Download - Case Report OMA
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Otitis Media Akut (OMA) merupakan peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid yang berlangsung
mendadak yang disebabkan oleh invasi bakteri maupun virus ke dalam telinga tengah baik
langsung maupun secara tidak langsung sebagai akibat dari infeksi.
Prevalensi kejadian OMA banyak diderita oleh anak-anak maupun bayi dibandingkan
pada orang dewasa tua maupun dewasa muda. Pada anak-anak makin sering menderita infeksi
saluran nafas atas, makin besar pula kemungkinan terjadinya OMA disamping oleh karena
sistem imunitas anak yang belum berkembang secara sempurna. Pada penelitian terhadap 112
pasien ISPA (6-35 bulan), didapatkan 30% mengalami otitis media akut dan 8% sinusitis.
Epidemiologi seluruh dunia terjadinya otitis media pada usia 1 tahun sekitar 62%, sedangkan
anak-anak berusia 3 tahun sekitar 83%. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami
minimal satu episode otitis media sebelum usia 3 tahun dan hamper setengah dari mereka
mengalaminya tiga kali atau lebih. Di Inggris setidaknya 25% anak mengalami minimal satu
episode sebelum usia 10 tahun.
Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh yang terganggu, sumbatan dan
obstruksi pada tuba eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media sehingga
invasi kuman ke dalam telinga tengah juga gampang terjadi yang pada akhirnya menyebabkan
perubahan mukosa telinga tengah sampai dengan terjadinya peradangan berat.
1
TUJUAN
Penyajian laporan kasus ini bertujuan untuk memberikan informasi kasus meningitis
bakterial/purulen, paralisis nervus fascialis sinistra, anemia defisiensi besi yang dirawat di
Rumah Sakit (RS) Arjawinangun pada tanggal 28 Agustus 2013.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Pasien anak bernama H, umur 9 tahun, jenis kelamin laki-laki, beralamat Gempol,
Kabupaten Cirebon. Pasien masuk ke RS Arjawinangun pada tanggal 28 Oktober 2014. Pasien
merupakan anak dari tuan S, berumur 54 tahun bekerja sebagai tukang becak dengan pendidikan
terakhir sekolah dasar dan ibu pasien bernama nyonya M, berumur 47 tahun dengan pendidikan
terakhir pada sekolah dasar bekerja sebagai petani.
ANAMNESIS
Alloanamnesis pada ibu pasien tanggal 30 Oktober 2014
Dari anamnesis lebih lanjut diperoleh keterangan bahwa pasien datang ke Instalasi Gawat
Darurat (IGD) RS Arjawinangun dengan keluhan Nyeri Kepala. Nyeri kepala yang berdenyut
dirasakan sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), Keluhan keluarnya cairan dari dalam
telinga sebelah kiri dirasakan oleh pasien, cairan kental, berwarna kuning dan berbau dirasakan
bersamaan dengan nyeri kepala. Saat datang ke IGD pasien dalam keadaan composmentis
dengan suhu tubuh 36,5ºC, pasien tidak mengalami deman, mual dan muntah.
Berdasarkan informasi lebih lanjut, sejak pasien berusia 5 tahun, pasien sering
mengalami keluhan keluarnya cairan dari dalam telinga namun tidak disertai nyeri kepala dan
keluhan menghilang jika diberi obat oleh dokter. Dalam pengakuannya, ibu pasien menyangkal
3
bahwa ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan seperti pasien. Pasien merupakan
anak kedelapan dari Sembilan bersaudara, Kakak pertama pasien Perempuan, meninggal ketika
usia 5 bulan dalam kandungan, kakak kedua pasien laki-laki, meninggal ketika usia 8 bulan
dalam kandungan, kakak ketiga pasien laki-laki, berusia 26 tahun, kakak keempat pasien laki-
laki, meninggal saat usia 8 bulan dalam kandungan, kakak kelima pasien laki-laki, berusia 21
tahun, kakak keenam pasien laki-laki, berusia 19 tahun, kakak ketujuh pasien perempuan, berusia
13 tahun dan adik pasien perempuan, meninggal saat usia 1 tahun.
Dalam keterangan lebih lanjut, selama kehamilan, ibu pasien rutin kontrol ke bidan dan
imunisasi TT sebanyak 2 kali, namun tidak pernah control kedokter spesialis kandungan untuk di
USG. Pada saat persalinan anak dilahirkan pada umur 9 bulan, pervaginam, dibantu oleh bidan
dengan berat lahir 3500 gr dan panjang badan 50 cm. menurut ibu pasien setelah dilahirkan anak
langsung menangis kuat, gerak aktif, tidak mengalami sesak, dan kebiruan setelah lahir.
Pasien diberikan ASI (Air Susu Ibu) sejak usia 0-18 bulan tanpa diberikan susu tambahan.
Menurut keterangan ibu pasien sejak berusia 0-1 bulan pasien lebih banyak tidur dan mulai
menangis. Saat usia 2 bulan bayi mengepalkan jari-jari tangan dan terkejut oleh suara keras tiba-
tiba, memiringkan kepala sesaat saja dan mengucapkan “oh” dan “ah”, tersenyum, serta
menegakkan kepala masih harus dibantu. Dari keterangan tambahan ibu pasien, Pasien diberikan
imunisasi dasar lengkap di pos yandu.
Berdasarkan keterangan tambahan dari ayah dan ibu pasien, pasien tinggal bersama ayah,
ibu, serta kakak pasien. Ayah seorang tukang becak dan ibu seorang petani dengan penghasilan
tidak tentu setiap harinya. Tinggal di rumah dengan ukuran 12×7 m2, 2 kamar, ventilasi dan
cahaya cukup, KM dan WC di dalam rumah, sumber air sumur. Rumah berada di lingkungan
padat penduduk.
4
PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan Umum (Tanggal 27 Agustus 2013)
Pasien datang dengan keadaan umum tampak sakit sedang dengan somnolen, tanda vital
pasien ditemukan nadi 135 kali per menit, nadi teratur, dan isi cukup. Sedangkan hasil
pemeriksaan suhu 38.2º C dan hasil pemeriksaan pernapasan 29 kali per menit. Berat
badan 4,7 kg dan panjang badan 50 cm.
Status gizi pada pasien ini dilihat dari berat badan atas dibandingkan dengan
umur. Badan terlihat gemuk dan tidak tampak edema. Berdasarkan kurva Center of
Disease Control (CDC) BB x 100% = 4.7 x 100% = 134 %
TB 3.5
Kesimpulan status gizi pasien ini adalah obesitas
2. Pemeriksaan Khusus
Pada pemeriksaan khusus didapatkan kulit pasien berwarna sawo matang, tidak
ada sikatrik, tidak tampak ikterus, dan tidak ada petekie. Bentuk kepala, normal, rambut
hitam, tidak mudah dicabut, ubun- ubun besar menonjol. Bentuk kedua bola mata kanan
kiri normal, palpebra superior dan inferior tidak edema, kedudukan kedua bola mata dan
bentuk alis mata kanan dan kiri simetris, terdapat tanda eyes doll movement pada mata
kanan dan kiri, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, kornea jernih, pupil bulat
isokor diameter 3mm, reflek cahaya positif. Telinga bentuk normal, simetris kanan dan
kiri, dan tidak tampak serumen. Bentuk hidung simetris, deviasi septum tidak ada, secret
tidak ada. Bentuk mulut tidak ada kelainan. Bibir merah dan tidak kering, sianosis tidak
5
ada, tidak ada tremor. Tonsil T1-T1, tenang, tidak hiperemis, faring tidak hiperemis.
Leher tidak ada kelainan, kelenjar getah bening tidak teraba membesar, trakea ditengah .
Pada pemeriksaan torak didapatkan inspeksi, bentuk dada normal, simetris dalam
keadaan statis dan dinamis. Pada pemeriksaan palpasi didapatkan fremitus vokal dan
taktil simetris kanan dan kiri, tidak ada krepitasi, tidak ada fraktur dan tidak ada massa.
Pada pemeriksaan perkusi tidak dilakukan, sedangkan hasil dari pemeriksaan auskultasi
suara nafas vesikuler, dan tidak ada wheezing dan ronki. Pada pemeriksaan palpasi teraba
pulsasi iktus kordis. Pada pemeriksaan perkusi tidak dilakukan, sedangkan pada
pemeriksaan auskultasi terdengar bunyi jantung I-II regular, tidak ada murmur dan
gallop.
Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan inspeksi abdomen cembung dan tidak
tampak gambaran vena kolateral. Pada auskultasi terdengar bising usus normal. Pada
pemeriksaan perkusi terdengar timpani diseluruh lapang abdomen, tidak ditemukan
adanya shifting dullness. Pada palpasi teraba supel. Nyeri tekan tidak ada, nyeri lepas
tidak ada, dan tidak terdapat undulasi.
Pada pemeriksaan genitalia eksterna, tampak jenis kelamin perempuan, labia
mayor tampak menutupi labia minor, tidak hiperemis, tidak keluar sekret. Pada
pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah didapatkan akral hangat, tidak terdapat edema.
Sianosis tidak terlihat pada keempat ekstremitas serta terdapat hemiparesis bagian tubuh
kanan.Pada pemeriksaan lebih lanjut tidak ditemukan reflek patologis maupun tanda
rangsang meningeal.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
6
RESUME
DIAGNOSIS PASTI
RENCANA PENGELOLAAN
PROGNOSIS
PEMANTAUAN
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Telinga
Anatomi Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditorius eksternus dan dipisahkan dari
telinga tengah oleh membrana timpani. Aurikula berfungsi untuk membantu pengumpulan
gelombang suara. Gelombang suara tersebut akan dihantarkan ke telinga bagian tengah melalui
kanalis auditorius eksternus. Tepat di depan meatus auditorius eksternus terdapat sendi temporal
mandibular. 1,2
Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral
mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat tempat kulit melekat. Dua pertiga medial
tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius eksternus berakhir pada
membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang
mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen. Serumen mempunyai sifat antibakteri
dan memberikan perlindungan bagi kulit. 2
Anatomi Telinga Tengah
Bagian atas membrana timpani disebut pars flaksida, sedangkan bagian bawah pars tensa.
Pars flaksida mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga
dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Menurut
Sherwood, pars tensa mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat
7
kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian
dalam. 2,3
Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke
dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling
berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membrana timpani, maleus melekat pada
inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap oval yang berhubungan
dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Tuba
eustachius termasuk dalam telinga tengah menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga
tengah. 2,3
Anatomi Telinga Dalam
Koklea bagian tulang dibagi menjadi dua lapisan oleh suatu sekat. Bagian dalam sekat ini
adalah lamina spiralis ossea dan bagian luarnya adalah lamina spiralis membranasea.Ruang yang
mengandung perilimfe terbagi dua, yaitu skala vestibuli dan skala timpani. Kedua skala ini
bertemu pada ujung koklea yang disebut helikotrema. 2
Skala vestibuli berawal pada foramen ovale dan skala timpani berakhir pada foramen
rotundum. Pertemuan antara lamina spiralis ossea dan membranasea kearah perifer membentuk
suatu membrana yang tipis yang disebut membrana Reissner yang memisahkan skala vestibuli
dengan skala media (duktus koklearis). Duktus koklearis berbentuk segitiga, dihubungkan
dengan labirin tulang oleh jaringan ikat penyambung periosteal dan mengandung end organ dari
nervus koklearis dan organ Corti. Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan
perantaraan duktus Reuniens. 4
Organ Corti terletak di atas membrana basilaris yang mengandung organel-organel yang
penting untuk mekenisma saraf perifer pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel
rambut dalam yang berisi kira-kira 3000 sel dan tiga baris sel rambut luar yang berisi kira-kira
12.000 sel. Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang lengan horisontal dari suatu jungkat-
jangkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada
ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel rambut terdapat strereosilia yang melekat pada
suatu selubung yang cenderung datar yang dikenal sebagai membrana tektoria. Membrana
tektoria disekresi dan disokong oleh limbus.2,4
8
Gambar 2.1. Anatomi Telinga
Fisiologi Pendengaran
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan mengenai
membrana timpani sehingga membrana timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang
pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya, stapes menggerakkan foramen ovale
yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membrana
Reissner yang mendorong endolimfe dan membrana basalis ke arah bawah. Perilimfe dalam
skala timpani akan bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah luar.2,4
Pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok dan dengan terdorongnya
membrana basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus. Rangsangan fisik ini berubah menjadi
rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium dan Kalium yang diteruskan ke cabang-
cabang nervus vestibulokoklearis. Kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik
pendengaran di otak melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis.2,3
9
Otitis Media Akut
Definisi
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-tanda yang
bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau
sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi
perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah. Terjadinya
efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran timpani
atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran timpani, terdapat cairan di belakang membran
timpani, dan otore. Paling sering otitis media akut dipertimbangkan sebagai spektrum berkelanjutan dari
otitis media yang mempengaruhi anak pada usia muda, dengan hasil akhir lainnya menjadi otitis media
dengan efusi. 2,3,5
Epidemiologi
Bayi dan anak mempunyai resiko paling tinggi untuk mendapatkan otitis media. Insidensinya
sebesar 15-20 % dengan puncaknya terjadi antara umur 6-36 bulan dan 4-6 tahun. Insiden penyakit ini
mempunyai kecenderungan untuk menurun sesuai fungsi umur setelah usia 6 tahun. Insiden tertinggi
dijumpai pada laki-laki, kelompok social ekonomi rendah, anak-anak dengan celah pada langit-langit
serta anomali kraniofasial lain dan pada musim dingin atau hujan.5
Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran nafas atas makin besar kemungkinan
terjadinya otitis media akut. Pada bayi terjadinya otitis media akut dipermudah oleh karena tuba
eustachius pendek, lebar, dan agak horizontal.2,6
Etiologi
Etiologi dari OMA adalah:
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA
dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi
telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme
penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae
10
(40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5%
kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic),
Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif
banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus
influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa
juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak.5
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau bersamaan dengan bakteri
patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus
(RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus,
rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius,
menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba
dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya. Dengan menggunakan teknik polymerase chain
reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat
diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus.5
Patogenesis
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring. Secara
fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa
tuba eustachius, enzim dan antibody. Karena ada sesuatu yang mengganggu tuba eustachius, maka
fungsinya akan terganggu, sehingga pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu,
akibatnya kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan.1,2,5,6
Infeksi pertama hanya mengenai lapisan mukosa dan submukosa kavum timpani, tidak
mengenai tulang. Pada anak-anak infeksi dapat mengenai kedua telinga. Akibat infeksi, mukosa menjadi
edem, silia paralise dan tuba eustachius tertutup. Udara dalam kavum timpani diabsorpsi, hingga
menyebabkan tekanan negatif dalam kavum timpani. Hal ini menyebabkan retraksi membran timpani
dan mengiritasi membran mukosa untuk memproduksi cairan eksudat.5,6
Bila volume eksudat bertambah banyak akan menaikkan tekanan cairan dalam kavum timpani
dan menyebabkan bertambahnya rasa sakit. Absorpsi toksin menyebabkan pireksia dan malaise.
11
Bertambahnya tekanan dalam kavum timpani akan menyebabkan gangguan peredaran darah ke
membrane timpani. Bagian dari membrane timpani yang mendapat tekanan yang terbesar akan menjadi
nekrosis, trombosis kapiler dan akhirnya pecah. Nanah yang bercampur darah keluar dari telinga, sakit
segera hilang, suhu kembali normal.1,2
Jika organisme yang menyebabkan otitis media sangat virulen atau pasien dalam keadaan lemah,
infeksi akan berlanjut terus, ketulian akan bertambah. Cairan akan berubah lebih kuning dan berbau.
Perubahan ini oleh karena “pressure necrosis” dalam sel-sel mastoid yang menyebabkan destruksi
dinding sel.5,6
Stadium Otitis Media Akut
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada
perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis
atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi.1,2
Gambar 2.2. Membran Timpani Normal
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membran
timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya
absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal,
refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya
tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan,
12
atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi.
Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan
alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini.1,2
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai
oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa
yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya
invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran
timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan
pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih
normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi
karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara
dua belas jam sampai dengan satu hari. 1,2
Gambar 2.3. Membran Timpani Hiperemis
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di telinga
tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat
dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan
membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.1,2
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa
nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat
13
disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah
dan kejang. 1,2
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani.
Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis
vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan
nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot. 1,2
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini
kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari
telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan menutup
kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali.
Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi. 1,2
Gambar 2.4. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang
jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran
sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian
antibiotik dan tingginya virulensi kuman.1,4
Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat
tertidur nyenyak. Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap
berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika
14
kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan,
maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik. 1,4
Gambar 2.5. Membran Timpani Peforasi
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan
berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga
perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya
kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika
membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah. 1,2
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif
kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang
keluar secara terus-menerus atau hilang timbul. 1,2
O
titis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis media serosa
terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani.1,2
Gejala Klinis
Gejala klinis otitis media akut tergantung pada umur dan stadium penyakit. Pada anak-anak
yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, keluhan disamping suhu
tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau
15
pada orang dewasa,disamping rasa nyeri terdapat juga gangguan pendengaran berupa rasa perih di
telinga atau rasa kurang dengar. Pada bayi dan anak kecil gejala khas OMA ialah suhu tubuh tinggi dapat
sampai 39,5 0C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu
tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit.7
OMA dapat dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA. Efusi
telinga tengah (middle ear effusion) merupakan tanda yang ada pada OMA dan otitis media
dengan efusi. Efusi telinga tengah dapat menimbulkan gangguan pendengaran dengan 0-50
decibels hearing loss. 7,11
Tabel 1. Perbedaan Gejala dan Tanda Antara OMA dan Otitis Media dengan Efusi13,14
Gejala dan tanda Otitis Media AkutOtitis Media dengan
Efusi
Nyeri telinga (otalgia), menarik telinga
(tugging)
+ -
Inflamasi akut, demam + -
Efusi telinga tengah + +
Membran timpani membengkak
(bulging), rasa penuh di telinga
+/- -
Gerakan membran timpani berkurang
atau tidak ada
+ +
Warna membran timpani abnormal
seperti menjadi putih, kuning, dan biru
+ +
Gangguan pendengaran + +
Otore purulen akut + -
Kemerahan membran timpani,
erythema
+ -
Diagnosis
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut, yaitu:8,9,11
1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
16
2. Ditemukan adanya tanda efusi.
Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya
salah satu di antara tanda berikut, seperti menggembungnya membran timpani atau bulging,
terbatas atau tidak ada gerakan pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di belakang
membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya salah
satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada membran timpani, nyeri
telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.
Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu ringan-sedang, dan
berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga tengah, mobilitas membran
timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, membengkak pada
membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada
telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada
membran timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan
demam melebihi 39,0°C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.13
Efusi telinga tengah diperiksa dengan otoskop (alat untuk memeriksa liang dan gendang telinga
dengan jelas). Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang menggembung, peubahan
warna gendang telinga menjadi kemerahan atau agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga.
Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi pneumatic (pemeriksaan telinga
dengan otoskop untuk melihat gendang telinga yang dilengkapi dengan pompa udara kecil untuk menilai
respon gendang telinga terhadap perubahan tekanan udara). Gerakan gendang telinga yang berkurang
atau tidak ada sama sekali dapat dilihat dengan pemeriksaan dini. Pemeriksaan ini meningkatkan
sensitivitas diagnosis OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan otoskop biasa.
Efusi telinga tengah juga dapat dibuktikan dengan timpanosentesis (penusukan terhadap gendang
telinga). Namun timpanosentesis tidak dilakukan pada sembarang anak. Indikasi perlunya
timpanosentesis antara lain adalah OMA pada bayi di bawah usia enam minggu dengan riwayat
perawatan intensif di rumah sakit, anak dengan gangguan kekebalan tubuh, anak yang tidak memberi
respon pada beberapa pemberian antibiotic, atau dengan gejala sangat berat dan komplikasi. 13
Penatalaksanaan
17
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. 8,9,11
1. Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium
awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan
lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk
menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala,
memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki
sistem imum lokal dan sistemik.
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius
sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 %
dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan
fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus
diobati dengan pemberian antibiotik.
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.
Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat
diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan
penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi
mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik
diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada
anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin
atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis.
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan
miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi
ruptur.
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut
atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari
serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan
menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari.
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi,
dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar
18
melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila
keadaan ini berlanjut, mungkin telah terjadi mastoiditis.
2. Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren, seperti
miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi.
a. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi
drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara
dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik.
Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat,
miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah.
Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi
OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.
Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua
kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau
timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi
second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur.12
b. Timpanosintesis
Timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal
supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi
antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang
sistem imun tubuh rendah. Pipa timpanostomi dapat menurunkan morbiditas OMA seperti
otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo
dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.13
c. Adenoidektomi
19
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi dan OMA
rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil
masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan
insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis
rekuren.12,13
Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi melalui perluasan infeksi secara anatomis. Hal-hal yang dapat terjadi antara
lain:
1. Mastoiditis. Biasanya terjadi pada pasien-pasien imunosupresi atau mereka yang menelantarkan
otitis media akut yang dideritanyaa.
2. Paralisis saraf fasialis. Saraf terkena akibat kontak langsung dengan materi purulen.
3. Labirinitis. Terjadi akibat perluasan infeksi ke dalam perilimfatik, keadaan ini akan menyebabkan
ketulian dan adanya vertigo.
4. Petrosis. Hampir semua tulang temporal memiliki sel-sel udara dalam apeks petrosa. Sel-sel ini
menjadi terinfeksi melalui perluasan langsung dari infeksi telinga tengah dan mastoid.
5. Komplikasi lain ke susunan saraf pusat. Antara lain: meningitis, abses otak, dan hidrosefalus
otitis.14
Prognosis
Prognosis untuk otitis media akut sangat baik bila ditangani dengan tepat dan cepat. Namun, bila terjadi
penumpukan cairan dalam rongga telinga dalam waktu yang lama maka ada kemungkian otitis media
yang diderita akan berubah menjadi kronis.15
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Djaafar, Z.A. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga-Hidung-Tenggorok. Edisi ke-4. Jakarta. Gaya baru-FK UI. 2001; 49-58
2. Adams, G.L, Boies, L.R., Hilger, P.A. Alih bahasa Wijaya, Caroline. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi ke 6. Jakarta. EGC. 1994
3. John, J.B. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher. Edisi ke 13 jilid 2. 101-110
4. Keith, L.M. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Jakarta. EGC. 1993
21
5. Nelson, W.E., et. al. Ilmu Kesehatan Anak-Nelson. Edisi ke 12. Bagian ke 2. Jakarta. EGC. 1993
6. Mansjoer A, et. al. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Edisi 3, Media Aesculapius, FK UI, Jakarta. 2001.
79-81
7. Otitis Media Akut. Available at: http://www.medicastore.com/med/detail/
8. Acute Otitis Media: Part II. Treatment in an Era of Incredasing Antibiotic Resistance. Available at:
http: www.aafp.org.afp/20000415.2410.html
9. Journal of Otitis Media Acute by Barley MK, available at URL:
http://www.oncologychannel.com.Headneck.nasaleavity.html
10. American academy of pediatrics. Diagnosis and Management of Acute Otitis Media. Available at:
http://pediatrics.aapublications.org/content/113/5/1451.full
11. Acute Otitis Media Author: John D Donaldson, MD. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/85931
12. Acute Otitis Media: overview and risk factors by: physicians committee for responsible medicine.
Available at: http://www.tcolincampbell.org/resources/article
13. Otitis Media Akut. Available at:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25640/Chapter2.pdf
14. Guidelines and Protocols Advisory Committee. Acute otitis media and Otitis media with effusion.
Available at: www.beguidelines.ca/pdf/otitis.pdf
15. Clinical Practice Guidelines. Acute otitis media available at: http://www.rch.org.au/clinicalguide.pdf
22