5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Teori Belajar Dienes (Teori Permainan)
Terinspirasi dari Jean Piaget, Zoltan Dienes (1981) kemudian
merumuskan teorinya yang dikenal dengan teori Dienes. Teori Dienes
memusatkan perhatian pada cara-cara pengajaran matematika terhadap anak-anak
sedemikian rupa, sehingga menarik perhatian bagi anak-anak yang mempelajari
matematika. Menurut Dienes (dalam Suherman, 2003; Ruseffendi, 2006) benda-
benda atau obyek-obyek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila
dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika. Makin banyak bentuk-
bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep tertentu, akan makin
jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh hal-hal
yang bersifat logis dan sistematis dalam konsep yang dipelajarinya.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap
sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara
struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan diantara struktur-
struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam
matematika yang disajikan dalam bentuk konkret, akan dapat dipahami dengan
baik.
Menurut Dienes (dalam Ruseffendi) konsep-konsep matematika akan
berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap
belajar menjadi 6 tahap, yaitu:
a. Permainan Bebas (Free Play)
Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan
konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar
konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi
kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul.
Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam
mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya
dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsep-
6
konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari
benda yang dimanipulasi.
b. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)
Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola-
pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini
mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang
lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan tadi. Jelaslah, dengan melalui
permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana
struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan
dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena
akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang
dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik
memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman,
dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu. Contoh dengan
permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun
yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk kelompok benda
berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam membentuk kelompok
bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman terhadap konsep t ipis dan
merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tipis (tebal), atau tidak
merah (biru, hijau, kuning).
c. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan
menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk
melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka
dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi
ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan
semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan block logic, anak
dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal, anak diminta
mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut
(anggota kelompok).
7
d. Permainan Representasi (Representation)
Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang
sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah
mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi
yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak, Dengan
demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya
abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak
untuk menemukan banyaknya diagonal poligon (misal segi dua puluh tiga) dengan
pendekatan induktif seperti berikut ini.
Segitiga Segiempat Segilima Segienam Segiduapuluhtiga
0 diagonal 2 diagonal 5 diagonal ….. diagonal ……. Diagonal
e. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan
kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan
menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh,
dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut,
kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang
digeneralisasikan dari pola yang didapat anak.
f. Permainan dengan Formalisasi (Formalization)
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap
ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian
merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah
mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus
mampumerumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut.
Contohnya, anak didik telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika
seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma,
dalam arti membuktikan teorema tersebut.
Pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema
serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai
pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep yang
terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan operasi penjumlahan
8
peserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya elemen identitas, dan
mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem matematika. Dienes
menyatakan bahwa proses pemahaman (abstracton) berlangsung selama belajar.
Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan materi
matematika secara kongkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan
tepat. Dienes berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam berbagai
penyajian (multiple embodiment), sehingga anak-anak dapat bermain dengan
bermacam-macam material yang dapat mengembangkan minat anak didik.
Berbagai penyajian materi (multiple embodinent) dapat mempermudah proses
pengklasifikasian abstraksi konsep.
Menurut Dienes, variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu
dan lainya sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual variability),
sehingga anak didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang berbeda-
beda dan memperkaya imajinasinya terhadap setiap konsep matematika yang
disajikan. Berbagai sajian (multiple embodiment) juga membuat adanya
manipulasi secara penuh tentang variabel-variabel matematika. Variasi
matematika dimaksud untuk membuat lebih jelas mengenai sejauh mana sebuah
konsep dapat digeneralisasi terhadap konsep yang lain. Dengan demikian,
semakin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu,
semakin jelas bagi anak dalam memahami konsep tersebut.
2.2. Hasil Belajar
2.2.1 Definisi Belajar
Menurut Slameto (2010:2), belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam berinteraksi
dengan lingkungannya. Menurut Sudjana (2005), mengatakan bahwa belajar dan
mengajar sebagai suatu proses mengandung tiga unsur yang dapat dibedakan,
yakni tujuan pengajaran (instruksional), pengalaman (proses) belajar mengajar,
dan hasil belajar.
9
Menurut Syamsudin (2000), mengatakan bahwa belajar adalah suatu
proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktik atau
pengalaman tertentu. Gagne (dalam Nurul A, 2006) mengungkapkan bahwa
belajar adalah suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat
suatu pengalaman. Karena itu belajar dicirikan dengan tiga hal yaitu:
a. Belajar adalah perubahan tingkah laku.
b. Perubahan terjadi karena latihan dan pengalaman, bukan karena pertumbuhan.
c. Perubahan tersebut harus bersifat parmanen dan tetap ada dalam waktu yang
cukup lama.
Dari pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar
merupakan suatu usaha individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku secara
keseluruhan yang terjadi karena pengalaman yang telah dialami melalui interaksi
dengan lingkungannya dalam suatu proses belajar mengajar. Bukti bahwa
seseorang telah belajar ialah terjadinya perubahan tingkah laku pada orang
tersebut, baik dalam aspek pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), maupun dalam
ketrampilannya (psikomotorik).
2.2.2. Pengertian Hasil Belajar
Perubahan akan terjadi pada setiap individu yang melakukan kegiatan
belajar, perubahan tersebut baik perubahan pengetahuan, sikap maupun
ketrampilan. Dalam lembaga pendidikan formal, nilai suatu pembelajaran
dinamakan hasil belajar, dan tinggi rendahnya hasil belajar diukur dan dinyatakan
dalam bentuk nilai atau angka.
Keberhasilan belajar dapat dilihat dan diketahui berdasarkan perubahan
perilaku setelah diadakan kegiatan belajar, sebagaimana dikemukakan oleh
Winkel (2005), bahwa hasil belajar mencakup tiga kemampuan, yaitu:
a. Kemampuan kognitif, yaitu hasil belajar yang berkenaan dengan pemahaman
pengetahuan dan pengertian pada suatu materi yang meliputi:
1) Pengetahuan, yaitu kemampuan mengingat kembali hal-hal yang pernah
dipelajari; mencakup fakta, prinsip dan metode yang diketahui.
2) Pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna atau arti dari suatu
konsep sehingga dapat menguraikan isi pokok dari suatu makna.
10
3) Penerapan, yaitu kemampuan menerapkan dan mengabstraksikan suatu
konsep atau ide dalam situasi yang baru.
4) Analisis, yaitu kemampuan untuk merinci satu kesatuan ke dalam bagian-
bagian, sehingga organisasinya dapat dipahami dengan baik.
5) Sintesis, yaitu kemampuan untuk membentuk suatu pendapat mengenai
sesuatu atau beberapa hal dan dapat mempertanggungjawabkan berdasarkan
kriteria itu.
b. Kemampuan Afektif, yaitu tahap-tahap perubahan sikap, nilai dan kepribadian
setelah mendapatkan pengetahuan dari proses belajar meliputi:
1) Penerimaan, yaitu kepekaan dalam meneriman rangsangan dan kesediaan
untuk memperhatikan rangsangan itu.
2) Partisipasi, yaitu kesediaan untuk memperhatikan secara aktif dan
berpartisipasi dalam suatu kegiatan.
3) Penentuan sikap, yaitu kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap
sesuatu dan membawa diri sesuai dengan penilaian itu.
4) Organisasi, yaitu kemampuan untuk membentuk suatu sistem nilai sebagai
pedoman dan pegangan dalam kehidupan.
5) Pembentukan pola hidup, yaitu kemampuan untuk menghayati nilai-nilai
kehidupan sedemikan, sehingga menjadi milik pribadi dan menjadi
pegangan nyata.
c. Kemampuan Psikomotor, yaitu kesatuan psikis yang dimanifestasikan dalam
tingkah laku fisik (sekumpulan ketrampilan dalam bidang tertentu), yang
meliputi:
1) Persepsi, yaitu kemampuan membedakan antara dua perangsang atau lebih
berdasarkan ciri-ciri khas pada masing-masing rangsangan.
2) Kesiapan, yaitu kemampuan untuk menempatkan diri dalam keadaan akan
memulai suatu gerakan atau serangkaian gerakan.
3) Gerakan terbimbing, yaitu mencakup kemampuan untuk melakukan suatu
rangkaian-rangkaian gerak-gerik sesuai dengan contoh yang diberikan.
11
4) Gerak terbiasa, yaitu kemampuan untuk melakukan sesuatu rangkaian
gerak-gerik dengan lancar, karena telah dilatih secukupnya tanpa lagi
memperhatikan lagi contoh.
5) Gerakan kompleks, yaitu kemampuan untuk melaksanakan suatu
ketrampilan dengan lancar, cepat dan efisien.
6) Penyesuaian pola gerakan, yaitu kemampuan untuk mengadakan perubahan
dan menyesuaikan pola gerak-gerik dengan kondisi setempat atau dengan
menunjuk suatu taraf ketrampilan yang telah mencapai kemahiran.
7) Kreativitas, yaitu kemampuan untuk melahirkan pola gerak-gerik yang baru
atas dasar inisiatif sendiri.
Indikator hasil belajar berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan
bahwa perilaku siswa terdiri atas tiga kemampuan, yaitu kemampuan kognitif,
yang diartikan sebagai hasil belajar berkenaan dengan pemahaman pengetahuan
peserta didik dalam mempelajari Matematika, kemampuan afektif yang diartikan
sebagai hasil belajar yang merupakan tahapan perubahan sikap, nilai dan
kepribadian peserta didik dalam mengikuti pembelajaran, psikomotorik
merupakan kesatuan yang dimanifestasikan dalam perilaku atau tingkah laku
berupa sekumpulan ketrampilan.
2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Proses belajar mengajar diharapkan dapat memberikan keberhasilan yang
memuaskan bagi sistem pengajaran, guru dan terutama peserta didik. Akan tetapi
pada kenyataannya dalam usaha pencapaian tujuan tersebut, terkadang tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Hambatan inilah yang harus diketahui agar dapat
dihindarkan sehingga tidak menimbulkan kegagalan. Menurut Muhibbin Syah
(2002), faktor- faktor yang mempengaruhi belajar dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Faktor internal (faktor- faktor yang berasal dari dalam diri peserta didik), di
antaranya:
1) Aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) diantaranya kondisi kesehatan,
daya pendengaran dan penglihatan, dan sebagainya.
2) Aspek psikologis yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan
pembelajaran peserta didik, diantaranya yaitu kondisi rohani peserta didik,
12
tingkat kecerdasan/intelegensi, sikap, bakat, minat, dan motivasi peserta
didik.
b. Faktor Eksternal (faktor-faktor yang berasal dari luar diri peserta didik),
diantaranya:
1) Lingkungan sosial, seperti para guru, staff administrasi, dan teman-teman
sekelas, masyarakat, tetangga, teman bermain, orangtua dan keluarga
peserta didik itu sendiri.
2) Lingkungan non sosial, seperti gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat
keluarga peserta didik dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan
waktu belajar yang digunakan peserta didik.
c. Faktor Pendekatan Belajar, dapat dipahami sebagai cara atau strategi yang
digunakan peserta didik dalam menunjang efektivitas belajar dan efisiensi
proses pembelajaran materi tertentu.
2.3. Matematika
2.3.1. Pengertian Matematika
Andi Hakim Nasution (1982), mengatakan bahwa istilah matematika
berasal dari kata Yunani, mathein atau manthenein yang berarti mempelajari. Kata
ini memiliki hubungan yang erat dengan kata Sanskerta, medha atau widya yang
memiliki arti kepandaian, ketahuan, atau intelegensia. Dalam bahasa Belanda,
matematika disebut dengan kata wiskunde yang berarti ilmu tentang belajar (hal
ini sesuai dengan arti kata mathein pada matematika).
Dienes mengatakan bahwa matematika adalah ilmu seni kreatif. Oleh
karena itu, matematika harus dipelajari dan diajarkan sebagai ilmu seni.
(Ruseffendi, 1988). Bourne juga memahami matematika sebagai konstruktivisme
sosial dengan penekanannya pada knowing how, yaitu pelajar dipandang sebagai
makhluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan dengan cara
berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini berbeda dengan pengertian knowing
that yang dianut oleh kaum absoluitis, di mana pebelajar dipandang sebagai
mahluk yang pasif dan seenaknya dapat diisi informasi dari tindakan hingga
tujuan. (Romberg, T.A. 1992).
13
Johnson & Rising (dalam Russefendi, 1972) mengatakan bahwa
matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian logis,
matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefenisikan
dengan cermat, jelas dan akurat representasinya dengan simbol dan padat, berubah
bahasa simbol mengenai ide daripada bunyi. Matematika adalah pengetahuan
struktur yang terorganisasi, sifat-sifat dalam teori- teori dibuat secara deduktif
berdasarkan unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang telah
dibuktikan kebenarannya; matematika adalah ilmu tentang keteraturan pola atau
ide; dan matematikan itu adalah seni, keindahannya terdapat pada keterurutan dan
keharmonisannya.
Menurut Reys, dkk (1984), matematika adalah telahaan tentang pola
hubungan, suaut jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat.
Kline (1973) mengatakan baha matemika bukan tentang pengetahuan menyendiri
yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu
terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai
permasalahan sosial, ekonomi dan alam.
Matematika yang dimaksud dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan
Pendidikan Menengah adalah Matematika Sekolah (Wahyudin, 1999), yaitu
matematika yang diajarkan disekolah. Matematika merupakan suatu alat
komunikasi yang tangguh, singkat, padat, dan tak memiliki arti ganda. Selain itu,
matematika juga mengembangkan kemampuan berpikir logis dan akurasi. Alasan
lainya matematika diajarkan di sekolah yaitu kepentingan dan kegunaannya bagi
berbagai bidang studi lain, seperti fisika, sains pengobatan serta biologi, geografi
dan ekonomi, studi-studi bidang bisnis dan manajemen, operasi industri dan
perdagangan, baik dalam segi perkantoran maupun bagi produksi dan
pemasarannya.
2.4. Fungsi dan Tujuan Pembelajaran Matematika di SD
2.4.1. Fungsi Pembelajaran Matematika di SD
Fungsi mata pelajaran matematika sebagai berikut: alat, pola pikir, dan
ilmu atau pengetahuan.
14
1) Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk
memahami atau menyampaikan suatu informasi misalnya melalui persamaan-
persamaan, atau tabel-tabel dalam model matematika yang merupakan
penyederhanaan dari soal-soal cerita atau soal-soal uraian matematika lainnya.
Bila siswa dapat melakukan perhitungan, tetapi tidak tahu alasannya, maka
tentu ada yang salah dalam pembelajarannya atau ada sesuatu yang belum
dipahaminya.
2) Belajar matematika bagi para siswa, juga merupakan pembentukan pola pikir
dalam pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan
diantara pengertian-pengertian itu. Dalam pembelajaran matematika, para
siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang
sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan abstraksi.
Dengan pengamatan terhadap contoh-contoh dan bukan contoh, diharapkan
siswa mampu menangkap pengertian suatu konsep.
3) Fungsi matematika sebagai ilmu atau pengetahuan, dan tentunya pengajaran
matematika di sekolah harus diwarnai oleh fungsi yang ketiga ini. Guru perlu
menunjukkan betapa matematika selalu mencari kebenaran, dan bersedia
meraat kebenaran yang sementara diterima, bila ditemukan kesempatan untuk
mencoba mengembangkan penemuan-penemuan sepanjang pola pikir yang sah.
Mengacu pada Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP)
matematika, bahwa tujuan umum diberikannya matematika pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah meliputi dua hal yaitu:
1. Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam
kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas
dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif, dan efisien.
2. Mempersiapkan agar siswa dapat menggunakan matematika dan pola pikir
matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari berbagai
ilmu pengetahuan.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Tahun 2006 disebutkan
bahwa fungsi mata pelajaran matematika di SD adalah wahana meningkatkan
ketajaman penalaran siswa yang dapat membantu memperjelas dan menyelesaikan
15
permasalahan sehari-hari, dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan
menggunakan bilangan dan simbol-simbol yang tersusun.
Sedangkan menurut KTSP tujuan matematika sebagai mata pelajaran di
SD adalah sebagai berikut (Depdiknas, 2004):
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau alogaritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan penyataan matematika.
3. Memecahkan masalah meliputi kemampuan memahami masalah, merancang
model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang
diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika, serta sikap ulet dan percaya
diri dalam pemecahan masalah.
2.5. Kajian yang Relevan
Hamidah, Nimah (2006). Penerapan Teori Dienes untuk Mengatasi
Kesulitan Belajar Soal Cerita Operasi Campuran di Kelas III SDN Capang I
Purwodadi Pasuruan.
Pertama, faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar yaitu
penggunaan model pembelajaran yang konvensional" Kedua, pembelajaran soal
cerita pada pokok bahasan operasi hitung campuran melalui model pembelajaran
yang bervariasi dapat meningkatkan semangat belajar siswa" Ketiga, melalui
penerapan teori Dienes dalam pembelajaran soal cerita operasi campuran dapat
mengatasi kesulitan belajar siswa sehingga meningkatkan hasil belajar siswa dari
61,5 menjadi 85,5.
16
Penelitian Ika Anggraheni (2011). Berjudul “Penerepan metode
bermein sambil belajar sains untuk mengembangkan kemampuan koknitif anak
kelompok A TK Dharma Wanita Persatuan III Beji Pasuruan”.
Hasil penelitian ini menujukkan pelaksanaan metode bermain sambil
belajar sains kelompok A TK Dharma Wanita Persatuan III Beji dapat
meningkatkan kemampuan kognitif siswa, terbukti dari hasil yang di peroleh
siswa dengan rata-rata hasil tes mulai dari pra tindakan (42,56) dengan
presentase (8%) meningkat siklus I pertemuan pertama (54,08) dengan
presentase (20%) dan meningkat lagi siklus I pertemuan ke dua (76.08%) dengan
presentase 100%
2.6. Kerangka Berpikir
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Sebagaimana pada umumnya
penelitian eksperimen, maka tahap pertama yang dilakukan sebelum melakukan
tahap-tahap berikutnya dalam penelitian adalah penentuan subyek penelitian. Pada
penelitian ini siswa SD kelas IV SD Negeri Seraten 01 sebagai kelas eksperimen,
sedangkan SD Negeri Candirejo 02 sebagai kelas control yang akan dijadikan
sebagai subyek penelitian. Siswa akan dibagi dalam dua kelompok yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok control. Sebelum kelompok eksperimen
diajarkan dengan metode belajar Dienes, kedua kelompok terlebih dahulu diuji
sebagai tes awal. Setelah dilakukan tes awal, kedua kelompok baik kelompok
eksperimen maupun kelompok kontrol akan diberi pelajaran matematika. Pada
kelompok eksperimen diberi pelajaran matematika dengan metode belajar dari
teori belajar Dienes (permainan) dan pada kelompok kontrol diberi pelajaran
matematika dengan metode ceramah. Setelah itu kedua kelompok diuji kembali
dengan tes akhir atau tes setelah perlakuan yang disebut juga dengan post test.
Setelah hasil pos test diperoleh kemudian dianalisis untuk dilihat adakah pengaruh
teori belajar Dienes terhadap hasil belajar matematika siswa SD kelas IV SD
Negeri Seraten 01 Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang.
17
Bagan 2.1 Kerangka Berfikir Penelitian
2.7. Hipotesa
Berdasarkan uraian di atas dapatlah dirumuskan hipotesis eksperimen
sebagai berikut: pembelajaran Teori Dienes efektif dalam meningkatkan hasil
belajar siswa pada pembelajaran Matematika di kelas IV SD Negeri Sraten 01
Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang Pada Semester Genap Tahun Pelajaran
2011/2012
Kelas
kontrol Pre test
Pembelajaran
seperti biasa yang
dilakukan guru
kelas (ceramah)
Post test
Kelas
eksperimen Pre test
Pembelajaran
dengan Model teori
bermain Dienes Post test
Terdapat pengaruh yang
signifikan dengan penggunaan
model pembelajaran dengan
teori Dienes dimana hasil
belajar kelas eksperimen lebih
tinggi dari kelas kontrol