dinamika konflik cina
TRANSCRIPT
DINAMIKA KONFLIK CINA-TAIWAN DI TENGAH PENGARUH AMERIKA SERIKATPaper ini ditulis khusus untuk mata kuliah KAWASAN ASIA TIMUR
Semester IV tahun akademik 2009/2010
Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Falsafah dan Peradaban
Universitas Paramadina
Oleh Agung Setiyo Wibowo
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kawasan Asia Timur adalah salah satu kawasan yang unik dan menarik untuk diamati. Cina,
Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, Mongolia, dan Taiwan adalah beberapa negara di kawasan ini
di mana sejarah menunjukkan bahwa organisasi kawasan sulit diwujudkan. Terdapat banyak faktor
yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah pengaruh Amerika Serikat (AS). Beberapa alasan
yang mendorong Negeri Paman Sam berperan di Asia Timur adalah:
1. Kawasan Asia Timur dianggap sebagai kawasan strategis dalam ranah perekonomian dengan
pertumbuhan ekonomi dan populasi besar.
2. Isu-isu pelaksanaan hak asasi manusia di Asia Timur yang menjadi ganjalan AS.
3. Belum tuntasnya proses demokratisasi di Asia Timur yang didukung AS.
Pasca Perang Dingin, salah satu isu terpenting di kawasan ini adalah konflik Selat Taiwan. Konflik
ini bermuara pada terjadinya perang sipil yang memaksa pemerintahan Chiang Kai-Shek keluar dari
Cina dan lari ke Taiwan karena kekalahan melawan gerakan komunis yang dipimpin Mao Zedong
pada tahun 1949. Baik Cina maupun Taiwan bersikeras mempertahankan pemerintahan mereka
yang dianggap sah mewakili Cina, mencakup daratan Cina dan Pulau Taiwan. Polemik tersebut
mereda dengan semakin diterimanya One China Policy.
Pemerintahan Cina menganggap Taiwan hanya sebagai satu provinsi yang memberontak terhadap
pemerintahan di Beijing. Dengan kata lain, Taiwan bukan dianggap sebagai satu entitas independen
dan berdaulat sendiri. Baik Taipei maupun Beijing telah melakukan diplomasi guna kepentingan
masing-masing. Namun diplomasi Cina lebih berhasil dengan pengakuan dari dunia internasional
sedangkan Taiwan hanya diakui oleh beberapa negara di Amerika Tengah.
Dalam perkembangannya, hubungan Cina-Taiwan selalu diliputi oleh kecurigaan dan konflik yang
tak berkesudahan. Upaya perdamaian dan keamanan di Selat Taiwan menjadi dalih intervensi dunia
internasional terutama Amerika Serikat. Pasang-surut hubungan bilateral Cina-Taiwan sejalan
dengan kedekatan Amerika Serikat dengan keduanya. Paper ini membahas dinamika konflik Cina-
Taiwan di tengah pengaruh Amerika Serikat.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimana sejarah konflik Cina-Taiwan?
2. Bagaimana pengaruh Amerika Serikat dalam hubungan Cina-Taiwan?
3. Bagaimana dinamika konflik Cina-Taiwan?
1.3. Kerangka Pemikiran
Politik internasional sebagaimana politik domestik terdiri dari elemen-elemen kerjasama dan konflik,
permintaan dan dukungan, gangguan dan pengaturan. Negara membuat pembedaan antara kawan
dan lawan sehingga terbentuk pola sebagai berikut:
a. Amity yang artinya pola-pola hubungan dari hubungan yang bersahabat sampai pola-pola
hubungan yang memberikan proteksi.
b. Enmity yang artinya pola-pola hubungan yang dibentuk oleh faktor kecurigaan dan ketakutan
karena adanya hal ini maka pola hubungan bermusuhan.
Politik internasional memandang tindakan suatu negara sebagai reaksi atas tindakan negara lain.
Dengan kata lain, politik internasional adalah proses interaksi antara dua negara atau lebih yang
berlangsung dalam suatu wadah atau lingkungan. Faktor-faktor utama dalam lingkungan
internasional dapat diklasifikasikan dalam tiga hal, yaitu: (1) lingkungan fisik, seperti geografis,
sumber daya alam dan teknologi suatu bangsa (2) penyebaran sosial dan perilaku yang di dalamnya
mengandung pengertian sebagai hasil pemikiran manusia sehingga menghasilkan budaya politik
serta munculnya kelompok-kelompok elit tertentu (3) timbulnya lembaga-lembaga politik dan
ekonomi serta organisasi-organisasi internasional dan perantara-perantara ekonomi serta politik
lainnya.
Pola-pola interaksi politik dalam hubungan internasional pasca Perang Dingin sudah melibatkan
interaksi antara aktor negara dengan aktor negara bangsa seperti perusahaan multinasional,
organisasi non-pemerintah, dan bahkan kelompok non-negara lainnya seperti organisasi teroris.
Dalam interaksi antarnegara, interaksi dilakukan berdasarkan kepentingan nasional masing-masing
negara, maka teori yang digunakan adalah teori kepentingan nasional. Menurut Donald
Nuechterlein, kepentingan nasional merupakan segala kebutuhan dan kepentingan dari sebuah
negara berdaulat dalam hubungannya dengan negara berdaulat lainnya. Kepentingan nasional
suatu negara merupakan elemen-elemen yang membentuk kebutuhan negara yang paling vital
seperti pertahanan, keamanan dan kesejahteraan ekonomi.
Untuk mencapai kepentingan nasionalnya, suatu negara tidak dapat melepaskan dari politik luar
negeri yang menjadi pengejawantahan politik dalam negerinya. Menurut Henry Kissinger, politik luar
negeri berada pada perbatasan antara aspek dalam negeri suatu negara (domestik) dan aspek
internasional (eksternal) dari kehidupan suatu negara. Oleh karena itu, politik luar negeri tidak dapat
menisbikan struktur dan proses baik dari sistem internasional maupun sistem politik domestik.
Menurut Joshua S.Goldstein, hegemoni adalah sebuah kekuatan utama yang dipegang oleh suatu
negara pada sistim internasional, sehingga dapat dengan mudah mendominasi peraturan dan
memimpin perekonomian dan politik internasional. Hegemoni ekonomi adalah kemampuan untuk
menjadi pusat ekonomi dunia, sedangkan hegemoni politik adalah kemampuan untuk mendominasi
militer dunia. Teori lain yang relevan adalah teori Balance of Power yaitu teori perimbangan
kekuatan yang menurut Hans J. Morgenthau dapat dicapai dengan adanya keseimbangan dalam
capabilities dan power distribution antarnegara, sehingga tidak ada suatu kekuatan yang lebih dari
yang lain atau kekuatan absolut yang mengatur.
Pengembangan teknologi nuklir Iran di tengah kecaman dan ancaman dunia internasional adalah
salah satu bentuk instrumen dalam pencapaian kepentingan nasionalnya. Menurut paradigma
realisme, negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional yang bersifat rasional dan
monolith dan selalu memperhitungkan cost and benefit dari setiap tindakan demi kepentingan
keamanan nasional sehingga fokus dari paradigma ini adalah struggle for power atau real politics.
Realisme berpendapat bahwa sifat dasar interaksi dalam sistem internasional adalah anarki,
kompetitif, konfliktual dan kerjasama yang dibangun hanya untuk kepentingan jangka pendek
sehingga ketertiban dan stabilitas hubungan internasionao hanya akan dicapai melalui distribusi
kekuatan (power politics).
Dalam buku legendaris Politics among Nations: Struggle for Power and Peace, Morgenthau
menuliskan enam prinsip realisme politik:
1. Politics like society in general, is governed by objective laws thet have their roots in human
nature, which unchanging; therefore it is possible to develop a rational theory that reflects these
objective laws.
2. The main signpost of political realism is the concept of interest defined in termof power which
infuses rational order into the subject matter of politics, and thus makes the theoretical
understunding of politics possible. Political realism stresses the rational, objective and unemotional.
3. Realism assumes that interst defined as power is an objectve category which is universally valid
but not with a meaning that is fixed once and for all.Power is control of man over man.
4. Political realsm is aware of the moral significance of political actions. It is also aware of the
tension between moral command and the requirements of successful political actions.
5. Political realsm refuses to identify the moral aspirations of particular nations with the moral laws
that govern the universe. It is the concept of interest defined in terms of power that saves us from
moral excess and political folly.
6. The political realist maintains of the political sphere.
Pengertian national interest yang didefinisikan sebagai power sampai saat ini juga masih relevan.
National interest yang diperjuangkan oleh suatu negara akan berujung pada pencapaian power.
Power didefinisikan oleh Morgenthau tidak hanya sebagai sasaran melainkan juga sebagai tujuan,
misalnya untuk memperbesar power, suatu negara mempergunakan power yang telah dimilikinya
untuk dapat mencapainya. Power juga dapat diartikan sempit sebagai force. Karena power tidak
terbatas pada kekuatan militer atau secara fisik saja, tetapi ancaman atau tekanan secara psikologis
juga dapat dikatakan sebagai suatu power. Dalam hal ini dapat diberikan contoh mengenai
kepemilikan senjata nuklir oleh suatu negara. Bila suatu negara memiliki senjata nuklir, meskipun
belum digunakan untuk menyerang negara lain, tapi negara yang telah memilikinya, baik itu telah
menguasai pembuatan maupun baru mulai mengembangkannya saja, akan sangat diperhitungkan
oleh negara lain. Negara tersebut dianggap telah memiliki power yaitu suatu tekanan secara
psikologis terhadap negara lain walaupun negara tersebut belum menggunakannya secara nyata.
Dalam hal ini, pengembangan teknologi nuklir Iran sejalan dengan konsep kepentingan di atas.
Terkait dengan kekuatan (power) suatu negara, kekuasaan bijak dan kepentingan tercerahkan
merupakan nilai-nilai mendasar politik para realis. Morgenthau melihat kebijaksanan sebagai
keuntungan politik yang luar biasa tinggi dan berpikir bahwa negara-negara ingin mengembangkan
atau melindungi kepentingan mereka sendiri, mereka harus menghargai kepentingan-kepentingan
negara lainnya. Sebagaimana realisme, neorealisme menjadikan negara dan perilaku negara
fokusnya dan berusaha menjawab pertanyaan mengapa perilaku negara selalu terkait dengan
kekerasan. Semua tradisi realis berangkat dari filsafat keharusan (the philosophy of necessity) yakni
melihat perilaku negara sebagai produk dari sebuah kondisi yang tak terelakkan. Dalam pemikiran
realis, baik tradisional maupun struktural, perilaku negara yang keras merupakan konsekuensi dari
endemiknya kekuasaan dalam politik internasional.
Di sisi lain, realisme tradisional dan realisme struktural menjelaskan secara berbeda mengapa politik
internasional memiliki karakter endemik yang ditandai dengan perebutan kekuasaan. Bagi realis
tradisional, perebutan kekuasaan yang berlangsung terus menerus dalam politik internasional
bersumber pada hakekat manusia. Berangkat dari pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh
antara lain Tucydides, Machiavelli dan Hobbes, yang melihat pada dasarnya manusia bersifat self-
interested dan dalam kondisi state of nature akan berperang satu sama lain, realis tradisional
memproyeksikan negara akan memiliki karakter yang sama, karena politik internasional pada
dasarnya adalah gambaran dari state of nature dalam arti yang sebenarnya, tidak lagi merupakan
kondisi hipotetis sebagaimana yang digambarkan oleh Hobbes dalam Leviathan.
Dalam pandangan realisme struktural, penjelasan terhadap endemiknya perebutan kekuasaan
dalam politik internasional bukan berasal dari hakekat manusia (negara), melainkan dari struktur
yang menjadi konteks dari perilaku negara-negara. Dalam sebuah sistem yang secara struktural
anarkhi, negara harus bertindak semata-mata berdasarkan kepentingannya sendiri, yang berarti
mengejar kekuasaan sebesar-besarnya. Dalam sistem ini, negara tidak bisa menggantungkan
keamanan dan kelangsungan hidupnya pada negara atau institusi lain, melainkan pada
kemampuannya sendiri (self-help), yaitu mengumpulkan berbagai sarana terutama (tetapi bukan
satu-satunya) militer untuk berperang melawan negara lain. Tetapi, kebutuhan sebuah negara untuk
mempertahankan diri dengan memperkuat kekekuatan militernya, bagi negara lain merupakan
sumber acaman dan menuntut negara lain tersebut melakukan hal yang sama, dan dikenal sebagai
dilema keamanan (security dilemma).
Dalam menjelaskan pentingnya struktur sebagai pembentuk perilaku negara, neorealis
membedakan secara tegas sifat politik internasional yang anarkhis dengan politik domestik yang
hirarkhis, yang menggambarkan dua prinsip pengorganisasian sistem yang berbeda (the ordering
principle of the system). Dua karakteristik lain yang membentuk pemikiran neorealis adalah karakter
unit dalam sistem dan distribusi kapasitas unit dalam sistem. Sifat unit dalam sistem mengacu pada
fungsi yang dijalankan oleh unit-unit dalam sistem, yakni negara. Dalam pandangan neorealis,
semua unit memiliki fungsi yang sama yakni menjamin kelangsungan hidupnya. Tetapi, sekalipun
semua negara memiliki fungsi yang sama, negara-negara tersebut berbeda dalam kemampuan,
sebagaimana tercermin dalam distribusi kekuasaan yang seringkali tidak seimbang dan sering
berubah. Singkatnya, seperti ditulis oleh Waltz, semua negara‚ memiliki kesamaan tugas, tetapi
tidak dalam kemampuan untuk menjalankannya. Perbedaannya terletak pada kapabilitas, bukan
pada fungsi mereka.
1.4. Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan paper ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu suatu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data-data tertulis atau lisan dari orang-orang
atau perilaku yang diamati. Metode yang digunakan untuk penelitian data terdiri atas tiga teknik,
yaitu:
1. Teknik pengumpulan data, yaitu proses untuk memperkaya khazanah penulisan dalam menjawab
masalah pokok dengan cara studi pustaka, baik dari buku, jurnal, atau artikel media massa.
2. Teknik pengolahan data, yaitu upaya seleksi terhadap data-data yang telah didapat untuk
kemudian diklasifikasi menurut prioritas penulisan.
3. Teknik analisis data, yaitu proses dimana penulis mencoba menganalisa dari kejadian yang ada,
baik yang bersifat objektif maupun subjektif.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Konflik Cina-Taiwan
Pasca Perang Dunia II, Taiwan sempat menguasai Cina daratan di bawah Partai Kuomintang
(Nasionalis) yang dipimpin oleh Chiang Kai-Shek. Gerakan ini ampuh mengakhiri penjajahan
Jepang yang berlangsung selama lima puluh tahun. Kai-Shek membentuk status pulau tersebut
menjadi provinsi Cina. Taiwan memperoleh kemerdekaan dari Jepang. Namun dalam pemerintahan
Kai-Shek banyak terjadi korupsi dan eksploitasi sumber daya alam Taiwan setelah rekonstruksi
pasca perang dengan Jepang. Industri Taiwan secara langsung mensuplai kebutuhan Beijing
sehingga ekonomi di kepulauan (Taiwan) menjadi krisis. Pengangguran banyak terjadi yang
mengakibatkan demonstrasi masif pada tahun 1947 dan berlanjut pada peristiwa Teror Putih yaitu
pembunuhan sekitar 18.000 sampai 300.000 elit akademik dan elit politik penduduk asli di Taiwan
oleh Chiang Kai-Shek untuk menunjukkan kontrolnya. Kontrol ini justru menimbulkan gerakan
komunis.
Partai Komunis Cina (PKC) yang dipimpin oleh Mao Zedong mengadakan perang kebebasan yang
berhasil menaklukkan Partai Kuomintang (PKMT) pada Oktober 1949. Kemudian Mao mengambil
alih Cina daratan dengan diproklamirkannya Republik Rakyat China (RRC) dan PKC adalah partai
tunggal sah di Cina. Chiang Kai-Shek akhirnya mengundurkan diri dan membawa pasukan beserta
para pengungsi ke Pulau Formosa atau Taiwan dan cadangan emas RRC. Pada perkembangannya,
Chiang menginginkan Taiwan sebagai negara baru yang berdaulat dan tidak berada di bawah
pemerintahan RRC.
2.2. Posisi Republik Rakyat Cina
Melalui One China Policy RRC menginginkan Taiwan kembali bersatu dengan RRC, menyusul
masuknya Hongkong dan Makau untuk bergabung kembali. RRC selalu membujuk Taiwan atas
sistem One Nation, Two States agar Taiwan dapat bergabung dengan RRC. Secara de jure maupun
de facto Taiwan adalah bagian dari RRC dan di mata PBB dengan resolusi 2758, RRC adalah
pemerintahan yang sah. Namun masih banyak hambatan yang dihadapi oleh RRC dalam usaha
reunifikasi dengan Taiwan. Setiap presiden Taiwan memimpin negaranya, tidak ada satu pun yang
menyatakan kesediannya untuk bergabung RRC.
Munculnya militer RRC juga menjadi salah satu isu terpenting dalam upaya reunifikasi. Militer RRC
merupakan sarana yang paling ampuh untuk memaksa Taiwan. Ditopang dengan lebih dari 3,5 juta
tentara, kekuatan Angkatan Darat dan Angkatan Laut yang handal, bukan tidak mungkin RRC
sewaktu-waktu akan menyerang Taiwan jika Taiwan memproklamirkan kemerdekaannya.
Pada tahun 2005, RRC mengeluarkan UU Anti Pemisahan (Anti-Secession Law) yaitu undang-
undang yang disahkan oleh konferensi ke-3 Kongres Rakyat Nasional dari pemerintah RRC.
Terdapat tiga skenario dalam UU yang memprekondisikan penggunaan “tindakan non damai” dalam
menghadapi Taiwan: jika separatis Taiwan mengambil tindakan untuk memisahkan Taiwan dari
RRC dengan segala tujuan atau segala bentuk; terdapat insiden besar yang menjadi sebuah
petunjuk Taiwan terhadap usaha memisahkan diri dari RRC; dan kemungkinan untuk unifikasi
secara damai sudah dalam tahap melelahkan. UU ini merupakan “UU Status Quo” yang dibuat
polanya untuk menjaga situasi terakhir di Selat Taiwan.
2.2.1 One China Policy
One China Policy berarti hanya ada satu Cina yaitu Cina daratan (RRC), Tibet, Hongkong, Makau,
Xinjiang, maupun Taiwan adalah bagian dari Cina. Hal ini adalah alasan utama bahwa RRC dan
Taiwan harus melakukan unifikasi. Dalam kasus yang dialami oleh AS, One China Policy dalam
Shanghai Communique pada tahun 1972 menyatakan: “The United States acknowledges that
Chinese on either side of the Taiwan Strait maintain there is but one China and that Taiwan is a part
of China. The United States does not challenge that position.”, maka dari itu dapat ditarik benang
merah bahwa One China Policy yang dipahami AS berbeda dengan yang digariskan RRC ke dunia
internasional, yaitu RRC dan Taiwan berada pada satu pemerintahan. AS tidak menyatakan dengan
tegas mengenai apakah Taiwan adalah negara merdeka atau tidak, sebaliknya AS menyatakan
penjelasannya terhadap klaim RRC bahwa Taiwan adalah bagian dari Cina.
One China Policy juga menjadi prasyarat bagi pemerintahan Cina untuk berdialog mengenai cross-
strait relations dengan kelompok yang datang dari Taiwan. Kebijakan ini menolak rumusan Two
China atau One China, One Taiwan dan dengan jelas bahwa upaya pembagian kedaulatan Cina
akan berakibat kepada perang militer. RRC telah menawarkan dialog dengan partai-partai di Taiwan
dan pemerintahan di Taiwan berdasarkan konsensus tahun 1993 yang menyatakan bahwa ada satu
Cina, tetapi terdapat pemahaman yang berbeda mengenai “satu Cina’ di kedua negara.
2.2.2 Resolusi PBB Nomor 2758
Sidang Majelis Nasional PBB meluluskan Resolusi 2758 pada tahun 1971 yang memulihkan hak-
hak RRC dan pemerintah nasionalis Taiwan dikeluarkan oleh PBB. Adapun isi dari resolusi tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Mengingat pemulihan hak-hak yang sah menurut hukum RRC adalah penting bagi perlindungan
Piagam PBB dan PBB harus melayani berdasarkan piagam tersebut.
b. Mengakui bahwa pemerintah RRC adalah satu-satunya pemerintahan yang sah di PBB dan RRC
adalah salah satu diantara lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
c. Memutuskan untuk memulihkan semua hak RRC dan untuk mengakui bahwa pemerintahannya
adalah satu-satunya pemerintahan yang sah di depan PBB, dan memaksa keluar dengan segera
pemerintahan Chiang-Kai Shek yang tidak sah di PBB dan semua organisasi yang berhubungan
dengannya.
Resolusi di atas hanya membahas hak perwakilan RRC di lembaga internasional dan tidak
menyatakan bahwa Taiwan adalah bagian dari RRC, tidak memberikan hal perwakilan Taiwan
kepada RRC maupun kepada organisasi lainnya di bawah PBB. Sejak RRC berdiri pada tahun
1949, RRC tidak pernah memerintah di Taiwan. Dengan kata lain, Taiwan adalah negara merdeka,
memiliki pemerintahan sendiri yang terpisah dari Cina daratan.
2.2.3 Kepentingan RRC dalam Penyatuan dengan Taiwan
Upaya mencegah Taiwan merdeka adalah masalah penting bagi RRC karena menyangkut
kredibilitas di mata rakyatnya. Untuk tetap menjaga kredibilitas tersebut, Beijing bertekad
menempuh segala cara, termasuk invasi ke Taiwan meskipun nantinya RRC akan berhadapan juga
dengan AS.
RRC mengklaim bahwa Pulau Formosa yang berganti nama menjadi Taiwan adalah bagian dari
RRC berdasarkan sejarah yang tercatat tahun 304 M dengan nama Pulau Yizh Liuqiu. Di masa
Dinasti Sui, penduduk Cina daratan mulai memasuki pulau ini. Berbagai dinasti Cina selanjutnya
juga tercatat menguasai pulau ini hingga akhirnya terjajah oleh Jepang. Kembalinya Taiwan kepada
RRC tertuang dalam Deklarasi Postdam yang ditandatangani Cina, Amerika Serikat, dan Inggris
pada 26 Juli 1945. Berdasarkan kenyataan ini, RRC mempunyai klaim kuat secara de facto dan de
jure bahwa Taiwan adalah bagian dari negara Cina.
Reunifikasi Taiwan ke dalam RRC adalah bagian dari perang saudara tahun 1949 yang belum
terselesaikan. Bagi RRC, terbentuknya Taiwan adalah akibat dari intervensi AS. Menurut RRC,
pelarian kelompok nasionalis yang kalah dalam perebutan kekuasaan melawan komunis tahun 1949
tdak akan akan dapat bertahan tanpa intevensi AS. Bagi RRC, keutuhan adalah “harga mati”
sehingga kemerdekaan Taiwan dinilai sebagai kegagalan pemerintah mempertahankan RRC. Hal ini
penting karena akan menyulut potensi adanya gerakan separatism dari wilayah Mongolia, Tibet dan
Xinjiang yang berbeda secara etnis, agama dan budaya dari etnis Han yang mendominasi.
2.3. Posisi Taiwan
Usaha Taiwan untuk memerdekakan diri tidak mendapatkan dukungan dunia internasional,
termasuk Amerika Serikat. Washington sebagai pembela utama Taipei tidak menghendaki adanya
negara Taiwan merdeka karena AS sudah terikat dengan Three Sino-US Joint Communiques
dengan RRC. Isu kemerdekaan Taiwan juga mendapat hambatan karena sebagian rakyat Taiwan
juga tidak menghendaki adanya negara Taiwan merdeka karena nantinya akan berlangsung konflik
yang melibatkan militer.
Alasan Taiwan merdeka dapat diterima karena wilayahnya relatif sempit dengan perekonomian lebih
stabil dibandingkan RRC. Taiwan menganggap bahwa keikutsertaan RRC dalam perekonomian
negaranya akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi, karena nantinya jika Taiwan kembali
bergabung dengan RRC, dengan sendirinya perekonomiannya diatur oleh RRC. Bantuan militer AS
juga menjadi alasan mengapa Taiwan ingin merdeka. Didukung oleh persenjataan yang canggih
dari AS, Taiwan semakin percaya diri untuk menjaga pertahanan dan keamanan negaranya dari
invasi militer RRC.
Kondisi “status quo” Taiwan merupakan kekuasaan yang memerintah dengan merdeka yang tidak
tunduk kepada aturan dari negara-negara lain. Reunifikasi dengan RRC merupakan pilihan bagi
Taiwan, salah satu dari berbagai macam pilihan masa depan Taiwan adalah dengan diputuskan
oleh rakyat Taiwan. Pandangan ini didukung penuh oleh masyarakat Taiwan. Seperti pada
penelitian yang dibuat oleh Profesor Yun-Han Chu pada tahun 1996 sampai dengan 2002 yang
menyatakan bahwa masyarakat Taiwan yang mengidentifikasi sebagai bagian dari bangsa Cina
telah menurun dari 20,8 persen menjadi 7,8 persen. Sementara yang mengatakan bahwa bangsa
Taiwan dan sebaliknya yang menyatakan bahwa bangsa Taiwan bukan bagian bangsa Cina
meningkat dari 35,7 persen ke 38 persen dan dari 40,5 persen menjadi 50,6 persen. Survey yang
lain mengatakan bahwa dua per tiga masyarakat Taiwan berpendapat bahwa budaya Taiwan
merupakan budaya dari bangsa Cina dan 80 persen dari mereka mengidentifikasikan hanya pulau
itu yang menjadi negara merdeka dan hanya orang Taiwan yang menjadi jawaranya.
2.4. Intervensi Amerika Serikat dalam Konflik Cina-Taiwan
Pasca Perang Korea tahun 1950, Presiden AS Harry S.Truman menempatkan Pasukan Laut
Ketujuh (The Seventh Fleet) di Taiwan untuk mencegah serangan komunis RRC ke Taiwan. Hal ini
adalah intervensi pertama kalinya dalam konflik Cina (daratan) dan Taiwan (pulau). Washington
menilai bahwa Taipei mampu menghalau komunis di Asia dan menyediakan bahan-bahan yang
diperlukan dalam rangka menjaga keamanan seperti keamanan dan peraltan militer.
Pada bulan Desember 1954, AS dan pihak-pihak yang berwenang di Taiwan mengesahkan
Perjanjian Pertahanan Bersama (Mutual-Defense Treaty) yang menetapkan posisi Taiwan berada
dalam naungan AS. Hal ini dinilai salah karena campur tangan AS terlalu jauh dalam konflik yang
melibatkan RRC dan mengakibatkan konflik tersebut berlangsung dalam jangka panjang. Isu ini juga
membuat ketegangan hubungan antara Washington dan Beijing.
Selama Perang Dingin, AS melakukan hubungan kembali dengan RRC sebagai upaya untuk
pencegahan terhadap ekspansi Uni Soviet. RRC sebagai negara yang kuat menjadi mitra strategis
bagi AS untuk menghadapi ekspansi tersebut. Ancaman nuklir Uni Soviet akan mengganggu
keamanan dunia dan mengganggu kepentingan nasional Amerika Serikat. RRC bagi Amerika
Serikat adalah mitra strategis dari ancaman nuklir Uni Soviet.
2.4.1 Three Sino-US Joint Communiques
Pada tanggal 21 Februari 1972, Presiden AS Richard Nixon mengunjungi Beijing. Kunjungan
tersebut disebut ice breaking karena untuk pertama kali Presiden AS datang ke RRC sejak RRC
merdeka tahun 1949. Dalam kunjungan ini Richard Nixon dan Perdana Menteri RRC Chou Enlai
menandatangani Shanghai Communique. Dalam perjanjian ini, lahir sebuah nota kesepahaman
bernama “Nixon’s Five Points” sebagai berikut:
a. Menentukan status “Satu Cina”, Taiwan bagian dari Cina
b. Tidak mendukung kemerdekaan Cina
c. Berusaha menahan Jepang (seiring meningkatkan pengaruhnya di Taiwan)
d. Mendukung resolusi damai
e. Mengusahakan normalisasi
Adanya perbedaan pemahaman akan One China Policy membuat RRC meragukan kesungguhan
AS untuk mendukungnya karena dinilai tidak bisa meninggalkan kewajiban Taiwan karena AS masih
terikat dengan Mutual-Defense Treaty dengan Taiwan. Pemerintah AS menormalisasi hubungan
dengan RRC dengan menerima 3 prinsip kerjasama diplomatik yang dibuat oleh RRC dengan nama
Joint Communique on the Establishment of Diplomatic Relations (Normalization Communique) pada
akhir 1978 dan baru aktif pada 1 Januari 1979 dengan isi: AS memutuskan hubungan diplomatik
dengan pihak berkuasa Taiwan, AS memmbatalkan Mutual-Defense Treaty dengan Taiwan, dan
menarik mundur pasukan AS di Taiwan. Maksud dari perjanjian ini adalah adanya pengakuan sah
AS akan RRC dengan memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan dan mulai kembali
membina hubungan diplomatik dengan RRC. Langkah AS dimaksudkan karena AS menyetujui Cina
dengan One China Policy dan meninggalkan pakta pertahanan terhadap Pulau Taiwan. Menurut AS,
Taiwan adalah bagian dari RRC.
Untuk menyelesaikan masalah perdagangan senjata AS-Taiwan melalui TRA, RRC bersama AS
mengadakan perundingan pada tanggao 17 Agustus 1982 dan mengeluarkan Joint Communique
ketiga tentang hubungan RRC dengan AS yang juga disebut August 17, 1982, Joint Communiques.
Dalam perjanjian itu ditunjukkan bahwa AS tidak akan melaksanakan dasar tentang penjualan
senjata ke Taiwan dalam jangka waktu lama dan berangsur-angsur menguranginya. Dengan
menandatangani Three Sino-US Joint Communiques ini, RRC sukses menghentikan usaha Taiwan
untuk mendapatkan senjata dengan karakter bertahan (penangkal) dari AS.
2.4.2. Taiwan Relations Act
Untuk menjaga perdamaian, keamanan dan stabilitas di Pasifik Barat dan melanjutkan hubungan
komersial. Budaya, dan hubungan-hubungan lain antara AS dan Taiwan, maka AS membuat Taiwan
Relations Act (TRA) atau Undang-Undang Hubungan dengan Taiwan. TRA ditandatangani oleh
Presiden Jimmy Carter pada tahun 1979 dan berisi mengenai hubungan diplomatik AS dengan
pemerintah RRC. UU ini memberikan kekuasaan khusus kepada institusi AS di Taiwan (American
Institute of Taiwan atau AIT) kepada tahap de facto dan menegakkan segala kewajiban internasional
sebelumnya yang dibuat antara AS dan RRC berdasarkan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.
UU ini mendefinisikan Taiwan sebagai kepulauan Taiwan dan Pescadores dengan tidak
memasukkan Kepulauan Kinmen dan Matsu.
Dalam perjalanannya, TRA menetapkan bahwa AS akan mempertimbangkan segala usaha
menentukan masa depan Taipei dengan maksud menjaga perdamaian, termasuk boikot dan
embargo senjata Taipei, yang mengancam perdamaian dan keamanan Pasifik Barat yang menjadi
perhatian penting AS. UU ini juga diperlukan AS untuk menyediakan senjata penangkal dan
menjaga kekuatan AS untuk pertahanan dari segala upaya penyerangan atau cara lain dengan
kekerasan yang dapat mengganggu keamanan atau sosial ekonomi bagi rakyat Taiwan.
Bagaimanapun juga, UU ini juga tidak menjadi syarat AS dalam mengambil langkah militer melawan
RRC dari semua peristiwa penyerangan. TRA telah digunakan oleh administrasi suksesif AS untuk
menjustifikasi penjualan persenjataan kepada Taiwan, walaupun AS menganut kebijakan “satu
Cina”, yang berbeda dengan perjanjian antara AS dan RRC. TRA ini secara umum memerintahkan
AS untuk memperbolehkan Taiwan untuk menjaga kecukupan kapabilitas pertahanan diri.
2.4.3 Six Assurances
Six Assurances (SA) merupakan pedoman untuk memimpin hubungan Taiwan dan AS guna
menjaga perdamaian di Selat Taiwan. SA diajukan Taiwan pada tahun 1982 selama adanya
perundingan antar AS dengan RRC mengenai penjualan senjata AS ke Taiwan. SA digunakan oleh
Presiden AS Ronald Reagan dan disetujui oleh Kongres AS pada tahun 1982 dengan isi sebagai
berikut:
a. AS tidak akan menetapkan waktu untuk menghapuskan penjualan senjata ke Taiwan.
b. AS tidak akan merubah isi dari TRA.
c. AS tidak akan berunding dengan RRC sebelum membuat keputusan mengenai penjualan senjata
AS ke Taiwan.
d. AS tidak akan menjadi penengah antara RRC dan Taiwan.
e. AS tidak akan mengubah posisinya mengenai kedaulatan Taiwan yang berarti keputusannya
dilakukan secara damai oleh RRC dan tidak akan menekan Taiwan untuk berunding dengan RRC.
f. AS secara formal tidak mengakui kedaulatan RRC atas Taiwan.
2.4.4. Taiwan Security Enchanment Act
Untuk mengatasi srangan RRC karena kenaikan anggaran militernya, kongres AS mengeluarkan
Taiwan Enchanment Act (TSEA) pada 1 Februari 2000 dengan tujuan menyediakan dukungan
militer AS yang lebih besar kepada Taiwan, termasuk pelatihan dan peralatan militer. TSEA juga
menetapkan hubungan komunikasi secara langsung antara AS dengan Taiwan. UU ini juga
dimaksudkan untuk mempertegas dan memperbaharui TRA yang diluluskan setelah pengadilan
penghentian hubungan antara AS dengan Taiwan di mana AS mengakui RRC sebagai negara sah
dan tertuang dalam Normalization Communique.
2.4.5. Penjualan Senjata Militer Amerika Serikat ke Taiwan
Bermula dari kunjungan bersejarah Presiden Nixon pada tahun 1972, Washington telah membangun
hubungan yang lebih dekat dengan Cina dan mereduksi status diplomatik Taiwan bukan sebagai
negara. Presiden Reagan telah menandatangani Shanghai Communiqué pada tahun 1982, berjanji
untuk mengurangi penjualan senjata ke Taiwan secara perlahan dan untuk menghindari penjualan
senjata yang bersifat ofensif. Penjualan senjata ke Taiwan oleh AS menurun selama 1980-an ketika
AS mulai membantu Cina daratan teknologi persenjataannya.
Fenomena ini menjadi terbalik setelah peristiwa Tiananmen 1989 di Beijing. Niat baik AS untuk
membantu pengembangan senjata Cina terhenti. Perdagangan senjata ke Taiwan meningkat dan
Taiwan mengimpor senjata lebih besar dari pada Cina di sepanjang tahun 1990-an. Pada
kenyataannya Shanghai Communiqué hanya menjadi perjanjian mati. Dewasa ini kekuatan militer
Taiwan membuat Cina tidak bisa bertindak menggunakan instrumen militer untuk menghadapinya.
Derasnya pasokan militer dari Amerika Serikat membuat Taiwan lebih dari cukup untuk memimpin
dalam perlombaan senjata dengan Cina. Taiwan melebihi kebutuhan minimum untuk memastikan
balance of power di selat Taiwan. Cina, yang mana persediaan senjatanya lebih sedikit, mungkin
akan terdorong untuk menambah pengeluarannya untuk membeli senjata baru, mendorong
perlombaan senjata yang lebih parah di Asia Timur, dan membahayakan stabilitas keamanan di
kawasan.
Pada tahun 2003, Presiden George W. Bush memutuskan untuk menawarkan Taiwan paket senjata
terbesar semenjak ayahnya menjual bermacam-macam kapal perang dan pesawat F-16 ke Taiwan
dekade yang lalu. Bush menolak Taiwan untuk pembelian barang paling mahal dan kontroversial :
empat Arleigh Burke-class destroyers dilengkapi dengan system radar Aegis. Bush benar-benar
menyetujui dua sistem senjata yang lain yang ditentang Cina : delapan kapal selam dan 12 pesawat
patroli anti-kapal selam P-3C . Juga ditawarkan oleh AS empat Kidd-class penghancur rudal.
Walaupun ini tidak secanggih Arleigh Burke-class, tetapi lebih besar dua kali lipat dari semua kapal
perang Taiwan yang pernah ada dan lebih kuat dari penghancur milik Cina. Ini akan menjadi
tambahan yang sangat berarti bagi angkatan laut Taiwan.
Namun yang terpenting adalah kapal selam. Baru-baru ini, Taiwan mampu menggagalkan usaha
Cina untuk memblokade pulau Taiwan. Angkatan Udara Taiwan bisa menyebabkan kerugian bagi
kegiatan perkapalan Cina dalam sekitar 1000 km dari Taiwan. Dengan kapal selam barunya,
bagaimanapun, akan memberikan kemampuan untuk menyerang kegiatan perkapalan Cina di
seluruh laut di Asia Timur. Taiwan dapat menghancurkan kegiatan perdagangan melalui laut.
Kemampuan Cina untuk mengganggu perdagangan Taiwan lebih terbatas.
Washington telah menggagalkan penjualan kapal selam modern kepada Taiwan untuk beberapa
tahun karena kapal selam tersebut merupakan senjata ofensif yang tidak diperlukan pertahanan
Taiwan. Taiwan pada saat itu hanya mempunyai dua kapal selam buatan Belanda dan dua kapal
selam bekas AS, yang sangat tua, digunakan untuk latihan. AS dan Inggris hanya membuat kapal
selam tenaga nuklir dengan harga yang mahal. Kapal-kapal Taiwan kemungkinan dibuat oleh
Jerman, Belanda, Perancis, Italia, Jepang, Rusia, atau Swedia. Sehubungan dengan ini dua negara
pertama sepertinya akan menjadi kandidat kuat karena mereka tidak begitu peduli akan nantinya
menyinggung Cina dari pada negara lain.
Pada tahun 1995 Presiden Taiwan Lee Teng-hui menguatkan hubungannya dengan AS, beliau
mengunjungi Washington dan bertemu dengan Presiden Clinton. Tindakan ini dibalas oleh Cina
dengan mengadakan percobaan penembakan misil, tindakan ini banyak disebut-sebut orang
sebagai tindakan untuk mempengaruhi pemilihan umum dengan pamer kekuatan. Taiwan yang
sudah melakukan hubungan dengan AS mendapatkan dukungan dari negara adikuasa tersebut, AS
merespon tindakan Cina dengan pengiriman kapal perang ke Teluk Taiwan.
Negeri Paman Sam melakukan hal ini karena tidak ingin Cina menjadi the only big power di Asia
Pasifik. Cina membalas tindakan ini dengan berbagai pengembangan senjata, bahkan pada bulan
maret 2006 Taiwan mengeluh pada Cina yang telah mengembangkan kemampuan penyerangan
militernya secara besar-besaran. Bahkan disebut-sebut bahwa Cina mengarahkan sedikitnya 700
buah misil balistiknya ke arah Taiwan. Situasi ini diprotes mati-matian oleh rakyat Taiwan yang
mengatakan bahwa nasib Taiwan bukan ditentukan oleh 1,3 milyar penduduk Cina melainkan di
putuskan oleh 23 juta penduduk Taiwan.
Perkembangan terakhir dari isu ini terlihat pada kunjungan Presiden Hu Jintao ke AS, Presiden Hu
Jintao menyatakan bahwa Cina tetap berambisi untuk menyatukan Taiwan dengan One China
Policy-nya. Apabila Taiwan melakukan tindakan-tindakan yang ekstrim maka Cina mungkin akan
menggunakan kekuatan militernya terhadap Taiwan sehingga dapat dapat disimpulkan bahwa
kekuatan militer Cina semakin bertambah kuat tahun demi tahun.
2.5. Dinamika Konflik Cina-Taiwan
2.5.1 Masa Pemerintahan Chiang Kai-Shek (1949-1975)
Pada Desember 1949, Chiang Kai-Shek menegaskan bahwa Taipei adalah ibukota sementara Cina
dan berjanji akan menguasai daratan Cina. Beliau mengeluarkan undang-undang keadaan darurat
(martial law) terhadap RRC. Sebagai bagian untuk mewakili Cina, segala institusi di pemerintahan
RRC dipindahkan ke Taiwan, termasuk parlemen. Selain itu juga menjatuhkan larangan terhadap
kebebasan sipil dan berpolitik, memenjarakan dan menghukum lawan-lawannya, dan mengawasi
secara ketat dialek asli Taiwan.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Chiang Kai-Shek adalah seorang diktator yang didukung
oleh agen rahasia militer, Taiwan Garrison Command. Posisinya menghadapi dua tantangan. Di
satu sisi, penduduk asli Taiwan yang ingin memerdekakan Taiwan, menolak aturan yang ditegakkan
oleh RRC. Di sisi lain, munculnya ancaman invasi dari komunis RRC. Chiang Kai-Shek mengawali
pemerintahan baru dengan menampung generasi muda dan penduduk asli Taiwan dengan fokus
utama pada perubahan dari menaklukkan kembali RRC menjadi pembangunan di Taiwan itu
sendiri,
Pada akhir 1960-an, Taiwan mengalami penurunan dukungan dari AS karena politik Perang Dingin.
Pada tahun 1971, Taiwan kehilangan kursinya dalam mewakili Cina di Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Taiwan akhirnya keluar dari PBB. RRC yang sejak berdirinya PBB
pada tahun 1946 telah menjadi anggota Dewan Keamanan tetap eksis bersama AS, Inggris,
Perancis dan Rusia sebagai pemenang Perang Dunia II.
Presiden Chiang Kai-Shek wafat pada tahun 1975 dan pada tahun 1978, tampuk kepemimpinan
turun kepada anaknya, Chiang Ching-Kuo dari PKMT. Pengangkatan Chiang Ching-Kuo
menandakan bahwa dinasti Chiang masih tetap eksis dan menyebabkan adanya penentangan dari
dalam negeri Taiwan. Pada tahun 1979, kelompok penentang melakukan protes terhadap keadaan
di dalam negeri yang menunjukkan Hari HAM Internasional. Selama pemerintahan Chiang Ching-
Kuo, skandal keuangan menghancurkan pemerintahan Kuomintang dan kecaman terhadap aturan
satu partai tumbuh. Pada tahun 1985, Chiang Ching-Kuo membuka pembicaraan dengan posisi
dalam negeri dan pada tahun 1986 partai oposisi pertama Taiwan muncul, yaitu Democratic
Progressive Party (DPP).
2.5.2 Masa Pemerintahan Lee Teng-Hui (1988-2000)
Penurunan terhadap perang di tahun 1987 dan kematian Presiden Chiang Ching-Kuo pada tahun
1988 membuka era baru terhadap perpolitikan Taiwan. Pada tahun 1988 Lee Teng-hui yang
sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden diangkat menjadi presiden pertama yang berasal dari
penduduk asli Taiwan. Pada tahun 1989, pemilu parlemen pertama dilaksanakan dengan partai
yang berbeda dengan PKMT, yaitu DPP. Setahun kemudian, anggota parlemen yang mewakili
provinsi Cina pension, mengakhiri tuntutan Cina atas Taiwan untuk menjadi satu pemerintahan
Cina.
Pada masa ini, Taiwan menawarkan kebijakan Two China atau Dua Cina. Dengan prinsip ini Taiwan
mengakui One China Policy. Di lain pihak, Taiwan menginginkan adanya pengakuan terhadap
negara Taiwan sebagai satu entitas tersendiri yang terpisah dari RRC. Taiwan mencabut
kemauannya untuk dianggap sebagai wakil Cina di forum internasional dan menghendaki
peningkatan cross strait relations yang telah terjalin sebagai hubungan antarnegara (special state-
to-state relations). Kebijakan tersebut sesungguhnya bertentangan dengan One China Policy karena
Taiwan menginginkan adanya pengakuan sebagai entitas tersendiri dari RRC.
2.5.3. Masa Pemerintahan Chen Shui-Bian (2000-2008)
Berakhirnya pemerintahan PKMT selama 50 tahun ditandai dengan kemenangan Presiden Chen
Shui-Bian pada tahun 2000 dari DPP. Di awal pemerintahannya, presiden ini berjanji akan
menghindari kebijakan politik terhadap RRC yang dinyatakan sebagai “lima pantangan” atau Five
No’s yaitu:
1. Taiwan tidak akan memproklamirkan kemerdekaan.
2. Taiwan tidak akan mengubah identitas nasional sebagai bagian dari bangsa Cina
3. Taiwan tidak akan memposisikan hubungan Taiwan dan RRC sebagai hubungan antarnegara
karena kedua pihak adalah sama-sama mewakili negara Cina.
4. Taiwan tidak akan melakukan referendum untuk mengubah posisi status quo yang terjadi selama
ini.
5. Taiwan tidak akan mengurangi peran Dewan Unifikasi Nasional.
Pada akhirnya, Chen Shui-Bian dianggap sebagai tokoh politik yang ambisius untuk memerdekaan
Taiwan. Isu kemerdekaan dan permusuhan dengan RRC dimanfaatkan oleh beliau untuk
kepentingan politik domesti¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬knya. Selama beliau berkuasa, pemerintahannya tidak
memperlihatkan langkah konkrit dalam mewujudkan Taiwan merdeka. Akan tetapi, dalam pemilihan
presiden keduanya tahun 2004, beliau dalam kampanyenya berjanji akan merevisi Konstitusi Taiwan
sehingga lebih merefleksikan secara penuh kemandirian negaranya. Diantaranya adalah mengubah
nama Republik Cina menjadi hanya Taiwan dan hubungan dengan RRC diklasifikasikan sebagai
hubungan dengan negara asing. Dalam kampanyenya ini juga, beliau menawarkan referendum
untuk kemerdekaan Taiwan pada tanggap 20 Maret 2004.
Referendum adalah solusi politik bagi Taiwan untuk membawa peta perpolitikan Taiwan di masa
yang akan datang. Akan tetapi, referendum pada masa ini gagal karena sosok Chen Shui-Ban yang
ambisius. Beliau dianggap tidak dapat dipercaya karena melanggar kebijakan politik terhadap RRC
yang dinyatakan sebagai “Lima Pantangan” dengan melakukan referendum kepada rakyat Taiwan.
2.5.4. Masa Pemerintahan Ma Ying-Jeou (2008-sekarang)
Ma Ying-Jeou terpilih menjadi Presiden Taiwan pada 20 Mei 2008 dengan wakilnya Vincent Siew
dengan dukungan 58,45 persen suara. Sejak masa kampanye, Ma berusaha memulihkan hubugan
Cina dan Taiwan serta merevitalisasi perekonomian. Presiden Ma Ying-Jeou menginginkan
kerjasama yang lebih baik dengan Cina, mengingat keduanya mewarisi filosofi, tradisi, dan nilai
kebudayaan yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan masa kecilnya yang begitu tertarik
dengan ajaran dan filosofi para filsuf klasik China, seperti Lao Tse, yang begitu menekankan
pentingnya harmoni dalam kehidupan.
Secara umum, terdapat dua prioritas utama hubungan Cina-Taiwan pada masa inii, yaitu: pertama,
yakni pemulihan hubungan ekonomi; dan kedua yakni kesepakatan damai. Beliau cenderung lebih
bersikap damai, berbeda dengan pendahulu sebelumnya, yakni Chen Shui-bian, yang sangat anti
dengan RRC dan sikap pro-kemerdekaannya memicu kemarahan pemerintah Beijing.
Sinyal awal membaiknya hubungan politik RRC dan Taiwan ditunjukkan saat Presiden Cina Hu
Jintao mengirimkan telegram atas terpilihnya Ma Ying-jeou sebagai pemimpin Kuomintang yang
merupakan komunikasi langsung pertama kali antara dua pemimpin RRC dan Taiwan sejak
berakhirnya perang sipil pada tahun 1949. Pesan tersebut menunjukkan niat yang baik untuk
memperbaiki hubungan serta mencapai win-win solution.
Dewasa ini, dalam konteks hubungan RRC dan Taiwan, memang agak berbeda, namun pada
dasarnya sama, yakni motif ekonomi yang saling menguntungkan. Meskipun secara politik
bermusuhan, namun tidak dapat dinafikan bahwa keduanya saling membutuhkan satu sama lain.
Taiwan dapat memperoleh keuntungan dari pertumbuhan Cina yang solid, sebaliknya Cina juga
dapat berinvestasi pada perekonomian Taiwan yang berkembang pesat.
Kontak perdagangan antara RRC dan Taiwan berawal pada tahun 2000 ketika parlemen Taiwan
menghentikan larangan hubungan dagang dan transportasi dengan Cina, dan membolehkan
terciptanya beberapa rute dagang. Kini, interdependensi keduanya satu sama lain makin meningkat,
seiring dibukanya keran berbagai hubungan dagang. Pada tahun 2008, RRC berhasil mengalahkan
AS sebagai sumber impor utama Taiwan. Sementara itu, RRC juga menjadi sumber destinasi
Foreign Direct Investment (FDI) utama bagi Taiwan. Intinya, ini merupakan hubungan yang saling
menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Dalam sebuah kesepakatan, Taiwan dan RRC juga sepakat untuk melipatgandakan penerbangan
langsung ke Selat Taiwan menjadi 270 per minggu, dari 108 saat ini, dan menambah enam
destinasi ke Cina dari sebelumnya 21. Demikian juga dengan penerbangan kargo, yang akan
ditingkatkan dari 60 kali menjadi 112 kali sebulan atau 28 kali per minggu. Sebelum adanya
penerbangan langsung, perdagangan bilateral antara kedua negara bahkan mencapai $130 miliar.
Dalam waktu dekat, kedua pemerintahan diperkirakan akan menjalin kesepakatan perekonomian,
yang menurut Ma diperkirakan akan menciptakan 273,000 lapangan kerja serta mendongkrak
ekspor sebesar 4.87% hingga 4.99%.
Bahkan, keduanya juga akan membuat suatu sistem foreign-exchange clearing, yang akan makin
menghapus batasan antara pasar permodalan dan keuangan keduanya. Sebagai langkah awal,
keduanya akan memilih satu atau dua bank untuk melakukan tukar mata uang yuan Cina dan dollar
Taiwan. Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan dan investasi antara Taiwan dan
Cina, salah satu wacana yang mengemuka adalah kemungkinan untuk menggunakan mata uang
Yuan Cina sebagai cadangan devisa Taiwan.
Diawali dari jalinan hubungan ekonomi yang baik, diharapkan ini akan menjadi langkah awal yang
mengarah kepada bersatunya kedua Cina, yakni RRC dan Republik Cina (Taiwan). Hubungan yang
saling menguntungkan antara kedua negara tersebut tentunya menjadi factor utama yang dapat
membuat kedua pemerintah mengesampingkan konflik, dan memilih untuk berdamai.
Akan tetapi, upaya Ma menjalin kerja sama dalam harmoni dengan China daratan membuat
sebagian kecil warga Taiwan diliputi kecemasan. Yang ditakutkan, para pelaku ekonomi China akan
kembali menguasai Taiwan lewat jalur ekonomi. Tetapi Ma menjamin dia tidak akan menggadaikan
Taiwan. Ma hanya yakin jika China dan Taiwan bisa bermitra secara sejajar, otomatis martabat
Taiwan akan terangkat dengan sendirinya di mata dunia internasional. Akhirnya dapat dikatakan
bahwa, Ma menginginkan normalisasi hubungan ekonomi dan budaya antara China dan Taiwan
yang dianggap sebagai solusi paling masuk akal dan sama-sama menguntungkan.
Dengan menganalisa pembahasan di atas dapat ditarik benang merah pasang surut konflik Cina-
Taiwan sebagai berikut:
• 1949- Kubu komunis yang dipimpin oleh Mao Zedong mengalahkan kubu nasionalis yang dipimpin
Chiang Kai-Shek, jutaan pengikut mengikuti Chiang ke Taiwan dan mendirikan pemerintahan
sendiri.
• 1954- Amerika Serikat menandatangani perjanjian pertahanan bersama dengan Taiwan.
• 1958- Cina menyerang pulau Quemoy, sebuah basis lebih dari 100.000 pasukan nasionalis di
Selat Taiwan, Amerika Serikat mengerahkan tujuh armada, Cina mundur.
• 1971-Taiwan dikeluarkan keanggotaannya dari PBB dan diambil alih Cina, disusul kunjungan
rahasia Sekretaris Negara AS, Henry Kissinger ke Beijing.
• 1972-Presiden AS Richard Nixon mengujungi Cina, membuka lembaran baru hubungan diplomatik
dengan Cina dan mengakhiri hubungan diplomatik dengan Taiwan.
• 1979-Amerika Serikat secara formal memutus hubungan diplomatik dengan Taiwan dan
mendukung kebijakan Beijing “One China”.
• 1987- Taiwan menguak Undang-Undang Perang setelah 38 tahun dan mengizinkan warganya
mengunjungi kerabat ke Cina untuk pertama kalinya.
• 1988- Lee Teng-Hui menjadi orang Taiwan asli pertama yang menduduki tampuk kepresidenan
Taiwan dan reformasi demokratis dimulai.
• 1989- Cina takut akan Taiwan karena partai pro-kemerdekaan berjaya, Democratic Progressive
Party (DPP) baik dalam pemilu lokal dan parlemen.
• 1993- Pertemuan tingkat tinggi pertama antar Cina dan Taiwan digelar di Singapura
• 1995- Kunjungan Presiden Lee ke Amerika Serikat mempercepat Cina untuk menunjukkan tes
misil dan latihan militer di Selat Taiwan beberapa saat sebelum pilihan presiden pertama Taiwan
digelar melalui hak pilih bersama, Lee menang.
• 1999- Lee marah kepada Beijing dengan mengatakan bahwa Cina dan Taiwan menikmati "special
state-to-state relationship," dengan kata lain menegaskan bahwa Taiwan adalah negara-bangsa
yang berdaulat.
• 2000- Calon presiden Chen-Shui Bian (orang asli Taiwan), terpilih menjadi presiden, mengakhiri
kekuasaan Kuomintang yang lebih dari 50 tahun.
• 2001- Taiwan melonggarkan larangan perusahan-perusahannya berinvestasi di Cina. Dua jurnalis
Cina Xinhua News Agency menjadi wartawan Cina pertama yang mengunjungi Taiwan di bawah
kebijakan Taiwan, “Open Door”.
• 2002- Presiden Chen menjelaskan bahwa status quo sebagai “sebuah negara di Selat Taiwan”,
menyebabkan kritikan tajam dari Beijing dan lawan-lawan politiknya di dalam negeri.
• 2003- Maskapai penerbangan Taiwan pertama mendarat di Cina sejak 1949. Sementara itu Chen,
mengumumkan rencana untuk referendum pada hari pemilihan umum, 20 Maret 2004, bertanya
kepada para rakyatnya apakah Taiwan harus menambah anggaran militernya atau melakukan
dialog intensif dengan Beijing.
• 2005- Maskapai penerbangan Cina dan Taiwan terbang non-stop diantara ke dua negara pada
Tahun Baru Cina.
• 2008- Presiden Cina Hu Jintao mengirimkan telegram atas terpilihnya Ma Ying-jeou sebagai
Presiden Taiwan, lebih dari 350.000 perjalanan turis dari Cina ke Taiwan.
BAB III
KESIMPULAN
Konflik Cina-Taiwan atau lebih populer disebut Konflik Selat Taiwan sejatinya bermuara pada
perdebatan soal unifikasi versus kemerdekaan yang berjalan terus seiring tumbuhnya nasionalisme
orang Taiwan sebagai Taiwanese, bukan Chinese. Hal ini mengakibatkan pergeseran cara pandang
konflik Cina-Taiwan yang tidak lagi ideologi tetapi menjadi persaingan antarnasionalisme. Tidak
mengherankan karenanya jika kemudian ketegangan lintas-selat menjadi lebih sering dan konflik
bersenjata semakin besar peluangnya untuk terjadi.
Beijing tetap bersikukuh menghendaki semua upaya penyelesaian damai masalah Taiwan harus
didahului dengan penerimaan Taipei akan prasyarat ‘One China’. Namun kebijakan ini belum
mendapatkan hasil yang menggembirakan karena baik Cina maupun Taiwan bersikukuh pada posisi
masing-masing. Secara substantif, Taiwan menghendaki agar proses demokrasi, posisi otonom
yang dipunyai, serta perdagangan dan investasi yang terus meningkat dengan Cina tetap
terpelihara. Di sisi lain, Cina menghendaki prinsip ‘One China’ untuk menjamin situasi internasional
guna menjaga laju pertumbuhan ekonomi.
Pengaruh Amerika Serikat tidak dapat dilepaskan sejak pasca Perang Dunia II dan meningkat pasca
Perang Dingin hingga sekarang. Hal ini tidak lain adalah kepentingan politik untuk menyebarkan
demokrasi liberal. Dalam perkembangannya, hubungan Washington dengan Beijing dan Taipei
mengalami pasang surut seiring dengan kebijakan yang digulirkan keduanya. Washington memang
telah mendukung kebijakan “One China” namun penjualan senjata ke Taiwan menimbulkan standar
ganda.
Dalam sudut pandang pemerintah Taiwan, masa pemerintahan Chiang Kai-Shek, Lee Teng-Hui dan
Chen Shui-Bian cenderung masih kaku dalam mempertahankan kebijakan politik dengan Cina,
namun sejak presiden Ma Ying Jeou yang terpilih pada tahun 2008, hubungan Taipei-Beijing sedikit
demi sedikit mengalami kemajuan terutama dalam ranah perekonomian dan dialog perdamaian.
Akhirnya, dinamika konflik Cina-Taiwan akan terus bergulir selama kedua pihak belum menyepakati
perjanjian yang menguntungkan dalam negerinya masing-masing. Hal ini sejalan dengan kebijakan
Beijing yang menganggap Taiwan sebagai salah satu provinsi di bawah kekuasaannya sementara
Taiwan menganggap dirinya sudah menjadi negara merdeka dan berdaulat secara de facto dan de
jure.
engketa perairan teritorial di kawasan Laut Cina adalah sengketa internasional (international dispute). Oleh
karena itu sebelum tiba pada analisa yang lebih jauh mengenai sengketa perairan teritorial Laut Cina terlebih dahulu
diungkap serba sedikit tentang sengketa internasional (International dispute) sebagai pengantar memasuki
sengketa perairan-teritorial Laut Cina. Setalah memaparkan secara umum, gambaran sengketa-internasional,
kemudian dianalisa, serara khusus model-model sengketa Laut Cina sebagai obyek pembahasan pokok dalam
tulisan ini. Apalagi dalam penyelesaian sengketa internasional Laut Cina mempunyai ciri kekhususan berdasarkan
pengamatan para akhli hukum internasional karena merupakan kombinasi penyelesaian sengketa hukum dan politik
(to combined both settlement disputes Judicial and politic ).
Kesimpulan sementara dari rumusan para ahli mengemukakan bahwa sengketa internasional adalah sengketa yang
melibatkan antara dua negara atau lebih terhadap suatu obyek yang dipersengketakan. Obyek yang
dipersengketakan pada umumnya dapat berupa masalah kedaulatan negara, masalah perbedaan panutan ideologi
dan persaingan dalam bidang ekonomi. Tanpa mengindahkan obyek sengketa internasional maka berdasarkan
rumusan yang sempit ini, subyek sengketa internasional adalah negara. Negaralah yang dapat dikategorikan sebagai
subyek dalam sengketa internasional. Sekalipun demikian beberapa ahli tetap melibatkan individu atau badan-badan
hukum lain sebagai subyek dalam sengketa internasional. Starkemisalnya menuliskan bahwa timbulnya sengketa
negara-negara pada umumnya dengan timbulnya sengketa antara individu-individu, kecuali akibatnya sengketa
pertama dapat lebih berbahaya.
Sengketa internasional secara umum terbagi dalam dua jenis yaitu; sengketa dalam hukum internasional (legal
dispute) dan sengketa politik (political dispute). Pembagian umum sengketa internasional ini sebenarnya
merupakan pembagian yang cukup klasik, tetapi bertahan sampai sekarang. Dalam hal ini Oppenheims-Lauterpach
mengemukakan bahwa:
“International differences can arise from a variety of grounds. They are generally divided in to legal and
political. Legal differences are those in which the parties of the dispute base, their respective claims
and contentions on ground recognised by International Law. All other controversies are usually
referred to as political or as conflicts of interest.”
Lebih jauh dikemukakan: “Political and legal differences can be settled either by amicable or by
compulsive meansMost State have now undertaken wide obligations in sphere of compulsory Judicial
settlement.. The majority of then are bound by the obligations of the so-called optional clause of the
Statute of the International Court of Justice and even more comprehensive commitments. But this
instrument do not substantially affect the rule expressly affirmed by the court that no universal
international legal duty as yet exist far state or settle their differences through arbitration or judicial
process.”
Sebetulnya pandangan Oppenheims Lauterpacht di atas tidak memberi kejelasan yang tepat dimana letak
perbedaan antara kedua sengketa hukum dan politik dalam skala internasIonal. Kekaburan yang lama juga dilakukan
oleh sarjana-sarjana lain. Dalam praktekpun tergambar secara terang-benderang tentang bagaimana sesungguhnya
penyelesaian sengeta menurut hukum (judicial settlement) dan penyelesaian sengketa secara politik. (Political
settlement). Jika berpatokan dari cara penyelesaian untuk mengukur jenis sengketa maka kesulitan penting dari
keduanya karena cara-cara penyelesaian sering terjerumus pada tumpang-tindih keduanya. Apalagi kadang-kadang
penawaran penyeIesaian hukum tidak disepakati secara bersama.
Keputusan Mahkamah Internasionalpun sering tidak diindahkan oleh salah satu pibak. Sedangkan tindakan
kekerasan hanya bisa dilakukan berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan menurut penelitian
Dewan Keamanan PBB pasal 34:
“The Security Counsil may investigate any dispute, or any situation which might lead to international
friction or give rise to a dispute, in the order to determine whether the continuance of the dispute or
situation is likely to endanger the maintenance of international peace and security”
Yaitu yang memang benar-benar membahayakan keamanan dan terciptanya perdamaian internasional.
Sekalipun timbul kekaburan dalam menganalisa secara parsial kedua jenis sengketa ini tetap beberapa sarjana
mencoba memberinya perbedaan terutama patokan mereka pada tafsiran Piagam PBB. Sebagaimana dituliskan oleh
Starke25 peraturan-peraturan dan prosedur yang telah diterima oleh hukum internasional berkenan dengan pertikaian
itu sebagian berupa kebiasaan atau praktek dan sebagian merupakan konsepsi-konsepsi yang membentuk hukum
seperti Konpensi Den Haag 1899 serta 1907, guna penyelesaian secara damai dari pertikaian-pertikaian
internasional (Pacific Settlements of International Disputes) serta Piagam PBB yang dibuat di San Francisco
1945. Pandangan Starke ini kurang lebih banyak dijadikan patokan para ahli berikutnya sebagai sandaran untuk
menganalisa sengketa hukum internasional utamanya kebiasaan-kebiasaan dalan praktek dan konsepsi hukum
tentang sengketa internasional.
Apabila diambil pedoman pandangan di atas maka terutana dalan praktek dan konsepsi hukum landasan pokok yang
pada umumnya dijadikan patokan para ahli untuk menganalisa sengketa hukum internasional adalah pasal.33. Bab
VI Piagam PBB :
“The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of
international peace and security, shall, first of all, seek a solution- by, negotiation, enquiry, mediation,
conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other
peaceful means of their own choice,” (ayat 1).
Patokan pasal 33 ayat 1 ini merupakan landasan secara umum dari keseluruhan Bab VI Piagam PBB yang
disebutnya Penyelesaian Sengketa Secara Damai (Pacific Settlement of Dispute), dan menjadi analisa panjang
para ahli.
Yang cukup mengesankan dari analisa-analisa para ahli hukum internasional adalah ditariknya semua konsepsi
pasal 33 ini sebagian cara penyelesaian menurut hukum, tanpa mengindahkan bahwa terdapat anak kalimat dalam
pasal ini mengenai penyelesaian secara hukum (judicial settlement). Dalam praktekpun seringkali beberapa unsur
dalam pasal 33 diwarnai dengan “Solusi politik”. Terutama sekali dalam hal “seek a solution by
negotiation and mediation”‘ kadang-kadang negara-negara yang menjadi penengah sering “berpihak,”. Contoh,
kedudukan Amerika Serikat dalam menyelesaikan Perang Arab-Israel. Pandangan ini sesungguhnya cukup
kontroversial karena dominasi penyelesaian, sengketa secara damai dianggap pula sebagai penyelesaian sengketa
secara hukum.
Jika semua unsur yang terdapat dalam pasal 33 Piagan ini diterima sebagai patokan penyelesaian merurut hukum
(judicial settlement) yang berarti timbulnya sengketa internasional yang berpatokan pada pasal ini, lalu sengketa
politik itu bagaimana ?
Sengketa Politik Internasional
Tentang sengketa politik ini menarik dikemukakan catatan kaki; (footnotes) dari’ Oppenheims Lauterpacht bahwa
sengketa politik apabila dipengaruhi oleh tiga kategori persengketaan yaitu:
1. It may be based on the view that some disputes or political or, non-justiciable because owing to
the defective development of International Law they can not be decided by existing rules of law;
2. It may be grounded in the opinion that certa in disputes are “political” inasmuch as they affect so
vitally the independence and sovereignity of States as to render unsuitable a decision based
exclusively on legal considerations,
3. It may have reference to the attitude of the partly putting forward a claim or a defence
Dengan demikian kiranya semua unsur yang tidak termasuk dalam kategori penyelesaian hukum dianggap sebagai
sengketa politik. Dalam sengketa mengenai status kedaulatan negara kadang-kadang secara “politis” negara-negara
yang bersengketa menempuh penyelesaian sendiri secara sepihak sebagai alasan untuk keutuhan wilayah dan
kemanan nasionalnya. Oleh patokan Oppenheims-Lauterpacht inilah yang dijadikan acuan sarjana-sarjana
berikutnya yang pada umumnya menganggap bahwa sengketa dengan jalan kekerasan adalah sengketa politik.
Kekerasan tentunya dilakukan secara sepihak atau bersama-sama negara seide tanpa melibatkan negara lain
sebagai lawan sengketa. Penyelesaian sengketa dengan cara-cara militer sepihak dianggap jalan “politik” bukan
hukum. Yang menarik lainnya dalam analisa Oppenheims Lauterpacht adalah apa yang ditulisnya tentang “a claim
for a change in the law are disputes as to ‘conflicts of interest, and as such political and non-justiable. ”
Dengan demikian suatu tuntutan yang tadinya dalam kategori sengketa hukum dapat berubah menjadi ‘konflik
berdasarkan keinginan sendiri’ dan dengan demikian terjerumus menjadi sengketa politik. Sebagai contoh kasus
Teluk Sidra di Laut Tengah (Mediteranean) yang sebetulnya merupakan kasus hukum tetapi berubah menjadi
sengketa politik (conflict of in terest) karena masing-masing pihak, baik Lybia maupun Amerika Serikat ingin
menyelesaikan dengan caranya sendiri-sendiri. Kadang-kadang suatu konsepsi hukum hanya dijadikan sebagai dalih
untuk kepentingan politik apabila masing-masing negara teIah terjerumus ke dalam suatu konflik. Amerika Serikat
misalnya hanya menjadikan pasal 10 ayat 4 dan 5 Konvensi Hukum Laut sebagai dalih untuk menyerang Lybia
dalam kasus Teluk Sidra. Dengan demikian perubahan solusi dari hukum ke politik sangat berpengaruh dalam
suatu. sengketa.
Di Laut Cina pengaruh perubahan solusi semacam itu sangat potensial. Pengamatan-pengamatan para ahli
memperhadapkan kita pada penganalisaan yang sama membingungkannya. Konteks penyelesaian hukum dalam
praktek lebih nihil dibanding penyelesaian politik. Realitas politik, dalam penyelesaian sengketa di kawasan tampak
lebih dominan. Seperti telah dikemukakan dalam bab pendahuIuan bahwa di Laut Cina selain masalah sengketa
yurisdiksi negara-negara telah diperparah juga dengan perbedaan Ideologi politik dari negara yang saling bersenge-
ta. Persengetaan dengan dasar ideologi mempengaruhi seputar kawasan yang membentang dari Selat Proliv-
Semenanjung Kamchatca di Utara Timur Laut sampai ke kizaran Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan. Seperti
telah diketahui bahwa ideologi yang saling berhadap-hadapan di sepanjang kawasan Laut Cina adalah dasar
ideology sosialis-komunisme dan kapitalis-liberalisme. Persilangan dasar ideologi ini banyak berpengaruh terhadap
keseluruhan implikasi perimbangan politik di kawasan Asia-Pasifik.
Yang menarik terhadap studi sengketa politik di Laut Cina ini adalah terdapatnya persilangan sengketa dasar ideologi
politik ini pada sepanjang garis pantai sehingga seorang ahli politik Amerika Serikat George F. Kennan
mengeluarkan teorinya yang terkenal yang disebut “Rimland Theory” (teori daerah pinggiran). Teori ini
mengemukakan bahwa pengaruh-pengaruh politik dasar pantai di Laut Cina (coastline political influences) sangat
bergantung dari dua sisi yang sama berat. Sisi satunya yaitu pendekatan posisi daratan. (Mainland position
approach) dimana akar tunggang komunisme bertumbuh. Dengan demikian dalam posisi daratan ini terdapat
negara-negara Uni Soviet yang bergaris pantai di Laut Jepang; Korea Utara yang bergaris pantai di Laut Jepang dan
Laut Kuning; Republik Rakyat Cina yang bergaris pantai dari Laut Kuning, Laut Cina Timur sampai di Laut Cina Sela -
tan; Vietnam yang bergaris pantai dari Teluk Tonkin di Laut Cina Selatan hingga Teluk Taiwan. Negara-negara yang
menduduki posisi daratan ini semuanya menganut faham sosialis-komunisme. Sedangkan sisi yang satunya lagi
yaitu pendekatan dalam posisi kepulauan (archipelago position approack) dimana akar kapitalis-liberalisme
bertumbuh. Dalam posisi kepulauan ini, terdapat negara-negara Kepulauan Jepang di sisi. Timur Laut Jepang dan
Laut Cina, Timur; Republik Cina Taiwan di Pulau Formosa di Laut Cina Timur; Negara Kepulauan Hongkong dan
Macao di Laut Cina Timur. Kepulauan Pilipina di sisi Timur Laut Cina Selatan dan Malaysia Timur (Serawak) serta
Brunei disisi Timur Laut Cina Selatan. Negara-negara kepulauan ini menganut paham non-komunis.
Rimland Theory inilah yang dijadikan landasan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster Dalles. (dimasa
pemerintahan Presiden Eisenhower) tahun 1952, melakukan politik pengepungan komunisme yang terkenal dengan
sebutan Containment Policy. Politik ini berusaha membendung pengaruh-pengaruh komunis meluas ke wilayah
kepulauan di sepanjang Pasifik. Politik pembendungan ini ditancapkan dari Laut Jepang membentang sampai di Laut
Cina Selatan. Akibat adanya pagar pembendungan politik ini tidak ayal lagi menimbulkan banyaknya insiden politik
dan militer di kawasan. Provokasi yang dilakukan secara sporadis dan terus-menerus dari satuan-satuan angkatan
laut dan udara Uni Soviet memasuki wilayah perairan dan udara Jepang di sepanjang Laut Jepang. Klaim Uni Soviet
atas ketiga selat yang masuk kedalan perairan Jepang yaitu Selat Soya (yang menghubungkan antara Pulau
Hokaido dan Kepulauan Kuril di Utara); Selat Tsugaru (yang menghubungkan antara Pulau Honsu dan Pulau
Hokaido) dan Selat Tsushima (yang menghubungkan antara Pulau Tsushima yang diklaim Korea Selatan dan Pulau
Shikoku) yang menganggap ketiga selat itu adalah selat internasional. Klaim Uni Sovet itu merupakan alasan politik
karena hanya pada ketiga selat itulah kapal-kapal selamnya (yang bertenaga nuklir) bisa Iewat memasuki Samudra
Pasifik. Akibat lain dari containment policy ini adalah meletusnya Perang Vietnam tahun 1967 sampai dengan
kekalahan Vietnam Selatan tahun 1974. Perang Vietnam ini dapat dipandang sebagai insiden politik dan militer yang
paling berdarah dan paling bersejarah di Asia Pasifik dan Timur Jauh.
Yang cukup menarik adalah terjadinya alur (trend) negara-negara komunisme di daratan Laut Cina dalam paskah
Perang Vietnam. Terjadi konflik Sino-Soviet dan Sino-Vietnam. Perubahan alur ini membuat Amerika Serikat
mendekati Cina apalagi dengan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia yang dianggap ancaman potensil dari
strategi Amerika Serikat di Asia Tenggara. Cina mererima baik uluran tangan Amerika Serikat dan di sepakatilah
suatu perjanjian hubungan baik antara Cina dan Amerika Serikat yang disebut Shanghai-
Communique (Komunike Shanghai) tahun 1972. Isi dari Komunike Shanghai itu berbunyi:
1. Kedua negara berhasrat mengurangi bahaya konflik militer internasional;
2. Tidak satupun diantara mereka ( baik Cina maupun Amerika Serikat) akan mengusahakan
hegemoni di Kawasan Asia Pasifik atau di sesuatu kawasan lain di dunia dan masing-masing pihak
menentang usaha-usaha oleh sesuatu negara lain atau kelompok negara lain untuk membangun
hegemoni semacam itu;
3. Tidak satupun diantara mereka bersedia berunding atas nama sesuatu pihak ketiga, atau masuk
kedalam persetujuan-persetujuan atau saling pengertian dengan lainnya yang ditujukan kepada
negara lain;
4. Amerika Serikat mengakui posisi Cina bahwa hanya ada satu Cina dan Taiwan adalah bagian dari
Cina;
5. Kedua belah pihak percaya bahwa pemulihan hubungan Cina-Amerika Serikat bukan saja demi
kepentingan rakyat-rakyat Cina dan Amerika, akan tetapi juga memberikan sumbangan bagi
usaha menciptakan perdamaian di Asia dan di dunia.
Walaupun telah disepakati Komunike Shanghai ini masih ada ganjalan dalam hubungan kedua negara yaitu
mengenai Status Taiwan (pasal 4 dari Komunike). Apalagi dalam Komunike Bersama (Joint Communique) antara
Amerika Serikat dan Cina pada Agustus 1982 disepakati tiga pasal mengenai Status Taiwan yaitu:
1. here is but one China, and Taiwan is part of China;
2. The Chinese on both sides of the Taiwan Strait should resolve their dispute peacefully;
3. U.S. sales of militery equipment to the government on Taiwan should be for defensive purposes
only, and should be reduced as the threat of the use of force to resolve the conflict recerdes.
Melihat kedua komunike di atas maka terdapat ganjalan yang sangat mendasar dari hubungan kedua negara yaitu
masalah status Taiwan. Sampai hari ini Amerika Serikat masih segan melepas Taiwan sementara Cina terus-
menerus menuntut agar Taiwan diserahkan pada Cina.
Akibat lain dari Komunike Shanghai ialah semakin memburuknya hubungan Cina dengan Vietnam. Seringnya terjadi
konflik perbatasan antara kedua negara terutana serangan pasukan-pasukan Cina kedalam wilayah Vietnam pada
17 Pebruari 1979. Insiden-insiden berdarah antara Cina dan Vietnam sebetulnya telah ada ketika Cina melancarkan
penyerbuan ke Pulau Hainan di Teluk Tonkin dan melakukan okupasi di pulau itu pada Juli 1974, penyerbuan itu
kemudian dilancarkan sampai ke Kepulauan Paracel dan menduduki gugus kepulauan tersebut. Selain dari itu pula
semakin memanasnya insiden-insiden perbatasan antara Korea Utara dan Korea Selatan, tidak saja insiden-insiden
di daratan, tetapi juga di laut yaitu Laut Kuning dan Laut Jepang.
Berdasarkan beberapa pemikiran di atas merupakan akumulasi untuk memasuki sengketa Laut Cina seperti telah
dikemukakan di atas maka sengketa Laut Cina merupakan sengketa yang seringkali status hukumnya tidak jelas,
disamping itu pengaruh solusi politik yang demikian besarnya. Beberapa wilayah yang sering menimbulkan
kerawanan dan mengancam perdamaian serta keselamatan ummat manusia. Bukan saja masalah tuntutan wilayah
kedaulatan yang berpengaruh besar atau merupakan faktor dominan dalam sengketa tetapi lebih dari itu faktor
ideologi yang berbeda yang seringkali menimbulkan kesenjangan dalam penyelesaian sengketa di Laut Cina.
6