101
Analisis Struktur Kendala dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di
Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau
Structure Analysis of the Contstraint Sago Sustainable Management in Kepulauan Meranti Regency Riau Province
MAMUN MUROD1, CECEP KUSMANA2, MOCHAMAD HASJIM BINTORO3, WIDIATMAKA4 dan
ENDANG HILMI5
1Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana-IPB 2Departemen Silvikultur, FAHUTAN-IPB
3Departemen Agronomi dan Hortikultura, FAFERTA-IPB 4 Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, FAPERTA-IPB
5Program Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan-UNSOED Email : [email protected]
Diterima 02 Oktober 2018 / Direvisi 08 Oktober 2018 / Disetujui 26 November 2018
ABSTRAK
Tanaman sagu (Metroxylon sp.) memiliki peran penting dalam kehidupan dan perekonomian masyarakat di Kabupaten Kepulauan Meranti. Pengembangan usaha sagu di Kabupaten ini pada masa yang akan datang memiliki prospek yang menjanjikan, karena pengembangan industrialisasi sagu belum optimal pelaksanaannya. Tanaman sagu saat ini luasnya 53.456 ha atau 43% dari lahan yang tersedia. Pengolahan sagu masih berjalan secara konvensional, yaitu hanya menghasilkan produk berupa pati sagu. Produksi pati sagu pada tahun 2017 sebesar 205,051 ton. Pengembangan produk hilirnya masih terbatas yaitu hanya mie, sohun dan kerupuk. Produk sampingnya berupa limbah dari ampas (repu) dan kulit (uyung) belum dimanfaatkan secara optimal. Desain struktur kendala diperlukan dalam rangka mengembangkan sagu agar berkelanjutan. Pemodelan struktur kendala dilakukan dengan menggunakan Interpretative Structural Modelling (ISM). ISM adalah teknik pemodelan strategis yang dapat memotret kondisi sistem secara komprehensif. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun strategi yang tepat berdasarkan analisis struktur kendala yang berpengaruh dalam pengelolaan sagu berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sagu berkelanjutan terdapat 6 sub elemen kendala kunci, di antaranya: (1) Pemanfaatan dan pengolahan limbah; (2) Sistem ijon ; (3) Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar; (4) Tata kelola air, (5) Pengolahan produk turunan dan desain kemasan; dan (6) Stabilitas harga. Dukungan dari semua stakeholders terkait baik dari pemerintah, akademisi, pengusaha, petani, lembaga keuangan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), diperlukan agar pengelolaan sagu berjalan secara baik dan berkelanjutan.
Kata kunci : Interpretative Structural Modelling (ISM), pengolahan sagu, sagu (Metroxylon Sagu), struktur kendala, VAXO
ABSTRACT
Sago (Metroxylon sp.) has an important role and society economy in Meranti Island Regency. The development of sago business in the regency in the future has a promising aspect, because the development of the sago industrialization area has not been optimal. Currently the sago platns have wide area around 53.456 ha or 43% from the exist area. Cultivation sago is still conventional, it is only produce starch sago. In 2017 the starch sago has 205,051 ton. The development of downstream still limited that are noodle, vermicelli, and crackers. The by-product are waste from pulp (repu) and peel (uyung) is not be used optimaly yet. In order to develop sago to be sustainable, that required structure constraint design. Those model has done with method Interpretative Structural Modelling (ISM). Method ISM is the strategic model technic that can be seen system condition comprehensively. This research is purpose to set the appropriate strategy based on structure constraint design that has an effect in sustainable sago development in Meranti Island Regency, Riau Province. The result of ISM analysis shows that sustainable sago development has 6 sub element of key constraint, there are : (1) Waste utilization and management; (2) Ijon system; (3) Availability, distribution, and market segmentation; (4) Water management; (5) processing of derivative product and packaging design, and (6) price stability, (7). To reach the sustainable cultivation sago, it is required support from every stakeholders both governments, academics, entrepreneurs, farmers, financial insitutions and non-governmental organization so that, sago cultivation run well and sustainable.
Key Word : Interpretative Structural Modelling (ISM), cultivation sago, sago (Metroxylon Sagu), constraint structure, VAXO
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
102
PENDAHULUAN
Tanaman sagu (Metroxylon sp.) merupakan
salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang
sangat potensial dalam mendukung program
ketahanan pangan Indonesia (Tarigan, 2001). Sagu
juga dapat digunakan sebagai bahan substitusi
bahan baku pembuat kue, mie, sohun, penyedap
makanan, kompos, pakan ternak, perekat, industri
farmasi, kemasan ramah lingkungan, biodegradable
plastic dan sumber bahan baku biomasa serta
bioethanol (Flach, 1997; Utami et al., 2014; Yadaf
dan Garg, 2013; Zawawi et al., 2017; Hoque et al.,
2013; Wang et al., 1996; Rahim et al., 2009; Kumar
dan Manivannan, 2015; Bukhari et al., 2017).
Pengembangan industrialisasi sagu di Kabupaten
Kepulauan Meranti pada masa yang akan datang
memiliki prospek yang sangat menjanjikan. Hal
ini didukung dengan masih terdapatnya
kecukupan areal yang tersedia dan belum digarap
sekitar 70.091 ha. Sedangkan luasan tanaman sagu
eksisting seluas 53.456 ha atau 43%nya dari lahan
yang ada (123,547 Ha).
Pengolahan sagu di Kabupaten Kepulauan
Meranti saat ini masih berjalan secara
konvensional dan baru menghasilkan bahan
setengah jadi berupa pati sagu. Produksi pati sagu
yang dihasilkan oleh kilang sagu pada tahun 2011
adalah sebesar 144,927 ton dan selalu mengalami
peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata
sebesar 6% pada setiap tahunnya, dan produksi
pati sagu pada tahun 2017 adalah 205,051 ton (BPS,
2018). Pemanfaatan sagu saat ini hanya fokus
terhadap produk utamanya yaitu berupa pati
sagu. Pengembangan produk hilirnya masih
relatif terbatas berupa mie, kerupuk, sagu rendang
dan sohun. Produk sampingnya berupa limbah
dari ampas sagu (repu) dan kulit sagu (uyung)
belum dimanfaatkan secara optimal. Para pemilik
kilang sagu pada umumnya membuang limbah
berupa repu ke laut. Kulit sagu sebagian kecil
dimanfaatkan untuk bahan bakar dan sebagian
lagi digunakan sebagai pondasi mesin atau
penahan beban dan sangat disayangkan sebagian
besar kulit sagu hanya dibakar untuk menghindari
penumpukkan. Repu sangat potensial digunakan
sebagai bahan baku pakan ternak (Tiro et al., 2018)
dan media pengembangan jamur, sedangkan kulit
sagu dapat digunakan sebagai bahan baku untuk
pembuatan bahan bakar pellet. PT. Sararasa
merupakan satu perusahaan yang telah
memanfaatkan kulit sagu sebagai bahan baku
pembuatan pellet biomas. Produksi pellet yang
telah dihasilkan mencapai 3000 ton per bulannya
(tahun 2014), namun juga tidak berkembang
dengan baik dan tidak operasional lagi pada April
2015.
Sagu memiliki manfaat multifungsi.
Sehingga dapat mendukung terhadap
perekonomian masyarakat, sagu juga dapat
mendorong penyerapan tenaga kerja, selain itu
tanaman sagu dapat bermanfaat terhadap
lingkungan (Asthutiirundu dan Lay, 2013; Singhal
et al., 2007). Tanaman sagu dapat menjaga
keseimbangan lingkungan (Trisia et al., 2016;
Bantacut, 2014). Peranan dalam menjaga ke-
seimbangan lingkungan, tanaman sagu dapat
menampung air dari lingkungan sekitarnya,
melindungi sungai akibat pencucian materi serta
membantu infiltrasi (penyerapan) aliran air dan air
hujan masuk kedalam tanah, mengurangi volume
air di permukaan dan mencegah banjir
(Louhenapessy et al., 2010; Situmorang dan
Harianja 2018).
Sagu sebagai salah satu komoditas tanaman
perkebunan, merupakan pangan lokal bagi
masyarakat dan memiliki peluang pengembangan
yang sangat strategis. Potensi sagu yang ada di
Kabupaten Kepulauan Meranti dapat
dimanfaatkan dan dikembangkan secara
berkelanjutan. Pengelolaan sagu berkelanjutan
menjadi hal penting dalam meningkatkan
produktivitas pemaanfatan sagu dan sebagai
upaya meningkatkan potensi tanaman sagu.
Namun demikian, dalam perkembangannya
pengelolaan sagu masih dihadapkan pada
permasalahan-permasalahan yang kompleks dan
mendasar. Kondisi tersebut menjadi penghambat
dalam mencapai pengelolaan sagu berkelanjutan.
Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)
103
Pengembangan pengelolaan sagu agar
berkelanjutan memerlukan dukungan dari semua
stakeholeders terkait baik dari pemerintah,
akademisi, pengusaha, petani, lembaga keuangan
dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berupa
kebijakan seperti pendampingan secara langsung.
Tujuannya adalah untuk melatih petani supaya
mampu menghasilkan produk-produk olahan
sagu yang lebih kreatif, inovatif dan variatif. Selain
itu, pendampingan dilakukan dalam hal budidaya
sagu dengan menanam anakan sagu unggul
dengan kaidah mengatur jarak tanam yang ideal
agar tingkat produktivitasnya yang tinggi. Hal ini
sejalan dengan (Alfons dan Rivaie, 2011) bahwa
upaya rehabilitasi perlu dilakukan untuk
meningkatkan potensi lahan sagu yang sudah ada,
melalui penanaman kembali dengan jenis-jenis
potensial pada jarak tanam teratur. Upaya tersebut
perlu ditingkatkan dengan menjalin kerjasama
berbagai pihak yang meliputi masyarakat,
pemerintah pusat dan daerah, sehingga potensi
lahan sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti
dapat dilestarikan serta dikembangkan dengan
efektif, terpadu dan berkelanjutan.
Outcome atau dampak yang diharapkan
dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi
kebijakan pengelolaan sagu yang dapat digunakan
sebagai pendorong pengembangan sagu dan
peningkatan kesejahteraan rakyat di Kabupaten
Kepulauan Meranti.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten
Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Kabupaten
Kepulauan Meranti secara geografis wilayah
terletak pada posisi 0° 42' 30" - 1° 28' 0" LU, dan
102° 12' 0" - 103° 10' 0" BT, dan terletak pada
bagian pesisir timur Pulau Sumatera. Penetapan
lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan
bahwa Kabupaten Kepulauan Meranti mempunyai
potensi tanaman sagu yang merupakan salah satu
sektor utama mata pencaharian masyarakat
setempat secara turun-temurun. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan April 2017 sampai
Oktober 2017.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilaksanakan dengan
focus group discussion (FGD), wawancara
mendalam (in-depth interview), observasi dan studi
literatur. Parapihak terkait adalah pemerintah,
pelaku usaha, petani sagu, lembaga keuangan,
akedemisi dan LSM. Teknik pengumpulan sampel
pakar dilakukan secara purposive sampling dengan
jumlah pakar yang menjadi responden 17 orang.
Tahap awal penelitian ini dimulai dengan
pengumpulan data pada beberapa lokasi
pengelolaan sagu di Kabupaten Ke-pulauan
Meranti. Dalam memperoleh informasi yang
dibutuhkan, metode atau cara yang digunakan
dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Observasi
Peneliti melakukan pengamatan langsung di
lapangan untuk mengumpulkan data-data
mengenai kondisi objek pengelolaan sagu di lokasi
penelitian. Observasi dilakukan di keempat pulau
(Pulau Tebing Tinggi, Pulau Merbau, Pulau
Rangsang dan Pulau Padang) dilingkup wilayah
Kabupaten Kepulauan Meranti.
2. Wawancara Mendalam (Depth Interview)
Aspek pemangku kepentingan (stakeholders)
merupakan institusi yang berperan dalam
pengelolaan sagu. Wawancara mendalam
dilakukan terhadap pihak pemerintah 8 orang,
pelaku usaha 1 orang, tokoh masyarakat 1 orang,
akademisi 5 orang, lembaga keuangan 3 orang
dan LSM 2 orang (Tabel 1).
Pemilihan responden disesuaikan dengan
kondisi lingkungan di sekitarnya dan memahami
permasalahan yang diteliti. Metode atau cara
menggali informasi dan pegetahuan atau pendapat
pakar pada penelitian ini digunakan metode
survei pakar (expert survey) yang dibagi atas 2
(dua) cara, yaitu :
a. Responden dari kalangan pakar
Responden pakar dipilih secara sengaja
(purposive sampling) dengan kriteria memiliki
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
104
kepakaran sesuai dengan bidang yang dikaji.
Beberapa pertimbangan dalam menentukan pakar
yang akan dijadikan responden adalah :
Mempunyai pengalaman yang kom-peten
sesuai bidang yang dikaji.
Memiliki reputasi, kedudukan/ jabatan dalam
kompetensinya dengan bidang yang dikaji.
Memiliki kredibilitas tinggi, bersedia, dan
berada pada lokasi yang dikaji.
b. Responden dari masyarakat
Penilaian responden dari masyarakat di lokasi
penelitian menggunakan metode purposive
sampling (Walpole, 1995).
3. Focus Group Discussion (FGD)
Focus Group Discussion (FGD) atau diskusi
kelompok terfokus merupakan suatu metode
pengumpulan data yang lazim digunakan dalam
penelitian kualitatif sosial. Metode ini
mengandalkan perolehan data atau informasi dari
suatu interaksi informan atau responden
berdasarkan hasil diskusi dalam suatu kelompok
yang berfokus untuk melakukan bahasan dalam
menyelesaikan permasalahan tertentu. Stekeholders
yang berperan dalam pengelolaan sagu, meliputi
pemerintah, pelaku usaha, petani sagu, lembaga
keuangan, akademisi, dan lembaga swadaya
masyarakat. Penelitian pengelolaan sagu
melakukan World Cafe Method (WCM) atau Focus
Group Discussion (FGD) yang bertujuan
mendapatkan input, masukan dan pendapat
dalam pengelolaan sagu.
Analisis Data
Analisis data struktur kendala pengelolaan
sagu berkelanjutan menggunakan metode
interpretative structural modelling (ISM), yaitu teknik
pemodelan deskriptif yang merupakan alat
strukturisasi untuk suatu hubungan langsung
(Sexana et al., 1992). Melalui teknik ISM, model
mental yang tidak jelas ditransformasikan menjadi
model sistem yang tampak (visible). Sub elemen
yang dianalisis bersumber dari atribut/variabel
faktor pengungkit (leverage) hasil FGD. Tahapan
analisis ISM (Gambar 1) adalah menginventarisasi
kendala dalam sistem pengelolaan sagu,
memberikan penilaian perbandingan dengan
VAXO, analisis terhadap output ISM berupa
pemetaan permasalahan dan strukturisasi perma-
salahan dengan syarat hasil analisis tersebut telah
konsisten. Skenario kendala dominan dilihat
sebagai alternatif masukan dalam penyusunan
formulasi kebijakan.
Tabel 1. Jumlah pakar dalam Focus Group Discussion (FGD) pengelolaan sagu Table 1. The number of expert on Focus Group Discussion (FGD) to Sago Management
No Responden Pakar
Stakeholders Jumlah
Quantity Keterangan Description
1 Pemerintah Government
8 orang 8 people
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (2 orang), Dinas Perkebunan Provinsi Riau (1 orang), Bappeda (2 orang), Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UKM, Dinas Perkebunan dan Holtikultura, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Institution of research and application technology (2 people), Bappeda (2 people), Plantation service of Riau Province (1 people), The office of trade, industry, cooperatives and UKM, The office of Plantation and Horticulture, The office of environment and forestry.
2 Pelaku Usaha businessman
1 orang 1 people
PT. Nasional Sagu Prima National Sago Prima Company
3 Petani Sagu Sago Farmer
1 orang 1 people
Pegiat sagu masyarakat Sago community activists.
4
5
Akademisi Academics Lembaga Keuangan Finantial Institution
5 orang 5 people 3 orang
IPB, Trisakti, Universitas Riau Bogor Agricultural University; Trisakti University;Riau University BRI, BNI, Bank Riau Kepri BRI, BNI, Riau Kepri Bank
6 LSM NGO
2 Orang 2 people
Bahtera Alam, Jaringan Masyaraka Gambut Riau (JMGR) Bahtera Alam, Network of Riau Peat Communities
Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)
105
Gambar 1. Tahapan Analisis ISM Figure 1. ISM Procedure Analysis
ISM dibuat dengan tujuan untuk
memahami perilaku sistem dalam melakukan
identifikasi hubungan antar sub elemen sistem
dalam tiap elemen sistem. Tahapan dalam
melakukan ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu
penyusunan hirarki dan klasifikasi sub elemen
(Eriyatno, 2003). Penentuan tingkat hirarki
dilakukan dengan perspektif lima kriteria, yaitu :
A. Penyusunan Hirarki
Kekuatan pengikat (bond strength) di dalam
dan/atau antar kelompok/pengikat.
Frekuensi relatif dari oksilasi, tingkat yang
lebih rendah lebih cepat terguncang
dibandingkan tingkat diatasnya
Konteks, tingkat yang lebih tinggi
beroperasi pada jangka waktu lebih lambat
dalam ruang yang lebih luas.
Liputan, tingkat yang lebih tinggi
mencakup tingkat dibawahnya, dan
Hubungan fungsional, tingkat yang lebih
tinggi mempunyai peubah lambat yang
mempengaruhi peubah cepat di tingkat
bawahnya.
B. Klasifikasi Sub elemen
Tahap kedua dalam melakukan ISM adalah
membagi substansi yang sedang ditelaah ke dalam
elemen-elemen dan sub-sub elemen secara
mendalam sampai dipandang memadai.
Penyusunan sub elemen ini menggunakan
masukan dari kelompok yang terkait. Selanjutnya
ditetapkan hubungan kontekstual antar sub
elemen, yang dinyatakan dalam terminologi sub
ordinat menuju pada perbandingan berpasangan.
Berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual,
disusun Structural Self Interaction Matrix (SSIM),
Penyusunan SSIM menggunakan simbol V, A, X,
dan O.
Pengertian simbol-simbol tersebut adalah :
V : Kendala (1) mempengaruhi kendala (2), tapi
tidak sebaliknya, V : eij = 1 dan eji = 0
A : Kendala (2) mepengaruhi kendala (1), tapi
tidak sebaliknya, A : eij = 0 dan eji = 1
X : Kendala (1) dan kendala (2) saling
berhubungan, X : eij = 1 dan eji = 1
O : Kendala (1) dan kendala (2), tidak saling
mempengaruhi, O : eij = 0 dan eji = 0
Simbol 1 adalah terdapat atau ada hu-bungan
kontekstual, sedangkan simbol 0 tidak terdapat
atau tidak ada hubungan kontekstual antara sub
elemen i dan j, serta sebaliknya (Eriyatno, 2003).
Setelah SSIM terbentuk, kemudian dibuat dalam
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
106
bentuk tabel Reachability Matrix (RM) dengan
menggantikan simbol V, A, X, dan O menjadi
bilangan 1 dan 0. Perhitungan menurut transivity
rule yaitu melakukan koreksi terhadap SSIM
sampai diperoleh matriks yang tertutup. RM yang
telah memenuhi transivity rule kemudian diolah
untuk menetapkan pilihan jenjang (level partition).
Hasilnya dapat digambarkan dalam bentuk skema
setiap elemen menurut jenjang vertikal dan
horinzontal. Berdasarkan RM, sub elemen dalam
satu elemen dapat disusun menurut nilai Driver-
Power (DP) dan nilai Dependence (D) untuk
menentukan klasifikasi sub elemen. Secara garis
besar klasifikasi sub elemen digolongkan dalam 4
sektor, yaitu :
Sektor 1 : weak drive-weak dependent variabels
(autonomous), sub elemen yang masuk dalam
sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan
sistem, dan mungkin mempunyai hubungan
sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja
kuat.
Sektor 2 : weak driver-strongly dependent variabels
(dependent), umumnya sub elemen yang masuk
dalam sektor ini adalah sub elemen yang tidak
bebas.
Sektor 3 : strong driver-strongly dependent variabels
(Lingkage), sub elemen yang masuk dalam sektor
ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan
antara elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada
sub elemen akan memberikan dampak terhadap
sub-elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya
dapat memperbesar dampak.
Sektor 4 : strong driver-weak dependent variabels
(Independent), sub elemen yang masuk dalam
sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan
disebut peubah bebas.
Analisa matrik dari klasifikasi sub elemen
disajikan pada Gambar 2.
Daya Dorong (Driver Power)
Ketergantungan (Dependence)
Gambar 2. Matrik Driver Power-Dependence Figure 2. Driver Power – Dependence matrix
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kendala Pengungkit Pengelolaan Sagu
Kendala yang dihadapi berjumlah 16 (enam
belas) sub elemen. Komposisi kendala secara detail
dapat dilihat pada Tabel 2.
Kendala yang dihadapi tersebut perlu
dinilai kembali oleh pakar agar dapat ditentukan
faktor pengungkit (leverage) yang menjadi prioritas
kebijakan untuk mencapai tujuan. Struktur
kendala diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar
untuk menyusun strategi pengelolaan sagu di
masa yang akan datang, sehingga akan dihasilkan
kebijakan yang tepat untuk mengantisipasi
kendala yang ada.
Tabel 2. Kendala dalam pencapaian tujuan Table 2. The threat in achieving its objectives
No Elemen Kendala Threat element
Keterangan Description
1 Teknik pengeringan sagu Technique of drying sago
Pengeringan pati sagu masih dilakukan secara tradisional oleh masyarakat yakni dengan menjemur pati sagu di bawah sinar matahari Drying sago starch still traditionally, sago starch by drying in the sun
2 Pengolahan produk turunan dan desain kemasan Processing of derivative product and packaging design
Pengolahan produk turunan masih terbatas dan desain kemasan masih sangat sederhana sehingga tampilannya kurang menarik Processing of derivative product is still limited and packaging design is still very simple and it looks less attractive
3 Pemanfaatan dan pengolahan limbah Waste utilization and management
Limbah sagu belum termanfaatkan dan masih di buang ke laut sehingga menjadi sumber pencemaran lingkungan Sago waste has not been utilized and still discharged into the sea so that it becomes a source of pollution.
SEKTOR IV
Independent
Variabels
SEKTOR III
Lingkage
Variabels
SEKTOR I
Autonomous
Variabels
SEKTOR II
Dependent
Variabels
Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)
107
No Elemen Kendala Threat element
Keterangan Description
4 Penggunaan teknologi pengolahan air
Application technology for water treatmen
Sumber air untuk ekstraksi pati sagu masih berasal dari air gambut, belum ada teknologi untuk pengolahan air baku untuk kilang sagu. Source of water for sagu starch extraction is still was water peat, there has been no technology for reprocessing raw water to the refinery sago.
5 Persentase penduduk di bawah garis kemiskinan Percentages of the population below poverty line
Persentase kemiskinan di Kabupaten Kepulauan Meranti paling tinggi 28.89 %. Tertinggi di Provinsi Riau Percentage poverty in Meranti Island Regency the highest 28.99 %. Highest in Riau Province
6 Budaya pemanenan sagu Harvesting sago culture
Sistem pemanenan sagu yang masih konvensional Harvesting sago system is still conventional became an obstacle because need a long time.
7 Akses kelompok tani kelembaga keuangan Acces the farmers to financial institution
Masih terbatasnya akses permodalan petani sagu terutama keperbankan Still limited access to sago farmer’s capital especially to banks
8 Regulasi tata guna lahan Land use regulation
Pengaturan zonasi belum dilakukan Zoning arrangement have not been made.
9 Pola kemitraan dan peman-tapan kelembagaan petani Partnership system and institutional stabilization of farmer institutions.
Belum terbentuk pola kemitraan antara perusahaan besar dengan petani sagu sehingga kelembagaan petani masih sangat lemah A partnership system has not been established between large companies and sago farmers.
10 Sistem ijon Ijon system
Sistem ijon masih berlangsung Ijon system is still ongoing
11 Stabilitas harga Price Stability
Harga sering mengalami fluktuasi, pada tahun 2016 harga berada pada Rp. 50.000,- per tual sedangkan harga pada tahun 2018 Rp. 30.000,- per tual Price often fluctuate, in 2016 the price at Rp. 50.000/trunk while in 2018 the price at Rp 30.000/trunk
12 Sumber modal Source of capital
Modal usaha masih sangat terbatas dan ada yang tergantung pada mekanisme ijon Source of capital is very limited and is that depends of ijon mechanism.
13 Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar Availibility, distribution and market segmentation
Segmentasi pasar masih sempit karena masih terbatas pada satu produk (pati sagu) Market segmentation is still narrow becauseit is still limited to one product (sago starch)
14 Tata kelola air Water management
Belum seluruhnya petani sagu melakukan tata kelola air Sago farmers have not all carried out water management
15 Asosiasi vegetasi Vegetation association
Budidaya tanaman sagu masyarakat masih monokultur The community is still Cultivating sago plants in monocultur
16 Kesesuaian lahan Land suitability
Sebagian besar areal berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan berada pada kategori N (tidak sesuai) Most of the based on the analysis of land is the n ( not appropriate )
Klasifikasi Sub Elemen
Melalui metode ISM ini diperoleh angka
Dependent dan Driver Power dari masing-masing
elemen tersebut, yang akhirnya dipetakan dalam
bentuk matrik Driver Power-Dependent dan
diagram struktur hirarki. Hasil perhitungan
elemen pengelolaan sagu dengan menggunakan
software ISM disajikan pada Tabel 3.
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
108
NO K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 K14 K15 K16 DP R
K1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
K2 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 12 2
K3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1
K4 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
K5 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
K6 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
K7 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
K8 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
K9 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
K10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1
K11 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 12 2
K12 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
K13 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1
K14 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1
K15 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 4 4
K16 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 10 3
D 15 6 4 15 16 15 15 15 16 4 6 15 4 4 16 16
L 2 3 4 2 1 2 2 2 1 4 3 2 4 4 1 1
Tabel 3. Matriks perhitungan sub elemen pengelolaan Sagu menggunakan software ISMTable 3. Calculation Matrix Management Sagu Elemen with ISM software
Keterangan : K1 (Teknik pengeringan sagu); K2 (Pengolahan produk turunan dan desain kemasan); K3 (Pemanfaatan dan pengolahan limbah); K4 (Penggunaan teknologi pengolahan air); K5 (Persentase penduduk dibawah garis kemiskinan); K6 (Budaya pemanenan sagu); K7 (Akses kelompok tani kelembaga keuangan); K8 (Regulasi tata guna lahan); K9 (Pola kemitraan dan pemantapan kelembagaan petani); K10 (Sistem ijon); K11 (Stabilitas harga); K12 (Sumber modal); K13 (Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar); K14 (Tata kelola air); K15 (Asosiasi vegetasi); K16 (Kesesuaian lahan); R (Ranking); D (Dependence); dan DP (Driver-power). Information : K1 (Technique of drying sago); K2 (Processing of derivative product and packaging design); K3 (Waste utilization and management); K4 (Application technology for water treatmen); K5 (Percentages of the population below poverty line); K6 (Harvesting sago culture); K7 (Acces the farmers to financial institution); K8 (Land use regulation); K9 (Partnership system and institutional stabilization of farmer institutions); K10 (Ijon system); K11 (Price stability); K12 (Source of capital); K13 (Availibility, distribution and market segmentation); K14 (Water management); K15 (Vegetation association); K16 (Land suitability).
Pembagian ordinasi keseluruhan faktor-faktor
yang terbagi pada kuadran independent, lingkage,
dan dependent disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Matriks driver power-dependence (DP-D) untuk elemen kendala
Figure 3. Matrix driver power-dependence (DP-D)
for threat element
Matriks driver power-dependence (DP-D)
untuk elemen kendala pada Gambar 3,
menunjukkan bahwa K3 (pemanfaatan dan
pengolahan limbah); K10 (sistem ijon); K13
(ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar);
K14 (tata kelola air); K2 (pengolahan produk
turunan dan design kemasan) serta K11 (stabilitas
harga) berada pada level tertinggi. Ke enam sub
elemen ini merupakan faktor kendala yang berada
pada sektor independent yang memiliki pengaruh
besar terhadap faktor lain. Hal ini berarti bahwa
berjalannya sistem pengelolaan sagu di Ka-
bupaten Kepulauan Meranti sangat diperlukan
adanya sub elemen tersebut dan mendorong
semua kendala yang ada dalam pengelolaan sagu
untuk mendukung berjalannya sistem.
Sektor berikutnya yakni sektor lingkage
terdiri dari: K1 (teknik pengeringan pati sagu); K4
(penggunaan teknologi pengolahan air); K6
(budaya pemanenan sagu); K7 (akses kelompok
tani kelembaga ke-uangan); K8 (regulasi tata guna
lahan); K12 (sumber modal); K5 (persentase
Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)
109
penduduk dibawah garis kemiskinan); K9 (pola
kemitraan dan pemantapan kelembagaan petani);
dan K16 (kesesuaian lahan). Sub elemen pada
sektor ini berpengaruh dalam mendorong
berjalannya sistem pengelolaan sagu.
Sektor dependent hanya terdapat satu sub
elemen yakni K15 (asosiasi vegetasi). Sektor ini
sangat dipengaruhi oleh faktor yang berada pada
sektor independent, artinya dengan daya gerak
yang besar dan ketergantungan terhadap sistem
rendah, keterlibatan elemen pada sektor
independent akan mendorong keterlibatan elemen
lain dalam sistem pengelolaan sagu.
Struktur Hirarki
Berdasarkan matriks tersebut dibuat
hirarki untuk membagi dalam tahapan
pengelolaan berjangka. Hirarki tersebut disajikan
pada Gambar 4.
Gambar 4. Strukturisasi elemen dalam pengelolaan sagu
Figure 4. The structure of the element in management of sago
Gambar 4 menunjukkan struktur hirarki
sub elemen kendala yang berpengaruh terhadap
pengelolaan sagu berkelanjutan dari level
terendah (level 1) yang pengaruhnya kurang
sensitif, sampai dengan level tertinggi (level 5)
yang pengaruhnya paling kuat. Wawancara
mendalam kepada para pakar dilaksanakan untuk
menyusun formulasi kebijakan pengelolaan sagu
berkelanjutan terhadap faktor pengungkit yang
berada di sektor independent atau pada struktur
hirarki level 4 dan 5. Hasil wawancara tersebut
dipergunakan untuk menyusun kebijakan,
program dan kegiatan sebagai strategi kebijakan
dalam implementasi pengelolaan sagu
berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti
sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Penjelasan
masing masing sub elemen kendala pengungkit
(leverage factor) dalam pengelolaan sagu sebagai
berikut :
Pemanfaatan dan pengolahan limbah
Perkembangan dalam bidang pertanian
dan industri pertanian seringkali menimbulkan
peningkatan limbah pertanian yang sebagian besar
merupakan limbah berligno-selulosa. Secara kimia
limbah berligno-selulosa kaya akan selulosa yang
dapat diolah menjadi produk-produk yang
bernilai ekonomi. Ditinjau dari jenis limbah,
limbah sagu mengandung lignoselulosa yang kaya
akan selulosa dan pati, sehingga dapat
dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber
karbon. Peningkatan jumlah produksi sagu
berbanding lurus dengan peningkatan jumlah
limbah yang dihasilkan. Pengolahan limbah yang
belum maksimal dan masih menggunakan sistem
konvensional menyebabkan pencemaran di sekitar
sungai. Oleh karena itu, perlunya pemahaman
pemanfaatan dan pengolahan limbah yang
terpadu, agar hasil limbah yang dihasilkan dari
sagu dapat bernilai ekonomi dan meminimalisir
Level 1
Level 2
Level 3
Level 4
Level 5
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
110
pencemaran lingkungan. Pengelolaan limbah cair
berupa air hasil ekstraksi sagu mampu
diminimalisir pencemarannya dengan meng-
gunakan teknik aerasi, ion logam dan mikro-
organisme (Rashid et al., 2010; Quek et al., 1998;
Ayyasamy et al., 2008; Kandasamy et al., 2014;
Gunasekar et al., 2014) dan bahkan mampu
menghasilkan biogas (Sangeetha dan Sivakumar,
2016). Pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak
dapat menjadi salah satu strategi pengembangan.
Menurut Sisriyanni et al., (2017) pemberian lim-
bah sagu yang difermentasi mampu mensubtitusi
pakan hingga 75%, hal tersebut sangat meng-
untungkan peternak sapi karena mampu
mengurangi ketergantungan terhadap pakan
konvensional. Menurut Simanihuruk et al., (2013)
penggunaan 40% ampas sagu mampu diberikan
sebagai pakan alternatif untuk ternak kambing.
Sistem ijon
Menurut Susanti et al., (2018) masyarakat
yang hanya mendapatkan pendapatan dari satu
komoditas yang ditanam secara monokultur akan
melakukan sistem ijon. Menurunnya harga dari
komoditas yang diusahakan berdampak pada
pendapatan. Situasi lebih buruk karena sebagian
besar rumah tangga tidak memiliki akses kredit
bunga rendah seperti kredit dari bank pemerintah
atau kerja sama. Hal tersebut membuka jalan bagi
tengkulak atau disebut dengan ‘toke’ menyediakan
layanan keuangan dengan bunga yang lebih tinggi
antara 15% - 60%. Widodo et al., (2016)
menyatakan bahwa sagu di desa Sungai Tohor
merupakan sagu yang dibudidayakan oleh
masyarakat. Pada masa awal budidaya sagu,
sistem dalam budidaya sagu masih menggunakan
sistem ijon. Sistem ijon merupakan suatu sistem
yang masyarakatnya menanam pohon sagu dan
para pedagang dari keturunan cina membeli
pohon-pohon sagu mereka yang masih muda.
Sistem tersebut cukup merugikan para petani sagu
di Desa Sungai Tohor. Akhirnya, sistem ijon di-
hentikan dengan dibangunnya kilang-kilang sagu
di Desa Sungai Tohor.
Para petani sagu kini tidak perlu menjual
pohon sagunya, tetapi cukup dengan menjual tual-
tual sagu yang dipanen dari pohonnya. Para
petani akan menjual tual-tual tersebut ke para pe-
milik kilang dan para pemilik kilang akan
membeli tual-tual sagu. Selain itu, konsep
budidaya yang dilakukan petani sagu juga
difokuskan dalam rangka pemilihan lahan,
penanaman sagu, pengairan, dan penangan hama.
Menurut Salampessy et al., (2017) sistem hipotek
pohon merupakan salah satu bentuk kesepakatan
antara petani pala sebagai pelaku utama dan
pengepul sebagai agen. Kesepakatan atau
perjanjian tersebut terdiri atas sejumlah pohon
pala yang digunakan sebagai jaminan untuk
meminjam uang. Perjanjian dapat terlaksana
karena kerugian ekonomi dan kebutuhan rumah
tangga di kalangan petani. Petani membutuhkan
modal dalam keadaan tertentu untuk membiayai
berbagai kewajiban keluarga, seperti biaya sekolah
atau kuliah anak-anak, perbaikan rumah dan acara
seremonial seperti pernikahan. Menurut
Hutabarat (2013) terdapat 2 hipotesis petani
melakukan penjualan menggunakan sistem ijon.
Hipotesis yang pertama yaitu pendapatan petani
hanya diterima setiap musim panen, sedangkan
pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap
minggu bahkan pada waktu-waktu yang
mendesak sebelum panen tiba sehingga petani
terjebak pada sistem ijon. Hipotesis yang ke dua
yaitu biaya produksi sangat berpengaruh terhadap
penjualan ke tengkulak. Petani membutuhkan
uang tunai pada masa produksi, maupun untuk
kebutuhan konsumtif seperti hajatan dan
selamatan.
Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar
Pengembangan sagu di Indonesia khu-
susnya di Kabupaten Kepulauan Meranti
bertujuan mengoptimalkan sumberdaya dan
pengolahan berkelanjutan. Menurut Nursodik et
al., (2016) pengalaman petani dalam usahatani
sagu menjadi indikator dalam mengelola
usahatani sagu secara mandiri. Sasaran yang
penting dicapai dalam pengembangan sagu ini
Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)
111
diantaranya peningkatan produktivitas sagu,
diversifikasi produk, dan peningkatan pendapatan
petani sagu. Segmentasi pasar sangat diperlukan
dalam mengoptimalkan pemanfaatan sagu yang
ada di Indonesia, agar masyarakat umum lebih
mengenal produk olahan sagu. Penguatan pangan
lokal berbasis sagu perlu disinkronkan dengan
program-program pemerintah seperti bantuan
pangan bencana alam dengan memasukkan
pangan lokal khususnya sagu. Menurut Hardono
(2014) strategi yang dapat dilakukan dalam
pengembangan diversifikasi pangan berbasis
pangan lokal yaitu menyelaraskan kebijakan
produksi dan industri pangan dengan kebijakan
konsumsi pangan; promosi pangan lokal yang
sehat, komprehensif, dan terus menerus;
penciptaan pasar pangan lokal di tingkat nasional
dan wilayah; serta diikuti penyediaan produk
pangan lokal yang mampu bersaing dengan
produk asing.
Tata kelola air
Suriadikarta (2012) menyatakan bahwa
teknologi pengelolaan tanah dan air merupakan
kunci utama keberhasilan usahatani pertanian di
lahan rawa gambut. Tata air makro dan mikro
mencakup saluran primer, sekunder dan tersier
sangat mempengaruhi kondisi tanah. Sistem tata
air tertutup di lahan rawa gambut cocok dilakukan
karena sistem tata air dapat dikontrol, sistem
tersebut dilengkapi dengan tanggul dan bangunan
pintu air. Menurut Ritzema et al. (2014) strategi
pada lahan gambut tropis yang dikeringkan dapat
dilakukan dengan strategi penyekatan kanal.
Tujuan penyekatan kanal yaitu 1) untuk
menaikkan muka air di lahan gambut; 2)
mengurangi limpasan melalui saluran dan sebagai
gantinya untuk membangun kembali aliran darat
alami dari puncak kubah gambut menuju sungai
yang berdekatan; 3) mengurangi kecepatan aliran
di kanal sebanyak mungkin untuk menghindari
erosi.
Tanaman sagu layak secara ekologi, ekonomi
dan sosial dalam mengkonservasi dan rehabilitasi
lahan gambut, sehingga mampu menjadi tanaman
unggulan dan menjadi komoditas strategis
khususnya pangan dan energi (Herman, 2016).
Menurut Ibrahim dan Gunawan (2015) areal
sagu saat ini menjadi lahan sasaran untuk
dikonversi menjadi lahan non pertanian. Salah
satu contohnya di Halmahera Barat pedagang sulit
mendapatkan pati sagu karena konversi lahan
sagu menjadi lahan sawah. Sagu di lahan gambut
banyak yang dikonversi menjadi tanaman
perkebunan lain.
Pengolahan produk turunan dan design kemasan
Pengolahan produk dan mendesain kemasan
merupakan rangkaian kegiatan untuk
meningkatkan nilai tambah ekonomi suatu
komoditas. Menurut Yasin et al., (2005)
pengembangan agribisnis sagu di Kabupaten
Kepulauan Meranti mampu mendukung
diversifikasi pangan dan agroindustri sehingga
meningkatkan ekonomi masyarakat. Menurut
Hadi (2014) di sektor pertanian, penciptaan nilai
tambah terjadi di sektor tengah dari sistem
agribisnis yaitu pengolahan hasil pertanian
(agroindustri). Hal ini disebabkan usaha di tingkat
sektor tengah lebih menguasai teknologi pencipta
nilai tambah dan akses pasar dibanding usaha di
tingkat hulu (petani/nelayan). Selain itu,
pengembangan produk dan promosi yang sesuai
dengan kebutuhan target pasar juga merupakan
kunci sukses dari strategi pemasaran. Produk
yang berhasil adalah produk yang dapat diterima
konsumen dengan harga, atribut dan tampilan
yang memenuhi kebutuhan konsumen.
Memasarkan sebuah produk, tidak hanya dari segi
kualitas saja, namun perlu memperhatikan atribut
produk tersebut. Perancangan desain kemasan
yang kreatif dan inovatif diperlukan dalam
meningkatkan strategi pemasaran produk sagu.
Menurut Cenadi (2000) kemasan menjadi tampilan
dari sebuah produk untuk menarik konsumen.
Kemasan menuntut banyak pertimbangan dalam
proses pembuatannya karena mempertimbangkan
faktor estetis dan fungsionalnya serta menarik
perhatian konsumen dan memenangkan
persaingan pasar. Menurut Irrubai (2016)
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
112
walaupun labeling, packaging dan marketing di
pedesaan masih tradisional tetapi dari waktu ke
waktu mengalami peningkatan yang lebih baik.
Stabilitas harga
Stabilitas harga sagu perlu dijaga untuk
mendukung ketahanan pangan, sehingga harga
pangan terutama sagu tetap berada pada titik yang
terjangkau oleh konsumen. Ditinjau dari sisi
stabilitas harga, sagu merupakan komoditas yang
mempunyai harga relatif stabil, dari tahun 2004 –
2010 dan mengalami peningkatan tahun 2011
(Linda, et al. 2014). Namun demikian, stabilitas
harga sagu perlu dijaga, dengan mendorong
beberapa kebijakan. Kebijakan stabilitas harga
dapat didefinisikan sebagai usaha-usaha untuk
memperbaiki keseimbangan antara penawaran
dan permintaan agregat dalam perekonomian,
dengan tujuan untuk mengurangi inflasi dan
memperkuat posisi neraca pembayaran
internasional. Cara lain yang dapat dilakukan
yaitu mendorong peningkatan diversifikasi
konsumsi produk turunan sagu (Bantacut 2011).
Menurut Bantacut, (2014) pengembangan sagu di
Indonesia akan mampu memecahkan masalah
keamanan dan kedaulatan pangan karena
memiliki beragam produk turunan. Produk
turunan yang beragam akan meningkatkan
konsumsi sagu dan berdampak pada peningkatan
produksi di petani, sehingga kestabilan harga
dapat terjadi.
Arahan Kebijakan Berdasarkan Kendala Prioritas
Berdasarkan hasil kajian di atas, maka
arahan kebijakan yang dapat digunakan untuk
mengatasi kendala dalam pengelolaan sagu
berkelanjutan kedepannya diperlukan tahapan
perencanaan berdasarkan kendala prioritas
terpilih. Strategi kebijakan dalam implementasi
pengelolaan sagu disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Strategi kebijakan dalam implementasi pengelolaan sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti.
Table 4. Policy strategy in the implementation of sago managemen in Meranti Islands Regency
No Kendala Kebijakan Program Kegiatan
1 Pemanfaatan dan pengelolaan limbah Waste utilization and management
Pengelolaan limbah sagu Handling of sago waste
Pilot Projek pengelolaan limbah Waste management pilot project
1. Pengolahan limbah padat menjadi pakan ternak dan energi terbarukan. Processing of solid waste into animal feed and renewable energy
2. Pengolahan limbah cair untuk budidaya alga Liquid waste treatment for algae cultivation
2 Sistem ijon Ijon system
Optimalisasi pemanfaatan lahan Optimization of land use
1. Penanaman tum-pangsari pada gawangankebun sagu
Planting with “tumpang sari” in sago garden
2. Diversifikasi usa-ha tani
Diversification farming
3. Pemanfaatan lahan pekarangan petani
Utilization of farmyard
4. Pelatihan pengrajin industri penunjang ekonomi keluarga
Home industry trai-ning for supporting economy of family.
1. Penanaman tanaman pangan pala-wija (jagung, cabe, terong) di gawangan kebun sagu
Food crops planting (corn,chili,eggplant) in sidelines of plants sago.
2. Kombinasi sagu-ternak, sagu-ikan, sagu-tanaman hutan (rotan, gaharu)
Combination of sago-farms, sago-fish, sago-forestry plants (rattan,gaharu).
3. Penanaman tanaman pekarangan (apotek hidup, cabe, bayam, kacang panjang dan lain-lain)
Planting yard crops (herbal plant, chile,spinach, beans etc.)
4. Pelatihan industri makanan/kuliner:
aneka mie, kue kering, gula cair sagu, kerupuk dan lain-lain
Culinary training: noodles, pastry, liquid sugar, cracker,etc
5. Pelatihan keterampilan penunjang
Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)
113
No Kendala Kebijakan Program Kegiatan
ekonomi keluarga, kerajinan tangan, souvenir, rajut, membuat jala ikan.
Training other skills family economic supporting handicrafts, souvenir, knitting, make a fish.
3 Ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar Availibility, dis-tribution and market segmentation
Kampanye pangan sehat Healthy food campaign
Pengembangan produk pangan sehat berbasis sagu Development of sago-based healthy food products
1. Sertifikasi pangan sehat Healthy food certification 2. Pembinaan kepada pelaku usaha
dan masyarakat Knowledge development to busi-
nessman and communities
4 Tata kelola air Water mana-gement
Pengembalian lingkungan tumbuh sagu sesuai per-syaratan kon-disinya Repayment growing sago environment in accordance with requirements condition
1. Pembasahan lahan Re-Wetting land
1. Pembuatan trio tata air jika belum tertata/terbuat yaitu : saluran, tanggul, pintu klep.
Triangle water management construction : cannal, barrier, and valve
2. Pembuatan sekat kanal. Cannal partition construction. 3. Pengairan pada lahan sagu yang
jauh dari badan air Watering on land sago that is far from a
body of water
2. Penataan ruang tumbuh sagu
Spatial planning growing sago
1. Pemetaan kelas lahan kesesuaian sagu.
Mapping of land suitability sago. 2. Penanaman sagu sesuai habitatnya Planting sago in their habitat.
5 Pengolahan produk turunan dan desain kemasan
Peningkatan kualitas daya saing Improving the quality of compe-titiveness
1. Diversifikasi produk
Product diversifi-cation
2. Peningkatan mutu kemasan
Improving packaging quality
1. Desain kemasan Packaging design 2. Diversifikasi pengolahan Processing diversification
6 Stabilitas harga Penguatan ke-lembagaan pe-masaran sagu Institutional establishment of sago marketing
1. Penetapan formu-lasi harga dasar
Determanation of basic price formula-tions
2. Penguatan kelembagaan pemasaran sagu
Institutional streng-thening of sago marketing
1. Pembangunan sentra industry terpadu sagu
Development of integrated sago industrial centers
2. Pembangunan home industry Development of home industry 3. Pembangunan pasar penyangga
(Bulog) Construction of a buffer market (Bulog)
Berdasarkan Tabel 4, penelitian yang
dilakukan memiliki nilai penting dan strategis
dalam perumuskan kebijakan pengelolaan sagu
yang berkelanjutan bagi pemerintah dalam hal : a)
mendorong terbitnya kebijakan kuota sagu sebagai
barang substitusi impor; b) mendorong
pemerintah daerah dalam pengembangan dan
pengelolaan sagu dari hulu ke hilir; c) mendorong
pengelolaan limbah sagu; d) mendorong
penguatan kelembagaan pemasaran sagu; e)
mendorong peningkatan infrastruktur yang
mendukung pengembangan sagu; f) menjadikan
isu sagu sebagai pangan pokok pengganti beras.
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
114
KESIMPULAN
Untuk mewujudkaan strategi pengelolaan
sagu berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan
Meranti melalui analisis struktur kendala, maka
dapat disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD)
diperoleh enam belas sub elemen yang
berpengaruh dalam pengelolaan sagu yaitu : K1
(teknik pengeringan sagu); K2 (pengolahan
produk turunan dan desain kemasan); K3
(pemanfaatan dan pengolahan limbah); K4
(penggunaan teknologi pengolahan air); K5
(persentase penduduk dibawah garis
kemiskinan); K6 (budaya pemanenan sagu); K7
(akses kelompok tani kelembaga keuangan); K8
(regulasi tata guna lahan); K9 (pola kemitraan
dan pemantapan kelembagaan petani); K10
(sistem ijon); K11 (stabilitas harga); K12 (sumber
modal); K13 (ketersediaan, distribusi dan
segmentasi pasar); K14 (tata kelola air); K15
(asosiasi vegetasi); K16 (kesesuaian lahan);
2. Analisis ISM menghasilkan enam sub elemen
kendala pengungkit yang harus diperhatikan
dalam pengelolaan sagu yaitu: pemanfaatan
dan pengolahan limbah; sistem ijon;
ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar;
tata kelola air; pengolahan produk turunan dan
desain kemasan; dan stabilitas harga.
3. Faktor pengungkit (Leverage factor) dominan
dalam pengelolaan sagu berkelanjutan adalah
pemanfaatan dan pengolahan limbah; sistem
ijon; ketersediaan, distribusi dan segmentasi
pasar; dan tata kelola air.
SARAN
1. Perlu kajian lebih lanjut tentang produk
turunan dari sagu terutama dukungan
teknologi, pelatihan dan penguatan
kelembagaan.
2. Perlu kajian lebih lanjut tentang kelangsungan
usaha pengrajin industri makanan rumah
tangga yang memerlukan tepung sagu basah
sebagai bahan baku berkaitan dengan kondisi
sekarang industri kilang sagu dominan
menghasilkan tepung sagu kering yang dijual
ke luar daerah.
3. Perlu kajian lebih lanjut dalam upaya
peningkatan produktivitas, mengurangi lama
masa panen dan menghapuskan ijon.
DAFTAR PUSTAKA
Alfons, J.B., A.A. Rivaie. 2011. Sagu men-dukung
ketahanan pangan dalam menghadapi
dampak perubahan iklim. Perspektif. 10(2):81-
91.
Asthutiirundu, A. Lay. 2013. Analisis kelayakan
finansial pengolahan tepung sagu menjadi
produk kue bagea (studi kasus pada industri
rumah tangga di Minahasa Selatan). Buletin
Palma. 14(1):61-68.
Ayyasamy, P.M., R. Banuregha, G.
Vivekanandhan, S. Rajakumar, R. Yasodha, S.
Lee, P. Lakshmana-perumalsamy. 2008.
Bioremediation of sago industry effluent and
its impact on seed germination (green gram
and maize). World J Microbiol Biotechnol.
24(11):2677-2684.
Bantacut, T. 2011. Sagu: sumberdaya untuk
penganekaragaman pangan pokok. Pangan.
20(1):27-40.
Bantacut, T. 2014. Indonesian staple food
adaptations for sustainability in continuosly
changing climates. Journal of Environment
and Earth Science. 4(21):202-215.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan
Meranti. 2018. Kabupaten Kepulauan
Meranti Dalam Angka 2018. Selatpanjang
Bukhari, N.A., S.K. Loh, N.A. Bakar, M. Ismail.
2017. Hydrolysis of residual starch from sago
pith residue and its fermentation to bioethanol.
Sains Malaysiana. 46(8):1269-1278.
Cenadi, C.S. 2000. Peranan desain kemasan dalam
dunia pemasaran. Nirmana. 2(1):92-103.
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu
dan Efektivitas Manajemen. Jilid 1 Edisi
Ketiga. Bogor. IPB Press.
Flach, M. 1997. Sago Palm, Metroxylon Sagu,
Rottb. International Plant Generic
Resources Institute: Pro-moting The
Conservation and The Use of Under
Utilized and Neglected Crops. Rome.
Analisis Struktur Kendala Dalam Pengelolaan Sagu Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (Mamun Murod, et al.)
115
Gunasekar, V., K. Madhuri., N. Apoorva., G.
Sailaja., V. Ponnusami. 2014.
Bioremediation of sago industry waste. Bio
Technology An Indian Journal. 9(2):73-78.
Hadi, P.U. 2014. Reformasi Kebijakan Penciptaan
Nilai Tambah Produk Pertanian Indonesia. P.
303-316. Dalam Haryono, Pasandaran E.,
Rachmat M., Mardianto S., Salim S.H.P., dan
Heriadi A (Editor). Reformasi Kebijakan
Menuju Transformasi Pembangunan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jakarta; IAARD Press.
Hardono, G.S. 2014. Strategi pengembangan
diversifikasi pangan lokal. Analisis Kebijakan
Pertanian. 12(1):1-17.
Herman. 2016. Upaya konservasi dan rehabilitasi
lahan gambut melalui pengembangan industri
perkebunan sagu. Soendjoto MA, Dharmono,
Riefani MK, editor. Potensi, Peluang dan
Tantangan Pengelolaan Lingkungan Lahan
Basah Secara Berkelanjutan. Prosiding Seminar
Nasional Lahan Basah 2016; 2016 Nov 5,
Banjarmasin. Banjarmasin (ID): Lambung
Mangkurat University Press.
Hoque, M.E., T.J. Ye, L.C. Yong., and K.M. Dahlan.
2013. Sago starch-mixed low-density
polyethylen biodegradable polymer: synthesis
and characterization. Journal of Materials. 1-8.
Hutabarat H. 2013. Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi petani dalam penjualan padi
ke tengkulak di Kecamatan Jatilawang
Kabupaten Banyumas. Agritech. 15(2):87-104.
Ibrahim, K., H. Gunawan. 2015. Dampak kebijakan
konversi lahan sagu sebagai upaya
mendukung program pengem-bangan padi
sawah di Kabupaten Halmahera Barat,
Maluku Utara. Prosiding Seminar Nasional
Masyarakat Biodiversitas Indonesia.
Semarang, 9 Mei 2015. 11 hlm.
Irrubai, M.L. 2016. Strategi labeling, packaging,
dan marketing produksi hasil industri rumah
tangga. Social Science Education Journal.
3(1):17-26.
Kandasamy, S., B. Dananjeyan, and K.
Krishnamurthy. 2014. Biodegradation of
cyanide and starch by individual bacterial
strains and mixed bacterial consortium
isolated from cassava sago wastewater.
Research Journal of Chemistry and
Environment. 18(6):13-18.
Konuma, H., R. Rolle., and S. Boromthanarat. 2013.
Correlation of browning of starch extracted
from sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) to the
phenolic content and ecosystem conditions of
growth. Journal of Agricultural Technology.
9(1):193-200.
Kumar, M., and S. Manivannan. 2015.
Biomanagement of sago bagasse with biogas
plant slurry using an indigenous earthworms
perionyx ceylanensis Mich. And lampito
mauritii (kinberg) for nutrients recovery.
Pelagia Research Library. 5(12):12-17.
Linda T., M. Turukay., dan N.F. Wenno. 2014.
Analisis Permintaan Beras di Provisi Maluku.
Jurnal Agrilan (Agribisnis Kepulauan). 2(1):78-
87.
Louhenapessy, J.E., M. Luhukay., S. Talakua., H.
Salampessy., dan J. Riry. 2010. Sagu Harapan
dan Tantangan. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Marimin. 2004. Teknik Aplikasi Pengambilan
Keputusan Kreteria Majemuk. Grasindo.
Jakarta.
Nursodik, R., Rosnita., dan E. Sayamar. 2016.
Kemandirian petani dalam berusahatani sagu
di Desa Tanjung Kecamatan Tebing Tinggi
Barat Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi
Riau. SEPA. 13(1):28-39.
Quek, S.Y., D.A.J. Wase., and C.F. Forster. 1998.
The use of sago waste for the sorption of lead
and copper. Water SA. 24(3):251-256.
Rahim, A., Mappiratu., dan A. Noviyanti. 2009.
Sifat fisikokimia dan sensoris sohun instan
dari pati sagu. Jurnal Agroland. 16(2):124-129.
Rashid, W.A., H. Musa., W.S. King., and K. Bujang.
2010. The potential of extended aeration
system for sago effluent treatment. Amerina
Journal of Applied Sciences. 7(5):616-619.
Ritzema, H., S. Limin., K. Kusin., J. Jauhiainen., H.
Wosten. 2014. Canal blocking strategies for
hydrological restoration of degraded tropical
peatlands in Central Kalimantan, Indonesia.
Catena. 114:11-20.
Salampessy M.L., I.G. Febryano., D. Zulfiani. 2017.
Bound by debt: nutmeg trees and changing
relations between farmers and agents in a
Moluccan agroforestry systems. Forest and
Society. 1(2):137-143.
Buletin Palma Volume 19 No. 2, Desember 2018: 101 - 116
116
Sangeetha, V., V. Sivakumar. 2016. Biogas
production from synthetic sago wastewater by
anaerobic digestion: optimization and
treatment. Chem. Ind. Chem. Eng. Q. 22(1):33-
39.
Sexana., J.P. Sushil, and P. Vrat. 1992. Scenario
Buliding: A Critical Study of Energy
Conservation in The Indian Cement Industry.
Technological Forecasting and Social Change.
41:121-146.
Simanihuruk, K., Antonius., dan J. Sirait. 2013.
Penggunaan ampas sagu sebagai campuran
pakan komplit kambing Boerka fase
pertumbuhan. Inovasi Teknologi Peternakan
dan Veteriner Berbasis Sumberdaya Lokal
yang Adaptif dan Mitigasi Terhadap
Perubahan Iklim. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013; 2013
Sept 3-5, Medan. Medan (ID): IAARD Press.
Singhal, R.S., J.F. Kennedy., S.M. Gopalakrishnan.,
A. Kaczmarek., C.J. Knill., and P.F. Akmar.
2007. Industrial production, processing, and
utilization of sago palm-derived products.
Carbohydrate Polymers. 72:1-20.
Sisriyanni, D., A. Simanjuntak., dan T. Adelina.
2017. Potensi dan penggunaan limbah sagu
fermentasi sebagai pakan sapi di Kabupaten
Kepulauan Meranti. Teknologi Peternakan dan
Veteriner Mendukung Diversifikasi Sumber
Protein Asal Ternak. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
2017; 2017Agust 8-9, Bogor. Bogor (ID):
IAARD Press.
Situmorang, R.O.P., dan A.H. Harianja. 2018.
Tingkat preferensi masyarakat mengelola sagu
di Kabupaten Asahan, serta faktor-faktor yang
memengaruhinya. Jurnal Penelitian Sosial dan
Ekonomi Kehutanan. 15(2):129-147.
Suriadikarta, D.A. 2012. Teknologi pengelolaan
lahan rawa berkelanjutan: studi kasus
kawasan ex PLG Kalimantan Tengah. Jurnal
Sumberdaya Lahan. 6(1):45-54.
Susanti, A., O. Karyanto., A. Affianto., Ismail., S.
Pudyatmoko., T. Aditya., Haerudin., H.A.
Nainggolan. 2018. Understanding the impacts
of recurrent peat fires in Padang Island – Riau
Province, Indonesia. Jurnal Ilmu Kehutanan.
12:117-126.
Tarigan, D.D. 2001. Sagu memantapkan
swasembada pangan. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 23(5):1-3.
Trisia, M.A., A.P. Metaragakusuma., K. Osozawa.,
and H. Bai. 2016. Promoting sago palm in the
context of national level: chalenges and
strategies to adapt to climate change in
Indonesia. International Journal Sustainable
Future for Human Security. 4(2):54-63.
Tiro, B.M.W., P.A. Beding., and Y. Baliadi. 2018.
The utilization of sago waste as cattle feed. IOP
Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 119:1-9.
Utami, A.S., T.C. Sunarti., N. Isono., M.
Hisamatsu., and H. Ehara. 2014. Preparation of
biodegradable foam from sago residue. Sago
Palm. 22:1-5.
Walpole, R.E. 1995. Pengantar statistika Edisi ke
3. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wang, W.J., A.D. Powell., and C.G. Oates. 1996.
Sago starch as a biomass source raw sago
starch hydrolysis by commercial enzymes.
Bioresource Technology. 55: 55-61.
Widodo A.C., K. Damayanti., MFRH. Rambey.,
P.D. Novitasari., dan S. Bonata. 2016. Upaya
petani sagu dalam usaha budidaya sagu pasca-
proyek kanalisasi: studi di Desa Sungai Tohor,
Riau. Jurnal Indonesia Student Research &
Summit 2016. 2:32-41.
Yadaf, R., and G. Garg. 2013. A review on Indian
sago starch and its pharmacuetical
applications. International Journal of
Pharmaceutical and Life Sciences. 2(3):99-106.
Yasin, A.Z.F., A. Rifai., E. Maharani., S. Hutabarat.,
N. Haska. 2005. A study on sago agribusiness
in Riau Province, Indonesia. Sago Palm. 13:1-8.
Zawawi, Z.A.M., N.F. Akam., D. Dose., S. Alyssa.,
R.A. Ahmad., and Z. Yussof. 2017.
Biodegradable plastics from sago starch.
Journal of Mechanical Engineering
Department PKS. 1(1):46-54.