demam2

20
DEMAM KUNING (YELLOW FEVER) Primal Sudjana PENDAHULUAN Demam kuning (yellowfever) adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus yellow fever. Kata "kuning" diambil dari keadaan beberapa pasiennya yang menjadi ikterik. Penyakit ini pertama kali dikenal saat teijadi wabah pada tahun 1648 di daerah yang dinamakan Dunia Baru. Virus yellow fever diyakini berasal dari Afrika dan menyebar ke Dunia Baru melalui kapal- kapal dagang pengangkut budak belian. Vektor penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti. Pada abad ke 18 dan abad ke 19 terjadi wabah epidemi di Europa dan meluas mencapai daerah pantai, pelabuhan, sampai ke Swansea, Wales,dan di Amerika Utara dari New Orleans sampai ke Boston dan St Louis. Epidemi di Philadelphia yang teijadi pada tahun 1793 dijelaskan secara rinci oleh Benjamin Rush yang selamat dari serangan wabah ini. Di Amerika Serikat wabah yellow fever terakhir dilaporkan di New Orleans dan delta sungai Mississippi pada tahun 1905. Seorang dokter di Havana, Kuba bernama Carlos Findlay pada tahun 1881 meyakini bahwa penyakit ini disebarkan oleh nyamuk, dan kebenaran keyakinnannya itu dibuktikan dokter tentara Amerika Serikat bernama Walter Reed. Penemuan ini memungkinkan usaha pencegahan melalui pengontrolan nyamuk, dan dibuktikan saat pembangunan terusan Panama. Isolasi virus YF baru dapat dilakukan pada tahun 1928. EPIDEMIOLOGI Yellow fever ditemukan di hutan tropis Afrika dan Amerika Selatan, sampai awal abad ini menyebabkan epidemi yang luas di Karibia dan daerah subtropis Amerika Utara sampai ke Baltimore dan Philadelphia. Di Afrika terdapat sebanyak 33 negara dengan jumlah penduduk 508 juta jiwa berada di daerah endemi yellow fever. Daerah ini

Upload: robinder-dhillon

Post on 19-Dec-2015

9 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

scan demam

TRANSCRIPT

Page 1: demam2

DEMAM KUNING

(YELLOW FEVER)Primal Sudjana

PENDAHULUAN

Demam kuning (yellowfever) adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus yellow fever. Kata "kuning" diambil dari keadaan beberapa pasiennya yang menjadi ikterik. Penyakit ini pertama kali dikenal saat teijadi wabah pada tahun 1648 di daerah yang dinamakan Dunia Baru.

Virus yellow fever diyakini berasal dari Afrika dan menyebar ke Dunia Baru melalui kapal-kapal dagang pengangkut budak belian. Vektor penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti.

Pada abad ke 18 dan abad ke 19 terjadi wabah epidemi di Europa dan meluas mencapai daerah pantai, pelabuhan, sampai ke Swansea, Wales,dan di Amerika Utara dari New Orleans sampai ke

Boston dan St Louis. Epidemi di Philadelphia yang teijadi pada tahun 1793 dijelaskan secara rinci oleh Benjamin Rush yang selamat dari serangan wabah ini. Di Amerika Serikat wabah yellow

fever terakhir dilaporkan di New Orleans dan delta sungai Mississippi pada tahun 1905.

Seorang dokter di Havana, Kuba bernama Carlos Findlay pada tahun 1881 meyakini bahwa penyakit ini disebarkan oleh nyamuk, dan kebenaran keyakinnannya itu dibuktikan dokter tentara Amerika Serikat bernama Walter Reed. Penemuan ini memungkinkan usaha pencegahan melalui pengontrolan nyamuk, dan dibuktikan saat pembangunan terusan Panama. Isolasi virus YF baru dapat dilakukan pada tahun 1928.

Page 2: demam2

EPIDEMIOLOGI

Yellow fever ditemukan di hutan tropis Afrika dan Amerika Selatan, sampai awal abad ini menyebabkan epidemi yang luas di Karibia dan daerah subtropis Amerika Utara sampai ke Baltimore dan Philadelphia.

Di Afrika terdapat sebanyak 33 negara dengan jumlah penduduk 508 juta jiwa berada di daerah endemi yellow

fever. Daerah ini terletak antara 15° Lintang Utara (LU) sampai 10°Lintang Selatan (LS). Di benua Amerika, penyakit ini endemik di 9 negara di Amerika Selatan dan beberapa di Kepulauan Karibia. Negara yang paling berisiko antara lain Bolivia, Brazil, Colombia, Ekuador dan Peru.

Setiap tahunnya diperkirakan sekitar 200.000 kasus yellowfever dengan 30.000 diantaranya meninggal dunia. Kasus impor ditemukan di negara-negara yang sebenarnya bebas fellow fever, Di Asia belum pemah dilaporkan adanya kasus yellow fever, tetapi tetap berisiko karena primata yang sesuai dan nyamuk sebagai vektor ditemukan secara luas.

Wabah masih terjadi sampai dengan tahun 2003 terutama

di beberapa negara Afrika Barat seperti Burkina Faso, Ghana, Liberia, Guinea, dan Pantai Gading dan Brazil. Sampai saat ini beberapa kasus masih terus dilaporkan.

ETIOLOGI

Virus yellow fever termasuk genus

Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus ini suatu virus RNAuntai tunggal, dan positive sense. Virionnya berbentuk sferis dan memiliki pembungkus (envelope), berukuran antara 35-45 nm, dan genomnya terdiri atas 10.862 nukleotida. Pembungkus dua lapis lipid (lipid bilayer envelope) ini mengandung protein matriks (M) dan protein pembungkus (E). Memiliki juga tiga protein struktur C, M dan E) serta beberapa protein nonstruktur NS).

Virus ini dapat diinaktivasi dengan kloroform, ether dan sinar ultraviolet sedangkan pada suhu 4°C tahan satu bulan dan dalam keadaan beku kering dapat tahan bertahun-tahun. Terdapat perbedaan genotipe antara isolat yang diperoleh dari Afrika dan Amerika Selatan. Ada dua genotipe yang bersirkulasi di ABfrika dan satu atau dua di Amerika Selatan.

Page 3: demam2

PENULARAN

Inang alami virus yellow fever di hutan adalah primata seperti monyet dan chimpanse. Di Afrika vektor utamanya adalah nyamuk Aedes seperti Aedes aegypti, Ae. africanus, Ae. opok, Ae.lLuteocephalus, Ae.furciferdanAe.tTaylori. Sedangkan di Amerika terutama ditularkan oleh Aedes aegypti dan Haemagogus.

Dikenal ada tiga siklus penularan yaitu tipe demam knning hutan (jungle yellow fever), tipe demam kuning urban {urban yellow fever) dan sylvatic yellow fever. Tipe silvatik hanya ditemukan di padang savanna Afrika.

Di Amerika siklus jungle yellow fever ditularkan antar kera oleh nyamuk genus Haemogogus dan Sabethes, sedangkan penularan di perkotaan oleh Aedes aegypti.

Siklus kera-nyamuk-kera di hutan Afrika dilakukan oleh nyamuk Ae africanus, sedangkan sylvatic yellow fever dilakukan oleh beberapa spesies Aedes seperti Ae.simpsoni yang menularkan virus yellow fever dari kera ke manusia. Di Afrika siklus urban dipertahankan oleh Ae. aegypti.

Lamanya siklus intrinsik pada nyamuk adalah 4 hari pada suhu 37°C dan 18 hari pada suhu 18°C. Nyamuk tetap infektif selama kira-kira 2- 4 bulan. Telah diperlihatkan kemungkinan adanya penularan transovarial

PATOFISIOLOGI DAN PATOLOGI

Virus memasuki sel secara endositosis melalui reseptor

yang sesuai. Sintesis RNA virus terjadi di sitoplasma, sedangkan protein virus di retikulum endoplasma. Virion menjadi matang di retikulum endoplasma dan dengan proses fusi eksositosis dikeluarkan melewati sel membran. Pada saat awal proses ini teijadi di sel retikulo endotelialdi limfonodi, sumsum tulang, limpa dan sel Kupffer, selanjutnya terjadi viremia dan menyebar ke seluruh organ.

Sel hati mengalami degenerasi, ditemukan daerah nekrosis sentral, badan Councilman dan perlemakan. Kerusakan pada hati ini secara klinis ditandai dengan timbulnya ikterus. Ginjal membesar dan bengkak. Glomerulus ginjal menunjukkan adanya proliferasi mesangial din edema endotel kapiler. Degenerasi dan nekrosis sel miokardium serta gangguan konduksi dapat ditemui dan antigen virus dapat dideteksi dari sel miokardium.

Respons seluler dan humoral dapat terjadi dan bertanggung jawab untuk mengeliminasi virus dari tubuh. Viremia menghilang setelah 5 hari.

Organ lain dapat terkena seperti kelenjar adrenal, sel otak dan pada epidemi di Sudan dan Ethiopia di tahun 1960 banyak ditemukan kasus meningoensefalitis. Pada kasus berat dapat disertai diatesis hemoragik.

DEMAM KUNING (.YELLOW FEVER)

Page 4: demam2

Perdarahan berat dapat terjadi di saluran cerna, paru, limpa, hati dan ginjal. Kematian teijadi sebagai akibat dari kerusakan hati dan atau ginjal. Pada pasien yang sembuh jaringan yang hilang langsung mengalami regenerasi dan terjadi hipertrofi pada sel yang bertahan hidup.

GAMBARAN KLINIS

Yellow Fever klasik merupakan penyakit bifasik, ada 3 sta-dium yaitu: infeksi, remisi dan intoksikasi. Gambaran klinisnya bisa berupa infeksi subklinis, infeksi mirip influ-enza atau pada 15-25% kasus dapat teijadi fulminan dan menyebabkan kematian dalam beberapa hari.

Setelah masa inkubasi selama 3-6 hari timbul demam secara mendadak dan menggigil diikuti dengan sakit kepala, sakit punggung, mialgia, nausea dan muntah. Bisa juga dijumpai muka dan konyungtiva merah, tanda faget dan bradikardi relatif.

Setelah 3-4 hari, gejala dan demam menghilang selama beberapa jam sampai satu atau 2 hari dan hanya berulang pada pasien yang berkembang'menjadi intoksikasi fulminan.

Tipe demam adalah bifasik (dromedaris). Fase demam

pertama berhubungan dengan fase akut penyakit dan disertai bradikardi relatif. Selanjutnya demam menurun yang berhubungan dengan fase remisi serta meningkat lagi dan penyakit memberat pada fase intoksikasi.

Penyakit berkembang menjadi demam berdarah multisistem ditandai dengan badan menjadi kuning (sesuai nama penyakit ini), disfungsi renal dan manifestasi perdarahan yang dapat menyebabkan hipotensi bahkan terjadi renjatan yang fatal. Perdarahan mukosa, perdarahan pada luka bekas jarum suntik, perdarahan gastrointestinal dapat hebat sebagai akibat sintesis faktor pembekuan oleh sel hati menurun, disfungsi platelet dan koagulasi intravaskular diseminata (KID).

Enzim transaminase meningkat sebagai petunjuk sel hati dan pada kasus berat dapat menjadi sindroma hepatorenal.

Oliguri dan azotemia terjadi akibat adanya muntah dan ekstravasasi cairan. Adanya oliguri dan peningkatan kreatinin mungkin disebabkan oleh nefritis glomerulus primer dan nefritis intersisialis, selanjutnya bisa diikuti oleh

Page 5: demam2

tubular nekrosis akut sebagai akibat dari hipotensi.

Miokarditis yang terjadi dapat diketahui dengan pemeriksaan EKG. Adanya gejala enselofati terjadi akibat adanya edema serebri yang berhubungan dengan dengan gagal fungsi hati dan ginjal. Infeksi sekunderkarenabakteri seperti bateriemi dan pneumoni sering terjadi dan menyebabkan kematian.

2781

Page 6: demam2

2798 TROPIK INFEKSI

Angka kematian sekitar 5 -10%, sedangkan pada pasien yang mengalami stadium intoksikasi angka kematian lebih tinggi yaitu mencapai 20%-50%.

DIAGNOSIS LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan lekopeni, trombositopeni, mungkin ditemukan kenaikan hematokrit, waktu protrombin yang memanjang, bila terjadi KID ditemukan kelainan pada fibrinogen dan produk degradasi fibrinogen. Enzim transaminase, fosfatase alkali, gamma- glutamyl transferase, bilirubin direk dan indirek, BUN dan kreatinin meningkat kadarnya.

Kenaikan yang bermakna dari transaminase dan bilirubin pada stadium awal penyakit merupakan petanda akan buruknya penyakit.

Pada kasus dengan ensefalopati dan edema otak, didapatkan peningkatan protein tanpa pleositosis pada cairan serebrospinal.

Pemeriksaan serologi serum akut dan konvalesens menunjukkan peningkatan titer antibodi 4 kali atau lebih dengan pemeriksaan inhibisi hemaglutinasi, fiksasi komplemen atau antibodi netralisasi.

Pemeriksaan dengan capture enzyme immunoassay dapat memeriksa titer IgM spesifik. IgM mulai terdeteksi pada hari 7-10 infeksi. Pada epidemi diagnosis definitif perlu cepat ditegakkan untuk pengontrolan penyakit. Deteksi antigen virus dan Reaksi Polimerase Berantai (PCR) pada serum akut sangat membantu. Pada pasen yang telah mengalami infeksi infeksi oleh flavivirus, hasil serologis sulit diinterpretasi.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding pada kasus ringan antara lain malaria, infeksi Dengue.

Kasus berat harus di diagnosis banding dengan leptospirosis, demam tifoid, hepatitis viral akut dan demam berdarah viral lainnya seperti Ebola, Lassa, Marburg, demam berdarah Congo-Crimea, DHF, dan demam Rift Valley.

PENGOBATAN

Tidak ada pengobatan yang spesifik. Terapi dengan ribavirin pada binatang percobaan temyata tidak efektif.

Terapi suportif ditujukan langsung untuk mengoreksi kehilangan cairan dan dan mempertahankan stabilitas hemodinamik. Penanganan dan pencegahan hipoglikemi, pemberian antagonis H2 atau inhibitor pompa proton (PPI) bisa dilakukan. Pemberian vitamin K dan Fresh Frozen Plasma (FFP) disarankan untuk menangani gangguan koagulasi. Bila teijadi gagal ginjal akut maka dialisis dapat ditempuh.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang mungkin teijadi antara lain gagal hati, gagal ginjal akut, edma paru, miokarditis, ensefalitis. Perdarahan, KID sampai renjatan dapat pulan terjadi, dan tentu kematian.

PENCEGAHAN

Pencegahan dapat dilakukan denga pengontrolan vektor, juga mencegah gigitan nyamuk seperti tidur memakai kelambu, aplikasi mosquito

repellents pada kulit dan pakaian juga dianjurkan.

Vaksinasi dengan virus yang dilemahkan (live attenuated) 17D sangat efektif. Strain Asibi dipakai sebagai bahan vaksin ini. Karena diproduksi dengan mempergunakan embrio ayam maka mereka yang alergi terhadap telur tidak boleh divaksinasi. Beberapa negara mewaj ibkan pelancong untuk divaksinasi yellow fever sebelum berkunjung ke daerah endemis, dan revaksinasi dianjurka setiap 10 tahun, walaupun antibodi dapat bertahan sampai 40 tahun.

REFERENSI

Gantz NM, Brown RB, Berk SL, Myers JW : Manual of Clinical Problems in Infectious Disease, fifth edition, Philadelphia: Lippincott Williams Wilkins; 2006.

Gill GV, Beeching NJ: Lecture Notes on Tropical Medicine, fifth edition,

Page 7: demam2

2798 TROPIK INFEKSI

Blackweil Publishing, Maiden, 2004,

Mien A Rifai dan Ermitati, penyunting: Glosarium Biologi, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993.

Reeder GD, Woodward TE: Yellow Fever, available at http:// www.emedicine. com/emerg/topic645.htm.

Tsai TF, Vaughn DW, Solomon T: Flaviviruses (Yellow Fever, Den-gue, Dengue Haemorrhagic Fever, Japanese encephalitis.West Nile Encephalitis, St Loius encephalitis,Tick-borne encephali-tis), In: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, editors, Mandell, Douglas, and Bennett's Principles and Practice of Infectious Diseases, sixth edition. Philadelphia: Elsevier; 2005.p. 1926- 50.

Tsai TF: Yellow Fever Virus, In: Gorbach SL, Bartlett JG Blacklow NR: Infectious Diseases, third edition, Philadelphia:Lippincott Williams Wilkins; 2004.p. 2109-12.

World Health Organization : Yellow Fever ; http://www.who.int/ mediacentre/factsheets/fs 100/en/print.html.

World Health Organization: Yellow Fever, The Immunological Basis for Immunization Series, Modul 8, Geneva,

Page 8: demam2

PENDAHULUAN

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.

EPIDEMIOLOGI

Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.

Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daeral rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.00 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.

Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT

Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.

PATOGENES1S

Masuknya kuman Salmonella typhi (S■ typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman

dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu,

DEMAM TIFOID

Djoko Widodo

Page 9: demam2

2798 TROPIK INFEKSI

berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.

Page 10: demam2

DEMAM TIFOID 2799

Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,

kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.

............................................................................................

ekyer llleum distal

komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan

untuk membantu menegakkan diagnosis.

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, ataupsikosis. Roseolaejarang ditemukan pada orang Indonesia.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

GAMBARAN KLINIS

Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan

Pemeriksaan RutinWalaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.

SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.

Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal dan kultur organisme. Sampai sekarang, kultur masih menjadi standar baku dalam penegakkan diagnostik. Selain uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari

antara lain uji TUBEX3, Typhidot dan dipstik.

Uji WidalUji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman 5. typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi

aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan

pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di

jm lambung-

Page 11: demam2

2798 TROPIK INFEKSI

iaboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:a). Aglutinin 0 (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagela

kuman), dan c). Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin

tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat

dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula

timbul aglutinin 0, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin 0 masih tetap

dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal

bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1). Pengobatan dini dengan antibiotik, 2). Gangguan

pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah, 4). Daerah endemik atau non-

endemik, 5). Riwayat vaksinasi, 6). Reaksi anamnestik., yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam

tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, 7). Faktor teknik pemeriksaan antar Iaboratorium, akibat

aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna diagnostik untuk demam

tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesep'akatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat

berbeda di berbagai Iaboratorium setempat.

Uji TUB EX®

Uji TUBEX® merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji

ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi 09 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM

anti- 09 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang

terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroitp D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. typhi.

Infeksi oleh S. paratyphi akan memberikan hasil negatif.

Secara imunologi, antigen 09 bersifat imunodominan sehingga dapat merangsang respons imun secara

independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut,

respon terhadap anti-gen 09 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-09 dapat dilakukan lebih dini, yaitu

pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya

dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk

mendeteksi infeksi lampau.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen, meliputi: 1) tabung berbentuk V, yang

juga berfimgsi untuk meningkatkan sensitivitas, 2) Reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi

dengan antigen S. typhi 09, 3) Reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi

dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen 09. Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum

(25 pL) dicampurkan ke dalam tabung dengan satu tetes (25 |iL) reagen A. Setelah itu dua tetes reagen B (50 pL)

ditambahkan kedalam tabung. Hal tersebut di lakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut

kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit dengan kecepatan 250

rpm. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga

kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada Tabelberikut.

Table 1. Interpretasi hasil uji TubexSkor Interpretasi

Negatif BorderlineTidak menunjuk infeksi tifoid aktif Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian, apabila masih meragukan lakukan pengulangan beberapa hari kemudian.Menunjukan infeksi tifoid aktif Indikasi kuat infksi tifoid

Positif Posistif

Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap 09, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah mengandung medan magnet (magnet rak), komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. Sebagai akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadap 09, antibodi pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan.

Berbagai penelitian (House dkk, 2001; Olsen dkk, 2004; dan Kawano dkk, 2007) menunjukkan uji ini memiliki sensitivitas dan spesivisitas yang baik (berturut-turut 75- 80% dan 75-90%). Pada tahun 2006, di Jakarta, Surya H dkk melakukan penejjjian pada 52 sampel darah pasien dengan diagnosis klinis demam tifoid untuk

membandingkan spesifisitas, sensitifitas, positive predictive value (PPV) dan negative predictive value uji Tubex dengan uji Widal. Pada penelitian tersebut, didapatkan

sensitivitas uji Tubex sebesar 100% (Widal: 53.1 %), spesivisitas 90% (Widal: 65%), PPV 94,11 % (Widal: 70.8%), NPV100% (Widal: 46.4%).

4-5 >6

Page 12: demam2

2800v------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Uji TyphidotUji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat

mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50 kD, yang

terdapat pada strip nitroselulosa.

Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%

pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid.

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan spesfisitas uji ini hampir sama

dengan uji Tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89%.

Pada kasus reinfeksi, respons imun sekunder (IgG) teraktivasi secara berlebihan sehingga IgM sulit

terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk

membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk

mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada sampel Serum.

Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang

ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada tahun 1997 terhadap uji Typhidot-

M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lobih sensitif (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3 jam) dilakukan

bila dibandingkan dengan kultur.

Uji IgM DipstickUji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S. typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S, typhoid dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati

dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien,

tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-25° C di tempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan

reference strip. Garis kontrol harus terwarna dengan baik.

House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai penggunaan uji ini dibandingkan dengan

pemeriksaan kultur darah di Indonesia dan melaporkan sensitivitas sebesar 65-77% dan

spesiflsitas sebesar 95- 100%, Pemeriksaan ini mudah dan eepat (dalam I hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1

minggu setelah timbulnya gejala.

TROPlk tkFEKSI

Kultur DarahHasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam

tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut : 1). Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien

sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan

hasil mungkin negatif; 2). Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak

terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif, Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan

ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman; 3). Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa

lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan

darah dapat negatif; 4). Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.

PENATALAKSANAAN

Sampai saat ini masih dianut trilogi penat^laksanaan demam tifoid, yaitu:

Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat

penyembuhan

Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif),dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.

Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman

Istirahat dan perawatan. Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk

mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang

air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu

sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk

mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.

Diet dan terapi penunjang. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses

penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.

Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhimya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan paiien, Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cema atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.

Pemberian antimikroba. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati

demam tifoid adalah

sebagai berikut:

• Kloramfenikol. Di Indonesia kloramfenikol masih menipakan obat pilihan utama untuk

mengobati demam

tifoid. Dosis yaiig diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena.

Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan oleh karena

hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan

obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Penulis lain menyebutkan penurunan demam dapat

terjadi rata-rata setelah hari ke-5. Pada penelitian yang dilakukan selama 2002 hingt. 3 T'uOS oloh Moehario LH dkk didapatkan 90% kuman masj! <'cmiiiki kepekaan terhadap antibiotic ini. Tiamfenikol. dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol, akan

terapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan

dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai

ke- 6.

• k'otrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa

adalah 2x2 tablet (I tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2

minggu.

Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk

menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara

50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu. » Sefalosporin Generasi Ketiga. Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif untuk demam tifoid

adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama lA jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.

• Golongan Fluorokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan

aturan pemberiannya :

• Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari ? Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6

hari

• Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari

• Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

• Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4. Hasil penurunan demam

sedikit lebih lambat pada penggunaan norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki

bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.

Azitromisin. Tinjauan yang dilakukan oleh Eeva EW dan Bukirwa H pada tahun 2008 terhadap 7

penelitian yang membandingkan penggunaan azitromisin (dosis 2x500 mg) menunjukkan bahwa penggunaan obat

ini jika dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi

rawat inap, terutama jika penelitian mengikutsertakan pula strain MDR (multi drug resistance)

maupun NARST (Nalidixic Acid Resistant S.typhi). Jika dibandingkan dengan

ceftriakson, penggunaan azitromisin dapat mengurangi angka relaps. Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi

dalam jaringan yang tinggi walaupun konsentrasi dolam darah cenderung rendah. Antibiotika akan terkonsentrasi di

dalam sel, sehingga antibiotika ini menjadi ideal untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. typhi

yang worupakan kuman intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan oral

maupun suntikan intravena.

Page 13: demam2

2798 TROPIK INFEKSI

Kombinasi Obat AntimikrobaKombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain

kuman Salmonella.

Kortikosteroid. Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang

mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.

Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita HamilKloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematur,

kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan

pada trimester pertama kehamilan karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum dapat disingkirkan. Pada kehamilan lebih lanjut tiamfenikol dapat digunakan. Demikian juga obat golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh digunakan untuk mengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.

TATA LAKSANA KOMPLIKASISebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:• Komplikasi intestinal.- Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis

o Komplikasi ekstra-intestinal.

- Komplikasi kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.

- Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis.

- Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis.- Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.- komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis,

perinefritis.- komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis,

spondilitis, artritis.- komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik.

KOMPLIKASI INTESTINAL

Perdarahan IntestinalPada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat teijadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat teijadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan faktor hemostatis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.

Perforasi UsusTerjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula

teijadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa teijadi maka penderita demam tifoid

dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian

menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita

dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi

lainnya adalah nadi cepat, tekanan dar^h twro, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan i pergeseran ke kiri

dapat menyokong adanya perforasi,

Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNQ/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan

kejadian adalah perforasi adalah umur (biasanya berumur 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan,

beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.

Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S. typhi tetapi juga untuk

mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum

luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/

metronidazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang

nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan

intestinal.

KOMPLIKASI EKSTRA-INTESTINAL ,

Komplikasi Hematologi

Komplikasi hematologik berupa tromlbositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan prothrombin time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada

kebanyakan pasien demam tifoid. Trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungkin teijadi karena menurunnya produkssi trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memegang peranan.

Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal- hal yang sering dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi, dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah . dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi; baik KID kompensata maupun dekompensata.

Bila teijadi KID dekompensata dapat diberikan tr'anfusi darah, substitusi trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula yang tidak sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid.

Hepatitis TifosaPembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak

dijumpai karena S. typhi daripada S. paratyphi. Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh

karena tifoid, virus, malaria, atau amuba makaperlu diperhatikan kelainan fisik, parameter Iaboratorium, dan bila

perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serujn

bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena vims). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan

malnutrisi dan sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoepsefalopati dapat terjadi-

Pankreatitis TifosaMerupakan komplikasi yang jarang teijadi pada demam : :c:d. Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh -1 i;a:or

pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat- rr rarmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase

ultrasonograafi/CT-Scaw dapat membantu loznosis penyakit ini dengan akurat.

Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti r-rr.ir.ganan pankreatitis pada umumnya; antibiotik yang

±berikan adalah antibiotik intravena seperti seftriakson ssa kuinolon.

Viokarditisvio-carditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid ; tcizgkan kelainan elektrokardiografi dapat terjadi pada i:-15%

penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya uj-.ri gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan saJc: dada,

gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok i_-:.cgenik. Sedangkanperikarditis sangat jarang terjadi. Psr.bahan

elektrokardiografi yang menetap disertai ijvnii memp.myai prognosis yang buruk. Kelainan ini kerusakanmiokardium

oleh kuman S. typhi seering sebagai penyebab kematian. Biasanya pada pasien yang sakit berat, keadaan

akut.

PENATALAKSANAAN PADA PENGIDAP TIFOID (KARIER)

Kasus demam tifoid karier merupakan faktor risiko terjadinya outbreak demam tifoid. Pada daerah endemik

dan hiperendemik penyandang kuman S. typhi ini jauh lebih banyak serta sanitasi lingkungan dan sosial

ekonomi rendah semakin mempersulit usaha penanggulangannya. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia

sebesar 1000/ 100.000 populasi per tahun, insidens rata-rata 62% di Asia dan 35% di Afrika dengan mortalitas

rendah 2-5% dan sekitar 3% menjadi kasus karier. Di antara demam tifoid yang sembuh klinis, pada 20% di

antaranya masih ditemukan kuman S. typhi setelah 2 bulan dan 10% masih ditemukan pada bulan ke 3

serta 3% masih ditemukan setelah satu tahun. Kasus karier meningkat seiring peningkatan umur dan adanya

penyakit kandung empedu, serta gangguan traktus urinarius.

Definisi dan Manifestasi Tifoid KarierDefmisi pengidap tifoid (karier) adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung S. typhi

setelah satu tahun pasca-demam tifoid, tanpa disertai gej ala klinis. Kasus tifoid dengan kuman S. typhi

masih dapat ditemukan di feses atau urin selama 2-3 bulan disebut karier pasca- penyembuhan. Pada penelitian di

Jakarta dilaporkan bahwa 16,18% (N = 68) kasus demam tifoid masih didapatkan kuman S. typhi pada kultur

fesesnya.Tifoid karier tidak menimbulkan gejala klinis (asimtomatik) dan 25% kasus menyangkal adanya riwayat sakit

demam tifoid akut. Pada beberapa penelitian dilaporkan pada tifoid karier sering disertai infeksi kronik traktus urinarius serta terdapat peningkatan risiko terjadinya karsinoma kandung empedu, karsinoma kolorektal, karsinoma pankreas, karsinoma paru, dan keganasan di bagian organ atau jaringan lain. Peningkatan faktor risiko tersebut berbeda bila dibandingkan dengan populasi pasca-ledakan kasus luar biasa demam tifoid, hal ini diduga faktor infeksi kronis sebagai faktor risiko terjadinya karsinoma dan bukan akibat infeksi tifoid akut.

Page 14: demam2

2804 TROP1K INFEKSI

Proses patofisiologis dan patogenesis kasus tifoid karier belum jelas. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap

Salmonella typhi belum jelas. Imunitas selular diduga punya peran sangat penting. Hal ini dibuktikan

bahwa pada penderita sickle cell disease dan sistemic lupus eritematosus (SLE) maupun penderita AIDS bila terinfeksi Salmonella maka akan terjadi bakteremia yang berat. Pada

pemeriksaan inhibisi migrasi leukosit (LMI) dilaporkan terdapat penurunan respons reaktivitas selular terhadap

Salmonella typhi, meskipun tidak ditemukan penurunan imunitas selular dan humoral. Penelitian

lainnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada sistem imunitas humoral dan selular serta respons

limfosit terhadap Salmonella typhi antara pengidap tifoid dengan kontrol. Pemeriksaan respons

imun berdasarkan seroiogi antibodi IgG dan IgM terhadap 5. typhi antara tifoid karier dibanding tifoid akut tidak

berbeda bermakna.

Diagnosis Tifoid Karier . !Diagnosis tifoid karier ditegakkan atas dasar ditemukan- nya kuman Salmonella typhi pada biakan

feses atau pun urin pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada seseorang setelah 1 tahun pasca-demam

tifoid. Dinyatakan kemungkinan besar bukan sebagai tifoid karier bila setelah dilakukan biakan secara acak serial

minimal 6 kali pemeriksaan tidak ditemukan kuman S. typhi. <Sarana lain untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan seroiogi Vi, dilaporkan bahwa sensitivitas

75% dan spesifisitas 92% bila ditemukan kadar titer antibodi Vi sebesar 160. Nolan CM dkk (1981) meneliti

pengidap tifoid (karier) beserta keluarganya, ditemukan titer 1:40 sampai 1:2560 pada 7 kasus biakan positif S. typhi sedangkan pada 37 kasus dengan kultur S. typhi negatif 36 kasus tidak ditemukan antibodi Vi, 1

kasus dengan antibodi Vi positif 1:10.

Penatalaksanaan Tifoid KarierKesulitan eradikasi kasus karier berhubungan dengan ada tidaknya batu empedu dan sikatrik kronik pada saluran empedu. Kasus karier ini juga meningkat pada seseorang yang terkena infeksi saluran kencing secara kronis, batu, striktur, hidronefrosis, dan tuberkulosis maupun tumor di traktus urinarius. Oleh karena itulah insidens tifoid karier meningkat pada wanita maupun pada usia lanjut karena adanya faktor tersebut di atas. Penatalaksanaan tifoid karier dibedakan berdasarkan ada tidaknya penyulit yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Terapi Antibiotik pada Kasus Demam Tifoid Karier "•

Tanpa Disertai Kasus Kolelitiasis

Pilihan regimen terapi selama 3 bulan1. Ampisilin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kg BB/hari2. Amoksisitin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kg

BB/hari3. Trimetropin-sulfametoksazol 2 tablet/2 kaii/hari

Disertai Kasus Kolelitiasis

Kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari, kesembuhan 80% atau kolesistektomi + salah satu regimen terapi di bawah ini

1. Siprofloksasin 750 mg/2 kali/harl2. Norfloksasin 400 mg/2 kali/hart

Schistosoma Haematobium Pada Traktus

Pengobatan pada kasus Ini harus dilakukan eradikasi S.Haematobium

1. Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau2. Metrifonat 7,5 10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis,

interval 2 minggu. Setelah eradikasi S. Haematobium Tersebut baru diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier seperti di atas.

PENCEGAHAN DEMAM TIFOID

Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan berdampak cukup besar

terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam tifoid, menurunkan anggaran pengobatan pribadi

maupun negara, mendatangkan devisa negara yang berasal dari wisatawan mancanegara karena telah hilangnya

predikat negara endemik dan hiperendemik sehingga mereka tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah

kunjungan wisata.

Preventif dan Kontrol PenularanTindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid

mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor

pejamu (host) serta faktor lingkungan.

Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu 1. Identifikasi dan eradikasi

Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun kasus karier tifoid, 2. Pencegahan transmisi

langsung dari pasien terinfeksi S. typhi akut maupun karier, 3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi.

Identifikasi dan eradikasi S. Typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier, dan akut. Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap

kuman S. typhi ini cukup sulit dan memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala

nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai pabrik beserta

distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainya.

Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S. Typhi akut maupun karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di

rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S. typhi.

Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi. Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemik

maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantuag daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko, yaitu golongan imunokompromais maupun golongan rentan.

Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu: • Daerah non-endemik. Tanpa ada kejadian outbreak

atau epidemi

Page 15: demam2

1800 TROPIK INFEKSI

- Sanitasi air dan kebersihan lingkungan

Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/ penjualan makanan-minuman

• Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier

B lia ada kejadian epidemi tifoid

- Pencarian dan eliminasi sumber penularan

- Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus

Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut

• Daerah endemik

- Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan

------------yang memenuhi standar prosedur

xc^natan (perebusan > 570C, iodisasi, dan klorinisasi)

Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan, menjauhi makanan segar (sayur/

buah)

Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung

REFERENSi

Buiiiti KV, Tokarenko LG, Kravtsov EG. Comparative evaluation of the dynamics of physico-chemically different serum O- and K- antibodies in typhoid and chronic typhoid

carriers. Abstract. Zh Mikrobiol Epidemiol Immunobiol 1981 ;(4):67-9.

Bradley D. Jones. SALMONELLOSIS: Host Immune Responses and Bacterial Virulence Determinants. Annu. Rev. Immunol. 1996. 14:533-61.

Caygill CP, Braddick M, Hill MJ, Knowles RL, Sharp JC. The association between typhoid carriage, typhoid infection and subsequent cancer at a number of site. Eur J

Cancer Prev 1995;4(2): 187-93.

iV

2805

Page 16: demam2

C^yglll CP, Braddick M, Hill MJ. Sharp JC. Cancer mortality in chronic typhoid and paratyphoid carriers. Lancet

1994;343(8889):83-4,

Dham SK, Thompson RA. Humoral and cell-mediated immune responses in chronic typhoid carriers. Clin Exp

Immunol l982;50(l):34-40 ,

Departemen Kesehatan RL Data surveilans tahun 1994. Jakarta, 1995 p43. Data surveilans tahun 1996. Ditjen P2M

Direktorat fepidemiologi dan Imunisasi Subdirektorat Surveilans. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 1996.

p. 37.

Dutta U, Garg PK, Kumar R, Tandon RK- Typhoid carriers among patients with gallstones are at increased risk for

carcinoma of the gallbladder. Am J Gastroenterol 2000;95(3):784-7.

Espersen F, Mogensen HH, Hoiby N, Hoj L, Greibe J, Rasmussen SN, et al. Acta Pathol Micobiol Immunol

Scand,1982;90(6):293-9.

Effa EE. Bukirwa H. Azitromycin for treating uncomplicated typhoid and paratyphoid fever (enteric fever). Cochrane

Database of Systematic Review 2008, Issue 4 Art. No.: CD006083. DOI: 10.1002/ 14651858.CD006083.pub2

Gasem MH, Smith HL, Nugroho N, Goris MA, Dolmans WMV. Evaluation of a simple an rapid dipstick assay for

diagnosis of typhoid fever in Indonesia. Journal of Medical Microbiology 2002; 51:173-7

Gopalakhrisnan V, Sekhar WY, Soo EH, Vinsent RA, Devi S. Typhoid fever in Kuala Lumpur and a comparative

evaluation of two commercial diagnostic kits for the detection of antibodies to Salmonella typhi. Sing Med J 2002;43(7):354-8.

Hornick RB. Typhoid fever. In: Hoeprick P, Jordan MC, Ronald AR, editors. Infectious diseases, a treatise of

infectious processes 5th ed. Philadelphia: JB Lippincott Co; 1994. p. 747-53.

Handoyo I. Diagnosis laboratorium demam tifoid. Jurnal Kimia Klinik Indonesia 1996;7(3): 117-22.

Hardi S, Soeharyo, Karnatii E. The diagnostic value of the Widal test in typhoid fever patients. In: Typhoid fever:

Profile, diagnosis and treatment in the 1990. s. 1st ISAC International Symposium. Acta Medica Indonesiana

1992:188-95.

Hoffman SL. Typhoid fever. In: Strickland GT,editor. Hunter 's tropical medicine. 7 th ed- Philadelphia: WB Saunders

Co; 1991. p. 344-59.

Khosla SN. Severe Typhoid fever an appraisal of its profile. In: Nelwan RHH, editor. Typhoid fever. Profile, diagnosis

and treatment in the 1990's. 1st ed. Jakarta: FKUI Press; 1992. p. 51-82.

L Sherwal, RK Dhamija, VS Randhawa, M Jais, A Kaintura, M Kumar. A comparative study of typhidot and widal test

in Patients of typhoid fever. J Indian Academy of Clinical Medicine 2004; 5(3): 244-6.

Lanata CF, Levine MM, Ristori C," Black RE, Jimenez L, Salcedo M et al. Vi serology in detection of chronic

Salmonella Typhi carriers in an endemic area. Lancet 1983;2(8347):441-3.

Lim PL, Tam FCH, Cheong YM, Jegathesan M. One-step 2-minute test to detect typhoid-specific antibodies based

on particle separation in tubes. Journal of Clinical Microbiology 1998;36(8):2271-8.

Lin FY, Becke JM, Groves C, Lim BP,Israel E, Becker EF. Et al. Restaurant-associated outbreak of typhoid fever in

Maryland: identification of carrier facilitated by measurement of serum Vt antibodies. J Clin Microbiol

1988;26(6): 1194-7.

Mathai E, John TJ, Rani M, et ai. Significance of salmonella typhi bacteriuria. J Clin Mirobiol 1995;33(7): 1791-2.

Misra S, Diaz PS, Rowley AH. Characteristics of typhoid fever in children and adolescents in a major metropolitan

area in the United States. Clin Infect Dis 1997:924-98

Mpehario LH, Enty, Kiranasari A. Susceptibility patterns of Salmonella typhi and Salmonela paratyphi A to ciprofloxacin, ievofloxacin, chloramphenicol, tetracycline, ceftriaxone and trimetropim-

sulfametoxazole during 2002-2008 in Jakarta. Dalam Melwan RHH, et al. (editors). Absrtact book 10th

Jakarta Antimicrobial Update 2009, Jakarta: Division of Tropical Medicine and Infectious Disease Internal

Medicine Departement. p. 98

Nelwan RHH. Sebuah studi deskriptif klinik mengenai diagnosis dini demam Tifoid. Acta Medica Indonesia

1993;15:13-8.

Nelwan RHH. Pilihan antimikroba dalam tatalaksana demam tifoid. Dalam Mansjoer A, Setiati S, Syam AF, Laksmi

PW, editor. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Penyakit Dalam 13. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu

Penyakit Dalam FKUI; 2008. p. 118-23

Nazir H. Demam Tifoid, pola klinis dan pengidap pascapengobatan di RS Persahabatan, Jakarta. Naskah lengkap

laporan hasil penelitian akhir PPDS Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUI- RSCM.1989.

Nolan CM, White PC, Feeley JC, et al. Vi serology in the detection of typhoid carriers. Lancet 1981;1(8220 Pt l):583-

5.

Olsen SJ et. ail. Evaluation of rapid diagnostic tests for typhoid fever. Journal of Clinical Microbiology, May 2004, p.

1885-1889.

Pohan HT, Suhendro. Gambaran klinis dan laboratoris demam tifoid di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta. In:

Zulkaraain I, editor. Demam tifoid peran mediator, diagnosis, dan terapi. Jakarta: Pusat Informasi dan

Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000. p. 8-21.

Pusponegoro AD, Syamsuhidayat. Relationship between biliary stones and salmonella typhi carriage. In: Nelwan

RHH, editor. Typhoid fever. Profile, diagnosis and treatment in the 1990 s. 1st ed.

~ Jakarta: FKUI Press; 1992. p. 113-7.

Sudarmono. Features of typhoid fever in Indonesia. In : Pang T, Koch CL, Puthuchaery. Typhoid fever: strategies

for the 90 S.selected papers from the first Asia-Pacific Symposium on Typhoid Fever. Singapore; world

scientific; 1992. pi 1-16-

Simanjutak CH, Hoftnan SI, Punjabi NH, et al. Epidemiologi demam tifoid di suatu daerah pedesaan di Paseh, Jawa

Barat. Cermin Dunia Kedokteran 1987; 45:16-8.

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta:

Departemen Kesehatan RI; 1997. p.104-5.

Takeuchi A. Electron microscope studies of experimental Salmonella infection. I. Penetration into the intestinal

epithelium by Salmonella typhimurium. Am J Pathol. 1967;50:109-36.

Thaver D, Zaidi AKM, Chirchley JA, Azmatullah A, Madni SA, Bhutta ZA. Fluoroquinolones for treating typhoid and

paratyphoid fever (enteric fever). Cochrane Database of Systematic Reviews 2008. Issue 4. Art. No.:

CD004530. DOI: 10.1002/ 1461858.CD004530.pub3

World Health Organization. Background document: The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. 2003