douwes dekker

33
Multatuli: Sosok Pembela Rakyat Tertindas Oleh MH Ubaidilah Multatuli? Ya, Multatuli. Multatuli merupakan nama samaran dari Eduard Douwes Dekker. Nama Multatuli diambil dari bahasa Latin yang berarti “Aku sudah menderita cukup banyak” atau “Aku sudah banyak menderita”. Multatuli lahir di Amsterdam, Belanda pada tanggal 2 Maret 1820 tepatnya di Korsjespoorsteeg. Multatuli memiliki saudara bernama Jan. Jan tak lain adalah kakek dari Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (lebih dikenal dengan nama Danudirja Setiabudi atau Setiabudi) Pahlawan Nasional. Multatuli yang namanya pernah dijadikan akademi sastra dan bahasa Indonesia di Jakarta itu dikenal sebagai humanis besar, bukan saja mengenal kolonialisme dan wataknya, juga mengenal rakyat jajahan, dan lebih menghayati keterbatasannya dalam penghidupan, dalam berbudaya, dalam berlawan, bahkan dalam bercinta. Multatuli kecil adalah pribadi yang pandai dan cerdas. Ayahnya seorang kapten kapal yang memiliki penghasilan cukup. Keluarganya termasuk keluarga mapan dan berpendidikan. Multatuli disekolahkan oleh Ayahnya di sekolah Latin. Tahun 1838 Multatuli untuk pertama kalinya pergi ke Pulau Jawa. Pertama kali ia tiba di Indonesia pada tanggal 4 Januari 1839 tepatnya di Batavia yang kini bernama Jakarta. Jenjang kerjanya dimulai dari menjadi pegawai Dewan Dinas Keuangan di Batavia. Tiga tahun kemudian dia melamar pekerjaan sebagai ambtenaar (pegawai negeri) pamong praja di Sumatra Barat. Gubernur Jendral Andreas Victor Michiels kemudian mengirimnya ke kota Natal sebagai kontroler kelas dua. Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan setelah keluar dari pekerjaannya. Baru pada bulan September 1844 ia mendapatkan izin untuk pulang ke Batavia. Tahun 1845 Multatuli ditunjuk sementara sebagai sekretaris asisten residen di Karawang. Sambil menunggu penempatan tugas, Multatuli menjalin asmara dengan Everdina Huberta Baroness dari Wijnbergen.

Upload: amy-imanda

Post on 01-Jul-2015

1.233 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: Douwes Dekker

Multatuli: Sosok Pembela Rakyat Tertindas

Oleh MH Ubaidilah

Multatuli? Ya, Multatuli. Multatuli merupakan nama samaran dari Eduard Douwes Dekker. Nama Multatuli diambil dari bahasa Latin yang berarti “Aku sudah menderita cukup banyak” atau “Aku sudah banyak menderita”. Multatuli lahir di Amsterdam, Belanda pada tanggal 2 Maret 1820 tepatnya di Korsjespoorsteeg. Multatuli memiliki saudara bernama Jan. Jan tak lain adalah kakek dari Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (lebih dikenal dengan nama Danudirja Setiabudi atau Setiabudi) Pahlawan Nasional.

Multatuli yang namanya pernah dijadikan akademi sastra dan bahasa Indonesia di Jakarta itu dikenal sebagai humanis besar, bukan saja mengenal kolonialisme dan wataknya, juga mengenal rakyat jajahan, dan lebih menghayati keterbatasannya dalam penghidupan, dalam berbudaya, dalam berlawan, bahkan dalam bercinta. Multatuli kecil adalah pribadi yang pandai dan cerdas. Ayahnya seorang kapten kapal yang memiliki penghasilan cukup. Keluarganya termasuk keluarga mapan dan berpendidikan. Multatuli disekolahkan oleh Ayahnya di sekolah Latin.

Tahun 1838 Multatuli untuk pertama kalinya pergi ke Pulau Jawa. Pertama kali ia tiba di Indonesia pada tanggal 4 Januari 1839 tepatnya di Batavia yang kini bernama Jakarta. Jenjang kerjanya dimulai dari menjadi pegawai Dewan Dinas Keuangan di Batavia. Tiga tahun kemudian dia melamar pekerjaan sebagai ambtenaar (pegawai negeri) pamong praja di Sumatra Barat. Gubernur Jendral Andreas Victor Michiels kemudian mengirimnya ke kota Natal sebagai kontroler kelas dua.

Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan setelah keluar dari pekerjaannya. Baru pada bulan September 1844 ia mendapatkan izin untuk pulang ke Batavia.

Tahun 1845 Multatuli ditunjuk sementara sebagai sekretaris asisten residen di Karawang. Sambil menunggu penempatan tugas, Multatuli menjalin asmara dengan Everdina Huberta Baroness dari Wijnbergen. Gadis keturunan bangsawan. Pada tanggal 10 April 1846, ia yang saat itu telah ditunjuk sebagai pegawai di kantor perumahan di Poerworedjo, menikah dengan Tine.

Ditunjuk sebagai sekretaris residen di Manado, Sulawesi tahun 1848. Akhir April 1849, merupakan masa-masa karier terbaik Multatuli. Multatuli yang pemikirannya sangat maju tentang rancangan peraturan guna perubahan dalam sistem hukum kolonial membuat ia diperhatikan atasannya, residen Scherius. Ia juga mendapat perhatian para pejabat di Bogor. Kariernya pun meningkat dari sekretaris residen menjadi asisten residen. Asisten residen merupakan karier nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda. Multatuli menerima jabatan ini dan ditugasi di Ambon pada bulan Oktober 1851.

Saat bertugas di Ambon, Multatuli tidak sepaham dengan Gubernur Maluku. Multatuli akhirnya

Page 2: Douwes Dekker

mengajukan cuti dengan alasan kesehatan. Pada hari Natal tahun 1852, Multatuli bersama istrinya, Tine tiba di pelabuhan Hellevoetsluis dekat Rotterdam. Tanggal 1 Januari 1854 lahir anak pertamanya, Edu.

Pada tanggal 10 September 1855, Multatuli dan istrinya kembali ke Batavia. Tak lama kemudian ia diangkat menjadi Asisten Residen Lebak, Banten, yang bertempat di Rangkasbitung. Pengangkatan Multatuli sebagai Asisten Residen Lebak terhitung sejak 21 Januari 1856. Sehari kemudian, ia memberikan pidato di hadapan para bawahannya. Multatuli melaksanakan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab. Namun, ia menemukan keadaan di Lebak yang sangat buruk bahkan lebih buruk dari keadaan yang didapatkannya dari berita. Perlakuan buruk itu dilakukan oleh Adipati Karta Natta Nagara dan menantunya. Multatuli mengambil sikap membela rakyat yang terhisap oleh pengusaha perkebunan kopi yang bersekongkol dengan bupati yang dilindungi oleh Residen Belanda. Mulatuli melancarkan perjuangan melawan ketidakadilan dengan menulis surat tertanggal 24 Februari kepada Gubernur Jenderal A.J. Duymaer van Twist. Multatuli menulis surat tanpa terlebih dahulu melalui atasannya, Residen Lebak Brest van Kempen. Hal itu Mulatuli lakukan karena ia mengetahui Residen Lebak tidak akan menggubris laporannya. Namun apa yang terjadi Gubernur Jenderal A.J. Duymaer van Twist pun tak menghiraukan laporannya, bahkan Multatuli dianggap “mbalelo”, dituduh tidak cakap menjadi pejabat, dan dituding melawan prosedur. Multatuli pun mengundurkan diri. Pengunduran dirinya dikabulkan tanggal 4 April 1856.

Multatuli meninggalkan Lebak dan tinggal di Batavia. Tak lama kemudian, Multatuli meninggalkan Batavia menuju Eropa tanpa ditemani anak dan istrinya. Tanggal 1 Juni 1857, lahir putrinya Nonnie. Pada awal tahun 1858 dia tiba di ibukota Belgia, Brussel. Tinggal di kamar loteng sebuah penginapan bernama “In de kleine prins”, di rue (jalan) de la Fourche nomor 52. Di kamar kecil itu lahirlah karyanya, roman kepahlawanan pembela rakyat tertindas, berjudul “Max Havelaar of de Koffieveilingen der Nederlandsche Handelsmaatschappij” (Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda). Novel itu ditulisnya antara bulan September hingga bulan Desember 1859 yang kemudian terbit pertama kali pada tahun 1860. Dalam sejarah banyak orang tersentak karena novel ini dan berlanjut hingga sekarang.

Tahun 1861 ia menerbitkan Over vrijen arbeid in Nederlandsche Indie (Kebebasan Buruh di Hindia Belanda), Wijs mij de plaats waar ik gezaaid heb (Tunjukkan pada saya tempat di mana aku menabur), dan Minnebrieven (Surat-surat Cinta).

Tahun 1862 Multatuli menerbitkan De Ideen (Gagasan-gagasan) jilid pertama yang isinya kumpulan uraian pendapatnya mengenai politik, etika, dan filsafat; karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Naskah drama yang ditulisnya, di antaranya Vortenschool (Sekolah para Raja), dipentaskan dengan sukses. Multatuli tinggal bersama Mimi Hamamminck Schepel, seorang anak yang dianggap anaknya sendiri, di Wiesbaden, Jerman tahun 1864.

Tahun 1865 Multatuli menerbitkan jilid kedua dari De Ideen dan De Zegen Gods door Waterloo. Tulisannya Nog eens: Vrye arbeid in Nederlandsche Indie terbut tahun 1870. Setahun kemudian, ia menerbitkan Duizend-en-eenige hoofdstukken over specialitieten. Antara tahun 1871 hingga 1877 keluarlah jilid ketiga hingga ketujuh dari De Ideen (Gagasan-gagasannya). Tahun 1874, istrinya Tine

Page 3: Douwes Dekker

meninggal di Venesia. Setahun kemudian, ia menikah dengan Mimi (Maria Hamminck Schepel). Pada tahun 1875 juga ia melakukan pementasan perdana untuk dramanya Sekolah para Raja di Amsterdam. Di tahun tersebut, Multatuli banyak menerima surat. Tahun 1877 Multatuli yang banyak menginspirasi para tokoh besar di Indonesia ini tidak lagi mengarang hanya menulis berbagai surat. Karier kepenulisannya sama dengan kariernya sebagai seorang pejabat: 18 tahun. Multatuli kemudian pindah ke Ingelheim an Rhein dekat sungai Rhein sampai akhir hayatnya. Multatuli meninggal di Jerman tanggal 19 Februari 1887 ketika ia tertidur di kursi sofa. Mayatnya dikremasi di Gotha pada 23 Februari.

Multatuli memang merupakan contoh yang cerah dan sangat menarik dalam perjalanan waktu dan lembaran sejarah. Khususnya bagi Indonesia. Bukankah tokoh-tokoh seperti R.A. Kartini, Tirto Adhi Soerjo, Pramoedya Ananta Toer, W.S. Rendra, kelompok Angkatan Pujangga Baru, dan generasi kini sangat mengagumi karena pengaruhnya yang sangat besar dan bermakna? Tidak hanya dalam memberontak terhadap sistem kolonialisme, seperti tanam paksa melainkan juga kepada adat, kekuasaan, dan feodalisme yang hingga kini masih menghisap rakyat tertindas.

Ada tiga ciri khas yang melekat di dalam diri Multatuli. Pertama, dia sangat peduli dengan orang tertindas. Dia sangat peka ketika melihat ketidakadilan terjadi. Ia sangat cemas melihat warga Indonesia dulu akibat salah perlakuan, salah urus, memperlakukan pekerja sebagai budak. Ia cemas jika warga Indonesia akan lenyap seperti warga Indian Amerika. Kedua, dia merasa bahwa dia harus melakukan sesuatu. Multatuli harus menegakan keadilan. Ketiga, Multatuli sangat berbakat dalam hal menulis. Indonesia khusunya Lebak berperan penting dalam karya-karya Multatuli. Cara pandang atas hubungan antarmanusia. Orang kulit putih jangan merasa lebih hebat karena saat itu kebetulan lebih maju. Harus menghormati orang lain, membangun komunikasi, peduli dengan kepribadian orang lain. Itu semua yang didorong Multatuli. Semua itu terdapat di dalam Max Havelaar, novel kepahlawanan pembela rakyat tertindas.

De Express, terbit di Bandung, 1 Maret 1912. Harian ini milik Indische Partij yang kemudian menjadi musuh dari kolonial Belanda. De Express diasuh oleh Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, dan Tjipto Mangoenkoesoemo yang kemudian lebih dikenal sebagai Tiga Serangkai. Hal-hal yang dibahas di dalamnya adalah oerkara sosial-politik Hindia Belanda dan juga mengenai nasionalisme-radikal.

Beliau mengajak orang Indo-Eropa untuk tidak lagi menyebut dirinya sebagai orang Eropa karena mereka seharusnya bangga menjadi orang Indonesia. Orang Indo-Eropa memang keturunan Belanda, namun di anak-tirikan, karena hanya orang Belanda totok saja yang dianggap sebagai orang Belanda. Oleh karena itu, sebagai sesama orang Indo seharusnya bersama mengusir orang-orang Eropa tersebut dan menjadi satu dengan sebutan Boemipoetra.

Tulisannya di De Ekspress memikat para Boemipoetra dan dukungan terhadap dirinya maupun koran tersebut semakin besar. Pernah ada tulisan karangan Suwardi Suryaningrat berjudul “Als ik Nederlander was” yang artinya “Seandainya Aku seorang Belanda”. Karena tulisan tersebut, pemerintah kolonial marah besar terhadap Tiga Serangkai. Setelah itu Belanda diserang secara bertubi-tubi oleh Tiga

Page 4: Douwes Dekker

Serangkai. Tulisan lain Suwardi adalah “Satu buat Semua, tetapi juga Semua buat Satu”. Sementara tulisan DD adalah “Pahlawan kita : Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.” Hingga pada akhirnya koran De Express dibredel, mereka dibuang ke Belanda dan partai mereka dianggap sebagai partai haram.

Pria yang lahir di pasuruan, 8 Oktober 1979 ini mulai sadar dengan nasionalisme dan kemanusiaan sejak mendapatkan pengalaman dalam perang Boer di Afrika Selatan. Sejak itu pula ia mulai mengkritik kebijakan pemerintahan kolonial. Untuk pertama kalinya di Hindia, beliau mencetuskan gagasan mengenai pemerintahan sendiri, yaitu melalui semboyan “Indie Los Van Holland” (Hindia bebas dari Belanda) Baginya, jurnalistik adalah wadah menyebarkan gagasan perjuangan kebangsaan.

Ia sempat diterima sebagai koresponden De Locomotief dan Surabaya Handelsblad. Ia juga sempat bekerja sebagai redaktur di Bataviaasche Niewsblad namun karena ia terlalu berani dalam menulis, ia pun diturunkan dari posisinya itu. Jika ingin memilih pun, DD bisa mendapatkan posisi yang enak dalam pemerintahan kolonial. Menurut Frans Glissenaar, DD memiliki pengaruh yang besar dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bahkan Soekarno pun mengakuinya sebagai Bapak Nasional Indonesia, apalagi setelah ia mengubah namanya menjadi Danudirja Setiabudhi. Akhirnya, pada tahun 1961 ia dengan resmi diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah RI.

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi)

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi; lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 8 Oktober 1879 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 29 Agustus 1950 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.

Kehidupan pribadi

Ernest adalah anak ketiga (dari empat bersaudara) pasangan Auguste Henri Edouard Douwes Dekker (Belanda totok), seorang broker bursa efek dan agen bank, dan Louisa Margaretha Neumann, seorang indo dari ayah Jerman dan ibu Jawa. Dengan pekerjaannya itu, Auguste termasuk orang yang berpenghasilan tinggi. Ernest, biasa dipanggil Nes oleh orang-orang dekatnya atau DD oleh rekan-rekan seperjuangannya, masih terhitung saudara dari pengarang buku Max Havelaar, yaitu Eduard Douwes Dekker (Multatuli), yang merupakan adik kakeknya. Olaf Douwes Dekker, cucu dari Guido, saudaranya, menjadi penyair di Breda, Belanda.

DD menikah dengan Clara Charlotte Deije (1885-1968), anak dokter campuran Jerman-Belanda pada tahun 1903, dan mendapat lima anak, namun dua di antaranya meninggal sewaktu bayi (keduanya laki-laki). Yang bertahan hidup semuanya perempuan. Perkawinan ini kandas pada tahun 1919 dan keduanya bercerai.

Page 5: Douwes Dekker

Kemudian DD menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel (1905-1978), seorang Indo keturunan Yahudi, pada tahun 1927. Johanna adalah guru yang banyak membantu kegiatan kesekretariatan Ksatrian Instituut, sekolah yang didirikan DD. Dari perkawinan ini mereka tidak dikaruniai anak. Di saat DD dibuang ke Suriname pada tahun 1941 pasangan ini harus berpisah, dan di kala itu kemudian Johanna menikah dengan Djafar Kartodiredjo, seorang Indo pula (sebelumnya dikenal sebagai Arthur Kolmus), tanpa perceraian resmi terlebih dahulu. Tidak jelas apakah DD mengetahui pernikahan ini karena ia selama dalam pengasingan tetap berkirim surat namun tidak dibalas.

Sewaktu DD "kabur" dari Suriname dan menetap sebentar di Belanda (1946), ia menjadi dekat dengan perawat yang mengasuhnya, Nelly Alberta Geertzema née Kruymel, seorang Indo yang berstatus janda. Nelly kemudian menemani DD yang menggunakan nama samaran pulang ke Indonesia agar tidak ditangkap intelijen Belanda. Mengetahui bahwa Johanna telah menikah dengan Djafar, DD tidak lama kemudian menikahi Haroemi Wanasita boru Siregar, seorang wanita asal Binjai, pada tahun 1945. Dari pernikahan itu lahirlah Kess Douwes Dekker, yang kemudian diganti namanya oleh Soekarno menjadi Kesworo Setiabuddhi. DD kemudian menggunakan nama Danudirdja Setiabuddhi. Sepeninggal DD, Haroemi menikah dengan Wayne E. Evans pada tahun 1964 dan kini tinggal di Amerika Serikat.

Walaupun mencintai anak-anaknya, DD tampaknya terlalu berfokus pada perjuangan idealismenya sehingga perhatian pada keluarga agak kurang dalam. Ia pernah berkata kepada kakak perempuannya, Adelin, kalau yang ia perjuangkan adalah untuk memberi masa depan yang baik kepada anak-anaknya di Hindia kelak yang merdeka. Pada kenyataannya, semua anaknya meninggalkan Indonesia menuju ke Belanda ketika Jepang masuk. Demikian pula semua saudaranya, tidak ada yang memilih menjadi warga negara Indonesia.

Riwayat hidup

Masa muda

Pendidikan dasar ditempuh Nes di Pasuruan. Sekolah lanjutan pertama-tama diteruskan ke HBS di Surabaya, lalu pindah ke Gymnasium Willem III, suatu sekolah elit di Batavia. Selepas lulus sekolah ia bekerja di perkebunan kopi "Soember Doeren" di Malang, Jawa Timur. Di sana ia menyaksikan perlakuan semena-mena yang dialami pekerja kebun, dan sering kali membela mereka. Tindakannya itu membuat ia kurang disukai rekan-rekan kerja, namun disukai pegawai-pegawai bawahannya. Akibat konflik dengan manajernya, ia dipindah ke perkebunan tebu "Padjarakan" di Kraksaan sebagai laboran. Sekali lagi, dia terlibat konflik dengan manajemen karena urusan pembagian irigasi untuk tebu perkebunan dan padi petani. Akibatnya, ia dipecat.

Perang Boer

Menganggur, dan kematian mendadak ibunya, membuat Nes memutuskan berangkat ke Afrika Selatan pada tahun 1899 untuk ikut dalam Perang Boer Kedua melawan Inggris. Ia bahkan menjadi warga negara Republik Transvaal. Beberapa bulan kemudian kedua saudara laki-lakinya, Julius dan Guido, menyusul.

Page 6: Douwes Dekker

Di sana, Nes tertangkap lalu diinternir di suatu kamp di Ceylon. Di sana ia mulai berkenalan dengan sastera India, dan perlahan-lahan pemikirannya mulai terbuka akan perlakuan tidak adil pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap warganya.

Sebagai wartawan yang kritis dan aktivitas awal

DD pulang ke Hindia Belanda pada tahun 1902, dan bekerja sebagai agen pengiriman KPM, perusahaan pengiriman milik negara. Penghasilannya yang lumayan membuatnya berani menyunting Clara Charlotte Deije, putri seorang dokter asal Jerman yang tinggal di Hindia Belanda, pada tahun 1903.

Kemampuannya menulis laporan pengalaman peperangannya di surat kabar terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De Locomotief. Di sinilah ia mulai merintis kemampuannya dalam berorganisasi. Tugas-tugas jurnalistiknya, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu, membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan kolonial. Ketika ia menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad, 1907, tulisan-tulisannya menjadi semakin pro kaum Indo dan pribumi. Dua seri artikel yang tajam dibuatnya pada tahun 1908. Seri pertama artikel dimuat Februari 1908 di surat kabar Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant setelah versi bahasa Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie Wort, "Het bankroet der ethische principes in Nederlandsch Oost-Indie" ("Kebangkrutan prinsip etis di Hindia Belanda") kemudian pindah di Bataviaasche Nieuwsblad. Sekitar tujuh bulan kemudian (akhir Agustus) seri tulisan panas berikutnya muncul di surat kabar yang sama, "Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen?" ("Bagaimana caranya Belanda dapat segera kehilangan koloni-koloninya?", versi Jermannya berjudul "Hollands kolonialer Untergang"). Kembali kebijakan politik etis dikritiknya. Tulisan-tulisan ini membuatnya mulai masuk dalam radar intelijen penguasa.

Rumah DD, pada saat yang sama, yang terletak di dekat Stovia menjadi tempat berkumpul para perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo, untuk belajar dan berdiskusi. Budi Utomo (BO), organisasi yang diklaim sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan menghadiri kongres pertama BO di Yogyakarta.

Aspek pendidikan tak luput dari perhatian DD. Pada tahun 1910 (8 Maret) ia turut membidani lahirnya Indische Universiteit Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang dana untuk memungkinkan dibangunnya lembaga pendidikan tinggi (universitas) di Hindia Belanda. Di dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo, aristokrat Banten dan perwakilan dari organisasi pendidikan kaum Tionghoa THHK.

Indische Partij

Karena menganggap BO terbatas pada masalah kebudayaan (Jawa), DD tidak banyak terlibat di dalamnya. Sebagai seorang Indo, ia terdiskriminasi oleh orang Belanda murni ("totok" atau trekkers). Sebagai contoh, orang Indo tidak dapat menempati posisi-posisi kunci pemerintah karena tingkat pendidikannya. Mereka dapat mengisi posisi-posisi menengah dengan gaji lumayan tinggi. Untuk posisi

Page 7: Douwes Dekker

yang sama, mereka mendapat gaji yang lebih tinggi daripada pribumi. Namun, akibat politik etis, posisi mereka dipersulit karena pemerintah koloni mulai memberikan tempat pada orang-orang pribumi untuk posisi-posisi yang biasanya diisi oleh Indo. Tentu saja pemberi gaji lebih suka memilih orang pribumi karena mereka dibayar lebih rendah. Keprihatinan orang Indo ini dimanfaatkan oleh DD untuk memasukkan idenya tentang pemerintahan sendiri Hindia Belanda oleh orang-orang asli Hindia Belanda (Indiërs) yang bercorak inklusif dan mendobrak batasan ras dan suku. Pandangan ini dapat dikatakan original, karena semua orang pada masa itu lebih aktif pada kelompok ras atau sukunya masing-masing.

Berangkat dari organisasi kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde, ia menyampaikan gagasan suatu "Indië" (Hindia) baru yang dipimpin oleh warganya sendiri, bukan oleh pendatang. Ironisnya, di kalangan Indo ia mendapat sambutan hangat hanya di kalangan kecil saja, karena sebagian besar dari mereka lebih suka dengan status quo, meskipun kaum Indo direndahkan oleh kelompok orang Eropa "murni" toh mereka masih dapat dilayani oleh pribumi.

Tidak puas karena Indische Bond dan Insulinde tidak bisa bersatu, pada tahun 1912 Nes bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan partai berhaluan nasionalis inklusif bernama Indische Partij ("Partai Hindia"). Kampanye ke beberapa kota menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam waktu singkat. Semarang mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini sangat populer di kalangan orang Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan pribumi, meskipun tetap dicurigai pula karena gagasannya yang radikal. Partai yang anti-kolonial dan bertujuan akhir kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda setahun kemudian, 1913 karena dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.

Akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi di De Expres, "Als ik eens Nederlander was", ketiganya lalu diasingkan ke Belanda, karena DD dan Cipto mendukung Suwardi.

Dalam pembuangan di Eropa

Masa di Eropa dimanfaatkan oleh Nes untuk mengambil program doktor di Universitas Zürich, Swiss, dalam bidang ekonomi. Di sini ia tinggal bersama-sama keluarganya. Gelar doktor diperoleh secara agak kontroversial dan dengan nilai "serendah-rendahnya", menurut istilah salah satu pengujinya. Karena di Swis ia terlibat konspirasi dengan kaum revolusioner India, ia ditangkap di Hong Kong dan diadili dan ditahan di Singapura (1918). Setelah dua tahun dipenjara, ia pulang ke Hindia Belanda 1920.

Kegiatan jurnalistik dan Peristiwa Polanharjo

Sekembalinya ia ke Batavia setelah dipenjara DD aktif kembali dalam dunia jurnalistik dan organisasi. Ia menjadi redaktur organ informasi Insulinde yang bernama De Beweging. Ia menulis beberapa seri artikel yang banyak menyindir kalangan pro-koloni serta sikap kebanyakan kaumnya: kaum Indo. Targetnya sebetulnya adalah de-eropanisasi orang Indo, agar mereka menyadari bahwa demi masa depan mereka berada di pihak pribumi, bukan seperti yang terjadi, berpihak ke Belanda. Organisasi kaum Indo yang baru dibentuk, Indisch Europeesch Verbond (IEV), dikritiknya dalam seri "De tien geboden" (Sepuluh

Page 8: Douwes Dekker

Perintah Tuhan) dan "Njo Indrik" (Sinyo Hendrik). Pada seri yang disebut terakhir, IEV dicap olehnya sebagai "liga yang konyol dan kekanak-kanakan".

Sejumlah pamflet lepas yang cukup dikenal juga ditulisnya pada periode ini, seperti "Een Natie in de maak" (Suatu bangsa tengah terbentuk) dan "Ons volk en het buitlandsche kapitaal" (Bangsa kita dan modal asing).

Pada rentang masa ini dibentuk pula Nationaal Indische Partij (NIP), sebagai organisasi pelanjut Indische Partij yang telah dilarang. Pembentukan NIP menimbulkan perpecahan di kalangan anggota Insulinde antara yang moderat (kebanyakan kalangan Indo) dan yang progresif (menginginkan pemerintahan sendiri, kebanyakan orang Indonesia pribumi). NIP akhirnya bernasib sama seperti IP: tidak diizinkan oleh Pemerintah.

Pada tahun 1919, DD terlibat (atau tersangkut) dalam peristiwa protes dan kerusuhan petani/buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Ia terkena kasus ini karena dianggap mengompori para petani dalam pertemuan mereka dengan orang-orang Insulinde cabang Surakarta, yang ia hadiri pula. Pengadilan dilakukan pada tahun 1920 di Semarang. Hasilnya, ia dibebaskan; namun kasus baru menyusul dari Batavia: ia dituduh menulis hasutan di surat kabar yang dipimpinnya. Kali ini ia harus melindungi seseorang (sebagai redaktur De Beweging) yang menulis suatu komentar yang di dalamnya tertulis "Membebaskan negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!". Yang membuatnya kecewa adalah ternyata alasan penyelidikan bukanlah semata tulisan itu, melainkan "mentalitas" sang penulis (dan dituduhkan ke DD). Setelah melalui pembelaan yang panjang, DD divonis bebas oleh pengadilan.

Aktivitas pendidikan dan Ksatrian Instituut

Sekeluarnya dari tahanan dan rentetan pengadilan, DD cenderung meninggalkan kegiatan jurnalistik dan menyibukkan diri dalam penulisan sejumlah buku semi-ilmiah dan melakukan penangkaran anjing gembala Jerman dan aktif dalam organisasinya. Prestasinya cukup mengesankan, karena salah satu anjingnya memenangi kontes dan bahkan mampu menjawab beberapa pertanyaan berhitung dan menjawab beberapa pertanyaan tertulis.

Atas dorongan Suwardi Suryaningrat yang saat itu sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa, ia kemudian ikut dalam dunia pendidikan, dengan mendirikan sekolah "Ksatrian Instituut" (KI) di Bandung. Ia banyak membuat materi pelajaran sendiri yang instruksinya diberikan dalam bahasa Belanda. KI kemudian mengembangkan pendidikan bisnis, namun di dalamnya diberikan pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia yang materinya ditulis oleh Nes sendiri. Akibat isi pelajaran sejarah ini yang anti-kolonial dan pro-Jepang, pada tahun 1933 buku-bukunya disita oleh pemerintah Keresidenan Bandung dan kemudian dibakar. Pada saat itu Jepang mulai mengembangkan kekuatan militer dan politik di Asia Timur dengan politik ekspansi ke Korea dan Tiongkok. DD kemudian juga dilarang mengajar.

Kegiatan sebelum pembuangan

Page 9: Douwes Dekker

Karena dilarang mengajar, DD kemudian mencari penghasilan dengan bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Jakarta. Ini membuatnya dekat dengan Mohammad Husni Thamrin, seorang wakil pribumi di Volksraad. Pada saat yang sama, pemerintah Hindia Belanda masih trauma akibat pemberontakan komunis (ISDV) tahun 1927, memecahkan masalah ekonomi akibat krisis keuangan 1929, dan harus menghadapi perkembangan fasisme ala Nazi di kalangan warga Eropa (Europaeer).

Serbuan Jerman ke Denmark dan Norwegia, dan akhirnya ke Belanda, pada tahun 1940 mengakibatkan ditangkapnya ribuan orang Jerman di Hindia Belanda, berikut orang-orang Eropa lain yang diduga berafiliasi Nazi. DD yang memang sudah "dipantau", akhirnya ikut digaruk karena dianggap kolaborator Jepang, yang mulai menyerang Indocina Perancis. Ia juga dituduh komunis.

Pengasingan di Suriname

DD ditangkap dan dibuang ke Suriname pada tahun 1941 melalui Belanda. Di sana ia ditempatkan di suatu kamp jauh di pedalaman Sungai Suriname yang bernama Joden Savanne ("Padang Yahudi").[2] Tempat itu pada abad ke-17 hingga ke-19 pernah menjadi tempat pemukiman orang Yahudi yang kemudian ditinggalkan karena kemudian banyak pendatang yang membuat keonaran.

Kondisi kehidupan di kamp sangat memprihatinkan. Sampai-sampai DD, yang waktu itu sudah memasuki usia 60-an, sempat kehilangan kemampuan melihat. Di sini kehidupannya sangat tertekan karena ia sangat merindukan keluarganya. Surat-menyurat dilakukannya melalui Palang Merah Internasional dan harus melalui sensor.

Ketika khabar berakhirnya perang berakhir, para interniran (buangan) di sana tidak segera dibebaskan. Baru menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan dikirim ke Belanda, termasuk DD. Di Belanda ia bertemu dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel, seorang perawat. Nelly kemudian menemaninya kembali ke Indonesia. Kepulangan ke Indonesia juga melalui petualangan yang mendebarkan karena DD harus mengganti nama dan menghindari petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok. Akhirnya mereka berhasil tiba di Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia pada waktu itu pada tanggal 2 Januari 1947.

Perjuangan di masa Revolusi Kemerdekaan dan akhir hayat

Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi Republik Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagi menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir III (yang berumur pendek). Selanjutnya berturut-turut ia menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir sebagai kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di bawah Kementerian Penerangan. Di mata beberapa pejabat Belanda ia dianggap "komunis" meskipun ini sama sekali tidak benar.

Page 10: Douwes Dekker

Pada periode ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu rumah di Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk tentara Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi Polisionil". Setelah diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.

Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah berjanji tak akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya "Djiwa Djuwita") di Lembangweg.

Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya yang lain adalah mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya (terbit 1950: 70 jaar konsekwent) dan merevisi buku sejarah tulisannya.

Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 29 Agustus 1950 (versi van der Veur, 2006; di batu nisannya tertulis tanggal 28 Agustus 1950) dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.

Beberapa penghormatan

Jasa DD dalam perintisan kemerdekaan diekspresikan dalam banyak hal. Di setiap kota besar dapat dijumpai jalan yang dinamakan menurut namanya: Setiabudi. Jalan Lembang di Bandung utara, tempat rumahnya berdiri, sekarang bernama Jalan Setiabudi. Di Jakarta bahkan namanya dipakai sebagai nama suatu kecamatan (Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan).

Di Belanda, nama DD juga dihormati sebagai orang yang berjasa dalam meluruskan arah kolonialisme (meskipun hampir sepanjang hidupnya ia berseberangan posisi politik dengan pemerintah kolonial, vis-a-vis Belanda; bahkan dituduh "pengkhianat").

Sebelum menghembuskan nafasnya, putra Dr Ernest Francois Eugene Douwes Dekker atau dikenal dengan Danudirdja Setiabuddhi, yaitu Kesworo Setiabuddhi (65), pada Senin (3/1/2011), pukul 08.00 di Jalan Cikuray no 4 Bogor, pernah dirawat di RSCM Jakarta Pusat karena kanker usus pada Juni 2010. Yang menyedihkan, Koesworo terpaksa mengajukan surat keterangan miskin karena keterbatasan biaya.

Kabar meninggalnya Kesworo diperoleh Tribunnews dari Dally Subagijo, anggota Forum Sumpah Bangsa Indonesia pada pukul 08.59 melalui pesan Facebook. Saat ini, pemakaman Kesworo Setiabuddhi sedang diurus.

Saat ditemui Tribunnews pada Kamis (8/6/2010), di lantai 8 ruang nomor 804 Gedung A, RSCM, Jakarta Pusat, diketahui ia sudah 8 hari dirawat di RSCM setelah sebel;umnya dirawat PMI Bogor. "Saya sudah

Page 11: Douwes Dekker

menjual mobil bahkan rumah, sekarang saya tinggal di rumah mertua di Bogor. Sudah 3 bulan saya terbaring di Rumah Sakit. Yang bikin mahal pengobatannya radiasi terapi, sehari 15 juta," ungkapnya.

Meski ayahnya, Dr Ernest Francois Eugene Douwes Dekker atau dikenal dengan Danudirdja Setiabuddhi adalah satu dari tiga serangkai, dan memperoleh surat dan piagam daftar perintis kemerdekaan serta Bintang Mahaputra, sejak meninggalnya sang ayah, tidak pernah ada tunjangan ataupun bentuk penghargaan lain sebagai ganti perjuangan sang ayah memajukan dunia pendidikan di Indonesia.

Padahal, ayahnya adalah penggagas istilah Nusantara untuk menggantikan Hindia-Belanda. Selain itu juga dikenal sebagai seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, serta penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-Belanda. (*)

Hidup, Rejeki dan Matipun di Indonesia(Mengapa Harus Menjadi Bangsa “Pura-pura”?)

Oleh: Kesworo Setiabuddhi(Anak Dr. Douwes Dekker)

Aku dilahirkan di Eropa dari seorang ibu asal Binjai Sumatera Utara, dengan Bapak yang seorang Kaukasia, dimana etnisnya menjajah Indonesia selama beberapa abad, yaitu E.F.E.Douwes Dekker.

Douwes Dekker, seorang warga keturunan Belanda, tetapi hati nuraninya selalu menggelegak penuh kegetiran manakala melihat ketimpangan hidup yang terjadi di Indonesia yang kala itu masih dinamai Hindia Belanda, antara si penjajah yang nota-bene berdarah seperti yang dipunyainya, dengan yang di jajah seperti darah istrinya yang pribumi asal Sumatera Utara.Itulah kedua orang tuaku.

Seorang pribumi teman Bapakku ( maaf aku menggunakan istilah “pribumi” untuk menggambarkan saat tahun 1930-an ), memberikan tanggapan atas sikap Bapakku yang menentang arusdengan para Belanda umumnya, dengan rangkaian kalimat sebagai berikut:

“Pada awal berdirinya perkumpulan Boedi Oetomo, kami merasa sangat banyak dibantu baik moril maupun materil dari seorang tuan Douwes Dekker, yang saat itu sebagai redaktur surat kabar Bataviaasch Niewsblad. Hubungan saya dengan tuan Douwes Dekker sangat akrab, sehingga pintu rumahnya selalu terbuka untuk menerima kedatangan teman-temannya yang pribumi. Tuan Douwes Dekkerlah yang menyemangati dan menyebar luaskan cita-cita kami melalui suratkabarnya secara berkesinambungan”.

( Seperti yang dituangkan oleh R. SOETOMO, dalam “Kenang-Kenangan”, terbitan Februari 1934 hal. 86 ).

Page 12: Douwes Dekker

Rupanya Bapakku di tahun 1910 telah menulis yang diterbitkan dalam sebuah buku ( tahun 1913 ) dengan judul : OVER HET KOLONIALE IDEAAL ( “KOLONIALIS MENGUASAI”, yang belakangan diterbitkan lagi dengan versi 2 bahasa, Belanda – Indonesia dengan bahasa Indonesia yang sudah disempurnakan, sekitar tahun 1974-an ).Kalimat-kalimat yang tertulis diantaranya :

• Penjajahan harus mengabdi pada keserakahan, oleh karena itu untuk dapat memenuhi keserakahan dengan cara yang mudah dan murah, adalah dengan membiarkan rakyat lemah, bodoh, baik lahir maupun batin. Karena pergolakan yang menimbulkan pemberontakan akan mengakibatkan penjajah mengeluarkan biaya besar untuk melindungi. Jadi pertumbuhan dan perkembangan jiwa hanyalah hak kaum penjajah.

Untuk itu sistem penjajahan harus dirubah, tidak lagi menggunakan gada, cemeti atau hukuman berat yang tak sepadan dengan perbuatannya, tetapi dibuat model sistimatik yang sewenang-wenang, berwajahkan undang-undang.

Maka jaman “pura-pura” pun dimulai. Para penguasa harus menipu untuk tujuan sebenarnya yang disembunyikan. Penindasan mengalami proses penjiwaan yaitu tidak tampak dimata, tetapi lebih kepada jiwa. Jaman setengah biadab yang sebelumnya, diganti dengan kekuasaan yang teratur tetapi sama nilai kebiadabannya, malah lebih lagi. Untuk itu dibuatlah undang-undang yang dipaksakan kepada rakyat agar “pemikiran” pemerintah ditaati dan dijalankan, disisi lain tanggung-jawab pemerintah tidak ada, jadi segalanya tetap saja merupakan kesewenang-wenangan yang ditopengi undang-undang.

• Beberapa abad dalam penjajahan orang Barat tentunya tidak mungkin berlalu begitu saja tanpa meninggalkan luka batin yang tak terhapuskan. Apa saja luka batin yang tak terhapuskan?

Diantaranya adalah : Akibat Nafsu Birahi. Kaum penjajah akan menyuruh mengeluarkan perempuan tahanan dari penjara, bila mereka merasa terangsang, dan bermain cinta diluar kemauan dari si perempuan. Kaum penjajah menggunakan haknya sebagai penakluk.

Dari situasi seperti inilah diantaranya lahir anak-anak berdarah campuran yang tumbuh dalam rahim ibunya tanpa diiringi perasaan yang luhur melainkan hanya sekedar kenikmatan nafsu.

Ada dendam dan benci pada mereka yang kemarahannya tidak lagi tertuju kepada perorangan melainkan diarahkan kepada seluruh gagasan penjajahan (Overheerscheridee). Dan alam menjadikan anak campuran itu sebagai orang Timur (Masyarakat awam menyebutnya Indo).

Itulah sekelumit kesan dalam tulisan Bapakku. ( Sebetulnya banyak lagi hal yang mirip dengan keadaan sekarang yang katanya kita Negara merdeka dan telah mereformasi tata pemerintahan Republik ini ). ( Mungkin bila diibaratkan, hamparan hutan dilihat dari ketinggian terlihat cantik hijau menawan tetapi

Page 13: Douwes Dekker

hal berbeda didapati bila kita berada didalam kegelapan hutan itu sendiri dengan dikelilingi pohon-pohon besar dan semak belukar disekitar kita. Itulah beda Petinggi Negara melihat masyarakat dan keadaan masyarakat itu sendiri ).

Kini, aku adalah juga salah seorang dari warga Indonesia yang berdarah campuran, yang lahir dari hubungan dengan ikatan perkawinan resmi, bukan “abal-abal”. Namaku menurut ejaan bahasa Belanda adalah : KEES. Tetapi ketika Bapakku bertemu Bung Karno saat usiaku 5 tahun Bung Karno mengatakan :

“Sebagai orang Belanda yang berjiwa Indonesia alangkah baiknya bila anakmu juga dinamai sebagaimana orang Indonesia. Untuk itu aku beri nama anakmu : KESWORO”.

( Sementara Bapakku juga diganti namanya oleh Bung Karno menjadi SETIABUDI).

Begitulah latar belakang Kebangsaanku yang Indonesia. Bagaimana dengan keturunan etnis lain yang juga Rejeki, Hidup, Jodoh dan Matinya di Negeri ini?

Bukankah kakek moyang mereka dimasa lampau BUKAN sebagai penjajah dan hanya numpang hidup dan menjadi pembantu/antek penjajah?

Bila masa kebiadaban dan “pura-pura” dalam era penjajahan telah dilampaui, dan kita katanya bersama-sama bersatu tekad untuk menjadi SATU BANGSA, mengapa kita tidak bersama-sama urun-rembug, gandeng-tangan membangun Kesatuan Bangsa, jangan malah merusaknya dengan kekotoran moril (kolusi, korupsi, menggelapkan harta Negara dll) ataupun merasa beda derajat kemanusiaannya dengan sebutan khusus tanpa lebur dalam Kesatuan Bangsa yang solid demi NKRI?

Sungguh satu fenomena Kebangsaan yang aneh dan mengada-ada, juga kentalnya kemunafikan pada banyak pejabat Negara baik tinggi maupun bawah yang membuat gamang, Negeri ini mau dibawa kemana?

Mari berbenah pikir dan hati, kepada siapapun yang hidup, jodoh dan rejekinya dari Ibu Pertiwi Indonesia, sudah berbuat benar dan sesuai Agamakah apa yang kita perbuat, baik para pejabat maupun para keturunan etnis pendatang? Janganlah kita menjadi Bangsa besar yang “pura-pura”....

Jakarta, Oktober 2009ttd,Kesworo Setiabuddhi(Anak Dr. Douwes Dekker )Ketua III ForKom SBI(Forum Komunikasi SUMPAH BANGSA INDONESIA)*)Lahir di Eropa, berjiwa total Indonesia, fasih bicara Sunda.

NB :

Page 14: Douwes Dekker

Sebagai seorang keturunan Kaukasia yang beragama Islam, ada ayat Al-Qur’an yang dapat saya peroleh dari seorang teman, bagi para pejabat Negara, baik tinggi maupun bawah :

An-Nahl ( surat 16 ) ayat 91 :

“Tepatilah janji dengan Allah bila kamu telah berjanji dan jangan melanggar sumpahmu. Kamu telah jadikan Allah sebagai jaminan sumpahmu, dan Allah tahu apa yang kamu lakukan“.

Maha benar segala firman Allah.

Sementara dari sebuah buku yang ditulis oleh Michael C. Tang dengan judul : “Kisah-kisah kebijaksanaan China Klasik”, Refleksi bagi para pemimpin, terpetiklah suatu kalimat dari Konfusius ( 551 – 479 SM ) suatu kalimat ( hal 61 ) :

“Pelajari Kebenaran di pagi hari, dan matilah dengan bahagia dimalam hari“.

“Seorang murid bertanya : “Adakah motto tunggal yang dapat dipakai semua orang sepanjang hidupnya ? “Sang Guru menjawab : “Perhatikanlah sesama, jangan lakukan sesuatu kepada sesama yang kamu tidak ingin orang lakukan itu kepadamu” ( hal 89 ).

Semua berpulang pada hati nurani anda.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Anak dari salah satu pahlawan tiga serangkai, Douwes Dekker, Koesworo Setia Buddhi (65), tidak mampu membayar biaya pengobatan untuk dirinya sendiri di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.

"Saya sudah menjual mobil bahkan rumah, sekarang saya tinggal di rumah mertua di Bogor. Sudah 3 bulan saya terbaring di Rumah Sakit. Yang bikin mahal pengobatannya radiasi terapi, sehari 15 juta," ucap pria yang mengidap kanker usus ini ketika ditemui Tribunnews.com, di RSCM, Jakarta, Kamis (8/6/2010).

Kamarnya terletak di lantai 8 ruang nomor 804 Gedung A, RSCM, Jakarta Pusat. Koesworo Setia Buddhi baru masuk RSCM selama 8 hari. Sebelumnya ia dioperasi dan dirawat di PMI Bogor

EFE Douwes Dekker adalah nama asli dari Danudirja Setiabudi atau lebih dikenal dengan Dr Setiabudi, seorang dari tokoh "Tiga Serangkai" yang menggagas istilah Nusantara untuk menggantikan Hindia-Belanda.

Dr Setiabudi adalah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20. Dia juga seorang

Page 15: Douwes Dekker

penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-Belanda, seorang wartawan, dan aktivis politik.

Ernest Douwes Dekker

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi; lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 8 Oktober 1879 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 29 Agustus 1950 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.

Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia-Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat.

Kehidupan pribadiErnest adalah anak ketiga (dari empat bersaudara) pasangan Auguste Henri Edouard Douwes Dekker (Belanda totok), seorang broker bursa efek dan agen bank,[1] dan Louisa Margaretha Neumann, seorang indo dari ayah Jerman dan ibu Jawa. Dengan pekerjaannya itu, Auguste termasuk orang yang berpenghasilan tinggi. Ernest, biasa dipanggil Nes oleh orang-orang dekatnya atau DD oleh rekan-rekan seperjuangannya, masih terhitung saudara dari pengarang buku Max Havelaar, yaitu Eduard Douwes Dekker (Multatuli), yang merupakan adik kakeknya.[2] Olaf Douwes Dekker, cucu dari Guido, saudaranya, menjadi penyair di Breda, Belanda.

DD menikah dengan Clara Charlotte Deije (1885-1968), anak dokter campuran Jerman-Belanda pada tahun 1903, dan mendapat lima anak, namun dua di antaranya meninggal sewaktu bayi (keduanya laki-laki). Yang bertahan hidup semuanya perempuan. Perkimpoian ini kandas pada tahun 1919 dan keduanya bercerai.

Kemudian DD menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel (1905-1978), seorang Indo keturunan Yahudi, pada tahun 1927. Johanna adalah guru yang banyak membantu kegiatan kesekretariatan Ksatrian Instituut, sekolah yang didirikan DD. Dari perkimpoian ini mereka tidak dikaruniai anak. Di saat DD dibuang ke Suriname pada tahun 1941 pasangan ini harus berpisah, dan di kala itu kemudian Johanna menikah dengan Djafar Kartodiredjo, seorang Indo pula (sebelumnya dikenal sebagai Arthur Kolmus), tanpa perceraian resmi terlebih dahulu. Tidak jelas apakah DD mengetahui pernikahan ini karena ia selama dalam pengasingan tetap berkirim surat namun tidak dibalas.

Page 16: Douwes Dekker

Sewaktu DD "kabur" dari Suriname dan menetap sebentar di Belanda (1946), ia menjadi dekat dengan perawat yang mengasuhnya, Nelly Alberta Geertzema née Kruymel, seorang Indo yang berstatus janda. Nelly kemudian menemani DD yang menggunakan nama samaran pulang ke Indonesia agar tidak ditangkap intelijen Belanda. Mengetahui bahwa Johanna telah menikah dengan Djafar, DD tidak lama kemudian menikahi Nelly, pada tahun 1947. DD kemudian menggunakan nama Danoedirdja Setiabuddhi dan Nelly menggunakan nama Haroemi Wanasita, nama-nama yang diusulkan oleh Sukarno. Sepeninggal DD, Haroemi menikah dengan Wayne E. Evans pada tahun 1964 dan kini tinggal di Amerika Serikat.

Walaupun mencintai anak-anaknya, DD tampaknya terlalu berfokus pada perjuangan idealismenya sehingga perhatian pada keluarga agak kurang dalam. Ia pernah berkata kepada kakak perempuannya, Adelin, kalau yang ia perjuangkan adalah untuk memberi masa depan yang baik kepada anak-anaknya di Hindia kelak yang merdeka. Pada kenyataannya, semua anaknya meninggalkan Indonesia menuju ke Belanda ketika Jepang masuk. Demikian pula semua saudaranya, tidak ada yang memilih menjadi warga negara Indonesia.

Indische PartijKarena menganggap BO terbatas pada masalah kebudayaan (Jawa), DD tidak banyak terlibat di dalamnya. Sebagai seorang Indo, ia terdiskriminasi oelh orang Belanda murni ("totok" atau trekkers). Sebagai contoh, orang Indo tidak dapat menempati posisi-posisi kunci pemerintah karena tingkat pendidikannya. Mereka dapat mengisi posisi-posisi menengah dengan gaji lumayan tinggi. Untuk posisi yang sama, mereka mendapat gaji yang lebih tinggi daripada pribumi. Namun, akibat politik etis, posisi mereka dipersulit karena pemerintah koloni mulai memberikan tempat pada orang-orang pribumi untuk posisi-posisi yang biasanya diisi oleh Indo. Tentu saja pemberi gaji lebih suka memilih orang pribumi karena mereka dibayar lebih rendah. Keprihatinan orang Indo ini dimanfaatkan oleh DD untuk memasukkan idenya tentang pemerintahan sendiri Hindia Belanda oleh orang-orang asli Hindia Belanda (Indiërs) yang bercorak inklusif dan mendobrak batasan ras dan suku. Pandangan ini dapat dikatakan original, karena semua orang pada masa itu lebih aktif pada kelompok ras atau sukunya masing-masing.

Berangkat dari organisasi kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde, ia menyampaikan gagasan suatu "Indië" (Hindia) baru yang dipimpin oleh warganya sendiri, bukan oleh pendatang. Ironisnya, di kalangan Indo ia mendapat sambutan hangat hanya di kalangan kecil saja, karena sebagian besar dari mereka lebih suka dengan status quo, meskipun kaum Indo direndahkan oleh kelompok orang Eropa "murni" toh mereka masih dapat dilayani oleh pribumi.

Tidak puas karena Indische Bond dan Insulinde tidak bisa bersatu, pada tahun 1912 Nes bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan partai berhaluan nasionalis inklusif bernama Indische Partij ("Partai Hindia").[1][4] Kampanye ke beberapa kota menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam waktu singkat. Semarang mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini sangat populer di kalangan orang Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan pribumi, meskipun tetap dicurigai pula karena gagasannya yang radikal. Partai yang anti-kolonial dan bertujuan akhir kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda

Page 17: Douwes Dekker

setahun kemudian, 1913 karena dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.

Akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi di De Expres, "Als ik eens Nederlander was", ketiganya lalu diasingkan ke Belanda, karena DD dan Cipto mendukung Suwardi.

PenghargaanJasa DD dalam perintisan kemerdekaan diekspresikan dalam banyak hal. Di setiap kota besar dapat dijumpai jalan yang dinamakan menurut namanya: Setiabudi. Jalan Lembang di Bandung utara, tempat rumahnya berdiri, sekarang bernama Jalan Setiabudi. Di Jakarta bahkan namanya dipakai sebagai nama suatu kecamatan (Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan).

Di Belanda, nama DD juga dihormati sebagai orang yang berjasa dalam meluruskan arah kolonialisme (meskipun hampir sepanjang hidupnya ia berseberangan posisi politik dengan pemerintah kolonial Belanda; bahkan dituduh "pengkhianat").

Setiabudi: Saya Berjuang Agar Anak Saya Merasakan Kemerdekaan Negeri Ini

Rabu, 07 April 2010 | 23.23 WIB | Budaya

Oleh: Iwan Komindo*)

BAGI Anda yang hilir mudik di Jakarta tentu tahu daerah Setiabudi. Kecamatan di Jakarta Selatan yang terdiri dari sembilan kelurahan, yakni, Setiabudi, Karet, Karet Semanggi, Karet Kuningan, Kuningan Timur, Menteng Atas, Pasar Manggis dan Guntur ini merupakan daerah elit Ibu Kota.

Tulisan ini tidak mengulas gedung-gedung pencakar langit dan gemerlapnya kehidupan metropolitan yang bertebaran di kawasan tersebut. Melainkan sedikit banyak kisah Si Setiabudi, salah satu tokoh tiga serangkai dan anaknya yang kini terbaring di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat.

Jumat, 2 April 2010 lalu, tepat pukul 13:20 melalui dinding facebook, Rudi Hartono mengirimi saya pesan, "Bung, ada yang menarik nih untuk dijadikan feature, dan sangat penting untuk mengingatkan kembali sejarah perintis nasionalisme Indonesia. aku tunggu confirmnya yak?"

Tentu informasi itu langsung saya tanggapi. "Siap. Apa tuh...?" tanya saya.

"Keturunan Dekker, sang nasionalis perintis, sedang meradang di rumah sakit Tjipto, tanpa pertolongan pemerintah. Katanya, keluarga ini sangat miskin, tidak diperhatikan, dan tidak pernah mendapat royalti dari buku Multatuli, "Max Havelar". Kita hajar pemerintah bodoh dan tuli ini," Rudi memaparkan penuh semangat. Beberapa kali saya membaca tulisannya, kawan berdarah Bugis ini memang berapi-api, apalagi saat mengulas kebijakan pemerintah yang dinilainya tidak pro rakyat miskin.

Page 18: Douwes Dekker

"Okay. Ntar kita ke sana yuk. Jam berapa? Chat di fb kawan Rud kenapa mati-hidup...? atau kita ngobrol di ym aja..."

"Kalau bisa sore ini, minimal wawancara sama keluarganya. Bagaimana?"

"Ok. Jumpa di Tebet kita ya... sekitar jam 2-an nanti gout ke sana...."

"Ok"

"Sip..."

Kesepakatan itu kami capai tepat pukul 13:50. Siang itu sebenarnya saya baru terjaga dari tidur. Maklum semalaman berkelebatan di Ibu Kota dan baru balik ke kosan setelah ayam berkokok menyambut pagi.

Saya coba menelusuri sejumlah media online, mana tahu sudah ada yang memberitakan tentang anak Setiabudi. Namun, sepi sekali. Satu-satunya berita tentang itu saya temukan di portal metrotvnews. Judulnya cukup memprihatinkan; Anak Douwes Dekker Terlunta-lunta.

Kurang lebih begini sari beritanya; Koesworo Setiabud (65) terbaring lemah di ICU RSCM, Jakarta Pusat. Anak terakhir Setiabudi ini baru saja menjalani operasi kanker usus yang telah lama dideritanya. Koesworo terpaksa mengajukan surat keterangan miskin karena keterbatasan biaya. (http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2010/04/02/102670/Anak-Dauwer-Dekker-Terlunta-lunta/112)

Meluncur ke Tebet

Matahari di sekitar tempat kos begitu terik. Di tengah cuaca panas, main air adalah hal yang paling menyenangkan. Saya lantas mencuci Si Cilukba, Vespa Super tahun '66. Cilukba ini kuda besi yang setia saya tunggangi kemanapun.

Kemudian saya membasuh diri berlama-lama di kamar mandi. Tanpa disadari waktu sudah menunjukkan pukul 15.00. Di luar kamar kos, Cilukba sudah siap untuk dipacu.

Saya tidak tahu pasti berapa kilo meter jarak dari Depok ke Tebet. Yang pasti kalau tidak macet, waktu tempuhnya sekitar satu jam, itu kalau jalan santai. Kalau ngebut entahlah, sebab memang tak pernah ngebut. Lagian buat apa ngebut-ngebut. Bukankah jalan santai lebih menyenangkan?

Sore itu lalu lintas ramai tapi tidak macet. Para presenter televisi menyebutnya padat merayap. Di tengah keramaian, Si Cilukba meliuk-liuk membelah jalan raya.

Di sepanjang jalan lamunan saya menerawang kemana-mana. Sejumlah pertanyaan berseliweran; Apa

Page 19: Douwes Dekker

iya anak seorang pahlawan yang cukup berjasa dalam pergerakan kemerdekaan republik ini hidup dalam kemiskinan? Sebegitu terpurukkah negeri ini? Inikah yang oleh para leluhur disebut, kekeringan di dekat mata air dan kelaparan di lumbung padi?

Pertanyaan-pertanyaan itu bubar ketika Cilukba memasuki gerbang rumah No I, Jalan Tebet Dalam II G, tempat mengatur janji dengan Rudi. Rumah itu kantor Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD). Di rumah itupula redaksi Berdikari Online yang dinakhodai RH beroperasi.

"Kawan Erhaaaaaaaaaa..." saya berteriak memanggil Rudi. RH itu singkatan Rudi Hartono. Dia clingukan di lantai dua mencari sumber suara. Ketika kami saling berhadapan, saya kembali berteriak, "Yuk kemon...!" sembari mengibaskan tangan laksana di film-film koboi mengajaknya segera meluncur.

Sebelum ke Tebet, saya menyempatkan diri menghimpun sebanyak-banyaknya informasi tentang anak laki-laki salah satu tokoh tiga serangkai.

***

Ernest Francois Eugene Douwes Dekker yang kemudian hari berganti nama menjadi Danudirja Setiabudhi lahir di Pasuruan pada 8 Oktober 1879.

Berbagai literatur sejarah mencatat, pada 1910 sampai 1911, orang yang mengusulkan nama Nusantara untuk Hindia-Belanda yang merdeka pergi ke Belanda dan sekembali dari sana, pada 1912 mendirikan majalah Het Tijdschrift bersama Dr Tjipto Mangoenkoesoemo di Bandung, disusul harian Expres yang membawa gagasan-gagasan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.

Sebagai seorang wartawan, aktivis politik, tulisan-tulisannya garang mengkritisi kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-Belanda. Tidak berlebihan jika tokoh tiga serangkai (bersama Cipto Mangunkusmo, Suwardi Suryaningrat/Ki Hajar Dewantara), disebut peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20.

Bersama dengan Ki Hajar dan Tjipto, beliau mendirikan Indische Partij pada 1912 dengan harian Hindia Poetera. Pemerintah Indonesia mengakui tokoh pergerakan yang meninggal dunia di Bandung 28 Agustus 1950 tersebut sebagai Pahlawan Nasional pada 1971 dan menganugerahi gelar sebagai sebagai Perintis Pers Indonesia, 1974.

Dia juga disebut-sebut keponakan jauh Edward Douwes Dekker alias Multatuli si penulis Max Havelar, karya yang menginspirasi perjuangan RA Kartini.

Nah, kisah cinta kawan yang satu ini cukup unik untuk disimak. Anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Auguste Henri Edouard Douwes Dekker (Belanda totok), seorang broker bursa efek dan agen bank, dan Louisa Margaretha Neumann, seorang indo dari ayah Jerman dan ibu Jawa.

Page 20: Douwes Dekker

Semasa kecil, Ernest dipanggil Nes oleh orang-orang dekatnya atau DD oleh rekan-rekan seperjuangannya.

DD menikah dengan Clara Charlotte Deije (1885-1968), anak dokter campuran Jerman-Belanda pada tahun 1903, dan mendapat lima anak, namun dua di antaranya meninggal sewaktu bayi. Keduanya laki-laki. Yang bertahan hidup semuanya perempuan. Perkawinan ini kandas pada tahun 1919 dan keduanya bercerai.

Kemudian DD menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel (1905-1978), seorang Indo keturunan Yahudi, pada tahun 1927. Johanna adalah guru yang banyak membantu kegiatan kesekretariatan Ksatrian Instituut, sekolah yang didirikan DD.

Dari perkawinan ini mereka tidak dikaruniai anak. Di saat DD dibuang ke Suriname pada tahun 1941 pasangan ini harus berpisah, dan di kala itu kemudian Johanna menikah dengan Djafar Kartodiredjo, seorang Indo yang juga dikenal dengan nama Arthur Kolmus, tanpa perceraian resmi terlebih dahulu.

Tidak jelas apakah DD mengetahui pernikahan ini karena ia selama dalam pengasingan tetap berkirim surat namun tidak dibalas.

Sewaktu DD kabur dari Suriname dan menetap sebentar di Belanda (1946), ia menjadi dekat dengan perawat yang mengasuhnya, Nelly Alberta Geertzema née Kruymel, seorang Indo yang berstatus janda.

Nelly kemudian menemani DD yang menggunakan nama samaran pulang ke Indonesia agar tidak ditangkap intelijen Belanda. Mengetahui bahwa Johanna telah menikah dengan Djafar, DD tidak lama kemudian menikahi Haroemi Wanasita boru Siregar, seorang wanita asal Binjai, pada tahun 1945.

Dari pernikahan ini lahir seorang putra yang diberi nama Kess Douwes Dekker. Sepeninggal DD, Haroemi menikah dengan Wayne E. Evans pada tahun 1964 dan kini tinggal di Amerika Serikat.

Walaupun mencintai anak-anaknya, DD tampaknya terlalu berfokus pada perjuangan idealismenya sehingga perhatian pada keluarga agak kurang dalam. Ia pernah berkata kepada kakak perempuannya, Adelin, kalau yang ia perjuangkan adalah untuk memberi masa depan yang baik kepada anak-anaknya di Hindia kelak yang merdeka.

Pada kenyataannya, semua anaknya meninggalkan Indonesia menuju ke Belanda ketika Jepang masuk. Demikian pula semua saudaranya, tidak ada yang memilih menjadi warga negara Indonesia, kecuali Kess yang diganti namanya oleh Soekarno menjadi Kesworo Setiabuddhi.

Meski lahir di Belanda, rasa nasionalis Kess tidak perlu diragukan lagi. Baginya, Indonesia adalah Tanah Airnya. Ia sangat bangga atas perjuangan ayahnya membela neregi ini terbebas dari penjajahan Belanda.

Rasa cintanya kepada tanah air bis dilihat ketika Pak Kess dengan senang hati menyerahkan seluruh

Page 21: Douwes Dekker

dokumen pribadi Setiabudi, mulai dari surat menyurat dengan banyak tokoh pergerakan hingga dan koleksi buku-bukunya kepada Perpustakaan Nasional.

Coba simak petikan berita LKBN ANTARA, Rabu10 AGUSTUS 1994 berjudul PERPUSTAKAAN NASIONAL TERIMA KOLEKSI DANUDIRDJA SETIABUDHI berikut ini;

Perpustakaan Nasional menerima 140 koleksi pribadi berupa buku dan sejumlah surat pribadi milik pahlawan nasional Danudirdja Setiabudhi alias Ernest Douwes Dekker yang dapat digunakan sebagai sumber penelitian sejarah perjuangan bangsa.

Penyerahan koleksi pribadi tersebut ditandai dengan penandatanganan piagam serah terima antara putra almarhum Danudirdja Setiabudhi, Kesworo Setiabudhi, kepada Kepala Perpustakaan Nasional, Mastini Hardjoprakoso, di Jakarta, Rabu.

Seusai upacara serah terima, Kesworo Setiabudhi kepada wartawan mengatakan, penyerahan koleksi tersebut atas amanat pribadi almarhum Danudirdja Setiabudhi Douwes Dekker sendiri. Koleksi lainnya, kini disimpan di rumah isteri almarhum di Amerika Serikat.

"Yang kami serahkan ini baru sebagian mengingat jumlah koleksi beliau cukup banyak berupa buku dan sejumlah surat pribadi. Kini koleksi tersebut disimpan di Amerika Serikat, kendati ada sejumlah surat pribadi yang jatuh ke tangan orang lain," katanya tanpa menyebutkan secara persis jumlah koleksi pribadi Danudirdja Setiabudhi.

Sebagian besar dari koleksi buku dan surat pribadi ditulis dalam bahasa Belanda dan ada sebagian dalam bahasa Indonesia.

Tampak dalam pameran sebagian koleksi itu buku tentang "Statuta Indische Partij" terbitan Bandung pada 1913, "Soerat-soerat edaran dari Comite Boemi Poetra tentang Permainan Pesta Kemerdekaan Bangsa Belanda di Djadjahannja" yang ditulis oleh EFE Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan RM Suwardi Surjaningrat alias "Bapak Pendidikan" Ki Hadjar Dewantara.

Koleksi lainnya, "Sedjarah Indonesia" berupa diktat pelajaran sebanyak 108 halaman, "Sedjarah Tanah Air Kita", Bandung, 1950.

***

Sekitar pukul 18.00 saya dan Rudi sampai di RSCM. Lembayung senja siap-siap menyambut temaram malam. Si Cilukba setia menanti di parkiran ketika kami menelusuri ICU rumah sakit tersebut.

"Tidak ada pasien yang masuk dengan nama itu (Koesworo Setiabudi-sesuai berita versi metrotvnews--red)," kata penjaga tempat pendaftaran ICU RSCM. "Dia sakitnya apa? Masuknya kapan?," sambungnya.

Page 22: Douwes Dekker

Bahkan, atas keramahan si petugas tersebut saya sempat mengecek nama nama-nama pasien yang masuk baik yang terdaftar di buku tulis maupun versi digital yang terdaftar di komputer terhitung sejak hari Rabu (31 Maret 2010). Namun nama yang dimaksud tak diketemukan.

Tak mau pulang dengan tangan hampa, kami pun menelusuri setiap jengkal ruang ICU. Inipun tak membuahkan hasil. Kami tak terhenti sampai di situ. "Lho, kok nggak ada ya?" saya dan Rudi saling melempar tanya.

Saya lalu menelpon Kepala Humas RSCM, dokter Aan dan nyambung. "Pak Aan, pasien yang namanya Kesworo Setiabudi sudah ditangani dengan baik kah?" Tanya saya setelah sebelumnya memperkenalkan diri.

"O, iya, sekarang sudah dirawat di ruang dewasa setelah menjalani operasi kanker usus," katanya di ujung telepon seraya menjelaskan Pak Kess masuk RSCM hari Kamis tanggal 1 April 2010.

"Biayanya gimana?"

"Ditanggung oleh negara."

Hari sudah malam. Dan itu tanggal merah. Kami tidak sempat bertatap muka dengan Aan maupun Pak Kess. Hanya saja, soal sedikit terjawab bahwa benar Pak Kess dirawat dan sudah ditangani dengan baik.

Keterangan yang berhasil saya himpun dari berbagai sumber, bulan Januari 1984, Kess menikah dengan Isye Nitibaskara. 10 tahun usia pernikahan Isye meninggal karena stroke.

Di usia tuanya, Pak Kess hidup serba kekurangan akibat komplikasi diabetes melitus dan kanker usus yang diderita. Untuk menutupi biaya pengobatannya, Pak Kess menjual rumahnya dan tinggal menumpang bersama putranya di rumah kakak iparnya Rudi Nitibaskara, di Jl. Cikurai No. 4, Bogor.

Rudi Nitibaskara-lah yang membantu Pak Kess bolak balik RS PMI Bogor untuk rawat jalan. Rawat jalan ini terpaksa dilakukan karena keterbatasan biaya.

Menurut cerita yang saya dapat, bantuan pemerintah yang diterima Pak Kess antara lain bantuan kesehatan sebesar Rp3 juta pertahun, dana sebesar Rp1.5 juta perbulan dan pada momen- moment besar seperti 17 Agustus sebesar Rp1.5 juta.

Departemen Sosial dibawah Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan pun telah menganggarkan bantuan sejumlah Rp15 juta untuk beliau. Hanya saja, dana itu belum mampu menutupi ongkos berobat atas penyakit yang di deritanya. Konon, beliau masih punya tunggakan di RS PMI Bogor.

Ada beberapa kisah yang ingin saya gali lagi sebenarnya. Seperti, berapa orang anak Pak Kess dan selama hidup apa saja aktifitasnya. Jika tak ada aral melintang cerita ini akan saya gali dalam waktu

Page 23: Douwes Dekker

dekat ini sembari menunggu kondisi kesehatan Pak Kess membaik dan mengajaknya membicarakan banyak hal.

*) Jurnalis dan Penyair, tinggal di Depok.