Download - case disfagia (Autosaved).docx
LAPORAN KASUS
DISFAGIA
Oleh:
Samudra Andi Yusuf
030.11.265
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Disusun sebagai salah satu syarat kelulusan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung Tenggorok – Bedah Kepala & Leher
Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah
Kota Tegal
29 Juni – 10 Agustus 2015
Tegal, 1 Agustus 2015
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
DISFAGIA
Oleh:
Samudra Andi Yusuf
030.11.265
Disusun sebagai salah satu syarat kelulusan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung Tenggorok – Bedah Kepala & Leher
Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah
Kota Tegal
29 Juni – 10 Agustus 2015
Tegal, 1 Agustus 2015
Pembimbing I Pembimbing II
dr. Heri Puryanto,Msc,Sp.THT-KL dr. Fahmi Novel, Sp. THT-KL, MSi.Med
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB 11 LAPORAN KASUS
1.1 IDENTITAS PASIEN
1.2 ANAMNESIS
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.5 DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
1.6 PROGNOSIS
BAB III PEMBAHASAN
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Anatomi Faring
4.2 Anatomi Esofagus
4.3 Fisiologi Menelan
4.4 Definisi
4.5 Etiologi dan Klasifikasi
4.6 Patogenesis Disfagia
4.7 Gejala Klinis
4.8 Diagnosis
4.9 Tatalaksana
5.0 Prognosis
BAB V KESIMPULAN
BAB VI DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Disfagia atau sulit menelan merupakan salah satu gejala kelainan atau penyakit di
orofaring dan esofagus. Istilah disfagia harus dibedakan dengan odinofagia atau nyeri
menelan yang merupakan gejala yang sering dikeluhkan akibat adanya kelainan atau
peradangan di daerah nasofaring, orofaring dan hipofaring. Pada penderita disfagia terdapat
gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari rongga mulut
ke lambung. Sedangkan pada penderita odinofagia biasanya tidak terdapat gangguan apapun
pada proses menelan dan refleks muntahnya masih positif. Keluhan disfagia dapat disertai
dengan keluhan lainnya seperti odinofagia (nyeri waktu menelan), rasa panas di dada, rasa
mual, muntah, regurgitasi, hematemesis, melena, anoeksia, hipersalivasi dan berat badan
yang cepat berkurang. Pasien biasa datang dengan keluhan utama terdapat sensasi makanan
yang tersangkut di daerah leher atau dada ketika menelan.1
Menurut US National Database, insidensi disfagia pasca stroke lebih tinggi pada
masyarakat asia dan grup minoritas lainnya dibandingkan dengan ras kulit putih,
menunjukkan bahwa terdapat disparitas ras dalam perkembangan disfagia pasca stroke.
Prevalensi disfagia meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang dan merupakan
problem kesehatan yang utama pada pasien lanjut usia. Di Amerika dilaporkan bahwa stroke
merupakan penyebab utama disfagia mekanik dengan prevalensi mencapai 51-73 % dimana
terdapat gejala disfagia pada pasien penderita stroke.2
Canadian Association of Gastroenterology Practical Guidelines : Evaluation of
dysphagia, membagi klasifikasi disfagia menjadi dua macam: disfagia orofaring dan disfagia
esofageal. Disfagia orofaring disebabkan oleh abnormalitas/ gangguan pada struktur atau
fungsi dari orofaring. Sedangkan disfagia esofageal disebabkan oleh abnormalitas/gangguan
pada struktur atau fungsi dari esofagus.3 Disfagia esofageal kemudian dapat dibagi lagi
menjadi disfagia mekanik dan disfagia motorik. Disfagia mekanik disebabkan sumbatan
lumen esofagus oleh massa tumor dan benda asing. Selain itu, disfagia mekanik dapat juga
disebabkan oleh peradangan mukosa esofagus, striktur esofagus serta akibat penekanan
lumen esofagus dari luar, misalnya oleh pembesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelenjar
getah bening di mediastinum, pembesaran jantung, dan elongasi aorta. Disfagia mekanik
timbul apabila terjadi penyempitan lumen esofagus yang dalam keadaan normal lumen
esofagus orang dewasa dapat meregang sampai 4 cm. Keluhan akan mulai terjadi apabila
dilatasi dari lumen esofagus tidak mencapai diameter 2,5 cm.1
Berbeda dengan disfagia mekanik, keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan
neuromuskular yang berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak,
kelainan saraf otak n.V, n.VII, n.IX, n.X dan n.XII, kelumpuhan otot faring dan lidah serta
gangguan peristaltik esofagus dapat menyebabkan disfagia. Penyebab utama dari disfagia
motorik adalah akalasia, spasme difus esofagus, kelumpuhan otot faring dan skleroderma
esofagus.1
BAB 1I
LAPORAN KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. Ahmad Riyanto
Tempat tanggal lahir : 4 Mei 1997
Jenis kelamin : laki-laki
Umur : 18 tahun
Status Pernikahan : belum menikah
Alamat : Karangmangu RT/RW 15/04 Kel. Karangmangu Kec. Tarub
Pekerjaan :
Suku Bangsa : Jawa
No.RM : 789900
1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 15 Agustus 2015 pada pukul
10.20 WIB, bertempat di poliklinik THT RSUD Kardinah Tegal.
a. Keluhan utama
Sulit menelan sejak 1 bulan sebelum datang berobat ke rumah sakit
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan bahwa dirinya mengalami kesulitan menelan sejak 1 bulan
sebelum datang berobat ke rumah sakit. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 1 tahun
yang lalu akan tetapi sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengatakan
bahwa keluhannya memberat, maka dari itu pasien memutuskan untuk pergi
berobat. Pasien mengatakan bahwa untuk makan, makanan tersebut harus
dilunakkan terlebih dahulu. Pasien mengatakan bahwa dirinya mengalami
kesulitan menelan makanan yang padat. Pasien juga mengeluh bahwa dirinya
sering berkeringat di malam hari sejak 1 bulan sebelum datang berobat ke rumah
sakit, batuk kering dan penurunan berat badan sebanyak 5 kg dalam waktu
seminggu sebelum datang berobat kerumah sakit
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat keluhan serupa. Tidak ada riwayat alergi dan
asthma. Riwayat TB paru disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak pernah ada yang memiliki keluhan serupa. Riwayat
penyakit hipertensi, diabetes mellitus, asthma, alergi, maupun tumor pada
keluarga disangkal.
e. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan merokok
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum
Kesan sakit : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Kesan Gizi : Gizi buruk
BB : 46 kg
TB : 165 cm
BMI : BB / TB (m2) = 46 / (1,652) = 16,9 Berat badan kurang
Tanda vital
Suhu : 36, 8°C
Nadi : 80x/ m
Tekanan darah: 110/80
Pernafasan : 18x/ m
a. Status generalis
Kepala : normosefali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Status lokalis
Hidung : Status lokalis
Mulut : Status lokalis
Leher : jejas (-), oedem (-), hematom (-), pembesaran kelenjar getah bening dan
tiroid (-), nyeri tekan (-),
Thorax :
Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis dekstra
: Batas jantung kiri : ICS V linea midklavikula sinistra
: Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I, II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Vokal fremitus teraba sama di kedua lapang paru
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, wheezing -/-, rhonki -/-
Abdomen :
Inspeksi : Supel
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
b. Status lokalis
Telinga
KANAN KIRI
Normotia, nyeri tarik (-),
nyeri tekan tragus (-)
Daun Telinga Normotia, nyeri tarik (-),
nyeri tekan tragus (-)
Hiperemis (-), fistula (-),
oedem (-), sikatriks (-)
Preaurikuler Hiperemis (-), fistula (-),
oedem (-), sikatriks (-)
Hiperemis (-), fistula (-),
oedem (-), sikatriks (-),
nyeri tekan mastoid (-)
Retroaurikuler Hiperemis (-), fistula (-),
oedem (-), sikatriks (-),
nyeri tekan mastoid (-)
Lapang, Hiperemis (-),
oedem (-), discharge (-)
Kanalis Akustikus Eksternus Lapang, Hiperemis (-),
oedem (-), discharge (-)
Hiperemis (-), warna putih
mengkilat, reflex cahaya (+)
Membran timpani Hiperemis (-), warna putih
mengkilat, reflex cahaya (+)
Hidung
KANAN KIRI
Bulu hidung (+), hiperemis
(-), benjolan (-), nyeri (-),
Sekret (-)
Vestibulum Bulu hidung (+), hiperemis
(-), benjolan (-), nyeri (-),
Sekret (-)
Tidak terlihat Konka superior Tidak terlihat
Livid (-), hipertrofi (-),
hiperemis (-), discharge (-)
Konka media Livid (-), hipertrofi (-),
hiperemis (-), discharge (-)
Livid (-), hipertrofi (-),
hiperemis (-), discharge (-)
Konka inferior Livid (-), hipertrofi (-),
hiperemis (-), discharge (-)
Tidak dapat dinilai Meatus nasi medius Tidak dapat dinilai
Tidak dapat dinilai Meatus nasi inferior Tidak dapat dinilai
Lapang Cavum nasi Lapang
Deviasi (-) Septum nasi Deviasi (-)
Sinus paranasal
Sinus frontalis Nyeri tekan (-/-), Nyeri ketuk (-/-)
Sinus ethmoidalis Nyeri tekan (-/-), Nyeri ketuk (-/-)
Sinus maksilaris Nyeri tekan (-/-), Nyeri ketuk (-/-)
Pemeriksaan bibir & kavum oris
Simetris, sianosis (-), Anemis (-), mukosa hiperemis (-), gigi, gusi & lidah dalam batas
normal, karies (-).
Orofaring
Mulut Trismus (-)
Palatum Simetris, deformitas (-)
Arkus faring Simetris, hiperemis (-)
Mukosa faring Hiperemis (-), granulasi (-), sekret (-)
Dinding faring posterior Hiperemis (-), post nasal drip (-)
Uvula Simetris ditengah, hiperemis (-)
Tonsil palatine Ukuran : T2
Warna : hiperemis (+)
Kripta : dalam batas normal
Detritus : -/-
Perlekatan : -
Massa : -
Kemampuan Menelan Makanan padat (-), makanan lunak (+), air
(+)
Pemeriksaan Nervus Kranialis
n.trigeminus 1. Fungsi motorik
Kontraksi m. Masseter dan
m. Temporalis sama kuat
kanan & kiri
Dagu simetris
2. Refleks Masseter (+)
n. vagus refleks faring/ refleks muntah ( ↓↓↓)
Laringoskopi indirek: tidak dilakukan
Leher: Kelenjar getah bening dan tiroid tidak teraba membesar
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan radiologi foto thorax
Deskripsi :
corakan bronkovaskular normal
apex normal
Kesan : Paru dalam batas normal
1.5 DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN
A. Diagnosis KerjaObservasi Disfagia
B. Diagnosis banding- Disfagia et causa tonsilitis akut- Disfagia et causa esophageal tuberculosis- Disfagia et causa tuberculous abses retrofaring kronik
C. Usulan pemeriksaan penunjang tambahan : Foto thorax AP Sputum BTA Mantoux test
D. Penatalaksanaana) Penatalaksanaan farmakologi : - Tatalaksana TB Paru :
o 2 bulan pertama fase intensif RHZE / RH
Rifampisin 150 mg INH 75 mg Pirazinamid 400 mg Etambutol 275 mg
o 4 bulan fase lanjutan RH
Rifampisin 150 mg INH 75 mg
- Tatalaksana Tonsilitis akuto Ciprofloxacin oral 500 mg 10 tablet 2x sehari sehabis makan
o Metil prednisolon
b) Penatalaksanaan non farmakologi Diet lunak Exercise untuk meningkatkan fungsi otot-otot menelan
c) Operatif : -
E. Saran : konsul ke dokter spesialis paru
1.6 PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
BAB III
PEMBAHASAN
Diagnosis disfagia ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan pasien mempunyai keluhan utama sulit
menelan. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 1 tahun sebelum datang berobat ke rumah sakit
dan semakin memberat sejak 1 bulan sebelum datang berobat ke rumah sakit. Selain itu,
pasien juga mengeluh timbul keringat pada malam hari, batuk kering dan penurunan berat
badan sebanyak 5 kg dalam seminggu terakhir sebelum datang berobat ke rumah sakit. Dari
hasil penghitungan indeks massa tubuh pasien di diagnosis mengalami berat badan kurang
karena hasil penghitungannya adalah 16,9. Sedangkan indeks massa tubuh yang normal
menurut kriteria asia pasifik seharusnya berkisar antara 18,5 -22,9.4 Berdasarkan hasil
pemeriksaan fisik didapatkan penurunan refleks menelan. Kondisi ini disebabkan karena
terjadinya ketidaknormalan pada fase faringeal. Hal ini mungkin disebabkan oleh gangguan
neurologi pada pusat proses menelan di medulla atau saraf kranial sehingga terjadi
ketidakstabilan saat menelan ludah dan timbul pengeluaran air liur serta penurunan sekresi.1
Diagnosis banding pada kasus ini adalah disfagia et causa suspek TB Paru karena
pada kasus juga didapatkan gejala-gejala yang berkaitan dengan tuberkulosis seperti
penurunan berat badan yang progresif dan. Menurut beberapa penelitian yang sudah
dilakukan, manifestasi klinis disfagia dapat terjadi pada penderita tuberkulosis meskipun
kasusnya sangat jarang. Tuberkulosis dengan manifestasi klinis disfagia dapat terjadi pada
penderita esofageal tuberkulosis dan tuberkulosis abses retrofaring kronik. Pada penderita
tuberkulosis abses retrofaring kronik, manifestasi klinis disfagia timbul akibat penyebaran
infeksi TB extrapulmoner menyebabkan terjadinya spinal tuberkulosis. Lalu, spinal
tuberkulosis menyebabkan penyebaran pus secara langsung melalui ligamentum anterior
longitudinal yang menyebabkan terjadinya tuberkulosis abses retrofaring kronik.5
Sedangkan pada penderita esofageal tuberkulosis, infeksi dapat terjadi secara primer
dan sekunder. Akan tetapi, mayoritas dari kasus esofageal tuberkulosis terjadi akibat infeksi
sekunder lewat penyebaran TB paru melalui nodus limfatikus, paru-paru dan vertebra. Infeksi
tersebut menimbulkan lesi di esofagus bagian torakal karena lokasinya yang berdekatan
dengan nodus limfatikus dan hilus. Kemudian akan terbentuk tuberkulous granuloma pada
lapisan submukosa esofagus dan menyebabkan terjadinya esofageal tuberkulosis. Manifestasi
utama dari esofageal tuberkulosis adalah disfagia.6,7,8
Selain itu, penurunan berat badan secara progresif pada pasien mungkin juga
disebabkan karena intake yang sulit sehingga asupan nutrisi yang kurang. Keadaan tersebut
menyebabkan berat badan menurun.
Untuk memastikan ada tidaknya TB paru pada pasien ini diperlukan pemeriksaan
penunjang foto thorax AP untuk memastikan ada tidaknya kelainan radiologis yang mengarah
ke TB paru.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar
di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Faring berhubungan dengan kavum
nasi ke atas melalui koana. Ke depan, faring berhubungan dengan kavum oris melalui ismus
orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke
bawah berhubungan dengan esofagus. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan
laringofaring. Unsur-unsur faring terdiri atas mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot.1
4.1.1 Mukosa & Palut Lendir (Mucous Blanket)
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring, karena
fungsinya untuk respirasi, maka mukosanya bersilia, sedangkan epitelnya berlapis torak
dengan sel goblet. Pada orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna,
epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.1
Dibagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas silia dan
bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk
menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini
mengandung enzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi.1
4.1.2 Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor faring superior, media dan
inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar dan bekerja untuk mengecilkan lumen faring.
Otot-otot ini dipersafari oleh n.vagus (n.X).1
Otot-otot longitudinal terdiri atas m.stilofaring dan m.palatofaring. Otot-otot ini
terletak di sebalah dalam. Kedua otot ini berfungsi sebagai elevator dimana m.stilofaring
berguna untuk melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan m.palatofaring
mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. Kerja
kedua otot ini penting pada waktu menelan. M.stilofaring dipersafari oleh n.IX, sedangkan m.
Palatofaring dipersarafi oleh n.X.1
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan saatu dalam satu sarung
fasia dari mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli palatini, m.palatoglosus,
m.palatofaring dan m.aziogos uvula. 1
4.1.3 Pendarahan
Faring mendapat darah yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang
faring ascendens dan cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang
palatina superior.1
4.1.4 Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang
ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan
serabut simpatis.1
4.1.5 Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior
faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual dan foramen sekum.1
4.2 Anatomi Esofagus
4.2.1 Makroskopis
Esofagus adalah suatu organ berbentuk silindris berongga dengan panjang sekitar 25
cm terbentang dari hipofaring, kemudian melewati diafragma melalui hiatus diafragma
(vertebra torakal 10) hingga ke daerah pertemuan esofagus dan lambung dan berakhir di
orifisum kardia lambung (vertebra torakal 11). Esofagus memiliki diameter yang bervariasi
tergantung ada tidaknya bolus makanan atau cairan yang melewatinya. Lumen esofagus dapat
melebar kurang lebih 2 cm di bagian anterior dan posterior serta ke 3 cm ke lateral untuk
memudahkan dalam proses menelan makanan.9,10 (gambar 1)
Gambar 1. Anatomi Esofagus
10
Esofagus dibagi menjadi 3 bagian yaitu, servikal, torakal dan abdominal. Esofagus
servikal merupakan segmen yang pendek, dimulai dari pertemuan faring dan esofagus
menuju ke suprasternal notch sekitar 4-5 cm, di bagian depannya dibatasi oleh trakea,
belakang oleh vertebra dan di lateral dibatasi oleh carotid sheaths dan kelenjar tiroid.
Kemudian dilanjutkan esofagus torakal yang memanjang dari suprasternal notch ke dalam
hiatus diafragma. Pada bagian torakal dapat dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu: esofagus
torakal bagian atas yang memanjang pada level margin superior dari manubrium sterni ke
level margin inferior dari percabangan trakea, esofagus torakal bagian tengah yang
memanjang dari level margin inferior percabangan trakea sampai dengan daerah pertengahan
antara percabangan trakea dan daerah pertemuan esofagus-lambung, terakhir esofagus torakal
bagian bawah yang memanjang dari daerah pertengahan tersebut sampai level diafragma.
Esofagus abdominal memanjang dari hiatus diafragma hingga ke orifisium dari kardia
lambung.9 (gambar 2)
Gambar 2. Pembagian esofagus
Pada esofagus terdapat 2 daerah bertekanan tinggi yang berfungsi untuk mencegah
terjadinya aliran balik dari makanan yaitu: sfingter esofagus atas dan bawah. Sfingter
esofagus atas terletak diantara faring dan esofagus servikal. Sedangkan sfingter esofagus
bawah terletak pada perbatasan antara esofagus dan lambung. Kedua sfingter tersebut selalu
dalam keadaan tertutup kecuali saat ada makanan yang melewatinya.9
Esofagus servikal dan sfingter esofagus atas mendapatkan suplai darah dari cabang
arteri tiroid inferior, sedangkan esofagus torakal mendapatkan suplai darah dari sepasang
arteri esofageal aorta atau cabang terminal dari arteri bronkial. Esofagus abdominal dan
daerah esofagus bagian bawah mendapatkan suplai darah arteri gastrika kiri dan arteri
phrenika kiri.9
Lapisan otot yang membentuk esofagus adalah serabut longitudinal di bagian luar dan
serabut sirkuler di bagian dalam. Serabut longitudinal melapisi hampir keseluruhan bagian
luar dari esofagus kecuali pada daerah 3-4 cm di bawah kartilago krikoid. Serabut
longitudinal pada esofagus lebih tebal daripada serabut sirkuler. Pada sepertiga atas esofagus,
kedua lapisan otot tersebut adalah otot bergaris, di bagian tengah adalah transisi dari otot
bergaris ke otot polos, dan pada sepertiga bawah keseluruhannya terdiri dari otot polos. Otot
bergaris dan polos pada esofagus terutama diinervasi oleh cabang dari nervus vagus.9
4.2.2 Mikroskopis
Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan yaitu : mukosa, submukosa, lapisan otot dan
jaringan fibrous. Berbeda dengan daerah lain pada saluran pencernaan, esofagus tidak
memiliki lapisan serosa. Hal ini menyebabkan esofagus lebih sensitif terhadap trauma
mekanik.9 (gambar 3)
4.2.3 Mukosa
Mukosa esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu membran mukosa, lamina propria dan
mukosa muskularis. Membran mukosa dibentuk oleh epitel skuamus bertingkat tidak
berkeratinisasi yang merupakan kelanjutan dari epitel di faring dan melapisi seluruh
permukaan esofagus bagian dalam kecuali pada daerah pertemuan esofagus dan lambung
yang dibentuk oleh epitel skuamus dan kolumnar. Epitel pada esofagus memiliki fungsi
utama untuk melindungi jaringan di bawahnya. Lamina propria merupakan jaringan ikat yang
terdiri dari serat kolagen dan elastin serta pembuluh darah dan saraf. Mukosa muskularis
adalah lapisan tipis otot polos yang terdapat pada seluruh bagian esofagus, semakin ke
proksimal semakin tipis dan semakin ke distal semakin tebal.9 (gambar 3)
Gambar 3. Histologi mukosa esofagus
4.2.4 Submukosa
Submukosa esofagus menghubungkan membran mukosa dan lapisan muskularis yang
terdiri dari limfosit, sel plasma, sel-sel saraf (pleksus Meissner’s), jaringan vaskular (pleksus
Heller) dan kelenjar mukosa. Kelenjar mukosa ini menghasilkan mukus untuk lubrikasi
jalannya makanan di dalam esofagus. Selain itu sekresi dari kelenjar esofagus ini sangat
penting untuk pembersihan dan pertahanan jaringan terhadap asam.9 (gambar 3)
4.2.5 Muskularis propria
Lapisan ini memiliki fungsi motorik, terdiri dari otot longitudinal di bagian luar dan
sirkuler di bagian dalam. Pada esofagus bagian atas komposisinya sebagian besar terdiri otot
bergaris dan bagian bawah sebagian besar terdiri dari otot polos. Di antaranya terdapat
campuran dari kedua macam otot tersebut yang disebut dengan zona transisi.9 (gambar 3)
4.2.6 Jaringan fibrous
Jaringan fibrous adalah jaringan yang melapisi esofagus dari luar dan
menghubungkan esofagus dengan struktur-struktur di sekitarnya. Komposisinya terdiri dari
jaringan ikat, pembuluh darah kecil, saluran limfatik dan serabut-serabut saraf.9 (gambar 3)
4.3 Fisiologi Menelan
Menurut kamus, deglutisi atau deglutition merupakan proses menelan makanan.
Menelan merupakan sebuah proses yang kompleks, melibatkan memerlukan setiap organ
bekerja secara terintegrasi dan berkesinambungan. Secara garis besar pada proses menelan
terjadi pemindahan bolus makanan dari kavum oris kedalam lambung. Dalam proses ini akan
terjadi hal-hal sebagai berikut, (1) pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan
konsistensi yang baik, (2) upaya sfingter mencegar terhamburnya bolus ini dalam fase-fase
menelan, (3) mempercepat masuknya bolus makanan ke delam faring saat respirasi, (4)
mencegah masuknya makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan laring, (5) kerjasama
yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus makanan ke arah lambung,
(6) usaha untuk membersihkan kembali esofagus. Proses ini terbagi menjadi 3 fase: fase oral,
fase faringeal dan fase esofageal.1,11
4.3.1 Fase Oral
Fase oral merupakan pemrosesan bolus makanan dari mulut menuju faring1,11. Fase ini
terjadi secara sadar.
Kontraksi m.levator veli palatini
Ujung lidah terangkat ke bagian anterior palatum durum
Bolus makanan terdorong ke posterior, nasofaring menutup akibat
kontraksi m.levator veli palatini
Kontraksi m.palatoglosus sehingga isthmus faucium tertutup dan
kontraksi m.palatofaring sehingga bolus tidak berbalik ke rongga
mulut1
4.3.2 Fase Faringeal
Pada fase faringeal terjadi perpindahan bolus makanan dari faring menuju esofagus.
Fase ini terjadi secara refleks pada akhir fase oral.1,11
Faring dan laring bergerak ke atas oleh kontraksi m.stilofaring, m.salfongofaring,m.tiroihioid,
dan m.palatofaring
Aditus laring tertutup oleh epiglotis
Kontraksi m.ariepiglotika dan m.aritenoid obliqus. Plika ariepiglotika, plika ventrikularis, dan
plika vokalis tertutup
Penghentian udara ke laring karena reflex yang menghambat pernapasan
Bolus makanan tidak masuk ke dalam saluran napas,
Bolus makanan ke arah esofagus karena valekula dan sinus piriformis dalam keadaan lurus1
Gambar 4. Fase Faringeal
4.3.3 Fase Esofageal
Fase esofageal ialah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke dalam
lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup. Akan tetapi, dengan
adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka m.krikofaring relaksasi,
sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam esofagus.1
Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih kuat, melebihi
tonus introitus esofagus pada waktu istirahat, sehingga makanan tidak akan kembali ke faring
dan refluks dapat dihindari. Selanjutnya bolus makanan akan didorong ke distal oleh gerakan
peristaltik esofagus.1
Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup sehingga tidak
akan terjadi regurgitasi isi lambung. Sfingter akan terbuka pada akhir fase esofageal secara
refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke
distal. Sfingter akan kembali tertutup setelah bolus makanan lewat.1
4.4 Definisi
Disfagia berasal dari bahasa Yunani yang berarti kesulitan untuk makan akibat terjadi
gangguan pada proses menelan. Disfagia dapat menjadi suatu keadaan yang mengancam
kesehatan karena terdapat risiko terjadinya aspirasi pneumonia, malnutrisi, dehidrasi,
penurunan berat badan dan obstruksi jalan nafas.2
4.5 Etiologi & Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas3:
Disfagia orofaringeal
Disfagia orofaringeal disebabkan oleh gangguan fungsi atau struktur dari orofaring.
Pasien mengeluh kesulitan memulai menelan, regurgitasi nasal, dan aspirasi trakea
diikuti oleh batuk. Kasus disfagia orofaringeal banyak disebabkan oleh kelainan
neuromuskular seperti stroke, parkinson, myasthenia gravis dan amyotrophic lateral
sklerosis. Pasien disfagia orofaringeal biasanya kesulitan mengosongkan bolus
makanan dari orofaring ke dalam faring.
Disfagia esophageal
Disfagia esophageal disebabkan oleh gangguan fungsi atau struktur dari esofagus.
Hal ini diakibatkan oleh gangguan motilitas baik atau obstruksi mekanis. Penyebab
utama dari disfagia esofageal adalah gastrointestinal reflux disease (GERD) akibat
striktur esofagus.
Disfagia esofageal dapat diklasifikasikan lagi menjadi
Disfagia mekanik
Disfagia mekanik disebabkan sumbatan lumen esofagus oleh massa tumor dan benda
asing. Selain itu, disfagia mekanik dapat juga disebabkan oleh peradangan mukosa
esofagus, striktur esofagus serta akibat penekanan lumen esofagus dari luar, misalnya
oleh pembesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelenjar getah bening di
mediastinum, pembesaran jantung, dan elongasi aorta. Disfagia mekanik timbul
apabila terjadi penyempitan lumen esofagus yang dalam keadaan normal lumen
esofagus orang dewasa dapat meregang sampai 4 cm. Keluhan akan mulai terjadi
apabila dilatasi dari lumen esofagus tidak mencapai diameter 2,5 cm.
Disfagia motorik
Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuskular yang berperan
dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan saraf otak n.V,
n.VII, n.IX, n.X dan n.XII, kelumpuhan otot faring dan lidah serta gangguan
peristaltik esofagus dapat menyebabkan disfagia. Penyebab utama dari disfagia
motorik adalah akalasia, spasme difus esofagus, kelumpuhan otot faring dan
skleroderma esofagus.1
Selain dua klasifikasi yang telah disebutkan diatas, keluhan disfagia dapat juga timbul
bila terdapat gangguan emosi
atau tekanan jiwa yang berat. Kelainan ini dikenal sebagai globus histerikus.1
4.6 Patogenesis Disfagia
Proses menelan merupakan proses yang kompleks dan memerlukan setiap unsur untuk
bekerja secara berkesinambungan. Keberhasilan mekanisme menelan tergantung dari
beberapa faktor, yaitu (a) ukuran bolus makanan, (b) diameter lumen esofagus yang dilalui
bolus, (c) kontraksi peristaltik esofagus, (d) fungsi sfingter esofagus bagian atas dan bawah
dan (e) kerja otot-otot rongga mulut dan lidah.1
Agar dapat berintegrasi fungsional secara sempurna diperlukan sistem neuromuskular
bekerja dengan baik sehingga aktivitas motorik berjalan dengan lancar. Sistem
neuromuskular yang berperan dalam proses menelan dimulai dari susunan saraf pusat, batang
otak, persarafan sensorik dinding faring dan uvula, persarafan ekstrinsik esofagus serta
persarafan intrinsik otot-otot esofagus. Kerusakan pada pusat menelan dapat menyebabkan
kegagalan aktivitas komponen orofaring, otot lurik esofagus dan sfingter esofagus bagian
atas. Oleh karena otot lurik esofagus dan sfingter esofagus bagian atas juga mendapat
persarafan dari inti motor n. Vagus, maka aktivitas peristaltik esofagus masih tampak pada
kelainan di otak.1
4.7 Gejala Klinis
Gejala klinis dari disfagia dapat dibagi menjadi dua, gejala klinis yang disebabkan
oleh disfagia orofaringeal dan gejala klinis yang disebabkan oleh disfagia esofageal.
Tanda-tanda dan gejala dari disfagia orofaringeal2,11,12 :
1. Batuk-batuk atau tersedak pada saat menelan
2. Kesulitan memulai menelan
3. Rasa ada makanan yang tersangkut di tenggorokan
4. Sialorrhoea / hipersalivasi
5. Penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya
6. Perubahan suara / proses bicara
7. Pneumonia rekuren
8. Regurgitasi nasal
Tanda-tanda dan gejala dari disfagia esofageal2,11,12 :
1. Sensasi terdapat makanan yang tersangkut di dada atau tenggorokan
2. Perubahan pola diet
3. Pneumonia rekuren
4. Gejala dari gastrointestinal reflux disease (GERD) : rasa nyeri seperti terbakar di
epigastrium, mual dan rasa pahit di lidah.
4.8 Diagnosis
4.8.1 Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan anamnesis yang cermat untuk menentukan
diagnosis kelainan atau penyakit yang menyebabkan timbulnya disfagia. Berikut pertanyaan-
pertanyaan yang dapat ditanyakan pada pasien yang datang dengan keluhan utama disfagia1 :
Pertanyaan Jawaban Kemungkinan Penyebab
Jenis makanan yang
menyebabkan terjadinya
disfagia? Makanan padat
atau cair?
1. Makanan padat saja
2. Makanan padat dan
cair
1. Disfagia mekanik
2. Disfagia motorik
Bagaimana waktu dan
perjalanan keluhan disfagia?
1. Keluhan hilang
dalam beberapa hari
2. Keluhan terjadi
dalam beberapa
bulan disertai dengan
penurunan berat
badan yang cepat
3. Keluhan sudah
berlangsung
bertahun-tahun
1. Peradangan
2. Keganasan di
esofagus
3. Kelainan yang
bersifat jinak / di
esofagus bagian
distal (lower
esophageal muscular
ring)
Lokasi rasa sumbatan? 1. Di daerah dada
2. Di leher
1. Kelainan esofagus
bagian torakal
2. Kelainan di faring
atau esofagus bagian
servikal
Gejala lain yang menyertai
disfagia?
Masuknya cairan ke dalam
hidung waktu minum
Kelumpuhan otot-otot faring
4.8.2 Pemeriksaan Fisik1
Pemeriksaan
Fisik
Inspeksi Palpasi Tujuan
Leher Massa tumor atau
pembesaran kelenjar
limfa
Palpasi massa
tumor atau
pembesaran
kelenjar limfa
Mencari tahu
apakah terdapat
kelainan yang
dapat menekan
esofagus sehingga
menimbulkan
keluhan disfagia
Kavum Oris
1. Tanda-tanda
peradangan
orofaring
dan tonsil
2. Kelumpuhan
otot-otot
lidah dan
arkus faring
1. Massa
tumor pada
tonsil dan
orofaring
1. Untuk
mencari
tahu
penyebab
gangguan
proses
menelan
2. Untuk
mencari
tahu
gangguan
di pusat
menelan
maupun
saraf otak
n.V, n.VII,
n.IX, n.X
dan n.XII
Abdomen Nyeri tekan di
regio epigastrium
Untuk mencari
tahu apakah
terdapat faktor
risiko GERD pada
pasien yang dapat
menyebabkan
terjadinya disfagia
4.8.3 Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis disfagia. Diantaranya adalah :
Pemeriksaan penunjang untuk disfagia esofageal1 :
1. Pemeriksaan radiologi
a. Foto polos esofagus dengan zat kontras : dapat membantu
menegakkan diagnosis kelainan esofagus
b. Pemeriksaan fluoroskopi : dapat melihat kelenturan dinding
esofagus, adanya gangguan peristaltik, penekanan lumen esofagus
dari luar, dan isi lumen esofagus
c. Pemeriksaan kontras ganda : dapat memperlihatkan karsinoma
stadium dini
d. Tomogram dan CT scan : dapat mengevaluasi bentuk esofagus dan
jaringan di sekitarnya
e. MRI (Magnetic Resonance Imaging) : untuk melihat kelainan di otak
yang menyebabkan disfagia motorik
2. Esofagoskopi1
Tujuan dari esofagoskopi adalah untuk melihat langsung isi lumen esofagus
dan keadaan mukosanya. Pemeriksaan ini bersifat invasif maka perlu
persiapan yang baik. Dapat dilakukan dengan analgesia (lokal atau anestesia
umum). Tindakan esofagoskopi dapat menimbulkan risiko perdarahan dan
perforasi pasca biopsi oleh karena itu, perlu diperhatikan indikasi dan
kontraindikasi dari tindakan
3. Pemeriksaan Manometrik1
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai fungsi motorik esofagus. Dengan
mengukur tekanan dalam lumen esofagus dan tekanan sfingter esofagus
dapat dinilai gerakan peristaltik secara kualitatif dan kuantitatif.
Pemeriksaan penunjang untuk disfagia orofaringeal1 :
1. Videofluoroskopi Swallow Assesment (VFSS)
Pemeriksaan ini dikenal sebagai Modified Barium Swallow (MBS) adalah
pemeriksaan yang sering dilakukan dalam mengevaluasi disfagia dan
aspirasi. Pemeriksaan ini menggambarkan struktur dan fisiologi menelan
pada rongga mulut, faring, laring dan esofagus bagian atas. VFSS dapat
digunakan sebagai panduan dalam terapi menelan dengan memberikan
bermacam bentuk makanan pada berbagai posisi kepala dan melakukan
beberapa maneuver untuk mencegah aspirasi untuk memperoleh kondisi
optimal dalam proses menelan
2. FEES (Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing)
Pemeriksaan ini berfungsi untuk mengevaluasi fungsi menelan dengan
menggunakan nasofaringoskop serat optik lentur. Pasien diberikan berbagai
jenis konsistensi makaanan dari jenis makanan cair sampai padat dan dinilai
kemampuan pasien dalam proses menelan. Pemeriksaan dibagi dalam 3
tahap:
i. Pemeriksaan sebelum pasien menelan (preswallowing assesment)
untuk menilai fungsi muskular dari oromotor dan mengetahui
kelainan fase oral
ii. Pemeriksaan langsung dengan memberikan berbagai konsistensi
makanan, dinilai kemampuan pasien dan diketahui konsistensi apa
yang paling aman untuk pasien
iii. Pemeriksaan terapi dengan mengaplikasikan berbagai maneuver
dan posisi kepala untuk menilai apakah terdapat peningkatan
kemampuan menelan
Pemeriksaan FEES dapat menilai 5 proses fisiologi dasar seperti :
1. Sensitivitas pada daerah orofaring dan hipofaring yang sangat berperan dalam
terjadinya aspirasi
2. Spillage (preswallowing leakage) : masuknya makanan ke dalam hipofaring
sebelum refleks menelan dimulai sehingga mudah terjadi aspirasi
3. Residu : menumpuknya sisa makanan pada daerah valekula, sinus piriformis
kanan dan kiri, poskrikoid dan dinding faring posterior sehingga makanan tersebut
akan mudah masuk ke jalan nafas pada saat proses menelan terjadi ataupun
sesudah proses menelan
4. Penetrasi : masuknya makanan ke vestibulum laring tetapi belum melewati pita
suara sehingga menyebabkan mudah masuknya makanan ke jalan nafas saat
inhalasi
5. Aspirasi : masuknya makanan ke jalan nafas melewati pita suara yang sangat
berperan dalam terjadi komplikasi paru
4.9 Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana disfagia adalah untuk mempertahankan asupan nutrisi yang
adekuat dan proteksi maksimal jalan nafas untuk mencegah resiko terjadinya
aspirasi pneumonia.2,13 Terdapat dua macam strategi penatalaksanaan pada penderita
disfagia yaitu direct dan indirect.2 Pada direct strategy biasanya mengacu kepada
terapi yang melibatkan jenis-jenis makanan termasuk modifikasi konsistensi
makanan. Sedangkan indirect strategy diantara adalah perubahan postur atau
mengajarkan pasien berbagai maneuver menelan untuk meningkatkan fungsi
menelan pasien.
o Modifikasi diet2
Merupakan komponen kunci dalam program pengobatan umum disfagia.
Suatu dietmakanan yang berupa bubur direkomendasikan pada pasien dengan
kesulitan pada faseoral, atau bagi mereka yang memiliki retensi faringeal
untuk mengunyah makanan padat. Jika fungsi menelan sudah membaik, diet
dapat diubah menjadi makanan lunak atau semi- padat sampai konsistensi
normal.
o Suplai Nutrisi2
Efek disfagia pada status gizi pasien adalah buruk. Disfagia dapat
menyebabkan malnutrisi. Banyak produk komersial yang tersedia untuk
memberikan bantuan nutrisi. Bahan-bahan pengental, minuman yang
diperkuat, bubur instan yang diperkuat, suplemen cair oral. Jika asupan nutrisi
oral tidak adekuat, maka perlu dipikirkan pemberian parenteral.
o Hidrasi2
Disfagia dapat menyebabkan dehidrasi. Pemeriksaan berkala keadaan hidrasi
pasien sangat penting dan cairan intravena diberikan jika terdapat dehidrasi.
o Exercise13,14
Tujuan dari program exercise adalah untuk meningkatkan fungsi dari otot-otot
menelan untuk meningkatkan kemampuan menelan. Otot-otot tersebut
diantaranya adalah otot-otot rahang, dasar lidah, rongga mulut, m.kontriktor
faringeal dan laring. Latihan-latihan tertentu dapat membantu
mengkoordinasikan otot-otot menelan atau re-stimulasi saraf yang
mencetuskan refleks menelan.
o Mempelajari Tehnik-tehnik menelan13,14,15
Terdapat beberapa macam tehnik yang dapat dipelajari untuk memasukkan
makanan kedalam mulut atau memposisikan tubuh dan kepala untuk
membantu proses menelan
o Pembedahan
Cricofaringeal myotomy: Cricofaringeal myotomy (CPM) adalah
prosedur yang dilakukan unutk mengurangitekanan pada sphicter
faringoesophageal (PES) dengan mengincisi komponen ototutama dari
PES.Injeksi botulinum toxin kedalam PES telah diperkenalkan sebagai
ganti dari CPM.
4.10 Komplikasi13
Disfagia dapat berdampak buruk dan menyebabkan komplikasi seperti :
o Malnutrisi
o Penurunan berat badan
o Dehidrasi
o Penyakit saluran pernafasan
Aspirasi Pneumonia
ISPA
5.0 Prognosis
Ad Vitam : Ad Bonam
Ad Functionam : Ad Bonam
Ad Sanationam : Ad Bonam
BAB V
KESIMPULAN
Disfagia didefinisikan sebagai gangguan proses menelan. Klasifikasi disfagia
dibagi menjadi dua yaitu disfagia orofaringeal dan disfagia esofageal. Disfagia
esofageal dapat diklasifikasikan kembali menjadi disfagia mekanik dan disfagia
motorik. Gejala-gejala yang timbul pada penderita disfagia dibagi berdasarkan tipe
disfagianya. Penegakkan diagnosis disfagia memerlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang yang sistematis dan teliti untuk menentukan kausal
dari disfagia. Tujuan dari tatalaksana disfagia adalah agar nutrisi yang diperlukan
tubuh tetap terpenuhi dan mencegah terjadinya komplikasi aspirasi pneumonia.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan :
telinga hidung tenggorok kepala& leher. 7th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2012. p. 244 – 252
2. Paik NJ, Lorenzo CT. Dysphagia. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/2212409-overview#a7. Accessed on : July 27,
2015
3. Cockeram AW. Canadian Association of Gastroenterology Practice Guidelines :
Evaluation of Dysphagia. Available at :
http://www.cag-acg.org/uploads/guidelines/cockeram.pdf. Accessed on : July 27,
2015
4. WHO BMI classification. Available at : http://apps.who.int/bmi/index.jsp?
introPage=intro_3.html. Accessed on : July 31,2015
5. Christoforidou A, Metallidis S, Kollaras P, Agathangelidis A, Nikolaidis P et al.
Tuberculous retrofaryngeal abscess as a cause of orofaryngeal dysphagia. American
Journal of Otolaryngology- head and neck medicine and surgery. 2012; 33; 272-4
6. Gomes J, Antunes A, Carvalho A, Duarte R. Dysphagia as a manifestation of
esofageal tuberculosis : a report of two cases. J Med Case Reports. Sep 2011;5;447
7. Welzel TM, Kawan T, Bohle W, Richter GM, Bosse A et al. An unusual cause of
dysphagia : esophageal tuberculosis. J Gastrointestinal Liver Dis. 2010; 19(3); 321-4
8. Rana SS, Bhasin DK, Rao C, Srinivasan R, Singh K. Tuberculosis presenting as
dysphagia: clinical, endoscopic, radiological and endosonographic features. Journal
Endoscopic Ultrasound. 2013; 2(2); 92-5
9. Falerina R, Juniati SH. Mekanisme Pertahanan Mukosa Esofagus Terhadap Asam.
Jurnal THT-KL Universitas Airlangga. Jan 2001; 1(1)
10. Digestive Disorders Health Centre. Available at : http://www.webmd.com/digestive-
disorders/picture-of-the-esophagus. Accessed on : July 29, 2015
11. Malagelada JR, Bazzoli F, Elewaut A, Fried M, Krabshuis JH et al. World
Gastroenterology Practice Guidelines : Dysphagia. Available at :
http://www.worldgastroenterology.org/assets/downloads/en/pdf/guidelines/
08_dysphagia.pdf. Accessed on : July 28,2015
12. American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery. Swallowing
Trouble. Available at : http://www.entnet.org/content/swallowing-trouble. Accessed
on : July 28,2015
13. Dysphagia. Available at :
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/dysphagia/basics/treatment/con-
20033444. Accessed on : July 29, 2015
14. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Head and Neck Surgery – Otolaryngology.
Evaluation and Management of Dysphagia. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins;
2006.
15. Sura L, Madhavan A, Carnaby G, Crary MA. Dysphagia in the elderly: management
and nutritional considerations. US National Library of Medicine. Journal Clinical
Intervention Aging. 2012; vol.7; 287-98