dita kulit

31
RESPONSI ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSAL Dr. RAMELAN SURABAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH I. IDENTITAS PENDERITA Nama : Iin Suharti Umur : 30 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Pakis Gunung Gg II/72 Agama : Islam Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia Pekerjaan : Swasta Tanggal Periksa : 1 Desember 2014 II. ANAMNESA 2.1 Keluhan Utama Muncul gelembung-gelembung kecil berisi cairan pada glutea sisi kiri dan paha sebelah kiri 2.2 Keluhan Tambahan Nyeri, terasa panas dan gatal pada glutea sisi kiri dan paha kiri 2.3 Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke poli kulit dan kelamin RSAL pada tanggal 1 Desember 2014 dengan keluhan 1

Upload: ditaviolita

Post on 26-Sep-2015

232 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

kulit

TRANSCRIPT

Responsi

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

RSAL Dr. RAMELAN SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama: Iin Suharti

Umur: 30 tahun

Jenis Kelamin: Perempuan

Alamat: Pakis Gunung Gg II/72

Agama: Islam

Suku/Bangsa: Jawa/Indonesia

Pekerjaan: Swasta

Tanggal Periksa: 1 Desember 2014

II. ANAMNESA

2.1 Keluhan Utama

Muncul gelembung-gelembung kecil berisi cairan pada glutea sisi kiri dan paha sebelah kiri

2.2 Keluhan Tambahan

Nyeri, terasa panas dan gatal pada glutea sisi kiri dan paha kiri

2.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli kulit dan kelamin RSAL pada tanggal 1 Desember 2014 dengan keluhan muncul gelembung-gelembung kecil berisi cairan pada glutea sisi kiri dan paha sebelah kiri sejak 4 hari yang lalu. Daerah ini terasa nyeri, panas dan gatal. 6 hari yang lalu pasien sempat demam, lemas serta nyeri otot, kemudian mulai muncul kemerahan dan keesokan harinya menjadi gelembung-gelembung berisi cairan yang bergerombol. Jika digaruk gelembung pecah dan akan mengeluarkan cairan berwarna bening. Sejak 2 hari yang lalu pasien memakai salep asiklovir dan minum obat parasetamol yang dibeli sendiri di apotik tanpa resep dari dokter. Demam dan nyeri otot menghilang namun gelembung-gelembung berisi cairan di gluteus sisi kiri dan paha sebelah kiri bertambah banyak.

2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya

Pernah didiagnosa terkena cacar air oleh dokter umum saat kecil, namun pasien lupa saat umur berapa

Riwayat rhinitis alergika disangkal

Riwayat asma bronkiale disangkal

Riwayat alergi makanan disangkal

Riwayat alergi obat disangkal

Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat diabetes disangkal

2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluarga yang memiliki sakit yang sama disangkal

Riwayat rhinitis alergika disangkal

Riwayat asma bronkiale disangkal

Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal

Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat diabetes disangkal

2.5 Riwayat Psikososial

Penderita mandi 2x sehari pada pagi hari dan sore hari memakai sabun cair dan menggunakan air PDAM. Namun semenjak sakit pasien mengganti sabunnya dengan menggunakan sabun detol. Berganti pakaian bersih sekitar 2-3 x sehari dan memakai handuk sendiri

Lingkungan tempat tinggal bersih

Tidak ada yang sakit seperti penderita di sekitar penderita

III PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum: Baik

Kesadaran: Compos mentis

Status gizi: Baik

Tekanan darah: Tidak diukur

Nadi: Tidakdiukur

Laju pernafasan: Tidak diukur

Suhu axilla: Tidak diukur

Status Generalis

Kepala: dalam batas normal

Leher: dalam batas normal

Thorax: dalam batas normal

Abdomen: dalam batas normal

Ekstremitas: lihat status dermatologis

Status Dermatologis

Lokasi : Regio glutea sisi sinistra dan regio femoris

Sinistra (L2-S1)

Effloresensi : Tampak vesikel berkelompok dengan dasar eritematous, vesikel berisi cairan jernih.Terdapat pustul, krusta dan sedikit erosi, kulit diantara kelompok tampak normal.

IVRESUME

Pasien perempuan usia 30 tahun datang ke poli kulit dan kelamin dengan keluhan muncul gelembung-gelembung kecil berisi cairan pada glutea sisi kiri dan paha sebelah kiri sejak 4 hari yang lalu. Daerah ini terasa nyeri, panas dan gatal. 6 hari yang lalu pasien sempat demam, lemas serta nyeri otot, kemudian mulai muncul kemerahan dan keesokan harinya menjadi gelembung-gelembung berisi cairan yang bergerombol. Jika digaruk gelembung pecah dan akan mengeluarkan cairan berwarna bening. Sejak 2 hari yang lalu pasien memakai salep asiklovir dan minum obat parasetamol yang dibeli sendiri di apotik tanpa resep dari dokter. Pasien belum pernah sakit seperti ini. Pasien pernah didiagnosa terkena cacar air saat kecil oleh dokter umum, namun pasien lupa saat umur berapa. Penderita mandi 2x sehari pada pagi hari dan sore hari dan semenjak sakit pasien mengganti sabunnya dengan menggunakan sabun detol.

Status Generalis

Kepala, leher, thorax dan abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas: lihat status dermatologis

Status Dermatologis

Lokasi: Regio glutea sisi sinistra dan regio femoris

Sinistra (L2-S1)

Effloresensi : Tampak vesikel berkelompok dengan dasar eritematous, vesikel berisi cairan jernih.Terdapat pustul, krusta dan sedikit erosi, kulit diantara kelompok tampak normal. Lesi sesuai dermatom thorakal

VDIAGNOSA

Herpes Zoster

VIDIAGNOSA BANDING

Varicella

Herpes Simpleks

Impetigo bulosa

VIIPENATALAKSANAAN

Planning Diagnosis

Pemeriksaan Tzanck

Planning Terapi

Oral :

Acyclovir 5x800 mg/hari selama 7 hari

Asam Mefenamat 3x500 mg/hari

Topikal :

Bedak salisilat 2 % dipakai sehabis mandi (lesi masih utuh)

Kompres dengan NaCl 0,9% (lesi pecah)

Planning Monitoring

Setelah obat habis pasien diharapkan kontrol untuk melihat perbaikan

Planning Edukasi

Pasien dianjurkan beristirahat

Tetap diperbolehkan mandi

Tidak menggaruk / memecah luka saat terasa panas ataupun gatal

Mengingatkan pasien untuk selalu meminum obat secara rutin dan teratur

Menjelaskan pada pasien bahwa dapat timbul rasa nyeri pada daerah bekas penyembuhan

Menjelaskan bahwa penyakit ini dapat kambuh lagi jika daya tahan tubuh penderita menurun

Menerangkan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita disebabkan oleh virus dan dapat menularkan kepada orang dan anak yang belum pernah terkena cacar atau penyakit serupa pasien

VIIIPROGNOSIS

Baik jika dirawat secara dini dan belum terjadi komplikasi

HERPES ZOSTER

I. Definisi

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varicella-zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer. Setelah seseorang menderita varisela, virus varicella-zoster akan menetap dalam kondisi dorman (tidak aktif atau laten) pada satu atau lebih ganglia (pusat saraf) posterior.

II. Epidemiologi

Insiden zoster meningkat dengan usia. Di bawah usia 45 tahun, kejadian dalam 1 tahun kurang dari 1 per 1000 orang. Antara pasien yang lebih tua dari 75 tahun, angka ini empat kali lebih besar. Untuk orang kulit putih yang berumur lebih dari 80 tahun, risiko perkembangan zoster adalah 10-30%. Secara keseluruhan, sekitar 1 dari 3 orang yang tidak divaksinasi akan mengembangkan herpes zoster. Untuk alasan yang tidak diketahui, orang yang bukan berkulit putih mengurangi resiko terjadinya herpes zoster.

Imunosupresi, terutama hematologi, keganasan dan infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus), secara dramatis meningkatkan resiko perkembangan zoster. Pada orang yang terinfeksi HIV kejadian tahunan adalah 30 dari 1000 orang, atau risiko tahunan sebesar 3%. Transplantasi sumsum tulang, leukimia, limfoma, penggunaan kemoterapi dan penggunaan kortikosteroid juga turut berperan sebagai faktor risiko. Herpes zoster adalah infeksi opurtunistik pada orang yang terinfeksi HIV, dan pada individu lain, herpes zoster merupakan pertanda awal adanya defisiensi imun.

Gambar 1. A. Epidemiologi herpes zoster dan neuralgia pascaherpertik. Angka kejadian herpes zoster per 1000 orang pada praktek kedokteran; B. Presentase pasien dengan nyeri yang tetap berlangsung setelah ruam herpes zoster; C. Proporsi pasien dengan neuralgia pascaherpertik berdasarkan usia

III. Etiologi

Varicella zoster virus (VZV) adalah anggota family virus Herpes. Virus lain yang patogenik pada manusia adalah herpes simplekx virus-1(HSV-1) dan HSV-2, cytomegalovirus, Eipstein-Barr virus, human herpes virus-6 (HHV-6) dan HHV-7 yang menyebabkan roseola. Dan Sarkoma kaposi yang berhubungan dengan virus herpes dikenal sebagai HHV-8. Gen VZV mengkode sekitar 70 gen yang kebanyakan memiliki rangkaian DNA dan memiliki fungsi homolog dengan gen pada virus herpes lainnya. Secara cepat produk gen meregulasi replikasi VZV. Produk gen seperti virus-specific thymidine kinase dan polimerase DNA virus mendukung replikasi virus.

IV. Patogenesis

Masa inkubasi varisela 10-21 hari (rata-rata 14-17 hari). VZV masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara inhalasi dari sekresi pernapasan (droplet infection) ataupun kontak langsung dengan lesi kulit. Droplet infection dapat terjadi 2 hari sebelum hingga 5 hari setelah timbul lesi kulit.

VZV masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran pernapasan bagian atas, orofaring ataupun konjungtiva. Siklus replikasi pertama terjadi pada hari ke 2-4 yang berlokasi pada limfo nodi regional kemudian diikuti penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan kelenjar limfe, yang mengakibatkan terjadinya viremia primer (biasanya terjadi pada hari ke 4-6 setelah infeksi pertama). Pada sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi virus tersebut dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh yang belum matang sehingga akan berlanjut dengan replikasi virus kedua yang terjadi di hepar dan limfa, yang mengakibatkan viremia sekunder. Pada fase ini, partikel virus akan menyebar ke seluruh tubuh dan mencapai epidermis pada hari ke 14-16, yang mengakibatkan timbulnya lesi di kulit yang khas.

Selama infeksi varisela, VZV berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensoris dan ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris dan berdiam secara permanen serta bersifat laten, dimana virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus.

Zoster umumnya bermanifestasi pada satu atau lebih ganglion spinalis posterior atau ganglion saraf cranial, partikel virus bersembunyi di dalam ganglia dalam fase dorman sejak periode awal varisela. Hal ini menyebabkan timbulnya nyeri di sepanjang dermatom sensoris yang berhubungan dengan ganglion tersebut.

Herpes zoster paling sering terjadi di dermatom yang memiliki densitas tertinggi untuk dicapai oleh varisela yaitu saraf trigeminal dan ganglia spinalis sensoris dari T1-L2. Reaktivasi VZV berhubungan dengan keadaan imunosupresi, stres emosional,tumor yang menyerang ganglion dorsal, orang dengan terapi kemoterapi dan radiasi, trauma lokal atau manipulasi pada pembedahan spinal dan sinusitis frontal. Pada saat terjadi reaktivasi, virus akan kembali bermultiplikasi sehingga terjadi reaksi radang dan merusak ganglion sensoris.

Cidera pada saraf perifer dan ganglion saraf memicu sinyal nyeri afferent, begitu pula inflamasi kulit memicu pengeluaran sinyal nosireseptor yang selanjutnya memperberat nyeri pada kulit. Pengeluaran asam amino eksitatori dan neuropeptida yang secara berlebihan dicetuskan oleh impuls afferent selama fase prodormal dan akut pada herpes zoster menyebabkan rusak dan hilangnya interneuron inhibitor pada ganglion spinalis. Rusaknya saraf pada ganglion dan saraf perifer sangat penting dalam patogenesis dari neuralgial pascahepertik. Kerusakan saraf afferent primer dapat menyebabkan saraf ini hipersensitivitas dan aktif secara spontan terhadap rangsangan perifer. Dimana secara klinis mekanisme ini berakhir pada allodynia (nyeri ataupun sensasi yang tidak menyenangkan yang terjadi oleh rangsangan normal yang tidak menyakitkan).

Fungsi normal sensoris tubuh mengalami perubahan pada pasien dengan neuralgia pascaherpetik. Dalam salah satu studi dikatakan bahwa hampir semua pasien memiliki daerah bekas luka yang insensitive untuk nyeri, dengan sensasi yang abnormal terhadap sentuhan ringan maupun perubahan suhu pada dermatom yang terkena. Nyeri umumnya dipengaruhi oleh gerakan (allodynia mekanis) atau perubahan suhu (allodynia hangat ataupun dingin).

Rasa nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia pascaherpertik bersifat neuropatik dan merupakan hasil dari cedera yang terjadi pada susunan saraf tepi dan perubahan pada penghantaran sinyal pada sistem saraf pusat. Akibat cedera yang terjadi, susunan saraf yang terkena dapat teraktivasi secara spontan, serta memiliki ambang aktivitas yang lebih rendah dan memberikan tanggapan yang berlebihan terhadap suatu rangsangan. Perubahan-perubahan yang terjadi ini begitu rumit sehingga tidak ada pendekatan terapi tunggal untuk menangani kelainan ini.

Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat dengan daerah persarafan ganglion tersebut. Kadang-kadang virus ini juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis sehingga memberikan gejala-gejala gangguan motorik.

V. Gejala klinis

Sebelum timbul gejala kulit terdapat, gejala prodromal baik sistemik (demam, pusing, malese), maupun gejala prodromal lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal dan sebagainya). Setelah itu timbul eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang berkelompok dengan dasar kulit yang eritematosa dan edema. Vesikel ini berisi cairan yang jernih, kemudian menjadi keruh (berwarna abu-abu) dapat menjadi pustul dan krusta. Kadang- kadang vesikel mengandung darah dan disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Dapat pula timbul infeksi sekunder sehingga menimbulkan ulkus dengan penyembuhan berupa sikatriks (1).

Herpes zoster terjadi secara unilateral dalam distribusinya dari saraf sensorik kranial atau spinal, seringkali meluas ke dermatom atas dan di bawah serta jarang melewati garis tengah tubuh. Lokasi yang sering dijumpai adalah dermatom T3-L2. Dermatom yang paling sering terkena adalah thorax (55%), kranial (20%, dengan saraf trigeminal yang paling umum saraf tunggal yang terlibat), lumbal (15%), dan sacral (5%). Erupsi kulit sering didahului oleh satu sampai beberapa hari nyeri di daerah yang terkena, meskipun rasa sakit mungkin muncul bersamaan atau bahkan setelah erupsi kulit. Erupsi awalnya muncul sebagai papula dan plak eritema di dermatom tersebut. Dalam 12-24 jam plak berkembang menjadi vesikel, lesi terus muncul selama beberapa hari. Dapat berubah menjadi pustul dalam 3 hari, dan kemudian mengering menjadi krusta dalam 7-10 hari. Erupsi mungkin memiliki beberapa bentuk lesi, lesi dapat menjadi hemoragik, nekrotik, atau bulosa. Pasien mungkin memiliki rasa sakit, tetapi tidak ada lesi kulit (zoster sine herpete). Disamping gejala kulit dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional (3).

Zoster juga melibatkan sistem motorik. Hal ini terjadi pada 5 % kasus. Kelemahan motorik biasanya diikuti dengan nyeri dan erupsi, mulai dari beberapa hari sampai beberapa minggu. Hernia abdominalis terjadi pada zoster yang melibatkan area motorik T10-T11. Zoster pada daerah anogenital berhubungan dengan gangguan defekasi dan urinasi.

Ada hubungan antara tingkat keparahan nyeri dan luasnya lesi kulit, serta orang lanjut usia cenderung memiliki rasa nyeri yang lebih parah. Pada pasien di bawah usia 30 tahun, rasa sakit mungkin minimal. Total lama lesi tergantung pada tiga faktor yaitu usia pasien, tingkat keparahan lesi, dan gangguan imun yang mendasari. Pada pasien yang lebih muda, total durasi adalah 2-3 minggu, sedangkan pada pasien usia lanjut, kulit dengan lesi zoster mungkin memerlukan 6 minggu atau lebih untuk sembuh. Jaringan parut lebih sering terjadi pada usia lanjut dan pasien dengan imun yang buruk. Jaringan parut juga berhubungan dengan keparahan pada awal lesi. Lesi dapat berkembang pada membran mukosa di dalam mulut zoster dari maxillaris, mandibula dari nervus facialis, atau dalam vagina di S2 atau S3 dermatom.

VI. Diagnosis

Teknik yang sama yang digunakan untuk mendiagnosis varisela juga digunakan untuk mendiagnosa herpes zoster. Gambaran klinis yang muncul biasanya sudah cukup jelas untuk menegakkan diagnosis, dan pengecatan Tzanck dapat mengkonfirmasi dengan cepat dugaan berdasarkan temuan klinis tersebut. Herpes simplex juga bisa memberikan hasil yang positif pada pengecatan Tzanck tetapi jumlah lesi yang timbul lebih sedikit dan derajat nyeri yang timbul lebih rendah.

Pada stadium preerupsi, nyeri prodromal pada herpes zoster sulit dibedakan dengan penyebab lain. Setelah terjadi erupsi, lokasi dan karakter dermatom dari ruam yang timbul, disertai dengan nyeri yang timbul sesuai garis dermatom biasanya akan mengarah pada diagnosis yang jelas.

Di luar persiapan Tzanck, pengujian DFA (Direct Fluorescence Antibody test) lebih dipilih daripada kultur virus, karena cepat, jenis virus dan hasil yang lebih tinggi juga dapat diperoleh. Bila dibandingkan dari dokumentasi infeksi VZV yang terjadi, hasil pengecatan Tzanck adalah 75% yang positif (hingga 10% false-positif dan variabilitas yang tinggi, tergantung pada keahlian pemeriksa), dan kultur hanya 44% yang positif. Pengujian PCR adalah 97% positif. Pada lesi yang tidak khas, biopsi mungkin diperlukan untuk menunjukkan efek sitopatik herpes virus yang khas. Efek sitopatik diinduksi oleh replikasi virus di dalam sel kultur yang dikarakteristikan dengan adanya formasi acidophilic intranuclear inclusion bodies dan multinucleated giant cell. Tes immunoperoxidase kemudian dapat dilakukan untuk mengidentifikasi VZV khusus.

Pemeriksaan laboratorium

1. Tzanck smear

Preparat diambil dari kerokan dasar vesikel yang masih baru, kemudian kerokan digoreskan di objek glass dan difiksasi. Kemudian diwarnai dengan pewarnaan Giemsa. Dengan menggunakan mikroskop cahaya akan dijumpai multinucleated giant cell. Tes ini tidak dapat membedakan antara virus varisela zoster dengan herpes simpleks virus.

2. Direct fluorescent assay (DFA)

Preparat diambil dari kerokan dasar vesikel tetapi apabila sudah berbentuk krusta pemeriksaan dengan DFA kurang sensitif. Hasil pemeriksaan cepat, dan membutuhkan mikroskop fluorescence. Tes ini dapat menemukan antigen virus varisela zoster. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara VZV dengan herpes simpleks.

3. Polymerase chain reaction (PCR)

Pemerksaan dengan metode ini sangat cepat dan sangat sensitif. Dapat menggunakan berbagai jenis preparat seperti kerokan dasar vesikel, krusta dan CSF (cerebrospinal fluid). Tes ini dapat menemukan nucleic acid dari VZV.

4. Biopsi Kulit

Hasil pemeriksaan histopatologis: tampak vesikel intraepidermal dengan degenerasi sel epidermal dan akantolisis. Pada dermis bagian atas dijumpai adanya lymphocytic infiltrate.

VII. Komplikasi

Herpes zoster generalisata didefinisikan sebagai lebih dari 20 lesi di luar dermatom yang terkena. Hal ini terjadi terutama pada orang tua atau individu dengan daya tahan tubuh yang lemah, terutama pada pasien dengan lymphoreticular, keganasan atau AIDS. Rendahnya tingkat antibodi serum terhadap VZV merupakan faktor risiko yang sangat signifikan dalam penyebaran penyakit. Lesi dapat berupa vesikel yang soliter dan ada umbilikasi (3).

Herpes zoster oftalmikus melibatkan nervus kranial kelima (N.Trigeminus) cabang pertama sehingga menimbulkan kelainan pada mata. Jika terkena cabang kedua dan ketiga dapat menyebabkan kelainan kulit pada daerah persyarafannya (1). Keterlibatan okular adalah yang paling sering adalah bentuk uveitis (92%) dan keratitis (50%). Komplikasi yang kurang umum tetapi lebih parah termasuk glaukoma, neuritis optik, ensefalitis, hemiplegia, dan nekrosis retina akut.

Neuropati saraf motorik terjadi pada sekitar 3% pasien dengan zoster dan resiko meningkat tiga kali jika zoster dikaitkan dengan keganasan. 75 % dari kasus proses penyembuhan berjalan lambat, 25 % meninggalkan beberapa defisit motorik. Jika mengenai dermatom S3 (sakral), atau yang kurang sering seperti S2 atau S4, retensi urin dapat terjadi. Hematuria dan piuria mungkin juga terjadi. Prognosis baik untuk pemulihan lengkap. Demikian pula obstruksi, kejang kolon, dilatasi, obstipasi, konstipasi, dan penurunan tonus sfingter anal dapat terjadi jika mengenai regio thorax (T6-T12), lumbal, atau zoster sakral. Nekrosis tulang alveolar maxillaris dan mandibula dapat terjadi rata-rata 30 hari setelah zoster menyerang cabang maksila atau mandibula saraf trigeminal. Gigi yang mudah lepas mungkin terjadi.

Ramsay Hunt Syndrom diakibatkan oleh gangguan nervus fasialis dan otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (Bells palsy), kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persyarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus, nausea dan gangguan pengecapan.

Neuralgia pasca herpertik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakit sembuh. Nyeri ini dapat berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi dalam kehidupan sehari-hari. Umum terjadi pada orang dengan herpes zoster yang usianya lebih dari 40 tahun. Infeksi juga dapat menjalar ke paru, hepar dan otak

VIII. Diagnosa Banding

Diagnosis banding pada herpes zoster dapat dibagi berdasarkan 2 gejala klinis:

1. Stadium prodormal/nyeri lokal: nyeri prodormal dapat mirip dengan angina pektoris, ulser duodenal, kolik renal, apendisitis, awal glaukoma.

2. Erupsi dermatom:

Herpes simpleks: penyakit yang diisebabkan virus Herpes Simpleks yang ditandai dengan vesikel yang berkelompok di atas dasar eritema, berulang, mengenai permukaan mukokutaneus. Jumlah lesi lebih sedikit dan tidak terlalu nyeri dibandingkan herpes zoster. Dapat mengenai genital (labium major, labium minor, vagina, serviks, anus, penis) dan ekstragenital (hidung, bibir, lidah).

Varisela: papul eritematosa yang berubah menjadi vesikel yang khas seperti tetesan embun (tear drops). Penyebaran di daerah badan kemudian menyebar ke muka dan ekstremitas. Penyakit ini biasanya disertai rasa gatal dan tidak terlalu nyeri.

Impetigo bulosa: : timbul bula yang bertambah besar, tidak cepat pecah dapat tahan 2-3 hari. Isi bula mula-mula jernih, kemudian keruh, jika pecah tampak krusta kecoklatan yang tepinya meluas dan tengahnya menyembuh sehingga tampak gambaran lesi sirsiner.

IX. Penatalaksanaan

Tujuan terapi Herpes zoster adalah (1) membatasi luas, lama dan tingkat keparahan nyeri serta ruam pada dermatom primer; (2) mencegah timbulnya komplikasi, (3) mencegah terjadinya neuralgia pascaherpetik.

Terapi sistemik umumnya bersifat simtomatik, untuk nyerinya dapat diberikan analgesik oral seperti asam mefenamat, asetaminofen, NSID, dan opiat. Jika disertai dengan infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik seperti eritromisin 4 x 250-500 mg/hari.

Pada individu yang beresiko tinggi terjadi reaktivitasi dari virus varisela zoster, pemberian terapi antiviral per oral dapat menurunkan insiden terjadinya herpes zoster. Indikasi antiviral adalah orang yang beresiko mengalami nyeri yang persisten (diatas umur 50 tahun), pasien dengan nyeri dan zoster yang parah, herpes zoster oftalmikus, Ramsay Hunt Syndrom, imunosupresi, herpes zoster generalisata dan neuropati motorik. Pada gejala prodromal, terapi antiviral di mulai jika pasien telah di pertimbangkan untuk diberikan analgesik. Jika telah terdapat vesikulasi aktif terapi antiviral di mulai dalam kurun waktu < 72 jam sejak gejala muncul untuk mempercepat penyembuhan lesi pada kulit, mengurangi durasi nyeri dan kemungkinan dapat mengurangi frekuensi neuralgia pasca herpetik jika dosis yang diberikan adekuat.

Dosis pemberian antiviral valasiklovir 1000 mg, dan famsiklovir, 500 mg, dapat diberikan tiga kali sehari. Agen ini lebih efektif atau unggul dibandingkan dengan asiklovir, 800 mg lima kali sehari, karena penyerapan yang lebih baik dan fakta bahwa konsentrasi dalam darah lebih tinggi. Valasiklovir dan famsiklovir aman digunakan seperti asiklovir. Jika tidak ada kontraindikasi, lebih disukai penggunaannya. Dalam host yang imunokompeten, total 7 hari pengobatan telah terbukti sama efektifnya dengan 21 hari pengobatan. Dosis valasiklovir dan famsiklovir harus disesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal. Pada pasien lanjut usia, jika status ginjal tidak diketahui, agen dapat dimulai pada dosis dua kali sehari (yang hampir sama efektif), sambil menunggu evaluasi fungsi ginjal, atau asiklovir dapat digunakan. Untuk pasien dengan ginjal kegagalan (kreatinin kurang dari 25 mL / menit), penggunaan asiklovir lebih baik. Neurotoksisitas dapat terjadi dari asiklovir intravena atau terapi valasiklovir oral. Hal ini dapat muncul sebagai halusinasi, disorientasi, pusing, fotofobia, kesulitan berbicara, delirium, bingung, agitasi, dan delusi.

Pada pasien imunosupresi, agen antivirus harus selalu diberikan karena peningkatan resiko penyebaran dan zoster yang terkait komplikasi. Dosis identik dengan yang digunakan dalam host imunokompeten. Dalam keadaan imunosupresi pasien dengan zoster ophthalmic, herpes zoster generalisata, atau Ramsay Hunt Syndrom, dan pada pasien yang gagal terapi oral, asiklovir intravena harus digunakan dengan dosis 10 mg / kg tiga kali sehari, disesuaikan dengan fungsi ginjal.

Jika lesi baru masih tetap timbul obat masih dapat diteruskan dan dihentikan sesudah 2 hari sejak lesi baru tidak timbul lagi. Herpes zoster oftalmika sebaiknya di konsulkan ke bagian mata.

Untuk neuralgia pasca herpetik, prinsipnya adalah antikonvulsan, antidepresan trisiklik dan analgesik. Antikonvulsan dapat diberikan gabapentin (Neurontin) dan pregabalin (Lyrica) yang dapat membantu dalam mengurangi rasa nyeri. Dosis awal gabapentin biasanya 300 mg/hari diberikan tiga kali sehari, dapat ditingkatkan hingga 3600 mg/hari. Pregabalin memiliki farmakokinetik yang lebih baik, dosis yang digunakan adalah 300 mg atau 600 mg setiap hari, dapat diberikan dua kali sehari, dosis tergantung pada fungsi ginjal. Efek sampingnya ringan berupa dizziness dan somnolen yang akan menghilang sendiri, jadi obat tidak perlu dihentikan.

Tramadol pilihan untuk mengontrol rasa sakit akut, namun interaksi obat dengan trisiklik harus dipantau. Antidepresan trisiklik, seperti amitriptyline (atau nortriptyline) dan desipramine, yang diuji dan didokumentasikan efektif untuk manajemen neuralgia pasca herpertik. Mereka dianggap agen lini pertama dalam kondisi ini. Dosis 25 mg/hari diberikan pada malam hari (atau 10 mg untuk orang-orang di atas usia 65-70 tahun). Dosis dapat ditingkatkan sampai kontrol nyeri dicapai atau dosis maksimum tercapai. Dosis utama adalah antara 25 dan 100 mg dalam dosis tunggal malam. Efek sampinya dapat berupa gangguan jantung, sedasi dan hipotensi. Venlafaxine (Effexor) dapat digunakan pada pasien yang tidak mentolerir trisiklik. Dimulai dari dosis 25 mg / malam dan dosis secara bertahap dapat dititrasi jika diperlukan. Selain itu dapat di coba dengan akupuntur. Nyeri tersebut lambat laun akan menghiang sendiri. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) mungkin bermanfaat untuk neuralgia yang persisten.

Indikasi pemberian kortikosteroid ialah untuk Ramsay Hunt Syndrom. Pemberian sedini inilah untuk mencegah paralisis. Sindrom ramsay hunt dapat diberikan prednison 3 x 20 mg sehari, setelah 1 minggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis prednisolon setinggi ini, imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung dengan obat antiviral. Dikatakan kegunaannya untuk mencegah fibrosis ganglion. Pasien sebaiknya dikonsulkan ke bagian saraf.

Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel di berikan bedak yang mengandung asam salisiat 2% dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infersi sekunder. Bilai erosi di berikan kompres terbuka, kalau terjadi ulserasi dapat di berikan salep antibiotik misal : bacitracin 3 kali sehari

Selain terapi medikamentosa kepada pasien juga di sarankan agar banyak istirahat dan cukup nutrisi.

X. Pencegahan Zoster

Vaksin menggunakan virus yang dilemahkan sama seperti di vaksinasi pada varisela, tetapi pada titer yang lebih tinggi, telah dilisensi untuk pencegahan herpes zoster (Zostavax). Disarankan untuk semua orang yang berusia 60 tahun atau lebih. Vaksinasi ini mengurangi kejadian zoster sebesar 50%. Mereka yang divaksinasi antara usia 60 sampai 69 tahun mengalami penurunan lebih besar kejadian zoster dibandingkan dengan lebih dari 70, tapi pada kedua kelompok PHN dan beban penyakit berkurang sama. Karena vaksin virus hidup, orang yang sedang mengkonsumsi obat antivirus harus menghentikan pemakaian obat 24 jam sebelum imunisasi dan tidak mengkonsumsi obat selama 14 hari setelah imunisasi.

XI. Prognosis

Umumnya baik jika di tangani sedini mungkin dan pengobatannya adekuat.

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Prof. Dr. Dr. Adhi. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi VI. Jakarta. FKUI: 110-12.

Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. 2008. Varicella and Herpes Zoster. In Fitzpatrick Dermatology in General Medicine, 7th edition. Chapter 194. USA: 1885-98

James WD, Berger TG, Elston DM. 2011. Andrews Diseases of the skin Clinical Dermatology, 11th edition. Saunders Company. USA: 372-76

Lichenstein R. Pediatrics, Chiken Pox or Varicella. www.emedicine.com.

Frieden IJ, Penney NS. Varicella-Zoster Infection.1995. In: Schchner LA, Hansen RC editor. Pediatric Dermatology, second edition, vol 2, Churchill Livingstone, NewYork: 1272-75

Netter, FH. 2010. Atlas of Human Anatomy, 5th edition. Saunders company. USA: 159

18