Download - Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
1/75
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
2/75
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul
Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu
Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit) adalah hasil karya saya sendiri
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun
yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Januari 2009
Nuzul FadlyC34104049
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
3/75
RINGKASAN
NUZUL FADLY. C34104049. Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna(Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit).
Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan WINARTI ZAHIRUDDIN.
Ikan tuna merupakan komoditas ekspor kedua terbesar Indonesia setelahudang. Industri tuna dalam perkembangannya masih memiliki banyak
permasalahan, antara lain semakin ketatnya persaingan dan merebaknya isukeamanan pangan, yaitu tingginya kandungan histamin dan logam berat. Dampakdari permasalahan ini adalah timbulnya hambatan ekspor produk ikan tunaIndonesia di pasaran dunia terutama Uni Eropa. Untuk mengatasi permasalahantersebut perlu adanya suatu upaya pendekatan risk assessmentsesuai rekomendasiFood and Agriculture Organization (FAO) sejak tahun 1995 untuk menganalisis
bahaya peningkatan kadar histamin pada tuna agar dapat dilakukan manajemen
resikonya.Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pengamatan proses
penanganan ikan tuna saat pembongkaran (transit) sampai penerimaan bahan bakuoleh perusahaan, tahap penilaian sanitasi, higiene (kapal) dan kelayakan dasar(transit dan alat distribusi/transportasi) menggunakan daftar penilaian unit
pengolahan ikan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan danPemasaran Hasil Perikanan tahun 2007, serta tahap asesmen risiko bahayahistamin pada ikan tuna berbagai kualitas ekspor.
Asesmen risiko bahaya histamin dilakukan dengan menggunakan konseprisk assessment secara semi kuantitatif yang terdiri dari hazard identification,exposure assessment atau dose respone, hazard characterization serta riskcharacterization dari risiko bahaya histamin pada ikan tuna berbagai kualitasekspor. Untuk mendukung hasil evaluasi risiko dilakukan analisis kimia kadarhistamin dengan metode spektrofluorometri, dan analisis mikrobiologimenggunakan uji Total Plate Count(TPC) dan uji Niven agar (untuk mengetahui
jumlah bakteri penghasil histamin)Hasil evaluasi bahaya kadar histamin menunjukkan bahwa kadar histamin
ikan tuna berbagai kualitas mutu ekspor masih berada pada batas aman untukdikonsumsi (grade A memiliki rataan kadar histamin sebesar 1,11 ppm,grade B 1,77 ppm, grade C 2,64 ppm dan grade D 2,52 ppm). Perbedaan jumlahTPC seiring dengan perbedaan kualitas mutu ikan tuna. Total mikroba ikan
grade A adalah 1,7 x10
2
CFU/ml, grade B sebesar 2,3 x10
2
CFU/ml dangrade C dan D adalah 3,9 x102 CFU/ml dan 21,1 x102 CFU/ml. Jumlah bakteripenghasil histamin terendah didapatkan dari Ikan tuna dengan kualitas grade Ayaitu sebesar 0,3 x102 CFU/ml, sedangkan ikan tuna dengan grade C dan Dmemiliki jumlah bakteri penghasil histamin terbanyak, yaitu masing-masingsebesar 1,9 x102 CFU/ml dan 1,5x102 CFU/ml.
Hasil asesmen risiko bahaya kadar histamin menunjukkan bahwa kadarhistamin berdasarkan spreadsheet tool ikan tuna berbagai kualitas mutu ekspormasih berada pada batas aman untuk dikonsumsi.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
4/75
ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN TUNA (Thunnus sp.)
SEGAR BERBAGAI MUTU EKSPOR PADA PROSES
PEMBONGKARAN (TRANSIT)
Oleh :
NUZUL FADLYC34104049
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
5/75
ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN
TUNA (Thunnus sp.) SEGAR BERBAGAI
MUTU EKSPOR PADA PROSES
PEMBONGKARAN (TRANSIT)
Judul Skripsi :
Nama Mahasiswa : Nuzul Fadly
Nomor pokok : C34104049
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Ir. Wini Trilaksani, M.Sc Ir. Winarti Zahiruddin M.S
NIP. 131 578 851 NIP. 130 422 706
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc
NIP. 131 578 799
Tanggal lulus :
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
6/75
KATA PENGANTAR
Rasa syukur tiada henti penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala
limpahan nikmat, berkah, rahmat, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna
(Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu Ekspor pada Proses Pembongkaran
(Transit) ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan
skripsi ini, terutama kepada:
1. Ayah Muhammad Hasan dan ibu Siti Mulyana tercinta atas semua dukungan
dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang
selalu mengalir tanpa henti kepada penulis.
2. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ibu Ir. Winarti Zahiruddin M.S atas
bimbingan dan saran membangun yang telah diberikan dalam penulisan
skripsi ini.
3. Ibu Dr. Ir. Sri Purwaningsih M.Si dan Ibu Ir. Iriani Setyaningsih M.S atas
kritik dan saran yang telah diberikan.
4. Bapak Dr. Ir. Djoko Santoso, MS selaku pembimbing akademik atas
bimbingan dan dorongan semangatnya kepada penulis.
5. Bapak Ir Agoes M Jacoeb selaku komisi pendidikan THP atas kesabaran,
saran, dukungan yang telah diberikan pada penulis.
6. Kakakku Fahmi Muhammad dan adikku Iksanudin tercinta atas kasih sayang
yang diberikan serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis.
7. Bapak Redjani Kartoatmojo selaku kepala Laboratorium Pengolahan danPengujian Mutu Hasil Perikanan dan ibu Sri Hartati yang telah memberikan
izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
8. Karyawan LPPMHP : Mba Helma, mba Ayu, mas Adi, mas Kukuh,
mas Ucup, mas Pur, mas Paijo, pak Kur, bu Yuli, Rifa, Bella, dll.
9. Ardilla Prameswarie Rahardjo, S.Pi. Terimakasih untuk dukungan moral,
perhatian, cintakasih, senyuman, kebaikan dan kesabaran yang senantiasa
diberikan untuk penulis.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
7/75
10.Seluruh staf dosen dan TU THP (Pak Jamhuri, Pak Tatang, Pak Ade, Mba
Heni, Mas Mail, Bu Yati, Mas Zaki, Mas Ipul, dan Umi), terima kasih atas
dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis
11.Anang, Dani, Wisnu yang telah menjadi teman kostan terbaik.
12.Teman-teman seperjuangan penelitian dan diver: Dhias, Ima, Vera, Bayhaqi,
Boby, Ika, Bojong, Wie, dan Deslina.
13.Teman-teman THP 41: Eka, Estrid, Ika, Nia, Serel, Ulfah, Yanti, Amel, Enif,
Iis, Ranti, Tomi, Opick, Glory, Bojong, Sait, Yudha, Rijan, Andika dan
teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih atas
kebersamaan dan persahabatan yang luar biasa.
14.Anak-anak setia Lab Om-Benk (Erlangga, Anang, Anim, Yugha, Hangga,
Alif, Gilang, Bayhaqi, Windhyka, Tomi40).
15.Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan
skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
Penulis menyadari sangat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini,
untuk itu segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan guna
tercapainya hasil yang lebih baik lagi. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua
pihak.
Bogor, Januari 2009
Nuzul Fadly
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
8/75
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei
1986. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari
pasangan Bapak Muhammad Hasan dan Ibu Siti Mulyana.
Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1992 di
SDN Parung IV Bogor dan diselesaikan pada tahun 1998.
Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 6 Bogor
(1998-2001) dan SMA Negeri 5 Bogor (2001-2004). Pada tahun 2004, penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Program StudiTeknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Penulis aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil
Perikanan (HIMASILKAN), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan (BEM C), dan Fisheries Processing Club (FPC) dari 2006 hingga
2007, serta aktif dalam kegiatan kepanitiaan, diantaranya sebagai ketua acara
masa perkenalan Departemen Teknologi Hasil Perairan tahun 2007. Bidangakademik, penulis perkuat dengan menjadi asisten dosen mata kuliah Diversifikasi
Hasil Perikanan dan Teknologi Pengolahan Limbah Hasil Perikanan (2008).
Penulis juga aktif dalam penulisan karya ilmiah pada Pekan Ilmiah Mahasiswa
Nasional (PIMNAS) IXX di Universitas Muhamaddiyah Malang (2006).
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian yang berjudul
Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu
Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit) dibimbing oleh
Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
9/75
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................... x
1. PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................... 1
1.2. Tujuan ................................................................................ 4
2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 5
2.1. Ikan Tuna (Thunnus sp.) ................................................... 5
2.2. Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tuna .................................. 5
2.3. Kemunduran Mutu Ikan ..................................................... 72.3.1. Perubahan pre-rigor .................................................. 72.3.2. Perubahan rigor mortis ............................................. 82.3.3. Perubahan karena aktivitas enzim ............................ 92.3.4. Perubahan karena aktivitas bakteri ........................... 9
2.4. Penanganan Ikan ................................................................ 12
2.5. Histamin. ............................................................................ 13
2.6. Bakteri Pembentuk Histamin. ............................................ 16
2.7. Sanitasi dan Higiene ........................................................... 18
2.8. Risk Assessment.................................................................. 19
3. METODOLOGI ........................................................................ 22
3.1. Waktu dan Tempat ............................................................. 22
3.2. Alat dan Bahan ................................................................... 22
3.3. Jenis dan Sumber Data ....................................................... 22
3.4. Metode Penelitian .............................................................. 223.4.1. Tahapan pengamatan proses penanganan tuna
pasca tangkap sampai penerimaan bahan baku olehperusahaan ................................................................ 23
3.4.2. Tahap penilaian sanitasi, higiene dan kelayakandasar......................................................................... 23
3.4.3. Tahap evaluasi risiko histamin ................................. 23a)Hazard identification........................................... 24
b)Exposure assessment........................................... 25c)Hazard characterization...................................... 25
d)Risk characterization........................................... 25
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
10/75
a) Kadar histamin berbagai
kualitas mutu tuna ................................. 51b) Hasil pengujian kadar
histamin pada LPPMHP ....................... 53c) Jumlah kontaminasi
mikroorganisme berbagai mutu .......... 54
3.5. Pengujian sampel...................................... ........................... 263.5.1. Kadar histamin (SNI 01-2360-1991) ....................... 263.5.2. Uji total bakteri (Total Plate Count)
(SNI 01-2360-1991) ................................................. 273.5.3. Uji total bakteri penghasil histamin
(SNI 01-2360-1991) ................................................. 28
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 29
4.1. Tahapan Proses Penanganan Ikan Tuna di Tempat TransitPembongkaran ..................................................................... 29
4.2. Penilaian Sanitasi, Higiene, dan Kelayakan Dasar ............ 374.2.1. Penilaian kapal pembekuan selama proses
pembongkaran ......................................................... 38
4.2.2. Penilaian sanitasi dan higiene di tempatpendaratan/transit ikan ............................................. 41
4.2.3. Penilaian distribusi/pengangkutan ........................... 45
4.3. Penilaian Risiko Bahaya Histamin pada TahapPembongkaran, Transit, dan Distribusi ke Perusahaan ...... 474.3.1.Hazard identification ............................................... 474.3.2.Exposure assessment................................................ 50
4.3.2.1. Informasi kandungan histamin ikan tunahasil tangkapan .......................................... 50
1. Total plate count..................... 542. Bakteri penghasil histamin ..... 55
4.3.3.Hazard characterization .......................................... 594.3.4.Risk characterization ............................................... 60
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 645.1. Kesimpulan ........................................................................ 64
5.2. Saran .................................................................................. 64
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 65
LAMPIRAN........................................................................................ 69
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
11/75
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1. Karakteristik ikan segar secara organoleptik ................................. 7
2. Parameter tingkat kesegaran ikan berdasarkan karakteristiksensori ............................................................................................ 10
3. Kadar histamin pada setiap bagian tubuh ikan tuna ....................... 16
4. Dosis dalam tubuh histamin dari ikan tuna segar berbagaikualitas mutu .................................................................................. 59
5. Penilaian risiko bahaya histamin secara semi kuantitatif padatuna segar bagi penduduk Amerika Serikat ................................... 61
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
12/75
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1. Jenis-jenis ikan tuna ...................................................................... 6
2. Skema proses kemunduran mutu ikan .......................................... 11
3. Proses dekarboksilase histidin menjadi histamin ......................... 14
4. Perbedaan kandungan histamin pada bagian tubuh ikan tuna ..... 15
5. Skema risk assessment.................................................................. 24
6. Penanganan tuna segar dari proses pembongkaran sampai ekspor 30
7. Daging ikan tuna grade A ............................................................. 32
8. Daging ikan tuna grade B ............................................................. 33
9. Daging ikan tuna grade C ............................................................. 34
10. Daging ikan tuna grade D ............................................................. 34
11. Tahap penimbangan ikan tuna ...................................................... 36
12. Penyimpanan ikan tuna dalam bak dengan penambahan es.......... 36
13. Kondisi permukaan kapal pada saat pembongkaran ..................... 38
14. Palka penyimpanan ikan tuna hasil tangkapan ............................. 40
15. Papan peluncur yang dilengkapi dengan penutup ........................ 42
16. Contoh penyimpangan dalam proses pengangkutan ikan tuna .... . 43
17. Kondisi tempat transit ikan tuna.................................................. 44
18. Kandungan histamin berbagai tingkat mutu tuna ......................... 51
19. Grafik nilai tengah histamin tahun 2008 ...................................... 54
20. Histogram nilai log TPC dari ikan tuna dari berbagaikualitas mutu ............................................................................... 55
21. Histogram nilai log Nivens dari ikan tuna dari berbagai kualitasmutu ............................................................................................... 56
22. Koloni bakteri penghasil histamin ............................................... 57
23. Histogram nilai perbandingan log TPC dan log Nivens dariikan tuna ...................................................................................... 58
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
13/75
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Daftar penilaian higiene tempat pembongkaran (transit) ............. 69
2. Daftar penilaian distribusi/transportasi ......................................... 71
3. Data kandungan histamin ikan tuna berbagai kualitas mutu ........ 72
4. Contoh perhitungan kadar histamin .............................................. 72
5. Foto pengujian TPC ...................................................................... 74
6. Foto pengujian mikroba penghasil histamin ................................. 78
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
14/75
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produksi tuna Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2002
sebesar 148.439 ton hingga tahun 2005 mencapai 183.144 ton (dengan rataan
kenaikan produksi setiap tahun sebesar 7,44 %) (DKP 2007). Pengembangan
industri tuna di Indonesia sangat prospektif karena daerah penangkapan ikan
tersedia, pasar sudah terjalin serta didukung adanya program revitalisasi sektor
perikanan oleh pemerintah Indonesia.
Sejalan dengan meningkatnya produksi hasil tangkapan tuna, berkembang
pula industri pengolahan komoditas tersebut, terutama di lokasi-lokasi yang
merupakan sentra pendaratan tuna seperti Muara Baru Jakarta,
Pelabuhanratu Jawa Barat, Cilacap Jawa Tengah, Benoa Bali, dan
Bitung Sulawesi Utara. Industri pengolahan pada umumnya mengolah tuna
menjadi produk segar (dingin) dalam bentuk utuh disiangi (fresh whole gilled and
gutted), produk beku dalam bentuk utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted);
loin (frozen loin), steak (frozen steak) dan produk dalam kaleng (canned tuna)
(DKP 2005).
Ekspor hasil perikanan Indonesia ke Uni Eropa (termasuk Eropa Timur)
pada tahun 2007 sebesar 82.462.139 kg dengan nilai US$ 296.096.624, sedangkan
jumlah ekspor ke Amerika Serikat adalah sebesar 143.529.828 kg dengan nilai
US$ 804.116.902, namun untuk ekspor ikan tuna segar khususnya ke Eropa
mengalami penurunan akibat adanya penolakan . Penolakan ini disebabkan oleh
beberapa masalah, antara lain tingginya kadar histamin dan logam berat
(Anonim 2005).
Laporan FDA (Food and Drug Administration) tahun 2001-2005
menunjukkan adanya penolakan berbagai produk tuna Indonesia, karena kasus
histamin dan logam berat. Tahun 2004 dalam laporan Rapid Alert System for
Food and Feed (RASFF) UE, terdapat 39 kasus histamin pada ikan ekspor,
dengan 32 kasus terdapat pada tuna. RASFFmerupakan salah satu kontrol sistem
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
15/75
terhadap produk makanan dan perikanan yang masuk dan beredar di Uni Eropa.
Tuna Indonesia disebutkan dalam laporan tersebut mengandung timbal, karbon
monoksida dan histamin.
Tindak lanjut dari laporan tersebut Uni Eropa menerapkan UE
Commission Directive (CD) 236 tahun 2006 atau hambatan ekspor atas produk
perikanan Indonesia. Commission Directive 236 adalah aturan dari Uni Eropa
yang menyatakan bahwa terhadap setiap produk perikanan dari Indonesia harus
dilakukan pemeriksaan di pelabuhan masuk. Commission Directive 236 telah
menyebabkan tambahan biaya dan waktu tunggu bagi produk perikanan di
pelabuhan masuk di Uni Eropa (Poernomo 2008).
Adanya hambatan ekspor tuna dari Uni Eropa tersebut mendorong
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melaksanakan perbaikan manajemen
dan pengendalian mutu. Hasil Perbaikan manajemen mutu yang dilakukan DKP
menunjukkan penurunan drastis kasusRapid Alert System (RAS) yaitu dari 49
kasus pada tahun 2005, menurun menjadi 34 kasus pada tahun 2006 dan 17 kasus
pada tahun 2007. Indonesia dinilai berhasil namun tetap harus waspada dan
disiplin dalam memenuhi standar mutu yang telah ditentukan, terutama dalampengawasan terhadap seluruh prosedur penanganan ikan tuna, dimulai dari
penangkapan ikan, penanganan, pendaratan (pembongkaran dan transit) serta
distribusi, yang dapat memungkinkan terjadinya peningkatan kandungan histamin
(DKP 2008).Sejak tahun 1970, kasus keracunan histamin sudah banyak terjadi,
misalnya di Jepang, Amerika Serikat, Australia, New Zealand dan Inggris.
Keer et al. (2002) menyatakan bahwa histamin merupakan amin biogenik yang
dibentuk melalui reaksi dekarboksilasi asam amino histidin bebas pada saat fasepost mortem akibat aktivitas bakteri. Taylor (1983) menyatakan bahwa reaksi
dekarboksilasi disebabkan karena kontaminasi mikroorganisme pembentuk
histamin, sepertiMorganella morganii, Klebsiella pneumoniae, danHafnia alvei.
Kontaminasi dapat terjadi mulai dari kapal, pembongkaran, tempat pengolahan,
atau pada saat rantai distribusi sampai ke konsumen. Kontaminasi dan aktivitas
bakteri tersebut dapat dihambat jika ikan ditangani secara benar dengan
memperhatikan sanitasi lingkungan serta senantiasa menerapkan prinsip
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
16/75
penanganan dengan suhu rendah. Kontaminasi mikroba sangat mungkin terjadi
pada kondisi sanitasi yang buruk, karena kegiatan sanitasi yang dilakukan tidak
mencegah terjadinya kontak antara makanan dengan serangga atau kontaminan
lainnya dan biasanya berakhir dengan suatu masalah mikrobiologi.
Terkait dengan pemasaran ekspor, aspek mutu dan keamanan pangan
produk merupakan faktor penting yang harus diperhatikan. Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) dan Risk Analysis merupakan sistem dalam
penerapan konsep keamanan dan higiene bahan pangan sebagai upaya untuk
memenuhi persyaratan standar mutu keamanan pangan perdagangan International.
Pendekatan sistematik risk analysis telah digunakan oleh FAO dan WHO sejak
1955, ketika dilakukan evaluasi penggunaan bahan tambahan pada makanan.
Seiring bertambahnya waktu, terus terjadi perkembangan sistem keamanan
pangan. Pada awal 1960 diperkenalkan Good Manufacturing Practies (GMP),
tahun 1971 diperkenalkan sistem formal Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP) dan pada tahun 1995 dilakukan pengenalan formal quantitatif risk
analysis. Sistem risk analysis ini telah direkomendasikan oleh World Health
Organization (WHO) agar diterapkan di setiap negara dalam upaya pengawasan
mutu dan keamanan produk pangan, termasuk hasil perikanan. Amerika dan
Eropa telah menerapkan sistem risk analysis ini, pengawasan dilakukan oleh U.S.
Food and Drug Administration (FDA)danEurope Food Safety Authority (EFSA).Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor hasil perikanan seharusnya juga
menerapkan risk analysis ini, karena selain sebagai perlindungan konsumen akan
keamanan pangan, juga penting dalam sistem perdagangan Internasional.
Risk analysis terdiri dari tiga komponen utama, yaitu risk assessment, risk
management, dan risk comunication. Risk assessment terdiri dari karakteristikbahaya, asesmen paparan/dose respone, Hazard Characterization dan Risk
Characterization.
Hasil risk assesment ini sangat penting untuk diketahui, karena akan
digunakan dalam penentuan risk management. Risk management merupakan
pengembangan dan implementasi strategi, pelaksanaan keputusan manajemen,
monitoring serta peninjauan, sehingga diharapkan dapat menghasilkan kebijakan
atau keputusan perusahaan yang dapat mengontrol risiko histamin tersebut.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
17/75
Mengantisipasi permasalahan tuna mengenai risiko bahaya peningkatan histamin
yang begitu besar maka penelitian Asesmen risiko histamin ikan tuna
(Thunnus sp.) segar berbagai kualitas mutu ekspor selama proses pembongkaran
(transit) perlu dilakukan.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi risiko histamin dan analisis
mikrobiologi penghasil histamin serta melakukan penilaian Good Handling
Practice (GHP) selama proses pasca tangkap ikan (pembongkaran, transit) sampai
penerimaan bahan baku oleh perusahaan serta ingin membuktikan kebenaran isue
food safety peningkatan histamin ikan tuna di Indonesia.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
18/75
3. METODOLOGI
3.1.Waktu dan Tempat
Penelitian Asesmen risiko histamin ikan tuna (Thunnus sp.) segar berbagai
mutu ekspor pada proses pembongkaran (transit) dilakukan pada bulan
Agustus-November 2008, bertempat di Transit 20 (muara baru), PT X (Muara
Baru) dan Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan DKI
Jakarta, Pluit Jakarta Utara.
3.2.Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk analisis histamin adalah spektrofotometri, labu
erlenmeyer, gelas ukur, pisau, talenan, dan buret. Alat yang digunakan untuk
menghitung Total Plate Count (TPC) dan bakteri penghasil histamin adalah
cawan petri, bunsen, water bath, glass woll, autoklaf, dan inkubator.
Bahan yang digunakan untuk analisis histamin adalah daging ikan tuna,
metanol, aquadest, NaOH, HCL, OPT dan resin. Bahan yang digunakan untuk
menghitung Total Plate Count (TPC) dan bakteri penghasil histamin adalah
triptone, yeast extract, L-histidin.2HCL, NaCL, CaCO3, nutrient agar,
dan phenol red.
3.3.Jenis dan Sumber Data
Data yang diperoleh dan dianalisis terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dan observasi langsung di
lapangan, serta analisis kandungan histamin, Total Plate Count(TPC) dan bakteri
penghasil histamin di Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil
Perikanan (LPPMHP) DKI Jakarta. Data sekunder diperoleh dari hasil pengujianhistamin di LPPMHP dari bulan Juni September 2008, data konsumsi ikan tuna
di Amerika Serikat, serta spreadsheet perhitungan risiko dengan menggunakan
program risk ranger(Sumneret al. 2004).
3.4.Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pengamatan proses
penanganan tuna pasca penangkapan sampai penerimaan bahan baku oleh
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
19/75
perusahaan, tahap penilaian penanganan ikan tuna hasil tangkapan di kapal dan
tempat transit kapal serta tahap analisis risiko bahaya histamin.
3.4.1. Tahapan pengamatan proses penanganan tuna pasca tangkap sampaipenerimaan bahan baku oleh perusahaan
Proses penanganan tuna pasca tangkap sampai penerimaan bahan baku
oleh perusahaan diamati berdasarkan tahapannya. Tahapan tersebut dituangkan
dalam bentuk diagram alir proses penanganan tuna pasca tangkap sampai
penerimaan bahan baku oleh perusahaan. Tujuan dari tahapan pengamatan ini
adalah untuk mengetahui proses penanganan tuna dan menentukan tahap-tahap
yang memiliki peluang terjadinya risiko kontaminasi bakteri penghasil histidin
dekarboksilase, serta untuk menentukan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
peningkatan kadar histamin. Penentuan tersebut dilakukan dengan cara melihat
waktu, suhu, sanitasi dan higiene lingkungan serta aktivitas penanganan ikan.
3.4.2. Tahap Penilaian sanitasi, higiene dan kelayakan dasar
Tahap penilaian sanitasi, higiene (kapal) dan kelayakan dasar (transit dan
alat distribusi/transportasi). Penilaian kelayakan dilakukan dengan menggunakan
daftar penilaian unit pengolahan ikan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan tahun 2007 (KEP 011.P2HP. 2007)
(DKP 2007). Daftar penilaian sanitasi, higiene, dan kelayakan dasar (transit dan
alat distribusi) dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.
3.4.3 Tahap evaluasi risiko histamin
Evaluasi risiko bahaya histamin dalam penelitian ini menggunakan konsep
risk assessment. Risk assessment bahaya peningkatan kontaminasi mikroba dan
peningkatan kadar histamin dilakukan secara semi kuantitatif dengan cara melihat
hazard identification, hazard characterization, exposure assessment atau dose
response dan risk characterization dari bahaya peningkatan kontaminasi mikroba
dan peningkatan kadar histamin selama proses penerimaan bahan baku. Diagram
alur evaluasi risiko histamin dapat dilihat pada Gambar 4.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
20/75
Gambar 5. Skema risk assessment(Komisi Eropa 1997 diacu dalam Voysey dan Brown 2000)
a)Hazard identificationHazard identification merupakan proses pencarian dan identifikasi masalah
khususnya bahaya histamin. Dasar penetapan ini disebabkan adanya isu global
mengenai peningkatan kadar histamin selama proses penanganan mulai dari pasca
penangkapan, transit kapal sampai penerimaan di perusahaan (penerimaan bahan
baku). Proses Hazard identification meliputi identifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan histamin, peningkatan jumlah bakteri penghasil
histamin serta risiko histamin terhadap tubuh manusia. Identifikasi dilakukan
Pernyataan maksud
Hazard identificationIdentifikasi agen yang dapat
merugikan kesehatan
Exposure assessment
Evaluasi tingkat penyerapan
makanan yang mungkin terjadi
Hazard characterisation
Evaluasi sumber merugikan yang
berhubungan dengan bahaya yangterdapat dalam makanan. Termasukdose-responseassessment.
Risk characterisation
Pendugaan efek merugikan yangmungkin terdapat dalam populasi,termasuk adanya ketidakpastian
Laporan resmi
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
21/75
dengan studi literatur dari berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan
histamin dan bahayanya bagi tubuh serta faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan bakteri penghasil histamin.
b)Exposure assessment
Exposure assessment bertujuan untuk mengevaluasi level dari bahaya
histamin di berbagai tahap penanganan ikan pasca penangkapan sampai
penerimaan bahan baku, frekuensi, dan durasi dari konsumsi produk tersebut,
serta level mikroorganisme penghasil histamin yang terdapat pada tuna.
Informasi mengenai level kandungan bakteri total, bakteri penghasil
histamin dan kandungan histamin diperoleh dengan cara melakukan pengambilan
sampel ikan tuna pada proses penerimaan bahan baku untuk dianalisis kadar
histamine, total mikroba dan mikroba penghasil histamin di laboratorium.
Sampling dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada tanggal 16 September,
19 September dan 3 November 2008.
c)Hazard characterization
Hazard characterization merupakan evaluasi kualitatif atau kuantitatif
alami dari efek yang berhubungan dengan histamin dan agen mikrobiologi.
Komponen paling penting dari langkah hazard characterization adalah penetapan
dose respone. Dose respone merupakan kadar tertinggi histamin dan mikroba
yang terdapat pada bahan baku (ikan tuna) yang dapat menghasilkan histamin
sampai kadar yang menyebabkan keracunan dalam tubuh manusia. Hazard
characterization dan dose reponse dapat dilihat dari studi literatur mengenai
jumlah mikroba penghasil histamin dan bahaya histamin pada tubuh dan
dibandingkan dengan kandungan mikroba dan jumlah histamin hasil analisis yang
dilakukan di Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan DKI
Jakarta, Pluit, Jakarta Utara.
d)Risk characterization
Risk characterization merupakan perkiraan secara semi kuantitatif untuk
menentukan risiko histamin berdasarkan hazard identificationi, hazard
characterization dan exposure assessment. Hasil keluaran dari risk
characterization ini adalah risk estimate atau perkiraan risiko yang dapat timbul
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
22/75
dari peningkatan mikroba dan kandungan histamin yang dihasilkan jika masuk ke
dalam tubuh manusia. Penilaian risk estimate menggunakan program risk ranger.
3.5 Pengujian SampelAnalisis yang dilakukan meliputi kadar histamin, total plate countbahan
baku ikan tuna, serta uji total mikroba penghasil histamin.
3.5.1 Kadar histamin (SNI 01-2360-1991)
Tahap ekstraksi
Sampel ditimbang sebanyak 10 gram lalu ditambahkan dengan methanol
sebanyak 50 ml dan dihomogenkan dengan homogenizer(blender) kurang lebih
selama 1-2 menit. Setelah homogen maka sampel tersebut dipanaskan dalam
water bath pada suhu 60oC selama 15 menit, kemudian didinginkan pada suhu
ruang. Setelah dingin, sampel dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan
ditambahkan methanol sampai tanda tera dan dikocok agar homogen. Larutan
sampel kemudian disaring dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer.
Tahap clean up
Pertama-tama disiapkan kolom, kemudian ke dalam kolom tersebut
dimasukkan glass woll secukupnya (tingginya 1 cm), setelah itu dimasukkan resin
penukar ion ke dalam kolom sampai tingginya kurang lebih 8 cm (diusahakan
agar resin jangan sampai kering dengan cara dibilas menggunakan aquades karena
akan mempengaruhi daya kerja ion tersebut). Langkah terakhir adalah
melewatkan sampel ke dalam kolom sebanyak 1 ml dan ditampung hasilnya
dalam labu ukur 50 ml yang telah diberi 5 ml HCL 1 N.
Tahap pembentukan
Ke dalam masing-masing tabung reaksi dipipet sebanyak 10 ml HCL
0.1 N kemudian ditambahkan 5 ml sampel, 5 ml standar histamin (untuk larutan
sekunder) dan 5 ml HCL 0.1 (untuk blanko). Selanjutnya ditambahkan 3 ml
NaOH, setelah itu dihomogenkan dan dibiarkan selama 5 menit, kemudian
ditambahkan sebanyak 1 ml orto-ftalatdikarboksilaldehid (OPT), lalu
dihomogenkan dan didiamkan selama 4 menit. Sampel kemudian ditambahkan
3 ml H3PO43 5,7 N dan dihomogenkan, setelah selesai sampel siap untuk dibaca
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
23/75
dengan spektrofotoflourometer dengan eksitasi pada 350 nm dan pengukuran
flourescence pada 444 nm.
Perhitungan kadar histamin (ppm):
Histamin (mg/Kg) =
Keterangan : IU = Absorban sampelA dan B = Koefisien regresi linierFp = Faktor pengenceran
3.5.2
Uji total bakteri (Total Plate Count) (SNI 01-2360-1991)Pertama-tama ditimbang sampel sebanyak 25 gram secara aseptik,
kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah disterilkan, setelah
itu ditambahkan sebanyak 225 ml larutan garam 0.85%.
Pembuatan larutan contoh dengan cara mencampurkan 25 gram sampel
dan dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 ml larutan garam 0,85 % steril,
kemudian dihancurkan hingga larutan homogen, dari campuran tersebut diambil 1
ml dan dimasukan dalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85 % steril sehingga
diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, kemudian dikocok agar homogen.
Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya
hingga pengenceran 10-5. Sebanyak 1 ml larutan contoh dari pengenceran 10 -2
sampai 10-5 dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan
menggunakan pipet steril. Media nutrient agar (dengan suhu ruang, + 30.5oC)
dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 0.5 ml dan digoyangkan sampai
permukaan agar merata dan didiamkan beberapa saat hingga mengeras. Cawan
petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator
dengan posisi terbalik. Suhu inkubator yang digunakan adalah sekitar 32oC dan
diinkubasi selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung
jumlah koloni yang terbentuk di dalam cawan petri. Seluruh pekerjaan dilakukan
secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan
pengamatan secara duplo untuk meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri
yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300
koloni.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
24/75
3.5.3 Uji total bakteri penghasil histamin (SNI 01-2360-1991)
Prinsip dari metode ini adalah Enterobactericeae akan merubah histidin
menjadi histamin melalui proses dekarboksil yang akan menaikkan pH dan
mengakibatkan perubahan warna pada media.
Larutan niven agar disiapkan dengan cara mencampurkan semua bahan,
yaitu 0,1 % trypton, 0,2 % yeast ekstrak, 0,1 % L-histidin, 0,1 % CaCO3, 2 %
NaCl, 2,5 % agar, 0,01 % phenol red, kemudian dimasukkan ke dalam labu
erlenmeyer dan diencerkan dengan aquades kemudian dipanaskan hingga
mendidih dan diatur pH 6-6,1 lalu disterilisasi pada suhu 121oC selama 2 jam.
Sampel diencerkan sampai 105. Sebanyak 1 ml larutan sampel dari setiap
pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri, lalu niven agar cair (dengan suhu
ruang, + 30.5oC) dituangkan keatasnya, ditunggu sampai membeku kemudian
diinkubasi pada suhu 35oC selama 2-3 hari. Dihitung jumlah koloni merah muda
dengan latar belakang kuning dan orange.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
25/75
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Tahapan Proses Penanganan Ikan Tuna di Tempat Transit
Pembongkaran
Penanganan ikan tuna setelah penangkapan atau pascapanen memegang
peranan sangat penting dalam memperoleh nilai jual ikan yang maksimal. Salah
satu faktor yang menentukan nilai jual ikan tuna adalah tingkat kesegaran.
Semakin segar ikan sampai ke tangan pembeli atau konsumen maka harga jual
ikan akan semakin tinggi. Kesegaran ikan tuna dapat dilihat dari penampakan,
bau, warna daging, serta teksturnya. Pada dasarnya, untuk mendapatkan ikan yang
memenuhi tujuan ekspor diperlukan penanganan yang baik saat operasi
penangkapan, pembongkaran (penanganan di pelabuhan), serta proses
transportasinya.
Penanganan saat operasi penangkapan merupakan penanganan awal.
Batasan penanganan ini adalah sejak ikan tertangkap sampai didaratkan di
pelabuhan. Perlakuan ikan tuna saat penanganan diharapkan tidak menimbulkan
kerusakan fisik, perubahan komposisi kimia dan mikrobiologi sehingga dapat
memperlambat proses pembusukan. Penanganan ikan yang baik sangat diperlukandalam upaya menjaga kualitas serta kesegaran ikan yang diperoleh.
Penanganan saat di pelabuhan (pembongkaran dan transit) merupakan
penanganan lanjutan setelah ikan tiba di pelabuhan. Batasan penanganan ini
adalah ikan sejak didaratkan sampai didistribusikan, baik untuk keperluan ekspor
maupun pemenuhan kebutuhan lokal. Penanganan ikan pada saat pembongkaran
dan pemindahan ke tempat transit dilakukan secara hati-hati, bersih, cepat dan
dingin. Hal ini mengingat ikan merupakan produk yang mudah dan cepat
membusuk jika tidak ditangani secara benar.
Penanganan tuna segar dari proses pembongkaran sampai ekspor dapat
dilihat pada Gambar 6.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
26/75
Gambar 6. Penanganan tuna segar dari proses pembongkaran sampai ekspor
Keterangan : = Awal proses dan proses akhir= Tahapan proses
Tahapan proses penanganan ikan tuna yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Pembongkaran ikan tuna
Ikan tuna yang didaratkan pada lokasi transit 20 adalah ikan tuna jenis
yellowfin tuna (Thunnus albacares) dan big eye tuna (Thunnus obessus). Ikan
tuna didaratkan dalam bentuk ikan utuh yang sudah disiangi isi perut dan
insangnya dengan menggunakan kapal berkapasitas sampai dengan 80
gross ton (GT). Daerah penangkapan ikan tuna meliputi perairan Samudra
Indonesia, pantai utara Jawa, dan perairan selatan Jawa hingga mencapai
Pengujian laboratorium
Pemindahan ke transit
Sortasi (seleksi)
Pembersihan sisa isi perut dan bagian insang
Pencucian
Penimbangan dan pencatatan
Penyimpanan dalam bak berisi es
Transportasi ke perusahaan
Pengirimanekspor
Pembongkaranikan tuna
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
27/75
wilayah Sulawesi. Kapal penangkap tuna yang digunakan sudah dilengkapi
dengan sistem pendingin refrigerated sea water (RSW). Waktu yang
digunakan untuk melaut adalah 25 hari sampai dengan 6 bulan. Jumlah ikan
yang berhasil didaratkan setiap kali operasi mencapai 100-600 ekor ikan tuna.
Kualitas ikan tuna dapat dipertahankan apabila penanganan yang
diterapkan di atas kapal dilakukan dengan hati-hati, bersih, cepat dan dingin.
Ikan tuna yang didaratkan dalam keadaan dingin, dengan maksimal suhu ikan
adalah 2oC (pengukuran menggunakan thermo cople).
2) Pembongkaran
Pembongkaran ikan dari palka kapal dilakukan setelah kapal merapat ke
tempat pembongkaran. Proses pembongkaranfresh tuna dilakukan pada pagi
hari sekitar jam 09.00 WIB sampai dengan 14.00 WIB. Pembongkaran ikan
tuna dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan alat katrol dan tali
tambang. Proses pengangkatan ikan satu persatu dari palka kapal dan
dipindahkan ke bagian geladak, kemudian ikan disemprot dengan air bersih.
3) Pemindahan ikan tuna ke transit
Ikan tuna yang sudah dibongkar dipindahkan ke tempat transit yang
telah tersedia. Lokasi pendaratan ikan tuna di Muara Baru berjumlah 28
transit. Proses pemindahan ikan diperlukan fasilitas khusus, yaitu atap plastik
dan papan peluncur. Fasilitas ini untuk melindungi ikan agar tidak terkena
sinar matahari langsung, karena jarak kapal yang bersandar di dermaga
dengan tempat transit cukup jauh, yaitu + 100 meter. Ikan yang sudah
dikeluarkan dari palka diangkat ke geladak, diangkut satu persatu ke papan
peluncur. Penarikan dilakukan oleh dua orang, satu orang bertugas menarik
ikan ke papan peluncur dan satu orang lagi mendorong ikan masuk ke dalam
ruangan transit.
4) Sortasi (seleksi)
Sortasi ikan ditujukan untuk mengklasifikasi ikan tuna segar yang
memenuhi persyaratan kualitas ekspor. Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan perbedaan tersebut adalah adanya perbedaan waktu kematian,
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
28/75
cara kematian, cara penanganan, sanitasi, lama melaut serta penerapan rantai
dingin.
Proses sortasi dilakukan secara organoleptik (penampakan, kulit, mata,
tekstur dan kekenyalan daging, serta warna daging). Penilaian organoleptik
tekstur, kekenyalan, serta warna, dilakukan terhadap sampel daging ikan yang
diambil dari bagian ekor dan belakang sirip ventral, hal ini dimaksudkan agar
tidak terjadi kerusakan fisik terhadap ikan tuna yang akan di ekspor.
Kualitas mutu ikan tuna pada tempat transit dibedakan menjadi
empat kategori, yaitu grade/kualitas A, B, C, dan D. Kegiatan sortasi
dilakukan oleh seorang pemeriksa (checker) dengan menggunakan alat coring
tube yaitu semacam alat yang berbentuk batang, tajam dan terbuat dari besi.
Pengambilan sampel dilakukan pada kedua sisi ikan (bagian belakang sirip
atau ekor kanan dan kiri) dengan cara menusukan coring tube ke tubuh ikan,
sehingga didapatkan potongan daging ikan tuna. Perbedaan klasifikasi mutu
daging ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 7, 8, 9, dan 10.
1) Mutu I (A)
Gambar 7. Daging ikan tuna grade A hasil checker
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
29/75
Ciri-ciri ikan tuna grade A adalah sebagai berikut:
Warna daging untukyellowfin tuna adalah merah, seperti darah segar
atau buah semangka, sedangkan bigeye tuna merahnya seperti bunga
mawar yang berwarna merah tua, pelangi (ya ke) tidak ada
Mata bersih, terang, dan menonjol
Kulit normal, warna bersih, dan cerah
Tekstur daging keras, kenyal dan elastis (yellow fin) sedangkan
bigeye tekstur dagingnya lembut kenyal, dan elastis
Kondisi ikan (penampakannya) bagus atau utuh
2) Mutu II (B)
Gambar 8. Daging Ikan tuna grade B hasil checker
Ciri-ciri ikan tuna grade B adalah sebagai berikut:
Warna daging merah, terdapat pelangi (ya ke), otot daging agak
elastis, jaringan daging tidak pecah
Mata bersih, terang dan menonjol
Kulit normal, bersih, sedikit lendir
Tidak ada kerusakan fisik (utuh)
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
30/75
3) Mutu III (C)
Gambar 9. Daging ikan tuna grade C hasil checker
Ciri-ciri ikan tuna grade C adalah sebagai berikut:
Warna daging kurang merah, ada pelangi (ya ke)
Kulit normal dan berlendir
Otot daging kurang elastis
Kondisi ikan tidak utuh atau cacat, biasanya pada bagian
punggung/dada
4) Mutu IV (D)
Gambar 10. Daging ikan tuna grade D hasil checker
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
31/75
Ciri-ciri ikan tuna grade D adalah sebagai berikut :
Warna daging agak kurang merah dan cenderung berwarna coklat
dan pudar
Otot daging kurang elastis, lemak sedikit dan ada pelangi (ya ke)
Teksturnya lunak, jaringan daging pecah
Terjadi kerusakan fisik pada tubuh ikan (seperti: daging ikan yang
sudah sobek, mata ikan hilang dan kulit terkelupas)
Ikan tuna yang memiliki kualitas mutu A dan B akan langsung di
ekspor dalam bentuk utuh dan fresh (tidak dibekukan terlebih dahulu),
sedangkan ikan dengan kualitas mutu C dan D akan diolah terlebih dahulusebelum diekspor. Produk olahan tuna kualitas C dan D berupa produk beku
dalam bentuk utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted), loin (frozen
loin), steak (frozen steak), tuna saku dan produk tuna kaleng (canned tuna).
Negara tujuan ekspor produk fresh tuna adalah Jepang dan Uni Eropa,
sedangkan untuk produk olahan tuna adalah Amerika Serikat.
5) Tranportasi ikan ke perusahaan
Ikan yang telah disortasi kemudian diangkut menuju perusahaan untuk
diproses lebih lanjut (pembentukan loin, saku, dan lain-lain). Hanya ikan-ikan
yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan oleh perusahaan X yang akan dibeli
yaitu ikan dengan grade B dan C. Ikan kemudian dimasukkan dalam truk
berinsulasi dan langsung dibawa menuju perusahaan.
6) Pembersihan sisa isi perut, bagian insang dan pencucian
Ikan tuna yang memenuhi kualitas ekspor diproses selanjutnya dengan
membersihkan sisa bagian isi perut dan insang. Pembuangan isi perut dan
insang akan menyebabkan ikan kotor karena darah, oleh karena itu untuk
menghilangkannya perlu dilakukan proses pencucian. Proses pencucian ini
dilakukan dengan menyemprotkan air secukupnya menggunakan selang
hingga ikan bersih dari kotoran dan sisa darah yang masih menempel.
7) Penimbangan dan pencatatan
Tahap selanjutnya adalah penimbangan dan pencatatan. Penimbangan
dilakukan dengan melihat bobot, jenis dan kualitas ikan tuna. Ikan tuna
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
32/75
ditimbang dan dicatat beratnya sebagai laporan perusahaan. Tahapan
penimbangan ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Tahap penimbangan ikan tuna
8) Penyimpanan dalam bak es
Penyimpanan ikan tuna dilakukan sebelum proses pengiriman (ekspor).
Tujuannya adalah menjaga agar suhu tubuh ikan tuna tidak naik.
Penyimpanan dilakukan dengan menyusun ikan tuna dalam wadah atau bak
penampung yang besar yang telah berisi es dengan suhu 2 oC. Ikan tuna
disimpan berdasarkan kualitas dan jenis ikan tuna. Penyimpanan ikan tuna
dalam bak es dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Penyimpanan ikan tuna dalam bak dengan penambahan es
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
33/75
9) Pengujian laboratorium
Pengujian secara kimia dan mikrobiologi dilakukan untuk mengetahui
apakah ikan tuna yang akan diekspor sudah memenuhi persyaratan yang
ditetapkan. Pengujian ini dilakukan oleh Laboratorium Pengolahan dan
Pengujian Mutu Hasil Perikanan DKI Jakarta, Pluit Jakarta Utara. Pengujian
yang dilakukan adalah uji kimia (uji histamin, TVB, kandungan logam berat)
dan mikrobiologis (total Plate Count/TPC). Sampel ikan tuna yang telah
lolos pengujian dan telah dinyatakan memenuhi persyaratan ekspor akan
mendapatkan Sertifikat mutu Ekspor (SME). Hasil pengujian sampel
memerlukan waktu minimal dua hari setelah sampel pertama kali diambil.
10) Pengemasan
Ikan tuna yang telah memenuhi hasil pengujiannya telah memenuhi
persyaratan laboratorium, selanjutnya dikemas. Produk tuna segar
dikeluarkan dari wadah/bak penyimpanan, lalu dikeringkan sebelum dikemas.
Proses pengeringan ini menggunakan busa/spons sehingga menghasilkan ikan
yang bersih dan kering.
Bahan pengemasan yang digunakan sesuai dengan SNI kemasan untuk
produk ikan segar (fresh fish) khusus melalui sarana angkutan udara yaitu
SNI 19-4858-1998 yang telah dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional,
kemasan yang digunakan adalah kemasan tipe III dan V. Kemasan tipe III
mempunyai ukuran 750x420x400 mm, kemasan ini digunakan untuk ikan
berukuran besar (satu kemasan hanya untuk 1 ekor ikan dengan batas
maksimal 35 kg). Kemasan tipe V dengan ukuran 1200x420x400 mm.
Kemasan ini digunakan untuk ikan yang berukuran sedang, yaitu satu
kemasan biasanya berisi 2-3 ekor ikan, dengan batas maksimal 80 kg
kedalam kemasan dimasukan beberapa potong es kering, agar suhu dalam
kemasan tetap rendah selama pengiriman.
4.2. Penilaian Sanitasi, Higiene dan Kelayakan Dasar
Penilaian sanitasi, higiene serta kelayakan dasar dilakukan terhadap tiga
tempat, yaitu penilaian terhadap kapal pembekuan selama proses pembongkaran,
tempat pendaratan/pembongkaran ikan, serta selama distribusi/transportasi. Dasar
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
34/75
hukum penilaian adalah keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor :
KEP.01/MEN/2007, tentang persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil
perikanan pada proses produksi, pengolahan, dan distribusi (DKP 2007).
4.2.1 Penilaian sanitasi selama proses pembongkaran
Penilaian dilakukan terhadap kapal penangkapan KM Jimmy Wijaya.
Kapal tersebut merupakan salah satu unit operasional kapal penangkapan yang
mendistribusikan ikan tuna pada tempat transit 20.
1)Kondisi sanitasi tempat penerimaan ikan
Kapal sudah memiliki luas yang cukup untuk penanganan ikan (lebar
geladak kapal 5-6 meter), terdapat terpal yang menutupi bagian atas kapal padasaat proses pembongkaran dilakukan, akan tetapi kondisi sanitasi kapal dalam
keadaan kurang baik, yaitu ikan diletakkan pada lantai yang tidak kedap air
(maksimal dilakukan selama 10 menit), kondisi ini dapat memungkinkan
terjadinya kontaminasi ikan tuna hasil tangkapan selama dalam proses
pembongkaran. Kondisi lantai kapal pada saat pembongkaran dapat dilihat pada
Gambar 13.
Kapal penangkapan harus memiliki tempat penerimaan ikan dalam kondisi
yang baik/bersih, memiliki luas yang cukup untuk penanganan ikan, terlindung
dari lingkungan dan potensi kontaminasi, memiliki permukaan kapal yang mudah
dibersihkan, tersedia air bersih, serta memiliki saluran pembuangan air yang
memadai (DKP 2007).
.
Gambar 13. Kondisi permukaan kapal pada saat pembongkaran
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
35/75
2)Alat pengangkutan ikan dan kondisi lingkungan kerja
Kondisi kapal tidak memiliki sarana pencucian tangan berupa kran yang
dioperasikan tidak dengan tangan (contoh: bisa dioperasikan dengan kaki),
biasanya awak kapal atau pekerja menggunakan air langsung dari selang untuk
mencuci tangan, terkadang tidak mencuci tangan dengan menggunakan sabun.
Kondisi ini tidak sesuai dengan persyaratan atau standar yang dikeluarkan oleh
DKP.
Alat pengangkutan ikan dijaga agar tetap dalam kondisi higienis dan
melindungi ikan secara keseluruhan. Kondisi lingkungan kerja harus dalam
keadaan bersih sehingga mencegah terjadinya kontaminasi silang, bahan lantai
tidak licin/kedap air dan mudah dibersihkan serta memiliki saluran pembuangan
air yang efisien. Harus tersedia sarana pencucian tangan dan disinfektan (kran
tidak dioperasikan dengan tangan, pengering sekali pakai, menggunakan
sabun/desinfektan) (DKP 2007).
3) Bahan dan wadah pendinginan/penyimpanan beku
Proses penanganan ikan di kapal sudah memanfaatkan wadah yang hanya
digunakan untuk menyimpan ikan tuna hasil tangkapan. Penyimpanan ikan tuna
dilakukan dalam palka kapal. Hal ini sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan
DKP.
Wadah penyimpanan hanya digunakan untuk menyimpan ikan, mudah
dibersihkan dan cukup memadai, masing-masing produk disimpan terpisah, serta
bahan pengemas disimpan dalam ruangan terpisah (jika langsung dilakukan
pengemasan hasil tangkapan) (DKP 2007). Palka penyimpanan ikan tuna hasil
tangkapan dapat dilihat pada Gambar 14.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
36/75
Gambar 14. Palka penyimpanan ikan tuna hasil tangkapan
4) Ruang ganti dan toilet
Letak toilet di kapal terpisah dengan area kerja, namun tidak dilengkapi
dengan sarana pembilas/pembuangan otomatis. Hal ini akan mempengaruhi
sanitasi toilet dan higiene pekerja kapal yang menggunakannya. Awak/pekerja
kapal biasanya langsung membuang kotoran toilet ke laut.
Persyaratan toilet yang baik adalah tidak berhubungan langsung dengan
area kerja. Toilet dilengkapi dengan sarana pembilas/pembuangan otomatis,
tersedia sabun dan desinfektan, serta memiiki kran untuk pencucian tangan yang
tidak dioperasikan dengan tangan (DKP 2007).
5) Higiene peralatan
Ikan diangkat dari wadah penyimpanan untuk dinaikan ke bagian geladak
kapal. Kondisi katrol masih dalam keadaan cukup baik dan layak digunakan,
namun beberapa alat penangkapan yang digunakan kurang dirawat dan dijaga
kebersihannya, sehingga banyak yang sudah berkarat.
Alat harus dijaga kebersihannya dan dirawat dengan baik, hal ini bertujuan
untuk mencegah kontaminasi silang pada produk melalui peralatan yang
digunakan. Pembongkaran ikan dilakukan dengan menggunakan sistem katrol.
6) Higiene pekerja
Sanitasi kapal dan higiene pekerja kapal pada saat proses pembongkaran
dalam keadaan yang buruk. Terlihat dari kondisi lantai yang digunakan untuk
meletakan ikan dalam keadaan kotor serta kondisi pekerja kapal jauh dari higienis.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
37/75
Masih ada pekerja yang tidak menggunakan sepatu boat pada saat melakukan
proses pembongkaran, tidak ada yang memakai penutup kepala, serta masih ada
pekerja yang merokok di kapal pada saat proses pembongkaran ikan tuna. Higiene
pekerja harus benar-benar diperhatikan. Hal ini dimaksudkan agar pekerja yang
menangani produk tidak menjadi sumber kontaminasi.
Persyaratan bagi pekerja yaitu harus menggunakan pakaian kerja yang
lengkap dan bersih, rambut harus ditutup dengan penutup kepala yang rapat,
bersih dan dalam kondisi yang baik, tangan dicuci setiap kali akan memulai kerja,
serta pekerja dilarang merokok, meludah dan makan di area penyimpanan serta
harus dilengkapi rambu-rambu tanda larangan tersebut (DKP 2007).
4.2.2. Penilaian sanitasi dan higiene di tempat pendaratan/transit ikan
Penilaian dilakukan di tempat yang menjadi penampung ikan tuna PT X,
yaitu Transit 20. Berikut merupakan penilaian tempat pembongkaran transit
tempat penelitian (transit 20).
1) Perlindungan terhadap produk
Selama proses pembongkaran dari palka di kapal dan selama
pengangkutan dari kapal ke dalam transit 20, ikan terlindung dari kondisi cuaca
(sinar matahari dan lainya), hal ini diupayakan agar ikan selalu terlindung dari
sengatan matahari yang dapat menyebabkan kenaikan suhu ikan sehingga
menurunkan kualitasnya. Bagian atas palka kapal dilengkapi penutup dari terpal
atau plastik untuk melindungi tempat pembongkaran tersebut, sedangkan
sepanjang papan peluncur digunakan penutup semacam tenda seperti yang terlihat
pada Gambar 14.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
38/75
Gambar 15. Papan peluncur yang dilengkapi dengan penutup
Selama penanganan ikan tuna di kapal terdapat penyimpangan mayor, dan
penyimpangan serius. Penyimpangan mayor terdapat pada aspek perlindungan
terhadap produk ini, yaitu tidak ada perlindungan ikan pada saat pembongkaran
dikapal dari debu dan gas dari mesin , hal ini penting karena debu dan gas dapat
mengkontaminasi ikan. Hal ini juga diperburuk oleh banyaknya asap dari mobil
yang digunakan untuk membawa ikan hasil tangkapan ke perusahaan.
Penyimpangan minor terjadi pada area perlindungan terhadap produk,
karena tidak diberi pagar dengan sistem pengunci. Penguncian dimaksudkan
untuk mencegah masuknya orang yang tidak berkepentingan, serta mencegah
terdapatnya binatang di dalam area transit. Hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya kontaminasi silang terhadap produk ikan tuna yang didaratkan.
Penyimpangan serius terjadi pada saat pengangkutan ikan dari kapal
menuju tempat transit menggunakan papan peluncur, yaitu membiarkan selamabeberapa waktu ikan terkena sinar matahari secara langsung sekitar 3-5 menit, hal
ini sangat berbahaya karena dapat meningkatkan suhu tubuh ikan (2-3oC).
Peningkatan suhu tubuh sangat berpeluang untuk mengaktifkan enzim autolisis
serta mikroorganisme yang telah diinaktifkan melalui proses pendinginan.
Penyimpangan selama proses pengangkutan dapat dilihat pada Gambar 16.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
39/75
Gambar 16. Contoh penyimpangan dalam proses pengangkutan ikan tuna
2) Konstruksi dan kondisi bangunan
Kontruksi dan kondisi bangunan tempat transit ikan sudah cukup baik.
Bangunan mudah dibersihkan dan terbuat dari bahan yang kedap air, mempunyai
permukaan yang halus serta dirawat dengan baik.
Sanitasi ruangan tempat transit ikan kurang baik walaupun lantainya
terbuat dari bahan yang kedap air. Hal ini terlihat dari adanya genangan air yang
cukup banyak. Genangan air ini karena adanya sisa-sisa penyemprotan ikan untuk
membersihkan darah dan kotoran pada ikan yang baru datang. Genangan tersebut
merupakan sumber kontaminan mikroorganisme dari campuran air yang terdapat
dalam darah dan kotoran, seharusnya dilakukan pembersihan genangan air yang
terbentuk setiap kali proses pencucian dilakukan. Kondisi tempat transit dapat
dilihat pada Gambar 17.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
40/75
Gambar 17. Kondisi tempat transit ikan tuna
3) Es
Selama proses penanganan ikan tersedia es dalam jumlah yang cukup. Es
diproduksi oleh perusahaan sendiri. Es yang digunakan adalah es curah.
Penggunaan es sangat penting karena berfungsi menjaga stabilitas suhu ikan
sehingga kualitas ikan tetap terjaga.
4)Penanganan limbah
Terdapat saluran air pembuangan limbah pada transit 20. Limbah berupa
air hasil pencucian yang dilakukan terhadap ikan. Limbah pembuangan juga dapat
berasal dari pembuangan daging ikan yang diambil oleh checkeruntuk penentuan
kualitas mutu ikan yang didaratkan.
Pada aspek penanganan limbah terjadi penyimpangan minor, yaitu tidak
tersedianya wadah limbah yang diberi tutup. Penggunaan tutup wadah limbah
dimaksudkan untuk mencegah datangnya serangga ke area transit ikan.
5) Toilet dan tempat cuci tangan
Hasil penilaian, menunjukkan bahwa telah terjadi dua penyimpangan
minor, satu penyimpangan mayor dan dua penyimpangan serius. Penilaian
dilakukan untuk mengetahui kelayakan tempat pendaratan/transit ikan.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
41/75
Penyimpangan serius terjadi pada aspek penilaian toilet dan tempat cuci
tangan. Jumlah toilet dan tempat cuci tangan tidak cukup dan terkadang tidak
dilengkapi dengan sabun dan pengering sekali pakai (tissue). Sabun berfungsi
sebagai desinfektan untuk membersihkan kotoran. Berdasarkan hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa tempat pendaratan/transit 20 termasuk ke dalam
grade/nilai B (kriteria B didapat dari hasil penilaian kelayakan dasar dengan
maksimal terjadi dua pelanggaran serius). Grade B adalah tingkat sertifikat
menengah, dengan persyaratan maksimal terdapat dua kriteria penyimpangan
serius. Suatu perusahaan unit pengolahan dengan grade B dapat melakukan
ekspor ke negara yang menerapkan HACCP, kecuali ke Uni Eropa.
4.2.3. Penilaian distribusi/pengangkutan
Ikan grade C dan D dari tempat transit dibawa ke PT. X dengan
menggunakan truk pengangkut. Penilaian kondisi sanitasi yang berhubungan
dengan kontruksi dan pelaksanaan higiene di truk pengangkut yang digunakan
untuk membawa ikan ke PT. X sebagai berikut:
a)Tempat ikan, boks atau lori yang tertutup
Tempat ikan, boks atau lori yang tertutup pada truk pengangkut PT. X
sudah memenuhi persyaratan, yaitu mudah dibersihkan (karena terbuat dari fiber
glass), higienis dan layak digunakan serta mudah dirawat. Berbagai
penyimpangan yang teridentifikasi, yaitu truk tidak dilengkapi dengan saluran
pembuangan air, serta keadaannya kurang bersih (banyak sisa kotoran dan lelehan
es dari ikan yang diangkut). Hal ini sangat memungkinkan untuk terjadinya
kontaminasi bakteri dari kotoran tersebut. Seharusnya setelah boks digunakan
untuk mengangkut ikan pertama kali langsung dibersihkan, disemprot dengan air
bersih, didesinfeksi sebelum perlengkapan tersebut digunakan kembali.
b)Truk berpendingin
Truk yang digunakan oleh PT. X tidak memenuhi persyaratan, karena truk
yang dipakai tidak dilengkapi dengan alat pendingin. Kondisi ini sangat
merugikan karena dapat meningkatkan suhu ikan yang dibawa sehingga
memungkinkan terjadinya aktifitas bakteri pembusuk dan peningkatan kandungan
histamin pada ikan. Perjalanan selama pengangkutan ke perusahaan dilakukan
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
42/75
selama 5-10 menit. Truk yang digunakan untuk mengangkut ikan hasil tangkapan
ke perusahaan seharusnya memiliki sistem pendingin. Sistem pendingin tersebut
mampu mencapai suhu -18oC dan suhunya tercatat serta mudah untuk dibaca dari
luar.
c)Proses memuat dan membongkar
Proses memuat dan membongkar ikan harus dilakukan secara cepat dan
higienis. Hal ini dimaksudkan agar mencegah terjadinya kontaminasi
mikroorganisme penyebab penyakit dan meminimalkan pertumbuhan
mikroorganisme penyebab kebusukan. Karyawan PT. X sudah melakukan proses
memuat dan membongkar ikan secara cepat. Ikan ditimbang dan langsung
dimasukkan ke dalam truk pengangkut, segera setelah tempat penyimpanan di
dalam truk penuh, ikan langsung dibawa ke pabrik. Waktu yang diperlukan untuk
membawa ikan dari tempat transit menuju pabrik adalah + 5 menit. Proses ini
kurang dilakukan secara higienis pada situasi saat memuat dan membongkar ikan.
Banyak pekerja yang menggunakan peralatan dalam keadaan kotor seperti pakaian
dan sepatu bot serta keadaan pekerja yang kurang bersih, selain itu ada beberapa
tindakan pekerja yang merokok pada waktu melakukan pekerjaan, keadaan ini
lebih lanjut dapat mengurangi tingkat kualitas ikan tuna.
d)Pengendalian sanitasi dan hygiene
Penyimpangan pada proses memuat dan membongkar yang dilakukan
oleh pekerja PT. X, yaitu lori pengangkut tidak selalu dibersihkan setelah
digunakan, serta tidak adanya pengawasan kesehatan dan kebersihan karyawan,
serta tidak adanya pemeriksaan medical check up secara berkala.
Sanitasi sangat berkaitan dengan kondisi lingkungan truk pengangkut,
sedangkan higiene berkaitan dengan kondisi para pekerja dalam melakukan proses
memuat dan mengangkut ikan. Sanitasi dan higiene yang buruk tidak mampu
untuk menghindari terjadinya kontak makanan dengan serangga atau kontaminan
lainnya. Kontaminan tersebut akan menyebabkan semakin banyak peluang
masuknya mikroba dalam ikan.
Pengendalian sanitasi dan higiene yang harus dilakukan pada proses
memuat dan membongkar ikan dalam truk pengangkut, antara lain: pembersihan
lori sebelum dan sesudah digunakan, pembersihan kendaraan secara berkala, oli
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
43/75
dan bahan bakar ditempatkan terpisah dari ikan, pengawasan kesehatan dan
kebersihan karyawan, melakukan medical check up yang dijadwalkan, melakukan
kebersihan secara umum, serta pengendalian suhu.
Berdasarkan penilaian tersebut, dapat diketahui bahwa truk/mobil
pengangkut yang dipakai tidak layak untuk digunakan, sehingga harus dilakukan
perbaikan (terutama sistem pendingin pada truk/mobil).
4.3. Penilaian Risiko Bahaya Histamin pada Tahapan Pembongkaran,
Transit dan Distribusi ke Perusahaan yang Berisiko Terhadap
Peningkatan Kadar Histamin
Histamin dapat berkembang jika penanganan tidak dilakukan secara hati-
hati, dingin dan cepat. Perkiraan efek atau bahaya histamin ikan tuna yang timbul
selama proses pembongkaran, transit dan transportasi ke perusahaan dapat
dilakukan dengan menggunakan risk assessment yaitu dengan melihat hazard
identification, exposure assessment, hazard characterization, dan risk
characterization.
4.3.1Hazard identification
Hazard identification merupakan tahap pertama dalam risk assessment.
Hazard identification merupakan identifikasi agen biologi, kimia, dan fisika yang
mampu menyebabkan efek kerugian bagi kesehatan yang mungkin terdapat pada
makanan khusus atau kelompok dari berbagai sumber pangan. Hal ini merupakan
proses pencarian untuk menganalisa bahaya yang nyata pada bahan pangan
tertentu, seperti bahaya histamin pada ikan golongan Scombroid, sehingga
hazard identification merupakan pencarian pendahuluan untuk mencari sumber-
sumber bahaya (Sumneret al. 2004). Dalam bidang industri tuna pada penelitian
ini dilakukan terhadap bahaya histamin, hal ini disebabkan ikan tuna memiliki
kandungan histidin bebas yang lebih banyak dibandingkan dengan spesies lainnya
(15 g/kg) (Keeret al 2002).
Histamin merupakan senyawa kimia amin biogenik yang terbentuk melalui
reaksi dekarboksilasi histidin oleh enzim histidin dekarboksilase (Pubchem 2005).
Histamin memiliki struktur molekul C5H11Cl2N3 dengan nama IUPAC
2-(3H-imidazol-4-yl) ethamine dihydrochloride dengan berat molekul 184. Satuan
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
44/75
kadar histamin dalam daging tuna dinyatakan dalam mg/100gr, mg % atau
ppm mg/1000 g) (Kimata 1961; Taylor 1983).
Keracunan histamin terhitung lebih dari 50 % dari insiden keracunan
pangan yang berhubungan dengan konsumsi ikan dan makanan laut. Penyakit ini
merupakan penyakit paling umum yang berhubungan dengan konsumsi ikan di
UK. Ikan segar normal mengandung kurang dari 1 mg/100 g histamin, pada level
20 mg/100 g dalam beberapa spesies ikan dilaporkan dapat memproduksi
simptom. Di USA, antara 1973 dan 1986, terlibat 178 kejangkitan keracunan
scombrotoxin dari 1096 kasus dilaporkan CDCs Food Disease Outbreak
Surveillance System. Ikan laut yang paling umum menyebabkan terjadinya
keracunan scombrotoxin adalah mahi-mahi, tuna dan bluefish.
Di Inggris, terjadi 100 kasus keracunan histamin pada rentang waktu tahun
1976 sampai 1982 akibat konsumsi ikan golongan Scombroid. Di Jepang dari
tahun 1970 sampai tahun 1980 terjadi 43 kasus keracunan histamin akibat
konsumsi ikan golongan scombroid. Di Amerika Serikat , keracunan histamin dari
tahun 1969 sampai 1979 terjadi 74 kasus akibat konsumsi ikan golongan
Scombroid, dan dari 74 kasus keracunan histamin, 24 diantaranya disebabkan
konsumsi ikan tuna (Taylor 1983).
Jepang, Amerika Serikat (USA), dan Inggris Raya (United Kingdom, UK)
merupakan negara dengan jumlah tertinggi yang menderita keracunan histamin.
Keracunan histamin juga dilaporkan terjadi pada negara-negara Eropa, Asia,
Kanada, Selandia Baru (New Zealand), dan Australia (Sumneret al. 2004). Pada
periode tahun 1990 - 2000, jumlah yang menderita keracunan histamin dari ikan
di Amerika Serikat sebanyak 103 orang, pada periode tahun 1992 1999 jumlah
yang terserang keracunan histamin dari ikan di Inggris Raya (UK) sebanyak 32orang, sedangkan periode tahun 1990 2000, jumlah yang terserang keracunan
histamin dari ikan di Australia sebanyak 31 orang (Sumneret al. 2004).
Laporan FDA tahun 2001-2005 menunjukan adanya penolakan berbagai
produk tuna Indonesia, karena kasus tingginya kadungan histamin dan logam
berat. Laporan FDA pada bulan April-Desember 2007 menunjukan adanya
313 kasus penolakan ekspor produk perikanan asal Indonesia dan 14 diantaranya
terjadi karena masalah histamin (Sugandhi 2007).
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
45/75
Pembentukan histamin berbeda-beda untuk setiap spesies dan biasanya
tergantung pada kandungan histidin, jenis dan jumlah bakteri yang
mengkontaminasi, suhu pasca panen yang menunjang pertumbuhan dan reaksi
mikroba, pada cara penanganan dan penyimpanan ikan (Pan 1984). Kadar
histamin tertinggi terdapat pada bagian depan tubuh ikan (depan perut),
sedangkan terendah terdapat pada bagian ekor (Lerke et al. 1978). Suhu optimum
pembentukan histamin adalah 25oC (Kim et al. 1999 diacu dalam Sumneret al.
2004). Dalam kondisi optimum, jumlah maksimum yang dihasilkan melalui
autolisis tidak lebih dari 10-15 mg/100gr daging (Kimata 1961). Ada dua macam
histidin dalam daging ikan, yaitu histidin bebas dan histidin yang terikat dalam
protein dan hanya histidin bebas sebagai asam amino bebas yang dapat mengalami
dekarboksilase menjadi histamin (Kimata 1961;Taylor 1983).
Potensi pembentukan histamin meningkat ketika daging ikan secara
langsung terekspos dengan bakteri pembentuk histamin. Ini terjadi ketika ikan
diproses pada saat pemotongan/pemfilletan. Pembekuan selama beberapa waktu
dapat menginaktifkan bakteri histidin dekarboksilase sehingga mampu
mengeleminasi potensi untuk perkembangan histamin selanjutnya. Penelitian
terbaru menyatakan, jika produksi histamin meningkat, pembentukan histamin
dapat berlanjut bahkan dalam kondisi penyimpanan beku. Pemasakan dapat
menginaktifkan enzim dan bakteri. Sekali toksin dibentuk, tidak dapat hilang
dengan panas (termasukretorting).
Kondisi optimum untuk aktifitas enzim histidin dekarboksilase tidak
seutuhnya jelas, sebagian besar karena banyak faktor yang perlu ditafsirkan,
termasuk propogasi sel bakteri, konsentrasi sel awal dan komposisi awal
mikroflora. Substrat-spesifik enzim dekarboksilase dari mikroba dalam makananmenciptakan produksi amin dalam makanan, tapi kecepatan produksi tidak
berpengaruh langsung dengan pertumbuhan bakteri.
Keberadaan histamin dalam jumlah besar pada ikan yang mengalami
pembusukan dapat menyebabkan keracunan atau kematian, khususnya untuk ikan
golongan scombroid. Konsumsi makanan yang mengandung sedikit histamin akan
memberikan efek yang kecil bagi manusia. Hal ini disebabkan karena sistem
intestinal tubuh manusia mengandung enzim DAO dan HMT yang akan
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
46/75
mendegradasi histamin menjadi produk yang tidak berbahaya seperti
imidazoleacetic, methylhistamin, methylimidazole acetic acid, imidazole acetic
acid riboside dan acetylhistamin.
Histamin terutama dipecah oleh dua enzim, histamin metil transferase
(HMT) dan diamin oksidase (DAO), membentuk N-metil histamin dan asam
asetat imidazole. Monoamin oksidase kemudian mendegradasi N-metil histamin
menjadi N-metil imidazole asam asetat sebagai metabolit primernya. Hanya
kurang dari 50 % histamin yang direcovery dari manusia adalah dalam bentuk ini.
Histamin metil transferase ditemukan di seluruh tubuh, termasuk dalam sel
langerhans, sel alveolar dan ginjal. Histamin metil transferase juga merupakan
enzim utama yang bekerja pada histamin dalam perut. Pemecahan histamin oleh
DAO tidak hanya memproduksi imidazol asam asetat, tapi juga memproduksi
hidrogen proksida, yang dapat membentuk radikal bebas dan menyebabkan
peroksidase lipid. Aktifitas diamin oksidase telah ditemukan dalam aktifitas tinggi
dan rendah dalam ileum, jejunum, caecum dan kolonticus.
4.3.2. Exposure assessment (penaksiran bahaya)
Exposure assessment merupakan evaluasi kualitatif dan kuantitatif dari
kemungkinan adanya agen kimia, biologi dan fisika yang masuk melalui makanan
seperti halnya dari sumber lain yang terkait. Exposure assessmentadalah suatu
proses untuk melihat atau memperkirakan bahaya histamin dari beberapa faktor
yang mempengaruhinya. Exposure assessment dapat diketahui dari berbagai
informasi mengenai perkembangan kadar histamine selama proses pembongkaran,
selama di transit, dan transportasi menuju perusahaan, serta informasi tingkat
konsumsi produk dan keadaan masyarakat atau populasi yang mengkonsumsi
produk tersebut.
4.3.2.1. Informasi mengenai kandungan histamin tuna hasil tangkapan
Kadar histamin merupakan salah satu indikator untuk menilai kualitas
mutu ikan tuna. Kadar histamin yang tinggi pada produk ikan tuna dapat berubah
menjadi toksin, yang disebut dengan toksin scombroidpenyebab scombroid
poisoning. Pada penelitian ini, informasi kadar histamin dapat dilihat dari hasil
analisis kadar histamin yang terbentuk dalam ikan tuna segar hasil tangkapan
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
47/75
Kandungan Histamin2,52
2,64
1,77
1,11
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
A B C D
Kualitas mutu tuna
Kandungan
Histam
in
(ppm
)
pada berbagai kualitas mutu, serta dari data sekunder hasil pengujian histamin
semua produk tuna yang dilakukan di Laboratorium Pengolahan dan Pengujian
Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Pluit, Jakarta Utara.
a) Kadar histamin berbagai kualitas mutu ikan tuna
Analisis histamin pada berbagai mutu ikan tuna, grade/kualitas A, B, C,
dan D dilakukan pada penelitian ini. Grade A merupakan ikan tuna dengan
kualitas terbaik yang memiliki rataan kadar histamin sebesar 1,11 ppm, grade B
sebesar 1,77 ppm, grade C sebesar 2,64 ppm dan grade D sebesar 2,52 ppm.
Hasil pengujian kadar histamin disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18. Kandungan histamin daging ikan tuna berbagai tingkat mutu tuna
Hasil analisis histamin menunjukan bahwa kandungan histamin semakin
tinggi dengan semakin menurunnya mutu ikan tuna, kecuali pada nilai histamin
grade D yang lebih rendah dari nilai histamin ikan tuna grade C. Hal ini karena
pemisahan kualitas mutu ikan dilakukan secara subjektif dengan melihat
penampakan organoleptik ikan tuna tersebut oleh checker. Kekeliruan dalam
penentuan kualitas ikan tuna antara grade C dan grade D dapat saja terjadi, karena
secara organoleptik kedua grade tersebut memiliki beberapa kesamaan, terutama
pada penilaian penampakan dan warna daging ikan tuna. Secara penampakan,
kedua jenis grade tersebut memiliki ciri-ciri, antara lain: kondisi ikan sudah tidak
utuh lagi atau cacat, serta warna daging agak kurang merah/pudar, cenderung
berwarna coklat dan pudar.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
48/75
Jumlah histamin yang terbentuk bervariasi pada setiap jenis ikan,
tergantung kepada jumlah histidinnya, tipe dan banyaknya bakteri yang
menunjang pertumbuhan dan aktivitas mikroba, serta dipengaruhi oleh temperatur
dan pH lingkungan. Histamin pada ikan akan terbentuk melalui proses
dekarboksilasi histidin oleh enzim yang secara alami terdapat pada ikan.
Pembentukan histamin oleh enzim ini berlangsung selama proses autolisis
(Kimata 1961).
Autolisis pada daging ikan mulai berlangsung secara biokimiawi segera
setelah ikan mati terutama pada daging sekitar rongga perut. Setelah fase rigor
mortis enzim dalam perut ikan aktif menguraikan komponen ikan yang
menyebabkan terjadinya perubahan pada rasa, warna, tekstur, bau dan
penampakan ikan (Ilyas 1993).
Kadar histamin yang terbentuk pada tahap pendaratan ikan dipengaruhi
oleh aktivitas dan kondisi penanganan ikan tuna di kapal. Informasi yang
didapatkan dari awak kapal penangkap tuna menunjukan bahwa ikan tuna ini
ditangkap dengan menggunakan sistem pancing (tuna long line). Ikan yang
tertangkap akan segera dimatikan untuk mencegah penguraian ATP yang lebih
cepat sehingga proses rigor mortis dapat dipertahankan lebih lama.
Penanganan ikan di atas kapal penangkap diawali dengan sortasi jenis
ikan, dan sortasi ukuran bila mungkin dilakukan penyiangan ikan dengan cara
dibuang insang dan isi perutnya, hal ini dimaksudkan untuk mencegah proses
pembusukan. Insang dan perut merupakan tempat berkumpulnya bakteri sehingga
pembersihan insang dan isi perut dimaksudkan untuk menghambat kemunduran
mutu ikan (Ilyas 1993). Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah menjaga
agar ikan tetap dingin, bersih, tidak terluka, dan tidak terkena sinar matahari. Ikankemudian harus disimpan pada suhu rendah (di bawah 5oC) dalam palka
atau peti-peti (sebaiknya berinsulasi) dengan menggunakan es atau direfrigerasi.
Prinsip yang harus dipegang dalam penanganan dan transportasi ikan adalah
cepat, bersih, hati-hati dan selalu pada suhu rendah, selama penanganan dan
transportasi, ikan tidak boleh terkena sinar matahari dan sedapat mungkin
dihindarkan dari kerusakan fisik.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
49/75
Hasil pengamatan suhu ikan menunjukan bahwa kisaran suhu ikan pada
saat dikeluarkan dari palka kapal rata-rata 2oC. Ikan tuna ini sebelumnya disimpan
dalam palka kapal selama + 25 hari menggunakan refrigerated sea water(RSW)
sebelum didaratkan di transit. Keuntungan cara ini adalah pendinginan lebih cepat
dan merata, ikan selalu basah dan tidak tergencet atau terluka, tubuh ikan tidak
mengalami gesekan dengan es, serta pembongkaran ikan dapat dilakukan dengan
cepat.
b) Hasil pengujian kadar histamin pada Laboratorium Pengendali dan
Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP)
Hasil pengujian produk tuna ekspor dapat dilihat pada Gambar 19. Hasil
tersebut merupakan rata-rata kandungan histamin dari ikan-ikan yang diuji
Laboratorium Pengendalian dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP),
DKI jakarta selama tahun 2008 (sampai dengan bulan Oktober). Dari Gambar 19
dapat dilihat bahwa kadar histamin dari ikan-ikan tuna pada bulan Juni-Oktober
2008 kadarnya masih dibawah 10 ppm. Terjadi penurunan kandungan histamin
pada ikan-ikan yang duji selama tahun 2008 dibandingkan tahun 2006. Pada bulan
Januari sampai Oktober 2006 terlihat kandungan histamin pada sampel rata-rata
masih diatas 20 ppm (Syukur 2008). Penurunan ini diduga terjadi karena telah
dilakukan perbaikan sistem manajemen mutu oleh pihak-pihak yang terkait (DKP,
pengusaha, nelayan,dan lain-lain) hal ini dilakukan terkait dengan usaha untuk
memenuhi persyaratan mutu yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor ikan tuna
(Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa). Perbaikan tersebut meliputi perbaikan
sistem penanganan, distribusi ataupun pengolahan ikan tuna.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
50/75
Gambar 19. Diagram kadar histamin ikan tuna selama tahun 2008
Sumber : Juni-September (pengujian oleh LPPMHP, Jakarta)Oktober- November (hasil penelitian)
c) Jumlah kontaminasi mikroorganisme berbagai mutu kualitas ikan tuna
Jumlah mikroorganisme akan sangat menentukan mutu dari produk
pangan. Jumlah mikroorganisme yang rendah menunjukkan bahwa produk
tersebut dapat dikatakan bermutu baik dan aman untuk dikonsumsi. Pada
penelitian ini dilakukan analisis Total Plate Count (untuk mengetahui jumlah
koloni mikroorganisme pada produk ikan tuna secara umum) dan analisis bakteri
histidin dekarboksilase untuk mengetahui jumlah mikroorganisme penghasil
histamin pada ikan tuna.
1) Total Plate Count
Pengukuran tingkat kesegaran ikan dapat dilihat dari banyaknya bakteri
yang berkembang pada ikan (Sakaguchi 1990). Pengukuran ini menggunakan
metode total plate count (TPC) yang dilakukan dengan cara menghitung jumlah
bakteri yang ditumbuhkan pada suatu media pertumbuhan (nutrient agar) dan
diinkubasi selama 24 jam (Fardiaz 1984). Metode ini didasarkan pada anggapan
bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni. Pada
penelitian ini, perbandingan nilai log TPC ikan tuna dengan berbagai kualitas
mutu (Grade A, B, C, dan grade D) dapat dilihat pada Gambar 20.
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
51/75
Gambar 20. Histogram nilai TPC dari ikan tuna dengan berbagai kualitas mutu
Pada Gambar 20, terlihat adanya perbedaan jumlah TPC seiring dengan
perbedaan mutu ikan tuna. Pada grade A, total mikroba ikan adalah 1,7x102
CFU/ml. Ikan dengan grade B sebesar 2,4 x102 CFU/ml dan grade C dan D
adalah 3,9 x102 CFU/ml dan 4,1 x102 CFU/ml. Jumlah mikroba tersebut
menunjukkan peningkatan seiring dengan penurunan mutu ikan tuna. Perbedaan
kualitas tersebut karena kondisi ikan yang terus mengalami proses kemunduran
mutu dan kebusukan yang diakibatkan oleh terjadinya proses autolisis dan
perkembangbiakan bakteri pembusuk. Proses autolisis akan bekerja sangat cepat
setelah ikan mencapai fase post rigor. Jumlah bakteri akan semakin meningkat
seiring dengan meningkatnya proses autolisis.
Jumlah awal mikroba yang terdapat dalam tubuh ikan ada hubungannya
dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Perbedaan jenis dan jumlah
bakteri yang dijumpai pada ikan disebabkan oleh makanan, cara penangkapan,
penanganan, dan perbedaan suhu yang dipengaruhi oleh musim dan letak
geografis (FAO 1995; Junianto 2003).
2) Bakteri penghasil histamin (histidin dekarboksilase)
Bakteri yang memiliki enzim histidin dekarboksilase atau biasa disebut
bakteri penghasil histamin, sebagian besar termasuk ke dalam famili
Enterobacteriaceae. Jenis bakteri tersebut antara lain : Morganella morganii,
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
52/75
Klebsiella pneumoniae, Hafnia alvei, Citrobacter freundii, Enterobacter
aerogenes, Vibrio alginolyticus dan Proteus spp. Jumlah bakteri penghasil
histamin pada ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21. Histogram nilai log Niven dari ikan tuna dengan berbagai mutu
Ikan dengan kualitas mutu A memiliki jumlah bakteri penghasil histamin
terendah, yaitu sebesar 0,3 x102 CFU/ml dan mutu B sebesar 0,4 x102, sedangkan
ikan tuna dengan grade C dan D memiliki jumlah bakteri penghasil histamin
terbanyak, yaitu masing-masing sebesar 0,9 x102 CFU/ml dan 1,5 x102 CFU/ml.
Ikan dengan mutu A memiliki kesegaran yang sangat baik, karena proses autolisis
dan perkembangbiakan bakteri belum terjadi secara optimum.
Mekanisme pertahanan ikan tidak lagi menghambat pertumbuhan bakteri
setelah ikan mati. Bakteri pembentuk histamin mulai tumbuh dan memproduksi
enzim histidin dekarboksilase yang menyerang histidin bebas dalam daging ikan.
Enzim tersebut mengubah histidin bebas menjadi histamin. Histamin umumnya
merupakan hasil kerusakan karena penanganan yang dilakukan pada suhu yang
tinggi (>20oC). Pendinginan atau pembekuan ikan yang cepat setelah kematian
merupakan faktor yang paling penting dalam upaya untuk pencegahan
pembentukan Scombrotoksin.
Deteksi secara kuantitatif bakteri histidin dekarboksilase menggunakan
media yang berbeda dengan pengujian total plate count(TPC). Bahan terdiri dari
-
7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna
53/75
triptone,yeast extract, L-histidin.2HCL, Nacl, CaCo3, agar, serta phenol red.
Koloni bakteri penghasil histamin umumnya lebih besar daripada koloni bakteri
lainnya. Koloni bakteri yang dianggap positif sebagai penghasil histamin adalah
koloni yang membentuk zona berwarna merah muda disekeliling koloni dengan
latar belakang kuning/orange pada medium modifikasi Nivens. Bentuk koloni
bakteri penghasil histamin dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22. Koloni bakteri penghasil histamin
Jumlah bakteri penghasil histamin lebih sedikit jika dibandingkan dengan
jumlah mikroba total (TPC) pada daging ikan (rata-rata 30.78% dari total
mikroba). Hal ini karena tidak semua jenis bakteri yang terdapat pada daging ikan
mampu menghasilkan enzim histdin dekarboksilase yang dapat mengubah asam
amino histidin menjadi histamin. Perbandingan jumlah bakteri penghasil histamin
de