demam tipoid
DESCRIPTION
typhus abdominalisTRANSCRIPT
Ilustrasi kasus
TYPHUS ABDOMINALIS
oleh :
Wiji Hastuti
G99121049
KEPANITERAAN KLINIK UPF / LABORATORIUM FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2014
1
2
BAB ITINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Typhus abdominalis adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan
oleh infeksi kuman Salmonella typhi yang menyerang manusia khususnya pada
saluran cerna yaitu pada usus halus yang masuk melalui makanan atau minuman
yang tercemar dan ditandai dengan gejala demam lebih dari satu minggu,
gangguan pada pencernaan dan lebih diperburuk dengan gangguan kesadaran.
B. EPIDEMIOLOGI
Typhus abdominalis termasuk penyakit menular yang tercantum dalam
Undang-undang Nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Walaupun tercantum dalam
undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum
ada, sehingga gambaran epidemiologinya belum diketahui secara pasti. Di
Indonesia, jarang dijumpai secara epidemic, tapi lebih sering bersifat sporadic,
terpencar-pencar di suatu daerah dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus
pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan.
Ada 2 sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan tifoid dan carrier.
Di daerah endemic, tranmisi terjadi melalui air yang tercemar dan makanan
yang tercemar oleh carrier yang merupakan sumber penularn yang paling sering
di daerah non endemik 5.
C. ETIOLOGI
Salmonella adalah basil gram negative, tidak berkapsul, hampir selalu motil
dengan menggunakan flagella peritrikosa, yang menimbulkan dua atau lebih
bentuk antigen H. Kuman ini meragikan glukosa, sehingga terbentuk dasar
asam dan cekungan basa pada agar beri gula tripel ( TSI ). Umumnya
menghasilkan H2S yang dapat terdeteksi sebagai produk reaksi hitam dan
berfungsi awal untuk membedakan isolate dari Shigella, yang juga menimbulkan
3
reaksi TSI basa / asam. Salmonella typhi penyebab utama demam tifoid atau
typhus abdominalis. Beberapa salmonella sangat mudah beradaptasi pada
manusia seperti S.typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B. sementara sebagian besar
spesies beradaptasi pada hewan dan tidak menyebabkan kesakitan pada manusia.
Yang lain menginfeksi baik manusia dan hewan tingkat rendah, sehingga
menyebabkan gastroenteritis atau yang lebih jarang infeksi terlokalisir, atau
septikemik6.
D. PATOFISIOLOGI
Kuman S. typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air
tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan asam lambung. Sebagian lagi masuk ke
usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Payeri di ileum terminalis yang
hipertropi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat
terjadi. Kuman S.typhi kemudian menembus lamina propia masuk aliran limfe
mesenterial, dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami
hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini, S.typhi masuk aliran
darah melalui ductus thoracicus. Kuman-kuman S.typhi lain mencapai hati
melalui sirkulasi portal dari usus. S.typhi bersarang di plaque Payeri, limpa, hati
dan bagian-bagian lain system retikuloendotelial. Semua disangka demam dan
gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan endotoksemia. Tapi
kemudian berdasar penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia
bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada
typhus abdominalis. Endotoksin S.typhi berperan pada patogenesis, karena
membantu terjadinya proses inflamasi local pada jaringan tempat S.typhi
berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S.typhi dan
endotoksinya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen olek leucosis
pada jaringan yang meradang5. Proses perkembangan S. Typhi didalam tubuh
dijlaskan dalam bagan berikut.
4
5
E. MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas berlangsung 10 – 14 hari. Gejala-gejala yang timbul bervariasi.
Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang asimptomatis
sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian.
Minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada
umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, epistaksis. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan meningkat.
Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardia relative, lidah khas ( kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta
tremor ), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada
orang Indonesia5.
F. DIAGNOSIS
Biakan darah positif memastikan typhus abdominalis, tapi biakan darah
negative tidak menyingkirkan typhus abdominalis. Biakan feces positif
menyokong diagnosis klinis typhus abdominalis5. Biakan feces ini, 75% positif
pada minggu ketiga.
Diagnosis serologis kurang dapat diandalkan dibandingkan biakan. Sebagian
besar pasien dapat mempunyai antibody terhadap antigen O, H, dan Vi ( tes widal
). Jika tidak mendapatkan imunisasi yang baru, titer antibody terhadap antigen O (
> 1/ 640 ) adalah sugestif, tapi tidak spesifik selama salmonella serogrup.
Peninggian antibody empat kali lipat pada sediaan berpasangan adalah criteria
yang baik, untuk memastikan diagnosis typhus abdominalis selama 2 sampai 3
minggu5,6. Jadi pemeriksaan widal dinyatakan positif apabila :
Titer O widal I 1/ 320 atau
Titer O widal II naik 4 kali atau lebih dibandingkan titer O widal I
atau
Titer O widal I ( - ) tapi titer O widal II ( + ) berapapun angkanya
6
Sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya :
Darah perifer lengkap : leucopenia, limfositosis, aneosinofilia
Biakan empedu : tumbuh koloni Salmonella typhi9
G. DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus
Malaria3,9
H. TERAPI
1. Bed rest total, sampai 7 hari bebas panas3. Maksudnya untuk mencegah
terjadinya komplikasi yakni perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi
pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan kekuatan pasien 5.
2. Diet saring TKTP rendah serat, lunak sampai 7 hari bebas panas lalu ganti
bubur kasar , dan setelah 7 hari ganti dengan nasi3. Pemberian bubur saring
bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus / perforasi usus,
karena ada pendapat bahwa usus perlu diistirahatkan5.
3. Antibiotik
Terapi antibiotik merupakan inti dari farmakoterapi dan harus dimulai jika
bukti klinis mendukung gambaran typhus abdominalis 2.
Sejak tahun 1960, telah muncul strain S.typhii yang resisten terhadap
kloramfenicol dan pada tahun 1989, strain S. typhii Multi Drugs Resistance
(MDR) yang kebal terhadap Kloramfenikol amoxicillin dan cotrimoxazol
muncul dan menyebar di anak benua India dan beberapa negara di Asia
Tenggara. Untuk kasus typhus MDR ini maka obat pilihan utamanya adalah
Flouoroquinolone dan Cepholosporin generasi ketiga karena kemanjuran
serta rendahnya angka kasus relaps dan carrier 2.
Kloramphenicol terutama digunakan pada daerah-daerah dimana strain lokal
masih sensitif 1,2. Pada kasus Typhus Abdominalis MDR pada anak, karena
penggunaan quinolone tidak dianjurkan, maka cephalosporine generasi ke
tiga menjadi pilihan utama 2.
7
a. Kloramfenikol
Obat yang dipilih sebagai antibiotik pada demam tifoid adalah
Kloramfenikol dimana obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan
subunit ribosom 50 S bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri dengan
menghambat sintesa protein 2. Efektif untuk bakteri gram positif dan negatif 2,7, namun jika ada antibiotik lain yang lebih aman, dianjurkan untuk tidak
menggunakan kloramfenikol 7. Saat ini terutama digunakan untuk demam
typhoid, infeksi Salmonella yang lain, serta H. influenzae 7.
Resorpsi dari usus lengkap dan cepat, dengan BA 75-90%.
Distribusi ke jaringan rongga, dan cairan tubuh, kecuali empedu, baik sekali.
Kadar dalam LCS tinggi sekali. PP kurang dari 50%, plasma-t ½-nya rata-
rata 3 jam. Dalam hati, 90% dirombak menjadi glukoronid inaktif 8.
Ekskresi melalui ginjal dalam bentuk inaktif dan hanya 10% dalam bentuk
utuh 7.
Perbaikan klinis tampak pada hari kedua dan panas mulai turun
pada hari ke 3-5 2,4. Diberikan secara peroral kecuali pasien mengeluh mual
atau diare, dimana dapat diberikan per IV. Pemberian per IM haruslah
dihindari karena menyebabkan penurunan panas yang lambat serta kadar
obat dalam darah kurang memuaskan2.
Efek samping lain yang umum terjadi adalah gangguan
lambung usus, neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mulut 8. Efek
samping yang lebih berat yaitu reaksi hematologik berupa depresi sumsum
tulang yang reversibel dan anemia aplastik yang irreversibel 8. Angka
kejadian reaksi hematologik ini adalah 1: 24.000-50.000 7.
Interaksi dengan obat lain :
1. Barbiturat : dapat menyebabkan peningkatan kadar serum barbiturat
sedang kadar serum kloramfenikol menurun sehingga mengakibatkan
toksisitas 2 di samping itu juga memperpendek waktu paruh
kloramfenikol 8.
2. Sulfonil urea : hipoglikemia.
8
3. Rifampisin : kadar serum kloramfenikol turun.
4. Antikoagulan : peningkatan efek dari antikoagulan.
5.Hydantoin : meningkatkan kadar serum hydantoin.
Penggunaan pada ibu hamil (terutama pada trimester III (aterm
atau dalam persalinan)) dan menyusui tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan sindrom “Grey Baby” 8. Sedang untuk ibu hamil
Trimester I dan II dapat diberikan 3. “Grey Baby Syndrome” juga dapat
terjadi pada pemberian kloramfenikol pada bayi prematur yang
mendapat dosis tinggi. Dosis maksimal untuk bayi kurang dari 1 bulan
adalah 25 mg/kgBB/hari 7.
b. Tiamfenikol ( Urfamycin )
Dosis dan efektivitas sama dengan kloramfenikol5.
Kelebihan :Angka Carrier lebih sedikit pada bakteri yang sensitif
Keurangan : Perbaikan klinis lebih lambat. Kasus relaps lebih banyak.
c. Cotrimoxazol ( Trimetroprim dan Sulfametoksazol )
Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 480 mg sehari, digunakan sampai
2 minggu bebas demam5.
Menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis dari
asam dihidrofolik. Sama efektif seperti kloramfenikol dalam penurunan
panas dan pencegahan relaps.
Kelebihan :Dapat digunakan pada pasien yang alergi terhadap
Kloramfenikol Thiamphenicol, dan golongan Penicillin
Kekurangan : Perbaikan klinis lebih lambat
d. Amoxicillin
Dosis yang dianjurkan berkisar 50 – 150 mg / kgBB sehari, digunakan
sampai 2 minggu bebas demam5.
Menghasilkan aktivitas bakterisidal pada bakteri yang sensitif. Kurang
efektif dibandingkan dengan Kloramfenikol dalam menurunkan panas
dan kasus relaps. Angka Carrier lebih sedikit dibandingkan antibiotik
lain pada bakteri yang sensitif.
9
Kelebihan :Angka Carrier lebih sedikit pada bakteri yang benar-
benar sensitif
Kekurangan :Perbaikan klinis lebih lambat. Kasus relaps lebih
banyak.
4. Simptomatik
Antipiretik: Paracetamol dengan dosis 3x 500-1000mg sehari
I. PROGNOSIS
Terapi yang cocok, terutama jika pasien perlu dirawat secara medis pada
stadium dini, sangat berhasil. Angka kematian dibawah 1%, dan hanya sedikit
penyulit yang terjadi6.
10
BAB II
ILUSTRASI KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Sdr. A
Umur : 26 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Surakarta
Agama : Islam
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Badan panas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak kurang lebih 3 hari SMRS, badan penderita panas. Panas dirasakan
naik turun, dan naik terutama pada malam hari, sampai menggigil. Penderita
meminum obat penurun panas (panadol) dan panasnya sempat turun tapi naik
lagi setelah beberapa jam minum obat. Kepala penderita juga pusing terutama
saat badan panas. Penderita mengeluhkan nyeri perut dan mual,tetapi tidak
muntah, nafsu makan berkurang dan badan terasa lemah. Sudah 4 hari ini
penderita tidak BAB. BAK tidak ada keluhan.
Dalam keseharian, pasien sering membeli makanan di pinggiran jalan untuk
makan siang di kantornya.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat mondok karena penyakit serupa ( - )
Rawayat alergi obat, makanan, udara dingin (- )
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa ( - )
Riwayat alergi (- )
11
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : sakit sedang, compos mentis, gizi kesan cukup
2. Tanda Vital : T : 120 / 70 mmHg Rr : 24 x / mnt
N : 88 x / mnt S : 38,30 C
3. Mata : CA ( -/- ), SI ( -/- )
4. Telinga : pendengaran baik, NT tragus ( -/- ), secret ( -/- )
5. Hidung : NCH ( -/- ), secret ( -/- ), epistaksis ( -/- )
6. Mulut : bibir kering ( - ), mucosa pucat ( -), lidah kotor ( + ), tepi lidah
hiperemi ( + ), tremor ( + )
7. Tenggorokan : tonsil hiperemi ( -/- ), faring hiperemi ( -/- )
8. Leher : JVP tidak menigkat
9. Thorax
Cor : I : Ictus cordis tidak tampak
P: Ictus cordis tidak kuat angkat
P: Batas jantung kesan tidak melebar
A: Bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo : I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : Sonor / sonor
A : Suara dasar vesikuler ( +/+ ), suara tambahan ( -/- )
10. Abdomen : I : Dinding perut sejajar dinding dada
P : Supel, nyeri tekan ( - ), hepar dan lien tak teraba
P : Tymphani
A : bising usus (+) normal
11. Ekstremitas : Oedem Akral dingin
12
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Darah Rutin
Hb : 11,9 g/dl Gol darah : A
Hct : 38 % Ur : 15
Leukosit: 6000 g/dL Cr : 0,7
Eritrosit: 4.30.000 g/dL
Widal Test
Titer O Titer H
S. typhi 1 / 320 1 / 400
S. paratyphi 1 / 160 1 / 160
E. DIAGNOSIS
Typhus Abdominalis
F. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
Bed rest total sampai 7 hari bebas panas
(mobilsasi bertahap dari duduk sampai pulih kekuatan)
Diet TKTP lunak, rendah serat sampai 7 hari bebas panas.
Kemudian diganti bubur kasar setelah 7 hari diganti nasi
Kompres air hangat
2. Medikamentosa
Infus NaCl 0,9%
Kloramfenikol 4 x 500mg → drug of choice Thypoid
Pamol 3x500 mg → Demam
Ranitidin injeksi → Mual
13
Penulisan Resep
dr. Titis
RS Sehat Selalu
Telp : 0271 - 123456
SIP : 09166998164710
R / Infus Natrium Chlorida 0,9% fl No II
Cum infuse set No I
Abocath no 20 No I
Three way No I
Simm
R / Kloramfenikol tab mg 500 No LVI
S 4 dd tab I
R/ Pamol tab mg 500 No. XV
S prn (1-3) dd tab I
R/ Ranitidin inj amp No. V
Cum spuit cc 3 No. V
Simm
Pro : Sdr. A (26 th )
14
BAB III
PEMBAHASAN
A. Tindakan Umum
Tujuan pengobatan adalah untuk membasmi infeksi, mengurangi
morbiditas dan mencegah komplikasi 2.
Untuk membasmi infeksi dan mencegah komplikasi, maka pemberian
antibiotika yang tepat adalah hal yang terpenting dan menjadi inti farmakoterapi
terhadap typhus abdominalis. Antibiotik diberikan secara empiris bila bukti-bukti
klinis menyokong diagnosa typhus abdominalis2.
Untuk mengurangi morbiditas, pemberian glukokortikoid
(Dexamethasone) dapat diberikan pada pasien yang mengalami demam toksemik
yang berat 1,3. Pemberian harus dengan indikasi dan dosis yang tepat karena dapat
menyebabkan perdarahan dan perforasi usus 3. Pemberian asam salisilat dan
antipiretik lain tidak dianjurkan kaena dapat menyebabkan perdarahan dan
perforasi usus 4 disamping memang tidak banyak berguna 3. Untuk mengurangi
demam dapat dilakukan kompres dengan air hangat3 .
B. Terapi Antibiotik
Terapi antibiotik merupakan inti dari farmakoterapi dan harus dimulai jika
bukti klinis mendukung gambaran typhus abdominalis2.
Sejak tahun 1960, telah muncul strain S.typhii yang resisten terhadap
kloramfenicol dan pada tahun 1989, strain S. typhii Multi Drugs Resistance
(MDR) yang kebal terhadap Chloramphenicol, Amoxicillin dan Cotrimoxazol
muncul dan menyebar di anak benua India dan beberapa negara di Asia Tenggara.
Untuk kasus typhus MDR ini maka obat pilihan utamanya adalah
Flouoroquinolone dan Cepholosporin generasi ketiga karena kemanjuran serta
rendahnya angka kasus relaps dan carrier2.
Kloramphenicol terutama digunakan pada daerah-daerah dimana strain
lokal masih sensitif 1,2. Pada kasus typhus abdominalis MDR pada anak, karena
15
penggunaan quinolone tidak dianjurkan, maka cephalosporine generasi ketiga
menjadi pilihan utama 2.
C. Pembahasan Obat
Obat yang dipilih sebagai antibiotik pada kasus di atas adalah
Chloramphenicol, dimana obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan subunit
ribosom 50 S bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat
sintesa protein 2. Efektif untuk bakteri gram positif dan negatif 2, namun jika ada
antibiotik lain yang lebih aman, dianjurkan untuk tidak menggunakan
kloramfenikol. Saat ini terutama digunakan untuk demam typhoid, infeksi
Salmonella yang lain, serta H. influenzae.
Resorpsi dari usus lengkap dan cepat, dengan BA 75-90%. Distribusi ke
jaringan rongga, dan cairan tubuh, kecuali empedu, baik sekali. Kadar dalam LCS
tinggi sekali. PP kurang dari 50%, plasma-t ½-nya rata-rata 3 jam. Dalam hati,
90% dirombak menjadi glukoronid inaktif 8. Ekskresi melalui ginjal dalam bentuk
inaktif dan hanya 10% dalam bentuk utuh 7.
Perbaikan klinis tampak pada hari kedua dan panas mulai turun pada hari
ke 3-5 2,4. Diberikan secara peroral kecuali pasien mengeluh mual atau diare,
dimana dapat diberikan per IV (intra venous). Pemberian per IM (intra muscular)
haruslah dihindari karena menyebabkan penurunan panas yang lambat serta kadar
obat dalam darah kurang memuaskan2.
Efek samping lain yang umum terjadi adalah gangguan lambung usus,
neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mulut. Efek samping yang lebih
berat yaitu reaksi hematologik berupa depresi sumsum tulang yang reversibel dan
anemia aplastik yang ireversibel 8. Angka kejadian reaksi hematologik ini adalah
1: 24.000-50.000 7.
Interaksi dengan obat lain :
1. Barbiturat : dapat menyebabkan peningkatan kadar serum barbiturat sedang
kadar serum kloramfenikol menurun sehingga mengakibatkan toksisitas 2 di
samping itu juga memperpendek waktu paruh kloramfenikol.
16
2. Sulfonil urea : hipoglikemia.
3. Rifampisin : kadar serum kloramfenikol turun.
4. Antikoagulan : peningkatan efek dari antikoagulan.
5. Hydantoin : meningkatkan kadar serum hydantoin.
Penggunaan pada ibu hamil (terutama pada trimester III (aterm atau dalam
persalinan) dan menyusui tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan sindrom
“grey baby”. Sedang untuk ibu hamil Trimester I dan II dapat diberikan 3. “Grey
Baby Syndrome” juga dapat terjadi pada pemberian kloramfenikol pada bayi
prematur yang mendapat dosis tinggi. Dosis maksimal untuk bayi kurang dari 1
bulan adalah 25 mg/kgBB/hari 7.
D. Alasan pemilihan Kloramfenikol untuk kasus ini
1. Diharapkan adanya perbaikan keadaan klinis yang lebih cepat dibandingkan
jika diberikan antibiotik lain (Amoxicillin, Amphicillin, Kotrimoxazol).
2. Harga lebih murah dibanding golongan Quinolon dan Cephalosporin generasi
ketiga.
3. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya tanda kerusakan hepar.
4. Dapat diberikan peroral.
5. Masih merupakan obat pilihan utama untuk typhus abdominalis di Indonesia.
Pada pasien ini harus dilakukan pemantauan darah rutin (Hb, HCt, AL,
AT). Jika terdapat penurunan dapat diganti dengan obat antibiotik lain.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Butterton, JR., Calderwood, SB., Acute Infectious Diarrheal Disease and
Bacterial Food Poisoning. In Harrison Principles of Internal Medicine 15-
Ed, McGraw- Hill, 2002: 83
2. Corales, R., Typhoid Fever , www.emedicine.com, 2004
3. Gunawan, GS. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terpeutik Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia
Jakarta
4. Hermawan, AG. Bed Side Teaching Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-2.
Yayasan Kesuma Islam Kedokteran. Surakarta. 1999
5. Hermawan, AG., Sumandjar, T., Penanganan penderita Demam Tifoid
Dewasa Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dalam: Protap IPD-FK UNS
RSUD Dr. Moewardi, SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNS- RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. 2004 : 115-116
6. Juwono, R. Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
I. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 1999 : 435-441
7. Keusch, GT. Salmonellosis. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : EGC. 1999 : 755-758
8. Setiabudy, I., Kunadi, R., Antimikroba. Dalam Farmakologi dan Terapi
Edisi Ke-4, Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 1995 : 651- 653
9. Tjay, TH., Rahardja, K., Obat- Obat Penting: Khasiat, Penggunaan , dan
Efek- Efek Sampingnya Edisi ke- 5. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
2001: 64-82
10.Zulkarnain, I., Nelwan, RHH., Pohan, GT., Demam Tifoid. Dalam :
Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2001 : 256-259
18