usaha mikro dan usaha kecil serta koperasi kecil tanpa mengabaikan prinsip efisiensi, persaingan sehat, kesatuan sistem, dan kualitas kemampuan teknis.
(3) Dalam melakukan pemaketan barang/jasa, PA dilarang:a. menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di
beberapa lokasi/daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di beberapa lokasi/daerah masingmasing;
b. menyatukan beberapa paket pengadaan yang menurut sifat dan jenis pekerjaannya bisa dipisahkan dan/atau besaran nilainya seharusnya dilakukan oleh usaha mikro dan usaha kecil serta koperasi kecil;
c. memecah pengadaan barang/jasa menjadi beberapa paket dengan maksud menghindari pelelangan; dan/atau
d. menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak objektif.
Pasal 56 Perpres No. 70 Tahun 2012:(1) Kualifikasi merupakan proses penilaian kompetensi dan kemampuan
usaha serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari penyedia barang/jasa.
(2) Kualifikasi dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu prakualifikasi atau pascakualifikasi.
(3) Prakualifikasi merupakan proses penilaian kualifikasi yang dilakukan sebelum pemasukan penawaran.
(4) Prakualifikasi dilaksanakan untuk pengadaan sebagai berikut. a. Pemilihan penyedia jasa konsultansi.b. Pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang
bersifat kompleks melalui pelelangan umum.c. Pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya
yang menggunakan metode penunjukan langsung, kecuali untuk penanganan darurat.
d. Pemilihan penyedia melalui pengadaan langsung.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah254
(4a) Prakualifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d, dikecualikan untuk pengadaan langsung barang/jasa lainnya.
(5) Proses penilaian kualifikasi untuk penunjukan langsung dalam penanganan darurat dilakukan bersamaan dengan pemasukan dokumen penawaran.
(6) Proses prakualifikasi menghasilkan: a. daftar calon penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya;
atau b. daftar pendek calon penyedia jasa konsultansi.
(7) Dalam proses prakualifikasi, Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan segera membuka dan mengevaluasi dokumen kualifikasi paling lama 2 (dua) hari kerja setelah diterima.
(8) Pascakualifikasi merupakan proses penilaian kualifikasi yang dilakukan setelah pemasukan penawaran.
(9) Pascakualifikasi dilaksanakan untuk pengadaan: a. pelelangan umum, kecuali pelelangan umum untuk pekerjaan
kompleks; b. pelelangan sederhana/pemilihan langsung; dan c. pemilihan penyedia jasa konsultansi perorangan.
(10) ULP/pejabat pengadaan dilarang menambah persyaratan kualifikasi yang bertujuan diskriminatif serta di luar yang telah ditetapkan dalam ketentuan Peraturan Presiden ini.
(11) ULP/pejabat pengadaan wajib menyederhanakan proses kualifikasi dengan ketentuan: a. meminta penyedia barang/jasa mengisi formulir kualifikasi;b. tidak meminta seluruh dokumen yang disyaratkan, kecuali pada
tahap pembuktian kualifikasi; dan c. pembuktian kualifikasi pada pelelangan/seleksi internasional dapat
dilakukan dengan meminta dokumen yang dapat mem buktikan kompetensi calon penyedia barang/jasa.
(12) Penilaian kualifikasi dilakukan dengan metode: a. sistem gugur, untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa
lainnya;b. sistem nilai untuk pengadaan jasa konsultansi.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 255
Bagi rekanan penyedia barang/jasa, tindakan kolusi/persekongkolan yang dapat dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 118 Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa:
(1) Perbuatan atau tindakan penyedia barang/jasa yang dikenakan sanksi adalah: a. berusaha memengaruhi Kelompok Kerja ULP/pejabat peng adaan/
pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apa pun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan/kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan;
b. melakukan persekongkolan dengan penyedia barang/jasa lain untuk mengatur harga penawaran di luar prosedur pelaksanaan pengadaan barang/jasa, sehingga mengurangi/menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain;
c. membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan pengadaan barang/jasa yang ditentukan dalam dokumen pengadaan;
d. mengundurkan diri setelah batas akhir pemasukan penawaran atau mengundurkan diri dari pelaksanaan kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh Kelompok Kerja ULP/pejabat pengadaan;
e. tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak secara bertanggung jawab; dan/atau
f. berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3), ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam peng gunaan barang/jasa produksi dalam negeri.
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa: a. sanksi administratif; b. sanksi pencantuman dalam daftar hitam; c. gugatan secara perdata; dan/ataud. pelaporan secara pidana kepada pihak berwenang.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah256
(3) Pemberian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan oleh PPK/Kelompok Kerja ULP/pejabat pengadaan sesuai dengan ketentuan.
(4) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan oleh PA/KPA setelah mendapat masukan dari PPK/Kelompok Kerja ULP/pejabat pengadaan sesuai dengan ketentuan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d, dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(6) Apabila ditemukan penipuan/pemalsuan atas informasi yang disam paikan penyedia barang/jasa, dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon pemenang, dimasukkan dalam daftar hitam, dan jaminan pengadaan barang/jasa dicairkan dan disetorkan ke kas negara/daerah.
(7) Apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses pengadaan barang/jasa, ULP:a. dikenakan sanksi administrasi;b. dituntut ganti rugi; dan/atauc. dilaporkan secara pidana.
Pemufakatan jahat yang terjadi dalam pengadaan barang/jasa ini dilakukan sebelum maupun sesudah adanya pengumuman pengadaan barang/jasa pemerintah. Pelaku, yakni oknum panitia dan peserta memang menghendaki adanya kerja sama tersebut. Oknum panitia dan calon peserta mengadakan pertemuan untuk membicarakan mengenai tender yang akan diatur dan mengatur tindakan agar mendapatkan keuntungan dari pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut. Mahrus Ali berpendapat bahwa pemufakatan jahat melakukan tindak
pidana korupsi diatur dalam UndangUndang Tindak Pidana Korupsi, karena:45
a) sudah menjadi pengetahuan umum bahwa perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara atas perekonomian negara;
b) perbuatan korupsi menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi;
c) secara spesifik, pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi telah mengancam kepentingan hukum yang dilindungi undangundang sama seperti pada percobaan melakukan kejahatan;
45 Ibid., hlm. 157 dan 158.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 257
d) berdasarkan pada rasio pengancaman pidana pada pemufakatan jahat pada Pasal 15 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999, yang ditujukan sebagai usaha dini menghindari agar tindak pidana korupsi benarbenar tidak terjadi, mengingat efek yang ditimbulkannya tidak hanya meliputi satu aspek, tapi banyak aspek seperti kemiskinan, pengangguran, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya.
Melihat banyaknya kerugian yang diakibatkan tindak pidana korupsi, dalam hal ini adalah pada pengadaan barang/jasa pemerintah, oknum panitia dan rekanan yang bekerja sama untuk melakukan perbuatan korupsi harus dihukum seberatberatnya. Dalam Pasal 15 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”. Jadi, meskipun perbuatan yang direncanakan belum dilakukan, pelakunya akan dikenakan hukuman yang sama, ketika perbuatan itu sudah selesai dilakukan.
Larangan adanya praktik monopoli dan persaingan tidak sehat atau persekongkolan dalam proses tender pemerintah juga tercantum di dalam Pasal 22 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang menyatakan bahwa: “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
Berikut adalah bentuk dari tindak pidana kolusi, persekongkolan, dan permufakatan jahat antara rekanan penyedia barang/jasa dan pengelola pengadaan, yang biasanya dilakukan dengan cara sebagai berikut.a) Mengatur/merekayasa proses lelang/tender pengadaan barang/jasa. Di sini antara calon rekanan dan oknum pengadaan barang/jasa peme
rintah merencanakan untuk melakukan sesuatu yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak dari pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah, yakni dengan cara memecah paket pengadaan atau menggabungkan paket pengadaan. Pengadaan barang/jasa pemerintah yang seharusnya dilakukan melalui proses tender/lelang terbuka dibuat dengan proses penunjukan atau pengadaan langsung, yakni oknum panitia akan menunjuk rekanan yang telah berkolusi dengannya sebagai penyedia
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah258
paket pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penunjukan atau pengadaan langsung. Pengadaan barang/jasa pemerintah diadakan untuk memberikan kesempatan bagi pengusaha ekonomi lemah, menengah, atau koperasi untuk ikut serta dalam tender pengadaan barang/jasa pemerintah dan bertujuan untuk meningkatkan usaha bagi mereka. Adanya kolusi dan permufakatan jahat antara oknum panitia dan rekanan membuat paket yang seharusnya untuk pengusaha kecil digabungkan seolaholah diperuntukkan bagi pengusaha ekonomi kuat, dan hanya pengusaha kuatlah yang dibuat untuk bisa menyediakan barang/jasa tersebut.
Ada cara lain yang dipergunakan oleh oknum panitia dan rekanan untuk melakukan sabotase pada pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah hanya untuk kepentingan mereka, yakni dengan melakukan tender arisan. Pada tender arisan ini, pesertanya adalah rekanan yang sebelumnya telah melakukan kerja sama dengan panitia yang terdiri dari dari kelompok usaha tertentu, pemenang tender sudah diatur, yakni rekanan yang berkolusi dengan oknum panitia akan secara bergiliran menjadi pemenang tender.
Di sini terjadi persaingan yang tidak sehat antar para peserta lelang. Negara pun juga akan mengalami kerugian karena harga penawaran hanya berasal dari calon rekanan yang telah ditunjuk oleh oknum panitia, dan harga penawaran ini dapat disesuaikan atau mendekati pagu anggaran. Sangat kecil kesempatan untuk memperoleh harga penawaran yang rendah.
b) Membuat spesifikasi barang/jasa telah diarahkan ke pada rekanan tertentu. Dalam hal ini, barang yang dibutuhkan difokuskan pada barang yang
hanya dapat disediakan oleh calon rekanan yang telah ditunjuk sebagai pemenang lelang atau dengan cara lain, pengadaan barang diarahkan pada merek produk tertentu yang tidak semua peserta lelang dapat menyediakan.
Sebagai contoh adalah pengadaan barang/jasa pada salah satu institusi perguruan tinggi negeri mengadakan tender mesin untuk keperluan praktik mahasiswa. Pengelola pengadaan merancang spesifikasi mesin secara khusus sesuai dengan pesanan (calon) rekanan penyedia barang, karena calon rekanan ini yang nantinya akan ditunjuk menjadi pemenang lelang. Spesifikasi dibuat khusus supaya tidak ada saingan dan tidak ada peserta lain yang dapat memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan oleh pengelola pengadaan. Spesifikasi mesin tersebut dibuat mengadaada
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 259
atau mempersulit peserta lain supaya dapat mengarah kepada rekanan penyedia barang tertentu.
Selain untuk mencegah adanya persaingan antarpeserta lelang, perancangan spesifikasi khusus tersebut juga mempunyai tujuan lain, yakni untuk melakukan mark up. Spesifikasi khusus yang telah ditentukan tersebut dibuat memang tidak dijual di pasaran untuk umum, jadi dapat diambil kesimpulan bahwa jika spesifikasi barang tersebut tidak dijual di pasaran secara umum, dimungkinkan harganya sangat mahal.
c) Membuat persyaratan yang bertujuan untuk membatasi peserta lelang. Dalam Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Peme
rintah Nomor 6 Tahun 2012, dalam pengumuman dilarang men can tumkan persyaratan, antara lain sebagai berikut.1) Peserta harus berasal dari provinsi/kabupaten/kota tempat lokasi
pelelangan.2) Pendaftaran harus dilakukan oleh:
a) direktur utama/pimpinan perusahaan; b) penerima kuasa dari direktur utama/pimpinan perusahaan/kepala
cabang yang nama penerima kuasanya tercantum dalam akta pendirian atau perubahannya.
3) Kepala cabang perusahaan yang diangkat oleh kantor pusat yang dibuktikan dengan dokumen autentik.
4) Pejabat yang menurut perjanjian kerja sama berhak mewakili perusahaan yang bekerja sama.
5) Pendaftaran harus membawa asli dan/atau salinan/ fotocopy/legalisir Akta Pendirian, Izin Usaha, Tanda Daftar Perusahaan (TDP), kontrak kerja sejenis, Sertifikat Badan Usaha (SBU), dan/atau dokumendokumen lain yang sejenis.
6) Persyaratan lainnya yang sifatnya diskriminatif.7) Persyaratan di luar yang sudah ditetapkan dalam Perpres No. 54
Tahun 2010 yang terakhir diubah dengan Perpres No. 70 Tahun 2012 beserta petunjuk teknisnya kecuali diperintahkan oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.
Meskipun hal tersebut sudah diatur dalam peraturan dalam tender pengadaan barang/jasa pemerintah, masih saja penyimpanganpenyimpangan terjadi.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah260
Oknum panitia dan rekanan mempunyai banyak cara untuk mencegah calon peserta lain mengikuti tender/lelang dengan membuat syaratsyarat yang sulit untuk diperoleh sebagai penghambat peserta lain untuk mengikuti proses lelang. Beberapa syarat yang bertujuan untuk membatasi peserta tender/lelang, antara lain sebagai berikut.(1) Peserta harus mempunyai anggaran yang ditentukan oleh panitia
pengadaan barang/jasa, dengan jumlah minimal tertentu untuk dapat mengikuti tender yang diadakan, misalnya panitia menentukan saldo yang harus dimiliki peserta adalah Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). Bagi usaha kecil dan mikro tentu saja syarat ini sangatlah memberatkan. Dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 46/MDAG/PER/9/2009, berdasarkan per modal annya, badan usaha dapat digolongkan menjadi empat, yaitu:■ Usaha kecil mikro memiliki kekayaan bersih paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
■ Usaha kecil memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
■ Usaha menengah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
■ Perusahaan besar memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Jadi, tidak mungkin dapat ikut serta dalam pengadaan barang/jasa pemerintah jika usaha kecil mikro, usaha kecil, dan usaha menengah harus memenuhi persyaratan demikian, melihat bahwa kekayaan bersih yang dimiliki tidak lebih dari saldo yang telah ditentukan oleh panitia.
■ Laporan keuangan yang sudah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Untuk melakukan audit membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Banyak faktor yang memengaruhi lamanya waktu audit, seperti besarnya perusahaan, laba/rugi, total aset, dan lainlain. Jadi
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 261
membutuhkan persiapan yang matang bagi peserta untuk dapat menunjukkan laporan keuangannya agar dapat mengikuti tender. Padahal diketahui, waktu untuk mengumpulkan berkasberkas sangat singkat, sehingga peserta akan banyak yang tidak dapat mengikuti proses pengadaan barang/jasa selanjutnya;
■ Persyaratan untuk dapat mengikuti tender adalah perusa haan yang sudah berpengalaman terhadap pengadaan barang/jasa yang akan dilaksanakan. Bagi peserta yang mempunyai pengalaman memang tidak masalah, namun bagi perusahaan yang belum mempunyai pengalaman merupakan hambatan untuk mengikuti proses lelang. Persyaratan ini memang masuk akal, tetapi juga menghambat bagi perusahaan lain yang sedang mengembangkan usaha;
■ Diper syaratkan adanya surat dukungan dari distributor. Biasanya surat dukungan ini diperlukan untuk ketersediaan barang, untuk jaminan keaslian, jaminan purna jual, sehingga ketika dilakukan klarifikasi pada evaluasi teknis, panitia yakin untuk memilih penyedia tersebut sebagai pemenang. Namun tidak semua distributor mau memberikan surat dukungan tersebut, hanya pada perusa haan tertentu saja distributor mau memberikannya, sehingga dikhawatirkan adanya persekongkolan dalam tender, misalnya dengan harga penawaran yang tinggi sudah dipas ti kan ada maksud lain dari melambungnya harga penawaran, sehingga distributor ikut ter libat dalam permainan harga ini. Bagi distributor yang baik, harus mengoreksi kembali antara harga yang ditawarkan dan harga dari distributor. Bisa saja surat dukungan dari distributor yang sama, tetapi dengan harga yang bervariasi dan selisihnya sangat banyak, maka sudah dipastikan adanya persekongkolan untuk melakukan korupsi.
(2) Kerja sama antara oknum panitia dan calon rekanan, yang diwujudkan dengan adanya sikap dan tindakan pilih kasih dari pihak panitia untuk membantu dan memberikan kesempatan kepada calon rekanan agar dapat memenangkan tender. Dengan perkataan lain adanya nepotisme dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dengan lebih mengutamakan pada kerabat, sahabat, kenalan, dan kelompok tertentu dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah262
c. Memalsukan Dokumen PerusahaanTindakan memalsukan dokumen ini digunakan sebagai cara untuk men cari keuntungan bagi diri sendiri antara oknum panitia dan calon rekanan. Misalnya peserta harus menyerahkan dokumen perusahaan yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut telah menjalankan usahanya minimal sepuluh tahun. Perusahaan peserta ternyata belum sampai sepuluh tahun, lalu peserta dan oknum panitia bekerja sama untuk memalsukan dokumen perusahaan tersebut sehingga dapat lolos mengikuti proses selanjutnya.
Memalsukan dokumen diatur dalam Pasal 118 ayat (1) huruf c Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 yang menyatakan:(1) Perbuatan atau tindakan penyedia barang/jasa yang dikenakan sanksi
adalah: c. Mengundurkan diri setelah batas akhir pemasukan penawaran atau
mengundurkan diri dari pelaksanaan kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh Kelompok Kerja ULP/pejabat pengadaan;
Memalsukan dokumen termasuk juga dalam tindak pidana korupsi. Disebutkan di dalam Pasal 9 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terusmenerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu bukubuku atau daftardaftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.Memalsukan di sini berarti mengubah tulisan dari bentuk aslinya, sehingga
isinya menjadi berbeda atau lain atau palsu. Cara memalsukan ini bisa menambah kan kata atau bilangan, atau menghapus kata atau bilangan dalam dokumen, sehingga isinya lain dari semula. Tindakan ini disengaja untuk mendapatkan keuntungan tertentu.
d. Menggelembungkan Harga (Mark Up)Penggelembungan harga dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah hal yang sering terjadi dan dilakukan antara rekanan dan oknum panitia. Hal ini
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 263
meru pakan bentuk kolusi atau permufakatan jahat antara rekanan dan pengelolaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Sebagai contoh adalah pengadaan mesin praktikum di suatu perguruan tinggi negeri. Rekanan mem berikan harga sekitar Rp800 juta per unit, padahal ada peserta lain memberikan harga penawaran di bawah harga tersebut, tetapi oleh panitia, perusahaan rekanan yang telah berkolusi dengan oknum panitia yang menjadi pemenang tender.
Contoh lain adalah penetapan HPS yang tidak wajar, dan tidak sesuai dengan harga pasar karena panitia tidak melakukan cross check atau penelitian harga di pasaran. Pada Pasal 66 Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 disebutkan mengenai HPS yang menyatakan bahwa:(1) PPK menetapkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) barang/jasa, kecuali
untuk kontes/sayembara dan pengadaan langsung yang menggunakan bukti pembelian.
(2) Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan mengumumkan nilai total HPS berdasarkan HPS yang ditetapkan oleh PPK.
(3) Nilai total HPS bersifat terbuka dan tidak rahasia.(4) HPS ditetapkan:
a. paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran untuk pemilihan dengan pascakualifikasi; atau
b. paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran ditambah dengan waktu lamanya proses prakualifikasi untuk pemilihan dengan prakualifikasi.
(5) HPS digunakan sebagai: a. alat untuk menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya; b. dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah:
1) untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya, kecuali pelelangan yang menggunakan metode dua tahap dan pelelangan terbatas di mana peserta yang memasukkan pena waran harga kurang dari 3 (tiga); dan
2) untuk pengadaan jasa konsultansi yang menggunakan metode pagu anggaran.
c. dasar untuk menetapkan besaran nilai Jaminan Pelaksanaan bagi penawaran yang nilainya lebih rendah dari 80% (delapan puluh perseratus) nilai total HPS.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah264
(6) HPS bukan sebagai dasar untuk menentukan besaran kerugian negara.(7) Penyusunan HPS dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang
dapat dipertanggungjawabkan meliputi: a. harga pasar setempat, yaitu harga barang/jasa di lokasi barang/jasa
diproduksi/diserahkan/dilaksanakan, menjelang dilaksanakannya pengadaan barang/jasa;
b. informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS);
c. informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan;
d. daftar biaya/tarif barang/jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan atau distributor tunggal;
e. biaya kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya;
f. inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia;
g. hasil perbandingan dengan kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan instansi lain maupun pihak lain;
h. perkiraan perhitungan biaya yang dilakukan oleh konsultan perencana (engineer’s estimate);
i. norma indeks; dan/atau j. informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
(7a) Penyusunan HPS untuk pelelangan/seleksi internasional dapat menggunakan informasi harga barang/jasa di luar negeri.
(8) HPS disusun dengan memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar.
Penentuan HPS ditentukan oleh PPK karena kewenangan yang dimilikinya. Dengan demikian, tidak ada pihak lain yang dapat ikut campur dalam penetapan HPS, kecuali adanya praktik kolusi di dalamnya. Praktik menggelembungkan harga ter jadi karena adanya kolusi atau kerja sama yang sudah terjalin antara pengelola paket pekerjaan (PPK dan PA/KPA) dan rekanan penyedia barang/jasa. Praktik menggelembungkan harga ini diikuti praktikpraktik kecurangan yang lain dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, di mana pada intinya antara oknum panitia dan rekanan akan mendapatkan keuntungan dalam tender tersebut. Praktikpraktik penyimpangan tersebut, antara lain:
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 265
1) penyuapan;2) pemecahan paket pekerjaan menjadi beberapa paket pekerjaan;3) penggabungan beberapa paket pekerjaan menjadi satu paket pekerjaan;4) spesifikasi barang/jasa yang telah disesuaikan untuk memenangkan rekanan
tertentu;5) persyaratan administrasi untuk membatasi peserta tender/lelang;6) penunjukan langsung;7) membuat subkontrak seluruh paket pekerjaan;8) pemalsuan dokumen;9) tidak adanya surat jaminan dari bank;10) dan lainlain.
e. Mensubkontrakkan Seluruh PekerjaanPasal 87 ayat (3) Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 mengatur bahwa: “Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan pelaksanaan pekerjaan utama berdasarkan kontrak, dengan melakukan subkontrak kepada pihak lain, kecuali sebagian peker jaan utama kepada penyedia barang/jasa spesialis”.
Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan pekerjaan utama kepada pihak lain. Subkontrak ini biasanya terjadi dalam pekerjaan konstruksi. Subkontrak adalah pengalihan pekerjaan yang bukan pekerjaan utama kepada penyedia lain atas persetujuan PPK.
Dalam Pasal 87 ayat (1) Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 menyatakan bahwa: dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan dalam dokumen kontrak, PPK bersama penyedia barang/jasa “dapat” melakukan perubahan kontrak yang meliputi: 1) menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam
kontrak; 2) menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan;3) mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan; 4) mengubah jadwal pelaksanaan.
Sementara dalam Pasal 87 ayat (3) Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, menyatakan bahwa: “penyedia barang/jasa dilarang mengalih kan pekerjaan utama berdasarkan kontrak kecuali sebagian pekerjaan utama kepada
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah266
penyedia barang/jasa spesialis”. Ayat (4) menyatakan bahwa: “pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyedia barang/jasa dikenakan sanksi berupa denda yang bentuk dan besarnya sesuai dengan ketentuan seba gaimana diatur dalam dokumen kontrak”. Ayat (5) menyatakan bahwa: “perubahan kontrak yang disebabkan masalah administrasi, “dapat” dilakukan sepanjang dise pakati kedua belah pihak”. [Kata dapat yang diberi tanda (“...”), diberikan tanda sendiri oleh penulis].
Mencermati rumusan Pasal 87 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana di uraikan di atas, penulis berpendapat bahwa dalam pasal tersebut mengandung beberapa kelemahan yang membuka ruang bagi panitia pengadaan barang/jasa untuk melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan we wenang, jabatan atau kedudukan yang ada padanya atau mal administrasi yang mengakibatkan munculnya kasuskasus korupsi yang dapat merugikan keuangan negara. Kelemahankelemahan yang terkandung dalam pasal tersebut antara lain: 1) adanya kata “dapat” dalam rumusan pasal tersebut membuka celah ter
jadinya penafsiran subjektif masingmasing pihak yang menguntungkan dirinya atau orang lain atau korporasi;
2) antara Pasal 87 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 membuka celah terjadinya multitafsir tanpa tolak ukur yang jelas melainkan sangat tergantung kepada siapa yang menafsirkannya.Misalnya kasus pekerjaan konstruksi bangunan Hambalang, di mana
terdapat dugaan PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya mensubkontrakkan peker jaan kepada PT Dutasari Citralaras sebagai penyedia barang/jasa spesialis. Jika PT Dutasari Citralaras yang menerima subkontrak dari PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya bukan termasuk penyedia barang/jasa spesialis, maka terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 87 ayat (3) Perpres No. 70 Tahun 2012.
Jika harga dalam kontrak adalah di atas Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), maka penyedia wajib bekerja sama dengan penyedia usaha mikro dan usaha kecil serta koperasi kecil, yaitu dengan mensubkontrakkan sebagian pekerjaan yang bukan pekerjaan utama. Pekerjaan yang disubkontrakkan tersebut diatur dalam kontrak dan harus mendapatkan persetujuan dari PPK. Penyedia tetap bertanggung jawab atas pekerjaan yang disubkontrakkan tersebut kepada pihak lain. PT Dutasari Citralaras dapat menerima subkontrak dari PT
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 267
Adhi Karya dan PT Wijaya Karya, jika PT Dutasari Citralaras termasuk penyedia usaha mikro dan usaha kecil serta koperasi kecil. Jika, tidak maka telah terjadi pelanggaran. Sanksi yang dikenakan dapat berupa denda sebesar nilai pekerjaan yang disubkontrakkan secara tidak sah atau tidak dilakukan pembayaran atas pekerjaan yang disubkontrakkan secara tidak sah.
f. Mengurangi Kuantitas dan/atau Kualitas Barang/JasaPerjanjian atau kontrak antara PPK dan rekanan penyedia barang/jasa dibuat untuk dilaksanakan dan ditaati. Hal ini merupakan asas umum di dalam perjanjian, yakni asas atau pacta sunt servanda (aggrements must be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa “setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian”.
Dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah selalu diatur mengenai kuantitas (jumlah) dan kualitas (mutu) barang/jasa yang diperjanjikan. Kuantitas dan kualitas barang/jasa harus sesuai dengan yang tertulis dalam perjanjian. Jadi, kualitas dan kuantitas barang/jasa sesuai dengan spesifikasi.
Panitia penerima barang/jasa bertanggung jawab terhadap kualitas dan kuantitas barang/jasa yang telah selesai dikerjakan. Panitia penerima yang melakukan pengecekan terhadap semua barang dan menya takan barang/jasa yang diserahkan telah sesuai dengan kontrak. Rekanan penyedia barang/jasa juga harus bertanggung jawab. Jika tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang telah diatur dalam kontrak, sudah pasti ada penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa tersebut. Barang/jasa yang tidak sesuai dengan spesifikasi tidak mungkin bisa lolos begitu saja tanpa dilakukan pemeriksaan oleh panitia penerima. Akan tetapi, jika barang/jasa tidak sesuai dengan kontrak diterima, maka sudah terjadi kolusi antara panitia penerima barang/jasa dengan rekanan penyedia.
Tugas pokok dan kewenangan panitia penerima barang/jasa diatur dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal 18 ayat (5) dan ayat (6) sebagai berikut.(1) PA/KPA menetapkan panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan.(2) Anggota panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan berasal dari pegawai
negeri, baik dari instansi sendiri maupun instansi lainnya.(3) Dikecualikan dari ketentuan pada ayat (2), anggota panitia/pejabat penerima
hasil pekerjaan pada institusi lain pengguna APBN/APBD atau kelompok masyarakat pelaksana swakelola dapat berasal dari bukan pegawai negeri.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah268
(4) Panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut. a. Memiliki integritas, disiplin, dan tanggung jawab dalam melaksana
kan tugas. b. Memahami isi kontrak. c. Memiliki kualifikasi teknis. d. Menandatangani pakta integritas.e. Tidak menjabat sebagai Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah
Membayar (PPSPM) atau bendahara. (5) Panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) mempunyai tugas pokok dan kewenangan untuk: a. melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan pengadaan barang/jasa sesuai
dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak;b. menerima hasil pengadaan barang/jasa setelah melalui pemeriksaan/
pengujian; dan c. membuat dan menandatangani berita acara serah terima hasil pe
kerjaan. (6) Dalam hal pemeriksaan barang/jasa memerlukan keahlian teknis khusus,
dapat dibentuk tim/tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan tugas panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan;
(7) Tim/tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan oleh PA/KPA.
(8) Dalam hal pengadaan jasa konsultansi, pemeriksaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, dilakukan setelah berkoordinasi dengan pengguna jasa konsultansi yang bersangkutan.Penyimpangan dalam bentuk mengurangi kualitas dan kuantitas barang/
jasa merupakan suatu kejahatan. Misalnya pengadaan barang/jasa untuk keperluan TNI, jika spesifikasi barang tidak sesuai dengan kontrak, jika barang tersebut digunakan dalam keadaan perang, maka akan membahayakan negara selain merugikan keuangan negara.
g. Pengadaan FiktifPengadaan fiktif ini dilakukan dengan cara merekayasa atau mengadakan tender yang sebenarnya tidak perlu dilakukan dengan tujuan untuk mengambil keuntungan dari anggaran yang akan digunakan pada pengadaan barang/jasa fiktif
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 269
tersebut. Pengadaan fiktif ini dapat disebut sebagai pencurian terhadap uang negara yang sudah direncanakan sebelumnya. Misalnya adalah pengadaan barang/jasa untuk keperluan peralatan institusi atau lembaga tertentu. Pengadaan barang/jasa tersebut sebenarnya tidak perlu diadakan karena institusi belum membutuhkan peralatan tersebut atau peralatan itu masih ada dan dapat digunakan. Adanya niat yang tidak baik untuk mencari keuntungan, maka dibuatlah pengadaan barang/jasa untuk keperluan peralatan kantor.
h. Salah dalam Merancang/Menetapkan Jenis KontrakPembuatan kontrak dalam suatu kerja sama antara pihak yang satu dengan pihak yang lain sangatlah penting, karena kontrak merupakan dasar untuk bertindak atas kesepakatan yang telah dilakukan. Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, tugas untuk menetapkan jenis kontrak merupakan tanggung jawab ULP atau pejabat pengadaan. Tanggung jawab ULP atau pejabat pengadaan dalam menetapkan jenis kontrak diatur pada Pasal 50 Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 sebagai berikut.(1) PPK menetapkan jenis kontrak pengadaan barang/jasa dalam rancangan
kontrak.(2) Kontrak pengadaan barang/jasa meliputi:
a. kontrak berdasarkan cara pembayaran; b. kontrak berdasarkan pembebanan tahun anggaran;c. kontrak berdasarkan sumber pendanaan; dan d. kontrak berdasarkan jenis pekerjaan.
(3) Kontrak pengadaan barang/jasa berdasarkan cara pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri atas: a. kontrak lump sum; b. kontrak harga satuan; c. kontrak gabungan lump sum dan harga satuan; d. kontrak persentase; dan e. kontrak terima jadi (turnkey).
(4) Kontrak pengadaan barang/jasa berdasarkan pembebanan tahun anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, terdiri atas: a. kontrak tahun tunggal; dan b. kontrak tahun jamak.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah270
(5) Kontrak pengadaan barang/jasa berdasarkan sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, terdiri atas: a. kontrak pengadaan tunggal; b. kontrak pengadaan bersama; dan c. kontrak payung (framework contract).
(6) Kontrak pengadaan barang/jasa berdasarkan jenis pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, terdiri atas: a. kontrak pengadaan pekerjaan tunggal; dan b. kontrak pengadaan pekerjaan terintegrasi.
Setelah ULP atau pejabat pengadaan menetapkan jenis kontrak, tahap selanjutnya adalah perancangan kontrak. Tanggung jawab untuk merancang kontrak merupakan tugas dari PPK. Tanggung jawab PPK dalam merancang kontrak diatur dalam Pasal 11 Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 sebagai berikut.
(1) PPK memiliki tugas pokok dan kewenangan sebagai berikut.a. Menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang me
liputi: 1) spesifikasi teknis barang/jasa; 2) harga perkiraan sendiri (HPS); dan 3) rancangan kontrak.
b. Menerbitkan surat penunjukan penyedia barang/jasa.c. Menyetujui bukti pembelian atau menandatangani kuitansi/Surat
Perintah Kerja (SPK)/surat perjanjian.d. Melaksanakan kontrak dengan penyedia barang/jasa.e. Mengendalikan pelaksanaan kontrak. f. Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian pengadaan barang/jasa kepada
PA/KPA. g. Menyerahkan hasil pekerjaan pengadaan barang/jasa kepada PA/KPA
dengan berita acara penyerahan. h. Melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan
hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/ KPA setiap triwulan. i. Menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan
pengadaan barang/jasa.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 271
(2) Selain tugas pokok dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal diperlukan, PPK dapat: a. Mengusulkan kepada PA/KPA:
1) perubahan paket pekerjaan; dan/atau 2) perubahan jadwal kegiatan pengadaan.
b. Menetapkan tim pendukung. c. Menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis untuk
membantu pelaksanaan tugas ULP.d. Menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada penyedia
barang/jasa.
Pemilihan jenis kontrak ini harus disesuaikan dengan pengadaan barang/jasa yang akan dilaksanakan, dan pemilihan jenis kontrak ini harus tepat. Kriteria jenis kontrak yang digunakan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah ini diatur pada Pasal 51 Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, yaitu sebagai berikut.
(1) Kontrak lump sum merupakan kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak, dengan ketentuan sebagai berikut. a. Jumlah harga pasti dan tetap serta tidak dimungkinkan penyesuaian
harga. b. Semua risiko sepenuhnya ditanggung oleh penyedia barang/jasa. c. Pembayaran didasarkan pada tahapan produk/keluaran yang dihasilkan
sesuai dengan isi kontrak. d. Sifat pekerjaan berorientasi kepada keluaran (output based). e. Total harga penawaran bersifat mengikat. f. Tidak diperbolehkan adanya pekerjaan tambah/kurang.
(2) Kontrak harga satuan merupakan kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu yang telah ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut.a. Harga satuan pasti dan tetap untuk setiap satuan atau unsur pekerjaan
dengan spesifikasi teknis tertentu. b. Volume atau kuantitas pekerjaannya masih bersifat perkiraan pada
saat kontrak ditandatangani.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah272
c. Pembayarannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas volume pekerjaan yang benarbenar telah dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa.
d. Dimungkinkan adanya pekerjaan tambah/kurang berdasarkan hasil pengukuran bersama atas pekerjaan yang diperlukan.
(3) Kontrak gabungan lump sum dan harga satuan adalah kontrak yang meru pakan gabungan lump sum dan harga satuan dalam 1 (satu) pekerjaan yang diperjanjikan.
(4) Kontrak persentase merupakan kontrak pengadaan jasa konsultansi/jasa lainnya, dengan ketentuan sebagai berikut.a. Penyedia jasa konsultansi/jasa lainnya menerima imbalan berda sarkan
persentase dari nilai pekerjaan tertentu. b. Pembayarannya didasarkan pada tahapan produk atau keluaran yang
dihasilkan sesuai dengan isi kontrak.(5) Kontrak terima jadi (turnkey) merupakan kontrak pengadaan barang/
pekerjaan konstruksi/jasa lainnya atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan ketentuan sebagai berikut. a. Jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh pekerjaan selesai di lak
sanakan. b. Pembayaran dilakukan berdasarkan hasil penilaian bersama yang me
nunjukkan bahwa pekerjaan telah dilaksanakan sesuai dengan kriteria kinerja yang telah ditetapkan.
Sebagai contoh dalam kesalahan memilih/menetapkan jenis kontrak dalam pengadaan barang/jasa yang merugikan keuangan negara dan berujung pada tindak pidana, misalnya pengurukan tanah rawa seluas 5 ha. Tujuan pekerjaan ini adalah pengurukan, pengeringan, dan pengerasan lahan rawa supaya siap dibangun.
Sejak awal PA/KPA maupun PPK tidak dapat mengestimasi/memperkirakan berapa jumlah tanah urukan yang dibutuhkan untuk pekerjaan tersebut. Misalnya, dibuat kontrak lump sum untuk pekerjaan tersebut dengan nilai kontrak Rp6.500.000.000 (enam miliar lima ratus juta rupiah), dengan kriteria lahan rawa menjadi kering dan keras dengan ketinggian 1 (satu) meter di atas permukaan tanah sekelilingnya (pada keempat sisinya).46
46 Ibid., hlm. 66 dan 67.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 273
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 ayat (1) Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, kriteria kontrak lump sum adalah: Kontrak lump sum merupakan kontrak pengadaan barang/jasa atas penye le
saian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak, dengan ketentuan sebagai berikut.a. Jumlah harga pasti dan tetap serta tidak dimungkinkan penyesuaian
harga. b. Semua risiko sepenuhnya ditanggung oleh penyedia barang/jasa. c. Pembayaran didasarkan pada tahapan produk/keluaran yang dihasil
kan sesuai dengan isi kontrak. d. Sifat pekerjaan berorientasi kepada keluaran (output based). e. Total harga penawaran bersifat mengikat. f. Tidak diperbolehkan adanya pekerjaan tambah/kurang.
Melihat ketentuan Pasal 51 ayat (1) Pasal 51 ayat (1) Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, terkait dengan contoh kasus di atas, jumlah tanah untuk menguruk rawa seluas 5 ha sudah ditetapkan. Banyaknya tanah untuk menguruk rawa ter sebut harus dapat membuat rawa menjadi kering dan mengeras sehingga dapat segera untuk dibangun sebuah gedung. Kriteria pengurukan tanah rawa tersebut menjadi kering dan keras dengan ketinggian 1 (satu) meter di atas permukaan tanah sekelilingnya (pada keempat sisinya), dengan nilai kontrak Rp6.500.000.000 (enam miliar lima ratus juta rupiah).
Ternyata dengan nilai kontrak yang demikian, tanah yang digunakan untuk menguruk tanah rawa kurang, sehingga ketinggiannya tidak ada satu meter atau luas tanah rawa yang diuruk tidak sesuai dengan kriteria. Dalam kontrak lump sum yang dinilai adalah hasil pekerjaannya atau keluaran (output based). Kekurangan tanah urukan menjadi tanggung jawab penyedia barang/jasa, dengan nilai kontrak tersebut ternyata masih kurang jika harus menguruk tanah rawa sampai dengan ketinggian satu meter, padahal tidak dapat dilakukan penyesuaian harga dan harga penawaran bersifat mengikat, jadi tidak bisa diubah. Jadi, dengan nilai kontrak Rp6.500.000.000 (enam miliar lima ratus juta rupiah) tersebut, tanah rawa harus keras, kering, dan siap dibangun dengan ketinggian urukan satu meter. Pembayaran dilakukan jika pekerjaan tersebut sudah selesai, dan sesuai dengan kriteria dalam kontrak.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah274
Akan tetapi, ternyata hasil pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak, penyedia barang/jasa juga mengalami kerugian karena penyedia tidak dapat melakukan pekerjaan tambahan untuk menguruk tanah rawa sesuai dengan kriteria, sehingga pengerjaan tanah urukan menjadi tidak selesai, dan penyedia tentu tidak mau menanggung kerugian yang besar.
Berbeda jika dengan nilai kontrak tersebut, penyedia dapat menguruk tanah rawa dengan jumlah tanah urukan yang sudah ditetapkan, bahkan tanah urukan tersebut jumlahnya lebih dari yang diperlukan, sehingga penyedia mendapatkan keuntungan. Tetapi, hal ini dapat menimbulkan dugaan adanya mark up, karena keuntungan yang didapat penyedia barang/ jasa lebih banyak.
i. Kontrak Tanpa Tersedianya AnggaranKontrak tanpa tersedia anggarannya ini dilarang karena dapat mengakibatkan kerugian bagi keuangan negara. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 13 Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa: PPK dilarang mengadakan ikatan perjanjian atau menandatangani kontrak
dengan penyedia barang/jasa apabila belum tersedia anggaran atau tidak cukup tersedia anggaran yang dapat mengakibatkan dilampauinya batas anggaran yang tersedia untuk kegiatan yang dibiayai dari APBN/APBD.
Pengadaan barang/jasa yang dilakukan dengan anggaran yang belum ter sedia atau tidak cukup anggarannya dikhawatirkan akan menaikkan anggaran kegiatan yang didanai dari APBN/APBD, meskipun hal itu dapat dilakukan jika dalam keadaan yang terdesak. Misalnya pembangunan jembatan karena tanah longsor yang mengakibatkan putusnya sarana penghubungan antara desa satu dengan desa yang lain, sehingga mempersulit proses evakuasi korban.
Dalam hal ini peme rintah bersedia untuk membangun jembatan tersebut untuk kepentingan umum. Permasalahannya adalah anggaran untuk pembangunan jembatan tersebut tidak ada atau belum terdapat dalam kegiatan yang dibiayai APBN/APBD. Pemerintah menunjuk langsung kontraktor untuk segera membangun jembatan tersebut. Kontraktor bersedia melaksanakannya, dan peme rintah akan menganggarkan kegiatan tersebut pada APBD tahun depan. Penunjukan langsung yang dilakukan pemerintah terhadap kontraktor tertentu memang tidak melanggar ketentuan, hanya saja anggaran untuk pembangunan jembatan tidak tersedia.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 275
Keadaan yang demikian terpaksa dilakukan. Permasalahan timbul setelah pembayaran akan dilakukan. Pekerjaan telah selesai dan pembayaran dilakukan setahun kemudian. Pada saat bencana terjadi, tentunya harga bahanbahan material bangunan menjadi mahal, dan kontraktor terpaksa harus menggunakan bahanbahan tersebut agar jembatan dapat diselesaikan untuk mengevakuasi korban. Ternyata, biaya pembangunan jembatan yang dikerjakan oleh kontraktor sangat tinggi. Tentunya audit akan menduga ada penggelembungan harga dalam kegiatan pembangunan jembatan tersebut. Bisa saja keadaan darurat tersebut dimanfaatkan oleh kontraktor untuk mengambil keuntungan.
Oleh karena perbedaan keadaan pada saat terjadinya bencana dan dalam keadaan normal, maka akan memengaruhi nilai jual bahan bangunan. Sebagaimana teori pasar, semakin banyak penawaran, maka harga akan semakin tinggi. Orang pun terpaksa akan membeli dan tidak akan berpikir panjang jika dalam keadaan terdesak. Perselisihan tersebut yang nantinya akan mempersulit pembayaran pengadaan jembatan dalam kondisi darurat tersebut.
j. Pemborosan dan Kebocoran Keuangan Negara/DaerahPemborosan dan kebocoran keuangan negara/daerah sudah menjadi hal yang biasa dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Penyimpanganpenyimpangan yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung telah merugikan keuangan negara. Baik panitia pengadaan atau rekanan harus mematuhi etika pengadaan barang/jasa, agar tidak terjadi penyimpangan yang dapat merugikan keuangan negara. Mengenai etika pengadaan barang/ jasa pemerintah ini telah diatur dalam Pasal 6 huruf f Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 berikut ini. Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus
mematuhi etika sebagai berikut.a. Melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk
mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang/jasa.
b. Bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang/jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa.
c. Tidak saling memengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah276
d. Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak.
e. Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang/jasa.
f. Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa.
g. Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara.
h. Tidak menerima, tidak menawarkan, atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.
Jika etika pengadaan tersebut dilaksanakan oleh panitia pengadaan dan rekanan, maka tidak akan ada yang namanya pemborosan atau kebocoran keuangan negara. Ketika aturan tersebut dilanggar, sudah pasti tindakan tersebut mengakibatkan pemborosan keuangan negara/daerah.
k. Penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang Terlalu TinggiPenentuan HPS merupakan tanggung jawab PPK. Hal ini sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) huruf a Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 sebagai berikut.
PPK memiliki tugas pokok dan kewenangan sebagai berikut.a. Menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang meli
puti: 1) spesifikasi teknis barang/jasa; 2) harga perkiraan sendiri (HPS); dan 3) rancangan kontrak.
b. Menerbitkan surat penunjukan penyedia barang/jasa.c. Menyetujui bukti pembelian atau menandatangani kuitansi/Surat
Perintah Kerja (SPK)/surat perjanjian.d. Melaksanakan kontrak dengan penyedia barang/jasa.e. Mengendalikan pelaksanaan kontrak.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 277
f. Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian pengadaan barang/jasa kepada PA/KPA.
g. Menyerahkan hasil pekerjaan pengadaan barang/jasa kepada PA/KPA dengan berita acara penyerahan.
h. Melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan.
i. Menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan pengadaan barang/jasa.
Sumber informasi sebagai dasar penetapan HPS harus diambil dari lembaga yang kredibel sebagaimana diatur pada Pasal 66 ayat (7) Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 sebagai berikut. Penyusunan HPS dikalkulasi secara keahlian berdasarkan data yang dapat
dipertanggungjawabkan meliputi:a. Harga pasar setempat, yaitu harga barang/jasa di lokasi barang/jasa
diproduksi/diserahkan/dilaksanakan, men jelang dilaksanakannya pengadaan barang/jasa;
b. Informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS);
c. Informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan;
d. Daftar biaya atau tarif barang/jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/ distributor tunggal;
e. Biaya kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya;
f. Inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia;
g. Hasil perbandingan dengan kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan instansi lain maupun pihak lain;
h. Perkiraan perhitungan biaya yang dilakukan oleh konsul tan perencana (engineer’s estimate);
i. Norma indeks; dan/atauj. Informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.Pada Pasal 66 ayat (8) Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun
2015 dinyatakan bahwa: “HPS disusun dengan memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar”.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah278
Untuk menetapkan HPS, harus dilakukan penelitian harga di pasaran. Penetapan besarnya HPS ini nantinya terkait dengan penentuan harga penawaran oleh peserta lelang. Penawaran harga peserta tender/lelang pengadaan barang/jasa tidak boleh me lebihi (lebih tinggi) dari HPS. Hal ini diatur pada Pasal 66 ayat (5) Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 berikut.(1) PPK menetapkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) barang/jasa, kecuali untuk
kontes atau sayembara dan pengadaan langsung yang menggunakan bukti pembelian.
(2) Kelompok Kerja ULP/pejabat pengadaan mengumumkan nilai total HPS berdasarkan HPS yang ditetapkan oleh PPK.
(3) Nilai total HPS bersifat terbuka dan tidak rahasia.(4) HPS disusun paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas
akhir pemasukan penawaran: a. paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pe
masukan penawaran untuk pemilihan dengan pascakualifikasi; ataub. paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir
pemasukan penawaran ditambah dengan waktu lamanya proses prakualifikasi untuk pemilihan dengan prakualifikasi.
(5) HPS digunakan sebagai:a. Alat untuk menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya;b. Dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah:
1) untuk pengadaan barang/pekerjaan kons truksi/jasa lainnya, kecuali pelelangan yang menggunakan metode dua tahap dan pelelangan terbatas di mana peserta yang me masukkan pena waran kurang dari 3 (tiga); dan
2) Untuk pengadaan jasa konsultansi yang menggunakan metode pagu anggaran.
Dasar untuk menetapkan besaran nilai jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang nilainya lebih rendah dari 80% (delapan puluh persen) nilai total HPS.
3. Munculnya Tindak Pidana AdministrasiDalam ranah HAN, diatur hubungan hukum antara penyedia dan pengguna barang/jasa, dari proses pengadaan (pelelangan/seleksi) sampai dengan pene
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 279
tapan pemenang lelang/seleksi/penyedia barang/jasa. Dalam proses ini, pengguna barang/jasa yakni instansi pemerintah (PA/KPA bertindak sebagai pejabat negara/daerah).
Semua keputusan yang dikeluarkan dalam proses pengadaan barang/jasa ini merupakan keputusan pejabat negara/daerah atau publik, sehingga apabila ada pihak yang dirugikan (penyedia barang/jasa atau masyarakat) akibat dikeluarkannya keputusan tersebut, maka dapat mengajukan gugatan pembatalan secara tertulis atas keputusan tersebut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu sebagai berikut.
(1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
(2) Alasanalasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundangundangan yang berlaku;b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
asasasas umum pemerintahan yang baik.
Dalam proses pelelangan atau seleksi ini, bila ada ketidakpuasan dari peserta lelang, bisa disampaikan pada saat dilakukannya pemberian penjelasan (aanwijzing), memberikan sanggahan, dan sanggahan banding, pengaduan ke APIP (Aparat Pengawas Intern Pemerintah) atau SPI (Satuan Pengawasan Internal), dan terakhir adalah PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).
Sesuai dengan Pasal 53 ayat (1) UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 bahwa jika ada peserta atau penyedia barang/jasa yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan pejabat dalam pengadaan barang/jasa, dapat mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN yang berwenang, yang berisi tuntutan agar KTUN tersebut dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah280
Alasanalasan yang dapat digunakan dalam gugatan antara lain KTUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Suatu Keputusan Tata Usaha Negara dinilai bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku jika:47
a) KTUN yang disengketakan itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang bersifat prosedural/formal. Misalnya sebelum keputusan penunjukan pemenang tender dikeluarkan, seharusnya diberi masa sanggah. Penunjukan pemenang sebelum masa sanggah selesai, maka KTUN itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang bersifat prosedural atau formal;
b) Bertentangan dengan ketentuanketentuan dalam peraturan perundangundangan yang bersifat material/substansial. Misalnya pejabat/Badan Tata Usaha Negara telah mengabulkan dengan menerbitkan suatu KTUN yang dimohonkan, padahal pengeluaran keputusan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang bersifat material atau substansial;
c) Dikeluarkan oleh pejabat atau Badan Tata Usaha Negara yang tidak berwenang. Misalnya berdasarkan Perpres No. 70 Tahun 2012, wewenang untuk menetapkan pemenang adalah PPK namun dibuat oleh panitia.
Jika badan atau pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan tata usaha negara tersebut menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut atau pejabat tersebut mengeluarkan keputusan yang melebihi kewenangannya atau penyalahgunaan wewenang, di mana perbuatan itu dilakukan dengan sengaja oleh pejabat atau Badan Tata Usaha Negara atau mengeluarkan keputusan di luar kewenangannya terkait proses pengadaan, dan keputusan itu merugikan maka dapat diajukan gugatan. Pejabat yang berwenang tersebut adalah PA/KPA, kepala daerah, PPK, tim pendukung, dan tim teknis. Misalnya, keputusan pemenang kepada usaha nonkecil yang seharusnya pengadaan barang/jasa diklasifikasikan/diper untukkan kepada pengusaha kecil. Dalam proses pelelangan/seleksi sampai penetapan pemenang tidak ada
kerugian negara atau tidak ada tindak pidana, maka wilayah hukumnya
47 Sekretariat Badan Balai Diklat Keuangan Pontianak, Aspek Hukum dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, dalam http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/pontianak/index.php/home/10umum/60aspekhukumdalampengadaanbarangdanjasapemerintah, diakses pada hari Minggu, 8 Desember 2013.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 281
adalah kewenangan APIP atau PTUN. Pengaduan dalam proses pelelangan seharusnya disampaikan dan ditangani oleh APIP. Dengan demikian, sepanjang tidak ada tindakan yang merugikan keuangan negara atau tindak pidana, maka proses pelelangan/seleksi tidak perlu dibawa ke ranah pidana. Seperti misalnya ada kesalahan prosedur yang seharusnya lelang tetapi dilakukan dengan penunjukan langsung, kesalahan pembuatan dokumen pengadaan, kesalahan evaluasi, kesalahan penetapan pemenang sepanjang tidak ada kerugian negara, sepanjang tidak ada terima komisi, mark up, fiktif, pemalsuan dokumen maka hanya merupakan tindakan kesalahan dalam HAN.48
Akan tetapi, kesalahan administrasi bisa juga berujung menjadi tindak pidana. Kesalahan administrasi bisa membuat pejabat harus berurusan dengan polisi atau kejaksaan (peradilan pidana), bahkan tidak sedikit yang harus berakhir dengan dipidana. Kesalahan prosedur dalam tahapantahapan pengadaan barang/jasa pemerintah akan membawa dampak kerugian negara. Misalnya ditemukan kesalahan dalam prosedur dalam proses perencanaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Temuan mengenai adanya kesalahan prosedur tersebut kemudian akan ditindaklanjuti, setelah dilakukan pemeriksaan dan audit akan dinilai apakah apa kerugian negara atau tidak. Jika setelah dilakukan audit tersebut, tidak ada indikasi menimbulkan kerugian negara, maka kesalahan prosedur dalam pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh panitia atau pejabat pengadaan barang/jasa akan diberikan sanksi administrasi.
Pengadaan barang/jasa pemerintah dapat menjadi masalah hukum apabila memenuhi dua hal, yakni kesalahan prosedur atau penyalahgunaan wewenang serta adanya kerugian negara.49
Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, sebagaimana disebutkan sebelumnya, jika dalam temuan terdapat kesalahan prosedur tetapi tidak ditemukan adanya kerugian negara, maka termasuk dalam bentuk mal administrasi, dan sanksinya adalah sanksi administrasi. Kesalahan prosedur ini bisa saja dilakukan karena adanya ketidaktahuan atau memang karena sistem yang demikian. Sebagai contoh adalah karena waktu yang diberikan sangat cepat, maka proses pengadaan dilakukan tergesagesa, dan tidak sesuai prosedur meskipun hasil yang diperoleh telah sesuai dan tidak menimbulkan kerugian negara. Misalnya sanggahan yang
48 Mudjisantosa, op.cit., hlm. 160 dan 161.49 Ibid., hlm. 166.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah282
harusnya ditanggapi, tidak ditanggapi karena panitia berpikir apabila menanggapi sanggahan yang ada, waktu akan semakin terbuang. Selain itu, dapat pula diambil contoh dalam kasus pengadaan barang/jasa di Polines Semarang yang penulis tangani, di mana PA/PPK membayar 100% meskipun barang belum semuanya dipenuhi oleh rekanan, meskipun rekanan telah memberikan cek, yang ternyata cek tersebut adalah cek kosong.
PA/PPK tidak mengambil keuntungan dalam pengadaan barang/jasa tersebut. Meskipun sudah sesuai dengan prosedur, tetapi rekanan yang mempunyai iktikad tidak baik, yang pada akhirnya membawa pada masalah hukum karena adanya kerugian negara, di mana biaya yang telah diserahkan di bawa kabur oleh rekanan yang ternyata meminjam bendera kepada perusahaan lain. Di sini terdapat kesalahan dalam menerapkan prosedur dan adanya kerugian negara. Panitia tidak mengecek terlebih dahulu, apakah cek yang diberikan oleh rekanan sebagai jaminan tersebut kosong atau tidak. Oleh karena kecerobohan, maka negara yang dirugikan, meskipun dalam kasus tersebut tidak ada indikasi penyalahgunaan wewenang.
Apabila dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, panitia atau pejabat pengadaan dengan sengaja menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk memperoleh keuntungan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, dan telah diketahui dengan pasti bahwa perbuatannya tersebut nantinya akan membawa akibat kerugian negara, maka perbuatan panitia atau pejabat peng adaan termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum, dan masuk dalam ranah pidana sebagai perbuatan korupsi. Mudjisantosa menyebutkan permasalahan yang sering terjadi atau muncul
setelah pemeriksaan di persidangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, antara lain:50
1. Penunjukan langsung. Seharusnya dilakukan dengan pelelangan/seleksi, tetapi dilakukan
dengan penunjukan langsung, tidak ada kompetisi sehingga harganya melebihi harga pasar, atau penunjukan langsung tanpa dilakukan klarifikasi spesifikasi dan tidak ada negosiasi kewajaran harga.
2. Barang/pekerjaan tidak fiktif. Penerimaan barang/pekerjaan tidak ada atau tidak jelas, tetapi panitia
penerima hasil pekerjaan menerima dan penyedia dibayar.
50 Ibid., hlm. 166 dan 167.
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 283
3. Eskalasi. Dalam dokumen kontrak, tidak ada pencatuman mengenai eskalasi,
tetapi dibayarkan eskalasinya.4. Kontrak lumpsum. Kontrak lumpsum yang tidak boleh berubah total nilainya, ada per
ubahan pekerjaan yang nilainya berdasarkan audit tidak sesuai. 5. Barang tidak sesuai spesifikasi. Hasil pekerjaan tidak sesuai spesifikasi, sehingga tidak dapat digu nakan/
dimanfaatkan. Contoh adalah pengadaan lift yang tidak bisa digunakan.6. Rekayasa lelang. Target pemenang sudah dirancang sejak perencanaan dan persetujuan
anggaran, dilanjutkan dengan pemaketan yang diatur, spesifikasi yang mengarah dan seterusnya, sehingga penyedia yang ditarget dapat terpilih.
7. KKN/persekongkolan. Adanya pengaturan lelang, sehingga harganya melebihi harga pasar.8. Pinjam bendera. Hasil pekerjaan tidak sesuai, ternyata yang mengerjakan pekerjaan
bukan penyedia pemenang lelang.9. Memecah/menyatukan paket. Menyatukan paket sehingga yang bisa mengerjakan hanya satu
penyedia. Memecah suatu paket menjadi banyak paket, sehingga tidak ada pelelangan.
Berikut adalah data perkara yang ditangani oleh KPK dalam laporannya tahun 2012, di mana korupsi pengadaan barang/jasa pemerintah menduduki peringkat pertama.
Tabel 3.1 Perkara TPK Berdasarkan Jenis Perkara Tahun 2012
No. Jenis Perkara 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jumlah
1. Pengadaan Barang/Jasa
2 12 8 14 18 16 16 10 11 107
2. Perizinan 5 1 3 1 0 10
3. Penyuapan 7 2 4 13 12 19 25 34 116
4. Pungutan 7 2 3 0 12
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah284
No. Jenis Perkara 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jumlah
5. Penyalahgunaan Anggaran
5 3 10 8 5 4 3 38
Jumlah 2 19 27 24 47 37 40 39 48 283
Sumber: Laporan KPK Tahun 2012
Korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dengan menyalahgunakan wewenang, yang menimbulkan dampak bagi kerugian negara dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) serta Pasal 3 ayat (1). Dalam Pasal tersebut korupsi terjadi karena penyalahgunaan kewenangan, menggunakan kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukan secara melawan hukum untuk mendapatkan keuntungan dapat dipidana. Perbuatan melawan hukum tersebut membawa kerugian, yakni kerugian bagi negara.
Jabatan yang melekat pada pejabat sering disalahgunakan, berikut dengan kewenangannya. Baik dari pejabat tinggi sampai dengan pejabat di tingkat bawah, mereka menggunakan kesempatan dan sarana secara melawan hukum untuk tujuantujuan tertentu.
Berdasarkan tingkat jabatannya, dapat disebutkan jabatan yang dengan kewenangan yang dimiliki digunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi, yakni sebagai berikut.
Tabel 3.2 Tersangka/Terdakwa Berdasarkan Tingkatan Jabatan Tahun 2012
No. Jabatan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jumlah
1. Anggota DPR dan DPRD
2 7 8 27 5 16 65
2. Kepala Lembaga/Kementerian
1 1 1 1 2 1 7
3. Duta Besar 2 1 1 4
4. Komisioner 3 2 1 1 7
5. Gubernur 1 2 2 2 1 8
6. Walikota/Bupati dan Wakil
3 7 5 5 4 4 4 32
Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 285
No. Jabatan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jumlah
7. Eselon I, II, dan III
2 9 15 10 22 14 12 15 8 107
8. Hakim 1 2 2 5
9. Swasta 1 4 5 3 12 11 8 10 16 70
10. LainLain 6 1 2 4 4 9 3 3 32
Jumlah 4 23 29 27 55 45 65 39 50 337
Sumber: Laporan KPK Tahun 2012
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa hampir semua jabatan pemerintahan digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan memperkaya diri sendiri. Jadi, di Indonesia antara jabatan dan korupsi memang sudah sangat melekat.
Untuk membuktikan kerugian negara harus dilakukan pemeriksaan oleh instansi terkait dan berkoordinasi dengan instansi lainnya yang berhubungan dengan kasus yang sedang ditangani. Berdasarkan temuan pemeriksaan ter sebut, maka akan dapat ditentukan apakah perbuatan yang dilakukan oleh panitia atau pejabat pengadaan merugikan keuangan negara atau tidak, karena tidak semua masalah kerugian negara merupakan tindak pidana. Jika ada unsur penipuan, suap, dan pemaksaan kepada pihak lain maka perbuatan yang merugikan negara tersebut masuk dalam ranah pidana, sedangkan jika terdapat unsurunsur tersebut termasuk mal administrasi atau perdata.
Kerugian negara ini terutama akibat dari pembayaran atau penggunaan uang negara dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Uang negara yang digunakan telah beralih tangan kepada pihak lain yang tidak sesuai dengan prosedur dan penggunaannya. Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dapat disebutkan beberapa contoh adalah pembayaran kepada rekanan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah tetapi barang/jasanya tidak ada atau kurang atau tidak sesuai dengan spesifikasi walaupun secara administrasi lengkap dan tidak ada kesalahan. Harga yang tidak wajar dalam pengadaan barang/jasa dapat merugikan keuangan negara, selisih harga yang besar menjadi keuntungan para pihak yang telah bekerja sama untuk mengambil kesempatan memperkaya diri sendiri. Spesifikasi barang yang tidak sesuai juga merupakan bentuk permainan pelaku untuk mengambil keuntungan dalam pengadaan
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah286
barang/jasa ini. Meskipun harga yang ditawarkan sesuai dengan harga pasar, tetapi barang yang diserahkan tidak sesuai dengan spesifikasi dalam dokumen pengadaan dengan kualitas harga yang tidak baik, juga menimbulkan kerugian bagi keuangan negara.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa kebijakan hukum pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ada saat ini masih dijumpai adanya kasuskasus korupsi yang berakibat merugikan keuangan negara. Hal ini dikarenakan adanya kelemahan dalam regulasi Perpres No. 4 Tahun 2015 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 54 Tahun 2010, antara lain ada beberapa pasal dalam rumusan Perpres tersebut yang menggunakan kata “dapat” yang membuka celah terjadinya multitafsir, pasalpasal tersebut adalah Pasal 78 ayat (3), Pasal 86 ayat (6), Pasal 87 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) serta Pasal 88 ayat (1) dan ayat (2). Selain beberapa pasal tersebut juga persoalan birokrasi pengadaan yang tidak efektif dan tidak efisien karena panitia wajib melalui lima belas tahapan untuk menyelesaikan satu jenis kegiatan pengadaan, dengan lima belas tahapan tersebut membuka ruang tidak kurang dari lima puluh dua modus potensi penyimpangan ditambah dengan kualitas sumber daya manusia yang tidak memenuhi standar kompetensi. Persoalanpersoalan tersebut sebagai penyebab utama terjadi pelanggaran mulai dari mal administrasi, perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang jabatan, atau kedudukan bahkan tindak pidana korupsi.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 287
Bab 4Faktor-Faktor yang Memenga ruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah
A. ALASAN SUBSTANSI: KELEMAHAN PERPRES NO. 70 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERPRES NO. 54 TAHUN 2010 TENTANG PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH JO. PERPRES NO. 4 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT PERPRES NO. 54 TAHUN 2010 PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH
Reformasi merupakan suatu bentuk tindakan melakukan perubahan kembali dengan tujuan untuk memperbaiki, membetulkan, dan menyempurnakan se suatu yang berupa fisik dan nonfisik agar yang tidak baik menjadi baik, yang salah menjadi benar sesuai dengan visi misi yang hendak dicapai. Oleh karena itu, reformasi berimplikasi pada mengubah sesuatu untuk menghilangkan yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna seperti melalui perubahan kebi jakan institusional. Dengan demikian, dapat dikemukakan beberapa karakteristik reformasi dalam suatu bidang tertentu, yaitu adanya keadaan yang tidak memuaskan pada masa yang lalu, keinginan untuk memperbaikinya pada masa yang akan datang, adanya perubahan besarbesaran, adanya orang yang melakukan, adanya pemikiran atau ideide baru, adanya sistem dalam suatu institusi tertentu baik dalam skala kecil seperti sekolah maupun skala besar seperti negara sekalipun. Reformasi dapat juga dimaknai sebagai suatu perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa agar lebih baik di masa yang akan datang. Perubahan ini dilakukan tahap demi tahap, yang diarahkan pada perubahan masyarakat, di dalamnya masyarakat birokrasi, dalam penger tian perubahan ke arah kemajuan.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah288
Pengaturan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilaksanakan saat ini didasarkan pada Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Perpres No. 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, setelah dilakukan kajian tentang materi Perpres tersebut diketahui di dalamnya terdapat masalah yuridis yang mengakibatkan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah sering terjadi penyimpangan, penyalahgunaan wewenang yang berujung pada kerugian keuangan negara.
Beberapa masalah yuridis dalam Perpres No. 4 Tahun 2015 jo. Perpres No. 172 Tahun 2014 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 54 Tahun 2010 adalah mekanisme atau tahapan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang harus melalui beberapa tahapan sesuai dengan Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 dan Perka LKPP No. 6 Tahun 2012 jo. Perka LKPP No. 14 Tahun 2012 dengan waktu yang disediakan untuk melaksanakan pekerjaan yang sangat singkat karena harus segera dilaporkan kepada negara. Dalam tahapan tersebut diketahui adanya potensi terjadinya penyimpangan. Masalah yuridis yang lain adalah sistem desentralisasi, yakni diberikannya kewenangan kepada setiap instansi pemerintah baik pusat maupun daerah untuk melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa sementara kualitas sumber daya manusia yang dimiliki instansi tersebut sangat terbatas bahkan panitia yang ditunjuk oleh kepala instansi kadang tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk melakukan pengadaan barang/jasa, akibatnya kualitas barang yang dihasilkan tidak sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan, akibatnya negara dirugikan. Lemahnya fungsi pengawasan dan belum diefektifkan menerapkan sistem reward and punishment kepada panitia pengadaan barang/jasa pemerintah. Masalahmasalah yuridis tersebut sangat efektif dijadikan sebagai peluang oleh rekanan ataupun oknum pejabat dinas/instansi untuk melakukan tindakantindakan kriminal, antara lain sebagai berikut.
1. PenyuapanPenyuapan yang terjadi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah meng akibatkan proses lelang tidak objektif lagi dalam menentukan pemenang lelang atau rekanan. Modus ini dilakukan oleh peserta lelang dengan cara menjanjikan sesuatu imbalan atau memberikan sejumlah barang atau uang kepada panitia agar dapat menjadi pemenang lelang.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 289
Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah ini, mengenai penyuapan telah dilarang, yakni di dalam Pasal 6 huruf h Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres Nomor 4 Tahun 2015 sebagaimana diuraikan dalam etika pengadaan barang dan jasa pemerintah, yakni sebagai berikut. Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus
mematuhi etika sebagai berikut.h. Tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk
memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.
Susan Rose Ackerman menyatakan suap sebagai insentif pembayaran untuk birokrat. Waktu adalah uang, sehingga perusahaan dan perorang an akan mem bayar suap guna menghindari keterlambatan. Di banyak negara, telepon, paspor, surat izin mengemudi (SIM) tidak dapat diperoleh dengan cepat tanpa penyuapan. Terkadang pelayanan hanya tersedia bagi mereka yang korup, tetapi bukan warga yang sabar dan jujur.1
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Susan Rose, suap dapat dikatakan sebagai “pintu gerbang” menuju korupsi, dan sepertinya tindakan penyuapan ini sudah biasa terjadi dan dapat ditolerir oleh masyarakat. Jika anda mau mendapatkan pelayanan yang baik, anda pun juga harus mau mengeluarkan biaya sedikit lebih banyak. Penyuapan ini pun dilakukan untuk menghindari prosedur yang telah ditetapkan dengan peraturan yang ada.
Banyaknya aturan yang dikeluarkan menambah panjang sistem birokrasi yang harus dilalui. Peraturanperaturan yang tidak efisien tersebut seharusnya memang dipangkas, sehingga suap untuk menghindari peraturan yang tidak efisien tersebut dilakukan. Bagi beberapa orang, terutama pelaku usaha, suap bisa memberikan hasil yang lebih baik, daripada memenuhi kerangka hukum yang hasilnya belum tentu sesuai dengan keinginan. Pemikiran “lebih cepat lebih baik” yang menjadikan kebiasaan melakukan suap menjadi semakin meningkat. Jadi di sini ada pembelaan terhadap penyuapan karena ketidakefisiensian peraturan perundangundangan.
Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, tahapantahapan yang harus dilalui oleh peserta lelang sangat panjang, yaitu mencapai lima belas tahapan
1 Susan Rose Ackerman, Korupsi dan Pemerintahan, Sebab, Akibat, dan Reformasi, Cetakan Kedua, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2010, hlm. 19.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah290
dan setiap tahapan terdapat tidak kurang dari lima puluh dua item modus yang berpotensi terjadinya penyimpangan baik berupa perbuatan melawan hukum maupun berupa penyalahgunaan wewenang, jabatan atau kedudukan, dengan berbagai persyaratan yang belum tentu dapat dipenuhi oleh peserta lelang. Kondisi semacam itu membuka celah bagi penyedia barang/jasa untuk melakukan penyuapan agar dengan cara semacam itu akan menjadikan semua hal menjadi lebih mudah, baik pemberi dan penerima suap samasama menerima keuntungan. Selanjutnya dalam Perpres ditemukan ada kelemahan yuridis pada beberapa rumusan pasal yang di dalamnya menggunakan kata “dapat” yang sangat berpotensi melahirkan multitafsir bagi pengguna maupun penyedia barang/jasa pemerintah untuk melakukan perbuatan mal administrasi atau perbuatan melawan hukum dan/atau penyalahgunaan wewenang atau jabatan atau kedudukan yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Lebih lanjut dikemukakan oleh Susan Rose bahwa pembayaran yang
bersifat korup untuk memenangkan kontrak dan konsesi besar umumnya menjadi lahan bisnis besar serta para pejabat tinggi. Proyekproyek besar melibatkan pengeluaran dana dalam jumlah besar pula, serta banyak dampaknya terhadap anggaran pemerintahan maupun hari depan pertumbuhan negara. Transaksitransaksi ini per definisi merupakan lahan para pejabat tinggi dan sering melibatkan perusahaan multinasional yang beroperasi sendiri atau bergabung dengan mitra lokal. Jika pemerintah bertindak sebagai pembeli atau sebagai kontraktor, maka terdapat beberapa alasan untuk menyuap pejabat, yakni:2
a. perusahaan mungkin rela membayar untuk diikutsertakan dalam daftar pra kualifikasi dan untuk membatasi jumlah peserta tender;
b. perusahaan itu mungkin membayar untuk mendapat informasi dari dalam;
c. suap mungkin bisa mendorong para pejabat untuk mengatur spesifikasi tender, sehingga perusahaan yang korup itu menjadi satusatunya pemasok yang lolos kualifikasi;
d. perusahaan mungkin membayar untuk menjadi kontraktor pemenang. Akhirnya, sekali perusahaan memenangkan kontrak, ia mungkin membayar untuk mendapatkan harga yang digelembungkan atau untuk menurunkan kualitas.
2 Ibid., hlm. 37 dan 38.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 291
Penyuapan akan melahirkan tindakantindakan menyimpang lainnya, dan ini membuka peluang bagi perusahaan untuk memenangkan tender tanpa susah payah. Kekuasaan yang dimiliki oleh para pejabat tinggi membacking perusahaan korup tersebut. Bagi para pejabat, duduk dalam kursi kekuasaan merupakan suatu keuntungan yang sangat besar. Suatu keuntungan untuk memperkaya diri selama menduduki jabatannya, karena belum tentu pejabat tersebut menduduki jabatannya untuk jangka panjang. Ketidakpastian jabatan yang didudukinya saat ini, meningkatkan rasa ketakutan yang amat sangat bagi para pejabat, sehingga mereka menjadi semakin banyak melakukan penyimpanganpenyimpangan untuk memperoleh keuntungan.
Jika kita mundur lagi ke belakang, apa yang dilakukan oleh para pejabat tersebut, tidak jauh dari usaha untuk mengembalikan biaya yang telah dike luarkan demi sebuah jabatan dalam pemerintahan. Sekarang memang sedang tren apa yang dinamakan perebutan kekuasaan. Kalau dikatakan pere butan kepemim pinan sepertinya dirasakan kurang sesuai. Kekuasaan lebih banyak dekat dengan konotasi yang negatif, sedangkan kepemimpinan lebih mengarah kepada halhal yang baik dalam memerintah, sifatsifat pemimpin yang adil dan bijaksana seperti kepemimpinan pada masa Rasulullah dan para sahabat pada masa kekha lifahan.
Perebutan kekuasaan atau jabatan saat ini membutuhkan modal yang sangat besar. Tidak hanya ratusan juta, bahkan miliaran rupiah dikeluarkan demi yang dinamakan jabatan. Jika mereka mendapatkan jabatan yang diinginkan, tentu saja kekuasaan juga ada di tangan mereka. Sebagai contoh adalah biaya pemasangan spanduk, iklan di televisi, biaya untuk mencari dukungan yang tidak sedikit, membuka kantor kesekretariatan, dan programprogram lain untuk menarik simpati masyarakat. Untuk melakukan hal itu, tentunya hanya orang yang mempunyai modal besar saja yang dapat ikut ajang mencari kekuasaan. Orang yang jujur, adil, tetapi tidak mempunyai uang yang banyak berharap untuk menjadi seorang pejabat pemerintah. Modal besar yang telah dikeluarkan untuk menjadi seorang pejabat pun belum tentu mendapatkan simpati dari rakyat. Sebagian rakyat akan berpikir, jika orang mengeluarkan dana yang besar untuk kampanye, pasti dia akan berusaha mengembalikan modal yang telah dia keluarkan untuk itu. Ada pula yang berpikiran, orang yang ikut serta dalam ajang pemilihan pejabat publik dan telah mengeluarkan modal yang besar, dia tidak akan melakukan korupsi. Untuk apa dia akan melakukan korupsi, dia sudah mempunyai banyak uang. Untuk hal ini tergantung pemikiran tiaptiap orang, karena kita tidak tahu isi hati kandidat para pejabat publik tersebut.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah292
Kembali pada tindak pidana penyuapan, tindak pidana penyuapan ini termasuk ke dalam tipologi korupsi sebagaimana tercantum dalam pasalpasal UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, yakni sebagai berikut.
a. Tindak Pidana Korupsi Suap dengan Memberikan atau Menjanjikan Sesuatu
Pasal 5:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Sebagai contoh adalah calon peserta yang menjanjikan kepada panitia sejumlah uang untuk dapat dimenangkan menjadi pemenang lelang. Dikarenakan janji tersebut, pejabat atau panitia pengadaan akan berusaha agar peserta tersebut menjadi satusatunya calon rekanan dengan menyingkirkan peserta lain melalui berbagai macam cara.
b. Tindak Pidana Korupsi Suap Pada Hakim dan Advokat
Pasal 6:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 293
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang me nurut ketentuan peraturan perundangundangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).Untuk jenis tindak pidana suap ini dilakukan oleh para penegak hukum,
khususnya hakim dan advokat. Sebagaimana diketahui, advokat bertindak untuk membela hakhak kliennya. Acapkali advokat tidak segansegan untuk menyuap hakim agar kliennya mendapatkan putusan bebas atau yang lebih ringan. Atau pihak yang ingin memenangkan perkara, menyuap hakim agar perkaranya dimenangkan.
Sebagai contoh adalah kasus suap yang melibatkan Hakim Syarifuddin. Syarifuddin Umar dinyatakan telah terbukti bersalah menerima suap dan hakim menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp150 juta. Syarifuddin terbukti menerima suap Rp250 juta terkait penanganan kasus kepailitan PT SCI. Dalam kasus tersebut, apa yang didapatkan dengan menerima suap tidak sebanding dengan akibat yang harus dihadapi. Syarifuddin menerima suap Rp250 juta, dan dihukum dengan hukuman penjara selama 4 tahun serta denda Rp150 juta. Mungkin dengan perhitungan matematika, Syarifuddin masih punya sisa Rp100 juta. Namun dengan hukuman yang dijatuhkan 4 tahun dan ditetapkan bersalah, hal tersebut sudah menghilangkan kredibilitasnya sebagai seorang hakim seumur hidupnya.
c. Tindak Pidana Korupsi Suap Pegawai Negeri Menerima GratifikasiPasal 12 B:(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara di
anggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah294
a. Yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
b. Yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, disebutkan mengenai pengertian gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cumacuma, dan fasilitas lainnya.
Saat ini, gratifikasi tidak hanya berbentuk barang atau uang sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, tetapi muncul pula gratifikasi berbentuk pelayanan seks. Dapat diambil contoh dalam kasus suap pengurusan impor daging sapi di Kementerian Pertanian pada tahun 2012. Tersangka suap, yakni Ahmad Fathanah tertangkap tangan oleh penyidik KPK di hotel bersama seorang mahasiswi bernama Maharani Suciyono.
Masih simpang siur, apakah pelayanan seks ini termasuk dalam gratifikasi. Untuk pembuktian tindak pidana suap dengan gratifikasi pelayanan seks ini pun juga sangat sulit. Menurut penulis, pelayanan seks ini termasuk ke dalam gratifikasi berupa fasilitas untuk kesenangan, seperti halnya fasilitas penginapan dan perjalanan wisata.
Peraturan perundangundangan dapat digunakan oleh koruptor sebagai sarana untuk mencari keuntungan dan memperkaya diri sendiri. Bagi mereka, peraturan hanyalah peraturan. Peraturan dapat dibengkokkan jika ada yang mau memberi suap yang besar.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 295
d. Tindak Pidana Korupsi Suap Pada Pegawai Negeri dengan Mengingat Kekuasaan Jabatan
Pasal 13:
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Terkait kasus suap dengan kekuasaan jabatan, para pejabat tersebut menyalahgunakan kekuasaan atau jabatannya untuk menguntungkan dirinya sendiri atau kroninya. Seperti yang sudah disinggung di atas, para pejabat menerima suap dari si pemberi suap untuk melakukan sesuatu demi keuntungan si pemberi suap. Misalnya agar dimenangkan dalam proyek pemerintah. Hal ini sangat mudah bagi pejabat yang memiliki kekuasaan yang besar pengaruhnya untuk ikut memanipulasi proyek pengadaan barang/jasa pemerintah.
Sebagai contoh kasus tindak pidana penyuapan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kasus suap penambahan anggaran Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau. KPK sudah menyelidiki kasus penyuapan tersebut. Dalam penyelidikan yang dilakukan oleh KPK tersebut merupakan pengembangan dari penangkapan beberapa anggota DPRD Riau yang menerima uang suap. Proses pengadaan barang dan jasa pesta akbar olahraga dua tahunan di Riau ini melibatkan pemerintah daerah. Dalam proyek pengadaan barang dan jasa tersebut, sejumlah perusahaan pelat merah seperti PT Pembangunan Perumahan Tbk, PT Wijaya Karya Tbk, dan PT Adhi Karya Tbk, ikut terlibat. Ketiga badan usaha milik negara ini merupakan konsorsium yang menjadi pemenang tender proyek. Kasus ini berawal dari penangkapan beberapa anggota DPRD Riau yang menerima uang suap untuk penambahan anggaran PON, KPK telah menetapkan sepuluh tersangka. Di antaranya ialah staf Gubernur Riau Lukman Abbas yang sebelumnya menjabat Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Riau, lalu Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Olahraga Dispora Riau Eka Dharma Putri, dan pegawai PT Pembangunan Perumahan (PP) Tbk Rahmat Syaputra. Sebagian dari para tersangka itu sudah menjalani proses persidangan di Pengadilan Tindak
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah296
Pidana Korupsi (Tipikor) Riau. Dalam persidangan juga terungkap jika Gubernur Riau Rusli Zainal mengetahui praktik penyuapan kepada anggota DPRD itu.3
Lebih lanjut dalam rangkaian pengungkapan kasus tersebut, diketahui ada penambahan anggaran untuk penyelenggaraan PON tahun lalu. Di mana, Gubernur Riau Rusli Zainal meminta tambahan anggaran Rp460 miliar untuk infrastruktur penunjang PON. Padahal, dana yang sudah dipergunakan sekitar Rp2,2 triliun dari kas anggaran pemerintah daerah. Untuk meminta dana tambahan tersebut, menurut informasi yang dapat dipercaya, Rusli melobi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono. Kemudian ada rapat pembahasan di ruang rapat Menkokesra pada pertengahan tahun lalu. Rapat tersebut dihadiri Rusli Zainal, Agung Laksono, Andi Mallarangeng sebagai Menpora, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Pemrov Riau ketika itu Lukman Abbas, pejabat Kementerian Keuangan, pejabat Kementerian Pekerjaan Umum, perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta sejumlah instansi pemerintah lainnya. Beberapa waktu setelah pertemuan itu, penambahan anggaran yang diminta Rusli membuahkan hasil. Lewat beberapa kali rapat di DPR, disepakati penambahan Rp100 miliar. Meski membenarkan adanya rapat tersebut, namun Agung membantah kalau dalam rapat itu dirinya dilobi Rusli untuk menambah anggaran pembangunan fasilitas PON 2012 di Riau. Menurut dia, pertemuan itu hanyalah koordinasi biasa. Isinya, membahas pencairan dana PON Riau 2012 yang lambat. Lalu dari manakah uang Rp100 miliar tersebut? Menurut Deputi Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Djoko Pekik, tambahan anggaran Rp100 miliar itu berasal dari anggaran Kemenpora yang diambil dari pos anggaran bantuan sosial Pemerintah ke Pemerintah Daerah. Djoko pun menegaskan, bantuan tersebut tidak berkaitan dengan pengadaan venue atau pembangunan fasilitas PON Riau. Melainkan, untuk membiayai akomodasi dan konsumsi selama pelaksanaan PON tahun lalu. Akan tetapi, dalam proses mencapai hasil tersebut. Rusli diinformasikan sempat melobi Fraksi Partai Golkar (FPG) di parlemen. Di mana, dalam sidang pemeriksaan kasus ini dengan terdakwa Lukman Abbas menuturkan adanya aliran dana sekitar Rp9 miliar dalam mata uang dolar AS yang harapannya, FPG mengabulkan penambahan dana APBN untuk PON di Riau. Dana yang diusulkan mencapai Rp200 miliar lebih. Untuk memuluskan
3 Lihat dalam KPK, Dari Kasus Suap, KPK Selidiki Proyek PON, dalam http://kpk.go.id/ id/berita/beritasub/446darikasussuapkpkselidikiproyekpon, diterbitkan pada Selasa, 28 Agustus 2012, jam 12:33.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 297
keinginan tersebut, Pemprov Riau lewat Lukman Abbas, diminta untuk memberikan uang. Uang tersebut diberikan kepada anggota DPR Kahar Muzakir melalui stafnya. Sebelum pemberian uang tersebut. Lukman menuturkan, bahwa atasannya Rusli sempat melobi Ketua FPG, Setya Novanto di ruangannya. Kahar pun ikut dalam pertemuan tersebut.4
Penyuapan yang terjadi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah mengakibatkan proses pengadaan barang/jasa tersebut dilaksanakan tidak sesuai dengan aturan, dan kebanyakan dilakukan melalui penunjukan langsung. Tindakan penyuapan ini sulit terdeteksi mengingat waktu dan tempat yang dilakukan secara sembunyisembunyi.
2. Pemalsuan atau PenipuanPemalsuan dan penipuan adalah tindak pidana yang tidak hanya terjadi di dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, dalam syarat sebagai penyedia barang/jasa pemerintah telah diatur di dalam Pasal 19. Syarat yang begitu banyak, belum tentu dapat dipenuhi oleh semua peserta lelang. Hal tersebut mengakibatkan peserta lelang kesulitan dan mengambil jalan pintas untuk memalsukan berkasberkas yang harus dikumpulkan untuk mengikuti lelang. Misalnya surat dukungan dari distributor yang ternyata palsu. Untuk mendapatkan surat dukungan dari distributor memang tidak mudah. Biasanya distributor hanya mau memberikan surat dukungan pada kolega yang sudah dikenalnya. Padahal yang dilakukan oleh peserta hanya untuk dapat mengikuti proses lelang. Bagi perusahaan yang dapat memenangkan tender, merupakan suatu kebanggaan karena perusahaan akan dikenal dan dipercaya. Perusahaan akan mempunyai nama, karena sudah ikut dalam tender pemerintah sebagai pemenang.
Penyimpangan yang dilakukan oleh peserta, yakni melakukan pemalsuan memang merupakan suatu bentuk kejahatan. Tujuan yang diinginkan adalah menjadi pemenang lelang untuk mengharumkan nama perusahaan, dan tidak mempunyai niat melakukan korupsi. Akan tetapi karena sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh peserta dan sulit untuk diperoleh, peserta “terpaksa” menyimpang dari aturan.
4 Lihat dalam KPK Bidik Pembahasan Anggaran PON Riau, “Tadi saya sudah menjelaskan kepada panyidik hal-hal yang menyangkut penganggaran dari Kemenpora”, dalam http://skalanews.com/berita/detail/152743/KPKBidikPembahasanAnggaranPONRiau, diterbitkan pada Kamis, 22 Agustus 2013, jam 18:30 WIB.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah298
Dalam Pasal 93 ayat (1) huruf c disebutkan mengenai tindakan yang dilakukan oleh panitia jika terjadi pemalsuan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, yakni: “PPK dapat memutuskan kontrak secara sepihak, apabila penyedia barang/jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang berwenang”.
Pemalsuan dalam UndangUndang Tindak Pidana Korupsi diatur di dalam Pasal 9, yakni: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terusmenerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu bukubuku atau daftardaftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Akan tetapi, belum tentu peserta yang terpaksa melakukan tindakan pemalsuan tersebut berniat untuk melakukan korupsi. Mungkin hanya satu syarat di mana perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi, dan kalaupun dapat dipenuhi membutuhkan waktu yang lama, sedangkan proses lelang waktunya sangat singkat. Bisa jadi, panitia yang melakukan pemalsuan terhadap suratsurat untuk memenangkan rekanan yang telah berkolusi dengan panitia. Peraturan perundangundangan yang tidak efisien inilah yang mengakibatkan terjadinya penyimpanganpenyimpangan dalam pengadaan barang/jasa, bukan hanya dari faktor individu atau lingkungan yang memengaruhi.
Sebagai contoh adalah kasus yang sedang membelit Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo karena kelalaiannya dalam proyek pengadaan simulator SIM tahun anggaran 2011 di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Ia mengklaim hanya tidak teliti dalam melakukan pengawasan penyerapan anggaran di tempatnya bekerja, padahal mendapat laporan penyerapan anggaran dari setiap unit kerja di korpsnya itu setiap bulan. Dalam tuntutan, jaksa penuntut umum menyebut Djoko sudah menyetujui pencairan anggaran seratus persen untuk pelaksana proyek, PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA). Padahal saat pencairan, pengadaan simulator driving uji klinik, baik roda dua (R2) maupun roda empat (R4) belum selesai sepenuhnya. Jaksa menilai tindakan itu sudah melanggar ketentuan pengadaan barang/jasa pemerintah dan aturan perbendaharaan negara. Mengenai pencairan itu, Djoko sempat
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 299
berdalih dengan adanya pemalsuan tanda tangannya dalam beberapa dokumen pencairan. Meskipun, ia sempat mengaku menandatangani dokumen, tetapi lupa kapan melakukannya.5
3. PemerasanSalah satu bentuk dari tindak pidana korupsi adalah penyuapan. Penyuapan dilakukan oleh seseorang kepada pejabat publik untuk memengaruhi kebijakan atau keputusan. Penyuapan yang dilakukan di masa lalu akan menjadi permasalahan bagi si pemberi suap, yakni akan mudah terkena pemerasan di masa mendatang. Misalnya perusahaan menyuap pejabat untuk memenangkan tender, dan perusahaan tersebut akhirnya dimenangkan dan menjadi rekanan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Setiap ada tender dari pemerintah, perusahaan tersebut selalu ikut dan menjadi pemenang tender, dan hal ini dijadikan peluang bagi oknum panitia untuk memperoleh keuntungan yang lebih banyak. Oknum panitia akan meminta perusahaan tersebut dengan dalih untuk melancarkan proses lelang, padahal perusahaan sudah mengeluarkan banyak uang sebelumnya untuk menyuap pejabat. Oknum panitia akan mengancam jika tidak diberikan, maka perusahaan tidak akan menjadi pemenang lelang karena ada perusahaan lain yang mau membayar lebih, atau oknum mengatakan kalau perusahaan tidak mau membayar sejumlah uang akan dimasukkan ke daftar hitam sehingga perusahaan tidak dapat mengikuti tender yang diadakan oleh pemerintah. Perbuatan yang menyimpang dalam pengadaan barang/jasa pemerintah akan melahirkan bentuk penyimpangan yang lain, dalam arti perbuatan tersebut terkait satu sama lain.
Tongat menyatakan bahwa tindak pidana pemerasan ini terdiri dari dua macam, yaitu tindak pidana pemerasan (afpersing) dan tindak pidana pengancaman (afderiging). Kedua macam tindak pidana tersebut mempunyai sifat yang sama, yaitu suatu perbuatan yang bertujuan memeras orang lain. Justru karena sifatnya yang sama itulah, kedua tindak pidana ini biasanya disebut dengan nama yang sama, yaitu pemerasan.6
5 Republika, Kasus Simulator SIM, Djoko Susilo Bilang Lalai dan Siap Bertanggung Jawab, Ia Berdalih sebagai Korlantas Mempunyai Banyak Kesibukan yang Menyita Waktu, Selasa, 27 Agustus 2013 22:10:00 WIB, dalam http://atjehpost.com/indonesia_read/2013/08/27/64113/24/8/KasussimulatorSIMDjokoSusilobilanglalaidansiapbertanggungjawab#sthash. 5KQr0Wxi.dpuf, diakses pada 21 Oktober 2013.
6 Tongat, Hukum Pidana Materiil, Cetakan Kedua, UMM Press, Malang, 2003, hlm. 45.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah300
Sebagaimana pendapat penulis tersebut, dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, tindak pidana penyuapan yang merupakan salah satu bentuk dari tindak pidana korupsi akan melahirkan berbagai bentuk penyimpangan yang lain, yaitu pemerasan dan pengancaman.
Dalam Pasal 12 huruf e UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan bahwa: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Pasal 12 huruf e: Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Dalam Pasal 12 huruf e sampai dengan huruf g UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 di atas, meminta sesuatu dari seseorang dengan cara memaksa untuk mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri yang dilakukan oleh penyelenggara negara adalah sesuatu yang dilarang. Akan tetapi, penyimpangan terhadap pasal tersebut terjadi karena adanya monopoli kekuasaan terhadap suatu pekerjaan. Misalnya hanya satu orang pegawai yang ditugas untuk melaksanakan pekerjaan tertentu, sehingga hanya pegawai tersebut yang mempunyai keahlian untuk melakukan pekerjaan itu, dan dia bisa memonopoli kekuasaan atas pekerjaan yang diserahkan kepadanya. Jika ada seseorang yang membutuhkan jasa pelayanan publik terkait dengan tugas yang diserahkan kepada pegawai tersebut, bisa saja pegawai tersebut memanfaatkan keadaan dengan memaksa si pengguna jasa untuk membayar sejumlah uang jika urusannya segera selesai. Akan berbeda jika pekerjaan itu dipegang oleh beberapa orang, penyimpangan sebagaimana disebutkan tidak akan terjadi. Sebagai contoh, kasus pengadaan barang berupa alat uji KIR pada dinas perhubungan komunikasi dan informatika di Tangerang Selatan, sebagai berikut.
Fooktans dituduh telah melakukan pemerasan atas proyek tender pengadaan barang alat uji KIR pada Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Tangsel, yang menyebabkan Nurdin Marzuki ditetapkan
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 301
sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Tigaraksa. Rencana laporan itu disampaikan oleh M. Husein Umajohar selaku pemerhati masalah lalu lintas dan angkutan jalan. Husein menjelaskan, dalam surat yang ditujukan kepada mantan Kadishubkominfo Nurdin Marzuki, Fooktans menagih janji agar mantan Kadishubkominfo itu segera membayar Rp100 juta atas jasa pengamanan tender. Di dalam surat tersebut juga ditulis, Nurdin Marzuki telah berjanji akan memberikan uang Rp100 juta kepada 12 lembaga Ormas yang tergabung dalam Fooktans dikarenakan mereka telah melaksanakan tugas pengamanan tender.
“Dari surat tersebut terlihat ada dugaan pemerasan atau permintaan dana untuk pengamanan. Pengamanan ini bukan haknya dilakukan para Ormas, melainkan pihak kepolisian, sehingga tidak ada mekanismenya di dalam tender ada pengamanan yang melibatkan Ormas,” kata Husein. Husein pun mem pertanyakan terkait dengan mekanisme tender di Dishubkominfo. Dia menjelaskan kasus ini kelihatannya sederhana tetapi pelik dan rumit. Soalnya erat kaitannya dengan kebijakan yang memerlukan keahlian dan pertimbangan teknis maupun politis, tidak hanya oleh pejabat yang bersangkutan, tetapi juga ahli dan pengambil kebi jakan pada kantor Walikota Tangerang Selatan. Baik dilihat aspek hukum (Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah), yang mengatur perihal pengadaan barang dan jasa, maupun aspek prosedural administratif. Seperti panitia lelang, panitia pengadaan barang, panitia penerima hasil pekerjaan dan sebagainya.
Perkara ini perlu dilihat dengan saksama, lantaran bukan terkait Nurdin Marzuki tetapi juga ketua panitia tender dan pejabat pelaksana lainnya. “Ada tujuh orang yang diperiksa dan dijadikan saksi. Yang menjadi pertanyaan sejauh mana keterlibatan mereka dalam kasus ini. Apalagi di antara ketujuh orang tersebut ada yang menjadi ketua tender dan lainnya. Ini yang harusnya dipertanyakan ke Kejari akan keterlibatan mereka dalam kasus ini”. Dari penuturan Kejari terkait dengan alat KIR ini terpisahpisah tidak satu paket dan alat tersebut tidak baru, dan yang harusnya bertanggung jawab adalah panitia pengadaan barang dan pengecekan barang. Seperti apa keterlibatan panitia tersebut sehingga terjadi barang yang tidak baru atau bekas ini. Di tempat terpisah, pengamat kebijakan publik STIE Ahmad Dahlan, Fitryandri memberikan penilaian, tidak ada mekanismenya sebuah tender menggunakan jasa pengamanan barang atau tender. Jika memang ada maka, katanya, sudah menyalahi peraturan dan mekanisme tender. “Jika ada sebuah dinas membuat
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah302
surat terkait adanya pengamanan tender, ini sudah masuk dalam kasus dugaan korupsi. Jika ini terlaksana maka timbul kerugian negara dalam kasus ini. Jadi ini bisa mengarah pada praktik korupsi”. Terkait pengamanan tender pengadaan alat KIR pada Agustus 2011, Ketua Fooktans Muslim Barlian membantahnya.7
4. Penyalahgunaan Jabatan dan WewenangKorupsi sangat terkait dengan jabatan dan kekuasaan. Semakin besar kekuasaan yang dimiliki, semakin besar kesempatan untuk melakukan penyimpangan. Bukti bahwa korupsi dan penyalahgunaan jabatan/wewenang ini sangat saling terkait dapat disajikan daftar orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi versi majalah Time (Asia) sebagaimana dikutip oleh Djojo Sumaryanto, yang mana koruptor tersebut kebanyakan mempunyai kekuasaan yang besar di suatu negara.8
a. Soeharto, Indonesia (1967–1998): 15–35 miliar dollar AS;b. Ferdinand E. Marcos, Filipina (1972–1986): 5–10 miliar dollar AS;c. Mobutu Sese Seko, Kongo (1965–1997): 2–5 miliar dollar AS;d. Sani Abaca, Nigeria (1993–1995): 2–5 miliar dollar AS;e. Slobodan Melosovic, Serbia (1989–2000): 1 miliar dollar AS;f. Jean Claude Duvalier, Haiti (1971–1986): 300–800 juta dollar AS;g. Alberto Fujimori, Peru (1990–2000): 6.000 juta dollar AS;h. Pavlo Lazarenko, Ukraina (1996–1997): 114–200 juta dollar AS;i. Arnold Aleman, Nikaragua (1997–2002): 100 juta dollar AS;j. Joseph Estrada Filipina (1998–2001): 78–80 juta dollar AS.
Dari daftar koruptor di atas, mereka semua adalah penyelenggara negara. Kekuasaan yang besar merupakan sarana untuk melakukan korupsi, tidak peduli berapa masa jabatannya. Masa jabatan yang singkat atau panjang akan digunakan bagi oknum penyelenggara negara untuk memperkaya diri sendiri.
7 Jawa Pos Group, Dituduh Pemerasan Pada Proyek Dishubkominfo, Forum Ormas Tangsel Bakal Dilaporkan ke Polda, 18 Juni 2012, dalam http://tangselpos.com/dituduhpemerasanpadaproyekdishubkominfoforumormastangselbakaldilaporkankepolda, diakses pada 21 Oktober 2013.
8 A. Djoko Sumaryanto, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Cetakan Pertama, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2009, hlm. 2.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 303
Sekarang ini, banyak orang yang berlombalomba untuk menjadi pejabat, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Keikutsertaan mereka mengikuti ajang pemilihan pejabat baik di tingkat pusat maupun daerah memerlukan biaya yang besar. Berbagai cara pun ditempuh oleh mereka, asalkan dapat duduk dalam lembaga pemerintahan. Caracara yang kotor seperti menjegal lawan dalam pemilihan umum, memalsukan kartu suara, politik uang, dan sebagainya. Tentunya setelah mereka memperoleh jabatan yang diinginkan, janjijanji mereka kepada rakyat yang telah mendukungnya dilupakan begitu saja.
Indonesia sebagai negara hukum, maka semua tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau pemerintah harus sesuai dengan peraturan perundangundangan. Kewenangan yang diperoleh untuk penyelenggaraan kenegaraan diberikan oleh undangundang. Dengan kewenangan yang dimiliki tersebut, maka pejabat mempunyai kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu. Menurut P. Nicolai bahwa kewenangan di dalamnya terkandung hak dan
kewajiban. Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu tindakantindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.9
Untuk memperoleh kewenangan tersebut dilakukan melalui tiga cara, yakni atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan tersebut harus dapat diper tang gungjawabkan. Apabila pejabat memahami dan mengerti arti dari kewenangan yang diberikan oleh undangundang kepada mereka, penyalahgunaan kewenangan tidak akan terjadi.
Kewenangan mempunyai tujuan mengelola kekuasaan negara, menyelenggarakan ketertiban umum, dan pencapaian kesejahteraan umum. Kewenangan merupakan pengejawantahan dari kekuasaan. Tidak semua kekuasaan memiliki legitimasi,10 sebagaimana halnya kewenangan. Oleh karena itu, kekuasaan sering digunakan untuk melakukan penyimpangan oleh penyelenggara negara.
9 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara ..., loc.cit., hlm. 71.10 Abdilla Fauzi Achmad, op.cit., hlm. 8.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah304
Korupsi dalam bidang administrasi ini, dikategorikan menjadi dua macam, yakni pertama adalah korupsi yang terjadi dalam situasi, misalnya jasa atau kontrak diberikan “sesuai peraturan yang berlaku”, dan kedua adalah korupsi yang terjadi dalam situasi transaksi berlangsung secara “melanggar peraturan yang berlaku”. Dalam situasi pertama, seorang pejabat mendapat keuntungan pribadi secara ilegal karena melakukan sesuatu yang memang sudah kewajibannya untuk melaksanakan sesuai dengan undangundang. Dalam situasi kedua, suap diberikan untuk mendapatkan pelayanan dari pejabat yang menurut undangundang dilarang memberikan pelayanan bersangkutan. Korupsi “sesuai peraturan yang berlaku” dan korupsi “melanggar peraturan yang berlaku” dapat terjadi pada semua tingkat hierarki pemerintahan dan berkisar dari sisi jumlah dan dampak dari “korupsi akbar” hingga korupsi kecilkecilan.11
Bentuk korupsi administrasi di atas, keduanya menggunakan celah yang ada dalam peraturan perundangundangan untuk melakukan perbuatan yang melawan hukum. Dalam korupsi “sesuai peraturan yang berlaku”, pelaku berlindung di balik nama peraturan perundangundangan. Jika dia disalahkan, maka dia akan menyatakan apa yang dilakukannya telah sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam peraturan perundangundangan. Sedangkan dalam korupsi “melanggar peraturan yang berlaku”, pelaku jelasjelas melakukan perbuatan melawan hukum. Dia tidak bertindak sesuai dengan peraturan. Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa kejahatan konvensional lain yang
juga sangat mengganggu ekonomi nasional adalah korupsi yang dilakukan oleh pejabatpejabat pemerintah dengan menyalahgunakan kedudukan mereka. Kerugian yang diderita masyarakat jangan hanya dilihat dari sudut ekonomi saja karena kerugian yang jauh lebih besar adalah hilangnya kepercayaan masyarakat pada pemerintahan negara.12
Dari pendapat di atas, penulis dapat mengemukakan bahwa hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah mempunyai akibat yang sangat besar. Jika kepercayaan kepada pemerintah telah hilang, maka rakyat tidak akan peduli terhadap apa yang menjadi kebijakan atau tindakan pemerintah selanjutnya. Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, hilangnya keperca
11 Jeremy Pope, op.cit., hlm. 8.12 Mardjono Reksodiputro dalam Indriyanto Seno Adji, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara &
Hukum Pidana, Cetakan Kesatu, Diadit Media, Jakarta, 2006, hlm. 413 dan 414.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 305
yaan dari sebagian perusahaan yang pernah mengikuti tender pemerintah dikarenakan tindakan oknum panitia yang tidak fair dan cenderung koruptif. Dikarenakan hal tersebut, maka banyak perusahaan yang tidak mau ikut serta dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Mereka akan berpikir bahwa panitia sudah menunjuk pemenang lelangnya, pastinya perusahaan yang memiliki koneksi atau telah berkolusi dengan pejabat atau panitia pengadaan. Jika terjadi hal demikian, maka pengadaan barang/jasa pemerintah sarat akan korupsi, dan jika hal tersebut didiamkan saja kerugian yang ditimbulkan akan semakin banyak, tidak hanya kerugian keuangan negara, tetapi birokrasi pemerintahan sudah diisi oleh koruptor, dan siapsiap saja negara mengalami kehancuran.
Dalam pengelolaan keuangan negara/kekayaan negara, jika nyatanyata telah merugikan negara atau berpotensi merugikan negara, dilakukan baik secara melawan hukum atau dengan cara menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan yang pada kedudukan dan jabatannya,13 dapat dikenai pidana.
Mengenai hal tersebut, telah diatur di dalam Pasal 3 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999, yakni: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dari pasal di atas, diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh penyelenggara negara yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Tidak adanya penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat pemerin tahan, membuka peluang untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) dan kepemerintahan yang baik (good governance).
Sebagai contoh adalah kasus Hambalang. Tersangka pertama yang ditahan oleh KPK adalah Deddy Kusdinar, Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga
13 Marwan Effendi, Pemberantasan Korupsi ..., loc.cit., hlm. 121.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah306
Kementerian Pemuda dan Olahraga. Dia ditahan di Rutan KPK sejak Juni 2013. KPK juga menelusuri dugaan aliran dana sebanyak Rp7,3 miliar ke Dewan Perwakilan Rakyat terkait proyek pembangunan pusat olahraga di Hambalang. Johan menyebutkan, KPK akan mendalami informasi mengenai aliran dana ini yang terungkap dalam laporan hasil pemeriksaan investigatif tahap II (LPH II) BPK. Menurut Juru Bicara KPK ini, arah pengembangan kasus tersebut salah satunya adalah yang berkaitan dengan penganggaran proyek Hambalang. Proses penganggaran proyek ini setidaknya melibatkan Kementerian Pemuda dan Olahraga, DPR, serta Kementerian Keuangan. Dalam LPH II Hambalang, aliran dana Rp7,8 miliar terkait proyek ini terdiri dalam dua bagian. Dana sebesar Rp3,4 miliar digunakan untuk pembahasan anggaran Hambalang tahun 2010. Nilai anggaran Hambalang ini diajukan sebesar Rp150 miliar. Ada juga dana Rp4 miliar untuk pembahasan anggaran Hambalang tahun 2011 dari yang diajukan senilai Rp500 miliar. Terkait penyidikan Hambalang dengan tersangka Andi dan Deddy Kusdinar, KPK telah memeriksa sejumlah anggota DPR. Seusai diperiksa, para anggota parlemen ini ratarata mengaku ditanya penyidik KPK seputar persetujuan anggaran. Sementara itu pengamat politik dan keamanan, Datuak Alat Tjumano menilai berlarutlarutnya penanganan kasus Hambalang secara tidak langsung menimbulkan dua masalah yang pantulannya dapat mengakibatkan kerugian pada pemerintah. Pertama, bisa muncul tuduhan terselubung seolaholah pemerintah berkepentingan dengan berlarutlarutnya penanganan kasus Hambalang.
Tuduhan itu antara lain seolaholah pemerintah tidak membantu memecahkan kesulitan KPK, misalnya dalam hal kurangnya penyidik, terbatasnya ruangan di gedung KPK dan lainnya. Kedua, katanya, berlarutlarutnya kasus Hambalang menyebabkan proyek pengerjaan fisik stadion tersebut sebagai fasilitas yang dirancang untuk memajukan olahraga, menjadi terhambat. Yang lebih dramatis dari kedua kerugian tersebut adalah hasil kerja pemerintah selama hampir 10 tahun, yang menjadi siasia. Oleh karenanya tanpa mengurangi penghargaan atas hasil kerja yang sudah dicapai oleh baik KPK maupun BPK, maka pemerintah seyogianya ikut mendesak baik KPK maupun BPK guna memprioritaskan penanganan kasuskasus korupsi yang oleh masyarakat dijuluki masalahmasalah kakap.14
14 B. Kunto Wibisono (Ed.), Percepat Penanganan Kasus Hambalang, Jumat, 13 September 2013 00:36 WIB, dalam http://www.antaranews.com/berita/395414/percepatpenanganankasushambalang, diakses pada 21 Oktober 2013.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 307
Contoh lainnya adalah kasus mega korupsi eKTP di tahun 2017 hingga tahun 2018 yang melibatkan mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto, yang sangat merugikan keuangan negara. Kasus korupsi ini melibatkan namanama pejabat, yang dalam kasus ini oknum para pejabat tersebut menerima sejumlah uang dalam pengadaan eKTP. Mereka menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki untuk menguntungkan diri sendiri dan keluarga atau kronikroninya.
5. Pertentangan Kepentingan atau Konflik KepentinganKonflik kepentingan ini dapat menjadi pendorong terjadinya tindak pidana korupsi. Sebagai contoh adalah konflik kepentingan yang terjadi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah antara pejabat penyelenggara pengadaan dengan calon rekanan. Suap yang dilakukan oleh calon rekanan kepada pejabat akan memengaruhi kualitas keputusan yang akan dikeluarkan oleh pejabat ber sangkutan. Ada perbenturan antara profesionalisme dalam menjalankan tugas dan keinginan pribadi untuk menerima suap yang diberikan oleh calon rekanan. Moral pejabat yang menjadi pertimbangan, apakah moral baik pejabat yang akan profesional menjalankan tugasnya ataukah moral yang buruk dengan menerima suap dari calon rekanan.
Undangundang yang lemah terhadap konflik kepentingan membuat insider dealing (transaksi orang dalam) menjadi mudah. Peraturan perundangundangan yang lemah dapat dengan mudah disiasati oleh oknum pejabat atau siapa pun, sehingga dapat berlindung atas nama “hukum”. Memang benar, hukum yang lemah dapat menjadi celah untuk melakukan tindak pidana, tetapi jika kesadaran untuk melaksanakan peraturan perundangundangan lebih besar, niscaya tidak akan ada yang namanya pelanggaran dan perbuatan melawan hukum.
Sebagai contoh kasus proyek pembangunan Sekolah Olah Raga Nasional (SON) Hambalang, sebagai berikut. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjajanto, dinilai sebagai biang keladi dari tidak diusutnya dugaan keterlibatan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam memuluskan anggaran proyek pembangunan Sekolah Olahraga Nasional (SON), Hambalang, pada proses penyelidikan maupun penyidikan di KPK. Koor dinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menilai Bambang Widjajanto (BW) punya konflik kepentingan tersendiri dengan Sri Mulyani. “Kita samasama tahulah bahwa BW itu bekas pengacara
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah308
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)”, ujar Boyamin. Bambang Widjajanto tercatat pernah menjadi pengacara LPS yang diketuai Sri Mulyani. Sebelumnya, KPK mengaku tak mau menyentuh kebijakan yang dikeluarkan oleh bekas Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani untuk “memuluskan” perubahan anggaran proyek pembangunan Sekolah Olahraga Nasional (SON), di desa Hambalang, Bukit Sentul, Jawa Barat dari single years menjadi multi years ketika proyek sedang berjalan. KPK bergeming takkan menyentuh dugaan pelanggaran yang dilakukan Sri Mulyani terkait perubahan anggaran tahun jamak, baik untuk proses penyidikan maupun penyelidikan lantaran hanya terfokus soal pembangunannya saja. Untuk diketahui, ketika proyek Hambalang berjalan, Sri Mulyani membuat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak (Multi Years Contract) dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Seperti diberitakan, mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada saat itu, (saat ini menjadi Menteri Keuangan di era Presiden Joko Widodo) diduga ikut terlibat dalam kasus pembangunan Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang. Berdasarkan analisis yang dilakukan olah pakar ekonomi Drajad Wibowo, diketahui ada pengistimewaan proyek Hambalang oleh Sri Mulyani. Pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu dilatarbelakangi dari prinsip bahwa aturan main kontrak tahun jamak itu berawal di Kepres No. 80 Tahun 2003 Pasal 30 ayat (8) (yang sekarang telah dicabut dengan Perpres No. 54 Tahun 2010). Isinya menyatakan kontrak tahun jamak adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari satu tahun anggaran yang dilakukan atas persetujuan menteri keuangan untuk pengadaan yang dibiayai APBN, gubernur untuk pengadaan yang dibiayai APBD Provinsi, bupati/walikota untuk pengadaan yang dibiayai APBD Kabupaten/Kota. Lalu diketahui pada 2 Maret 2010, bahwa Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak (Multi Years Contract) dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Sementara proyek P3SON Hambalang itu sendiri sebenarnya sudah diajukan sebagai kontrak tahun tunggal (single year) pada hanya Rp275 miliar yang mendapat pengesahan, yaitu Rp125 miliar dari APBN 2010 dan tambahan Rp150 miliar melalui APBN 2010. “Dari sisi substansi, sebelum PMK tersebut keluar pada Maret 2010, sebuah proyek tahun tunggal tidak bisa diubah menjadi tahun
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 309
jamak pada saat proyek tersebut sedang berjalan”, kata Drajad. Drajad menilai, perlu dicari tahu alasan penerbitan PMK itu, sebab ada dua kemungkinan PMK sengaja dikeluarkan, yaitu agar menjadi payung hukum agar pengubahan kontrak tahun tunggal menjadi tahun jamak dimungkinkan atau untuk menertibkan proyek tahun jamak. “Yang bisa menjawab ini, tentu Menteri Keuangan yang menerbitkan PMK tersebut dan para pejabat eselonnya”, ujar Drajad, kemarin. Sri Mulyani tercatat masih menjabat sebagai Menteri Keuangan saat PMK itu dikeluarkan, dan baru diganti sebagai menteri pada Mei 2010.
Selain dari sisi substansi, lanjutnya, ada juga kemungkinan lain dari sisi rentang waktu keluarnya PMK yang harus didalami pada Sri Mulyani. Dradjad mengatakan, PMK tersebut keluar setelah sertifikat tanah Hambalang dari BPN keluar pada Januari 2010. Situasi saat itu adalah Sri Mulyani banyak dikejar terkait kasus bailout Bank Century dan desakan politik agar dia mundur dari kursi menteri keuangan semakin kencang. “Akhirnya Sri Mulyani mundur pada Mei 2010. Nah melihat rentang waktunya, saya menduga SMI seperti terpaksa menerbitkan PMK tersebut”, tandas Dradjad.
Sejumlah sumber di parlemen sebelumnya sudah menyebutkan bahwa penganggaran multi years Hambalang menjadi titik penting untuk memahami dugaan korupsi yang menyebabkan kerugian negara dalam proyek Hambalang. Dinyatakan bahwa sistem multi years sengaja dipaksakan demi memberi kepastian anggaran bagi perusahaan pemenang tender proyek Hambalang. Menurut terpidana kasus wisma atlet SEA Games Muhammad Nazaruddin, ada Rp100 miliar fee proyek Hambalang yang sudah dibagikan. Sebanyak Rp50 miliar di antaranya dikeluarkan untuk kepentingan Anas Urbaningrum, sebesar Rp20 miliar untuk Andi Mallarangeng, sebanyak Rp20 miliar untuk pimpinan Badan Anggaran DPR, dan sisanya Rp10 miliar untuk sejumlah anggota Komisi X DPR.15
6. Kolusi dan NepotismeDalam Ensiklopedia Bebas Wikipedia, pengertian kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.16
15 Nebby Mahbubirrahman, BW Dinilai ‘Lindungi Sri Mulyani di Kasus Hambalang’, 31 Oct 2012, 13:49:35, dalam http://m.aktual.co/hukum/135047bwdinilailindungisrimulyanidikasushambalang, diakses pada 21 Oktober 2013.
16 Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kolusi, diakses pada hari Rabu tanggal 16 Oktober 2013.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah310
Menurut pengertian tersebut, kolusi masih berupa kesepakatan yang dilaku kan oleh seseorang dengan pejabat agar pejabat tersebut melakukan sesuatu seperti apa yang telah disepakati antara kedua belah pihak. Jika sudah ada kesepakatan, maka orang tersebut akan memberikan imbalan kepada pejabat yang telah “membantu” supaya keinginannya tercapai.
Sebagai contoh adalah dalam proyek pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilakukan oleh pejabat atau panitia pengadaan dengan calon peserta. Tujuannya agar calon peserta tersebut dapat memenangkan tender, dan calon peserta akan memberikan imbalan untuk itu. Dengan adanya praktik kolusi ini, proses pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi tidak transparan dan tidak adil. Pastinya oknum pejabat atau panitia pengadaan akan memberikan kemudahan dan mengistimewakan calon peserta yang telah berkolusi dengan mereka.
Larangan mela kukan kolusi dan nepotisme antara pengelola pengadaan barang/jasa dengan rekanan penyedia barang/jasa telah diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 56 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, berikut juga dengan sanksi. Sanksi bagi rekanan dan panitia pengadaan yang melakukan korupsi diatur dalam Pasal 118 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 jo. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015.
Mengenai tindak pidana kolusi dan nepotisme ini juga diatur di dalam Pasal 11 serta Pasal 12 huruf a dan huruf b UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, misalnya dalam Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (a) dan (b) menyatakan bahwa:
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 311
Pasal 12 huruf a dan huruf b
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau dikarenakan telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Contoh kasus kolusi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah pada kasus Wisma Atlet Sea Games Palembang. Pengakuan Pak Permadi, mantan anggota DPR dari fraksi PDIP dalam acara “Jakarta Lawyers Club” Selasa malam (17/05), dan beberapa sumbersumber lain, betapa “brengseknya” praktik korupsi secara berjamaah itu. Praktik korupsi itu sudah mulai terjadi sejak peren canaan suatu “proyek”. Bagaimana anggaran untuk pengadaan barang dan jasa dalam APBN sudah dimulai sejak pengajuan anggaran di DPR. Ternyata di DPR banyak calo atau makelar yang dapat “menggoalkan” suatu “proyek”, tentu dengan fee atau bayaran tertentu. Disebutkan juga, bahwa banyak bupati yang lebih sering berada di Jakarta untuk “memperjuangkan” suatu proyek di gedung DPR ketimbang berada di daerah untuk membangun daerahnya. Bahkan pasalpasal dalam pembuatan undangundang pun dapat diperjualbelikan. Tinggal user maunya apa. Pantas saja banyak undangundang yang tidak memihak kepada kepentingan nasional atau rakyat banyak, tetapi untuk kepentingan asing dan para pejabat. Dalam hal ini dapat dilihat dalam kasus Wisma Atlet dengan nilai proyak pembangunan gedung Wisma Atlit sekitar Rp200 miliar yang melibatkan Sekjen Menpora dan Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin itu diberitakan sebagai “uang jasa” adalah 15 persen dari total anggaran, atau sekitar Rp25 miliar. KPK telah menangkap Sekretaris Menpora Wahid Muharam terkait pembangunan sarana SEA Games Palembang. KPK juga
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah312
menangkap MUI seorang pengusaha dan R yang juga broker dalam dugaan suapmenyuap ini. Kasus dugaan suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games menyasar pada Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, Nazaruddin. Nama Nazaruddin muncul setelah KPK menangkap basah Mindo Rosalina Manulang dan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam bersama cek senilai Rp3,2 miliar pada 21 April lalu. Rosalina mengaku sebagai anak buah Nazaruddin di PT Anak Negeri. KPK, menangkap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Sekmenpora), Wafid Muharram di ruang kerjanya saat melakukan transaksi suap bersama seorang kontraktor proyek wisma atlet SEA Games dan seorang broker. Dua orang lain yang ditangkap bersama Wafid adalah pengusaha Muhammad El Idris dan seorang wanita Mirdo Rosalina Manulang, yang diduga sebagai perantara suap. Penangkapan dilakukan pada pukul 17.15 WIB di ruang kerja Wafid, lantai 3 Gedung Kemenpora, Senayan, Jakarta Pusat. Mereka digelandang ke gedung KPK untuk langsung menjalani pemeriksaan yang disusul dengan penahanan. Penyidik juga menyita dua mobil, yakni Honda CRV dan Toyota Alphard, serta dokumen dan cek senilai Rp3,2 miliar. Bukan hanya Nazaruddin saja yang disebut terlibat, tapi juga Angelina Sondakh, yang juga dari Partai Demokrat. Dengan terjadinya kasus ini, semakin terpuruklah nama SBY dan Partai Demokrat. Apalagi kasus Bank Century dengan dana lebih Rp6,7 triliun, yang matimatian dibela oleh Partai Demokrat itu belum ada kejelasan penyelesaiannya sampai sekarang.17
Larangan nepotisme tidak berarti standar “tertutup bagi anggota keluarga”, tetapi memang melarang pegawai negeri menggunakan atau menyalah gunakan kedudukannya dalam lembaga publik untuk memberikan pekerjaan publik bagi anggota keluarganya. Tujuan larangan itu, bukan untuk mencegah anggota keluarga bekerja bersamasama, tetapi untuk mencegah pegawai negeri mendahulukan anggota keluarga, dalam menggunakan wewenang sub jektif atas nama publik.
Sifat dilarangnya nepotisme bagi penyelenggara negara adalah karena akan tercipta ketidakadilan dan ketidakterbukaan dalam memberikan pekerjaan publik. Ketidakadilan ini diperlihatkan dengan lebih memilih anggota keluarga daripada orangorang yang memiliki kemampuan dan lebih ahli dalam
17 Bakaruddin Is., Korupsi APBN: Kolusi Penguasa dengan Pengusaha, 19 Mei 2011, 14:12, dalam http://birokrasi.kompasiana.com/2011/05/19/korupsiapbnkolusipenguasadenganpengusaha3652 69.html, diakses pada 21 Oktober 2013.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 313
melakukan pekerjaan tersebut. Kesempatan bagi orang lain untuk mendapatkan pekerjaan tersebut menjadi hilang. Dalam praktik pengadaan barang/jasa pemerintah ini, nepotisme terjadi ketika pejabat pengadaan memilih rekanan yang merupakan perusahaan milik keluarganya atau salah satu dari anggota keluarga. Hal ini dapat dilakukan melalui penunjukan langsung. Ketidakterbukaan dalam nepotisme, tentunya persyaratan untuk memperoleh pekerjaan publik harus dipenuhi oleh setiap orang yang menginginkannya. Akan tetapi karena adanya nepotisme, anggota keluarga meskipun tidak dapat memenuhi persyaratan yang diajukan tetap dapat memperoleh pekerjaan publik tersebut. Nepotisme ini cenderung untuk memasukkan anggota keluarganya dalam jabatan pemerintahan untuk membentuk suatu dinasti yang kuat dalam pemerintahan dan dapat memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk kepentingan keluarganya pula. Sebagai contoh adalah nepotisme dari keluarga mantan Presiden Soeharto. Keluarga mantan presiden tersebut memiliki akses dan pengaruh yang besar dalam pemerintahan di Indonesia sampai saat ini, misalnya, dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, salah satunya adalah kasus Bansos (bantuan sosial) yang melibatkan adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, yakni Tubagus Chaeri Wardana. Jika saja Atut lolos dari kasus ini, KPK sebenarnya bisa mengusut Atut dalam kasus lain. Ketua Divisi dan Litbang Forum Pembela Kebenaran (Forpek) Nusantara Banten, Dimas Kusuma mengungkapkan, pihaknya memiliki sejumlah data penyimpangan anggaran yang dilakukan Gubernur Atut. Data itu dikumpulkan lembaganya dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan laporan penggunaan anggaran yang dirilis Pemprov Banten. “Kami memiliki data penyaluran hibah 2011 sebesar Rp340 miliar dan tahun 2012 sebesar Rp304 miliar. Ada indikasi penyalahgunaan hibah”, kata Dimas di kantornya di Serang, Rabu (9/10). Dimas menjelaskan, yang paling mencolok adalah dana hibah untuk Forum Tripartit, forum yang berisi pemerintah, pengusaha, dan buruh yang biasa bertemu membahas tuntutan kenaikan upah. “Pada 2011 ada hibah sebesar Rp4,5 miliar dan tahun 2012 ada hibah sebesar Rp2,5 miliar”, ujar Dimas. Yang menjadi permasalahan, Tripartit itu forum yang diketuai gubernur. “Ini aneh, pengajuan penerima hibah itu kan diajukan gubernur, yang menerima pengajuan itu gubernur, dan yang menyetujui gubernur juga. Jadi dia sendiri yang memutuskan dan menerima dana itu”, tutur Dimas. Kemudian untuk aliran dana bantuan sosial (Bansos), Dimas mengungkapkan, berdasarkan aturan Kementerian Dalam Negeri, ada empat kategori yang boleh menerima. Pertama, instansi pemerintahan vertikal,
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah314
kedua BUMD dan BUMN, ketiga masyarakat dengan spesifikasi khusus misalnya yayasan pendidikan, dan keempat adalah organisasi masyarakat. Dari catatan lembaganya, Dimas menemukan Bansos disalurkan ke Forum RW dan Komite Sekolah. “Forum RW itu legal formalnya apa, demikian juga komite sekolah. Forum Tripartit juga tidak bisa masuk kategori penerima hibah”, cetusnya. Sementara untuk proyek infrastruktur dan pengadaan barang dan jasa, Dimas menilai, Gubernur Atut kelewat mahal menetapkan satuan harga. “Harga yang ditetapkan terlalu tinggi. Ratarata mark up terlalu besar, sekitar 40–50 persen. Misalnya komputer harga Rp7 juta, ditambah pajak dan keuntungan, harusnya jadi Rp8–9 juta. Ini malah jadi Rp14–15 juta, dan polapola seperti itu banyak, tidak hanya dalam satu proyek saja”, pungkasnya. Seperti diketahui, penyaluran Bansos tahun 2011 yang dilakukan menjelang pemilihan gubernur Banten, pada APBD 2011, Atut mengeluarkan kebijakan melalui program bantuan hibah yang jumlahnya sebesar Rp340,463 miliar yang dibagikan kepada 221 lembaga/organisasi, serta program bantuan sosial sebesar Rp51 miliar. Nilai dana hibah itu jauh lebih besar dari tahun 2010 yang hanya mencapai Rp239,27 miliar dan tahun 2009 yang hanya Rp14 miliar.
Sejumlah kejanggalan yang mengarah pada dugaan tindak pidana korupsi, yaitu terdapat sejumlah nama lembaga/organisasi penerima dana yang diduga fiktif dan nepotisme Gubernur Atut. Antara lain adalah PMI Provinsi Banten Rp900 juta yang diketuai Ratu Tatu Chasanah (adik Atut), KNPI Provinsi Banten Rp1,5 miliar yang diketuai oleh Aden Abdul Khalik (adik ipar Atut), Himpaudi Rp3,5 miliar yang diketuai oleh Ade Rossi (menantu Atut), Tagana Provinsi Banten Rp1,75 miliar yang diketuai Andhika Hazrumi (anak Atut), GP Ansor Kota Tangerang (Rp400 juta) yang diketuai Tanto W. Arban (menantu Atut). Kemudian ada dana hibah untuk seluruh perhimpunan istri aparat penegak hukum di Provinsi Banten serta tidak jelas nama organisasinya. Bansos itu juga disalurkan untuk membiayai 150 orang yang disebut “tokoh” yang menghabiskan biaya sebesar Rp7,5 miliar. Padahal dalam daftar penerima bantuan dengan tegas disebutkan nama organisasi bukan nama kegiatan. Kerugian negara dalam kasus itu untuk bantuan hibah sebesar Rp88,02 miliar dan untuk dana bantuan sosial sebesar Rp49,460 miliar.18
18 Iqbal Fadil, Ini Kasus Korupsi yang Bisa Menjerat Gubernur Atut, Jumat, 11 Oktober 2013, 04:06, dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/inikasuskorupsiyangbisamenjeratgubernuratut. html, diakses pada 21 Oktober 2013.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 315
7. KorupsiKorupsi telah mewabah dan ada di manamana. Korupsi bukan soal pejabat publik yang menyalahgunakan jabatannya, tetapi juga soal orang, setiap orang yang menyalahgunakan kedudukannya, dengan demikian dapat memperoleh uang dengan mudah.19 Setiap orang dapat melakukan korupsi, meskipun dengan bentuk berbeda. Korupsi bisa dilakukan dengan cara menyuap, memeras, menggelapkan, dan perbuatan lainnya. Orang yang menyuap menginginkan sesuatu yang bukan menjadi haknya, dan ia menyuap pejabat agar pejabat bersangkutan mau mengabaikan peraturan. Si pemberi suap berusaha untuk memengaruhi pejabat yang bersangkutan untuk mengeluarkan kebijakan sesuai dengan keinginan si pemberi suap, tentunya dengan imbalan berupa uang atau benda dan fasilitas lainnya.
Korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara yang menjadi sorotan banyak kalangan. Pejabat yang dinilai memiliki integritas dan diberikan kepercayaan oleh rakyat untuk mengatur negara, malah membuat kerugian yang sangat besar bagi negara. Mengenai tindak pidana ini, yang sering terjadi di dalam pemerintahan, baik di level rendah maupun di level yang tinggi, atau dari tingkat kelurahan sampai penyelenggara negara tingkat pusat melakukan korupsi secara berjamaah, dan paling banyak adalah korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Kelihaian manusia menghindari sistem yang dirancang untuk melindungi
integritas lembaga dan proses, tampak tidak ada habishabisnya. Ini saja sudah cukup merisaukan, tetapi ada yang lebih merisaukan lagi, yakni dampak korupsi pada kemiskinan. Keputusan di bidang pembangunan dan perangkat peraturan dibelokkan untuk kepentingan pribadi, dengan akibat kaum miskin tidak mendapat apaapa dari aliran dana bantuan yang masuk, dan mereka tidak ada harapan akan dapat meningkatkan taraf hidup melalui pembangunan sektor swasta.20
Korupsi itu sangat merusak karena akibat negatif yang ditimbulkannya. Alasannya karena keputusan atau kebijakan penting yang dikeluarkan diambil berdasarkan pertimbangan pribadi tanpa melihat dan memperhitungkan akibatnya bagi publik. Bagi si pemberi suap, tujuan utamanya adalah memenga ruhi kebijakan penyelenggara negara, dan bagi pejabat tujuannya dapat memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri.
19 Jeremy Pope, op.cit., hlm. xxiii.20 Ibid., hlm. xxiv.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah316
Sebagaimana dalam pembahasan bab sebelumnya, banyak penyimpangan dalam tahaptahap pengadaan barang/jasa pemerintah yang mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi di dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, antara lain sebagai berikut.a. Tahapan perencanaan umum pengadaan barang/jasa.
1) Penyimpangan dalam identifikasi dan analisis kebutuhan barang/jasa.2) Penyusunan dan penetapan rencana penganggaran yang dimark up.3) Rencana pengadaan atau spesifikasi teknis dengan kriteria yang di
arahkan.4) Tidak mengumumkan secara terbuka rencana pengadaan barang/
jasa pada awal tahun anggaran.5) Pemilihan metode pengadaan, metode dokumen, metode kualifikasi,
dan metode evaluasi yang tidak tepat.6) Kegiatan yang seharusnya swakelola diganti menjadi kontraktual.7) Anggaran untuk proses pengadaan tidak tersedia.8) Rekayasa pemaketan untuk KKN.9) Penentuan jadwal yang tidak realistis.
b. Tahapan pembentukan panitia lelang.1) Panitia tidak transparan.2) Integritas panitia lemah.3) Anggota Pokja tidak memenuhi kualifikasi/persyaratan.4) Adanya rangkap jabatan.5) Panitia yang memihak.6) Panitia tidak independen.
c. Tahapan prakualifikasi perusahaan.1) Dokumen administratif tidak memenuhi syarat.2) Dokumen administratif “aspal”.3) Legalisasi dokumen tidak dilakukan.4) Evaluasi tidak sesuai kriteria.5) Tahapan penyusunan dokumen lelang.6) Spesifikasi yang diarahkan.7) Rekayasa kriteria evaluasi.8) Dokumen lelang nonstandar.9) Dokumen lelang yang tidak lengkap.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 317
d. Tahapan pengumuman lelang.1) Pengumuman lelang yang semu atau fiktif.2) Pengumuman lelang tidak lengkap.3) Jangka waktu pengumuman terlalu singkat.
e. Tahapan pengambilan dokumen lelang.1) Dokumen lelang yang diserahkan tidak sama (inkonsisten).2) Waktu pendistribusian dokumen terbatas.3) Dokumen lelang yang diserahkan tidak sama.4) Menyatakan bahwa pendaftaran dan pengambilan dokumen tidak
boleh diwakilkan/harus membawa dokumen asli.5) Kemungkinan terjadi pengaturan kapasitas up/down bandwith tetapi
tidak bisa oleh panitia, dan panitia berkolusi dengan LPSE.6) Lokasi pengambilan dokumen sulit dicari.
f. Tahapan penyusunan harga perkiraan sendiri. 1) Gambaran nilai harga perkiraan sendiri ditutuptutupi.2) Penggelembungan (mark up) untuk keperluan KKN.3) Harga dasar yang tidak standar (dalam KKN).4) HPS tidak ada.5) Mengarah pada merek produk tertentu.6) Referensi harga tidak memadai.7) Penambahan item biaya yang tidak relevan.8) Penentuan estimasi harga tidak handal atau tidak sesuai aturan.
g. Tahapan penjelasan/aanwijzing. 1) Pree-bid meeting yang terbatas.2) Informasi dan deskripsi terbatas.3) Perubahan penting atas dokumen pemilihan penyedia tidak dituang
kan dalam addendum dokumen pemilihan penyedia.4) Tidak membuat berita acara penjelasan/tidak disebarluaskan.5) Tidak ada partisipasi masyarakat.6) Penjelasan yang kontroversial.
h. Tahapan penyerahan dan pembukaan penawaran. 1) Relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran.2) Penerimaan dokumen penawaran yang terlambat.3) Ketidaklengkapan dokumen penawaran.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah318
4) Perubahan jadwal pembukaan dokumen penawaran tidak disertai alasan yang logis.
5) Penyimpanan dokumen penawaran tidak pada kotak terkunci.6) Pembukaan dokumen penawaran dilakukan pada hari libur.7) Penyerahan dokumen fiktif.
i. Tahapan evaluasi penawaran. 1) Kriteria evaluasi cacat.2) Penggantian dokumen.3) Evaluasi tertutup dan tersembunyi.4) Dokumen tidak memenuhi syarat tetapi lolos.5) Evaluasi tidak memadai atau tidak sesuai kriteria.6) Dokumen administrasi bersifat “aspal”.7) Dokumen kualifikasi tidak didukung data otentik.8) Dokumen disusulkan.9) Persyaratan teknis tidak realistis dan menambahkan persyaratan yang
tidak perlu.10) Kriteria kelulusan evaluasi tidak jelas.11) Dokumen tidak standar (tidak sesuai SDP).12) Dokumen tidak lengkap.13) Penggantian dokumen penawaran.14) Peserta lelang terpola dalam rangka berkolusi dan menurun secara
mencolok.j. Tahapan pengumuman calon pemenang.
1) Pengumuman sangat terbatas.2) Tanggal pengumuman sengaja ditunda.3) Jangka waktu pengumuman tidak sesuai aturan.4) Syarat kualifikasi dalam pengumuman tidak lengkap.5) Tidak melalui LPSE.6) Menghindari menggunakan e-procurement.7) Pengumuman yang tidak informatif
k. Tahapan sanggahan peserta lelang. 1) Tidak seluruh sanggahan ditanggapi.2) Substansi sanggahan tidak ditanggapi.3) Sanggahan performa untuk menghindari tuduhan tender diatur.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 319
4) Surat sanggahan tidak ditanggapi.5) Jawaban sanggahan ditundatunda.6) Tahapan pengumuman pemenang.7) Perubahan jadwal pengumuman pemenang tanpa alasan yang jelas.8) Tidak ada pengumuman pemenang.9) Pengumuman pemenang tidak diberitahukan kepada seluruh peserta
lelang.10) Pengumuman tidak mengindahkan aspek publik atau dilakukan ter
sembunyi.11) Pengumuman tidak sesuai kaidah.
l. Tahapan penunjukan pemenang lelang. 1) Surat penunjukan yang tidak lengkap.2) Surat penunjukan yang sengaja ditunda pengeluarannya.3) Surat penunjukan dibuat terburuburu.4) Surat penunjukan yang tidak sah.5) Tanggal surat penunjukan dibuat lebih belakangan dibandingkan
tanggal kontrak.m. Tahapan penandatanganan kontrak.
1) Adanya kejanggalan dalam kontrak.2) Penandatanganan kontrak yang ditundatunda.3) Tidak dilengkapi surat jaminan pelaksanaan dari bank (untuk nilai
tertentu).4) Tanggal surat jaminan pelaksanaan lebih belakangan dibandingkan
dengan tanggal kontrak.5) Penandatanganan kontrak yang kolutif.6) Penandatanganan kontrak secara tertutup.7) Penandatanganan kontrak tidak sah.
n. Tahapan penyerahan barang/jasa.1) Volume yang tidak sama.2) Mutu/kualitas pekerjaan yang lebih rendah dari ketentuan dalam
spesifikasi teknik.3) Mutu/kualitas pekerjaan yang tidak sama dengan spesifikasi teknik.4) Jaminan pasca jual palsu.5) Keterlambatan penyerahan barang/jasa.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah320
6) Kriteria penerimaan barang/jasa bias atau tidak jelas.7) Penyerahan barang/jasa di lokasi yang tidak tepat.8) Barang/jasa yang belum atau tidak dapat dimanfaatkan.9) Contract change order.
o. Tahap pembayaran dan pelaporan.1) Pembayaran yang tidak sesuai dengan kemajuan fisik.2) Pembayaran fiktif.3) Kekurangan pemungutan dan penyetoran pajak.4) Tidak dibuat berita acara pembayaran.5) Pelaporan tidak lengkap/tidak sesuai dengan aturan.Penyimpanganpenyimpangan yang mengindikasikan adanya tindak pidana
korupsi di dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, memberikan dampak yang sangat buruk, terutama bagi keuangan negara. Uang rakyat yang harus nya digunakan secara efektif dan efisien, akan masuk ke dalam rekening pribadi para oknum pejabat. Jika tidak dikendalikan, korupsi dapat mengancam lembagalembaga demo
krasi dan ekonomi pasar. Dalam lingkungan yang korup, sumber daya akan disalurkan ke bidangbidang yang tidak produktif (kepolisian, tentara dan lembagalembaga kontrol sosial, serta kelompok penindas lainnya, karena kelompok elite akan selalu berusaha melindungi diri mereka, kedudukan, dan harta kekayaan mereka.21
Para koruptor tidak peduli akan kerugian yang diakibatkan karena tindakannya. Kalaupun nanti mereka tertangkap tangan, dengan cara yang sama akan memberi suap kepada penegak hukum agar kasusnya ditutup, dibiarkan tidak diproses, atau mendapatkan hukuman yang ringan. Hukuman bagi mereka paling buruk adalah pidana penjara, karena sampai sekarang ini meskipun para koruptor telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, pidana yang dijatuhkan paling lama dua sampai tiga tahun, tidak ada yang sampai mendapatkan hukuman pidana penjara seumur hidup atau bahkan pidana mati.
Pidana penjara yang hanya dua sampai tiga tahun tersebut masih sedikit jika dibandingkan dengan pidana penjara yang dijatuhkan kepada pencuri yang hukumannya sampai lima tahun. Pencuri hanya mengambil barang yang bukan miliknya dari satu atau beberapa orang, dan dari mereka kebanyakan melakukannya karena terpaksa oleh himpitan ekonomi. Dibandingkan dengan
21 Ibid., hlm. 9.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 321
koruptor yang jelasjelas mencuri dari uang rakyat, dan mereka duduk dalam jajaran pemerintahan, yang dapat dikatakan mereka hidup dari berkecukupan. Sangat ironis sekali keadilan dalam negeri ini. Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan bahwa:
Pasal 2(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan mem
perkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan dirisendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Salah satu contoh dalam tindak pidana korupsi pengadaan barang/jasa
pemerintah adalah kasus pengadaan jasa konsultan di BPIH Migas (2009). Dugaan korupsi pengadaan jasa konsultan di BPIH Migas dengan anggaran sebesar Rp126 miliar untuk tahun anggaran 2008 dan Rp82 miliar untuk tahun anggaran 2009, yang diduga dilakukan oleh pejabat di lingkungan BPH Migas. Kasus tidak dilanjutkan.22
22 Sholahuddin Al Ayyubi, Versi IPW, 25 Kasus Korupsi Mandek di Bareskrim Polri, Rabu 23 Oktober 2013, 12.55 WIB, dalam http://nasional. sindonews.com/read/2013/10/02/13/789838/versiipw25kasuskorupsimandekdibareskrimpolri, diakses pada 21 Oktober 2013.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah322
8. Monopoli/Persaingan Tidak SehatPenyimpangan dalam tahapan pengadaan barang/jasa pemerintah, dengan adanya kolusi antara calon rekanan dan pejabat pengadaan barang/jasa akan memberikan “fasilitas” bagi calon rekanan untuk memuluskan keinginannya. Pihak pengusaha akan mendapatkan keistimewaan dan hak monopoli seperti keuntungan yang akan diperoleh dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Dalam Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, disebutkan pengertian monopoli adalah “Penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu”. Pengertian praktik monopoli disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 bahwa: “Praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum”. Sedangkan pengertian persaingan tidak sehat diatur di dalam Pasal 1 angka 6 yang menyatakan bahwa: “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha”.
Dengan demikian, praktik monopoli harus dibuktikan adanya unsur yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan merugikan kepentingan umum.23 Jadi, antara praktik monopoli dan persaingan tidak sehat ini saling terkait. Adanya persaingan tidak sehat dan praktik monopoli ini tidak lepas dari apa yang namanya persekongkolan.
Dalam Pasal 1 angka 8 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 disebutkan bahwa arti persekongkolan adalah: “Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol”.
Terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah, adanya perjanjianperjanjian yang dapat menimbulkan monopoli dan persaingan tidak sehat sangat dilarang. Ada hubungan atau kolusi antara pejabat atau panitia pengadaan dengan
23 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum dalam Ekonomi, Edisi Revisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 133.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 323
calon rekanan. Dengan adanya perjanjian yang dibuat kedua belah pihak atas dasar saling menguntungkan, maka dalam pengadaan tender oleh pemerintah, calon rekanan yang telah berkolusi mendapatkan keistimewaan dari panitia pengadaan barang/jasa pemerintah. Kemudahankemudahan akan diperoleh calon rekanan, dan kesempatan menjadi pemenang lelang sangat besar.
Persekongkolan antara oknum pejabat atau panitia pengadaan dengan calon rekanan membuat proses pengadaan menjadi tidak sehat. Kecurangankecurangan dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah akibat perse kongkolan tersebut seperti penerimaan dokumen yang terlambat dari calon rekanan oleh oknum panitia. Peserta lain berusaha agar semua persyaratan termasuk dokumen penawaran dapat diserahkan tepat pada waktunya, meskipun hanya diberikan waktu yang singkat. Akan tetapi, bagi calon rekanan “istimewa” tidak perlu memikirkan waktu yang singkat tersebut, karena sudah dipastikan dia yang akan menjadi pemenang tender. Jadi, di sini calon rekanan secara tidak langsung telah menguasai jalannya proses pengadaan barang/jasa pemerintah, yang mengakibatkan ketidakadilan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Sebagai contoh adalah kasus tender pipanisasi di Sumatera oleh PT Caltex Pasific Indonesia. Kasus ini bermula dari suatu laporan yang diterima oleh KPPU pada tanggal 30 Juni 2000 dalam bentuk sebuah surat tertanggal 5 April 2000, yang pada intinya adalah melaporkan bahwa telah terjadi pelanggaran asas keadilan dan kesetaraan dalam pelaksanaan tender yang dilakukan oleh PT Caltex Pasific Indonesia. Kemudian pada tanggal 14 September 2000, KPPU kembali menerima laporan dalam bentuk sebuah surat tertanggal 13 September 2000, yang berisi pernyataan bahwa PT Caltex Pasific Indonesia telah menyelenggarakan tender yang hanya dapat diikuti oleh beberapa gelintir rekanan saja, dan rekanan yang lain tidak dapat menikmati. Pengaduan ke KPPU tentang PT Caltex Pasific Indonesia itu sendiri datang dari pengusahapengusaha kelas kecil dan menengah. Menurut pengaduan mereka, dalam melakukan tender pipanisasi di Sumatera, PT Caltex Pasific Indonesia melakukannya dengan sistem paket yang mengakibatkan perusahaanperusahaan kecil dan menengah tidak dapat ikut dalam tender tersebut. Rencana tender dari PT Caltex Pasific Indonesia ini dianggap tidak wajar bagi peserta (bidders) yang lain dan tidak memenuhi kriteria dari asas keadilan dan kesetaraan. Rencana tender tersebut memiliki ketentuanketentuan dan persyaratanpersyaratan yang tidak lazim seperti yang dipakai dan cenderung untuk mengarahkan kepada pemasok tertentu. Peserta tender hanya empat bidders, yaitu PT Purna Bina Nusa yang memiliki fasilitas
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah324
upsetting dan heat treatment, sehingga hanya dapat menawarkan low grade, PT Patraindo Nusa Pertiwi juga setara dengan PT Purna Bina Nusa, serta PT Citra Tubindo Tbk yang memiliki fasilitas upsetting dan heat treatment, sehingga dapat menawarkan low grade dan high grade, dan PT Seamless Pipe Indonesia Jaya, yang setara dengan PT Citra Tubindo Tbk, dapat menawarkan low grade dan high grade. Berdasarkan laporanlaporan tersebut di atas, dalam putusannya akhirnya pada tanggal 20 April 2001, KPPU menyatakan bahwa PT Caltex Pasific Indonesia dalam tender yang diselenggarakannya telah melakukan persekongkolan dengan sejumlah pemasok yang menjadi peserta dalam tender tersebut. Perusahaan pemasok yang dianggap telah melakukan persekongkolan dengan PT Caltex Pasific Indonesia adalah PT Citra Turbindo Tbk., PT Patra Indonusa Pertiwi, dan PT Purna Bina Nusa. Menurut KPPU tindakan para pemasok tersebut merupakan persekongkolan dan telah melanggar Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999.24
9. Pemborosan Keuangan Daerah/NegaraDavid J. Gould dan Joas A. Amaro Reyes menyatakan akibat dari korupsi bahwa:25
Korupsi menimbulkan inefisiensi dan pemborosan dalam ekonomi, karena dampaknya pada alokasi dana, pada produksi, dan pada konsumsi. Korupsi menimbulkan inefisiensi dalam alokasi karena memungkinkan kontraktor yang paling tidak efisien tetapi pandai menyuap memperoleh kontrak pemerintah. Oleh karena uang suap dimasukkan ke dalam harga barang yang dihasilkan, permintaan barang cenderung menurun, struktur produksi menjadi bias, dan konsumsi turun ke tingkat di bawah efisien. Jadi, korupsi menurunkan kesejahteraan penduduk.Akibat dari korupsi tersebut keuangan daerah/negara mengalami kerugian.
Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, pemborosan keuangan negara jelas terlihat dari penyimpanganpenyimpangan yang dilakukan dalam tahapan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Dapat diambilkan salah satu contoh adalah penambahan item biaya yang tidak relevan. Penambahan biaya
24 Syarip Hidayat, Persekongkolan dalam Tender, Studi Kasus di Indonesia, Amerika Serikat, dan Kanada, 18 Agustus 2008, dalam http://syukriy.wordpress.com/2008/08/18/perse kongkolandlmtenderyangmengakibatkanpersainganusahatidaksehatstudikasusdiindonesiaamerikaserikatdankanada, diakses pada 21 Oktober 2013.
25 Jeremy Pope, op.cit., hlm. 15 dan 16.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 325
untuk item yang sebenarnya tidak diperlukan merupakan tindakan pemborosan. Jika nantinya itu dilakukan, tidak ada manfaat akan kegunaan barang/jasa yang ditambahkan tersebut. Bisa jadi penambahan biaya untuk item tersebut hanya fiktif, sebenarnya tidak ada item yang diperlukan, tapi biaya digelembungkan. Terkait dengan kebocoran anggaran pada organisasi atau administrasi peme
rintahan, I.G.M. Nurdjana menyatakan bahwa pertumbuhan yang pesat dalam berbagai kegiatan perekonomian dan pemerintahan memerlukan aparat pemerintahan yang harus dapat mendukungnya. Dalam kenyataannya, tidak dapat cepat mengikuti pertumbuhan dimaksud. Sebagai akibatnya, susah diperkirakan bahwa aparat yang memperoleh kesempatan untuk “tahu sama tahu” (TST) serta kemungkinan terjadinya kebocorankebocoran dalam suatu proses birokrasi merupakan tempat yang cukup baik untuk tindakan korupsi. Tindakan korupsi akan berarti terjadi manipulasi terhadap penerimaan atau pendapatan negara oleh pejabat atau pegawai ataupun pihak pengusaha, yang seharusnya dapat dialokasikan oleh pemerintah untuk keperluan pembangunan nasional. Pola penggunaan “dana korupsi” oleh para pelaku korupsi, belum tentu untuk kepentingan investasi dan yang bersifat produktif, mungkin sebaliknya untuk membiayai pola hidup mewah (sebagai perwujudan effect). Bahkan yang lebih buruk lagi bagi perekonomian nasional adalah larinya “dana” tersebut ke bankbank Swiss dan bank luar negeri lain nya, sehingga terjadilah capital flight yang tidak menguntungkan bagi kepentingan pembangunan nasional.26
Dari pendapat tersebut, penulis dapat menganalisis adanya kekurangan aparat pemerintahan yang cekatan dan profesional yang dapat menyesuaikan dengan era globalisasi saat ini. Oleh karena hal tersebut, kekurangan personel dan SDM yang tidak sesuai dengan bidang pekerjaan yang ditangani serta tidak dapat menyesuaikan dengan perubahan saat ini, akan menimbulkan penyimpanganpenyimpangan dalam birokrasi, yang sampai pada akhirnya akan memunculkan adanya tindakan korupsi. Uang hasil korupsi yang merupakan uang haram, hanya digunakan koruptor untuk bermewahmewah. Mereka mungkin tahu, uang yang diperoleh dengan jalan yang tidak baik, akan cepat habis. Korupsi tidak akan memberikan kesempatan bagi orangorang yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri, karena di dalamnya sudah ada praktik kolusi dan nepotisme.
26 I.G.M. Nurdjana, Sistem Hukum Pidana ..., op.cit., hlm. 36 dan 37.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah326
Penulis sangat setuju dengan pendapat K.P.H.A. Tjandra Sridjaja Pradjonggo yang menyatakan bahwa secara sosiologi, korupsi merupakan tindakan desosialisasi, yaitu suatu tindakan yang tidak memedulikan hubunganhubungan dalam sistem sosial.27 Bagaimana mungkin para pejabat itu tidak mengetahui bahwa uang yang mereka korupsi adalah uang rakyat. Akan tetapi mereka sadar bahwa mereka adalah para wakil rakyat atau penyelenggara negara yang mendapatkan kepercayaan dari rakyat untuk menjalankan pemerintahan. Sangat ditakutkan jika penyelenggara negara mengidap penyakit kleptomania, yakni keinginan untuk memiliki barang yang bukan menjadi haknya dapat dengan mudah diperoleh dengan caracara koruptif, dan itu dianggap merupakan hal yang biasa oleh mereka yang duduk dalam pemerintahan.
Contoh pemborosan keuangan daerah/negara dalam pengadaan barang/ jasa pemerintah, di antaranya adalah kasus pembangunan kantor Balaikota Payakumbuh. Pelaksanaan pembangunan Kantor Balaikota Payakumbuh di eks lapangan Poliko Payakumbuh, ternyata tidak sesuai dengan detail engineering design dan terindikasi terjadinya pemborosan keuangan daerah mencapai Rp3,6 miliar lebih. Setidaknya, hal itu terungkap dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Provinsi Sumatera Barat, ter hadap laporan keuangan Pemerintah Kota Payakumbuh tahun anggaran 2012.
Sebagaimana terungkap dari hasil pemeriksaan BPK yang melakukan pemeriksaan secara uji petik atas kegiatan belanja modal pada Dinas Pekerjaan Umum Pemko Payakumbuh menunjukkan bahwa terdapat kegiatan lanjutan pembangunan Kantor Balaikota Payakumbuh yang dilaksanakan PT Waskita Karya berdasarkan Kontrak Anak Tahun Kedua Nomor: 600.112/SPK/PUPYK/I2012 tanggal 2 Januari 2012 sebesar Rp22.270.000.000,00. Kontrak anak tahun kedua tersebut merupakan bagian dari kontrak induk Nomor 600/112.C/SPK/PUPYK/X2011 tanggal 18 Oktober 2011 sebesar Rp25.671.370,00. Berdasarkan SP2DLS Tahun 2012, realisasi kegiatan tersebut dibayar melalui lima SP2D dengan nilai keseluruhan sebesar Rp24.639.056.400,00. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menjelaskan bahwa penambahan realisasi tahun 2012 tersebut karena adanya perubahan desain pondasi yang sangat signifikan dari rencana yang tercantum dalam kontrak induk. Kondisi tersebut berpengaruh
27 K.P.H.A. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi, Indonesia Lawyer Club, Jakarta, 2010, hlm. 1.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 327
terhadap realisasi keuangan tahun anggaran 2011 dan tahun 2012. Kontrak anak tahun kedua diaddendum pada tanggal 26 November 2012 menjadi sebesar Rp24.649.225.400,00. Sesuai kontrak dan Detail Engineering Design (DED). Semula fondasi gedung Kantor Balaikota tersebut menggunakan konstruksi tapak lajur. Namun demikian, pada saat penggalian untuk fondasi, pihak PT Waskita Karya mengalami kesulitan karena dengan kedalaman sesuai gambar ternyata tidak menemukan tanah keras. Atas permasalahan tersebut, dilakukan pengujian tanah berupa sondir di lima titik serta baring di satu titik, untuk mengetahui daya dukung tanah di lokasi bangunan.
Hasil pengujian tanah tersebut dan hasil rapat antara Dinas PU, pihak PT Waskita Karya, Konsultan Perencana, Konsultan Pengawas, dan pihak terkait lainnya, akhirnya merekomendasikan untuk mengganti fondasi tapak lajur menjadi fondasi tiang panjang. Namun demikian, baik pihak Dinas PU, pihak PT Waskita Karya, Konsultan Perencana, Konsultan Pengawas, dan pihak terkait lainnya tidak melakukan pengujian perhitungan terhadap stabilitas fondasi tapak lajur dengan daya dukung tanah hasil pengujian akhir di lapangan terlebih dahulu, sehingga akan diketahui bahwa fondasi dengan konstruksi tapak lajur tersebut tidak mampu bertahan dengan daya dukung tanah ter sebut. Permasalahan tersebut tidak menjadi pertimbangan utama para pihak meng ingat harga fondasi tiang panjang dengan konstruksi beton pracetak sangat mahal, dibandingkan dengan konstruksi tapak lajur.
Selain itu, hasil perencanaan gedung kantor Balaikota tahun 2009 telah melalui tahapantahapan tertentu sampai menjadi DED. Hasil perencanaan tersebut antara lain menyatakan bahwa desain fondasi yang paling aman dan ekonomis adalah dengan konstruksi fondasi tapak lajur. Diungkapkan BPK, perubahan desain fondasi dan perubahan biaya tersebut telah dituangkan dalam contract change order addendum 01 Nomor: 600.112 SPK/CCOADD 01/PUPYK/I2012 tanggal 5 Januari 2012. Secara keseluruhan nilai kontrak tidak berubah. Akan tetapi, volume dan item peker jaan yang ditambah maupun dihilangkan sebesar Rp6.930.824.000,00. Dalam addendum kontrak pertama tersebut, harga keseluruhan fondasi tiang panjang sebesar Rp5.509.454.243,94 sedangkan harga keseluruhan fondasi tapak lajur sebelum addendum 01 sebesar Rp4.779.150.293,21. Pekerjaan yang dihilangkan sehubungan dengan perubahan desain tersebut adalah pekerjaan dinding partisi dengan nilai keseluruhan sebesar Rp1.207.652.863,74. Diungkapkan BPK, pada tanggal 8 Maret 2012, kedua belah pihak menandatangani contract change order
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah328
addendum 02 Nomor: 600/112/SPK/CCOADD 02 PUPYK III2012. Dalam addendum kontrak tersebut memuat perubahan volume, akibat pekerjaan tambah kurang untuk menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan lapangan. Perubahan volume dan item pekerjaan yang diatur dalam addendum sebesar Rp4.741.822.6000,00.
Perubahan volume dan item pekerjaan berikut nya terjadi pada tanggal 6 November 2012, sebagaimana tertuang dalam contract change order addendum 03 Nomor: 600/112/SPK/CCOADD03/PUPYK/XI2013. Dalam addendum tersebut, volume dan item pekerjaan bertambah menjadi sebesar Rp1.801.171.950,79 sedangkan volume dan item pekerjaan berkurang Rp1.809.490.709,02. Selisih tersebut menyebabkan realisasi kontrak secara keseluruhan sebesar Rp25.661.201.000,00 dari nilai kontrak sebesar Rp25.671.370.000,00. Dalam addendum 03 tersebut, realisasi untuk pem biayaan fondasi tiang pancang sebesar Rp5.342.827.721,66.
Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa selisih yang terjadi akibat penggantian jenis fondasi tersebut menjadi sebesar Rp3.563.677.428,45 (Rp5.342.827.721,66 – Rp1.779.150.293,21) dan volume galian untuk fondasi tapak lajur yang sebelumnya terlanjur dilaksanakan sebesar Rp110.257.034,68 atau seluruhnya menjadi sebesar Rp3.673.934.463,13 (Rp3.563.677.428,45 –Rp110.257.034,68).
Dari hasil pemeriksaan BPK tersebut diungkapkan pula bahwa hasil pemeriksaan fisik tanggal 17 April 2012 didampingi PPTK, menunjukkan bahwa bangunan tersebut telah selesai dikerjakan. Bagian dalam gedung hanya berdiri dari kolomkolom yang telah difinishing, lantai bangunan telah dipasang keramik, belum ada dinding sekat untuk membentuk ruanganruangan, sambungan listrik dan air bersih dan telepon belum ada, tetapi instalasinya telah terpasang. Kondisi tersebut menyebabkan bangunan tersebut belum dapat digunakan sebagai tempat operasional pemerintahan Kota Payakumbuh. Kondisi tersebut terjadi, karena dana untuk pekerjaan pelengkap yang sebelumnya diatur dalam kontrak induk harus dihilangkan akibat penggantian jenis fondasi dan material urukan bawah lantai.
Menurut BPK, kondisi tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Pasal 6 huruf f yang menyatakan bahwa para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa harus mematuhi etika, yakni menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang dan jasa. Kondisi tersebut mengakibatkan, terjadinya indikasi
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 329
pemborosan keuangan daerah atas pembayaran fondasi tiang pancang dan pembayaran volume yang telah dilaksanakan untuk fondasi tapak lajur sebesar Rp3.673.934.463.13 dan Kantor Balaikota belum dapat dimanfaatkan sesuai rencana dan tujuan pengadaan.28
Secara umum, lima belas tahapan yang harus ditempuh dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana diatur dalam Perpres No. 4 Tahun 2015 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 54 Tahun 2010 dengan interval waktu yang disediakan untuk menyelesaikan pekerjaan sangat singkat, yang di dalamnya ditemukan tidak kurang dari lima puluh dua potensi penyimpangan membuka peluang masalahmasalah yuridis yang akan berdampak pada masalah sosiologis karena dengan model lima belas tahapan untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut, akan menghambat kelancaran kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah dan kepentingan pelayanan publik menjadi terganggu.
B. ALASAN STRUKTUR: KELEMAHAN STRUKTUR BIROKRASI PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH YANG BERPOTENSI MENIMBULKAN KORUPSI
Berikut dipaparkan tinjauan atas beberapa kelemahan dari kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah yang cenderung menimbulkan tindak pidana korupsi. Dari bahasan ini diharapkan dapat menjawab permasalahan ke1, yakni mengapa kebijakan hukum birokrasi pengaturan kegiatan pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia saat ini masih memunculkan kasuskasus korupsi.
Setelah mengetahui bahwa dalam Perpres No. 4 Tahun 2015 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Keppres No. 80 Tahun 2008 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang di dalamnya terdapat masalahmasalah yuridis yang berdampak pada adanya masalah struktur dan masalah budaya, maka penulis memandang perlu untuk dibentuk suatu badan/lembaga khusus yang diberi kewenangan penuh untuk mengatur, mengelola, dan melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai upaya
28 Mingguan Bakinnews, Terkait Pembangunan Kantor Balaikota Payakumbuh, BPK Temukan Pemborosan Anggaran 3,6 M Lebih, Senin 17 Juni 2013, 04:54, dalam http://www.bakinnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10774:terkaitpembangunankantorbalaikotapayakumbuh&catid=50:kotapayakumbuh&Itemid=73, diakses pada 21 Oktober 2013.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah330
melakukan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. Langkahlangkah semacam itu ditempuh melalui reformasi kebijakan birokrasi dengan menawarkan model ideal kebijakan dalam struktur hukum. Adapun model ideal kebijakan dalam struktur hukum yang dimaksud adalah lembaga/badan khusus tersebut hendaknya dibentuk berdasarkan perintah undangundang sebagaimana halnya lembaga negara yang lain seperti BPK, KPK, KOMNAS HAM, dan seterusnya, alasannya agar kedudukan lembaga/badan khusus tersebut memiliki landasan hukum yang kuat mengingat fungsi lembaga/badan tersebut sangat strategis dan bersifat sentralistik. Secara struktural nantinya lembaga/badan khusus tersebut dibentuk pada tiga tingkatan, yaitu tingkat pusat sebagai sentral untuk mengelola dan melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang sumber pembiayaannya berasal dari APBN bertanggung jawab kepada presiden, tingkat provinsi yang mengelola dan melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang sumber pembiayaannya berasal dari APBD provinsi dan bertanggung jawab kepada gubernur, serta tingkat kabupaten/kota yang mengelola dan melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang sumber pembiayaannya berasal dari APBD tingkat kabupaten/kota dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota.
Alasan utama perlu dibentuknya lembaga/badan khusus adalah karena kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah sepenuhnya dibebankan kepada APBN/APBD yang jumlahnya cukup besar dengan tingkat kebocorannya juga cukup tinggi setiap tahunnya.
Pemerintahan dengan segala perangkatnya sebagai pilar utama penyelenggara negara semakin dihadapkan kepada kompleksitas global. Peranannya harus mampu dan cermat serta proaktif mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi tersebut sangat memungkinkan karena aparatur berada pada posisi sebagai perumus dan penentu daya kebijakan, serta sebagai pelaksana dari segala peraturan, melalui hierarki yang lebih tinggi sampai kepada hierarki yang terendah.29
Dalam rangka menunjang distribusi kemakmuran yang merata, yang merupakan salah satu prasyarat bagi demokrasi, negara hendaknya juga memiliki sarana yang memadai untuk menjawab kebutuhankebutuhan rakyat yang sebenar nya melalui pelayanan publik. Sarana itu biasa disebut sebagai birokrasi.
29 Lijan Poltak Sinambela, op.cit., hlm. 34.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 331
Birokrasi adalah istilah yang tidak asing di telinga masyarakat. Mendengar kata birokrasi mengingatkan pada urusanurusan yang sangat menjengkelkan berkenaan dengan pengisian formulirformulir yang harus diisi berikut persyaratan yang berbelitbelit, proses yang menghabiskan banyak waktu, dan bentukbentuk aturan yang secara formalitas harus ditempuh masyarakat apabila ingin memperoleh pelayanan publik. Birokrasi merupakan sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk me
laksanakan pelayanan publik sesuai dengan aspirasi masyarakat. Birokrasi mengacu kepada suatu kelompok manusia atau para pekerja yang menjalankan fungsi tertentu yang dianggap penting oleh masyarakat. Aparat birokrasi merupakan salah satu lembaga yang melalui kegiatannya untuk mencapai suatu tujuan, dan kegiatannya disebut administrasi yang dilaksanakan dalam sebuah organisasi raksasa yang disebut negara.30
Di atas merupakan ciri ideal birokrasi, yang melaksanakan tugas melayani publik sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka bekerja melayani rakyat, dan mengutamakan kepentingan rakyat. Ciriciri dari kegiatan administrasi birokrasi antara lain adalah spesialisasi tugas di mana setiap pegawai diberikan tugas masingmasing untuk dilaksanakan, hierarki otoritas di mana pegawai harus taat pada pimpinan lembaga, badan keterampilan diartikan sebagai lembaga yang menangani pelayanan publik untuk satu bidang pekerjaan misalnya Departemen Pendidikan yang menangani masalah pendidikan, serta adanya peranperan khusus di mana peran khusus tersebut adalah adanya jabatan yang memiliki tugas tertentu disesuaikan dengan keahlian masingmasing pegawai. Stafstaf dalam birokrasi dipilih berdasarkan sistem imbalan (merit system), dalam artian jabatan yang diberikan disesuaikan dengan prestasi kerja, sehingga mereka mampu menjadi pendukung efisiensi tugastugas pelayanan publik.
Dalam negara demokratis, birokrasi diharapkan dapat menjadi alat untuk menjembatani kebijakankebijakan administratif yang diambil oleh penguasa dengan aspirasi rakyat, yang dalam hal ini hendaknya dipandang sebagai pihak yang mendelegasikan wewenang kepada penguasa itu sendiri. Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugastugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinasi secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang.
30 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 81 dan 82.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah332
Begitu halnya dengan birokrasi yang terjadi di Indonesia. Sewaktu masih dalam kandungan, seorang bayi sudah diperiksakan ke Puskesmas yang tentunya memperoleh subsidi dari pemerintah. Ketika lahir, bayi tersebut dirawat di rumah sakit (milik swasta maupun milik pemerintah) yang dokternya dididik atas biaya pemerintah, mungkin masuk ke SD, SMP, hingga ke perguruan tinggi negeri. Sementara pada saat berangkat dewasa, setiap orang membutuhkan KTP yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan melalui pengantar dari RT, RW, kelurahan, hingga sampai kecamatan. Serta kegiatan lainnya, yang membutuhkan jasa pelayanan oleh pemerintah, misalnya jasa pelayanan air minum (PAM), listrik (PLN), atau mungkin perumahan (KPR), maupun telepon. Kemudian apabila seseorang meninggal dunia, dari pihak keluarga juga harus mengurus surat kematian dari kepala desa.
Dalam kehidupan kenegaraan modern, birokrasi semakin menjadi perangkat sentral untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya landasan kekuasaan konstitusional dari birokrasi, yang awalnya merupakan pendelegasian wewenang dari rakyat. Wewenang tersebut adalah wewenang yang diberikan berdasarkan peraturan perundangundangan. Wewenang merupakan suatu kepercayaan yang diperoleh dari rakyat. Prosesnya adalah ketika rakyat memilih anggota legislatif, baik Majelis Permusyawaratan Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat, kemudian juga terbentuk lembagalembaga lainnya yang bertujuan untuk menampung berbagai bentuk kepentingan (public interest) dan keinginan rakyat.
Rakyat juga memilih seorang kepala negara untuk menjalankan roda pemerintahan. Kepala negara (presiden atau perdana menteri) adalah individu yang diserahi kekuasaan tertinggi dalam mengendalikan kebijakankebijakan negara. Di samping harus mengambil keputusankeputusan politis, kepala negara juga harus mengambil keputusankeputusan administratif.31
Keinginan rakyat untuk turut serta memilih kepala negara ini didasarkan kepada harapan agar semua aspirasi mereka lebih diutamakan. Rakyat menginginkan kepala negara yang baik, dan mampu memerintah secara adil dan bijaksana. Kepala negara sebagai perangkat eksekutif diberikan hak untuk menyusun satuansatuan organisasi negara yang lebih kecil beserta jajaran pelaksanaannya. Kepala negara atau presiden adalah pelaksana dari peraturan
31 Ibid., hlm. 91.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 333
perundangundangan yang telah dibentuk dan disahkan oleh legislatif. Departemendepartemen atau lembagalembaga eksekutif itu dijalankan oleh para administrator, sejak dari menteri, direktur jenderal, direktur, gubernur, bupati, kepala biro, hingga kepala bagian, baik yang bersifat sektoral maupun regional, yang bertanggungjawab kepada kepala negara/presiden.
Birokrasi memiliki sistem pertanggungjawaban hierarkis. Di mulai dari lembaga legislatif yang membentuk undangundang, yang pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga eksekutif. Jika pelanggaran terhadap undangundang terjadi, maka penanganan dilakukan oleh lembaga yudikatif. Untuk melaksanakan tugastugasnya, aparat birokrasi diberi kekuasaan bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada, atau yang dikenal dengan kewenangan.
Untuk menjalankan fungsi administratif tersebut, maka para birokrat mempunyai kebebasan untuk bertindak atau mengambil keputusan. Kebebasan untuk bertindak atau mengambil keputusan (discretion) itu bersumber dari rakyat, sehingga kewibawaan dan kedudukan para birokrat hanya akan bisa dijamin sejauh ia memerhatikan kepentingan dan aspirasi rakyat.
Birokrasi ini sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, dengan bentuk yang masih sangat sederhana. Meskipun dengan bentuk sederhana, semua kepentingan dan aspirasi rakyat bisa terpenuhi. Hal ini bisa dilihat pada masa peradaban Mesir Kuno, Tiongkok Kuno, Romawi Kuno, Yunani Kuno, dan sebagainya. Pada masa itu, pekerjaanpekerjaan yang bersifat pelayanan umum telah dilakukan. Sebagai contoh adalah birokrasi pada masa peradaban Mesir Kuno (Fir’aun),
di mana pada masa tersebut sudah dilakukan pengaturan air secara publik, kolektif, dan teratur oleh negara, karena berhubungan dengan faktor ekonomi dengan memanfaatkan Sungai Nil. Pola birokrasi yang dijalankan pada masa tersebut bukan untuk kepentingan rakyat banyak tetapi untuk kepentingan raja (Fir’aun) dan keluarganya, dan pola hubungan raja dan rakyatnya adalah raja (Fir’aun) menempatkan dan menganggap dirinya dewa, maka pengabdian kepadanya diidentikkan dengan pengabdian kepada dewa. Hal ini tercermin dari sistem administrasi Mesir Kuno yang dikodifikasikan, dikoordinasikan, dan dirancang untuk bergerak dengan mekanisme tertentu, dibangun untuk suatu tujuan tertentu, tidak ada satu pun kebijaksanaan yang dapat ditoleransi, serta dijalankan atas kekuatan dan paksaan.32
32 Lijan Poltak Sinambela, op.cit., hlm. 53 dan 54.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah334
Di Indonesia, fenomena birokrasi telah lama muncul sejak masa pra kolonial atau ketika masa penjajahan Belanda yang secara periodik terusmenerus berkembang dan membentuk kehidupan birokratisasi yang khas dengan bangsa Indonesia sampai saat ini. Tidak hanya birokrasi pada masa kolonial saja yang memengaruhi birokrasi di Indonesia, birokrasi pada masa Fir’aun juga memengaruhi sifat birokrasi Indonesia yang otoriter, di mana bawahan diharuskan tunduk pada perintah atasan.
Negara memerlukan entitas birokrasi untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan. Entitas birokrasi tersebut digunakan untuk mengelola perhubungan baik darat, laut, maupun udara yang efisien, membayar gaji pegawai, menyediakan sambungan telepon, membuat prasarana jalan dan jembatan, atau menyiapkan KTP, memberikan perizinan, dan lain sebagainya. Keberadaan birokrasi sampai sekarang ini, meskipun sangat dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi birokrasi juga merupakan sumber ketegangan antara warga negara dan birokrasi. Birokrasi yang panjang dan menghabiskan waktu yang lama menjadi pokok permasalahan dalam hal ini. Sebagaimana disebutkan di atas, masyarakat akan terusmenerus berurusan dengan birokrasi sepanjang hidupnya, mulai dari pencatatan kelahiran bayi, sekolah negeri, KTP, tes surat izin mengemudi, sensus penduduk, membayar pajak, surat nikah, urusanurusan kesehatan, keamanan, dan sebagainya.
Dari banyaknya kepentingan dan kebutuhan akan pelayanan publik dalam birokrasi, aparatur birokrasi menunjukkan kekurang perhatiannya (concern) terhadap kebutuhan warga negara tersebut. Untuk memperoleh pelayanan yang sederhana saja, pengguna jasa sering dihadapkan pada kesulitankesulitan yang terkadang mengadaada. Misalnya dalam pembuatan KTP harus membawa surat bukti pembayaran PBB, harus melalui RT, RW, lurah, dan kecamatan. Dalam menjalankan aktivitasaktivitas administratif tersebut, sebagian aparat sering menarik uang ekstra dari pelayanan yang diberikan kepada seorang warga masyarakat untuk kepentingan pribadi, yang dikenal dengan pungutan liar (pungli). Secara umum, pungli diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh
dan untuk kepentingan pribadi oknum petugas, dan/atau bertujuan untuk kepentingan tertentu individu masyarakat terhadap uang negara dan/atau anggota masyarakat yang dipungut secara tidak sah (tidak memenuhi persyaratan formal maupun material) dan/atau melawan hukum.33
33 Soedjono D., Pungli, Analisis Hukum dan Kriminologi, Karya Nusantara, Bandung, 1977, hlm. 39.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 335
Alasan yang digunakan oleh oknum petugas tersebut adalah untuk biaya tambahan atau karena gaji yang diterima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan alasan demikian, pada saat ini orang malah berlombalomba untuk menjadi PNS dengan mengorbankan puluhan juta bahkan ratusan juta untuk dapat menjadi seorang PNS, meskipun telah diketahui olehnya bahwa gaji yang diperoleh itu kecil. Hal yang menjadi daya tarik PNS adalah pegawai negeri yang tidak mudah untuk dipecat, pekerjaannya mudah dan mempunyai banyak waktu senggang sehingga dapat digunakan untuk jalanjalan di mall atau hanya datang duduk dan membaca koran, mendapatkan tunjangan dan pensiun, serta yang lebih penting adalah akan dengan mudah mendapatkan “tambahan” dari pelayanan yang mereka berikan kepada publik dan koneksi untuk anak atau keluarga mereka kelak yang ingin menjadi PNS.
Melihat hal di atas, korupsi sudah ada sejak perekrutan pegawai. Siapa saja yang mampu membayar dengan harga tinggi, akan lebih mempunyai kesempatan daripada mereka yang berjuang keras belajar matimatian agar diterima menjadi PNS. Calon pegawai tersebut biasanya akan memberikan “amplop” agar diberikan kepada orang yang dapat memasukkannya menjadi PNS. Meskipun tidak sesuai dengan persyaratan, mereka akan dapat dengan mudah lolos menjadi PNS. M. Jaspan mengemukakan bahwa ungkapanungkapan lain yang sudah
menjadi rahasia umum antara lain adalah salam tempel, tahu sama tahu, uang semir, uang pelicin, atau pelancar. Pada dasarnya fenomena korupsi prosedural ini terjadi karena adanya kesepakatan timbal balik antara oknum petugas dengan pengguna jasa publik untuk saling membebaskan diri dari perbuatan yang melanggar hukum dan tidak etis.34
Mencermati pendapat di atas, dapat dipahami bahwa penyelenggaraan pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrat di Indonesia, jika ditinjau historisnya tidak terlepas dari adanya masa kolonial dan masa feodal yang memengaruhi kehidupan birokrasi Indonesia saat ini. Pola perilaku birokrat warisan masa kolonial dan feodal yang memengaruhi birokrasi adalah adanya kesan di mana pejabat menempatkan diri sebagai “raja” dan bawahan harus tunduk pada “raja”, dan melakukan apa yang dikehendaki “raja”. Praktik semacam itu seharusnya tidak relevan lagi untuk diterapkan pada zaman yang sudah modern seperti sekarang ini.
34 Mochtar Lubis dan James.C.Scott, 1988, Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta, hlm. 35.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah336
Pejabat birokrasi pemerintah adalah menganggap sentra dari penyelesaian urusan masyarakat, rakyat sangat tergantung pada pejabat ini, bukannya pejabat yang tergantung pada rakyat. Pelayanan birokrasi kepada rakyat, bukan diletakkan pada pertimbangan utama, melainkan pada pertimbangan yang kesekian.35
Para pejabat birokrasi sekarang ini merasa mereka sangat dibutuhkan oleh rakyat sehingga bertindak sesuka hati tanpa memikirkan kepentingan publik. Mereka lupa bahwa kekuasaan yang dimiliki itu bersumber dari kepercayaan rakyat kepadanya untuk memimpin mereka menuju kesejahteraan dan ke mak muran. Akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Kekuasaan telah membutakan mata hati mereka. Kebijakankebijakan yang dikeluarkan tidak dilan dasi untuk kepentingan masyarakat tetapi dengan pertimbangan pribadi yang menguntungkan dirinya sendiri, yang pada akhirnya muncul tindakan koruptif dari para pejabat birokrat. Benar apa yang diungkapkan oleh Lord Acton. Hampir dua abad yang lalu,
Lord Acton (John Emerich Edward Dalberg Acton) dalam suratnya kepada Bishp Mandell Creighton menulis sebuah ungkapan yang menghubungkan antara korupsi dengan kekuasaan, yakni: “power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutely”, bahwa kekuasaan cederung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut.36
Kekuasaan yang besar diikuti pertanggungjawaban yang besar pula. Pertang gungjawaban atas kekuasaan yang diperolehnya, yakni kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rakyat yang telah memilihnya. Perkembangan korupsi yang terjadi saat ini, bukan hanya karena ada celah dalam peraturan perundangundangan untuk melakukan korupsi, tetapi juga sistem penyelenggaraan negara yang tidak ditata dan tidak diawasi dengan baik.
Faktanya bahwa birokrasi yang ada saat ini, ternyata tidak lagi menempatkan dirinya sebagai fungsi pelayanan publik yang sesungguhnya melainkan hanya formalitas saja yang mensyaratkan adanya sejumlah prosedur yang harus ditempuh, akan tetapi dalam praktiknya justru prosedur yang sudah ditetapkan seringkali tidak dijalankan sepenuhnya bahkan kadang diabaikan oleh para
35 Ibid., hlm. 54.36 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Kajian
Yuridis UURI No. 31 Tahun 1999 juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001 Versi UURI No. 30 Tahun 2002 juncto UURI No. 46 Tahun 2009, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 1.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 337
birokrat itu sendiri. Akibatnya prosedur tidak berjalan efektif bahkan tidak sedikit ditemukan terjadi penyimpangan prosedur dalam menangani dan menye lesaikan pelayanan kepada publik, begitu pula dengan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah, misalnya pada ketika pekerjaan pengadaan barang/jasa pemerintah telah selesai dan dilakukan penyerahan barang/jasa seringkali tidak dilakukan pemeriksaan secara fisik di lapangan, melainkan hanya dengan mendasarkan pada berita acara pemeriksaan barang/jasa yang sengaja dibuat hanya untuk memenuhi persyaratan formal, akibatnya ketika dilakukan audit berupa pemeriksaan fisik, pada hasil pekerjaan pengadaan barang ditemukan penyimpangan karena ketidaksesuaian antara dokumen yang tertulis dalam berita acara, dengan faktafakta fisik yang terdapat di lapangan juga tidak sesuai dengan spesifikasi yang terdapat dalam kontrak akibatnya negara dirugikan. Jadi, fungsi birokrasi tidak berjalan dengan optimal.
Tjokrowinoto menyatakan ada empat fungsi birokrasi, yaitu:37
1. fungsi instrumental, yaitu menjabarkan perundangundangan dan kebijak sanaan publik dalam kegiatankegiatan rutin untuk memproduksi jasa, pelayanan, komoditi, atau mewujudkan situasi tertentu;
2. fungsi politik, yaitu memberi input berupa saran, informasi, visi, dan profesionalisme untuk memengaruhi sosok kebijaksanaan;
3. fungsi katalis public interest, yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan publik dan mengintegrasikan atau menginkorporasikannya di dalam kebijaksanaan dan keputusan pemerintah; serta
4. fungsi entrepreneurial, yaitu memberi inspirasi bagi kegiatankegiatan inovatif dan nonrutin, mengaktifkan sumbersumber potensial yang idle, dan menciptakan resource mix yang optimal untuk mencapai tujuan. Harusnya birokrasi di Indonesia melaksanakan fungsifungsi birokrasi di
atas. Dalam fungsi instrumental, maka birokrasi harus berjalan sesuai aturan. Dalam fungsi politik, maka birokrasi dapat menjadi informan bagi pemerintah yang bersumber dari keluhankeluhan masyarakat untuk dicari upaya penyelesaiannya. Fungsi katalis public interest, dimaksudkan setelah ada upaya penyelesaian atas keluhankeluhan yang menjadi aspirasi masyarakat tersebut, birokrasi tidak hanya mewujudkannya dalam bentuk kebijakan, tetapi juga melaksanakan kebijakan tersebut di lapangan. Fungsi entrepreneurial ini mengharapkan birokrasi untuk aktif dan kreatif berperan serta untuk me wujudkan kesejahteraan masyarakat.
37 Feisal Tamin, op.cit., hlm. 64.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah338
Tidak seperti sekarang ini di mana birokrasi pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia masih mengikuti birokrasi yang berorientasi kekuasaan, seperti di zaman kerajaan, serta mengikuti birokrasi kekuasaan pemerintahan penjajahan yang berorientasi pada penindasan dan pembodohan kepada rakyat, yang dieksploitasi hanya untuk kepentingan pribadi dan kelangsungan kekuasaannya.
Dalam birokrasi kekuasaan tersebut, rakyat tidak menjadi objek untuk disejahterakan, tetapi hanya sebagai pelengkap penderita atau korban untuk mewujudkan birokrasi yang berorientasi pada kekuasaan. Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, rakyat diharuskan membayar dan memberikan upeti kepada penguasa atau raja. Birokrasi pada zaman penjajahan dan kerajaan, hanya memerlukan loyalitas dan pengabdian yang tinggi pada kekuasaan, untuk kepentingan para pemegang kekuasaan itu sendiri, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepentingan rakyat dan moralitas. Kepentingan rakyat dikesampingkan. Para birokrat tidak memerlukan gaji dan tidak hidup dari gaji yang diterimanya, tetapi yang diperlukan adalah kekuasaan. Bagi mereka, kekuasaan akan memberikan kekayaan, bahkan kalau perlu mereka akan mem bayar untuk mendapatkan kekuasaan itu.
Birokrat pemerintahan penjajahan dan kerajaan, kehidupannya bergantung pada kekuasaan yang dipegangnya, dan atas dasar kekuasaannya pula mereka mendapatkan pelayanan dari rakyatnya. Kekuasaan untuk mengatur dan menentukan segala aspek kehidupan rakyat, dan rakyat kemudian harus membayarnya. Jika tidak, rakyat akan mendapatkan kesulitan dalam mengembangkan kehidupannya.38
Kehidupan birokrat yang tergantung pada kekuasaan tersebut, membuat mereka menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan dan memper tahankannya. Kehormatan dan kewibawaan diperoleh bukan dari personality yang dimiliki, tetapi karena kekuasaan yang ada di tangan mereka untuk disegani oleh rakyat. Bagi mereka kekuasaan memberikan segalanya, rakyat akan tunduk dan mengikuti apa yang diinginkannya.
Birokrasi pemerintahan pasca kemerdekaan, terlebih di era globalisasi saat ini seharusnya dapat mengubah diri, bukan lagi menjadi birokrasi yang berorientasi pada kekuasaan dan pembodohan pada rakyat, tetapi birokrasi yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada rakyat. Jadi rakyat tidak lagi
38 Ibid., hlm. 72 dan 73.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 339
ditempatkan menjadi objek birokrasi kekuasaan, tetapi rakyat menjadi subjek kekuasaan. Bukan hanya rakyat atau bawahan yang harus memiliki loyalitas tinggi, tetapi para birokrat juga harus memilikinya, bukan loyal pada kekuasaan. Para birokrat harus mempunyai tujuan untuk mewu judkan kesejahteraan rakyat. Dengan sikap yang demikian, maka tingkat kesejahteraan rakyat akan meningkat, dan rakyat memberikan timbal balik pada birokrat dengan mematuhi semua kebijakan yang dikeluarkan. Misalnya rakyat akan dengan sukarela membayar pajak tanpa ada keluhan. Birokrasi yang berorientasi pada pelayanan publik, akan membuat rakyat mendapatkan pelayanan yang lebih baik, baik yang berkaitan dengan kesehatan, pendidikan, maupun kesejahteraan kehidupan sosialnya. Akan tetapi melihat birokrasi yang ada selama ini, budaya birokrasi di Indonesia belum berubah dan masih tetap berorientasi pada kekuasaan dan pembodohan kepada rakyat.
Seorang pegawai negeri dibayar sangat murah, demikian pula pejabatnya. Oleh karena itu, pada umumnya pegawai negeri dan para birokrat lembaga pemerintahan, terutama di kotakota besar, untuk menopang kehidupannya yang tidak dapat dicukupi dan dibiayai oleh gajinya, maka mereka mencari tambahan dengan melakukan pekerjaan sambilan dan objekan, dan yang lebih parah lagi, para birokrat menciptakan bisnis kekuasaan di dalamnya, baik yang berkaitan dengan peraturan dan perizinan maupun dengan proyekproyek pembangunan yang dibuatnya.39
Fenomena sosial memperlihatkan betapa anehnya banyak orang yang bersedia membayar untuk menjadi pegawai negeri, apalagi untuk menjadi pejabat, meskipun dibayar murah, karena ternyata kekuasaan baginya akan men datangkan kekayaan yang lebih besar daripada gaji yang diterimanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di kantorkantor pemerintahan, kegiatannya kebanyakan berkaitan dengan pekerjaan proyek yang menjadi objekan para pegawai dan pejabatnya, sedangkan di kantorkantor pelayanan yang menjadi ajang bisnisnya adalah pelayanan itu sendiri. Semakin cepat dan istimewa pelayanannya, menjadi semakin mahal pula tarifnya. Akibatnya, birokrasi dan jumlah pegawai negeri makin besar jumlahnya, bukan karena kebutuhan untuk melayani rakyatnya, tetapi untuk menyelenggarakan proyekproyek pemerintah yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.
39 Ibid., hlm. 73 dan 74.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah340
Untuk menyelenggarakan dan membiayai proyekproyek pemerintah, membutuhkan dana yang tidak sedikit. Jika dalam anggaran negara, tidak mencukupi untuk membiayai proyek tersebut, maka dibuatlah proposal untuk mendapatkan dana pinjaman dari luar negeri, dan pada akhirnya menjadi utang negara dan rakyat pula yang kemudian harus melunasinya. Gengsi dan popularitas juga sudah menjangkiti para pejabat/birokrat. Seorang pejabat akan semakin bergengsi jika birokrasinya mendapatkan proyekproyek yang besar dananya, dan di pusat kekuasaan birokrasi, proyek itu akan berkembang menjadi bisnis yang besar dan menguntungkan, yang sarat akan muatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Di samping itu, birokrasi kekuasaan menjanjikan kehidupan yang lebih enak, bukan hanya karena kekayaan yang diperoleh dari bisnis proyeknya, tetapi juga penghormatan dari semua staf berikut pelayanan yang istimewa untuk mengurusi semua keperluannya, dan itu ditanggung oleh pemerintah. Dari satu upacara ke upacara diadakan hanya untuk menyakralkan kekuasaan,
sehingga muncul kebanggaan dan rasa senang yang aneh, yang kemudian menjadi kebutuhan hidupnya untuk selalu dihormati dan dilayani atas dasar kekuasaan. Akibatnya, kekuasaan menjadi segalagalanya, menjadi tujuan hidup, dan ketika kekuasaan sudah tidak di tangannya lagi, maka jatuhlah seluruh kehidupannya, bahkan kesehatannya pun ikut melorot tajam, hal ini dikenal dengan post power syndrom, di mana para pemegang kekuasaan belum dapat menerima keadaan di mana mereka sudah tidak berkuasa lagi. Suatu penyakit yang sering menjangkiti para birokrat setelah tidak berkuasa lagi.40
Penghormatan dan pelayanan istimewa atas dasar kekuasaan sudah menjadi tradisi dalam birokrasi kekuasaan, maka mereka akan matimatian mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya, seperti membangun dinasti kekuasaan yang para birokratnya berasal dari lingkup keluarga, sehingga koneksi mereka dalam pemerintahan tidak akan terputus.
Birokrasi kekuasaan pada dasarnya lahir dari adanya konflik kepentingan. Terjadi perdebatan dalam diri birokrat, apakah dia akan setia menjalankan perintah undangundang atau lebih memilih kepentingan pribadinya. Perekrutan pada pegawai pemerintah yang salah, akan memberikan hasil yang tidak baik. Jika rekruitmen dilaksanakan berdasarkan persuratan tanda adanya
40 Ibid., hlm. 75.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 341
toleransi, maka kondisi the right man on the right place akan dapat tercipta. Akan tetapi, karena dalam pelaksanaan tugastugas dan kewenangan yang diberikan telah tercampur dengan adanya kolusi dan nepotisme, maka kondisi tersebut tidak bisa diterapkan sepenuhnya.
Tidak heran kalau masyarakat begitu peka dengan istilah birokrasi. Masyarakat selalu berpikir negatif apabila telah mendengar kata birokrasi, karena bagi mereka birokrasi itu identik proses atau prosedur administrasi yang berbelitbelit, lama, dan mahal pula. Hal yang mudah selalu dipersulit dengan alasanalasan yang tidak lazim. Hal yang harusnya dapat diselesaikan dalam waktu satu hari tetapi selesai sampai berharihari. Tatkala berhadapan dengan birokrasi publik, para warga negara sebagai pengguna jasa lebih sering harus mengalah karena biar bagaimanapun merekalah yang membutuhkan layanan. Betapapun buruknya pelayanan yang diberikan, masyarakat sadar bahwa mereka harus bersabar dengan perilaku aparat yang angkuh tersebut.
H. Hariyoso merangkum pemikiran dari beberapa pakar baik dalam maupun luar negeri dalam pelaksanakan birokrasi yang merupakan warning yang mengindikasikan adanya harapan positif untuk dilakukan perbaikan, yakni sebagai berikut.41
1. Friedrich and Mason Birokrasi yang tidak bertanggung jawab (irresponsible bureaucracy), dalam
hubungannya dengan ketidakbecusan mengurus mandat legislatif dalam eksekusi ketetapanketetapan yang telah digariskan.
Di sini birokrasi telah gagal melaksanakan pelayanan publik berdasarkan aturan yang berlaku. Kegagalan tersebut karena tidak dapatnya birokrat melaksanakan fungsinya dengan baik sebagai pelayanan masyarakat. Pelaksanaan kebijakan yang menjadi dasar birokrasi untuk menjalankan fungsinya melenceng jauh dari aturan yang seharusnya, baik dikarenakan karena ketidaksengajaan atau kesengajaan.
2. Niskaren Birokrasi arogan dan birokrasi salah urus (arrogant bureaucracy and
bureau cratic fallacy), mengacu pada reputasi kemasyarakatannya dalam rangka kapabilitas penyajian alokasi dan pelayanan jasajasa publik (public
41 Ibid., hlm. 65.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah342
goods) serta salah urus dalam penanganan proses kebijakan (policy process) bertalian dengan penyajian produk demokrasi. Birokrasi yang arogan ini adalah birokrasi yang berorientasi pada ke kuasaan belaka. Birokrat tidak mau melayani masyarakat, tetapi ingin dilayani masyarakat. Mereka menginginkan adanya penghormatan ber lebih dari rakyat, karena mereka berpikir rakyatlah yang membu tuhkan mereka. Birokrat tidak melaksanakan aspirasi rakyat yang telah tertuang di dalam kebijakan yang telah dibuat. Sifat yang seperti ini akan menghancurkan kepercayaan rakyat.
3. Gay Birokrasi yang tidak etis (unethical bureaucracy), diidentifikasi kejelekannya
atas dasar tolak ukur pelaksanaan etika dalam manajemen (ethical conduct of management) dan kultur birokratik dalam konteks orientasi pelayanan kepada publik yang berdaulat (orientation towards sovereign consumer) dalam penunaian pengabdian manajemen publik kontemporer.
Birokrasi ini ditandai dengan kegagalannya dalam manajemen birokrasi (internal) dan dalam memberikan pelayanan kepada publik. Pelayanan yang diberikan sangat buruk, tidak sesuai dengan etika dan aturan yang telah ditetapkan. Pelanggaranpelanggaran sering terjadi dalam birokrasi ini.
4. Harianja Birokrasi pongah, dikaitkan dengan kinerja yang kurang menanggapi dan
memfasilitasi isu dan praktik demokratisasi pemerintahan untuk me nanggapi kepentingan rakyat.
Dalam birokrasi ini, para birokrat dan pegawai tidak memberikan pelayanan yang baik dan tidak menanggapi keinginan rakyat. Mereka bekerja untuk diri mereka sendiri, dan tidak peduli dengan kepentingan rakyat, dan cenderung mengabaikannya.
5. Shafritz dan Russel Shafritz dan Russel telah mengindikasi keberadaan gejalagejala birokrasi
yang impersonal, malas, dan disfungsional (bureaucratic impersonality, bureaucratic inertia and bureaucratic disfunctional) yang memerlukan pembenahan berkelanjutan dalam mekanismenya untuk menangani proses kebijakan publik secara arif (continuous reinventing machinery of governance in the good policy process).
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 343
Pada birokrasi ini, para birokrat dan pegawai bekerja secara individu dan hanya untuk kepentingan pribadinya. Mereka malas untuk bekerja sama dan tidak kreatif dalam menjalankan tugasnya. Birokrasi ini akhirnya tidak berfungsi sama sekali, dan memerlukan perbaikan yang luar biasa agar dapat menjalankan kebijakan publik dengan baik dan benar.Dari pendapat para pakar birokrasi tersebut, penulis berpendapat bahwa
birokrasi sangat erat kaitannya dengan pemerintahan, dan pemerintahan yang tidak dapat dipisahkan dengan kekuasaan. Untuk meraih kekuasaan melalui proses politik yang panjang di dalamnya memerlukan pengorbanan berupa materiil maupun moril. Birokrasi bagi mereka yang ada di dalamnya merupakan lahan yang bagus untuk mendapatkan keuntungan.
Birokrasi pemerintahan Indonesia saat ini adalah warisan dari birokrasi pada masa pemerintahan sebelumnya, yakni warisan dari zaman kerajaan, penjajahan Belanda dan Jepang, Orde Lama, serta Orde Baru. Birokrasi pemerintah berkembang dengan struktur dan jumlah pegawai yang besar, yang ditandai dengan meningkatkan rekruitmen CPNS setiap tahunnya. Peran birokrasi menjadi sangat besar. Birokrasi tidak hanya memberikan kontribusi di dalam setiap pembuatan dan pelaksanaan kebijakan, tetapi juga sebagai penggerak administrasi pemerintahan, serta pengendali dan pelaksana program pembangunan. Orientasi birokrasi saat ini, lebih dekat dengan politik pemerintah.
Birokrasi pada masa Orde Baru yang bersifat sentralistik dan terpusat, berhasil menjadikan birokrasi sebagai instrumen pemerintahan yang sangat handal, loyal, berdedikasi, dan terpercaya untuk menjalankan misi politik peme rintah. Di sisi lain, birokrasi tidak lepas dari patologi korupsi dan penyakit kronis administrasi lainnya.
Birokrasi tersebut berjalan dan meninggalkan kebiasaan meminta imbalanimbalan material yang cenderung mengarah pada tindakan korupsi. Secara umum korupsi dipahami sebagai suatu tindakan pejabat publik yang menye lewengkan kewenangan untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni dan kelompok yang mengakibatkan kerugian negara.
Birokrasi mengalami disfungsi yang membuat birokrasi tidak tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dan tidak memedulikan kepentingan masya rakat. Disfungsi birokrasi tersebut disebabkan antara lain oleh tidak jelasnya tujuan yang hendak dicapai, penetapan struktur terlebih dulu daripada perincian fungsinya karena perincian fungsi ditetapkan atas dasar otoritas dan kekuasaan, serta spesialisasi
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah344
tugas dan kemampuan dari aparat atau pegawai yang tidak sesuai dengan fungsi dan struktur yang ada akibat dari adanya nepotisme, patronase, dan spoil system (mutasi yang didasarkan atas landasan kekeluargaan, dan biasanya dilakukan dengan pertimbangan atas rasa suka atau tidak suka.
Birokrasi sekarang ini telah tersusupi oleh kepentingankepentingan pribadi para birokrat, sehingga birokrasi bukan menjadi pelayan masyarakat, tetapi mereka lebih cenderung minta dilayani oleh masyarakat. Birokrasi sangat diharapkan menjadi organisasi yang efisien dan efektif dalam kaitannya dengan memberikan pelayanan kepada publik, tetapi kenyataannya birokrasi sering menjadi penyebab ketidakefisienan dan ketidakefektifan dengan adanya gejala pita merah. Kekuasa an yang diberikan kepada aparatur birokrasi kerap kali diselewengkan, mereka meng anggap dirinya kekuasaan tak terbatas dan dapat bertindak sesuai dengan keinginannya. Ketidakpeduliannya terhadap nasib rakyat dan negaranya, menimbulkan sikap sok kuasa dan mau menang sendiri. Sikap arogansi birokrat yang seperti ini akhirnya sering bermuara pada penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Kelemahan lain dalam tata kerja birokrasi di Indonesia adalah biro krasi kurang
terlibat dalam pembuatan kebijakan, dan ini membuktikan kecen de rungan umum untuk memisahkan lingkup administrasi dengan lingkup politik. Kurang terlibatnya birokrasi dalam pembuatan kebijakan mengakibatkan kurangnya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan keputusan. Pada saat yang sama ternyata kontrol dari kekuatan sosial politik belum mempan untuk mengendalikan kebijakankebijakan birokrasi, sehingga birokrasi tumbuh menjadi the single authortarian, kecuali itu terdapat pula indikasi bahwa birokrasi lebih memihak kepada salah satu kekuatan politik. Ini menimbulkan kesan bahwa birokrasi tidak mau dikontrol dan dasar pelayanannya tidak objektif. Akibat selanjutnya ialah bahwa birokrasi menjadi tidak sehat dan tidak responsif lagi.42 Birokrasi yang tugas utamanya adalah memberikan pelayanan kepada
publik, yang secara langsung mengetahui apa yang diinginkan oleh publik harus diikutsertakan dalam pembuatan kebijakan. Jangan hanya bertindak sebagai pelaksana kebijakan saja. Birokrasi akan merasa tidak dianggap dan hanya digunakan untuk kepentingan politik saja. Oleh karena itu, mereka memberontak dengan tidak memberikan pelayanan yang maksimal.
42 Miftah Thoha, Makalah Kongres V HIPIIS, 1990, ibid., hlm. 293 dan 294.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 345
Birokrasi masih memandang kekuasaan sebagai subjek sentral, sehingga mereka hanya akan terpaku dengan status jabatan dan kewenangan yang dimilikinya sekarang. Kelemahan lain adalah banyak instansi pemerintah yang masih menyimpan dan memelihara pegawai yang tidak produktif, dalam artian tidak ada tugas dan fungsi mereka di dalam organisasi, jadi hanya nama saja yang ada tetapi tidak ada job descriptionnya Ada juga pegawai yang melakukan pekerjaan yang sebenarnya bukan pekerjaannya dilihat dari jabatan atau uraian tugasnya. Penyebabnya adalah kurang efektifnya untuk menganalisis kemampuan untuk disesuaikan dengan jabatan dalam birokrasi. Sesungguhnya peraturan yang menggariskan tentang analisis jabatan dalam birokrasi sudah ada, antara lain Pasal 56 UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai berikut.(1) Setiap instansi pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan jenis
jabatan PNS berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja.(2) Penyusunan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan.
(3) Berdasarkan penyusunan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS secara nasional.Menurut S.P. Siagian bahwa ada beberapa masalah yang sering menjadi
keluhan publik terkait pelayanan birokrasi pemerintahan oleh aparat, di antaranya dapat disebutkan:43
1. memperlambat proses penyelesaian pemberian izin;2. mencari berbagai dalih, seperti kekuranglengkapan dokumen pendukung;3. alasan kesibukan melaksanakan tugas lain;4. sulit dihubungi;5. senantiasa memperlambat dengan menggunakan katakata ”sedang diproses”.
Menurut penulis, keluhan publik terkait pelayanan birokrasi pemerintah saat ini sudah menjadi rahasia umum. Keluhan publik tersebut merupakan efek pita merah. Ujungujungnya adalah meminta imbalan dari pelayanan yang sudah diberikan, padahal biaya untuk jasa pelayanan tersebut sudah ditentukan.
43 S.P. Siagian, Patologi Birokrasi, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 39 dalam Lijan Poltak Sinambela, op.cit., hlm. 36.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah346
Akuntabilitas publik birokrasi terhadap kinerjanya dapat dinilai telah gagal. Kegagalan untuk mempertanggungjawabkan fungsinya telah melahirkan krisis kepercayaan, ekonomi, sosial budaya, moneter, politik, hukum, keadilan, serta krisis mental dan moral para birokrat dan serta integrasi bangsa. Terlebih lagi, tindakantindakan birokrasi yang sarat akan korupsi, kolusi, dan nepotisme membuat rakyat tidak lagi bersimpati kepada pejabat publik. Krisis yang terjadi pada zaman Orde Baru, sampai saat ini telah menimbulkan banyak krisis di segala aspek kehidupan, dan membuat bangsa ini menjadi semakin terpuruk.
Jabatan dalam birokrasi menjadi lahan investasi para birokrat. Jabatan yang tinggi akan memberikan kekuasaan yang tinggi pula. Makin tinggi jabatannya, makin banyak pula yang membutuhkan, panjang deretan meja harus dilalui, makin lama waktu yang diperlukan, semakin tinggi derajat statusnya, tentu saja akan semakin tinggi dan mahal pula harganya. Semakin banyak dibutuhkan orang, semakin besar pula keangkuhannya, ini berarti birokrasi adalah “uang”. Jabatan dalam birokrasi disebut lahan investasi karena begitu seseorang ingin menjadi birokrat atau pejabat atau PNS, begitu masuk, pendaftaran, proses, penerimaan, naik pangkat, dan menduduki sebuah jabatan, sudah harus membayar. Proses yang dilaluinya membutuhkan adalah biaya, dan sejumlah uang yang telah dibayarkan itu harus kembali lagi berikut bunganya.
Birokrasi menjadi angkuh dalam memberikan pelayanan. Keangkuhan birokrasi tersebut dibuktikan dengan pemberian pelayanan dengan tidak baik dan kasar kepada masyarakat atau ketika melaksanakan tugas wewenangnya itu para birokrat tidak mempertanggungjawabkan perilakunya kepada masyarakat secara hukum, dan cedenrung menyalahgunakan kekuasaannya.
Perilaku birokrasi yang menyalahgunakan kekuasaan dan menjalankan secara berlebihan dan/atau menjalankan kekuasaan di luar wilayah kekuasa annya, baik selama ia menjalankan tugas dinasnya maupun sedang tidak menjalankan tugas dinasnya, itupun bentuk keangkuhan birokrasi. Penyalahgunaan kekuasaan atau pelampauan wewenang tugas dinas yang dipercayakan kepadanya dapat melalui intervensi maupun melalui ekspansi.44
1. Intervensi Intervensi dalam konteks ini adalah memasuki ranah kekuasaan lain di
luar kekuasaan dan kewenangannya melalui pengaruh (influence) serta kewibawaan (authorithy), misalnya melalui telepon, surat sakti, dan seba gai
44 Ibid., hlm. 120.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 347
nya. Intervensi terutama dilakukan oleh ABRI ke ranah wilayah kekuasaan sipil, atau oleh kekuasaan eksekutif ke ranah kekuasaan legislatif dan yudikatif.
2. Ekspansi Ekspansi adalah memasuki ranah kekuasaan lain dengan menempatkan
pejabat atau orang kepercayaannya di ranah yang telah dikuasainya itu. Misalnya seorang kolonel ditempatkan menjadi bupati, jenderal menjadi gubernur, direktur sebuah BUMN yang “basah” (banyak uangnya), seseorang yang sudah pensiun dipekerjakan terus dengan alasan dwifungsi, tanpa memerhatikan hak warga negara lainnya. Intervensi kekuasaan memberikan peluang dan memungkinkan mereka
melakukan ekspansi atau perluasan kekuasaannya ke berbagai aspek kehidupan, sehingga perlu adanya pembatasan melalui mekanisme kontrol seperti yang diuraikan Montesquieu dengan Trias Politica atau Caiden dengan teori tiga dimensi birokrasinya, yaitu responsibility (otoritas untuk melaksanakan kebijakan), liability (kewajiban), dan accountability (tanggung jawab melak sanakan kewajiban).
Perilaku dan keputusan birokrasi yang terjadi selama masa Orde Baru masih berlaku sampai saat ini. Meskipun pada tataran kebijakan sudah ada perubahan yang disesuaikan dengan semangat reformasi, namun pada tataran norma perlu ada pembenahan, sedangkan pada tataran perilaku perlu ada reformasi lanjutan, sebab warisan masa lalu belum terkikis sama sekali dalam reformasi yang telah digulirkan.
Perubahan pada tataran kebijakan sudah dilakukan sejak rakyat menolak perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta komitmen moral dan kasih dari para pimpinan tertinggi negeri seperti ketua MPR, ketua DPR, presiden, wakil presiden, dan jaksa agung. Perubahan pada tataran norma sudah dilakukan melalui amandemen atau perubahan beberapa pasal dari UUD 1945, undangundang, peraturan pemerintah, serta Keppres, walaupun belum tuntas.
Akan tetapi, pada tataran perilaku para birokrat pelaksana baik di pusat sampai ke bawah belum terlihat ada perubahan yang signifikan, malah cenderung berperilaku koruptif. Secara tidak langsung diakui kultur organisasi yang merasa superior itu
bahwa kontrol, ganjaran, hukuman, karier, promosi, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang, serta ketakutan selalu saja terjadi dalam
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah348
setiap struktur organisasi birokrasi modern yang dibentuk. Ini merupakan ciri khas birokrasi yang bersifat universal telah melahirkan keangkuhan para pemegang peran dalam birokrasi. Alasan klise yang sering diberikan jika para pelaksana birokrasi dalam setiap kesalahannya ialah “kami hanya bawahan atau saya hanya pelaksana”. Dengan mengatakan demikian, berarti dia melimpahkan kesalahan itu kepada organisasi dan lari dari tanggung jawab.45
Proses untuk menjadi pejabat birokrasi yang cenderung otoriter tersebut, tidak akan pernah bisa berubah jika tidak dilakukan reformasi secara besarbesaran. Kesalahan atau penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai akan berlindung atas nama peraturan dan atasan. Hal tersebut karena sifat pasif mereka yang tidak dapat lepas dari otoritas kekuasaan. Dalam kelemahan struktur birokrasi yang demikiannya parahnya, tentunya akan berpengaruh juga dalam pelaksanaan kegiatan internal birokrasi, dalam hal ini adalah pengadaan barang/jasa pemerintah. Otoritas kekuasaan membuat pejabat bersikap sewenangwenang dan cenderung menyalahgunakan kewenangannya. Sistem rekruitmen pegawai yang tidak sesuai dengan peraturan, yang menjadi awal rusaknya struktur birokrasi. Penerimaan pegawai yang tidak berdasarkan kemampuan dan keahlian, dan hanya berdasarkan nepotisme, akan mengakibatkan kinerja yang buruk. Apalagi dalam penunjukan jabatan yang tidak sesuai dengan prestasi kerja.
Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, pejabat dengan otoritas kekuasaannya dapat menentukan kebijakan dengan mempertimbangkan kepentingan pribadi untuk mencari keuntungan. Misalnya institusi negeri yang mengadakan tender mesin untuk praktik mahasiswa. Pimpinan instansi yang nantinya menjadi salah satu pejabat atau panitia pengadaan. Pimpinan tersebut belum tentu mengetahui spesifikasi mesin yang dibutuhkan. Dengan pengetahuannya yang minim dan tidak diikuti dengan penelitian di lapangan terkait dengan spesifikasi maupun harga mesin, dimanfaatkan oleh rekanan yang lebih tahu mengenai spesifikasi mesin tersebut berikut harganya. Ketidaktahuan pimpinan akan menimbulkan permasalahan dan dapat diduga melakukan tindak pidana korupsi. Begitu juga dengan panitia lain, mereka juga belum tentu mengetahui spesifikasi barang yang dibutuhkan. Dari struktur birokrasi dalam institusi tersebut, terutama dalam SDM nya tidak menguasai aturan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, sehingga orang yang tidak tahumenahu tentang proses pengadaan barang/jasa ditunjuk
45 Ibid., hlm. 121 dan 122.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 349
sebagai pejabat atau panitia pengadaan. Meskipun tidak ada niat untuk mengambil keuntungan, tetapi jika ada sedikit penyimpangan dalam penggunaan anggaran, orang tersebut harus bertanggung jawab.
C. ALASAN BUDAYA: LEMAHNYA INTEGRITAS DAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)
Di antara begitu banyak penyebab korupsi dalam birokrasi pemerintah, terkait dengan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah, salah satunya adalah sistem anggaran. Korupsi terjadi karena lemahnya integritas dan kualitas panitia pengadaan barang/jasa pemerintah didukung dengan sistem anggaran negara yang mendorong orang untuk melakukan korupsi. Anggaran adalah rencana, dan karena hanya sebuah rencana, maka pelaksanaannya pastilah sulit untuk bisa 100% persis. Bahwa dalam pelaksanaan pasti ada perubahan, inilah yang tidak diberi ruang oleh sistem anggaran. Kalaupun tersedia ruang untuk perubahan, perubahan itu sendiri membutuhkan prosedur yang sulit dan terutama waktu yang lama. Menunda pelaksanaan rencana untuk menunggu disetujuinya perubahan akan berarti tidak berjalannya kegiatan. Kalau uang itu adalah pinjaman, berarti harus membayar bunga tanpa memperoleh hasil. Kalau uang itu milik sendiri, juga tetap rugi karena telah mengecewakan banyak orang dengan tidak adanya atau malah batalnya kegiatan.
Anggaran harus diubah karena apa yang diprediksikan pada waktu menyusun rencana dahulu tidak terjadi pada masa kini, ketika rencana itu diimplementasikan. Misalnya dalam pengadaan mesin peralatan pendidikan dan laboratorium di institusi pendidikan negeri, dan dianggarkan bahwa harga mesin bor (boring machine) Rp649.000.000,00/set dengan kualitas yang paling baik. Pada saat pembelian, harga menjadi Rp670.000.000,00 dengan kualitas yang sama. Ada harga mesin di bawah Rp670.000.000,00 dengan kualitas yang rendah. Mestinya anggaran diubah. Dalam sistem anggaran hal itu, sangat sulit dilakukan perubahan. Tanpa adanya penelitian di pasaran untuk menetapkan harga terendah dari barang tersebut, akan mengalami kesulitan, karena harga sewaktuwaktu bisa berubah. Permasalahannya, anggaran sudah ditetapkan, dan jika anggaran itu berasal dari pinjaman, maka harus bertanggung jawab kepada pihak pemberi pinjaman. Menunggu perubahan akan memakan waktu lama. Jika mesin yang dibutuhkan adalah 10 set, maka kenaikan anggaran menjadi lebih banyak. Rekanan pun juga tidak mau mengalami kerugian. Jika
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah350
dibelikan dengan harga Rp670.000.000,00/set, pastinya tidak ada 10 set mesin yang dapat terbeli, pada akhirnya dibelikan dengan mesin yang kualitasnya di bawah harga Rp670.000.000,00. Padahal laporan yang dibuat harus sesuai anggaran, dan akhirnya akan meminta distributor untuk membuatkan kuitansi fiktif, yaitu misalnya mesin yang yang harganya di bawah Rp670.000.000,00 di dalam kuitansi ditulis Rp670.000.00,00. Jadi spesifikasi barang tidak sesuai dengan kontrak.
Ada juga di mana anggaran yang diberikan tidak sesuai atau nilai anggaran itu dari pusat terlalu kecil atau “tidak masuk akal”. Sebagai pelaksana proyek yang harus menggunakan anggaran tersebut harus mendapatkan barang/jasa tersebut sesuai dengan anggaran yang diberikan, sehingga terpaksa melakukan tindakan korupsi.
Melihat contoh tersebut, dapat dsimpulkan bahwa korupsi itu bisa terjadi bukan karena ingin memperkaya diri sendiri, melainkan karena sistem atau lingkungan mengkondisikan atau bahkan mengharuskan untuk berbuat korup, dan sistem itu terbentuk oleh sifat dari individuindividu di dalamnya.
Contoh lain adalah mengenai masalah perizinan. Dengan red tapenya, birokrasi mempersulit untuk memperoleh perizinan. Lamanya waktu untuk menyelesaikan sebuah perizinan digunakan sebagai alasan untuk membayar lebih dari harga normal. Termasuk dalam hal pengadaan barang/jasa pemerintah. Untuk mendapatkan tender pemerintah, tak ayal pengusaha harus mengeluarkan sejumlah uang untuk memenangkan tender.
Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, kedudukan pengusaha dapat adalah sebagai mitra yang berada di bawah birokrat atau pejabat dalam hal bisnis pemerintah. Birokrasi yang masih berorientasi pada kekuasaan dan berlaku sampai sekarang ini, maka orangorang yang berada di bawah para pejabat, harus menyetorkan “upeti” kepada pejabat di atasnya. Jadi, agar pengusaha tersebut keinginannya dapat terpenuhi, seperti halnya untuk per izinan, maka pengusaha harus membayar sejumlah uang untuk itu.
Seharusnya kebiasaan tersebut sudah dihilangkan, karena tidak sesuai dengan alam demokrasi sekarang ini. Dalam negara demokratis seperti halnya Indonesia, salah satu cirinya adalah penghormatan terhadap hukum dan hak asasi manusia. Setiap perilaku pemerintah dan pejabat birokrasi di bawahnya haruslah mempunyai landasan (justifikasi) aturan yang jelas, sedangkan pungutan yang tidak disahkan tidak boleh dilakukan.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 351
Pungutan terhadap setiap warga negara haruslah diatur dengan peraturan perundang undangan. Wujud dari pungutan ini adalah pajak dan retribusi. Apa pun bentuk pungutan tersebut yang dipungut dari rakyat harus sesuai dengan kemampuan rakyat. Oleh karena itu, besarnya pungutan ditentukan sendiri oleh warga negara melalui DPR/DPRD sebagai wakil mereka.
Meskipun sudah ada pengaturan mengenai pungutan resmi, tetapi pada saat sekarang ini pungutan dilakukan dengan paksaan, yang disebut pungli. Masyarakat mau tidak mau harus memberikannya. Sekalipun orang tidak mau membayar pungli tidak akan dikenai sanksi denda ataupun kurungan, orang tersebut akan menderita “sanksi” material, yakni tidak memperoleh pelayanan yang dibutuhkannya atau tidak dapat mengikuti dan menang dalam proyek pemerintah. Minimal pelayanan yang dimintanya itu akan diberikan oleh pejabat pemerintah dalam waktu yang lama.
Orang terpaksa membayar pungli, karena dia membutuhkan pelayanan pemerintah, kalau tidak maka tidak akan dilayani, sehingga praktik suap pun terjadi, di mana orang membayar kepada pejabat untuk sesuatu yang mestinya tidak dapat diperolehnya. Misalnya, pengusaha menyuap pejabat untuk memenangkan tender pengadaan barang/jasa pemerintah.
Menurut pendapat Rati Dewi Puspita Purba (Kepala Bagian Hubungan Lembaga dan Media BPK RI) mengatakan bahwa: “Pengadaan barang dan jasa pada hakikatnya adalah upaya pihak pengguna untuk mendapatkan atau mewujudkan barang dan jasa yang diinginkannya, dengan mengguna kan metode dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan harga, waktu, dan kesepakatan lainnya. Agar hakikat atau esensi pengadaan barang dan jasa tersebut dapat dilaksanaan sebaikbaiknya, maka kedua belah pihak, yaitu pihak pengguna dan penyedia barang dan jasa tunduk kepada etika dan norma pengadaan barang/jasa yang berlaku, mengikuti prinsipprinsip, metode dan proses pengadaan barang/jasa yang berlaku”.46
Mencermati pendapat di atas, menurut penulis bahwa untuk menjamin kelancaran pengadaan barang/jasa pemerintah, semua pihak wajib tunduk pada normanorma hukum yang berlaku demikian pula terhadap normanorma sosial agar hakhak dan kepentingan semua pihak dapat terlayani dengan baik.
46 Wawancara dengan Rati Dewi Puspita Purba selaku Kepala Bagian Hubungan Lembaga dan Media BPK RI.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah352
Masih menurut pendapat Kepala Bagian Hubungan Lembaga dan Media BPK RI, bahwa dalam prosesnya, pengadaan barang/jasa pemerintah melibatkan beberapa pihak terkait, sehingga perlu ada etika, norma, dan prinsip pengadaan barang/jasa untuk dapat mengatur atau yang dijadikan dasar penetapan kebijakan pengadaan barang/jasa. Selain itu oleh karena pengadaan barang/jasa pemerintah menggunakan uang negara (termasuk daerah), maka perlu dilakukan pengaturan agar tidak terjadi penyimpangan dalam proses pengadaan barang/jasa tersebut. Dengan demikian maka pengaturan atas pengadaan barang/jasa pemerintah meru pakan instrumen yang menunjang kebijakan pemerintah dalam hal efektivitas dan efisiensi keuangan negara serta mencegah terjadinya pemborosan maupun kerugian negara.47
Dengan melibatkan banyak pihak dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, maka banyak pula kepentingan di dalamnya. Terkadang pula terdapat konflik kepentingan di antara pelaksana pengadaan barang/jasa pemerintah. Peraturan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah yang menjadi instrumen yang mengawal berjalannya proses pengadaan barang/jasa agar tidak terjadi penyimpangan dan sesuai dengan koridor hukum.
Berdasarkan Pasal 3 Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 35 Tahun 2011 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 172 Tahun 2014 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, disebutkan bahwa “Pengadaan barang/jasa dilaku kan melalui swakelola dan/atau pemilihan penyedia barang/jasa”. Pada umumnya kegiatan pengadaan barang/jasa yang melibatkan rekanan (penyedia barang/jasa) lebih berpotensi menimbulkan terjadinya tindak pidana korupsi daripada kegiat an pengadaan barang/jasa yang dilakukan secara swakelola. Contohnya adalah:1. persekongkolan antara panitia dengan peserta lelang untuk mengatur dan/
atau menentukan pemenang lelang;2. persekongkolan antara pengawas pekerjaan dengan kontraktor/penyedia
barang/jasa;3. mark up (penggelembungan harga);4. proses dan/atau dokumen lelang yang sengaja dibuat untuk mengun tung kan
penyedia barang/jasa tertentu;5. penunjukan langsung tidak sesuai dengan ketentuan;6. menghindari denda keterlambatan yang diatur dalam kontrak;
47 Wawancara dengan Rati Dewi Puspita Purba selaku Kepala Bagian Hubungan Lembaga dan Media BPK RI.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 353
7. jaminan penawaran dan/atau jaminan pelaksanaan fiktif;8. pengadaan barang/jasa fiktif;9. pemenang tender mensubkontrakkan seluruh pekerjaan utamanya kepada
pihak ketiga;10. berita acara penerimaan barang dibuat sesuai spesifikasi dalam kontrak,
namun ternyata barang yang diserahkan berbeda/spesifikasinya lebih rendah;11. dan lainlain.
Temuan oleh BPK RI terhadap penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah di era reformasi bermuara pada transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara. Begitu pula dengan proses pengadaan barang/jasa. Penentuan dan pemastian kualitas, pelayanan, spesifikasi, dan harga dituntut untuk transparan, efektif, efisien, dan akuntabel.
Tabel 4.1 Data Rekapitulasi Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2012
No. Kelompok TemuanJumlah Kasus
Nilai (Juta Rp)
Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan yang Mengakibatkan
1. Kerugian Negara/Daerah/Perusahaan 2.004 1.159.769,42
2. Potensi Kerugian Negara/Daerah/Perusahaan 426 3.205.164,77
3. Kekurangan Penerimaan 1.113 849.463,19
Subtotal 1 3.543 5.214.397,38
4. Administrasi 2.702 –
5. Ketidakhematan 277 281.232,51
6. Ketidakefisienan 2 537,50
7. Ketidakefektifan 380 1.505.408,67
Subtotal 2 3.361 1.787.187,68
Total 6.904 7.001.576,06
BPK RI sebagai lembaga tinggi negara yang berwenang dalam pemeriksaan, mengemban tugas untuk tercapainya transparansi, efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas laporan keuangan negara, temasuk pada aspek pengadaan barang/jasa. BPK RI telah melakukan pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara, baik di pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun BUMN/BUMD.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah354
Data rekapitulasi dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2012, BPK mengungkapkan adanya ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundangundangan. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundangundangan yang mengakibatkan kerugian negara/daerah/perusahaan, potensi kerugian negara/daerah/perusahaan/kekurangan penerimaan, penyimpangan administrasi, keti dakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan.48
1. Kasus Pengadaan Barang/Jasa yang Menimbulkan Kerugian Negara49
Kasus pengadaan barang/jasa yang menimbulkan kerugian negara terdiri dari 7 (tujuh) bentuk, yaitu pengadaan barang/jasa (PBJ) fiktif; rekanan tidak menyelesaikan pekerjaan; barang/jasa tidak sesuai spesifikasi; kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang; kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan; pemahalan harga; serta belanja tidak sesuai ketentuan atau melebihi ketentuan. Berikut adalah tabel temuan kasus pengadaan barang/jasa yang menim bulkan kerugian keuangan negara/daerah/perusahaan.
Tabel 4.2 Temuan Kasus Pengadaan Barang/Jasa
No. Bentuk TemuanPemerintah Pusat Pemerintah Daerah BUMN
(6 Entitas) BUMD
Jumlah Kasus
Jumlah (Juta Rp)
Jumlah Kasus
Jumlah (Juta Rp)
Jumlah Kasus
Jumlah (Juta Rp)
1. PBJ fiktif 10 5.890,00 LKPD: 76PDTT: 23
144.740,00 – 3 kasus 878,77
2. Rekanan tidak menyelesaikan pekerjaan
2 215,52 1619
7.750,0012.090,00
1 kasus 7.453,14
3. Barang/jasa tidak sesuai spesifikasi
9 914,76 15105
3.070,008.880,00
1 kasus 104,08
4 kasus 2.823,43
4. Kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang
46 2.640,00 155419
59.220,0072.490,00
8 kasus 1.492,25
5. Kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan
46 10.700,00 101130
35.560,0014.480,00
3 kasus 6.850,00
4 kasus 1.542,64
48 Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2012, Buku I Ringkasan Eksekutif, BPK RI, Jakarta, September 2012, hlm. 14.
49 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, op.cit., hlm. 88–89.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 355
No. Bentuk TemuanPemerintah Pusat Pemerintah Daerah BUMN
(6 Entitas) BUMD
Jumlah Kasus
Jumlah (Juta Rp)
Jumlah Kasus
Jumlah (Juta Rp)
Jumlah Kasus
Jumlah (Juta Rp)
6. Pemahalan (mark up) harga
5 156,69 2642
24.240,008.010,00
1 kasus 21,50
7. Belanja tidak sesuai ketentuan atau melebihi ketentuan
28 1.970,00 14349
106.830,0010.000,00
1 kasus 97.070,00
21 kasus 2.164,56
Total 146 22.486,97 1.319 516.800 6 kasus 111.478,24
42 kasus 8.458,8
Total kasus 1.513 kasus Total kerugian negara 659.251,01
Dari tabel tersebut diketahui adanya temuan terhadap kegiatan peng adaan barang/jasa pemerintah yang cukup tinggi khususnya pada nomor urut 3 mengenai pengadaan barang/jasa yang tidak sesuai dengan spesifikasi, dike tahui jumlah kasus pada pemerintah pusat ada 9 temuan 914,76 juta rupiah, pemerintah daerah ada 15 kasus, jumlah temuan 3.070,00 juta rupiah dan 105 kasus, jumlah temuan 8.880,00 juta rupiah, dan seterusnya.
2. Kasus Pengadaan Barang/Jasa yang Berpotensi Menimbulkan Kerugian Negara50
Kasus pengadaan barang/jasa yang berpotensi menimbulkan kerugian negara yang ditemukan berupa:a. kelebihan pembayaran;b. selisih volume pekerjaan yang belum selesai;c. rekanan belum melaksanakan kewajiban pemeliharaan barang hasil peng
adaan yang telah rusak;d. pemberian jaminan terhadap pelaksanaan pekerjaan pemanfaatan barang
pemberian fasilitas tidak sesuai ketentuan; e. barang tidak sesuai spesifikasi teknis; f. keterlambatan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.
50 Ibid., hlm. 92–93.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah356
Tabel 4.3 Temuan BPK Pada Pengadaan Barang/Jasa yang Berpotensi Merugikan Negara
No. Bentuk Temuan
Pemerintah Pusat
Pemerintah DaerahBUMN (6 En ti-
tas)BUMDPDTT
(Banyak Kasus)
Jumlah (Juta Rp)
LKPDPDTT
(Banyak Kasus)
Jumlah (Juta Rp)
1. Kelebihan pembayaran tetapi pembayaran belum dilakukan sebagian atau seluruhnya
9 1.750,00 7147
9.570,0053.220,00
– 3 kasus 463,02
2. Selisih volume pekerjaan yang belum selesai
1 338,46 – – – –
3. Rekanan belum melaksanakan kewajiban pemeliha raan barang hasil pengadaan yang telah rusak
– – 1519
22.140,002.620,00
– –
4. Pemberian jaminan terhadap pelaksanaan pekerjaan, pemanfaatan barang, dan pemberian fasilitas tidak sesuai ketentuan
– – 39
521,4518.170,00
– 3 kasus 6.359,81
5. Barang/jasa tidak sesuai spesifikasi teknis
– – 1 167,21 3 kasus 104,08
–
6. Keterlambatan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa oleh rekanan
– – 2 1.406,62 – –
Total 10 2.088,46 193 107.851,28 1 kasus 104,08
6 kasus 6.882,83
Total kasus 210 kasus Total potensi
kerugian
116.866,65
3. Kasus Pengadaan Barang/Jasa secara Administratif 51
Pemeriksaan BPK juga mengungkap adanya temuan administrasi berupa penyim pangan terhadap ketentuan yang berlaku. Penyimpangan tersebut tidak mengakibatkan kerugian negara, tidak mengurangi hak negara, tidak menghambat program entitas, dan tidak mengandung unsur indikasi tindak pidana. Bentuk temuan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.
51 Ibid., hlm. 96–97.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 357
Tabel 4.4 Temuan BPK yang Melanggar Ketentuan Administratif
No. Bentuk Temuan
Pemerintah Pusat PDTT
(Banyak Kasus)
Pemerintah Daerah LKPD–PDTT
(Banyak Kasus)
BUMN (6 En-titas)
BUMD Jml. %
1. Pekerjaan dilaksanakan mendahului kontrak atau penetapan anggaran
6 924
– 3 42 12.42
2. Proses pengadaan barang/jasa tidak sesuai ketentuan tetapi tidak menimbulkan kerugian negara
35 45114
3 20 217 64.2
3. Pemecahan kontrak untuk menghindari pelelangan
15 719
– 1 42 12.42
4. Pelaksanaan lelang secara proforma
3 815
– – 26 7.69
5. Penunjukan langsung – 1 1 – 2 0.59
6. Penyusunan harga perkiraan sendiri tidak didasarkan pada data yang memadai dan spesifikasi teknis tertentu tetapi berdasarkan merek
1 – 1 – 2 0.59
7. Pengadaan barang dilakukan tanpa kontrak sehingga tidak ada kejelasan kewajiban dan hak antara kedua pihak yang terlibat dalam perikatan
1 – – – 1 0.3
8. Pembuatan kontrak tidak cermat
– – 1 – 1 0.3
9. Pedoman pengadaan barang/jasa belum memadai
– – 2 – 2 0.59
10. Panitia pengadaan barang/jasa tidak memiliki harga perkiraan sendiri (HPS)
– – 1 – 1 0.59
11. Belum ada surat penugasan
– – 1 – 1 0.3
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah358
No. Bentuk Temuan
Pemerintah Pusat PDTT
(Banyak Kasus)
Pemerintah Daerah LKPD–PDTT
(Banyak Kasus)
BUMN (6 En-titas)
BUMD Jml. %
12. Pelaksanaan disubkontrakkan dari rekanan ke pihak lain
– – 1 – 1 0.3
Total 61 242 11 24
Total keseluruhan 338
Berdasarkan data pada tabel tersebut berkaitan dengan temuan BPK yang melanggar ketentuan administratif diketahui kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang tidak tertib bahkan melanggar ketentuan administratif terjadi di jajaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tetapi tidak berdampak kerugian negara.
4. Kasus Pengadaan Barang/Jasa yang Menimbulkan Ketidakhematan52
BPK juga menemukan ketidakhematan dalam pelaksanaan barang/jasa. Temuan tersebut mengungkap adanya tiga bentuk kasus berupa:a. pengadaan barang/jasa melebihi kebutuhan; b. penetapan kualitas dan kuantitas barang/jasa yang digunakan tidak sesuai
standar; c. kemahalan harga.
Tabel 4.5 Temuan BPK Terkait Ketidakhematan dalam Pengadaan Barang/Jasa
No. Bentuk Temuan
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah
BUMN (6 En ti tas)
BUMDPDTT (Banyak Kasus)
Jumlah (Juta Rp)
LKPDPDTT
(Banyak Kasus)
Jumlah (Juta Rp)
1. Pengadaan barang/jasa melebihi kebutuhan
3 165,73 14
131,0334,42
– –
52 Ibid., hlm. 98.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 359
No. Bentuk Temuan
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah
BUMN (6 En ti tas)
BUMDPDTT (Banyak Kasus)
Jumlah (Juta Rp)
LKPDPDTT
(Banyak Kasus)
Jumlah (Juta Rp)
2. Penetapan kualitas dan kuantitas barang/jasa yang digunakan tidak sesuai standar
– – 49
4.110,003.660,00
– 1 kasus senilai 70,47
3. Kemahalan harga
45 240.220,00 69106
91.020,0026.670,00
1 kasus senilai 56,052
28 kasus senilai
46.809,14
38 kasus senilai
49.939,1
Total 48 240.385,73 193 125.625,45 29 kasus senilai
46.865,192
39 kasus senilai
50.009,57
Total kasus 309 kasus Total ketidakhematan
462.885,942
Dari tabel tersebut, diketahui adanya ketidakhematan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah di antaranya pengadaan barang/jasa yang melebihi kebutuhan, misalnya untuk pemerintah pusat ada 3 kasus, temuan BPK sebesar 165,73 juta rupiah dan pemerintah daerah ada 1 kasus, temuan BPK sebesar 131,03 juta rupiah, dan seterusnya. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan mengacu pada regulasi Perpres tentang pengadaan barang/jasa pemerintah.
5. Kasus Hasil Pengadaan Barang dan Jasa yang Menimbulkan Ketidakefektifan53
BPK juga memeriksa aspek ketidakefektifan terkait pencapaian hasil (outcome) pengadaan barang/jasa. Ketidakefektifan tersebut mencakup beberapa hal, yaitu sebagai berikut.
53 Ibid., hlm. 101.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah360
a. Pemanfaatan barang/jasa dilakukan tidak sesuai dengan rencana yang ditetapkan.
b. Pemanfaatan barang/jasa tidak berdampak pada pencapaian tujuan organisasi.
c. Barang yang dibeli belum/tidak dapat dimanfaatkan.
Tabel 4.6 Ketidakefektifan Hasil Pengadaan Barang/Jasa
No. Bentuk Temuan
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah
BUMN (6 En ti tas)
BUMDPDTT (Banyak Kasus)
Jumlah (Juta Rp)
LKPDPDTT
(Banyak Kasus)
Jumlah (Juta Rp)
1. Pemanfaatan barang/jasa dilakukan tidak sesuai dengan rencana yang ditetapkan
1 111.520,00 58
477,033.370,00
– 7 kasus senilai
3.365,97
2. Pemanfaatan barang/jasa tidak berdampak pada pencapaian tujuan organisasi
7 2.950,00 34
6.380,003.260,00
– –
3. Barang yang dibeli belum/tidak dapat dimanfaatkan
11 341.320,00 3237
86.930,0023.460,00
1 kasus senilai
11.990,65
11 kasus senilai
3.049,88
Total 19 455.790,00 89 123.877,03 1 kasus senilai
11.990,65
18 kasus senilai
6.415,85
Total kasus 127 kasus Total nominal aspek ketidakefektifan hasil PBJ
598.073,53
Penyimpangan terhadap kegiatan pengadaan barang/jasa di antaranya disebabkan tingkat kepatuhan pejabat pembuat komitmen pada aturan masih rendah. Walaupun dengan ditemukannya penyimpangan ini telah banyak membuat orang dihukum, tetapi tidak membuat orang menjadi jera. Sistem telah mengatur dengan baik, tetapi komitmen dari para pejabat masih perlu ditingkatkan.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 361
Di samping temuan dari BPKRI, hal serupa juga dapat dilihat dari data Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah yang menunjukkan masih adanya kasuskasus korupsi dan besarnya kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari praktik pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai berikut.
Tabel 4.7 Data Base Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahap Penyidikan di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Tahun 2012 Terkait Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
No. Tanggal Penyidikan Jenis Pekerjaan Jumlah Kasus
Jumlah Kerugian
Negara (Rp)
1. 9 Maret 2012 Perbaikan Jalan 1 Belum diketahui
2. 17 Juli 2012 Alat Peraga Pendidikan 2 Belum diketahui
3. 17 Juli 2012 Pembangunan Tugu 2 Belum diketahui
4. 19 Juli 2012 Pembangunan Pengairan/Irigasi
6 Belum diketahui
5. 19 Juli 2012 Pengadaan Ruislag Tanah 4 Belum diketahui
6. 14 September 2012 Penyediaan Sarana dan Prasarana Produksi
4 Belum diketahui
Jumlah 19 Belum diketahui
Sumber: Data Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Tahun 2012
Tabel 4.8 Data Base Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahap Penyidikan di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Tahun 2013 Terkait Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
No. Tanggal Penyidikan Jenis Pekerjaan Jumlah
Kasus
Jumlah Kerugian
Negara (Rp)
1. 16 Januari 2013 Ruislag Tanah 1 2.527.648.000
2. 4 Februari 2013 Pembangunan Jaringan SUTET
1 11.862.477.200
3. 15 Februari 2013 Pengadaan Alat Peraga SD 2 2.059.949.100
4. 28 Februari 2013 Penyediaan Sarana dan Prasarana Produksi Perikanan
1 1.256.652.261
5. 29 April 2013 Pengadaan Alat Peraga SD 1 2.333.264.735
6. 10 Mei 2013 Pengadaan Sarana Teknologi Informasi
2 2.607.580.370
7. 20 Mei 2013 Pengadaan Buku Perpustakaan
3 Belum diketahui
8. 21 Mei 2013 Pengadaan Pemeliharaan Jalan
1 2.426.242.081
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah362
No. Tanggal Penyidikan Jenis Pekerjaan Jumlah
Kasus
Jumlah Kerugian
Negara (Rp)
9. 30 Mei 2013 Pengadaan Buku Perpustakaan
2 Belum diketahui
10. 4 Juni 2013 Pembangunan Lingkungan dan Saluran
7 800.000.000
11. 31 Juli 2013 Pengadaan Buku Perpustakaan
5 Belum diketahui
12. Agustus 2013 Pengadaan Sarana dan Prasarana
2 Belum diketahui
13. 21 Oktober 2013 Pemeliharaan Jalan 2 Belum diketahui
Jumlah 30 25.873.813.747
Sumber: Data Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Tahun 2013
Dari data tersebut, diketahui bahwa tindak pidana korupsi pada kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang ditangani Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah untuk tahun 2012 sebanyak 19 kasus dan untuk tahun 2013 sebanyak 30 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilaksanakan dengan sistem birokrasi Perpres tentang pengadaan barang/jasa pemerintah yang ada saat ini dalam kurun waktu dua tahun terakhir di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah secara kuantitatif mengalami peningkatan yang signifikan. Sedangkan kasus tindak pidana korupsi kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang telah diputus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang untuk dua tahun terakhir, yakni dalam kurun waktu tahun 2012 dan tahun 2013 dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 4.9 Data Base Perkara Tindak Pidana Korupsi yang Diputus di Pengadilan Tipikor Semarang Tahun 2012 Terkait Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
No. No. Perkara Jabatan TanggalDiputus
(Tingkat I)
TanggalDiputus (Tingkat Banding)
1. 2/Pid.sus/2012 Karyawan Bank Psr. 03012012 090520122. 3/Pid.sus/2012 Dinkes Brebes 03012012 200320123. 5/Pid.sus/2012 Kasubag Umum 03012012 240420124. 6/Pid.sus/2012 Jasa Pemborongan 13012012 160420125. 7/Pid.sus/2012 Wiraswasta 13012012 240420126. 9/Pid.sus/2012 Kacab PD BPR 12012012 190420127. 10/Pid.sus/2012 Mantan Bupati 18012012 06062012
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 363
No. No. Perkara Jabatan TanggalDiputus
(Tingkat I)
TanggalDiputus (Tingkat Banding)
8. 11/Pid.sus/2012 Mantan Wakil Bupati 18012012 07062012
9. 12/Pid.sus/2012 Ka BPBD Jtg 24012012 14062012
10. 16/Pid.sus/2012 Ka.Panitia Anggaran 26012012 18062012
11. 32/Pid.sus/2012 Ketua DPRD 01032012 27082012
12. 67/Pid.sus/2012 KRT GKN Smg 06062012 2811212
13. 80/Pid.sus/2012 Kepala Desa 24072012 12122012
14. 103/Pid.sus/2012 Ka. RSU Tidar Mgl 09102012 05022013
15. 105/Pid.sus/2012 Kades Sarimulyo 31102012 03012013
16. 107/Pid.sus/2012 Ka. SMPN Sukdono 31102102 15012013
17. 108/Pid.sus/2012 Kasi Sarpras 06112012 27032013
18. 115/Pid.sus/2012 Swasta 14112012 24032013
19. 121/Pid.sus/2012 Kades Kaligesing 03122012 18032013
20. 126/Pid.sus/2012 Dirut PDAM 19122012 08052013
Sumber: Data Pengadilan Tipikor Semarang Tahun 2012
Tabel 4.10 Data Base Perkara Tindak Pidana Korupsi yang Diputus di Pengadilan Tipikor Semarang Tahun 2013 Terkait Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
No. No. Perkara Jabatan TanggalDiputus
(Tingkat I)
TanggalDiputus (Tingkat Banding)
1. 10/Pid.sus/2013 Mantan Walikota 28012013 130520132. 21/Pid.sus/2013 Kepala Desa 13022013 130620133. 23/Pid.sus/2013 PPKom 15022013 040720134. 24/Pid.sus/2013 PPKom 15022013 040720135. 31/Pid.sus/2013 Kadin Kelautan Jtg 05032013 240720136. 32/Pid.sus/2013 PT KAI (Persero) 05032013 230720137. 50/Pid.sus/2013 Direktur PDAM 08052013 060620138. 52/Pid.sus/2013 Ka. BPN Kabupaten 08052013 071020139. 65/Pid.sus/2013 Sek Dinas Dikbud 11062013 23102013
10. 71/Pid.sus/2013 Kaur Keuangan 17062013 2310201311. 74/Pid.sus/2013 Dinas Kelautan Jtg 20062013 0611201312. 92/Pid.sus/2013 Ka. UPTD Wil V 19072013 2511201313. 98/Pid.sus/2013 Anggota DPRD 13082013 24122013
14. 105/Pid.sus/2013 PNS Dinas Pertanian 02092013 Tidak Banding
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah364
No. No. Perkara Jabatan TanggalDiputus
(Tingkat I)
TanggalDiputus (Tingkat Banding)
15. 106/Pid.sus/2013 Direktur CV. Adora 02092013 Tidak Banding
16. 108/Pid.sus/2013 Petinggi Desa 09092013 23122013
Sumber: Data Pengadilan Tipikor Semarang Tahun 2012
Berdasarkan data pada tabel tersebut terlihat masih memunculkan kasuskasus korupsi pengadaan barang/jasa pemerintah yang diputus Pengadilan Tipikor Semarang selama dua tahun terakhir mencapai 36 kasus dengan perincian pada tahun 2012 ada 20 kasus dan tahun 2013 ada 16 kasus. Dari 36 kasus korupsi yang diputus Pengadilan Tipikor tersebut, ada 2 kasus yang tidak dimohonkan banding, sedangkan 36 kasus lainnya dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi bahkan ada kasus korupsi pengadaan barang/jasa yang dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung RI.
Berikut akan disajikan kasus terkait dengan penyimpangan pada pengadaan barang/jasa pemerintah yang pernah penulis tangani dalam pemeriksaan tingkat I di Pengadilan Negeri, di mana penulis sebagai kuasa hukum terdakwa dalam kasus ini.
1. Kasus Pengadaan Mesin Peralatan Pendidikan dan Laboratorium Polines Semarang
Direktur Politeknik Negeri Semarang (Polines), yaitu Drs. Sugiharto, M.M. berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 28711/A2.3/KP/2005 tanggal 10 Juni 2005, kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 562/A.A3/KU/2006 tanggal 2 Januari 2006 diangkat menjadi Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Tahun Anggaran 2006.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) Tahun Anggaran 2006, Polines memperoleh proyek pengadaan mesin peralatan pendidikan dan laboratorium dengan nilai Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Berdasarkan Surat dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Nomor: 4244/D/T/2006 tanggal 17 November 2006, di mana Drs. Sugiharto, M.M., di samping selaku Direktur Polines ditunjuk menjadi Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 365
Untuk menindaklanjuti Surat dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional tersebut, Drs. Sugiharto, M.M. membentuk Panitia Pengadaan Peralatan Pendidikan dan Laboratorium tersebut mengelu arkan Surat Keputusan Nomor: 615/N11/SK/2006 tanggal 10 Oktober 2006, dengan susunan kepanitiaan sebagai berikut. Ketua : Drs. Toni HartonoSekretaris : Yustinus Eka Wiyana, S.T. Anggota : a. Bambang Sumiyarso, S.T. b. Drs. Edy Triyono, S.T., M.T. c. Tumino.
Panitia Pengadaan tersebut melakukan kegiatan sesuai dengan tahapan pelaksanaan pengadaan barang/jasa berikut. a. Pengumuman di media massa, yaitu Media Indonesia dan Wawasan, pada
tanggal 10 November 2006.b. Pendaftaran tanggal 10 November 2006–17 November 2006.c. Pengambilan dokumen pelelangan tanggal 10 November–17 November 2006. d. Penjelasan pekerjaan tanggal 16 November 2006. e. Pemasukan dokumen penawaran tanggal 17 November 2006–20 November
2006. f. Pembukaan dokumen penawaran tanggal 20 November 2006.
Lelang diadakan secara terbuka, transparan tetapi tidak menggunakan jasa konsultan. Pada saat pengumuman lelang yang pertama pada pengadaan tersebut diperoleh hasil sebagai berikut. a. Perusahaan yang mendaftar sebanyak 62 calon penyedia barang/jasa.b. Waktu penjelasan pekerjaan (aanwijzing) diikuti 14 calon penyedia barang/
jasa. c. Pada saat pemasukan dan pembukaan dokumen penawaran:
1) perusahaan yang memasukkan dokumen penawaran sebanyak satu calon penyedia barang dan/jasa, yaitu PT General Teknik Multiarta;
2) perusahaan yang menyatakan mengundurkan diri sebanyak enam calon penyedia barang/jasa, yaitu CV Anugrah Multi Peraga, CV Nar’t Jaya, CV Pendawa Teja Kencana, PT Yeh Umbul, PT Catur Gebyar Manunggal, dan PT Catur Manunggal Jaya Agung.
d. Pembukaan dokumen tidak dilakukan karena hanya ada satu penawaran.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah366
Panitia pengadaan kemudian melaporkan hasil pelelangan kepada Direktur selaku Kuasa Pengguna Anggaran dengan kesimpulan pelelangan dinya takan gagal karena kurang dari tiga penawar. Dikarenakan lelang dinyatakan gagal, lalu diadakan lelang tahap kedua, yang dilaksanakan sebagai berikut.a. Pengumuman lelang ulang di media massa, yaitu Media Indonesia dan
Wawasan pada tanggal 22 November 2006.b. Pendaftaran ulang tanggal 22 November 2006 sampai dengan 29 November
2006. c. Pengambilan dokumen tanggal 22 November 2006 sampai dengan tanggal
29 November 2006. d. Penjelasan pekerjaan tanggal 28 November 2006. e. Pemasukan dokumen penawaran tanggal 29 November 2006 sampai dengan
tanggal 1 Desember 2006. f. Pembukaan dokumen penawaran tanggal 1 Desember 2006.
Pada saat pendaftaran lelang ulang, panitia memperoleh hasil berikut.a. Perusahaan yang mendaftar sebanyak 72 perusahaan calon penyedia barang/
jasa.b. Penjelasan pekerjaan diikuti 16 calon penyedia barang/jasa. c. Perusahaan yang memasukkan dokumen penawaran sebanyak lima calon
penyedia barang/jasa, yaitu CV Central Aditama, CV Elok Anugrah, PT General Teknik Multi Arta, CV Trimo Indo Sarana, dan PT Varis Jaya Abadi.
d. Pada saat pembukaan dokumen penawaran dilakukan pemeriksaan keleng kapan administrasi dengan disaksikan ke5 calon penyedia barang/ jasa, dua orang wakil yang memeriksa dari perusahaan yang lain secara silang, kemudian diperoleh hasil yang memenuhi syarat hanya satu, yaitu CV Central Aditama.
e. Panitia membuat berita acara pembukaan surat penawaran tanggal 1 Desember 2006 dengan disaksikan wakil dari penyedia barang yang lain.
f. Setelah dilakukan evaluasi administrasi, hanya ada dua perusahaan yang masuk ke evaluasi, yaitu CV Central Aditama dan CV Elok Anugrah, kemudian dilanjutkan evaluasi teknis dan didapat hasil bahwa kedua calon penyedia barang/jasa tidak ada yang memenuhi syarat teknis (nilai kelu lusan/passing grade kurang dari 65).
g. Panitia pengadaan melaporkan kepada Kuasa Pengguna Anggaran, kemudian pada tanggal 6 Desember 2006 diumumkan lelang gagal.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 367
Atas laporan kegagalan lelang ke2, Kuasa Pengguna Anggaran memberi memo kepada panitia lelang untuk melanjutkan lelang. Panitia pengadaan mengundang ulang kelima calon penyedia barang/jasa sambil memberi penjelasan tentang kekurangan administrasi dan teknis, dan penjelasan tentang penawaran ulang lengkap serta perubahanperubahan terhadap RKS.
Kelima calon penyedia barang/jasa tersebut sepakat untuk memasukkan penawaran ulang sesuai ketentuan dalam dokumen pemilihan calon penyedia barang/jasa (RKS) yang tertuang dalam berita acara penjelasan tanggal 8 Desember 2006 selambatlambatnya tanggal 12 Desember 2006. Pemasukan dokumen penawaran dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2006, dan diteruskan dengan pembukaan dokumen penawaran. Dari kelima penawar yang memenuhi administrasi lengkap hanya dua, yaitu PT General Teknik Multi Arta dan CV Central Aditama.
Pada tanggal 13 Desember dan 14 Desember 2006, dilakukan evaluasi administrasi dan teknis terhadap kelima penawar dan diperoleh hasil bahwa yang memenuhi syarat adalah CV Central Aditama karena memenuhi syarat administrasi, teknik, dan harga.
Setelah itu, panitia pengadaan mengusulkan penetapan pemenang lelang kepada Kuasa Pengguna Anggaran. Pada tanggal 18 Desember 2006, panitia mengumumkan pemenang lelang. Masa sanggah dilaksanakan pada tanggal 18 Desember 2006 sampai dengan tanggal 22 Desember 2006.
Sanggahan datang dari Gregorius Wirojito Subiakno selaku Direktur PT General Teknik Jakarta yang mengikuti lelang. Gregorius Wirojito Subiakno mengajukan sanggahan tetapi tidak ada tanggapan, kemudian Gregorius Wirojito Subiakno mengajukan sanggahan lagi dan dijawab panitia pada tanggal 18 Desember 2006, dan menurut Gregorius Wirojito Subiakno jawaban panitia terlalu sumir. Oleh karena itu, pada tanggal 19 Desember 2006, Gregorius Wirojito Subiakno mengajukan sanggahan banding kepada Menteri. Selanjutnya pada tanggal 20 Desember 2006, Gregorius Wirojito Subiakno mengirimkan surat kepada Direktur Polines selaku kuasa pengguna anggaran dan pejabat pembuat komitmen, karena tanpa memerhatikan surat keberatan/sanggahan dari Gregorius Wirojito Subiakno, ternyata kontrak pelaksanaan proyek pengadaan barang tersebut tetap dilaksanakan. Gregorius Wirojito Subiakno mengajukan sanggahan bukan karena dinyatakan kalah/dikalahkan tetapi karena pelaksanaan lelang tidak benar.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah368
Selanjutnya kuasa pengguna anggaran membuat Surat Keputusan Penetapan Penyedia Barang/Jasa (SKPPBJ) Nomor: 1533/N11/LK/2006 tanggal 23 Desember 2006, dengan menunjuk CV Central Aditama dengan Direktur Prantiyono untuk melaksanakan pekerjaan pengadaan peralatan pendidikan dan laboratorium Polines tahun anggaran 2006.
Pada tanggal 23 Desember 2006 dibuat perjanjian kontrak dengan Nomor: 1535/N.11/LK/2006 tanggal 23 Desember 2006, antara kuasa pengguna anggaran dengan Prantiyono selaku Direktur CV Central Aditama untuk pengadaan peralatan pendidikan dan laboratorium Polines sebanyak 17 item mesin dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang diajukan Prantiyono selaku Direktur CV Central Aditama sebagai penyedia barang sebagai berikut.
No. Nama Alat Vol. Sat. Harga Satuan Jumlah Harga
1. Boring machine (mesin bor) 1 Set 649.000.000 649.000.000
2. Drilling Pump 1 Set 418.000.000 418.000.000
3. Double side planer 1 Set 275.000.000 275.000.000
4. Mesin Milling 1 Set 248.000.000 248.000.000
5. Mesin bubut 1 Set 357.500.000 357.500.000
6. Surface Grinding 1 Set 285.000.000 285.000.000
7. Radial Boring 1 Set 200.000.000 200.000.000
8. Las MIG 1 Set 30.000.000 30.000.000
9. SMAW 4 Set 20.250.000 81.000.000
10. Spot welder 1 Set 30.000.000 30.000.000
11. Gear hobbing 1 Set 495.000.000 495.000.000
12. Machining Centre 1 Set 990.000.000 990.000.000
13. CNC lathe 2 Set 935.000.000 1.870.000.000
14. Hidrolik Didaktik 1 Set 510.000.000 510.000.000
15. Pneumatik Didaktik 1 Set 313.500.000 313.500.000
16. Capasitor Marking 1 Set 575.000.000 575.000.000
17. Micro welding machine 1 Set 450.000.000 450.000.0007.777.000.000
Untuk pelaksanaan pengadaan barang tersebut, pada tanggal 23 Desember 2006, kuasa pengguna anggaran juga membuat Surat Perintah Mulai Kerja dengan jadwal kegiatan selama tujuh hari, terhitung tanggal 23 Desember 2006 sampai dengan tanggal 29 Desember 2006, sesuai kontrak.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 369
Setelah CV Central Aditama dinyatakan sebagai pemenang dan kontrak sudah ditandatangani oleh kuasa pengguna anggaran dan Direktur CV Central Aditama Prantiyono tersebut, Prantiyono didatangi oleh Deny Kriswanto dan Wijil Nustoto yang menawarkan bahwa kegiatan pengadaan barang tersebut yang melaksanakan adalah Deny Kriswanto dan Wijil Nustoto. Prantiyono sebagai Direktur CV Central Aditama diberikan keuntungan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dan Prantiyono menyetujuinya dan memberitahukan kepada kuasa pengguna anggaran serta Joko Triwardoyo, S.T. selaku penanggung jawab kegiatan.
Ternyata nilai kontrak sebesar Rp7.777.000.000,00 (tujuh miliar tujuh ratus tujuh puluh tujuh juta rupiah) dinilai terlalu tinggi dari Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan oleh Irjen Dikti. Pada tanggal 6 Januari 2007, kuasa pengguna anggaran melakukan negosiasi dengan Prantiyono selaku Direktur CV Central Aditama/penyedia barang, di mana dalam negosiasi tersebut dari pihak pengguna barang dihadiri oleh kuasa pengguna anggaran dan saksi Joko Triwardoyo, S.T. selaku penanggung jawab, sedangkan dari penyedia barang dihadiri oleh Prantiyono, Deny Kriswanto, dan Wijil Nustoto.
Kesepakatan terjadi dan kemudian dibuatkan kontrak baru dengan tanggal dan jenis barang tetap seperti sebelumnya, yaitu tetap tanggal 23 Desember 2006, dengan nilai kontrak sebesar Rp6.694.600.000,00 (enam miliar enam ratus sembilan puluh empat juta enam ratus ribu rupiah) dengan perincian sebagai berikut.
No. Nama Alat Vol. Sat. Harga Satuan Jumlah Harga
1. Boring machine (mesin bor) 1 Set 570.000.000 570.000.000
2. Drilling Pump 1 Set 348.500.000 348.500.000
3. Double side planer 1 Set 215.000.000 215.000.000
4. Mesin Milling 1 Set 158.400.000 158.400.000
5. Mesin bubut 1 Set 231.800.000 231.800.000
6. Surface Grinding 1 Set 285.000.000 285.000.000
7. Radial Boring 1 Set 196.300.000 196.300.000
8. Las MIG 1 Set 21.500.000 21.500.000
9. SMAW 4 Set 20.250.000 81.000.000
10. Spot welder 1 Set 30.000.000 30.000.000
11. Gear hobbing 1 Set 405.350.000 405.350.000
12. Machining Centre 1 Set 940.000.000 940.000.000
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah370
No. Nama Alat Vol. Sat. Harga Satuan Jumlah Harga
13. CNC lathe 2 Set 775.200.000 1.550.400.00014. Hidrolik Didaktik 1 Set 506.550.000 506.550.00015. Pneumatik Didaktik 1 Set 158.300.000 158.300.00016. Capasitor Marking 1 Set 571.000.000 571.000.00017. Micro welding machine 1 Set 425.500.000 425.500.000
6.694.500.000
Penawaran CV Central Aditama sebesar Rp7.777.000.000,00 tersebut dapat menjadi Rp6.694.600.000,00 adalah karena diadakan nego lagi sesuai dengan Keppres No. 80 Tahun 2003 bahwa: “Apabila dalam pelelangan hanya ada 1 (satu) rekanan yang memenuhi syarat dan dinyatakan sebagai pemenang, maka pelaksanaannya seperti penunjukkan langsung dan mengenai harga dapat dinego lagi”.
Pada tanggal 28 Desember 2006, saksi Prantiyono selaku pihak penyedia barang menyerahkan barang sebanyak 10 (sepuluh) item mesin yang diterima oleh Ketua Penerima Barang, yakni Amat Slamet, S.H., berupa:
No. Nama Alat Vol. Sat. Harga Satuan Jumlah Harga
1. Double side planer 1 Set 215.000.000 215.000.0002. Mesin Milling 1 Set 158.400.000 158.400.0003. Mesin bubut 1 Set 231.800.000 231.800.0004. Surface Grinding 1 Set 285.000.000 285.000.0005. Radial Boring 1 Set 196.300.000 196.300.0006. Las MIG 1 Set 21.500.000 21.500.0007. SMAW 4 Set 20.250.000 81.000.0008. Spot welder 1 Set 30.000.000 30.000.0009. Machining Centre 1 Set 940.000.000 940.000.000
10. CNC lathe 2 Set 775.200.000 1.550.400.000
Tanggal 9 Januari 2007, Prantiyono selaku pihak penyedia barang menye rahkan lagi barang sebanyak empat item mesin yang diterima oleh Ketua Penerima Barang, Amat Slamet, S.H., berupa:
No. Nama Alat Vol. Sat. Harga Satuan Jumlah Harga
1. Hidrolik Didaktik 1 Set 506.550.000 506.550.0002. Pneumatik Didaktik 1 Set 158.300.000 158.300.0003. Capasitor Marking 1 Set 571.000.000 571.000.0004. Micro welding machine 1 Set 425.500.000 425.500.000
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 371
Prantiyono selaku penyedia barang mengajukan permohonan pembayaran ke14 mesin yang sudah diserahkan tersebut kepada kuasa pengguna anggaran melalui penanggung jawab kegiatan, yaitu Joko Tri Wardoyo, S.T. Tanggal 8 Januari 2007. Kemudian melalui Joko Tri Wardoyo, S.T. selaku penanggung jawab kegiatan, meneruskan permohonan tersebut dengan membuat surat kepada kuasa pengguna anggaran tanggal 9 Januari 2007, kemudian permohonan tersebut disetujui oleh kuasa pengguna anggaran, dan pada tanggal 9 Januari 2007 di bayarkan secara keseluruhan sesuai nilai kontrak sebesar Rp6.694.600.000,00 (enam miliar enam ratus sembilan puluh empat juta enam ratus ribu rupiah), setelah dipotong pajak sebesar Rp699.890.000,00 (enam ratus sembilan puluh sembilan juta delapan ratus sembilan puluh ribu rupiah) menjadi sebesar Rp5.994.710.000,00 (lima miliar sembilan ratus sembilan puluh empat juta tujuh ratus sepuluh ribu rupiah).
Pembayaran tersebut dilakukan dengan cek Bank BPD Cabang Pembantu Polines dengan No. Seri 172067, dan oleh kuasa pengguna anggaran tidak dibayarkan kepada Prantiyono selaku penyedia barang sesuai permohonan pembayaran, tetapi dibayarkan Deny Riswanto, melalui rekening Giro Bank Mandiri Cabang Candi Baru atas nama CV Surya Jaya Teknik, karena adanya permintaan dari Deny Kriswanto.
Setelah dilakukan pembayaran kepada rekanan, masih ada sisa pagu anggaran sebesar Rp1.305.400.000,00, dan sudah disetor kembali ke Kas Negara pada Bank BNI Cabang Tembalang beserta PPN dan PPH, oleh Bendahara Penge luaran dan dengan demikian rekening pengiriman dana Proyek Rp8 miliar sudah habis/nol.
Kuasa pengguna anggaran mengetahui, sebenarnya pembayaran tersebut hanya dapat dilakukan setelah pekerjaan 100% selesai dengan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan, namun oleh Kuasa pengguna anggaran tetap dibayarkan secara keseluruhan, padahal masih ada kekurangan, yakni tiga mesin yang belum diserahkan dan belum ada Berita Acara Serah Terima Pekerjaan, yaitu:
No. Nama Alat Vol. Sat. Harga Satuan Jumlah Harga
1. Boring machine (mesin bor) 1 Set 570.000.000 570.000.000
2. Drilling Pump 1 Set 348.500.000 348.500.000
3. Gear hobbing 1 Set 405.350.000 405.350.0001.323.850.000
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah372
Mengenai pembayaran kepada rekanan yang dibayar lunas meskipun pekerjaan belum 100% selesai, dilakukan asal ada jaminan sesuai dengan nilai barang yang akan dibayar.
Prantiyono mengatakan bahwa Polines mau/berani membayar lunas (100%) kendati masih ada 3 unit mesin yang belum datang dalam proyek pengadaan barang tersebut, karena Deny Kriswanto sudah memberikan jaminan atau menyerahkan cek senilai ketiga item barang yang belum ada/belum datang, tetapi setelah dicek ternyata rekening Deny Kriswanto sudah tidak ada dananya. Alasan lainnya kuasa pengguna anggaran berani membayar lunas kendati belum semua barang (masih ada 7 item barang) yang belum datang/belum dipenuhi oleh rekanan adalah karena adanya Surat Edaran dari Dirjen Dikti bahwa pada pokoknya proyek tahun 2006 harus dipertanggungjawabkan paling akhir pada tanggal 31 Desember 2006, apabila tidak selesai, dana proyek harus dikembalikan ke kas negara.
Kuasa pengguna anggaran mengetahui bahwa pembayaran tersebut tidak dibayarkan kepada yang berhak, yaitu Prantiyono selaku penyedia barang, tetapi diserahkan pihak lain, yaitu saksi Deny Kriswanto. Pada tanggal 26 Januari 2007, Deny Kriswanto mentransfer uang hasil pengadaan barang di Polines sebesar Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) kepada Wijil Nustoto, yang selanjutnya sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) diberikan kepada Prantiyono sebagai fee proyek, dan sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) diberikan kepada Imam Syafe’i karena Imam Syafe’i telah membantu memberikan modal sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) untuk proyek tersebut.
Berdasarkan Pasal 36 ayat (3) Kepres No. 80 Tahun 2003 bahwa “Pengguna barang/jasa menerima penyerahan pekerjaan setelah seluruh hasil pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan kontrak”. Selanjutnya dalam Pasal 5 Kontrak Nomor: 1535/N11/LK/2006 tanggal 23 Desember 2006 menentukan bahwa: biaya pelaksanaan pekerjaan sebagaimana disebut pada Pasal 4 dibayarkan sekaligus lunas setelah pekerjaan mencapai 100% selesai, dan dalam keadaan baik yang dinyatakan dalam Berita Acara Serah Terima yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, dengan cara pembayaran langsung (LS) melalui bendahara Pengeluaran Politeknik Negeri Semarang.
Oleh karena pembayaran tersebut dilakukan oleh kuasa pengguna anggaran sekaligus, seolaholah pekerjaan 100% selesai, maka pengadaan tiga mesin dengan nilai Rp1.323.850.000,00 (satu miliar tiga ratus dua puluh tiga juta delapan ratus
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 373
lima puluh ribu rupiah), tidak dilakukan lagi oleh Prantiyono selaku penyedia barang, karena pada kenyataannya pelaksanaan pekerjaan tersebut dilaksanakan oleh Deny Kriswanto dan Wijil Nustoto, dan pembayaran pengadaan barang tersebut diserahkan kepada Deny Kriswanto, dan setelah ditanyakan Prantiyono kepada Deny Kriswanto ternyata uangnya sudah habis, sehingga pengadaan tiga mesin tersebut tidak dapat dilakukan.
Jadi sampai batas akhir pengadaan barang tersebut, masih ada tiga item barang yang belum dipenuhi oleh CV Central Aditama, yaitu boring machine, gear hobbing, dan drilling pump. Lalu kuasa pengguna anggaran memanggil Direktur CV Central Aditama dan ia menyanggupi akan memenuhi atau mengirim ketiga mesin tersebut pada tanggal 12 Januari 2007.
Setelah lewat tanggal 12 Januari 2007, ternyata pemenang lelang CV Central Aditama belum bisa memenuhi/mengirim kekurangan tiga item barang tersebut, maka kuasa pengguna anggaran mengambil langkah untuk mengadakan sendiri ketiga mesin dimaksud secara pribadi, dan untuk itu kuasa pengguna anggaran telah meminta kepada Yustinus Eka Wiyana, S.T. untuk mencarikan orang yang bisa secara cepat mengadakan ketiga mesin tersebut.
Drs. Sugiharto, S.T., M.M. berupaya untuk memenuhi ketiga unit mesin yang belum ada tersebut dengan cara menghimpun dana. Selain demi kredibilitas dan tanggung jawabnya sebagai kuasa pengguna anggaran dan pejabat pembuat komitmen adalah juga karena Polines sudah lama, sekitar lima tahunan lebih mengharapkan mendapat mesinmesin sebagaimana dalam proyek pengadaan barang tersebut, karena kemungkinan besar tidak ada kesempatan lagi.
Menurut perjanjian/kontrak, pengadaan barang tersebut dapat dibatalkan, tetapi karena Polines sudah lama mengharapkan untuk mendapatkan mesinmesin dalam proyek pengadaan itu, maka Drs. Sugiharto, S.T., M.M. sebagai pejabat pembuat komitmen dan kuasa pengguna anggaran tidak melakukan pembatalan, karena khawatir apabila proyek dibatalkan dananya akan diambil kembali oleh pusat.
Atas permintaan kuasa pengguna anggaran tersebut, lalu Yustinus Eka Wiyana, S.T. memanggil Arif Budi yang menurutnya adalah orang yang dapat mengadakan barangbarang dimaksud dalam waktu dekat, dan selanjutnya Yustinus Eka Wiyana, S.T. menghadapkan Arif Budi kepada kuasa pengguna anggaran untuk keperluan tersebut. Selanjutnya kuasa pengguna anggaran meminta tolong kepada Arif Budi untuk membantu membelikan tiga unit mesin, yaitu boring machine, drilling pump, dan gear hobbing.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah374
Untuk membeli mesinmesin tersebut, Arif Budi diberikan modal/uang oleh kuasa pengguna anggaran sebesar Rp659.000.000,00 dan pada tanggal 9 Maret 2007, Arif Budi pergi ke Singapura membeli drilling pump dan tanggal 11 Maret 2007 pulang dari Singapura. Tanggal 12 Maret 2007, Arif Budi ke Jakarta membeli gear hobbing, dan pada tanggal 20 Maret 2007, Arif Budi kembali lagi ke Singapura untuk membeli boring machine.
Sampai datangnya ketiga barang tersebut belum dibuat Berita Acara Penerimaan Barang, seharusnya apabila barangbarang itu datang tepat pada waktunya sesuai dengan kontrak pada akhir bulan Desember 2006, yang pada akhir bulan Desember 2006 itu dibuat Berita Acaranya. Akibat perbuatan yang dilakukan oleh kuasa pengguna anggaran tersebut telah merugikan keuangan negara sebesar Rp1.185.447.500,00 (satu miliar seratus delapan puluh lima juta empat ratus empat puluh tujuh ribu lima ratus rupiah).
Persoalan pokok yang menjadi masalah sebenarnya adalah sehubungan dengan pembayaran yang dilakukan oleh kuasa pengguna anggaran sesuai kewenangannya adalah, ketika Joko Triwardoyo setelah berhasil mencairkan jaminan berupa cek sebesar Rp3.171.000.000,00 dan uang tersebut masuk ke dalam rekening Polines, tanpa sepengetahuan terdakwa uang jaminan tersebut ditransfer atas permintaan Deny Kriswanto dengan alasan uang dari Polines belum masuk, kemudian di transfer lagi ke rekening Deny Kriswanto, sehingga dengan peristiwa tersebut, tidak ada lagi jaminan atas pemenuhan kekurangan tiga buah mesin tersebut.
Kuasa pengguna anggaran yang dalam kasus ini pada saat itu menjadi terdakwa, telah berusaha menunjukkan tugas dan tanggung jawabnya baik sebagai kuasa pengguna anggaran maupun sebagai pejabat pembuat komitmen, dengan berupaya mendatangkan tiga unit mesin secara lengkap dan sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Apa yang dilakukan kuasa pengguna anggaran adalah merupakan bentuk pertanggungjawaban atas tugas dan tangung jawabnya sebagai pengguna barang yang memiliki tanggung jawab mengendalikan pelaksanaan kontrak/perjanjian, serta tanggung jawab dari segi administrasi, fisik, keuangan dan fungsional atas pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan, sehingga dengan apa yang telah dilakukan oleh kuasa pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran telah berhasil melengkapi ke17 (tujuh belas) unit mesin peralatan laboratorium dan pendidikan pada lembaga pendidikan Polines, yang notabene merupakan tugas dan tanggung jawab kuasa pengguna anggaran sebagai Direktur Polines.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 375
Apa yang dilakukan oleh kuasa pengguna anggaran tidak termasuk ke dalam pengertian menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya karena jabatan, sehingga Drs. Sugiharto, S.T., M.M. yang pernah didakwa tersebut dinyatakan bebas.
2. Kasus Pengadaan Sarana Produksi Pertanian/Perkebunan Pekerjaan Pengadaan Bibit Ternak Sapi dan Domba di Dinas Kelautan dan Peternakan Kota Tegal
Pada tahun 2008 Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tegal mengadakan kegiatan penyediaan sarana produksi pertanian/perkebunan, khususnya kegiatan proyek peng adaan bibit ternak sapi dan domba sejumlah Rp213.000.000,00 (dua ratus tiga belas juta rupiah), yang mana anggaran dana dari proyek pengadaan bibit ternak sapi dan domba tersebut berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tegal dan Dana Pendampingan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Tegal Tahun Anggaran 2008, dan dituangkan dalam Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tegal Nomor: 2.01.2.05.02.19.02. Adapun kualifikasi ternak yang akan disediakan adalah sebagai berikut.a. Ternak sapi 15 ekor dengan rincian:
1) sapi betina : 13 ekor2) sapi jantan : 2 ekor
b. Ternak domba dengan rincian:1) domba betina : 90 ekor 2) domba jantan : 10 ekorMenindaklanjuti kegiatan tersebut, Ir. Pudji Trilamtini sebagai Plt. Kepala
Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tegal sekaligus selaku Kuasa Pengguna Anggaran membentuk timtim kerja sebagai berikut.a. Menunjuk Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), yakni Priyanto
Kusnodo.b. Menunjukkan Tim Pelaksana kegiatan penyedia sarana produksi per
tanian/perkebunan Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tegal Tahun 2008 yang anggotanya terdiri atas:1) ketua : Kelik Haryono, S.PI.2) sekretaris : Edy Purnomo3) anggota : Diananto Harry S.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah376
c. Membentuk panitia lelang kegiatan pengadaan yang anggotanya:1) ketua : Sirat Madanus, S.PI.2) sekretaris : Dra. Hendi Bintang Takarini3) anggota : Kelik Haryono, S.PI. Andry Hendratmoko, S.T. Edy Purnohadi
d. Membentuk Panitia Pemeriksa kegiatan pengadaan barang/jasa anggaran belanja kegiatan Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tegal Tahun Anggaran 2008 yang susunan kepanitiaan terdiri atas:1) ketua : Christanto Panca (Terdakwa) 2) sekretaris : Azisah, S.Ip.3) anggota : Agus Sudarmanto Ma’rifah Edi Purnomo
e. Menetapkan kelompok sasaran penerima bantuan sarana produksi peternakan kegiatan penyediaan sarana produksi pertanian/perkebunan Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tegal Tahun Anggaran 2008, yakni:1) Warjo;2) Maskus Efendi;3) Tasripin.
Dasar pembentukan tim kerja tersebut dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan (SK) oleh Ir. Pudji Trilamtini sebagai Plt kepala Dinas dan selaku Kuasa Pengguna Anggaran.
Dalam tahap awal kegiatan tersebut, panitia pengadaan barang/jasa yang telah dibentuk oleh Plt. Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tegal bersandarkan pada Keppres No. 80 Tahun 2003 beserta perubahannya tentang peraturan pengadaan barang/jasa melakukan kegiatannya sesuai dengan tahapan pelaksanaannya, yakni melakukan pengumuman lelang kegiatan pengadaan bibit ternak sapi dan domba di media massa pada bulan Oktober 2008. Pada saat pengumuman lelang, ada 40 perusahaan yang mendaftarkan diri untuk mengikuti proses lelang.
Pada bulan Oktober 2008, panitia pengadaan barang/jasa melakukan pelelangan umum dengan pagu nilai anggaran sebesar Rp213.000.000,00 (dua ratus tiga belas juta rupiah) yang sumber dananya berasal dari Dana Alokasi Khusus dan Dana Pendampingan APBD Kota Tegal dan hanya diikuti oleh 11
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 377
perusahaan. Menindaklanjuti kegiatan tersebut, selanjutnya tanggal 13 Oktober 2008 dilakukan penjelasan pekerjaan (aanwijzing) oleh panitia pengadaan barang/jasa dengan mengundang dinas peternakan untuk melakukan penjelasan teknis mengenai barang yang akan diadakan yang pada saat itu, dan dihadiri oleh Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) sebagai staf dinas peternakan atas perintah Kepala Bidang Peternakan (Ir. Nunik Pratiwi).
Pada penjelasan pekerjaan (aanwijzing) terjadi kesalahan, yang pertama mengenai spesifikasi teknis jumlah ternak, sehingga pada tanggal 20 Oktober dilakukan penjelasan pekerjaan kedua (aanwijzing) oleh panitia pengadaan atau lelang, di mana pada penjelasan pekerjaan kedua ini tidak dihadiri oleh Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) dan selanjutnya hasil dari penjelasan pekerjaan (aanwijzing) kedua tersebut terjadi perubahan mengenai spesifikasi teknis jumlah ternak yang akan disediakan, yakni sebagai berikut.
Aanwijzing I (Pertama) Aanwijzing II (Kedua)
1) Ternak domba: 100 ekor Rincian: a) Domba jantan: 90 ekor b) Domba betina: 10
1) Ternak domba: 100 ekor Rincian: a) Domba jantan: 10 ekor b) Domba betina: 90 ekor
2) Ternak sapi: 15 ekor Rincian: a) Sapi jantan: 13 ekor b) Sapi betina: 2 ekor
2) Ternak sapi: 15 ekor Rincian: a) Sapi jantan: 2 ekor b) Sapi betina: 13 ekor
Berdasarkan hasil dari penjelasan pekerjaan (aanwijzing) ke2 tersebut, dibuat dalam Berita Acara Penjelasan Pekerjaan (aanwijzing) Nomor: 05.LU/BAPPBT/X/2008 tertanggal 20 Oktober 2008 kemudian dituangkan dalam perjanjian (kontrak) Nomor: 11.LU/KontrakPBT/XI/2008 tertanggal 6 November 2008, dan ditandatangani oleh Ir. Puji Trilamtini selaku Kuasa Pengguna Anggaran.
Setelah dilakukan penjelasan pekerjaan (aanwijzing) ke2, pada pembukaan dokumen penawaran, ada tiga perusahaan yang memasukkan penawaran di antaranya sebagai berikut.1) CV Derestu Putra Mandiri, dengan penawaran Rp210.100.000,00 (dua ratus
sepuluh juta seratus ribu rupiah).2) CV Alya Prakasa, dengan nilai penawaran Rp210.650.000,00 (dua ratus
sepuluh juta enam ratus lima puluh ribu rupiah).
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah378
3) CV Tryasta Mandiri, dengan nilai penawaran Rp211.365.000,00 (dua ratus sebelas juta tiga ratus enam puluh lima ribu rupiah).Selanjutnya dilakukan evaluasi administrasi dan evaluasi teknis terhadap
perusahaan yang memasukkan penawaran, dan diperoleh hasil bahwa yang memenuhi syarat adalah CV Derestu Putra Mandiri dengan Direktur Febrian Andika Priyatno karena memenuhi syarat administrasi, teknik, dan harga.
Berdasarkan pada syarat administrasi, teknis, dan harga yang diajukan oleh CV Derestu Putra Mandiri, panitia pengadaan barang/jasa mengusul kan calon pemenang lelang, yakni CV Derestu Putra Mandiri dengan Direktur Febrian Andika Priyatno kepada Ir. Pudji Trilamtini selaku Kuasa Pengguna Anggaran.
Ir. Pudji Trilamtini selaku Kuasa Pengguna Anggaran berdasarkan usulan dari panitia lelang, mengeluarkan Surat Keputusan penetapan pemenang lelang Nomor: 10.LU/SKPPBJPBT/XI/2008 tertanggal 5 November 2008, yakni CV Derestu Putra Mandiri dengan direktur Febrian Andika Priyatno selaku penyedia barang pada kegiatan pengadaan bibit ternak sapi dan domba di Kota Tegal.
Setelah penetapan pemenang lelang dari Kuasa Pengguna Anggaran, selanjutnya panitia lelang mengumumkan pemenang lelang, yakni CV Derestu Putra Mandiri dengan Direktur Febrian Andika Priyatno di media massa yang tidak ada masa sanggahnya, kemudian dilakukan penandatanganan perjanjian kontrak Nomor: 11.LU/KontrakPBT/XI/2008 tanggal 6 November 2008 dengan nilai kontrak sebesar Rp210.100.000,00 (dua ratus sepuluh juta seratus ribu rupiah), antara Ir. Pudji Trilamtini selaku Kuasa Pengguna Anggaran dengan Febrian Andika Priyatno selaku penyedia barang untuk pengadaan bibit ternak sapi dan domba dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang diajukan oleh Febrian Andika Priyatno selaku Direktur CV Derestu Putra Mandiri, dan adapun bibit ternak sapi dan domba yang harus disediakan oleh penyedia barang sesuai dengan surat perjanjian (kontrak) adalah sebagai berikut.a. Bibit domba, antara lain terdiri dari:
1) Tinggi minimal : betina: 40 cm jantan: 45 cm2) Umur : betina: 8 bulan jantan: 12 bulan3) Berat badan : betina: 15 kg jantan: 20 kg4) Jumlah : betina: 10 ekor jantan: 90 ekor5) Badan bersih dan sehat
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 379
b. Bibit sapi, antara lain terdiri dari:1) Tinggi minimal : betina: 118 cm jantan: 125 cm2) Umur : betina: 24 bulan jantan: 36 bulan3) Berat badan : betina: 300 kg jantan: 400 kg4) Jumlah : betina: 13 ekor jantan: 2 ekor5) Badan sehat dan bersih, warna kulit keputihputihan, kepala, leher,
gumba, lutut berwarna gelap terutama pada pejantan, kulit di sekeliling mata, bulu mata, moncong, kuku, kaki, dan ulu cambuk ekor berwarna hitam.
Setelah penetapan pemenang lelang dan penandatanganan perjanjian kontrak antara Kuasa Pengguna Anggaran dengan penyedia barang, selanjutnya Ir. Pudji Trilamtini selaku Kuasa Pengguna Anggaran mengeluarkan Surat Perintah Mulai kerja (SPMK) Nomor: 12.LU/SPMKPBT/XI/2008 tertanggal 6 November 2008 kepada Febrian Andika Priyatno selaku penyedia barang dengan masa pelaksanaannya selama 30 hari kerja yang dimulai sejak tanggal 6 November 2008, dan harus sudah selesai pada tanggal 5 Desember 2008. Febrian Andika Priyatno selaku pihak penyedia barang, pada bulan November telah melaksanakan pekerjaan berikut.a. Membeli 50 (lima puluh) ekor ternak domba di daerah Pasar Gebong yang
terdiri dari 45 (empat puluh lima) ekor domba betina dan 5 (lima) ekor domba jantan dengan harga per ekornya Rp400.000,00 (empat ratus ribu rupiah) dengan hasil penimbangan berat ratarata ternak domba tersebut 20 kg (dua puluh kilogram).
b. Membeli 50 (lima puluh) ekor domba di daerah Pasar Balimoa yang terdiri dari 45 (empat puluh lima) ekor domba betina dan 5 (lima) ekor domba jantan dengan harga per ekornya Rp400.000,00 (empat ratus ribu rupiah) dengan hasil penimbangan berat ratarata ternak domba tersebut 20 kg (dua puluh kilogram).
Domba sebanyak 100 ekor yang telah disediakan oleh Febrian Andika Priyatno tersebut telah diterima oleh Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Tegal dengan berita Acara Serah Terima Barang/Pekerjaan pada tanggal 03 Desember 2008, yang mana 100 ekor ternak domba tersebut disimpan/didrop di sebuah lapangan Desa Kaligangsa Kabupaten Tegal.
Pada akhir bulan November, Febrian Andika Priyatno selaku penyedia barang akan menyediakan ternak sapi, namun karena kesulitan mencari ternak
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah380
sapi yang sesuai dengan spesifikasi perjanjian kontrak, maka Febrian Andika Priyatno mendatangi rumah Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa), dan menanyakan tentang daerah pembelian ternak sapi yang sesuai dengan perjanjian kontrak, lalu pada saat itu Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (ter dakwa) mengusulkan kepada Febrian Andika Priyatno untuk mencari bibit ternak sapi di daerah Purwodadi.
Oleh karena masih belum mendapatkan bibit ternak sapi yang sesuai, maka Febrian Andika Priyatno kembali menemui Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) dirumahnya, dan Febrian Andika Priyatno meminta tolong kepada Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) secara pribadi untuk membelikan ternak sapi yang sesuai dengan spesifikasi perjanjian kontrak.
Pada saat Febrian Andika Priyatno datang ke rumah Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) dan minta tolong untuk pembelian sapi, Febrian Andika Priyatno maupun Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) tidak/belum mengetahui apabila Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) adalah salah satu tim pemeriksa kegiatan dalam pengadaan bibit ternak tersebut, dan akhirnya permintaan tolong dari Febrian Andika Priyatno disetujui oleh Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) dan kemudian Febrian Andika Priyatno mentransfer uang sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) kepada Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) untuk pembelian bibit ternak sapi di mana Febrian mengatakan dengan uang itu tolong dibelikan sapi sedapatnya saja atau sebagai uang mukanya.
Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) ke daerah Purwodadi bertemu dengan Mukari (pedagang sapi) dan membeli 8 (delapan) ekor bibit ternak sapi jenis PO dengan harga Rp49.000.000,00 (empat puluh sembilan juta rupiah), dan biaya pengiriman ternak sapi dari daerah Purwodadi ke daerah Ketiwon Kabupaten Tegal sebesar Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). Dengan demikian, total yang Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) keluar kan untuk pembelian sapi dan biaya pengiriman adalah Rp50.500.000,00 (lima puluh juta lima ratus ribu rupiah).
Pada tanggal 2 Desember 2008, Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (ter dakwa) bersamasama dengan tim pemeriksa dan penyedia barang, berdasarkan undangan dari Dinas Kelautan Pertanian Kota Tegal diperintahkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap ternak sapi di daerah Ketiwon dan ternak domba yang berada di Desa Kaligangsa, yang telah disediakan oleh Febrian Andika Priyatno selaku penyedia barang.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 381
Pada pemeriksaan ternak tersebut, Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) melakukan pengukuran terhadap 8 ekor ternak sapi dengan menggunakan alat ukur Rondo dan memberikan suntikan dan vitamin terhadap ternak sapi yang kondisinya sedang sakit, sedangkan untuk ternak domba dilakukan pengukuran 1 (satu) ekor domba sebagai sampel dan dilakukan penghitungan jumlahnya saja.
Alat ukur merek Rondo yang dipergunakan oleh Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) untuk melakukan pengukuran terhadap ternak tersebut, perbedaan akurasi atau perbedaan kebenarannya dengan pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan alat timbangan adalah cuma 10%.
Pada tanggal 2 Desember 2008, setelah dilakukan pemeriksaan ternak sapi dan domba di Desa Ketiwon dan Kaligangsa, Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) bersamasama dengan tim pemeriksa dan rekanan berkumpul di Rumah Makan Periangan untuk penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan yang telah disediakan oleh rekanan, di mana dalam Berita Acara Pemeriksaan tertanggal 2 Desember 2008 juga tercantum nama Ir. Pudji Trilamtini selaku Kuasa Pengguna Anggaran dan Priyatno Kusnodo, S.IP selaku Pejabat Pelak sana Teknis Kegiatan (PPTK).
Formulir berita acara yang dibuat Febrian Andika Priyatno adalah berasal dari Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tegal, dan selanjutnya formulir berita acara pemeriksaan tersebut diserahkan kepada sekretaris tim pemeriksa yang dalam hal ini adalah Azisah, S.IP untuk dilakukan pengisian.
Pada saat penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan tanggal 2 Desember 2008, Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) tercantum sebagai ketua tim pemeriksa, yang mana posisi tersebut baru diketahui oleh Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) setelah melihat berita acara tersebut, sehingga Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) merasa heran karena sebelumnya Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) belum pernah menerima Surat Keputusan (SK) dari Plt. Kepala Dinas tentang penunjukan Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) sebagai ketua tim pemeriksa.
Sebelum penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan tanggal 2 Desember 2008, tim pemeriksa menanyakan kepada Febrian Andika Priyatno kalau ternak sapi yang disediakan masih kurang 7 (tujuh) ekor lalu dijawab oleh Febrian Andika Priyatno bahwa kekurangan 7 (tujuh) ekor sapi telah lengkap dan sekarang berada di Desa Kalibakung, namun tidak dilakukan pemeriksaan oleh tim pemeriksa dengan alasan kelelahan.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah382
Selanjutnya sekretaris tim pemeriksa yang dalam hal ini adalah Ma’rifah, melakukan pengisian dari berita acara tersebut dan dituliskan bahwa jumlah dan spesifikasi ternak yang telah disediakan oleh rekanan sudah lengkap/sesuai dengan perjanjian kontrak, dan berdasarkan kesepakatan bersama maka tim pemeriksa dengan rekanan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan tertanggal 2 Desember 2008,
Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) karena merasa belum menerima SK dari Plt. Kepala Dinas tentang penunjukannya sebagai ketua tim pemeriksa, sehingga dalam penandatanganan berita acara tersebut Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) menyerahkan sepenuhnya kepada tim pemeriksa untuk menandatangani yang artinya dalam penandatanganan berita acara pemeriksaan tersebut Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) yang terakhir melakukan penandatanganan.
Untuk pendistribusian ternak telah dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tegal kepada kelompok petani ternak berikut.a. Warjo, menerima 100 ekor domba.b. Maskus Efendi, menerima 7 ekor sapi jenis PO.c. Tasripin, menerima 8 ekor sapi jenis PO.
Setelah penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan tertanggal 2 Desember 2008 di Rumah Makan Periangan, Febrian Andika Priyatno selaku penyedia barang memberikan amplop berisi uang sebesar Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) kepada tim pemeriksa di luar Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa). Selanjutnya Berita Acara Pemeriksaan ternak tersebut dibawa oleh Febrian Andika Priyatno untuk dilaporkan kepada Priyatno Kusnodo, S.PI. selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).
Priyatno Kusnodo, S.PI. selaku PPTK telah menandatangani Berita Acara Pemeriksaan tersebut, kemudian dilaporkan kepada Ir. Puji Trilamtini sebagai Kuasa Pengguna Anggaran dengan disertai rekomendasi dari PPTK yang isinya menyatakan bahwa proyek pengadaan bibit ternak sapi dan domba telah selesai 100%.
Febrian Andika Priyatno telah memberikan uang sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) kepada Priyatno Kusnodo, S.PI. selaku (PPTK) untuk kelancaran proses pembayaran proyek kegiatan tersebut. Selanjutnya Febrian Andika Priyatno selaku penyedia barang mengajukan permohonan pembayaran ke Kuasa Pengguna Anggaran melalui Bendahara Dinas (Hartati) dengan melampirkan syaratsyarat untuk pembayaran sebagai berikut.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 383
a. Berita Acara Pemeriksaan dari CV Derestu Putra Mandiri tertanggal 2 Desember 2008.
b. Berita Acara Kemajuan Pekerjaan dari CV Derestu Putra Mandiri Nomor: 125/DPM/XII/2008 tertanggal 3 Desember 2008.
c. Berita Acara Serah Terima Barang dari CV Derestu Putra Mandiri ke Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tegal Nomor: 025/DPM/XII/2008 tanggal 3 Desember 2008.
d. Rekomendasi yang dibuat oleh PPTK Nomor: 050/0131 tanggal 10 Desember 2008.
e. Surat Pernyataan Tanggung Jawab dari Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tegal Nomor: 931/0327 tanggal Desember 2008.
f. Surat Permintaan Pembayaran (SPP) Nomor: 911/166/LS/di selatan/BL/ 2008 tanggal 12 Desember 2008.
g. Surat Perintah Membayar (SPM) Nomor: 931/166/LS/di selatan/BL/2008 tanggal 15 Desember 2008.
h. Surat Kuitansi Pembayaran dari BPD Jateng Cabang Tegal Nomor: 1.00. 4000.753 tanggal 3 Desember 2008 senilai Rp210.100.000,00.
i. Berita Acara Pembayaran dari CV Derestu Putra Mandiri Nomor: 028/ DPM/XII/2008.
j. Surat faktur Pajak.k. Suratsurat lain sebagai lampiran kelengkapannya.
Bahwa Bendahara Dinas (Hartati) dengan berdasarkan syaratsyarat pembayaran yang diajukan oleh Febrian Andika Priyatno selaku penyedia barang, mengeluarkan Surat Pengantar Pembayaran (SPP) yang kemudian surat tersebut disetujui oleh Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya Kuasa Pengguna Anggaran mengeluarkan Surat Perintah Membayar (SPM) Nomor: 931/166/LS/di selatan/BL/2008 tanggal 15 Desember 2008 yang ditujukan kepada Bagian Keuangan Pemda.
Surat Perintah Membayar (SPM) yang dikeluarkan oleh Pengguna Anggaran untuk Bagian Keuangan Pemda melalui Febrian selaku penyedia barang, meminta untuk melakukan pembayaran 100% terhadap kegiatan pengadaan bibit ternak sapi dan domba dengan anggaran tahun 2008. Selain Surat Perintah Membayar (SPM), Pengguna Anggaran juga mengeluarkan Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) tertanggal 15 Desember 2008, yang isinya menerangkan bahwa
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah384
Pengguna Anggaran dalam hal ini bertanggung jawab apabila ada kelebihan pembayaran dan bersedia untuk mengembalikan kelebihan pembayaran tersebut kepada negara.
Setelah dilakukan pembayaran, Ir. Pudji Trilamtini mendapatkan laporan dari Priyatno selaku PPTK dan Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) bahwa ternak yang disediakan oleh Febrian Andika Priyatno selaku penyedia barang tidak sesuai dengan spesifikasi yang tertuang dalam kontrak yang telah disepakati, yakni ada beberapa domba yang kecilkecil. Ir. Pudji Trilamtini memerintahkan kepada Priyatno selaku PPTK untuk menghubungi Febrian Andika Priyatno selaku penyedia barang untuk mengganti ternak yang tidak sesuai dengan spesifikasi tersebut, namun Febrian selaku penyedia barang susah untuk dihubungi sehingga ternak tersebut belum tergantikan.
Melihat dua contoh kasus pengadaan barang/jasa di atas, dapat disim pulkan bahwa terjadinya penyimpangan pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut dikarenakan sistem yang ada di dalam birokrasi. Pada kasus pengadaan barang/jasa di Polines, pada dasarnya pengadaan barang/jasa telah dilakukan sesuai dengan prosedur dan tata cara yang telah diatur dalam peraturan pengadaan barang/jasa pemerintah. Ada beberapa hal yang menjadi kekurangan, yakni sebagai berikut.a. Meskipun dilakukan secara transparan tetapi tidak menggunakan jasa
konsultan.b. Waktu yang diberikan sangat singkat.c. CV Central Aditama hanya digunakan benderanya saja oleh orang yang
akan menyediakan barang.d. Cek untuk jaminan senilai ketiga item barang yang belum ada atau belum
datang ternyata kosong dan tidak diperiksa dulu oleh panitia. e. Adanya Surat Edaran dari Dirjen Dikti bahwa pada pokoknya proyek
tahun 2006 harus dipertanggung jawabkan paling akhir pada tanggal 31 Desember 2006, apabila tidak selesai, dana proyek harus dikembalikan ke kas negara.
f. Sanggahan dari peserta mendapatkan jawaban yang terlalu sumir dari panitia.
Dari kasus pengadaan barang/jasa pemerintah, meskipun sudah sesuai dengan peraturan pengadaan barang/jasa, tetapi ada beberapa kekurangannya, yakni sebagai berikut.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 385
a. Singkatnya waktu yang diberikan oleh panitia kepada rekanan.b. Adanya konflik kepentingan, yakni antara Christanto Panca Prasetyo,
S.ST. (terdakwa) dengan permintaan tolong dari Febrian Andika Priyatno untuk membantu mencarikan binatang ternak yang sesuai spesifikasi. Dalam hal ini seharusnya sebagai panitia pengadaan paham dan tidak diperbolehkan membantu rekanan terkait dengan pengadaan barang/jasa yang sedang dilaksanakan, meskipun tidak ada niat untuk melakukan korupsi.
c. Penunjukan Christanto Panca Prasetyo, S.ST. (terdakwa) sebagai ketua pemeriksa tanpa adanya pemberitahuan dari pimpinan.Penyimpanganpenyimpangan yang di antaranya terjadi dalam dua kasus
pengadaan barang/jasa di atas, bukan karena adanya niat dari panitia pengadaan barang/jasa, tetapi karena sistem yang tidak benar, sehingga membuat panitia harus menyimpang dari peraturan yang ada. Pemilihan rekanan yang dilakukan secara ketat, tidak menjamin rekanan tersebut untuk tidak berbuat curang. Penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa masih banyak ditemukan dalam kasus korupsi pengadaan barang/jasa lainnya, baik yang merugikan atau tidak merugikan keuangan negara.
3. Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 50/Pid.Sus/2011/PN. Tipikor Smg jis. Nomor 09/Pid.Sus/2012/PT.TPK.Smg jis. Nomor 1270K/ Pid.Sus/2012 Atas Nama Terdakwa: Dr. H. Muhammad Eko Kuntarto, M.Pd., M.Comp. bin H. Sukirman
Dalam perkara ini, Pengadilan Tipikor telah menjatuhkan putusannya, menya takan terdakwa Dr. H. Muhammad Eko Kuntarto, M.Pd., M.Comp. bin H. Sukirman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “turut serta melakukan korupsi” dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan pidana denda sejumlah Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan, menjatuhkan pidana kepada terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp92.000.000,00 (sembilan puluh dua juta rupiah) dengan ketentuan bahwa apabila dalam waktu satu bulan sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap terdakwa belum membayarnya, maka harta benda milik terdakwa dapat disita dan dilelang untuk mencukupi
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah386
uang pengganti tersebut dan jika ternyata tidak memiliki harta benda yang cukup untuk membayar pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.
Bahwa pengadilan Tipikor menjatuhkan putusan kepada terdakwa berdasarkan pertimbangan hukum yang terbukti secara sah dan meyakinkan, yaitu menimbang bahwa dari faktafakta yang terungkap di persidangan terdakwa Dr. H. Muhammad Eko Kuntarto, M.Pd., M.Comp. bin H. Sukirman dalam kedudukannya sebagai direktur utama CV CMI telah memberi akomodasi kepada saksi Gatot Bayu Brata, S.E. sehingga perusahaan terdakwa menjadi pemenang lelang dalam proyek pengembangan pengadaan sistem informasi manajemen RSU Tidar Kota Magelang dengan nilai Rp1.539.995.000,00 (satu miliar lima ratus tiga puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh lima ribu rupiah). Selain itu, pengadilan juga menimbang bahwa dari pekerjaan yang dilakukan oleh terdakwa, terungkap kalau terdakwa mendapat untung sebesar Rp77.000.000,00 (tujuh puluh tujuh juta rupiah) dan selebihnya telah pula memberikan imbalan kepada panitia pengadaan Dr. Wahyudi, dan kawankawan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) sehingga keuntungan riil yang diperoleh terdakwa adalah sebesar Rp92.000.000,00 (sembilan puluh dua juta rupiah), sedangkan sisa uang pembayaran yang masih dititipkan sebesar Rp378.000.454,00 kepada Hartono, S.E. selaku staf keuangan RSUD Tidar Magelang sebagai jaminan atas penyelesaian pekerjaan yang belum dilaksanakan, masih belum dinikmati dan diterima oleh terdakwa, dalam pertimbangan lain pengadilan menemukan fakta, menimbang bahwa faktafakta yang terungkap di persidangan terdakwa mempunyai kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya sebagai direktur utama CV CMI yang secara administrasi negara telah mendapatkan sempalan limpahan wewenang dari negara untuk melaksanakan proyek pengembangan pengadaan sistem informasi manajemen di RSU Tidar Magelang, sehingga terdakwa telah bertindak untuk dan atas nama negara untuk melaksanakan proyek tersebut, menimbang bahwa kewenangan terdakwa tersebut telah memerintahkan saksi Fauzi Mubin, Ahmad Rofiq, dan Edy Nur Haryanto bersamasama dengan saksi Gatot Bayu Brata, S.E., M.Si telah melakukan perubahan RAB tanpa addendum, karena oleh saksi Gatot Bayu Brata, S.E., M.Si hasil perubahan itu dimasukkan ke dalam lampiran kontrak dengan melepas RAB lama dan menggantinya dengan RAB baru hasil perubahan tanpa melalui proses perubahan (addendum), sehingga pekerjaan maupun barang yang diminta sesuai dengan RAB menyimpang dari
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 387
maksud kontrak sebelumnya, menimbang bahwa selanjutnya terdakwa telah menyiapkan BAP formalitas atas bantuan saksi Gatot Bayu Brata, S.E., M.Si bersamasama dengan sdr. Sadiman dan kawankawan melakukan pendekatan kepada panitia pemeriksa barang dengan menyodorkan berita acara pemeriksaan pekerjaan yang sebelumnya telah disiapkan oleh terdakwa untuk ditandatangani, maka secara formalitas panitia pemeriksa barang menandatangani berita acara pemeriksa hasil pemeriksaan barang dari panitia pengadaan barang yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan pekerjaan pengadaan pengembangan sistem informasi manajemen terpadu RSUD Tidar Kota Magelang telah mencapai 100% dan dana dapat dicairkan, padahal kenyataannya pekerjaan belum mencapai 100%, menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka perbuatan terdakwa memenuhi unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” telah terpenuhi.
4. Putusan Pengadilan Tipikor Nomor 17/Pid.Sus/2011/PN.Tipikor Smg jis. Nomor 11/Pid.Sus/2011/PT.TPK.Smg jis. Nomor 2334K/ Pid.Sus/2011 Atas Nama Terdakwa, Ir. Sufiyanto, M.M. bin Sukisno
Dalam perkara ini, Pengadilan Tipikor telah menjatuhkan putusannya yang menyatakan terdakwa Ir. Sufiyanto, M.M. bin Sukisno tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, menjatuhkan pidana oleh karena itu, kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Putusan Pengadilan Tipikor sebagaimana tersebut di atas dijatuhkan kepada terdakwa berdasarkan pertimbanganpertimbangan.
Menimbang bahwa terdakwa Ir. Sufiyanto, M.M. bin Sukisno selaku pengguna anggaran/pengguna barang di lingkungan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Batang TA. 2009, juga memiliki tugas dan hak yang bersifat subjektif melekat pada pejabat dari organ diangkat berdasarkan Surat Keputusan Bupati Batang Nomor 900/108/2009 tanggal 7 Maret 2009 tentang penunjukkan pengguna anggaran/pengguna barang, kuasa pengguna anggaran/ kuasa pengguna barang, bendahara pengeluaran dan bendahara pengeluaran pembantu di lingkungan satuan kerja perangkat daerah Kabupaten Batang TA. 2009.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah388
Menimbang bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan fisik oleh ahli Ir. Jawoto Sumajaya dari Fakultas Teknik Universitas Prof. Dr. Hazairin, S.H., Bengkulu, tanggal 28 Juli 2010 yang telah direvisi sesuai surat Nomor 283/E1/XII/2011, tanggal 22 Januari 2011 dengan temuan bahwa pekerjaan tidak sesuai dengan volume dan spesifikasi yang ada dalam kontrak dan addendum, yaitu pada pekerjaan onderlagh kekurangan 81,49 m3 dengan harga satuan Rp113.083,64 jumlah Rp9.215.185,82 dan volume lapen kurang 543,80 m2 harga satuan Rp57.889,16 jumlah Rp31.480.125,2, sedangkan spesifikasi tebal lapen dilaksanakan 2,99 cm dari seharusnya 5 cm, harga satuan lapen yang dibayar dihitung oleh ahli menjadi Rp34.617,72 dari harga menurut kontrak Rp57.889,16 atau terdapat kelebihan membayar sebesar Rp23.617,72/m2, seluruhnya dihitung sebesar Rp131.511.561,73.
Menimbang bahwa sesuai dengan hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan Perwakilan Provinsi Jawa Tengah Nomor SR3772/ PW11/5/2010, tanggal 20 September 2010 yang telah direvisi di persidangan, terdapat kerugian keuangan negara/daerah berupa kelebihan membayar dan/atau pembayaran yang tidak benar atas pekerjaan pemeliharaan berkala Jalan Basuki Rahmat, Warungasem Kabupaten Batang TA. 2009 sebesar Rp172.206.872,76 (seratus tujuh puluh dua juta dua ratus enam ribu delapan ratus tujuh puluh dua koma tujuh puluh enam rupiah).
Menimbang bahwa terdakwa Ir. Sufiyanto, M.M. bin Sukisno selaku pejabat dari organ sebagai pengguna anggaran/pengguna barang di lingkungan SKPD Kabupaten Batang TA. 2009 seharusnya menolak untuk menandatangani SPM, menolak untuk membayar 100% atas tagihan rekanan, dalam rangka me lak sanakan tugas dan haknya untuk melakukan pengujian atas tagihan dari rekanan dan pengawasan atas pelaksanaan anggaran SKPD yang dipimpinnya.
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbanganpertimbangan yang telah diuraikan tersebut di atas maka majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa Ir. Sufiyanto, M.M. bin Sukisno telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewenangan, tugas, dan hak yang ada padanya karena kedudukan nya selaku pengguna anggaran atau pengguna barang kegiatan TA. 2009, yaitu menandatangani SPM untuk membayar lunas 100% harga borongan pekerjaan pemeliharaan berkala jalan Basuki RahmatWarungasem Kabupaten Batang sebesar Rp1.108.785.700,00 (satu miliar seratus delapan juta tujuh ratus delapan puluh lima ribu tujuh ratus rupiah), yang seharusnya terdakwa menolak
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 389
menandatangani SPM, menolak untuk melakukan pembayaran yang mengakibatkan kerugian keuangan negara/daerah berupa pembayaran yang tidak benar sebesar Rp172.206.872,76 (seratus tujuh puluh dua juta dua ratus enam ribu delapan ratus tujuh puluh dua koma tujuh puluh enam rupiah).
Berdasarkan pada beberapa contoh kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang telah dikemukakan di atas, diketahui masih ditemukannya kasuskasus korupsi yang mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara. Pada umumnya terjadinya penyimpangan dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah dengan model desentralisasi dan birokrasi sebagaimana diatur Perpres No. 4 Tahun 2015 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 54 Tahun 2010 adalah halhal yang terkait dengan penyuapan, gratifikasi, dan mal administrasi yang dilakukan oleh penyedia barang/jasa dan pengguna barang/jasa. Melihat penyimpanganpenyimpangan yang terjadi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, maka harus dilakukan reformasi terhadap kebijakan hukum birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah meliputi substansi hukumnya dengan membuat undangundang tentang pengadaan barang/jasa, struktur hukum dengan membentuk sebuah badan/lembaga khusus pengadaan barang/jasa dan kultur hukum dengan melakukan penataan aparat pelaksana kegiatan pengadaan barang/jasa yang menggunakan model sentralisasi birokrasi.
Reformasi yang dimaksud dalam hal ini adalah perubahan yang sifatnya besar atau drastis, sehingga perlu dilakukan reformasi kebijakan hukum birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah meliputi substansi, struktur, dan kultur guna mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia karena peraturan yang ada saat ini tidak tegas, ambigu, berbelitbelit, terlalu biro kratis bahkan ada beberapa pasal “banci” yang rumusannya menggunakan kata “dapat” di antaranya Pasal 26 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 78 ayat (3), Pasal 86 ayat (6), Pasal 87 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 88 ayat (1) dan ayat (2), sehingga membuka celah terjadinya multitafsir yang mengarah kepada terjadinya mal administrasi, perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, jabatan atau kedudukan ber akibat munculnya kasuskasus korupsi, antara lain:a. perencanaan pengadaan;b. pembentukan pokja ULP/pejabat pengadaan;c. penyusunan dan penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS);d. penyusunan dan pengesahan dokumen pemilihan penyedia barang/jasa;e. pengumuman pelelangan/seleksi/pengadaan;
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah390
f. pendaftaran dan pengambilan dokumen pemilihan penyedia barang/jasa;g. penjelasan (aanwijzing);h. pemasukan dan pembukaan dokumen penawaran;i. peninjauan penawaran;j. pengumuman pemenang;k. sanggahan peserta lelang;l. penunjukkan pemenang lelang;m. penandatanganan kontrak;n. pelaksanaan kontrak/penyerahan barang/jasa;o. penyesuaian/eskalasi harga kontrak;p. pembayaran dan pelaporan;q. potensi penyimpangan dalam pemanfaatan;r. potensi penyimpangan pengadaan barang/jasa dengan swakelola.
Dalam pelaksanaan fungsi pemerintah yang didanai oleh anggaran sebagaimana dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, ada kemungkinan yang terjadi justru kegagalan dalam melaksanakan fungsi tersebut. Joseph Stiglitz menguraikan bahwa kegagalan pemerintah (government
failure) dalam melaksanakan kebijakan bisa disebabkan oleh:54
1. pemerintah tidak dapat mengantisipasi akibat kebijakan yang diambilnya, sering kebijakan yang diambil menimbulkan reaksi masyarakat karena tidak sesuai dengan harapannya;
2. pemerintah terbatas di dalam mengendalikan akibat kebijakan, misalnya saja, pemerintah mengendalikan harga sewa rumah yang dimaksudkan agar yang miskin dapat menyewa rumah secara murah, ternyata pengembang mengalihkan investasinya kepada proyek lain;
3. pemerintah dalam membuat kebijakan sering tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, karena tak mampu membuat birokrasi yang efektif;
4. pemerintah pada hakikatnya memberikan pelayanan kepada kelompok tertentu atau kepentingan tertentu (vested interest) yang mungkin memiliki kepentingan sendiri (self interest) serta sering ber tentangan kepentingan (conflict of interest).
54 W. Riawan Tjandra, Hukum Administrasi Negara, loc.cit., hlm. 10.
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 391
Kegagalan pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakannya sebagaimana pendapat tersebut, dikarenakan tidak adanya partisipasi dari masyarakat. Pada dasarnya kebijakan adalah solusi dari permasalahanpermasalahan yang diajukan oleh masyarakat untuk dicarikan jalan keluarnya. Semua pihak harus dilibatkan dan diperlakukan sama rata, karena pada akhirnya tujuan kebijakan tersebut adalah untuk mewujudkan ketertiban dan kesejahteraan masyarakat.
Kegagalan dalam pelaksanaan sebuah kebijakan atau perundangundangan, apa pun penyebabnya, menjadikan tidak adanya kepastian hukum. Kegagalan tersebut akan membentuk opini bahwa kebijakan atau perundangundangan yang dibentuk mempunyai kelemahan, dan tidak perlu untuk ditindaklanjuti. Hal ini menjadikan para pelaku kebijakan tidak mempunyai pegangan yang jelas dalam berperilaku, dan pihak penentu kebijakan tidak bisa menjatuhkan sanksi apa pun terhadap pelanggar aturan. Oleh karena itu, harus melakukan upaya pembenahan di berbagai bidang.
Dengan melihat banyaknya celah dalam kebijakan hukum yang mengatur proses pengadaan barang/jasa pemerintah, maka perlu dilakukan reformasi. Namun, jika hanya menitikberatkan pada hukum yang adil dan sederajat dalam hal pelayanan dan perlindungan publik, masih dirasakan sangat kurang. Reformasi birokrasi atau pelayanan publik dalam prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah hanya merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan akuntabilitas dalam proses transparansi sehingga jauh dari unsur KKN. Reformasi adalah gerakan untuk mengubah bentuk dan perilaku suatu
tatanan, karena tatanan tersebut tidak lagi disukai atau tidak sesuai dengan kebutuhan zaman, baik karena tidak efisien, tidak bersih, tidak demokratis, dan lain sebagainya. Selain berupa reformasi, gerakan perubahan bisa mengambil bentuk revolusi, transformasi, pembangunan (development), modernisasi, dan lainlain. Semua istilah ini mempunyai hakikat yang kurang lebih sama, hanya berbeda dalam hal tempo, tujuan, pelaku, kelompok sasaran, lokasi, dan citra.55
Reformasi birokrasi memang sangat diperlukan, bahkan kalau perlu adalah perang melawan birokrasi yang buruk yang hanya berorientasi pada kekuasaan, karena kehendakkehendak yang baik dari para pelaku politik dan penentu kebijakan ternyata tidak terwujud di dalam realitas kehidupan karena tersendat dalam birokrasi yang bersifat korup.
55 Samodra Wibawa, op.cit., hlm. 207 dan 208.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah392
Korupsi yang terjadi selama ini telah beruratberakar di dalam tubuh birokrasi. Korupsi di dalam tubuh birokrasi dapat dikatakan merupakan pusat dari kejahatan yang terorganisir. Reformasi di tingkat suprastruktur politik tidak akan bermakna jika birokrasi tidak melakukan hal yang sama. Dari tingkat pusat sampai daerah harus melakukan pembenahan dan perbaikan. Pada dasarnya birokrat merupakan pelayan masyarakat, dalam arti mempunyai tugas untuk melayani kepentingan masyarakat. Jika birokrasi mempunyai kualitas pelayanan yang baik, maka kepercayaan masyarakat kepada birokrasi semakin meningkat. Jika pelayanan birokrasi tidak memuaskan, maka legitimasi pemerintah akan menurun, dan akan mengakibatkan kerugian bagi negara.
Melihat hal tersebut, penulis mengemukakan bahwa birokrasi pemerintahan memerlukan reformasi di berbagai bidang. Reformasi birokrasi mencakup beberapa aspek, yaitu:1. kebijakan hukum pemerintah, yaitu kebijakan yang dapat diterima oleh
masyarakat;2. kelembagaan, yaitu terwujudnya struktur organisasi birokrasi yang ramping
dan kaya fungsi;3. sumber daya manusia (SDM), yaitu menciptakan SDM yang profesional
dan kompeten; 4. tata laksana, yaitu menciptakan proses bisnis yang efisien dan efektif;5. pengawasan dan akuntabilitas, yaitu menciptakan proses bisnis yang
trans paran dan akuntabel;6. pelayanan publik, yaitu menyelenggarakan pelayanan publik yang cepat,
tepat, murah, mudah, tidak diskriminatif, dan memuaskan.
Antara aspek yang satu dan aspek yang lain dalam pengadaan barang/jasa pemerintah memiliki saling ketergantungan. Kondisi ideal yang diharapkan adalah adanya payung hukum berupa undangundang tentang pengadaan barang/jasa pemerintah dengan membentuk sebuah badan/lembaga khusus sebagai sarana melakukan sentralisasi pengelolaan pengadaan barang/jasa di antaranya debirokratisasi, restrukturisasi, rekruitmen, peningkatan kualitas SDM berdasarkan standar kompetensi.
Menurut penulis, salah satu penyakit yang melekat pada diri pejabat adalah sifat otoriter, arogansi, dan keinginan selalu berkuasa. Ia selalu ingin
Bab 4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perlunya Sentralisasi Pengadaan ... 393
dihargai, diikuti perintahnya karena merasa berkuasa. Kebiasaan membuat peraturan dalam menjalankan kekuasaannya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dirinya untuk melanggengkan kekuasaannya.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa perlu dilakukan reformasi kebijakan hukum birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah, alasannya, Perpres yang digunakan sebagai payung hukum untuk melakukan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah tidak mampu mencegah terjadinya kasuskasus korupsi, persoalan tersebut dipengaruhi oleh struktur birokrasi yang bersifat desentralisasi dengan memberikan kewenangan kepada setiap instansi pemerintah melalui SKPD masingmasing yang tidak didukung standar kompetensi SDM yang memadai mengakibatkan lahirnya perilaku koruptif.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah394
A. MODEL IDEAL SENTRALISASI KEBIJAKAN SUBSTANSI HUKUM
Manusia adalah makhluk sosial. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles, yakni zoon politicon. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menjalankan aktivitas seharihari, dan menjaga eksistensinya maka manusia memerlukan kehadiran orang lain. Alasan itulah yang membuat manusia untuk hidup bermasyarakat atau berkelompok. Tentunya dalam hidup bermasyarakat tersebut, diperlukan adanya aturanaturan, kaidahkaidah atau normanorma yang baik, responsif, konstruktif, mengayomi semua lapisan masyarakat agar kehidupan yang dijalani berlangsung dengan tertib, damai dan teratur. Kaidahkaidah ataupun tatanantatanan yang mengatur pergaulan hidup
manusia itu bermacammacam. Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip oleh Lili Rasjidi, mengemukakan tiga macam kaidah, yaitu kaidah kebiasaan, hukum, dan kesusilaan.
Menurut Satjipto Rahardjo (mengutip pendapat Radbruch), terdapatnya sifat yang berlainan pada kaidahkaidah atau tatanantatanan itu disebabkan oleh adanya normanorma yang tidak sama, yang mendukung masingmasing tatanan. Perbedaannya dapat dilihat pada tegangan antara ideal dan kenyataan.1
1 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Cetakan Keempat, Edisi Revisi, Remadja Karya, Bandung, 1988, hlm. 35.
Bab 5Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 395
Kaidahkaidah tersebut yang memengaruhi perilaku setiap anggota masyarakat. Kaidah kebiasaan adalah perilaku yang sering dilakukan oleh anggota masyarakat seharihari, dan hal ini dilakukan berulangulang sehingga dianggap sebagai kaidah yang harus dipatuhi oleh semua anggota masyarakat. Sanksi yang diberikan jika melanggar kaidah kebiasaan adalah dicemooh atau dikucilkan, misalnya adalah sopan santun terhadap sesama. Kaidah kesusilaan adalah kaidah yang bersumber dari hati nurani manusia, dan bagi yang melanggarnya maka sanksinya bukan berasal dari masyarakat, tetapi adanya perasaan bersalah pada diri sendiri. Kaidah hukum adalah peraturan yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur warganya agar tercipta ketenteraman, ketertiban, keadilan, dan kedamaian dalam masyarakat. Sanksi bagi pelanggar kaidah hukum ini sangat jelas, misalnya adalah hukuman mati, denda, dan penjara. Kaidah hukum ini berupa peraturan yang tertulis.
Keberadaan hukum mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan gejala yang terjadi di masyarakat. Hukum pada awalnya dibangun dan dijabarkan sesuai dengan tatanan nilai yang bersifat transendental, yaitu lex aeterna (hukum abadi yang menguasai seluruh dunia dan bersumber dari rasio Tuhan), lex divina (wahyu yang diterima oleh para Nabi), dan lex naturalis (hukum alam). Dari tatanan tersebut kemudian bergeser pada pandangan yang melihat dominasi peran manusia dalam merumuskan ketentuan aturan hukum yang bersifat legalistic normatif, seperti halnya bangunan hukum Indonesia saat ini. Rancang bangun hukum nasional yang berporos pada politik kodifikasi dan
unifikasi telah “berhasil” menciptakan bangunan hukum berciri modern. Bangunan hukum yang bertopang pada politik kodifikasi dan unifikasi itu, membungkus persoalan tersendiri pada aras praksis. Dalam implementasi hukum di dalam masyarakat, terdapat dua persoalan yang mengikutinya, yaitu persoalan pertama adalah sebagai konsekuensi dari pengaturan yang terpusat, segala ketentuan, prosedur, dan mekanisme penegakannya tidak mungkin dengan sendirinya diketahui oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia yang begitu plural dan lagi heterogen. Keadaan kian diperparah, karena pembinaan hukum yang “berparadigma” kodifikasi dan unifikasi, cenderung terfokus pada bagaimana membuat aturan sebanyak mungkin, tanpa terlalu peduli pada bagaimana rakyat, yang untuknya hukum itu dibuat, merasa “terpasang” dalam “isi” hukum itu.2
2 Bernard L. Tanya, op.cit., hlm. 2 dan 3.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah396
Kodifikasi adalah penyusunan atau pembukuan jenis hukum dalam kitab undangundang secara sistematis dan lengkap, dengan tujuan untuk penyeder hanaan dan kesatuan hukum, misalnya adalah KUHP. Unifikasi adalah penyeragaman atau penyatuan hukum yang diberlakukan untuk seluruh bangsa di suatu wilayah negara tertentu sebagai hukum nasional, misalnya adalah UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bangunan atau sistem hukum modern yang diciptakan berkat adanya kodifikasi dan unifikasi ini seharusnya hukum yang dapat membuktikan kebenaran dan mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak yang terlibat/diatur oleh hukum tersebut. Hukum tersebut harus dapat menyesuaikan dengan kondisi atau keadaan masyarakat. Hukum harus dibuat sesuai dengan tata cara atau prosedur yang telah ditentukan. Hukum harus dapat dimengerti, dipahami, dan dilaksanakan oleh para pihak yang diatur. Hukum nasional adalah hukum tertulis, diwakili oleh personel yang pro
fesional, didukung oleh kekuasaan monopolistik untuk mengatur dan tidak ada kekuasaan politik lain yang boleh menandinginya. Kewenangan dan kekuasaan tersebut berisiko menimbulkan kerusakankerusakan tertentu dalam masyarakat.3
Dalam pengertian hukum nasional tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum dibuat oleh orangorang yang berkompeten dan ahli dibidang hukum dan mengetahui keadaan masyarakat, yang memiliki kekuasaan untuk membuat peraturan, dalam hal ini adalah pemerintah. Hukum dibuat untuk mengatur kehidupan warga negara. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, warga negara harus tunduk pada hukum yang berlaku. Hukum di sini mempunyai sifat yang memaksa dengan adanya sanksi yang melekat. Hukum merupakan saluran untuk menjalankan keputusankeputusan politik.
Untuk itu, sangat harus dihindari pengaruh politik dalam pembuatan suatu kebijakan, karena pada dasarnya politik itu sangat sarat dengan kepentingankepentingan di dalamnya. Dengan kekuasaan dan kewenangan yang ada pada pembuat kebijakan atau peraturan perundangundangan, risiko yang dihadapi adalah apabila peraturan yang dibuat hanya untuk melindungi kepentingan mereka. Pembuatan peraturan yang tidak sesuai dengan aturan, dan tidak menyesuaikan kondisi masyarakat akan memberikan celah bagi pelaku kejahatan untuk menyimpanginya.
3 Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, Kaitannya dengan Profesi Hukum dan Pembangunan Hukum Nasional, Cetakan I, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 200.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 397
Kekuasaan dan kewenangan yang diberikan kepada pejabat cenderung untuk disalahgunakan. Jadi, banyak terjadi kerusakankerusakan di dalam tatanan masyarakat. Misalnya adalah sikap koruptif para pejabat, dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki, mereka berusaha untuk memperkaya diri. Dengan sikap yang koruptif ini, kebijakan yang dikeluarkan sarat akan konflik kepentingan, dan mereka memberikan keputusan dengan pertimbangan pribadi karena keuntungan, bukan pertimbangan untuk kesejahteraan masyarakat. Jika mereka ketahuan melakukan penyalahgunaan kewenangan, mereka akan berusaha men cari landasan yang sah atas tindakan yang dilakukannya (berlindung di balik peraturan hukum). Keadaan berhadapan antara hukum dan kekuasaan sudah merupakan
masalah yang klasik, tetapi pada saat suatu bangsa harus melakukan pembangunan, hubungan tersebut menjadi sangat menonjol. Menonjol yang dimaksudkan adalah pertukaran antara keduanya yang bersifat konflik semakin meningkat. Sifat tersebut dapat dipahami, karena pembangunan pada hakikatnya adalah tindakan, dan tindakan membutuhkan ruang gerak yang besar. Dalam bentuk perumusan yang lebih tajam, pembangunan membutuhkan kebebasan yang lebih besar daripada yang diberikan oleh hukum yang bersifat mengikat.4
Hukum dibentuk oleh lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk membuat peraturan perundangundangan, terutama lembaga legislatif yang me rupakan wakil rakyat, dan dianggap dapat menampung semua aspirasi rakyat. Selain itu, lembaga eksekutif juga mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijakankebijakan atau peraturan perundangundangan sebagai bentuk delegasi kewenangan yang dilimpahkan legislatif, yang nantinya menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh rakyat. Peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan menjadi landasan bagi lembaga tersebut untuk bertindak. Akan tetapi, jika ada keadaan yang mendesak, tidak mungkin harus menunggu dibuatnya suatu kebijakan untuk melegalkan tindakan yang akan dilakukan, karena akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Oleh karena itu, eksekutif diberikan kewenangan untuk melakukan diskresi. Tentu saja, diskresi ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang berlaku, karena dikhawatirkan dengan adanya diskresi ini akan disalahgunakan, karena eksekutif akan mempunyai kekuasaan yang besar untuk bertindak.
4 Ibid., hlm. 9.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah398
Suatu keadaan di mana hukum dan kekuasaan itu berhadapan dikarenakan adanya penyalahgunaan kekuasaan yang besar oleh penguasa, sehingga harus ada pengawasan terhadap kekuasaan tersebut. Paham negara hukum formal atau klasik melarang negara untuk ikut campur dalam kehidupan perekonomian rakyatnya, sehingga perekonomian dikuasai oleh pihakpihak tertentu saja, seperti halnya pada zaman feodal. Tugas negara dalam paham negara hukum formal/klasik hanya sebagai membuat dan menegakkan hukum. Oleh karena adanya ketidakadilan dalam masyarakat, paham negara hukum formal/klasik berubah menjadi paham negara hukum modern atau yang dikenal sebagai paham negara kesejahteraan (welfare state). Dalam paham negara ini, peran pemerintah sangat luas. Peran pemerintah berubah tidak hanya sebagai pembentuk undangundang saja tetapi juga mengatur kehidupan sosial warganya melalui kebijakan regulasi operasional dan berbagai diskresi untuk terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Berkaitan dengan negara hukum, Marbun sebagaimana dikutip oleh Riawan Tjandra mengatakan bahwa:5
Negara berdasarkan atas hukum harus didasarkan atas hukum yang baik dan adil. Hukum yang baik adalah hukum yang demokratis yang didasarkan atas kehendak rakyat sesuai dengan kesadaran hukum rakyat, sedangkan hukum yang adil adalah hukum yang sesuai dan memenuhi maksud dan tujuan setiap hukum, yakni keadilan. Hukum yang baik dan adil perlu dikedepankan, utamanya guna menghindari kemungkinan hukum dijadikan alat oleh penguasa untuk melegitimasi kepentingan tertentu, baik kepentingan penguasa sendiri maupun kepentingan kelompok tertentu yang dapat merugikan kepentingan rakyat. Hukum adakalanya dijadikan topeng legalitas untuk melindungi kepentingan penguasa atau kepentingan kelompok tertentu, sehingga atas dasar legalitas itu kesewenangwenangan dapat dilakukan dengan bebas. Apa yang dikemukakan oleh Marbun ini senada dengan apa yang dike mukakan
oleh Satjipto Rahardjo di atas, sehingga di manapun hukum dan kekuasaan akan selalu berhadaphadapan. Hukum digunakan untuk melegalkan setiap tindakan pemerintah. Adanya delegasi kewenangan dari legislatif kepada eksekutif untuk membentuk peraturan, akan membuat kekuasaan eksekutif menjadi seakanakan di atas legislatif.
5 Ibid., hlm. 15.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 399
De Haan dan kawankawan sebagaimana dikutip oleh Riawan Tjandra menyatakan bahwa:6
Peraturan perundangundangan yang dikeluarkan sebagai produk administrasi negara kecenderungannya semakin meningkat secara kuantitatif sejalan dengan tuntutan masyarakat terhadap pelaksanaan tugastugas pemerintahan dalam negara kesejahteraan. Problematika yang mungkin timbul sehubungan dengan semakin meningkatnya kuantitas peraturan perundangundangan produk pemerintah adalah adanya perbedaan besar dan kurangnya koordinasi dari peraturan perundangundangan (de grote verscheidenheid en het gebrek aan coordinatie van de wetgeving).
Peraturan perundangundangan yang dibuat oleh pemerintah yang semakin banyak, terkadang tidak sesuai dan tidak cocok antara peraturan yang dibuat di instansi yang satu dengan instansi yang lainnya. Dikarenakan kurangnya koordinasi, membuat instansi bebas membuat peraturan sesuai keinginannya. Memang UUD juga memberikan kewenangan untuk membuat peraturan perundangundangan kepada organorgan pemerintah tertentu. Hal ini membuat banyaknya regulasi yang dihasilkan di setiap rezim pemerintahan, yang kadang tidak sesuai dengan keadaan atau kondisi masyarakat.
Produk peraturan perundangundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan undangundang menurut UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan terdiri dari Peraturan Pemerintah (PP) dan Perpres. Sebagaimana halnya di dalam peng adaan barang/jasa pemerintah, sebagai peraturan pelaksanaannya digunakan Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015.
Pada dasarnya hukum negara dibuat “sempurna” menurut pembuatnya, untuk diproyeksikan sebagai petunjuk atau penuntun bagi semua orang dalam bertindak atau berperilaku, tetapi tidak semua dapat diterima oleh semua pihak. Dengan lain perkataan, implementasi dari sebuah kebijakan hukum terkadang tidak sesuai dengan peraturan yang telah dibuat/formulasi hukumnya. Kebijakan hukum dibuat untuk dilaksanakan agar berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan dan tidak keluar dari koridor hukum dan tidak terjadi penyimpangan.
Pada dasarnya kebutuhan akan kebijakan hukum itu merupakan sarana penyelesaian terhadap permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat. Kebijakan
6 Ibid., hlm. 32.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah400
hukum dibuat untuk menyelenggarakan tatanan pemerintahan yang baik sesuai dengan keinginan masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi riil yang ada. Seperti halnya Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 yang digunakan untuk mengatur jalannya pengadaan barang/jasa pemerintah, diharapkan pada pelaksanaannya sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, sehingga tidak terjadi penyimpangan. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 dibentuk dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat saat ini. Pengaturan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah, telah dilakukan beberapa kali perubahan, yakni dari Keppres No. 18 Tahun 2000, Keppres No. 80 Tahun 2003, Perpres No. 54 Tahun 2010, Perpres No. 35 Tahun 2011, Perpres No. 70 Tahun 2012, Perpres No. 172 Tahun 2014, dan perubahan terakhir Perpres No. 4 Tahun 2015.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) bukan kekuasaan belaka (machstaat), jadi penyelenggaraan pemerintahan dan semua aktivitas masyarakat harus sesuai dengan aturan hukum. Masyarakat dipaksa untuk melaksanakan aturan hukum yang dibuat, tanpa memedulikan kema jemukan yang ada di dalam masyarakat. Hukum nasional Indonesia adalah hukum yang dibentuk untuk seluruh masyarakat. Hukum nasional Indonesia adalah hukum modern dengan sekalian karak
teristiknya. Hukum nasional adalah hukum tertulis, diawaki oleh personel yang profesional, didukung oleh kekuasaan monopolistik untuk mengatur, dan tidak ada kekuasaan politik lain yang boleh menandinginya. Kewenangan dan kekuasaan tersebut berisiko menimbulkan kerusakankerusakan tertentu dalam masyarakat.7
Hukum nasional Indonesia yang berlaku di seluruh tumpah darah Indonesia, tidak jarang berbenturan dengan adat di suatu daerah. Adanya paksaan dalam unsur hukum tersebut, menjadi salah satu faktor kegagalan implementasi hukum. Terlebih pembuatan hukum banyak dipengaruhi oleh unsur politik di dalamnya, sehingga hukum tidak murni dibuat untuk kesejahteraan dan keter tiban masyarakat, tetapi lebih pada kepentingan kelompok tertentu yang memiliki kekuasaan yang lebih besar.
Bangunan atau sistem hukum modern, termasuk di dalamnya adalah hukum nasional, mempunyai beberapa ciri, antara lain dikemukakan oleh Marc Galanter, yaitu:8
7 Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum ..., loc.cit., hlm. 200.8 Wukir Prayitno, Modernitas Hukum Berwawasan Indonesia, Agung, Semarang, 1990, hlm. 12.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 401
1. hukum modern terdiri atas berbagai aturan yang diterapkan dengan cara uniform dan konsisten;
2. perundangundangan modern bersifat transaksional;3. normanorma hukum modern adalah universalitas; 4. sistemnya adalah berjenjang/hierarkis; 5. sistem diatur secara birokratis; 6. sistem hukum modern bersifat rasional; 7. sistem ini dijalankan oleh para ahli hukum sendiri yang khusus belajar
profesional; 8. sistem ini lebih bersifat teknis dan kompleks;9. sistem ini dapat diubah pada aturan dan prosedur guna menghadapi kebu
tuhankebutuhan yang berubah; 10. sistem hukum modern bersifat politis; 11. legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpisah dan berbeda jelas.
Ciriciri hukum modern sebagaimana disebutkan oleh Marc Galanter di atas, sama dengan ciriciri hukum nasional Indonesia yang diterapkan pada saat ini. Begitu pula dengan peraturan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia. Terdapat hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam peraturan tersebut, tidak ada diskriminasi. Pelaksanaan peraturan tersebut dilaksanakan secara umum. Hukum dibuat melibatkan ahli hukum yang lebih berkompeten, ada unsur politis di dalamnya, tidak jarang ada konflik kepentingan dan selalu berubahubah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan disusun secara bertingkat di mana peraturan yang di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang di atas.
Dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 disebutkan mengenai tahapantahapan yang harus dilaksanakan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Ada 15 tahapan yang harus dilalui dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Panjangnya tahapan tersebut sama panjangnya dengan sistem birokrasi Indonesia yang berbelitbelit dan membutuhkan biaya yang sangat tinggi telah menjadi ciri khusus sistem birokrasi dan hukum di Indonesia. Terlalu banyak peraturan perundangundangan yang diberlakukan, dan sering terjadi perubahan membuat pelaksanaannya mengalami kesulitan untuk mendalami isi peraturan tersebut. Ketidaktahuan terhadap peraturan yang baru diberlakukan untuk menggantikan peraturan yang lama, akan menimbulkan permasalahan, di antaranya adalah penyimpangan terhadap peraturan perundangundangan.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah402
Pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana diatur di dalam peraturan pengadaan barang/jasa pemerintah yang terakhir diubah dengan Perpres No. 4 Tahun 2015 masih saja terjadi penyimpangan di dalam pelaksanaannya, sebagaimana telah diuraikan di dalam bab sebelumnya. Oleh karena itu, dalam ranah substansi peraturan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah perlu dilakukan reformasi sehingga dapat tercipta model ideal dalam kebijakan hukum pengadaan barang/jasa pemerintah.
1. Penguatan Peraturan PerundangundanganKegiatan pengadaan barang dan jasa merupakan kegiatan belanja untuk memenuhi kebutuhan investasi/belanja modal. Oleh karena kontekstualisasi pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah, maka pemerintah melakukan pengaturan agar dalam proses belanja memenuhi prinsipprinsip pengadaan yang selalu dimiliki oleh setiap entitas dalam melaksanakan tugas. Kenyataan tersebut disadari bahwa pembelian dan penyimpangan selalu saja terjadi di mana saja dan kapan saja apabila para pelaksana dari entitas terkait tidak mema hami keterkaitan antara siapa dia, uang siapa, dan siapa yang akan memperoleh layanan.
Terkait dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah, kalau mengutip pandangan Budihardjo, ada beberapa hal urgen yang perlu ditindaklanjuti, yaitu sebagai berikut.9
a. Bahwa pengadaan dilaksanakan oleh petugas yang tidak memiliki atau kurang memiliki kemampuan melaksanakan tugas, sehingga untuk menutupi kekurangannya sering dilakukan halhal yang tidak dapat dipertang gungjawabkan, misalnya pejabat/panitia pengadaan meminta kepada vendor untuk mempersiapkan dokumen tender, menyu sunkan shortlist peserta yang akan diundang, menyusunkan jadwal pelaksanaan tender, menyusunkan KAK atau dokumen lelang, membuatkan evaluasi dan berita acara pemenang, dan lain sebagainya dan panitia tinggal menandatangani berita acara hasil pelelangan. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya degradasi hasil pengadaan barang dan jasa, proses lelang inilah yang mengakibatkan hasil yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (tendertenderan).
b. Pedoman pengadaan perlu dilakukan penyempurnaan karena pedoman yang ada memungkinkan banyak/memungkinkan terjadi penyimpangan
9 Budihardjo H., Refleksi Pengalaman dalam Mendampingi Pelaksanaan Core Reform Agenda di Bidang Pengadaan Barang dan Jasa Publik (Observasi dan Pendampingan), Makalah, 15 Juni 2010.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 403
sistemik yang susah dilakukan penanggulangannya tanpa mengubah dokumen tersebut.
c. Sistem informasi yang tertutup yang mengakibatkan terjadinya proses KKN akut, yang dipelihara oleh sementara birokrat dengan rekan/partner kerja (kelompok bisnis).
d. Tidak adanya dokumentasi yang disusun sesuai dengan sifat dokumen tersebut (dokumen keuangan tidak dapat dihilangkan begitu saja setelah proses transaksi selesai).Dari uraian di atas, dapat dimaknai bahwa pemerintah masih memiliki se
jumlah kelemahan dalam sistem hukum pengelolaan pengadaan barang dan jasa. Apakah petugas yang tidak memenuhi kriteria berdasarkan undangundang dalam pelaksanaannya, ataukah terlalu rawan untuk dimanipulasi, dikolusi, dan dikorupsi atau memang belum ada upaya transaksi dalam memberikan alur proses terjadinya pengadaan barang dan jasa yang ideal terhadap masyarakat luas secara terbuka.
Tabel 5.1 Perbedaan dan Sifat Pengadaan Barang
No. BPJJP Jasa Konsultasi
Jasa Konstruksi Barang Jasa
Lainnya
1. Pelelangan Umum Prakualifikasi Pra/pasca Pra/pasca Pra/pasca
2. Pelelangan Terbatas
Prakualifikasi Pra Pra Pra
3. Pemilihan I Pra Pra Pra Pra
4. Penunjukan langsung
Tunjuk, pra Tunjuk, pra Tunjuk, pra Tunjuk, pra
5. Pengadaan langsung
< 5 juta < 5 juta < 5 juta < 5 juta
6. Spesifikasi Sesuai dengan yang dibutuhkan
Kondisi tertentu sesuai spc
Min req Min req
7. HPS/OE Dihitung sesuai harga pasar
Dihitung sesuai harga pasar
Dihitung sesuai harga pasar
Dihitung sesuai harga
pasar
8. Kontrak T. Base, LS, my H.s,ls.m year Ls, hs, m.year Ls, hs, g
9. S. Penyampaian Dua sampul, Ss, dr, dt Ss, ds, Ss, drs, dt
10. S. Evaluasi Qbs,qcbs, cp, fp Gg, Gg, sn, slc Gg, sn, slc
Dari tabel tersebut, dapat diketahui bahwa paling tidak pengamatan mendalam pemerintah seharusnya mengaca pada undangundang sebagai pijakan, pengawasan, sistem kerja, cara penanggulangan, pencegahan terhadap penye le
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah404
wengan para pelaksana, baik di tingkat birokrasi maupun pada level pengerjaan tendertender negara sesuai dengan kriteria dan aplikasi undangundang sebagai landasan hukum yang memayungi pelaksanaan pembaruan pengadaan barang dan jasa (PPBJ), antara lain sebagai berikut.a. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.b. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.c. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara.d. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres
No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.e. Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga
Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.f. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat
Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.g. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2008 tentang
Pedoman Operasionalisasi Bebas Korupsi.h. Kepmen Kimpraswil No. 225/KPTS/M/2004 tanggal 13 April 2004 tentang
Tata Cara Penanganan Masukan dari Masyarakat di Lingkungan Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah.
Keppres No. 18 Tahun 2000
Keppres No. 80 Tahun 2003
Perpres No. 54 Tahun 2010
Perpres No. 35 Tahun 2011
Perpres No. 70 Tahun 2012
UndangUndang
Perpres No. 172 Tahun 2014
Perpres No. 4 Tahun 2015
Gambar 5.1 Penguatan Peraturan Perundangundangan
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 405
Peraturan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah yang beberapa kali mengalami perubahan, yang terakhir berupa Perpres perlu dilakukan penguatan menjadi sebuah undangundang.
Selain dalam bentuk penguatan undangundang, tahaptahap dalam pelaksa naan pengadaan barang/jasa pemerintah yang sudah diatur di dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 tersebut perlu dikurangi atau setidaknya diseder hanakan, sehingga tidak ada pasal yang dapat digunakan celah untuk melakukan korupsi. Biasanya pelaku mencari dasar hukum mana yang bisa mendukung perbuatanya sehingga tidak akan disalahkan. Sebagai contoh adalah di dalam peraturan lelang dinyatakan bahwa untuk
pengadaan barang jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Akan tetapi karena waktunya mendesak (karena turunnya anggaran terlambat), maka proses tender itu tidak dimungkinkan. Untuk itu, pemimpin proyek mencari dasar hukum mana yang bisa mendukung atau memperkuat pelak sanaan pelelangan, sehingga tidak disalahkan oleh inspektur. Dicarilah pasalpasal dalam peraturan yang memungkinkan untuk bisa dipergunakan sebagai dasar hukum guna memperkuat sahnya pelaksanaan tender. Dari sekian banyak pasal, misalnya ditemukan suatu pasal yang mengatur perihal “keadaan darurat” atau force majeur. Dalam pasal ini dikatakan bahwa “dalam keadaan darurat, prosedur pelelangan atau tender dapat dikecualikan dengan syarat harus memperoleh izin dari pejabat yang berkompeten.10
Berdasarkan hal tersebut, maka bunyi pasal yang memiliki banyak penafsiran dapat digunakan oleh pelaku kejahatan sebagai dasar pembenaran untuk melakukan kejahatan. Terkadang kejahatan itu bukan karena dapat disimpanginya substansi dalam peraturan perundangundangan, tetapi juga pada kecanggihan pelaku untuk memainkan katakata.
Di dalam Pasal 2 Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 telah direko mendasikan arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yaitu sebagai berikut.a. Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah terutama
penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dapat dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses hukum.
10 Ermansjah Djaja, op.cit., hlm. 21 dan 22.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah406
b. Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguhsungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberatberatnya.
c. Mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan kepada pihak yang berwenang berbagai dugaan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara, dan anggota masyarakat.
d. Mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundangundangan serta keputusankeputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
e. Merevisi semua peraturan perundangundangan yang berkenaan dengan korupsi, sehingga sinkron dan konsisten satu dengan yang lainnya.
f. Membentuk undangundang serta peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan korupsi, sehingga sinkron dan konsisten satu dengan yang lainnya.
g. Membentuk undangundang serta peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pence gahan korupsi yang muatannya meliputi sebagai berikut.1) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.2) Perlindungan Saksi dan Korban.3) Kejahatan Terorganisasi.4) Kebebasan Mendapatkan Informasi.5) Etika Pemerintahan.6) Kejahatan Pencucian Uang.7) Ombudsman.
h. Perlu segera membentuk undangundang guna mencegah terjadinya perbuatanperbuatan kolusi dan/atau nepotisme yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi.
Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bebas dari KKN, maka selain berpedoman pada undangundang harus melaksanakan asasasas umum pemerintahan yang baik untuk mewujudkan good governance, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 Diktum 6 UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 407
Nepotisme, yakni “Asas umum pemerintahan negara yang baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatuhan, dan norma hukum untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme”.
Adapun ketentuan perundangundangan yang mengatur tentang asas umum pemerintahan negara yang baik selain UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999, yaitu sebagai berikut.a. Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penye
lenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.b. Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 tentang
Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.Praktik KKN ini tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara saja,
tetapi juga dilakukan oleh penyelenggara negara dengan pihak lain seperti halnya dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, yang dapat merusak sendisendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, diperlukan landasan hukum untuk mencegah dan memberantasnya.
Jika pengamatan pemerintah masih sebatas normatif tanpa melihat kekuatan kontrol hukum terhadap pelaksanaan barang dan jasa, maka akan berdampak pada menggejalanya korupsi dan kolusi di tingkat pemerintah itu sendiri baik di pusat maupun di daerah. Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhitung mulai tahun 2004 sampai dengan Tahun 2009, terjadi peningkatan signifikan kejahatan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di Indonesia sebagaimana dalam tabel berikut ini.
Tabel 5.2 Kejahatan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Jenis Perkara 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Total
Pengadaan Barang Jasa 2 12 8 14 18 9 63
Perjanjian 5 1 3 1 10Penyuapan 7 2 4 13 11 37Pungutan 7 2 3 0 12
Penyalahgunaan Anggaran 5 3 10 8 26
Total 2 19 27 24 47 29 148
Sumber: Abdullah Hehamahua, Penasihat KPK (LKPP, Jakarta tanggal 8 Juni 2011)
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah408
Data tersebut, pada tiga tahun terakhir (2007, 2008, dan 2009) jika dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya (2004, 2005, dan 2006) diketahui terdapat indikasi kuat meningkatnya kejahatan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di Indonesia. Hal ini dikarenakan rumusan Pasal 12 huruf (i) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi: “Pegawai negeri atau penyelenggara negara, baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurusi dan mengawasinya”.
Rumusan Pasal 12 huruf (i) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 yang begitu luas tidak hanya berlaku pada Pegawai Negeri Sipil saja tetapi menyangkut pada penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung sebagai turut serta pada saat peng adaan barang/jasa dilakukan.
Kebijakan hukum harus dapat memberikan sebuah kepastian akan tercapainya sasaran dan tujuan dari sebuah proyek pengadaan barang/jasa dan segala bentuk penyimpangan atas sumbersumber ini (korupsi) haruslah dapat ditindak dengan tegas dan pasti.
Penguatan dalam bentuk perundangundangan pengadaan barang/jasa pemerintah, perlu diperhatikan pula dari formulasi Pasal 1 RUU Konsep KUHP Baru Tahun 2012. Formulasi Pasal 1 RUU Konsep KUHP Baru Tahun 2012 tersebut menjadi dasar formulasi bagi kebijakan hukum birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah.
Pasal 1
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundangundangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
Pasal 1 RUU KUHP 2012 tersebut mensyaratkan seseorang hanya dapat dipidana jika perbuatan yang dilakukannya sudah ditetapkan di dalam peraturan perundangundangan. Terkait dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang terdapat indikasi korupsi, maka penguatan perundangundangan sebagai bentuk
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 409
reformasi kebijakan hukum birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah dalam hal ini perlu juga diatur lebih detail tentang bentukbentuk penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah berikut dengan sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap penyimpanganpenyimpangan tersebut yang termasuk dalam tindak pidana.
Penyimpanganpenyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa tersebut, dengan jelas ditentukan sebagai tindak pidana pengadaan barang/jasa, termasuk di dalamnya adalah bentukbentuk tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam persepsi untuk menentukan apakah penyimpangan dalam setiap tahapan pengadaan barang/jasa pemerintah termasuk dalam tindak pidana atau tidak.
Pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah perlu diatur dalam undangundang guna mencegah terjadinya tindak pidana korupsi yang dapat me ru gikan keuangan negara. Pembentukan undangundang tentang pengadaan barang/jasa pemerintah berfungsi sebagai landasan yuridis dalam mengatur prosedur/mekanisme pengadaan barang/jasa, diikuti dengan pembentukan badan/lembaga khusus yang sentralistik dengan tugas pokok melakukan penataan aparatur pelaksana kegiatan mulai dari rekruitmen, pengelolaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, agar lahir aparatur pelaksana yang berkarakter kuat, memiliki integritas kepribadian yang luhur, bersih, dan bebas dari perilaku koruptif. Selain melakukan penataan aparatur pelaksana kegiatan pengadaan barang/jasa, dilanjutkan dengan melakukan rekonstruksi struktur kepanitiaan pengadaan barang/jasa yang dimulai dari:a. pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran harus dipisahkan dengan
pejabat pembuat komitmen;b. membentuk tim pengawas dan tim pemeriksa barang yang independen
secara struktural terpisah dari kepanitiaan teknis;c. merumuskan kriteria yang boleh diangkat sebagai panitia pelaksana, tim
pengawas dan tim pemeriksa barang;d. merumuskan mekanisme pembagian tugas, pemberian atau pelimpahan
wewenang, dan sistem pertanggungjawaban;e. merumuskan tata cara pemberian reward bagi aparatur pelaksana yang
berprestasi dan penjatuhan sanksi administratif, sanksi perdata dan sanksi pidana.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah410
2. Penguatan Akuntabilitas Sistem Pengelolaan Keuangan NegaraSebagaimana diketahui bahwa sarana keuangan negara adalah instrumen yang sangat vital dalam menggerakkan roda organisasi pemerintahan, karena penyelenggaraan dari fungsifungsi pemerintahan tidak akan efektif tanpa didukung sarana keuangan negara. Karena pentingnya sarana keuangan ter sebut, maka penyelenggara negara mengaturnya dalam peraturan perundangundangan dan berbagai peraturan kebijakan. Kesalahan dalam pengelolaan keuangan negara akan berakibat kerugian bagi keuangan negara.
Reformasi fiskal dalam pengelolaan keuangan negara telah dimulai dengan dikeluarkannya UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undangundang lain yang kemudian menjadi bagian dalam reformasi fiskal, yaitu UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelo laan, dan Tanggung Jawab keuangan Negara.
Pada masa sebelum dilaksanakan reformasi (pra reformasi) di bidang keuangan negara atau khususnya selama masa Orde Baru, kegiatan pengelolaan keuangan negara lazim dikenal dengan istilah “pengurusan keuangan” yang secara teknis dilaksanakan melalui dua pengurusan, yaitu pengurusan umum/administrasi yang mengandung unsur penguasaan dan pengurusan khusus yang mengandung unsur kewajiban.11
a. Pengurusan umum Erat hubungannya dengan penyelenggaraan tugas pemerintah di segala
bidang yang tindakannya dapat membawa akibat pembebanan atas pengeluaran (belanja) negara dan/atau menimbulkan penerimaan negara (otorisasi) dan tindakan atau kewenangan untuk melakukan pengujian atas tagihan dan pembebanan terhadap belanja negara (ordonansi/ ordonancering).
b. Pengurusan khusus atau pengurusan kebendaharaan (kompatibel) Mempunyai kewajiban melaksanakan perintahperintah yang datangnya
dari pengurusan umum di atas berupa pembayaran beban anggaran belanja negara.
Mencermati uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa dilakukannya pembagian pengurusan dalam pengelolaan keuangan negara dimaksudkan sebagai upaya untuk memudahkan pengaturan pengeluaran pengelolaan keuangan negara.
11 A.Y. Suryanajaya, Sistem Pengendalian Intern ..., op.cit., hlm. 65.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 411
Kaitannya dengan pertanggungjawaban atas uang negara termasuk di dalamnya kegiatan yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah mulai dari pusat sampai ke daerah.
Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengurusan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dalam pelaksanaannya, kekuasaan tersebut didelegasikan kepada para menteri sebagai pembantu dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, yaitu kepada:12
a. Para menteri diserahi kekuasaan pengurusan umum sebagai pelaksana kewenangan otorisasi atau selaku otorisator;
b. Menteri Keuangan yang diserahi kewenangan ordonansi atau selaku ordonator;
c. Menteri Keuangan yang diserahi kewenangan pengurusan kebendaharaan atau selaku bendahara umum negara.Menurut penulis, maksud dan tujuan presiden selaku kepala pemerintahan
mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada para menteri adalah untuk melakukan pengurusan yang bersifat umum sebagai pelaksana yang memiliki kewenangan otorisasi dalam pengelolaan keuangan. Kepada menteri keuangan yang diberi kewenangan selaku bendahara umum negara adalah untuk membantu presiden agar pengelolaan keuangan negara lebih tertib dan mudah dila kukan pengawasan oleh presiden.
Dalam era pasca reformasi di bidang keuangan negara yang ditandai dengan lahirnya UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003, ditegaskan dalam Pasal 6 bahwa: “Presiden selaku kepala pemerintahan adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara”. Untuk membantu presiden dalam pelaksanaan kewenangan tersebut maka sebagian kewenangan:13
a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;
b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang kementerian/lembaga yang dipimpinnya;
c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
12 Ibid., hlm. 65.13 Ibid., hlm. 66.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah412
Berdasarkan butir c tersebut, maka undangundang bidang keuangan negara tersebut pada dasarnya dibuat untuk memperkuat dan mengefektifkan fungsi pengawasan dalam pelaksanaan otonomi daerah, selain itu pengelolaan keuangan negara dalam pelaksanaan otonomi daerah diharapkan bisa terkontrol dengan baik guna menghindari terjadinya kebocoran uang negara yang terus meningkat, terutama karena korupsi.
Menteri keuangan sebagai pembantu presiden dalam bidang keuangan, pada hakikatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakikatnya adalah Chief Operasional Officer (COO) untuk suatu fungsi pemerintah tertentu. Pada pemerintah daerah, kewenangan untuk mengelola keuangan daerah yang diterima oleh gubernur/bupati/ walikota dilaksanakan oleh: 14
a. satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD sebagai CFO; dan
b. kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah sebagai COO.
Melihat hal tersebut, begitu banyak kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara yang didistribusikan dari presiden ke menteri keuangan sampai pada pemerintah di tingkat daerah. Kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengelolaan yang tersebar tersebut, juga menimbulkan permasalahan yakni berupa penyimpanganpenyimpangan apabila pengawasannya berkurang.
Dari uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa kedudukan menteri keuangan sebagai pembantu presiden dalam mengelola keuangan negara yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus memiliki fungsi yang sangat vital, baik sebagai bendahara umum negara yang khusus mengelola uang negara maupun sebagai bendahara umum negara yang diberi kewenangan mengangkat kuasa bendahara umum negara untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang telah ditetapkan. Hal ini dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 10 UndangUndang Perbendaharaan Negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 10 UndangUndang Perbendaharan Negara, menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota mengangkat:15
14 Ibid.15 Ibid., hlm. 72.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 413
a. Bendahara penerimaan Untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan
anggaran pendapatan pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah.
b. Bendahara pengeluaran Untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan
anggaran belanja pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah.
Pasal 35 ayat (2) UndangUndang Keuangan Negara memberikan pengertian bendahara, yaitu: “Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan uang atau surat berharga atau barangbarang negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan pertanggung jawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan”.
Dari definisi tersebut, bendahara yang ditugaskan untuk pengurusan keuangan negara dapat dijabat oleh orangorang (pegawai negeri atau swasta) dan badan hukum yang diangkat oleh menteri atau ketua lembaga negara yang menguasai bagian anggaran negara untuk mengelola uang, suratsurat berharga, dan barangbarang milik negara. Pengangkatan bendahara oleh menteri atau ketua lembaga negara ditetapkan dengan surat keputusan.
Pasal 10 UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 menyatakan bahwa:(1) Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran diangkat oleh menteri/
pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota.(2) Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran adalah pejabat fung
sional dan tidak boleh dirangkap oleh kuasa pengguna anggaran atau kuasa bendahara umum negara.
(3) Bendahara penerimaan/pengeluaran dilarang melakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan dan penjualan jasa, atau bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/pekerjaan/penjualan tersebut.
(4) Jabatan bendahara penerimaan/pengeluaran tidak boleh dirangkap oleh kuasa pengguna anggaran/kuasa bendahara umum negara.
(5) Persyaratan pengangkatan dan pembinaan karier bendahara diatur oleh bendahara umum negara selaku pembina nasional jabatan fungsional bendahara.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah414
Maksud bunyi dari Pasal 10 UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 di atas adalah untuk menegaskan agar menteri, gubernur, bupati, walikota tidak boleh merangkap sebagai kuasa pengguna anggaran dan dilarang bertindak sebagai penjamin atas kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah. Mengenai teknis pembagian tugas dari fungsi bendahara dalam mengelola keuangan negara sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
Pengurusan keuangan negara sebelum dan sesudah reformasi sebagai perbandingan lebih lanjut dapat dilihat secara lengkap pada gambar di bawah ini.
Gambar 5.2 Pengurusan Keuangan Negara Pra Reformasi
Pengurusan Umum
Pengurusan Keuangan Negara Pra Reformasi
Pengurusan Khusus
Menteri/Pimpinan Lembaga
Otorisator Ordonatur Bendahara Umum
Menteri Keuangan
Menteri Keuangan/
KPPN
Pengurusan Administratif (Administratief Beheer)
Pengurusan Perbendaharaan (Comtable Beheer)
Berdasarkan gambar tersebut, dapat dikemukakan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh menteri keuangan sangatlah besar. Menteri keuangan ter masuk menteri teknis/pimpinan lembaga dan juga sebagai pimpinan kemen terian/lembaga adalah otorisator. Otorisator adalah pejabat yang mempunyai kewe nangan untuk mengambil tindakan atau keputusan yang dapat mengakibatkan uang
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 415
negara keluar, sehingga menjadi berkurang atau bertambah karena pungutan dari masyarakat. Kewenangan menteri keuangan secara nasional mencakup pengurusan administratif selaku ordonatur dan sekaligus sebagai bendahara umum negara dalam pengurusan perbendaharaan, yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) selaku kuasa bendahara umum negara. Ordonatur adalah pejabat yang melakukan pengawasan terhadap otorisator dalam melaksanakan tindakan/keputusannya yang ditujukan untuk kepentingan umum.
Pengurusan Umum
Pengurusan Keuangan Negara Pasca Reformasi
Pengurusan Khusus
Menteri/Pimpinan Lembaga
Otorisator Ordonatur Bendahara Umum
Menteri Keuangan/
KPPN
Pengurusan Administratif (Administratief Beheer)
Pengurusan Perbendaharaan (Comtable Beheer)
Gambar 5.3 Pengurusan Keuangan Negara Pasca Reformasi
Berdasarkan gambar tersebut, bahwa setelah reformasi fiskal di bidang pengelolaan keuangan negara yang ditandai dengan lahirnya UndangUndang Keuangan Negara dan UndangUndang Perbendaharaan Negara, fungsi otorisasi dan ordonansi sepenuhnya menjadi kompetensi menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran, sedangkan menteri keuangan secara nasional adalah melaksanakan fungsi perbendaharaan selaku bendahara umum negara.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah416
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003, maka menteri keuangan adalah sebagai pembantu presiden dalam bidang keuangan, yang pada hakikatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakikatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan atau bertugas sebagai pimpinan operasional.
Menteri/pimpinan lembaga sebagai COO atau pengguna anggaran adalah otorisator dan sebagai ordonatur, sedangkan menteri keuangan secara nasional sebagai CFO adalah bendahara umum negara. Jadi, tidak semua dibebankan kepada menteri keuangan. Menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna anggaran bertanggung jawab atas pengeluaran atau belanja yang dilaksanakannya, termasuk dalam pengadaan barang/jasa. Sedangkan menteri keuangan bertanggung jawab atas ketersediaan dana sesuai dengan pengalokasian anggaran dalam anggaran belanja negara. Dapat disimpulkan bahwa menteri keuangan berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan kewajiban negara secara nasional, sementara menteri negara/lembaga berwenang dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tugas dan fungsi masingmasing.
Untuk meningkatkan akuntabilitas dan menjamin terselenggaranya sistem check and balance dalam proses pelaksanaan anggaran dilakukan pemisahan secara tegas antara pemegang kewenangan administratif dengan pemegang kewenangan kebendaharaan. Penyelenggaran kewenangan administratif diserah kan kepada kementerian negara/lembaga, sementara penyelenggaraan kewenangan kebendaharaan diserahkan kepada kementerian keuangan. Kewenangan admi nistratif meliputi melakukan perikatan atau tindakantindakan lainnya yang mengaki batkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara, melakukan pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementerian negara/lembaga sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran atau menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran. Menteri keuangan selaku bendahara umum negara adalah pengelola keuangan dalam arti seutuhnya, yang berfungsi sekaligus sebagai kasir, pengawas keuangan, dan manajer keuangan.
Fungsi pengawasan keuangan oleh menteri keuangan terbatas pada aspek keabsahan (rechtmatigheid) dan kesesuaian dengan ketentuan peraturan perundangundangan (wetmatigheid), serta hanya dilakukan oleh kementerian teknis atau pemeriksaan setelah terjadinya transaksi atau selesainya suatu kegiatan (post audit) yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 417
Dalam ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/ PMK.06/ 2005 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan APBN disebutkan bahwa: (1) Menteri/pimpinan lembaga yang menguasai bagian anggaran mempunyai
kewenangan atas penggunaan anggaran di lingkungan kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.
(2) Menteri/pimpinan lembaga menetapkan para pejabat yang ditunjuk sebagai:a. kuasa pengguna anggaran/pengguna barang;b. pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara;c. pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran
anggaran belanja;d. pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan perintah membayar;e. bendahara penerimaan untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam
rangka pelaksanaan anggaran pendapatan;f. bendahara pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan
dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja.(3) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c tidak boleh
merangkap sebagai pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, e, dan f.
Untuk peraturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Dirjen Perbenda haraan Nomor Per11/PB/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor Per66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban APBN. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa: (1) Pada setiap awal tahun anggaran, menteri/pimpinan lembaga selaku PA
menunjuk Pejabat Kuasa PA untuk Satker/SKS di lingkungan instansi PA bersangkutan dengan surat keputusan;
(2) Menteri/pimpinan lembaga dapat mendelegasikan kewenangan kepada kuasa PA untuk menunjuk:a. pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan yang meng
akibatkan pengeluaran anggaran belanja/penanggung jawab kegiatan/pembuat komitmen;
b. pejabat yang diberi kewenangan untuk menguji tagihan kepada negara dan menandatangani SPM;
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah418
c. bendahara pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja.
(3) Menteri/pimpinan lembaga selaku PA mendelegasikan kewenangan menunjuk pejabat kuasa PA dan pejabatpejabat sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) huruf a, b dan c kepada gubernur sebagai pelaksana dekonsentrasi.
(4) Menteri/pimpinan lembaga selaku PA mendelegasikan kewenangan menunjuk pejabat kuasa PA dan pejabatpejabat sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) huruf a, b, dan c kepada gubernur/bupati/walikota/kepala desa yang ditunjuk sebagai pelaksana tugas pembantuan.
(5) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak boleh merangkap sebagai pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c.
(6) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, b, dan c tidak boleh saling merangkap.
(7) Dalam hal pejabat/pegawai pada Satker tidak memungkinkan pemisahan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, b, dan c maka pejabat yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a atau huruf b.
(8) Tembusan Surat Keputusan para pejabat dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), disampaikan kepada Kepala KPPN selaku Kuasa BUN.
Pembagian kekuasaan tersebut merupakan salah satu upaya agar pengelolaan keuangan negara dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Dalam pelaksanaannya pun harus dengan pengawasan yang dilakukan secara konsisten untuk mencegah dan menghindari penyimpanganpenyimpangan yang mungkin dapat terjadi.
Sejalan dengan itu, pengelolaan keuangan negara juga harus dilaksanakan sejalan dengan prinsipprinsip good governance. Prinsipprinsip tersebut berupa asasasas klasik atau asasasas baru dalam pengelolaan keuangan negara. Asasasas klasik tersebut meliputi asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas. Asasasas baru meliputi akuntabilitas yang berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Asasasas tersebut juga menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara dan dalam manajemen kepegawaian.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 419
B. MODEL IDEAL SENTRALISASI KEBIJAKAN STRUKTUR HUKUM
1. Debirokratisasi dan Restrukturisasi Pengaturan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
Tantangan dalam menghadapi era globalisasi dan pengaruhnya, menuntut pula adanya perubahan konstruktif bagi penyelenggara negara untuk lebih baik dalam memberikan pelayanan publik, lebih bersikap demokratis, dan menjunjung tinggi konstitusi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan. Birokrasi sebagai suatu sistem pengorganisasian aparatur negara dengan
tugas yang sangat luas dan kompleks sangatlah diperlukan dalam pengendalian operasi manajemen pemerintahan, tetapi kinerja birokrasi dan rutinitas kegiatan pejabat dan aparat birokrasi sering menyebabkan masalah baru. Permasalahan baru ini menjadikan birokrasi statis, kurang peka terhadap perubahan lingkungan sosialnya, bahkan terkesan cenderung resisten terhadap pembaruan. Keadaan tersebut seringkali memunculkan potensi praktik mal administrasi yang menjurus pada praktik KKN.16
Termasuk di dalamnya adalah sistem birokrasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang masih sarat dengan KKN. Persoalan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, benarkah bisa ditanggulangi dengan adanya perubahan tata kerja bentuk reformasi birokrasi? Di satu sisi akan menimbulkan semakin kuatnya perselisihan pendapat dari kalangan pelaksana pengadaan maupun internal pemerintah. Di sisi lain dalam kaca mata hukum perlu ditelisik lebih mendalam apakah objektifitas praktiknya mengalami gejala pelanggaran hukum atau tidak.
Secara mendasar klasifikasi hukum terbagi atas hukum publik dan hukum privat. Hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alatalat perleng kapan negara atau negara dengan warga negara disebut sebagai hukum publik, sedangkan hukum yang mengatur hubungan antara satu orang dengan orang lain atau subjek hukum lain yang lebih menitikberatkan pada kepentingan perseorangan disebut hukum privat. Oleh karena itulah subjek hukum dalam perdata melihat jika terjadi penyelewengan terhadap praktik UndangUndang
16 Tavip Agus Rayanto, Menggagas Arah Strategi Reformasi Birokrasi untuk Mewujudkan Pemerintahan Efektif dan Akuntabel, dalam Agus Pramusinto dan Erwan Agus Purwanto (Ed.), Reformasi Birokrasi Kepemimpinan dan Pelayanan Publik, Kajian tentang Pelak sanaan Otonomi Daerah di Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Gava Media, Yogyakarta, 2009, hlm. 81 dan 82.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah420
Reformasi Birokrasi pada praktik indikasi KKN atas pengadaan barang dan jasa di tubuh pemerintah maka hukum perdata mengacu pada orang dan badan hukum sebagai penengah dan penyelaras implikasi undangundang negara.
Birokrasi yang sudah terjerambah pada penataan ruang reformasinya bertujuan sebagai bentuk kemantapan pembangunan nasional dan profesionalisme kinerja pegawai pemerintah agar tidak menimbulkan kerugian dan bisa terlaksana dengan maksimal dalam mencapai tujuan yang lebih baik dalam melayani masyarakat, harus menjadi pintu hukum agar penegakan pengadaan barang dan jasa tersebut tidak lari dari esensi dan muara hukumnya.
Apabila kegiatan pelayanan bagi masyarakat terhambat, maka tentu akan menghambat kemajuan pembangunan di Indonesia. Bangsa ini memiliki beberapa produk hukum yang menjadi landasan bagi pelaksanaan kegiatan peng adaan barang dan jasa. Beberapa produk hukum yang terkait dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa antara lain adalah Keppres No. 18 Tahun 2000 yang disempurnakan menjadi Keppres No. 80 Tahun 2003 dan terakhir diubah dengan Perpres No. 4 Tahun 2015.
Sejak diterbitkannya Keppres No. 80 Tahun 2003, Keppres ini terus mengalami perubahan hingga tahun 2007 dan terakhir berubah menjadi Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Adanya perubahanperubahan tersebut dikarenakan praktik pengadaan barang dan jasa publik menyisakan beberapa kelemahan, antara lain belum mampu mendorong percepatan pelaksanaan belanja dalam APBN/APBD (bottleneck), belum ada indikator yang mendorong terjadinya inovasi, masih adanya multitafsir dan halhal yang belum jelas, belum adanya mekanisme reward and punishment yang memadai.17
Imbas dari beberapa kelemahan tersebut, muncul peluangpeluang praktik kecurangan di dalam proses penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa. Menurut temuan Bappenas pada tahun 2008 dalam persoalan pengadaan barang/jasa sangat terkait dengan pasar pengadaan yang tidak terbuka, kurangnya kapasitas manajemen pengadaan oleh instansi pemerintah dari aspek pengorganisasian maupun jumlah dan kompetensi personelnya, bad governance (tidak transparan
17 Ratih Anggraeni, Soesilo Zauhar, dan Siswidiyanto, Evaluasi Kebijakan Publik (Evaluasi terhadap Proses Pengadaan Anjungan Mandiri Kepegawaian Berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010 di Badan Kepegawaian Daerah Kota Malang), dalam Journal of Public Administration Research (JOPAR), Vol. 1, No. 1 Tahun 2012.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 421
dan tidak akuntabel), penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan tertentu sampai tindak pidana korupsi). Oleh karena itu, lahirnya Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 diharapkan dapat menjadi sebuah solusi untuk menyempurnakan kelemahankelemahan yang terdapat pada peraturan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah seperti Keppres No. 80 Tahun 2003 berikut perubahannya, dan menjadi tonggak reformasi birokrasi pada bidang pengadaan barang dan jasa publik. Perpres No. 54 Tahun 2010 yang diubah dengan Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 bisa menjadi loncatan perubahan dalam praktik reformasi birokrasi.
Sementara, kalau kita melihat perundangan yang mengatur adanya reformasi birokrasi bisa kita lihat sebagai berikut. Perpres No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025. Permenpan dan RB No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010–2014, Permenpan dan RB No. 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan RB Kementerian/Lembaga, Permenpan dan RB No. 8 Tahun 2011 tentang Pedoman Penilaian Dokumen Usulan RB Kementerian/Lembaga, Permenpan dan RB No. 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Road Map RB Kementerian/Lembaga dan Pemda, Permenpan dan RB No. 10 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Perubahan, Permenpan dan RB No. 11 Tahun 2011 tentang Kriteria dan Ukuran Keberhasilan RB, Permenpan dan RB No. 12 Tahun 2011 tentang Penataan Tata Laksana (Business Process), Permenpan dan RB No. 13 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Quick Wins, Permenpan dan RB No. 14 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Pengetahuan, Permenpan dan RB No. 15 Tahun 2011 tentang Mekanisme Persetujuan Pelaksanaan RB dan Tunjangan Kinerja Kementerian/Lembaga, adalah pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah setidaknya mempunyai korelasi aturan yang seimbang dengan tegaknya reformasi birokrasi yang sudah diundangundangkan melalui beberapa aturan undangundang dengan saksama.
Masalahnya, hukum tersebut kadang ketika menjadi titik perspektif kepentingan para elit penguasa dan para pemilik modal, maka akan menjadi produk undangundang yang masghul. Bahkan cenderung lebih sempit gerak hukumnya sebab memiliki sentuhan politik dan kepentingan tersembunyi untuk mengendalikan agendaagenda pengadaan barang dan jasa negara. Tender pemenangan sudah disiapkan untuk kepentingan siapa, dengan pembagian bagaimana, lantas kepentingan profitnya akan kembali pada individu atau suatu kelompok tertentu dan negara akan mengalami kerugian.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah422
Merujuk pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2012 tentang Jabatan Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa dan Angka Kreditnya pada Bab 1 (Pasal 1) pada alinea 2 berbunyi:
Pengadaan barang/jasa pemerintah yang selanjutnya disebut dengan pengadaan barang atau jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang atau jasa oleh kementerian atau lembaga atau pemerintah daerah atau institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang atau jasa.
Pada alinea 3 berbunyi:
Pengelola pengadaan barang/jasa adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan perencanaan pengadaan, pemilihan penyedia, manajemen kontrak, dan manajemen informasi aset.
Bahwa dua alinea yang bisa dikatakan sebagai landasan pihak penyelenggara pengadaan barang dan jasa di atas menjadi titik tumpu kekuatan hukum, apakah penyelenggara pengadaan barang dan jasa serta bagaimana persoalan kontrak yang tepat agar hukum dalam pengadaan barang dan jasa tersebut tidak melenceng dari nilai keadilan dan transparansinya.
Suatu kegiatan publik khususnya pemerintahan maupun privat (usaha swasta) selalu diperlukan barang/jasa sebagai bentuk upaya untuk keperluan operasional yang bersifat rutin seperti bahan baku, bahan penolong (supplies), suku cadang, barang jadi, dan barang modal (kapital) seperti bangunan, mesin dan peralatan lainnya.
Suplai konkret berupa kebutuhan barang/jasa tersebut adalah untuk menjaga kelancaran operasional dan jaminan pertumbuhan, di mana untuk memperoleh barang dan jasa itu tidak bisa didapatkan secara instan, tetapi diperlukan jarak dan tenggang waktu. Estimasi dan jarak waktu yang selalu dibutuhkan sejak dimulai dari saat melakukan pemesanan, produksi, pengantar barang hingga pada tahap memproses barang di gudang hingga siap digunakan oleh pemakainya.
Sebagai pembanding, misalnya di beberapa berbagai negara maju seperti di Amerika dan negara yang tergabung dalam Komunitas Eropa, tidak kurang dari 20% GDP dialokasikan untuk pengadaan barang/jasa, sedangkan di Indonesia
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 423
tiap tahunnya tidak kurang dari 30% APBN dialokasikan untuk pengadaan barang/jasa. Oleh karena itulah alasan mengapa begitu penting dalam sebuah sistem pengadaan publik adalah sistem yang transparan, non diskriminasi, ber keadilan, efektif, dan efisien selaras dengan reformasi birokrasi yang sudah tertata sesuai dengan undangundang dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Menjadi menarik bila kita melihat perkembangan isu publik adalah permasalahan pokok dalam penyelenggaraan pengadaan publik adalah menggejalanya praktik KKN, diskriminatif, dan kecurangan, kerap terjadi di dalam pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia.
Mengutip apa yang dikatakan Christopher & Gross, yang dikutip oleh Sanator Nur Bahagia, sebenarnya isu dan permasalahan ini telah mendapat perhatian masyarakat internasional sejak tahun 60an, dan berbagai upaya telah dilakukan untuk mencari solusinya. Kesepakatan pertama lahir tahun 1979 pada Putaran Tokyo (Tokyo Round) dengan dikeluarkannya Government Procurement Agreement (GPA) sebagai suatu kesepakatan yang bersifat plurilateral yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 1981.18
Praktik GPA bersifat sukarela dan terbatas pada pengadaan dengan nilai kontrak minimal sebesar 150,000 SDR (special drawing rights). Selanjutnya GPA ini diperbarui pada tahun 1994 sebagai bagian dari Putaran Uruguay Tahun 1993 yang ditandatangani di Marrakesh pada bulan April 1994, dan mulai diberlakukan sejak bulan Januari 1996.
Mengapa kita perlu studi GPA? Sebab penyelenggaraan public procurement yang baik juga mendapat dukungan dari berbagai lembaga internasional di antaranya PBB melalui United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) yang menerbitkan UNCITRAL Model Procurement Law, World Trade Organization (WTO), World Bank dan Asian Development Bank sebagai negara donor yang mewajibkan negara anggota yang diberi pinjaman dalam melaksanakan pengadaan untuk melaksanakan prinsip dasar, etika, dan tata cara pengadaan yang dituangkan dalam Procurement Guide Line.19
18 Nur Bahagia, Sistem Pengadaan Publik dan Cakupannya, dalam Jurnal LKPP Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Vol. 1 Nomor 1 Desember 2011, hlm. 10–11.
19 Ibid.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah424
Pemerintah Indonesia, seiring berkembangnya reformasi birokrasi dalam tataran hukumnya perlu memberikan prioritas yang tinggi bagi berbagai reformasi penyelenggaraan pengadaan publik secara menyeluruh, penguatan kelembagaan, menghilangkan praktik KKN dalam rangka upaya melakukan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia.
Meskipun negara kita telah membuat sejumlah regulasi dan melakukan penyegaran terhadap peraturan perundangundangan dalam perbaikan peraturan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah selama beberapa tahun terakhir, namun dirasakan masih perlu terus diupayakan perbaikan demi tegaknya kekuatan hukum dan agar sejalan dengan sasaran pengadaan barang dan jasa pemerintah secara profesional dan berkeadilan.
Secara yuridis bahwa dalam melaksanakan pengadaan barang dan jasa pemerintah, hukum hadir sebagai pengawas bila terjadi penyelewengan di antaranya fungsi keuangan, fungsi hukum, fungsi perencanaan dan pengen dalian, fungsi transportasi, fungsi penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran, fungsi estimasi dan pengendalian biaya, fungsi administrasi dan kontrak, serta fungsi pengawasan pelaksanaan fisik, sehingga di sini terkait dengan pertanggungjawaban dari para pelaksana pengadaan barang/jasa pemerintah. Pelaksana pengadaan adalah orang yang membantu pejabat berwenang yang bertanggung jawab penuh baik dari segi administrasi, keuangan dan manfaat pengadaan barang/jasa sesuai ketentuan dan prosedur yang berlaku. Oleh sebab itu, integritas moral, disiplin, dan rasa tanggung jawab yang tinggi serta kualifikasi teknis dan manajerial dari pejabat berwenang sangat dibutuhkan dalam pengadaan barang dan jasa. Mengutip dari Nur Bahagia bahwa belum adanya formulasi standar terkait
dengan public procurement yang bisa dianut oleh suatu negara maka agar pengadaan barang/jasa mencapai tujuan sesuai dengan kriteria kinerja yang diharapkan sebagaimana prinsip dasar (transparan, adil, bertanggung jawab, efektif, efisien, kehatihatian, kemandirian, integritas good corporate governance).20
Untuk tercapainya kinerja sebagaimana prinsip dasar yang disebutkan oleh Nur Bahagia di atas, maka pemerintah perlu melakukan langkahlangkah debirokratisasi pengaturan kebijakan hukum birokrasi tentang kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dapat mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia, antara lain sebagai berikut.
20 Jawade Hafidz, op.cit., hlm. 11.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 425
a. Penyederhanaan tahapan kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah, semula ada 15 tahapan disederhanakan menjadi tujuh tahapan, yakni tahapan persiapan, tahapan prakualifiksasi dan penyusunan dokumen perusahaan, tahapan penyusunan harga perkiraan sendiri dan aanwijzing, tahapan pengumuman pemenang lelang, tahapan penandatanganan kontrak, tahapan pelaksanaan pekerjaan, serta tahapan penyerahan pekerjaan.
b. Peningkatan pemahaman pengadaan barang/jasa pemerintah untuk seluruh pejabat pelaksanan pengadaan (pimpinan instansi/lembaga, PPK, panitia/ pejabat pengadaan, bendahara, dan pejabat/pihak terkait lainnya).
c. Pembatasan akses di antara pejabat pelaksana pengadaan dengan rekanan atau penyedia barang/jasa.
d. Meningkatkan persaingan sehat melalui pengadaan secara elektronik.
e. Pemberian sanksi yang tegas atas setiap pelanggaran terhadap ketentuan pengadaan barang/jasa.
Hal tersebut tidak terlepas dari pilihan kebijakan hukum yang dibuat oleh pemerintah. Misalnya, jika Departemen Kesehatan tidak peduli terhadap kondisi fisik individuindividu anggota masyarakat, ia tidak akan mengalokasikan dana besar, yang sebagian di antaranya adalah pinjaman untuk menyelenggarakan program Posyandu.
Akan tetapi sebaliknya, pemerintah mungkin merasa tidak manusiawi jika semua orang tua harus tinggal di rumah jompo. Oleh karena itu, ia berkampanye agar setiap anak berbakti kepada dan menghormati orang tua, dengan cara antara lain memeliharanya ketika telah uzur. Keinginan pemerintah untuk tidak membangun rumah jompo, dengan demikian, mengharuskannya untuk mengeluarkan biaya kampanye melalui buku sekolahnya, misalnya.21
Kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, pada dasarnya adalah untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam pembuatan kebijakan hukum ada beberapa alternatif yang harus dipilih. Masya rakat dipaksa oleh pemerintah untuk melakukan suatu tindakan sebagai pemecahan masalahnya, dan pemerintah diharuskan untuk memilih kondisi apa yang sebaiknya diciptakan oleh masyarakat melalui peraturan atau kebijakan yang dibuatnya.
21 Ibid.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah426
Setiap tindakan pemerintah untuk merespons adanya desakan itulah yang disebut kebijakan. Respons pemerintah tersebut bisa berupa tindakan maupun diamnya pemerintah. Sementara desakan atau tuntutan itu bisa berasal dari sebagian anggota masyarakat, misalnya tuntutan untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan, tuntutan untuk memberantas KKN, dan sebagainya. Tuntutan bisa juga didesakkan oleh beberapa kelompok saja, misalnya keinginan kelompok budayawan untuk memilah departemen pendidikan dan kebudayaan menjadi dua departemen, atau desakan sekawanan pengusaha agar pemerintah membentuk badan pengelola cengkeh, tapi bisa juga keinginan itu dimunculkan ke dalam proses konversi pembuatan kebijakan oleh seorang individu yang berkedudukan sebagai pemerintah.22
Terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah ini, setiap lembaga atau instansi memiliki kebutuhan akan barang/jasa yang berbedabeda. Jadi, kebijakan hukum yang dibuat harus sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masingmasing lembaga/instansi. Oleh karena itu, kebutuhan akan barang/jasa di setiap lembaga/instansi berbedabeda, sehingga bagi pejabat atau pegawai yang diberi kan kewenangan untuk melaksanakan harus benarbenar mengetahui kriteria barang/jasa yang dibutuhkan, dan pelaksanaan pengadaan harus berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku. Kesalahan sedikit yang menyimpang dari aturan dan menimbulkan kerugian dapat disebut sebagai kejahatan. Oleh karena itu, bagi setiap penyelenggara yang ditunjuk sebagai panitia pengadaan barang/jasa pemerintah, harus memahami segala peraturan yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Keti daktahuan dan ketidakmampuan dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana yang tercantum dalam peraturan pengadaan barang/jasa tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi negara. 2. Pengaturan Kewenangan dalam Pengadaan Barang dan JasaKewenangan dimaknai sebagai kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu perbuatan yang dibenarkan dalam peraturan perundangundangan, dengan maksud agar penggunaan kewenangan tersebut tidak melampaui batasbatas yang diberikan kepadanya. Penggunaan kewenangan yang baik,
22 Ibid.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 427
disesuaikan dengan kapasitas dan proporsionalitas yang dimiliki. Terkait dengan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang ada saat ini dengan regulasi Perpres di dalamnya diketahui belum diatur mengenai batasan kewenangan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan sesuai dengan beban tugasnya masingmasing, misalnya batasan kewenangan yang dimiliki oleh seorang pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, pemeriksa dan panitia yang secara teknis melaksanakan serangkaian kegiatan pengadaan barang/jasa mulai dari tahap perencanaan sampai dengan penyerahan barang. Kejelasan batasan kewenangan dalam pengadaan barang/jasa menjadi penting karena berkaitan dengan beban dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh masingmasing panitia.
Menurut S.F. Marbun bahwa wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undangundang yang berlaku untuk melakukan hubunganhubungan hukum. Dengan demikian wewenang pemerintah memiliki sifatsifat antara lain: (1) express implied; (2) jelas maksud dan tujuannya; (3) terikat pada waktu tertentu; (4) tunduk pada batasanbatasan hukum tertulis dan tidak tertulis; dan (5) isi wewenang dapat bersifat umum (abstrak) dan konkret.23
Dipahami bahwa konsekuensi dari adanya kewenangan adalah adanya tanggung jawab yang mesti dipikul. Besar kecilnya beban dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh seorang panitia pengadaan barang/jasa pemerintah idealnya disesuaikan dengan besar kecilnya kewenangan yang dimiliki untuk melaksanakan pekerjaan. Sebagai salah satu contoh yang pernah ditangani oleh penulis adalah peristiwa pengadaan penggemukan sapi dan kambing di Kota Tegal beberapa waktu yang lalu. Sejak awal prosesnya sampai penyerahan barang berupa sapi dan kambing melibatkan kepala dinas peternakan sebagai pengguna anggaran, melibatkan pejabat pembuat komitmen, bendahara panitia, pengawas, pemeriksa, dan ada panitia teknis. Satu tahun kemudian ada laporan dari pihak lain kepada Kejaksaan Negeri Tegal yang melaporkan bahwa kegiatan pengadaan penggemukan sapi dan kambing bermasalah sarat dengan korupsi lalu diproses oleh Kejaksaan Negeri Tegal. Selama proses hukum tersebut Kejaksaan Negeri Tegal hanya menetapkan satu orang sebagai tersangka, yakni panitia pemeriksa yang statusnya hanya sebagai staf biasa di kantor Dinas
23 Nomensen Sinamo, op.cit., hlm. 87.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah428
Peternakan Kota Tegal sampai perkara tersebut diputus dan memiliki kekuatan hukum yang tetap. Sementara yang lain sama sekali tidak diproses hukum. Fakta itulah yang membuat adanya ketidakadilan dalam pertanggungjawaban panitia pengadaan barang/jasa pemerintah.
Wewenang atribusi (atribute bevoegdheid) adalah wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan perundangundangan, artinya wewenang pemerintah dimaksud telah diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku, wewenang ini kemudian yang disebut sebagai asas legalitas (legalitietbeginsel) sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, wewenang ini dapat didelegasikan maupun dimandatkan.24
Wewenang delegasi (delegatie bevoegdheid), adalah wewenang yang diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dan badan/organ pemerintahan yang lain. Sifat wewenang delegasi adalah pelimpahan yang bersumber dari wewenang atribusi. Akibat hukum ketika wewenang dijalankan adalah menjadi tanggung jawab penerima delegasi (delegataris), dan wewenang tersebut tidak dapat digunakan lagi oleh pemberi wewenang, kecuali pemberi wewenang (delegans) menilai terjadi penyimpangan atau pertentangan dalam menjalankan wewenang tersebut, sehingga wewenang dicabut kembali oleh pemberi delegasi (mandans) dengan berpegang pada asas contrarius actus. Kesimpulannya wewenang delegasi dapat dicabut kembali oleh pemberi wewenang (delegans) apabila dinilai ada pertentangan dengan konsep dasar pelimpahan wewenang. Wewenang mandat (mandaat bevoegdheid), adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas oleh peraturan perundangundangan. Ditinjau dari segi tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat (mandataris) tidak dibebani tanggung jawab dan tanggung gugat atas wewenang yang dijalankan. Setiap saat wewenang tersebut dapat digunakan atau ditarik kembali oleh pemberi mandat (mandans).25
Untuk memperjelas perbedaan yang mendasar antara wewenang atribusi, delegasi, dan mandat, berikut adalah skema tentang perbedaan tersebut.26
24 Ibid., hlm. 94.25 Ibid., hlm. 95.26 Ibid., hlm. 96.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 429
Tabel 5.3 Perbedaan Cara Perolehan dan Tanggung Jawab Wewenang Pemerintahan (Philiphus M. Hadjon)
Cara Perolehan
Atribusi Delegasi Mandat
Perundang-undangan Pelimpahan Pelimpahan
Kekuatan mengikatnya
Tetap melekat sebelum ada perubahan peraturan
perundangundangan.
Dapat dicabut atau ditarik kembali apabila
ada pertentangan atau penyimpangan (contrarzus actus).
Dapat ditarik atau digunakan
sewaktuwaktu oleh pemberi wewenang
(mandans).
Tanggung jawab dan tanggung
gugat
Penerima wewenang bertanggung jawab
mutlak atas akibat yang timbul dari wewenang.
Pemberi wewenang (delegans)
melimpahkan tanggung jawab kepada
penerima wewenang (delegataris).
Berada pada pemberi mandat (mandans).
Hubungan wewenang
Hubungan hukum pembentuk undang
undang dengan organ pemerintah.
Berdasarkan atas wewenang atribusi yang
dilimpahkan kepada delegataris.
Hubungan yang bersifat internal antara bawahan dengan atasan.
Skema di atas menjelaskan adanya perbedaan tanggung jawab dan tanggung gugat antara penggunaan kewenangan yang bersifat delegasi dan penggunaan kewenangan yang bersifat mandat. Kaitannya dengan pertanggungjawaban dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah, penulis berpendapat untuk menjamin adanya rasa keadilan dan keseimbangan dalam pertanggungjawaban kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah perlu keseimbangan dalam menggunakan kewenangan yang diberikan, yaitu perpaduan antara kewenangan yang bersifat delegasi dan kewenangan yang bersifat mandat. Untuk mewujudkan adanya keseimbangan tanggung jawab dan tanggung gugat antara kewenangan delegasi dan kewenangan mandat perlu diatur dalam undangundang tentang pengadaan barang/jasa pemerintah, yang teknis pelaksanaannya diatur dalam Perpres yang baru tentang pengadaan barang/jasa pemerintah.
Hal yang harus mutlak ada ialah job descriptions atau uraian tugas yang jelas bagi setiap pegawai. Kejelasan tugas tiap pegawai itulah yang menjadi kuncinya. Untuk keperluan ini, yakni memperjelas tugas bagi setiap pegawai, satu atau dua tahun yang lalu pemerintah telah melakukan beberapa penataran tentang analisis jabatan, dan sebagian instansi telah melaksanakannya. Analisis jabatan berusaha untuk melihat secara riil apa saja pekerjaan yang dilakukan oleh seorang pegawai
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah430
atau pejabat pada suatu waktu. Setelah informasi tentang tugas sesungguhnya ini diperoleh, kemudian dilakukan analisis secara menyeluruh tentang aktivitas apa saja yang harus dijalankan oleh organisasi untuk menjalankan fungsi dan kewajiban yang melekat padanya. Kemudian disusunlah uraian tugas dari semua pejabat atau pegawai, secara rinci dan konsisten dengan pencapaian tujuan organisasi. Hierarki yang dijumpai dalam tubuh birokrasi, yang pada hakikatnya me
ru pakan wahana pendelegasian wewenang dan saluran informasi, malah dapat menjadikan biasnya informasi yang disampaikan dari birokrat bawah kepada birokrat atas. Banyak informasi yang hilang, secara sengaja maupun tidak. Laporan bawahan kepada atasan, yang seharusnya merupakan input bagi pengambilan kebijakan, berubah menjadi alat kontrol terhadap bawahan itu sendiri. Akibatnya bawahan akan cenderung memberikan data yang baik saja dan menutupi berbagai kelemahan pelaksanaan kebijakan yang menjadi tanggung jawabnya. Laporan pada akhirnya hanya menjadi formalitas dan informasinya bersifat menipu.27
Birokrasi merupakan pusat koordinasi di seluruh wilayah negara atau pelaksana utama dari kebijakan hukum, sehingga struktur birokrasi mempunyai kekuasaan sangat besar. Birokrasi mampu memengaruhi kehidupan masyarakat. Jika siap mementingkan diri sendiri lebih diutamakan dalam birokrasi, maka penyelewengan dan penyimpangan besarbesaran akan terjadi, hal ini dapat terjadi dalam sistem birokrasi yang sentralistis. Terlebih lagi birokrasi yang sudah dipengaruhi dengan unsur politik, maka birokrasi tidak menjadi birokrasi yang demokratis, karena terdapat kepentingankepentingan tertentu di dalamnya yang juga menentukan kualitas pelayanan publik.
Sebagaimana diketahui, bahwa birokrasi memiliki beberapa penyakit. Di antaranya adalah parkonsonian, yakni nafsu seorang pemimpin birokrasi untuk menambah jumlah staf tanpa adanya analisis kebutuhan, yang mengakibatkan peningkatan jumlah staf yang tidak sesuai dengan fungsinya. Struktur jabatan menjadi semakin bertambah, padahal tidak ada fungsi dari jabatan yang dibuat. Penyakit lain adalah yang dinamakan jacksonian, yaitu diangkatnya sejumlah pejabat birokrasi oleh pemimpin politik karena mereka adalah teman atau anggota kelompoknya. Bila ini terjadi, maka syarat keahlian yang harus dimiliki birokrasi menjadi tidak terpenuhi, dan ia tidak lagi rasional serta
27 Ibid.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 431
akan terjadi pemborosan anggaran. Sama halnya dengan nepotisme, pejabat yang diangkat karena adanya hubungan kekeluargaan atau pertemanan akan mengurangi keprofesionalan lembaga. Pegawai akan menjadi semakin banyak, tetapi tidak dibarengi dengan kemampuan dan kualitas yang memadai. Dapat dilihat penerimaan PNS di setiap tahunnya. Banyaknya CPNS seharusnya dapat dijadikan sarana bagi pemerintah untuk mencari pegawai yang benarbenar berkompeten di bidangnya, tetapi pada kenyataannya di dalam perekrutan, hanya mereka yang mempunyai koneksi yang dapat diterima menjadi PNS.
Kelebihan pegawai di dalam birokrasi perlu untuk diminimalisasikan dengan cara melakukan rasionalisasi pegawai. Hal ini dilakukan agar birokrasi dapat bekerja secara efektif dan efisien. Cukup memiliki sedikit pegawai tetapi bekerja secara profesional, daripada memiliki banyak pegawai yang tidak bisa bekerja. Menurut Thoha, tindakan paling mudah adalah memecat sebagian pegawai
atau mempercepat pensiunan mereka dan menghentikan rekrutmen pegawai baru. Inilah yang disebut sebagai “rasionalisasi” sebagai suatu tindakan penyempurnaan atau pendayagunaan aparatur negara atau reformasi administrasi yang cukup ekstrem. Hanya saja, masalah yang dihadapi oleh negara terhadap birokrasi tidak hanya menyangkut jumlah pegawai yang berlebih.28
Pekerjaan yang dilakukan oleh birokrasi dilakukan secara terusmenerus. Penyakitpenyakit dalam birokrasi harus segera dimusnahkan, oleh karena itu birokrasi harus dilakukan perubahan. Karena terlembaga, maka perubahan birokrasi harus disadari sebagai suatu kegiatan yang berkelanjutan.
Birokrasi adalah organisasi yang mempunyai cara kerja yang rasional. Rasional berarti orangorang yang bekerja mempunyai job description yang jelas, terencana, dan mempunyai tujuan yang terukur dan berdasar aturan tertulis.
Birokrasi pemerintah bekerja secara rasionalsistematis untuk mengejar visi, misi, dan tujuan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam negara demokrasi, rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi, selain itu pemerintah dan parlemen itu dipilih oleh rakyat, dan diberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan dengan mandat yang diberikan oleh rakyat. Tujuantujuan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah demi kepentingan rakyat juga, demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, jika birokrasi dapat menjalankan kebijakan dan aturan pemerintah secara taat dan apa adanya, sudah dengan sendirinya kepentingan masyarakat terpenuhi.
28 Ibid., hlm. 107.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah432
Karakteristik pertama dari birokrasi yang ideal adalah taat kepada pemerintah, yakni birokrasi bekerja secara legal, formal, berdasar aturan tertulis. Tanpa aturan (yang berasal dari pemerintah dan bersumber pada rakyat), birokrasi tidak akan mau bekerja dan sebaliknya kalau dia bekerja tanpa aturan, masyarakat akan menolaknya. Konsekuensinya adalah sebagai karakteristik birokrasi yang ideal kedua, birokrasi harus dapat mempertanggungjawabkan pekerjaannya (accountability atau akuntabilitas). Bertanggung jawab berarti jika birokrasi telah bekerja sesuai aturan, dia harus diberi ganjaran, kalau menyimpang diperingatkan, kalau memperjualbelikan jabatannya dihukum. Jika kedua karakteristik itu terpenuhi, maka birokrasi sudah dapat dinyatakan telah bekerja dengan baik. Dia layak dipuji dan masyarakat patut memberikan imbalan yang sepantasnya kepada mereka. Karakteristik ketiga adalah bekerja secara efisien. Birokrasi tidak boleh menghamburhamburkan uang dan sumber daya pemerintah, yang merupakan milik rakyat dan berasal dari pajak, keuntungan perusahaan negara atau hasil bumi tempat rakyat hidup dan menanggung polusi. Efisiensi tidak saja berarti penggunaan sumber daya negara untuk kepentingan yang terarah (sehingga lebih banyak kebaikan yang dapat dikerjakan), melainkan juga berarti mengurangi eksploitasi sumber daya alam dan sekaligus mengurangi polusi lingkungan. Karakteristik keempat, adalah birokrasi bekerja secara fleksibel dan manusiawi. Tuntutan ini merupakan reaksi atas sikap legal formal di atas, yang seringkali menjadikan birokrasi kaku dan tidak manusiawi. Akan tetapi sebagai sebuah reaksi, karakteristik keempat ini tidak boleh menghapus karakteristik pertama di atas, karena bagaimanapun legitimasi birokrasi terletak pada kepatuhannya kepada aturan. Hanya saja, dalam hal ini birokrasi dituntut untuk di satu pihak bisa membuat improvisasi dalam batasbatas aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau di pihak lain, mengusulkan perubahanperubahan aturan kepada pemerintah demi kepuasan masyarakat yang dilayaninya. Terhadap setiap tuntutan masyarakat, birokrasi diharapkan tidak mengatakan “itu sudah peraturannya”, tetapi dari mereka diharapkan sebuah pernyataan: “Kami akan mengusahakan perubahan aturan sesuai dengan kebutuhan yang telah berubah”.29
Karakteristik birokrasi yang ideal di atas memang sudah sepantasnya menjadi karakteristik birokrasi di Indonesia, dan hal itu sangat mungkin terjadi.
29 Ibid., hlm. 240 dan 241.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 433
Kepatuhan terhadap kebijakan hukum untuk tidak melakukan perbuatan yang menyimpang, tercela, bahkan melakukan kejahatan dapat menjadi awal bagi perubahan birokrasi di Indonesia. Jika para birokrat mempunyai kesadaran yang tinggi untuk melakukan perubahan, maka bawahannya pun akan mengikutinya.
Untuk mencapai karakteristik birokrasi yang ideal di atas, maka birokrasi dipersyaratkan untuk bekerja secara transparan. Transparan berarti bahwa cara kerja dan hasil kerja birokrasi harus dapat dilihat tidak saja oleh para birokrat dari departemen atau bagian lain, melainkan juga terlihat oleh masyarakat. Proses kerja yang transparan menjadikan birokrasi dapat dikontrol dan dievaluasi, apakah sudah sesuai dengan aturan, memberikan informasi yang tepat, bekerja secara efisien, memilih ahli yang berkualitas dalam pengadaan barang/jasa, dan seterusnya.
Dengan adanya evaluasi, pemerintah dapat merumuskan agendaagenda penyempurnaan atau reformasi untuk terus menerus berusaha menciptakan birokrasi yang ideal seperti di atas. Evaluasi dilakukan secara berkala, dengan jadwal yang jelas. Dengan demikian, maka semua pihak dapat mengontrol jalannya proses reformasi, dan birokrasi akan terdorong dan termotivasi untuk bekerja dengan lebih baik dan bertanggung jawab.
Transparansi juga menguntungkan birokrasi. Jika para pegawai birokrasi dapat bekerja dengan baik, maka dapat menuntut penghasilan yang pantas. Transparansi memungkinkan dibuatnya keputusan yang masuk akal tentang gaji pegawai negeri atau karyawan yang bekerja di dalam birokrasi pemerintah. Dengan transparansi dapat diketahui pula kelemahan dan kekurangan pegawai. Jika birokrasi membutuhkan pegawai yang ahli dan tidak ada di dalam birokrasi sebelumnya, maka pemerintah dapat merekrut pegawai baru dan mengirim pegawai yang belum ahli untuk mengikuti programprogram pendidikan dan latihan sesuai dengan kebutuhan riil birokrasi.
Desentralisasi berperan penting bagi penciptaan birokrasi yang fleksibel. Hal ini terkait dengan kewenangan yang diberikan. Dengan diberi wewenang dan sumber daya yang besar, maka setiap daerah dapat mengupayakan sumber daya yang ada di setiap daerahnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Struktur organisasi dan cara kerjanya dapat disusun sendiri demi kepuasan masyarakat, tidak perlu menunggu petunjuk dan intruksi dari pusat. Birokrasi tidak perlu terpancang pada aturan yang dibuat oleh pemerintah pusat, karena dengan improvisasi dan kreatifitas birokrasi dapat membuat aturan sendiri yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah434
Faktorfaktor internal maupun eksternal birokrasi berpengaruh besar dalam mendorong diambilnya tindakan reformasi. Perubahan gaya kepemimpinan, perilaku anggota, penyusutan volume kegiatan dan teknologi organisasional merupakan beberapa faktor internal yang mengharuskan reformasi. Di pihak lain, meningkatnya status ekonomi dan sosial masyarakat, berkembangnya teknologi, arus globalisasi dan penguatan kesadaran serta keberanian politik individuindividu di dalam masyarakat merupakan variabel lingkungan yang harus direspons oleh birokrasi.30
Reformasi internal yang berasal dari dalam birokrasi merupakan awal dari reformasi birokrasi keseluruhan. Pengaruh dari luar juga berpengaruh terhadap perkembangan birokrasi. Birokrasi yang baik sebagaimana disebutkan adalah birokrasi yang mempunyai semangat demokrasi. Birokrasi yang demokratis menghendaki objektivitas dan konsistensi terhadap kebijakan hukum. Dengan demokrasi keadilan dan tujuan yang telah dirumuskan akan dapat tercapai. Demokrasi memberikan hak kepada semua orang untuk dapat masuk sebagai anggota birokrasi, dengan seleksi yang ketat secara teknis.
Jadi, lingkungan ideal dari birokrasi adalah lingkungan politik yang demokratis. Sebagaimana diketahui, keputusan politik berada di tangan lembaga, eksekutif, dan yudikatif. Birokrasi melaksanakan tugas administratif negara dan bertanggung jawab kepada ketiga lembaga politik tersebut.
Legislatif sebagai wakil rakyat memiliki tanggung jawab untuk benarbenar mewakili rakyat dengan membuat peraturan hukum/kebijakan dan melakukan pengujian terhadap hukum dan kebijakan tersebut. Sedangkan birokrasi memberikan masukan bagi kebijakan yang dibentuk, di samping menjalankan kebijakan negara secara efektif dan efisien.
Keterlibatan birokrasi dalam pembuatan kebijakan mengindikasikan bahwa birokrasi juga mempunyai kekuasaan politis, di mana kekuasaannya seringkali malah lebih besar dibandingkan tiga lembaga politik di atasnya. Dapat diambil contoh adalah para politikus di dalam lembaga legislatif, mempunyai masa tugas untuk jangka waktu tertentu, tetapi birokrasi tidak perlu dipilih melainkan diangkat dan bertugas hampir seumur hidup. Secara demikian dapat dikatakan bahwa birokrat atau aparatur negara atau pegawai negeri adalah “politikus tetap atau permanen”.
30 Ibid., hlm. 101.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 435
Kekuasaan birokrasi yang demikian harus dibarengi dengan mekanisme pertanggungjawaban. Kekuasaan birokrasi harus dapat dikontrol melalui kontrol politik, yakni dengan melakukan evaluasi kebijakan yang telah diambil oleh birokrasi oleh lembaga yang di atasnya. Jika kekuasaan yang besar tersebut tidak ada mekanisme pertanggungjawabannya, maka penyimpangan akan mudah terjadi.
Penggunaan kekuasaan oleh birokrasi tidak berbahaya dalam tiga hal berikut.31
a. Menghindari kevakuman tindakan, karena lembaga lembaga negara (politik) tidak mampu mengambil kebijakan, misalnya karena mengalami konflik.
b. Tidak ada instruksi yang jelas dari lembaga politik. Dalam hal ini alternatif kebijakan yang dibuat birokrasi justru berfungsi memperkuat pemerintahan.
c. Rumusan kebijakan tidak menyimpang dari kebijakan semua lembaga politik. Proses kekuasaan birokrasi harus berhenti ketika lembaga politik membuat kebijakan lain terhadap persoalan yang sama.
Selain dengan kontrol politik, politik birokrasi harus dikontrol oleh lembaga khusus seperti komisi penyelidik dan ombudsman. Dengan pengawasan tersebut, maka birokrasi tidak akan berbuat menyimpang dari koridor hukum. Kekuasaan yang besar, cenderung untuk disalahgunakan dan akan merugikan masyarakat.
3. Pembentukan Badan/Lembaga Khusus Pelaksana Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
Reformasi atau perubahan harus dilakukan dalam birokrasi pemerintahan. Reformasi atau perubahan tidak hanya dilakukan terhadap kebijakan hukumnya saja, namun juga halhal atau bidangbidang yang terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah dan pelayanan publik secara umum, yaitu kelembagaan.
Agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah dapat berjalan efektif dan efisien, maka penyelenggara pengadaan barang/jasa harus mengetahui selukbeluk pengadaan barang/jasa pemerintah yang akan diadakan, seperti spesifikasi barang, kisaran harga, dan lainlain. Tentunya hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang ahli dan mengetahui secara pasti terkait spesifikasi barang/jasa yang dibutuhkan oleh setiap lembaga/instansi. Jika orang yang ditunjuk sebagai
31 Ibid.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah436
panitia bukan orang yang mengetahui barang/jasa yang dibutuhkan, maka hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu dibentuk sebuah badan/lembaga khusus pelaksana pengadaan barang/jasa pemerintah.
Berkaitan dengan pembentukan unit organisasi dan staf pelaksana. Elemen ini adalah bagian yang harus dilakukan paling awal dalam kegiatan implementasi kebijakan, sebab tanpa adanya penentuan yang jelas terlebih dahulu atas unit organisasi pelaksana dan implementasi kebijakan publik ini, maka proses implementasi kebijakan tidak akan dapat dijalankan. Sebuah produk hukum baru dapat diterapkan dengan baik ketika telah ada kepastian akan institusi atau organisasi yang ditunjuk untuk melaksanakan undangundang tersebut.
Kaitan elemen ini dengan hukum adalah terletak pada mekanisme pertanggung jawabannya. Maksudnya adalah dengan ditunjuknya sebuah organisasi pelaksana dan implementasi kebijakan publik itu, maka organisasi tersebut haruslah diberikan legitimasi hukum yang kuat, sehingga ketika ia menjalankan tugastugasnya, ia telah memiliki dasar yang kuat sebagai modal utama dalam pekerjaannya. Di samping itu, dengan adanya hukum maka pertanggungjawaban atas pelanggaranpelanggaran yang mungkin dilakukan oleh organisasi pelaksana ini dapat diproses dengan jelas dan legal.
Dalam hal pengadaan barang/jasa pemerintah diperlukan adanya suatu lembaga baru yang khusus melaksanakan pengadaan barang/jasa pemerintah dengan fungsi sentralistik mulai dari tingkat pusat, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota yang memiliki sumber daya yang terlatih dan profesional.
Pembentukan lembaga baru yang menangani pengadaan barang/jasa ini merupakan bentuk pemisahan kewenangan eksekutif. Lembaga eksekutif sendiri memiliki kewenangan antara lain pengambilan kebijakan (policy maker), pelak sanaan kebijakan (policy implementation), dan pengawasan kebijakan (policy supervision atau controlling).
Sebagaimana dikemukakan oleh Taufiq Effendi bahwa dalam praktik penye lenggaraan pemerintahan di Indonesia selama ini, tidak secara tegas ada pemisahan di antara tiga kewenangan tersebut, dan secara sadar dilakukan oleh satu kementerian/lembaga pemerintah. Hal ini tampak pada hampir semua undangundang sektor memberikan mandat kepada satu kementerian/lembaga memiliki tiga kewenangan tersebut sekaligus untuk:32
32 Taufiq Effendi, Reformasi Birokrasi dan Iklim Investasi, Cetakan Pertama, Konstitusi Press, Jakarta, 2013, hlm. 286.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 437
a. melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan sesuai maksud dan tujuan undangundang;
b. menetapkan manajemen dan organisasi pelaksanaannya, termasuk mengatur pejabat pengelolanya;
c. menetapkan dan memberlakukan sanksi bagi yang melanggar undangundang, baik dalam bentuk sanksi administratif maupun pidana ringan;
d. menetapkan pejabat penindak bagi pelanggar undangundang, yaitu Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). PPNS merupakan suatu jabatan fungsional yang diadakan di instansi pengelola undangundang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan awal bila terjadi pelanggaran ketentuan sanksi, dan selanjutnya menyerahkan ke penyidik (polisi) atau penuntut umum (jaksa).Kewenangan yang dimiliki oleh lembaga eksekutif tersebut dengan tugas
yang begitu banyak akan membuat pelaksanaannya mengalami hambatan. Termasuk dalam kewenangan lembaga eksekutif adalah melakukan pengadaan barang/jasa. Waktu pengadaan barang/jasa ini akan menyita pekerjaan lembaga, dan bagi pegawai yang ditunjuk harus benarbenar melaksanakan pengadaan barang/jasa sesuai dengan aturan yang ditetapkan, tentunya pekerjaan yang menjadi rutinitasnya akan terbengkalai karena jika terjadi kesalahan atau penyimpangan sedikit di dalam pengadaan barang/jasa dapat dikenai sanksi atau dapat diduga melakukan korupsi. Oleh karena itu, pembentukan lembaga khusus yang berdiri sendiri untuk menangani pengadaan barang/jasa pemerintah dapat memperingan tugas lembaga eksekutif. Pembentukan lembaga/badan tersebut dibentuk berdasarkan perintah dari undangundang sebagai dasar hukumnya. Setelah itu dapat dilakukan halhal berikut ini.
a. Dibentuk Peraturan Pelaksanaan sebagai Pedoman dalam Pelaksanaan Kegiatan
Peraturan pelaksanaan atau standard operating procedures/SOP, yang lebih dikenal dengan istilah petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (Juknis). Dalam peraturan pelaksanaan tersebut disebutkan pula mengenai tujuan yang hendak dituju oleh lembaga. Peraturan pelaksanaan merupakan panduan bagi lembaga dalam melakukan kegiatan implementasi kebijakan yang sedang dijalankan. Unitunit dalam lembaga yang ditunjuk dalam melakukan tugastugasnya tidak boleh menyimpang dari peraturan pelaksanaan. Jika unitunit lembaga bekerja sesuai dengan peraturan pelaksanaannya, maka tujuan yang diinginkan akan tercapai.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah438
Peraturan pelaksanaan tersebut harus memiliki dasar hukum yang kuat. Jika dasar hukumnya kuat, maka tidak akan ada pe langgaran dan penyimpangan, karena adanya sanksi yang mengikat dalam pelaksanaan peraturan tersebut.
b. Struktur Kelembagaan yang Sederhana
Dalam artian, di mana tingkat kelembagaan dibuat dengan tidak membedabedakan siapa pimpinan dan siapa bawahan. Tidak perlu dibuat struktur jabatan yang panjang, cukup hanya beberapa tetapi mempunyai fungsi dan tugas yang dapat dilaksanakan dengan sebaikbaiknya, atau dengan kata lain (miskin struktur, kaya fungsi). Tidak ada yang namanya pimpinan, tetapi semua adalah anggota. Kenaikan jabatan dapat dilihat melalui prestasi kerja.
c. Adanya Koordinasi dan Pembagian Tugas yang Baik di Dalam Unit-Unit Lembaga yang Bertugas
Koordinasi yang baik dan pembagian tugas yang sesuai dengan profesionalitas akan membawa pada hasil yang diinginkan. Hal ini merupakan proses teknis yang berlangsung dalam implementasi kebijakan hukum. Pelaksana harus dapat menemukan strategi yang tepat dalam melaksanakan pekerjaannya agar dapat berjalan efektif dan efisien. Tentunya harus tetap sesuai dengan peraturan pelaksanaan, dan tidak boleh menyimpanginya.
d. Adanya SDM yang Profesional dan Kompeten di Bidangnya serta Pem-bagian Sumber Daya yang Proporsional untuk Mencapai Tujuan
Lembaga harus terdiri dari orangorang yang profesional dan berkompeten di bidangnya serta memiliki kualitas yang memadai. Tentunya hal ini terkait dengan proses rekruitmen yang transparan, jauh dari KKN. Hanya dengan rekruitmen yang transparan akan diperoleh SDM yang memiliki kualitas yang baik dan profesional di bidangnya. Di sini diperlukan adanya sertifikasi untuk membuktikan keahliannya, karena pada dasarnya “the right man for the right place”. Jadi jika suatu pekerjaan diberikan pada orang yang bukan ahlinya, maka tunggu saja kehancurannya.
Pengadaan barang/jasa dilakukan sesuai dengan anggaran yang ada, tidak dilebihkan dan tidak dikurangi. Pengadaan dilakukan terhadap kebutuhan yang benarbenar sangat diperlukan, yakni barang/jasa yang harus ada untuk kelancaran jalannya lembaga/instansi bersangkutan.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 439
Dalam mengimplementasikan kebijakan, sumber daya yang ada termasuk dalam anggaran ini harus dialokasikan dan didistribusikan dengan adil. Misalnya dalam pengadaan komputer untuk sekolah di suatu daerah. Jumlah murid di setiap sekolah berbedabeda. Agar dapat dikatakan adil, maka pembagiannya harus seproporsional mungkin, yakni disesuaikan dengan jumlah murid yang ada.
e. Penghasilan yang Cukup Bagi Pegawai
Untuk meningkatkan semangat kerja seorang pegawai maka dapat dilakukan dengan meningkatkan penghasilan yang diterimanya. Penghasilan yang rendah mengakibatkan fenomena rendahnya semangat kerja para pegawai. Keadaan ini mendorong para pegawai negeri ini untuk mencari tambahan di luar gaji bulanan dengan melakukan kerja sambilan. Akan tetapi, banyak juga di antara para pegawai negeri yang mampu memperoleh penghasilan tambahan yang lumayan besar di dalam organisasi birokrasi pemerintahan sendiri.
Bentuk penghasilan tambahan seorang pegawai negeri dari dalam tubuh birokrasi cukup banyak, dan yang paling menonjol di antaranya adalah melalui kegiatan proyek pembangunan atau pengadaan barang/jasa pemerintah. Seperti diketahui, aktivitas organisasi pemerintah dipilah menjadi dua, yakni kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan yang lebih populer disebut proyek. Dana yang dikelola oleh sebuah organisasi pemerintah dalam kegiatan pembangunan jauh lebih besar dibanding dana yang disediakan untuk kegiatan rutin. Secara demikian, hono rarium atau uang lelah atau uang perjalanan yang diperoleh seorang pegawai karena keterlibatannya dalam proyek juga jauh lebih besar dibanding insentif yang diperoleh dalam kegiatan rutin.33
Kegiatan pemerintah yang terbagi menjadi dua tersebut menjadikan para pegawai terbiasa untuk memperoleh upah bagi setiap tugas yang dilakukannya. Banyaknya proyek yang dikelola pemerintah selama ini, terutama dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, merupakan iklim yang kondusif bagi para pegawai untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Seharusnya kondisi seperti ini dapat mendorong pegawai untuk bekerja lebih produktif dan efektif. Naiknya penghasilan pegawai negeri menjadikan mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup minimum keluarga mereka, sehingga seharusnya mereka akan bekerja lebih baik dan bersemangat. Akan tetapi, dalam kenyataannya hal tersebut malah
33 Ibid.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah440
menjadikan pegawai negeri malas untuk melakukan pekerjaan rutin, karena dalam pekerjaan ini mereka tidak memperoleh tambahan penghasilan. Bahkan pegawai negeri kemudian juga memilihmilih dalam melakukan pekerjaan proyek.
Keadaan tersebut akan berpengaruh pada perilaku pegawai dan birokrat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kebiasaan untuk memperoleh tambahan penghasilan melalui proyek, mendorong para pegawai untuk juga memperoleh tambahan penghasilan melalui pelayanan yang mereka berikan kepada masyarakat. Para pegawai negeri cenderung untuk meminta uang semir dari masyarakat yang membutuhkan pelayanan mereka. Baik pelayanan yang berupa perizinan usaha, KTP, surat keterangan, paspor, pemasangan telepon, maupun pelayanan yang lain, sering hanya akan diperoleh oleh masyarakat yang membutuhkannya jika mereka mau membayar pegawai. Dengan kata lain, pelayanan pemerintah yang semestinya diberikan secara cumacuma kepada publik pada akhirnya diperdagangkan oleh para birokrat sebagai komoditas yang sangat menguntungkan.
Hal tersebut dapat menjadi kebiasaan yang tidak baik. Mereka akan bekerja jika hanya diberikan uang. Budaya upeti yang sudah mendarah daging dalam sistem birokrasi adalah salah satu penyebab utama selain jumlah pelayanan yang tidak memadai. Jika jumlah pelayanan hanya sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan, maka pemberi pelayanan dapat memonopoli pelayanan tersebut. Pegawai dapat meminta uang agar dapat memberikan pelayanan tersebut, karena dia satusatunya yang dapat memberikan pelayanan tersebut.
Kebiasaan masyarakat untuk memberikan hadiah kepada penguasa memberikan pengaruh pada perilaku masyarakat untuk memberikan imbalan kepada seorang pegawai atas pelayanan yang diterimanya. Mungkin pada mulanya imbalan itu merupakan hadiah atau hanya sebagai ucapan terima kasih, tetapi kemudian menjadi preseden bahwa tanpa ada imbalan, tidak akan ada pelayanan. Sama halnya dalam budaya proyek, yakni honorarium proyek merupakan insentif untuk tenaga ekstra yang dikeluarkan oleh pegawai, tapi pada akhirnya jika suatu pekerjaan yang tidak membutuhkan tenaga ekstra tidak diberi insentif, maka para pegawai tidak bekerja dengan giat.
Samodra Wibawa memberikan dua kemungkinan pilihan solusi atau pemecahan yang satu sama lain bertolak belakang, yaitu sebagai berikut.34
34 Samodra Wibawa, op.cit., hlm. 62–63.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 441
1) Mengalihkan semua dana kegiatan proyek pembangunan untuk membiayai kegiatan rutin. Meniadakan kegiatan yang selama ini disebut proyek dan mengalihkan dananya untuk kegiatan rutin, dapat dilakukan dengan asumsi masyarakat melalui kekuatan swasta maupun swadaya gotong royongnya telah mampu membiayai proyekproyek yang selama ini dikelola oleh pemerintah, atau jika tidak demikian, kegiatan pembangunan masih ada yang dikelola oleh pemerintah, hendaknya dana honorarium maupun dana yang pada akhir nya akan diterima oleh para pegawai pelaksananya ditiadakan. Dana ini dialih kan untuk meningkatkan gaji seluruh pegawai negeri, sehingga semua pegawai dapat menikmatinya. Dengan demikian, ada kegiatan pem bangunan atau tidak, penghasilan pegawai negeri tetap sama. Bukan nya seperti yang sekarang berlangsung di mana hanya pegawai di tempat “basah” yang berpeng hasilan tinggi, sementara pegawai lain hanya menerima “gaji buta”.
2) Menjadikan semua kegiatan rutin sebagai proyek pembangunan. Kemungkinan kedua adalah dijadikannya semua kegiatan pemerintahan sebagai proyek. Dengan dana yang sama, maka ini menuntut pengurangan jumlah mau pun jenis kegiatan dan paling tidak didistribusikannya dana proyek secara relatif rata ke semua kegiatan rutin yang telah ada. Argumen dari alter natif pemecahan ini lebih bersifat pragmatis daripada normatif. Jika para pegawai negeri sudah terlanjur hanya mau bekerja jika ada imbalan uang (di luar gaji), maka mengapa tidak memberikan uang itu terhadap semua pekerjaan mereka? Dengan kata lain, daripada pegawai negeri kurang bersemangat dalam bekerja, maka mereka hanya diberi tugas untuk mengerjakan halhal yang memang akan diberi imbalan langsung oleh pemerintah di luar gaji.
Alternatif solusi tersebut akan mampu menghilangkan kebiasaan pegawai untuk meminta uang semir, karena pelayanan yang mereka berikan memang diberi dana yang besar oleh pemerintah. Dapat pula digunakan sistem reward and punishment. Jika para pegawai memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat, maka dia akan mendapatkan hadiah. Jika tidak memberikan pelayanan dengan baik, maka dapat diberikan hukuman.
f. Kemahiran Menggunakan Teknologi InformasiPenggunaan teknologi informasi dewasa ini sangat membantu dalam pelaksa naan tugastugas pemerintah. Kemahiran dalam menggunakan teknologi informasi akan mempermudah pekerjaan, dan lebih menghemat waktu, tenaga, dan biaya.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah442
Pertumbuhan korporasi sebagai salah satu jaringan perusahaan multinasional tidak dapat dihindarkan, antara lain di sektor perbankan, perusahaan eksporimpor, asuransi, pelayanan, dan lainlain. Refleksi kemajuan teknologi di berbagai bidang khususnya teknologi komunikasi, informatika akan membawa suasana kondusif bagi perkembangan korporasi.35
Teknologi informasi pun memberikan kemudahan bagi jalannya tugas atau fungsi birokrasi. Misalnya dalam proses pengambilan keputusan dan proses pelayanan (eksternal) berjalan jauh lebih cepat. Pengolahan informasi dapat dilakukan lewat internet, sehingga melahirkan electronic government.
Dalam e-government (eGov), informasi dari pemerintah didistribusikan kepada masyarakat (seperti pembayar pajak, pemilih dalam Pemilu, atau penerima jasa) melalui internet. Mengikuti penginformasian, komunikasi dan transaksi antara masyarakat dan pemerintah, serta yang lebih intens lagi partisipasi politik masyarakat juga dilakukan via internet. Dampaknya adalah luar biasa (minimal sejauh yang terbayangkan), yakni sebagai berikut.36
1) Komunikasi dalam sistem administrasi berlangsung dalam hitungan jam, bukan hari atau minggu. Ini artinya pelayanan pemerintah kepada masyarakat menjadi sangat cepat.
2) Akses ke informasi pemerintah terbuka sangat lebar. Ini artinya tidak ada lagi “warga kelas satu” dan “warga kelas dua” atau “kelas paria” di hadapan pemerintah. Semua dapat mengetahui semua. Artinya: a) terjadi proses demokratisasi yang luar biasa kencangnya;b) terjadi transparansi politik dan administrasi;c) terhapusnya korupsi hingga tingkat yang sangat minimal.
3) Kecepatan pelayanan berarti juga penghematan yang sangat besar, baik dalam waktu dan energi atau sumber daya. Penghematan mempunyai dua makna berikut.a) Semakin banyak dana yang dapat disimpan untuk investasi guna
penumbuhan ekonomi menciptakan lapangan kerja.b) Ramah lingkungan, yakni semakin sedikit terjadi pengurasan sumber
daya alam di satu pihak dan polusi di pihak lain.4) Peningkatan kualitas pelayanan publik.
35 Nyoman Serikat Putra Jaya, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2012, hlm. 22–25.
36 Samodra Wibawa, op.cit., hlm. 223 dan 224.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 443
Adanya teknologi informasi memang mutlak diperlukan bagi setiap lembaga/instansi/korporasi. Terkait dengan proses lelang pengadaan barang/ jasa pemerintah, pelaksanaan dengan e-procurement (lelang secara elektronik) dan adanya jabatan fungsional tenaga pengadaan barang/jasa pemerintah dapat mendorong kelancaran reformasi kebijakan hukum birokrasi dalam mencegah perilaku koruptif.
Kebijakan pelaksanaan e-procurement akan lebih memudahkan interaksi antara pelaku usaha dengan pemerintah. Semula pelaku usaha mendatangi instansi pemerintah untuk mendapatkan informasi dan terdapat peluang untuk mendekati pihak terkait dalam instansi, maka dengan e-procurement intensitas pertemuan antara pelaku usaha dengan pihak pemerintah menjadi berkurang.
Setiap pelaksanaan kegiatan dalam suatu lembaga diperlukan adanya evaluasi terhadap sistem pembagian tugas yang telah ada, apakah berjalan efektif dan efisien. Apakah sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, atau apakah masih relevan dengan kemajuan teknologi yang sejalan dengan semangat reformasi. Meskipun kebijakan hukum sudah dilakukan reformasi sedemikian rupa tanpa adanya perbaikan dari sistem kelembagaan, maka tidak akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu, penataan dalam sistem kelembagaan birokrasi menjadi sangat penting.
Penataan kelembagaan dilaksanakan dengan memerhatikan halhal sebagai berikut.37
a. Visi, misi, dan strategi organisasi.b. Struktur organisasi efektif, efisien, rasional, dan proporsional.c. Pembagian tugas proporsional.d. Mengatur jabatan struktural dan fungsional.
Dalam rangka pembentukan suatu badan/lembaga khusus yang diberi kewenangan penuh untuk mengatur, mengelola dan melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah di masa yang akan datang guna mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia, menurut penulis perlu memerhatikan beberapa asas agar kehadiran suatu badan/lembaga khusus tersebut dapat berfungsi secara efektif dan efisien.
Beberapa asas yang harus diperhatikan dalam melakukan penataan kelembagaan, yaitu:38
37 Ibid., hlm. 80.38 Ibid., hlm. 81 dan 82.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah444
a. asas pembagian tugas; b. asas fungsionalisasi;c. asas koordinasi;d. asas kesinambungan;e. asas akordion; f. asas pendelegasian wewenang; g. asas keluwesan; h. asas rentang pengendalian; i. asas jalur staf; j. asas kejelasan dalam pembangunan.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap badan/lembaga yang dibentuk pasti mempunyai visi, misi, tujuan, dan sasaran yang hendak dicapai atau berupa keadaan/kondisi yang ingin dicapai oleh suatu badan/lembaga tersebut. Keadaan/kondisi yang ingin dicapai oleh badan/lembaga tersebut diukur melalui efektivitas dan efisiensi dari bekerjanya fungsifungsi yang ada. Efektivitas badan/lembaga sebagai tingkat keberhasilan dalam mengelola organisasi untuk mencapai tujuan/sasaran. Efektivitas merupakan konsep penting dalam meng organisir sebuah badan/lembaga, karena mampu memberi gambaran keberhasilan dalam pencapaian sasaran.
Efisiensi sebuah badan/lembaga merupakan konsep yang lebih terbatas, menyangkut proses internal yang terjadi dalam organisasi. Efisiensi menunjukkan banyaknya masukan atau sumber daya yang diperlukan untuk menghasilkan keluaran. Efisiensi dapat diukur sebagai rasio keluaran terhadap masukan.
Kekurangan dari lembaga atau badan yang bersifat sentralistik ini adalah karena kewenangan yang dimiliki oleh badan ini, yakni melakukan pengadaan barang/jasa pemerintah bagi semua lembaga/instansi di seluruh daerah, maka badan ini jika mengeluarkan suatu kebijakan hanya akan mendengar dari pendapat dari orangorang yang bekerja di lembaga tersebut, tanpa meli batkan pihak yang lain sehingga untuk mengeluarkan kebijakan atau keputusan membutuhkan waktu yang lama. Selain itu, jika ada banyak instansi/lembaga pemerintahan yang memerlukan barang/jasa, maka pekerjaan untuk melaksanakan tender akan menjadi menumpuk.
Meskipun demikian, adanya lembaga badan hukum yang baru ini merupakan salah satu upaya untuk mencegah penyimpangan yang terjadi dalam pengadaan barang/jasa yang terjadi selama ini, karena kurangnya pengawasan dari pusat.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 445
Sekiranya Indonesia perlu mencontoh pelaksanaan pengadaan barang/ jasa yang dilakukan di negara Korea Selatan. Sebagaimana diketahui pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilakukan secara konvensional sangat menghabiskan banyak waktu, membutuhkan banyak dokumen, dan melibatkan banyak pelaku. Oleh karena itu, penggunaan teknologi informasi sangatlah penting dan memudahkan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Untuk merespon kebutuhan tersebut, Public Procurement Service (PPS) Korea Selatan mendirikan Korea On-line E-Procurement System (KONEPS), yang beralamat di www.koneps.go.kr. KONEPS memiliki konsep single window, di mana semua organisasi publik, termasuk pemerintah pusat, daerah, dan organisasi publik memperoleh akses yang sama. Seluruh permintaan prosedur pengadaan, penawaran, kontrak, hingga pembayaran secara otomatis dilayani melalui KONEPS. PPS juga menawarkan one stop services bagi penawaran dan kontrak, yang langsung terhubung dengan 80 sistem eksternal, seperti departemen dan lembaga keuangan. Setelah terdaftar di KONEPS, perusahaan diperbolehkan membuat penawaran untuk semua tender yang terbuka, serta untuk melihat berbagai informasi penawaran terkait. Saat ini, ada sekitar 36 ribu organisasi publik dan 170.000 perusahaan yang telah menggunakan KONEPS. Hal ini telah menjadikan KONEPS sebagai salah satu pasar terbesar di dunia maya dengan volume total transaksi mencapai US$ 44 miliar. Dari angka itu, sebanyak US$27 miliar di antaranya adalah untuk kontrak barang dan konstruksi.39
Dengan adanya KONEPS, perusahaan yang menjadi peserta lelang tidak perlu lagi bertemu dan mengunjungi panitia pengadaan (PPS). Peserta lelang dapat memproses seluruh prosedur pengadaan secara online. Mulai dari pengiriman, penawaran, dokumen kontrak, hingga aplikasi sertifikat dapat dikirim secara online oleh peserta lelang, sehingga pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi transparan dan kredibel. Selain itu, informasi dapat diperoleh tepat waktu, dapat dilihat di mana saja, diproses secara otomatis, dan transaksi dilakukan secara online, sehingga intensitas pertemuan antara peserta lelang dan panitia pengadaan dapat dikurangi. KONEPS menjadikan proses pengadaan lebih efisien dan produktif, dapat mengurangi biaya transaksi, menghemat waktu, dan juga menghilangkan penye rahan dokumendokumen yang sama dan berulangulang.
39 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Majalah Kredibel, Edisi 1, Berkaca Dari Korea Selatan, KONEPS, Sistem eProcurement Nomor 1 di Dunia, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta, Oktober–Desember 2011, hlm. 42.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah446
Konsep digitalisasi administrasi sistem pengadaan di Korea Selatan ini dimulai dari PPS yang mampu mencakup 30% dari total volume tahunan pengadaan publik yang besarnya mencapai US$24 miliar. Pada tahun 1997 mulai didirikan sistem EDI, yang menghubungkan antara organisasi publik, PPS, dan perusahaan swasta. Tahun 1998, dimulai konsep e-shopping mall dan e-bidding (tahun 2000), serta e-payment (2001). Tidak puas hanya dengan sistem ini, tahun 2004 PPS mulai memfokuskan diri untuk semakin meningkatkan kepuasan pelanggan dengan membangun web call center dan Customer Relationship Management (CRM). Tahun 2005 merupakan tahun penting bagi PPS, di mana mulai diterapkan sistem e-procurement secara masif dan memungkinkan individu untuk memperoleh informasi pengadaan dan ikut serta dalam penawaran dengan menggunakan PDA (Personal Digital Assistance). Sejak Juni 2005, manajemen produk dilakukan dengan RFID (Radio Frequency Identification), yang memungkinkan proses manajemen dan pemeriksaan produk bisa dilakukan secara online dan real time.40
Berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut, PPS berhasil memenangkan Public Service Award (PSA) dari PBB pada tahun 2003. Tahun 2004, KONEPS dinobatkan sebagai The Best Practice of Procurement oleh PBB. PPS juga meraih BS15000, yang merupakan sebuah standar internasional dalam hal IT Service Management. Selain melakukan upayaupaya internal, PPS juga ikut berpartisipasi dalam CEFACT, yakni sebuah badan PBB dalam standardisasi e-commerce internasional, dan juga memainkan peran aktif dalam upayanya mendorong KONEPS sebagai sebuah standar internasional pertama bagi proses e-tendering di dunia. KONEPS telah menyelamatkan biaya tahunan hingga US$4,5 miliar. Selain itu, melalui publikasi informasi tender yang real time, alur kerja yang otomatis, serta dan transaksi online yang dilakukan, menjadikan administrasi pengadaan menjadi semakin transparan. Kontrak swasta di bawah US$30 ribu berubah menjadi tender terbuka, dan jumlah peserta penawaran meningkat lebih dari tiga kali lipat.41
Digitalisasi administrasi publik dengan transaksi elektronik telah memberikan kontribusi terhadap efisiensi perekonomian nasional. Apalagi dengan diterapkannya tanda tangan digital dan enkripsi teknologi yang digunakan dalam transaksi elektronik (e-transaction) infrastruktur.
40 Ibid., hlm. 43.41 Ibid.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 447
Selain itu, pengalaman e-business bisa menjembatani kesenjangan digital antara konglomerat dan perusahaan kecilmenengah, sehingga selanjutnya akan semakin memperkuat komitmen untuk meningkatkan kehandalan transaksi online bagi publik. Faktor utama yang menjadikan KONEPS berhasil sebagai sebuah single window dalam pengadaan publik adalah karena ketersediaan infrastruktur TI di Korea Selatan yang mumpuni, termasuk tersedianya jaringan broadband supercepat.
Faktor lain, yaitu adanya kegiatan untuk mempromosikan KONEPS secara gradual ialah mengajak kerja sama dengan seluruh departemen pemerintahan di Korea Selatan. Dengan upaya itu, KONEPS mampu menyediakan layanan handal dan terintegrasi yang terhubung dengan 80 lembagalembaga eksternal. Keahlian dan pengalaman PPS dalam hal pengadaan mengingat sejarah panjang nya selama 50 tahun sebelumnya menjadi salah satu kontribusi besar bagi keberhasilan KONEPS.42
Korea Selatan telah memiliki sistem pengadaan barang/jasa yang komprehensif di dunia, yang dapat menghemat keuangan negara yang cukup besar, meningkatkan produktivitas, dan yang terpenting adalah mampu mengurangi korupsi secara drastis.
Selain negara Korea Selatan yang memiliki sistem pengadaan barang/jasa yang komprehensif, negara Singapura juga tidak kalah dalam soal pengadaan barang/jasa melalui e-procurement yang dapat mengurangi KKN.
Di bawah e-Gov Action Plan Tahap I (2000–2003), pemerintah Singapura membuat layanan publik online satu atap, termasuk di dalamnya program pengadaan barang dan jasa secara online bernama GeBIZ (Government Electronic Business). Usaha ini tidak siasia. Dalam survei terakhir yang dirilis oleh Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB dalam UN e-Government Survey 2010 disebutkan bahwa Singapura merupakan salah satu negara dengan pengembangan e-government tertinggi di dunia dan terbaik di Asia Tenggara. Adanya portal e-procurement GeBIZ juga meningkatkan nilai Corruption Perception Index (CPI) Singapura. Negara Singapura ini menjadi lima besar negara dengan praktik korupsi terendah di dunia dan peringkat pertama di Asia Tenggara. Dengan membentuk Government Procurement Act, GeBIZ pun didirikan. GeBIZ yang dibangun sejak tahun 2000 merupakan portal public
42 Ibid.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah448
e-procurement Singapura, di mana para penyedia barang dan jasa dapat melakukan kegiatan e-commerce dengan pemerintah Singapura. Semua penawaran tender hingga pengumuman pemenang tercantum di GeBIZ, sehingga penyedia dapat mencari informasi penawaran tender pemerintah, mengunduh dokumen procurement, dan memberikan penawaran mereka secara online.43
Departemen Keuangan sebagai pemegang otoritas GeBIZ memiliki hak untuk menetapkan peraturan mengenai aspek dan lingkup pengadaan seperti prakualifikasi, prosedur pembelian, atau spesifikasi teknis untuk pengadaan. Meskipun demikian, secara umum kegiatan pengadaan pemerintah di Singapura tetap didesentralisasikan ke masingmasing kementerian, departemen, dan lembaga lainnya. Setiap tahunnya, lebih dari 67 ribu proyek ditenderkan dengan nilai sekitar US$15,5 miliar lewat portal ini. Dalam portal ini, jumlah nilai tender yang dilakukan dapat bervariasi. Small Value Purchase diperuntukkan bagi pengadaan barang dan jasa maksimal hingga S$3 ribu, di mana pemerintah bisa langsung membeli ke sumbernya. Sementara untuk nilai antara S$3 ribu hingga S$70 ribu, diperlukan adanya quotations. Proses pengeluaran quatations harus dilakukan dua tahap, yakni:
1. untuk mengundang si penyedia pengadaan barang dan jasa, menerima dan mengevaluasi penawaran, serta mengeluarkan rekomendasi;
2. untuk menyetujui atau tidaknya rekomendasi.
Sedangkan untuk nilai transaksi di atas S$70 ribu harus dilakukan prosedur tender, baik secara terbuka, selektif, maupun tender terbatas.44
Untuk menekankan prioritas integritas dalam pengadaan pemerintah di Singapura, sanksi pidana terhadap oknum pelaku praktik penipuan maupun suap dalam pengadaan barang dan jasa dapat dijatuhi hukuman hingga tujuh tahun. Bagi pemberi suap dapat diancam kemungkinan pemutusan kontrak dan harus menanggung biaya pemulihan atas kerusakan akibat penghentian tersebut. Selain itu, juga akan masuk dalam daftar hitam (black list) pengadaan barang dan jasa di pemerintahan.45
43 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Majalah Kredibel, Edisi 02, Government Electronic Business (GeBIZ) Singapura, Menekan Praktik Korupsi Melalui OneStop EProc Portal, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta, Januari–April 2012, hlm. 44.
44 Ibid., hlm. 45.45 Ibid.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 449
Pada kasus penipuan dan suap dalam pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia, sanksi pidana yang selama ini dijatuhkan oleh hakim tidak ada yang sampai tujuh tahun, bahkan ada yang diputus bebas. Untuk pemutusan kontrak, tidak ada ketentuan yang menyebutkan mengenai biaya pemulihan akibat penghentian pengadaan tersebut oleh pelaku suap. Baru akhirakhir ini, penjatuhan sanksi pidana lebih dari tujuh tahun dan denda yang sangat besar bagi pelaku korupsi pengadaan barang/jasa yang merupakan bentuk pemiskinan koruptor diberlakukan sebagai gebrakan dalam penegakan hukum.
Platform e-procurement yang digunakan di Singapura ini telah dikomersialisasikan oleh IDA International, anak perusahaan dari Infocom Development Authority of Singapore. Platform GeBIZ ini berfungsi sebagai one-stop e-business solution yang dapat memfasilitasi perdagangan antara lembaga atau organisasi dengan para pemasoknya, baik pemasok lokal maupun pemasok dari luar negeri. GeBIZ juga telah sesuai dengan standar World Trade Organization (WTO) untuk kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Untuk sektor non pemerintah dan sektor bisnis yang ingin mengadopsi best practice pengadaan barang dan jasa milik pemerintah Singapura ini bisa memanfaatkan platform Software-as-a-Service (SaaS) dari GeBIZ ini, sehingga memungkinkan pengguna untuk membayar sesuai dengan kebutuhan mereka saja.46
Singapura dan Korea Selatan sering dijadikan model the best practice dalam hal pengadaan barang/jasa pemerintah. Di Korea Selatan, dapat diadopsi proses pengadaan yang terpusat (sentralistis), sebagai lembaga khusus pengadaan barang/jasa pemerintah di mana instansi pemerintah yang memerlukan pengadaan barang/jasa menggunakan lembaga tersebut, dan lembaga tersebut melakukan sistem e-procurement online yang komprehensif, sedangkan di Singapura, didasarkan pada sistem pengadaan yang sifatnya terdesentralisasi.
C. MODEL IDEAL SENTRALISASI KEBIJAKAN BUDAYA HUKUM
1. Penguatan Prinsip dan Etika Pengadaan Barang/JasaAdanya pengaruh kekuatankekuatan sosial dalam bekerjanya hukum ini, secara jelas Seidman menggambarkan dalam bagan berikut.47
46 Ibid.47 William B. Chambis & Robert B. Seidman, ibid., 1971, hlm. 12. Baca juga Robert B. Seidman,
“Law and Development, A General Model”, op.cit., Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuat Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2011, hlm. 10–11.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah450
Pembuatan undangundang
Pemegang peran
Bekerjanya kekuatankekuatan personal dan sosial
Bekerjanya kekuatankekuatan personal dan sosial
Bekerjanya kekuatankekuatan personal dan sosial
Penegakan hukum
Ub
Ub
Ub
Keterangan:Ub = Umpan balikNrm = NormaPd = Peran yang dimainkan
PdNrm
Penerapan sanksi
Model dari Seidman tersebut dapat dijelaskan bahwa pengaruh faktorfaktor dan kekuatankekuatan sosial terjadi mulai dari tahap pembuatan undangundang, penerapannya, dan sampai kepada peran yang diharapkan. Uraian ini nanti akan menunjukkan bahwa hukum merupakan suatu proses sosial yang dengan sendirinya merupakan variabel yang mandiri (otonom) maupun tak mandiri (tidak mandiri) sekaligus.
Sadar atau tidak sadar, kekuatankekuatan sosial sudah mulai bekerja dalam tahapan pembuatan undangundang. Kekuatankekuatan sosial itu akan terus berusaha untuk masuk dan memengaruhi setiap proses legislasi secara efektif dan efisien. Adapun peraturan yang dikeluarkan itu memang menimbulkan hasil yang diinginkan, tetapi efeknya itu pun sangat tergantung pada kekuatankekuatan sosial yang melingkupinya. Oleh sebab itu, orang tidak dapat melihat produk hukum sekadar sebagai tindakan mengeluarkan peraturan secara formal, melainkan lebih daripada itu.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 451
Selama ini penilaian terhadap aparat birokrasi yang bekerja dalam memberikan pelayanan kepada publik masih sangat jauh dari yang diharapkan. Pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan peraturan atau hukum positif membuat aparat jauh dari kata kreativitasnya. Kultur aparat birokrasi dewasa ini dipengaruhi oleh kultur birokrasi pada masa pemerintahan sebelumnya, yang kental dengan pengaruh budaya kolusi dan nepotisme.
Pemerintah selaku pejabat negara yang diberi kewenangan oleh undangundang untuk mengatur dan mengelola keuangan negara di Indonesia telah membuat berbagai regulasi/peraturanperaturan sebagai bukti keseriusan pemerintah dengan melakukan berbagai kebijakan hukum. Secara faktual berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah ternyata belum mencapai hasil yang diharapkan bahkan cenderung semakin jauh dari harapan masyarakat. Selain itu, di sisi pemerintah selaku pengelola keuangan negara, meskipun telah melakukan perbaikan berbagai regulasi/peraturanperaturan, namun belum berhasil mencegah dan/atau mengurangi terjadinya tindak pidana korupsi.
Pada zaman Orde Baru, tidak ada pejabat yang “miskin” dalam artian hidup paspasan. Dari tingkat bawah sampai tingkat atas, mereka hidup bermewahmewah, dan kalaupun yang terlihat hidup paspasan adalah rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan tanpa bantuan dan perhatian dari pemerintah.
Keadaan tersebut masih berlangsung tidak hanya sebatas lengsernya pemerintahan Orde Baru. Rendahnya transparansi dan akuntabilitas yang diikuti sikap paternalisme mengakibatkan rasa ketidakpercayaan terhadap pemerintah semakin menjadi. Suatu pekerjaan rumah yang sangat sulit bagi bangsa ini untuk mengubah kultur yang sudah mendarah daging tersebut.
Keinginan untuk melakukan reformasi terhadap birokrasi yang hierarkis menjadi birokrasi yang responsif masih jauh dari harapan publik. Kalau berharap untuk mengubah dari sisi internal birokrasi saat ini, memang dirasakan tidak mungkin. Harus ada upaya paksa dari luar agar hal itu terjadi.
Harus ada komitmen dalam diri individu atau aparat birokrat untuk melakukan perubahan. Untuk meningkatkan dan mempertahankan dedikasi yang tinggi bagi para birokrat, tidak ada salahnya jika ada upaya dari pemerintah untuk memberikan umpan berupa hadiah bagi aparat birokrat yang telah bekerja secara maksimal dan memberikan sanksi bagi aparat birokrat yang bekerja tidak sesuai dengan aturan.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah452
Mengenai kultur aparat birokrasi yang cenderung menyimpang ini, seba gaimana telah disebutkan di dalam bab sebelumnya, maka diperlukan dukungan moral dari publik untuk mengatasinya. Perlindungan perlu diberikan bagi aparat birokrasi yang bersedia melakukan perubahan terhadap aparat birokrasi yang tidak mau melakukan perubahan, karena pastinya bagi mereka yang tidak mau melakukan perubahan, akan menjadi hambatan, dan mereka akan berupaya agar perubahan yang akan dilakukan tidak terjadi. Hal ini terutama terkait dengan kekuasaan yang ada di tangannya. Jika aparat birokrasi telah terbiasa dengan kekuasaan yang dapat memberikan kemewahan baginya, tentunya dia tidak akan membiarkan kekuasaan tersebut direbut dari tangannya. Pada intinya, dalam melakukan reformasi birokrasi masalah moral dan etika sangat penting, karena hal ini terkait pada kemauan dan keinginan untuk menjadi lebih baik.
Begitu pula dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, dengan birokrasi yang hierarki dan berbelitbelit, pelaksanaannya jauh dari kata efektif dan efisien. Jika hanya melihat dari aturan atau hukum positif maka pelaksanaan akan berjalan kaku. Oleh karena itu, penyelenggaraan negara di dalamnya termasuk pengadaan barang/jasa pemerintah, pelaksanaannya harus didasari dengan asasasas atau prinsip pemerintahan yang baik.
Masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam pengadaan barang/jasa pemerintah tidak hanya berasal dari peraturan yang masih memiliki celah untuk disalahgunakan, tetapi juga terkait dengan aparatur negaranya. Dalam hal ini, penulis dapat menyimpulkan beberapa permasalahan yang terkait dengan aparatur negara dalam penyelenggaraan pemerintahan, yakni:a. etika dan moralitas yang rendah para aparatur negara;b. kualitas SDM yang belum memadai;c. tidak adanya akuntabilitas dan transparansi;d. kurangnya kesadaran untuk melaksanakan peraturan perundangundangan;e. ketidaktahuan dan ketidakpahaman terhadap peraturan yang ditetapkan;f. kurangnya kemampuan terhadap penggunaan teknologi.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, yakni masalah etika dan moral perlu adanya pendidikan etika dan moral selain pendidikan agama yang harus ditanamkan sejak kecil maupun ketika sudah bekerja sebagai aparatur negara. Pendidikan moral dan etika ini dapat menumbuhkan rasa malu jika bersikap melanggar peraturan perundangundangan, sehingga jika aparatur negara melaksanakan pengadaan barang/jasa pemerintah dengan tetap menjunjung tinggi
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 453
moral dan etika, pastinya tidak akan terjadi penyimpangan. Akuntabilitas dan transparansi akan dapat diwujudkan jika setiap aparatur negara memiliki etika dan moral yang baik. Transparansi ini juga diberlakukan dalam rekruitmen aparatur negara. Jika dalam rekruitmen pegawai sudah terjadi penyimpangan, maka untuk selanjutnya juga akan terjadi penyimpangan.
Etika dan moral yang tinggi yang dimiliki aparatur negara juga akan menumbuhkan kesadaran bagi aparatur negara untuk menaati hukum. Tentunya peraturan yang diberlakukan tersebut harus disosialisasikan. Bukan karena mereka sudah dianggap mengetahui peraturan perundanganundangan yang berlaku. Ketidaktahuan terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku, pada akhirnya akan menimbulkan ketidakpahaman, dan ketidakpahaman ter sebut dapat menimbulkan banyak persepsi dan penyimpangan dalam pelaksanaan peraturan perundangundangan. Kesalahan mungkin tidak hanya pada aparatur negara yang diharuskan untuk menaati segala peraturan, tetapi banyak nya peraturan dan terus berubahubah tidak dapat dilaksanakan secara konsisten oleh setiap penyelenggara negara.
Selain kebijakan hukum yang mengatur mengenai pengadaan barang/jasa perlu disempurnakan terusmenerus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang ada, kemampuan sumber daya manusia di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah juga perlu dilakukan secara terusmenerus. Untuk me ningkatkan kualitas SDM dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, maka dapat dilakukan melalui sertifikasi dan pelatihan yang profesional, sehingga dapat menghasilkan ahli di bidang pengadaan barang/jasa yang profesional dan handal. Selain itu perlu dilakukan pengembangan di bidang pengadaan secara elektronik (e-Procurement). Tentunya aparatur negara harus dapat menguasai teknologi informasi yang dapat menunjang pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Dengan menggunakan pengadaan secara elektronik, maka peluang untuk kontak langsung antara panitia pengadaan dengan penyedia barang/jasa yang berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi dapat diminimalkan sehingga proses pengadaan barang/jasa dapat berjalan lebih transparan, adil, serta dapat lebih menghemat waktu dan biaya.
Dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah, agar pelaksanaannya dapat mencapai tujuan sesuai dengan kriteria kinerja yang diharapkan, pengadaan barang/jasa dilaksanakan dengan menggunakan prinsip dasar sebagai berikut.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah454
a. Transparan.b. Adil.c. Bertanggung jawab.d. Efektif.e. Efisien.f. Kehatihatian.g. Kemandirian.h. Integritas.i. Good corporate governance.
Etika tersebut diharapkan dapat menjadi acuan untuk bertindak, bersikap, atau berbuat dalam melaksanakan tender pemerintah, baik yang dilakukan oleh pengguna, pengelola, atau penyedia barang. Hal berikut akan membantu dalam mencapai tujuan pengadaan barang/jasa, di antaranya adalah:a. memastikan bahwa proses pengadaan barang/jasa dilaksanakan dengan
mengikuti prinsip dasar dan etika pengadaan barang/jasa;b. memastikan bahwa proses pengadaan barang/jasa mengikuti pedoman
kebijakan dan prosedur pengadaan barang/jasa dan tidak bertentangan dengan ketentuan lainnya yang lebih tinggi;
c. memastikan bahwa pengadaan barang/jasa oleh penyedia barang/jasa telah dilakukan peninjauan secara administratif, teknikal, dan finansial serta dapat dipertanggungjawabkan dalam hal biaya dan kualitas;
d. memastikan proses pengadaan barang/jasa dilaksanakan secara kompetitif dengan tetap memerhatikan aspek keekonomian dan efisiensi pelaksanaannya;
e. menggunakan standar kontrak (term and condition) yang telah ditetapkan;f. memastikan pengadaan barang/jasa dilaksanakan sesuai dengan perjanjian
(kontrak/PO) yang disetujui antara pelaksana pengadaan dengan penyedia barang/jasa;
g. dilarang melakukan pengadaan barang/jasa yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan perundangan yang berlaku.
2. Pengaturan Sistem Pertanggungjawaban Pengadaan Barang/JasaPada hakikatnya tujuan dari pengelolaan sistem pengadaan adalah mencari jawaban terbaik terhadap permasalahan yang timbul, baik permasalahan
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 455
kebijakan pengadaan maupun permasalahan sistem pengoperasian, sehingga pengadaan barang/jasa dapat berfungsi mencapai kinerja sebagaimana yang diharapkan.
Harapan dan kriteria kinerja ini tidak berlaku umum, tetapi tergantung pada sudut pandang dan kepentingan siapa, apakah dari sudut pandang dan kepentingan pengguna (user), sudut pandang dan kepentingan pelaksana pengadaan/pengelola atau dari sudut pandang dan kepentingan masyarakat.
Oleh sebab itu, kinerja sistem pengadaan akan bergantung pada siapa yang akan menilainya. Bagi pengguna barang/jasa atau konsumen, baik buruknya sistem pengadaan akan diukur berdasarkan tingkat ketersediaan (availability) barang/jasa dan seberapa baik tingkat pelayanan (service level) yang mampu diberikan oleh pengelola sistem pengadaan kepadanya dengan harga yang terjangkau. Bagi pengguna, yang penting adalah barang/jasa tersedia pada saat diperlukan dan dengan pelayanan yang sebaik mungkin.
Pengguna biasanya tidak mau peduli apakah untuk memenuhi tuntutannya tersebut pihak pengelola harus mengeluarkan ongkos yang besar atau kecil. Bahkan pengguna tidak peduli apakah pengelola merugi atau untung, yang terpenting adalah terpenuhi kebutuhannya dengan pelayanan yang baik. Bagi pengelola, kinerja pengadaan diukur berdasarkan atas ongkos ope
rasional pengadaan untuk suatu kurun waktu horizon perencanaan operasi tertentu (biasanya dalam waktu satu tahun) tanpa mengabaikan tuntutan pelayanan penggunanya. Oleh sebab itu, pengelola barang akan memilih barang dengan harga yang paling murah (lowest price). Namun, jika kualitas barang dan umur pakainya berbeda maka harga yang paling murah belum tentu akan memberikan ongkos operasional yang paling rendah.
Oleh sebab itu, kriteria total ongkos terendah selama umur pakai (total cost ownership) perlu digunakan. Selanjutnya, bila barang/jasa tersebut di gunakan untuk keperluan produksi yang manfaatnya dirasakan oleh masyarakat luas maka ongkos terendah selama umur pakai belum tentu akan memberikan keuntungan atau manfaat yang besar. Oleh sebab itu, kriteria nilai manfaat terbesar dari uang (the best value for money) digunakan untuk menggantikan kriteria total ongkos terendah selama umur pakai (total cost ownership).48
48 Ibid., hlm. 13 dan 14.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah456
Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah harus sesuai dengan alur atau prosedur pengadaan sebagaimana diatur dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, baik dari tahap perencanaan sampai pada penyerahan kepada pengguna barang/jasa. Prosedur harus sesuai dan tidak boleh ada kesalahan. Kesalahan prosedur dapat berakibat terjadinya mal administrasi sampai tindak pidana korupsi.
Cakupan Aktivitas Pengadaan
Pengguna
Pembayaran
Pemakaian
Penerimaan Penyimpanan
Rencana Pengadaan
Pelaksanaan:Panitia PengadaanFungsi Pengadaan
Metode Pengadaan:– Lelang– Pemilihan Langsung– Pembelian Langsung
Proses Pengadaan:– Persiapan– Pelaksanaan, Tender/Pembelian– Perjanjian/Kontrak
Penyedia:PersyaratanKualifikasi
1
2
4
5
6 7
8
3a 3b
Sumber: LKPP
Gambar 5.4 Cakupan Aktivitas Pengadaan
Gambar tersebut menjelaskan bahwa rangkaian cakupan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah meliputi 7 (tujuh) tahap, di mana satu sama lain saling memiliki keterkaitan untuk dilalui agar kegiatan pengadaan barang/jasa berjalan lancar.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 457
a. Aktivitas Pengadaan Barang dan JasaAktivitas pengadaan tidak terbatas pada proses pengadaan, namun cakupan aktivitas pengadaan meliputi lima kegiatan utama, yaitu rencana pengadaan, proses pengadaan, penerimaan, dan penyimpanan, serta pemakaian dan manajemen aset, dan tiga transaksi, yaitu transaksi pembelian barang/jasa (kontrak), transaksi penerimaan barang/jasa, dan transaksi pengeluaran atau penggunaan barang/jasa. Aktivitas pengadaan barang/jasa tersebut diuraikan berikut ini.
1) Perencanaan PengadaanKegiatan pengadaan diawali dengan adanya permintaan barang/jasa dari pengguna (user) kepada pelaksana pengadaan/pengelola. Permintaan tersebut kemu dian diidentifikasikan sesuai dengan kebutuhan barang/jasa dari pengguna, sehingga akan dapat diketahui besarnya jumlah kebutuhan barang dan anggaran yang diperlukan.
Identifikasi kebutuhan terhadap barang ini meliputi informasi yang berkaitan dengan jenis barang, spesifikasi barang, harga, jumlah barang yang diperlu kan, dan lokasi penggunaan barang. Sumber informasi diperoleh dari pengguna, karena pengguna yang paling mengetahui akan kebutuhannya. Kebutuhan barang tersebut dibedakan atas kebutuhan untuk keperluan rutin/seharihari dan kebutuhan barang untuk kapital/pembangunan.
2) Proses PengadaanUntuk mendapatkan barang/jasa dapat diperoleh melalui pembelian (buy) atau pembuatan (make). Suatu barang/jasa diperoleh dengan cara pembelian bila barang tersebut sudah tersedia di pasar (ready stock) pada saat diperlukan, sedangkan barang/jasa akan dibuat bila barang tersebut memerlukan upaya produksi atau konstruksi (make to order) terlebih dahulu untuk dapat dimanfaatkan. Sebagai contoh adalah keperluan peralatan kantor seperti alat tulis yang diperoleh dengan cara pembelian, sedangkan bangunan gedung diperoleh dengan cara konstruksi terlebih dahulu.
Dari segi kemampuan pengadaan, maka metode pengadaan barang dapat dibedakan atas pengadaan internal (in sourcing) dan pengadaan eksternal (out-sourcing). Salah satu bentuk pengadaan internal adalah swakelola, yakni pengadaan yang dilakukan dengan kemampuan sendiri untuk melaksanakannya. Mulai dari proses rancangan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan direncanakan, dikerjakan, dan diawasi sendiri dengan menggunakan tenaga dan alat sendiri, walaupun dimungkinkan menggunakan sumber daya dari luar.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah458
Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, bahwa pekerjaan yang dapat diswakelola, di antaranya adalah:a) pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan/atau me
manfaatkan kemampuan teknis sumber daya manusia serta sesuai dengan tugas pokok K/L/D/I;
b) pekerjaan yang operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat setempat;
c) pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi, atau pembiayaannya tidak diminati oleh penyedia barang/jasa;
d) pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ditentukan terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa akan menimbulkan ketidakpastian dan risiko yang besar;
e) penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya, atau penyuluhan;
f) pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) dan survei yang bersifat khusus untuk pengembangan teknologi/metode kerja yang belum dapat dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa;
g) pekerjaan survei, pemrosesan data, perumusan kebijakan pemerintah, pengujian di laboratorium dan pengembangan sistem tertentu;
h) pekerjaan yang bersifat rahasia bagi K/L/D/I yang bersangkutan;i) pekerjaan industri kreatif, inovatif, dan budaya dalam negeri;j) penelitian dan pengembangan dalam negeri; dan/atau k) pekerjaan pengembangan industri pertahanan, industri Alutsista, dan industri
Almatsus dalam negeri.
Pengadaan barang/jasa merupakan proses untuk menyesuaikan barang/jasa yang dibutuhkan dengan penyedianya, maka metode pengadaan eksternal atau pembelian ditentukan berdasarkan jenis barang/jasa dan penyedianya, yaitu melalui penunjukan langsung, seleksi, dan lelang/tender.
Pada prinsipnya metode penunjukan langsung ini diatur di dalam Pasal 38 Perpres No. 172 Tahun 2014 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, yang menyatakan sebagai berikut. (1) Penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang/pekerjaan kons
truksi/jasa lainnya dapat dilakukan dalam hal:a. keadaan tertentu; dan/atau
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 459
b. pengadaan barang khusus/pekerjaan konstruksi khusus/jasa lainnya yang bersifat khusus.
(2) Penunjukan langsung dilakukan dengan mengundang 1 (satu) penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang dinilai mampu melak sa nakan pekerjaan dan/atau memenuhi kualifikasi.
(3) Penunjukan langsung dilakukan dengan negosiasi, baik teknis maupun harga sehingga diperoleh harga yang sesuai dengan harga pasar yang berlaku dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.
(4) Kriteria keadaan tertentu yang memungkinkan dilakukan penunjukan langsung terhadap penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi sebagai berikut.a. Penanganan darurat yang tidak bisa direncanakan sebelumnya dan
waktu penyelesaian pekerjaannya harus segera/tidak dapat ditunda untuk:1) pertahanan negara;2) keamanan dan ketertiban masyarakat;3) keselamatan/perlindungan masyarakat yang pelaksanaan peker ja
annya tidak dapat ditunda/harus dilakukan segera, termasuk:a) akibat bencana alam dan/atau bencana nonalam dan/atau
bencana sosial;b) dalam rangka pencegahan bencana; dan/atauc) akibat kerusakan sarana/prasarana yang dapat menghentikan
kegiatan pelayanan publik.b. Pekerjaan penyelenggaraan penyiapan konferensi yang mendadak untuk
menindaklanjuti komitmen internasional dan dihadiri oleh presiden/wakil presiden.
c. Kegiatan menyangkut pertahanan negara yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan serta kegiatan yang menyangkut keamanan dan ketertiban masyarakat yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
d. Barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang spesifik dan hanya dapat dilaksanakan oleh 1 (satu) penyedia barang/jasa lainnya karena 1 (satu) pabrikan, 1 (satu) pemegang hak paten, atau pihak yang telah mendapat izin dari pemegang hak paten, atau pihak yang menjadi pemenang pelelangan untuk mendapatkan izin dari pemerintah.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah460
(5) Kriteria barang khusus/pekerjaan konstruksi khusus/jasa lainnya yang bersifat khusus yang memungkinkan dilakukan penunjukan langsung seba gaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:a. barang/jasa lainnya berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah;b. pekerjaan konstruksi bangunan yang merupakan satu kesatuan sistem
konstruksi dan satu kesatuan tanggung jawab atas risiko kegagalan bangunan yang secara keseluruhan tidak dapat direncanakan/diperhitungkan sebelumnya (unfore seen condition);
c. barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang bersifat kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan hanya ada 1 (satu) penyedia yang mampu;
d. pekerjaan pengadaan dan distribusi bahan obat, obat, dan alat kesehatan habis pakai dalam rangka menjamin ketersediaan obat untuk pelaksanaan peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat yang jenis dan harganya telah ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan;
e. pengadaan kendaraan bermotor dengan harga khusus untuk pemerintah yang telah dipublikasikan secara luas kepada masyarakat;
f. sewa penginapan/hotel/ruang rapat yang tarifnya terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat; atau
g. lanjutan sewa gedung/kantor dan lanjutan sewa ruang terbuka atau tertutup lainnya dengan ketentuan dan tata cara pembayaran serta penyesuaian harga yang dapat dipertanggungjawabkan.
Metode pemilihan (selection) digunakan bila terbatas jumlah penyedia barang/jasa yang sesuai dengan kualifikasi atau klasifikasinya. Pemilihan dilakukan dengan mengundang lebih dari 1 (satu) penyedia barang/jasa melalui permintaan penawaran dan negosiasi secara bersaing, sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, dilihat dari segi kepraktisan pemilihan dapat juga dilakukan sebagai proses lebih lanjut atas pelelangan ulang yang mengalami kegagalan.
Berdasarkan Pasal 35 ayat (2) Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, bahwa pemilihan penyedia barang/jasa lainnya dilakukan dengan:a. pelelangan umum;b. pelelangan terbatas;
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 461
c. pelelangan sederhana;d. penunjukan langsung;e. pengadaan langsung; atauf. kontes.
Metode pelelangan (tender) digunakan bila jumlah penyedia barang/jasa tak terbatas atau bayak yang sesuai dengan kualifikasi atau klasifikasi barang/jasa yang dibutuhkan. Pelelangan dimaksudkan untuk menciptakan persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat berdasarkan tata cara lelang yang transparan dan berkeadilan, sehingga terpilih penyedia barang/jasa terbaik.
Pelelangan secara luas dan terbuka diawali dengan membuat pengumuman di papan pengumuman resmi, dan/atau media cetak/ elektronik. Dimungkinkan pula dilakukan pembelian langsung kepada penyedia barang/jasa tanpa melalui proses pelelangan atau pemilihan langsung.
Pengadaan barang/jasa tertentu dapat dilakukan dengan cara pembelian langsung karena harganya standar atau tetap dan nilainya kecil, misalnya BBM atau alat tulis, atau karena alasan situasional misalnya pekerjaan yang tidak dapat ditundatunda lagi karena telah terjadi keadaan kahar.
3) Penyimpanan BarangBarang yang dibeli atau yang dibutuhkan oleh pengguna diharapkan datang di gudang dari penyedia sesuai dengan apa yang tertera di kontrak, seperti jenis barang, spesifikasi, jumlah, dan waktunya yang harus sesuai. Sebelum barang disimpan di dalam gudang, perlu diperhatikan transaksi penerimaan barang antara penyedia dengan pengelola.
Apabila transaksi penerimaan barang semuanya sudah selesai, selanjutnya bagian keuangan akan melakukan pembayaran, dan pengelola gudang akan menyimpan barang di gudang. Untuk itu kartu stok perlu diisi, agar penambahan barang dan status pengadaan tercatat sebagaimana mestinya. Bagian gudang bertanggung jawab atas barang yang ada di dalam gudang.
4) Penggunaan Barang dan Manajemen AsetKegiatan ini merupakan bagian akhir dari kegiatan pengadaan barang/jasa. Dalam kegiatan ini terjadi interaksi antara pengelola dengan pengguna. Di sini pengguna akan meminta kepada pengelola untuk mengambil barang/jasa
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah462
yang sebelumnya telah diminta melalui lelang, ditandai dengan adanya nota permintaan barang (order dari pengguna). Berdasarkan nota permintaan barang tersebut, maka bagian gudang akan melakukan verifikasi terhadap barang yang diminta oleh pengguna. Tidak diperbolehkan adanya pengeluaran barang tanpa adanya nota permintaan barang yang berasal dari pengguna dan tran saksi pengeluaran barang harus ditandatangani bersama antara penerima dan pemberi barang. Selanjutnya, setiap transaksi pengeluaran barang harus dicatat pada kartu stok barang. Untuk barang modal (kapital), maka akan dilakukan pencatatan barang sebagai aset.
b. Para Pihak Terkait dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan oleh berbagai pihak terkait yang dapat diklasifikasikan atas tiga pelaku utama, yaitu pengguna/ pengusul, penyedia barang/jasa, dan pelaksana pengadaan. Pengguna/pengusul pengadaan barang/jasa adalah individu (pejabat) atau unit organisasi yang diberikan kewenangan untuk mengusulkan pengadaan barang/jasa atau pihak yang memerlukan barang/jasa dalam rangka kelancaran sistem operasional dalam organisasi.
Pengusul selain pejabat dapat pula dari pengguna barang atau unit organisasi yang merepresentasikan pengguna dan diberikan kewenangan untuk mengusulkan pengadaan barang/jasa. Sebagai contoh pembelian mesin untuk praktik mahasiswa diusulkan bukan oleh dosen tetapi oleh dinas pendidikan yang merepresentasikan dan berwenang untuk merepresentasikan dosen dan mahasiswa pengguna.
Penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan barang/pekerjaan konstruksi/jasa konsultansi/jasa lainnya, yang menjadi mitra kerja dan secara hukum mempunyai kapasitas untuk mengadakan ikatan perjanjian. Penyedia barang/jasa harus memiliki persyaratan profesional, kemampuan teknis, dan manajerial berdasarkan pengalaman tertentu, sumber daya manusia (SDM), modal, peralatan, dan fasilitas lain yang memadai yang antara lain dapat dibuktikan dengan kualifikasi yang dikeluarkan asosiasi profesi yang bersangkutan atau institusi yang berwenang.
Pengadaan barang dilaksanakan oleh pelaksana pengadaan yang berfungsi memilih dan menetapkan penyedia barang/jasa sesuai dengan permintaan pengguna/pengusulnya. Oleh sebab itu, pelaksana pengadaan akan berfungsi sebagai fasilitator, koordinator, dan administrator.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 463
Lingkup tugas pelaksana pengadaan mulai dari proses permintaan barang/jasa sampai dengan penunjukan pemenang pengadaan dan tersedianya barang/jasa siap digunakan oleh penggunanya.
Pelaksana pengadaan bertanggung jawab atas terlaksananya proses pengadaan sesuai prinsipprinsip dasar pengadaan yakni efektif, efisien, transparan, kompetitif, adil, dan akuntabel.
c. Prinsip dan Etika Pengadaan Barang/Jasa
Agar pengadaan barang/jasa dapat mencapai tujuan sesuai dengan kriteria kinerja yang diharapkan, selain mengikuti peraturan mengenai pengadaan barang/jasa, maka pelaksanaan pengadaan harus mematuhi etika pengadaan sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 6 Perpres No. 54 Tahun 2010 sebagai berikut.
Para pihak yang terkait dalam pengadaan barang/jasa wajib mematuhi etika sebagai berikut. 1) Melaksanakan tugas secara tertib, penuh rasa tanggung jawab, demi ke
lancaran, dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang/jasa.2) Bekerja secara profesional dengan menjunjung tinggi kejujuran, keman
dirian, dan menjaga informasi yang bersifat rahasia.3) Tidak saling memengaruhi baik langsung maupun tidak langsung, yang
mengakibatkan persaingan tidak sehat, penurunan kualitas proses pengadaan, dan hasil pekerjaan.
4) Bertanggung jawab terhadap segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kewenangannya.
5) Mencegah terjadinya pertentangan kepentingan (conflict of interest) pihakpihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan.
6) Mencegah terjadinya kebocoran keuangan dan kerugian.7) Tidak menyalahgunakan wewenang dan melakukan kegiatan bersama
dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain secara langsung atau tidak langsung.
8) Tidak menerima, menawarkan, dan/atau berjanji akan memberi hadiah, imbalan, atau berupa apa saja kepada siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah464
3. Upaya Pencegahan Kerugian Keuangan Negara dalam Pengadaan Barang/Jasa
Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah harus berpedoman pada peraturan perundangundangan yang berlaku agar pembangunan dapat berjalan lancar dan sukses untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Terkait pembangunan dasar dari proyeksi pembangunan bermula dari serangkaian dan rentetan program pemerintah melalui pengadaan barang/jasa. Oleh karena itu, pemerintah perlu fokus pada realitas kinerja yang tepat sasaran dan tepat guna baik pemerintah pusat maupun daerah sebagai berikut.
a. Perlu adanya pelatihan khusus dalam rangka transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas pengadaan barang dan jasa dari dua pihak antara pemerintah pusat dan daerah.
b. Kapabilitas dan transparasi serta model pelelangan maupun tendertender yang dilelangkan oleh pemerintah pusat maupun daerah berdasarkan pada undangundang tidak ada “tender titipan”, baik di tingkat pusat maupun di daerah.
c. Bekerja sama dalam hal pengawasan transparansi keuangan pusat dan daerah oleh pemerintah pada KPK agar tidak ada penyalahgunaan wewenang dari dalam birokrasi pemerintah dan bisa menunjukkan kinerja yang kredibel tidak ada pihak memihak, pilihmemilih pada proyekproyek yang akan dilelangkan.
Ketiga cara di atas setidaknya akan melahirkan outcome dalam pengadaan barang dan jasa yang selalu bisa dipertanggungjawabkan kredibilitas, transparansi, serta tidak rentan terhadap perilaku korupsi, kolusi, nepotisme. Oleh karena itu, maka bisa kita sisipkan dengan cermat dalam agenda transparansi adalah untuk mencegah adanya kerugian keuangan negara, baik yang terjadi di tingkat pemerintah pusat maupun daerah sebagai berikut dalam pelaksanaannya:a. pembaruan kelembagaan dengan mendorong pembentukan procurement
anchor unit (PAU) di tingkat pusat dan di daerah (kota/kabupaten);b. pembaruan peraturan perundangan yang terkait dengan pengadaan barang
dan jasa;c. perbaikan sistem informasi pengadaan barang dan jasa;d. peningkatan mekanisme pengendalian, audit dan umpan balik di tingkat
pusat dan daerah (kota/kabupaten);
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 465
e. pelatihan serta peningkatan kapasitas pelaku pengadaan barang dan jasa di tingkat pusat dan daerah (kota/kabupaten).
Kalau kita coba petakan maka lingkup reformasi tata kelola pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa sebagai dasar perubahan dalam rangka untuk mencegah terjadinya kerugian keuangan negara, maka bisa dilihat pada bagan berikut ini.
PENGADAAN BARANG
DAN JASATPA PENGELOLAAN
KEUANGAN
Publikasi kebijakan dan pelaksanaan
pembangunan melalui website
atau media cetak
Penanganan keluhan:• Kelembagaan
dan media• SOP
Pelaksanaan perencanaan
partisipasi dengan menggunakan pagu indikatif/
block grant
Perda/SK Bupati/Wali Kota mengenai pokokpokok pengelolaan keuangan
daerah
Perda/SK Bupati/Wali Kota mengenai
sistem dan prosedur
penyiapan APBD
Pengadaan dilakukan sesuai dengan
jadwal pengadaan
Publikasi rencana pengadaan dan paketpaket terkontrak pada
tahun berjalan di website atau buletin
Peningkatan jumlah panitia bersifat min. 50% dari jumlah
panitia
Mekanisme penghargaan kepada
rekan terbaik
Sumber: Reformasi Pengelolaan Barang dan Jasa Daerah (www.usdrpindonesia.org)
Gambar 5.5 Reformasi Tata Kelola Pemerintah dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Dari gambar tersebut, proteksi yang memungkinkan bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan transparansi yang bisa dimulai melalui pembentukan undangundang, pengelolaan keuangan, dan alur pengadaan barang dan jasa terhadap masyarakat.
Setidaknya pengadaan barang dan jasa pemerintah sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada, sebanyak 50 perkara pengadaan barang/jasa pemerintah sudah ditangani dengan total nilai proyek mencapai Rp1,9 triliun. Dari 50 perkara
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah466
tersebut, ratarata 35% dari anggaran berpotensi dise lewengkan, yang nilainya mencapai Rp689,19 miliar. Pengadaan pemerintah telah melewati sejarah panjang dan berbagai bentuk penyimpangan telah ter iden ti fikasi, di antaranya sebagai berikut.49
a. Pengadaan secara arisan dan adanya kick-back selama proses pengadaan.b. Melakukan suap untuk memenangkan pengadaan.c. Proses pengadaan yang tidak transparan.d. Pengelola proyek tidak mengumumkan rencana pengadaan.e. Pemasok mematok harga yang lebih tinggi (mark-up).f. Memenangkan perusahaan saudara, kerabat, atau kelompok tertentu.g. Tidak membuka akses bagi peserta dari daerah sekitarnya.h. Menyantumkan spesifikasi teknis yang hanya dapat dipasok oleh satu pelaku
usaha tertentu.i. Adanya pemasok yang tidak memenuhi kelengkapan administrasi namun
tetap dapat ikut pengadaan dan bahkan menang.j. Menggunakan metode pemilihan penyedia barang/jasa pemerintah yang
tidak seharusnya untuk mencapai maksud tertentu seperti menggunakan metode penunjukan.
k. Langsung dengan tidak menghiraukan ketentuan yang telah ditetapkan.
Di samping itu, contoh yang tampak jelas adalah pengadaan barang dan jasa melalui sistem e-procurement juga dapat digunakan sebagai sarana untuk memonitoring dan evaluasi (money) atas indikator kinerja pengadaan barang/jasa pemerintah yang dapat ditinjau dari dua kategori, yaitu di antaranya tata kelola yang mencakup aspek transparansi dan akuntabilitas, serta efisiensi dan efektivitas.50
Tata kelola dalam aspek transparansi dan akuntabilitas meliputi:
a. jumlah pengadaan yang diumumkan secara elektronik;
b. jumlah dokumen pengadaan yang diunggah secara elektronik;
c. jumlah pengadaan yang telah diumumkan pemenangnya;
49 Yudho Giri Sucahyo, dan Yova Ruldeviyani, S.Kom., Implementasi eProcurement sebagai Inovasi Pelayanan Publik, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKKP), Jakarta, 2009, hlm. 30.
50 Ibid., hlm. 38.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 467
d. persaingan: seberapa luas e-procurement memberikan kesempatan kepada penyedia barang/jasa untuk ikut berkompetisi;
e. sanggah: seberapa banyak penurunan jumlah sanggah yang muncul masingmasing paket pengadaan;
f. kinerja pelaku usaha: e-procurement dapat digunakan untuk melakukan monitoring kinerja pelaku usaha termasuk mengategorikan dalam daftar hitam bagi pelaku usaha yang tidak memiliki integritas.Efisiensi dan efektivitas:
a. efisiensi proses: seberapa besar e-procurement mengurangi biaya yang dikeluarkan dan waktu yang diperlukan untuk melakukan proses pengadaan;
b. efisiensi harga: seberapa dekat harga yang ditawarkan terhadap harga pasar.Cermin identifikasi penyimpangan pengadaan barang/jasa, tata kelola
secara transparansi dan akuntabilitas, efektifefisiensi adalah kekuatan utama pemerintah dalam mengontrol keuangan negara agar tidak menjalar pada nilai penyelewengan KKN yang berdampak pada kerugian rakyat Indonesia. Jika pemerintah masih menganggap proyekproyek pengadaan barang dan jasa cukup dipantau berdasarkan hukum tekstual tanpa melihat kontekstual implementasi hukumnya maka negara kita lamalama akan jebol oleh para mafia keuangan dalam tubuh pemerintahan itu sendiri dan pihak swasta yang terangterangan mencoba membunuh bangsa Indonesia melalui sistem pengadaan barang dan jasa untuk memenangkan tender proyek tersebut.
4. Penguatan Fungsi Pengawasan Pengadaan Barang/JasaPengadaan barang dan jasa oleh pemerintah hendaknya mempunyai kekuatan sistem pengawasan yang memadai, baik dari tingkat sumber daya manusia, integritas birokrasi, reformasi birokrasi yang mampu jadi jembatan terhadap transparansi ke mana arah anggaran pemerintah mengalir, apakah benar untuk masyarakat atau sekadar gugurnya negara dalam good government.
Dalam good government, penggunaan wewenang sebagaimana yang tercantum dalam dokumen UNDP tersebut hanya untuk kepentingan negara, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, yang salah satunya adalah penggunaan anggaran sesuai dengan kebutuhan, misalnya adalah dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang jelasjelas menggunakan uang negara yang notabene adalah uang rakyat.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah468
Sementara kalau kita mengacu pada representasi World Bank bahwa sistem pengadaan pemerintah di Indonesia belum terlaksana dengan baik. Sistem tidak berorientasi ke pasar, rawan terhadap penyalahgunaan dan manipulasi, serta mengurangi nilai dana untuk kepentingan rakyat. Ada beberapa alasan utama mengapa sistem pengadaan nasional belum berfungsi dengan baik, yaitu:51
a. tumpang tindihnya peraturan yang mengatur berbagai aspek pengadaan pemerintah menjadi salah satu sumber ketidak jelasan interprestasi, dan kesenjangan antara kebijakan pokok dengan pelaksanaanya;
b. dasar hukum yang mengatur proses pengadaan pemerintah tidak diatur oleh perangkat perundangan dengan tingkatan hukum yang cukup tinggi, sehingga menimbulkan dampak pada tingkat transparansi dan keje lasan perundangundangan tersebut, dan pada akhirnya penegakan hukum sulit dilakukan;
c. tidak adanya instansi tunggal yang berwenang untuk merumuskan kebijakan pengadaan pemerintah, memantau pelaksanaannya, dan memastikan sanksi serta mekanisme penegakan hukum dapat diterapkan dengan tegas;
d. lemahnya kepatuhan kepada peraturan dan prosedur pengadaan yang berlaku, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum;
e. peraturanperaturan yang ada membatasi persaingan di dalam wilayah Indonesia sendiri, sehingga melanggar prinsip satu negara, satu pasar dan menghilangkan kesempatan yang timbul dalam persaingan yang sehat;
f. kurangnya kemampuan sebagian besar staf operasional, anggota panitia lelang dan pihakpihak berwenang yang memberi persetujuan;
g. kelemahan dalam sistem sertifikasi bagi para kontraktor dan konsultan;
h. pengaruh yang tidak sehat dari berbagai asosiasi bisnis dalam pengadaan;
i. praktikpraktik korupsi dan kolusi, serta pengaruh lainnya;
j. pemaketan kontrak yang tidak ekonomis akibat upaya mencapai tujuan lain, pengaruh berbagai kelompok untuk kepentingan yang lain dan praktik kolusi;
k. iklan tidak memadai khususnya atas kontrakkontrak dengan biaya kecil;
51 World Bank, Laporan Kajian Pengadaan Pemerintah, World Bank, Jakarta, 2001, hlm. 9.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 469
l. kurangnya tindak lanjut terhadap berbagai protes dalam proses pengadaan dan tidak adanya pemantauan yang sistematik terhadap kepatuhan atas peraturan dan prosedur pengadaan;
m. kurangnya pengkaderan pemimpin proyek dan profesional di bidang pengadaan maupun jenjang karir pada sistem pegawai negeri.Kerangka hukum dan perundangundangan tentang pengadaan barang
dan jasa untuk pemerintah telah mengalami perubahan pesat dengan dikeluarkannya Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Keppres ini mendorong penerapan prinsipprinsip dasar dalam proses pengadaan barang dan jasa yang transparan, terbuka, adil, kompetitif, ekonomis, dan efisien. Keppres No. 80 Tahun 2003, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2012 tentang Jabatan Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa dan Angka Kreditnya, Perpres No. 54 Tahun 2010, dan terakhir Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta peraturan undangundang lainnya, setidaknya bisa melahirkan beberapa tata cara yang benar dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Setidaknya beberapa model sesuai dengan aturan di atas maka dapat kita simpulkan dalam konteks perubahan tiaptiap aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah diharapkan bisa menjadi nilai yang maksimal dalam persoalan tanggung jawabnya.
Sebagai sebuah solusi penyempurnaan pengadaan barang dan jasa (PBJ), Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah memberikan arah yang jelas untuk perubahan ke praktik yang lebih baik. Jika dicermati lekuk batang tubuh dan lampirannya maka dapat diungkap arah perubahan antara lain:52
a. menciptakan iklim yang kondusif untuk persaingan sehat, efisien belanja negara, dan mempercepat pelaksanaan APBN/APBD (debottlenecking), di antara sinyal tersurat yang merepresentasikan arah tersebut adalah Tata Cara Pengadaan dan Standar Bidding (SBD) Pengadaan Langsung untuk pengadaan sampai dengan Rp100.000.000 persyaratan pelelangan dipermudah, kontrak payung dan Unit Layanan Pengadaan (ULP);
52 Mustofa Kamal, Mencermati Arah Perubahan PBJP, Tanpa Tahun, hlm. 2–3.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah470
b. memperkenalkan aturan, sistem, metode dan prosedur yang lebih sederhana dengan tetap memerhatikan good governance, di antara sinyal tersurat yang mempresentasikan arah tersebut adalah dihapusnya metode pemilihan langsung (kecuali pekerjaan konstruksi) menjadi pelelangan sederhana dan mendorong pelaksanaan e-annuncement, e-procurement,dan e-catalogue;
c. klarifikasi aturan tentang antara lain jenisjenis pengadaan, besaran uang muka, kelengkapan data administrasi, penggunaan metode evaluasi, kondisi kahar (force majeur), dan penyesuaian harga (price adjustment);
d. memperkenalkan sistem reward and punishment yang lebih adil. Hal tersebut tercermin dari (antara lain) mengupayakan insentif yang wajar kepada para pelaku PBJP, memberlakukan jaminan sanggah banding dan mekanisme blacklist.
Kontekstualisasi perubahan undangundang seperti di atas adalah bagaimana pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah bisa berjalan sesuai dengan prinsipnya agar efisien, yaitu transparan, terbuka, efektif kompetitasnya, nilai dan keuangannya, akuntabel dan berproses dengan tepat, tidak, diskriminasi, serta fair (bersaing secara sehat) dalam tender lelang maupun sebagainya.
Persaingan Sehat
Efektif
Akuntabel
EfisienTransparan
Terbuka dan Bersaing
Adil/Tidak Diskriminatif
Gambar 5.6 Prinsip Efisiensi Pengadaan Barang dan Jasa
Pada prinsipnya gambar di atas menunjukkan langkahlangkah efisiensi pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagai upaya membangun budaya profesionalitas, transparansi, dan budaya tertib dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui meningkatkan kualitas, integritas sumber daya manusia, meliputi mengefektifkan sistem rekruitmen dan sertifikasi sumber daya manusia melalui jenjang pendidikan dan pelatihan, penguatan sistem pertanggungjawaban tanggung renteng dan pengawasan yang ketat, transparan, terbuka,
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 471
bersaing secara sehat, efektif, akuntabel serta adil tanpa adanya diskri minatif, dan mengefektifkan penerapan sistem pemberian reward dan punishment bagi panitia pengadaan barang/jasa pemerintah.
Untuk reformasi budaya hukum sendiri, sudah ada peraturan dan ketentuan hukum yang dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam penyelengga raan negara yang bersih dari KKN sebagaimana disebutkan di atas, termasuk juga pengadaan barang/jasa sebagai bentuk kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintahan, antara lain adalah:a. UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.b. Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penye
lenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.c. Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 tentang
Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.Dari uraian di atas, maka telah didapatkan pemecahan permasalahan dalam
sistem hukum kebijakan birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah dengan mengacu pada teori sistem hukum Lawrence M. Friedmann. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa hukum Indonesia termasuk ke dalam hukum modern yang meniru pada hukum Barat. Tentunya hukum tersebut tidak sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa di dalam hukum positif terkandung ide
dan rasionalitas. Ide memberikan bahan kepada hukum positif, sedangkan rasionalitas memberi bentuk kepada bahan tersebut. Dalam bahan tersebut tertuang keinginan dan kebutuhan oleh suatu bangsa yang dirasakan perlu untuk dimaksudkan ke dalam hukum positifnya. Melalui faktor bahan ter sebut, hukum suatu bangsa dihubungkan atau dikaitkan kepada masyarakatnya. Melalui bahan tersebut, hukum suatu bangsa berciri subjektif. Hukum memiliki identitas dalam bahan tersebut tercampur ideide, nilainilai, serta kenyataankenyataan hidup dalam suatu kesatuan untuk menciptakan suatu pola tertentu dalam kehidupan bangsa bersangkutan.53
Menurut penulis, hukum suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari karakteristik dari suatu bangsa. Bangsa itu sendiri yang membentuk hukum sesuai dengan kebutuhannya. Hukum yang dibentuk berdasarkan kondisi atau keadaan dari
53 Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum ..., op.cit., hlm. 134 dan 135.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah472
bangsa yang bersangkutan. Hukum dari bangsa lain tidak bisa diterapkan menjadi hukum bangsa lainnya, karena karakteristik dan kondisi bangsa yang berbedabeda. Jadi suatu bangsa berhak untuk mengatur jalannya sendiri.
Perlu disadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak pulau dan suku bangsa. Pluralitas ini juga perlu diperhatikan dalam pembentukan hukum. Indonesia adalah bangsa yang majemuk, kemajukan ini juga akan memengaruhi implementasi dari kebijakan hukum yang akan diterapkan.
Bangunan sistem hukum nasional Indonesia harus berpegang pada prinsip Bhinneka Tunggal Ika, yang merupakan inti filsafat Pancasila memang tidak mudah untuk membentuk suatu model bangunan hukum yang ideal dalam suatu kemajemukan, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Sistem hukum Indonesia yang dibentuk harus sesuai dengan dasar filosofi dan nilainilai luhur bangsa Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam kelima dari sila Pancasila. Pancasila adalah suatu philosofisce grondslag, suatu weltanschauung yang
diusulkan oleh Bung Karno di depan sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai dasar bagi negara Indonesia. Pada saat itu, Bung Karno mengemukakan bahwa tiga pokok pengertian dari Pancasila, yaitu: 54
1. Pancasila sebagai pemerasaan jiwa kesatuan Indonesia;2. Pancasila sebagai manifestasi persatuan bangsa dan wilayah Indonesia;
serta3. Pancasila sebagai weltanschauung bangsa Indonesia dalam penghi dupan
nasional dan internasional.
Dari ketiga pengertian di atas, maka Pancasila merupakan falsafah dan ideologi bangsa yang menunjukkan jati diri bangsa Indonesia. Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia. Sebagaimana pernyataan dari Von Savigny bahwa: “Setiap bangsa mempunyai jiwanya masingmasing yang disebut volkgeist atau jiwa rakyat/bangsa”.
Pancasila adalah pandangan hidup bangsa yang dijelmakan sebagai dasar negara dan dibudidayakan selaku ideologi nasional. Pancasila adalah kristalisasi dari sistem nilai budaya, dan sebagai dasar negara menjadi acuan disusunnya UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan kemudian dijabarkan ke dalam berbagai peraturan perundangundangan.
54 Slamet Sutrisno, Filsafat dan Ideologi Pancasila, Edisi I, Andi Yogyakarta, 2006, hlm. 88 dan 89.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 473
Pancasila bukanlah suatu ideologi yang tertutup, tetapi merupakan suatu ideologi yang terbuka. Pancasila dapat menerima unsurunsur budaya lain yang tentunya sesuai dengan nilainilai Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa seiring dengan berjalannya waktu semakin melemah. Budaya dari luar telah mengikis budaya bangsa yang sudah ada sejak dahulu karena pengaruh globalisasi. Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar pembentukan hukum yang hanya tersurat dalam selembar kertas. Hukum yang ada saat ini, lebih mengacu pada hukum modern yang tidak sesuai dengan kultur bangsa dan lebih bersifat dipaksakan dalam penerapannya. Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia mengandung konsekuensi
bahwa pada setiap aspek penyelenggaraan negara dan semua sikap dan tingkah laku bangsa Indonesia dalam bermasyarakat dan bernegara harus berdasarkan pada nilainilai Pancasila. Dalam penyelenggaraan negara selama ini, dalam kenyataannya tidak mendasarkan pada interpretasi pelak sanaan Pancasila sebagaimana terkandung di dalam penjelasan Pembukaan UUD 1945, yang menjelaskan bahwa UUD harus mengandung isi yang mewajibkan kepada pemerintah dan penyelenggaraan negara untuk memegang dan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang citacita rakyat yang luhur.55
Di orde reformasi saat ini, penyelenggaraan negara juga tidak mendasarkan pada nilainilai luhur dan moral rakyat, penyelenggaraan negara sarat akan KKN, Pancasila hanya digunakan sebagai alat legitimasi politik untuk mempertahankan kekuasaan. Pejabat berlombalomba untuk memupuk kekayaan, dan rakyat dibiarkan menderita. Tentunya hal tersebut tidak sesuai dengan keinginan rakyat.
Peraturan perundangundangan yang dibuat juga hanya menguntungkan oleh beberapa golongan saja, tentu saja karena peraturan perundangundangan merupakan produk politik, dan di dalam politik banyak kepentingan yang harus diperjuangkan oleh para politikus, terutama kepentingan dari kelompok mereka sendiri tanpa memikirkan kepentingan rakyat. Seharusnya hukum dibuat untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bukan kebutuhan golongan tertentu. Jerome Frank menyatakan bahwa: “Tujuan utama kaum realisme hukum
adalah untuk membuat hukum menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan
55 Kaelan, Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Edisi Pertama, Paradigma, Yogyakarta, 2002, hlm. 240 dan 254.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah474
kebutuhan sosial”. Teori Pound mengenai kepentingankepentingan sosial merupakan sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan suatu model hukum responsif. Dalam perspektif ini, hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekadar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil. Hukum semacam itu seharusnya mampu mengenai keinginan publik dan mempunyai komitmen bagi tercapainya keadilan substantif.56
Hukum responsif adalah model hukum yang tepat untuk diterapkan di Indonesia sekarang ini. Melihat kekuasaan yang sering diselewengkan oleh para pejabat untuk memupuk kekayaan dengan sikap koruptifnya, merupakan bukti bahwa hukum yang ada selama ini tidak pernah berpihak pada kepentingan rakyat. Korupsi besarbesaran lebih banyak terjadi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Penyimpanganpenyimpangan banyak terjadi dalam tahapantahapan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Meskipun sudah terjadi beberapa kali perubahan dalam kebijakan hukum pengadaan barang/jasa pemerintah, perilaku korupsi para pejabat tidak semakin menurun malah semakin bertambah. Birokrasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah saat ini merupakan
birokrasi formalisme, yang lebih menekankan pada ketaatan pada peraturanperaturan, prosedur yang benar, dan yurisdiksi yang tegas. Max Weber menyebutnya sebagai otoritas birokrasi legalrasional. Birokrasi dipandang sebagai sistem yang relatif pasif dan konservatif, yang disibukkan dengan urusan implementasi detail dari kebijakankebijakan yang diterima. Rasionalitas selamanya berbahaya, dan harus diwaspadai dari kemungkinan adanya nepotisme, korupsi, dan manipulasi politik. Oleh karena itu, penekanan diletakkan pada penghalang dan pemisah untuk membentengi pengaruh kekerabatan atau pengaruh pribadi, untuk memisahkan administrasi dari politik, dan untuk mepertahankan integritas jabatan. Sarana utama birokrasi dalam mempertahankan integritas jabatan adalah dengan mempersempit diskresi administratif, kebijakankebijakan dikodifikasikan, pembuatan kebijakan dibuat rutin, pendelegasian dibatasi, otoritas dikonsentrasikan di bagian puncak.57
56 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Cetakan Kelima, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 83 dan 84.
57 Ibid., hlm. 73 dan 74.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 475
Senada dengan hal tersebut, maka dalam birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah yang terdiri dari 15 tahapan perlu disederhanakan, kebijakan hukum pengadaan barang/jasa pemerintah saat ini yang mengalami beberapa kali perubahan perlu dikuatkan dalam bentuk undangundang, serta perlu dibentuknya badan hukum yang khusus menangani pengadaan barang/jasa pemerintah sehingga akan mudah pengawasannya dibandingkan dengan peng adaan barang/jasa pemerintah yang selama ini dilaksanakan oleh masingmasing lembaga/institusi pemerintah yang tersebar di berbagai daerah yang mempersulit proses pengawasan. Suatu institusi yang responsif mempertahankan secara kuat halhal yang
esensial bagi integritasnya sembari tetap mempertahankan keberadaan kekuatankekuatan baru di dalam lingkungannya. Lembaga responsif menganggap tekanantekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk melakukan koreksi diri. Oleh karena itu, sebuah institusi memerlukan panduan ke arah tujuan. Hanya ketika sebuah lembaga benarbenar mempunyai tujuan, barulah dapat ada paduan antara integritas dan keterbukaan, peraturan, dan diskresi. Hukum responsif beranggapan bahwa tujuan dapat dibuat cukup objektif dan cukup otoritatif untuk mengontrol pembuatan peraturan yang adaptif.58
Model ideal kebijakan hukum birokrasi yang dapat ditawarkan oleh penulis adalah model kebijakan hukum birokrasi dengan menyandarkan pada teori Friedmann dan teori hukum responsif NonetSelznick sebagai model kebijakan hukum birokrasi yang ideal bagi pengadaan barang/jasa pemerintah untuk mengubah sistem pengadaan barang/jasa pemerintah sekarang ini. Model kebijakan hukum birokrasi yang ideal bagi pengadaan barang/jasa pemerintah mengacu pada falsafah dan ideologi bangsa, yakni Pancasila.
Dari unsurunsur dalam sistem hukum pengadaan barang/jasa pemerintah, dapat diketahui bahwa sistem hukum pengadaan barang/jasa yang digunakan selama ini masih terdapat kelemahan. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam substansi hukum, Perpres yang digunakan masih terdapat celah yang digunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Tahapan yang panjang harus dise derhanakan dan dilakukan penguatan Perpres menjadi undangundang dengan mencantumkan bentukbentuk penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah berikut sanksi pidananya.
58 Ibid., hlm. 87 dan 88.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah476
Dalam struktur hukumnya, pelaksanaan pengadaan barang/jasa oleh tiaptiap instansi pemerintah di Indonesia jauh dari pengawasan, sehingga penyelewengan mudah dilakukan. Terlebih lagi, Indonesia terbagi menjadi 33 provinsi dengan daerah yang tersebar di seluruh Nusantara, maka untuk pengawasan sangat sulit dilakukan. Untuk mengatasinya perlu dibuat suatu lembaga khusus pengadaan barang/jasa pemerintah yang sentralistis untuk menangani pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Tentunya lembaga khusus ini, sebagai tindakan lanjut setelah adanya undangundang baru tentang pengadaan barang/jasa pemerintah.
Dalam kultur hukum terkait dengan budaya dari aparatur pemerintah yang masih korup, untuk itu diperlukan reformasi pendayagunaan aparatur negara yang bebas KKN melalui rekruitmen yang lebih ketat, sistem sertifikasi, pendidikan atau pelatihan, sistem pengawasan yang terorganisir dari pusat, serta lebih mengefektifkan penggunaan e-procurement dan sistem reward and punishment.
Indonesia pun perlu belajar dari sistem pengadaan barang/jasa pemerintah dari negara Korea Selatan dan Singapura. Penggunaan e-procurement merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, Indonesia juga harus memiliki sumber daya manusia yang ahli dalam sistem informasi.
Kelemahankelemahan yang penulis sebutkan dalam sistem pengadaan barang/jasa pemerintah yang digunakan sampai sekarang, meruntuhkan pandangan yang selama ini diyakini bahwa panjangnya tahapan dalam sistem pengadaan barang/jasa dan waktu pelaksanaan yang sempit menimbulkan kesulitan dan dapat digunakan sebagai celah untuk melakukan korupsi, begitu juga dengan sistem desentralisasi di mana pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh tiaptiap instansi pemerintah di daerah yang menyulitkan pengawasan. Kelemahankelemahan dalam sistem hukum pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut memerlukan solusi agar diperoleh penanganan yang baik, sehingga pengadaan barang/jasa pemerintah di kemudian hari dapat berjalan efektif dan efisien.
Dari kelemahankelemahan yang penulis temukan tersebut, maka penulis mengemukakan model kebijakan sebagai solusi dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang masih sarat korupsi selama ini. Tentunya dengan tetap berpegang teguh kepada Pancasila yang merupakan pandangan hidup bangsa dan merupakan ciriciri atau karakteristik bangsa selama ini yang sudah semakin pudar karena pengaruh dari globalisasi terutama pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa, yakni Pancasila.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 477
PancasilaFalsafah dan Ideologi
Teori Sistem Hukum Friedmann
UUD NRI 1945
Kebijakan Hukum Birokrasi Pengadaan Barang/Jasa
Teori Hukum Responsif NonetSelznick
Solusi
UU Pemberantasan
Tindak Pidana
UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN
UU Kepegawaian
UU Keuangan Negara
Perpres Pengadaan Barang/Jasa
UU PBJ
Badan Khusus PBJ
Asas Pemerintahan yang Baik, Etika dan Prinsip Pengadaan Barang/Jasa
Bebas KKN
Birokrasi Pengadaan Barang/Jasa yang Efektif dan Efisien
Gambar 5.7 Alur Pikir Pembentukan UndangUndang dan Badan Khusus Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Mencegah Terjadinya Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia
Dari gambar tersebut diketahui alur pembentukan undangundang tentang Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Pemerintah dan pembentukan badan khusus terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah untuk mencegah terjadinya
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah478
tindak pidana korupsi di Indonesia yang dimulai dari Pancasila sebagai dasar dan falsafah bangsa berada pada posisi yang tertinggi dalam sistem ketatanegaraan dan tata pemerintahan Indonesia. Nilainilai Pancasila mengalir pada UUD 1945 dan peraturan perundangundangan, termasuk di dalamnya adalah kebijakan hukum birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah. Pengadaan barang/jasa pemerintah membutuhkan hukum yang mampu menciptakan iklim persaingan yang sehat dan pengadaan barang/jasa yang efektif dan efisien.
Kebijakan hukum birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah ini, diperoleh dengan menerapkan teoriteori hukum seperti teori sistem hukum oleh Lawrence M. Friedmann dan teori hukum responsif oleh NonetSelznik. Dari pengujian dengan teori hukum tersebut, diketahui adanya penyimpanganpenyimpangan dalam pengadaan barang/jasa selama ini yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Dari teori tersebut pula, diperoleh solusi pemecahannya.
Di lingkaran dalam ditemukan solusi dengan pembentukan undangundang pengadaan barang/jasa pemerintah. Dengan mengacu pada peraturan lainnya seperti UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UndangUndang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, serta UndangUndang Kepegawaian.
Implementasi dari peraturan perundangundangan tersebut dengan tetap memerhatikan asasasas umum pemerintahan yang baik, etika dan prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah, sehingga akan membentuk sebuah birokrasi pengadaan barang/jasa yang efektif dan efisien serta bebas dari KKN.
Dalam lingkaran luar, tentunya kebijakan hukum dan implementasinya harus sesuai dengan nilainilai yang terkandung di dalam Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia. Jika kebijakan hukum birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah yang bertentangan dengan Pancasila berarti tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah yang ada saat ini masih muncul kasuskasus korupsi yang disebabkan oleh lemahnya Perpres sebagai payung hukum, tidak efektifnya bekerjanya struktur dan birokrasi serta lemahnya kualitas sumber daya manusia yang melahirkan perilaku koruptif. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya kasuskasus korupsi di kemudian hari, penulis memandang perlu dilakukan reformasi kebijakan hukum birokrasi dengan menawarkan sebuah
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 479
model ideal sentralisasi kebijakan substansi hukum dengan membuat undangundang, struktur hukum dengan membentuk badan/lembaga khusus dan kultur hukum dengan cara melakukan penataan aparatur pelaksana kegiatan untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia.
Berikut beberapa keunggulan model ideal tentang sentralisasi pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah guna mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia, antara lain sebagai berikut.
a. Akses informasi bisa diperoleh lebih cepat dan mudah karena terpusat pada satu lembaga/badan khusus yang mengelola kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.
b. Birokrasi lebih efektif dan efisien karena sistem jaringan yang digunakan telah terintegrasi dan terpusat pada satu badan atau lembaga khusus.
c. Efektivitas dan penguatan bekerjanya fungsi pengawasan dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah lebih terjamin karena instansi atau lembaga yang diawasi terpusat pada satu lembaga.
d. Profesionalisme berdasarkan standar kompetensi lebih mudah dicapai karena berada dalam satu atap/lembaga dengan mekanisme pembagian tugas dan kewenangan yang tegas dan jelas.
e. Mekanisme pertanggungjawaban dapat dilakukan secara cepat, akurat, dan akuntabel karena mudah dalam berkoordinasi antara kuasa pengguna anggaran dengan panitia pelaksana, termasuk di dalamnya tim pemeriksa barang/jasa.
f. Pemberian dan penggunaan kewenangan dalam struktur organisasi kepani tiaan (kuasa pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, panitia pelaksana kegiatan, tim pengawas internal dan tim pemeriksa barang) di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota lebih efektif karena diatur dalam satu atap melalui badan/lembaga khusus pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.
g. Pelaksanaan pekerjaan pengadaan barang/jasa dengan model sentralisasi mengutamakan kualitas pelayanan, hemat waktu, dan biaya murah.
h. Model sentralisasi tersebut perlu menghadirkan lembaga eksternal yang melaksanakan fungsi pengawasan, yaitu BPK, BKN, KPK, dan Kejaksaan. Model ideal sebagaimana dalam gambar berikut ini.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah480
Gambar 5.8 Model Ideal Sentralisasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
Keterangan Gambar 5.8: Badan Khusus melaksanakan fungsi sentral dalam hal birokrasi, struktur, manajemen, re
kruitmen, penataan aparatur pelaksana kegiatan PBJP Badan Khusus, BPK, BKN, KPK, Kejaksaan menjalankan perintah undangundang Penyedia Barang dan Jasa menjalankan surat perintah kerja BPK, BKN dan Badan Khusus melakukan koordinasi dan pengawasan KPK, Kejaksaan dan Badan Khusus melaksanakan koordinasi dan pengawasan BPK, BKN,
KPK dan Kejaksaan.
Preventif korupsi
Perintah UU
Perintah UU
SPK
UU tentang PBJ/PP
Penyedia Barang/Jasa
Mencegah Korupsi
SentralisasiBadan Khusus
KPK/Kejaksaan
Debirokratisasi
BPK/BKN
Restrukturisasi
Penataan AparaturRekruitmen SDM
Preventif mal administrasi
Perintah UU
F. Koordinasi
F. Pengawasan
F. Koordinasi
F. Pengawasan
Gambar 5.9 Alur Penindakan Kasus Mal Administrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
BKN Sanksi Administrasi
Non Penal
Penal Pengadilan Sanksi Pidana
Mal Administrasi
Murni
Mal Administrasi
Pidana
Pengembalian Kerugian Negara
Mal Administrasi
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 481
D. PERBANDINGAN PENGADAAN BARANG DAN JASA DENGAN NEGARA LAIN
Berikut dapat diuraikan secara singkat perbandingan pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan negara lain di dunia.59
1. PrancisPenyelenggara pengadaan pemerintah adalah UGAP (Union des Groupements d’Achats Publics). Sejak tahun 1985, UGAP berperan mengatur metode dan tata cara pelelangan Pemerintah Prancis yang ditetapkan dalam suatu aturan. E-procurement sendiri dimulai pada tahun 2004 dalam 2 (dua) tahap, yakni sebagai berikut.
a. Tahap PertamaDengan dibentuknya Dinas Pengadaan Publik atau Agency for Public Pro curement (ACA) pada Departemen Keuangan. Pada tahap ini Pemerintah Prancis telah mengakomodir:1) aturan tentang electronic signature dalam kontrak maupun surat menyurat
selama proses pengadaan;2) standardisasi pengadaan, bentukbentuk kontrak;3) lelang secara elektronik, pemesanan secara elektronik (e-ordering), dan
pembayaran secara elektronik (e-payment).
b. Tahap KeduaDibentuk Lembaga Pengadaan Pemerintah Pusat (The State Government Pro cu-rement Agency) atau SAE sejak tahun 2006 sampai sekarang. Salah satu tanggung jawab SAE adalah menyusun kebijakan di bidang pengadaan barang/jasa. Fungsi utama yang dicakup SAE dalam proses pengadaan meliputi pengumuman lelang, dokumen pelelangan berbasis online, tanya jawab (question and answer), e-tendering, kontrak dan keputusankeputusan, serta pengarsipan pengadaan.
Pada tahap kedua ini mulai diperkenalkan inter ministerial audit untuk mengatasi permasalahan lemahnya profesionalisme dan kemungkinan untuk mengkapitalisasi kemajuan saat ini pada areaarea yang lebih spesifik seperti
59 Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kajian Pence gahan Korupsi pada Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Kedeputian Bidang Pencegahan Direktorat Penelitian dan Pengembangan, Jakarta, Tahun Anggaran 2015, hlm. 19–27.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah482
keuangan dan pertahanan. Keberhasilan lain adalah terpusatnya pengadaan pada industri telepon seluler dan gas. Ambisi Prancis dalam menerapkan e-procurement adalah untuk mening katkan profesionalisme pengadaan pemerintah dengan tujuan untuk menghemat biaya pengadaan hingga 10 persen dan mengurangi beban administrasi. Di samping itu, secara makro proyek tersebut juga bertujuan menciptakan pengadaan yang bertanggung jawab secara sosial dan ekonomi serta meningkatkan manajemen sumber daya manusia untuk berdedikasi di sektor pengadaan.
2. FilipinaPemerintah Filipina telah mengeluarkan regulasi di bidang pengadaan yang dinamakan Government Procurement Reform Act (Republic Act 9184) pada bulan Januari 2003. Pada era sebelumnya, Filipina memiliki lebih dari 100 produk hukum terkait dengan pengadaan pemerintah. Produkproduk hukum yang sangat terfrag mentasi tersebut kemudian dikonsolidasikan dalam Government Procu re-ment Reform Act yang menjadi dasar bagi modernisasi, standardisasi, dan regulasi aktivitas pengadaan pemerintah. Act tersebut dirancang untuk memadukan sistem pengadaan di Filipina, mengurangi peluang untuk terjadinya suap dan korupsi, menyelaraskan sistem pengadaan dengan standar dan praktik internasional, serta mendorong transparansi, kompetisi, efisiensi, akuntabilitas, dan pengawasan publik. Adapun usunan organisasi pengadaan di Filipina terdiri atas sebagai berikut.
a. Badan Pengadaan dan Unit Pengadaan/Kantor1) Entitas Pengadaan Sebuah Entitas Pengadaan adalah kantor pusat atau lembaga yang diberi
kewenangan untuk melaksanakan pengadaan secara independen, kantor regional atau lembaga tingkat desentralisasi, lokal atau lebih rendah/biro/kantor dari NGA, GOCC, GFI, SUC, atau LGU.
2) Unit Pengadaan/Kantor dan Sekretariat BAC Kepala Entitas Pengadaan harus membuat Sekretariat BAC permanen dan
untuk tujuan ini, ia memiliki keleluasaan untuk membuat kantor baru atau untuk sekadar menunjuk kantor organik yang ada menjadi Sekretariat BAC.
Istilah “Unit Pengadaan” mengacu kepada kantor organik dari entitas pengadaan yang melaksanakan fungsi pengadaan. Dalam departemen yang besar sebagai Entitas Pengadaan, unit ini bisa berupa layanan (services)
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 483
atau divisi, sedangkan di organisasi kecil mungkin berbentuk cabang yang terdiri dari beberapa personil. Ukuran Unit Pengadaan dan jumlah personil ditentukan oleh volume transaksi yang dilakukan dan tingkat keahlian yang diperlukan oleh Pejabat Pengadaan. Kepala Entitas Pengadaan membentuk Unit Pengadaan berdasarkan pedoman berikut ini.a) Entitas Pengadaan dengan anggaran pengadaan melebihi tiga miliar
peso (P3B), baik pengadaan terpusat maupun desentralisasi, harus memiliki Direktorat Pengadaan dan Perlengkapan (Procurement and Supply Chain Management Directorate) yang dipimpin oleh seorang direktur.
b) Entitas Pengadaan dengan anggaran pengadaan melebihi satu miliar peso (P1B) tetapi tidak lebih dari tiga miliar peso (P3B), harus memi liki Divisi Pengadaan dan Perlengkapan (Procurement and Supply Chain Management Division).
c) Entitas Pengadaan dengan anggaran pengadaan di bawah satu miliar peso (P1B) harus memiliki Seksi Pengadaan dan Perlengkapan (Pro-cu rement and Supply Chain Management Section).
b. Bids and Awards Committee (BAC)Kepala Badan Pengadaan harus membuat BAC tunggal di Kantor Kepala Entitas Pengadaan. Namun BAC terpisah dapat dibuat di bawah salah satu kondisi berikut.1) Barang yang akan dibeli adalah kompleks atau khusus.2) Jika BAC tunggal tidak dapat mengelola transaksi pengadaan sampai batas
waktu yang ditentukan.
c. Anggota BAC1) Pada kantor pusat badanbadan pemerintah, BUMN, lembaga keuangan dan
perguruan tinggi negeri, BAC harus terdiri dari setidaknya 5 (lima) anggota dan tidak melebihi 7 (tujuh). Dari 5 (lima) anggota, 3 (tiga) orang merupakan anggota biasa dan 2 (dua) orang merupakan anggota sementara.
2) Pada biro/kantor wilayah/unit terdesentralisasi dari badanbadan pemerintah, BUMN, lembaga keuangan, BAC harus terdiri dari setidaknya 5 (lima) anggota dan tidak melebihi 7 (tujuh). Dari 5 (lima) anggota, 3 (tiga) anggota biasa dan 2 (dua) anggota sementara.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah484
3) Pada provinsi, kabupaten/kota, BAC terdiri dari setidaknya 5 (lima) anggota dan tidak melebihi 7 (tujuh):a) kepala daerah harus menunjuk para anggota BAC, yang harus menem
pati unit pendukung dari pemerintah daerah yang bersangkutan;b) semua anggota yang ditunjuk oleh kepala daerah adalah anggota
biasa, kecuali anggota pengguna akhir yang dianggap sebagai anggota sementara.
4) Pada Barangay:a) kepala Barangay akan menunjuk setidaknya 5 (lima), tetapi tidak
lebih dari 7 (tujuh) anggota BAC, yang berasal dari anggota Barangay Sangguniang, BAC yang ditunjuk sebagai anggota harus menentukan ketua dan wakil ketua di antara mereka;
b) para anggota BAC diangkat untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, dihitung dari tanggal pengangkatan.
d. Kelompok Kerja Teknis (TWG)BAC dapat membentuk TWG yang berasal dari ahli teknis, keuangan, dan/atau hukum untuk membantu proses pengadaan.
e. Pengamat (Observer)BAC mengundang pengamat hadir untuk mengamati seluruh tahapan pengadaan. Tujuan dari observasi adalah untuk meningkatkan transparansi proses pengadaan pada seluruh tahapan. Government Procurement Reform Act mengharuskan penggunaan Philippine Government Electronic Procurement System (PhilGEPS) bagi seluruh lembaga pemerintah pusat, perusahaan yang dimiliki atau dikendalikan oleh pemerintah, lembaga keuangan pemerintah, perguruan tinggi negeri, dan unit pemerintah daerah.
Penyedia barang/jasa yang ingin terlibat dalam pengadaan pemerintah harus mendaftarkan terlebih dahulu ke sistem. Penggunaan PhilGEPS akan meningkatkan transparansi pengadaan pemerintah karena peluang untuk berbisnis dengan pemerintah dan aktivitas sesudahnya dilakukan secara online.
Informasi tentang siapa yang menjadi pemenang, alasan pemenangan, dan nilai kontrak dapat diakses melalui sistem. Dengan PhilGEPS, penyedia barang/jasa tidak perlu lagi mengunjungi kantor lembaga pemerintah untuk melihat pengumuman pengadaan.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 485
3. MalaysiaPengadaan barang dan jasa negara Malaysia dilakukan oleh Divisi Pengadaan Pemerintah, Kementerian Keuangan Malaysia (Government Procurement Division, Ministry of Finance). Adapun tugas dan tanggung jawabnya adalah sebagai berikut.a. Perumusan kebijakan dan peraturan pengadaan.b. Pengulasan terhadap pengadaanpengadaan sebelumnya.c. Pengawasan dan review pasca pengadaan.d. Melakukan audit terhadap pengadaan.e. Melakukan review terhadap komplain pada pengadaan.f. Monitoring dan evaluasi di tingkat entitas negara, sektor, dan pengadaan.g. Penasihat profesional dan bimbingan dalam pengadaan publik.h. Pengembangan kapasitas pengadaan dan pelatihan.
Pengadaan barang dan jasa dinaungi oleh peraturan dan hukum berikut.a. Financial Procedure Act 1957.b. Government Contracts Act 1949.c. Treasury Directives and Circular Letters.d. Federal Central Contract Circulars.
Peraturan dan hukum pengadaan barang dan jasa, yaitu sebagai berikut.a. Tidak mencakup pengadaan yang dilakukan oleh badan usaha milik negara.b. Membolehkan frameworks contract (semacam multiyears).c. Menetapkan sistem desentralisasi dengan prosedur kajian dan persetujuan
sebelumnya untuk kontrakkontrak yang besar.d. Hukum memandatkan standardisasi praktik pengadaan yang mewajib
kan penggunaan prosedur umum dan standar, serta bentuk dokumen penawaran.
e. Menyediakan prinsip dan prosedur umum dalam membuat ketentuan untuk penggunaan/penerapan e-procurement.
f. Mengamanatkan penggunaan registrasi dan klasifikasi sistem sebagai pra kualifikasi kontraktor untuk menawar.
Proses pengadaan pemerintah di Malaysia diatur oleh UndangUndang Prosedur Keuangan 1957 yang memberdayakan Departemen Keuangan Malaysia (MOF) untuk bertindak sebagai Badan Pusat dan merumuskan
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah486
aturan dan peraturan yang berkaitan dengan semua Pengadaan Pemerintah. Melalui Prosedur Keuangan Act, MOF telah mengeluarkan aturan dan pedoman pengadaan pemerintah, seperti Treasury Instruksi dan Surat Edaran Treasury yang dapat diakses melalui www.treasury.gov.my.
g. The PPA reports to:1) President/Parliament;2) Ministry of Finance.
Tujuan pengadaan barang dan jasa, yaitu sebagai berikut.a. Pasokan berkelanjutan barang dan jasa (sustainable supply of goods and
services).b. Nilai yang tinggi untuk uang (high value for money).c. Promosi industri lokal (promotion of local industries).d. Sebagai cara untuk mencapai tujuan pembangunan nasional (as a way to
achieve national development goals).e. Transfer teknologi dan keahlian (transfer of technology and expertise).
Prinsipprinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah, yaitu sebagai berikut. a. Akuntabilitas publik (public accountability).b. Transparansi (transparency).c. Nilai untuk uang (value for money).d. Persaingan terbuka dan adil (open and fair competition).e. Transaksi yang adil (fair dealing).
Pengadaan barang dan jasa menggunakan e-procurement system, yaitu www.eperolehan.gov.my.
4. Korea SelatanPengadaan barang dan jasa di Korea Selatan diselenggarakan oleh Public Procurement Service (PPS), yang berada di bawah Kementerian Strategi dan Keuangan. Public Procurement Service (PPS) berperan dalam pengadaan barang dan jasa sebagai berikut.
a. Pengadaan dalam dan luar negeri untuk lembagalembaga publik.
Pembelian dan persediaan barang dengan volume tahunan sebesar USD14 miliar atau sekitar 46% dari total pembelian publik.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 487
b. Kontrak untuk proyekproyek konstruksi utama pemerintah.
Volume kontrak sekitar USD14 miliar atau sekitar 39% dari seluruh pekerjaan umum. PPS juga melakukan kajian desain proyek konstruksi dan memberikan jasa manajemen konstruksi untuk lembagalembaga publik yang tidak memiliki insinyur profesional.
c. Stok persediaan dan pasokan bahan baku.
PPS mengadakan stok bahan baku utama seperti alumunium, tembaga, timbal, seng, timah, dan bahan konstruksi. Dalam jangka pendek dan panjang dan permintaan barang, dan stabilisasi harga konsumen, sehingga mendukung perkembangan stabil ekonomi nasional.
d. Koordinasi dan audit aset/barang milik negara/pemerintah.
PPS secara efisien mengelola sekitar 12 juta unit property pemerintah, yang jumlahnya mencapai USD7.8 miliar pada 2007, dan bertanggung jawab atas halhal mengenai pengelolaan milik pemerintah.
e. Pengelolaan dan pengoperasian KONEPS E-Procurement.
KONEPS melakukan seluruh proses pengadaan dari undangan untuk tawaran, penawaran, kontrak untuk pembayaran kontraktor online.
UndangUndang Pengadaan Barang dan Jasa Republik Korea Nomor 4697 tanggal 5 Januari 1994 oleh Kementerian Perundangundangan [Government Procurement Act (Republic of Korea) January 5, 1994 as Act No. 4697].
Prinsipprinsip pengadaan barang dan jasa, yakni transparansi dalam kesempatan dengan pengadaan yang adil, transparansi dalam praktik kontrak, dan prinsip nondiskriminasi diterapkan dalam tender internasional sesuai dengan WTO GPA.
Tujuan utama dari pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah untuk memperoleh barang dan jasa di bawah kondisi yang paling menguntungkan. Ini bisa berarti harga rendah atau kualitas terbaik, atau kombinasi di antaranya.
Pengadaan barang dan jasa pemerintah mempunyai tujuan sekunder, seperti promosi operator ekonomi tertentu atau industri, perlindungan pasar domestik, penegakan kebijakan sosial, dan lainlain. Pada saat yang sama, GP juga bercitacita untuk mencapai masyarakat pareto-optimal, yang menempatkan lebih menekankan pada politikekonomi aspek pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah488
Meskipun berfokus pada pengadaan dengan harga terendah dengan pandangan mempromosikan efisiensi ekonomi, tren terbaru adalah untuk menekankan kualitas dan pencapaian nilai terbaik untuk uang. Ini berarti bahwa paradigma pembelian dengan harga terendah sedang digantikan oleh paradigma pembelian pada nilai tertinggi, dan bahwa kriteria selain harga pembelian, misalnya layanan disesuaikan, sempurna A/S, pasokan cepat, dan lainlain, yang semakin penting.
Korea Online E-Procurement System (KONEPS) terpusat pada satu sistem yang dikelola oleh PPS. Prosedur e-procurement melalui KONEPS ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu pengadaan untuk masyarakat lokal dan pengadaan untuk masyarakat luar Korea Selatan.
5. SingapuraPengadaan pemerintah di Singapura senilai SGD7.5 miliar (sekitar USD4.5 miliar) per tahun tunduk pada peraturan dari UndangUndang Pengadaan Pemerintah dan tiga keputusan, yakni Peraturan Pemerintah Pengadaan, Pengadaan Pemerintah (Challenge Proceedings) Peraturan, dan Pemerintah Pengadaan (Application) Order. Prinsipprinsip dasar yang mendasari rezim pengadaan pemerintah di Singapura adalah sebagai berikut.a. Keterbukaan dan keadilan.b. Transparansi.c. Nilai uang (value for money).
Kementerian Keuangan berhak menetapkan peraturan mengenai cakupan luas dari aspek pengadaan, seperti prakualifikasi dan pemberian prosedur atau spesifikasi teknis untuk pengadaan. Manual instruksi pemerintah yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan memberikan bimbingan tambahan untuk pengadaan badan dan penawar potensial. Kerangka pengadaan juga berlaku untuk perusahaan milik negara.
Solusi end-to-end e-procurement publik yang bertindak sebagai stimulus untuk pengembangan e-commerce di Singapura. Di satu sisi, lembagalembaga publik menikmati manfaat dari membuat pembelian elektronik barang yang biasa digunakan, di sisi lain, pemasok dan penawar lelang menikmati akses yang lebih luas untuk tender pemerintah dan penawaran.
Sistem e-procurement umum untuk seluruh sektor publik di Singapura menghasilkan transaksi yang sesuai dengan kebijakan pengadaan pemerintah (termasuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) – Perjanjian Pengadaan Pemerintah).
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 489
Selain memiliki peraturan yang jelas dan komprehensif (kerangka hukum dan kelembagaan) pada pelaksanaan pengadaan publik, juga mencatat bahwa GeBIZ memungkinkan transparansi yang lebih besar karena semua operasi pengadaan, dimulai dengan pengumuman tender untuk pemberian kontrak yang dipublikasikan secara online.
Dengan demikian, warga setempat dan pengusaha mendapatkan keuntungan dari portal e-procurement one-stop pemerintah Singapura karena membantu tingkat kompetisi untuk memungkinkan usaha kecil dan menengah untuk bersaing dengan vendor yang ditetapkan, setiap kali sebuah lembaga mengeluarkan undangan untuk melakukan penawaran.
6. DenmarkPeraturan pengadaan barang dan jasa diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 600 af 30/06/1992 (Governmental order number 600 af 30/06/1992). Kementerian Menteri Dalam Negeri dan Kesehatan dan Kementerian Urusan Ekonomi dan Bisnis Denmark berwenang untuk mengatur dengan menerapkan undangundang yang merujuk pada EU Directive pada pengadaan publik. Prinsip pengadaan barang dan jasa adalah perlakuan yang setara untuk pemasok, transparansi, pencegahan diskriminasi berdasarkan negara (nationalities).
Perundangundangan nasional yang diadopsi untuk merefleksikan hukum Uni Eropa pada pengadaan publik ke dalam sistem hukum Denmark antara lain sebagai berikut.a. Direktif 2004/18/EC dari Parlemen Eropa dan Dewan 31 Maret 2004
(Directive 2004/18/EC of the European Parliament and of the Council of 31 March 2004).
Melakukan koordinasi prosedur untuk penghargaan kontrak pekerjaan umum, masyarakat kontrak pasokan dan kontrak pelayanan publik.
Diadopsi menjadi Governmental Order Number 937 of 16 September 2004 tentang tata cara pemberian kontrak pekerjaan umum, kontrak pasokan publik dan kontrak pelayanan publik.
b. Direktif 2004/17/EC dari Parlemen Eropa dan Dewan 31 Maret 2004 (Directive 2004/17/EC of the European Parliament and of the Council of 31 March 2004).
Melakukan koordinasikan prosedur pengadaan perusahaan yang beroperasi di sektor air, energi, transportasi, dan layanan pos.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah490
Diadopsi menjadi Governmental Order Number 936 of 16 September 2004 tentang prosedur pengadaan perusahaan yang beroperasi di air, energi, transportasi, dan sektor telekomunikasi.
c. UndangUndang Nomor 338 dari 18 Mei 2005 (Act No. 338 of 18 May 2005).
Undangundang pendukung yang dilengkapi dengan prosedur yang dijelaskan dalam UndangUndang Denmark atas undangan untuk tender untuk kontrak publik dan subsidi publik tertentu.SKI (Statens og Kommunernes Indkobsservice) adalah badan pengadaan sentral
yang mengatur volume diskon pada barang dan jasa umum kepada publik. SKI menetapkan perjanjian kerangka kerja atas nama negara Denmark dan kota yang bertujuan untuk menguntungkan, baik penyedia dan pembeli publik. SKI adalah sebuah perusahaan terbatas yang dimiliki oleh negara (55%) dan Denmark Pemerintah Daerah (45%). Pendapatan SKI didasarkan pada pemasok perjanjian kerangka membayar bagian dari omset yang masuk melalui perjanjian. Model bisnis ini memberikan SKI insentif untuk membuat kesepakatan yang sering digunakan, sehingga eksistensi SKI berkelanjutan. SKI adalah perusahaan nonprofit.
The Denmark Competition Authority merupakan lembaga di bawah Kementerian Denmark Urusan Ekonomi dan Bisnis, serta merupakan otoritas yang bertanggung jawab di bidang pengadaan sejak tahun 1993. Alasan untuk menempatkan halhal mengenai pengadaan publik di bawah naungan The Denmark Competition Authority adalah bahwa aturanaturan pengadaan publik dianggap sebagai bagian penting dari aturan kompetisi.
The Danish Competition Authority:a. bukan badan pengawas, dan hanya menyarankan pada pemahaman aturan
pengadaan publik ketika diminta;b. berusaha untuk memastikan pengembangan persaingan yang efektif dan
bebas di bidang kontrak publik.Sebagai aturan pokok, jika nilai ambang batas terlampaui, pemberi kontrak
harus memperoleh tender dengan menggunakan prosedur yang terbuka atau terbatas. Bila menggunakan prosedur yang terbuka, semua pihak yang berkepentingan dapat mengajukan tender. Bila menggunakan prosedur terbatas, hanya partai yang prakualifikasi oleh pemberi kontrak dapat mengajukan tender yang sebenarnya.
Bab 5 Model Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 491
Kontrak sangat kompleks (misalnya kontrak jaringan komputer besar) dapat dimasukkan ke dalam atas dasar dialog yang kompetitif, di mana ada dialog yang lebih erat antara pemberi kontrak dan tenderer tersebut. Dalam keadaan tertentu, kontrak juga dapat dimasukkan ke dalam atas dasar prosedur negosiasi.
Pemberi kontrak adalah sebagai aturan umum, wajib untuk mengecualikan tender karena otoritas publik Danish jumlah tunggakan lebih dari DKK 100.000 (sekitar EUR 14.000). Oleh karena itu, tender biasanya diminta untuk menyerahkan pernyataan khidmat tentang utang mereka kepada otoritas publik. Selanjutnya, tender dihukum karena partisipasi dalam kejahatan terorganisir, pencucian uang, penipuan Uni Eropa atau suap harus dikecualikan dari prosedur pengadaan.
Aturan pengadaan publik didasarkan pada prinsipprinsip umum perlakuan yang sama dan transparansi, yang secara eksplisit dinyatakan dalam EU Directive. Di antara prinsipprinsip lain yang tersirat dalam aturan pengadaan adalah prinsipprinsip proporsionalitas dan persaingan.
Pemberi kontrak harus, khususnya akan menghormati prinsip kesetaraan selama prosedur pengadaan. Akibatnya, diskriminasi atas dasar kebangsaan dilarang. Tender harus dievaluasi hanya pada jasajasa mereka.
Prinsip pengadaan barang dan jasa:a. perlakuan yang setara untuk pemasok;b. transparansi;c. pencegahan diskriminasi berdasarkan negara (nationalities).
Kontrak akan diberikan dengan menerapkan salah satu kriteria, yaitu harga lelang terendah atau tender yang paling menguntungkan secara ekonomis. Jika kriteria pemberian adalah tender yang paling ekonomis menguntungkan, pemberi kontrak harus menetapkan kriteria lanjut (selain harga) atas dasar yang tender akan dievaluasi, misalnya kualitas, jasa teknis, estetis dan karakteristik fungsional, biaya operasional, dan lainlain. Pemberi kontrak dapat membatalkan prosedur pengadaan (dan memutuskan untuk tidak memberikan kontrak ke salah satu peserta tender), jika mempunyai alasan yang tepat.
E-procurement di negara Denmark terdiri dari 3 (tiga) sistem berikut.
a. DOIP (Den Offentlige Indkobsportal/The public procurement portal) – www. doip.dk, merupakan e-procurement utama pengadaan barang dan jasa.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah492
b. ETHICS (the Electronic Tender Handling, Information and Communications System) adalah sistem informasi yang menangani informasi, komunikasi dan registrasi penyedia untuk dapat masuk sebagai penyedia barang dan jasa pemerintah.
c. Electronic catalogues of goods – www.netkatalog.dk, merupakan sistem e-catalog barang yang sentralisasi untuk negara Denmark.
Dari sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah di berbagai negara tersebut, maka dapat diambil pelajaran penting dari benchmark sistem pengadaan barang dan jasa, yakni sebagai berikut.
Tabel 5.4 Benchmark Sistem Pengadaan Barang dan Jasa
No. Hal Benchmark Sistem PBJ
1. Regulasi Regulasi terkait PBJ bersifat sentralisasi, hanya ada satu regulasi saja (setingkat undangundang beserta turunan peraturan pelaksananya).
2. Prinsip PBJ Value for money.Monitoring publik.Perlakuan yang sama untuk pemasok atau vendor.
3. Kelembagaan Kementerian Keuangan bertanggung jawab terhadap Lembaga Pengadaan.
Barang dan jasa sebagai pos pengeluaran belanja negara.Filipina memisahkan antara lembaga regulator dan implemen
tator.
4. Pelaksanaan Eprocurement menjadi andalan utama dalam menciptakan pengadaan barang dan jasa yang transparan, akuntabel, dan mengurangi fraud dan korupsi.
Sentralisasi pengadaanpengadaan yang bersifat strategis.
Sumber: Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, 12/16/2014
Bab 6 Penutup 493
Berdasarkan halhal yang telah diuraikan, penulis berkesimpulan antara lain sebagai berikut.1. Kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia, semula dilak
sa nakan berdasarkan Keppres No. 18 Tahun 2000 dan telah mengalami beberapa kali perubahan, saat ini dilaksanakan berdasarkan Perpres No. 4 Tahun 2015. Fakta menunjukkan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilaksanakan saat ini masih ditemukan adanya kasuskasus korupsi. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya kelemahan beberapa pasal dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015, di antaranya Pasal 26 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 78 ayat (3), Pasal 86 ayat (6), Pasal 87 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 88 ayat (1) dan ayat (2), ditambah dengan struktur birokrasi yang tidak efektif serta kualitas sumber daya manusia yang tidak memenuhi standar kompetensi yang ideal akibatnya melahirkan perilaku koruptif yang dapat merugikan keuangan negara.
2. Pengaturan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia saat ini menggunakan model desentralisasi yang memberikan otonomi kepada instansi pemerintah melalui SKPD masingmasing, dalam pelaksanaannya ditentukan wajib melalui 15 (lima belas) tahapan. Kelima belas tahapan tersebut melahirkan tidak kurang dari 52 modus yang berpotensi terjadinya perbuatan melawan hukum dan/atau penyalahgunaan wewenang, jabatan atau kedudukan sebagai perilaku koruptif yang dapat merugikan keuangan negara. Atas dasar itulah, maka langkah yang tepat untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia terkait dengan kegiatan
Bab 6Penutup
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah494
pengadaan barang/jasa pemerintah adalah melakukan reformasi kebijakan hukum birokrasi dengan merumuskan model ideal sentralisasi kebijakan hukum birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah yang meliputi substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum.
3. Langkah strategis yang perlu dilakukan dengan membangun sebuah model ideal sentralisasi kebijakan hukum birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah, meliputi: a. substansi, membuat undangundang tentang pengadaan barang/jasa;b. struktur, yakni membentuk badan/lembaga khusus yang mempunyai
otonomi penuh untuk melakukan sentralisasi, debirokratisasi, dan restrukturisasi dalam mengatur dan mengelola kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah;
c. kultur, yakni melakukan penataan aparatur pelaksana kegiatan meliputi penataan sumber daya manusia, pemberlakuan standar kompetensi, meng efektifkan sistem sertifikasi, pembagian tugas dan wewenang yang tegas, mengefektifkan fungsi pengawasan dan pemeriksa, meru mus kan sistem pertanggungjawaban yang transparan, akuntabel, bermoral dan bertanggung jawab.
Penulis mengusulkan kepada Peme rintah dan DPR RI periode 2014–2019 agar melakukan sentralisasi pengaturan peng adaan barang/jasa pemerintah, yaitu:1. membuat undangundang tentang pengadaan barang/jasa pemerintah
sebagai pengganti dari Perpres No. 4 Tahun 2015;2. membentuk badan/lembaga khusus di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota
yang diberi kewenangan penuh untuk melakukan penataan sumber daya manusia, pemberlakuan standar kompetensi, mengefektifkan sistem sertifikasi, pembagian tugas dan wewenang yang tegas, mengefektifkan fungsi pengawasan dan pemeriksa, merumuskan sistem pertanggungjawaban yang transparan, akuntabel, bermoral dan bertanggung jawab.
Implikasi dari tulisan ini secara teoretis dan praktis adalah sebagai berikut.1. Teoretis Memperkuat bahwa teori birokrasi di era modern ini, menjadi strategis
untuk dikembangkan secara profesional dan akuntabel, memperhatikan realitas sosial dalam bekerjanya hukum di dalam masyarakat dengan mem bentuk undangundang tentang pengadaan barang/jasa pemerintah.
Bab 6 Penutup 495
2. Praktis Menjadi acuan untuk merekonstruksi birokrasi pada pengadaan barang/
jasa pemerintah di Indonesia dengan sentralisasi pengadaan barang dan jasa, khususnya pada tataran pelaksana kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah dari pihak birokrat dan rekanan. Rekonstruksi struktur dan budaya dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan mulai dari pusat, provinsi dan kabupaten/kota dengan melakukan rekruitmen dan pengembangan SDM yang berorientasi pada kecakapan profesional (skill), kepribadian yang luhur, mempunyai keberanian moral dan intelektual, serta bertanggung jawab.
Daftar Pustaka 497
BUKU:A.A.G. Peters dkk. 2008. Hukum dan Perkembangan Sosial. Buku I. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.__________. 2008. Hukum dan Perkembangan Sosial. Buku II. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.__________. 2008. Hukum dan Perkembangan Sosial. Buku III. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.A. Djoko Sumaryanto. 2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana
Korupsi dalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
A. Muin Fahmal. 2006. Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta: UII Press.
A. Siti Soetami. 2000. Hukum Administrasi Negara. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
__________. 1995. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: Eresco.A.Y. Suryanajaya. 2008. Kerugian Negara dalam Perspektif Hukum Administrasi
Publik. Masalah dan Penyelesaian. Jakarta: Eko Jaya. __________. 2012. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dalam Pengelolaan
Keuangan Negara. Cetakan Pertama. Jakarta: Eko Jaya.Abdilla Fauzi Achmad. 2012. Tata Kelola Bernegara dalam Perspektif Politik.
Cetakan Pertama.Jakarta: Golden Terayon Press.
Daftar Pustaka
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah498
Abdul Latif dkk. 2010. Politik Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Abdul Manan. 2006. Aspek-Aspek Pengubahan Hukum. Cetakan Ketiga. Jakarta: Kencana.
Achmad Ali dkk. 2012. Sosiologi Hukum Kajian Empiris terhadap Pengadilan, Cetakan Pertama. Jakarta: Kencana.
Adji Samekto.2003. Studi Hukum Kritis Kritik terhadap Hukum Modern. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Adrian Sutedi. 2012. Aspek Hukum Pengadaan Barang & Jasa dan Berbagai Permasalahannya. Edisi Kedua. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika.
__________. 2010. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Sinar Grafika.
Agus Dwiyanto. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
__________. 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: UGM Press.
Agus Pramusinto dan Erwan Agus Purwanto (Ed.). 2009. Reformasi Birokrasi Kepemimpinan dan Pelayanan Publik. Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Yogya karta: Gava Media.
__________. 2009. Governance Reform di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media.
Agus Salim. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ahmad Ali. 2018. Menguak Tabir Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.
Ahmad Gunaryo (Ed.). 2001. Hukum Birokrasi & Kekuasaan di Indonesia. Semarang: Walisongo Research Institute (WRI).
Ahmad Sukardja. 2012. Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih Siyasah. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika.
Ajib Rosidi. 2006. Korupsi dan Kebudayaan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Alfin Sulaiman. 2011. Keuangan Negara pada Badan Usaha Milik Negara dalam Perspektif Ilmu Hukum. Cetakan Kesatu. Bandung: Alumni.
Amir Syamsuddin. 2008. Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara. Jakarta: Kompas.
Andi Hamzah. 1991. Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Daftar Pustaka 499
__________. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
__________. 2005. Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara.Jakarta: Sinar Grafika.
Arifin P. Soeria Atmadja.2005. Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum Praktik dan Kritik. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
__________. 1986. Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Suatu Tinjauan Yuridis. Jakarta: Gramedia.
__________. 2010. Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Keuangan Negara (Sumber-Sumber Keuangan Negara). Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI.
Artidjo Alkostar. 2008. Korupsi Politik di Negara Modern. Yogyakarta: FH UII Press.
Arya Maheka. Tanpa Tahun. Mengenali & Memberantas Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ateng Syafrudin. 1994. Kepala Daerah. Bandung: Citra Aditya Bakti. Azhari. 2011. Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia, Studi Perbandingan Inter-
vensi Pejabat Politik terhadap Pejabat Birokrasi di Indonesia dan Malaysia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1980. Hasil Seminar Hukum Nasional. Jakarta.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. September 2012. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2012. Buku I Ringkasan Eksekutif. Jakarta: BPK RI.
Bambang Kusmanto, dkk. 1992. Keuangan Negara. Yogyakarta: Intermedia.Bambang Poernomo. 1985. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.Barda Nawawi Arief. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Cetakan
Kedua. Bandung: Citra Aditya Bakti.__________. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media.__________. 2009. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah500
__________. 2010. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Benard L. Tanya. 2011. Penegakan Hukum dalam Terang Etika. Yogyakarta: Genta Publishing.
__________. 2011. Hukum dalam Ruang Sosial. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Genta Publishing.
__________. 2011. Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama. Yogyakarta: Genta Publishing.
Bintoro Tjokroamidjojo. 1990. Pengantar Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Budi Winarno. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: MedPress.C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. 2008. Hukum Keuangan dan Perben-
daharaan Negara. Cetakan Pertama. Jakarta: Pradnya Paramita.__________. 2001. Ilmu Negara (Umum dan Indonesia). Jakarta: Pradnya
Paramita.Chaerudin, dkk. 2008. Strategi Pencegahan & Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi. Bandung: Refika Aditama.Chairul Huda. 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan-Tinjauan Kritis terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Cetakan ke1. Jakarta: Kencana.
Dasril Munir, Henry Arys Djuanda, dan Hiessel Nogi S. Tangkilisan. 2004. Kebijakan & Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: YPAPI.
Dedy N. Hidayat. 2003. Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik. Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.
Didin S. Damanhuri. 2006. Korupsi, Reformasi Birokrasi, dan Masa Depan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Djoko Prakoso. 1990. Peranan Pengawasan dan Penangkalan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Aksara Persada Indonesia.
Djoko Sumaryanto. 2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara. Cetakan Pertama Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Daftar Pustaka 501
Dwi Saputra dkk. 2004. Tiada Ruang Tanpa Korupsi. Semarang KP2KKN Jawa Tengah.
E. Utrecht. 1964. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Jakarta: Balai Buku Ichtiar.
Eddi Wibowo, dkk. 2004. Hukum dan Kebijakan Publik. Cetakan Pertama. Yogyakarta: YPAPI.
Edi Setiadi dan Rena Yulia. 2010. Hukum Pidana Ekonomi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Edi Suharto. 2005. Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Cetakan Pertama. Bandung: Alfabeta.
Edquist, Hommen, dan Tsipouri. 2000. Public Technology Procurement and Innovation. Boston: Kluwer Academic Publishers.
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong. 2005. Hukum dalam Ekonomi. Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Endarti Budi Setyawati dan Hessel Nogi S. Tangkilisan. Tanpa Tahun. Responsivitas Kebijakan Publik. Yogyakarta: Wonderful Publishing Company.
Ermansjah Djaja. 2010. Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pembe-rantasan Korupsi), Kajian Yuridis UURI Nomor 31 Tahun 1999 juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001 Versi UURI Nomor 30 Tahun 2002 juncto UURI Nomor 46 Tahun 2009. Edisi Kedua. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika.
Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis. Cetakan I. Semarang: Suryandaru Utama.
Eva EtzioniHalevy. 2011. Demokrasi dan Birokrasi-Sebuah Dilema Politik. Yogyakarta: Total Media.
Fadilah Putra. 2005. Kebijakan Tidak untuk Publik. Yogyakarta: Resist Book.__________. 2001. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik. Surabaya:
Pustaka Pelajar dan Universitas Sunan Giri Surabaya.Feisal Tamin. 2004. Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan Aparatur
Negara. Jakarta: Blantika.H.C.B. Dharmawan dkk. (ed). 2005. Jihad Melawan Korupsi. Jakarta: Kompas.H.L.A. Hart. 2009. Konsep Hukum. Bandung: Nusa Media.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah502
H.R. Otje Salman S. dan Anton F. Susanto. 2004. Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali. Cetakan Pertama. Bandung: Refika Aditama.
Hans Kelsen. 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Bandung: Nusamedia dan Nuansa.
Hartono. 2010. Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.
Hessel Nogi S. Tangkilisan. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta: Lukman Offset YPAPI.
Hetifah Sj. Sumarto. 2009. Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance, 20 Pra-karsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
I.G.M. Nurdjana. 2005. Korupsi dalam Praktik Bisnis, Pemberdayaan Penegak-an Hukum, Program Aksi dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
__________. 2010. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi “Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum”. Cetakan Kesatu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Indriyanto Seno Adji. 2006. Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana. Jakarta: Diadit Media.
Indroharto. 1993. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
__________. 2005. Korupsi dalam Praktik Bisnis, Pemberdayaan Penegakan Hukum, Program Aksi dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Inu Kencana Syafiie. 2011. Etika Pemerintahan. Jakarta: Rineka Cipta.
__________. 1999. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: Rineka Cipta.
Ismail Mohammad dkk. 2004. Konsep dan Pengukuran Akuntabilitas. Jakarta: Universitas Trisakti.
Jazim Hamidi. 1999. Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerin tahan Yang Layak (AAUPPL) di Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia (Upaya Menuju “Clean and Stable Government”). Bandung: Citra Aditya Bakti.
Daftar Pustaka 503
Jeremy Pope. 2003. Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional. Jakarta: Transparency Internasional Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia.
Jimly Asshiddiqie. 2005. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press.
John W. Creswell. 2009. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Edisi keIII. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat. 2009. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung: Nuansa.
Juni Sjafrien Jahja. 2013. Prinsip Kehati-hatian dalam Memberantas Mana jemen Koruptif pada Pemerintahan dan Korporasi. Cetakan Pertama. Jakarta: Visimedia.
Kaelan. 2002. Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Edisi Pertama. Yogyakarta: Paradigma.
Kimberly Ann Elliot. 1999. Korupsi dan Ekonomi Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
K.P.H.A. Tjandra Sridjaja Pradjonggo. 2010. Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Indonesia Lawyer Club.
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. 2003. Kebijakan Reformasi Hukum (Suatu Rekomendasi). Cetakan Pertama. Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia dan Partnership Governance Reform in Indonesia.
Krisna Harahap. 2009. Pemberantasan Korupsi di Indonesia Jalan Tiada Ujung. Bandung: Grafitri.
Kuntjoro Purbopranoto. 1995. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara. Bandung: Alumni.
Lawrence M. Friedman. 1907. The Legal System. New York.__________. 2009. Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial, The Legal System, A
Social Science Perspective. Cetakan I. Bandung: Nusa Media.Leden Marpaung. 1992. Tindak Pidana Korupsi, Masalah dan Pemecahannya.
Jakarta: Sinar Grafika.L.J. van Apeldoorn. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.Lexy J. Moleong. 2004. Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah504
Lijan Poltak Sinambela. 2008. Reformasi Pelayanan Publik, Teori, Kebijakan, dan Implementasi. Cetakan Keempat. Jakarta: Bumi Aksara.
Lili Rasjidi. 1988. Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu. Cetakan Keempat. Edisi Revisi. Bandung: Remadja Karya.
__________. 1993. Hukum sebagai Suatu Sistem. Bandung: Remaja Rosdakarya.Lutfi J. Kurniawan. 2011. Perihal Negara Hukum dan Kebijakan Publik. Malang:
Setara Press.M. Akil Mochtar. 2006. Memberantas Korupsi, Efektivitas Sistem Pembalikan
Beban Pembuktian dalam Gratifikasi. Jakarta: QCommunication.M. Hadi. 1980. Administrasi Keuangan Negara RI. Jakarta: Tanpa Penerbit.M. Irfan Islamy. 2004. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara.
Cetakan Ketiga Belas. Jakarta:Bumi Aksara.M. Soebagio. 1987. Hukum Keuangan Negara Republik Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers.M.S. Arif. 1996. Organisasi dan Manajemen. Jakarta: Kaunika.Mahrus Ali. 2011. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia. Cetakan Pertama.
Yogyakarta: UII Press.Makmur. 2007. Filsafat Administrasi. Jakarta: Bumi Aksara.Mardiasmo. 2004. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi.Martin Albrow. 2005. Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana.Marwan Effendy. 2012. Kapita Selekta Hukum Pidana, Perkembangan dan
Isu-Isu Aktual dalam Kejahatan Finansial dan Korupsi. Cetakan Kedua. Jakarta: Referensi.
__________. 2010. Pemberantasan Korupsi dan Good Governance. Cetakan Pertama. Jakarta: Timpani Publishing.
__________. 2012. Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana. Cetakan Kedua. Jakarta: Referensi.
__________. 2012. Tipologi Kejahatan Perbankan dari Perspektif Hukum Pidana. Cetakan Kedua. Jakarta: Referensi.
Marzuqi Yahya dan Endah Fitri Susanti. 2012. Buku Pintar Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Sesuai dengan Perpres. Jakarta: Laskar Aksara.
Miftah Thoha. 1992. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Daftar Pustaka 505
__________. 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Cetakan Kedua. Jakarta: Kencana.
Moeljatno. 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.Mochtar Lubis dan James C. Scott. 1988. Bunga Rampai Korupsi. Jakarta:
LP3ES.Muchsan. 1992. Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.Mudjisantosa. 2013. Memahami Spesifikasi HPS dan Kerugian Negara. Cetakan
I. Jakarta: Primaprint. Muhammad Fauzan. 2006. Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian tentang Hubungan
Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Cetakan Pertama. Yogyakarta: PKHKD FH UNSOED dan UII Press.
Muhammad Said. 1960. Etika Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.
Muhlis Madani. 2011. Dimensi Interaksi Aktor dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Muladi dan Dwidja Priyatno. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korupsi.Jakarta: Kencana.
Mukti Fajar N.D. dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum, Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Munir Fuady. 2004. Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Nomensen Sinamo. 2012. Hukum Administrasi Negara. Edisi Revisi. Jakarta: Jala Permata Aksara.
Nur Bahagia. 2006. Sistem Inventori. Bandung: ITB.Nyoman Serikat Putra Jaya. 2012. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang
Ekonomi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.Otje Salman S. 2009. Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah).
Bandung: Refika Aditama.Paul Scholten. 2011. Struktur Ilmu Hukum, Bandung:Alumni.Paulus Effendi Lotulung. 1993. Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum
terhadap Pemerintah. Bandung: Citra Aditya Bakti.Peter de Cruz. 2012. Perbandingan Sistem Hukum. Bandung: Nusa Media.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah506
Philippe Nonet & Philip Selznick. 2003. Hukum Responsif. Cetakan I. Jakarta: Ford Fondation HUMA.
__________. 2010. Hukum Responsif. Cetakan Kelima. Bandung: Nusa Media.Philipus M. Hadjon dkk. 1997. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.
Yogya karta: Gadjah Mada University Press.Purwo Santoso, dkk. (Ed.). 2004. Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik.
Yogyakarta: Fisipol UGM.R. Dyatmiko Soemodihardjo. 2008. Mencegah dan Memberantas Korupsi,
Mencermati Dinamikanya di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.Riant Nugroho. 2011. Public Policy, Teori Kebijakan, Analisis Kebijakan, Proses
Kebijakan, Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi, Risk Management dalam Kebijakan Publik, Kebijakan sebagai The Fifth Estate, Metode Pene-litian Kebijakan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Ridwan H.R. 2003. Hukum Administrasi Negara. Cetakan Kedua. Yogyakarta: UII Press.
__________. 2009. Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Admi-nistrasi. Yogyakarta: FH UII Press.
Robert Klitgaard dkk. 2005. Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pe-merintahan Daerah. Alih Bahasa Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
__________. 2001. Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.Robert M. Uger. 2008. Teori Hukum Kritis. Bandung: Nusa Media.__________. 1999. Gerakan Studi Hukum Kritis. Jakarta: ELSAM.Rohim. 2008. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi. Cetakan Pertama.
Cimanggis Depok: Pena Mukti Media.Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.
Jakarta: Ghalia Indonesia.Romli Atmasasmita. 2004. Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek
Internasional. Bandung: Mandar Maju.S. Prajudi Atmosudirjo. 1994. Hukum Administrasi Negara. Seri Pustaka Ilmu
Administrasi VII. Edisi Revisi. Jakarta: Ghalia Indonesia.S.F. Marbun, dkk. (Ed.). 2001. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi
Negara. Yogyakarta: UII Press.
Daftar Pustaka 507
__________. 1997. Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
__________. 1987. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberty.
S.P. Siagian. 1996. Patologi Birokrasi. Jakarta: Bumi Aksara.Samodra Wibawa. 2011. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Edisi Pertama.
Yogyakarta: Graha Ilmu.Satjipto Rahardjo. Tanpa Tahun. Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan
Sosiologis. Bandung: Sinar Baru.__________. 2009. Hukum dan Perubahan Sosial-Suatu Tinjauan Teoretis serta
Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.__________. 2009. Hukum Progresif. Yogyakarta: Genta Publishing.__________. 2009. Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum. Cetakan Pertama.
Malang: Bayumedia Publishing.__________. 2009. Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, Kaitannya
dengan Profesi Hukum dan Pembangunan Hukum Nasional. Cetakan I. Yogyakarta: Genta Publishing.
__________. 2006. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Cetakan Kedua. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
__________. 1996. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.Satochid Kartanegara. Tanpa Tahun. Hukum Pidana. Jakarta: Balai Lektur
Mahasiswa.Sedarmayanti. 2012. Good Governance “Kepemerintahan yang Baik” & Good
Corporate Governance “Tata Kelola Perusahaan yang Baik”. Bagian Ketiga Edisi Revisi. Bandung: Mandar Maju.
__________. 1999. Good Governance (Pemerintahan yang Baik). Jakarta: Mandar Maju.
__________. 2009. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepe me-rintahan yang Baik). Bandung: Refika Aditama.
Singgih. 2002. Dunia pun Memerangi Korupsi, Beberapa Catatan dari Inter-national Anti Corruption Conference I–X dan Dokumen PBB tentang Pemberantasan Korupsi. Tangerang: Pusat Studi Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah508
Sjahran Basah. 1992. Perlindungan Hukum terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara. Bandung: Alumni.
Slamet Sutrisno. 2006. Filsafat dan Ideologi Pancasila. Edisi I. Yogyakarta: Andi.
Soedjono D. 1977. Pungli, Analisis Hukum dan Kriminologi. Bandung: Karya Nusantara.
Soejono Dirdjosisworo.1999. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali.__________. 1977. Pungli, Analisis Hukum dan Kriminologi. Bandung: Karya
Nusantara.__________. 2002. Memorandum Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.Soeratno dan Lincolin Arsyad. 2003. Metodologi Penelitian untuk Ekonomi dan
Bisnis. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.Soerjono Soekanto. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru Kesatu. Jakarta:
Rajawali Press.__________. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: Rajawali Press.__________. 1983. Penegakan Hukum. Jakarta: Bina Cipta.__________. 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta:
CV Rajawali.Soetandyo Wignjosoebroto. 2013. Hukum dalam Masyarakat. Yogyakarta: Graha
Ilmu.Soetopo. 1999. Kebijaksanaan Publik dan Implementasi. Jakarta: Bahan Diklat
SPMA, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.Solichin Abdul Wahab. 1991. Analisis Kebijaksanaan. Jakarta: Bumi Aksara.__________. 2004. Analisis Kebijaksanaan, dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Cetakan Keempat. Jakarta: Bumi AksaraSondang P. Siagian. 2007. Administrasi Pembangunan. Jakarta: Bumi Aksara.Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Cetakan Keempat. Bandung: Alumni.__________. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung:
Sinar Baru.__________. 1973. Hukum Pidana IA. Semarang: Fakultas Hukum Undip.Sudikno Mertokusumo. 1996. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Yogyakarta:
Liberty.
Daftar Pustaka 509
__________. 2010. Penemuan Hukum. Yogyakarta: Universitas Atmajaya.Sugiman. 2013. Antisipasi Risiko Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa di
Perusahaan BUMN. Cetakan Pertama. Jakarta: Cipta Karya.Sunaryati Hartono. 1982. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Bandung:
Binacipta.Surya Fermana. 2009. Kebijakan Publik, Sebuah Tinjauan Filosofis. Cetakan I.
ArRuzz Yogyakarta: Media.Sulistyowati Irianto. 2009. Hukum yang Bergerak: Tinjauan Antropologi Hukum.
Cetakan I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.Susan Rose Ackerman. 2010. Korupsi dan Pemerintahan, Sebab, Akibat, dan
Reformasi. Cetakan Kedua. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.Suswinarno. 2013. Mengantisipasi Risiko dalam Pengadaan Barang/Jasa Peme-
rintah. Cetakan I. Jakarta: Visi Media.Suwoto. 1990. Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia.
Disertasi. Surabaya: Universitas Airlangga.Syaiful Ahmad Dinar. 2012. KPK dan Korupsi (dalam Studi Kasus). Jakarta:
Cintya Press.Syed Hussein Alatas. 1982. Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan dengan Data
Kontemporer. Jakarta: LP3ES.Taufiq Effendi. 2008. Permasalahan dan Peningkatan Kinerja SDM Aparatur
Negara Menghadapi Persaingan Global. Jakarta: Men PAN.__________. 2013. Reformasi Birokrasi dan Iklim Investasi. Cetakan Pertama.
Jakarta: Konstitusi Press.Tim Redaksi Forum Sahabat. 2011. Buku Pintar Pengadaan Barang & Jasa
Pemerintah. Disusun Berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010 & Peraturan Terkait Lainnya. Cetakan Pertama. Jakarta: Forum Sahabat.
Thomas McCarthy. 2009. Teori Kritis. Sidorejo: Kreasi Wacana.Tongat. 2003. Hukum Pidana Materiil. Cetakan Kedua. Malang: UMM Press.W.F. Prins dan R.Kosim Adisapoetra. 1983. Pengantar Ilmu Hukum Adminis-
trasi Negara. Jakarta: Pradnya Paramita.W. Gulo. 2002. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.W. Riawan Tjandra. 2008. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Universitas
Atmajaya.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah510
__________. 2006. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
W.I. Jenkins. 1978. Policy Analysis. Oxford: Martin Robinson.Wahyudi Kumorotomo. 2008. Etika Administrasi Negara. Jakarta: Raja Gra
findo Persada.__________. 2008. Akuntabilitas Birokrasi Publik, Sketsa Pada Masa Transisi.
Yogyakarta: Magister Administrasi Publik (MAP) dan Pustaka Pelajar.Widodo Dwi Putro. 2011. Kritik terhadap Paradigma Positivisme Hukum.
Cetakan Pertama. Yogyakarta: Genta Publishing.William N. Dunn. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Penerjemah
Samodra Wibawa dkk. Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Winarno Surakhmad. 1994. Metode dan Teknik dalam Bukunya Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik. Bandung: Tarsito.
Wirman Syafri. 2012. Studi tentang Administrasi Publik. Jakarta: Erlangga.Word Bank. 2001. Laporan Kajian Pengadaan Pemerintah. Jakarta: World Bank.__________. 2004. Memerangi Korupsi di Indonesia. Memperkuat Akunta-
bilitas untuk Kemajuan. Jakarta: World Bank.Wukir Prayitno. 1990. Modernitas Hukum Berwawasan Indonesia. Semarang:
Agung.Yogi Suprayogi Sugandi. 2011. Administrasi Publik Konsep dan Perkembangan
Ilmu di Indonesia. Cetakan I. Bandung: Laksbang Graha Ilmu.Yohanes Sogar Simamora. 2009. Hukum Perjanjian, Prinsip Hukum Kontrak
Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah. Jilid I. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.
Yopie Morya Immanuel Patiro. 2012. Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi. Cetakan Pertama. Bandung: Keni Media.
Yudha Pandu (Ed.). 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Standar Akuntansi Pemerintahan, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006, Pelaporan Keuangan & Kinerja Instansi Pemerintahan. Cetakan Kedua. Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing.
Yudho Giri Sucahyo dan Yova Ruldeviyani. 2009. Implementasi e-Procurement sebagai Inovasi Pelayanan Publik. Jakarta: Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKKP).
Daftar Pustaka 511
Zainuddin Ali. 2006. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.Zudan Arif Fakrulloh. 2009. Memahami Hukum dari Konstruksi sampai Imple-
mentasi. Jakarta: Rajawali Press.
KAMUS:Sulchan Yasyin. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Amanah.W.J.S. Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta.
PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN:UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. UndangUndang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002.
UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman.UndangUndang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Menggantikan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1973.UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara.Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Peme
rintahan, tanggal 3 Juni 2005.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah512
Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah.
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Instruksi Presiden RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/ 7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 337/KMK/0.12/2003 tentang Sistem Akuntansi dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/KMK.06/2005 tentang Sistem Akuntansi dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dan Peraturan Menteri Keuangan.
Surat Keputusan No. 476/KMK.01/191 tentang Sistem Akuntansi Pemerintah dan Keputusan Menteri Keuangan No. 295/KMK.012/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pembukuan dan Pelaporan Keuangan pada Departemen/ Lembaga.
Perka LKPP No. 6 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Perka LKPP No. 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Cetakan Pertama, Visi Media, Jakarta, 2013.
Keputusan Kepala LAN Nomor 589/IX/6/Y/1999 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Modul Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Edisi Kedua. 2004. Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. Jakarta.
Daftar Pustaka 513
__________. Naskah Akademik Sistem Akuntabilitas Nasional. Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara Deputi III Bidang Litbang Administrasi Pem bangunan dan Otomasi Administrasi Negara Lembaga Administrasi.
JURNAL HUKUM:Amir Santoso. 1992. Analisa Kebijakan Publik Suatu Pengantar. Jurnal Ilmu
Politik No. 3. Jakarta: Gramedia.Arrowsmith. Tahun 2004. Public Procurement: An Appraisal of the UNCITRAL
Model Law as a Global Standard dalam Jurnal International Law & COMP-Quarterly. Vol. 17.
Christopher & Gross. Tahun 2006. “WTO Government Procurement Rules and the Local Dynamics of Procurement Policies: A Malaysian Case Study, dalam The European Journal of International Law. Vol. 17 No. 1.
Christopher & Schooner. Tahun 2007. “Incrementalism: Eroding the Impediments to a Global Public Procurement Market”. Journal of International Law.
Fraunhofer Institute. December 2005. “Review of Isues at Stake Study for the European Commission (No. ENTR/03/24)”.
I Wayan Suandi. 2010. Eksistensi Kebijakan Publik dan Hukum dalam Penye-lenggaraan Pemerintahan Daerah. Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Vol. 1 No. 01. Bali: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 2011. Jurnal Pengadaan, Senarai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jakarta: Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Nur Bahagia. Sistem Pengadaan Publik dan Cakupannya. Dalam Jurnal LKPP Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Vol. 1 No. 1 Desember 2011.
Ratih Anggraeni, Soesilo Zauhar, Siswidiyanto. Evaluasi Kebijakan Publik (Evaluasi terhadap Proses Pengadaan Anjungan Mandiri Kepegawaian Ber-da sarkan Perpres No. 54 Tahun 2010 di Badan Kepegawaian Daerah Kota Malang), dalam Journal of Public Administration Research (JOPAR). Vol. 1, No. 1 Tahun 2012.
Sirajudin H. Saleh & Aslam Iqbal. 1995. “Accountability”, Chapter I in a Book “Accountability The Endless Prophecy”. Edited by Sirajudin H. Saleh and Aslam Iqbal. Asian and Pacific Development Centre,
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah514
United Nation. 1994. “UNCITRAL Model Law on Procurement of Goods, Construction and Services”.
World Trade Organization. “Committee on Government Procurement, Revision of The Agreement on Government Procurement, GPA/W/297”. 11 Desember 2006.
Yusriyadi. Januari 2004. “Membangun Paradigma Ilmu Hukum dan Implikasinya terhadap Penegakan Hukum di Indonesia”. Orasi Ilmiah dalam Rangka Peringatan Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
MAKALAH:Budihardjo H. 2010. Refleksi Pengalaman dalam Mendampingi Pelaksanaan Core
Reform Agenda di Bidang Pengadaan Barang dan Jasa Publik (Observasi dan Pendampingan). Makalah, 15 Juni.
Jawade Hafid. 2011. Kebijakan Kriminal terhadap Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime). Makalah, Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Dipo negoro, Semarang.
__________. 2013. Mengukur Kinerja Reformasi Birokrasi pada Hukum Peng-adaan Barang dan Jasa Pemerintah. Makalah, Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang.
__________. 2006. Seminar Nasional “Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Negara sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi”, Brawijaya Accounting Fair 2006, FE Unbraw, Malang, 3 Juni.
LAPORAN/ARTIKEL ILMIAH:Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kajian Pencegahan Korupsi Pada Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Kedeputian Bidang Pencegahan Direktorat Penelitian dan Pengembangan, Jakarta, Tahun Anggaran 2015.
MAJALAH:Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Majalah Kredibel, Edisi
1, Berkaca dari Korea Selatan, KONEPS, Sistem e-Procurement Nomor 1 di Dunia, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta, Oktober–Desember 2011.
Daftar Pustaka 515
__________. Majalah Kredibel, Edisi 02, Government Electronic Business (GeBIZ) Singapura, Menekan Praktek Korupsi Melalui One-Stop E-Proc Portal, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta, Januari–April 2012.
INTERNET:B. Kunto Wibisono (Ed.), Percepat Penanganan Kasus Hambalang, Jumat,
13 September 2013 00:36 WIB, dalam http://www.antaranews.com/berita/ 395414/percepatpenanganankasushambalang.
http://acch.kpk.go.id/statistikpenanganantindakpidanakorupsiberdasarkanwilayah.
http://id.wikipedia.org/wiki/Nepotisme.http://kfatrividhi.blogspot.com/2010/08/pengertiancontractchangeother.
html, diakses pada hari Kamis, tanggal 12 September 2013.http://pusdiklatwas.bpkp.go.id/artikel/namafile/52/MencermatiArah_
Perubahan_Aturan_PBJP.pdf, diakses pada 5 Mei 2013 pukul 01.33 WIB.http://www.stialan.ac.id/artikel/artikel%20achmad_djuaeni.pdf, diakses pada
10 Juni 2013 pukul 01.24 WIB.http://www.stialan.ac.id/artikel/artikel%20suryanto.pdf diakses pada 10 Juni
2013 pukul 01.30 WIB.Iqbal Fadil, Ini Kasus Korupsi yang Bisa Menjerat Gubernur Atut, Jumat, 11
Oktober 2013, 04:06, dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/inikasus korupsiyangbisamenjeratgubernuratut.html.
KPK, Dari Kasus Suap, KPK Selidiki Proyek PON, dalam http://kpk.go.id/id/ berita/beritasub/446darikasussuapkpkselidikiproyekpon, diter bitkan pada Selasa, 28 Agustus 2012, jam 12:33.
KPK Bidik Pembahasan Anggaran PON Riau, “Tadi saya sudah menjelaskan kepada penyidik halhal yang menyangkut penganggaran dari Kemenpora”, dalam http://skalanews.com/berita/detail/152743/KPKBidikPem bahas an Ang garanPONRiau, diterbitkan pada Kamis, 22 Agustus 2013, jam 18:30 WIB.
Jawa Pos Group, Dituduh Pemerasan pada Proyek Dishubkominfo, Forum Ormas Tangsel Bakal Dilaporkan ke Polda, 18 Juni 2012, dalam http://tangselpos.com/dituduhpemerasanpadaproyekdishubkominfoforumormastangselbakaldilaporkankepolda.
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah516
Mingguan Bakinnews, Terkait Pembangunan Kantor Balaikota Payakumbuh, BPK Temukan Pemborosan Anggaran 3,6 M Lebih, Senin 17 Juni 2013, 04:54, dalam http://www.bakinnews.com/index.php?option=com_content & view=article&id=10774:terkaitpembangunankantorbalaikotapayakumbuh&catid=50:kotapayakumbuh&Itemid=73.
Mustofa Kamal, Mencermati Arah Perubahan Aturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, 2001, dalam http://pusdiklatwas.bpkp.go.id/artikel/nama file/ 52/MencermatiArah_ Perubahan_Aturan_PBJP.pdf.
Nebby Mahbubirrahman, BW Dinilai ‘Lindungi Sri Mulyani di Kasus Ham balang’, 31 Oct 2012 13:49:35, dalam http://m.aktual.co/hukum/ 135047bwdinilailindungisrimulyanidikasushambalang.
Panji Keris, Teori Falsifikasi Karl Popper, dalam http://panjikeris.wordpress. com/2012/03/22/teorifalsifikasikarlpopper/, diakses pada tanggal 13 Januari 2014.
Republika, Kasus Simulator SIM, Djoko Susilo Bilang Lalai dan Siap Bertanggung Jawab, Ia Berdalih sebagai Korlantas Mempunyai Banyak Kesibukan yang Menyita Waktu, Selasa, 27 Agustus 2013 22:10:00 WIB, dalam http://atjehpost.com/indonesia_read/2013/08/27/64113/24/8/Kasus simulatorSIMDjokoSusilobilanglalaidansiapbertanggungjawab# sthash. 5KQr0Wxi.dpuf.
Sekretariat Badan Balai Diklat Keuangan Pontianak, Aspek Hukum dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, dalam http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/pontianak/index.php/home/10umum/60aspekhukumdalampengadaanbarangdanjasapemerintah.
Sholahuddin Al Ayyubi, Versi IPW, 25 Kasus Korupsi Mandek di Bareskrim Polri, Rabu 23 Oktober 2013, 12.55 WIB, dalam http://nasional.sindonews.com/read/2013/10/02/13/789838/versiipw25kasuskorupsimandekdibareskrimpolri.
Syarip Hidayat, Persekongkolan dalam Tender, Studi Kasus di Indonesia, Amerika Serikat, dan Kanada, 18 Agustus 2008, dalam http://syukriy.wordpress.com/2008/08/18/persekongkolandlmtenderyangmengakibatkanpersainganusahatidaksehatstudikasusdiindonesiaamerikaserikatdankanada.
Profil Penulis 517
Profil Penulis
Dr. H. Jawade Hafidz Arsyad, S.H., M.H. Lahir di Bone Sulawesi Selatan, tanggal 20 April 1967. Menyelesaikan pendidikan Program Sarjana (S1) di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang tahun 1992, Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum (S2) di Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang tahun 2007, dan Program Doktor Ilmu Hukum (S3) di Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang tahun 2014.
Karya tulisan yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, penelitian, prosiding dan diktat (bahan ajar), artikel, antara lain: (Buku) judul “Korupsi dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN), penerbit Sinar Grafika Jakarta; (Buku), judul “Sentralisasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dalam Mencegah Tindak Pidana Korupsi”; (Diktat) Hukum Administrasi Negara, Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Filsafat Hukum Kontemporer, Metodologi Penelitian Hukum dan Statistik, Hukum dan Kebijakan Publik, Perbandingan Hukum antar Negara, Hukum Konstitusi dan aktif menulis artikel ilmiah pada jurnal hukum terakreditasi Nasional dan berISBN. Pengalaman sebagai narasumber dalam berbagai seminar dan lokakarya, simposium, konferensi, callpaper nasional dan internasional mengenai Reformasi Birokrasi Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dalam Mencegah Tindak Pidana Korupsi, (Prosiding) Kemandirian Program Studi dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN,
Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah518
Reformasi Kebijakan Pendidikan Tinggi dalam Perspektif Hukum di Indonesia, (Seminar InternasionalProceeding): Given the Criminalization Law and Powers, Public Service Reform Bureaucracy In Improving Competitiveness Global Community Law and ASEAN Economic Affairs.
Pengalaman profesional menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum UNISSULA tahun 2013–2017, Ketua Senat Fakultas Hukum UNISSULA tahun 2013–2017, Wakil Dekan I Bidang Akademik Fakultas Hukum UNISSULA tahun 2009–2013, Sekretaris Senat Fakultas Hukum UNISSULA tahun 2009–2013, Anggota Senat Universitas tahun 2009–2017, Ketua Umum Pengurus Pusat Asosiasi Penyelenggara Program Studi Ilmu Hukum Indonesia (APPSIHI) tahun 2015–2019, Penasihat Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) tahun 2015–2019, Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (ADHI) tahun 2017–2021, Ketua Dewan Kehormatan Daerah Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Jawa Tengah tahun 2017–2022, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UNISSULA tahun 2011–2019, Tim Pendiri dan Anggota Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Indonesia (ADPHI) tahun 2016–sekarang, Anggota Asosiasi Perhimpunan Hukum Ketena gakerjaan Indonesia tahun 2017–sekarang, Ketua Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UNISSULA tahun 2010–2017, Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Masyarakat (BKBHM) Fakultas Hukum UNISSULA tahun 2005–2008.
Pengalaman profesional mengajar sebagai Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), mengampu mata kuliah: Filsafat Hukum, Hukum Administrasi Negara, Hukum Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Hukum Pejabat Publik dan Perlindungan HakHak Rakyat, Metodologi Penelitian Hukum, Hukum Kesehatan, Kapita Selekta Hukum Administrasi Negara, Hukum dan Kebijakan Publik, pada Program Studi Sarjana (S1), Magister Ilmu Hukum (S2), Magister Kenotariatan (MKn) dan Doktor Ilmu Hukum (S3) di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.
Pengalaman profesional sebagai Lawyer dan Mediator pada Law Firm (Advocate & Counsellor At Law) Dr. H. J. Hafidz, S.H.,M.H. & Partner’s dalam menangani perkara Perdata, Pidana dan Tata Usaha Negara, antara lain: kasus penyelewengan dana nasabah BRI Cabang Surakarta; kasus lelang pembangunan gedung Setda Kabupaten Demak; kasus lelang pengadaan barang dan jasa
Profil Penulis 519
di Yogyakarta; kasus lelang pengadaan barang dan jasa di Jepara; kasus lelang pengadaan barang dan jasa di Magelang; kasus lelang pengadaan barang dan jasa Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah; kasus lelang pengadaan barang dan jasa di Cilacap; kasus lelang pengadaan barang dan jasa di Tegal; konsultan hukum Bank Mandiri Perwakilan Jawa Tengah di Semarang; konsultan hukum di BPR Setia Karib Abadi; Bank Kesejahteraan Ekonomi Cabang Semarang; PT Artha Asia Finance Cabang Semarang; konsultan hukum di PT Adimas Semarang; serta kasuskasus perdata, pidana, dan tata usaha lainnya. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail : [email protected].
Dian Karisma, S.H., M.H. Lahir di Semarang, 11 Januari 1984. Menyelesaikan Program Sarjana Fakultas Hukum di Universitas Islam Sultan Agung Semarang dan Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Saat ini aktif bekerja di Law Firm (Advocate & Counsellor At Law) Dr. H.J. Hafidz, S.H., M.H. & Partner’s. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected].